You are on page 1of 13

MAKALAH FIQH DAN MANAJEMEN WAKAF DI

INDONESIA
TENTANG
SISTEM WAKAF DI BERBAGAI NEGARA MUSLIM DAN
ALIH FUNGSI HARTA WAKAF

DOSEN PENGAMPU:
VITO DASRIANTO, S.H.I., M.H

Oleh: AHMAD RAFI HSB (19070003)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
MANDAILING NATAL
2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena atas limpahan
nikmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah ini.

Kami menyadari bahwa di dalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari
bantuan dari beberapa pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini, kami mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah
ini terutama semua anggota kelompok yang telah mencurahkan segala tenaga,
materi, waktu dan pikirannya dalam pembuatan makalah ini.

Kami juga menyadari bahwa dalam proses pembuatan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan,baik dari segi pembahasan maupun cara penulisannya.
Namun demikian, kami telah berupaya dengan segala kemampuan dan
pengetahuan yang dimiliki, sehingga makalah ini dapat selesai dengan baik.

Oleh karena itu,kami dengan rendah hati dan tangan terbuka menerima
masukan, saran dan usulan guna penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kami dan para pembaca.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Panyabungan, September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .........................................................................i

DAFTAR ISI .......................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ......................................................................1


B. Rumusan Masalah .................................................................1
BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep Universalitas Dan Regionalitas Berlakuya Hukum


Pidana Islam............................................................................2
B. Konsep Negeri Islam Dan Negeri Non Islam.........................5
C. Teori Tentang Wilayah Berlakunya Hukum Pidana Islam.....6

BAB III PENUTUP


A.Kesimpulan ...........................................................................9

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehidupan manusia dalam pergaulan masyarakat membutuhkan suatu


keadaan yang tertib agar dapat menjalani hidup dengan tenteram, damai, dan
sejahtera. Kebutuhan akan ketertiban ini merupakan syarat yang paling
fundamental bagi terciptanya suatu masyarakat yang teratur. Sedangkan ketertiban
itu sendiri merupakan tujuan yang paling pokok dan pertama dari segala hukum. 1
Hal ini merupakan implikasi dari sebuah kenyataan hidup bahwa manusia
diciptakan oleh Allah SWT hidup berdampingan dengan manusia lainnya.

Hukum pidana Islam (fiqh jinayah) merupakan syariat Allah SWT yang
mengatur ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang
dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban),
sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al-
qur’an dan Hadits.2 Hukum pidana Islam pada hakikatnya mengandung
kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Syariat
Islam dimaksud, secara materil mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia
untuk melaksanakannya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep universalitas dan regionalitas berlakuya hukum pidana
islam?
2. Bagaimana konsep negeri islam dan negeri non islam?
3. Bagaimana teori tentang wilayah berlakunya hukum pidana islam?

1
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Cet. ke-2,
Alumni, Bandung, 2006. Hal. 3
2
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Cet. 1., Sinar Grafika, Jakarta, 2007. Hal. 27

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Universalitas Dan Regionalitas Berlakuya Hukum Pidana Islam


