You are on page 1of 42

THE ENGLISH TEACHERS’ EFFORTS IN DEVELOPING

STUDENTS’ 4CS COMPETENCIES IN ONLINE LEARNING

SASTIA LAURA AZIZAH

180101030473

ANTASARI STATE ISLAMIC UNIVERSITY


BANJARMASIN
2021
ABSTRAK
Sebagai usaha pencegahan penyebaran Covid-19, WHO merekomendasikan untuk
menghentikan sementara kegiatan-kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerumunan massa.
Penggunaan teknologi digital adalah solusi terbaik untuk dilakukan pada masa pandemic
COVID-19 seperti saat ini. Meskipun metode pembelajaran berubah, lembaga pendidikan di
Indonesia tetap harus mempersiapkan sumberdaya manusia yang adaptif dalam menghadapi
era revolusi industry 4.0 yaitu dengan meningkatkan 4C Competency (Critical thinking, Creative
thinking, Communication dan Collaboration) untuk mempersiapkan bangsa dalam menyikapi
perubahan besar di abad 21 yaitu abad artificial intelligence. Penelitian ini perujuan untuk
meneliti bagaimana respon guru EFL terhadap 4C kompetensi yang dimiliki siswa di Mts. Al-
Ikhwan, dan bagaimana guru EFL tersebut meningkatkan 4C kompetensi siswa pada saat proses
belajar mengajar dalam E-Learning. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan penelitian
kualitatif deskriptif yang dirancang oleh Miles dan Huberman. Participants/subject adalah guru
EFL di Mts. Al-Ikhwan Banjarmasin. For data analysis the researcher uses qualitative analysis,
the model of Miles and Huberman (2014); Data Condensation, Data Display, Drawing and
Verification Conclusion.
CHAPTER I

INTRODUCTION

This chapter presents; 1) Background of Study 2) Research Questions 3)


Objective of Study 4) Significance of Study and 5) Definition of Key Terms.
A. Background of the Study
Wuhan, which is located in Hubei province, China, is the area that has contracted
the corona virus first. The spread of the virus has been detected since December 2019.
In less than 1 month, the virus spreads quickly ev enly throughout the country. This virus
case is no longer said to be an epidemic, but has become a pandemic. Microbiologists
call the new discovery virus in Wuhan, Hubei, China in 2019 as Covid-19, a virus that
attacks the human respiratory system (Setiawan, 2020).
Across the globe, the spread of the novel coronavirus COVID-19 has led to
profound changes in social interaction and organization, and the education sector has
not been immune. While the primary student population (of both K-12 and
postsecondary education) appears to be at a lower mortality risk category compared to
2 older adults, pandemic precautions called “social distancing” or “physical distancing”
have attempted to reduce interpersonal contact and minimize it. the kind of community
transmission that could develop quickly in dense social networks like the university
campus (Weeden & Cornwell, 2020). To reduce the speed of the spread of the COVID19
virus, “social distancing” is a very appropriate way, even though this virus has spread
throughout the world, each country has a different way of dealing with the spread of
this virus. in China and Italy it uses a strict method, namely "lock down" (Handayanto &
Herlawati., 2020), in Indonesian law it is known as "regional quarantine", while in
Thailand it only implements social restrictions. However, in Indonesia since April 15,
2020, the Indonesian government has implemented social restrictions called Large-Scale
Social Restrictions or commonly known as PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).
As an effort to prevent the spread of Covid-19, WHO recommends temporarily
stopping activities that have the potential to cause crowds. For this reason, conventional
learning that gathers many students in one room needs to be reviewed for its
implementation. Learning must be carried out with a scenario that is able to minimize
physical contact namely by applying E-learning as a learning method so that learning
continues to be carried out but students and lecturers to be in different places during
the learning process (Milman, 2015).

Meskipun pembelajaran tidak bisa dilakukan secara nyata seperti biasanya,


namun proses belajar mengajar tetap harus d lakukan, karena pendidikan adalah salah
satu sector terpenting bagi setiap negara untuk mencerdaskan bangsa, selain itu agama
Islam juga mewajibkan seluruh umatnya untuk tidak berhenti belajar. seperti yang
diriwayatkan Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha'if
َ ‫طَلَبُ ْال ِع ْل ْم فَ ِر ْث‬
Sunan Ibnu Majah no. 224: ‫ضةٌ َعلَى ُك ِّل ُم ْسلِم‬

The meaning is: "Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap individu muslim."

Based on the hadits above, the use of E-Learning method is the best solution to
do during the COVID-19 pandemic like today. In addition to minimizing the spread of the
virus, this solution also helps students and teachers in digital technology skills, which in
Industry 4.0 currently all activities can only be done using digital technology without
bothering, for example; if we want to buy clothes or something we can order through
the online shop application on our cellphones or computers without having to go far to
the market first. If all things we can do through digital technology alone, so can
education. the teaching and learning process can be carried out through the
applications available on our cellphones or computers systematically. So The era of the
industrial revolution 4.0 encourages the process of student interaction with lecturers
and learning resources in an online learning environment (Legowo, Kusharjanta,
Sutomo, Mulyadi, & Wahyuningsih, 2019)

Meskipun metode pembelajaran berubah, lembaga pendidikan di Indonesia baik


sekolah maupun perguruan tinggi tetap harus mempersiapkan sumberdaya manusia
yang adaptif dalam menghadapi era revolusi industry 4.0 yaitu dengan meningkatkan
kompetensi lulusan yang memiliki keterampilan sesuai tuntutan abad 21 (learning and
inovation skill) (Zubaidah S. , 2018). Pada abad ke 21 akan berbeda dengan abad
sebelumnya yang lebih santai dan lebih memprioritaskan hardskill daripada softskill,
sedangkan di abad 21 orang-orang akan lebih meningkatkan softskill dibandingkan
hardskill. Oleh karena itu diperlukan kompetensi belajar yang harus dimiliki siswa, yaitu
4Cs’ Competency (Critical thinking, Creative thinking, Communication dan Collaboration)
untuk mempersiapkan bangsa dalam menyikapi perubahan besar di abad 21 (Wijaya,
2020).
Berdasarkan beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa penguasaan siswa
tentang 4Cs’ Competency masih rendah. Trends in International Mathematics and
Science Study (TIMSS) menyatakan bahwa keterampilan berpikir kritis siswa Indonesia
masih berada di peringkat bawah diantara negara-negara yang disurvei (Purwati, 2016),
selain itu menurut hasil (Atminingsih, 2016), Kreativitas siswa SMA Kelas X dalam
pembelajaran Biologi juga masih rendah.
Oleh karena itu, karena masih kurangnya 4Cs competencies yang dimiliki siswa
Indonesia saat ini, penerapan 4Cs Competencies dalam pembelajaran online maupun
offline sangat berperan penting untuk persiapan penerus bangsa negara di masa depan
dalam menghadapi perubahan industry. Karena pada industry 4.0 bukan lagi era buruh
yang selalu mengandalkan fisik dibanding kecerdasan, namun industry 4.0 adalah era
artificial intelligence, super komputer, rekayasa genetika, teknologi nano, mobil
otomatis, dan inovasi dan 4Cs competencies adalah solusinya (Satya, 2018). Namun,
penerapan 4Cs Competencies dalam pembelajaran online jelas lebih sulit dari saat
pembelajaran offline, karena saat pembelajaran online terlihat jelas kurangnya antusias
atau respon siswa terhadap guru. Misalnya, saat guru menjelaskan pelajaran tidak ada
yang merespon pertanyaan guru, penyebabnya bisa jadi terputus jaringan internet atau
hanya sekedar malas untuk mejawab pertanyaan tersebut. Akibatnya itu menjadi
hambatan guru untuk menerapkan 4Cs competencies kepada siswa dalam pembelajaran
online.
The researcher decides to choose this topic in this research due to the following
the reasons: peneliti melihat dan mengamati terhadap mahasiswa Universitas
Muhamadiyah Banjarmasin (UMB), bahwa mereka terlihat mahir dalam menggunakan
Bahasa inggris ini terlihat dari beberapa mahasiswa yang saya amati melafalkan Bahasa
inggris dengan bagus dan benar, UMB juga menyediakan Program Study kelas Bilingual
yang mana kelas itu akan mendalami tentang Bahasa asing salah satunya yaitu Bahasa
inggris. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti akan mencari tahu bagaiman cara
mengajar dan apa peran dosen EFL di UMB dalam meningkatkan students’ 4Cs
Competency. Selain itu, the researcher hopes this study will help the reader and
lecturers or teacher candidates to know and mengaplikasikannya.
Based on the phenomenon above, the researcher interested in E-learning and
4Cs competency about. Then, formed this thesis with the title “THE ENGLISH TEACHERS’
EFFORTS IN DEVELOPING STUDENTS’ 4CS COMPETENCIES IN ONLINE LEARNING.”
B. Research Question
1. What EFL lecturers’ perceptions about students’ 4C competency during Covid-19
pandemic at UMB?
2. How EFL lecturers’ role in increasing students’ 4Cs’ Competency in E-Learning during
Covid-19 Pandemic UMB?
C. Objective of the Study
1. To know what EFL lecturers’ perceptions about students’ 4C competency in online
learning at UMB.
2. To investigate how EFL lecturers’ role in developing students’ 4Cs’ Competency in
online learning UMB.
D. Significance of the Research
1. Theoretically
a. This research about students’ 4C competency in UMB. It knows what EFL

lecturers’ role in developing students’ 4C competency.


