You are on page 1of 20

  

Home /
pembelajaran matematika sekolah dasar

pembelajaran matematika sekolah dasar



By
Goresan Pena WR28

MAKALAH
“PEMBELAJARAN MATEMATIKA SEKOLAH DASAR (SD)”
(Ditujukan Guna Memenuhi Salah Satu
Tugas Mata Kuliah
Konsep Dasar Matematika)
Dosen Pengampu : Liyana Sunanto, M.Pd
Disusun Oleh:
Kelompok 1
Kelas SD13.A-2
Semester 3
                   Dewi
Pujiarti                                              130641075
                   Indah
Purnama Sari                                 130641074
Wahyu Rosidin                                         130641073
Warlinah                                                   130641055

FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN


S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON
CIREBON
2014

Kata Pengantar
Puji
syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berkah dan
rahmat-Nya, sehingga
penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan
judul “Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar (SD)”.
Adapun
tujun dari penyusunan dalam tugas makalah ini yaitu untuk memenuhi salah
satu tugas mata kuliah “Matematika”.
Dalam
penyusunan makalah ini penyusun menyadari bahwa, makalah ini tidak akan selesai
dengan lancar dan tepat
waktu tanpa adanya bantuan, dorongan dan bimbingan dari
dosen pengampu mata kuliah “Matematika”
Ibu “Liyana
Sunanto, M.Pd”. penyusun menyadari
bahwa makalah ini masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki maka penyusun
meminta kritik dan saran yang sifatnya membangun.
Semoga
makalah ini bermanfaat dan dapat menambah wawasan bagi kita semua didalam dunia
pendidikan. Dan
semoga mampu menjadi pendidik yang patut di tauladani oleh anak
didik.

Cirebon Setember 2014


Penyusun

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................................ ...... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................ ...... ii
BAB  I 
PENDAHULUAN ......................................................................................... ...... 1
A.    Latar
Belakang .......................................................................................................... 1
B.     Rumusan
Masalah ..................................................................................................... 2

C.     Tujuan
Penulisan ....................................................................................................... 2
BAB II  PEMBAHASAN............................................................................................. ...... 3
A.    Standar isi (kurikulum 2013) Matematika Sekolah Dasar ........................................ 3
B.     Teori belajar matematika ........................................................................................... 9
C.     Pendekatan pembelajaran matematika ...................................................................... 16
D.    Metode pembelajaran matematika ............................................................................ 27
E.     Alat Peraga Pendidikan ............................................................................................ 34
BAB III  PENUTUP .................................................................................................... ...... 39
A.    Kesimpulan
............................................................................................................... 39
B.     Saran
......................................................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. ...... 40

BAB I
PENDAHULUAN
A.   
Latar
Belakang
Matematika
merupakan alat untuk  memberikan cara berpikir, menyusun pemikiran yang
jelas, tepat dan teliti.
Hudojo (2005) menyatakan, matematika sebagai
suatu obyek abstrak, tentu saja sangat sulit dapat dicerna anak-anak
Sekolah
Dasar (SD) yang mereka oleh Piaget, diklasifikasikan masih dalam tahap operasi
konkret. Siswa SD belum mampu
untuk berpikir formal maka dalam pembelajaran
matematika sangat diharapkan bagi para pendidik mengaitkan proses
belajar
mengajar di SD dengan benda konkret.
Heruman
(2008) menyatakan dalam pembelajaran matematika SD, diharapkan terjadi reinvention
(penemuan
kembali). Penemuan kembali adalah menemukan suatu cara
penyelesaian  secara informal dalam pembelajaran di kelas.
Selanjut
Heruman menambahkan bahwa dalam pembelajaran matematika harus terdapat
keterkaitan antara pengalaman
belajar siswa sebelumnya dengan konsep yang akan
diajarkan. Sehingga diharapkan pembelajaran yang terjadi merupakan
pembelajaran
menjadi lebih bermakna (meaningful), siswa tidak hanya belajar untuk
mengetahui sesuatu (learning to know
about), tetapi juga belajar
melakukan (learning to do), belajar menjiwai (learning to be),
dan belajar bagaimana seharusnya
belajar (learning to learn), serta bagaimana
bersosialisasi dengan sesama teman (learning to live together).
Siswa
Sekolah Dasar (SD) berada pada umur  yang berkisar antara usia 7 hingga 12
tahun, pada tahap ini siswa masih
berpikir pada fase operasional konkret.
Kemampuan yang tampak dalam fase ini adalah kemampuan dalam proses berpikir
untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun masih terikat dengan
objek  yang bersifat konkret (Heruman, 2008).
Siswa SD masih terikat
dengan objek yang ditangkap dengan pancaindra, sehingga sangat diharapkan dalam
pembelajaran
matematika yang bersifat abstrak, peserta didik lebih banyak
menggunakan media sebagai alat bantu, dan penggunaan alat
peraga. Karena dengan
penggunaan alat peraga dapat memperjelas apa yang disampaikan oleh guru, sehingga
siswa lebih
cepat memahaminya. Pembelajaran matematika di SD tidak terlepas
dari dua hal yaitu hakikat matematika itu sendiri dan
hakikat dari anak didik
di SD.

B.     Rumusan Masalah


Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.     
Bagaimana standar isi
(kurikulum 2013) matematika SD
2.     
Bagaimana teori belajar
matematika?
3.     
Bagaimana pendekatan belajar
matematika?
4.     
Metode pembelajaran
matematika?
5.     
Apa saja alat peraga
matematika?
C.   
Tujuan Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuannya adalah untuk:
1.     
Mengetahui standar isi
(kurikulum 2013) matematika SD.
2.     
Mengetahui  teori belajar matematika.
3.     
Mengetahui pendekatan belajar
matematika.
4.     
Mengetahui Metode pembelajaran
matematika.
5.     
Mengetahui Apa saja alat
peraga matematika.

BAB II
                                                             PEMBAHASAN        

A.   
Standar isi (kurikulum 2013) Matematika Sekolah Dasar
Di dalam standar isi itu terdapat 2 kompetensi yang ingin di capai yaitu
kompetensi inti dan kompetensi dasar, berikut
kami akan sedikit memaparkan tentang
kompetensi inti dan kompetensi dasar matematika kelas 1, 2, dan 3.
1.     
Kelas 1
Kompetensi Inti Kompetensi Dasar
1.         
Menerima dan menjalankan
ajaran agama yang di

anutnya
2.         
Memiliki
perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, 2.1  Menunjukkan perilaku patuh pada aturan dalam
peduli, dan percaya diri
dalam berinteraksi dengan melakukan penjumlahan dan pengurangan sesua
keluarga, teman, dan guru prosedur/aturan dengan memperhatikan
nilai tempat
puluhan dan satuan
2.2   Menunjukkan perilaku teliti dan perduli dengan
menata
benda-benda di sekitar ruang kelas berdasarkan dimens
(bangun datar,
bangun ruang), beratnya, atau urutan
kelompok terkecil sampai terbesar
2.3  Menunjukkan perilaku tertib dan rapi saat berbaris
berdasarkan urutan tinggi badan
2.4  Menunjukkan perilaku disiplin tepat waktu dalam
melakukan aktivitas di sekolah dengan memperhatikan
tanda-tanda saat jam
belajar dan jam istirahat


3.     
Memahami pengetahuan
faktual dengan cara mengamati 3.1  Mengenal bilangan asli sampai 99 dengan menggunakan
[mendengar, melihat, membaca] dan menanya benda-benda yang ada di sekitar rumah, sekolah, atau
berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk tempat bermain
ciptaan Tuhan dan
kegiatannya, dan benda-benda yang 3.2   Mengenal bangun datar dan bangun ruang
dijumpainya di rumah dan di sekolah menggunakan
benda-benda yang ada di sekitar rumah
sekolah, atau tempat bermain.
3.3  Membandingkan dengan memperkirakan lama suatu
aktivitas berlangsung menggunakan istilah sehari-har
(lebih lama, lebih
singkat)
3.4  Membandingkan dengan memperkirakan berat suatu
benda
menggunakan istilah sehari-hari (lebih berat, lebih
ringan
3.5  Membandingkan dengan memperkirakan panjang suatu
benda menggunakan istilah sehari-hari (lebih panjang
lebih pendek)
3.6  Mengenal dan memprediksi pola-pola bilangan
sederhana
menggunakan gambar-gambar/benda konkrit
3.7   Menemukan bangun yang membentuk pola pengubinan
sederhana
3.8  Menentukan pola dari sebarisan bangun datar
sederhana
menggunakan benda-benda yang ada di alam sekitar
3.9   Mengenal panjang, luas, massa, kapasitas, waktu, dan
suhu
3.10                 
Menunjukkan
pemahaman tentang besaran dengan
menghitung maju sampai 100 dan mundur dari
20
3.11                 
Menentukan
urutan berdasarkan panjang pendeknya
benda, tinggi rendahnya tinggi badan,
dan urutan
kelompok berdasarkan jumlah anggotanya
3.12                  
Mengenal
lambang bilangan dan mendeskripsikan
kemunculan bilangan dengan bahasa yang
sederhana

2.     
Kelas 2
Kompetensi Inti Kompetensi Dasar
1.      Menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya

2.      Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung


jawab, 2.1  Menunjukkan perilaku patuh, tertib dan mengikuti
aturan
santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dalam melakukan penjumlahan dan pengurangan sesua
dengan keluarga,
teman, dan guru secara ef ektif
dengan memperhatikan nilai tempat
ratusan, puluhan dan satuan
2.2   Menunjukkan perilaku peduli pada orang lain dengan
cara
mengelola penggunaan uang saku untuk kepentingan
konsumsi, menabung dan
beramal
2.3    Menunjukkan
perilaku adil dalam membagikan sejumlah
benda kepada beberapa orang dalam
menerapkan konsep
pembagian
2.4  Menunjukkan perilaku disiplin tepat waktu dalam
melakukan suatu aktivitas di sekolah dengan
memperhatikan alat ukur waktu
2.5  Menunjukkan perilaku rapi dan teratur dalam
menggambar dan menata benda-benda sesuai dengan
pola-pola perulangan geometri
yang ditemui di dalam
kelas, sekolah, atau lingkungan.
2.6  Menunjukkan perilaku cermat dan jujur dalam mendata
hasil pengukuran panjang atau berat suatu benda


