You are on page 1of 18

MAKALAH SOSIOLOGI KOMUNIKASI

TENTANG
BASIS SOSIAL DAN PARADIKMA TEORI KOMUNIKASI

DOSEN PEMBIMBING:
Dr. DATUK IMAM MARZUKI, M.A

OLEH :

1. Raja ali Da'i(211400008)


2. Fadhilah Rahmadani (21140009)

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
MANDAILING NATAL
2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh


Puji dan syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena
berkat hidayah dan taufiq-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah kami
dengan tepat waktu. Mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan kesehatan dan
kesempatan kepada kita sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya
Sholawat dan salam ke Ruh junjungan nabi Besar muhammad SAW yang
telah membawa risalah islam ke tengah-tengah ummatnya, guna mengeluarkan
ummatnya dari alam kebodohan menuju alam yang berilmu pengetahuan yang
disertai iman dan islam sebagaiman yang kita rasakan saat sekarang ini.
Akhirnya hanya kepada Allahlah kami berserah diri dan memohon ampun
atas kesalahan yang diperbuat, mudah-mudahan makalah ini dapat berguna bagi
penulis khususnya, pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Panyabungan, Oktober 2022

Pemakalah

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................i
DAFTAR ISI ..................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................1
B. Rumusan Masalah ............................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Basis Sosial Dan Paradigma Teori Komunikasi............................2
B. Jenis Pengetahuan Dan Paradigma Lain Dalam Komunikasi........5
C. Pendekatan Keilmuan Dalam Komunikasi....................................9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia memiliki persoalan besar dengan kesadaran dan bahasanya,


kesadaran manusia memiliki persoalan dengan pikiran manusia, di mana dalam
fisika modern dikatakan bahwa pikiran manusia memiliki tangan dalam dunia
objektif manusia. Bahwa pikiran manusia bekerja berdasarkan kesadaranya
terhadap alam semesta yang ada,  sementara kesadaran manusia memiliki
hubungan yang sangat terbatas dengan realitas yang subjektifs dan realitas
objektif.

Orang yang pertama menggunakan istilah sosiologi adalah August Comte


(1798-1857). Mengatakan ada tiga tingkatan intelektual yang harus dilalui
masyarakat, ilmu pengetahuan, individu atau bahkan pemikiran masyarakat dan
dunia sepanjang sejarahnya. Pertama, tahap teologis yang menjadi teologis yang
menjadi menerangkan segala sesuatu, bukanlah para dewa. Dengan demikian
pandangan terhadap ciptaan tuhan  mengalami degradasi kekuasaan dihadapan
manusia, Ketiga, pada tahun 1800 dunia memasuki tahap positivistikyang ditandai
oleh keyakinan terhadap sains.

Asal mula kajian komunikasi dalam sosiologi bermula dari akar tradisi
pemikiran Karl Mrx, di mana Maxr sendiri adalah masuk sebagai pendiri sosiologi
yang beraliran Jerman, gagasan awal tentang Maxr tidak pernah lepas dari
pemikiran.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana basis sosial dan paradigma teori komunikasi?

2. Apa Jenis Pengetahuan Dan Paradigma Lain Dalam Komunikasi?

3. Bagaimana Pendekatan Keilmuan Dalam Komunikasi?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Basis Sosial Dan Paradigma Teori Komunikasi

Khazanah keilmuan komunikasi dipengaruhi oleh ilmu-ilmu. sosial di


mana ilmu sosial adalah induk dari ilmu komunikasi, di samping itu juga ilmu
komunikasi dipengaruhi oleh ilmuwannya dan stakeholder akademik di
sekitarnya.

Sebagaimana telah dijelaskan mengenai filsafat sosiologi komunikasi


maka sejarah teori komunikasi menempuh dua jalur. Pertama, kajian dan
sumbangan pemikiran Auguste Comte, Durkheim, Talcott Parson dan Robert K.
Merton merupakan sumbangan paradigma fungsional bagi lahirnya teori-teori
komunikasi yang beraliran struktural-fungsional. Kedua, Sumbangan-sumbangan
pemikiran Karl Marx dan Habermas menyumbangkan paradigma konflik bagi
lahirnya teori-teori konflik dan teori kritis dalam kajian komunikasi.

