You are on page 1of 18

SAMPUL

PERIODE IMAM MUJTAHID DAN PEMBEKUAN ILMU


FIQH

OLEH :
HAWAN : [ 50400122069]

WILDA AULIA DWI PUTRI : [ 50400122071]

MAGFIRATUL JANNAH :[ 50400122073]

SUJARWO :[ 50400122070]

HAMZAH SAM :[ 50400122072]

JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

ALAUDDIN MAKASSAR

2022/2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah Swt, yang telah memberikan rahmatnya kepada
kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.Tidak lupa pula kami kami ucapkan
kepada junjungan kami nabi Muhammad Saw.
Yang telah memberikan pelajaran kepada kita semua sebagai umat Islam. Terimakasih
kepada seluruh pihak-pihak yang telah membantu dan mendukung kami dalam
menyelesaikan tugas ini sehingga dapat akhir yang cukup memuaskan. Inilah usaha keras
kami, kami harap dapat bemanfaat bagi pembaca umumnya dan bagi kami khususnya.
Akhir kata kami ucapkan banyak terimakasih dan mohon maaf yang sebesar-
besarnya. Semoga bermanfaat. Amiiin.

Gowa, 8-11- 2022

Tertanda

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................................i


DAFTAR ISI ...................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................1

A.LATAR BELAKANG .................................................................................1


B.RUMUSAN MASALAH.............................................................................1
C.TUJUAN ......................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................2

A. PERIODE IMAM MUJTAHID DAN PEMBUKUAN


ILMU FIQH
1. SUMBER HUKUM ........................................................................3
2. YANG DI WARISKAN OLEH PERIODE INI
KEPADA PERIODE SELANJUTNYA ..................................... 5
B. PERIODE KEMUNDURAN
1. FAKTOR – FAKTO YG MENYEBABKAN
KEMUNDURAN .............................................................................7
2. KLASIFIKASIH MUJTAHID........................................................9
C. PERIODE KEBANGUNAN KEMBALI
1. TANDA – TANDA KEMAJUAN...................................................10
2. PENILAIAN DUNIA INTERNASIONAL TERHADAP
SYARI’AH ISLAM .........................................................................12

BAB III PENUTUP .........................................................................................14

A .KESIMPULAN
B. DAFTAR PUSTAKA ................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dahulu setelah periode perkembangan Ilmu Fiqih pada masa Tabi`in


dan adisitulah di mulai priode perkembangan Ilmu fiqih pada periode Imam
Mujtahid dan Pada saat itulah dibentuk pula beberapa buku dalam
membahas Ilmu Fiqih. Dahulu sebelum Nabi SAW wafat masalah hukum
syari’at tidak bermasalah. Secara esensial, fiqih sudah ada pada masa Nabi
SAW, walaupun belum menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Karena
Semua persoalan keagamaan yang muncul waktu itu, langsung ditanyakan
kepada Nabi SAW. Maka seketika itu solusi permasalahan bisa terobati,
dengan bersumber pada Al Qur’an dan sunnah sebagai alwahyu. Baru
sepeninggal Nabi SAW, ilmu fiqh ini mulai muncul, seiring dengan
timbulnya permasalahan-permasalahan yang muncul dan membutuhkan
sebuah hukum melalui jalan istinbat. Penerus Nabi Muhammad SAW tidak
hanya berhenti pada masa khulafa ar-rasyidin, namun masih diteruskan oleh
para tabi’in dan ulama’ hingga sampai pada zaman kita sekarang ini. Para
sahabat melakukan ijtihad dalam mentukan hukum. Pada masa tabi’in ijtihad
semakin berkembang. Seiring dengan semakin luasnya wilayah Islam dan
tersebarnya fuqoha ke berbagai wilayah. Maka ditemukan kasus-kasus baru
dalam hukum syari’at. Dari fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in dan Islam
yang semakin luas, sedang setiap hukum yang di fatwakan tidak terlalu
mudah untuk di ingat, maka para mujtahid mulai membukukan hukum fiqih
dan ushul fiqih.

