You are on page 1of 20

MAKALAH

MATERI KURBAN

Dosen Pengampuh Mata Kuliah : Abd. Wahid S.Ag., M.Pd

DISUSUN OLEH :

Muhammad Hud Hudi : (22.1.1.0621.0017)

Nurul Fitriani Hasan : (22.1.1.0621.0027)

Aprilia : (22.1.1.0621.0006)

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah FIQH IBADAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) DDI POLEWALI MANDAR

TAHUN AJARAN 2022-2023


DAFTAR ISI

Daftar Isi ........................................................................................................ ii

Kata Pengantar............................................................................................... iii

BAB I
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2
BAB II
PEMBAHASAN 3
A. Pengertian Kurban dan Syaratnya 3
1. Pengertian Kurban 3
2. Syarat kesunnahan dan syarat sah berkurban 5
B. Syarat Hewan Kurban 6
1. Jenis Hewan 6
2. Ketentuan hewan kurban 8
3. PIlihlah hewan kurban yang terbaik 7
4. Tata cara menyembelih hewan kurban 8
C. Waktu berkurban 9
1. Waktu Jawaz 9
2. Waktu Fadhilah 10
3. Waktu Karahah (Makruh) 12
BAB III
KESIMPULAN & SARAN 13
A. Kesimpulan 13
B. Saran 13

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala

limpahan taufik, rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami mampu menyelesaikan

makalah singkat ini dalam bentuk dan isinya yang sangat sederhana. Shalawat

serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabiyullah Muhammad SAW yang

sudah memberikan suri tauladan yang baik dalam menjalani kehidupan kita

sehari-hari.

Dalam pembahasan makalah kali ini penulis sadari betul bahwa masih

banyak kekurangan dan kekhilafan dalam menyusun makalah singkat ini, akan

tetapi kami mencoba dan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa memberikan

sedikit pemahaman tentang materi kurban Yang notabenenya sudah menjadi hal

yang lumrah di masyarakat.

Semoga makalah ini bisa menjadi tambahan referensi bagi teman-teman

yang sedang atau akan melakukan penelitian berkaitan dengan Ibadah berkurban.

Semoga menjadi amal jariyah bagi kami yang telah menyusun makalah ini sampai

selesai.

Polewali 23 Sepember 2022

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ibadah kurban berasal dari syariat Nabi Ibrahim a.s, beliau

bermimpi Allah Swt memerintahkannya agar menyembelih putra

kesayangannya yaitu Ismail a.s. Mimpi itu beliau yakini sebagai mimpi

yang benar yang disampaikan Allah kepadanya. Oleh karenanya, mimpi

itu disampaikan kepada Ismail a.s dan Ismail a.s sependapat dengan

ayahnya bahwa mimpi itu adalah mimpi yang benar, sehingga perintah

Allah untuk menyembelih dirinya harus dilaksanakan. Pada saat Nabi

Ibrahim a.s dan Ismail a.s akan melaksanakan perintah dengan

penuh ketaatan dan ketundukan kepada-Nya, Allah mengganti Ismail a.s

dengan seekor sembelihan yang besar.

Kisah Nabi Ibrahim a.s ini diabadikan oleh Allah di dalam al-

Qur’an pada surat Ash-Shaffat 102-108 yang artinya : “Maka tatkala

anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim)

berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa

aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Dia (Ismail)

menjawab: "Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah)

kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang yang

sabar". Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan

anaknya atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami

panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah

membenarkan mimpi itu", sesungguhnya demikianlah Kami memberi

1
balasan kepada orangorang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-

benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor

sembelihan yang besar. Kami abadikan 2 untuk Ibrahim itu (pujian yang

baik) dikalangan orang-orang yang dating kemudian” (QS: Ash-

Shaffat : 103-108). 