Di Indonesia, perkembangan teori komunikasi dan kajian-kajian media


dan komunikasi menunjukkan perkembangan yang sangat menonjol sejak hampir
sepuluh tahun terakhir ini. Desakan dan pergeseran ke-arah perubahan dan
perkembangan studi-studi komunikasi telah dirasakan sejak rezim Soeharto
berkuasa, namun ke kuasaan politik lebih kuat dari keinginan masyarakat itu
sendiri sehingga banyak jatuh korban dan teori-teori komunikasi menjadi
terpasung. Namun setelah Habibie berkuasa, keran media massa dibuka lebar-
lebar, sehingga booming media terjadi sangat dahsyat Studi-studi komunikasi
berkembang di berbagai perguruan tinggi dengan berbagai perspektif keilmuan.
Jumlah media terutama media televisi, radio, dan media cetak berkembang sangat
banyak di berbagai kota, terutama media televisi kemudian dengan regulasi yang
ada, dapat didirikan di berbagai kota kecil di Indonesia.1

1
A.S. Haris Sumadiria. (2014). Sosiologi Komunikasi Massa. Sembiosa Rekatama
Media, Bandung. Hal. 81

2
Basis sosial semacam ini melahirkan berbagai kajian dan perspektif
komunikasi sehingga mendesak teori-teori komunikasi konvensional. Berbagai
bidang studi terutama jenjang S2 dan S3 secara terbuka menerima berbagai
jurusan keilmuan, sehingga mahasiswa-mahasiswa dengan leluasa melakukan
hibridasi keilmuan, maka lahirlah berbagai perspektif baru dalam keilmuan
komunikasi yang selama ini didominasi oleh perspektif teori konvensional. Dunia
dan kajian komunikasi seperti gadis yang baru saja bisa menstruasi, masih remaja,
cantik, dan memesona. Jurusan-jurusan ilmu komunikasi kemudian sarat dengan
mahasiswa dan beberapa perguruan tinggi di Jakarta dan Bandung jurusan
komuikasi telah mengalahkan penerimaan fakultas ekonomi yang selama ini
berlimpah ruah dengan calon mahasiswa.

Perkembangan terakhir dunia komunikasi di Indonesia saat ini dipengaruhi


oleh tiga paradigma besar. Pertama, paradigma teori konvensional, yaitu
paradigma teori yang dianut oleh para ilmuwan komunikasi yang secara
keilmuannya mengembangkan teorinya ecara linier. Para ilmuwan ini memiliki
kecenderungan memandang teori komunikasi secara tradisional, mereka sejak
semula telah mempelajari bidang komunikasi sejak jenjang pendidikan SI dan
tidak memalingkan pandangannya terhadap teori-teori lain di sekitar objek
komunikasi. Kedua, paradigma kritis dan perspektif komunikasi, yaitu paradigma
komunikasi yang dianut oleh para sarjana yang awalnya (terutama SI) belum
mempelajari teori komunikasi, kemudian secara serius mempelajari komunikasi
secara kritis dan menurut perspektif komunikasi yang dilihatnya. Paradigma ini
antara lain adalah sosiologi komunikasi, hukum komunikasi dan hukum media,
psikologi komunikasi, komunikasi antarbudaya, komunikasi politik, komunikasi
organisasi, komunikasi publik, komunikasi sosial, semiotika komunikasi, public
relation, dan sebagainya. Ketiga, paradigma teknologi media. Paradigma ini lahir
dari para peminat teknologi telematika, terutama oleh para sarjana teknologi
informasi. Walaupun paradigma ini tidak terlalu berpengaruh dalam kancah teori
komunikasi bila dibandingkan dengan dua paradigma terdahulu, namun teori-teori
komunikasi menggunakan perkembangan teknologi media ini untuk merevisi
berbagai teori komunikasi yang ada hubungan dengan media dan komunikasi

3
massa.

