Professional Documents
Culture Documents
PEMILU DI INDONESIA
Abstract:
This article discusses the limitation of Bawaslu's authority in handling election
violations after the determination of the results of the national voteIn disputes
over the election process, Bawaslu has the duty and authority to prevent and
take action as regulated in Law Number 7 of 2017 concerning the Implementation
of General Elections. This applies as long as it is still in the context of a disputed
election process. Until now, the dispute over the election results is still being
resolved by the Constitutional Court.
Abstrak:
Artikel ini membahas tentang pembatasan kewenangan Bawaslu dalam
penanganan pelanggaran pemilu pasca penetapan hasil perolehan suara secara
nasional. Dalam sengketa proses pemilu, Bawaslu bertugas dan berwenang
melakukan pencegahan dan penindakan sebagaimana diatur dalam UU Nomor
7 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Hal ini berlaku
selama masih dalam konteks sengketa proses pemilu. Sampai saat ini, sengketa
hasil pemilu masih diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi.
Pendahuluan
Pemilu sebagai suatu bentuk mekanisme demokrasi yang didesain untuk
mentransformasikan sifat konflik dalam masyarakat menjadi ajang politik. Pemilu
merupakan perwujudan kedaulatan rakyat guna menciptakan pemerintahan negara
yang demokratis berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini
tertuang jelas dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Kemudian, pada Pasal
22E Ayat (1) UUD 1945 menggariskan enam kriteria pemilu demokratis, yaitu
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sebagai negara yang sedang
membangun peradaban politik sehat terutama dalam pelaksanaan pemilu, suatu
kewajiban untuk menghadirkan pengawasan yang struktural dan fungsional.
1 Data Bawaslu pertanggal 10 Februari 2021
Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang yang mengatur mengenai
kewenangan MK, yakni berwenang untuk mengadili tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk:
Sejauh ini perkara perselisihan hasil pemilu adalah perkara yang sering
dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi. Sebagai lembaga peradilan yang
independen dan imparsial mestinya Mahkamah Konstitusi membatasi diri dalam
mengadili perkara-perkara yang bersifat politis seperti sengketa (perselisihan) hasil
pemilu agar tidak menjadi objek politisasi dari cabang kekuasaan lainnya. Mengingat
fenomena judicialization of politics dinilai sebagai suatu kelaziman serta tidak dapat
dihindari oleh Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, penting bagi Mahkamah Konstitusi
2 Titus Sutio Fanpula, “Penjelasan pasal 24C UUD 1945,”Limc4u.com, 22 Desember 2021, diakses
20 Januari 2021, https://www.limc4u.com/blog/penjelasan-pasal-24c-uud-1945/#
3 Abdurrachman Satrio, “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan Hasil Pemilu
Sebagai Bentuk Judicialization of Politics”, Jurnal Konstitusi 12, no. 1(2015): 119
untuk mengedepankan prinsip pembatasan diri (judicial restraint) dalam memutus
perkara perselisihan hasil pemilu guna mencegah Mahkamah Konstitusi menjadi
objek politisasi. Dari persoalan tersebut, dirasa perlu adanya lembaga peradilan
khusus untuk menggantikan Mahkamah Konstitusi. Badan Pengawas Pemilihan
Umum selaku lembaga independen yang memiliki kewenangan sebagai pengawas
penyelenggaraan pemilu dapat dijadikan lembaga peradilan khusus untuk menangani
sengketa pemilu. Hal ini seperti yang telah dilakukan oleh Negara Brazil dan Thailand
yang menggunakan Superior Electoral Court untuk menyelesaikan sengketa pemilu.
Pembahasan
A. Judicialization of Politics dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK)
1. Mahkamah Konstitusi sebagai Peradilan Politik
Judicialization of Politics merupakan suatu fenomena dimana
kewenangan MK memutus perkara perselisihan hasil pemilu di Indonesia. Hal
ini berkaitan dengan tujuan dibentuknya MK yang ketika itu kental dengan
muatan politis. Pembentukan MK memasukkan unsur konfigurasi politik yang
ada pada saat Indonesia beralih dari pemerintahan yang otoriter menjadi era
reformasi. 4 Tom Ginsburg mengemukakan bahwa pembentukan Mahkamah
Konstitusi sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang ada. Apabila dalam
lingkungan politik terdapat banyak partai yang saling bersaing untuk
mendapatkan kekuasaan, tentu akan membuat semakin kuatnya peran
pengadilan yang akan dibentuk. Sebaliknya apabila terdapat satu partai politik
yang kuat dan menguasai mayoritas lingkungan politik, maka peran
pengadilan akan semakin lemah. 5 Maka dari itu, terdapatnya banyak partai
dan tidak adanya kekuatan politik yang dominan pada masa pembentukan
MK, meniscayakan MK memiliki peran yang kuat dalam memutus masalah-
masalah politik. Hal itu tercermin dengan begitu banyaknya perkara
perselisihan hasil pemilu di Indonesia yang diputus oleh MK.
