You are on page 1of 9

BAWASLU SEBAGAI LEMBAGA IDEAL UNTUK PENYELESAIAN SENGKETA

PEMILU DI INDONESIA
Abstract:
This article discusses the limitation of Bawaslu's authority in handling election
violations after the determination of the results of the national voteIn disputes
over the election process, Bawaslu has the duty and authority to prevent and
take action as regulated in Law Number 7 of 2017 concerning the Implementation
of General Elections. This applies as long as it is still in the context of a disputed
election process. Until now, the dispute over the election results is still being
resolved by the Constitutional Court.

Based on the constitution, if there is a lawsuit against the election results, it is


guaranteed in the 1945 Constitution article 24C paragraph (1) the results of the
third amendment which regulates the authority of the Constitutional Court to
adjudicate at the first and last levels, whose decision is final to decide disputes
regarding the results of the general election. The lawsuit is quite broad, not only
for errors in the KPU's calculations, but also covering various violations in the
process, even candidate requirements. This is called the Judicialization of politics
or the transfer of authority to resolve political issues. So far, the most requested
cases to the Constitutional Court are deciding cases of disputes over election
results. However, as an independent and impartial judicial institution, the
Constitutional Court should limit itself in adjudicating political cases so as not to
become an object of politicization from other branches of power. In essence, the
Constitutional Court is tasked with reviewing laws against the 1945 Constitution
of the Republic of Indonesia.
Keywords: Election Supervisory Board, Judicialization of Politics, Limitation of
Authority, General Election.

Abstrak:
Artikel ini membahas tentang pembatasan kewenangan Bawaslu dalam
penanganan pelanggaran pemilu pasca penetapan hasil perolehan suara secara
nasional. Dalam sengketa proses pemilu, Bawaslu bertugas dan berwenang
melakukan pencegahan dan penindakan sebagaimana diatur dalam UU Nomor
7 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Hal ini berlaku
selama masih dalam konteks sengketa proses pemilu. Sampai saat ini, sengketa
hasil pemilu masih diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan konstitusi, apabila terdapat gugatan keberatan terhadap hasil


pemilu hal tersebut dijamin dalam UUD 1945 pasal 24C ayat (1) hasil perubahan
ketiga yang mengatur mengenai kewenangan Mahkamah Kontitusi mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Gugatan terbilang cukup luas, tidak
hanya kesalahan dalam penghitungan KPU, tetapi juga mencakup berbagai
pelanggaran dalam proses, bahkan persyaratan kandidat. Hal ini disebut
Judicialization of politics atau perpindahan kewenangan untuk menyelesaikan
permasalahan yang bersifat politis. Sejauh ini perkara yang paling banyak
dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi ialah memutuskan perkara
perselisihan hasil pemilu. Akan tetapi, sebagai lembaga peradilan yang
independen dan imparsial mestinya Mahkamah Konstitusi membatasi diri dalam
mengadili perkara yang bersifat politis agar tidak menjadi objek politisasi dari
cabang kekuasaan lain. Pada hakikatnya Mahkamah Konstitusi bertugas
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
tahun 1945.
Kata kunci: Badan Pengawas Pemilihan Umum; Pembatasan Kewenangan;
Judicialization of Politics; Pemilihan Umum.

Pendahuluan
Pemilu sebagai suatu bentuk mekanisme demokrasi yang didesain untuk
mentransformasikan sifat konflik dalam masyarakat menjadi ajang politik. Pemilu
merupakan perwujudan kedaulatan rakyat guna menciptakan pemerintahan negara
yang demokratis berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini
tertuang jelas dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Kemudian, pada Pasal
22E Ayat (1) UUD 1945 menggariskan enam kriteria pemilu demokratis, yaitu
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sebagai negara yang sedang
membangun peradaban politik sehat terutama dalam pelaksanaan pemilu, suatu
kewajiban untuk menghadirkan pengawasan yang struktural dan fungsional.

Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) merupakan lembaga


penyelenggara pemilu yang mengawasi jalannya penyelenggaraan pemilu di
Indonesia. Bawaslu memiliki kewenangan yang besar sebagai pengawas sekaligus
eksekutor hakim pemutus perkara sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Tidak dapat dipungkiri
bahwa dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia masih diiringi oleh berbagai persoalan,
baik berupa sengketa maupun pelanggaran yang dilakukan oleh berbagai pihak. Pada
Pemilu tahun 2019, Bawaslu melakukan penanganan atas 4.506 laporan dan 18.995
temuan dugaan pelanggaran. Berdasarkan hasil penanganan yang dilakukan terdapat
sebanyak 16.134 pelanggaran administrasi, 373 pelanggaran kode etik, 582 tindak
pidana Pemilu, dan 1.475 pelanggaran perundang-undangan lain. 1

Dalam Pasal 93 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum


(Pemilu) dikatakan bahwa Bawaslu bertugas melakukan pencegahan dan penindakan
terhadap pelanggaran pemilu dan sengketa proses pemilu. Kemudian, dalam Pasal
94 dijelaskan bahwa dalam melakukan pencegahan pelanggaran Pemilu dan
pencegahan sengketa proses Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 huruf
b, Bawaslu bertugas:

a. Mengidentifikasi dan memetakan potensi kerawanan serta pelanggaran Pemilu;


b. Mengoordinasikan, menyupervisi, membimbing, memantau dan mengevaluasi
penyelenggaraan Pemilu;
c. Berkoordinasi dengan instansi pemerintah terkait; dan
d. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu.
Sedangkan terkait dengan penyelesaian sengketa hasil pemilu, Mahkamah
Konstitusi berwenang untuk memutuskan sengketa tersebut. Hal ini tertuang jelas
dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah oleh
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan kemudian diubah kedua
kalinya oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dan kemudian ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1


1 Data Bawaslu pertanggal 10 Februari 2021
Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang yang mengatur mengenai
kewenangan MK, yakni berwenang untuk mengadili tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk:

a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Memutus pembubaran partai politik;
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 2
Dalam suatu negara demokrasi konstitusional, fenomena seperti ini lazim terjadi
dan biasa disebut Judicialization of politics. Dimana terjadi perpindahan kewenangan
dari lembaga-lembaga politik kepada lembaga peradilan untuk menyelesaikan
permasalahan terkait dengan pembuatan kebijakan publik dan bersifat politis. Pada
hakikatnya Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan tujuan untuk menjaga konstitusi.
Tidak hanya berwenang menguji konstitusionalitas dari suatu undang-undang, MK
juga berwenang menangani masalah-masalah politik dan ketatanegaraan seperti
memutus perkara perselisihan hasil pemilu. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh
Katherine Glenn Bass dan Sujit Choudry dimana pada umumnya MK (constitutional
court) memiliki kewenangan-kewenangan lainnya yang meliputi “disputes over the
constitutions provisions often involve the most sensitive political issues facing a
country, including review of the country electoral laws and election, the powers of the
various branches of government and other questions”. 3

Sejauh ini perkara perselisihan hasil pemilu adalah perkara yang sering
dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi. Sebagai lembaga peradilan yang
independen dan imparsial mestinya Mahkamah Konstitusi membatasi diri dalam
mengadili perkara-perkara yang bersifat politis seperti sengketa (perselisihan) hasil
pemilu agar tidak menjadi objek politisasi dari cabang kekuasaan lainnya. Mengingat
fenomena judicialization of politics dinilai sebagai suatu kelaziman serta tidak dapat
dihindari oleh Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, penting bagi Mahkamah Konstitusi


2 Titus Sutio Fanpula, “Penjelasan pasal 24C UUD 1945,”Limc4u.com, 22 Desember 2021, diakses
20 Januari 2021, https://www.limc4u.com/blog/penjelasan-pasal-24c-uud-1945/#
3 Abdurrachman Satrio, “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan Hasil Pemilu