Jadi, arah pengembangan teori banyak dipengaruhi oleh paradigma


teknologi informasi ini, sehingga perguruan tinggi ilmu komunikasi memandang
perlu mengajarkan teori dan sejarah teknologi komunikasi kepada mahasiswanya,
sekaligus terus menjadikan paradigma ini sebagai lahirnya perspektif baru dalam
teori-teori komunikasi sebagai metamorfosis dengan paradigma-paradigma lain.

Dari sisi lain, menurut Sendjaja (2005:11), bahwa ilmu komunikasi pada
dasarnya merupakan salah satu ilmu pengetahuan sosial yang bercirikan 'multi
perspektif' dan 'multi paradigma'. Selanjutnya ia mengatakan, berdasarkan basis
keilmuan, perspektif dan paradigma yang diterapkan dalam ilmu komunikasi
bermacam ragam.

Sehubungan dengan itu, berdasarkan metode dan logika, terdapat 4


(empat) perspektif yang mendasari teori dalam ilmu komunikasi. Keempat
perspektif tersebut adalah covering lows, rules, system dan symbolic
interactionism. Pemikiran perspektif pertama covering lows, yang berangkat dari
prinsip kausalitas atau hubungan sebab akibat (Berger, 1977), umumnya menjadi
basis pengembangan teori-teori komunikasi yang memerlukan pembuktian secara
empiris. Pemikiran perspektif rules, berdasarkan prinsip praktis bahwa manusia
aktif memilih, mengubah, dan menentukan aturan-aturan yang menyangkut
kehidupannya (Chusman, 1977). Perspektif ini banyak diterapkan dalam teori-
teori komunikasi pribadi. Perspekti sistem mempunyai 3 (tiga) model, yakni
'general system theory', 'cybernetics', dan 'structural fnnctionalism' (Monge,
1977), umumnya di jadikan landasan pada teori-teori informasi dan komunikasi
organisasi. Sementara perseptif symbolic interactionism, lebih mengutamakan
pengamatannya pada interaksi simbolis (Charon, 197S 1998) yang diterapkan
pada penelitian-penelitian tentang perilaku komunikasi antar-individu dalam
kehidupan sosial.

Paradigma ilmu komunikasi berdasarkan metodologi penelitiannya,


menurut Dedy N. Hidayat (1999) yang mengacu pada pemikiran Guba (1990:
1994) ada 3 (tiga) paradigma: (1) paradigma klasik (classical paradigm); (2)

4
paradigma kritis (critical paradigm; dan (3) paradigma konstruktivisme
(constructivism paradigm).

Menurut Sendjaja (2005), paradigma klasik (gabungan dari paradigma


'positivism' dan post-positivism menurut Guba), menurut Dedy N. Hidayat (1999),
bersifat 'interventionist', yakni melakukan pengujian hipotesis dalam struktur
hypothetico-deductive method, melalui laboratorium, eksperimen, atau survei
eksplanatif dengan analisis kuantitatif. Dengan demikian, objektivitas, validitas,
dan realibilitas diutamakan dalam paradigma ini. Paradigma kritis lebih
berorientasi 'participative' dalam arti mengutamakan analisis komprehensif,
kontekstual, dan multilevel analisis, dan peneliti berperan sebagai aktivis atau
partisipan. Sedangkan paradigma konstruktivisme, bersifat reflektif dan
dialektikal. Menurut paradigma ini, antara peneliti dan subjek yang diteliti, perlu
tercipta empati dan interaksi dialektis agar mampu merekonstruksi realitas yang
diteliti melalui metode kualitatif seperti observasi partisivasi (participant
observation).

