You are on page 1of 12

Akademia Vol. 13 No.

1, Februari 2011 Agussani : Penuntasan Buta Aksara Lewat Model


AIDDA

PENUNTASAN BUTA AKSARA LEWAT MODEL AIDDA


DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

Oleh :

AGUSSANI
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik universitas Muhammadiyah Sumatra Utara
Jl. Kapt. Muktar Basri No. 3 Medan

Abstract

The functional literacy often some educated targets from adult people especially the residents of prisons who
dream something beautiful and glow, but it can’t come true and they do not want to be the part of that beautiful dream.
The heigh of illiteracy number becomes something gripped, whereas, this activity has been started since the beginning
of independence with any approach model in 1995,the functional literacy has been attemted and skill used nowadays.
The remedy of education quality is really need through development and implement the learning models which are
active, creative/ innovative, effective, please, contextual, actual, concrete, and mean to development and social life
which also includes the residents of prisons. Based on this experience, the research attempt to develop AIDDA model,
which is spreading an idea based on the problem that has been faced by the client with organize an affective
communication between tutor and learner, so that it will create a transparency and solving learner problem which
get the target. AIDDA model is an abbreviation from attention, interest, drsire,dection, in simple way, AIDDA can be
imagined as follows : in order to consumer candidate of our product/ servise dispose to just know or want to play
attention to what we affer so that he interest to our offering, and then he has a will to use our product/ service and
finally, he makes a decision and use the product/ service that we have been offered before.

Key word : the functional literacy, AIDDA, Education model

I. Pendahuluan berbagai upaya untuk mengatasi hal ini. Salah


Salah satu tujuan nasional di dalam satunya melalui program pengentasan buta
pembukaan Undang-undang Dasar RI tahun 1945 aksara. Gerakan Nasional percepatan sasaran
adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang prioritas penduduk buta aksara usia 15-44 tahun.
dapat diupayakan melalui pendidikan. Program keaksaraan fungsional yang
Pendidikan merupakan kebutuhan utama dan hak telah lama dikenal yakni sejak pertengahan tahun
asasi setiap manusia. Namun, masih tampak pula 1960an, dan merupakan konsep yang sangat
kesenjangan pendidikan karena pendidikan di berpengaruh dalam membangun pendidikan
Indonesia belum sepenuhnya merata, sehingga melalui program keaksaraan. Pesona ide tersebut
masih banyak ditemukan warga yang sangat kuat dan tersebar luas. Banyak pihak
menyandang buta aksara. Akibatnya, hal tersebut sangat peduli terhadap ide tersebut antara lain ;
juga berpengaruh terhadap kemampuan ekonomi pendidikan orang dewasa, para ahli
dan social masyarakat. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi, pekerja pembangunan
pemerintah bekerja sama dengan bebagai elemen desa, lembaga-lembaga penyebar innovasi, para
dunia pendidikan untuk memberantas buta perencana dan pelaksana pada lembaga-lembaga
aksara. Internasional tampaknya semuanya sangat
Upaya untuk mewujudkan manusia yang perduli dengan keaksaraan fungsional ; ide
berkualitas, handal dan komperatif merupakan dibalik itu sepertinya adalah bahwa keaaksaraan
tantangan utama pendidikan. Konsekuensinya, dapat mempunyai fungsi atau peran kebangkitan
seluruh kelompok usia, jenis kelamin, harus pembangunan social ekonomi suatau masyarakat.
memperoleh layanan pendidikan merata. Namun Sementara itu para pekerja keaksaraan fungsional
pendidikan formal memiliki keterbatasan untuk terutama yang bekerja di proyek-proyek yang
memenuhi kebutuhan pendidikan dari warga disponsori oleh Unesco melakukan
masyarakat. Pemerintah telah melakukan
Diterbitkan Kopertis Wilayah I
Akademia Vol. 13 No. 1, Februari 2011 Agussani : Penuntasan Buta Aksara Lewat Model
AIDDA

eksperimentasi, dan telah menjual konsep Masih tingginya angka buta huruf ini
tersebut beserta temuan-temuannya. tentunya merupakan sesuatu yang memiriskan,
Munculnya konsep keaksaraan padahal kegiatan ini sudah dimulai sejak awal
fungsional sangat mengesankan, tetapi tidak kemerdekaan dengan berbagai model
berjalan mulus untuk gerakan keaksaraan pendekatan, tahun 1995 diuji cobakan model
dinegara sedang berkembang. Konsep keaksaraan Fungsional yang digunakan sampai
keaksaraan fungsional ini memakan waktu saat ini. Pemberantasan buta huruf ini didukung
panjang untuk bangkit dari frustasi dan kegagalan oleh ketersediaan ketenagaan pendidikan non
para pekerja keaksaraan yang seringkali formal yang bisa sebagai agen percepatan
menghadapi para sasaran didik orang dewasa penuntasan pemberantasan buta huruf.
yang memimpikan sesuatu kehidupan yang Sebagai bentuk kprihatinan akan masih
indah, yang terang benderang tetapi tidak tingginya angka buta huruf, pada tahun 2005
terwujud dan mereka tidak ingin menjadi bagian pemerintah mencanangkan program
dari mimpi indah tersebut. Mereka tidak lagi pemberantasan Buta Aksara Intensif dengan
secara sukarela untuk belajar membaca dan berusaha melibatkan sebanyak mungkin
menulis. Mereka tidak lagi mikir apakah komponen bangsa. Targetnya adalah
keaksaraan itu gak asasi manusia atau bukan. sebagaimana yang tercantum dalam rencana
Bagi mereka yang sudah pernah belajar membaca strategis Depdiknas yang merupakan penjabaran
dan menulis, mereka juga tidak tahu mau dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah
melakukan apa dengan kecakapan barunya (RPJM) yaitu menurunkan angka buta huruf usia
tersebut, atau setelah memperoleh skill 15 tahun ke atas hingga 5% pada tahun 2009.
lenguistik, mau apa ? konsep baru yang disebut Untuk menunjang pencapaian tersebut, tahun
keaksaraan fungsional menjanjikan akan 2006 pemerintah menyiapkan dana sekitar 1
memecahkan masalah masalah kelasik dan triliun rupiah.
maslah yang sulit yaitu motivasi peserta didik dan Dengan dukungan dana yang relatif
secara bersamaan menghubungkan keaksaraan besar, pertanyaannya kemudian adalah “Apakah
dengan ekonomi, social dan aspirasi politik di kegiatan pemberantasan buta huruf itu akan
Negara sedang berkembang. berdampak secara signifikan terhadap
Buta huruf secara sederhana biasa peningkatan kesejahteraan masyarakat?” Hal ini
diartikan sebagai ketidak mampuan seseorang patut menjadi renungan, karena secara anatomi
untuk mengenal huruf latin (membaca0 dan penyandang buta huruf kurang lebih sama dan
angka (menghitung). Buta huruf selalu sebangun dengan masyarakat miskin itu sendiri.
diasosiasikan dengan keterbelakangan, “Apakah ia merupakan akar persoalan atau hanya
kebodohan, kemiskinan, dan simbol-simbol dampak dari sebuah kebijakan ?”
ketakberdayaan lainnya, bahkan angka buta huruf Pertanyaan ini penting diajukan agar kita
menjadi salah satu indikator dalam mengukur tidak terjebak pada pendekatan yang bersifat
Human Development Index (HDI) suatu Negara. parsial dan memakai indikator kuantitatif dalam
Oleh karena itu, fenomena buta huruf ini menjadi menilai keberhasilan program pemberantasan
salah satu isu utama dalam hal peningkatan buta huruf, seolah-olah persoalan buta adalah
kualitas sumber daya manusia. Bahkan salah satu persoalan yang berdiri sendiri, terpisah dari
butir pokok kesepaksatan Dakar (The Dakar persoalan-persoalan lainnya yang dihadapin oleh
Fremwork for Action) yang sudah menjadi masyarakat, sehingga pendekatan yang dilakukan
kesepakatan dunia dalam hal pengembangan sangat teknis (member kemampuan
sumber daya manusia adalah “Mencapai calistungdasi) dan sektoral (hanya melibatkan
perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan instansi teknis Dapartemen pendidikan
orang dewasa menjelang tahun 2015, Nasional). Dengan model ini, tidak mampu
terutama bagi kaum perempuan, dan akses secara tuntas menyelesaikan persoalan yang ada,
yang adil pada pendidikan dasar dan karena yang ditangani hanyalah dampak, bukan
berkelanjutan bagi semua orang dewasa”. akar persoalan.

Diterbitkan Kopertis Wilayah I


Akademia Vol. 13 No. 1, Februari 2011 Agussani : Penuntasan Buta Aksara Lewat Model
AIDDA

“Lalu apa sebenarnya yang menjadi akar sebagai model dalam pemberantasan buta aksara
persoalan masih tingginya angka buta huruf ?” di lapas kelas II b Lubuk Pakam. Tahap awal
pertanyaan ini harus dikemukakan dan dikaji yang perlu kita pahami sebelum masuk kepada
sebagai entry point penuntas permasalahan yang inti permasalahan adalah berkurangnya minat
ada. Secara tipologi, masyarakat buta huruf masyarakat khususnya penghuni lapas dalam
adalah masyarakat yang memiliki keterbatasan. mengikuti program pembrantasan buta aksara
Keterbatasan yang dimaksud sangat jelas pada karena disebabkan budaya malu dan
aspek ekonomi, social, asset, akses, politik, perekonomian yang lemah. Tahap ini perlu
budaya, dll, tetapi bukan berarti mereka adalah diperkenalkan dengan maksud supaya terdapat
kumpulan masyarakat yang tak memiliki potensi keseragaman persepsi terhadap melemahnya
sama sekali. Kalau kita mau menganalis secara minat masyarakat untuk mengikuti program
jernih, akar persoalan sebenarnya adalah masih pemberantasan buta aksara.
terpeliharanya perilaku ketidak adilan, baik itu
ketidak adilan yang diperlihatkan oleh Negara II. KAJIAN TEORI
(Pemerintah), maupun secara horizontal yang 1. Pemberantasan Buta Aksara
diperankan oleh masyarakat itu sendiri. Aksara adalah jendela dunia, pintu bagi
Program buta aksara yang dilaksanakan sebuah pendidikan. Namun Indonesia masih saja
saat ini belum sepenuhnya menyentuh bebagai bersibuk-sibuk dengan persoalan pemberantasan
masyarakat, khususnya masyarakat marginal buta aksara. Padahal upaya pemberantasannya
yang berada dipedesaan. Hal itu karena sebagian sudah dilakukan sejak awal kemerdekaan tahun
masyarakat buta aksara mengganggap program 1945. Tapi kenapa buta aksara tak kunjung
ini tidak siap dipakai untuk modal hidup mereka. terberantas. Apa sesungguhnya masalah yang
Fenomena ini lebih diperparah dengan telah terjadi ? peran aksara sangat krusial dan sangat
mengakarnya karakter melayu yaitu budaya malu besar pula sumbangannya bagi index
pada sebagian besar masyarakat mayoritas etnis pembangunan manusia (Human Development
Melayu. Jika kita mengadakan program Index/ HDI) tak terbantahkan.
pemberantasan buta aksara di masyarakat Berdasarkan data pada tahun 2004,
hasilnya kurang begitu memuaskan. Hal ini mayoritas penduduk Indonesia atau sebanyak
dikarenakan masyarakat kita masih mempunyai 90,4 persen sudah melek huruf. Artinya, masih
budaya malu yang tinggi untuk maju. Malu bila tersisa 9,6% penduduk yang masih buta aksara
dikatakan memiliki kekurangan (buta aksara) dan itu berjumlah sekitar atau 14,8 juta orang,
dengan usia yang boleh kita bilang sudah tersebar dari usia 15 tahun ke atas. Pada tahun
mendekati senja. Konsekuensinya 2005 , program pemberantasan buta aksara hanya
pemberantasan buta aksara yang berkembang berhasil mencapai target yang belum tercapai
menjadi keaksaraan fungsiaonal kurang sebanyak 900 ribu akan ditambahkan (carried
mendapat respon oleh sebagaian masyarakat, over) ke target 2006 yang 1,5 juta orang.
sehingga tidak terjadi penurunan angka yang Program penurunan buta aksara telah
signifikan terhadap jumlahnya (Alesyanti, 2008). dilakukan melalui pendidikan formal dan non
Model pembelajaran yang ada saat ini formal, namun perlu adanya penanganan yang
belum mampu memberikan kontribusi yang lebih sinergis agar dapat diperoleh hasil yang
efektif terhadap peningkatan minat warga belajar maksimal, karena penurunan buta aksara tidak
dalam program pembelajaran. Model maksimal jika buta aksara baru terus bertambah.
pembelajaran yang diterapkan baru saat ini lebih Berbagai kebijakan telah dibuat oleh
menitikberatkan pada pendidikan keterampilan pemerintah, salah satunya adalah upaya
hidup berdasarkan potensi dan kebutuhan warga meningkatan anggaran pendidikan untuk dapat
belajarnya sedangkan pendidikan regulernya mencapai 20% dari APBN dan APBD sesuai
menjadi faktor pendukung. amanat UUD 45 dan UU No.20 tahun 2003
Untuk menjawab permasalahan di atas tentang system pendidikan Nasional. Tapi semua
peneliti mencoba menggunakan model AIDDA kebijakan akan lebih berhasil jika peran serta

Diterbitkan Kopertis Wilayah I


Akademia Vol. 13 No. 1, Februari 2011 Agussani : Penuntasan Buta Aksara Lewat Model
AIDDA

masyarakat dalam pembangunan pendidikan achieve a learning objective (Burden & Byrd,
lebih ditingkatkan, termasuk peran dan fungsi 1999:85).
komite sekolah, perguruan tinggi dan dewan Selain memperhatikan rasional teoritik,
pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan tujuan, dan hasil yang ingin dicapai, model
berbasis sekolah dan masyarakat yang mencakup pembelajaran memiliki lima unsur dasar (Joyce &
proses perencanaan pembangunan pendidikan. Weil (1980), yaitu (1) syntax, yaitu langkah-
Paradigm untuk pendidikan keaksaraan langkah operasional pembelajaran, (2) social
secara global saat ini mengalami perluasan system, adalah suasana dan norma yang berlaku
makna. Pendidikan keaksaraan saat ini bukan dalam pembelajaran, (3) principles of reaction,
hanya berkutat pada masalah kesenjangan menggambarkan bagaimana seharusnya guru
kecakapan membaca, menulis dan berhitung, memandang, memperlakukan, dan merespon
tetapi hal itu juga menyangkut kecakapan- siswa, (4) support system, segala sarana, bahan,
kecakapan tertentu dan pengausaannya alat, atau lingkungan belajar yang mendukung
keterampilan praktis yang kontekstual dan selaras pembelajaran, dan (5) instructional dan nurturant
dengan perubahan peradaban manusia yang effect—hasil yang di peroleh langsung
melahirkan konsekuensi logis tentang adanya berdasarkan tujuan yang disasar (instructional
tuntutan-tuntutan baru terhadap setiap individu. effects) dan hasil belajar di luar yang disasar
Problem seperti ini akan menciptakan (nurturaneffects).
kesenjangan yang hanya bias dijembatin oleh Di dalam pembelajaran keaksaraan
pendidikan, khususnya pendidikan non formal. fungsional, peranan tutor sangat menunjang
Pendidikan keaksaraan sebagai bagian yang tak kelancaran pembelajaran untuk warga belajar.
terpisah dalam dunia pendidikan non formal ini Pada umumnya sasaran dari program keaksaraan
pun tidak terlepas dari tugas dan fungsinya yaitu fungsional terdiri dari masyarakat orang dewasa
sebagai pelengkap (suplemen), penambah yang belum melek aoksara. Selama ini program
(komplemen), dan pengganti (subtitusi) yang pembelajaran keaksaraan fungsional tersebut
tercipta dari suatu system pendidikan secara telah berjalan, tetapi hasilnya kurang maksimal.
menyeluruh. Hal itu terjadi akibat pemilihan metode
Jumlah angka buta aksara penduduk pembelajaran yang masih konvensional seperti
Indonesia hingga akhir tahun 2009 masih sekitar halnya persekolahan.
5,3 persen dari jumlah penduduk atau sekitar 8,7 Seharusnya, strategi pembelajaran
juta jiwa. Saat ini persentase buta aksara di keaksaraan fungsional adalah pembelajaran
Sumatra Utara mencapai 3,8 % dari 2,4 juta orang dewasa. Metode pembelajaran tersebut
jumlah penduduk yang masuk usia produktif. dijalankan melalui belajar dari pengalaman
Dari 3,8 persen buta aksara itu, ungkap sendiri (self learning experience) yang bertujuan
Bahrumsyah, terbanyak di Delisedang dan Nias. untuk memberdayakan masyarakat dalam
Mereka tinggal di daerah pegunungan dan pantai, menganalisis dan mengembangkan pengetahuan
didominasi kaum perempuan berusia di atas 50 tentang kehidupan setempat dan sumber daya
tahun (harian global, 2010). masyarakat. Sasaran melek aksara biasanya
terdapat didaerah pedalaman yang mayoritas
2. Model Pembelajaran penduduknya beragama islam dan sering
Model pembelajaran merupakan kerangka melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan
konseptual yang melukiskan prosedur yang misalnya pengajian. Oleh karena itu, dari
sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman kegiatan tersebut mereka sudah dapat membaca
belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi model tulisan dengan huruf arab dan huruf pegon, tetapi
pembelajaran cenderung preskriptif, yang relatif belum dapat membaca latin.
sulit dibedakan dengan strategi pembelajaran. An Aspek metode pembelajaran sangat penting
instructional strategy is a method for delivering mendapat perhatian karena tiga alasan. Pertama,
instruction that is intended to help student metode pembelajaran merupakan variable
manipulatif, artinya setiap tutor memiliki

Diterbitkan Kopertis Wilayah I


Akademia Vol. 13 No. 1, Februari 2011 Agussani : Penuntasan Buta Aksara Lewat Model
AIDDA

kebebasan untuk memilih dan menggunakan pembinaan emosional antara individu dalam
berbagai metode pengajar sesuai dengan hubungan produktif dengan lingkungan hingga
karakteristik materi pembelajarannya. Lagi pula, diharapkan menghasilkan hubungan
struktur isi pelajaran merupakan variable interpersonal yang lebih kaya dan kemampuan
pembelajaran di luar kontrol tutor karena pemrosesan yang lebih efektif lagi.
merupakan wewenang pemerintah. Kedua, Terliput ke dalam rumpun ini adalah;
metode pembelajaran memiliki fungsi sebagai pengajaran Non-Direktif (Non-directive
instrument yang membantu atau memudahkan teaching), pelatihan kesadaran (awraness
warga belajar dalam memperoleh sejumlah training), sinektic (synectics), system konseptual
pengalaman belajar. (Conceptual System) dan pertemuan kelas
Materi pembelajaran yang memiliki tingkat (Classroom Meeting).
kesulitan akan terasa mudah jika tutor mampu
meramu dan menyajikan dengan menerapkan c. Model Interaksi Sosial
metodel pembelajaran yang menarik bagi warga Model-model pembelajaran yang
belajar. Ketiga, pengembangan metode termasuk rumpun interaksi social, menekankan
pembelajaran dalam konteks peningkatan mutu hubungan antara individu dengan masyarakat dan
perolehan hasil belajar perlu diupayakan secara dengan individu lainnya. Focus model ini terletak
terus-menerus dan bersifat komperensif karena pada proses di mana dengan proses ini realitas
proses pembelajaran merupakan factor dinegosiasi memberikan propritas pada perbaikan
determinan terhadap mutu hasil belajar. Hal ini kemampuan individu untuk berhubungan dengan
makin menarik untuk diperhatikan seiring dengan yang lainnya, bergelut dengan proses demokratik
kuatnya tuntutan terhadap mutu pendidikan dan bekerja secara produktif dalam masyarakat.
nonformal. Termasuk kedalam rumpun model ini, antara
lain : investigasi kelompok (Group
3. Jenis Model Pembelajaran Investigation), Inkuiri Sosial (social inquiry),
a. Model Pemrosesan Metode Laboratorium (Laboratory Method),
Model-model yang berorientasi pada Yurisprudensial (Yurisprudential), Bermain
kemampuan pemrosesan informasi dari siswa dan peran (Role Playing) dan simulasi Sosial (Sosial
cara memperbaiki kemampuan dalam menguasai Simulation).
informasi, merajuk pada cara orang menangani
stimulus dari lingkungannya, mengorganisasikan d. Model Behavioral
data, menginderai masalah, melahirkan konsep Model-model yang termasuk ke dalam
dan pemecahan masalah, dan menggunakan rumpun behavioural berpijak pada landasan
simbol verbal dan non-verbal. Model model yang teoritis yang sama, yakni teori tingkah laku
termasuk kedalam rumpun ini antara lain adalah; (Behavioral Theory). Dalam penerapannya,
Model berfikir (inquiry Training model), Model model ini banyak menggunakan istilah lain
berfikir yang dikembangkan Hilda Taba, seperti teori belajar, teori belajar sosial,
dirancang terutama untuk pengembangan proses modifikasi tingkah laku, dan terapi tingkah laku
mental indukatif dan penalaran akademik atau Ciri pokoknya menekankan pada usaha
pembentukan teori, namun kapasitasnya berguna mengubah tingkah laku teramati ketimbang
pula untuk pengembangan personal dan sosial. struktur psikologis yang mendasarinya dan
tingkah laku yang tidak teramatinya. Model ini
b. Model Personal mendasarkan pada prinsip kontrol stimulus dan
Model-model yang termasuk ke dalam penguatan (Stimulus Control and
rumpun personal berorientasi pada Reinforcement). Lebih dari model lainnya model
pengembangan diri individu, model-model ini behavioral memiliki keterpakaian yang luas dan
menkankan proses pembentukan individu dalam teruji keefektifitannya pada aneka tujuan seperti
mengorganisasikan realitasnya yang unik. Focus Pendidikan, pelatihan, tingkah laku, interpersonal
pengembangan diri berkesan menekankan pada dan pengobatan.

Diterbitkan Kopertis Wilayah I


Akademia Vol. 13 No. 1, Februari 2011 Agussani : Penuntasan Buta Aksara Lewat Model
AIDDA

Tercakup dalam model ini, antara lain : kearah peningkatan atau pembetulannya; c)
Manajemen Kontingensi (Contingency menanamkan suatu nilai kepada siswa melalui
Management), Kontrol Diri ( Self Control), cara yang rasional dan diterima siswa sebagai
Relaksasi (Relaxation), Reduksi stress (Stress milik pribadinya. Modal prmbelajaran VCT
Reducation), Pelatihan Asertif (Assertive dimaksudkan unuk melatih dan membina siswa
Training), Desentisasi (Desensitization) dan tentang bagaimana cara menilai, mengambil
Pelatihan Langsung (Direct Training). keputusan terhadap suatu nilai umum untuk
kemudian dilaksanakannya sebagai warga
e. Model Inkuiri masyarakat.
Model Inkuiri adalah salah satu model
pembelajaran yang memfokuskan kepada g. Model bermain peta
pengembangan kemampuan siswa dalam berfikir Keterampilan menggunakan dan
reflektif kritis, dan kreatif. Inkuiri adalah salah menafsirkan peta dan globe merupakan salah satu
satu model pembelajaran yang dipandang modern tujuan penting dalam pembelajaran Pengetahuan
yang dapat dipergunakan pada berbagai jenjang Sosial. Keterampilan menginterpretasikan peta
Pendidikan, mulai dari tingkat Pendidikan dasar maupun globe perlu dilakukan peserta didik
hingga menengah. secara fungsional.
Pelaksanaan inkuiri di dalam pembelajaran Peta dan globe memberikan manfaat, yaitu :
Pengetahuan Sosial di rasionalisasi pada a)siswa dapat memperoleh gambaran mengenai
pandangan dasar bahwa dalam model bentuk, besar, batas-batas suatu daerah;
pembelajaran tersebut, siswa didorong untuk b)memperoleh pengertian yang lenih jelas
mencari dan mendapatkan informasi melalui mengenai istilah-istilah goegrafis seperti : pulau,
kegiatan belajar mandiri. selat, benua, dan sebagainya; c) memahami peta
Model inkuiri pada hakekatnya merupakan dan globe, di perlukan beberapa syarat yaitu : a)
penerapan metode ilmiah khususnya di lapangan arah, siswa mengerti tentang cara menentukan
Sains, namun dapat dilakukan terhadap berbagai tempat di bumi seperti arah mata angin, meridian,
pemecahan problem sosial. Savage Amstrong parallel, belahan timur dan barat; b) skala,
mengemukakan bahwa model tersebut secara merupakan model atau gambar yang lebih kecil
luas dapat digunakan dalam proses pembelajaran. dari keadaan sebenarnya; c) lambing-lambang,
Pengembangan strategi pembelajaran dengan merupakan symbol-simbol yang mudah dibaca
model inkuiri sangat sesuai dengan karakteristik tanpa ada keterangan lain; d) warna,
materil Pendidikan Sosial yang bertujuan menggunakan berbagai warna untuk menyatakan
mengembangkan tanggung jawab individu dan hal-hal tertentu misalnya : laut, beda tinggi darat,
kemampuan berpartisipasi aktif baik sebagai daerah tertentu, dsb.
anggota masyarakat dan warganegara.
h. Model Role Playing
f. Model Pembelajaran VCT Role Playing adalah salah satu model
VCT (Value Clarification Technique) pembelajaran yang perlu menjadi pengalaman
adalah salah satu Teknik pembelajaran yang belajar peserta didik, terutama dalam konteks
dapat memenuhi tujuan pencapaian Pendidikan pembelajaran Pengetahuan Sosial dan
nilai. Model pembelajaran VCT merupakan Kewarganegaraan didalamnya. Sebagai langkah
sebuah cara bagaimana menanamkan dan teknis, Role Playing sendiri tidak jarang menjadi
menggali/mengungkapkan nilai-nilai tertentu pelengkap kegiatan pembelajaran yang
dari diri peserta didik. Karena itu, pada prosesnya dikembangkan dengan stressing model
VCT berfungsi untuk : a) mengukur dan pendekatan lainnya, seperti inkuiri, ITM,
mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang portofolio, dan lainnya.
suatu nilai; b) membina kesadaran siswa tentang Secara kompreshensif makna penggunaan
nilai-nilai yang dimilikinya baik yang positif role playing antara lain, 1) untuk menghayati
maupun yang negatif untuk kemudian dibina sesuatu hal sebenarnya dalam realitas kehidupan;

Diterbitkan Kopertis Wilayah I


Akademia Vol. 13 No. 1, Februari 2011 Agussani : Penuntasan Buta Aksara Lewat Model
AIDDA

2) agar memahami apa yang menjadi sebab dari keinginan (desire) warga belajar. Seorang warga
sesuatu serta bagaimana akibatnya; 3) untuk belajar yang telah dibangkikan kesadaran,
mempertajam indera dan perasaan siswa terhadap perhatian dan minatnya terhadap suatu ide perlu
sesuatu; 4) sebagai penyaluran/pelepasan tensi didorong untuk mengambil keputusan (decision)
(kelebihan energi psykhis) dan perasaan- dan terahir dalam bentuk tindakan (action)
perasaan; 5) sebagai alat diagnose keadaan; 6) (canggara, 2008:216).
kearah pembentukan konsep secara pribadi; 7)
menggali peran-peran dari pada dalam suatu 5. Lembaga Pemasyarakatan Klas II B
kehidupan/kejadian/keadaan; 8) menggali dan Lubuk Pakam
meneliti nilai-nilai (norma) dan peranan budaya Lembaga pemasyarakat Klas II B adalah
dalam kehidupan; 9) membantu siswa dalam tempat untuk melaksanakan pembinaan
mengklasifikasikan (memperincikan) pola narapidana dan anak didik pemasyarakat.
berfikir, berbuat, dan keterampilannya dalam Lembaga Pemasyarakat Klas II B Lunuk Pakam
membuat/mengambil keputusan menurut caranya dihuni oleh 785 narapidana (data 2009),
sendiri; 10) membina siswa dalam kemampuan mempunyai penghuni dengan tingkat Pendidikan
memecahkan masalah. berkisar antara Sekolah Dasar 336 orang, SMP
197 orang, SMA/MA 142 orang, sarjana 10 orang
4. Model AIDDA dan buta aksara 100 orang.
Efektivitas penyampaian materi
pembelajaran dapat ditentukan oleh banyak hal. III. METODE PENELITIAN
Salah satu diantaranya, adalah efektivitas
penyampaian pesan dan materi dengan cara 1. Model research dan development
menari perhatian warga belajar. Upaya perubahan Model penelitian dan pengembangan
dapat berjalan efektif jika tercipta suasana merupakan dasar untuk mengembangkan produk
komunikasi dalam proses belajar yang bersifat yang dihasilkan. Model yang di gunakan adalah
sukarela, menggunakan Bahasa yang mudah model procedural yaitu model yang bersifat
dimengerti dan ditangkap, temanya menggugah deskriptif, menunjukan langkah-langkah yang
perhatian dan minat karena memberi gambaran harus diikuti untuk menghasilkan produk.
akan adaya manfaat atau kerugian langsung bagi Dalam model penelitian dan pengembangan ada
peserta komunikasi jika mengikuti atau menolak 5 tahapan yaitu :
isi pesan. a. Studi Pendahuluan
Teknik ini dikenal dengan model AIDDA. - Studi Perpustakaan
Untuk kepentingan ini, konsep AIDDA bisa kita - Studi empiric
terapkan. AIDDA berasal dari singkatan b. Uji validasi awal
Attention, Interest, Desire, Decision, and Action c. Model validasi awal
yang bermakna : d. Uji validasi model
 Attention (perhatian) e. Perumusan model validasi
 Interest (minat)
 Desire (Hasrat/ingin) 2. Teknik Pengumpulan Data
 Decision (keputusan) Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
 Action (Tindakan/kegiatan) Gambar 1 berikut :
Model AIDDA pada dasarnya sebagai suatu
proses pembelajaran yang diawali dengan tahap Observasi
perhatian (attention), yakni bagaimana upaya Teknik
seorang pendidik/tutor membangkitkan Wawancara
Pengumpulan
kesadaran warga belajar akan pentingnya
Data
membaca, menulis, dan berhitung, kemudian Studi Pustaka
disusul dengan upaya menarik perhatian
Dokumentasi
(interest) dan membangkitkan hastrat atau
s
Diterbitkan Kopertis Wilayah I
Akademia Vol. 13 No. 1, Februari 2011 Agussani : Penuntasan Buta Aksara Lewat Model
AIDDA

Penelitian dilakukan di lembaga


Triangulasi pemasyarakatan yang berada di Sumatra Utara.
Untuk sampel penelitian dipilih lembaga
a. Angket kepada 50 orang narapidana pemasyarakatan kelas II B lubuk pakam dengan
program keaksaraan fungsional tingkat populasi 100 orang buta aksara laki-laki berusia
lanjut. antara 15-60 tahun yang berbeda pada tingkat
b. Observasi keaksaraan dasar, mandiri dan lanjut.
 Dilakukan pada saat proses pembelajaran
berlangsung. Apakah ada penurunan 4. Sampel
pada intensitas kehadiran dari pertemuan Pengambilan sampel dilakukan purposive
pertemua kepada pertemuan selanjutnya. sampling yaitu pengambilan sampel dengan
 Apakah ada minat da aktifitas mereka menggunakan pertimbangan-pertimbangan
dalam proses pembelajaran tertentu dari peneliti (Ridwan, 2006). Sampel
yang dipilih semua narapidana yang buta aksara
c. wawancara tingkat lanjut sebanyak 50 orang. Dengan
tipe wawancara yang dilakukan adalah tipe pertimbangan bahwa responden yang dipilih
deep interview (wawancara tertutup) kepada harus dari warga belajar buta aksara. Adapun alas
: an pemilihan 50 orang adalah :
1. 10 narapidana yang dipilih menjadi  Narapidana pada kelompok aksara tingkat
responden dari etnis melayu lanjut.
2. Kasubsi Resitrasi dan Bimbingan Pada tingkat ini responden sudah mempunyai
kemasyarakatan kelas II B Lubuk kemampuan untuk dapat menuliskan apa
Pakam dengan kisi-kisi pertanyaan yang di dengar dan mampu membaca
sesuai dengan indikator yang terdapat sekalipun terbata-bata sehingga akan lebih
dalam variable. membantu penelitian dalam pengambilan
data.
d. Studi Pustaka  Narapidana Etnis Melayu
Penelitian mengumpul, mengkaji dan Sebagian besar etnis melayu mempunyai
menganalisis bahan-bahan tentang tingkat malu yang tinggi untuk mengakui
pembrantasan buta aksara, kurikulum dan ketidak mampuan mereka terhadap membaca
model pendidikan keaksaraan dasar, buku menulis dan berhitung
penelitian dan karakteristik budaya Melayu.  Narapidana yang tidak bekerja (sebelum
menjadi penghuni lapas)
e. Studi Dokumentasi Untuk dapat melihat pengaruh buta aksara
Dilakukan selama proses penelitian terhadap kemakmuran maka dipilih
berlangsung. responden yang tidak bekerja.
f. Triangulasi  Rentang umurnya 20-40 tahun.
Proses triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan Pada rentang umur diatas diperkirakan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu responden sudah mampu memahami dan
yang lain diluar data itu untuk keperluan tanggap dengan pertanyaan yang akan
pengecekan atau sebagai oembanding diberikan.
terhadap data tersebut yang meliputi :
1. Triangulasi data IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
2. Triangulasi pengamat Data susenas tahun 2003 menunjukkan
3. Triangulasi Teori bahwa factor ekonomi (tidak ada biaya atau
4. Triangulasi metode bekerja mencari nafkah) menjadi alas an paling
utama seseorang tidak bersekolah, putus sekolah,
dan atau tidak melanjutkan sekolah. Hal ini
3. Populasi sangat terkait dengan tidak terbukanya akses
Diterbitkan Kopertis Wilayah I
Akademia Vol. 13 No. 1, Februari 2011 Agussani : Penuntasan Buta Aksara Lewat Model
AIDDA

secara merata dan berkeadilan bagi masyarakat seorang narapidana selama menghuni lembaga
untuk memperoleh penghidupan yang layak yang pemasyarakatan yaitu :
nota bene dijamin oleh undang-undang, yang a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan
kemudian juga diikuti oleh tidak memadainya kepercayaan.
perlindungan/ jaminan Negara terhadap b. Mendapatkan perawatan, baik perawatan
masyarakat miskin untuk menyelenggarakan rohani maupun jasmani.
hidupnya secara layak , termasuk memperoleh c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
pendidikan yang layak. Oleh karena itu perlu d. Mendapatkan pengajaran dan makanan yang
sebuah komitmen kuat dalam bentuk kebijakan layak.
radikal dan berkeadilan pro poor, yang tidak e. Menyampaikan keluhan.
hanya menempatkan kemiskinan dan buta huruf f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti
menjadi isu untuk menaikan mata anggaran, siaran media massa lainnya yang tidak
tetapi menjadikan gerakan memberantasan buta dilarang.
huruf intensif sebagai sebuah gerakan yang g. Menerima kunjungan kluarga, penasehat
bermakna pembebasan, penumbuhan capital hokum, atau orang tertentu lainnya.
social, dan penghargaan terhadap kemanusiaan. h. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan
Mengintergrasikan kegiatan pembrantasan yang telah dilakukan.
buta huruf dengan kegiatan penumbuhan i. Mendapatkan pengurangan masa pidana
produktifitas ekonomi masyarakat sebenarnya j. Mendapatkan kesempatan berasimilah
sudah dilakukan, tapi kelemahannya adalah: termasuk cuti mengunjungi kluarga.
masih sanagt tidak proporsional, artinya bahwa k. Mendapatkan pembebasan bersyarat
kemampuan calistungdasi (membaca, menulis, l. Mendapatkan cuti menjelang bebas.
berhitung, dan berdiskusi) masih sangat dominan m. Mendapatkan hak-hak lainnya sesuai
daripada porsi penumbuhan kecakapan personal, perundangan yang berlaku.
kecakapan social, maupun kecakapan vokasional;
dan sifatnya pun masih sangat sektoral, seolah- Dari berbagai komponen yang disebut dalam
olah hanya menjadi tanggung jawab Dinas UU No.12 tahun 1995 tersebut, aspek pendidikan
Pendidikan Nasional. Lembaga-lembaga mendapat prioritas utama untuk direalisasikan.
masyarakat dan perguruan tinggi yang Dengan berbekal pendidikan tersebut warga
seharusnya juga berkompeten terhadap program penghuni lembaga pemasyarakatan siap untuk
ini tidak berupaya keras mengatasi persoalan terjun ke tengah masyarakat.
yang sangat kursial dalam pembangunan sumber Rincian dari bidang pendidikan ini meliputi
daya manusia. pendidikan non formal dan informal. Kegiatan ini
Strategi pelaksanaan GNP-PWB/ PBA telah dilaksanakan di semua lembaga
(Gerakan Nasional Percepatan Pembrantasan pemasyarakatan yang ada di Sumatera Utara
Buta Aksara – penuntasan Wajib Belajar yaitu :
Pendidikan Dasar Sembilan Tahun/ LP Pancur Batu, LP Tanjung pura, LP Tanjung
Pemberantasan Buta Aksara), bahwa harus ada Balai, LP Rantau perapat, LP Kabanjahe, LP
perbaikan mutu pendidikan melalui Labuhan Bilik, LP Kota Pinang, LP Labuhan
pengembangan dan mengimplementasikan Deli, LP Pangkalan Brandan, LP Tebing Tinggi
model-model pembelajaran yang bersifat aktif, Deli, LP Lubuk Pakam, LP Sidikalang, LP Binjai,
kreatif/ inovatif, efektif, menyenangkan, LP Gn. Sitoli, LP Pulau Tebo, LP Padang
kontekstual, actual, konkret, dan bermakna bagi Sidempuan, LP Kotanopan, LP Gunung Tua, LP
pengembangan dan kehidupan masyarakat Tarutung, LP Siborong-borong, LP Pangururan,
termasuk juga warga penghuni lembaga LP Sipirok, LP Penyambungan, LP Barus, LP
pemasyarakatan. Sibuhuan, LP Natal, LP Medan. Adapun program
Menjawab tantangan ini pemerintah melalui pendidikan nonformal dan informal yang
UU No.12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan dilaksanakan di LP Sumatra Utara dapat dilihat
pada pasal 14, sangat jelas mengatur hak-hak pada table 1 :

Diterbitkan Kopertis Wilayah I


Akademia Vol. 13 No. 1, Februari 2011 Agussani : Penuntasan Buta Aksara Lewat Model
AIDDA

Penghuni LP 680 725 789


Tabel 1. Program Pendidikan di Lembaga Buta Aksara 102 80 50
Permasyarakatan Sumatera Utara Yang diajarkan -. 60 50

No Nama LP Kegiatan Berdasarkan dari data diatas diketahui



Pemberantasan bahwa pelaksanaan pemberantasan buta aksara
buta aksara tidaklah mudah seperti yang dibayangkan. Hal ini
 Paket A,B, dan C terbentur oleh adanya karakter budaya malu dan
Tanjung Gusta  Ketrampilan tidak jelasnya harapan yang akan diperoleh warga
1 belajar dari keikutsertaan mereka terhadap
Medan kerajinan
 Ketrampilan program ini. Berangkat dari hal inilah peneliti
pembuatan tas mencoba mengembangkan model AIDDA, yaitu
 sablom penyebaran suatu ide berangkat dari
 pemberantasan permasalahan yang dihadapi klien dengan menata
buta aksara suatu komunikasi yang efektif antara tutor dan
 paket A,B, dan C warga belajar, sehingga tercipta suatu transparasi
Kelas II B dan penyelesaian persoalan warga belajar yang
2  ketrampilan servis
Lubuk Pakam mengenai sasaran. Model AIDDA merupakan
HP
kependekan dari Attention, Interest, Desire,
 ketrampilan listrik
Decision, dan Action. Secara sederhana AIDDA
 kaligrafi dapat digambarkan sebagai berikut : agar calon
 pembrantasan buta konsumen produk/jasa kita bersedia untuk
aksara sekedar tahu ataupun mau memperhatikan apa
Kelas II B
3  sablon yang kita tawarkan sehingga ia tertarik terhadap
Binjai
 pertenakan penawaran kita, kemudian ia mempunyai
 kursus menjahit keinginan untuk menggunakan produk / jasa kita
dan akhirnya ia membuat keputusan dan
Dari berbagai program yang tertera di atas menggunakan produk/jasa yang kita tawarkan.
pelaksanaannya juga direalisasikan di lembaga AIDDA digunakan agar terjadi efektivitas
pemasyarakatan kelas II B lubuk pakam penyampaian pesan dengan cara menarik
kabupaten Deli Serdang. Perbedaan yang perhatian komunikasi. Kondisi yang harus
prinsipil antara pelaksanaan program di lembaga dipenuhi jika kita menginginkan agar suatu pesan
pemasyarakatan lainnya adalah : (1) Adanya membangkitkan tanggapan yang kita kehendaki,
Struktur dan penanggung jawab bidang-bidang dengan memperhatikan
program; (2) karakteristik warga lembaga a) pesan harus dirancang dan disampaikan
pemasyarakatan yang berbeda meliputi sehingga menarik
pendidikan, budaya, agama, sehingga setiap b) pesan harus menggunakan lembaga-
program kegiatan selalu ada pesertanya. lembaga tertuju kepada pengalaman
antara komunikator dan komunikan,
Berdasarkan informasi dari lembaga sehingga dimengerti.
pemasyarakatan Lubuk Pakam, angka buta aksara c) Pesan harus membangkitkan kebutuhan
penghuni lembaga pemasyarakatan Kelas II B probadi komunikan
Lubuk Pakam 3 tahun terakhir dapat dilihat pada d) Pesan harus menyarankan suatu jalan
table 2 : untuk memperoleh kebutuhan
komunikan (Cangara 2008)
Tabel 2. Data Buta Aksara diKlas II B Dengan menggunakan model AIDDA ini
Lubuk Pakam diharapkan dapat menggiring keinginan warga
Tahun belajar sehingga mengenyampingkan budaya
2007 2008 2009 malu, melalui empat langkah pesan AIDDA,
Diterbitkan Kopertis Wilayah I
Akademia Vol. 13 No. 1, Februari 2011 Agussani : Penuntasan Buta Aksara Lewat Model
AIDDA

seterusnya pesan ini ditutup dengan suatu proses penataan hidup mereka. Sehingga kegiatan buta
pembelajaran, sebagai modal hidup narapidana aksara yang kita tawarkan yang berbasis
setelah kluar dari lembaga pemasyarakatan. pengembangan potensi, minat dan bakat
Pemberian ketrampilan hidup ini menumbuhkan dianggap hanya sebatas seremonial.
minat, hasrat dan akhirnya warga belajar Berdasarkan dari hasil survey di atas dan
melakukan tindakan dalam arti kata mau bertitik tolak pada hasil dan rekomendasi
mendukung program buta aksara. Program penelitian maka dikembangkan model AIDDA
pemberantasan buta aksara berbasis kecakapan untuk membangkitkan perhatian dan keinginan
hidup ini, dinamai dengan kecakapan fungsional. warga buta aksara yang berada di lembaga
Keterbelakangan disektor ekonomi dan pemasyarakatan kelas II B Lubuk Pakam untuk
pendidikan, tidak membuat efek pembelajaran aktif dalam proses pembelajaran seperti terlihat
pada mereka. Kondisi narapidana tidak pada gambar 2 berikut :
menunjukkan kemauan untuk berinovasi bagi

Percepatan Pemberantasan Buta Aksara

Budaya Malu Taraf Hidup (ekonomi)

Model AIDDA
1. Attention (Menarik)
2. Interest (Minat)
3. Disare (Hasrat)
4. Decision (Keputusan)
5. Action (Tindakan)

Metode Tahapan Model Pengumpulan Data Analisa Data


1. Studi Pendahuluan
2. Uji Validasi awal
3. Model Validasi awal
4. Uji Validasi akhir
5. Perumusan Model

Percepatan Pemberantasan Buta Aksara

Diterbitkan Kopertis Wilayah I


Akademia Vol. 13 No. 1, Februari 2011 Agussani : Penuntasan Buta Aksara Lewat Model
AIDDA

V. KESIMPULAN pelajar/ tutor, bahan belajar seperti buku buku/


modul modul.
Konsep model pembelajaran AIDDA
merupakan kependekan dari Attention, Interest,
Desire, Decision, dan Action. Yang berbasis pada
kecakapan fungsional. Model AIDDA pada DAFTAR PUSTAKA
dasarnya sebagai suatu proses pembelajaran yang
Alesyanti (2008). Laporan Akhir
diawali dengan tahap perhatian (attention), yakni
Pemberdayaan Warga Buta Aksara di Lapas Kls
bagaimana upaya seorang pendidik/tutor
II B Lubuk Pakam. Medan : UMSU.
membangkitkan kesadaran warga belajar akan
pentingnya membaca, menulis dan berhitung, Arikunto, S. (1997). Prosedur Penelitian
kemudian disusul dengan upaya menarik minat Suatu Pendekatan Praktek. Edisi revisi V. Rineka
(interest), dan membangkitkan hasrat atau Cipta. Jakarta.
keinginan (desire) warga belajar. Seorang warga
belajar yang telah dibangkitkan kesadaran, Burden, P. R, & Byrd, D. M. (1996). Method
perhatian dan minatnya terhadap suatu ide perlu foor effective teaching, second edition. Boston:
didorong untuk mengambil keputusan (decision) Allyn and Bacon
berdasarkan kepada kebutuhan, minat, kecakapan
fungsional, potensi sumber daya alam, usaha dan Cangara, Hafled. (2008). Penyuluhan
jasa. Dengan keputusan yang diambil tersebut Hukum, Sebuah Tinjauan dari perspektif
warga belajar akan dapat melakukan tindakan Perencanaan Komunikasi Bandung : UNPAD
(action) yang terbaik untuk dirinya.
Emzir. (2008). Metodologi Penelitian
Dengan pembelajaran model AIDDA Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif. Rajawali
akan mampu : (1) melahirkan suatu model Press. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
sosialisasi yang mampu untuk meningkatkan
perhatian, minat dan keinginan warga belajar Harian Global. (2010). 3,8 Persen
akan pentingnya kemampuan membaca, menulis Masyarakat Sumut Buta Aksara – Anak Jalanan
dan berhitung bagi diri mereka sehingga warga Berpotensi Buta Aksara. http://www.harian-
belajar merasakan bahwa kemampuan calistung global.com/persen-masyarakat-sumut-buta-
merupakan suatu keharusan dan tuntutan dalam aksara-anak-jalanan-berpotensi-buta-aksara &
hidup; (2) menghasilkan warga belajar yang siap catid-56 -edukasi&itemid-63
pakai dengan memberikan kecakapan fungsional
Joyce, B, & Well, M, (1990). Modal of
yang disesuaikan dengan minat, mata
teaching New Jersey:Prentice-Hall, Inc
pencaharian, potensi sumber daya alam
pertanian, peternakan, perikanan, kelautan, Soesillo, R (1991), Kriminologi Suatu
kehutanan, usaha produk kerajinan, pertukangan Pengantar Bandung : Oramedia
dan jasa. Melatih dan menyediakan tenaga

Diterbitkan Kopertis Wilayah I

You might also like