1
B. RUMUSAN MASALAH

1. Periode imam mujtahid dan pembukuan ilmu fiqh


2. Periode kemunduran
3. Periode kebangunan kembali

C. TUJUAN

1. Mengetahui periode imam mujtahid dan pembukuan ilmu fiqh


2. Untuk mengetahui faktor-faktor kemunduran
3. Menjelaskan periode kebangunan kembali

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PERIODE IMAM MUJTAHID DAN PEMBUKUAN ILMU


FIQH

1. SUMBER HUKUM
Ada dua hal yg penting tentang Al – Qur’an pada masa ini yaitu :
Pertama : [adanya kegiatan] menghafal Al – Qur’an kedua : memperbaiki tulisan
Al – Qur’an dan memberi syakal terhadap Al – Qur’an. Hal ini di rasa penting, sebab orang
muslim non – arab bisa salah dalam membaca Al – Qura’an. Maka gubernur irak waktu itu
ziyad bin abidin meminta kepada abu al – aswad aduali untuk memberi syakal. Maka abu al –
aswad aduali memberi syakal di setiap akhir kata, yaitu : di beri satu titik di atas huruf
sebagai tanda fatha, adapun tanda kasrah dengan satu titik di bawah huruf, tanda dhamah
dengan satu titik di samping huruf dan tanda tanwin dengan dua titik. Kemudian al – kholil
bin ahmad memperjelas bentuk tanda – tanda ini yaitu dengan alif di atas huruf sebagai tanda
fatha, ya di bawah huruf sebagai tanda kasrah dan wawu di atas huruf sebagai tanda kasrah
dan wuwu di atas huruf sebagai tanda dhamah. Di samping itu yg di beri tanda bukan hanya
huruf akhir dari kata, akan tetapi seluruh huruf. Terakhir, gubernur irak al hajaj bin yusuf atas
perintah khalifah abdul malik bin marwan meminta kepada nashr bin ashim untuk
menyempurnakannya, maka nashr pun memberi tanda satu titik atau dua titik pada huruf –
huruf yg tertentu, seperti qof dengan dua titik, fa dengan satu titik dan seterusnya.
Untuk hadisi pun sebagai sumber hukum yg kedua pada masa ini mulai di bukukan,
antara lain yg sampai kepada kita kitab al – muwatho yg di susun oleh imam malik pada
tahun 140 H. Kemudian pada abad ke dua hijriah di bukukan pula kitab – kitab musnad,
antara lain musnad ahmad ibnu hanbal, pada abad ketiga hijriah di bukukanlah kutubu sittah,
yaitu : shahih bukhari, mus- him abu dawud, anasa’I, aturmudzi, dan ibn majah.
Pada masa ini seluruh cara berijtihad yang kita kenal sudah di gunakan, meskipun para
ulama di setiap daerah memiliki warna masing – masing dalam berijtihadnya. Misalnya, abu
hanifah dan murid –muridnya di irak selain al – qur’an, sunnah dan ijma lebih menekankan

3
penggunaan qiyas dan istihsan, sedangkan imam malik di hijaz selain al – qur’an, sunnah,
dan ijma lebih menekan kan penggunaan al – maslahan al – mursalah.
Adapun sebab – sebab berkembanganya ilmu fiqh dan gairahnya berijtihad pada periode
ini antara lain adalah :

Pertama : wilayah islam sudah sangat meluas ke timur sampai ke tionkok dan ke
barat sampai ke andalusia [spanyol sekarang ] dengan jumlah rakyat yang banyak sekali.
Sudah tentu negeri yang sangat luas ini membutuhkan pengaturan yang menjadi pegangan
para hakim dan para pemimpin pemerintah, serta fatwa yang di butuhkan oleh rakyatnya,
untuk perundang – undangan dan fatwa ini tidak ada sumber lain kecuali syari’ah. Kondisi
yang semacam ini mendorong para ulama untuk berijtihad agar bisa menerapkan syari’ah
untuk semua wilayah yang berbeda – beda milieu [lingkungan ] nya dan bemacam – macam
masalah yang di hadapinya.

