You are on page 1of 7

Ahmad Hasan Hariri

11201110000055
Sosiologi 5 B
UTS Sospen

Laporan Mengajar di MTs Negeri 3 Jakarta

Setelah lima semester kuliah sosiologi, rasanya jurusan ini tidak relevan dengan dunia kerja. Saya
rasa ilmu yang dipelajari selama empat tahun kuliah di sosiologi tidak akan terpakai, kecuali jika jadi dosen,
guru, atau peneliti. Ditambah lagi semakin naik semester, semakin tidak jelas saja tugas-tugas dan dosen-
dosennya. Mulai dari tugas membuat review dengan tulis tangan sampai dosen yang hampir tak pernah
masuk tapi hobinya ngasih banyak tugas. Tapi tak apalah, setidaknya ada yang menarik selama kuliah di
sosiologi, yaitu bertemu dengan dosen yang paling rese se-UIN Jakarta. Tugas-tugasnya menantang, seru,
aneh, dan beda dari yang lain. Salah satunya adalah tugas mengajar di sekolah. Sejujurnya saya kaget
ketika mendengar tugas UTS Sosiologi Pendidikan harus mengajar di sekolah, saya langsung mikir, “ini
bener kan gue kuliah ‘sosiologi murni’, bukan ‘pendidikan sosiologi’?”. Okelah kalau penelitian, turlap,
observasi, dan wawancara, tapi ngajar kan tugasnya anak tarbiyah. Baiklah, kalau memang harus
mengajar, ini tantangan buat saya. Saya harus coba.

Masalah tidak hanya sampai di situ. Muncul pertanyaan di benak saya, “di mana saya akan
mengajar?” dan “siapa yang bisa diajak kerja sama?”. Kedua pertanyaan itu muncul karena dua hal.
Pertama karena saya baru beberapa minggu kuliah offline dan kedua, saya belum punya teman yang
benar-benar akrab untuk diajak kerja sama, ditambah lagi Pak Kesep bilang “jangan ngajar sekitar Ciputat,
karena bakalan rebutan sama anak Tarbiyah”. Saya sempat kepikiran untuk mengajar di sekolah pesantren
saya dulu, di Tasikmalaya. Iyalah, daripada ribet-ribet nyari dan ngurus surat di sini, mendingan ngajar di
sana, sekalian jalan-jalan dan silaturahmi dengan guru-guru.

Belum sempat saya menghubungi guru saya, tiba-tiba Freety nge-chat saya, dia ngajak saya buat
ngajar bareng. Kebetulan kostan dia dekat dengan MTs Negeri 3 Jakarta. Tanpa berpikir lama, kami
berbagi tugas. Saya mengurus persuratan dan dia mengurus izin dengan datang ke sekolah. Awalnya
bingung mau bikin surat kayak gimana, tapi tanpa diminta, Ilham membagikan surat izin mengajar di grup
kelas. Saya langsung mengedit-edit surat izin tersebut, kemudian di-print di tukang fotokopi. Alamak,
ternyata saya lupa, suratnya belum dibubuhi tanda tangan Pak Bakir dan cap fakultas. Saya satset-satset
mencari informasi bagaimana cara mendapatkan keduanya. Daffa mengatakan bahwa untuk
mendapatkan tanda tangan dan cap fakultas harus menghubungi salah satu staf tata usaha, Bu Sariyah.
Setelah mendapatkan nomor beliau, tanpa basa basi saya sampaikan maksud menghubungi beliau. Satset
saya ternyata tidaklah guna, saya pikir hari ini langsung jadi, ternyata harus menunggu satu hingga dua
hari untuk mendapatkan surat tersebut.

Ternyata di luar estimasi, keesokan harinya tepatnya Selasa, 13 September 2022—selesai mandi
dan bersiap-siap berangkat ke kampus, saya cek inbox e-mail kampus. Surat izin mengajar yang telah
ditandatangani dan diberi cap fakultas sudah masuk. Alhamdulillah. Langsung saya kirim Freety untuk
segera disampaikan kepada pihak sekolah. Malam harinya, kami bersyukur karena surat mengajar sudah
di-ACC oleh pihak sekolah. Keesokan harinya, ketika perkuliahan sosiologi pendidikan berlangsung saya
mendapat pesan singkat WhatsApp dari salah satu pegawai tata usaha MTs Negeri 3 Jakarta. Ya ampun,
Ahmad Hasan Hariri
11201110000055
Sosiologi 5 B
UTS Sospen
kami diminta menghadap kepala sekolah. Sebenarnya saya panik, tapi tetap tenang. “paling disuruh
jelasin mau ngajar apa,” ujar dalam hati.

