You are on page 1of 24

MEWUJUDKAN KEPASTIAN HUKUM DALAM PENYELESAIAN

PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH DAN


MENGHENTIKAN PRAKTEK HUKUM LIBERAL

Novianto M. Hantoro
P3DI Bidang Hukum, Gedung Nusantara I Lantai 2, Setjen DPR RI
Jl. Jend. Gatot Subroto, Jakarta Pusat 10270
email: nmhantoro@yahoo.com

Naskah diterima: 24 Agustus 2015


Naskah direvisi: 19 Oktober 2015
Naskah diterbitkan: 23 November 2015

Abstract
One crucial issue in the discussion of the Law on Election of Governor, Regent, and Mayor is which court
should be authorized to decide disputes against the results of the vote count. Both, Supreme Court (MA) and
Constitutional Court (MK), are ever exercise these powers, but in practice many problems occured, such as
uncertainty of the law and rise of liberal law practice. This paper does not analyze the institutional problems, but
how to realize the certainty of law and stop the practice of liberal laws. As a framework, put forward the three
objectives of the law, namely certainty, fairness, and usefulness. In case of tension of these three objectives, there
needs to be a priority. The next frame is the phenomenon of liberal law based on Satjipto Rahardjo’s thought,
which is law became a game and business. The next framework is a dispute over the results of vote counting.
By paying attention to court decisions over the years, then to obtain legal certainty, it should be strict restriction
that the object of the dispute is the result of the vote counting, not the election process. Implementation of these
restrictions must be adhered to by the contestans, lawyers, and judges. This restriction also needs to be balanced
with the improvement of the electoral process as democratic as possible and all the problems thoroughly at
every stage. With such arrangement, certainty of law will be achieved and the rise of liberal law practice will be
discontinued. The court process becomes more simple, effective, and inexpensive.
Keywords: dispute, election result, certainty of the law, liberal law.

Abstrak
Salah satu persoalan krusial dalam pembahasan Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota, yaitu lembaga yang berwenang memutus perselisihan terhadap hasil penghitungan
suara. Selama ini Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) pernah melaksanakan
kewenangan tersebut, namun pada prakteknya banyak terjadi permasalahan yang berujung pada
ketidakpastian hukum dan maraknya praktek hukum liberal. Tulisan ini tidak menganalisis
masalah kelembagaan, namun bagaimana mewujudkan kepastian hukum dan menghentikan
praktek hukum liberal dalam penyelesaian perselisihan hasil penghitungan suara. Sebagai kerangka
pemikiran dikemukakan adanya tiga tujuan hukum, yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan,
yang apabila terjadi ketegangan perlu ada prioritas. Kerangka berpikir berikutnya adanya fenomena
hukum liberal berdasarkan pemikiran Satjipto Rahardjo yang menyatakan hukum menjadi
permainan dan bisnis. Kerangka pemikiran berikutnya mengenai perselisihan hasil penghitungan
suara. Dengan memperhatikan putusan-putusan pengadilan selama ini, maka untuk mendapatkan
kepastian hukum perlu ada pembatasan tegas bahwa objek perselisihan adalah hasil penghitungan
suara bukan proses pemilihan. Implementasi pembatasan ini harus ditaati oleh peserta, advokat,
dan hakim. Pembatasan ini juga perlu diimbangi dengan perbaikan proses pemilihan sedemokratis
mungkin dan semua permasalahan hukum tuntas di setiap tahapan. Dengan penataan seperti
itu, kepastian hukum akan tercapai dan maraknya praktek hukum liberal akan dapat dihentikan.
Proses pengadilan menjadi lebih sederhana, efektif, dan murah.
Kata kunci: perselisihan, hasil pemilihan, kepastian hukum, hukum liberal.

NOVIANTO M. HANTORO: Mewujudkan Kepastian Hukum... 107


I. PENDAHULUAN perselisihan hasil penghitungan suara Pilkada.
A. Latar Belakang Perubahan tersebut didasarkan pada undang-
Adanya perkara perselisihan terhadap hasil undang dan putusan MK. Secara kronologis
pemilihan kepala daerah (Pilkada) bermula diawali dari UU No. 32 Tahun 2004 yang
ketika Undang-Undang Nomor 32 Tahun mengatur bahwa keberatan terhadap penetapan
2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU hasil Pilkada diajukan oleh pasangan calon
No. 32 Tahun 2004) mengatur Pilkada secara kepada MA. Selanjutnya terdapat Putusan
langsung oleh rakyat. Dalam proses Pilkada, MK terhadap perkara Nomor 072-073/PUU-
terdapat kemungkinan adanya keberatan dari II/2004 tentang pengujian UU No. 32 Tahun
salah satu peserta terhadap penetapan hasil 2004 terhadap Undang-Undang Dasar Negara
penghitungan suara oleh penyelenggara yang Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
berujung pada penetapan pasangan calon Putusan MK ini sebenarnya tidak memutuskan
terpilih. Keberatan kemudian difasilitasi oleh bahwa MK berwenang menyelesaikan
undang-undang dengan memperkenankan perselisihan hasil Pilkada. MK memutuskan
pihak yang berkeberatan mengajukannya ke masalah independensi penyelenggara Pilkada
pengadilan1. Pengajuan keberatan terhadap yang tidak seharusnya bertanggungjawab
hasil penghitungan suara untuk Pilkada kepada DPRD. Di dalam pertimbangan
provinsi diajukan ke Mahkamah Agung putusan tersebut dibuka peluang penyelesaian
(MA), sedangkan untuk Pilkada kabupaten/ perselisihan diajukan ke MK, sebagaimana
kota didelegasikan oleh MA ke pengadilan dinyatakan:
tinggi. Pilkada yang merupakan kegiatan “Mahkamah berpendapat bahwa secara
politik sebagai pelaksanaan demokrasi tersebut konstitusional, pembuat undang-undang dapat
kemudian merambah ke ranah hukum dengan saja memastikan bahwa Pilkada langsung
wujud perselisihan terhadap hasil penghitungan itu merupakan perluasan pengertian Pemilu
suara. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD
1945 sehingga karena itu, perselisihan mengenai
Pengaturan penyelesaian perselisihan
hasilnya menjadi bagian dari kewenangan
terhadap hasil dari pemilihan pejabat publik
Mahkamah Konstitusi dengan ketentuan Pasal
secara langsung oleh rakyat telah diatur 24C ayat (1) UUD 1945. Namun pembentuk
sebelumnya dalam konteks pemilihan umum undang-undang juga dapat menentukan bahwa
(Pemilu) untuk memilih presiden dan wakil Pilkada langsung itu bukan Pemilu dalam arti
presiden, serta anggota DPR, DPD, dan DPRD. formal yang disebut dalam Pasal 22E UUD 1945
Kewenangan memutus perselisihan terhadap sehingga perselisihan hasilnya ditentukan sebagai
hasil Pemilu tersebut diserahkan kepada tambahan kewenangan Mahkamah Agung…”2
Mahkamah Konstitusi (MK), sebuah lembaga
Melalui putusan MK ini dapat dikatakan
pemegang kekuasaan kehakiman baru yang
pengaturan mengenai lembaga yang memutus
dibentuk berdasarkan perubahan UUD 1945.
perselisihan hasil Pilkada merupakan open legal
Penyelesaian perselisihan terhadap hasil Pemilu
policy dari pembentuk undang-undang.
dan hasil Pilkada dapat dikatakan memiliki
Dengan mempertimbangkan putusan
karakteristik yang sama, yaitu memutus
MK tersebut, pembentuk undang-undang
perselisihan antara peserta pemilihan dengan
menindaklanjuti dengan membentuk UU No. 22
penyelenggara pemilihan terhadap penetapan
Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu (UU
hasil penghitungan suara.
No. 22 Tahun 2007). UU No. 22 Tahun 2007
Sejak tahun 2004 sampai dengan sekarang
memasukkan Pilkada ke dalam rezim Pemilu
ini, terjadi beberapa kali perubahan terkait
dengan menyebutkan bahwa Pemilu kepala
dengan lembaga yang berwenang memutus
daerah dan wakil kepala daerah adalah Pemilu
1
Pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang 2
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-
Pemerintahan Daerah.
II/2004, tanggal 22 Maret 2005 hal. 115 angka 6.

108 NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 2, November 2015


untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala undang-undang Pemerintahan Daerah, namun
daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan substansi UU No. 22 tahun 2014 mengubah
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Pilkada langsung oleh rakyat menjadi Pilkada
UUD 1945.3 Tindak lanjut berikutnya dibentuk oleh DPRD. UU No. 22 tahun 2014 tidak
Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang berumur lama karena kemudian dicabut melalui
Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
No. 12 tahun 2008). Politik hukum pada saat Gubernur, Bupati, dan Walikota (Perppu No.
pembentukan undang-undang ini mengalihkan 1 Tahun 2014) yang mengatur Pilkada kembali
kewenangan memutus perselisihan hasil Pilkada dilaksanakan secara langsung oleh rakyat. Di
dari MA ke MK. Di dalam ketentuan peralihan dalam Perpu No. 1 Tahun 2014 disebutkan
disebutkan bahwa penanganan sengketa hasil bahwa penyelesaian sengketa hasil pemilihan
penghitungan suara pemilihan kepala daerah ditangani oleh hakim adhoc di Pengadilan
dan wakil kepala daerah oleh MA dialihkan Tinggi yang ditetapkan oleh MA.6
kepada MK paling lama 18 (delapan belas) Perppu No. 1 Tahun 2014 disetujui oleh DPR
bulan sejak undang-undang ini diundangkan.4 melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 2015.
Lembaga yang menangani penyelesaian Namun tidak berapa lama, UU No. 1 Tahun
sengketa hasil Pilkada kembali berubah setelah 2015 diubah dengan UU No. 8 Tahun 2015
adanya Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun
tentang Pengujian UU No. 12 Tahun 2008 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap UUD 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
1945. Putusan MK menyatakan ketentuan Walikota menjadi Undang-Undang (UU No.
peralihan Pasal 263C UU No. 12 Tahun 2008 8 Tahun 2015). Berdasarkan UU No. 8 Tahun
bertentangan dengan UUD 1945 sehingga 2015, perkara perselisihan hasil Pilkada diperiksa
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum dan diadili oleh badan peradilan khusus. Badan
mengikat. Salah satu dasar pertimbangan MK peradilan khusus tersebut dibentuk sebelum
karena kewenangan MK telah diatur secara pelaksanaan pemilihan serentak nasional tahun
limitatif dalam UUD 1945. Meskipun pasal 2027. Perkara perselisihan penetapan perolehan
tersebut telah dibatalkan, namun putusan MK suara hasil Pilkada diperiksa dan diadili oleh MK
juga menyatakan bahwa MK masih berwenang sampai dibentuknya badan peradilan khusus.7
mengadili perselisihan hasil Pilkada selama Berdasarkan praktek penyelesaian
belum ada undang-undang yang mengatur perselisihan maupun putusannya, baik di MA
mengenai hal tersebut.5 maupun di MK, terdapat beberapa fakta,
Ketentuan mengenai pemilihan kepala sebagai berikut:
daerah berubah dengan ditetapkannya 1. Banyak peserta mengajukan gugatan
Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 tentang perselisihan hasil Pilkada;
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pada tahun 2005 atau sejak adanya
No. 22 Tahun 2014). Melalui undang-undang ketentuan mengenai penyelesaian perselisihan
ini, pengaturan mengenai Pilkada menjadi hasil Pilkada, menurut Ketua MA pada saat
satu undang-undang sendiri terpisah dari itu, Bagir Manan, MA telah menyelesaikan
74 perkara pada tingkat kasasi dan 24 perkara
3
Pasal 1 angka 4 UU No. 22 Tahun 2007 tentang
tingkat peninjauan kembali [sic!]. Dari
Penyelenggara Pemilihan Umum.
4
Pasal 263C UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan 6
Pasal 159 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti
Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Daerah.
Gubernur, Bupati, dan Walikota.
5
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XI/2013, 7
Pasal 157 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 201
tanggal 6 Maret 2014, halaman 63.
ayat (7) UU No. 8 Tahun 2015.

