Professional Documents
Culture Documents
Perkembangan Terkini Diagnosis Dan Penatalaksanaan in Ammatory Bowel Disease (IBD)
Perkembangan Terkini Diagnosis Dan Penatalaksanaan in Ammatory Bowel Disease (IBD)
net/publication/321824062
CITATION READS
1 25,890
1 author:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Mohammad Adi Firmansyah on 15 December 2017.
ABSTRAK
Inflammatory bowel disease (IBD) yang terbagi atas kolitis ulseratif dan penyakit Crohn merupakan kondisi peradangan saluran cerna kronik
dan idiopatik. Gambaran klinis IBD sangat berkaitan dengan patogenesis IBD. Faktor genetik diduga berperan penting, misalnya peranan gen
CARD15 dan syndecan-1. Beberapa pemeriksaan serologi, misalnya Anti-saccharomyces cerevisiase antibody (ASCA), perinuclear antineutrophil
cytoplasmic antibody (p-ANCA), dan beberapa pemeriksaan baru, seperti kadar ekspresi syndecan-1 (Sdc-1), OmpC, I2, dan flagelin CBir1,
diketahui dapat membantu menegakkan diagnosis IBD. Namun, pemeriksaan endoskopi tetap merupakan modalitas utama dalam penegakan
diagnosis IBD. Steroid dan 5-aminosalilisat sejauh ini masih merupakan pilihan terapi IBD. modalitas baru, seperti anti-tumor necrosing factor,
anti-interleukin-6, dan probiotik, banyak diteliti peranannya dalam penanganan IBD.
Kata kunci: inflammatory bowel disease, kolitis ulseratif, penyakit Crohn, syndecan-1, ASCA, p-ANCA
ABSTRACT
Inflammatory bowel disease (IBD) consisting of Ulcerative Colitis and Crohn’s disease is an idiopathic and chronic inflammatory condition of the
gastrointestinal tract. Genetic factors such as CARD15 gene and Syndecan-1 is suspected play an important role. The clinical features of IBD is
associated with the pathogenesis of IBD. Some serologic tests had known to aid diagnosis of IBD such as Anti-Saccharomyces cerevisiase antibody
(ASCA), perinuclear antineutrophil cytoplasmic antibody (p-ANCA), and several new tests such as the levels of expression of Syndecan-1 (SDC-1),
OMPC, I2, and flagelin CBir1. However, endoscopy remains the main modality in the diagnosis of IBD. Steroids and 5-aminosalicylate so far is
still the preferred treatment of IBD. New modalities such as anti-tumor necrosing factor, anti-interleukin-6, probiotics are widely studied in IBD
treatment. Mohammad Adi Firmansyah. Recent Advances in Diagnosis and Management of Inflammatory Bowel Disease.
Key words: inflammatory bowel disease, ulcerative colitis, Crohn’s disease, syndecan-1, ASCA, p-ANCA
PENDAHULUAN II di negara Barat sampai dasawarsa 90-an terjadi dalam hal pengobatan IBD, khususnya
Inflammatory bowel disease (IBD) selalu meningkat dan cenderung terjadi terapi biologi.
menggambarkan kondisi peradangan saluran pada kelompok kulit putih, sosial ekonomi
cerna kronik dan idiopatik. Secara umum tinggi, bukan perokok, pemakai kontrasepsi Penatalaksanaan IBD sejatinya tidak hanya
dibagi atas kolitis ulseratif (KU), penyakit oral dan diet rendah.4 Gambaran klinis kedua berupa terapi medis melainkan harus melalui
Crohn (PC) dan IBD type unclassified (IBDU, entitas IBD dapat berbentuk ringan, dalam arti tiga pendekatan yakni rencana diagnostik,
dulu dikenal sebagai indeterminate colitis).1 mencapai remisi tanpa penggunaan obat- rencana Terapeutik dan rencana edukasional.