Kedua : para ulama pada masa itu telah memiliki sejumlah fatwa dan cara berijtihad
yang mereka dapatkan dari periode sebelumnya. Di samping Al – Qur’an telah di bukukan
dan telah tersebar di kalangan muslimim, demikian pula Al – Qur’an telah di bukukan dan
telah tersebar di kalangan muslimin , demikian pula al – sunnah sudah mulai di bukukan
pada permulaan abad ketiga hijriah.

Ketiga : seluruh kaum muslimin pada masa itu mempunyai keinginan yang keras agar
segala sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan syari’ah islam baik dalam ibadah mahdhah
maupun dalam ibadah ghair mahdhah [ maumalah dalam arti luas ]. Mereka meminta fatwa
kepada para ulama, demikian pula halnya para hakim dan para pemimpin pemerintah. Oleh
karena itu, para ulama menjadi sumber yang di butuhkan oleh masyarakat. Keadaan yang
semacam ini mendorong para ulama untuk berijtihad lebih keras lagi.

Keempat : pada periode ini memang di lahirkan ulama – ulama yang memiliki potensi
untuk menjadi mujtahid. Seperti imam malik dengan murid – muridnya, imam al – syafi’i
dengan murid – muridnya, dan imam ahmad ibnu hanbal dengan murid – muridnya.

Orang yang mempunyai potensi untuk menjadi mujtahid kemudian hidup di lingkungan
masyarakat yang mendukung untuk itu, sudah tentu akan membuahkan hasil seperti biji yang

4
baik di tanam pada tanah yang subur akan cepat tumbuh dan menghasilkan buah yang
bermanfaat bagi masyarakat.

2. Yang di wariskan oleh periode ini kepada periode selanjutnya

hal – hal yang terpenting yang di wariskan oleh periode ini kepada berikitnya antara
lain :

1. Al – sunnah yang telah di bukukan. Sebagian di bukukan berdasarkan urutan


sanad hadits dan sebagian lain di bukukan berdasarkan bab – bab fiqh. Di samping
itu Al – Qur’an juga telah lengkap dengan syakalnya.

2. Fiqh yang telah di bukukan lengkap dengan dalil dan alasannya. Di antaranya
kitab dhahir al – riwayah al – sittah di kalangan mazhab hanafi. Kitab al –
mudawanah dalam mazhab maliki, kitab al – umm di kalangan mazhab al – syafi’I
dan lain sebagainya.

3. Dibukukannya ilmu ushul fiqh. Para ulama mujtahid mempunyai warna masing –
masing dalam berijtihadnya atas dasar prinsip – prinsip dan cara – cara yang di
tempuhnya. Misalnya, imam malik di dalam kitabnya al – muwatha menunjukkan
adanya prinsip – prinsip dan dasar – dasar yang di gunakan dalam berijtihad.
Tetapi orang yang pertama kali mengumpulkan prinsip – prinsip ini dengan
sistematis dan memberikan alasan – alasan tertentu adalah muhammad bin idris
al- syafi’I dalam kitabnya yang termasyhur al – risalah. Oleh karena itu, beliaulah
sebagai pencipta ilmu ushul fiqh.

4. Adanya dua aliran yang menonjol pada periode ini yaitu yang terkenal dengan
nama madrasah al – hadist dan madrasah ar – ra’yi. Umumnya terdapat di irak.
Penamaan madrasa al – hadist atau ahlul hadits tidaklah berarti mereka tidak
mempergunakan ar – ra’yu. Demikian pula penamaan madrasah ar – ra’yu tidak
berarti bahwa mereka tidak mempergunakan hadist. Penanaman ini di sebabkan
karena madrasah ar – ra’yi atau ahlul ra’yi di irak menitik beratkan tinjauannya
kepada maksud – maksud dan dasar – dasar syara dalam pengambilan hukum,
mereka berkesimpulan bahwa hukum – hukum syara itu bisa di pahami maksud –
5
maksudnya dan bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Oleh karena
itu, hukum syara berdasarkan pada prinsip yang sama dan maksud yang sama,
maka tidak mungkin terjadi pertentangan di antara ketentuannya. Atas dasar
konsep inilah mereka memahami nash yang ada, menguatkan nash yang lain dan
memberikan hukum terhadap kasus – kasus, kadang – kadang dengan
menakwilkan bunyi lahir suatu nash. Oleh karena itu mereka memperluas daerah
ijtihad Bir-Ra’yi. Bahkan sering memberikan hukum terhadap sesuatu hal yang
belm terjadi yang sering disebut Fiqh Iftirodi atau Fiqh Takdiri.