b. The result of this research can be used to help lecturers or teacher candidate

what EFL teacher’s roles for developing students’ 4C competency.


c. The result of this research can be used to as reference for who want to conduct a

research about increasing students’ 4C competency.


2. Practically
a. For university, the result of this research can be as an evaluation in developing
learning English to be better.
b. For teachers and teacher candidates, the result of this research to find out how
to teach EFL students for developing students’ 4C competency.
c. For students, the result of this research to provide information about industry
4.0 and they should develop their 4C competency in 21st century.
d. For the next researcher, the result of this research is expected it was a reference
related to this research until that was better.
E. Definition of Key Terms
1. Students’ 4C Competency
Students’ 4C Competency (Communication, Collaboration, Critical thinking and
Problem Solving, and Creativity and Innovation) here is the competencies yang harus
dimiliki oleh setiap siswa saat ini. oleh karena itu guru EFL berperan penting dalam
pengembangan students’ 4C competency. 4C competency ini juga yang akan
membantu generasi milenial saat ini dalam menghadapi revolusi industry 4.0.
2. E-Learning
E-learning, here defined as online learning and teaching through network
technology, is arguably one of the most powerful responses to the growing
educational needs of the current COVID-19 pandemic. E-learning is a learning
method used by all schools in the world affected by the COVID-19 virus pandemic
which has led to the implementation of physical distancing, including the teaching
and learning process that must be done online.
3. Teachers’ Efforts
According to the Big Indonesian Dictionary, effort is endeavor (to achieve a goal,
solve problems, find solutions, and so on). But teachers’ efforts here are to
developing students’ 4Cs Competencies in online learning with learning method,
strategy or technique, learning media or other things yang berbeda dengan
pembelajaran offline atau pembelajaran tatap muka.
CHAPTER II

THEORITICAL REVIEW

This chapter presents two important parts; 1) theoretical description about the object
being investigated and 2) previous study in related.

A. E – Learning
Along with the rapid development of Information Technology (IT), the need for an IT-
based teaching and learning (education) concept and mechanism is inevitable. e-
Learning has influenced the world of education, making the transformation from
conventional methods into digital forms, both in content and in the system. Currently,
the concept of e-Learning has been widely accepted by the world community, as
evidenced by the widespread implementation of e-Learning in educational institutions
(schools, training and universities) and industry (Cisco Systems, IBM, HP, Oracle, etc.).
John Chambers who is the CEO of the Cisco Systems company said that for the future
era, applications in the world of education will be a very influential "killer application".
The United States Department of Commerce and the education department jointly
launched the 2020 Vision in relation to the concept of Information Technology-based
education (e-Learning) (Vision, 2002).
The term e-Learning contains a very broad meaning, so that many experts
describe the definition of e-Learning from various points of view. One definition that is
quite acceptable to many parties, for example from Darin E. Hartley (Hartley, 2001)
which states: e-Learning is a type of teaching and learning that allows teaching materials
to be delivered to students using the Internet, Intranet or other computer 11 network
media. Meanwhile, in the Glossary of e-Learning Terms (Glossary, 2001) states a
broader definition that: e-Learning is an education system that uses electronic
applications to support teaching and learning using the Internet, computer networks,
and standalone computers.
1. Concept of E-Learning
In line with the rapid development of information technology, the need for an IT-
based teaching and learning (education) concept and mechanism is inevitable. The
concept which became known as e-learning influenced the transformation of
conventional education into digital form, both in content and in the system.
Currently, the concept of e-learning has been widely accepted by the world
community, as evidenced by the widespread implementation of e-learning in
educational institutions (schools, training and universities) and industry (Cisco, IBM,
Oracle, and so on).
E-learning is an electronic-based learning process. One of the media used is a
computer network. With the development of a computer network it is possible to
develop it in a web-based form, so that it is then developed into a wider computer
network, namely the internet, this is why e-learning systems using the internet are
also called internet enabled learning. The presentation of this web-based e-learning
can be more interactive. Lecture information can also be real-time. Likewise, with
the communication, although not face-to-face, the lecture discussion forum can be
done online and in real time. This e-learning system has no access restrictions; this is
what allows lectures to be carried out more time. Whenever students can access this
system. Lecture activities are offered to serve as regular lectures. There is a delivery
of material in the form of text and the results of voice storage that can be
downloaded, 12 besides that there is also a discussion forum, a lecturer can also give
grades, assignments and announcements to students. (Agustina, 2013)
2. Components of E-Learning