Sedangkan berdasarkan fokus wilayah kajiannya, menurut Griffin (2003)


dalam Sendjaja (2005), paradigma teori dalam ilmu komunikasi dapat
dikelompokkan dalam 7 (tujuh) tradisi: (1) tradisi psikologi-sosial; (2) tradisi
sibernetika; (3) tradisi retorika; (4) tradisi semiotika; 5) tradisi sosiokultural; (6)
tradisi kritis; dan (7) tradisi fenomenologi. Tradisi psikologi-sosial
memfokuskan perhatiannya pada komunikasi sebagai pengaruh antarpribadi.
Tradisi sibernetika lebih melihat komunikasi sebagai pemrosesan informasi.
Tradisi retorika menitikberatkan perhatiannya pada komunikasi sebagai seni
berbicara di depan publik. Tradisi semiotika memandang komunikasi sebagai
proses sebagai makna melalui tanda-tanda. Tradisi sosiokultural, melihat
komunikasi sebagai penciptaan dan penentuan realitas sosial. Tradisi kritis lebih
menekankan pada konsepsi komunikasi sebagai tantangan reflektif terhadap
diskursus ketidakadilan. Sementara tradisi fenomenologi lebih memandang komu-
nikasi sebagai pengalaman diri dan orang lain melalui dialog.

B. Jenis Pengetahuan Dan Paradigma Lain Dalam Komunikasi

5
Ilmu komunikasi, menurut Charles R. Berger dan Steven H. Chaffee
(1987:15 dalam Sendjaja, 2005:9) dapat didefinisikan sebagai berikut:
"Communication science seeks to understand the production, processing
and effects of and signal systems by developing testable theories, containing
lawful generalizations, that explain phenomena associated with production,
processing, and effects'. Ilmu komunikasi berupaya memahami produksi,
pemrosesan dan pengaruh dari sistem-sistem tanda dan lambang, melalui
pengembangan teori-teori yang dapat diuji, berisikan generalisasi-
generalisasi yang sah yang menjelaskan fenomena yang berkaitan dengan
produksi, pemrosesan, dan pengaruh dari sistem tanda dan lambang
tersebut. Pengertian ilmu komunikasi ini cenderung berorientasi
'positivistik'.
Sementara itu, menurut Stephen W. Littlejohn (2002:11 dalam
Sendjaja, 2005), sebagai salah satu ilmu pengetahuan sosial, ilmu
komunikasi adalah "communication as a social science, communication
involves understanding how people behave in creating, exchanging, and
interpreting messages. Consequently, communication inquiry combines
both scientific and humanistic methods". Jadi, komunikasi adalah suatu ilmu
pengetahuan sosial yang memiliki ciri-ciri; berkenaan dengan pemahaman
tentang bagaimana orang berperilaku dalam mencipta- kan,
mempertukarkan, serta menginterprestasikan pesan-pesan. Oleh karena itu,
(penelitian) keilmuan yang dipergunakan dalam bidang komunikasi
memerlukan kombinasi penggunaan metode pendekatan 'scientific' (ilmiah
impirispositivistik) dan metode pendekatan 'humanistic' (humanistik).

1. Pandangan Humanistik

Menurut Littejohn (1996:11), tujuan humanitas adalah memahami respons


subjektif individual. Sains adalah suatu aktivitas "di luar sana" sedangkan
humanitas menekankan "di dalam sini". Sains berfokus pada dunia penemuan,
humanitas berfokus pada orang penemu. Sains berupaya mencari kosensus,