3.     
Memahami
pengetahuan f aktual dengan cara mengamati 3.1  Mengenal bilangan asli sampai 500 dengan menggunakan
[mendengar, melihat, membaca] dan
menanya blok dienes (kubus satuan), pengelompokan dan benda-
berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk benda di sekitar rumah,
sekolah, atau tempat bermain
ciptaan Tuhan
dan kegiatannya, dan benda-benda yang 3.2   Mengenal operasi perkalian dan pembagian pada
bilangan
dijumpainya di rumah dan di sekolah asli yang hasilnya kurang dari 100 melalui kegiatan
eksplorasi
menggunakan benda konkrit
3.3  Mengenal nilai tukar antar pecahan uang
3.4  Mengetahui ukuran lama waktu di kehidupan
sehari-har
di rumah, sekolah dan tempat bermain dengan
menggunakan satuan
waktu
3.5  Mengetahui ukuran panjang dan berat benda, jarak
suatu
tempat di kehidupan sehari-hari di rumah, sekolah dan
tempat bermain
mengunakan satuan tidak baku dan
satuan baku
3.6  Menentukan nilai terkecil dan terbesar dari hasi
pengukuran panjang atau berat yang disajikan dalam
bentuk tabel sederhana

3.     
Kelas 3
Kompetensi Inti Kompetensi Dasar
1.     
Menerima dan
menjalankan ajaran agama yang dianutnya

2.         
Menunjukkan
perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, 2.1  Menunjukkan perilaku patuh, tertib dan mengikuti
aturan
santun, peduli, dan percaya diri
dalam berinteraksi dalam melakukan penjumlahan dan pengurangan
dengan keluarga, teman, guru dan tatangganya perkalian dan pembagian
bilangan asli, bilangan bulat dan
pecahan dengan memperhatikan nilai tempat
ribuan
ratusan, puluhan dan satuan
2.2   Menunjukkan perilaku teliti dan rapi dengan menata
benda-benda di sekitar dengan cara melipat rapi dengan
memperhatikan simetri
lipatnya
2.3  Menunjukkan perilaku adil dalam membagikan satu
potong
atau beberapa potong kue, buah dan sejenisnya kepada
sejumlah orang
dalam menerapkan konsep pecahan
2.4  Menunjukkan perilaku disiplin dan tepat waktu datang
ke
sekolah dengan memperhatikan alat ukur waktu
2.5  Menunjukkan perilaku cermat dan teliti dalam
mentabulasi hasil pengukuran tinggi badan teman sekelas

3.  Memahami pengetahuan


faktual dengan cara 3.1  Memahami sif at-sif at operasi hitung bilangan asli melalu
       

mengamati [mendengar, melihat, membaca] dan pengamatan pola penjumlahan dan perkalian
menanya
berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, 3.2   Memahami letak bilangan pada garis bilangan
makhluk ciptaan Tuhan dan
kegiatannya, dan benda- 3.3  Memahami konsep pecahan sederhana menggunakan
benda yang dijumpainya di rumah dan di sekolah benda-benda yang konkrit/gambar, serta menentukan
nilai terkecil dan terbesar
3.4  Menemukan sif at simetri bangun datar (melalui
kegiatan
menggunting dan melipat atau cara lainnya), simetri puta
dan
pencerminan menggunakan benda-benda konkrit
3.5  Menemukan unsur dan sif at bangun datar sederhana
berdasarkan pengamatan
3.6  Mengetahui perbandingan data menggunakan tabel
grafik batang, dan grafik kue serabi
3.7   Mengenal hubungan antar satuan waktu, antar satuan
panjang, dan antar satuan berat yang biasa digunakan
dalam kehidupan
sehari-hari
3.8  Menentukan strategi pemecahan masalah dengan
mengurangi, menambah, dan menukarkan sejumlah uang

B.    
Teori Belajar Matematika
Dalam
pembelajaran matematika, guru perlu memahami teori-teori belajar.  Yang nantinya itulah yang dijadikan
pedoman
dalam membuat suatu metode pembelajaran. Ada beberapa teori-teori pembelajaran
matematika di SD yang
diungkapkan oleh para ahli.
1.     
Teori Belajar Menurut Jerome S. Brunner


Teori ini menyatakan bahwa : “Belajar matematika akan lebih berhasil jika
proses pengajaran di arahkan kepada
konsep-konsep dan stuktur yang termuat
dalam pokok bahasan yang diajarkan dan dengan menggunakan alat peraga
serta
diperlukannya keaktifan siswa tersebut.”
Brunner mengemukakan bahwa dalam
proses belajar siswa melewati 3 tahap yaitu :
a.      
Tahap
Enaktif
Dalam tahap ini siswa secara
langsung terlibat dalam memanipulasi objek. Yaitu dengan menggunakan
benda-benda yang konkrit atau peritiwa yang biasa terjadi.
Contoh            : Budi mempunyai 2 pinsil, kemudian ibunya memberikannya lagi 3 pinsil. Berapa
banyak pinsil
Budi sekarang ?
b.      Tahap Ikonik
Dalam tahap ini kegiatan dilakukan
siswa berhubungan dengan mental, di mana siswa mengubah,
menandai, dan
menyimpan peristiwa atau benda dalam bentuk bayangan mental. Misalnya dengan
membayangkan dalam pikirannya tentang benda atau peristiwa yang dialaminya,
walaupun benda tersebut
tidak ada dihadapannya lagi atau dengan menggunakan
gambar. Contoh  :  !! + !!! = …
c.       Tahap Simbolik
Dalam tahap ini anak dapat
mengutarakan bayangan mental tersebut dalam bentuk simpul dan bahasa.
Anak
tidak terikat lagi dengan objek-objek pada tahap sebelumnya dan sudah mampu
menggunakan notasi
tanpa ketergantungan terhadap objek real.
Contoh  : 2 pinsil + 3 pinsil     = …pinsil
Berdasarkan hasil pengamatannya, Brunner merumuskan 5 teorema dalam
pembelajaran matematika, yaitu
:
1)     
Teorema
Penyusunan
Menerangkan bahwa cara yang terbaik memulai
belajar suatu konsep matematika, dalil, defenisi, dan
semacamnya adalah dengan
cara menyusun penyajiannya. Misalnya dalam mempelajari penjumlahan bilangan
positif dan negatif siswa mencoba sendiri dengan menggunakan garis bilangan.
2)      Teorema Notasi
Menerangkan bahwa dalam pengajaran
suatu konsep, penggunaan notasi-notasi matematika harus
diberikan secara
bertahap, dari yang sederhana ke yang lebih kompleks.
3)      Teorema Pengkontrasan dan Keanekaragaman
Menerangkan bahwa pengontrasan dan
keanekaragaman sangat penting dalam melakukan pengubahan
konsep matematika dari
yang konkrit ke yang lebih abstrak. Dalam hal ini diperlukan banyak contoh.
Contoh
yang diberikan harus sesuai dengan rumusan yang diberikan. Misalnya
menjelaskan persegi panjang, disertai
juga kemungkinan jajaran genjang dan segi
empat lainnya selain persegi panjnag. Dengan demikian siswa dapat
membedakan
apakah segi empat yang diberikan padanya termasuk persegi panjang atau tidak.
4)      Teorema Pengaitan
Menerangkan bahwa dalam matematika
terdapat hubungan yang berkaitan antara satu konsep dengan
konsep yang lain. Di
mana materi yang satu merupakan prasyarat yang harus diketahui untuk
mempelajari
materi yang lain.

2.     
Teori Belajar Menurut Van Hiele
Teori ini menyatakan bahwa : “Tiga unsur utama dalam pengajaran geometri,
yaitu waktu, materi pengajaran dan
metode pengajaran yang diterapkan, jika
secara terpadu akan dapat meningkatkan kemapuan berfikir siswa kepada
tingkatan
berfikir yang lebih tinggi.”
Van Hiele menyatakan bahwa terdapat
5 tahap belajar siswa dalam belajar geometri, yaitu :
a.      
Tahap Pengenalan
Pada tahap ini siswa mulai belajar
mengenal suatu bangun geometri secara keseluruhan namun belum
mampu mengetahui
adanya sifat-sifat dari bangun geometri yang dilihatnya.
b.     
Tahap Analisis
Pada tahap ini siswa sudah mulai
mengenal sifat-sifat yang dimiliki bangun geometri yang diamatinya.
c.      
Tahap Pengurutan
Pada tahap ini siswa sudah mengenal
dan memahami sifat-sifat suatu bangun geometri serta sudah dapat
mengurutkan
bangun-bangun geometri yang satu sama yang lainnya saling berhubungan.
d.     
Tahap Deduksi
Pada tahap ini siswa telah mampu
menarik kesimpulan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan yang
bersifat umum
dan menuju ke hal yang bersifat khusus serta dapat mengambil kesimpulan.
e.      
Tahap Akurasi
Pada tahap ini siswa  mulai menyadari pentingnya ketepatan
prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu
pembuktian. Tahap berfikir ini
merupakan tahap berfikir yang paling tinggi, rumit, dan kompleks, karena di
luar jangkauan usia anak-anak SD sampai tingakat SMP.
3.     
Teori Belajar Menurut William Brownell