Tujuan hukum Islam sejalan dengan tujuan hidup manusia serta potensi
yang ada dalam dirinya dan potensi yang datang dari luar dirinya, yakni
kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat, atau dengan ungkapan yang
singkat, untuk kemaslahatan manusia. Tujuan ini dapat dicapai dengan cara
mengambil segala hal yang memiliki kemaslahatan dan menolak segala hal yang
merusak dalam rangka menuju keridoan Allah sesuai dengan prinsip tauhid.
Menurut al-Syathibi, salah satu pendukung Mazhab Maliki yang terkenal,
kemaslahatan itu dapat terwujud apabila terwujud juga lima unsur pokok. Kelima
unsur pokok itu adalah agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta.
Menurut al-Syathibi, penetapan kelima pokok kebutuhan manusia di atas
didasarkan pada dalil-dalil al-Quran dan Hadis. Dalil-dalil tersebut berfungsi
sebagai al-qawaid al-kulliyyah (kaidah-kaidah umum) dalam menetapkan al-
kulliyyah alkhamsah (lima kebutuhan pokok). Ayat-ayat al-Quran yang dijadikan
dasar pada umumnya adalah ayat-ayat Makkiyah yang tidak dinasakh (dihapus
hukumnya) dan ayat-ayat Madaniyah yang mengukuhkan ayat-ayat Makkiyah. Di
antara ayat-ayat itu adalah yang berhubungan dengan kewajiban shalat, larangan
membunuh jiwa, larangan meminum minuman keras, larangan berzina, dan
larangan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar. Dengan dasar
ayat-ayat itulah, maka alSyathibi pada akhirnya berkesimpulan bahwa adanya
lima kebutuhan pokok bagi manusia tersebut menempati suatu yang qath’iy
(niscaya) dalam arti dapat dipertanggungjawabkan dan oleh karena itu dapat
dijadikan sebagai dasar menetapkan hukum.
Dalam usaha mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok itu al-
Syathibi mengemukakan tiga peringkat maqashid al-syari’ah (tujuan syariat),
yaitu pertama adalah tujuan primer (maqashid al-daruriyyah), kedua adalah tujuan
sekunder (maqashid al-hajjiyyah), dan ketiga tujuan tertier (maqashid al-

2
tahsiniyyah). Atas dasar inilah maka hukum Islam dikembangkan, baik hukum
pidana, perdata, ketatanegaraan, politik hukum, maupun yang
lainnya.Diketahuinya tujuan-tujuan hukum Islam itu akan mempermudah ahli
hukum dalam mempraktekkan hukum. Apabila ilmu hukum tidak dapat
menyelesaikan hukum suatu peristiwa maka dengan memperhatikan tujuan-tujuan
tersebut, setiap peristiwa hukum akan dengan mudah diselesaikan. Pengkategorian
yang dilakukan oleh al-Syathibi ke dalam tujuan primer, sekunder, dan tertier
seperti di atas menunjukkan begitu pentingnya pemeliharaan lima unsur pokok
tersebut dalam kehidupan manusia. Di samping itu, pengkategorian ini mengacu
tidak hanya kepada pemeliharaan lima unsur, akan tetapi mengacu pula kepada
pengembangan dan dinamika pemahaman hukum yang diciptakan oleh Tuhan
dalam rangka mewujudkan kemaslahatan manusia. Dengan mengacu kepada lima
kebutuhan pokok manusia dan tiga peringkat tujuan syariat tersebut, dapatlah
dipahami bahwa tujuan utama pemberlakuan hukum pidana Islam adalah untuk
kemaslahatan manusia.
Abdul Wahhhab Khallaf memberikan perincian yang sederhana mengenai
pemberlakuan hukum pidana Islam yang dikaitkan dengan pemeliharaan lima
kebutuhan pokok manusia dalam bukunya ‘Ilmu Ushul al-Fiqh
1. Memelihara agama (hifzh al-din)
Agama di sini maksudnya adalah sekumpulan akidah, ibadah, hukum, dan
undang-undang yang dibuat oleh Allah untuk mengatur hubungan manusia
dengan Tuhannya dan juga mengatur hubungan antar manusia. Untuk
menjaga dan memelihara kebutuhan agama ini dari ancaman musuh maka
Allah mensyariatkan hukum berjihad untuk memerangi orang yang
menghalangi dakwah agama. Untuk menjaga agama ini Allah juga
mensyariatkan shalat dan melarang murtad dan syirik. Jika ketentuan ini
diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama tersebut, dan Allah
menyuruh memerangi orang yang murtad dan musyrik.
2. Memelihara jiwa (hifzh al-nafs)
Untuk memelihara jiwa ini Allah mewajibkan berusaha untuk mendapatkan
kebutuhan makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Tanpa kebutuhan