6
humanitas berupaya mencari interpretasi-interpretasi alternatif. Para humanis
sering merasakan ingin tahu terhadap pernyataan bahwa ada suatu dunia kekal
untuk ditemukan. Pakar humanitas cenderung tidak memisahkan "siapa
seseorang" menunjukkan "apa yang dilihatnya" karena penekanannya pada
respons subjektif. Pengetahuan humanistik teristimewa cocok terhadap
problem seni, pengalaman pribadi, dan nilai-nilai.
Hampir semua program riset dan penyusunan teori menyertakan beberapa
aspek baik pengetahuan ilmiah maupun pengetahuan humanistik. Pada suatu
saat ilmuwan adalah seorang humanis yang menggunakan intuisi kreativitas,
interpretasi, dan pandangan dengan ironis. Ilmuwan menjadi objektif dalam
menciptakan metode yang mengarah kepada observasi objektif, membuat riset,
merancang suatu proses kreatif. Dengan demikian, pada suatu saat ilmuwan
menjadi humanis pada gilirannya harus ilmiah, berupaya mencari fakta yang
dapat dipahami.
2. Pandangan Social Science
Salah satu pendekatan dalam ilmu pengetahuan adalah ilmu sosial.
Walaupun pada mulanya pendekatan ilmu sosial merupakan satu upaya
menggunakan pendekatan ilmu eksakta dalam melihat masyarakat sebagaimana
yang dimaksud oleh August Comte memperkenalkan sosiologi sebagai ilmu
yang membahas kehidupan sosial saat itu sehingga pada awalnya ilmu sosial
menggunakan metode yang dipinjam dari ilmu fisika. Dalam berupaya
mengobservasikan dan menginterpretasikan pola-pola perilaku manusia akar
ilmu sosial menjadikan manusia sebagai objek studi yang arus diobservasinya.
Apabila pola-pola perilaku pada kenyataanya ada, maka observasi haruslah
seobjektif mungkin. Dengan kata lain, ilmuwan sosial seperti ilmuwan alam
harus menegakkan konsensus pada apa yang diobservasinya secara akurat yang
nantinya akan dijelaskan atau diinterpretasikan.

Penginterpretasian mungkin rumit karena kenyataannya adalah objek


observasi itu adalah subjek manusia yang merupakan makhluk hidup yang
berbeda dengan fakta-fakta alam. Makhluk hidup mampu memiliki

7
pengetahuan dan memiliki nilai-nilai, membuat ia dapat berinterpretasi dan
melakukan tindakan. Kontroversi mengenai objek manusia sebagai makhluk
hidup dalam riset-riset ilmiah merupakan isu penting dalam ilmu sosial karena
respons subjektif individu sebagai objek riset haruslah dipertimbangkan dalam
memahami bagaimana orang berpikir dan mengevaluasi tindakannya.
Komunikasi mengandung pemahaman bagaimana manusia berperilaku dalam
mencipta, bertukar, dan penginterpretasian pesan-pesan. Akibatnya,
komunikasi memerlukan gabungan metode keilmuan sosial dan humanistik.
Dari berbagai pandangan yang dikemukakan para ahli secara umum, ilmu
komunikasi mempunyai 3 (tiga) karakteristik sebagai berikut: Pertama, ilmu
komunikasi merupakan ilmu sosial yang bersifat multidisipliner dan bidang
kajiannya sangat luas. Disebut demikian, karena untuk fenomena yang
berkaitan dengan produksi, proses dan pengaruh dari sistem-sistem tanda dan
lambang konteksnya sangat luas, mencakup berbagai aspek sosial, budaya,
ekonomi, dan politik dari kehidupan manusia. Unit analisisnya juga bervariasi,
mulai dari unit individual atau personal, kelompok organisasi, masyarakat luas
(dalam suatu negara), sampai ke unit-unit internasional dan global. Oleh karena
itu, pendekatan yang diterapkan dalam ilmu komunikasi bersifat
multidisipliner. Pemikiran-pemikiran teoretis yang dikemukakan dalam ilmu
komunikasi, berasal dari dan berkenaan dengan berbagai disiplin lainnya,
seperti sosiologi, psikologi sosial, politik, linguistik, antropologi, ekonomi,
ekologi, hukum, dan ilmu-ilmu yang lainnya termasuk ilmu eksakta. Kedua,
ilmu komunikasi tidak hanya merupakan ilmu pengetahuan yang bersifat
murni-teoretis-akademis, tetapi juga merupakan ilmu pengetahuan terapan
yang diperlukan berbagai kalangan praktisi. Karena, ilmu komunikasi juga
menjelaskan tentang seni produksi sistem-sistem tanda dan lambang,
mencakup berbagai aspek dan tingkat kepentingan yang sangat luas,
menyangkut kepentingan perorangan, kelompok, organisasi dan perusahaan,
sampai ke kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Sistem tanda dan
lambang juga diperlukan oleh seluruh bidang kehidupan, baik yang
menyangkut politik, sosial, budaya, ataupun ekonomi dan bisnis. Ketiga,

