You are on page 1of 14

BENTUK NITROGEN GAMBUT PEDALAMAN PADA

BERBAGAI TUTUPAN LAHAN

Laura Antenita Agustin1, Nina Yulianti2, Siti Zubaidah3, Zafrullah Damanik4,


Salampak.5
1-5
Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya
Email : 3nyulianti@agr.upr.id

Forms Of Nitrogen Inpeat On Various Land Internal Covers

Abstract

Nitrogen is an element that is mostly sourced from the decomposition process of


organic matter, the amount of which supply N from the decomposition process is
highly dependent on the quantity and quality of organic matter. Peat is formed from
the remains of heaps of dead plants, both weathered and unrotten. The purpose of the
study was to determine the effect of different land cover on the N element and the
effect of peat depth in the interior of the peat on the N element. This research was
carried out for 3 months starting from June to August. In this study using quantitative
analysis. The data obtained from laboratory analysis was then analyzed using
regression and correlation methods, using Microsoft Excel 2010 software and
presented in graphical form. The highest N-total value was found in natural forest
land cover (0.57%), the highest ammonium (NH4+) value was found in revegetation
land cover (4.69 ppm), the highest nitrate (NO3-) value was found in land cover
natural (15.37 ppm). This difference is caused by the original nature of nitrogen in
peat soil which has a high diversity and is influenced by translocation and vegetation
growing on different land covers.content of N-total, ammonium (NH 4+), nitrate
(NO3-) was generally found in the 0-30 cm layer, where the activity of
microorganisms and roots was quite intensive at a depth of 0-30 cm. However, the
levels of total N, ammonium (NH4+), nitrate generally decreased at a depth of 30-50
cm where the management effect was low.

Keywords: Nitrogen, Peat, Land Cover, Depth.

PENDAHULUAN

Indonesia mempunyai lahan gambut terbesar keempat di dunia setelah Canada (170
juta ha), Rusia (150 juta ha), dan Amerika Serikat (40 juta ha). Lahan gambut
Indonesia memilki total seluas 13,43 juta ha, tersebar di empat pulau utama yaitu :
Sumatera (5,85 ha) Kalimantan (4,54 ha), Papua (3,01 ha), dan Sulawesi (0,024 ha).
Perkiraan luasan gambut tropis di Indonesia berubah dari 15 menjadi 27 juta ha
(antara 1964 dan 2010) menjadi 14,91 juta ha di 2011 dan 13,43 juta ha (M. Anda et
al, 2020).
Gambut terbentuk dari sisa-sisa timbunan tanaman yang telah mati baik yang sudah
lapuk maupun yang belum lapuk. Timbunan tanaman akan terus bertambah
disebabkan karena adanya proses dekomposisi yang tehambat oleh kondisi anaerob
ataupun kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat
perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut adalah proses geogenik
yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan transportasi,
berbeda dengan pembentukan tanah mineral yang pada umumnya menggunakan
proses pedogenik (Hardjowigeno, 1986).
Nitrogen adalah unsur yang mobil yang menyebabkan N sangat mudah menguap dan
mudah sekali terlindi sehingga tanaman mengalami defisiensi Nitrogen yaitu unsur
yang sebagian besar bersumber dari proses dekomposisi bahan organik, yang
besarnya pasokan N dari proses dekomposisi sangat tergantung pada kuantitas dan
kualitas bahan organik (Vahdat et al., 2012)
Bentuk Nitrogen yang diserap oleh tanaman dengan bentuk amonium (NH4+), saat
keadaan oksidasi diserap dalam bentuk nitrat (NO3-). Umumnya tanaman menyerap
unsur nitrogen dalam bentuk ion nitrat (NO3-), amonium (NH4+) dan nitrit (NO2).
Salah satu unsur hara paling penting untuk pertumbuhan tanaman adalah nitrogen
(N). Adapun upaya restorasi dan reklamasi sistem hidrologi pada lahan gambut dapat
menyebabkan perubahan sifat tanah gambut. Menurut Harvey dan McCormick (2009)
oksidasi gambut juga memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap perubahan
kualitas air dan mineral terhadap perubahan tersebut dan hilangnya lapisan gambut
dapat juga menyebabkan penurunan kualitas tanah. Gambut dapat berperan sebagai
sumber hara seperti Nitrogen bagi tanah gambut itu sendiri melalui proses
dekomposisi.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh tutupan lahan
terhadap N dan pengaruh kedalaman terhadap N.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di KHDTK Tumbang Nusa dan LAHG Sebangau. Setelah
pengambilan sampel tanah maka dilakukan analisis sampel tanah di Laboratorium
UPT CIMTROP UPR dan Laboratorium Kimia, Fisika dan Biologi Jurusan Tanah,
Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat. Penelitian ini dilaksanakan
selama 3 bulan dimulai dari bulan Juli sampai dengan bulan September. Penelitian ini
merupakan penelitian kuantitatif menggunakan metode sampling plot berukuran 1 m
x 1 m yang diulang sebanyak 3 kali pada masing-masing tutupan lahan yaitu hutan
alami, hutan sekunder, lahan bekas terbakar dan lahan revegetasi (RePeat). Tanah
yang diambil adalah sampel tanah terganggu (disturb) pada 2 kedalaman 0-30 cm dan
30-50 cm. Berikut adalah peta lokasi penelitian :