Involvement of human resources in e-learning learning is absolutely necessary,


but reliable and willing human resources are not enough, it requires adequate
infrastructure to support the achievement of learning objectives. Absolute e-
learning learning depends on the availability of reliable infrastructure and has good
reliability. Due to its high dependence on tools, the availability of infrastructure is
also absolutely necessary. Infrastructure is a physical asset designed in the system,
thus providing important public services. Infrastructure provides support and
services that will later be used and utilized for the continuity of a system. The
supporting facilities and infrastructure for e-learning are a supporting component
for the implementation of e-learning. These components include internet
connections / networks, computers, systems, e-learning software, as well as
supporting facilities and infrastructure. According to Romy S. Wahono, the
components that make up e-learning are:
a. E-learning infrastructure: The e-learning infrastructure is like computer (PC),
internet network and multimedia equipment. E-learning infrastructure is
commonly used for synchronous learning service by teleconferencing
b. E-learning systems and applications: Software systems that virtualize
conventional teaching and learning processes. How is classroom
management, material or content creation, discussion forums, assessment
systems (report cards), online exam systems and all features related to
teaching and learning management. 13 This software system is often referred
to as a Learning Management System (LMS). LMS is widely available open
source so that we can use it easily and cheaply.
c. E-learning content: Content and teaching materials in the e-learning system
(Learning Management System). Content and teaching materials can be in
the form of multimedia-based content (interactive multimedia content) or
text-based content (content in the form of text as in ordinary textbooks).
Usually stored in a Learning Management System (LMS) so that it can be run
by students anytime and anywhere.
Of the three components stated above, all of them are included in
supporting the implementation of e-learning. In particular, the infrastructure
that is usually considered important is the existence of internet and
computer networks, of course also supported by systems that in this case
already exist in the internet network. (Hendrastomo, 2008).
3. Functions of E-Learning
There are at least 3 (three) functions of electronic learning for learning activities
in the classroom (classroom instruction), namely as supplements which are optional,
complementary, or substitute (substitute) (Siahaan, 2002).
a. Supplement (Supplement)
E-learning functions as a complement (additional), students have the
freedom in various ways to choose, whether they want to use electronic
learning materials or not. In this case, there is no obligation/obligation for
students to access 14 electronic learning materials. However, students who
use it will of course have additional knowledge or insight (Setiawana,
Qurrohmana, & Kurniawan, 2019).
b. Complement (Complement)
It is said to function as a complement (complement) if the electronic
learning material is programmed to complement the learning material that
students receive in the classroom (Lewis, 2002). As a complement, it means
that electronic learning materials are programmed to become reinforcement
or remedial materials for students in following conventional learning
activities. Electronic learning material is said to be enrichment, if students
who can quickly master / understand the subject matter delivered face-
toface (fast learners) are given the opportunity to access electronic learning
material that is specifically developed for them. The goal is to further
establish the level of mastery of students against the subject matter
presented by the teacher in the classroom. It is said to be a remedial
program, if students who have difficulty understanding the subject matter
presented by the teacher face-to-face in class (slow learners) are given the
opportunity to take advantage of electronic learning material that is
specifically designed for them. The goal is to make students understand the
material more easily. lessons presented by the teacher in class (Dwiastuti,
AgusEfendi, & NugrohoAgungPambudi, 2020).
c. Substitution (Substitute)
Several universities in developed countries provide several alternative
models of learning activities / lectures to their students. The goal is that
students can flexibly manage their lecture activities according to the time
and other daily activities of students. There are 3 alternative models of 15
learning activities that students can choose, namely: (1) fully face-to-face
(conventional), (2) partly face-to-face and partly through the internet, or
even (3) completely through the internet (Chandrawati, Pemamfaatan E-
Learning dalam Pembelajaran, 2010).
4. Purpose of E-Learning The
There are some purposes of using e-learning as a learning system. First is E-
Lerning improve the quality of learning. E-learning is increasingly recognized as one
way to addressing the problem of education, both in developed countries and in
developing countries. It is very clear that with the current E-Learning, the quality of
learning has increased in students to think more critically in solving problems.
(Indrawana, 2014)
Second, changing the teaching culture of teachers. 2. The difference between
traditional learning and e-learning, namely 'traditional' classes, the lecturer / teacher
is considered as a person who knows everything and is assigned to distribute science
to students. Meanwhile, in e-learning learning focus mainly students / students.
Independent students at certain times and responsible for learning. An “e-learning”
learning atmosphere will "Force" students to play a more active role in their
learning. Students make designs and look for materials with effort and initiative
alone. With the existence of E-Learning, making learning methods in Indonesia more
varied by utilizing current technologies. Even if this pandemic ends and learning can
be carried out offline or face to face again, E-Learning can be an alternative if at any
time the teacher cannot enter the classroom at that time. (Elyas, 2018)
Third, changing passive student learning to an active learning culture, so that
independent learning is formed. E-learning provides opportunities for learners to
take 16 control over each learning success, meaning that learners are given the
freedom to determine when to start, when to finish, and which part in one modules
that he wants to study first. It can start from topics or the page they entered first, or
you can just skip the part that it was assume he's mastered. If he has trouble
understanding a passage, he is can repeat again until he feels able to understand, or
look for explanations in other sources or ask someone who understands more. Many
students like the independent learning method, because they feel independent
learning like this is more effective than other learning methods that force them to
learn in a predetermined order. (Elyas, 2018)
5. Types of E-Learning
a. Asynchronous E-Learning
E-learning asinkron, biasanya menggunakan fasilitas media seperti e-mail
dan e-learning atau learning management system (LMS), untuk mendukung
hubungan interaktif antara siswa dan guru, bahkan ketika peserta tidak dapat
mengambil kelas online pada saat yang sama. Saat ini banyak orang
menggunakan kelas online karena asinkron, yang menggabungkan pendidikan
atau pembelajaran dengan pekerjaan, keluarga, atau komitmen lainnya. E-
learning asinkron adalah metode di mana siswa dapat memasuki kegiatan e-
learning kapan saja dan dapat mengunduh dokumen atau pesan kepada guru
atau teman sebaya selama waktu luang. Siswa memiliki lebih banyak waktu
untuk menyelesaikan tugas atau kegiatan belajar mereka umumnya metode
asinkron ini dianggap lebih bijaksana daripada komunikasi sinkron.. (Hrastinski,
2007). Asycncronus adalah pembelajaran secara bebas tidak terikat oleh waktu,dimana peserta
didik dapat beriteraksi dengan materikhusus dan satu sama lain dengan pada waktu yangmereka
pilih. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalahsaat peserta didik memposting pemikirannya, di
hariyang ditentukan sendiri dan pelajar lain memberikanmengomentari posting seperti forum
diskusi (Narayana, 2016, p. 140)

b. Synchronous E-Learning
Synchronous e-learning adalah metode pembelajaran online yang
menggunakan media seperti konferensi video (Zoom meet atau Google meet)
atau chat (grup whatsapp atau grup telegram), di mana kegiatan proses belajar
mengajar harus dilakukan secara bersamaan dan diikuti oleh seluruh siswa dan
guru. Dalam metode ini siswa dan guru dapat lebih sosial dan interaktif, selain itu
guru juga dapat menilai bagaimana siswa menanggapi pelajaran yang diajarkan
dan juga untuk menghindari kesalahpahaman dengan bertanya dan menjawab
pertanyaan secara real time (Hrastinski, 2007). Synchronous sessions help e-
learners feel like participants rather than isolates: "Isolation can be overcome by
more continued contact, particularly synchronously, and by becoming aware of
themselves as members of a community rather than as isolated individuals
communicating with the computer." (Caroline & Michelle, 2002).
Pembelajaransycncronusadalah ketika peserta didik daninstruktur bertukar informasi dan
berinteraksi secarabersamaan dalam sebuahkomunitas pembelajaran onlinedengan
menggunakan waktu yang telah ditetapkandengan menggunakan teknologi pembelajaran
termasukinternet conference, satelit, telekonferensi video danchating. (Narayana, 2016, p. 139)

6. Advantages of E-Learning in Education

There are many benefits and impacts of learning through e-learning according
(Chandrawati, Pemamfaatan E-Learningdalam Pembelajaran., 2010) like; Changes in
learning culture and improving the quality of learning for students and teachers,
changes in learning meetings that are not focused on meeting (face to face) in class
and meetings are not limited by space and time through e-learning facilities,
availability of learning materials in electronic media through an e-learning website
that is easily accessible and developed by learners and possibly the community, then
questioning learning materials in accordance with the progress and development of
science and technological advances, it is also can creating competitive positioning
and enhancing brand image, then increase the quality of learning and the
satisfaction of learners and the quality of service, reducing operating costs and
increasing income, increasing learner interactivity, because there is no time limit for
learning and learners become more responsible for their success (leaner oriented).
B. TEACHING METHODS
COVID-19 makes a new lesson for all of humanity in life and in all sectors.
Including the education sector. By deciding COVID-19 recognized as a pandemic by the
World Health Organization (WHO), everyone is facing the challenges of a worldwide
pandemic and changing drastically human lifestyle. Moreover, it tests the adaptability
and flexibility of the insiders respond to major changes such as the COVID 19 pandemic
which results in communities unable to work, study, or carry out activities as usual,
requiring all activities to be carried out virtually, from virtual shopping, virtual work and
the teaching and learning process is also done virtually. Nevertheless, COVID-19
stimulates the requirement for in-depth further explore the prospects of virtual education
(Cathy & Farah).

According to Ayeni (2011), teaching is a continuous process that is expected to be


able to realize desires changes for the better in students through the use of appropriate
methods (Ganyaupfu, 2013, p. 30). Teaching method is a maneuver or a way that used to
facilitate student learning and get satisfactory results. Each teaching method is different
and will lead to different types of learning outcomes. Many teaching methods and varied
and can be used in different ways according to the intended purpose of the teacher.
(Dorgu, 2015, p. 80)

There some methods that EFL teacher can use during online learning based on
2013 curriculum, they are:
1. Discovery Based Learning
Menurut Wilcox (Slavin,1977) dalam (Barus, 2019, p. 554), dalam pembelajaran
dengan penemuan siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan
aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong
siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan
mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Berdasarkan pendapat
ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran discovery learnig adalah
suatu model untuk mengembangkan cara belajar siswa yang aktif dan kreatif untuk
menemukan sendiri,menyelidiki sendiri,memproses sendiri dan menyimpulkan
sendiri, maka hasil yang diperoleh akan tahan lama dalam ingatan , memiliki
kepuasan tersendiri dan tentunya tidak akan mudah dilupakan oleh siswa. Dengan
belajar penemuan, anak juga bias belajar berfikir analisis dan mencoba memecahkan
sendiri problem yang sedang dihadapi. Kebiasaan ini akan dapat direalisasikan dalam
kehidupan nyata mereka.

a. tujuan penggunaan metode Discovery Learning yaitu (Barus, 2019, p. 555);

1) untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif


2) menemukan dan menyelidiki sendiri konsep yang dipelajari, maka hasil
yang diperoleh akan tahan lama dalam ingatan dan tidak mudah dilupakan
siswa
3) pengertian yang ditemukan sendiri merupakan pengertian yang betul-betuk
dikuasai dan mudah digunakan atau ditransfer dalam situasi lain
4) dengan menggunakan model ini anak belajar menguasai satu metode ilmiah
yang akan dapat dikembangkan sendiri,
5) siswa belajar berpikir analisis dan mencoba memecahkan problema yang
dihadapi sendiri, kebiasaaa ini akan ditransfer ke kehidupan nyata.
b. Peran guru dalam model discovery learning adalah menurut Dahar (1989)
(Barus, 2019, p. 555):
1) Merencanakan pembelajaran sedemikian rupa sehingga pelajaran itu
terpusat pada masalah-masalah yang tepat untuk diselidiki para siswa.
2) Menyajikan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi para siswa
untuk memecahkan masalah. Sudah seharusnya materi pelajaran itu dapat
mengarah pada pemecahan masalah yang aktif dan belajar penemuan,
misalnya dengan menggunakan fakta-fakta yang berlawanan.
3) Guru juga harus memperhatikan cara penyajian yang enaktif,ikonik, dan
simbolik.
4) Bila siswa memecahkan masalah di laboratorium atau secara teorotis, guru
hendaknya berperan sebagai seorang pembimbing atau tutor. Guru
hendaknya jangan mengungkapkan terlebih dahulu prinsip atau aturan yang
akan dipelajari, tetapi ia hendaknya memberikan saran –saran bilamana
diperlukan. Sebagai tutor, guru sebaiknya memberikan umpan balik pada
waktu yang tepat.
c. Langkah-langkah metode pembelajaran discovery learning (Barus, 2019, p.
556)
1) Stimulation
2) Problem Statement
3) Data Collection
4) Data Processing
5) Verification
6) Generalization

Adapun jenis penilaian yang digunakan dalam model Discovery Learning


ialah dapat dilakukan dengan tes atau nontes. Dapat berupa aspek
kognitif,proses,sikap, atau penilaian hasil kerja peserta didik. Adapun penggunaan
penilaian aspek masing –masing seperti aspek kognitifm afektif dan psikomotorik
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing baik berupa tes ataupun nontes (Barus,
2019, p. 556).

2. Inquiry Based Learning


IBL adalah cara memperoleh pengetahuan melalui proses inquiry, dimana siswa
mengambil inisiatif untuk mempertanyakan suatu fenomena, mengajukan hipotesis,
melakukan observasi di lapangan, menganalisis data, dan menarik simpulan, serta
menjelaskan temuannya itu kepada orang lain. Jawaban yang diharapkan atas
pertanyaan tersebut tidak bersifat tunggal tetapi jamak. Yang penting adalah bahwa
dalam mencari jawaban, pemelajar bekerja dengan menggunakan standar tertentu
yang jelas sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan (Kusmaryono &
Setiawati, 2013, p. 135).
Adapun tujuan metode Inquiry Learning adalah lebih bereorentasi pada siswa
untuk menegmbangkan kemampuan berfikir secara sitematis, logis dan kritis atau
mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental. Dengan
demikian dalam pembelajaran ini siswa tak hanya di tuntut agar menguasai materi
pelajaran, akan tetapi bagaimana mereka dapat menggunakan potensi yang
dimilikinya secara optimal (Barus, 2019, p. 557)
Adapun manfaat Metode Inquiry learning. Meningkatkan kemampuan berfikir
siswa untuk mencari dan menemukan sendiri materi yang akan dipelajarinya, melatih
kepekaan diri, mengurangi rasa kecemasan, menumbuhkan rasa percaya diri, meni
ngkatkan motivasi,dan partisipasi belajar, meningkatkan tingkah laku yang positif,
meningkatkan prestasi dan hasil belajar.
Adapun Langkah-langkah metode pembelajaran Inquiry Learning
a. Orientasi
b. Merumuskan masalah
c. Merumuskan Hipotesis
d. Mengumpulkan data
e. Menguji hipotesis
f. Menarik kesimpulan

Adapun penilaian pada metode pembelajaran Inquiry Learning guru dapat


menggunakan penilaian pengetahuan, keterampilan, sikap, atau penilaian berupa
portopolio peseta didik (Barus, 2019, p. 558).

3. Problem Based Learning (PBL)


Menurut Ngalimun (2014, p. 89) dalam (Suwandi, 2015, p. 95) PBL adalah suatu
model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah
melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan
yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan
untuk memecahkan masalah.
Adapun tujuan dalam metode PBL adalah meningkatkan kemampuan siswa untuk
berpikir kritis, sistematis, dan logis untuk menemukan alternative pemecahan masalah
melalui eksplorasi data secara empiris dalam rangka menumbuhkan sikap ilmiah
(Barus, 2019, p. 559).
a. Langkah – Langkah metode Problem Based Learning (PBL)
1) Pengajuan permasalahan/soal; guru memberikan soal yang tidak terstruktur
dan memnbutuhkan informasi lebih.
2) Apa yang diketahui dari permasalahan; Melihat permasalhan dari segi
pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya
3) Apa yang tidak diketahui dari permasalahan; guur membimbing kelompok
membuat daftar pertanyaan yang harus dijawab untuk permasalahan
4) Alternatif Pemecahan; Anggota kelompok mendiskusikan, mengevaluasi, dan
mengorganisir hipotesis dan mengubah hipotesis. Menentukan dan
mengalokasikan tugas- tugas, mengembangkan rencana untuk mendapatkan
informasi yang dibutuhkan.
5) Laporan dan Persentase hasil; Kelompok akan menulis laporan hasil kerja
kelompoknya.
6) Pengembangan Materi; Guru akan mengembangkan materi yang akan
dipelajari lebih lanjut dan mendalam dan memfasilitasi pembelajaran
berdasarkan konsep-konsep yang diajukan oleh setiap kelompok dalam
laporannya (Barus, 2019, p. 559).

Adapun penilaian yang bisa guru gunakan dalam metode PBL adalah penilaian
kinerja siswa, penilaian porotopolio siswa, penilaian potensi belajar dan penilaian
kerja kelompok (Barus, 2019, p. 559).

4. Project Based Learning (PjBL)


Menurut (Grant,2002) Metode PjBL berasal dari gagasan John Dewey tentang
konsep “Learning by doing” yaitu proses perolehan hasil belajar dengan mengerjakan
tindakan-tindakan tertentu sesuai dengan tujuan (Barus, 2019, p. 559). Kemendikbud
2013 menyatakan PjBL adalah metode pembelajaran yang menggunakan
proyek/kegiatan sebagai media. Siswa melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi,
sintesis, dan informasi untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar. PjBL
merupakan metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam
mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya
dalam beraktifitas secara nyata (Kebudayaan, 2013).
a. Tujuan Project basic Learning (PjBL)
1) Meningkatkan kemampuan peserta didik dalam pemecahan masalah proyek.
2) Memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru dalam pembelajaran
3) Membuat peserta didik lebih aktif dalam memecahkan masalah proyek yang
kompleks dengan hasil produk nyata
4) Mengembangkan dan meningkatkan keterampilan peserta didik dalam
mengelola bahan atau alat untuk menyelesaikan tugas atau proyek
5) Meningkatkan kolaborasi peserta didik khususnya pada PjBL yang bersifat
kelompok.
b. Langkah-langkah PjBL
1) Penentuan Proyek
2) Perancangan langkah-langkah penyelesaian proyek
3) Penyusunan jadwal pelaksanaan proyek yang meliputi, (1) membuat timeline
(2) membuat deadline (3) membawa peserta didik agar merencanakan cara
yang baru (4) membimbing peserta didik ketika mereka membuat cara yang
tidak berhubungan dengan proyek (5) meminta peserta didik untuk membuat
penjelasan/alasan tentang pemilihan suatu cara
4) Penyelesaian proyek dengan fasilitasi dan monitoring oleh guru
5) Penyusunan laporan dan persentase/publikasi hasil proyek
6) Evaluasi proses dan hasil proyek.

Adapun penilaian dalam metode PjBL ini ada empat hal yang perlu dipertimbangkan
yaitu mulai dari pengelolaan, relevansi, keaslian dan inovasi dan kreativitas (Barus,
2019).