2. Kewenangan MK dalam Sengketa Pemilu sebagai Objek Politisasi
Mahkamah Konstitusi dalam kewenangannya memutus perkara
4 Ibid., h. 126-127
5 Tom Ginsburg, Constitutional Courts in New Democracies: Understanding Variation in East
6 Alexander Hamilton, Federalist Essay, No. 78, 1788
prinsip judicial restraint (pembatasan diri). Keengganan atau
ketidakmampuan pengadilan untuk menghormati prinsip pembatasan diri
(judicial restraint) dapat menciptakan stigma masyarakat bahwa pengadilan
sebagai partisan lainnya dari pemerintah, akan menghilangkan citra
pengadilan sebagai cabang kekuasaan yang imparsial, bahkan mereduksi
kepercayaan rakyat pada pengadilan itu sendiri.
7Bisariyadi et al., “Komparasi Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu Di Beberapa Negara
Penganut Paham Demokrasi Konstitusional,” Jurnal Konstitusi 9, no. 3 (2012): 531
Peradilan Khusus berpandangan bahwa tugas Bawaslu sebagai peradilan
khusus, yaitu:
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa keberadaan MK
dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara-perkara politik dan ketatanegaraan yang
salah satunya adalah mengenai perselisihan hasil pemilu sebagaimana tercantum
dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, dengan begitu diharapkan terkait permasalahan
pemilu dapat diselesaikan secara hukum sesuai dengan prinsip-prinsip yang terdapat
dalam konstitusi. Perlu diingat bahwa kewenangan MK dalam memutus perselisihan
hasil pemilu merupakan suatu bentuk judicialization of politics dan mesti dijaga
kestabilannya dengan prinsip pembatasan diri (judicial restraint) sebab MK sebagai
lembaga peradilan berkewajiban menjaga kedudukannya agar tidak menjadi objek
politisasi dari cabang kekuasaan lainnya. Kemudian daripada itu, apabila MK terlalu
aktif dalam memutus perkara perselisihan hasil pemilu secara tidak langsung hal itu
dapat mengarah kepada juristokrasi yang dapat mencederai nilai-nilai demokrasi.
Adapun solusi yang kami tawarkan, Bawaslu sebagai lembaga independen yang
berwenang sebagai pengawas pemilu dapat dijadikan lembaga peradilan khusus
untuk menangani sengketa pemilu. Kita bisa mengambil contoh dari Negara Brazil
yang menerapkan peradilan khusus dimana sistem penanganan sengketa pemilunya
termasuk sistem yang paling efektif di dunia. Hal ini terlihat melalui ketentuan-
ketentuan yang diatur secara tegas, baik dalam Konstitusi dan Undang-Undang
Pemilunya. Oleh sebab itu, untuk kedepannya Indonesia dapat mengambil contoh dari
8Ruslan Husen, “Transformasi Bawaslu Menjadi Peradilan Khusus Pemilu,” Jurnal Adhyaksa Pemilu
4, no. 1 (2018): 5
Negara Brazil dengan menambah kewenangan Bawaslu sebagai lembaga
penyelesaian sengketa yang ideal.
Daftar Pustaka
Alexander Hamilton, Federalist Essay, No. 78, 1788
Bisariyadi, Anna Triningsih, Meyrinda Rahmawaty H., and Alia Harumdani W.
“Komparasi Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu Di Beberapa Negara
Penganut Paham Demokrasi Konstitusional.” Jurnal Konstitusi 9, no. 3 (2012).
Fanpula,Titus Sutio “Penjelasan pasal 24C UUD 1945,” Limc4u.com, 22 Desember
2021, diakses 20 Januari 2021, https://www.limc4u.com/blog/penjelasan-pasal-
24c-uud-1945/#
Ginsburg, Tom. “Constitutional Courts in New Democracies: Understanding Variation
in East Asia,”Global Jurist Advance, Vol. 2, Issue 1 (2002).
Husen, Ruslan. “Transformasi Bawaslu Menjadi Peradilan Khusus Pemilu,” Jurnal
Adhyaksa Pemilu 4, no. 1 (2018)
Satrio, Abdurrachman. “Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan
Hasil Pemilu Sebagai Bentuk Judicialization of Politics,” Jurnal Konstitusi 12, no.
1 (2015).