NOVIANTO M. HANTORO: Mewujudkan Kepastian Hukum... 109


sejumlah perkara tersebut, hanya 4 perkara yang Sulawesi Selatan. Selain itu, juga terdapat
dikabulkan.8 Bagir Manan juga menyampaikan putusan yang memerintahkan pemilihan ulang.
karakteristik perkara sengketa Pilkada yang Pada saat pengalihan kewenangan dari
masuk ke MA, yaitu para pihak yang menggugat MA ke MK, penyelesaian perkara perselisihan
seringkali tidak rasional, karena perbedaan hasil Pemilukada di MK juga memiliki
suara mencapai 40%.9 beberapa catatan, antara lain: MK tidak hanya
Data lain menyebutkan bahwa memutus perkara mengenai hasil melainkan
penyelenggaraan Pilkada langsung sejak bulan juga memutus apakah terdapat pelanggaran
Juni 2005 sampai dengan bulan Juni 2007 telah yang masif, terstruktur dan sistematis. Pada
terselenggara di sebanyak 303 daerah, yang Pilkada Kotawaringin Barat, pihak yang
terdiri dari; Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur: menang, berdasarkan penetapan KPU, oleh
15 Provinsi; Pilkada Bupati/Wakil Bupati: MK dinyatakan kalah dan MK sendiri langsung
242 Kabupaten; dan Pilkada Walikota/Wakil menetapkan siapa yang menjadi pemenang.
Walikota: 46 kota. Pada pelaksanaan Pilkada 3. Peserta menggunakan beberapa jalur
tersebut terdapat 169 kasus hasil Pilkada yang pengadilan
digugat di pengadilan, yang terdiri dari hasil Peserta Pilkada yang mengajukan gugatan
Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur sebanyak 7 perselisihan hasil kadang tidak berhenti pada
kasus, Pilkada Bupati/Wakil Bupati sebanyak satu pengadilan, namun juga mengajukan
132 kasus dan Pilkada Walikota/Wakil Walikota perkara ke pengadilan lain atau dengan kasus lain
sebanyak 21 kasus. Gugatan hasil Pilkada di dengan tujuan yang sama, yaitu membatalkan
MA dan Pengadilan Tinggi pada umumnya kemenangan yang telah ditetapkan oleh
ditolak/tidak diterima. Dari 169 kasus gugatan penyelenggara.
terhadap hasil Pilkada, hanya 2 (dua) gugatan Fakta-fakta tersebut menunjukkan adanya
yang diterima/dikabulkan oleh Pengadilan ketidakpastian hukum, paling tidak karena
Tinggi, yaitu gugatan terhadap penetapan pengangkatan pasangan calon terpilih seringkali
hasil Pilkada Kota Depok dan hasil Pilkada harus tertunda karena adanya gugatan
Kabupaten Mappi Provinsi Papua.10 perselisihan yang berlarut-larut.
Setelah peralihan kewenangan dari MA ke Putusan MK yang membatalkan
MK, perkara perselisihan hasil Pemilihan Umum kewenangannya memutus perkara perselisihan
Kepala Daerah (pada saat di kewenangan Pilkada menjadikan pembentuk undang-
di MK, disebut sebagai Pemilukada) dapat undang harus menetapkan lembaga yang
digambarkan di dalam tabel 1: mengadili perselisihan hasil Pilkada berikutnya.
2. Putusan pengadilan tidak benar-benar final Setelah berkonsultasi dengan MA, walaupun
dan mengikat; tidak secara eksplisit menolak, namun terlihat
Pada penerapan UU No. 32 tahun 2004, adanya keberatan MA menerima kewenangan
tidak ada ketentuan bahwa putusan perselisihan ini. Akhirnya pembentuk undang-undang
hasil Pilkada dapat diajukan Peninjauan menyepakati jalan keluar dengan membuat
Kembali (PK), namun terdapat perkara PK pada ketentuan akan dibentuk badan peradilan
kasus Pilkada Kota Depok dan Pilkada Provinsi khusus. Konstruksi badan peradilan khusus
ini tidak terbahas secara komprehensif di
8
“MA Resmi Limpahkan Sengketa Hasil Pilkada ke MK”, dalam pembahasan. Selama badan tersebut
http://www.pt-bandung.go.id/berita/ma-resmi-limpahkan-
sengketa-hasil-pilkada-ke-mk diakses tanggal 5 Agustus
belum terbentuk, kewenangan penyelesaian
2015. perselisihan hasil Pilkada masih tetap akan
9
Ibid. dilaksanakan oleh MK.
10
Topo Santoso, et al., Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Persoalan penyelesaian perselisihan
Peran Lembaga Peradilan dalam Sengketa Pilkada (UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah), Jakarta:
hasil Pilkada jika diurai, bukan terletak
BPHN, 2008, hal.39-40. pada lembaga yang menangani, melainkan

110 NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 2, November 2015


Tabel 1. Rekapitulasi Perkara Perselisihan Hasil Pemilukada
Dalam Proses Jumlah Dalam Proses
Tahun Terima Jumlah Amar Putusan Keterangan
Yang lalu Putusan Tahun Ini
Kabul : 3
Tolak : 12
2008 0 27 27 Tidak Diterima : 3 18 9
Tarik Kembali : 0
Gugur : 0
Kabul : 1
Tolak : 10
2009 9 3 12 Tidak Diterima : 1 12 0
Tarik Kembali : 0
Gugur : 0
Kabul : 26
Tolak : 149
2010 0 230 230 Tidak Diterima : 45 224 6
Tarik Kembali : 4
Gugur : 0
Kabul : 13
Tolak : 87
2011 6 132 138 Tidak Diterima : 29 131 7
Tarik Kembali : 2
Gugur : 0
Kabul : 11
Tolak : 57
2012 7 105 112 Tidak Diterima : 27 104 8 -
Tarik Kembali : 8
Gugur : 1
Kabul : 14
Tolak : 132 (6) 12
2013 8 192 200 Tidak Diterima : 42 196 4 putusan
Tarik Kembali : 6 sela
Gugur : 2
Kabul : 0
Tolak : 9
2014 4 9 13 Tidak Diterima : 4 13 0
Tarik Kembali : 0
Gugur : 0
Kabul : 68
Tolak : 456
Jumlah 34 698 732 Tidak Diterima : 151 698 - -
Tarik Kembali : 20
Gugur : 3
Sumber: MK11

proses yang sangat tidak efektif, berlarut-


larut, rawan akan suap, dan multi penafsiran
11
“Rekapitulasi Perkara Perselisihan Pemilihan Umum dalam penerapan hukum, sehingga kepastian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”, http:// hukum sulit di dapat. Ketidakpastian hukum
www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.
RekapPHPUD diakses tanggal 6 Agustus 2015.
ini memiliki andil terhadap berkembangnya

NOVIANTO M. HANTORO: Mewujudkan Kepastian Hukum... 111


praktek hukum liberal di Indonesia. Liberal perselisihan terhadap hasil Pilkada agar lebih
dalam arti perilaku yang mengutamakan terwujud kepastian hukum sehingga dapat
kebebasan individu. Dalam konteks Pilkada, menghentikan praktek hukum liberal. Tulisan ini
setiap peserta mengedepankan hak individunya secara akademis diharapkan dapat memberikan
untuk menduduki jabatan, sehingga segala kegunaan berupa sumbangan pemikiran bagi
upaya dan semua jalur pengadilan ditempuh perkembangan ilmu pengetahuan di bidang
untuk menang dan menduduki jabatan. hukum, khususnya terkait masalah penyelesaian
Keinginan untuk berperkara di pengadilan perselisihan hasil Pilkada. Adapun kegunaan
demi kemenangan tersebut tentunya akan secara praktis diharapkan dapat memberikan
melibatkan advokat untuk dapat merumuskan sumbangan pemikiran bagi pembentukan
dalil-dalil dan argumentasinya. Persaingan peraturan perundang-undangan, khususnya
hebat antara individu yang satu dengan individu terkait masalah penyelesaian perselisihan
yang lain ini kemudian melibatkan modal yang terhadap hasil Pilkada dengan mengutamakan
besar. Dengan kekuatan modal yang besar kepastian hukum dan menghentikan praktek
semua upaya dilakukan untuk memenangkan hukum liberal.
persaingan. Selanjutnya sebagaimana
dinyatakan mantan Ketua MA, Harifin A. II. KERANGKA PEMIKIRAN
Tumpa, kadang-kadang hakim yang menangani A. Lembaga Peradilan dan Tujuan Hukum
sengketa juga terperangkap pada dalil-dalil para Lembaga peradilan biasa disebut juga
pihak sehingga mereka keluar dari kompetensi dengan lembaga yudikatif. Untuk dapat
atau kewenangan mereka.12 disebut sebagai lembaga peradilan, terdapat
beberapa unsur yang harus dipenuhi, yaitu:
B. Perumusan Masalah adanya suatu aturan hukum yang abstrak
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang mengikat secara umum yang dapat
tersebut, dapat diketahui bahwa penyelesaian diterapkan pada suatu persoalan; adanya suatu
perselisihan hasil Pilkada masih sering berubah perselisihan hukum yang konkret; adanya
dan masih mencari format yang tepat, baik sekurang-kurangnya dua pihak; dan adanya
lembaga yang menyelesaikan maupun proses aparatur peradilan yang berwenang memutus
dan objek perkaranya. Praktek penyelesaian perselisihan; serta adanya hukum formal dalam
perselisihan yang telah dilakukan selama ini rangka menerapkan hukum (rechtstoepassing)
menunjukkan bahwa aspek kepastian hukum dan menemukan hukum (rechtsvinding) “in
belum dapat terwujud dengan baik. Tanpa adanya concreto” untuk menjamin ditaatinya hukum
kepastian hukum, praktek hukum liberal akan materiil.13 Kekuasaan kehakiman dan peradilan
terus berkembang dan memberikan dampak merupakan kekuasaan untuk memeriksa dan
buruk bagi perkembangan hukum di Indonesia. mengadili serta memberikan putusan atas
Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan perkara-perkara yang diserahkan kepadanya
yang akan dianalisis dalam tulisan ini bagaimana untuk menegakkan hukum dan keadilan
mewujudkan kepastian hukum dalam penyelesaian berdasarkan perundang-undangan.
perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dan Menurut Abdul Mukhti Fajar, ciri-ciri
menghentikan praktek hukum liberal? lembaga peradilan: 1. Merupakan lembaga
independen atau lembaga yang bebas dari
C. Tujuan Penulisan kekuasaan lembaga lain baik secara fungsional
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari maupun struktural; 2. Adanya hukum yang
penulisan ini untuk menganalisis penyelesaian bersifat umum yang merupakan sumber hukum

12
“Sengketa Pilkada” http://www.otda.kemendagri.go.id/ 13
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Profil Lembaga
index.php/berita-210/1636-sengketa-pilkada36 diakses Negara, Rumpun Yudikatif, Jakarta: Sekretariat Negara
tanggal 6 Agustus 2015. Republik Indonesia, 2012, hal. 13-14.