Setelah mendapat pesan tersebut, kami langsung mendatangi sekolah tersebut. Di sana kami
disambut oleh Pak Jupri, salah satu pegawai tata usaha. Setelah menunggu beberapa saat, kami dipanggil
menuju ruang kepala madrasah. Sesampainya di ruang kepala madrasah, kami disambut dengan muka
masam Sang Ibu Kepala. Kami dihujani beberapa pertanyaan horror.

“Kalian ke sini mau apa? Mau ngajar apa?” tanya kepala madrasah sambil melihat surat izin kami

“Sebelumnya, perkenalkan kami dari UIN Jakarta, Bu. Kami dari prodi sosiologi semester lima.
Kebetulan, ada salah satu mata kuliah, yaitu sosiologi pendidikan yang mengharuskan kami mengajar di
sekolah,” saya menjawab dengan mencoba tetap tenang walau sedikit tegang.

“Jurusan sosiologi? Di MTs tidak ada mata pelajaran sosiologi. Kalau mau ngajar sosiologi, kalian
seharusnya datang ke madrasah aliyah, bukan ke madrasah tsanawiyah,” balas kepala madrasah dengan
sedikit garang. Tiba-tiba pikiran saya berkecamuk, bagaimana kalau tidak diizinkan mengajar di sini?
Belum sempat kami membalas karena tegang, tiba-tiba kepala madrasah berbicara lagi.

“Bagaimana? Masa mau ngajar bahasa Inggris atau bahasa Indonesia? Mengajar itu ada
prosedurnya, tidak boleh sembarangan. Kalian ‘kan prodi sosiologi, memangnya bisa mengajar selain
sosiologi?”

Kami semakin mati kutu, bingung mau jawab apalagi. Masa mau pindah sekolah, ini saja susah
banget ngurusin izinnya. Memang sih sebelahnya ada MAN 4 Jakarta, tapi alesan sebenarnya pengen
ngajar di MTs atau SMP ya biar materinya ga terlalu susah. Suasana hening sejenak. Kepala madrasah
kembali bertanya, “bagaimana, mau tetap mengajar?” hati ini ingin sekali menjawab ‘kamu nanyea? kamu
bertanya-tanya?’ wkwkwk tapi saya tahan.

Akhirnya, saya memberanikan diri untuk menjawab, “Baik, bu. Karena kami dari prodi sosiologi,
mungkin bisa mengajar IPS, karena salah satu materi IPS ada sosiologi. Mungkin ibu bisa
mempertimbangkan dulu. Lagi pula praktik ini hanya sekali dan merupakan bagian dari tugas penelitian
kami,”

Kepala madrasah tidak menjawab lagi, ia langsung mengambil ponselnya lalu menelepon salah
satu guru yang juga merupakan wakil kepala madrasah bidang kesiswaan. “Sebentar, ya. Saya panggil dulu
guru pembimbingnya,”. Huah, akhirnya kami dapat bernapas lega. Beberapa saat kemudian, guru
pembimbing perempuan itu datang.

“Mereka dari UIN Jakarta, katanya ada praktik mengajar. Saya mau lanjut rapat, ya. Mohon
dibimbing.” kepala madrasah memperkenalkan kami kepada guru tersebut.
Ahmad Hasan Hariri
11201110000055
Sosiologi 5 B
UTS Sospen
“Perkenalkan, nama saya Bu Is,” guru pembimbing memperkenalkan diri. “Mau ngajar IPS, ya?
Mau kelas tujuh, delapan, atau sembilan? Biar nanti saya atur jadwalnya.” lanjut Bu Is.

“Kalau bisa kelas tujuh, Bu.” jawab saya. Alasan sederhana mengapa ingin kelas tujuh, karena
mereka masih polos dan lugu, ditambah materinya yang menurut saya masih mudah.

“Oh, kelas tujuh, ya? Saya telepon gurunya dulu.” Bu Is menelepon salah satu guru IPS kelas tujuh.
Ia meminta guru tersebut bertemu dengan kami, tetapi ia tidak bisa karena jadwal mengajarnya padat.
“Bagaimana kalau kelas sembilan? Kebetulan Ibu megang IPS kelas sembilan.” Saya tidak langsung
mengiyakan, bertanya dulu pada Freety, ia setuju untuk mengajar kelas sembilan.

“Baik, Bu. Tidak apa-apa kami mengajar kelas sembilan.”

“Oke mari ke ruangan ibu dulu,” ajak Bu Is ke ruangannya. Kami keluar dari ruang kepala madrasah
yang tidak cukup luas itu dan menarik napas sedikit lega. Kami langsung menuju ruang wakil kepala
madrasah yang berada di sudut sekolah. Sesampainya di ruangan tersebut, kami berbincang dengan Bu
Is.