Sebagai Bentuk Judicialization of Politics”, Jurnal Konstitusi 12, no. 1(2015): 119
untuk mengedepankan prinsip pembatasan diri (judicial restraint) dalam memutus
perkara perselisihan hasil pemilu guna mencegah Mahkamah Konstitusi menjadi
objek politisasi. Dari persoalan tersebut, dirasa perlu adanya lembaga peradilan
khusus untuk menggantikan Mahkamah Konstitusi. Badan Pengawas Pemilihan
Umum selaku lembaga independen yang memiliki kewenangan sebagai pengawas
penyelenggaraan pemilu dapat dijadikan lembaga peradilan khusus untuk menangani
sengketa pemilu. Hal ini seperti yang telah dilakukan oleh Negara Brazil dan Thailand
yang menggunakan Superior Electoral Court untuk menyelesaikan sengketa pemilu.

Pembahasan
A. Judicialization of Politics dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK)
1. Mahkamah Konstitusi sebagai Peradilan Politik
Judicialization of Politics merupakan suatu fenomena dimana
kewenangan MK memutus perkara perselisihan hasil pemilu di Indonesia. Hal
ini berkaitan dengan tujuan dibentuknya MK yang ketika itu kental dengan
muatan politis. Pembentukan MK memasukkan unsur konfigurasi politik yang
ada pada saat Indonesia beralih dari pemerintahan yang otoriter menjadi era
reformasi. 4 Tom Ginsburg mengemukakan bahwa pembentukan Mahkamah
Konstitusi sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang ada. Apabila dalam
lingkungan politik terdapat banyak partai yang saling bersaing untuk
mendapatkan kekuasaan, tentu akan membuat semakin kuatnya peran
pengadilan yang akan dibentuk. Sebaliknya apabila terdapat satu partai politik
yang kuat dan menguasai mayoritas lingkungan politik, maka peran
pengadilan akan semakin lemah. 5 Maka dari itu, terdapatnya banyak partai
dan tidak adanya kekuatan politik yang dominan pada masa pembentukan
MK, meniscayakan MK memiliki peran yang kuat dalam memutus masalah-
masalah politik. Hal itu tercermin dengan begitu banyaknya perkara
perselisihan hasil pemilu di Indonesia yang diputus oleh MK.
2. Kewenangan MK dalam Sengketa Pemilu sebagai Objek Politisasi
Mahkamah Konstitusi dalam kewenangannya memutus perkara


4 Ibid., h. 126-127
5 Tom Ginsburg, Constitutional Courts in New Democracies: Understanding Variation in East

Asia,Global Jurist Advance, Vol. 2, Issue 1, 2002, h. 17.


perselisihan hasil pemilu merupakan bentuk daripada Judicialization of
Politics. Hal ini memungkinkan MK menjadi objek politisasi cabang kekuasaan
lainnya, sebab pemilu sendiri merupakan mekanisme bagi para pesertanya
untuk dapat duduk di cabang kekuasaan baik legislatif maupun eksekutif.
Kemungkinan tersebut lahir akibat dari banyaknya perkara perselisihan hasil
pemilu yang dimohonkan kepada MK bahkan membuat MK kerepotan dalam
menanganinya. Puncaknya pada tahun 2018 ketika mantan Ketua MK Akil
Mochtar ditangkap karena menerima suap ketika menangani sengketa
Pilkada yang mengakibatkan tereduksinya kepercayaan rakyat kepada MK.
Oleh karena itu, melalui Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 dihapus
kewenangan MK dalam memutus sengketa Pilkada. Dari contoh kasus di atas
menunjukkan bahwasanya kewenangan MK memutus perselisihan hasil
Pilkada memungkinkan MK menjadi objek politisasi dari peserta Pilkada.
Meskipun MK sudah tidak lagi berwenang memutus perselisihan hasil Pilkada,
akan tetapi perselisihan hasil pemilu legislatif dan eksekutif MK masih
berwenang untuk menanganinya.