Teori ini menyatakan bahwa : “Belajar matematika merupakan belajar
bermakna, dalam arti setiap konsep yang
dipelajari harus benar-benar dimengerti
sebelum sampai pada latihan atau hafalan.”
Brownell mengemukakan tentang Teori
Makna (Meaning Theory) sebagai
pengganti Teori Latihan
Hafal/Ulangan (Drill
Theory).  Intisari dari teori Drill
adalah :
a.      
Matematika untuk tujuan pembelajaran dianalisis
sebagai kumpulan fakta yang berdiri sendiri dan tidak saling
berkaitan.
b.     
Anak diharuskan menguasai unsur-unsur yang banyak
sekali tanpa diperhatikan pengertiannya.
c.      
Anak mempelajari unsur-unsur dalam bentuk seperti yang
akan digunakan nanti dalam kesempatan lain.
d.     
Anak akan mencapai tujuan ini secara efektif dan
efisien dengan melalui pengulangan.
Brownell mengemukakan ada 3 keberatan utama berkenaan dengan teori Drill
dalam pengajaran matematika,
yaitu :
1)     
Teori drill memberikan tugas yang harus dipelajari
siswa yang hampir tidak mungkin dicapai.
2)     
Keberatan yang lainnya berkaitan dengan reaksi yang
dihasilkan oleh drill.
3)         
Tidak memadai dalam pengajaran aritmatika, karena
tidak menyediakan kegiatan untuk berfikir secara
kuantitatif.
Sedangkan intisari dari teori makna adalah :
a)     
Anak harus melihat makna dari apa yang dipelajarinya.
b)     
Teori drill dipakai setelah konsep, prisip, dan proses
telah dipahami oleh siswa.
c)     
Mengembangkan kemampuan berfikir dalam situasi
kuantitatif.
d)    
Program aritmatika membahas tentang pentingnya dan
makna dari bilangan.
4.     
Teori Belajar Menurut Van Eugen
Teori ini menyatakan bahwa : “Tujuan pengajaran aritmatika adalah untuk
membantu anak memahami suatu
simbol yang mewakili suatu himpunan, kejadian, dam
serentetan kegiatan yang diberi simbol itu harus langsung
dialami oleh anak.”
Van Eugen (1949), seorang penganut
teori makna mengatakan bahwa dalam situasi yang bermakna selalu
terdapat 3
unsur, yaitu :
a.      
Ada suatu kejadian (event),
benda (object), atau tindakan (action).
b.     
Adanya simbol (lambang/notasi/gambar) yang digunakan
sebagai penyataan yang mewakili unsur pertama di
atas.
c.      
Adanya individu yang menafsirkan simbol-simbol yang
mengacu kepada unsur pertama di atas.
Van Eugen membedakan makna (meaning)
dan mengerti (understanding),.
Mengerti mengacu pada sesuatu yang
dimiliki oleh individu. Individu yang
mengerti telah memiliki hubungan sebab akibat, implikasi logis dan sebaris
pemikiran yang mengandungkan dua atau lebih pernyataan secata logis makna
adalah sesuatu yang dibaca dari
sebuah simbol oleh seorang anak. Dengan kata
lain anak menyadari bahwa simbol adalah sesuatu pengganti suatu
objek.
5.     
Teori Belajar Menurut Prof. Robert M. Gagne
Teori ini menyatakan bahwa : “Dalam pembelajaran matematika di SD
diperlukan objek belajar matematika dan
tipe-tipe belajar.”
a.      
Objek Belajar Matematika
Menurut Gagne bahwa dalam belajar matematika
dua objek yaitu objek langsung dan objek tidak
langsung. Objek tidak langsung
mencangkup kemampuan menyelidik, memecahkan masalah, disiplin diri,
bersikap
positif, dan tahu bagaimana semestinya belajar.
b.     
Tipe-Tipe Belajar
Telah dibedakan ke dalam 8 tipe
belajar yang terurut kesukarannya dari yang sederhana sampai kepada
yang
kompleks. Urutan ke 8 tipe belajar itu adalah :
1)     
Belajar isyarat (signal
learning), yaitu belajar sesuatu yang tidak disengaja.
2)     
Belajar stimulus respon (stimulus responses learning), yaitu belajar sesuatu dengan sengaja
dan responnya
adalah jasmani.
3)         
Rangkaian gerak (motor
learning), yaitu belajar dalam bentuk perbuatan jasmaniah terurut dari dua
kegiatan atau lebih stimulus respon.
4)     
Rangkaian verbal, yaitu berupa perbuatan lisan terurut
dari dua kegiatan atau lebih stimulus respon.
5)         
Belajar membedakan, yaitu belajar memisahkan rangkaian
yang bervariasi. Ada dua macam belajar
membedakan, yaitu :
a.      
Membedakan
tunggal, yaitu berupa pengertian siswa terhadap suatu lambang.
b.     
Membedakan jamak, yaitu
membedakan beberapa lambang tertentu.
6)     
Belajar konsep (
concept learning), yaitu belajar atau melihat sifat bersama dari suatu
benda atau peristiwa.
7)         
Belajar aturan (rule
learning), yaitu memberikan respon terhadap semua stimulus dengan segala macam
perbuatan.
8)     
Pemecahan masalah (problem
solving), yaitu masalah bagi siswa bila sesuatu itu baru dikenalnya tetapi
siswa
telah memiliki prasyarat hanya siswa belum tahu proses algoritmanya.
6.     
Teori Belajar Menurut Zoltan P. Dienes
Teori ini menyatakan bahwa : “Tiap-tiap konsep atau prinsip dalam
matematika yang disajikan dalam bentuk yang
konkrit akan dapat dipahami dengan
baik dan benda atau objek dalam bentuk pemainan akan sangat berperan bila
dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.”

Dalam konsepnya itu, Dienes membagi
tahap-tahap belajar dalam 6 tahap, yaitu :
a.      
Permainan Bebas (Free Play)
Yaitu dengan melakukan aktifitas
yang tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Di mana siswa
mengadakan percobaan
yang mengotak-atik benda-benda konkrit dan abstrak dari unsur yang sedang
dipelajarinya itu.
b.      Permainan
yang Disertai Aturan (Games)
Siswa meneliti pola-pola dan
keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu.
c.       Permainan
Kesamaan Sifat (Searching for comunities)
Siswa diarahkan dalam kegiatan menemukan
sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti.
d.      Representasi
(Representasi)
Yaitu tahap pengambilan kesamaan
sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para siswa menentukan
representasi
dari konsep-konsep tertentu yang bersifat abstrak. Dengan demikian telah
mengarah pada
pengertian struktur matematika yang sifatnya abtrak yang terdapat
dalam konsep yang sedang dipelajari.
e.       Simbolisasi
(Symbolization)
Yaitu merumuskan representasi dari
setiap konsep dengan menggunakan simbol matematika.
f.       Formalisasi
(Formalization)
Dalam hal ini siswa dituntut untuk
menurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat
baru konsep
tersebut.
7.     
Teori Belajar Menurut Jean Peaget
Teori ini menyatakan bahwa : “Jika kita akan memberikan pelajaran tentang
sesuatu kepada anak didik, maka kita
harus memperhatikan tingkat perkembangan
berfikir anak tersebut.”
Dengan teori belajar yang disebut
Teori Perkembangan Mental Anak (Mental atau Intelektual dan Kognitif) atau
ada
pula yang menyebutnya Teori Tingkat Perkembangan Berfikir Anak telah membagi
tahapan kemampuan
berfikir anak menjadi empat tahapan yaitu :
a.      
Tahap sensori motorik (dari lahir sampai usia 2 tahun)
b.     
Tahap operasional awal/piaoperasi (usia 2 sampai 7
tahun)
c.      
Tahap operasional/operasi konkrit (usia 7 sampai 11/12
tahun)
d.     
Tahap operasional formal (usia 11 tahun ke atas)
Jadi, agar pelajaran matematika di SD dapat dimengerti oleh para siswa
dengan baik, maka seyogianya
mengajarkan sesuatu bahasan harus diberikan kepada
siswa yang sudah siap untuk dapat menerimanya.
Tahapan perkembangan intelektual atau berfikir siswa di SD dalam
Pembelajran Matematika yaitu :
1)     
Kekekalan Bilangan (Banyak)
Bila anak telah memahami kekekalan
bilangan, amak ia akan mengerti bahwa banyaknya benda-benda
itu akan tetap
walaupun letaknya berbeda-beda. Konsep kekekalan bilangan umumnya dicapai oleh
siswa usia 6
sampai 7 tahun.
2)     
Kekekalan Materi (Zat)
Anak baru bisa memahami yang sama
atau berbeda itu dari satu sudut pandang yang tampak olehnya.
Belum bisa
melihat perbedaan atau persamaan dari dua karakteristik atau lebih. Hukum
kekekalan materi
umumnya dicapai oleh siswa usia 7 sampai 8 tahun.
3)     
Kekekalan panjang
Konsep kekekalan panjang umumnya
dicapai oleh siswa usia 8 sampai 9 tahun.
4)     
Kekekalan luas
Hukum kekekalan luas umumnya dicapai
oleh siswa usia 8 sampai 9 tahun.

5)     
Kekekalan berat
Hukum kekekalan  berat umumnya dicapai oleh siswa usia 9
sampai 10 tahun.
6)     
Kekekalan isi
Usia sekitar 14-15 tahun atau 11-14
tahun anak sudah memiliki hukum kekekalan isi.
7)     
Tingkat pemahaman
Tingkat pemahaman di usia SD masih
mengalami kesulitan merumuskan defenisi dengan kata-katanya
sendiri. Mereka
belum dapat membuktikan dalil secara baik.
8.     
Teori Belajar Menurut Edward L. Thondike
Teori belajar ini menyatakan bahwa :
“Pada hakekatnya belajar merupakan proses
pembentukan hubungan antara
stimulus dan respon dan belajar lebih berhasil bila
respon siswa terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan rasa
senang atau
kepuasan.
C.   
Pendekatan Pembelajaran Matematika
Supaya
pembelajaran matematika dapat berlangsung dengan baik, perlu digunakan beberapa
pendekatan. Setiap
pendekatan memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing
sehingga setiap pendekatan perlu digunakan dan
disesuaikan dengan kebutuhan.
Ada banyak pendekatan dalam pembelajaran, akan tetapi di sini akan dipaparkan
tiga
pendekatan saja, yakni Pendekatan Pembelajaran Kontekstual (Contextual
Teaching and Learning / CTL), Pendekatan
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-Based
Learning / PBL), dan Pendekatan Pembelajaran Kooperatif (Cooperative
Learning / CL). Pemilihan ketiga pendekatan tersebut didasarkan atas
pertimbangan bahwa ketiga pendekatan tersebut
lebih relevan digunakan dalam
pembelajaran matematika.
1.     
Pendekatan Pembelajaran
Kontekstual

Pendekatan pembelajaran kontekstual (contextual
teaching and learning / CTL) merupakan konsep
pembelajaran yang mengaitkan
bahan pelajaran dengan lingkungan atau situasi nyata siswa sehingga
pembelajaran tersebut sungguh-sungguh dapat dipahami oleh siswa.