112 NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 2, November 2015


yang akan diterapkan oleh lembaga peradilan; 3. Dalam nilai kemanfaatan, hukum berfungsi
Adanya pihak yang bersengketa yang mempunyai sebagai alat untuk memotret fenomena masyarakat
kepentingan secara langsung atas putusan yang atau realita sosial, dapat memberi manfaat atau
disengketakan yang dapat memberikan dasar bagi berdaya guna (utility) bagi masyarakat. Penganut
pemberian status untuk mengajukan gugatan aliran utilitas menganggap bahwa tujuan hukum
atau permohonan; 4. Adanya perkara konkrit semata-mata untuk memberikan kemanfaatan
yang terjadi yang diajukan untuk mendapatkan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi
putusan; 5. Keputusan lembaga mempunyai sifat sebanyak-banyaknya warga masyarakat.
eksekutorial, tanpa perlunya fiat (persetujuan Di antara ketiga nilai dasar terdapat suatu
penuh dan resmi) dari lembaga lain.14 Spannungsverhaltnis (ketegangan), karena di
Menurut Gustav Radbruch, ada tiga tujuan antara ketiga nilai dasar hukum tersebut masing-
hukum, yaitu keadilan (gerechtigkeit), kepastian masing mempunyai tuntutan yang berbeda satu
hukum (rechtsicherheit) dan kemanfaatan sama lainnya, sehingga ketiganya mempunyai
(zwechtmassigkeit).15 Tujuan hukum ini seringkali potensi untuk saling bertentangan. Sebagai
dikaitkan dengan putusan pengadilan. contoh jika mengutamakan kepastian hukum
Di dalam keadilan terdapat aspek filosofis yaitu maka sebagai nilai ia segera menggeser nilai-
norma hukum, nilai, moral, dan etika. Keadilan nilai keadilan dan kegunaan/kemanfaatan
memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi ke samping. Menurut Radbruch, jika terjadi
hukum. Keadilan menjadi landasan moral hukum ketegangan antara nilai-nilai dasar tersebut, kita
dan sekaligus tolok ukur sistem hukum positif harus menggunakan dasar atau asas prioritas.16
dan tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas
menjadi hukum. Namun di lain sisi, pemikiran B. Hukum Liberal
kritis memandang bahwa keadilan tidak lain Pemaknaan hukum yang liberal di
sebuah fatamorgana, seperti orang melihat dalam tulisan ini, bukan dimaksud sebagai
langit yang seolah-olah kelihatan, akan tetapi perkembangan hukum pada masa ketika
tidak pernah menjangkaunya, bahkan juga tidak pemerintah pasif terhadap kehidupan
pernah mendekatinya Walaupun harus diakui, masyarakat, melainkan liberal karena perilaku-
bahwa hukum tanpa keadilan akan terjadi perilaku masyarakat yang mengutamakan
kesewenang-wenangan. kebebasan individu. Konsep hukum liberal
Kepastian hukum merupakan kepastian dalam penulisan ini mengacu pada pemikiran
undang-undang atau peraturan. Segala macam Satjipto Rahardjo.
cara, metode dan lain sebagainya harus Menurut Satjipto Rahardjo, setiap muncul
berdasarkan undang-undang atau peraturan. suatu orde sosial dengan tipe hukumnya,
Di dalam kepastian hukum terdapat hukum selalu diawali dengan keambrukan orde sosial
positif dan hukum tertulis. Kepastian hukum sebelumnya. Orde sosial feodal ambruk dan
merupakan pertanyaan yang hanya bisa digantikan tipe hukum birokratik (abad ke 12)
dijawab secara normatif, bukan sosiologis. sampai akhirnya ke Rule of Law (RoL). Menurut
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika Satjipto, konstruksi dalam RoL yang dipakai dan
suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara menyebar hampir di seluruh negara di dunia ini
pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas merupakan konstruksi hukum liberal. Liberalisasi
dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan manusia dapat diamati sejak mulai abad kegelapan,
(multitafsir) dan logis dalam artian ia menjadi feodal, pertengahan, sampai ke pencerahan, dan
suatu sistem norma yang tidak berbenturan atau akhirnya orde liberal. Terdapat akselerasi untuk
menimbulkan konflik norma. membebaskan individu dari berbagai kekangan.17
16
Ibid.
14
Ibid., hal. 14-15. 17
Satjipto Rahardjo, Hukum Kita Liberal, Apa yang Dapat
15
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Kita Lakukan dalam buku Sisi-sisi lain dari Hukum di
Bakti, 2006, hal. 19. Indonesia, Jakarta: Kompas, 2003. hal. 27

NOVIANTO M. HANTORO: Mewujudkan Kepastian Hukum... 113


Laissez faire pada abad kesembilan ini menjadi wewenang Badan/Panitia Pengawas
belas merupakan habitat yang subur untuk Pemilu dan sengketa atau perselisihan hasil
berkembangnya watak hukum yang liberal- Pemilu.20 Pembagian masalah hukum, baik untuk
individual itu. Usaha tersebut dilakukan dengan Pemilu maupun Pilkada, pada dasarnya dapat
menciptakan falsafah, asas, doktrin serta dilakukan menjadi dua kategori, yaitu perkara
prinsip-prinsip hukum baru untuk memperkuat atau sengketa pada proses Pemilu sampai dengan
posisi kaum borjuis. Asas serta doktrin hukum penetapan hasil, namun bukan hanya menjadi
yang seakan diterima sebagai sesuatu yang kewenangan Badan/panitia Pengawas, melainkan
alamiah, sesungguhnya merupakan warisan juga pengadilan (pidana dan tata usaha negara)
kemenangan borjuis tersebut seperti asas serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
persamaan di hadapan hukum. Kategori kedua, perselisihan terhadap hasil
Hukum liberal merasa tugasnya sudah Pemilu/Pilkada.
berhasil membuat hukum yang non- Banyak sebutan terkait perkara hasil
diskriminatif dengan asas tersebut, padahal Pilkada. UU No. 32 Tahun 2004 menggunakan
persoalan yang sesungguhnya justru mulai dari istilah “sengketa hasil penghitungan suara”
titik itu. Pada saat hukum non-diskriminatif itu (Pasal 106 ayat (6)). Sementara UUD 1945
diterapkan dalam masyarakat, maka muncul dalam konteks kewenangan MK menyebutnya
problem keadilan yang besar, karena masyarakat “perselisihan terhadap hasil pemilihan umum”
itu sendiri terdiri dari berbagai lapisan dan (Pasal 24C).
golongan yang tidak sama baik secara sosial, Di dalam Kamus Besar Bahasa
politik maupun ekonomi, sehingga muncul Indonesia (KBBI) disebutkan sengketa/
potret-potret ketidakadilan sosial, seperti “the seng·ke·ta/ sengkéta/ n 1. sesuatu yang
have come out ahead” dan “the poor pay more”.18 menyebabkan perbedaan pendapat;
pertengkaran; perbantahan; 2. pertikaian;
C. Perselisihan terhadap Hasil Pilkada perselisihan; 3. perkara (di pengadilan).21
Masalah hukum (pelanggaran dan Sementara perselisihan, - prayudisi/
sengketa) dalam Pemilu menurut Topo Santoso per·se·li·sih·an, - prayudisi/ Huk persengketaan
secara umum dapat dibagi menjadi 6 (enam) yang harus diputus terlebih dahulu sebelum
bentuk, yang terdiri dari:19 perkara pokok dapat diadili dan diputus.
1. Pelangaran Administrasi Pemilu; Berselisih/ ber·se·li·sih/ 1. v berbeda; ada
2. Pelanggaran Pidana Pemilu; selisihnya; 2. adv berlainan pendapat;
3. Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara; bertikai; berbantah; bersengketa. Perselisihan/
4. Sengketa dalam proses Pemilu; per·se·li·sih·an/ n hal berselisih.22
5. Perselisihan hasil Pemilu; Kedua istilah tersebut, hampir serupa
6. Sengketa hukum lainnya. karena kedua-duanya tentang perbedaan.
Dengan demikian sengketa Pemilu terdapat Namun penggunaan istilah selisih akan lebih
tiga macam, yaitu sengketa dalam proses Pemilu, tepat karena yang dipermasalahkan angka, yaitu
sengketa perselisihan hasil Pemilu, dan sengketa selisih hasil penghitungan suara dari para pihak
hukum lainnya. Moh. Jamin menyebutkan yang bersengketa. Di dalam undang-undang
bahwa sengketa Pemilu dibagi menjadi dua, yang berlaku sekarang ini, yaitu UU No. 1
yaitu sengketa dalam proses Pemilu yang selama Tahun 2015 yang telah diubah dengan UU No. 8
Tahun 2015, disebut sebagai “perselisihan hasil
18
Yance Arizona, Negara Hukum Bernurani: Gagasan Satjipto pemilihan” dengan definisi: perselisihan antara
Rahardjo tentang Negara Hukum Indonesia, Makalah
dalam 1st International Indonesian Law Society (IILS) 20
Moh. Jamin, “Potensi Sengketa Pemilihan Umum dan
Conference, Senggigi, Lombok, 7-8 Oktober 2010, hal. Penyelesaian Hukumnya”, Jurnal Konstitusi Vol. I No. 1
19. Agustus 2008, hal. 28.
19
Topo Santoso, “Peranan Peradilan dalam Kasus Pemilu”, 21
http://kbbi.web.id/sengketa diakes pada 5 Juli 2015.
Buletin Komisi Yudisial, Vol. III, No.5 tahun 2009. hal. 23. 22
http://kbbi.web.id/selisih diakes pada 5 Juli 2015.

114 NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 2, November 2015


KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota 3) permintaan/petitum untuk menetapkan
dan peserta Pemilihan mengenai penetapan hasil penghitungan suara yang benar
perolehan suara hasil Pemilihan. menurut Pemohon.
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dan Permohonan yang diajukan disertai alat
peraturan pelaksanaannya, Keberatan hanya bukti.
berkenaan dengan hasil penghitungan suara Objek perselisihan Pemilukada adalah
yang mempengaruhi terpilihnya pasangan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh
calon. Keberatan adalah upaya hukum bagi Termohon yang mempengaruhi:
pasangan calon kepala daerah dan calon a. penentuan Pasangan Calon yang dapat
wakil kepala daerah, yang tidak menyetujui mengikuti putaran kedua Pemilukada; atau
penetapan hasil penghitungan suara tahap b. terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepala
akhir pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dan wakil kepala daerah.
daerah dari komisi pemilhan umum daerah.
Keberatan yang diajukan oleh pemohon atau Pada peraturan perundang-undangan
kuasa hukumnya wajib menguraikan dengan yang terakhir, terdapat pembatasan lagi untuk
jelas dan rinci tentang:23 mengajukan keberatan. Pasal 158 ayat (1)
a. Kesalahan dari penghitungan suara UU No. 8 Tahun 2015 menyebutkan Peserta
yang diumumkan oleh KPUD dan hasil pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
penghitungan suara yang benar menurut dapat mengajukan permohonan pembatalan
pemohon; penetapan hasil penghitungan suara dengan
b. Permintaan untuk membatalkan hasil ketentuan:
penghitungan suara yang diumumkan a. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai
KPUD dan menetapkan hasil penghitungan dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, pengajuan
suara yang yang benar menurut pemohon. perselisihan perolehan suara dilakukan jika
terdapat perbedaan paling banyak sebesar
Ketika dialihkan ke MK,24 keberatan disebut 2% (dua persen) dari penetapan hasil
dengan permohonan, dengan ketentuan: penghitungan perolehan suara oleh KPU
Permohonan diajukan secara tertulis dalam Provinsi;
bahasa Indonesia sebanyak 12 (dua belas) b. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih
rangkap yang ditandatangani oleh Pemohon dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan
atau kuasa hukumnya yang mendapatkan surat 6.000.000 (enam juta), pengajuan
kuasa khusus dari Pemohon. Permohonan perselisihan perolehan suara dilakukan
sekurang-kurangnya memuat: jika terdapat perbedaan paling banyak
a. identitas lengkap Pemohon yang dilampiri sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari
fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan bukti penetapan hasil penghitungan perolehan
sebagai peserta Pemilukada; suara oleh KPU Provinsi;
b. uraian yang jelas mengenai: c. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih
1) kesalahan hasil penghitungan suara dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan
yang ditetapkan oleh Termohon; 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan
2) permintaan/petitum untuk membatalkan perselisihan perolehan suara dilakukan jika
hasil penghitungan suara yang ditetapkan terdapat perbedaan paling banyak sebesar
oleh Termohon; 1% (satu persen) dari penetapan hasil
23
Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2005 tentang penghitungan perolehan suara oleh KPU
Tata Cara Pengajuan Upaya Keberatan terhadap Provinsi; dan
Penetapan Pilkada dan Pilwakada dari KPUD Provinsi d. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih
dan KPUD Kabupaten/Kota.
dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa,
24
Pasal 6 Peraturan Mahkamah Konsitusi Nomor 15 Tahun
2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil pengajuan perselisihan perolehan suara
Pemilihan Umum Kepala Daerah dilakukan jika terdapat perbedaan paling