Etiopatogenesis IBD belum sepenuhnya obatan dalam jangka lama atau dalam bentuk Tulisan ini akan lebih menitikberatkan pada
dimengerti. Faktor genetik dan lingkungan kronik aktif yakni pasien mengalami remisi rencana terapeutik IBD.
dalam saluran cerna seperti perubahan hanya jika mengonsumsi obat-obatan dalam
bakteri usus dan peningkatan permeabilitas jangka lama. Mengingat patofisiologi IBD yang EPIDEMIOLOGI
epitel saluran cerna diduga berperan dalam diterima luas berupa adanya respons imun Sekitar satu hingga dua juta orang di Amerika
gangguan imunitas saluran cerna yang berlebihan pada saluran cerna maka secara Serikat diperkirakan mengalami KU ataupun
berujung pada kerusakan saluran cerna.1-3 umum terapi IBD saat ini lebih banyak berupa PC, dengan insindens berkisar 70-150 kasus
anti-inflamasi atau imunosupresan.2,3,5 Dalam per 100.000 individu. Sedangkan di Eropa,
Insidens IBD sejak akhir Perang Dunia ke- beberapa waktu terakhir, kemajuan pesat insidens KU berkisar 7.3 kasus per 100.000
penduduk dan insidens PC sekitar 5.8 kasus Tabel 1 Gambaran Klinis IBD
per 100.000 penduduk.6 Di Indonesia sendiri
Klinis Kolitis ulseratif (KU) Penyakit Crohn (PC)
belum ada studi epidemiologi mengenai IBD,
data masih didasarkan laporan rumah sakit Diare kronik ++ ++
Tabel 2 Gambaran Patologis IBD spesifik untuk IBD. Umumnya yang digunakan
adalah parameter penanda inflamasi secara
Patologis Kolitis ulseratif (KU) Penyakit Crohn (PC)
umum seperti laju endap darah (LED) atau
Lesi bersifat segmental (skip area) (-) ++
C-reactive protein (CRP). Pada PC, kadar CRP
Lesi bersifat transmural + +/++ serum berkorelasi positif dengan aktivitas
Granuloma (-) 50% penyakit dan dengan penanda inflamasi
Fibrosis + ++ lainnya sesuai dengan indeks aktivitas PC.
Fistulasi + ++
Peningkatan kadar CRP > 45mg/L pada pasien
IBD dapat membantu klinisi untuk mengambil
Predileksi anatomis + +/++
keputusan perlunya dilakukan kolektomi.7
Ileo-saekal + ++
Dikatakan pemeriksaan kultur tinja dapat
Rektum ++ + membantu penentuan apakah peradangan
Gambaran patologis Abses kripti, distorsi kripti, Granuloma tuberukoloid, infiltrasi disebabkan oleh infeksi atau non-infeksi.
infiltrasi sel MN dan PMN di sel makrofag dan limfosit di lamina
lamina propria propria
Dewasa ini, dikatakan pula bahwa
Keterangan: ++ = sering; + = kadang; + = jarang; (-) = tidak ada
pemeriksaan serologi dapat membantu
menegakkan diagnosis IBD dan dapat
membedakan antara KU dan PC yakni
Pada KU, proses peradangan dimulai di atau secara umum ditandai oleh fase aktif dan dengan pemeriksaan pANCA (perinuclear
rektum dan meluas ke proksimal secara fase remisi.4 antineutrophil cytoplasmic antibody) untuk
kontinu sehingga secara umum dapat pasien KU dan anti-saccharomyces cerevisiae
melibatkan seluruh bagian kolon. Lesi Pemahaman atas proses inflamasi yang antibody (ASCA) untuk pasien PC. p-ANCA
biasanya hanya melibatkan lapisan mukosa terjadi pada patogenesis IBD akan membantu ditemukan pada 50-67% kasus KU meski
dan submukosa usus. Inflamasi hampir tidak kita mengenali gambaran klinis untuk juga dapat ditemukan pada 6 sampai 15%
pernah terjadi di daerah usus halus kecuali jika masing-masing entitas IBD. Misalnya kita kasus PC. ASCA lebih sering dijumpai pada
di ileum terminalis juga terdapat peradangan. akan menemui keluhan yang lebih seragam PC, yakni sekitar 40 sampai 60%, dan hanya