Zahorik (1995), mengemukakan alasan


mengapa pendekatan kontekstual menjadi pilihan yang relevan saat ini.
“Knowledge
is constructed by humans. Knowledge is not a set of facts, concepts, or laws
waiting to be discovered. It is
not something that exists independent of a
knower. Humans create or construct  as they attempt to bring meaning to
their experience. Everything that we know, we have made”
Purnomo (2006), dalam hand-out
Lokakarya Kepala SD Katolik Daerah Istimewa Yogyakarta tanggal 16 Agustus
2006,
mengemukakan tujuh kecenderungan pemikiran dasar tentang belajar. Pemilihan
pendekatan konstekstual
didasarkan atas kecenderungan tersebut.
a.      
Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus
mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri.
b.     
Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri
pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan
diberi begitu saja oleh
guru.
c.           
Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki
seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan
pemahaman yang mendalam tentang
suatu persoalan (subject matter).
d.         
Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi
fakta-fakta atau proporsi yang terpisah, tetapi
mencerminkan keterampilan yang
dapat diterapkan.
e.      
Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam
menyikapi situasi baru.
f.           
Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan
sesuatu yang baru bagi dirinya, dan bergelut
dengan ide-ide.
g.         
Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan
struktur otak itu berjalan terus seiring dengan
perkembangan organisasi
pengetahuan dan keterampilan seseorang. Untuk itu perlu dipahami, strategi
belajar
yang salah dan terus-menerus diapajankan akan mempengaruhi struktur
otak, yang pada akhirnya
mempengaruhi cara seseorang berperilaku.
Menurut Susento (2007), pendekatan pembelajaran konstekstual dilaksanakan
oleh guru melalui kegiatan-
kegiatan sebagai berikut:
1)     
Kegiatan Mengkonstruksi
Pengetahuan
a.      
Menciptakan lingkungan, sarana, dan bahan yang
memungkinkan siswa sebanyak mungkin belajar sendiri
di bawah bimbingan guru.
b.     
Memberi siswa pengalaman nyata yang melibatkan mereka
secara aktif.

2)     
Kegiatan Penyelidikan (Inquiry)
a.      
Mendorong siswa untuk menemukan, merumuskan, dan
menganalisis (mengolah) masalah.
b.         
Meberikan banyak kesempatan kepada siswa untuk
menyajikan atau mengkomunikasikan hasil belajar
melalui berbagai cara seperti
tulisan, gambar, laporan, bagan, dan tabel.
3)     
Kegiatan Bertanya:
a.      
Membangkitkan rasa ingin tahu siswa.
b.     
Membangkitkan minat siswa untuk bertanya mengenai
masalah yang dihadapi  atau bahan yang dipelajari.
4)     
Kegiatan Komunitas Belajar (Learning
Community)
a.      
Menciptakan suasana diskusi antarsiswa.
b.     
Mendorong siswa menggunakan berbagai sumber belajar
yang ada di sekitar mereka.
5)     
Kegiatan Pemodelan
a.           
Menampilkan lebih dari satu macam model cara
menemukan/mengerjakan sesuatu, sehingga dapat
memahami, membandingkan, atau
menemukan alternatif.
b.     
Menunjukkan contoh orang atau karya orang.
6)     
Kegiatan Refleksi
a.      
Menyediakan waktu agar siswa mempunyai kesempatan
untuk refleksi tentang proses atau hasil belajar.
b.     
Memandu siswa melakukan refleksi melalui pertanyaan-pertanyaan
bantuan.
7)     
Kegiatan Penilaian Otentik
a.      
Menilai kinerja (unjuk kerja/performance)
siswa.
b.         
Mengobservasi (mengamati) pengaruh kegiatan
pembelajaran yang sedang/telah dilaksanakan terhadap
perilaku dan sikap siswa.
c.           
Menilai portofolio siswa. Portofolio adalah kumpulan
karya siswa selama jangka waktu tertentu, yang
menggambarkan keterampilan,
gagasan, minat, dan prestasi siswa, yang wujudnya berupa tulisan, gambar,
benda, atau model fisik.
d.         
Mencermati jurnal siswa. Jurnal adalah ungkapan hasil
refleksi pribadi siswa mengenai proses dan hasil
belajarnya, yang dituangkan
dalam bentuk tulisan, gambar, atau bentuk lainnya.
Contoh
pembelajaran kontekstual:
Di kelas III
semester 2 guru hendak mengajarkan cara menghitung luas persegi dan persegi
panjang.
Dalam hal ini, guru jangan langsung mengemukakan rumus luas persegi.
Guru sebaiknya mengenalkan contoh-
contoh persegi dan persegi panjang, seperti
ubin, buku, pintu, dan lain-lain. Siswa diminta menyebutkan contoh-
contoh
lain  yang langsung terdapat di dalam kelas yang bisa disentuh atau
dilihat. Setelah itu, guru

menunjukkan alat peraga yang mempresentasikan
persegi dan persegi panjang. Tahap selanjutnya adalah
mengenalkan defenisi
persegi dan persegi panjang. Setelah siswa mengenal persegi dan persegi
panjang, siswa
diajak menghitung luas persegi dengan bantuan alat peraga.

Contoh:
a.      
Gambar apakah di atas ini? Apakah itu gambar persegi
atau persegi panjang? Mengapa?
b.     
Berapa satuan luasnya?
Dengan
kegiatan seperti ini, siswa akan mampu membedakan persegi dan persegi panjang.
Setelah
menghitung luas bangun-bangun yang sama secara berulang-ulang, siswa
akan mengetahui sendiri bahwa
ternyata luas bangun persegi panjang adalah p x l
tanpa diberitahu oleh guru.
Pembelajaran
kontekstual sangat cocok diterapkan karena siswa akan lebih mudah memahami
sesuatu bila
dia melihat secara langsung obyek yang dipelajari. Hal ini sejalan
dengan tahap perkembangan anak.
2.     
Pendekatan Pembelajaran
Berbasis Masalah
Pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning /
PBL) merupakan konsep pembelajaran
yang proses belajarnya dimulai dengan
menyajikan masalah yang sesuai dengan situasi / perkembangan cara
berfikir
siswa sehingga siswa memperoleh pengalaman belajar yang lebih nyata dan
berkesan. Perlunya
penerapan pendekatan pembelajaran ini dilatarbelakangi oleh
realita bahwa seseorang umumnya berpikir dalam
konteks memecahkan masalah.
Masalah itu sendiri adalah kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan apa
yang ada. Seseorang juga akan lebih berminat mengerjakan sesuatu kalau situasi
sesuatu itu tidak seperti yang
diharapknnya atau berada dalam lingkup masalah
yang dihadapinya.
Susento (2007), dalam hand-out mata kuliah Pendidikan Matematika
SD II, mengemukakan lima langkah yang
seharusnya dilakukan guru dalam proses
pembelajaran berbasis masalah.
a.      
Persiapan
Menyusun masalah yang akan dijadikan titik pangkal (starting point)
pembelajaran. Masalah yang dipilih
adalah masalah yang relevan dengan tingkat
intelektual siswa. Masalah tersebut juga terkait atau mengarah
kepada pada
bahan pelajaran.
b.     
Orientasi
1)     
Menyajikan masalah di kelas.
2)     
Membangkitkan ketertarikan atau rasa ingin tahu siswa
kepada masalah.
3)     
Memberi kesempatan kepada siswa
c.      
Eksplorasi
Memberi kesempatan kepada siswa untuk memecahkan masalah dengan strategi
yang diciptakan oleh
siswa sendiri. Masalah boleh dipecahkan secara individual
atau kelompok. Guru berperan sebagai motivator
dan pemberi bantuan atau saran
sejauh diperlulan. Guru juga berperan sebagai pendengar yang penuh
perhatian.

d.     
Negoisasi
Mendorong para siswa untuk mengkomunikasikan dan mendiskusikan proses
dan hasil pemecahan
masalah, sehingga diperoleh gagasan-gagasan atau
tindakan-tindakan yang dapat diterima oleh seluruh siswa.
e.      
Integrasi
1)     
Memandu siswa untuk merefleksikan proses pemecahan
masalah.
2)     
Mengidentifikasi dan merumuskan hasil-hasil belajar
yang diperoleh dari kegiatan pemecahan masalah.
3)     
Mengaitkan hasil-hasil belajar itu dengan pengetahuan
sebelumnya, sehingga tersusun jaringan/organisasi
pengetahuan yang baru.
Contoh pembelajaran berbasis masalah:
Di kelas II
semester 2 guru hendak mengajarkan pembagian bilangan dua angka. Dalam hal ini,
guru jangan
mengajarkan konsep pembagian dengan cara konvensional. Cara yang
lazim digunakan guru-guru pada zaman
dulu hingga sekarang ini adalah sebagai
berikut:
a.      
15 : 3 = ….?
15 : 3 = 15
– 3 – 3 – 3 – 3 – 3 
(Guru
memberi contoh dengan cara mengurangkan bilangan 15 dengan bilangan 3
  berturut-turut hingga
bilangan 15 habis atau bernilai nol. Dari contoh di
atas diketahui bahwa bilangan 15 dapat habis dikurangi
dengan bilangan 3 sampai
lima kali).
Jadi, 15 : 3
= 5.
Memang cara
di atas mudah dan praktis. Tapi perlu diingat bahwa cara seperti adalah abstrak
dan mungkin
akan mudah dipahami oleh siswa yang memiliki tingkat intelegensi (IQ)
tinggi saja. Cara tersebut juga tidak
akan berbekas di ingatan jangka panjang
siswa. Hal ini terbukti, ketika siswa kelak disodorkan dengan soal
yang lebih
rumit, misalnya 60 : 3 = …, maka dapat dipastikan banyak siswa tidak akan mampu
atau merasa
kesulitan untuk menemukan jawabannya.
Ada baiknya
guru berusaha untuk menggunakan pendekatan berbasis masalah, caranya dengan
memberikan masalah terlebih dahulu sebelum guru menjelaskan konsep pembagian
dua angka. Masalah yang

diberikan guru adalah masalah yang benar-benar dikenal
siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk
mengajarkan konsep pembagian 15: 3 = …, guru menyajikan pertanyaan sederhana
dengan bantuan
alat peraga. Misalnya, guru menunjukkan 15 buah pensil dan
meminta 3 orang siswa maju ke depan kelas.
Setelah itu, guru berkata: 
“Anak-anak, tolong bantu Bapak untuk membagi 15 pensil ini kepada setiap anak
yang di depan kelas. Setiap anak mendapat jumlah pensil yang sama banyaknya.
Berapa buah pensil yang akan
diterima masing-masing anak?”
Biarkan
anak-anak berpikir sendiri dalam menemukan jawabannya. Mungkin ada anak mencoba
memberikan pensil kepada ketiga anak satu persatu. Misalkan saja ketiga anak
itu adalah Siska, Tina, dan Rina.
Budi mencoba memberikan pensil itu satu per
satu kepada Siska, Tina, dan Rina. Dia melakukan kegiatan yang
sama hingga
semua pensil habis. Dari kegiatan itu, dia menemukan bahwa pensil itu habis
terbagi ketika setelah
dia lima kali berulang-ulang membagikan pensil. Mungkin
juga ada anak yang memberikan 5 buah pensil
sekaligus kepada setiap anak, dan
mungkin saja ada cara lain yang ditemukan anak.
Dari
cara-cara yang ditemukan anak, guru bertanya:  “Anak-anak, cara siapa yang
paling mudah?
Mengapa cara si Anu lebih mudah? Berapa jawaban
pembagian      15 : 3?” Kemudian guru mengajak siswa
menemukan
jawaban atas pertanyaan lain. Kegiatan serupa perlu dilakukan secara
berulang-ulang. “Dengan
berlatih, anak yang telah siap belajar akan menunjukkan
kemajuan – walaupun berangsur-angsur” (Hurlock,
1978: 31). Dari kegiatan ini,
siswa akan mengetahui dan memahami konsep pembagian yang “sesungguhnya”
tanpa
perlu diljelaskan dengan cara konvensional dan contoh-contoh yang abstrak.

3.     
Pendekatan Pembelajaran
Kooperatif
Pendekatan pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran yang
memanfaatkan kerjasama
kelompok untuk menyelesaikan masalah. Selama ini, guru
secara tidak sadar telah “merusak” kepekaan hati atau
empati para siswa. Guru
sering “melarang” seorang siswa bertanya kepada siswa lain pada saat proses
pembelajaran berlangsung dengan dalih tidak boleh menjiplak atau mencontoh
jawaban teman. Akibatnya, sikap
egois semakin berakar dalam hati setiap siswa.
Perlu juga diingat bahwa bentuk kerjasama itu tidak hanya diskusi, masih
ada bentuk kerjasama lain seperti
presentasi kelompok, kerja kelompok,
penugasan kelompok, dan lain-lain. Semua bentuk kerjasama ini bisa
digunakan
sesuai kebutuhan dan situasi.
Beberapa pertimbangan pemilihan pendekatan ini adalah sebagai berikut.
a.      
Setiap siswa adalah individu yang unik, artinya
berbeda satu sama lain, baik dalam latar belakang kehidupan,
prestasi, cara
berfikir, dan cita-cita.  Situasi ini sangat mendukung pembelajaran karena
belajar selalu
membutuhkan variasi konteks.
b.         
Dengan belajar dalam kelompok, setiap orang akan
saling melengkapi. Misalnya, siswa A tidak berani
mengutarakan gagasannya
secara lisan, mungkin akan dibantu oleh siswa B yang berani berbicara di depan
kelas. Misalnya lagi, siswa C tidak pandai berhitung, akan dibantu oleh siswa
siswa D yang cerdas.
c.           
Dalam pembelajaran kooperatif, setiap siswa akan
berusaha mengembangkan kecerdasan interpersonalnya
(kemampuan bergaul dan
bekerjasama, memiliki kepekaaan perasaan atau empati, dan lain sebagainya).
Susento
(2007), dalam hand-out matakuliah Pendidikan Matematika SD II,
mengemukakan lima tehnik
pendekatan pembelajaran kooperatif, yaitu sebagai
berikut:

1)     
Tehnik Sebaran Prestasi
Siswa dalam kelompok yang terdiri atas empat atau lima siswa mengerjakan
soal latihan di lembar kerja.
Anggota kelompok adalah siswa yang memiliki
prestasi yang berbeda-beda, misalnya satu orang yang
berkemampuan tinggi, satu
orang yang berkemampuan sedang, dan yang lainnya yang berkemampuan rendah.
Setelah semua kelompok selesai bekerja, guru memberi kunci jawaban soal dan
meminta siswa memeriksa hasil
pekerjaan kelompoknya sendiri. Setelah itu, guru
memberikan ulangan.
2)     
Tehnik Susun Gabung
Dalam kelompok, tiap-tiap siswa mempelajari satu bagian materi
pelajaran. Setelah semua selesai
mempelajari materi yang diterimanya, kemudian
masing-masing siswa menjelaskan kembali kepada siswa lain
dalam kelompoknya.
Setelah selesai, guru memberikan ulangan sesuai materi yang dipelajari siswa.
3)     
Tehnik Penyelidikan
Berkelompok
Tiap-tiap kelompok mempelajari satu bagian materi pelajaran dan kemudian
menjelaskan bagian itu
kepada semua siswa di kelas.
4)     
Tehnik Cari Pasangan
Tiap siswa di kelas memperoleh satu lembar kartu. Tiap kartu berisi satu
bagian materi pelajaran. Tiap-
tiap siswa harus mencari siswa lain yang memiliki
kartu yang berkaitan dengan isi kartunya. Para siswa yang isi
kartunya
berkaitan berkelompok dan mendiskusikan keseluruhan materi.
5)     
Tehnik Tukar Pasangan
Siswa berkelompok mengerjakan soal latihan dalam lembar kerja. Kemudian
berganti kelompok dan
mendiskusikan hasil kerja dari kelompok semula.
Contoh
Pendekatan Pembelajaran Kooperatif:


Guru kelas
IV semester 1 hendak mengajarkan Kelipatan Persekutuan Terkecil. Dalam hal ini,
guru jangan
mengajarkan konsep terlebih dahulu. Biarkan siswa dalam kelompok
bekerjasama untuk menyelesaikan masalah.
Cara konvensional yang sering
digunakan guru-guru adalah seperti berikut ini:

Contoh: 
a)     
Kelipatan 2, yakni 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14,…
b)     
Kelipatan 3, yakni 3, 6, 9, 12, 15,…
Jadi KPK
dari 2 dan 3 adalah 6.
Setelah
mengajarkan satu contoh, guru kemudian memberikan soal latihan dan ulangan yang
soalnya mirip
dengan contoh yang diberikan guru.
Cara ini
memang sangat praktis dan tidak menyita waktu. Tetapi cara ini sangat tidak
cocok dengan tingkat
perkembangan intelektual siswa karena bersifat abstrak.
Guru sebaiknya menggunakan pendekatan kooperatif
sebagai alternatif dan
variasi. Berikut ini adalah contoh dari salah satu tehnik yang dipaparkan di
atas. Langkah-
langkahnya adalah sebagai berikut:
1)     
Langkah I:
Guru membagi kelas dalam beberapa kelompok. Pembagian ini didasarkan
atas kartu yang diterima oleh
setiap siswa. Misalnya,
Kelompok 1: Gambar daun (yang terdiri atas gambar 4, 6, dan 8
helai daun). Petunjuk yang diberikan untuk
setiap siswa yang mendapat kartu
bergambar daun supaya terbentuk kelompok 1 adalah : cari temanmu yang
memiliki
kartu bergambar daun dua kali lebih banyak, tiga kali lebih banyak, atau 4 kali
lebih banyak dari yang
dimilikinya.
Hai, aku di
sini. Aku punya gambar daun empat helai. Kamu mencari aku kan? Akulah
pasanganmu.
Cari
pasanganmu yang memiliki kartu bergambar daun dua kali lebih banyak dari
punyamu!
§ §
                              
§ § § §
Pasangannya
adalah 
Hai, aku di
sini. Aku punya gambar daun enam helai. Kamu mencari aku kan? Akulah
pasanganmu.
Cari
pasanganmu yang memiliki kartu bergambar daun tiga kali lebih banyak dari
punyamu!
§
§                              §§§§§§
Pasangannya
adalah
Gambar
selanjutnya juga mencari pasangan yang memiliki jumlah daun empat kali lebih
banyak dari yang
dimilikinya.
Hai, aku di
sini. Aku punya gambar daun enam helai. Kamu mencari aku kan? Akulah
pasanganmu. Weh, weh…!
Cari
pasanganmu yang memiliki kartu bergambar daun empat kali lebih banyak! punyamu!
§
§                         §§§§§§§§
Pasangannya
adalah
Jadi,
kelompok 1 yang terbentuk adalah terdiri atas enam orang siswa yang sama-sama
memiliki kartu
bergambar daun. Tanpa sadar siswa-siswa yang tergabung
dalam  kelompok 1 telah belajar kelipatan 2, dan
cara ini akan lebih
menyenangkan karena melibatkan gerak fisik.  
Kelompok 2:  Gambar apel (yang terdiri atas gambar 6, 9,
dan 12 buah apel). Petunjuk yang diberikan adalah:
carilah temanmu yang
memiliki kartu bergambar apel dua, tiga,  atau empat kali lebih banyak
dari punyamu.
Kelompok 3 : Gambar bunga (silahkan diatur menurut selera guru).
Kelompok 4: …
Setelah
semua siswa berkelompok, selanjutnya guru melaksanakan langkah II.
2)     
Langkah II:
Guru meminta
beberapa siswa maju ke depan kelas. Lalu guru membagikan photocopy uang
dengan nilai
nominal yang berbeda. Guru memberi instruksi seperti ini : “Siapa
yang memiliki uang dua, tiga, empat, atau
lima kali lebih banyak dari yang
Bapak tunjukkan, silahkan angkat tangan dan tunjukkan kepada semua teman
di
kelas!”.
3)     
Langkah III:
Guru meminta
siswa mengamati urutan jumlah gambar kartu yang dimilikinya, lalu salah satu
siswa dari setiap
kelompok menuliskannya di papan tulis.
4)     
Langkah IV:
Pada langkah
ini, guru boleh mengajarkan konsep KPK berdasarkan urutan jumlah yang
dituliskan siswa. Guru
boleh memberi contoh-contoh lain. Setelah semua siswa
memahami konsep KPK, guru memberikan latihan yang
akan dibahas siswa dalam
kelompoknya.

D.   
Metode Pembelajaran Matematika
1.     
Pengantar
Apabila kita ingin mengajarkan matematika kepada anak / peserta didik
dengan baik dan berhasil pertam-tama
yang harus diperhatikan adalah metode atau
cara yang akan dilakukan, sehingga sasaran yang diharapkan dapat
tercapai atau
terlaksana dengan baik, karena metode atau cara pendekatan yang dalam fungsinya
merupakan alat
untuk mencapai tujuan. Dengan demikian jika pengetahuan tentang
metode dapat mengklasifikasikannya dengan
tepat maka sasaran untuk mencapai
tujuan akan semakin efektif dan efisien.


Metode mengajar yang diterapkan dalam suatu pengajaran dikatakan efektif
bila menghasilkan sesuatu sesuai
dengan yang diharapkan atau dapat dikatakan
tujuan telah tercapai, bila semakin tinggi kekuatannya untuk
menghasilkan
sesuatu semakin efektif pula metode tersebut. Sedangkan metode mengajar
dikatakan efisien jika
penerapannya dalam menghasilkan sesuatu yang diharapkan
itu relatif menggunakan tenaga, usaha pengeluaran
biaya, dan waktu minimum,
semakin kecil tenaga, usaha, biaya, dan waktu yang dikeluarkan maka semakin
efisien
metode itu.
Metode atau cara yang diharapkan dapat terlaksana dengan baik, jika
materi yang diajarkan dirancang telebih
dahulu. Dengan kata lain bahwa untuk
menerapkan suatu metode atau cara dalam pembelajaran matematika
sebelumnya
harus menyusun strategi belajar mengajar, dan akhirnya dapat dipilih alat
peraga atau media
pembelajaran sebagai pendukung materi pelajaran yang akan
diajarkan.
2.     
Memilih Metode Pembelajaran yang Efektif
Perkembangan
mental peserta didik di sekolah, antara lain, meliputi kemampuan untuk bekerja
secara
abstraksi menuju konseptual. Implikasinya pada pembelajaran, harus
memberikan pengalaman yang bervariasi
dengan metode yang efektif dan
bervariasi. Pembelajaran harus memperhatikan minat dan kemampuan peserta
didik.

Penggunaan
metode yang tepat akan turut menentukan efektifitas dan efisiensi pembelajaran.
Pembelajaran
matematika perlu dilakukan dengan sedikit ceramah dan
metode-metode yang berpusat pada guru, serta lebih
menekankan pada interaksi
peserta didik. Penggunaan metode yang bervariasi akan sangat membantu peserta
didik dalam mencapai tujuan pembelajaran matematika.
Pengalaman
belajar di sekolah harus fleksibel dan tingkah laku, serta perlu menekankan
pada kreativitas, rasa
ingin tahu, bimbingan dan pengarahan kea rah kedewasaan.
Sesuai dengan pendekatan seperti telah dibahas pada
bahasan sebelumnya,
pembelajaran harus dipilih dan dikembangkan untuk meningkatkan aktivitas dan
kreativitas
peserta didik. Tiap metode tidak berdiri sendiri tanpa terlibatnya
metode lain. Berikut dikemukakan beberapa
metode pembelajaran yang dapat
dipilih oleh guru.
a.      
Metode Ceramah
Ceramah
merupakan suatu cara penyampaian informasi dengan lisan dari seseorang kepada
sejumlah
pendengar di suatu ruangan. Kegiatan berpusat pada penceramah dan
komunikasi yang terjadi searah dari
pembicara kepada pendengar. Penceramah
mendominasi seluruh kegiatan sedang pendengar hanya
memperhatikan dan membuat
catatan seperlunya.
Metode ceramah
merupakan metode mengajar yang paling banyak dipakai, terutama untuk bidang
studi
non eksakta. Hal ini mungkin dianggap oleh guru sebagai metode mengajar
yang paling mudah dilaksanakan.
Jika bahan pelajaran dikuasai dan sudah
ditentukan urutan penyampaiannya, guru tinggal menyajikannya di
depan kelas.
Murid-murid memperhatikan guru berbicara, mencoba menangkap apa isinya dan
membuat
catatan.
Gambaran
pengajaran matematika dengan metode ceramah adalah sebagai berikut. Guru
mendominasi
kegiatan belajar mengajar. Definisi dari rumus diberikannya.
Penurunan rumus atau pembuktian dalil
dilakukan sendiri oleh guru.
Diberitahukannya apa yang harus dikerjakan dan bagaimana menyimpulkannya.
Contoh-contoh soal diberikan dan dikerjakan pula oleh guru. Langkah-langkah
guru diikuti dengan teliti oleh
murid. Mereka meniru cara kerja dan cara
penyelesaian yang dilakukan oleh guru.

b.     
Metode Ekspositori
Metode
ekspositori sama seperti metode ceramah dalam hal terpusatnya kegiatan kepada
guru sebagai
pemberi informasi (bahan pelajaran). Tetapi pada metode
ekspositori dominasi guru banyak berkurang, karena
tidak terus-menerus
berbicara. ia berbicara pada awal pelajaran, menerangkan materi dan contoh
soal, dan
pada waktu-waktu yang diperlukan saja.
Murid tidak
hanya mendengar dan membuat catatan. Tetapi juga membuat soal latihan dan
bertanya
kalau tidak mengerti. Guru dapat memeriksa pekerjaan murid secara individual,
menjelaskan lagi kepada
murid secara individual dan klasikal. Kalau
dibandingkan dominasi guru dalam kegiatan belajar
mengajar,metode ceramah lebih
terpusat pada guru daripada metode ekspositori.
Pada metode
ekspositori siswa belajar lebih aktif daripada metode ceramah. Murid
mengerjakan latihan
soal sendiri, mungkin juga dilakukan sambil bertanya dan
mengerjakannya bersama dengan temannya, atau
disuruh membuatnya di papan tulis.
Melihat perbedaan-perbedaan di atas, cara mengerjakan matematika yang
pada
umumnya digunakan para guru matematika adalah lebih tepat dikatakan sebagai
menggunakan metode
ekspositori daripada ceramah. Yang biasa dinamakan mengajar
matematika dengan metode ceramah (seperti
yang tercantum dalam satuan
pelajaran) menurut penjelasan di atas sebenarnya adalah metode ekspositori,
sebab guru memberikan pula soal-soal latihan untuk dikerjakan murid di kelas.
c.      
Metode Demonstrasi
Melalui metode
demonstrasi, guru dapat memperlihatkan suatu proses, peristiwa, atau cara kerja
suatu
alat kepada peserta didik. Demonstrasi dapat dilakukan dengan berbagai
cara, dari yang sekadar memberikan

pengetahuan yang sudah diterimabegitu saja
oleh peserta didik, sampai pada cara agar peserta didik dapat
memecahkan suatu
masalah. Agar pembelajaran dengan menggunakan metode berlangsung secara efektif
dan
efisien, ada beberapa yang dapat dilakukan, yaitu :
1)     
Lakukanlah
perencanaan yang matang sebelum pembelajaran dimulai. Hal-hal tertentu perlu
dipersiapkan,
terutama fasilitas yang akan digunakan untuk kepentingan
demonstrasi.
2)         
Rumuskanlah
tujuan pembelajaran dengan metode demonstrasi, dan pilihlah materi yang tepat
untuk
didemonstrasikan.
3)     
Buatlah garis
besar langkah-langkah demonstrasi, akan lebih efektif jika yang dikuasai dan
dipahami baik
oleh peserta didik maupun oleh guru.
4)         
Tetapkanlah
apakah demontrasi tersebut akan dilakukan guru atau oleh peserta didik, atau
oleh guru
kemudian diikuti peserta didik.
5)     
Mulailah
demonstrasi dengan menarik perhatian seluruh peserta didik, dan ciptakanlah
suasan yang tenang
dan menyenangkan
6)     
Upayakanlah agar
semua peserta didik terlibat secara aktif dalam kegiatan pembelajaran.
7)         
Lakukanlah
evaluasi terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan, baik terhadap
efektivitas metode
demonstrasi maupun terhadap hasil belajar peserta didik.
Untuk memantapkan hasil pembelajaran melalui
metode demonstrasi, pada akhir
pertemuan dapat diberikan tugas-tugas yang sesuai dengan kegiatan yang
dilaksanakan.
d.     
Metode Tanya Jawab
Metode tanya
jawab merupakan cara menyajikan bahan ajar dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan
yang
memerlukan jawaban untuk mencapai tujuan. Umumnya pada tiap kegiatan
belajar mengajar selalu ada tanya
jawab. Namun, tidak pada setiap kegiatan
belajar mengajar dapat disebut menggunakan metode tanya jawab.
Dalam metode
tanya jawab, pertanyaan-pertanyaan bisa muncul dari guru, bisa juga dari
peserta didik,
demikian pula halnya jawaban yang dapat muncul dari guru maupun
peserta didik. Oleh karena itu, dengan
menggunakan metode ini siswa menjadi
lebih aktif daripada belajar mengajar dengan metode ekspositori.
Meskipun
aktivitas siswa semakin besar, namun kegiatan dan materi pelajaran masih
ditentukan oleh guru.
Dalam metode tanya jawab, pertanyaan dapat digunakan
untuk merangsang keaktifan dan kreativitas berpikir
siswa / peserta didik.
Karena itu, mereka harus didorong untuk mencari dan menemukan jawaban yang
tepat
dan memuaskan.

Sebelum
pertanyaan-pertanyaan itu diberikan, sebagai pengarahan diperlukan pula cara
informatif.
Bahan yang diajarkan masih terbatas pada hal-hal yang ditanyakan
oleh guru. Inisiatif dimulai dari guru.
Sesudah pengarahan, dimulailah dengan
pengajuan pertanyaan. Jika pertanyaan terlalu sulit, jawaban siswa
mungkin
hanya “tidak tahu”, “tidak dapat”, gelengan kepala, atau hanya diam saja. Kelas
diam bisa juga
diakibatkan oleh sikap atau tindakan guru yang tidak
menyenangkan siswa. Hal ini dapat menjengkelkan guru.
Kalau guru marah karena
hal tersebut, murid akan menjadi (lebih) takut untuk menjawab atau bertanya.
Adapun hal-hal
yang harus diperhatikan dalam penggunaan metode tanya jawab, sebagai berikut:
1.     
Guru perlu
menguasai bahan secara penuh (maksimal), jangan sekali-kali mengajukan
pertanyaan yang guru
sendiri tidak memahaminya atau tidak tahu jawabannya.
2.         
Siapkanlah
pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada peserta didik sedemikian rupa,
agar
pembelajaran tidak menyimpang dari bahan yang sedang dibahas, mengarah
pada pencapaian tujuan
pembelajaran dan sesuai dengan kemampuan berpikir
peserta didik (siswa).
Pertanyaan yang
baik memiliki kriteria sebagai berikut :
a)         
Memberi acuan,
pertanyaan yang memberi acuan adalah suatu bentuk pertanyaan yang sebelumnya
diberikan uraian singkat tentang apa-apa yang akan ditanyakan, jadi pertanyaan
tersebut merupakan
kelanjutan dari ceramah guru.
b)     
Memusatkan
jawaban, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan perlu dipusatkan pada apa-apa yang
menjadi
tujuan kegiatan pembelajaran.
c)         
Memberi
tuntunan, guru dapat menuntun peserta didik dengan pertanyaan-pertanyaan yang
menuntun
mereka pada jawaban yang benar. Melacak jawaban peserta didik, guru
mengajukan beberapa pertanyaan
kembali meskipun jawaban atas pertanyaan pertama
sudah benar.

e.      
Metode Penugasan
Metode ini biasa
disebut dengan metode tugas. Pada metode ini guru memberikan seperangkat tugas
yang
harus dikerjakan peserta didik, baik secara individual maupun secara
kelompok. Tugas yang paling sering
diberikan dalam pengajaran matematika adalah
pekerjaan rumah yang diartikan sebagai latihan
menyelesaikan soal-soal. Kecuali
ini, dapat pula menyuruh murid mempelajari lebih dulu topik yang akan
dibahas.
Metode tugas mensyaratkan adanya pemberian tugas dan adanya pertanggungjawaban
dari murid.

Tugas ini dapat berbentuk suruhan-suruhan guru seperti
contoh-contoh di atas. Tetapi dapat pula timbul atas
insiatif murid setelah
disetujui oleh guru. Cara menilai hasil tugas tertulis kadang-kadang
menimbulkan
kesukaran. Bagaimana memberi nilai kepada seorang murid jika ia
bekerja dalam suatu kelompok? Apakah ia
benar-benar turut aktif berperan dalam
menghasilkan laporan kelompok? Ataukah hanya tercantum namanya
saja sebagai
anggota kelompok? Jika laporan tertulis dibuat oleh tiap murid, apakah kita
akan menilai prestasi
seorang murid begitu saja berdasarkan hasil yang
diserahkannya? Mungkin tulisannya benar tulisan murid itu
sendiri, namun tidak
tertutup kemungkinan apa yang ditulisnya adalah 
hasil pekerjaan temannya atau orang
lain. Agar penilaian lebih objektif
dan menimbulkan rasa tanggung jawab, perlu dicek dengan mengajukan
beberapa
pertanyaan mengenai hasil pekerjaan yang dikumpulkan. Maksud pemberian
soal-soal pekerjaan
rumah adalah agar murid terampil menyelesaikan soal, lebih
memahami, dan mendalami pelajaran yang
diberikan di sekolah. Selain itu juga
murid biasa belajar sendiri, menimbulkan rasa tanggung jawab, dan sikap
positif
terhadap matematika.
Karena itu
janganlah memberi tugas yang terlalu sukar sehingga murid tidak mempunyai waktu
untuk
melakukan tugas lain dari sekolah atau kegiatan lain di luar sekolah.
Juga jangan memberikan soal terlalu
banyak, walaupun mudah. Sering memberikan
soal-soal yang banyak dan sukar dapat mengakibatkan murid
putus asa. Komposisi
soal hendaknya terdiri dari yang mudah, sedang, sukar, dan tidak terlalu
banyak.
Memberikan tugas yang berlebihan 
tidak akan menimbulkan sikap-sikap yang positif, malah mungkin
sebaliknya.

Agar metode
penugasan dapat berlangsung secara efektif, guru perlu memperhatikan
langkah-langkah
sebagai berikut:
1.     
Tugas harus
direncanakan secara jelas dan sistematis, terutama tujuan penugasan dan cara
pengerjaannya.
Sebaliknya tujuan penugasan dikomunikasikan kepada peserta didik
(siswa) agar tahu arah tugas yang
dikerjakan.
2.         
Tugas yang
diberikan harus dapat dipahami peserta didik, kapan mengerjakannya, bagaimana
cara
mengerjakannya, berapa lama tugas tersebut harus dikerjakan, secara
individu atau kelompok, dan lain-lain.
Hal-hal tersebut akan sangat menentukan
efektivitas penggunaan metode penugasan dalam pembelajaran.
3.         
Apabila tugas
tersebut berupa tugas kelompok, perlu diupayakan agar seluruh anggota kelompok
dpat
terlibat secara aktif dalam proses penyelesaian tugas tersebut, terutama
kalau tugas tersebut diselesaikan di
luar kelas.
4.     
Perlu diupayakan
guru mengontrol proses penyelesaian tugas yang dikerjakan oleh peserta didik.
Jika tugas
tersebut diselesaikan di kelas guru berkeliling mengontrol pekerjaan
peserta didik, sambil memberikan
motivasi dan bimbingan terutama bagi peserta
didik yang mengalami kesulitan dalam penyelesaian tugas
tersebut. Jika tugas
tersebut diselesaikan di luar kelas, guru bisa mengontrol proses penyelesaian
tugas
melalui konsultasi dari pada peserta didik.
5.         
Berikanlah
penilaian secara proporsional terhadap tugas-tugas yang dikerjakan peserta
didik. Penilaian
yang diberikan sebaiknya tidak hanya menitikberatkan pada
produk,tetapi perlu dipertimbangkan pula
bagaimana proses penyelesaian tugas
tersebut. Penilaian hendaknya diberikan secara langsung setelah tugas
diselesaikan, hal ini disamping akan menimbulkan minat dan semangat belajar
peserta didik, juga
menghindarkan bertumpuknya pekerjaan peserta didik yang
harus diperiksa.

f.      
Metode Eksperimen
Metode
eksperimen merupakan suatu bentuk pembelajaran yang melibatkan peserta didik
bekerja
dengan benda-benda, bahan-bahan, dan peralatan laboratorium, baik
secara perorangan maupun kelompok.
Eksperimen merupakan situasi pemecahan
masalah yang di dalamnya berlangsung pengujian suatu hipotesis,
dan terdapat
variabel-variabel yang dikontrol secara ketat. Hal yang diteliti dalam suatu
eksperimen adalah
pengaruh variabel tertentu terhadap variabel yang lain.
Hal-hal yang
perlu dipersiapkan guru dalam menggunakan metode eksperimen adalah sebagai
berikut :
1.     
Tetapkan tujuan
eksperimen
2.     
Persiapkan alat
dan bahan yang diperlukan
3.     
Persiapkan
tempat eksperimen
4.     
Pertimbangkan
jumlah peserta didik sesuai dengan alat-alat yang tersedia.
5.     
Perhatikan
keamanan dan kesehatan agar dapat memperkecil atau menghindarkan risiko yang
merugikan
atau berbahaya.
6.     
Perhatikan
disiplin atau tata tertib, terutama dalam menjaga peralatan dan bahan yang akan
digunakan.
7.     
Berikan
penjelasan tentang apa yang harus dikerjakan dan tahapan-tahapan yang mesti
dilakukan peserta
didik, termasuk yang dilarang dan yang membahayakan.
E.    
Alat Peraga
1.     
Pengertian Alat Peraga Pendidikan menurut para ahli


Sudjana, 2009, Pengertian Alat Peraga Pendidikan
adalah suatu alat yang dapat diserap oleh mata dan telinga
dengan tujuan
membantu guru agar proses belajar mengajar siswa lebih efektif dan efisien.
Faizal, 20010, mendefinisikan Alat Peraga Pendidikan
sebagai instrument audio maupun visual yang
digunakan untuk membantu proses
pembelajaran menjadi lebih menarik dan membangkitkan minat siswa dalam
mendalami suatu materi.
Wijaya dan Rusyan,  1994 yang dimaksud Alat Peraga Pendidikan
adalah media pendidikan berperan
sebagai perangsang belajar dan
dapat menumbuhkan motivasi belajar sehingga siswa tidak menjadi bosan dalam
meraih tujuan-tujuan belajar.
Nasution, 1985 alat peraga pendidikan adalah alat pembantu
dalam mengajar agar efektif”.
Suhardi, 1978  Pengertian alat peraga pendidikan atau
Audio-Visual Aids (AVA) adalah media yang
pengajarannya berhubungan dengan
indera pendengaran
Sumad, 1972,  
mengemukakan bahwa alat peraga atau AVA adalah alat untuk memberikan pelajaran
atau
yang dapat diamati melalui panca indera. Alat peraga merupakan salah satu
dari media pendidikan adalah alat
untuk membantu proses belajar mengajar agar
proses komunikasi dapat berhasil dengan baik dan efektif.
Amir Hamzah, 1981 bahwa Alat Peraga Pendidikan adalah adalah alat-alat
yang dapat dilihat dan didengar
untuk membuat cara berkomunikasi menjadi
efektif”. Sedangkan yang dimaksud dengan alat peraga menurut
Nasution (1985:
95) adalah “alat bantu dalam mengajar lebih efektif”.
Dari uraian-uraian di atas jelaslah bahwa pengertian
alat peraga pendidikan adalah merupakan segala
sesuatu yang dapat digunakan
untuk menyalurkan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan
kemauan siswa sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada diri
siswa.
2.     
Tujuan dan Manafaat Alat
Peraga Pendidikan
Berikut ini beberapa tujuan dan manfaat alat peraga disebutkan sebagai berikut:
a.      
Alat peraga pendidikan  bertujuan agar proses
pendidikan lebih efektif dengan jalan meningkatkan semangat
belajar siswa,
b.         
Alat peraga pendidikan  memungkinkan lebih sesuai
dengan perorangan, dimana para siswa belajar dengan
banyak kemungkinan sehingga
belajar berlangsung sangat menyenangkan bagi masing-masing individu,
c.      
Alat peraga pendidikan memiliki manfaat agar belajar
lebih cepat segera bersesuaian antara kelas dan diluar
kelas.
d.     
alat peraga memungkinkan mengajar lebih sistematis dan
teratur.