5. Production Based Training (PBT) / Production Based Education and Training (PBET)
Metode ini merupakan proses pendidikan dan pelatihan yang menyatu pada proses
produksi, dimana peserta didik diberikan pengalaman belajar pada situasi yang
kontekstual mengikuti aliran kerja industry mulai dari perencanaan berdasarkan
pesanan, pelaksanaan dan evaluasi produk/kendali mutu produk, hingga langkah
pelayanan pasca produksi.
Pelaksanaan model ini difokuskan pada potensi siswa, kebutuhan wilayah untuk
menghasilkan tamatan yang professional, serta mempunyai relevansi yang tinggi,
dengan memperhatikan prinsip-prinsip efektifitas dan efisiensi. Sasaran utamanya
adalah agar siswa SMK dapat berperan dalam meningkatkan pemberdayaan potensi
wilayah untuk memacu pertumbuhan ekonomi (Barus, 2019, p. 561).
Adapun Langkah-langkah pada metode PBT/PBET ialah;
1) Merencanakan produk
2) Melaksanakan proses produksi
3) Mengevaluasi produk (melakukan kendali mutu)
4) Mengembangkan rencana pemasaran (Barus, 2019, p. 561)
6. Model Blended Learning (MBL)
Menurut Rooney dalam (Ekayanti, 2018, p. 51), pada dasarnya metode
pembelajaran blended learning merupakan pengembangan dari model elearning, yaitu
metode pembelajaran yang menggabungkan antara sistem e-Learning dengan metode
konvensional face to face. Metode ini dapat menciptakan lingkungan belajar yang
positif karena dapat berinteraksi antara sesame siswa, atau siswa dengan guru tanpa
dibatasi ruang dan waktu. Menurut Moore dalam Comey (2009:9-10) ada tiga tipe
interaksi, yaitu : Learner-content interaction, learner instruktur interaction, and
learner learner interaction, serta learner interface interaction. (Barus, 2019, p. 562)

Figure 1. Concept of Blended Learning method

C. 4C Competency
Setiap proses pendidikan tentunya memiliki tujuan, dan tujuan pendidikan
nasional itu sendiri adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang cerdas, beriman memiliki spiritualitas yang tinggi, dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, bertanggung jawab, cakap, aktif, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang toleran, demokratis serta berakhlak mulia. Oleh karena itu, setiap warga
Negara Indonesia diwajibkan mengikuti program belajar yang diselenggarakan
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Hal ini termaktub dalam undang-undang
No. 20 tahun 2003 pasal 34 ayat 3, tentang wajib belajar bagi seluruh rakyat Indonesia
(Sujatmoko, 2010).
Konsekuensi dari adanya UU tersebut ialah pendidikan saat ini diharapkan dapat
mencetak peserta didik yang mampu mengikuti tantangan zaman, serta mampu
bersaing dimasa depan. Perubahan yang sangat cepat dan sulit pada berbagai aspek
kehidupan dimasa depan ini bukan sebuah persoalan yang gampang. Perubahan yang
sangat cepat tersebut sudah mulai berlangsung pada abad 21 ini. Sehingga abad 21
ini,disebut sebagai abad pengetahuan, abad ekonomi berbasis pengetahuan, abad
globalisasi, abad teknologi informasi, abad yang dimana terjadi revolusi industri 4.0, dan
sebagainya. Adapun perubahan yang terjadi sebenarnya dapat memberikan peluang jika
dapat memanfaatkannya dengan baik, tetapi jika tidak dapat mengantisipasi secara
sistematis, terstruktur, dan teratur maka perubahan tersebut justru akan menjadi
sebuah masalahyang sangat besar.
Proliferasi komputer dan otomatisasi pencatatan di berbagai aspek kehidupan
menjadi perubahan yang terjadi pada abad 21. Hal ini mengakibatkan pergerakan dunia
industri dan persaingan kerja menjadi tidak linear. Salah satu karakteristik unik dari abad
21 ini adalah pengimplementasian kecerdasan buatan atau artificial intelligence(AI).
Pengimplementasian aplikasi AI dalam kehidupan nyata dengan penggunaan robot
untuk menggantikan tenaga manusia.Penggunaan robot dinilai lebih murah, efektif, dan
efisien (Partono, 2020). Sehingga pada abad 21 ini banyak sekali sumber daya manusia
yangsudah tergantikan dengan teknologi. Hal itu menyebabkan banyaknya sumber daya
manusia yang tidak terpakai (menjadi pengangguran).
Guna mengantisipasi pengangguran yang semakin banyak, oleh karena itu pada
abad 21 ini dibutuhkan sumber daya manusia yang memiliki ketrampilan yang memang
tidak bisa dimiliki oleh robot (teknologi). Atau bahkan memiliki suatu keterampilan yang
jauh lebih mumpuni dibandingkan robot. Adapun keterampilan-ketrampilan yang harus
dimiliki tenaga kerja pada abad 21 yakni meliputi 4C (Critical Thinking, Communiaction,
Collaborative,Creativity) (Redhana, 2019). Sehingga pada abad 21 sumberdaya manusia
harus memiliki setidaknya 4 kompetensi guna mempersiapkan peserta didik agar
mampu bersaing dalam dunia kerja yang serba berbasis teknologi.
1. Critical Thinking Competency
Keterampilan berpikir kritis merupakan salah satu keterampilan yang harus
dikembangkan oleh siswa di semua sekolah selama proses pembelajaran, baik di SD,
SMP, hingga SMA (Alghafri dan Ismail, 2014; Weaver, Samoshin, Lewis, &Gainer,
2014). 2015; Kadir, 2016; Karakoc, 2016). Ide ini pertama kali dikemukakan oleh
(Dewey 1909) dengan nama konsep berpikir kritis sebagai "pemikiran reflektif".
Menurut Dewey, berpikir reflektif adalah cara berpikir yang aktif, gigih, dan hati-hati
dalam membuat pilihan atau keyakinan, mengembangkan pengetahuan dan dalam
menarik kesimpulan.(Selman & A.Jaedun, 2020).
Sisi lain yang perlu diperhatikan dari keterampilan berpikir kritis adalah
bagaimana keterampilan berpikir kritis dapat diukur. Hal ini penting untuk
mengetahui keberhasilan pengembangan keterampilan berpikir kritis tersebut di
dalam proses pembelajaran. Asesmen berpikir kritis penting dilakukan karena
beberapa tujuan, di antaranya berikut ini:
 Diagnosis tingkat kemampuan berpikir kritis dan watak siswa, sehingga guru dapat
memutuskan apa yang akan diajarkan.
 Umpan balik terhadap siswa tentang kemampuan berpikir kritis mereka, sehingga
guru dapat memutuskan apa yang harus dilakukan tentang hal itu.
 Motivasi kepada siswa untuk menjadi pemikir kritis yang lebih baik.
 Informasi pada guru tentang keberhasilan upaya mereka dalam mengajar berpikir
kritis kepada siswa.
 Informasi untuk penerimaan siswa dan bimbingan terhadap siswa.
 Informasi untuk kebijakan sekolah dan hal-hal lain yang dapat
dipertanggungjawabkan terkait kemampuan berpikir kritis siswa. (Zubaidah S. ,
2018)
Keterampilan berpikir kritis merupakan salah satu dari keterampilan berpikir
tingkat tinggi. Dengan keterampilan berpikir tingkat tinggi, siswa dapat menyerap
pengetahuan dan menunjukkan kinerjanya, siswa akan menjadi komunikator yang
efektif, pemikir kritis dan dinamis, pemecah masalah yang kompeten, dan seorang
yang ahli dalam karirnya (ŽivkoviĿ, 2016). Collins (2014) memberikan sejumlah
langkah yang dapat dilakukan guru dalam melatih keterampilan berpikir. sebagai
berikut:
a. Mengajarkan HOTs (Higher Order Thinking Skill) secara spesifik dalam ranah

pembelajaran
Guru seharusnya tidak hanya mengajarkan bahasa dan konsep tetapi juga
memberi tahu siswa tentang apa yang harus mereka lakukan dalam berpikir
tingkat tinggi. Misalnya, siswa dapat mengenali keterampilan yang akan
dilatihkan dengan tingkat kerumitan pertanyaan. Ketika mereka mendengar
kata-kata seperti 'definisikan', 'gambarkan', 'identifikasikan', 'pahami', dan
'jelaskan', mereka secara otomatis akan mengetahui tugas berpikir seperti apa
yang harus dilakukan, seperti mengingat fakta dan pengetahuan tentang konten
materi.
b. Melaksanakan tanya-jawab dan diskusi pada skala kelas