3
tersebut maka akan terancamlah jiwa manusia. Allah juga akan mengancam
dengan hukuman qishash (hukum bunuh) atau diyat (denda) bagi siapa saja
yang menghilangkan jiwa. Begitu juga Allah melarang menceburkan diri ke
jurang kebinasaan (bunuh diri).
3. Memelihara akal (hifzh al-‘aql) Untuk menjaga dan memelihara akal ini
Allah mengharuskan manusia mengkonsumsi makanan yang baik dan halal
serta mempertinggi kualitas akal dengan menuntut ilmu. Sebaliknya, Allah
mengharamkan minuman keras yang memabukkan. Kalau larangan ini
diabaikan, maka akan terancam eksistensi akal. Di samping itu, ditetapkan
adanya ancaman (hukuman dera 40 kali) bagi orang yang meminum minuman
keras.
4. Memelihara keturunan (hifzh al-nasl)
Untuk memelihara keturunan Allah mensyariatkan pernikahan dan sebaliknya
mengharamkan perzinaan. Orang yang mengabaikan ketentuan ini, akan
terancam eksistensi keturunannya. Bahkan kalau larangan perzinaan ini
dilanggar, maka Allah mengancam dengan hukuman rajam atau hukuman
cambuk seratus kali.
5. Memelihara harta (hifzh al-mal)
Untuk memelihara harta ini disyariatkanlah tata cara pemilikan harta,
misalnya dengan muamalah, perdagangan, dan kerja sama. Di samping itu,
Allah mengharamkan mencuri atau merampas hak milik orang lain dengan
cara yang tidak benar. Jika larangan mencuri diabaikan, maka pelakunya akan
diancam dengan hukuman potong tangan. Dari uraian di atas jelaslah bahwa
kelima kebutuhan pokok tersebut merupakan hal yang mutlak harus ada pada
manusia. Karenanya Allah menyuruh untuk melakukan segala upaya bagi
keberadaan dan kesempurnaannya. Sebaliknya, Allah melarang melakukan
perbuatan yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah satu dari kelima
kebutuhan pokok itu. Hukuman atau sanksi atas larangan itu bersifat tegas
dan mutlak. Hal ini ditetapkan tidak lain hanyalah untuk menjaga eksistensi
dari lima kebutuhan pokok manusia tadi. Atau dengan kata lain, hukuman-
hukuman itu disyariatkan semata-mata untuk kemaslahatan manusia. Dengan

4
ancaman hukuman yang berat itu orang akan takut melakukan perbuatan
terlarang yang diancam dengan hukuman tersebut. Dengan demikian,
pemberlakuan hukum pidana Islam itu juga untuk menciptakan kemaslahatan
di antara umat manusia seluruhnya.
B. Konsep Negeri Islam dan Negeri Non Islam
Para Ulama telah mengelompokkan warga Non-Muslim yang boleh
tinggal di negara Islam dalam beberapa kategori, yaitu:
1. Kaum Zimmi: Ahl Al-Zimmah atau mereka yang mengakui hegemoni negara
Islam, yang mempunyai persoalan yang ditetapkan oleh perjanjian keamanan.
Negara Islam wajib melindungi mereka berdasarkan keamanan tersebut.
2. Penduduk yang ditaklukkan: orang Non-Muslim adalah orang yang berperang
melawan kaum muslimin, lalu mereka dikalahkan oleh kaum Muslimin dan
tidak lagi mempunyai kekuatan. Mereka ini otomatis menjadi Zimmi atau
menjadi tanggung jawab negara Islam. Mereka harus membayar jizyah yang
ditetapkan, namun mereka tetap mendapat perlindungan dalam hidup mereka,
kekayaan dan kehormatan seperti yang diberlakukan terhadap orang Islam.
3. Orang Non-Muslim yang tinggal di negara Islam sebagai warga negara.
4. Orang Non-Muslim yang tinggal di negara Islam untuk sementara.
5. Penduduk asing yang memilih dengan sukarela hidup di wilayah negara
Islam.
6. Ada sejumlah pedoman dalam al-Quran dan sunnah yang menjelaskan
tentang upaya memperkuat hubungan antara muslim dan Non-Muslim.

Dasar hubungan tersebut termaktub dalam Q.S. Muntahah 60/ 8-9. Ayat
ini memberi penjelasan bahwa orang Muslim dituntut untuk bersikap baik dan adil
terhadap orang-orang kafir, kecuali kalau mereka memerangi atau mengusir kaum
Muslimin dan agama mereka.