Secara
ringkas, Proses pembelajaran memerlukan media yang penggunaannya diintegrasikan
dengan tujuan
dan isi atau materi pelajaran yang dimaksudkan untuk
mengoptimalkan pencapaian suatu tujuan pengajaran yang
telah ditetapkan. Fungsi
media pendidikan atau alat peraga pendidikan
dimaksudkan agar komunikasi antara
guru dan siswa dalam hal penyampaian pesan,
siswa lebih memahami dan mengerti tentang konsep abstrak
matematika yang
diinformasikan kepadanya. Siswa yang diajar lebih mudah memahami materi
pelajaran jika
ditunjang dengan alat peraga pendidikan.
Secara jelas
dan terperinci, berikut ini adalah faedah-faedah atau manfaat dari penggunaan
alat bantu/peraga
pendidikan yaitu antara lain sebagai berikut:
1)      
Menimbulkan minat sasaran pendidikan.
2)      
Mencapai sasaran yang lebih banyak.
3)      
Membantu dalam mengatasi berbagai hambatan dalam
proses pendidikan.
4)           
Merangsang
masyarakat atau sasaran pendidikan untuk
mengimplementasikan atau melaksanakan pesan-
pesan kesehatan atau pesan
pendidikan yang disampaikan.
5)           
Membantu sasaran pendidikan untuk belajar dengan cepat
dan belajar lebih banyak materi/bahan yang
disampaikan.
6)           
Merangsang sasaran pendidikan untuk dapat meneruskan
pesan-pesan yang disampaikan pemateri kepada
orang lain.
7)      
Mempermudah penyampaian bahan/materi
pendidikan/informasi oleh para pendidik atau pelaku pendidikan.
8)      
Mempermudah penerimaan informasi oleh sasaran
pendidikan. Seperti diuraikan di atas, bahwa pengetahuan
yang ada pada
seseorang diterima melalui panca indera. Berdasarkan penelitian para ahli,
bahwa indera yang
paling banyak menyalurkan pengetahuan ke dalam otak adalah
mata. Kurang lebih 75 % sampai 87 % dari
pengetahuan manusia
diperoleh/disalurkan melalui mata. Sedangkan 13 % sampai 25 % lainnya diperoleh
atau
tersalur melalui indera yang lain. Dari sini dapat disimpulkan bahwa
alat-alat peraga/media/alat bantu visual
akan lebih mempermudah cara
penyampaian dan penerimaan informasi atau bahan atau materi pendidikan.
9)      
Dapat
mendorong keinginan orang untuk mengetahui,
kemudian lebih mendalami, dan akhirnya mendapatkan
pengertian yang lebih baik.
Orang yang melihat sesuatu yang memang diperlukan tentu akan menarik
perhatiannya. Dan apa yang dilihat dengan penuh perhatian akan memberikan
pengertian bru baginya, yang
merupakan pendorong untuk melakukan atau memakai
sesuatu yang baru tersebut.
10)  
Membantu menegakkan pengertian/informasi yang
diperoleh. Sasaran pendidikan di dalam memperoleh atau
menerima sesuatu yang
baru, manusia mempunyai kecenderungan untuk melupakan atau lupa. Oleh sebab
itu,
untuk mengatasi hal tersebut, AVA (Audio Visual Aid – alat bantu/peraga
audio visual) akan membantu
menegakkan pengetahuan-pengetahuan yang telah
diterima oleh sasaran pendidikan sehingga apa yang
diterima akan lebih lama
tersimpan di dalam ingatan.
3.     
Contoh alat
peraga matematika

Seperti daftar alat - alat peraga matematika ini yang
bisa dimanfaatkan orang tua sebagai alat peraga
matematika untuk mengajarkan
dasar matematika kepada anak.
a.      
Jam dinding
Letakkan jam dinding di dekat meja makan. Akan lebih
baik bila terdapat 2 jenis jam dinding, yang model
analog dan digital. Dengan
jam dinding, orang tua bisa mengajarkan kepada anak tentang angka, waktu, dan
kebiasaan sehari-hari
b.     
Kalender dinding yang sudah
tidak terpakai
Selain bisa digunakan untuk
mengajarkan kepada anak tentang hari, juga bisa digunakan untuk
mengajarkan
tentang angka. Ajari anak untuk membaca angka secara vertikal, horisontal, dan
 diagonal dengan
memanfaatkan kumpulan angka tanggal pada kalender
c.      
Permainan ular tangga
Ular tangga yang dimainkan dengan
cara mengocok dadi bisa dijadikan sebagai alat peraga matematika
untuk
mengenalkan kepada anak tentang teori kemungkinan / probabilitas dan tentu saja
bisa digunakan juga
untuk mengajarkan kepada anak tentang cara berhitung.

d.     
Cangkir / Botol
Bisa digunakan untuk mengajari anak
tentang isi/volume benda. Gunakan cairan berwarna untuk
mengajari mereka
tentang isi/volume.
e.      
Kacang – kacangan
Ajari anak berhitung dengan
menggunakan kacang - kacangan. Bila perlu, gunakan 2 atau 3 jenis kacang
yang
berbeda untuk membantu anak memahami tentang penambahan dan pengurangan
f.      
Meteran
Ajari anak cara melihat ukuran
panjang sebuah benda dengan menggunakan meteran. Gunakan benda-
benda kecil
dahulu atau bisa juga memanfaatkan aneka perabot yang ada di rumah
g.     
Kertas HVS
Ajari anak cara membuat bangun ruang,
bangun datar, lingakaran, segitiga,dan lain-lain dengan
menggunakan kertas HVS

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Heruman (2008) menyatakan dalam
pembelajaran matematika SD, diharapkan terjadi reinvention (penemuan
kembali). Penemuan kembali adalah menemukan suatu cara penyelesaian 
secara informal dalam pembelajaran di kelas.
Selanjut Heruman menambahkan bahwa
dalam pembelajaran matematika harus terdapat keterkaitan antara pengalaman
belajar siswa sebelumnya dengan konsep yang akan diajarkan. Sehingga diharapkan
pembelajaran yang terjadi merupakan
pembelajaran menjadi lebih bermakna (meaningful),
siswa tidak hanya belajar untuk mengetahui sesuatu (learning to know
about),
tetapi juga belajar melakukan (learning to do), belajar menjiwai (learning
to be), dan belajar bagaimana seharusnya
belajar (learning to learn), serta
bagaimana bersosialisasi dengan sesama teman (learning to live together).
Siswa Sekolah Dasar (SD) berada pada
umur  yang berkisar antara usia 7 hingga 12 tahun, pada tahap ini siswa
masih
berpikir pada fase operasional konkret. Kemampuan yang tampak dalam fase
ini adalah kemampuan dalam proses berpikir
untuk mengoperasikan kaidah-kaidah
logika, meskipun masih terikat dengan objek  yang bersifat konkret
(Heruman, 2008).
Siswa SD masih terikat dengan objek yang ditangkap dengan
pancaindra, sehingga sangat diharapkan dalam pembelajaran
matematika yang
bersifat abstrak, peserta didik lebih banyak menggunakan media sebagai alat
bantu, dan penggunaan alat
peraga. Karena dengan penggunaan alat peraga dapat
memperjelas apa yang disampaikan oleh guru, sehingga siswa lebih


cepat
memahaminya. Pembelajaran matematika di SD tidak terlepas dari dua hal yaitu
hakikat matematika itu sendiri dan
hakikat dari anak didik di SD.
B.    
Saran
Semoga
setelah kita membaca makalah ini dapat menambah wawasan kita semua khusnya bagi
para pandidik dan
calon pendidik, agar didalam mendidik peserta didik, para
pendidik tahu apa saja yang akan dilakukannya

DAFTAR
PUSTAKA

Marsudi Rahardjo, Alat Peraga Matematika SMA, P3G Matematika,


Yogyakarta, 2005
Pujiati, Pembuatan Alat Peraga Matematika Sederhana, P3G
Matematika, Yogyakarta, 2005
Piran Wiroatmojo dan SasonoharjoMedia Pembelajaran, Lembaga
Administrasi Negara RI, Jakarta, 2002
Theresia
Widyantini, Penggunaan Alat Peraga dalam Pembelajaran Matematika, P3G
Matematika, Yogyakarta, 2005
Lisnawaty, S
(1992). Metode Mengajar Matematika 1, Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Lisnawaty, S
(1992). Metode Mengajar Matematika 2, Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Ruseffendi, ET,
dkk (1992). Pendidikan Matematika 3, Jakarta : Depdikbud





June 29, 2016 (2016-06-29T18:46:00-07:00)

No comments:
Post a Comment
To leave a comment , click t he but t on below t o sign in wit h Blogger.

SIGN IN WIT H BLOGGER

Older post >

RPP IPA KELAS 3 SEMESTER 2 KENAMPAKAN PERMUKAAN BUMI

Mau Cari Uang dengan Mudah dan bisa sambil rebahan?


Download Aplikasi dibawah ini

Enter the code number here to get


your content download

Enter Here

AD adver tica.com


SEARCH

Search

Bacaan yang disukai


RANGKUMAN MATERI T6 ST4 PB 4
2022-03-16

RANGKUMAN MATERI T6 ST4 PB 2 & 3


2022-03-15

RANGKUMAN TEMA 6 SUB TEMA 4 PEMBELAJARAN 1


2022-03-14

PROFIL

Goresan Pena WR28


View my complete profile

Total Pengunjung
4 1 7 6 0 2

Kunjungi Saya di

KOLEKSI VIDEO

permainan oray nag…


nag…

KELAS 5B SDN 1 TU…


TU…


 

Copyright © 2022
Goresan Pena WR28.  Designed by Blogger Templates, Riviera Maya & 爱西班牙语

You might also like