Guru perlu merancang item-item pertanyaan yang dapat mendorong HOTs siswa
(Sajidan, Widoretno, Ramli, Arianto, 2016), bentuk pertanyaan seperti Socratic
Dialogue, 12 bentuk pertanyaan Toth & Harmin, ataupun Taxonomi pertanyaan
Tofade (Afandi, Akhyar, Suryani, & Sajidan, 2016; Afandi & Sajidan, 2017) dinilai
mampu mendorong HOTs secara maksimal. Guru juga bisa menyediakan waktu
diskusi secara klasikal dengan tujuan melatih siswa berkomunikasi dan
berargumentasi yang pada akhirnya mendorong HOTs secara lebih luas.
c. Mengajarkan konsep secara eksplisit

Guru dapat melatih siswa dengan menghibungkan konsep-konsep dari materi


yang dipelajari dan menggunakannya sebagai sumber pertanyaan. Sebagai
contoh: bandingkan konsep, berikan contoh, identifikasikan persamaan dan
perbedaan dsb.
d. Memberikan scaffolding
Guru perlu membantu siswa dalam memahami konsep ataupun pertanyaan yang
diajukan dan secara perlahan memberikan kesempatan siswa untuk belajar
secara mandiri.
e. Mengajarkan HOTs secara bersambung

f. Guru dapat mempergunakan berbagai strategi antara lain: (1) ajarkan


keterampilan melalui konteks dunia nyata, (2) variasikan konteks di mana siswa
menggunakan keterampilan yang baru diajarkan, (3) tekankan pada pemikiran
tingkat tinggi, (3) bangun pengetahuan dasar, (4) mengklasifikasikan kategori, (4)
membuat hipotesis, (5) membuat kesimpulan, (6) menganalisis komponen, (7)
menyelesaikan masalah (Zubaidah S. , 2018).
2. Communication Competency
Keterampilan berkomunikasi menurut (Canale & Swan 1980) ialah keterampilan
yang termasuk keterampilan mendengarkan, memperoleh informasi, dan
menyampaikan gagasan di hadapan orang banyak. Berkomunikasi tujuannya
mencapai pengertian bersama yang lebih baik mengenai masalah penting bagi
semua pihak yang terkait. Keterampilan ini dapat dilatihkan di semua lembaga
pendidikan maupun di lembaga lain dengan memberikan tantangan untuk
menyampaikan gagasan kepada orang lain. Berkomunikasi dikatakan berhasil bila
orang lain memahami atau sepakat dengan gagasan yang disampaikan (Partono*,
Wardhani, Setyowati, Tsalitsa, & Putri, 2021).
(Trilling & Fadel, 2009) menyarankan beberapa strategi yang harus dilakukan guru
dalam untuk membangun keterampilan komunikasi abad 21 pada diri siswa dengan
efektif. Beberapa strategi tersebut meliputi
1. Mengajarkan siswa bagaimana mengartikulasikan pikiran dan gagasan secara
lisan, tulis dan keterampilan komunikasi non-verbal dalam berbagai bentuk
dan konteks.
2. Mengajarkan siswa bagaimana mendengar aktif dan efektif. Hal ini akan
membantu siswa menafsirkan dan memahami makna dalam komunikasi,
dengan mempertimbangkan latar belakang budaya, nilai, sikap, dan niat.
3. Mengajarkan siswa bagaimana menggunakan komunikasi untuk berbagai
tujuan.
4. Mengajarkan siswa bagaimana memanfaatkan berbagai media dan teknologi,
serta bagaimana menilai efektivitas dan dampak dari media dan teknologi
tersebut.
5. Melatih siswa untuk berkomunikasi secara efektif di lingkungan yang
beragam, termasuk juga menggunakan berbagai Bahasa (Zubaidah S. , 2018).
Komunikasi mengekspresikan pikiran dengan jelas, mengartikulasikan dengan
tajam pendapat, berkomunikasi koheren dalam pembelajaran, memotivasi orang
lain melalui ucapan yang kuat. Untuk membangun kemampuan Komunikasi Siswa
yang efektif harus belajar untuk:
 Berkomunikasi menggunakan media digital dan lingkungan untuk
mendukung pribadi dan kelompok belajar.
 Bagikan informasi secara efisien dan efektif menggunakan media digital dan
lingkungan yang tepat.
 Komunikasikan pikiran dan ide dengan jelas dan jelas efektif untuk audiens
yang berbeda menggunakan berbagai media dan format (Berryessa Union
School District Education services. 21st Century Learning and the 4Cs)
3. Collaborative Competency
Collaboration skills, in the 21st century, collaborative skills-based learning will
become a learning trend that is widely used in every school, and will replace
teacher-centered learning into collaborative learning. Where students no longer
consider other students as their learning rivals, but as friends who help each other
to improve their skills and potential. The principle held is "everyone is a teacher,
everything is a source of learning, every time is a learning time, and everywhere is a
class". Therefore, students can continue to study together and collaborate with
other students, wherever and whenever (Selman & A.Jaedun, 2020).
Kolaborasi adalah keterampilan yang bertujuan untuk mengembangkan
kecerdasan kolektif dalam hal membantu, menyarankan, menerima, dan
bernegosiasi melalui interaksi dengan orang lain yang dimediasi oleh teknologi
(Brown, 2015). Kolaborasi juga didefinisikan sebagai kemampuan untuk bekerja
secara fleksibel, efektif, dan adil dengan orang lain untuk menyelesaikan sebuah
tugas kolektif (National Education Association, 2010; Partnership for 21st Century
Learning, 2015). Keterampilan kolaborasi meliputi:
a. Memberi dan menerima umpan balik dari rekan-rekan atau anggota tim
lainnya untuk melakukan tugas yang sama 14
b. Berbagi peran dan ide-ide yang baik dengan orang lain
c. Mengakui keterampilan, pengalaman, kreativitas, dan kontribusi orang lain
d. Mendengarkan dan mengakui perasaan, kekhawatiran, pendapat, dan
gagasan orang lain
e. Berkembang pada ide-ide seorang rekan atau anggota tim
f. Menyatakan pendapat pribadi dan bidang pertentangan dengan bijaksana,
g. Mendengarkan orang lain dengan sabar dalam situasi konflik
h. Mendefinisikan masalah dengan cara yang tidak mengancam
i. Mendukung keputusan kelompok

Kemunculan teknologi dan internasionalisasi perusahaan, baik secara geografis


maupun budaya, memerlukan tenaga kerja abad 21 yang mampu melakukan kerja
kolaboratif yang sering melibatkan anggota tim dari negara lain (National Education
Association, 2010; Wyers, 2014). Oleh karena itu diperlukan kemampuan kolaborasi
yang efektif bagi tenaga kerja abad 21 (National Education Association, 2010;
Partnership for 21st Century Learning, 2015; Wyers, 2014). Untuk memperoleh tenaga
kerja abad 21 yang mampu berkolaborasi dalam tim, perlu dipersiapkan sejak dini yaitu
melalui proses pembelajaran di sekolah.

Kolaborasi dalam proses pembelajaran merupakan suatu bentuk kerjasama antar


siswa yang satu sama lain saling membantu dan melengkapi untuk melakukan tugas-
tugas tertentu agar diperoleh suatu tujuan yang telah ditentukan. Beberapa strategi yang
dapat guru EFL gunakan dalam developing keterampilan kolaboratif dalam proses pembelajaran :
a. Mengajarkan siswa untuk bekerja dengan hormat dengan tim yang berbeda, tidak
hanya secara fisik tetapi juga psikis;
b. Mengajarkan fleksibilitas dan keinginan untuk berkompromi sehingga tujuan yang
menguntungkan semua pihak yang berkolaborasi dapat tercapai;
c. Melatih dan mendorong siswa untuk mengambil tanggung jawab untuk bekerja
bersama dengan orang lain;
d. Mengajarkan siswa untuk menghargai ide dan kontribusi dari setiap anggota tim
dimana mereka menjadi bagian dari tim tersebut;
e. Menekankan lima prinsip pembelajaran kooperatif yaitu ketergantungan positif,
akuntabilitas individu, partisipasi yang sama, pengolahan kelompok dan interaksi
simultan dalam pengembangan keterampilan (Zubaidah S. , 2018, p. 14).