Adapun madrasah Al-Hadits di Hijaz, mereka lebih mengarahkan perhatiannya


kepada Hadits dan fatwa sahabat. Mereka melihat kepada kata-kata yang ada pada
Hadits tersebut serta menerapkannya terhadap kejadian-kejadian yang timbul
tanpa membahas illat hukum dan prinsip-prinsipnya.

Apabila terdapat perbedaan antara ketetapan nash dan akal pikiran, mereka
memegang kepada nash. Oleh karena itu, mereka segan sekali melakukan Ijitihad
Bir-Ra’yi kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa.

Sebagai contoh dalam menanggapi Hadits yang berbunyi:

“pada tiap empat puluh ekor kambing zakatnya seekor kambing”

Fuqaha Irak memahami nash ini dari sisi pengertiannya yang rasional dan dari sisi tujuan
nash tersebut, yaitu tujuan pembayaran zakat bagi fakir miskin, maka ulam-ulama ahli Ra’yi
membolehkan membayar dengan seekor kambing, misalnya dengan uang seharga seekor
kambing.

Fuqaha Hijaz atau ahlu al-Hadits memahami nash tersebut sesuai dengan kata-katanya itu
sendiri. Bagi mereka yang wajib dikeluarkan sebagai zakat itu adalah seekor kambing bukan
barang lain dan bukan pula harganya.

Adapun sebab-sebab timbulnya dua aliran ini antara lain adalah:

1. Lingkungan Irak lain dengan lingkungan Hijaz. Seperti diketahui di Irak telah berlaku
satu sistem hukum yang meliputi baik hukum publik maupun hukum sipil. Hal ini

6
merupakan tantangan yang mengharuskan ulam-ulama Irak lebih keras berijtihad. Di
samping itu masyarakat Irak lebih terbuka ketimbang masyarakat Hijaz yang
menyebabkan masalah-masalah yang harus diselesaikan lebih banyak terdapat di Irak
daripada di Hijaz.
2. Hadits-hadits dan fatwa sahabat lebih banyak tersebar di Hijaz ketimbang di Irak.
Dengan demikian ulama-ulama Hijaz telah bisa menyelesaikan masalah-masalah yang
dihadapinya dengan kembali kepada arti kata dalam Hadits dan fatwa sahabat dengan
tidak merasa perlu mencari illat hukum atau mengembalikan masalah kepada prinsip-
prinsip hukum. Sedangkan di Irak disamping Hadits-hadits tidak sebanyak di Hijaz
juga banyak tersebar Hadits-hadits palsu yang menyebabkan ulama-ulama Irak lebih
ketat di dalam memberikan persyaratan terhadap Hadits. Mereka hanya mau
menerima Hadits-hadits yang terkenal di kalangan ahli fiqh.

Untuk menghadapi tantangan masa kita, cara beristinbat hukum, seperti yang
ditempuh oleh ahlu Ra’yi ini terutama sekali dalam bidang hkum yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia perlu mendapat perhatian kita dan dipelajari lebih mendalam lagi.

B. Periode Kemunduran
Periode ini di mulai dari pertengahan abad keempat hijriah sampai akhir abad
ketiga belas hijriah yaitu waktu pemerintah turki usmani memakai kitab undang –
undang yang di namai majalah al – ahkam al – adliyah. Dalam undang – undang
tersebut materi – materi fiqh di susun dengan sistematis dalam satu kitab undang –
undang hukum perdata.