Gambar 1. Peta Pengambilan Contoh Tanah di LAHG Sebangau


Gambar 2. Peta Pengambilan Contoh Tanah di KHDTK Tumbang Nusa

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisis N-Total (%)

Rata-rata N total di lahan hutan sekunder pada kedalaman 0-30 cm yaitu 0,53% dan
rata-rata pada kedalaman 30-50 cm yaitu 0,35%. Rata-rata N total di lahan hutan
sekunder pada kedalaman 0-30 cm yaitu 0,37% dan rata rata pada kedalaman 30-50
cm yaitu 0,26%. Rata-rata N total di lahan revegetasi pada kedalaman 0-30 cm yaitu
0,47% dan rata rata pada kedalaman 30-50 cm yaitu 0,3%.Rata- rata N total di lahan
hutan alami pada kedalaman 0-30 cm yaitu 0,57% dan rata-rata pada kedalaman 30-
50 cm yaitu 0,47% disajikan pada gambar 3.
Pada kedalaman 0-30 cm adalah lapisan atas gambut yang kandungan N-total
memiliki rata-rata tertinggi dibandingkan dengan 30-50 cm memiliki rata-rata N-total
rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Xing et al (2011) lapisan permukaan gambut
yang selalu mendapatkan pasokan bahan organik dari sisa-sisa organisme di atasnya
menyebabkan kandungan N-total tanah secara konsisten lebih tinggi pada lapisan
permukaan dibandingkan lapisan bawahnya.
Tutupan lahan hutan sekunder memiliki rata-rata N-total tertinggi
dibandingkan dengan hutan alami, lahan bekas terbakar dan lahan revegetasi. Hutan
sekunder Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Tumbang Nusa
sebelumnya adalah kawasan HPH PT. Arjuna Wiwaha, yang dimana hutan telah
mengalami perubahan dari hutan pertama dan adanya penebangan serta pembukaan
lahan hal ini sejalan dengan pendapat Andriesse(1988) dengan meningkatnya umur
dan pembukaan lahan gambut maka kandungan N akan meningkat dan berkolerasi.

N total (%)
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7

0 cm -30 cm
kedalaman

30 cm -50 cm

Lahan Hutan Alami Lahan Revegetasi


Lahan Bekas Terbakar Lahan Hutan Sekunder
Gambar. 3 Grafik Rerata N-Total (%)
Hasil Analisis Amonium (NH4+)
Rata-rata amonium (NH4+) di lahan hutan sekunder dengan kedalaman 0 cm -30 cm
yaitu 2,84 ppm dan kedalaman 30 cm - 50 cm yaitu 3,38 ppm. Rata-rata amonium
(NH4+) di lahan bekas terbakar dengan kedalaman 0 cm - 30 cm yaitu 1,49 ppm dan
kedalaman 30 cm - 50 cm yaitu 1,6 ppm. Rata-rata amonium (NH 4+) di lahan
revegtasi dengan kedalaman 0 cm - 30 cm yaitu 4,69 ppm dan kedalaman 30 cm - 50
cm yaitu 2,42 ppm. Rata-rata amonium (NH4+) di lahan bekas terbakar dengan
kedalaman 0 cm - 30 cm yaitu 3,27 ppm dan kedalaman 30 cm - 50 cm yaitu 4,32
ppm disajikan di gambar 4.
Tutupan lahan dengan rata-rata ammonium (NH4+) tertinggi yaitu pada lahan
revegetasi sedangkan amonium (NH4+) dengan rata rata terendah terletak pada lahan
bekas terbakar, rendahnya amonium (NH4+) pada lahan bekas terbakar disebabkan
pembakaran menaikan suhu tanah yang menyebabkan nitrogen berupa ammonium
menguap. Nitrogen yang berupa ammonium (NH4+) akan menguap pada suhu 200˚
yang mengakibatkan matinya mikroorganisme dalam tanah menyebabkan kandungan
organik meningkat sementara kandungan nitrogen menurun (Muis et al,2017).
amonium (ppm)
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5