2
2

Pelaksanaan kurban ditetapkan oleh agama sebagai upaya

menghidupkan sejarah dari perjalanan Nabi Ibrahim a.s. Peristiwa

itu harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama yang

menunjukkan ketakwaan, keikhlasan, dan kepasrahan seorang

Ibrahim pada perintah Allah Swt. dengan kepasrahan dan

ketundukan Nabi Ibrahim pada perintah-Nya. Allah pun

mengabadikan peristiwa tersebut untuk kemudian dijadikan contoh

dan teladan bagi manusia sesudahnya. Kurban atau yang juga

dikenal dalam istilah fiqih dengan sebutan udhiyyah, yaitu hewan

tertentu yang disembelih pada hari raya Idul Adha. Selain itu

juga diartikan sebagai penyembelihan hewan tertentu dengan

maksud mendekatkan diri kepada Allah Swt, yang dilaksanakan

pada hari raya Idul Adha atau hari Tasyriq pada tanggal 11, 12,

dan 13 Dzulhijjah.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Kurban?

2. Apa syarat hewan Kurban

3. Kapan waktu dan pelaksanaan Kurban?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian kurban

2. Untuk mengetahui syarat hewan kurban

3. Untuk mengetahui kapan dan pelaksanaan waktu kurban


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kurban dan Syaratnya

B. Pengertian Kurban

Kata kurban atau korban, berasal dari bahasa Arab qurban, diambil dari

kata : qaruba (fi’il madhi) – yaqrabu (fi’il mudhari’) – qurban wa

qurbaanan (mashdar).Artinya, mendekati atau menghampiri (Matdawam, 1984).

Menurut istilah, qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mend

ekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya. D

alam bahasa Arab, hewan kurban disebut juga dengan istilah udhhiyah atau adhdh

ahiyah , dengan bentuk jamaknya al adhaahi. Kata ini diambil

dari kata dhuha, yaitu waktu matahari mulai tegak yang disyariatkan untuk

melakukan penyembelihan kurban, yakni kira-kira pukul 07.00 – 10.00. 

Udh-hiyah adalah hewan kurban (unta, sapi, dan kambing) yang

disembelih pada hari raya Qurban dan hari-hari tasyriq sebagai taqarrub

(pendekatan diri) kepada Allah Qurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Imam

Malik, Asy Syafi’i, Abu Yusuf, Ishak bin Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm

dan lainnya berkata, “Qurban itu hukumnya Sunnah bagi orang yang mampu

(kaya), bukan wajib, baik orang itu berada di kampong halamannya (muqim),

dalam perjalanan (musafir), maupun dalam mengerjakan haji.” Sebagian

mujtahidin –seperti Abu Hanifah, Al Laits, Al Auza’i, dan sebagian pengikut

3
4

Imam Malik— mengatakan qurban hukumnya wajib. Tapi pendapat ini

dhaif (lemah). 

Ukuran “mampu” berqurban, hakikatnya sama dengan ukuran

kemampuan shadaqah, yaitu mempunyai kelebihan harta (uang) setelah

terpenuhinya kebutuhan pokok ( al hajat al asasiyah) –yaitu sandang, pangan, dan

papan– dan kebutuhan penyempurna (al hajat al kamaliyah) yang lazim bagi

seseorang. Jika seseorang masih membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan-

kebutuhan tersebut, maka dia terbebas dari menjalankan sunnah qurban (Al Jabari,

1994) Dasar kesunnahan qurban antara lain, firman Allah SWT :

“Maka dirikan (kerjakan) shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah. ” (QS

Al Kautsar : 2)

“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih qurban, sedang

qurban itu bagi kamu adalah sunnah.” (HR. At Tirmidzi)

“Telah diwajibkan atasku (Nabi SAW) qurban dan ia tidak wajib atas

kalian.” (HR.Ad Daruquthni)

Dua hadits di atas merupakan qarinah (indikasi/petunjuk) bahwa qurban

adalah sunnah. Firman Allah SWT yang berbunyi “wanhar” (dan berqurbanlah

kamu) dalam surat Al Kautas ayat 2 adalah tuntutan untuk melakukan qurban

(thalabul fi’li). Sedang hadits At Tirmidzi, “umirtu bi an nahri wa huwa sunnatun

lakum ” (aku diperintahkan untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi

kamu adalah sunnah), juga hadits Ad Daruquthni ” kutiba ‘alayya an nahru wa

laysa biwaajibin ‘alaykum” (telah diwajibkan atasku qurban dan ia tidak wajib


5

atas kalian); merupakan qarinah bahwa thalabul fi’li yang ada tidak bersifat jazim

(keharusan), tetapi bersifat ghairu jazim (bukan keharusan).