1. Faktor – faktor yang menyebabkan kemunduran


Pada periode ini umat islam mengalami kemunduran di bidang politik, pemikiran,
mental, dan kemasyarakat yang mengakibatkan pula kemunduran dalam bidang
fiqh :
1. Kemunduran di bidang politik, mislanya terpecahnya dunia islam menjadi
beberapa wilayah kecil yang masing – masing keamiran hanya sibuk saling
berebut kekuasaan, saling memfitnah, dan berperang sesama muslim yang
mengakibat kan ketidakamanan dan ketidaktenteraman masyarakat muslim.

7
Kondisi yang semacam ini pada giliran nya menyebabkan kurang nya
perhatian terhadap ilmu dan pemikiran tentang fiqh.

2. Dengan di anutnya terhadap mazhab tanpa pikiran yang kritis serta di


anggapnya sebagai sesuatu yang mutlak benar, menyebabkan orang tidak mau
meneliti kembali pendapat – pendapat tersebut. Orang merasa cukup
mengikuti mazhab tersebut bahkan mempertahankannya dan membelahnya
tanpa mengembalikan kepada sumber pokok Al – Qur’an dan Al – sunnah.
Hal ini di perkut lagi oleh penerapan satu mazhab tertentu bagi suatu wilayah
kekuasaan tertentu. Misalnya pemerintahan turki termasuk para hakim – nya
menganut dan membantu mazhab hanafi. Kekuasaan di sebelah barat
mengokohkan madzhab maliki dan di sebelah timur madzhab al – syafi’ i .

3. Dengan banyaknya kitab – kitab fiqh, para ulama dengan mudah bisah
menemukan jawaban – jawaban terhadap masalah – masalah yang di hadapi.
Hal ini sudah tentu bermanfaat, akan tetapi apabila membacanya tanpa kritis
dan tanpa membandingkan dengan pendapat mazhab - mazhab lain serta
tanpa memerhatikan kembali Al – Qur’an dan sunnah, membawah akibat
kehilangan kepercayaan terhadap potensi yang besar yang ada pada di rinya.
Tidak menghargai hasil ijtihad ulama – ulama lain dan merasa pendapat
sendiri yang mutlat benar dalam masalah – masalah ijtihadiyah, sudah tentu
akan mengarah kepada sikap yang tertutup dengan segala akibat – akibatnya.

4. Dengan jatuhnya cordoba sebagai pusat kebudayaan islam di barat tahun 1213
dan kemudian jatuhnya baghdad sebagai pusat kebudayaan islam di timur
tahun 1258 M. maka berhentilah denyut jantung kebudayaan islam baik di
barat maupun di timur. Di tambah lagi dengan kehancuran masyarakat islam
masa itu. Ulama – ulama di bagian timur berusaha mencoba untuk
menyelamatkan masyarakat yang sudah hancur itu dengan melarang berijtihat
untuk menyeragamkan kehidupan sosial bagi semua rakyat , dengan demikian
di harapkan timbulnya ketertiban sosial. Rupanya usaha ini tidak banyak
menolong, karena nasib sesuatu masyarakat tidak hanya tergantung kepada
keseragaman kehidupan sosial tetapi juga kepada hasil kekuatan dan
kreativitas perorangan.
8
2. Klasifikasi mujtahid
Kerja para ulama pada masa ini masih sekitar hasil ijtihad para imam – imam
mujtahid yang sebelumnya. Misalnya membuat ikhtisar- iktisar yang di sebut
matan. Kemudian matan ini di beri penjelasan – penjelasan lagi yang di sebut
hasyiah. Kadang – kadang juga mengumpulkan pendapat – pendapat yang ada
dalam satu mazhab tertentu kemudian memisah – memishkannya antara pendapat
yang kuat dari pendapat yang kurang kuat, hal ini tidak mengandung arti tidak
ada sama sekali ulama yg memiliki kemampuan berijtihad, hanya saja mereka
dalam ijtihadnya selalu mengikatkan diri dengan mazhab yang ada. Atas dasar ini
kemudian timbul istilah – istilah seperti mujtahid mutlak, mujtahid fi al mazhab,
dan lain – lain seperti penjelasan di bawah ini :

1. Mujtahid mutlak atau mujtahid mustaqil atau mujtahid fi syar’I yaitu


mujtahid yang mempunyai metodologi yang mandiri dalam istinbat
hukum, mereka inilah imam – imam madzhab. Seperti abu hanifah ,
maliki, al – syafi’i, dan ahmad ibn hanbal.