“Semester berapa?” tanya Bu Is membuka pembicaraan

“Kami semester lima, Bu.”

“Oh semester lima, ya. Sudah dapat mata kuliah perubahan sosial?”

“Sudah, Bu. Kebetulan matkul tersebut ada di semester empat.”

“Baik, kebetulan kelas sembilan sekarang sudah sampai materi perubahan sosial. Tidak susah, kok.
Kalian tinggal menjelaskan materi saja ditambah dengan contoh-contoh serta refleksi dari perubahan
sosial. Kalian boleh menambahkan referensi dari Google.” jelas Bu Is sambil menjelaskan isi buku IPS kelas
sembilan. “Untuk kelasnya, nanti kalian masuk kelas 9.7 dan 9.8. Mau kapan ngajarnya?”

“Mungkin insyaAllah kami mengajar Hari Jumat depan, Bu.”

“Oke, boleh. Nanti sebelum mengajar, kalian konfirmasi dulu via WhatsApp,” Bu Is lalu
membagikan kontaknya pada kami. Setelah selesai, kami berpamitan dengan beliau dan kembali ke
kampus untuk kuliah.

Seminggu kemudian, waktu mengajar telah tiba. Sebelumnya saya mengonfirmasi dulu pada Bu
Is mengenai kedatangan kami. Semalam sebelumnya juga kami melakukan briefing. Rencananya kami
akan menggunakan metode pembelajaran dengan menampilkan video dan siswa mendiskusikannya. Kami
juga berencana untuk memberi hadiah BengBeng dan sebungkus permen bagi kelompok terbaik dalam
mempresentasikan materi yang kami sampaikan.
Ahmad Hasan Hariri
11201110000055
Sosiologi 5 B
UTS Sospen
Saya bangun pagi dan bersiap-siap menuju sekolah. Biasanya saya tidur lagi setelah salat subuh,
tetapi untuk kali ini tidak. Saya langsung menuju kamar mandi dan segera bersiap-siap. Saya mengenakan
baju flanel hijau dan celana chinos, tak lupa membawa jas almamater kampus dan buku catatan yang
sudah dipersiapkan semalam. Setelah semua siap, saya langsung meluncur menggunakan motor. Di
perjalanan, saya overthingking, apakah kegiatan mengajar nanti berjalan dengan lancar? Saya dihantui
rasa takut. Saya takut tidak menguasai materi, takut gugup, takut tidak lancar saat berinteraksi dengan
siswa, dan siswa yang sulit diatur. Pikiran itu berkecamuk dalam benak saya, tetapi terus saya lawan.
Semalam sebelumnya, saya sudah meminta doa kepada kedua orang tua agar dilancarkan dalam kegiatan
mengajar. Bismillah. Selama di perjalanan saya juga cukup kehilangan fokus karena mengantuk akibat
mempersiapkan materi mengajar. Semalam Beginilah kehidupan di Jakarta yang keras, mati pun jadi
bayangan sehari-hari, apalagi jalanan Ciputat yang padat dan dipenuhi mobil-mobil besar seperti bus, truk,
dan kontainer.

Sebelum sampai di sekolah, saya mampir dulu ke salah satu minimarket untuk membeli BengBeng
dan permen. Saya baru sadar, ternyata harga satuan BengBeng naik. Seingat saya, dulu harganya hanya
lima ribu rupiah, kini naik tiga ribu, jadi delapan ribu. Setelah berdiskusi dengan Freety, kami memutuskan
untuk membeli BengBeng kecil isi empat dan permen kiss. Setelah membayar di kasir, kami langsung
menuju ruang wakil kepala madrasah untuk menemui Bu Is dan melakukan briefing. Karena hari ini hari
Jumat, jadwal dipadatkan menjadi jam pendek. Jika satu jam biasanya 40 menit, kali ini hanya 30 menit.
Setelah berdiskusi, kami sepakat Freety dulu yang masuk kelas 9.7. Dia meminta saya untuk
mendokumentasikan kegiatan dia mengajar. “Fotoin sama videoin yang estetik, ya, san.” katanya.

Kami berdua masuk kelas, ternyata kelas ini cukup baik secara fasilitas. Mulai dari kipas angin,
papan tulis putih, papan tulis matematika, speaker, bahkan proyektor tersedia di ruang kelas sekolah ini.
Menurut saya, ini merupakan kelas yang ideal untuk menunjang kegiatan belajar dan mengajar. Freety
membuka pembelajaran dengan perkenalan terlebih dahulu, kemudian menampilkan PPT dan
memaparkan materi. Setelah selesai memaparkan materi, ia membagi beberapa lima kelompok siswa
untuk berdiskusi. Diskusi berjalan dengan cukup baik, dilanjut oleh presentasi diskusi oleh masing-masing
kelompok. Kelompok 4 dan 5 merupakan kelompok terbaik sehingga mendapat BengBeng dan sebungkus
permen.

Setelah selesai, kami kembali ke ruang wakil kepala madrasah untuk beristirahat sejenak. Kami
bertemu lagi dengan Bu Is dan menceritakan pengalaman kami bertemu siswa yang cukup aktif di kelas.
Setelah bercerita, saya cukup terkejut setelah diberitahu ternyata di kelas 9.8, kelas saya mengajar hanya
tersisa satu jam pelajaran. Saya sebenarnya agak kecewa dan panik karena materi yang akan disampaikan
cukup banyak. Namun, saya coba kuatkan diri saya dan menerima realita. “yaudahlah, daripada ga
ngajar.” gumam saya dalam hati. Beberapa saat setelah berdiskusi, kami jalan-jalan dulu untuk melihat-
lihat sekolah. Seperti kebanyakan sekolah di Jakarta, struktur MTs Negeri 3 Jakarta terdiri dari tiga lantai
yang di tengahnya terdapat taman dan berbentuk mengotak. Keunikan sekolah ini juga terdapat dua
sekolah madrasah, yaitu MIN 4 Jakarta dan MAN 4 Jakarta. Sekolah ini mengusung program adiwiyata,
maka tak heran banyak tanaman dan terlihat asri lingkungannya. Kantin sekolah ini juga memiliki jajanan
Ahmad Hasan Hariri
11201110000055
Sosiologi 5 B
UTS Sospen
yang cukup menarik dan beragam. Para pedagang tidak diperbolehkan menggunakan plastik sekali pakai.
Namun saya melihat masih ada saja makanan dengan kemasan plastik, jadi ya tidak terlalu “ramah
lingkungan”.

Setelah cukup lama berkeliling lingkungan sekolah, tak terasa bel sudah berbunyi. Saya bergegas
menuju kelas 9.8. Sesampainya di dekat kelas, saya meminta para siswa untuk segera masuk kelas karena
waktunya terbatas. Ketua murid di kelas tersebut menertibkan teman-temannya. Saya memutuskan
untuk tidak menggunakan PPT dan menayangkan video karena keterbatasan waktu. Saya hanya
menggunakan catatan yang telah saya persiapkan selama semalam. Setelah semua siswa tertib, saya
langsung membuka kelas. Bismillahirahmanirrahim, semoga lancar.

“Assalamualaikum, teman-teman! Selamat pagi, apa kabar? Semoga kalian sehat, ya!” saya
membuka kelas dengan semangat. Salam dibalas oleh para siswa.

“Baik, perkenalkan nama saya Ahmad Hasan Hariri, kalian boleh panggil ‘Kak Hasan’, ya. Ingat,
jangan panggil saya ‘Bapak’, ya, soalnya saya masih seusia kalian, 15 tahun,” ketika saya mengatakan saya
masih 15 tahun, semua terkejut, “hah? Yang bener kak?” hahaha saya masih tidak percaya mereka
terkejut mendengar itu.

“Hehe, enggak kok, kakak lima tahun di atas kalian. Usia saya 20 tahun. Saya mahasiswa Sosiologi
semester lima di UIN Jakarta. Ada yang tahu di mana?” serentak mengatakan, “Ciputat, kak!”

“Karena waktu kita tidak banyak, kakak mohon perhatiannya, ya teman-teman. Kita akan belajar
dengan materi ‘perubahan sosial’. Sebelumnya sudah belajar materi ini kan dengan Bu Is?” semua
menjawab, “sudah, kak”.

“Baik, kakak hanya melanjutkan saja....”

Pembelajaran hari itu diawali oleh pemaparan materi perubahan sosial beserta refleksinya. Saya
mencoba membuat kelas secara interaktif dengan memberikan beberapa pertanyaan kepada siswa. Ada
siswa yang aktif menjawab, tetapi ada juga siswa yang cenderung pasif. Namun secara keseluruhan
mereka menyimak materi dengan baik dan tidak gaduh. Setelah lima belas menit memaparkan materi,
saya meminta di antara mereka untuk menjelaskan kembali materi yang telah saya sampaikan.

“Oke, teman-teman, di sini ada yang bisa menjelaskan ulang tidak apa yang sudah kakak
sampaikan?” saya mengiming-imingi akan diberi hadiah jika mereka mau maju ke depan, “kalau ada yang
bersedia, nanti kakak akan kasih kalian hadiah,”. Saya melihat sebenarnya mereka tertarik untuk
mengangkat tangan mereka, tetapi mereka ragu untuk melakukannya.

“Ayo, siapa yang mau? Jangan ragu-ragu dan jangan takut salah, karena di sini kita sama-sama
belajar.” saya mencoba meyakinkan mereka agar mau maju ke depan. Akhirnya, setelah diyakinkan, dua
orang siswa mengangkat tangannya, “saya, kak.”
Ahmad Hasan Hariri
11201110000055
Sosiologi 5 B
UTS Sospen
“Oke silakan jelaskan ulang apa yang sudah kakak jelaskan, ya.” Mereka menjelaskan dengan
cukup lancar walaupun yaa seadanya. Tak apa, yang penting mereka bisa melawan rasa takut salah dan
malu, karena keduanya merupakan musuh terbesar manusia abad dua puluh satu.

“Oke, karena kalian sudah menjelaskan ulang, ada BengBeng buat kalian. Masing-masing satu
bungkus, ya,” semua bertepuk tangan dan bersorak pada kedua siswa tersebut, “wiii....” bahkan ada yang
berbisik menyesal tidak berani maju ke depan.

“Oke, buat yang gak maju ke depan, ini ada permen untuk kalian,” mereka merasa senang. Saya
sempat tak menyangka ternyata mereka se-excited itu diberi makanan. Saya pikir anak-anak zaman
sekarang akan biasa saja dan cenderung tidak tetarik jika diberi hadiah makanan.

“Oke teman-teman, pertemuan kita cukup sampai di sini dulu, yaa. Wassalamu’alaikum
warohmatullahi wa barokatuh.”

“Sebelum itu, kakak boleh minta foto bersama?”

“boleh, kak...” akhirnya kami berfoto bersama

Setelah selesai, kami kembali menuju ruang wakil kepala madrasah untuk berpamitan dan
berterima kasih pada Bu Is.

“Bagaimana mengajarnya? Seru? Menyenangkan?” tanya Bu Is

“Alhamdulillah, Bu. Sangat menyenangkan, karena di luar ekspektasi. Saya pikir bakal pasif,
ternyata siswanya sangat aktif,”

“Alhamdulillah kalau begitu, tapi kalau dilihat-lihat kamu sudah sangat menguasai materi.
Sepertinya kamu sudah sering mengajar, ya?” sanjung Bu Is, hidung saya mekar tidak menyangka dipuji.

“Hehehe, terima kasih, Bu atas bantuan dan kesempatan di sekolah ini. Semoga ibu sehat dan
dipanjangkan rezekinya.”

“Aamiin. Semoga kalian juga dilancarkan kuliahnya dan nilai mata kuliah ini mendapat nilai yang
terbaik di antara yang terbaik. Ada yang ingin ditanyakan lagi?”

“Sepertinya tidak, Bu. Sudah cukup. Kami izin pamit, ya, Bu.” Setelah berpamitan dan bersalaman,
kami pulang ke rumah masing-masing.

Sepertinya sudah tidak ada lagi yang dapat saya ceritakan di sini. Namun karena tulisan ini belum
sampai 2500 kata, saya akan menyampaikan beberapa cerita tambahan. Sebenarnya laporan ini dibuat
mepet-mepet deadline. Rencananya, saya akan mengerjakan laporan ini pada Sabtu, 19 November 2022.
Pukul 10.00, ketika saya membuka laptop saya, saya membuka WhatsApp. Saya dikejutkan oleh kabar
Ahmad Hasan Hariri
11201110000055
Sosiologi 5 B
UTS Sospen
bahwa kiai saya meninggal dunia. Saya benar-benar terkejut saat itu. Sebelumnya beliau dirawat selama
sepekan di salah satu rumah sakit di Tasikmalaya. Setiap hari saya mendokan sambil memantau keadaan
beliau melalui media sosial. Namun, takdir mengatakan bahwa beliau harus pulang ke rahmatullah. Oleh
karena itu, tulisan ini sekaligus saya dedikasikan untuk kiai, guru, ayah saya, Almaghfurlah K.H. A.
Bunyamin Ruhiat, M.SI. semoga beliau senantiasa diberi rahmat dan masuk surga Allah SWT.

Terima kasih juga saya sampaikan kepada Pak Kesep yang telah memberikan tugas yang sangat
menantang ini, semoga saya mendapatkan nilai yang memuaskan. Bismillah Nilai A.

You might also like