4. Creativity Competency
Keterampilan kreativitas merupakan salah satu keterampilan penting yang harus
dimiliki oleh siswa, khususnya mahasiswa Indonesia, dimana kompetensi ini akan
menjadi kunci pembelajaran yang efektif dan berpengaruh di abad ke-21. Kreativitas
memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan seseorang yang akan
berhubungan langsung dengan pengembangan konten. Pengetahuan dan
keterampilan(Egan, Maguire, Christophers, & Rooney, 2017).
Menurut Kivunja (2014), beberapa kecakapan terkait kreatifitas yang dapat
dikembangkan dalam pembelajaran adalah
a. Mampu menyelesaikan permasalahan nyata dalam kehidupan sehari-hari
b. Bersikap terbuka dan memiliki rasa ingin tahu
c. Mampu memanfaatkan kemampuan dan keterampilannya dalam
menganalisis, mengevaluasi, mengelaborasi dan mencipta
d. Mampu menggunakan berbagai strategi berpikir kreatif (seperti mind
mapping, visual creativity, word association, SWOT analysis, and lateral
thinking) untuk menemukan dan mengungkapkan ide-ide baru (Kivunja,
2014).
Keterampilan berpikir kreatif bisa dibina oleh guru dan lingkungan belajar yang
mendorong pertanyaan, keterbukaan terhadap ide-ide baru, dan belajar dari
kesalahan dan kegagalan. Seperti keterampilan lainnya, kreativitas dan inovasi
keterampilan dapat dikembangkan melalui latihan dan dari waktu ke waktu (Center.,
2010). Berpikir kreatif akan menghasilkan generasi kreatif yang memiliki potensi
untuk memecahkan masalah sosial dan lingkungan yang kompleks. Untuk
membangun kecakapan kreatif yang efektif, siswa harus belajar untuk;
a. Menggunakan berbagai teknik pembuatan ide (seperti brainstorming)
b. Membuat ide baru dan bermanfaat (keduanya konsep inkremental dan
radikal)
c. Menyempurnakan, menganalisis, dan mengevaluasi ide mereka sendiri untuk
meningkatkan dan memaksimalkan upaya kreatif
d. Bertindak atas ide-ide kreatif untuk membuat kontribusi yang nyata dan
berguna pada bidang dimana inovasi tersebut dilakukan (Berryessa Union
School District Education services. 21st Century Learning and the 4Cs)
(Zubaidah S. , 2018).

Greenstein (2012) menjelaskan bahwa guru dapat menilai sejauh mana


kemampuan berpikir kreatif siswa melalui beberapa strategi seperti: melalui daftar ceklist
atau melalui observasi. Guru dapat melakukan pengamatan untuk proses membantu
melacak dan mencatat kemajuan kreativitas siswa. Sementara itu siswa sendiri dapat
membuat jurnal dan log book pembelajaran sebagai strategi dalam menilai kemajuan
kreativitasnya sendiri (Zubaidah S. , 2018, p. 8).

D. Review of Previous Study


In the journal written by A Suyitno from Mathematics Department of Universitas
Negeri Semarang, Indonesia, H Suyitno from Mathematics Department of Ahmad
Dahlan University, Indonesia and E Sugiharti from Computer Science Department of
Universitas Negeri Semarang, Indonesia (2020) with the title “Integration of 4C
Competencies in Online Mathematics Learning in Junior High Schools during the COVID-
19 Pandemic”. In their journal, they discussed about role of junior high school
mathematics teachers in developing 4C competencies. The study used a qualitative
approach. They collaborated with SMPN 24 Semarang, and the subjects were
mathematics teachers of SMPN 24 Semarang. In data analysis they used data reduction,
data exposure, data interpretation, and conclusion drawing. The data were obtained
from observations, interviews with research subjects, and FGD. Their journal dan
penelitian yang akan diteliti oleh penliti sama-sama membahas tentang 4C Competency
(Critical thinking, collaboration, creativity, and communication), namun yang
membedakan adalah; (1) lesson, the journal berfokus ke pelajaran matematika
sedangkan penelitian yang akan dilakukan berfokus ke pelajaran Bahasa Inggris, (2)
Subjek yang diteliti, the journal menggunkaan subjek guru matematika, sedangkan
penelitian yang akan dilakukan menggunakan guru Bahasa inggris.
Selanjutnya, penelitian sebelumnya adalah International Journal of Active
Learning oleh Budi Legowo, Bambang Kusharjanta, Artono Dwijo Sutomo, Mulyadi dan
Daru Wahyuningsih (2019) dari Sebelas Maret University, Indonesia dengan judul
“Increasing Competency 4Cusing The G-Suite Application for Education”. Pada penelitian
ini mereka bertujuan untuk menggunakan G-Suite for Education sebagai media
pembelajaran dalam peningkatan kompetensi 4C pada Mata Kuliah Wawasan Pedagogi
Program Studi Fisika di FMIPA Universitas Sebelas Maret. Di dlam jurnal, menggunkana
mekanisme dua strand cycle yaitu pembelajaran dengan pendekatan student-centered
learning (SCL) sebagai berikut: 1). Klasik dan 2). Online menggunakan G-Suite untuk
Pendidikan. The result pada jurnal, menunjukkan siswa dapat mengikuti baik strategi
pembelajaran klasikal (tatap muka) maupun online, dalam penyampaian materi dan
atau penilaian hasil belajar. Their journal dan penelitian yang akan diteliti oleh penliti
sama-sama membahas tentang 4C Competency (Critical thinking, collaboration,
creativity, and communication), namun yang membedakan adalah; the purpose of
study, the journal bertujuan untuk meningnkatkan 4C competency siswa dengan apikasi
G-Suite for Education, sedangkan penelitian yang akan dilakukan bertujuan
untuk meneliti bagaimana cara guru EFL meningkatkan 4C competency siswa.
CHAPTER III

RESEARCH METHOD

This chapter presents about 1) Research Design 2) Research Setting 3) Participants 4)


Data 5) Technique data Collection and 6) Data Analysis.