NOVIANTO M. HANTORO: Mewujudkan Kepastian Hukum... 115


banyak sebesar 0,5% (nol koma lima kewenangan MK adalah mengadili pada tingkat
persen) dari penetapan hasil penghitungan pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
perolehan suara oleh KPU Provinsi. final untuk memutus perselisihan tentang hasil
Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil pemilihan umum. Rumusan ini masih perlu
Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dijabarkan terkait dengan “objek”nya. Apa
dapat mengajukan permohonan pembatalan yang dimaksud dengan “hasil Pemilu” sebagai
penetapan hasil penghitungan perolehan suara “objek” perselisihan?
dengan ketentuan: Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
a. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk Pemilu akan menghasilkan seseorang atau
sampai dengan 250.000 (dua ratus lima pasangan calon yang terpilih untuk menduduki
puluh ribu) jiwa, pengajuan perselisihan jabatan tertentu dalam pemerintahan. Hasil
perolehan suara dilakukan jika terdapat tersebut kemudian ditetapkan oleh lembaga yang
perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua berwenang, yang dalam hal ini penyelenggara
persen) dari penetapan hasil penghitungan Pemilu, kemudian diangkat dan disahkan oleh
perolehan suara oleh KPU Kabupaten/ pejabat yang berwenang. Artinya, hasil akhir
Kota; Pemilu berupa pengangkatan dalam jabatan,
b. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk namun untuk sampai pada dilantiknya seseorang
sampai dengan 250.000 (dua ratus dalam jabatan terdapat beberapa tahapan.
lima puluh ribu) jiwa sampai dengan Tahapan tersebut dapat disederhanakan menjadi
500.000 (lima ratus ribu) jiwa, pengajuan 2 (dua), yaitu: tahapan persiapan Pemilu
perselisihan perolehan suara dilakukan sampai dengan pemungutan suara dan tahapan
apabila terdapat perbedaan paling banyak penghitungan suara sampai dengan penetapan
sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari calon/pasangan calon terpilih.
penetapan hasil penghitungan perolehan Yang menjadi pokok persoalan yang terkait
suara oleh KPU Kabupaten/Kota; dengan masalah kepastian hukum , yaitu apakah
c. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk penyelesaian perselisihan terhadap hasil Pilkada
sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) mengadili seluruh tahapan Pilkada atau hasil
jiwa sampai dengan 1.000.000 (satu juta) Pemilu/Pilkada dalam definisi yang terbatas? Ada
jiwa, pengajuan perselisihan perolehan beberapa pendapat yang memberikan peristilahan
suara dilakukan jika terdapat perbedaan terhadap hal ini, yaitu dengan membedakan
paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari “mengadili proses” atau “mengadili hasil” serta
penetapan hasil penghitungan perolehan apakah memeriksa dan memutus masalah yang
suara oleh KPU Kabupaten/Kota; dan sifatnya “kualitatif” atau “kuantitatif”. Terhadap
d. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk hal tersebut dapat dianalisis dari beberapa
lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, putusan pengadilan, baik pada saat ditangani
pengajuan perselisihan perolehan suara oleh MA maupun oleh MK,
dilakukan jika terdapat perbedaan paling Penanganan oleh MA menggunakan dasar
banyak sebesar 0,5% (nol koma lima hukum UU No. 32 Tahun 2004, Peraturan
persen) dari penetapan hasil penghitungan Pemerintah No. 6 Tahun 2005, dan Peraturan
perolehan suara oleh KPU Kabupaten/ MA No. 02 Tahun 2005. Ketentuan Pasal
Kota. 106 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 secara
jelas menyebutkan bahwa keberatan terhadap
III. ANALISIS penetapan hasil Pilkada hanya berkenaan
A. Kepastian Hukum dalam Perselisihan dengan hasil penghitungan suara yang
Hasil Pilkada mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
Secara eksplisit disebutkan dalam Pasal Peraturan Pemerintah mengulangi rumusan
24C ayat (1) UUD 1945 bahwa salah satu yang sama, sementara Pasal 3 Peraturan

116 NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 2, November 2015


MA juga secara tegas menyebutkan bahwa Depok Tahun 2005. Hasil perolehan suara yang
keberatan hanya dapat diajukan dengan hasil telah ditetapkan tersebut, yaitu:26
penghitungan suara yang mempengaruhi 1. Nomor Urut 1 memperoleh 32.461 suara;
terpilihnya pasangan calon. Kemudian 2. Nomor Urut 2 memperoleh 23.859 suara;
ditambahkan, keberatan yang diajukan wajib 3. Nomor Urut 3 memperoleh 206.781 suara;
menguraikan: 4. Nomor Urut 4 memperoleh 34.096 suara;
a. kesalahan dari penghitungan suara 5. Nomor Urut 5 memperoleh 232.610 suara;
yang dilakukan oleh KPUD dan hasil Jumlah suara sah 529.807 suara.
penghitungan suara yang benar menurut Pasangan nomor urut 3 Badrul Kamal-
Pemohon, dan Syihabuddin Ahmad yang mendapatkan
b. Permintaan untuk membatalkan hasil 206.781 suara dan menempati urutan kedua
penghitungan suara yang diumumkan oleh perolehan suara mengajukan gugatan keberatan
KPUD dan menetapkan hasil penghitungan atas Keputusan KPUD tersebut ke Pengadilan
suara yang benar menurut Pemohon. Tinggi Bandung. Pemohon mengajukan
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas bahwa keberatan ke pengadilan karena merasa terjadi
yang dimaksud dengan hasil pemilihan “hanya “penggembosan” suara akibat terdapat warga
yang berkenaan dengan hasil penghitungan yang diidentifikasi sebagai pendukung Pasangan
suara atau kesalahan penghitungan suara Calon Nomor 3, tetapi tidak dapat memberikan
oleh KPUD” yang itupun lebih dibatasi lagi hak pilihnya dengan alasan tidak menerima
dengan ketentuan “yang mempengaruhi kartu pemilih atau undangan untuk memilih.
terpilihnya pasangan calon”. Artinya meskipun Pemohon merasa di pihak lain telah terjadi
terdapat kesalahan penghitungan namun tidak “penggelembungan” suara karena terdapat
signifikan untuk mengubah pasangan calon pemilih yang tidak berhak memilih yang ikut
terpilih, pemohon tidak diperkenankan untuk memilih dan diidentifikasi sebagai pemilih
mengajukan keberatan. pasangan nomor urut 5.
Namun di dalam prakteknya terdapat Pengadilan Tinggi Jawa Barat melalui
beberapa putusan MA yang berbeda dengan putusan No.01/PILKADA/2005/PT.Bdg,
ketentuan tersebut, salah satunya Pilkada Kota memutuskan: Mengabulkan permohonan dari
27

Depok. Pilkada Kota Depok diselenggarakan Pemohon; Menyatakan batal hasil perhitungan
pada tanggal 26 Juni 2005 dan diikuti oleh 5 suara akhir yang diumumkan oleh KPUD
pasangan calon. KPUD Kota Depok melalui Depok tanggal 6 Juli 2005; Menyatakan jumlah
Keputusan KPU Kota Depok Nomor 18 Tahun perhitungan yang benar adalah: Untuk calon
2005 tentang Penetapan Pasangan Calon pasangan Nomor 3 perolehan suara menjadi
Terpilih Walikota dan Wakil Walikota Depok 269.551 suara; Untuk calon pasangan Nomor:
dalam Pilkada Kota Depok Tahun 2005, 5 perolehan suara menjadi 204.828 suara;
menetapkan Pasangan Calon Dr. Ir. H. Nur Menghukum Termohon untuk membayar
Mahmudi Ismail, M.Sc. dengan Drs. H. Yuyun ongkos perkara yang timbul dalam perkara ini
Wirasaputra dengan Nomor Urut Calon 5 sebesar Rp200.000 (dua ratus ribu rupiah). Dari
sebagai Calon Terpilih.25 Keputusan tersebut putusan Pengadilan Tinggi ini tergambar bahwa
didasarkan pada Keputusan KPU Kota Depok pengadilan tidak hanya mengadili “kesalahan
Nomor 17 Tahun 2005 tentang Penetapan dan hitung” dari penyelenggara Pilkada melainkan
Pengumuman Rekapitulasi Hasil Penghitungan juga mengadili proses pelaksanaan Pemilu dan
Suara Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota 26
Keputusan KPU Kota Depok Nomor 17 Tahun 2005
tentang Penetapan dan Pengumuman Rekapitulasi Hasil
25
Keputusan KPU Kota Depok Nomor 18 Tahun 2005 Penghitungan Suara Pemilihan Walikota dan Wakil
tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih Walikota dan Walikota Depok Tahun 2005.
Wakil Walikota Depok dalam Pilkada Kota Depok Tahun 27
Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat No.01/
2005. PILKADA/2005/PT.Bdg.

NOVIANTO M. HANTORO: Mewujudkan Kepastian Hukum... 117


menilai asumsi-asumsi terhadap perolehan wewenang MA untuk menyelesaikannya,
suara pasangan calon. misalnya Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang
Selanjutnya KPUD Kota Depok mengajukan No. 32 tahun 2004 menetapkan sanksi bagi
PK ke MA. Dalam amar putusannya, MA pasangan calon dan atau tim kampanye
mengabulkan permohonan yang diajukan yang terbukti berdasarkan putusan
KPUD Depok, sekaligus membatalkan putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
Pengadilan Tinggi Jawa Barat. MA berpendapat menjanjikan dan atau memberikan uang
bahwa Pengadilan Tinggi telah melakukan atau materi lain untuk mempengaruhi
kekeliruan dalam menerapkan hukum, pemilih, pencalonannya dibatalkan oleh
berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:28 DPRD.
1. Bahwa yang menjadi wewenang MA 2. Bahwa alat-alat bukti yang diajukan oleh
atau Pengadilan Tinggi sebagai penerima Termohon Peninjauan Kembali menurut
delegasi MA dalam memeriksa dan pendapat MA tidak ada yang dapat
mengadili sengketa Pilkada adalah hanya membuktikan adanya kehilangan suara
terhadap penetapan hasil pemilihan Kepala yang signifikan yang dapat mempengaruhi
Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi penetapan hasil perhitungan suara tahap
atau Kabupaten/Kota yang berkenaan akhir dari KPUD tentang pemilihan
dengan hasil perhitungan suara yang Kepala Daerah dan Wakil Kepala
mempengaruhi terpilihnya pasangan calon Daerah Kota Depok. Alat bukti tersebut
(lihat Pasal 106 ayat (2) Undang-Undang hanya berkenaan dengan teknis dalam
No.32 Tahun 2004 jo. Pasal 94 ayat (2) PP penyelenggaraan pemilihan, yang untuk
No. 6 Tahun 2005 dan Pasal 2 PERMA memeriksa dan memutusnya bukan menjadi
Nomor: 02 tahun 2005. wewenang MA maupun Pengadilan Tinggi
Bahwa konsekwensi diajukan keberatan sebagai penerima delegasi wewenang untuk
dalam sengketa hasil Pilkada tersebut memeriksa dan mengadili sengketa Pilkada.
adalah kewajiban dari Pemohon untuk Kasus perselisihan hasil Pilkada Kota Depok
membuktikan adanya kehilangan suara ini menunjukkan bagaimana kepastian hukum
Pemohon yang dapat mempengaruhi yang rendah. Peraturan perundang-undangan
terpilihnya pasangan Termohon, yang mengatur bahwa keberatan hanya dapat
tentunya pembuktian tersebut harus diajukan terkait dengan hasil penghitungan
berdasarkan alat bukti yang sah menurut suara atau kesalahan penghitungan suara
hukum acara perdata (Pasal 164 HIR oleh KPUD. Namun, pasangan calon yang
menentukan alat-alat bukti yang sah adalah mengajukan keberatan mendasarkan pada
surat, bukti saksi, sangkaan, pengakuan, “kecurangan” pada saat proses Pilkada.
sumpah), bukan berdasarkan pada dugaan Pengadilan Tinggi juga keluar dari peraturan
atau asumsi yang tidak dapat merupakan alat perundang-undangan dengan memeriksa dan
bukti yang sempurna. Untuk pembuktian memutuskan berdasarkan asumsi-asumsi yang
yang dapat diakui secara yuridis misalnya diajukan oleh pemohon.
dengan membandingkan formulir hasil Putusan MA dalam PK sebenarnya telah
rekapitulasi suara yang dimiliki oleh para mengembalikan ke konteks perselisihan
saksi pasangan calon. Jadi in casu, hasil akhir hasil Pilkada sebagaimana dimaksud dalam
perhitungan suara tersebut tidak dapat peraturan perundang-undangan, akan tetapi
digagalkan oleh hal-hal yang bersifat teknis dasar MA menerima PK juga dipertanyakan,
dalam pelaksanaan pemilihan, karena mengingat tidak ada ketentuan yang mengatur
tentang hal tersebut bukan merupakan bahwa perselisihan hasil Pilkada dapat diajukan
PK. Masalah tidak hanya berhenti sampai
28
Putusan Mahkamah Agung No. 01 PK/PILKADA/2005,
dengan putusan MA, karena perkara ini juga
hal. 28-29.