3. Prinsip Judicial Restraint bagi Mahkamah Konstitusi


Alexander Hamilton mengemukakan “the judiciary, from the nature of its
function, will always be the least dangerous to the political rights of the
constitution.” atau dengan kata lain pengadilan merupakan cabang kekuasaan
terlemah dibanding dengan eksekutif dan legislatif. 6 Oleh karena itu sebagai
cabang kekuasaan terlemah pengadilan harus membatasi diri dari perkara-
perkara yang bersifat politis agar tidak menjadi objek politisasi cabang
kekuasaan lainnya. Adanya fenomena judicialization of politics yang lazim
dalam sebuah negara demokratis membuat pengadilan terlibat dalam
menyelesaikan persoalan politik. Dari sini pengadilan akan sangat rentan
menjadi objek politisasi cabang kekuasaan lainnya. Di samping itu, fenomena
judicialization of politics juga dapat menjadi sebuah ancaman bagi demokrasi.
Hal ini disebabkan oleh ikut sertanya pengadilan dalam memutus perkara
politik bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi mengingat pengadilan
adalah lembaga yang tidak representatif. Oleh karena itu, dalam memutus
perkara-perkara yang bersifat politis pengadilan harus berpegang teguh pada


6 Alexander Hamilton, Federalist Essay, No. 78, 1788
prinsip judicial restraint (pembatasan diri). Keengganan atau
ketidakmampuan pengadilan untuk menghormati prinsip pembatasan diri
(judicial restraint) dapat menciptakan stigma masyarakat bahwa pengadilan
sebagai partisan lainnya dari pemerintah, akan menghilangkan citra
pengadilan sebagai cabang kekuasaan yang imparsial, bahkan mereduksi
kepercayaan rakyat pada pengadilan itu sendiri.

B. Bawaslu sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Pemilu


Berdasarkan persoalan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dengan
ini dirasa perlu adanya lembaga peradilan pemilu yang dibentuk khusus untuk
menangani sengketa pemilu. Kita dapat mengambil contoh dari negara Brazil
yang menerapkan peradilan khusus. Sistem penanganan sengketa pemilu di
Brazil termasuk dalam sistem yang efektif di dunia. Hal ini dilihat dari ketentuan
yang diatur secara tegas, baik dalam konstitusi maupun undang-undang
pemilunya. Lembaga tersebut bernama Superior Electoral Court (SEC). Sebagai
Lembaga tertinggi dalam pengadilan pemilu Brazil, kewenangannya berupa:

1. Pengesahan pendaftaran partai politik serta calon presiden dan wakil


presiden;
2. Menangani konflik yurisdiksi antara pengadilan pemilu daerah;
3. Menangani perselisihan hasil akhir pemilu;
4. Menerima pengajuan banding dari pengadilan pemilihan daerah;
5. Mengesahkan pembagian negara menjadi daerah-daerah pemilihan;
6. Menjawab pertanyaan dari partai politik yang berkaitan dengan masalah
masalah pemilu;
7. Mengesahkan perhitungan suara; serta
8. Mengambil tindakan-tindakan lainnya yang dianggap perlu untuk
melaksanakan Undang-Undang Pemilu. 7
Dewasa ini, terdapat usulan untuk memberikan kewenangan Bawaslu
menjadi lembaga yang mengadili sengketa hasil Pilkada maupun Pemilu.
Mengingat peran Bawaslu sebagai Lembaga quasi judicial serta dapat
dikembangkan menjadi election court. Ruslan Husein pada tahun 2018
menyatakan dalam artikelnya yang berjudul Transformasi Bawaslu Menjadi


7Bisariyadi et al., “Komparasi Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu Di Beberapa Negara
Penganut Paham Demokrasi Konstitusional,” Jurnal Konstitusi 9, no. 3 (2012): 531
Peradilan Khusus berpandangan bahwa tugas Bawaslu sebagai peradilan
khusus, yaitu:

1. Badan Peradilan Khusus Pemilu yang berada di bawah Mahkamah Agung;


2. Badan Peradilan Khusus Pemilu sebagai Badan Otonom; dan
3. Peradilan Khusus Pemilu yang bersifat semi peradilan. 8
Lembaga peradilan khusus mesti sesuai dengan penerapan hukum di
Indonesia untuk mengganti MK sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa
Pemilu, sebagaimana Negara Brazil yang menggunakan Superior Electoral Court.
Untuk kedepannya, Bawaslu dapat dibentuk sebagai lembaga peradilan yang
menggantikan MK dalam menyelesaikan sengketa Pemilu.

Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan MK
dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara-perkara politik dan ketatanegaraan yang
salah satunya adalah mengenai perselisihan hasil pemilu sebagaimana tercantum
dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, dengan begitu diharapkan terkait permasalahan
pemilu dapat diselesaikan secara hukum sesuai dengan prinsip-prinsip yang terdapat
dalam konstitusi. Perlu diingat bahwa kewenangan MK dalam memutus perselisihan
hasil pemilu merupakan suatu bentuk judicialization of politics dan mesti dijaga
kestabilannya dengan prinsip pembatasan diri (judicial restraint) sebab MK sebagai
lembaga peradilan berkewajiban menjaga kedudukannya agar tidak menjadi objek
politisasi dari cabang kekuasaan lainnya. Kemudian daripada itu, apabila MK terlalu
aktif dalam memutus perkara perselisihan hasil pemilu secara tidak langsung hal itu
dapat mengarah kepada juristokrasi yang dapat mencederai nilai-nilai demokrasi.

Adapun solusi yang kami tawarkan, Bawaslu sebagai lembaga independen yang
berwenang sebagai pengawas pemilu dapat dijadikan lembaga peradilan khusus
untuk menangani sengketa pemilu. Kita bisa mengambil contoh dari Negara Brazil
yang menerapkan peradilan khusus dimana sistem penanganan sengketa pemilunya
termasuk sistem yang paling efektif di dunia. Hal ini terlihat melalui ketentuan-
ketentuan yang diatur secara tegas, baik dalam Konstitusi dan Undang-Undang
Pemilunya. Oleh sebab itu, untuk kedepannya Indonesia dapat mengambil contoh dari

8Ruslan Husen, “Transformasi Bawaslu Menjadi Peradilan Khusus Pemilu,” Jurnal Adhyaksa Pemilu
4, no. 1 (2018): 5
Negara Brazil dengan menambah kewenangan Bawaslu sebagai lembaga
penyelesaian sengketa yang ideal.

Daftar Pustaka
Alexander Hamilton, Federalist Essay, No. 78, 1788
Bisariyadi, Anna Triningsih, Meyrinda Rahmawaty H., and Alia Harumdani W.
“Komparasi Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu Di Beberapa Negara
Penganut Paham Demokrasi Konstitusional.” Jurnal Konstitusi 9, no. 3 (2012).
Fanpula,Titus Sutio “Penjelasan pasal 24C UUD 1945,” Limc4u.com, 22 Desember
2021, diakses 20 Januari 2021, https://www.limc4u.com/blog/penjelasan-pasal-
24c-uud-1945/#
Ginsburg, Tom. “Constitutional Courts in New Democracies: Understanding Variation
in East Asia,”Global Jurist Advance, Vol. 2, Issue 1 (2002).
Husen, Ruslan. “Transformasi Bawaslu Menjadi Peradilan Khusus Pemilu,” Jurnal
Adhyaksa Pemilu 4, no. 1 (2018)
Satrio, Abdurrachman. “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan
Hasil Pemilu Sebagai Bentuk Judicialization of Politics,” Jurnal Konstitusi 12, no.
1 (2015).

You might also like