8
teknologi khususnya teknologi komunikasi yang diperlukan dalam proses
produksi sistem tanda dan lambang merupakan salah satu objek kajian utama.
Ini berarti pengembangan dan penerapan ilmu komunikasi tidak dapat
dilepaskan dari teknologi, baik dalam bentuk 'software' (perangkat lunak)
ataupun 'hardware' (perangkat keras). Karakter yang terakhir ini berkaitan
dengan penjelasan paradigma teori komunikasi lain yang telah disebutkan di
atas, yaitu paradigma teknologi media.2
C. Pendekatan Keilmuan Dalam Komunikasi
Ada dua pendekatan dalam keilmuan komunikasi yang selama ini
digunakan. Pertama, disebut pendekatan non-ilmiah atau unscientific dan
kedua adalah pendekatan ilmiah atau scientific.
1. Pendekatan Unscientific
Dalam sejarah umat manusia, usaha untuk menjawab dorongan ingin tahu
dan mencari kebenaran, bermula dari pendekatan ini. Sebelum orang
menggunakan pendekatan scientific, pendekatan unscientific sudah digunakan
dalam waktu yang cukup lama.
Pada pendekatan unscientific umumnya orang menjawab dorongan ingin
tahu dan mencari kebenaran, melalui:
a. Secara kebetulan.
b. Secara trial and error.
c. Melalui otorisasi seseorang.
d. Wahyu.
Tidak ada sumber pasti yang menjelaskan tentang keempat cara di atas
digunakan oleh umat manusia untuk menemukan kebenaran, namun menurut
logika sejarah, keempat cara di atas secara bertahap atau secara bersama-sama
digunakan orang untuk mencari kebenaran. Namun secara logika juga
penemuan kebenaran dilakukan orang dari kegiatan-kegiatan yang sederhana
dan secara bertahap meningkat mencapai kegiatan yang rumit dengan melibat
orang lain.
2
Burhan Bungin. (2014). Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Kencana, Jakarta. Hal. 72

9
a. Penemuan Secara Kebetulan
Pada mulanya manusia selalu kebingungan untuk memecahkan persoalan
hidupnya dan rintangan alam sekitarnya. Karena pada waktu itu tingkat
pengetahuan manusia amat rendah, maka manusia cenderung pasif terhadap
usaha memecahkan berbagai misteri kehidupannya. Akibatnya, semua
pengetahuan (kebenaran) diperoleh secara kebetulan.
Cerita-cerita yang sungguh menarik tentang penemuan semacam itu
adalah penemuan obat malaria yang dapat menyelamatkan berjuta-juta umat
manusia dari bahaya penyakit tersebut. Mulanya orang tidak dapat berbuat apa-
apa terhadap wabah malaria di mana-mana. Namun, setelah seorang Indian
yang menderita demam dengan panas yang amat tinggi, secara tidak sengaja
jatuh dalam sebuah sungai kecil yang airnya telah berwarna hitam. Tanpa
disengaja Indian itu terminum air sungai tersebut. Setelah kejadian ini,
berangsur-angsur orang Indian yang menderita malaria itu sembuh. Ternyata di
kemudian hari diketahui, bahwa air sungai yang berwarna hitam itu
disebabkan karena sebatang pohon Kina yang tumbang di sungai itu. Dari
kejadian ini, kemudian orang baru mengetahui bahwa pohon Kina dapat
dijadikan obat penyakit malaria.
Kelemahan yang terkandung dalam penemuan-penemuan secara kebetulan
ini, bahwa orang akan bersikap pasif terhadap dorongan ingin tahunya karena
semuanya terjadi secara kebetulan, dan akibatnya pengetahuan berkembang
sangat lambat. Dunia dan masyarakat berkembang menurut hukum alam dan
secara evolusi membentuk kehidupan yang menurut alam adalah yang terbaik.
Peran manusia hampir tidak ada, sehingga masyarakat juga ber- kembang dan
berubah menurut hukum alam dan sunatullah.3
b. Penemuan Secara Trial and Error
Tantangan alam semakin besar, membuat banyak orang mulai tidak
percaya bahwa temuan baru dan pemecahan misteri kehidupan yang lebih