118 NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 2, November 2015


diajukan dalam perkara pengujian terhadap sela, 10 putusan permohonan dikabulkan, 63
undang-undang dan Sengketa Kewenangan putusan permohonan ditolak, 18 permohonan
AntarLembaga ke MK. Proses menjadi berlarut- tidak diterima, 5 ketetapan, dan 2 permohonan
larut dan kepastian hukum membutuhkan gugur.30 Penyelesaian perselisihan di MK, dalam
waktu yang panjang. Studi Efektifitas Penyelesaian Sengketa Hasil
Permasalahan lain yang berkenaan dengan Pemilukada oleh Mahkamah Konstitusi yang
masalah kepastian hukum terjadi pada Pilkada dilakukan oleh peneliti MK, menyebutkan
Provinsi Sulawesi Selatan.29 MA mengeluarkan adanya “Landmark Decisions” putusan MK,
putusan yang intinya menerima gugatan yaitu:31
subsidair dengan memerintahkan dilaksanakan a. Putusan Pemungutan Suara dan
Pilkada ulang di empat kabupaten (Tana Toraja, Penghitungan Suara Ulang dalam
Gowa, Bantaeng, dan Bone). Dalam putusan Pemilukada Provinsi Jawa Timur.
ini terdapat dua hakim yang menyatakan Putusan MK Nomor 41/PHPU.D-VI/2008
pendapat berbeda (dissenting opinion) yakni tentang perselisihan hasil Pemilukada
Paulus Effendi Lotulung dan Djoko Sarwoko. Provinsi Jawa Timur dianggap sebagai
Menurut pendapat kedua Hakim Agung awal masuknya MK ke wilayah hukum dan
ini, MA hanya berwenang memerintahkan keadilan substansial. Melalui putusan ini
perhitungan ulang suara, bukan Pilkada ulang. pula kemudian dikenal konsep pelanggaran
KPUD Sulawesi Selatan mengajukan PK Pemilukada yang sistematis, terstruktur,
terhadap putusan MA tersebut. Putusan MA dan masif.
mengabulkan permohonan PK dari KPUD b. Putusan Pendiskualifikasian Salah Satu
Sulsel dan membatalkan putusan MA tertanggal Pasangan Calon karena Pelanggaran
19 Desember 2007 yang memerintahkan Administratif dalam Pemilukada Kabupaten
pemungutan suara ulang di empat kabupaten Bengkulu Selatan dalam Perkara Nomor
(Gowa, Bantaeng, Bone, dan Tana Toraja), dan 57/PHPU.D-VII/2008 tentang perselisihan
MA mengembalikan ke hasil penghitungan hasil Pemilukada Kabupaten Bengkulu
KPUD semula. Selatan.
Seperti halnya kasus perselisihan hasil Pilkada c. Putusan Sela pada Pemilukada Kabupaten
Kota Depok, perkara ini juga mencerminkan Bangli.
kepastian hukum yang rendah. Putusan MA Untuk pertama kalinya MK menjatuhkan
(untuk Pilkada Provinsi) memutuskan hal yang putusan sela sebelum menjatuhkan
di luar substansi penghitungan suara, bahkan putusan akhir. Melalui putusan ini, MK
lebih jauh dengan memerintahkan Pilkada dinilai melampaui kewenangannya.
ulang di beberapa kabupaten. Putusan tersebut Pasal 8 ayat (4) Peraturan MK No.
kemudian dibatalkan melalui PK. Baik putusan 15 Tahun 2008 menyatakan “Untuk
MA yang memerintahkan pemungutan suara kepentingan pemeriksaan, Mahkamah
ulang, maupun pengajuan PK, semuanya tidak dapat menetapkan putusan sela dengan
diatur dalam peraturan perundang-undangan. penghitungan suara ulang”, namun MK
Hal ini kembali menjadi persoalan bagi menetapkan putusan sela bukan hanya
kepastian hukum. untuk penghitungan suara ulang, tetapi
Penyelesaian perselisihan hasil Pilkada
selanjutnya beralih ke MK. A. Patra M. Zen 30
A. Patra M. Zen, Buku Pintar Perselisihan Pemilukada; 101
meresume 101 Putusan Perselisihan Pemilukada Pelajaran dari Putusan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: PT.
di MK. Menurut Patra, terdapat 3 putusan Primair Media Nusantara, 2010, hal. 23-75.
31
Iwan Satriawan, Helmi Kasim, Siswantana Putri
29
Slamet Hariyanto, “Sengketa Pemilihan Gubernur Rachmatika, Alia Harumdani Widjaja Studi Efektifitas
Sulawesi Selatan 2007” https://slamethariyanto.wordpress. Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada oleh Mahkamah
com/2008/01/29/sengketa-pemilihan-gubernur-sulawesi- Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah
selatan-2007/ diakses tanggal 7 Agustus 2015. Konstitusi Republik Indonesia, 2012, hal. 11-18.

NOVIANTO M. HANTORO: Mewujudkan Kepastian Hukum... 119


juga pemungutan suara ulang di beberapa f. Putusan Pemilukada Ulang dengan
TPS (Pemilukada Bangli dan Tomohon), Memerintahkan KPUD untuk Melakukan
di beberapa kecamatan (Pemilukada Verifikasi Bakal Pasangan Calon dalam
Merauke, Minahasa Utara, Surabaya) Pemilukada Kabupaten Pati.
hingga Pemilukada ulang (Konawe Selatan, Melalui Putusan MK No. 82/PHPU.D-
Tebingtinggi, dan Manado). Putusan sela IX/2011 ini, dimungkinkan bagi MK untuk
secara implisit hanya dikenal dalam perkara dapat menyimpulkan apakah seorang bakal
Sengketa Kewenangan Lembaga Negara pasangan calon dapat secara sah diusulkan
(SKLN). dan MK dapat memerintahkan kepada
d. Putusan Pendiskulikasian dan Penetapan KPU kabupaten Pati untuk melakukan
Salah Satu Pasangan Calon dalam verifikasi persyaratan bakal pasangan
Pemilukada Kabupaten Kotawaringin calon dan apabila setelah dilakukan
Barat. verifikasi ternyata memenuhi syarat sebagai
MK dianggap telah melahirkan norma pasangan calon, maka pasangan tersebut
baru yakni, dipertimbangkannya proses harus diikutsertakan dalam Pemilukada
Pemilukada dalam objek sengketa MK. Kabupaten Pati tahun 2011.
Namun melalui pengujian Pasal 106 g. Putusan Verifikasi Administrasi dan
ayat (2) UU No. 32 tahun 2004, MK Verifikasi Faktual Bakal Pasangan Calon
menyatakan bahwa putusan Nomor serta Pemungutan Suara Ulang di
45/PHPU.D-VII/2010 yang telah Kabupaten Buton.
mendiskualifikasi para Pemohon sebagai MK telah mengabulkan sebagian
pemenang, bukan merupakan penambahan permohonan untuk pemohon dalam perkara
norma Pasal 106 ayat (2), akan tetapi No. 91/PHPU.D-IX/2011 dan pemohon
berdasarkan pada penafsiran konstitusi dalam perkara No. 92/PHPU.D-IX/2011
dan nilai-nilai hukum yang hidup dalam serta menyatakan tidak dapat diterima
masyarakat yang dibenarkan dalam Pasal permohonan pemohon dalam perkara
24 ayat (1) UUD 1945. Inilah untuk No. 93/PHPU.D-IX/2011 yang kesemua
pertama kali MK memutuskan untuk permohonan tersebut mengenai sengketa
menetapkan pemenang, dengan dasar Pemilukada Kabupaten Buton. Melalui
pertimbangan bahwa Pemilukada hanya Putusan MK Nomor 91-92/PHPU.D-
diikuti oleh dua pasangan calon, dan jika IX/2011 pada tanggal 21 September 2011,
MK hanya membatalkan hasil Pemilukada MK telah membuka kesempatan kepada
tanpa menetapkan pemenang, dapat KPU Buton untuk melakukan verifikasi
menimbulkan masalah baru di kemudian administrasi dan verifikasi faktual bakal
hari. pasangan calon dan pemungutan suara
e. Putusan Pemilukada Ulang dengan ulang di Kabupaten Buton. Putusan MK
Mengikutsertakan Bakal Pasangan Calon ini merupakan salah satu Putusan MK
dalam Pemilukada Kota Jayapura. yang fenomenal karena membuka jalan
Melalui putusan Pemilukada Kota Jayapura, kepada bakal calon untuk mengikuti
ketentuan legal standing yang membatasi verifikasi administrasi dan verifikasi faktual
pemohon hanya kepada pasangan calon bakal pasangan calon dalam Pemilukada
yang terdaftar mengikuti Pemilukada telah Kabupaten Buton tahun 2011.
ditafsir secara ekstensif oleh MK dengan h. Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala
memberikan kedudukan hukum (legal Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota
standing) kepada bakal pasangan calon yang Pekanbaru. Menurut MK telah terjadi
telah resmi mendaftarkan diri namun tidak pelibatan PNS terutama Camat, Lurah,
ditetapkan oleh KPUD. RT/RW secara terstruktur, sistematis dan

120 NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 2, November 2015


masif dalam Pemilukada Kota Pekanbaru kepastian hukum juga menjadi permasalahan
untuk memenangkan pihak terkait yang dalam penyelesaian perselisihan hasil Pilkada
merupakan tindakan melanggar prinsip ketika ditangani oleh MK.
Pemilu yang Luber dan Jurdil. Atas dasar MK telah membuat putusan yang
itu, MK memerintahkan dilakukannya tidak selaras dengan ketentuan peraturan
pemungutan suara ulang di seluruh TPS di perundang-undangan yang mengatur hal itu
Kota Pekanbaru. juga dikemukakan oleh beberapa pendapat.
Kesemua “land mark decisions” MK tersebut Rudyato34 melihat dalam putusan MK yang
menunjukkan bahwa putusan MK terhadap memutus perselisihan hasil penghitungan
beberapa kasus perselisihan tidak hanya suara yang dilakukan oleh KPU Jawa Timur
mengadili masalah hasil penghitungan suara antara Kaji dan Karsa. Kaji memohon agar
yang ditetapkan oleh penyelenggara, namun MK memutus untuk dilakukan penghitungan
berkaitan pula dengan pelanggaran-pelanggaran ulang tentang hasil Pemilu Kepala Daerah di
yang terjadi selama proses Pemilukada Jawa Timur tahun 2008. Namun putusan MK
bahkan mulai dari kesalahan penyelenggara memerintahkan agar dilakukan penghitungan
dalam melakukan verifikasi bakal pasangan ulang di Kabupaten Sampang, dan dilakukan
calon sampai dengan menetapkan pasangan Pemilu ulang di dua kabupaten yakni di
calon terpilih. Dengan kata lain, MK telah Bangkalan dan Pamekasan. Yang menjadi alasan
memperluas objek kewenangan yang diberikan MK, telah terjadi “pelanggaran yang sitematis,
oleh peraturan perundang-undangan, termasuk terstruktur, dan massif”. Pelanggaran itu antara
objek yang diatur di dalam Peraturan MK sendiri, lain adanya kontrak program yang menjanjikan
yang menyebutkan bahwa objek perselisihan pemberian Rp 50.000.000,00 hingga Rp
Pemilukada adalah hasil penghitungan suara 150.000.000.00 apabila berhasil mengumpulkan
yang ditetapkan oleh Termohon (Penyelenggara) suara serta janji-janji lainnya. Pelanggaran lain,
yang mempengaruhi: a. penentuan Pasangan adanya penggelembungan suara oleh KPPS.
Calon yang dapat mengikuti putaran kedua Semua itu mempengaruhi perolehan suara bagi
Pemilukada; atau b. terpilihnya Pasangan masing-masing pasangan calon. Putusan yang
Calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala serupa dilakukan oleh MK dalam kasus Pemilu
daerah.32 Kepala daerah di Bengkulu Selatan (Putusan
Amar Putusan MK juga keluar dari apa yang MK No.57/PHPU.D-VI/2008), Tapanuli Utara
telah diatur, yaitu a. permohonan tidak dapat (Putusan MK No. 49/PHPU.D-VI/2008), dan
diterima apabila Pemohon dan/atau permohonan Timor Tengah Selatan (Putusan MK No. 44/
tidak memenuhi syarat; b. permohonan PHPU.D-VI/2008).
dikabulkan apabila permohonan terbukti Bambang Widjojanto35 mengemukakan
beralasan dan selanjutnya MK menyatakan adanya perbedaan yang signifikan antara
membatalkan hasil penghitungan suara yang putusan MK pada tahun 2004 (pemilihan
ditetapkan oleh KPU/KIP provinsi atau KPU/ anggota DPD dan DPR/DPRD) dengan
KIP kabupaten/kota, serta menetapkan hasil putusan sengketa Pemilukada 2008-2009.
penghitungan suara yang benar menurut MK; c. Pada periode tahun 2004, putusan MK dalam
Permohonan ditolak apabila permohonan tidak melaksanakan kewenangan pada sengketa hasil
beralasan.33 Berdasarkan hal tersebut, maka Pemilu lebih banyak menggunakan pendekatan
procedural justice. Sementara sengketa hasil

32
Pasal 4 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 34
Rudatyo, “Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Menangani Sengketa Pemilu”, Jurnal Konstitusi P3KHAM
Pemilihan Umum Kepala Daerah. LPPM UNIVERSITAS SEBELAS MARET Volume II
33
Pasal 13 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Juni 2009, hal 16-17
Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam 35
Bambang Widjojanto, Kajian Putusan MK tentang Pemilu
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. & Pemilukada, Jakarta: Kemitraan, 2009, hal 6-8.