Keterlibatan rektum hampir selalu terjadi pada pada KU dibandingkan PC karena distribusi sekitar 4 sampai 14% dijumpai pada KU.7
KU, tidak adanya skip area yakni area normal di anatomis saluran cerna yang terlibat pada Sayangnya, pemeriksaan ini tidak terlalu
antara daerah lesi menjadi penanda khas KU KU adalah kolon sedangkan pada PC lebih sensitif mendiagnosis IBD sehingga tidak
sehingga dapat dijadikan pembeda dengan bervariasi. Perbedaan gambaran klinis dan tepat sebagai modalitas diagnostik tunggal.10
PC.4,9 patologis antara KU dan PC disajikan dalam Meski begitu, kombinasi pemeriksaan
tabel 1 dan tabel 2. Namun perlu diingat bahwa p-ANCA dan ASCA dapat membantu
Pada PC, peradangan dapat melibatkan terkadang sulit membedakan gambaran IBD meningkatkan spesifisitas hingga lebih dari
seluruh mukosa saluran cerna dimulai dari dengan penyakit lain yang kerap ditemukan 90%. Pola hasil kombinasi untuk KU adalah
mulut hingga ke anus dengan tiga bentuk pola di negara-negara berkembang termasuk ASCA negatif/p-ANCA positif sedangkan
umum yang khas yakni adanya peradangan, Indonesia yakni kolitis infeksi dan tuberkulosis untuk PC adalah ASCA positif/p-ANCA
striktur, dan fistula. Berbeda dengan KU, lesi usus.4 negatif. Untuk pemantauan terapi, kedua
pada PC tidak hanya melibatkan mukosa dan pemeriksaan ini tidak dianjurkan mengingat
submukosa namun juga dapat transmural. Secara umum, terdapat kriteria klinik sebagai kadar ANCA maupun ASCA tetap tinggi
Hal ini menjadi penanda patologis yang khas gambaran aktivitas penyakit untuk keperluan setelah terapi.7
untuk PC. Selain itu, lesi pada PC bersifat pedoman keberhasilan pengobatan maupun
diskontinu sehingga akan ditemukan skip penetapan fase remisi yakni Disease Activity Terdapat penurunan kadar ekspresi
area.4,9 Index (DAI) yang didasarkan pada frekuensi Syndecan-1 (Sdc-1) pada IBD khususnya pada
diare, ada tidaknya perdarahan per anum, KU.11,12 Pemeriksaan ekspresi Syndecan-1
GAMBARAN KLINIS penilaian kondisi mukosa kolon pada dapat membantu menegakkan diagnosis
Secara umum, keluhan IBD berupa diare kronik pemeriksaan endoskopi serta penilaian penyakit IBD meski masih terbatas guna
dengan atau tanpa darah, dan nyeri perut. keadaan umum pasien. kepentingan penelitian. Baru-baru ini, adanya
Selain itu, kerap dijumpai manifestasi di luar target antigen mikroba khusus seperti OmpC
saluran cerna (ekstraintestinal), seperti artritis, PENATALAKSANAAN IBD (Eschericia coli outer membrane porin), I2, dan
uveitis, pioderma gangrenosum, eritema Penatalaksanaan IBD dilakukan melalui tiga flagelin CBir1 pada sebagian besar pasien
nodosum, dan kolangitis. Sedangkan secara macam pendekatan, yakni rencana diagnostik, PC. Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan
sistemik, dapat dijumpai gambaran sebagai rencana terapeutik, dan rencana edukasional. bahwa jumlah atau tingkat respons imun
dampak keadaan patologis yang ada seperti terhadap beberapa antigen berkaitan dengan
anemi, demam, gangguan nutrisi.3,4,9 Satu hal Rencana Diagnostik Pemeriksaan keparahan perjalanan penyakit. Hal ini
yang penting diingat adalah pola perjalanan Serologik untuk Penanda IBD memerlukan penelitian-penelitian yang lebih
klinis IBD bersifat kronik-eksaserbasi-remisi Secara laboratorik, tidak ada parameter yang dalam lagi.7
Pengobatan Umum
Pemberian antibiotik misalnya metronidazole
dosis terbagi 1500 – 3000 mg per hari
dikatakan cukup bermanfaat menurunkan
Tapering Tapering
derajat aktivitas penyakit, terutama PC.
Sedangkan untuk KU, jarang diberi terapi
antibiotik. Antibiotik diberikan dengan latar
belakang bahwa salah satu agen proinflamasi
Bedah
disebabkan oleh bakteri intraluminal. Sebagian
besar bakteri intraluminal bersifat komensal
dan tidak menginduksi reaksi inflamasi
Gambar 2 Algoritma rencana terapeutik KU di Pelayanan Lini Kesehatan Primer4 namun mereka masih mampu memengaruhi
respons imun dan menginduksi sel epitel
intestinal untuk menekan kemotaksis,
menurunkan ekspresi sitokin proinflamasi
dan meningkatkan produksi interleukin 10.10
Interaksi antara bakteri pejamu ini dikenal
Tata Laksana khusus
dengan istilah disbiosis.5 Pemberian probiotik
seperti laktobasilus berperan dalam upaya
mencapai kondisi 85% remisi klinis dan
Bedah Tapering endoskopis pada pasien pasca kolektomi.14-16
Imunomodulator
Azatioprin dan 6-merkaptopurin, siklosporin,
dan metotreksat merupakan beberapa jenis
obat kelompok imunomodulator. Dosis inisial
azatrioprin 50 mg diberikan hingga tercapai
efek substitusi lalu dinaikkan bertahap 2.5
mg per kgBB. Umumnya, efek terapeutik baru
tercapai dalam 2 – 3 bulan. Efek samping yang
sering dilaporkan adalah nausea, dispepsia,
leukopeni, limfoma, hepatitis hingga
pankreatitis.
Gambar 4 Ulasan ringkas regimen terapi pada KU
Siklosporin intravena diketahui dapat
bermanfaat untuk kasus akut KU refrakter
steroid dengan angka keberhasilan 50 – 80%.
Efek samping yang sering dilaporkan meliputi
gangguan ginjal dan infeksi oportunistik.
Sedangkan metotreksat dikenal sebagai
preparat yang efektif untuk kasus PC steroid
dependent sekaligus untuk mempertahankan
remisi pada KU. Dosis induksi 25 mg
intramuskular atau subkutan per minggu
hingga selesai tapering off steroid.
Agen Baru
Dewasa ini beberapa obat anti-tumor yang
dikenal juga sebagai agen biologik banyak
dicoba pada IBD, misalnya infliksimab yang
memiliki anti-tumor necrosing factor (anti-
TNF). Umumnya digunakan untuk kasus-
kasus PC fistulated sedang dan berat (refrakter
steroid). Studi ACCENT I dan ACCENT II adalah
studi yang meneliti dosis infliksimab sebagai
pemeliharaan PC. Dalam studi tersebut
diajukan dosis infliksimab 5 mg – 10 mg/kgbb
Gambar 5 Ulasan ringkas regimen terapi PC selama 8 minggu.2
tercapai dosis 40 mg atau 5 mg per minggu minggu yang kemudian diikuti dengan dosis Agen lain adalah obat yang bekerja pada
hingga tercapai 20 mg. Kemudian dosis di- pemeliharaan. Dosis pemeliharaan 1,5 – 3 interleukin 6 (IL-6) sebagai salah satu sitokin
tapering off 2.5 mg per minggu.1 gram per hari. Untuk kasus-kasus usus bagian proinflamasi. Penggunaan tocolizumab,
kiri atau distal, dapat diberikan mesalazin suatu anti IL-6, menunjukkan respons kilnis
Asam Aminosalisilat supositoria atau enema, sedangkan untuk sebesar 70% setelah 6 minggu.16 Terakhir,
Preparat 5-asam aminosalisilat (5-ASA) atau kasus berat, biasanya tidak cukup hanya sedang dikembangkan penggunaan G-CSF
mesalazine saat ini lebih disukai dari preparat dengan menggunakan preparat 5-ASA. (filgrastim) dan GM-CSF (sargramostim),
sulfasalazin karena efek sampingnya lebih kecil suatu growth factor. Meski menjanjikan,
meski efektivitasnya relatif sama. Di Indonesia, • Pengobatan Pencegahan mekanisme kerja kedua modalitas ini belum
sulfasalazin dipasarkan dalam bentuk sediaan Keradangan Berulang jelas.2
tablet 250 mg dan 500 mg, enema 4 g/60 mL, Untuk mencegah peradangan berulang,
serta supositoria 500 mg. Dosis rerata untuk dilakukan upaya mempertahankan masa Secara umum, semua modalitas sangat
mencapai remisi adalah 2 – 4 gram per hari4 remisi selama mungkin melalui dosis menjanjikan namun masih sangat mahal. Di-
meski ada kepustakaan yang menyebutkan pemeliharaan 5-ASA yang bersifat individual harapkan, golongan obat baru ini dapat lebih
penggunaan 5-ASA ini minimal 3 gram per atau mengganti obat steroid pada fase terjangkau sehingga dapat diimplementasikan
hari.1 Umumnya remisi tercapai dalam 16 – 24 peradangan akut dengan obat-obatan secara nyata dalam terapi IBD.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kuhbacher T, Folsch UR. Practical guidelines for the treatment of inflammatory bowel disease. World J Gastroenterol 2007; 13(8): 1149 – 55.
2. Sands BE. New therapies for the treatment of inflammatory bowel disease. Surg Clin N Am 2006; 86: 1045–64.
3. Bernstein CN, Fried M, Krabshuis JH, Cohen H, Eliakim R, Fedail S, et al. World gastroenterology organization practice guidelines for the diagnosis and management of IBD in 2010. Inflamm
Bowel Dis 2010; 16(1): 112-24.
4. Kelompok Studi Inflammatory Bowel Disease Indonesia. Konsensus nasional penatalaksanaan inflammatory bowel disease (IBD) di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi
Indonesia 2011.
5. Tamboli CP. Current medical therapy for chronic inflammatory bowel disease. Surg Clin N Am 2007; 87: 697 – 725.
6. Loftus EV Jr, Silverstein MD, Sandborn WJ, Tremaine WJ, Harmsen WS, Zinsmeister AR. Ulcerative colitis in Olmsted County, Minnesota, 1940-1993: incidence, prevalence, and survival. Gut
2000; 46(3): 336-43.
7. Bossuyt X. Serologic markers in inflammatory bowel disease. Clinical Chem 2006;52(2):171-81.
8. Bengston MB, Solberg IC, Aamodt G, Jahnsen J, Moum B, Vatn MH. Relationships between inflammatory bowel disease and perinatal factors: both maternal and paternal disease are
related to preterm birth offspring. Inflamm Bowel Dis 2010; 16(5): 847-55.
9. Rowe WA, Katz J. Inflammatory bowel disease. [disitasi tanggal 18 April 2012]. Tersedia pada http://www.medscape.com
10. Bartlett AH, Hayashida K, Park PW. Molecular and cellular mechanisms of syndecans in tissue injury and inflammation. Moll Cells 2007;24(2):153-66.
11. Floer M, Gotte M, Wild MK, et al. Enoxaparin improves the course of dextran sodium sufate-induced colitis in syndecan-1-deficient mice. Am J Path. 2010;176(1):146-57.
12. Day R, Ilyas M, Daszak P, Talbot I, Forbes A. Expression of syndecan-1 in inflammatory bowel disease and a possible mechanism of heparin therapy. Dig Dis Sci. 1999;44:2508-15.
13. Mokrowiecka A, Daniel P, Slomka M, Majak P, Malecka-Panase E. Clinical utility of serological markers in inflammatory bowel disease. Hepatogastroenterology. 2009;56(89):162-6.
14. Haller D, Serrant P, Peruisseau G. Il-10 producing CD14 low monocytes by commensal bacteria. Microbiol Immunol 2002;46:195–205.
15. Gionchetti P, Rizzello F, Venturi A, et al. Oral bacteriotherapy as maintenance treatment in patients with chronic pouchitis: a double-blind, placebo-controlled trial. Gastroenterology.
2000;119:305–9.
16. Mimura T, Rizzello G, Helwig U, et al. Once daily high dose probiotic therapy (VSL#3) for maintaining remission in recurrent or refractory pouchitis. Gut. 2004;53:108–14.
17. Ito H, Takazoe M, Fukuda Y, et al. A pilot randomized trial of a human anti-interleukin-6 receptor monoclonal antibody in active Crohn’s disease. Gastroenterology. 2004;126(4):989–96.