3
Momon Sudarma. ((2014). Sosiologi Komunikasi. Mitra Wacana Media, Jakarta. Hal.
173

10
cepat hanya dapat dihasilkan dari penemuan secara kebetulan. Perkembangan
masyarakat yang terasa cepat menyebabkan manusia harus aktif mencari
kebenaran, kendati sarana pengetahuan untuk mencapainya masih sangat tidak
memadai. Namun untuk memotong waktu yang terlalu panjang ini, masyarakat
harus memulai sesuatu dengan cara mencoba-coba (trial and error) walau
tanpa kepastian.
Suatu usaha trial and error tidak diawali dengan sebuah harapan, kendati
tetap memiliki tujuan yang tak menentu, bahkan sering kali orang memulai
trial and error dengan harapan yang hampa. Sampai pada suatu saat tertentu
yang mungkin menghasilkan kejutan dari suatu proses coba-coba itu, dan
kemudian memberikan harapan yang lebih banyak terhadap orang untuk
meneruskan usaha tersebut. Suatu contoh dari proses trial and error ini adalah
yang pernah iilakukan oleh Robert Kock (Nawawi, 1983 dalam Bungin, 2001:
11). Kock pernah mengasah kaca, dengan maksud mencoba-coba apa yang
akan terjadi pada hasil asahan kacanya itu. Kock kemudian terus dan terus saja
mengasah kaca. Akhirnya, kaca tersebut ber- jentuk lensa yang mampu
memperbesar benda-benda yang tidak dapat dilihat oleh mata telanjang.
Kemudian ternyata lensa tersebut telah mendasari pembuatan miskroskop.
Dari pengalaman Kock di atas, tampak bahwa untuk mencapai ;u atu
pengetahuan atau kebenaran tertentu, orang sering kali harus melalui berbagai
usaha, kadang membutuhkan waktu yang lama ;ampai pada akhirnya ia
menemukan sesuatu yang berarti. Sehingga trial and error terlalu banyak
menghabiskan waktu, terlalu banyak mereka-reka, membuat spekulasi dalam
ketidakpastian.
c. Penemuan Melalui Otoritas
Pak Kamijo warga sebuah dusun di desa Kec. Candi Sidoarjo, percaya
betul bahwa hari Sabtu tanggal 27 Januari 2006 adalah hari yang paling baik
untuk melaksanakan pernikahan anaknya. Ternyata yang menentukan hari baik
bagi anaknya adalah seorang dukun di desanya itu. Begitu pula para pencari
keadilan menggunakan otoritas hakim dan mahkamah agung untuk
memutuskan sebuah perkara. Putusan hakim dan mahkamah agung adalah

11
hasil otoritas yang dipercaya paling tidak oleh salah satu pihak sebagai sesuatu
yang benar. Para pasien memandang diagnosis dokter sebagai sebuah
kebenaran, murid SD juga demikian, selalu memandang apa yang diajarkan
oleh gurunya sebagai sesuatu yang benar. Contoh-contoh tersebut adalah
kasus-kasus bagaimana orang menemukan kebenaran dalam hidupnya.