NOVIANTO M. HANTORO: Mewujudkan Kepastian Hukum... 121


Pemilu tahun 2009 lebih mendasarkan dan MK, menimbulkan ketidakpastian hukum.
menggunakan pendekatan ”substantial justice” Sebagaimana disebutkan di dalam kerangka
yang mempersoalkan ”electoral process”. MK pemikiran, kepastian hukum merupakan
secara tegas menjustifikasi bahwa dirinya kepastian undang-undang atau peraturan.
mempunyai kewenangan untuk memastikan Segala macam cara, metode dan lain sebagainya
kualitas Pemilu. Undang-undang telah harus berdasarkan undang-undang atau
menegaskan bahwa kewenangan MK hanya peraturan. Di dalam kepastian hukum terdapat
memutus ”perselisihan” tentang hasil Pemilu, hukum positif dan hukum tertulis. Putusan MA
sementara persoalan judicial process sudah ada dan MK banyak yang keluar dari ketentuan
mekanisme prosedurnya di dalam undang- hukum tertulis, yaitu terhadap ‘objek sengketa’
undang dan bukan kewenangan MK. yang diadili dan amar putusannya.
MK menyatakan, perselisihan dimaknai Putusan PK terhadap perkara perselisihan
sebagai bukan hanya sebagai masalah ”kuantitas” Pilkada Kota Depok dan Pilkada Provinsi
rekapitulasi hasil suara saja, namun juga Sulawesi Selatan, sebenarnya mengembalikan
menyangkut kualitas Pemilu atau quality of election ke ketentuan peraturan perundang-undangan,
process dengan menyatakan secara materiil telah namun upaya PK menjadi dipertanyakan karena
terjadi pelanggaran ketentuan Pemilukada tidak diatur dalam undang-undang. Demikian
yang berpengaruh pada perolehan suara. Pada pula putusan MK yang memerintahkan
titik itu, MK juga membuat kualifikasi, apakah pemungutan suara ulang, pendiskualifikasian
pelanggaran itu bersifat sistematis, terstruktur pasangan calon, menetapkan pemenang,
dan masif”. Pada akhirnya, tindakan MK yang mengikutsertakan bakal pasangan calon yang
menggunakan pendekatan substansial justice dan tidak ditetapkan oleh KPUD, memerintahkan
memaknai perselisihan Pemilu bukan hanya melakukan verifikasi, menunjukkan adanya
persoalan kuantitas telah menyebabkan Putusan ketidakpastian hukum bahkan sejak pencalonan,
MK ”dianggap” melebihi batas kewenangan yang karena MK ikut mengoreksi masalah verifikasi
dimilikinya sehingga terjadilah ultra vires dan dan penetapan pasangan calon.
ultra petita. Ketidakpastian hukum juga terlihat
Hani Adhani dalam tesisnya mengenai bukan hanya karena tidak sesuai peraturan
“Proses Penyelesaian Pilkada Pasca Perubahan perundang-undangan, namun juga karena
Kedua UU No. 32 Tahun 2004 tentang menjadikan proses penetapan pasangan calon
Pemerintahan Daerah” menguraikan banyak terpilih menuju ke pelantikan menjadi berlarut-
kasus dan putusan pengadilan perselisihan hasil larut. Pasangan calon terpilih tidak dapat
Pilkada, baik sebelum perubahan dan setelah segera dilantik apabila masih terdapat sengketa.
perubahan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Meskipun perkara perselisihan terikat oleh
Pemerintahan Daerah. Di dalam abstraknya tenggat waktu dan hal tersebut telah terpenuhi,
disebutkan bahwa proses penyelesaian namun ketika masih ada upaya hukum lain,
perselisihan hasil Pilkada di MA dan di MK pelantikan pasangan calon terpilih akan tetap
yang membedakan adalah pada saat ditangani dibayang-bayangi permasalahan legalitasnya.
di MA, kepastian hukumnya menjadi berkurang Hakim atau pengadilan memang bukan
karena setelah ada putusan yang bersifat final sekedar corong undang-undang. Dalam praktek
dan mengikat masih ada Kasasi dan Peninjauan di pengadilan, telah terjadi perkembangan
Kembali, sehingga berlarut-larut.36 bahwa penyelesaian perselisihan terhadap
Proses penyelesaian perselisihan hasil hasil Pilkada bukan hanya mengenai hasil,
penghitungan suara, baik di MA maupun di melainkan juga masalah proses pemilihan.
Di satu sisi terdapat alasan pembenar bahwa
36
Hani Adhani, Proses Penyelesaian Pilkada Pasca Perubahan keadilan substansial perlu ditegakkan, bukan
Kedua UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan hanya keadilan prosedural. Namun di sisi lain,
Daerah, Tesis, Fakultas Hukum – UI, 2009, hal. viii.

122 NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 2, November 2015


perlu diperhatikan pula bahwa hal tersebut akan tulisan, Hukum sebagai Keadilan, Permainan,
menimbulkan beban yang berat, proses yang dan Bisnis, Satjipto Rahardjo37 menyampaikan
panjang serta inefisiensi, karena penyelesaian keprihatinannya sekaligus mengajukan
pada tahap proses pemilihan telah terdapat gagasan untuk mewaspadai kemungkinan
lembaga dan mekanismenya tersendiri. Apabila perkembangan hukum yang berbeda dengan
penyelesaian pada tahapan pemilihan tersebut yang dicita-citakan. Menurutnya, memandang
tidak efektif, yang perlu dilakukan dengan hukum semata-mata secara etis dan moralis,
memperbaiki atau menata ulang penyelesaian yaitu yang memandang hukum sebagai dewa
pada setiap tahapan proses pemilihan, bukan penyelamat ketidakadilan, kebobrokan, dan
dengan mengambilalih kewenangan lembaga kejahatan di dunia ini merupakan pikiran naïf.
lain. Apabila tujuan dari pengadilan untuk Apabila mau jujur, hukum dapat diumpamakan
keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, “gerobak” yang bisa diisi kepentingan apa saja,
maka yang kepastian hukum perlu dikedepankan seperti ekonomis, politik, bahkan niat jahat.
dan menjadi prioritas untuk perkara perselisihan Salah satu kemungkinan yang perlu
terhadap hasil penghitungan suara. diwaspadai, yaitu hukum menjadi “permainan”,
yaitu menurunkan derajat hukum itu sebagai alat
B. Fenomena Hukum Liberal untuk memenuhi dan memuaskan kepentingan
Secara sederhana paham liberal dapat sendiri. Tujuan hukum memberikan keadilan
diartikan sebagai kebebasan individu di segala (dispensing justice) telah merosot menjadi
bidang. Bukan hanya di bidang politik, namun permainan. Hukum modern sebagai tipe hukum
juga di bidang ekonomi. Dalam ekonomi liberal yang memberikan pengaturan positif secara
akan terjadi persaingan hebat antara individu luas, yang memberikan sarana melakukan
satu dengan individu lainnya. Kekuatan modal berbagai upaya hukum, melindungi individu,
berperan sangat penting, dan biasanya kekuatan berbalik menjadi alat untuk menyalurkan
modal besar yang akan menguasai. Dalam kepentingan pribadi. Dengan demikian, upaya
konteks Pilkada, konsep hukum liberal ini akan hukum itu sudah tidak lagi menjadi upaya untuk
dimaknai terdapat kebebasan seluas-luasnya bagi memperjuangkan keadilan, tetapi untuk mencari
individu (peserta) untuk berpartisipasi dalam menang. Jika yang dicari kemenangan, maka
Pilkada. Partisipasi tersebut biasanya dengan segala cara akan ditempuh. Keadaan seperti ini
menyiapkan modal yang besar. Kemudian dalam merupakan sebuah ironi besar yang oleh Satjipto
proses pemilihan juga menginginkan adanya Rahardjo dicontohkan seperti Amerika Serikat.
kebebasan dengan berbagai cara untuk dapat Ironinya, semakin maju dan canggih praktik
meraup suara terbanyak. Ketika kalah, berusaha hukum, justru semakin besar pula peluang untuk
menggunakan jalur hukum manapun atas mendayagunakan hukum secara “antikeadilan”
ketidakpuasannya terhadap penyelenggaraan itu. Dengan demikian, perangkat hukum, proses
Pilkada. Hukum dimanfaatkan dengan tujuan hukum, dan juga personelnya justru dimobilisasi
semata-mata untuk menang. Kebebasan ini kecanggihannya untuk hanya melayani
kemudian tidak bertepuk sebelah tangan keinginan dan keinginan sendiri. Orang sudah
ketika beberapa masyarakat hukum lainnya, tidak menggunakan hukum untuk mencari
yaitu advokat dan hakim menerimanya. Hal keadilan, tetapi mencari menang.
ini kemudian menjadikan hukum sebagai Fenomena ini kemudian disambung dengan
permainan dan bisnis. fenomena hukum sebagai bisnis. Hukum
Fenomena hukum di Indonesia, khususnya sebagai bisnis juga merupakan tren baru dunia
terkait dengan perselisihan hasil Pilkada dapat yang dimotori oleh Amerika Serikat dengan
dianalisis dengan mencermati tulisan-tulisan
Satjipto Rahardjo yang berbicara mengenai 37 Satjipto Rahardjo, Hukum sebagai Keadilan, Permainan, dan
fenomena hukum liberal (liberal justice). Dalam Bisnis dalam buku Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia,
Jakarta; Kompas, 2013, hal. 60-65.