2. Mujtahid muntasib, yaitu para mujtahid yang mengikuti pendapat Imam


mazhab dalam usul atau metode berijtihad, akan tetapi hasil ijtihadnya [
hukum furu –nya ] ada yang sama dan ada yang berbeda dengan pendapat
imam mazhab, seperti al – muzani dalam madzhab al – syafi’i.

3. Mujtahid fi al – musail, yaitu mujtahid yang mengikuti imam madzhab


baik dalam usul maupun furu hanya berbeda dalam penerapannya . jadi,
hanya memperluas atau mempersempit penerapan sesuatu yang telah ada
dalam madzhab , seperti al – ghozali dalam madzhab al – syafi’i.

4. Mujtahid fi al – masail, yaitu mujtahid yang membatasi diri hanya


berijtihad dalam hal – hal yang belum diijtihadi oleh imam – imam
mereka , dengan menggunakan metode imam – imam mereka. Seperti al –
karhi di kalangan madzhab hanafi dan ibnu arabia di kalangan madzhab
maliki.

9
5. Ahlu takhrij, yaitu fuqoha yang kegiatannya terbatas menguraikan dan
memperjelas pendapatan – pendapatan yang samar dan janggal yang ada
dalam madzhabnya, seperti al – jashosh dalam madzhab hanafi.

6. Ahli tarjih, yaitu fuqaha yang kegiatannya hanya menarjih atau


menguatkan pendapat – pendapat yang berbeda yang ada dalam
madzhabnya.

Di samping itu bisa juga di tinjau dari sesi lain yaitu :


1. Mujtahid yang mempunyai kemampuan dalam membentuk hukum
dengan metode nya yang mandiri
2. Mujtahid yang mrempunyai kemampuan berijtihad dalam batas –
batas metode ijtihad imam mazhabnya
3. Mujtahid yang hanya berijtihad dalam hal – hal yang belum diijtihadi
oleh imam mazhabnya

C. PERIODE KEBANGUNAN KEMBALI

1. TANDA – TANDA KEMAJUAN

A. Di bidang perundang – undangan


Periode ini di mulia dengan masa berlakunya majalah al – ahkam al –
adliyah yaitu kitab undang – undang hukum perdata islam pemerintah turki
usmani pada tahun 1292 H atau tahun 1876 M. baik bentuk maupun isi dari
kitap undang – undang tersebut berbeda dengan bentuk dan isi kitab fiqih dari
satu madzhab tertentu warna hanafi sangat kuat.
Di mesir dengan keluarnya undang – undang no. 25 tahun 1920 M. dalam
sebagian pasal – pasalnya dalam hukum keluarga tidak menganut madzhab
hanafi, tetapi mengambil pendapat lain dari madzhab al – arba ‘ah . kemudian
dalam undang – undang no 25 tahun 1929 M. juga tentang hukum keluarga
maju selangkah yaitu tidak hanya mengambil dari mazahib al – arba’ah, tetapi
juga dari madzhab yang lain. Pada tahun 1936 M. undang – undang hukum
keluarga di mesir tidak mengikatkan diri secara ketak dengan madzhab, tetapi
juga mengambil pendapat ulama lain yang sesuai dengan kemaslahatan
10
manusia dan perkembangan masyarakat contoh lain tentang al – washiyah al –
wajibah di mesir tahun 1946, di siria tahun 1953, di tunis tahun 1957 , marko
tahun 1958 di indonesia dengan UU no. 1 tahun 1974 tidak melalui tahap –
tahap seperti di mesir, tetapi tanpaknya langsung mengambil pendapat –
pendapat yang maslahat untuk di terapkan di indonesia. Demikian pula hanya
dengan pp no. 28 tahun 1977 dan pengaturan zakat di beberapa provinsi.

B . Dibidang pendidikan

Di perguruan – perguruan tinggi agama di mesir, pakistanmaupun di


indonesia dalam cara mempelajari fiqih tidak hanya di pilajari satu madzhab
tertentu, tetapi juga di pelajari madzhab – madzhab yang lain secara
muqoronah atau perbandingan, bahkan juga di pelajari sistem hukum adat dan
sistem hukum romawi.dengan demikian di harapkan wawasan berpikir hukum
di kalangan mahasiswa islam menjadi lebih luas juga lebih mendekatkan
hukum islam dengan hukum yang selama ini berlaku, bukan hanya di bidang
hukum keluarga tapi juga di berbagai bidang hukum lainnya. Pendekatan
semacam ini akan lebih intensif lagi apabila di fakultas – fakultas hukum di
ajarkan hukum islam, sehingga terjadi perpaduan yang harmonis sesuai dengan
kebutuhan waktu dan tempat khususnya di indonesia.
Sekitar tahun 1966 di indonesia di perkenalkan pula mata kuliah fiqh
siyasah pada fakultas syariah yang banyak berorientasi kepada kemaslahatan
dalam penerapan hukum, serta menekankan prinsip – prinsip hukum dan
semangat ajaran fiqh islam. Dengan fiqh siyasah ini di ketahui bahwa banyak
sekali aturan- aturan yang berlaku yang tidak bertentangan atau bahkan sesuai
dengan ajaran islam. Pengetahuan semacam ini akan memperlancar perpaduan
hukum seperti di maksud di atas.
Satu hal yang rasanya perlu mendapat tekanan di sini ialah mempelajari
ushul fiqh haruslah mendapat perhatian yang lebih besar lagi untuk
memungkinkan ilmu fiqh berkembang lebih terarah, sebab ushul fiqh itulah
cara pemikiran hukum dalam islam.

11
C. Dibidang penulisan buku – buku dalam bahasa indonesia dan
penerjamahan

Seperti kita ketahui ajaran islam pada umum nya dan fiqih pada khususnya tertulis
dalam puluhan ribu kitab yang berbahasa arab. Sudah tentu ilmu – ilmu tertulis dalam bahasa
arab itu hanyasedikit orang – orang indonesia yang mampu membaca dan memahaminya.
Tetapi sekarang tampak satu kegiatan penulisan tentang ushul fiqh dalam bahasa indonesia.
Baik yang sudah di cetak dan tersebar luas di masyarakat maupun yang masih berupa diktat-
diktat yang stensilan. Demikian pula hanya dengan penerjemahan menampakkan kegiatan
yang meningkat meskipun masih sangat sedikit bila di bandingkan dengan jumlah kitab –
kitab yang baik untuk di terjemahkan ke dalam bahasa indonesia. Oleh karena itu, untuk jadi
seorang ahli dalam bidang fiqih tetap harus kembali membaca dan meneliti kitab – kitab fiqh
aslinya dalam bahas arab. Bagaimana pun juga kitab – kitab [ buku] ushul fiqh dan fiqih
dalam bahasa indonesia serta terjemahannya sangat bermanfaat untuk memperkenalkan
pemikiran – pemikiran dalam bidang fiqih kepada kalangan yang lebih luas.
Pemikiran kembali tentang fiqih sedang tumbuh dan tanpaknya pemikiran – pemikiran
itu seperti alur ijtihadnya umar, abdullah bin mas’ud, dan abu hanifah. Yaitu berpegang teguh
kepada dalil – dalil kulli, prinsip – prinsip umum dan semangat ajaran, sedang yang lebihnya
bisa mengambil dari fiqh atau dengan ijtihat sesuai dengan situasi dan kondisi yang di hadapi
. alternatif ini rupanya yang terbaik dalam menghadapi masalah – masalah yang bukan saja
ruang lingkupnya sangat luas, tetapi juga sangat rumit dan tidak realitis apabila hanya di
hadapi dengan materi fiqh yang ada, tetapi juga tidaklah islami apabila melemparkan fiqh
secara keseluruhan.