A. Research Design
In this research, the researcher will use qualitative as the research method.
Qualitative research is conducted with intense or prolonged contact with participants in
a naturalistic setting to investigate the situation and conditions that relate everyday life
of individuals, groups, societies, and organizations (Miles, Huberman, & Saldana, 2014).
This research tries to investigate how EFL teacher in Mts. Al-Ikhwan developing
students’ 4C competency during COVID -19 pandemic. the researcher will use
descriptive qualitative research, it means that the researcher describes the real situation
and condition of teacher to know what the teacher will do to developing EFL students’
4C competency in teaching learning process.
The first stage, the researcher menyiapkan instrument yang akan diberikan
kepada subjek saat penelitian berlangsung, kemudian the researcher mengumpulkan
data kualitatif dengan cara wawancara dengan subjek secara intensif, metode kualitatif
ini peneliti gunakan untuk mendapatkan gambaran secara detail bagaimana subjek
mengajar dikelas untuk meningkatkann EFL students’ 4C competency in Mts. Al-Ikhwan
Banjarmasin.
B. Research Setting
This research is conduct bersamaan ketika the researcher sedang melakukan
Teaching Practice 2 (PPL2) in Mts. Al-Ikhwan Jl. Veteran Sungai Bilu No.10, RT.23/RW.01,
Kuripan Kec. Banjarmasin Timur, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan 70236.
C. Participants / Subject
The participants of this research are two EFL teachers in Mts. Al-Ikhwan
Banjarmasin. The selection of research subjects was based on an agreement between
the researcher and the school's EFL teacher.
D. Data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah;
1. Primary Data
Primary data obtained in this research from interview with the participants.
2. Secondary Data
Secondary data that used by the researcher here is to support primary
information that has been found. In this study, the secondary data is
documentation.
E. Technique Data Collection
In this research, the data collection researchers used are
1. Interview
Interview is an oral question and answer between two or more people directly or
a conversation with a specific purpose. The conversation was carried out by two
parties, namely the interviewer or the one who asked the question and the one who
was interviewed or gave the answer to the question. The purpose of conducting
interviews as emphasized by Lincoln and Guba (1988), includes: constructing about
29 people, events, activities, organizations, feelings, motivations, demands, concerns
and others (Hardani, Ustiawaty, Istiqomah, Fardani, & Sykmana., 2020).
The researcher will prepare ten interview questions to the students. Second, the
researcher conducted in-depth interviews between the interviewer and the subject.
The interview function in this study is used to find out information about the
perception of EFL teachers about the 4C Competency that students have during the
Covid-19 Pandemic and how their role as teachers is in improving students' EFL 4C
Competency during the Covid-19 pandemic. The use of interviews in this study
because the researcher wants to explore the problem in depth.
Panduan wawancara digunakan peneliti untuk memudahkan pelaksanaan
wawancara. Tabel panduan wawancara dapat dilihat pada table dibawah ini.
F. Data Anaysis
In research, data analysis is the most important and also difficult part of research,
because it obtains important information. This qualitative analysis uses the model of
Miles and Huberman (2014) as follows:
1. Data Condensation
Data condensation is the process of analyzing data by selecting, focusing,
simplify, abstract, or modify data that has been collected. Condensation makes the
data stronger (Miles, Huberman, & Saldana, 2014). In this study, after collecting data
with interviews to make the data simpler, the researcher selects and identifies
important data refers to the formulation of research problems and discard unrelated
or unimportant data. Researchers only focus on data on how the perception and
way of the subject in improving the 4C competency of students at Mts. Al-Ikhwan
Banjarmasin. Thus, the data that has been thick gives a clearer picture.
Pada tahap ini peneliti mencermati setiap data yang sudah dikumpulkan melalui
wawancara secara intensif. Setelah data terkumpil peneliti menyatukan data tiap
partisipan dengan dirangkum menjadi kalimat yang berkelanjutan untuk
mempermudah mengamati setiap temuan dan pembahasan dalam melakukan
analisa data. Hasil ini dilakukan secara hati-hati dan cermat pada setiap data yang
berhasil dikumpulkan dari setiap partisipan. Tahap ini merupakan tahap terakhir
dalam melakukan kondensasi data. Selanjutnya peneliti melangkah ketahap
selanjutnya yaitu penyajian data.
2. Data Display
After data condensation, the next step is data display. A display is the assembly
of information that has been organized and compressed to allows conclusion
drawing and action (Miles, Huberman, & Saldana, 2014). Setelah mengumpulkan
data terkait peran guru dalam meningkatkan 4C competency siswa di Mts. Al-Ikhwan
Banjarmasin, selanjutnya peneliti mengelompokkan hasil wawancara dan observasi
untuk disajikan dan dibahas lebih detail.
3. Drawing and Verification Conclusion
Apabila tahap kondensasi dan penyajian data telah dilakukan, maka langkah
terakhir yang dilakukan adalah mengambil kesimpulan. Pengambilan kesimpulan
merupakan suatu proses ketikapeneliti menginterprestasikan data dari awal
pengumpulan yang disertai pembuatan pola sertauraian atau penjelasan.
Pengambilan kesimpulan merupakan bukti terhadap penelitian yang dilakukan.
Pada tahap ini, setelah menyajikan data terkait peran guru dalam meningkatkan
4C competency siswa di Mts. Al-Ikhwan Banjarmasin, maka peneliti melakukan
penarikan kesimpulan tentang peran guru dalam meningkatkan 4C competency
siswa di Universitas Muhamadiyah Banjarmasinberdasarkan informasi yang
disampaikan oleh para partisipan dan telah melalui berbagai tahapan untuk analisis
data.
References
Agustina, M. (2013). Pemanfaatan E-Learning sebagai Media Pembelajaran. Seminar Nasional Aplikasi
Teknologi Informasi (SNATI), 8-12.

Atminingsih. (2016). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif melalui Penerapan Guided Inquiry dipadu
Brainstorming pada Materi Pencemaran Air. Proceeding Biology Education Conference, 868–872.

Caroline, H., & Michelle, M. K. (2002). Bringing the Internet Home: Adult Distance Learners and Their
Internet, Home, and Work Worlds, in The Internet in Everyday Life, ed. Barry Wellman and
Caroline Haythornthwaite . Malden: MA: Blackwell.

Cathy, L., & Farah, L. (n.d.). Entertainment and Information Industries, World Economic Forum. Available
at: (accessed 05 May, 2020).

Center., P. P. (2010). 21st Century Skills for Students and Teachers. Honolulu: Kamehameha Schools,
Research & Evaluation Division.

Chandrawati, S. R. (2010). Pemamfaatan E-Learning dalam Pembelajaran. Jurnal Cakrawala


Kependidikan Vol. 8. No. 2, 172-181.

Chandrawati, S. R. (2010). Pemamfaatan E-Learningdalam Pembelajaran. Jurnal Cakrawala Kependidikan


Vol. 8. No. 2, 172-181.

Dwiastuti, M. N., AgusEfendi, & NugrohoAgungPambudi. (2020). Literature Review: Pendidikan Tinggi
Jarakjauhsebagaimedia Pendidikan Alternatif Di Indonesia. Journal of Mechanical Engineering
and Vocational Education (JoMEVE), 42-46.

Egan, A., Maguire, R., Christophers, L., & Rooney, B. (2017). Developing Creativity In Higher Education
For 21stcentury Learners: A Protocol For A Scoping Review. International Journal on Education
Research,82, 21-27.

Elyas, A. H. (2018). Penggunaan Model Pembelajaran E-Learning Dalam Meningkatkan Kualitas


Pembelajaran. Jurnal Warta Edisi : 56 , 1-11.

Glossary. (2001). Glossary of e-Learning Terms. LearnFrame.Com.

Handayanto, R. T., & Herlawati. (2020). Efektifitas Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Jurnal
Kajian Ilmiah (JKI), 119-124.

Hardani, H., Ustiawaty, J., Istiqomah, R., Fardani, R., & Sykmana., D. (2020). Metode Penelitian Kualitatif
& Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Ilmu Group.

Hartley, D. E. (2001). Selling e-Learning. . America: American Society for Training and Development.

Hendrastomo, G. (2008). The Dilemma and the Challenge of E-learning. Ilmiah Pembelajaran, Volume 4
Nomor 1, 7-8.

Hrastinski, S. (2007). The Potential of Synchronous Communication to Enhance Participation in Online


Discussions. Montreal, Canada : Paper presented at the 28th International Conference on
Information Systems.
Kivunja, C. (2014). Innovative Pedagogies In Higher Education To Become Effective Teachers Of 21st
Century Skills: Unpacking The Learning And Innovations Skills Domain Of The New Learning
Paradigm. International Journal of Higher Education, 37.

Legowo, B., Kusharjanta, B., Sutomo, A. D., Mulyadi, & Wahyuningsih, D. (2019). Increasing Competency
4Cusing The G-Suite Applicationfor Education. International Journal of Active Learning, 168-171.

Mania, S. (2008). Observasi Sebagai Alat Evaluasi Dalam Dunia Pendidikan Dan Pengajaran. Lentera
Pendidikan, Vol. 11 No. 2 , 220-233.

Miles, M. B., Huberman, A. M., & Saldana, J. (2014). Qualitative Data Analysis. California: SAGE
Publications.

Milman, N. B. (2015). Distance Education. In International Encyclopedia of the Social & . Second Edition.

Partono. (2020). Pendidikan akhlak remaja keluarga muslim di era industri 4.0. Jurnal Dirasah, 56-64.

Partono*, Wardhani, H. N., Setyowati, N. I., Tsalitsa, A., & Putri, S. N. (2021). Strategi Meningkatkan
Kompetensi 4C (Critical Thinking, Creativity, Communication,&Collaborative). Jurnal Penelitian
Ilmu Pendidikan, 1-12.

Purwati. (2016). Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Dalam Menyelesaikan Masalah Persamaan
Kuadrat Pada Pembelajaranmodel Creative Problem Solving. Kadikma, 7(1), 84–93.

Redhana, I. (2019). Mengembangkan keterampilan abad ke-21 dalampembelajaran kimia. . urnal Inovasi
Pendidikan Kimia, 2239-2240.

Satya, V. (2018). Strategi Indonesia Menghadapi Industri 4.0. . