You are on page 1of 12

LTM 1

Mata Kuliah Kolaborasi dan Kerjasama Tim Kesehatan 2


Dosen Pengampu: Yolanda Handayani, M.K.M. & Dr. dr.
Helda M.Kes.
Nama: Nafa Shahira Anglila Syaharani
NPM: 1906292490

A. Data Morbiditas dan Mortalitas Stunting di Tingkat Puskesmas dan Nasional


Jawab:
Secara global, masih terdapat 149,2 juta anak dibawah 5 tahun di dunia yang mengalami
stunting sesuai pada tahun 2020 dengan prevalensi 22%. Di Indonesia sendiri, masih
terdapat 1,3 juta anak balita yang menderita stunting pada tahun 2022 (Ditjen Bina
Pembangunan Daerah - Kementerian Dalam Negeri, 2022). Prevalensi stunting berada
pada 24,4% yang masih di atas standar WHO (20%) (Paudpedia Kemendikbudristek,
2022). Sedangkan untuk data tingkat puskesmas, berdasarkan data dari Puskesmas
Sawangan pada tahun 2021, jumlah kasus stunting di Kelurahan Sawangan mencapai
angka 7,56% dan Kelurahan Sawangan Baru yaitu 8,22% (…)

B. Besarnya Masalah dan Faktor Risikonya


Jawab:
Stunting adalah salah satu masalah gizi pada balita di dunia saat ini. Pada tahun
2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%) sedangkan
lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Menurut WHO, Indonesia merupakan
negara ketiga dengan prevalensi stunting tertinggi di regional Asia Tenggara. Rata-rata
prevalensi balita stunting di Indonesia pada tahun 2005-2017 yaitu 36,4% (Kemenkes
RI, 2018). Menurut data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir,
stunting merupakan masalah gizi dengan prevalensi tertinggi dibandingkan dengan
masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk (Kemenkes RI, 2018).
Pada balita stunting, perkembangan fisik dan kognitif akan mengalami kesulitan
sehingga tidak optimal. Anak juga berisiko untuk memiliki kecerdasan tidak maksimal
yang dapat berdampak pada penurunan tingkat produktivitas anak. Hal tersebut
tentunya dapat mempengaruhi kualitas generasi penerus bangsa Indonesia di masa yang
akan datang sehingga sulit bersaing di tingkat global.
Terdapat 4 faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan secara berturut-turut
menurut teori klasik H. L. Bloom, yaitu: gaya hidup (life style), lingkungan (sosial,
ekonomi, politik, budaya), pelayanan kesehatan, dan faktor genetik (keturunan).
Keempat determinan tersebut saling berinteraksi dan mempengaruhi derajat kesehatan
seseorang, termasuk dalam permasalahan stunting.
a. Faktor Perilaku
Pola asuh terhadap anak dapat berupa pemberian ASI dan makanan pendamping,
rangsangan psikososial praktik kebersihan dan sanitasi lingkungan, perawatan anak
dalam keadaan sakit berupa praktek kesehatan di rumah, dan pola pencarian
pelayanan kesehatan.
b. Faktor Lingkungan
1. Kondisi Ekonomi
Stunting terjadi karena adanya malnutrisi dalam jangka panjang khususnya
selama masa periode emas anak (Djauhari, 2017). Hal tersebut berkaitan
dengan kemampuan kondisi ekonomi untuk memenuhi asupan yang bergizi
dan pelayanan kesehatan untuk ibu hamil dan balita (Kemenkes RI, 2018).
Anak-anak yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi rendah
mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang lebih sedikit energi dan zat gizi
yang diperoleh dari makanan berdalam jumlah lebih lebih sedikit (Rahayu et
al., 2018).
2. Penyakit Infeksi
Terjadinya penyakit infeksi pada balita dapat menurunkan konsumsi makan
pada anak. Apabila hal tersebut terjadi secara berkepanjangan, maka dapat
menyebabkan malnutrisi. Anak yang kurang gizi dan memiliki daya tahan
tubuh yang akan semakin kurang gizi sehingga hal dapat mengurangi
kapasitasnya untuk melawan penyakit.
3. Sanitasi dan Keamanan Pangan
Daerah kumuh biasanya memiliki sanitasi yang kurang baik sehingga dapat
meningkatkan penularan penyakit infeksi seperti diare dan kecacingan
(Rahayu et al., 2018). Penyakit infeksi tersebut dapat menganggu penyerapan
nutrisi pada proses pencernaan dan penurunan berat badan bayi. Jika kondisi
ini terus-menerus terjadi, maka dapat mengakibatkan stunting (Kemenkes RI,
2018).
4. Pendidikan Ibu
Baik secara kualitas maupun kuantitas, individu dengan tingkat pendidikan
yang lebih tinggi akan cenderung memilih bahan makanan yang lebih baik. Ibu
yang memiliki tingkat pendidikan rendah kurang memahami kebutuhan agar
perkembangan anak dapat lebih optimal (Rahayu et al., 2018).
5. Pekerjaan Ibu
Dalam keluarga, ibu berperan dalam mengatur konsumsi pangan anggota
keluarga serta berusaha untuk memperbaiki gizi keluarga terutama untuk pada
bayi dan anak. Ibu yang langsung bekerja setelah bekerja dan harus
meninggalkan bayinya menyebabkan bayi tidak mendapatkan ASI. Hal
tersebut menyebabkan asupan gizi pada bayinya menjadi buruk dan bisa
berdampak pada status gizi bayinya (Rahayu et al., 2018).
c. Faktor Pelayanan Kesehatan
Akses pelayanan kesehatan merupakan bentuk pelayanan kesehatan dengan
berbagai macam jenis pelayanannya yang dapat dijangkau oleh masyarakat
(Maulany, Dianingati, dan Annisaa, 2021).
d. Faktor Keturunan
1. Kondisi Kesehatan Ibu
Kondisi kesehatan dan gizi ibu sebelum dan saat kehamilan serta setelah
persalinan dapat mempengaruhi petumbuhan janin sehingga
meningkatkan risiko terjadinya stunting. Ibu yang erlalu muda, terlalu tua,
terlalu sering melahirkan, dan terlalu dekat jarak kelahiran adalah faktor-
faktor yang memperberat kondisi ibu hamil. Usia kehamilan ibu yang
terlalu muda atau di bawah 20 tahun berisiko melahirkan bayi dengan
berat lahir rendah (BBLR) (Kemenkes RI, 2018).
2. BBLR
Seorang perempuan yang lahir BBLR besar risikonya ia akan menjadi ibu
yang stunted sehingga berisiko melahirkan bayi yang BBLR seperti
dirinya. Bayi BBLR mempengaruhi sekitar 20% dari terjadinya stunting
(Kemenkes RI, 2018). Bayi yang dilahirkan BBLR tersebut akan kembali
menjadi perempuan dewasa yang juga stunted dan akan mengulangi siklus
yang sama seperti sebelumnya (Rahayu et al., 2018).
C. Masalah Kolaborasi dan Kerjasama Tim Kesehatan
Jawab:
a. Aspek Kepemimpinan
Kepemimpinan dalam kolaborasi interprofesi kesehatan merupakan
kepemimpinan kolaboratif yang transformatif, situasional, terdistribusi, dan
berlandaskan atas nilai-nilai. Kepentingan untuk melayani merupakan motivasi
yang lebih kuat dalam kepemimpinan kolaboratif daripada dorongan individu
tersebut untuk memimpin, seperti melayani organisasi, profesi, atau sektor tertentu.
Hal tersebut sangat dibutuhkan untuk menggerakkan kolaborasi interprofesi
kesehatan dalam tatanan pelayanan kesehatan yang dinamis (McKimm, 2011; Dow
dkk., 2015 dalam Soemantri dkk., 2019). Berbagai capaian dalam kolaborasi
tersebut diperoleh melalui proses sebagai berikut (Liedtka dan Whitten, 1998
dalam Soemantri dkk., 2019):
1. Pengambilan keputusan bersama di antara berbagai pihak;
2. Kepemilikan bersama terhadap keputusan yang diambil;
3. Tanggung jawab bersama terhadap keputusan yang dihasilkan;
4. Bekerja melintasi batasan profesional dan fungsional; dan
5. Memantapkan faktor pendukung yang meliputi sumber daya, sistem,
dan proses.
Dalam mengatasi permasalahan gizi sebagai penyebab utama stunting,
intervensi sensitif merupakan salah satu solusi untuk mengatasi akar masalah yang
dilakukan melalui pendekatan multisektoral. Pendekatan multisektoral tercermin
melalui program gizi sensitif seperti Posyandu, PKH, PNPM Generasi, dan
Pamsimas. Langkah lainnya yaitu mengupayakan Dana Alokasi Khusus (DAK)
yang berbasis kinerja di sektor kesehatan dan pendidikan menggunakan indikator
gizi, mendorong penerapan pembayaran kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) untuk memperbaiki layanan gizi, dan lain-lain. Upaya advokasi juga
dilakukan untuk penguatan kepemimpinan dan kesadaran mengatasi masalah
malnutrisi; kapasitas untuk merencanakan, melaksanakan, dan memantau program
gizi multisektoral; serta penegakan Standar Pelayanan Minimum yang terkait
dengan layanan gizi dengan lebih baik. Oleh karena itu, penanggulangan stunting
merupakan tanggung jawab semua pihak. Kerja sama tersebut diharapkan dapat
mencapai satu tujuan utama yaitu perbaikan generasi masa depan yang sehat,
produktif, dan berdaya saing mulai dari pemenuhan gizi yang baik selama 1000
HPK anak hingga menjadi lingkungan agar tetap bersih dan sehat (Kementerian
Kesehatan RI, 2018).
Pemimpin pada setiap level harus mendukung dan mengarahkan tenaga
kesehatan untuk terlibat dalam kolaborasi interprofesi terkait penanganan
stunting. Selain itu, pemimpin juga harus memfasilitasi dan mengevaluasi
pelaksanaan kerjasama interprofesi dalam penatalaksanaan stunting
(Taufiqurrahman, Sri Utami and S, 2020).

b. Aspek Konflik
Konflik merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya
perbedaan pendapat maupun sudut pandang antara individu yang melakukan
interaksi (Dalimunthe, 2014). Berdasarkan hasil penelitian, terjadinya konflik
di dalam kesehatan karena adanya perbedaan pribadi, kurangnya pemahaman
terkait tugas dan pembagian tanggung jawab yang jelas, serta adanya
ketidakcocokan antar petugas kesehatan. Sehingga, konflik ini menjadi sesuatu
yang sangat mungkin terjadi di dalam sebuah kolaborasi kesehatan. Akan tetapi,
dalam menyelesaikan sebuah permasalahan kesehatan, diperlukan adanya
kerjasama atau kolaborasi interprofesi kesehatan agar dapat terbentuk mutu
pelayanan kesehatan yang baik khususnya dalam penyelesaian masalah
kesehatan yang besar seperti salah satu contohnya yaitu stunting. Masalah
stunting adalah salah satu isu penting dalam dunia kesehatan anak-anak yang
masih menjadi perhatian besar, khususnya anak-anak di negara terbelakang dan
negara berkembang. Oleh karena itu, diperlukan adanya langkah yang dilakukan
oleh seluruh tenaga kesehatan dalam menyelesaikan masalah ini.
Dalam kolaborasi kesehatan, pimpinan harus bisa mencegah adanya
konflik yang terjadi antar profesi agar dapat menciptakan pelayanan kesehatan
yang baik. Oleh karena itu, pimpinan harus bisa melakukan manajemen konflik
yang baik. Manajemen konflik menjadi salah satu cara untuk dapat
menyelesaikan permasalahan kesehatan karena dengan adanya manajemen
konflik, dapat menjadikan konflik yang terjadi antar tenaga kesehatan berubah
ke arah yang positif atau menguntungkan.
c. Komunikasi Interpersonal
Komunikasi merupakan salah satu aspek terpenting di dalam kolaborasi
kesehatan. Dengan adanya komunikasi yang baik maka akan terciptanya kerjasama
yang baik juga. Komunikasi yang baik dapat mencegah terjadinya konflik di dalam
kolaborasi. Salah satu aspek di dalam komunikasi yaitu komunikasi interpersonal.
Menurut R. Wayne Pace, komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi
adalah proses komunikasi antara dua orang atau lebih secara tatap muka. Selain itu
berdasarkan buku dari Deddy Mulyana yang berjudul Ilmu Komunikasi Suatu
Pengantar (2010) menuliskan bahwa komunikasi antarpribadi adalah komunikasi
antarmanusia secara tatap muka yang memungkinkan pesertanya menangkap
reaksi orang lain dengan langsung, baik secara verbal maupun nonverbal.
Pada kasus stunting, keterampilan komunikasi yang baik harus dimiliki
oleh tenaga kesehatan karena kasus stunting berkaitan erat dengan sosialisasi atau
pencerdasan yang perlu dilakukan kepada pasien atau klien. Menurut WHO,
penyebab terjadinya stunting yang paling umum adalah karena kurangnya asupan
gizi pada ibu hamil dan juga pola asuh yang tidak memadai dari sejak bayi di dalam
kandungan, di mana ibu hamil mungkin memiliki masalah kesehatan atau tidak
memenuhi nutrisi janin selama kehamilan. Oleh karenanya, perlu dilakukan
komunikasi yang baik untuk memberikan pencerdasan kepada ibu hamil ataupun
orang tua untuk mencegah terjadinya stunting pada anak bayi.

d. Komunikasi Interprofesional
Stunting dapat dicegah salah satunya melalui peningkatan kualitas
pelayanan kesehatan dengan melibatkan kolaborasi dari berbagai tenaga kesehatan
yang dikenal sebagai kolaborasi interprofesional. Kolaborasi interprofesional
adalah kerjasama yang saling menguntungkan antara dua atau lebih organisasi atau
profesi untuk mencapai tujuan tertentu. Melalui kolaborasi ini, pengetahuan
kesehatan dari pendekatan yang berbeda akan meningkat antar tenaga kesehatan
sehingga kerjasama pun menjadi lebih efektif. Tidak hanya bagi tenaga kesehatan,
peningkatan pengetahuan kesehatan khususnya terkait stunting juga penting bagi
kader kesehatan dalam kolaborasi interprofesional ini. Kader kesehatan berperan
sebagai komponen dari institusi masyarakat untuk membimbing dan mendampingi
ibu dan balita dalam mencegah stunting. Hal tersebut sesuai dengan konsep
kolaborasi interprofesional yang menekankan pada kerjasama yang saling
menguntungkan antara dua atau lebih organisasi atau profesi untuk mencapai
tujuan tertentu (Regita, 2022).
Sebelum bekerja secara kolaboratif, setiap tenaga kesehatan terlebih dahulu
menilai kesiapan diri yang dapat diukur melalui berbagai faktor, salah satunya
faktor personal diantaranya seperti perihal komunikasi. Antar tenaga kesehatan
harus membangun komunikasi dalam penanganan stunting pada balita. Informasi
penting juga harus dibagikan kepada sesama tenaga kesehatan. Hargailah
perbedaan pendapat oleh tenaga kesehatan lainnya. Kritikan dan saran dari tenaga
kesehatan lain sebaiknya diterima untuk membangun kolaborasi yang lebih baik
untuk perbaikan (Taufiqurrahman, Sri Utami and S, 2020).

D. Tugas dan Fungsi Tenaga Kesehatan dan Non Kesehatan


Jawab:
Tenaga Kesehatan
1. Dokter (Kementerian Kesehatan RI, 2020)
- Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta menegakkan diagnosis
berdasarkan klinis antropometri dan laboratorium.
- Menentukan pilihan tindakan, pemeriksaan laboratorium dan perawatan.
- Menentukan terapi obat dan preskripsi diet berkolaborasi dengan tenaga gizi
(ahli gizi).
- Melakukan konseling penyakit.
- Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap perkembangan medis dan
status gizi pasien.
- Bertanggung jawab pada asuhan medis dan kepada penderita secara
keseluruhan
2. Dokter Gigi
Peran dokter gigi dan rencana masa depan pencegahan stunting telah ditetapkan
oleh Pemerintah Indonesia dalam berbagai kegiatan sebagai upaya untuk
mengurangi terjadinya stunting di PERMENKES RI No. 39 tahun 2016. Upaya
yang dilakukan ditujukan pada berbagai kategori, yaitu: wanita hamil, balita,
anak-anak sekolah, remaja, dan dewasa muda. Sebagai seorang dokter gigi, ada
sejumlah hal yang dapat dilakukan untuk mengambil bagian dalam mengurangi
jumlah stunting di Indonesia, seperti berpartisipasi dalam berkontribusi pada
ANC, intervensi 1000 hari pertama, dan membantu dalam deteksi dini penyakit
(Nugraha, 2020).
3. Perawat/ Bidan (Kementerian Kesehatan RI, 2020)
- Melakukan pengukuran antropometri.
- Melakukan tindakan keperawatan atas instruksi dokter.
- Membantu pemantauan dan evaluasi pemberian makan kepada penderita.
- Bertanggung jawab pada asuhan keperawatan, antara lain pemeriksaan
tanda vital seperti suhu, frekuensi napas, denyut nadi.
4. Kesehatan Lingkungan
Menurut hasil penelitian (Irianti et al., 2019) bahwa faktor lingkungan telah
terbukti berhubungan dengan stunting sebagai penyebab tidak langsung. Hasil
penelitian tersebut (Irianti et al., 2019), menunjukkan bahwa sumber air minum
yang tidak memadai dan pengumpulan sampah yang tidak tepat berhubungan
dengan kemungkinan yang lebih tinggi dari stunting pada anak. Oleh karena itu
peran kesehatan lingkungan dalam mengurangi stunting anak di Indonesia dapat
berupa membantu penyediaan akses ke sumber air minum yang lebih baik dan
pengelolaan limbah padat rumah tangga yang lebih baik untuk mencegah infeksi
berulang, melakukan fortifikasi bahan pangan, memberikan pendidikan gizi
masyarakat, memberikan pelayanan PAUD, serta meningkatkan ketahanan
pangan dan gizi (Dinata, 2021).
5. Nutrisionis/dietisien (Kementerian Kesehatan RI, 2020)
- Melakukan pengkajian gizi.
- Membuat diagnosis gizi.
- Membuat intervensi gizi, contoh membuat formula WHO dan menyusun
menu makanan serta memberikan konseling gizi.
- Memantau dan mengevaluasi intervensi yang diberikan termasuk pemberian
makan kepada pasien.
- Bertanggung jawab pada asuhan gizi pasien
6. Ahli Kesehatan Masyarakat
1). Ahli Epidemiologi: Melakukan kegiatan pengamatan, penyelidikan,
tindakan pengamanan, penanggulangan penyebaran dan faktor-faktor yang
sangat berpengaruh, secara cepat dan tepat dengan melakukan
pengumpulan, pengolahan, analisa data dan interpretasi serta penyebaran
informasi serta pengembangan strategi dan metode terkait stunting.
2). Ahli Promosi Kesehatan:
- Melakukan pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) untuk remaja
putri, calon pengantin, dan ibu hamil.
- Melakukan promosi dan sosialisasi kesehatan mengenai stunting dan
pencegahannya, ASI eksklusif, makanan pendamping ASI (MPASI),
makanan terfortifikasi termasuk garam beryodium, dan Tablet
Tambah Darah (TTD)
3). Ahli Administrasi Kesehatan: Melaksanakan analisis kebijakan di bidang
administrasi pelayanan, perizinan, akreditasi dan sertifikasi pelaksanaan
program-program pembangunan kesehatan diantaranya program
mengenai stunting.
4). Ahli Biostatistika: Mengolah dan menganalisis data dan informasi
mengenai kasus stunting melalui pemanfaatan perangkat lunak statistik.
● Ahli Tenaga Kefarmasian
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 9 Tahun 2017,
tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan
kefarmasian yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.
Dalam kasus stunting, kurang lebih peran tugas dan fungsi ahli
tenaga kefarmasian di dalamnya adalah sebagai berikut:
❖ Memberikan pelayanan kefarmasian dan mengelola perbekalan
farmasi terkait.
❖ Memberi informasi pada profesional kesehatan lain mengenai
penggunaan obat-obatan diantaranya Tablet Tambah Darah
(TTD), obat cacing, dan suplementasi yang berhubungan dengan
stunting.
❖ Memantau dan mengevaluasi penggunaan produk farmasi (obat)
di fasilitas kesehatan dan masyarakat, seperti penggunaan Tablet
Tambah Darah (TTD).
7. Ahli Teknologi Laboratorium Medik
- Melakukan rangkaian pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui faktor
penyebab, memprediksi faktor risiko, dan pencegahan stunting.
- Melakukan identifikasi terhadap status stunting dan melakukan validasi
secara analitis terhadap hasil pemeriksaan laboratorium
- Melakukan deteksi dini stunting.

Non Tenaga Kesehatan


1. Supir Ambulans
Memelihara kelengkapan dan kelayakan mobil ambulans dan mengoperasikan
mobil ambulans sesuai dengan peraturan yang berlaku.
2. Petugas Kebersihan
Menjaga kebersihan puskesmas dan lingkungan sekitar puskesmas agar
kenyamanan pasien dan masyarakat terjaga serta menghindari munculnya
penyakit yang disebabkan oleh lingkungan yang tidak higienis dan bersih.
3. Petugas Keamanan
Membantu menjaga keamanan dan ketentraman puskesmas dan lingkungan di
sekitar puskesmas.

DAFTAR PUSTAKA

Dian Ayubi, Diantha Soemantri, and S. P. S. (2019) Kolaborasi dan Kerja Sama Tim
Kesehatan. Jakarta: Sagung Seto.
DITJEN BINA PEMBANGUNAN DAERAH - KEMENTERIAN DALAM NEGERI, D.,
2022. Dashboard Prevalensi. [online] Aksi.bangda.kemendagri.go.id. Available at:
<https://aksi.bangda.kemendagri.go.id/emonev/DashPrev> [Accessed 4 September
2022].
Dinata A, 2021. Peran Kesehatan Lingkungan Atasi Stunting. [online] Available at:
<https://litbangkespangandaran.litbang.kemkes.go.id/peran-kesehatan-lingkungan-atasi-
stunting/> [Accessed 4 September 2022]
Djauhari, T. (2017) ‘Gizi dan 1000 HPK’, 13.
Eliana, S. K. M., Sumiati, S., & Sumiati, S. (2016). Kesehatan Masyarakat. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Hendriyana, A., 2014. Praktik Kolaborasi Kesehatan Penting untuk Tingkatkan Kualitas
Pelayanan Kesehatan - Universitas Padjadjaran. [online] Universitas Padjadjaran.
Available at: <https://www.unpad.ac.id/2014/09/praktik-kolaborasi-kesehatan-penting-
untuk-tingkatkan-kualitas-pelayanan-kesehatan/> [Accessed 4 September 2022].
Kementerian Kesehatan RI (2018) ‘Cegah Stunting, itu Penting.’, Pusat Data dan Informasi,
Kementerian Kesehatan RI, pp. 1–27. Available at:
https://www.kemkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/Buletin-
Stunting-2018.pdf.
Kementerian Kesehatan RI, 2020. Buku Saku Pencegahan dan Tata Laksana Gizi Buruk pada
Balita di Layanan Rawat Jalan bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan
RI
Kemenkes RI (2018) ‘Buletin Stunting’, Kementerian Kesehatan RI, 301(5), pp. 1163–1178.
Kustriyani, M., 2016. Pelaksanaan Manajemen Konflik Interdisiplin oleh Case Manager di
Ruang Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang. Program Studi Magister Keperawatan
Universitas Diponegoro,.
Maulany, R., Dianingati, R. and Annisaa, E., 2021. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akses
Kesehatan. [online] Jurnal.unw.ac.id. Available at:
<http://jurnal.unw.ac.id/index.php/ijpnp/article/view/1161/947> [Accessed 16 August
2022]
Nugraha, A. P. 2020. Peran Dokter Gigi Cegah Stunting. Universitas Airlangga. [online]
Available at: <https://news.unair.ac.id/2020/05/21/peran-dokter-gigi-cegah-
stunting/?lang=id> [Accessed 3 September 2022]
PAUDPEDIA KEMENDIKBUDRISTEK, D., 2022. Prevalensi Stunting Indonesia 2022
Masih Diatas Standar WHO, 37% Pasangan Usia Subur Alami Anemia. [online]
Paudpedia.kemdikbud.go.id. Available at:
<https://paudpedia.kemdikbud.go.id/berita/prevalensi-stunting-indonesia-2022-masih-
diatas-standar-who-37-pasangan-usia-subur-alami-anemia?id=812&ix=11> [Accessed 4
September 2022].
Rahayu, A. et al. (2018) Study guide - Stunting dan upaya pencegahannya, Buku stunting dan
upaya pencegahannya.
Regita, S. G. (2022) ‘Interprofessional Collaboration Practices in Stunting Management
during Covid-19 Pandemic : A Scoping Review’, 2(2), pp. 64–74.
Sajidin, Muhammad. (2009). Aplikasi Komunikasi Dalam Keperawatan. Jakarta. Salemba
Medika
Taufiqurrahman, Sri Utami and S, R. (2020) Modul Implementasi IPC dalam Penanganan
Stunting. Surabaya: Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes.
Utomo, B. S. (2018). Bersama Cegah Stunting. Warta Kermas, 6-9.
UNICEF, U., 2022. Malnutrition in Children - UNICEF DATA. [online] UNICEF DATA.
Available at: <https://data.unicef.org/topic/nutrition/malnutrition/> [Accessed 3
September 2022].
Wapres RI, W., 2022. “Tahun 2022 Angka Prevalensi Stunting Harus Turun Setidaknya 3%”
- Stunting. [online] Stunting.go.id. Available at: <https://stunting.go.id/tahun-2022-
angka-prevalensi-stunting-harus-turun-setidaknya-3/> [Accessed 4 September 2022].

You might also like