Jadi, qurban itu sunnah, tidak wajib. Namun benar, qurban adalah wajib

atas Nabi SAW, dan itu adalah salah satu khususiyat beliau.Orang yang mampu

berqurban tapi tidak berqurban, hukumnya makruh.

Sabda Nab SAW : “Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak

berqurban, maka janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami.” (HR.

Ahmad, Ibnu Majah,dan Al Hakim).

Perkataan Nabi “fa laa yaqrabanna musholaanaa” (janganlah sekali-kali

ia menghampiri tempat shalat kami) adalah suatu celaan (dzamm), yaitu tidak

layaknya seseorang –yang tak berqurban padahal mampu– untuk mendekati

tempat sholat Idul Adh-ha. Namun ini bukan celaan yang sangat/berat (dzamm

syanii’ ) seperti halnya predikat fahisyah (keji), atau min ‘amalisy syaithan

(termasuk perbuatan syetan), atau miitatan jaahiliyatan (mati jahiliyah) dan

sebagainya. Lagi pula meninggalkan sholat Idul Adh-ha tidaklah berdosa, sebab

hukumnya sunnah, tidak wajib. Maka, celaan tersebut mengandung hukum

makruh, bukan haram Namun hukum qurban dapat menjadi wajib, jika menjadi

nadzar seseorang, sebabmemenuhi nadzar adalah wajib sesuai hadits Nabi SAW :

“Barangsiapa yang bernadzar untuk ketaatan (bukan maksiat) kepada

Allah, maka hendaklah ia melaksanakannya. ” (lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah

XIII/157). Qurban juga menjadi wajib, jika seseorang (ketika membeli kambing,

misalnya) berkata,”Ini milik Allah, ” atau “Ini binatang qurban.”


6

C. Syarat kesunnahan dan syarat sah berkurban

a. Syarat kesunnahan berkurban

Mayoritas ulama mengatakan hukum berqurban adalah

sunnah mu’akad, yaitu sunnah yang pelaksanaannya sangat

dianjurkan. Seseorang melakukan qurban hukumnya sunnah,

apabila memenuhi syarat sebagai berikut:

1) Islam, merupakan syarat mutlak bagi orang yang melaksanakan ibadah

qurban Karena itu orang-orang kafir tidak wajib berqurban. Demikian pula

orang yang murtad.

2) Mampu, seseorang disunnahkan berqurban apabila ia mampu, orang yang

tidak mampu tidak disunnahkan berqurban dan tidak harus memaksakan

diri apabila hal tersebut justru akan memberatkan.

3) Merdeka, bukan seorang budak.

b. Syarat sah berkurban

Berqurban dianggap sah bila memenuhi syarat-syarat :

1) Berqurban pada waktunya, yaitu berlangsung setelah shalat hari raya ‘idul

adha hingga tenggelamnya matahari pada hari tasyrik yang ketiga.

2) Berqurban dengan hewan ternak yang sesuai tuntunan, hewan ternak

yang dijadikan qurban adalah hewan ternak berupa unta, sapi, kambing,

dan domba. Berdasarkan ijma’ para ulama bahwa unta mencakup semua

hewan yang sejenis dengannya, sapi mencakup kerbau, begitu juga dengan

kambing yang mencakup biri-biri dan domba.


7

3) Hewan yang digunakan berqurban tidak boleh cacat, seperti salah satu

matanya buta, pincang, sakit dan yang kurus tak berlemak. Maka apabila

ada hewan qurban yang menyandang salah satu dari keempat penyakit di

atas maka qurbannya tidak sah.

4) Hewan yang digunakan qurban cukup umur. Sebagian besar

ulama’ menyatakan bahwa batas minimal usia domba adalah enam

bulan, kambing minimal satu tahun, sapi minimal dua tahun, dan

unta minimal lima tahun

D. Syarat Hewan Kurban

1. Jenis Hewan

Para ulama sepakat bahwa semua hewan ternak boleh

dijadikan untuk kurban. Hanya saja ada perbedaan pendapat

mengenai mana yang lebih utama dari jenis-jenis hewan tersebut.

Imam Malik berpendapat bahwa yang paling utama adalah

kambing atau domba, kemudian sapi, lalu unta. Sedangkan Imam

al-Syafi’i berpendapat sebaliknya, yaitu yang paling utama adalah

unta, disusul kemudian sapi, lalu kambing.