NOVIANTO M. HANTORO: Mewujudkan Kepastian Hukum... 123


istilah mega-lawyering dimana praktik hukum Perkara perselisihan hasil Pemilu merupakan
itu menjadi sedemikian rupa sehingga tidak perkara formal yang membutuhkan teknik-teknik
murni menjalankan urusan hukum, melainkan pembuktian yang bersifat formal dan jadwal yang
“sebagian hukum dan sebagian lagi bisnis”. pasti. Kepastian hukum sangat diutamakan dalam
Dengan mengutip Marc Galanter, Mega-Law hal ini. Sikap mengutamakan keadilan bagi satu
and Mega-Lawyering in the Contemprorary United orang tidak mungkin dibenarkan, apabila hal
States, 1983, Satjipto Rahardjo menyebutkan: itu justru akan menimbulkan ketidakpastian
“profesi hukum lebih mementingkan fasilitas hukum (rechtszekerheid). Sebab, dalam jenis
bisnis, yaitu dengan getting things done daripada perkara perselisihan hasil Pemilu, tanpa adanya
dengan meringankan penderitaan manusia dan kepastian hukum yang tegas, niscaya dapat
menolong orang. Dari sini kemudian muncul timbul ketidakadilan dalam seluruh mekanisme
istilah “pelayanan hukum yang berkualitas penyelenggaraan negara dan arena itu dapat
penembak bayaran” (hired gun’ service orientation). menimbulkan ketidakadilan bagi semua warga
Menurut Satjipto Rahardjo, kapitalisme Amerika negara.40
telah membentuk pelayanan hukumnya sendiri Membahas putusan hakim terhadap
yang mencapai kualitas mega lawyering tersebut. perkara hasil perselisihan Pilkada perlu kembali
Diharapkan Indonesia juga berbenah diri untuk dikaitkan dengan pendapat Gustav Radbruch
tidak diserbu lawyer Amerika sebagaimana mengenai tujuan hukum, yakni keadilan,
negara-negara eropa berbenah diri.38 kepastian, dan kemanfaatan. Keluarnya
Berdasarkan kasus-kasus perselisihan putusan hakim yang mengadili masalah
terhadap hasil Pilkada, terlihat bahwa fenomena electoral process demi keadilan, di satu sisi
“pengadilan sebagai arena permainan untuk menuai pujian, namun di sisi lain menimbulkan
mencari menang” telah terjadi. Semua jalur yang pertanyaan apakah pertimbangan tersebut
ada dan yang disediakan diambil dengan tujuan murni menegakkan keadilan atau terdapat
menang. Objek yang dipermasalahkan bukan kepentingan politik sebagaimana disampaikan
hanya kesalahan-kesalahan penghitungan, oleh Satjipto Rahardjo bahwa fenomena sosial
melainkan juga kecurangan dan pelanggaran. yang terjadi sekarang ini, hukum menjadi ajang
Pengadilan pidana, pengadilan tata usaha, permainan dan bisnis. Tidak terbantahkan,
jalur di MK untuk menguji undang-undang, dipidananya mantan Ketua MK karena kasus
maupun sengketa kewenangan antar lembaga, suap perselisihan hasil Pilkada menunjukkan
serta jalur Dewan Kehormatan Penyelenggara bahwa pasangan calon telah juga menyiapkan
Pemilu, digunakan sebagai usaha untuk mencari dana dan tim pengacara dengan biaya yang tidak
kemenangan dan membatalkan kemenangan kecil demi kemenangan melalui jalur hukum.
pasangan lain. Dapat dibayangkan berapa lama Artinya, tidak sepenuhnya alasan menafsirkan
perkara ini akan diselesaikan, dan kapan akan objek secara luas dengan mengoreksi
terjadi kepastian hukum. electoral process benar-benar dilakukan untuk
Jimly Asshiddiqie berpendapat jenis menegakkan keadilan substantif.
perselisihan mengenai hasil Pemilu harus Solusi terhadap permasalahan ini dilakukan
dibedakan dengan sengketa yang timbul dalam dengan menegaskan bahwa demi kepastian
kegiatan kampanye atau teknis pelaksanaan hukum, perkara perselisihan terhadap hasil
pemungutan suara. Jenis perselisihan hasil Pemilu Pilkada harus limitatif terhadap hasil dan hakim
juga harus dibedakan pula dengan perkara- tidak boleh melampaui kewenangannya dengan
perkara pidana yang terkait dengan subjek- mengadili masalah electoral process. Dengan
subjek hukum dalam penyelenggaraan Pemilu.39 demikian, definisi perselisihan hasil Pilkada
adalah perselisihan antara KPU Provinsi dan/
38
Ibid. atau KPU Kabupaten/Kota dan pasangan calon
39
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis,
Jakarta; PT Bhuana Ilmu Populer, 2009, hal. 392. 40
Ibid. hal. 393-394.

124 NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 2, November 2015


mengenai penetapan perolehan suara hasil karena untuk kabupaten/kota tersebut
penghitungan suara. Keberatan yang diajukan selisihnya paling banyak sebesar 1,5%.
oleh pemohon adalah keberatan yang hanya Pembatasan tersebut mungkin bertujuan
berkenaan dengan hasil penghitungan suara. sebagai manajemen arus perkara, dengan dasar
Mengingat UU yang berlaku saat ini meniadakan pertimbangan agar apabila selisihnya jauh tidak
putaran kedua, maka tidak perlu ada penanganan perlu mengajukan perkara perselisihan hasil.
perkara perselisihan untuk penentuan pasangan Asumsi lainnya, tidak mungkin penyelenggara
calon yang dapat mengikuti putaran kedua. Pemilu melakukan kesalahan atau kelalaian
Mengenai apakah keberatan tersebut sampai dengan selisih di atas 2%. Namun
hanya boleh diajukan apabila jumlah selisih pembatasan tresebut tidak ada relevansi yang
secara signifikan yang dapat mempengaruhi kuat dengan klasifikasi jumlah penduduk.
terpilihnya pasangan calon? Hal ini merupakan Apabila ingin pembatasan, cukup dengan
pilihan, apabila dengan pendekatan efisiensi, selisih jumlah suara atau persentase selisih,
maka perlu ada batasan, namun apabila yang berlaku untuk semua daerah tanpa
pendekatan untuk mencari kebenaran dan membedakan jumlah penduduk.
menghargai bahwa suara pemilih berharga Penegasan perkara perselisihan terhadap
sekaligus untuk mengoreksi kelalaian dan hasil tidak boleh mengadili sampai dengan
kesalahan penyelenggara, maka tidak perlu ada electoral process perlu diimbangi dengan
batasan. meningkatkan kualitas Pilkada tersebut di
UU No. 1 Tahun 2015 jo. UU No. 8 dalam penyelenggaraannya. Permasalahan di
Tahun 2015 bahkan memperketat lagi dengan setiap tahapan harus selesai clear cut sebelum
memberikan batasan persentase selisih, menuju tahapan berikutnya. Pentingnya setiap
meskipun membingungkan dan juga rumit. Di permasalahan hukum diselesaikan pada setiap
dalam kerangka pemikiran telah dikemukakan tahapan agar terdapat kepastian dan tidak
batasan-batasan tersebut. Sebagai ilustrasi: mengganggu tahapan selanjutnya. Dengan
Jumlah penduduk : 250.000 jiwa. demikian, kepastian hukum menjadi hal yang
Jumlah pemilih : 225.000 jiwa. utama. Selama ini, MA atau MK “dituntut”
Jumlah suara sah : 200.000 suara. menangani masalah electoral process yang
Pasangan A memperoleh 100.000 suara, (50% terkait dengan kecurangan dan pelanggaran
dari jumlah suara sah) karena pada tahap sebelumnya hal tersebut
Pasangan B memperoleh 96.000 suara, (48% tidak diselesaikan secara tuntas.
dari jumlah suara sah) Bukan merupakan kompetensi pengadilan
Pasangan C memperoleh 4.000 suara. (2% dari yang mempunyai kewenangan memutus
jumlah suara sah) perselisihan tentang hasil penghitungan suara
untuk mengadili pelanggaran sampai dengan
Selisih suara antara pasangan A dengan jumlah suara tersebut dihasilkan. Namun
pasangan B berjumlah 2% atau 4000 suara. bukan berarti pelanggaran dan kecurangan
Selisih antara Pasangan A dengan pasangan C tidak perlu diselesaikan secara hukum. Semua
berjumlah 48% atau 96.000 suara. permasalahan harus selesai, namun di masing-
Pasangan B dapat mengajukan keberatan masing tahapan. Ketentuan di dalam undang-
karena selisih 2%, sementara pasangan C undang memang menghendaki hal tersebut,
tidak. Itupun dengan catatan apabila pasangan namun pada kenyataannya masih ada pihak
B berada di wilayah pemilihan kabupaten/ yang “mencoba-coba” mengajukannya ke
kota dengan jumlah penduduk sampai dengan MA dan MK dalam perkara perselisihan hasil
250.000 jiwa. Apabila pasangan B berada di dan permohonan tersebut disambut. Untuk
wilayah dengan jumlah penduduk 500.000 jiwa, itu, konstruksi yang perlu dibangun dapat
pasangan B tidak dapat mengajukan keberatan, digambarkan dalam bagan sebagai berikut:

NOVIANTO M. HANTORO: Mewujudkan Kepastian Hukum... 125


Tabel 2.
Konstruksi Penyelesaian Sengketa, Pelanggaran, dan Perselisihan
POTENSI JENIS
TAHAPAN SENGKETA/ MASALAH/ PENYELESAIAN
PELANGGARAN PERKARA
Penyusunan Peraturan Tidak sesuai dengan Judicial Review Perkara ini diselesaikan di MA.
KPU UU atau Multi Tafsir Perlu disediakan waktu dan dibatasi
penyelesaiannya sampai sebelum
tahap pertama dimulai.
(Perlu Majelis Hakim Khusus dan
hukum acara khusus untuk pengujian
peraturan pelaksanaan Pemilu)
Pencalonan Persyaratan Administrasi Permasalahan administrasi
administratif jumlah diselesaikan oleh Pengawas Pemilu.
dukungan tidak sesuai Masalah pidana diselesaikan di
UU pengadilan. Putusan pengadilan
harus inkracht sebelum penetapan
Kelengkapan Administrasi
calon. (Ada majelis hakim khusus
administrasi
dan hukum acara khusus)
Data dan dokumen Pidana
palsu
Penetapan Pasangan Keberatan dengan Sengketa TUN Penyelesaian di Pengadilan TUN
Calon Putusan KPU tidak namun putusan harus inkracht
meloloskan pasangan sebelum tahap berikutnya atau tahap
calon. kampanye. (Ada majelis hakim
khusus dan hukum acara khusus)
Kampanye Pelanggaran kampanye Administrasi Pengawas
Pelanggaran Pidana Pidana Pengadilan Pidana namun putusan
Kampanye. harus inkracht sebelum tahap
berikutnya (Ada majelis hakim
khusus dan hukum acara khusus).
Pemungutan Suara Tata Cara Pemungutan Administrasi Pelaksanaan tahapan ini dalam
Suara tenggat waktu yang ketat.
Permasalahan hukum pada ketiga
Pelanggaran Pidana Pidana
kegiatan harus dianggap sebagai 1
Penghitungan Suara Tata cara Administrasi tahapan. Sehingga setelah rekap
Penentuan suara sah Administrasi terakhir, perlu ada waktu untuk
menuntaskan permasalahan hukum
Pelanggaran Pidana Pidana pada tahapan ini.
Rekapitulasi perolehan Tata Cara Administrasi
suara
Pelanggaran Pidana Pidana
Penetapan Perolehan Tata Cara Administrasi Pengawas dan Saksi.
Suara dan Pasangan
Perbedaan hasil Perselisihan Hasil Hanya mengenai selisih, tidak
Calon Terpilih
mengadili lagi electoral process.
Sumber: Bahan pemikiran, diolah dari beberapa peraturan perundang-undangan.

Dalam konteks Pemilu, terdapat pendapat di UU Pemilu, proses di PTUN (begitu juga
bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara di PN) bisa berlangsung lama dan sering kali
(PTUN) perlu dikritisi karena dengan tidak bermasalah. Masalah tersebut: Pertama, secara
adanya ketentuan khusus yang mengaturnya substansi putusan itu mungkin kurang selaras

126 NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 2, November 2015


dengan maksud dan tujuan dalam UU Pemilu Pada akhirnya, pilihan terhadap lembaga
dan juga para pihak (penyelenggara khususnya) mana yang menyelesaikan perselisihan terhadap
kurang memperhatikan putusan PTUN karena hasil seringkali hanya dengan memperhatikan
tidak diatur dalam UU Pemilu. Kedua, putusan kapabilitas lembaga. MA dianggap sebagai
yang diambil sudah melewati tahapan-tahapan lembaga negara yang memiliki track record
tertentu sehingga sering tidak dilaksanakan banyak tunggakan perkara dan rentan terhadap
karena tahapannya sudah terlewati.41 intervensi dan mafia peradilan. Sementara
Berdasarkan hal tersebut, maka yang perlu MK dianggap sebagai lembaga negara baru
ditata ulang pembatasan kewenangan PTUN produk reformasi yang kredibel pada mulanya,
hanya mengadili sengketa pada penetapan namun kemudian merosot kepercayaan dan
pasangan calon, dengan diberikan waktu serta kewibawaannya ketika Ketua MK ditangkap
limitasi sampai dengan sebelum dimulainya karena melakukan tindak pidana korupsi terkait
kampanye. Agar lebih efektif, maka perlu ada Pilkada. Kemudian mulailah muncul pemikiran
tambahan hakim adhoc dalam pengadilan lembaga di luar MK dan MA, antara lain
ini dan mengingat Pilkada dilakukan secara Bawaslu dan Pengadilan Khusus. Pendekatan
serentak, maka pengadilan dan hakimnya juga atau cara pandang terhadap kelembagaan
dapat bersifat adhoc. Keberadaan hakim adhoc seharusnya menjadi analisis nomor berikutnya
ini juga untuk mengantisipasi keberatan dari setelah memperjelas kewenangan atau objek
MA bahwa hakim harus menunda perkara yang perselisihan.
lain pada saat ada perkara Pilkada.
Demikian pula dengan pengadilan pidana, IV. PENUTUP
meskipun telah ada gebrakan dari pengawas A. Kesimpulan
Pemilu di beberapa daerah yang memproses pihak Beberapa hal yang menunjukkan bahwa
yang diduga melakukan tindak pidana Pemilu ke penyelesaian perselisihan hasil penghitungan
polisi, bukan berarti upaya menjerat pelanggar suara Pilkada selama ini menimbulkan
aturan Pemilu senantiasa mulus. Paling tidak ketidakpastian hukum; Pertama, praktek
ada empat masalah penegakan hukum Pemilu penyelesaian perkara perselisihan di MA dan
yang harus diperhatikan. Pertama, apakah ada MK, banyak yang keluar dari dan tidak sesuai
kesamaan persepsi antara pengawas Pemilu dengan peraturan perundang-undangan,
dengan penegak hukum (polisi-jaksa-hakim); terutama terkait dengan objek perselisihan
Kedua, adakah penggunaan “diskresi” dalam dan amar putusan. Kedua, meskipun terdapat
menyelesaikan tindak pidana Pemilu; Ketiga, limitasi waktu dalam penyelesaian perselisihan
bagaimana kesiapan pengawas Pemilu dan terhadap hasil penghitungan suara, namun para
penegak hukum dalam menghadapi berbagai pihak masih mencoba menggunakan upaya
tekanan; Keempat, adakah konsistensi dalam hukum lain, sehingga putusan penyelesaian
penegakan hukum Pemilu.42 Permasalahan perselisihan hasil penghitungan suara tidak
ini juga perlu diselesaikan dengan penataan benar-benar terakhir dan mengikat (final
ulang berupa adanya pengadilan pidana adhoc, and binding). Ketiga, permasalahan di setiap
dengan majelis hakim gabungan antara hakim tahapan pemilihan, seperti verifikasi bakal
pengadilan negeri dan pengadilan adhoc, pasangan calon, penetapan pasangan calon,
serta dengan limitasi waktu kapan putusan pelanggaran kampanye, pelanggaran dan
pengadilan tersebut mempunyai kekuatan kecurangan pemungutan suara, masih dapat
hukum tetap. Dengan batasan sampai dengan digugat di tahapan akhir dalam perkara yang
sebelum tahapan berikutnya dilaksanakan. seharusnya hanya menyelesaikan perselisihan
hasil penghitungan suara.
41
Ramlan Surbakti, Didik Supriyanto, dan Topo Santoso.
Sidik Pramono (Editor) Penanganan Pelanggaran Pemilu Berbagai permasalahan dalam penyelesaian
BUKU 15, Jakarta, Kemitraan: 2011, hal. 21. perselisihan hasil penghitungan suara Pilkada
42
Ibid., hal 25.

NOVIANTO M. HANTORO: Mewujudkan Kepastian Hukum... 127


mencerminkan adanya praktek hukum liberal. Hal ini bisa dilakukan melalui lembaga yang
Praktek hukum liberal dilandasi kebebasan sudah ada yaitu pengadilan negeri, pengadilan
individu dan pengerahan sumber daya dan tata usaha negara, badan/pengawas Pilkada dan
kekuatan modal. Hal ini menjadikan hukum DKPP. Sementara perselisihan diselesaikan oleh
dan praktek di pengadilan dalam perkara MA (dengan pertimbangan putusan MK bahwa
perselisihan hasil penghitungan suara Pilkada kewenangan MK limitatif). Apabila dibentuk
sebagai ajang permainan dan bisnis. Dalil badan pengadilan khusus, badan itupun
dan argumentasi hukum ada yang benar- sebaiknya hanya bersifat adhoc mengingat
benar untuk kepentingan keadilan, namun Pilkada telah dilakukan serentak, dan bisa juga
ada pula yang digunakan untuk kepentingan dimanfaatkan untuk Pemilu mengingat Pemilu
yang lain, yaitu memenangkan pasangan juga akan dilaksanakan secara serentak pada
calon. Terbongkarnya beberapa kasus suap tahun 2019. Akan sedikit lebih sulit, namun
terhadap hakim untuk memenangkan salah bukan tidak mungkin karena pengadilan ini
satu pasangan calon menunjukkan bahwa dalih diharapkan akan menangani hal ihwal yang
untuk menegakkan keadilan substantif menjadi berkaitan dengan Pemilu, sehingga di dalamnya
patut dipertanyakan. Dengan kata lain, tidak harus terdapat hakim yang menguasai masalah
sepenuhnya alasan menafsirkan objek secara perdata, administrasi, pidana, dan kepemiluan
luas dengan mengoreksi electoral process benar- sekaligus.
benar dilakukan untuk menegakkan keadilan
substantif. B. Saran
Untuk dapat mewujudkan kepastian Badan pengadilan khusus yang menangani
hukum dan menghentikan praktek hukum masalah perselisihan terhadap hasil Pilkada
liberal, perlu ada batasan yang lebih dibentuk paling lama sebelum Pilkada serentak
tegas bahwa objek perselisihan yang akan nasional pada tahun 2027. Praktek pada Pilkada
diselesaikan hanya hasil penghitungan suara, serentak “gelombang pertama” pada akhir
bukan proses pemilihan secara keseluruhan. 2015 ini dapat menjadi bahan evaluasi untuk
Penafsiran objek perselisihan yang diperluas merumuskan bagaimana konstruksi badan
menjadikan kerja pengadilan untuk mengadili pengadilan khusus tersebut. Namun demikian,
perkara perselisihan hasil Pilkada menjadi perlu diperhatikan juga bahwa Pemilu serentak
lebih berat dan tidak efisien. Pembatasan ini juga akan dilaksanakan pada tahun 2019. Untuk
bukan berarti mengabaikan keadilan substantif. penyelesaian perkara perselisihan hasil memang
Keadilan substantif terhadap proses pemilihan sudah definitif akan ditangani oleh MK,
tetap perlu diperhatikan, namun diselesaikan namun sebaiknya juga mulai dikonstruksikan
oleh lembaga lain secara final dan mengikat bagaimana agar beban MK menjadi ringan
pada setiap tahapan dan sebelum berlanjut ke tanpa harus dibebani mengadili masalah proses
tahapan berikutnya. Pemilu. Untuk itu, konstruksi dalam UU Pemilu
Lembaga yang menangani masalah sengketa nantinya juga perlu dipersiapkan agar perkara
dan perselisihan Pilkada perlu direkayasa proses Pemilu sudah selesai secara clear cut dan
sedemikian rupa agar tidak sama dengan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
penanganan perkara lainnya. Perekayasaan sebelum masuk ke perkara perselisihan terhadap
ini dilakukan dengan membentuk atau tanpa hasil Pemilu di MK.
membentuk badan pengadilan khusus, namun
yang pasti dengan menambahkan hakim adhoc
dan mekanisme khusus agar perkara bisa
dengan cepat mempunyai kekuatan hukum
mengikat sebelum masuk dan mengganggu
tahapan berikutnya.

128 NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 2, November 2015


DAFTAR PUSTAKA Rudatyo, “Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Dalam Menangani Sengketa Pemilu”, Jurnal
Konstitusi P3KHAM LPPM UNIVERSITAS
SEBELAS MARET Volume II Nomor 1
Buku Juni 2009.
Asshiddiqie, Jimly. Menuju Negara Hukum Santoso, Topo. (Ketua Tim Penelitian) et
yang Demokratis, Jakarta; PT Bhuana Ilmu all. Analisis dan Evaluasi Hukum tentang
Populer, 2009. Peran Lembaga Peradilan dalam Sengketa
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Pilkada (UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Citra Aditya Bakti, 2006. Pemerintahan Daerah). Jakarta: BPHN.
_______________. Sisi-sisi lain dari Hukum di Santoso, Topo. “Peranan Peradilan dalam Kasus
Indonesia. Jakarta: Kompas, 2003. Pemilu”. Buletin Komisi Yudisial. Volume III,
Sekretariat Negara Republik Indonesia. Profil No.5 tahun 2009.
Lembaga Negara, Rumpun Yudikatif. Jakarta:
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Makalah
2012. Arizona, Yance. Negara Hukum Bernurani:
Surbakti, Ramlan. Didik Supriyanto, dan Gagasan Satjipto Rahardjo tentang Negara
Topo Santoso. Sidik Pramono (Editor) Hukum Indonesia, Makalah dalam 1st
Penanganan Pelanggaran Pemilu BUKU 15, International Indonesian Law Society (IILS)
Jakarta, Kemitraan: 2011. Conference, Senggigi, Lombok, 7-8 Oktober
2010,
Widjojanto, Bambang. Kajian Putusan MK
tentang Pemilu & Pemilukada. Jakarta:
Kemitraan, 2009. Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang tentang Pemerintahan
Zen, A. Patra M. Buku Pintar Perselisihan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun
Pemilukada; 101 Pelajaran dari Putusan 2004, LN 125 tahun 2004, TLN. No. 4437.
Mahkamah Konstitusi. Jakarta: PT. Primair
Media Nusantara, 2010. Indonesia. Undang-Undang tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum. Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2007, LN No. 59 tahun 2007,
Jurnal/Hasil Penelitian TLN. No. 4721.
Adhani, Hani. Proses Penyelesaian Pilkada Pasca
Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004 Indonesia. Undang-Undang tentang Perubahan
tentang Pemerintahan Daerah, Tesis, Fakultas Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Hukum – UI, 2009. Pemerintahan Daerah. Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008, LN. No. 59 tahun
Iwan Satriawan, Helmi Kasim, Siswantana 2008, TLN. No. 4844.
Putri Rachmatika, Alia Harumdani Widjaja
Studi Efektifitas Penyelesaian Sengketa Hasil Indonesia. Undang-Undang tentang Kekuasaan
Pemilukada oleh Mahkamah Konstitusi, Kehakiman. Undang-Undang Nomor 48
Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Tahun 2009, LN No. 157 tahun 2009, TLN.
Konstitusi Republik Indonesia, 2012. No. 5076.

Jamin, Muh. “Potensi Sengketa Pemilihan Indonesia. Peraturan Pemerintah Pengganti


Umum dan Penyelesaian Hukumnya”. Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur,
Jurnal Konstitusi Volume I No. 1 Agustus Bupati, dan Walikota. Peraturan Pemerintah
2008. Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014, LN. No. 245.

NOVIANTO M. HANTORO: Mewujudkan Kepastian Hukum... 129


Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung tentang Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-
Tata Cara Pengajuan Upaya Keberatan XI/2013.
terhadap Penetapan Pilkada dan Pilwakada
dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/ Internet
Kota. Peraturan Mahkamah Agung Nomor PT Bandung. “MA Resmi Limpahkan Sengketa
2 Tahun 2005. Hasil Pilkada ke MK”, http://www.pt-
Indonesia. Peraturan Mahkamah Konstitusi bandung.go.id/berita/ma-resmi-limpahkan-
tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan sengketa-hasil-pilkada-ke-mk diakses pada
Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. tanggal 5 Agustus 2015.
Peraturan Mahkamah Konsitusi. Peraturan Mahkamah Konstitusi. “Rekapitulasi Perkara
Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun Perselisihan Pemilihan Umum Kepala
2008. Daerah dan Wakil Kepala Daerah”, http://
www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.
Putusan Pengadilan php?page=web.RekapPHPUD diakses
Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat No.01/ pada tanggal 6 Agustus 2015.
PILKADA/2005/PT.Bdg. Hariyanto, Slamet. “Sengketa Pemilihan
Putusan Mahkamah Agung No. 01 PK/ Gubernur Sulawesi Selatan 2007”
PILKADA/2005. https://slamethariyanto.wordpress.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072- com/2008/01/29/sengketa-pemilihan-
073/PUU-II/2004. gubernur-sulawesi-selatan-2007/ diakses
pada tanggal 7 Agustus 2015.

130 NEGARA HUKUM: Vol. 6, No. 2, November 2015

You might also like