Prinsip Negara dan Pemerintahan Berdasarkan Fiqh Siyasah


Pembentukan negara adalah suatu keharusan, karena umat Islam
diharuskan untuk menunjuk pemimpin di antara mereka. Oeh karena itu,
mendirikan negara adalah kondisi yang harus ada dalam kehidupan Islam. Ini

5
karena tidak adanya otoritas politik, beberapa ajaran Islam (seperti kebebasan
beribadah) tidak dapat dilindungi dan diwujudkan secara optimal. Oleh karena itu,
untuk menyadari bahwa perlu memiliki kekuatan, serta pemahaman bahwa kodrat
manusia memiliki kebutuhan fisik selain adanya kebutuhan spiritual, maka Islam
tidak akan pernah menjadi konten hanya dengan menggambarkan cita-citanya.
Tetapi harus disertai dengan upaya untuk menemukan sarana yang tepat untuk
menerapkan cita-cita. Dalam hal ini, kekuasaan dan negara adalah sarana dasar
untuk mewujudkan cita-cita tersebut, terlepas dari bentuk negara selama ini tidak
bertentangan dengan aturan umum hukum yang sejalan dengan hukum Islam.
Prinsip-prinsip umum pemerintahan yang baik, melalui kepatuhan
terhadap prinsip-prinsip umum pemerintahan yang baik diharapkan bahwa
pelaksanaan negara dan pemerintah dapat mengakomodasi kepentingan sambil
melindungi hak-hak setiap warga negara. Seperti yang telah kami sebutkan
sebelumnya, konsep fiqh siyasah tergantung pada waktu, tempat, situasi dan
kondisi di mana fiqh akan diterapkan.
Konsep kenegaraan dalam Islam tidak secara khusus ditentukan dalam Al-
Qur’an dan Sunnah. Dalam hal ini Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW tidak
memberikan instruksi khusus tentang pembentukan negara Islam. Allah SWT
melalui kata-katanya telah memerintahkan untuk melakukan amal makruf dan
nahi mungkar, yaitu melakukan perbuatan baik dan menghindari perbuatan jahat.
Serta, Nabi Muhammad SAW yang tidak memberikan panduan khusus untuk
mendirikan negara Islam. Tetapi secara umum Allah SWT dan Nabi Muhammad
SAW telah menentukan pedoman yang harus ditaati ketika akan melakukan
semua tindakan yang termasuk pembentukan dan regulasi negara.
Dapat disimpulkan bahwa tidak ada ketentuan yang pasti tentang konsep
negara Islam. Sehingga apapun bentuk negara, asalkan menjamin hak dan
kewajiban umat Islam untuk beribadah kepada Allah SWT, maka negara tersebut
telah sesuai dengan syariat Islam.
C. Teori Tentang Wilayah Berlakunya Hukum Pidana Islam
Pembentukan undang-undang dapat berlakunya  undang-undang yang
dibuatnya.pembentuk undang-undang pusat dapat menetapkan berlakunya

6
undang-undang pidana terhadap tindak pidana atau di luar wilaytah Negara,
sedangkan pembentukan undang-undang daerah hanya terbatas pada daerahnya
masing-masing. Dari sejarah hukum pidana dapat diketahui bahwa sudah sejak
lama orang mengenal apa yang oleh Mayer disebut elementen princip, atau yang
oleh Van Hamel disebut grondbeginsel, yang kedua-duanya dapat diterjemahkan
dengan “asas dasar yang menentukan” pada waktu mengadili seseorang yang
dituduh telah melakukan tindak pidana. Hakim tidak dibenarkan memberlakukan
undang-undang pidana lain kecuali yang berlaku di negaranya sendiri. Tetapi
sekarang orang harus mengakui kenyataan bahwa sulit untuk memberlakukan asas
dasar tadi tanpa penyimpangan sedikitpun. Bagaimana caranya agar pelakuntindak
pidana itu dapat diadili oleh hakim seperti yang dimaksud dalam asas dasar
terdebut (memberlakukan undang-undang negaranya sendiri?) untuk memecahkan
persoalan tersebut di dalam doktrin dikenal beberapa asas yang bias disebut
sebagai: “Asas-asas tentang berlakunya undang –undang pidana menurut tempat”.
Asas-asas tersebut adalah:

1. Asas Territorial

Tercantum dalam Pasal 2 yang menyatakan: “ketentuan pidana dalam


Undang-undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di alam
wilayah Indonesia melakukan tindak pidana”. Berdasarkan ketentuan
pasal ini maka bagi setiap orang (baik WNI maupun orang asing) yang
melakukan tindak pidana di wilayah Republik Indonesia, maka baginya
dikenakan aturan pidana yang dicantumkan dalam undang-undang
Indonesia.