Namun yang lebih penting dari itu, seorang yang hendak

berkurban harus memperhatikan kriteria-kriteria dari hewan yang

akan disembelihnya. Kriteria-kriteria tersebut diklasifisikasikan

sesuai dengan usia dan jenis hewan kurban, yaitu:


8

a. Domba (dha’n) harus mencapai minimal usia satu tahun lebih, atau sudah

berganti giginya (al-jadza’).

b. Kambing (ma’z) harus mencapai usia minimal dua tahun lebih.

c. Sapi dan kerbau harus mencapai usia minimal dua tahun lebih.

d. Unta harus mencapai usia lima tahun atau lebih.

B. Ketentuan hewan kurban

Adapun ketentuan berkurban, seekor kambing atau domba

diperuntukkan untuk satu orang, sedangkan unta, sapi dan kerbau

diperuntukkan untuk berkurban tujuh orang. Ketentuan ini dapat

disimpulkan dari hadits berikut:

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, “Kami telah

menyembelih kurban bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi

wasallam pada tahun Hudaibiyah seekor unta untuk tujuh orang

dan seekor sapi juga untuk tujuh orang.” (Hadits Shahih, riwayat

Muslim: 2322, Abu Dawud: 2426, al-Tirmidzi: 1422 dan Ibn

Majah: 3123).

C. PIlihlah hewan kurban yang terbaik

Dalam memilih hewan kurban, hendaklah memilih hewan

yang paling baik, yang demikian merupakan perbuatan sunnah,

seperti halnya yang disuratkan dalam QS. Al-Hajj: 32 yang

berbunyi:
9

”dan Barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka

Sesungguhnya itu timbul dari Ketakwaan hati.” Selain kriteria di

atas, hewan-hewan tersebut harus dalam kondisi sehat dan tidak

cacat. Sedangkan ada empat cacat hewan yang tidak sah dijadikan

hewan kurban yaitu:

a. Yang (matanya) jelas-jelas buta (picek).

b. Yang (fisiknya) jelas-jelas dalam keadaan sakit.

c. Yang (kakinya) jelas-jelas pincang.

d. Yang (badannya) kurus lagi tak berlemak.

Akan tetapi, ada beberapa cacat hewan yang tidak

menghalangi sahnya ibadah kurban, yaitu; Hewan yang dikebiri

dan hewan yang pecah tanduknya. Adapun cacat hewan yang

putus telinga atau ekornya, tetap tidak sah untuk dijadikan kurban.

Hal ini dikarenakan cacat yang pertama tidak mengakibatkan

dagingnya berkurang (cacat bathin), sedangkan cacat yang kedua

mengakibatkan dagingnya berkurang (cacat fisik).

D. Tata cara menyembelih hewan kurban

Teknis penyembelihan adalah sebagai berikut :

a. Hewan yang akan dikurbankan dibaringkan ke sebelah rusuknya yang kiri

dengan posisi mukanya menghadap ke arah kiblat, diiringi dengan membaca


10

doa ” Robbanaa taqabbal minnaa innaka antas samii’ul ‘aliim.” (Artinya : Ya

Tuhan kami, terimalah kiranya qurban kami ini, sesungguhnya Engkau

Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.)

b. Penyembelih meletakkan kakinya yang sebelah di atas leher hewan, agar

hewan itu tidak menggerak-gerakkan kepalanya atau meronta.

c. Penyembelih melakukan penyembelihan, sambil membaca : “Bismillaahi

Allaahu akbar.” (Artinya : Dengan nama Allah, Allah Maha Besar). (Dapat

pula ditambah bacaan shalawat atas Nabi SAW. Para penonton pun dapat

turut memeriahkan dengan gema takbir “Allahu akbar!”) 

d. Kemudian penyembelih membaca doa kabul (doa supaya qurban diterima

Allah) yaitu : “Allahumma minka wa ilayka. Allahumma taqabbal min ….”

(sebut nama orang yang berkurban). (Artinya : Ya Allah, ini adalah dari-Mu

dan akan kembali kepada-Mu. Ya Allah, terimalah dari….) .