0 cm -30 cm
kedalaman

30 cm -50 cm

Lahan Hutan Alami Lahan Revegetasi


Lahan Bekas Terbakar Lahan Hutan Sekunder
Gambar 4.Grafik Rerata Amonium (ppm)

Hasil Analisis Nitrat (NO3-)


Rata-rata nitrat (NO3-) di lahan hutan sekunder dengan kedalaman 0 cm -30 cm yaitu
11,53 ppm dan kedalaman 30 cm - 50 cm yaitu 3,13 ppm. Rata-rata nitrat (NO 3-) di
lahan bekas terbakar dengan kedalaman 0 cm - 30 cm yaitu 7,61 ppm dan kedalaman
30 cm - 50 cm yaitu 6,67 ppm. Rata-rata nitrat (NO 3-) di lahan revegtasi dengan
kedalaman 0 cm - 30 cm yaitu 10,65 ppm dan kedalaman 30 cm - 50 cm yaitu 10,09
ppm. Rata-rata nitrat (NO3-) di lahan bekas terbakar dengan kedalaman 0 cm - 30 cm
yaitu 15,37 ppm dan kedalaman 30 cm - 50 cm yaitu 13,65 ppm disajikan pada
gambar 5.
Nilai rata-rata nitrat (NO3-) tertinggi terdapat pada tutupan lahan hutan alami,
sedangkan rata-rata nitrat (NO3-) terendah terdapat pada lahan revegetasi. Perbedaan
pada semua tutupan lahan ini disebabkan oleh sifat asli N yang dapat dipengaruhi
oleh vegetasi yang berada pada masing-masing tutupan lahan.
Pada kedalaman 0-30 cm memiliki rata-rata nitrat (NO3-) tertinggi dibandingkan
dengan kedalaman 30-50 cm. Menurut Xing et al (2011) lapisan permukaan gambut
selalu mendapatkan pasokan bahan organik dari sisa-sisa organisme yang berada
diatasnya menyebabkan nitrat (NO3-) secara konsisten lebih tinggi pada
permukaannya dibandingkan lapisan bawahnya.
Nitrat (ppm)
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

0 - 30 cm
Kedalaman

30 - 50 cm

Lahan Hutan Alami Lahan Revegetasi


Lahan Bekas Terbakar Lahan Hutan Sekunder
Gambar 5. Grafik Rerata Nitrat (ppm)
Hasil Analisis pH H2O Gambut
Rata-rata pH H2O Gambut di lahan hutan sekunder dengan kedalaman 0 cm -30 cm
yaitu 3,30 dan kedalaman 30 cm - 50 cm yaitu 3,16. Rata-rata pH H 2O Gambut di
lahan bekas terbakar dengan kedalaman 0 cm - 30 cm yaitu 3,04 dan kedalaman 30
cm - 50 cm yaitu 2,76. Rata-rata pH H2O Gambut di lahan revegetasi dengan
kedalaman 0 cm - 30 cm yaitu 3,38 ppm dan kedalaman 30 cm - 50 cm yaitu 2,92.
Rata-rata pH H2O Gambut di lahan bekas terbakar dengan kedalaman 0 cm - 30 cm
yaitu 2,95 kedalaman 30 cm - 50 cm yaitu 2,80 disajikan pada gambar 6.
Berdasarkan grafik diatas diketahui bahwa nilai rata-rata pH tertinggi yaitu pada
kedalaman 0-30 cm terdapat pada lahan revegetasi, sedangkan nilai rata-rata terendah
yaitu pada kedalaman 30-50 cm terdapat pada lahan hutan alami.
Pada kedalaman 0-30 cm memiliki rata-rata tertinggi dibandingkan dengan
kedalaman 30-50 cm. proses dekomposisi yang lambat pada kedalaman 30-50 cm
lambat namun tetap menghasilkan asam-asam organik yang terakumulasi pada tanah.
Tutupan lahan dengan rata-rata pH tertinggi yaitu lahan revegetasi sedangkan tutupan
lahan dengan pH terendah terdapat pada lahan hutan alami. Rendahnya pH pada
hutan alami sejalan dengan Pusat Penelitian Tanah (1993) pada lahan hutan tergolog
masam karena pada musim penghujan akan terjadi penggenangan air dan pada musim
kemarau akan terjadi kekeringan, sehingga proses dekomposisi menjadi lambat tetapi
tetap menghasilkan asam-asam organik yang terakumulasi pada tanah sehingga
meningkatkan kemasaman pada gambut.
pH
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4

0-30 cm
Kedalaman

30-50 cm

Lahan Hutan Alami Lahan Revegetasi


Lahan Bekas Terbakar Lahan Hutan Sekunder
Gambar 6. Rerata pH H2O Gambut
Hasil Analisis Kadar Serat
Rata-rata kadar serat pada tutupan lahan hutan sekunder dengan kedalaman 0 cm - 30
cm yaitu 20% yang tingkat kematanganya termasuk dalam hemik dan pada
kedalaman 30 cm – 50 cm yaitu 10,6% yang tingkat kematangannya termasuk saprik.
Pada tutupan lahan bekas terbakar dengan kedalaman 0 cm - 30 cm yaitu 18,6% yang
tingkat kematanganya termasuk dalam hemik dan pada kedalaman 30 cm – 50 cm
yaitu 12% yang tingkat kematangannya termasuk saprik. Pada tutupan revegetasi
dengan kedalaman 0 cm - 30 cm yaitu 10,66% yang tingkat kematanganya termasuk
dalam saprik dan pada kedalaman 30 cm – 50 cm yaitu 8% yang tingkat
kematangannya termasuk saprik. Pada tutupan hutan alami dengan kedalaman 0 cm -
30 cm yaitu 28% yang tingkat kematanganya termasuk dalam hemik dan pada
kedalaman 30 cm – 50 cm yaitu 21,33% yang tingkat kematangannya termasuk
hemik disajikan di gambar 7.
Pada kedalaman 0-30 cm memiliki kadar serat tertinggi dibandingkan dengan pada
kedalaman 30-50 cm. kadar serat menunjukkan bahwa tingkat kematangan gambut
pada penelitian ini terdapat 2 jenis yaitu saprik dan hemik. Pada kedalaman 0-30 cm
memiliki kematangan hemik. Kematangan gambut hemik adalah gambut yang
mempunyai tingkat pelapukan sedang (setengah matang) yang dimana sebagian
bahan telah mengalami pelapukan sedangkan bagian lainnya berupa serat. Menurut
Najiyati et al (2005) gambut mentah lebih banyak mengandung serat-serat yang dapat
dilihat secara langsung, kematangan gambut yang berbeda disebabkan pembentukan
dari bahan, kondisi lingkungan dan waktu yang berbeda.
Tutupan lahan dengan rata-rata kadar serat tertinggi terdapat pada lahan hutan alami.
Tingkat kematangan pada pada lahan hutan alami adalah hemik sedangkan pada rata-
rata kadar serat terendah terdapat pada hutan lahan revegetasi yang termasuk
kematangan saprik. Kematangan gambut saprik (gambut matang) adalah gambut yang
tingkat pelapukannya sudah lanjut (matang).

Kadar serat (%)


0 5 10 15 20 25 30

0 cm -30 cm
kedalaman

30 cm -50 cm

Lahan Hutan Alami Lahan Revegetasi


Lahan Bekas Terbakar Lahan Hutan Sekunder
Gambar 7. Rerata Kadar Serat (%)

Muka Air Tanah


Berikut adalah muka air tanah pada tutupan lahan hutan sekunder, lahan revegetasi,
lahan degredasi, hutan alami :
Tabel 1. Muka Air Tanah Pada KHDTK Tumbang Nusa dan LAHG Sebangau
Tutupan Lahan Plot 1 Plot 2 Plot 3
Hutan sekunder -50 cm -50 cm -50 cm
Lahan revegetasi -20 cm -23 cm -24 cm
Lahan degredasi -24 cm -20 cm -24 cm
Hutan alami -15 cm -13 cm -14 cm
Sumber : Sitinjak 2021
Muka air tanah (water table) pada hutan sekunder yang berada plot 1 pada kedalaman
– 50 cm, pada plot 2 pada kedalaman -50 cm dan pada plot 3 pada kedalaman -50 cm.
Muka air tanah (water table) pada lahan revegetasi yang berada plot 1 pada
kedalaman -20 cm, plot 2 pada kedalaman -23 cm dan plot 3 pada kedalaman -24 cm.
Muka air tanah (water table) pada lahan degredasi yang berada pada plot 1 pada
kedalaman -24 cm, plot 2 pada kedalaman -20 cm dan plot 3 pada kedalaman -24 cm.
Muka air tanah (water table) pada hutan alami yang berada pada plot 1 pada
kedalaman -15 cm, plot 2 pada kedalaman -13 cm dan plot 3 pada kedalaman -14 cm.
Kolerasi Antar Variabel
Berdasarkan analisis kolerasi pearson tabel yang menunjukan variabel dengan
berkolerasi positif maupun negative. N-total dan amonium dengan nilai koefesien
kolerasi 0,332 disajikan pada tablet 2. maka N-total dan amonium berkolerasi positif.
N-total dan amonium (NH4+) berkolerasi positif yang artinya jika N-total mengalami
kenaikan maka amonium (NH4+) juga akan mengalami kenaikan, begitu pula
sebaliknya jika N-total mengalami penurunan maka amonium (NH4+) akan
mengalami penurunan. Menurut Angraini (2017), ion ammonium merupakan bentuk
tersedia dari nitrogen total.
Berdasarkan analisis kolerasi pearson tabel yang menunjukan variabel berkolerasi
positif maupun negatif. N-total dan nitrat dengan nilai kolerasi 0,250 disajikan pada
tabel 2. N-total dan nitrat (NO3-) berkolerasi positif yang artinya jika N-total
mengalami kenaikan maka nitrat juga akan mengalami kenaikan, begitu pula
sebaliknya jika N-total mengalami penurunan maka nitrat (NO3-) akan mengalami
penurunan. Menurut Setyowati et al (2016) senyawa nitrogen organik adalah nitrat,
nitrit serta ammonium.
Berdasarkan hasil analisis kolerasi pearson tabel yang menunjukan variabel
berkolerasi positif maupun negative. N-total dan kadar serat dengan nilai kolerasi
0,464* disajikan pada tabel 2. N-total dan kadar serat berkolerasi positif dan
signifikan nyata maka jika N-total mengalami kenaikan maka kadar serat juga akan
mengalami kenaikan begitu pula sebaliknya jika N-total mengalami penurunan maka
kadar serat akan mengalami penuruanan. Menurut Andriesse (1988) kandungan N
total akan meningkat dan berkolerasi dengan tingkat dekomposisi, faktor lain yang
dapat mempengaruhi kenaikan dan penurunan N-total dan kadar serat yaitu
meningkatnya umur dan pembukaan lahan gambut.
Berdasarkan hasil analisis pearson tabel yang menunjukan variabel berkolerasi positif
dan negatif. N-total dan pH H20 dengan nilai kolerasi -0,136 disajikan pada tabel 2.
N-total dan pH H2O berkolerasi negatif artinya jika N-total mengalami kenaikan
maka pH H2O mengalami penurunana begitu pula sebaliknya jika N-total mengalami
penurunan maka pH H2O mengalami kenaikan. Menurut Nugroho et al (2013) bahan
organik yang berpengaruh terhadap perubahan pH mengakibatkan belum optimalnya
mikroorganisme perombak bahan organik dan penambat N sehingga akan
berpengaruh terhadap ketersedian N-total.
Berdasarkan hasil analisis pearson tabel yang menunjukan variabel berkolerasi
positif dan negatif. Amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-) dengan nilai kolerasi 0,168
disajikan pada tabel 2. Amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-) berkolerasi positif artinya
jika ammonium (NH4+) mengalami kenaikan maka nitrat (NO3-) akan mengalami
kenaikan begitu pula sebaliknya jika ammonium (NH4+) mengalami penurunan maka
nitrat akan mengalami penurunan. Proses perubahan ammonium (NH4+) menjadi
nitrat (NO3-) disebut nitrifikasi. Nitrifikasi merupakan proses oksidasi enzimatik
amonium (NH4+) menjadi nitrit (NO3) dan kemudian nitrat (NO3-) (De Boer et al,
2001).
Berdasarkan hasil analisis pearson tabel yang menunjukan variabel berkolerasi positif
dan negatif. Amonium (NH4+) dan kadar serat dengan nilai kolerasi -0,079 disajikan
pada tabel 2. Amonium (NH4+) dan kadar serat berkolerasi positif artinya jika
ammonium (NH4+) mengalami kenaikan maka kadar serat juga akan mengalami
kenaikan begitu pula sebaliknya jika amonium (NH4+) mengalami penurunan maka
kadar serat juga mengalami penurunan.
Berdasarkan hasil analisis pearson tabel yang menunjukan variabel berkolerasi positif
dan negatif. Amonium (NH4+) dan pH H2O dengan nilai kolerasi 0,118 disajikan pada
tabel 2. Amonium (NH4+) dan pH H2O berkolerasi positif artinya jika ammonium
(NH4+) mengalami kenaikan maka pH H2O juga akan mengalami kenaikan begitu
pula sebaliknya jika ammonium (NH4+) mengalami penurunan maka pH H2O juga
akan mengalami penurunan. Menurut Jako (2015) peningkatan pH tanah dapat terjadi
apabila bahan organik telah terdekomposisi lanjut.
Berdasarkan hasil analisis pearson tabel yang menunjukan variabel berkolerasi positif
dan negatif. Nitrat (NO3-) dan kadar serat dengan nilai kolerasi 0,054 disajikan pada
tabel 2. Nitrat (NO3-) dan kadar serat berkolerasi positif yang artinya jika nitrat
mengalami kenaikan maka kadar serat akan mengalami kenaikan begitu pula
sebaliknya jika nitrat mengalami penurunan maka kadar serat juga akan mengalami
penurunan. Nitrat (NO3-) berasal dari senyawa organik nitrogen total yang dimana
jika N-total meningkat maka akan berkolerasi dengan kadar serat (Andriesse, 1988).
Bedasarkan hasil analisis pearson tabel yang menunjukan variabel berkolerasi positif
dan negatif. Nitrat (NO3-) dan pH H2O dengan nilai kolerasi 0,015 disajikan pada
tabel 2. Nitrat (NO3-) dan pH H2O berkolerasi positif yang artinya jika nitrat
mengalami kenaikan maka pH H2O akan mengalami kenaikan begitu pula sebaliknya
jika nitrat mengalami penurunan maka pH H2O akan mengalami penurunan. Menurut
Indriani (2001) bahan organik dapat meningkatkan pH tanah dan unsur hara serta
perbaikan sifat biologi tanah dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme di dalam
tanah.
Berdasarkan hasil analisis pearson tabel yang menunjukan variabel berkolerasi positif
dan negatif. Kadar serat dan pH H2O dengan nilai kolerasi -0,383 disajikan pada tabel
2. Kadar serat dan pH H 2O berkolerasi negatif yang artinya kadar serat dan pH H2O
berkolerasi negatif artinya jika kadar serat mengalami kenaikan maka pH H 2O
mengalami penurunan begitu pula sebaliknya jika kadar serat mengalami penurunan
maka pH H2O mengalami kenaikan. Menurut Hardjowigeno (1986) dekomposisi
bahan organik mempunyai fungsi memperbaiki kemasaman tanah dan meningkatkan
nilai pH tanah.
Tabel 2. Tabel Analisis Kolerasi Antar Variabel
N-Total Amonium(NH4+) Nitrat(NO3-) Kadar Ph H2O
Serat
N-Total - 0,332 0,250 0,464* -0,136
Amonium 0,332 - 0,168 -0,079 0,118
(NH4+)
Nitrat 0,250 0,168 - 0,054 -0,15
(NO3-)
Kadar Serat 0,464* -0,079 0,054 - -0,383
pH H2O -0,136 0,118 -0,015 -0,303 -
Keterangan : * berbeda nyata
: 0,00 tidak ada kolerasi
: 0,01-0,20 kolerasi sangat lemah
: 0,21-0,40 kolerasi lemah
: 0,41-0,70 kolerasi sedang
: 0,71-0,99 kolerasi kuat
:1,00 kolerasi sempurna