2. Penilaian dunia internasional terhadap syari’ah islam

Pada bulan agustus 1932 berlangsung konferensi perbandingan hukum internasional [


comperative international law conference ] di den haag, negeri belanda. Dalam konferensi itu
prof . Dr. Ali badawi berbicara tentang : hubungan antara agama dan hukum, sebagai jalan
untuk sampai kepada berbicaraan tentang syari’ah islam . akhiratnya konferensi memutuskan
agar dalam konferensi selanjutnya di adakan bagian khusus bagi syari’ah islam sebagai salah
satu sumber dalam perbandingan hukum.

12
Pada bulan agustus 1937, di adakan lagi sidang. Yang berbicara tentang syari’ah islam
waktu itu adalah mahmud syaltut dengan judul: pertanggung jawaban pidana dan perdata
dalam islam serta prof. dr . abdurrahman tag dengan judul : sistem hukum romawi dan sistem
hukum islam.

Pada akhirnya konferensi memutuskan antara lain :

1. Hukum islam sebagai salah satu sumber perundang – undangan umum.


2. Hukum islam berdiri, tidak mengambil dari hukum romawi
3. Hukum islam adalah hukum yang hidup dan dapat berkembang

Pada bulan juli 1951 di den haag di adakan pula konferensi pengacara – pengacara
internasional yang di hadiri oleh 53 negara. Keputusan yang terpenting tentang hukum islam
adalah mengingat adanya fleksibilitas di dalam hukum islam dan kedudukan nya yang sangat
penting, maka persatuan pengacara internasional harus mengambil hukum islam menjadi
bahan perbandingan .
Pada bulan juli 1951. Fakultas hukum universitas paris mengadakan pembahasan
tentang hukum islam dalam satu kegiatan dengan nama “pekan hukum islam” . yang di bahas
adalah tentang : penetapan hak milik, pemilikan oleh negara untuk kepentingan umum,
pertanggung jawaban pidana, pengaruh mazhab fiqh satu sama lain, dan teori tentang riba
dalam islam ,
Pada akhirnya seminar tersebut memutuskan : [1] tidak di ragukan lagi bahwa prinsip –
prinsip hukum islam mempunyai nilai – nilai dari segi hukum dan [2] perbedaan pendapat
dan mazhab – mazhab mengandung kekayaan pengetahuan hukum yang menakjubkan. Oleh
karena itu, hukum islam dapat memenuhi kebutuhan hidup.

13
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan Sejarah perkembangan fiqih dimulai sejak diangkatnya Muhammad SAW


menjadi Nabi dan rasul sampai wafatnya. Periode ini singkat, hanya sekitar 22 tahun dan
beberapa bulan. Akan tetapi pengaruhnya sangat besar terhadap perkembangan ilmu fiqh.
Masa Rasulullah inilah yang mewariskan sejumlah nash-nash hukum baik dari Al-Qur’an
maupun Al-Sunnah, mewariskan prinsip-prinsip hukum islam baik yang tersurat dalam
dalildalil kulli maupun yang tersirat dari semangat Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Periode imam
mujathid.
berlangsung selama ± 250 tahun, dimulai dari awal abad kedua hijrah sampai
pertengahan abad keempat hijrah. imam mujtahidin, atau setelah daulah islamiyah
berkembang dan banyak pengikutnya yang non arab maka umat islam dihadapkan pada
berbagi peristiwa baru, kesulitan, ulasan dan pandangan serta upaya peningkatan
kesejahteraan, peradaban dan keilmuwan, menyebabkan para imam mujtahidin semakin di
tuntut untuk mengembangkan lapangan ijtihad dan penetapan hukum syariat islam terhadap
persoalan tersebut. Karena timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui hukumnya.
Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah
dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum maka disusunlah
kitab Ushul Fiqh

14
DAFTAR PUSTAKA
A.djazuli : ushul fiqh, Gilang Aditya Pres, Cetak ll, 1996.

Fiqh jinayah,PTRaja Grafindo persada, jakarta, cetakan lll,2000


A. DJAZULI :fiqh siyasah, prenada media, jakarta , edisi
ke -2 tahun 2003

15

You might also like