Penyembelihan, yang afdhol dilakukan oleh yang

berqurban itu sendiri, sekalipun dia seorang perempuan. Namun

boleh diwakilkan kepada orang lain, dan sunnah yang berqurban

menyaksikan penyembelihan itu. Dalam penyembelihan, wajib

terdapat 4 (empat) rukun penyembelihan, yaitu :

a. Adz Dzaabih (penyembelih) , yaitu setiap muslim, meskipun anak-anak, tapi

harus yang mumayyiz (sekitar 7 tahun

b. Adz Dzabiih, yaitu hewan yang disembelih.Telah diterangkan sebelumnya.

c. Al Aalah, yaitu setiap alat yang dengan ketajamannya dapat

digunakan menyembelih hewan, seperti pisau besi, tembaga, dan lainnya.


11

Tidak boleh menyembelih dengan gigi, kuku, dan tulang hewan (HR. Bukhari

dan Muslim).

d. Adz Dzabh, yaitu penyembelihannya itu sendiri. Penyembelihan wajib

memutuskan hulqum (saluran nafas) dan mari` (saluran makanan).

E. Waktu berkurban

Kurban merupakan ibadah mahdhah yang telah diatur

detailnya dalam syari’at Islam. Mulai dari orang yang

disunnahkan, jenis hewan, cara penyembelihannya dan masih

banyak lagi. Salah satu yang diatur dalam kurban ini adalah waktu

penyembelihan kurban. Adapun waktu menyembelih kurban

berbeda-beda sesuai dengan keutamaan waktu tersebut para ulama

membaginya menjadi tiga bagian,

1. Waktu Jawaz

Yaitu apabila kita menyembelih kurban di waktu tersebut,

maka kurban kita sah. Waktu tersebut adalah yang diterangkan

oleh Imam Ibnu al-Qassim, “Adapun waktu diperbolehkan

berkurban ketika terbitnya matahari pada hari nahr atau tanggal 10

Dzulhijjah ditambah jeda waktu sekiranya bisa dilaksanakan

dalam waktu tersebut shalat dua rakaat dan khutbah yang ringan.”

B. Waktu Fadhilah
12

Yaitu apabila kita menyembelih kurban di waktu tersebut maka kurban

kita sah dan mendapat keutamaan yang lebih. Waktunya adalah ketika

meningginya matahari setinggi tombak setelah terbit ditambah jeda waktu

sekiranya bisa dilaksanakan dalam waktu tersebut shalat dua rakaat dan khutbah

yang ringan. Hal ini dikatakan oleh Imam Nawawi dalam Minhaj, Artinya:

“Adapun waktu diperbolehkan berkurban ketika meningginya matahari

setelah terbitnya setinggi tombak pada hari nahr atau tanggal 10 Dzulhijjah

ditambah jeda waktu sekiranya bisa dilaksanakan dalam waktu tersebut shalat dua

rakaat dan khutbah yang ringan. “Dan berlanjut waktu kebolehan

menyembelihnya hingga terbenam matahari hari taysriq terakhir. Aku (Imam

Nawawi) berkata,meningginya matahari adalah waktu fadhilah adapun waktu

yang disyaratkan untuk sahnya kurban didalamnya adalah ketika terbitnya

matahari ditambah jeda waktu sekiranya bisa dilaksanakan dalam waktu tersebut

shalat dua rakaat dan khutbah yang ringan. wallahua’lam.”

Imam Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan tolak ukur fadhilah disini

disebabkan karena menghindari khilaf . Karena Imam al-Ghazali dalam al-Wajiz

mengatakan bahwasannya masuknya waktu diperbolehkannya berkurban adalah

dimulai saat selesainya waktu dimakruhkan shalat setelah terbit matahari

ditambah jeda waktu sekiranya biasa dilaksanakan dalam waktu tersebut shalat

dua rakaat dan khutbah yang ringan. Atau dalam kata lain dimulainya waktunya

ketika matahari sudah meninggi setinggi tombak (336 cm) karena waktu

dimakruhkan shalat (sunnah tanpa sebab atau memiliki sebab yang mutaakhir)

adalah dari terbitnya matahari sampai meningginya matahari setinggi tombak.


13

Imam Ghazali berkata,“Awal masuknya waktu diperbolehkannya

berkurban adalah dimulai saat selesainya waktu dimakruhkan shalat setelah terbit

matahari ditambah jeda waktu sekiranya biasa dilaksanakan dalam waktu tersebut

shalat dua rakaat dan khutbah yang ringan”

Pendapat Imam Ghazali ini bukanlah pendapat yang paling benar, akan

tetapi demi sahnya berkurban dari semua pihak maka disunnahkan untuk

mengikuti pendapatnya, yaitu mengakhirkannya sampai waktu tersebut untuk

menghindari khilaf. Karena menghindari khilaf adalah sunnah.

C. Waktu Karahah (Makruh)

Adalah waktu dimakruhkan kita untuk menyembelih

kurban di waktu tersebut. Yaitu ketika malam hari tanpa ada hajat

atau udzur tertentu yang menghalanginya untuk berkurban di

waktu siang. Hal ini karena hadis : “Dari Sy. Abdullah bin Abbas

ra. bahwasannya Nabi SAW melarang untuk menyembelih di

malam hari” (HR. Thabrani)

Adapun hikmah dimakruhkan menyembelih di malam hari

telah disebutkan oleh Imam Syafi’I dalam kitabnya al-Umm:

“Adapun alasan kita makruhkan menyembelih kurban di malam

hari seperti alasan kita memakruhkan menempa besi di malam hari

karena malam itu waktunya untuk beristirahat dan siang orang-

orang bersibuk diri untuk mencari rezeki demi memenuhi

kebutuhan hidup. Maka dari itu kami menyukai untuk orang yang
14

membutuhkan daging itu untuk hadir karena hal itu lebih mudah

untuk orang yang ingin bersedekah. Juga karena orang-orang yang

mengurusi kurban dapat bekerja mengurusinya di waktu siang hari

yang mana hal itu lebih ringan untuk mereka, serta lebih aman dari

resiko kecelakaan dan tidak merusak suatu hal dari hewan

kurban.”

Adapun jika memiliki udzur seperti kesibukan kerja di

siang hari atau orang-orang hanya bisa berkumpul di malam hari

seperti yang ada di berbagai daerah, maka hilanglah kemakruhan

menyembelih kurban di malam hari karena hajat tersebut. Syekh

Abdul Hamid asy-Syarwani mengatakan,“Adapun maksud

perkataan Ibnu Hajar kecuali dengan hajat, adalah seperti

kesibukannya di siang hari yang membuatnya tidak bisa berkurban

di siang hari atau karena ada maslahat seperti memudahkan orang-

orang fakir di malam hari atau mengumpulkan mereka di malam

hari lebih mudah.”


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kami ingin menutup risalah sederhana ini, dengan sebuah

amanah penting, hendaklah orang yang berqurban melaksanakan

qurban karena Allah semata. Jadi niatnya haruslah ikhlas lillahi

ta’ala, yang lahir dari ketaqwaan yang mendalam dalam dada kita.

Bukan berqurban karena riya` agar dipuji-puji sebagai orang kaya,

orang dermawan, atau politisi yang peduli rakyat, dan sebagainya.

Sesungguhnya yang sampai kepada Allah SWT adalah taqwa kita,

bukan daging dan darah qurban kita. Allah SWT berfirman :

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak

dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan daripada

kamulah yang mencapainya. ” (QS Al Hajj : 37)

B. Saran

1. Orang yang berkurban harus mampu menyediakan hewan sembelihan

dengan cara halal tanpa berutang.

2. Kurban hendaknya binatang ternak, seperti unta, sapi, kambing, atau biri-

biri.

3. Binatang yang akan disembelih tidak memiliki cacat, tidak buta, tidak

pincang, tidak sakit, dan kuping serta ekor harus utuh dan lain lain

14
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Kurban_(Islam)https://news.detik.com/berita/d-
5106455/apa-arti-qurban-dalam-raya-idul-adha-ini-hukum-dan
ketentuannya

https://www.amalqurban.com/pengertian-qurban-secara-lengkap-dengan-
penjelasannya/

http://digilib.uinsby.ac.id/930/4/Bab%201.pdfhttp://repository.radenintan.ac.id/
2951/1/SKRIPSI_FIX.pdf

https://satriasaep.blogspot.com/2015/10/makalah-tentang-qurban-dan-
aqiqah.htmlhttp://makalah2107.blogspot.com/2016/10/makalah-
qurban.html

15

You might also like