KESIMPULAN DAN SARAN


Nilai N-total tertinggi terletak pada tutupan lahan hutan alami (0,57%), nilai
ammonium (NH4+) tertinggi terdapat pada tutupan lahan revegetasi (4,69 ppm), nilai
nitrat (NO3-) tertinggi terdapat pada tutupan lahan alami (15,37 ppm). Perbedaan ini
disebabkan oleh sifat asli nitrogen dalam tanah gambut yang memiliki
keragamanyang tinggi dan dipengatuhi oleh translokasi dan vegetasi-vegetasi yang
tumbuh pada tutupan lahan yang berbeda. Kandungan N-total, ammonium (NH4+),
nitrat (NO3-) tertinggi umumnya terdapat pada lapisan 0-30 cm, yang dimana aktifitas
mikroorganisme dan perakaran cukup intensif pada kedalaman 0-30 cm. namun kadar
kandungan N-total, ammonium (NH4+), nitrat umumnya semakin menurun pada
kedalaman 30-50 cm yang pengaruh pengelolaannya rendah. Perlu dilanjutkan
dengan menambah kedalaman gambut (0-20 cm, 20-30 cm, 30-50 cm, 50-60 cm) dan
menambah tutupan lahan pada lokasi berbeda

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada tim peneliti kerjasama the Australian
Centre for International Agricultural Research (ACIAR) dan the Commonwealth
Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO), Australia. Penelitian ini
dibiayai penuh oleh Objective 3 (tiga) FST/2016/144 Improving Community Fire
Management and Peatland Restoration in Indonesia dengan Memorandum of
Understanding (MoU) ACIAR/CSIRO dan Universitas Palangka Raya.
DAFTAR PUSTAKA

Andriesse J.P. 1988. Natural And Management Of Tropical Peat Soil. Bulletin Fao
Soil Vol: 59
Angraini, R. W. 2017. Dampak Kebakaran Lahan Perkebunan Sawit Terhadap
Kandungan Fe, Al, Mo Total dan C/N Di Desa Pakning Asal Bengkalis.
Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Riau.
De Boer, W., & G.A. Kowalchuk. 2001. Nitrifcation In Acid Soil : Microorganisms
And Mechanisms, Soil Biology and Biogeochemistry 33:853-866
Hardjowigeno, S. 1986. Genesis dan Klasifikasi Tanah. Jurusan Tanah, Fakultas
Pertanian IPB: Bogor
Indriani, H. Y. 2001. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya. Jakarta.
Jako, S. H. 2015. Pengaruh Kedalaman Muka Air Dan Bahan Organik Terhadap
Aktifitas Organisme Tanah Dilahan Gambut. J Agroteknologi 30- 31.
M. Anda, Sofyan R., Erna S., Sukarman, Muhammad H., Edi Y., Anny M., Rudi ,.E.,
S., Suratman, Husnain.2020. Revisiting Tropical Peatlands In Indonesia :
Semi-Detailed Mapping, Extent and Depth Distributio Assesment. Journal
Indonesian Center For Agricultural Land Resource Research and
Development.
Nugroho, T. C, Oksana dan E aryanti.2013. Analisis Sifat Kimia Tanah Gambut
Yang Di Konversi Menjadi Perkebunan Kelapa Sawait. Jurnal Agroteknologi.
4:25:30
Najiyati S., Muslihat, L., dan Siryadiputra, I. N. N. 2005. Panduan Pengelolaan Lahan
Gambut Untuk Pertanian berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forests and
Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan
Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia
Setyowati. V. A., Huang H., Liu., C., Wang., C. 2016. Effect of Iron Precursors on
the Structure and Oxygen Reduction Activity of Iron–Nitrogen–Carbon
Catalysts. Jurnal Elsevier. 211: 933-940
Vahdat E, F Nourbakhsh and M Basiri. 2012. Lignin Content Of Range Plant
Residues Controls N Mineralization In Soil. Soil Biology and Biochemistry
47, 243–246.
Xing Y, J Bubier, T Moore, M Murphy, N Basiliko, S Wendel and C Blodau. 2011.
The Fate Of 15N–Nitrate In A Northern Peatland Impacted By Long Term
Experimental Nitrogen, Phosphorus And Potassium fertilization.
Biogeochemistry 103, 281–296
.

You might also like