2. Asas Kebangsaan atau Asas Nasional Aktif atau Asas Personal

Asas ini dapat pula disebut asas kepentingan nasional atau asas


personalitas. Asas ini tercantum pada Pasal 5 KUHP. Berdasarkan pasal
ini maka, bagi warga Negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di
luar wilayah Indonesia yang menyangkut tentang keamanan Negara,
kedudukan Kepala Negara, penghasutan untuk melakukan tindak pidana,

7
tidak memenuhi kewajiban militer, perkawinan melebihi jumlah yang
ditentukan, dan pembajakan, maka pelakunya dapat dituntut menurut
aturan pidana Indonesia oleh Pengadilan Indonesia. Kepentingan nasional
yang dipertahankan di sini adalah agar pelaku tindak pidana yang warga
negara Indonesia itu, walaupun peristiwanya terjadi di luar Indonesia tidak
diadili dan dikenakan hukum dari Negara yempat terjadinya peristiwa itu.

3. Asas Perlindungan atau Asas Nasional Pasif

Asas ini juga disebut asas perlindungan (bescherming-beginsel). Asas ini


bertujuan melindungi wibawa dan martabat Negara Indonesia dari
tindakan orang jahat yang dilakukan oleh warga Negara Indonesia maupun
orang asing yang mengancam kepentingan nasional Indonesia. Asas
nasionalitas pasif in tidak melihat kewarganegaraan dari pelaku, melainkan
melihat pada tindak pidana yang terjadi itu telah mengancam kepentingan
nasional (Indonesia).

4. Asas Persamaan atau Asas Universalitas

Asas ini melindungi kepentingan antar Negara tanpa melihat


kewarganegaraan pelakunya. Yang diperhatikan adalah kepentingan
Negara lain sebagai tempat dilakukannya suatu tindak pidana tertentu.

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum pidana yang berlaku di Indonesia hingga sekarang ini masih


merupakan warisan dari pemerintahan Hindia Belanda. Sejak awal abad ke-19
Hindia Belanda memberlakukan kodifikasi hukum pidana yang pada mulanya
masih pluralistis, yakni Undang-undang Hukum Pidana untuk orang-orang Eropa
dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk orang-orang Bumiputra serta
yang dipersamakan (inlanders). Mulai tahun 1918 di Indonesia diberlakukan satu
Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk seluruh golongan yang ada di Hindia
Belanda 11 (unifikasi hukum pidana) hingga sekarang (Bustanul Arifin, 2001:
46). Sejak Indonesia merdeka kitab hukum pidana itu diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP
dinyatakan berlaku melalui dasar konstitusional pasal II dan IV Aturan Peralihan
UUD 1945 dengan Undang-undang No. 1 tahun 1946.

9
DAFTAR PUSTAKA

Mardani. Hukum Islam dalam Hukum Positif Indonesia. Depok: Rajawali Pers.
2018.

Munabari Fahsela. Mendamaikan Syariah Dan NKRI: Strategi Mobilisasi Dan


Retorika Gerakan Islam Revivalis Forum Umat Islam (FUI).Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada. 2019

Suny, Ismail. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.


Dalam Amrullah Ahmad et.al. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem
Hukum Nasional. Jakrta: Gema Insani Press. 1996

Turner, Bryan S. Religion and Modern Society: Citizenship, secularization and


the State. New York: Cambridge University Prtess. 2011.

Qardhawi, Yusuf. Membumikan Islam: Keluasan dan Keluwesan Syariat Islam


untuk Manusia. Terjemahan. Bandung: Mizan. 2018.

Qodir, Zuly. Sosiologi Politik Islam: Kontestasi Islam Politik dan Demokrasi di
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012

Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.

10

You might also like