Kaum Skolastik yang begitu fanatik dengan Aristoteles, begitu kagum


dengan semua pertanyaan Aristoteles, sehingga sedikitpun tidak menaruh
curiga akan kelemahan pertanyaannya. Sampai-sampai mengiyakan saja apa
yang dikatakan Aristoteles, bahwa gigi wanita lebih banyak dari gigi laki-laki.
Padahal secara objektif jumlah gigi-gigi itu dapat dihitung sendiri. Kemudian
pada kesempatan lain, kaum Skolastik serta-merta menolak undangan Galelio
untuk melihat bulan-bulan dari Yupiter melalui teropong. Hal tersebut dalam
ilmu astronomi Aristoteles, tidak pernah menyebut-nyebutkan bahwa bulan-
bulan itu dapat dilihat.
Cerita-cerita di atas itu adalah contoh dari pendekatan otoritas dalam
menemukan kebenaran. Memang pendekatan ini lebih praktis bila
dibandingkan dengan pendekatan lainnya. Namun juga sangat terbuka untuk
suatu kesalahan yang fatal. Berbeda dengan pendekatan kebetulan atau trial
and error, menemukan kebenaran melalui otoritas membutuhkan orang lain
yang dapat dijadikan subjek otorisasi, karena pada pendekatan ini sadar
ataupun telah mengakui ketidakmampuan rasio seseorang untuk memecahkan
problem kebenaran yang sedang dihadapinya. Otoritas membuat orang
tergantung kepada orang yang memiliki otoritas tersebut dan membuat dirinya
bertaklid dan jumud serta tanpa disadari telah membekukan kreativitas manusia
dan usaha seseorang untuk berikhtiar. Otoritas telah menempatkan manusia
dan budaya tertentu, katakan saja seperti raja, pemerintah, undang-undang,
pengadilan, guru, pendeta, imam, dukun dan sebagainya, pada posisi yang amat
penting dalam pembentukan sikap masyarakat tentang suatu kebenaran.
Perkembangan selanjutnya, pendekatan otoritas hanya cocok untuk
menemukan kebenaran dokmatis bagi kepentingan tertentu, seperti dalam
kehidupan beragama, upaya-upaya penyembuhan penyakit, dan bentuk-bentuk

12
kepatuhan lainnya dalam sistem kekerabatan dan monarki. Namun tidak
menutup mata terhadap kebaikannya dalam hal usaha menuju pembuktian
kebenaran secara ilmiah dan rasional. Karena pada saat pikiran seseorang
terhempas dan kemudian dalam waktu yang hampir sama orang lain telah
menemukan cara-cara baru yang lebih ilmiah untuk memburu dan
membuktikan kebenaran yang menjadi "misteri besar" pada rasa ingin tahunya.
d. Menemukan Kebenaran Melalui Wahyu
Bagi orang tertentu menganggap bahwa sumber kebenaran hanyalah
berasal dari sang pencipta alam semesta ini. Karena itu, ia hanya mau berbicara
atau memberi keputusan apabila sudah mendapatkan wahyu. Wahyu dianggap
sebagai sumber kebenaran yang datangnya dari luar dirinya dan memberi
otorisasi terhadap keputusan dan tindakannya.
Meski sumber kebenaran melalui wahyu ini adalah bentuk penemuan
kebenaran yang paling tradisional, namun cara seperti ini tetap saja menjadi
cara menemukan kebenaran yang sampai saat didigunakan.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perkembangan terakhir dunia komunikasi di Indonesia saat ini
dipengaruhi oleh tiga paradigma besar. Pertama, paradigma teori
konvensional, yaitu paradigma teori yang dianut oleh para ilmuwan
komunikasi yang secara keilmuannya mengembangkan teorinya ecara linier.
Para ilmuwan ini memiliki kecenderungan memandang teori komunikasi
secara tradisional, mereka sejak semula telah mempelajari bidang komunikasi
sejak jenjang pendidikan SI dan tidak memalingkan pandangannya terhadap
teori-teori lain di sekitar objek komunikasi. Kedua, paradigma kritis dan
perspektif komunikasi, yaitu paradigma komunikasi yang dianut oleh para
sarjana yang awalnya (terutama SI) belum mempelajari teori komunikasi,
kemudian secara serius mempelajari komunikasi secara kritis dan menurut
perspektif komunikasi yang dilihatnya.

14
DAFTAR PUSTAKA

A.S. Haris Sumadiria. (2014). Sosiologi Komunikasi Massa. Sembiosa


Rekatama Media, Bandung
Burhan Bungin. (2014). Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma dan
Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Kencana, Jakarta.
Momon Sudarma. ((2014). Sosiologi Komunikasi. Mitra Wacana Media, Jakarta.

15

You might also like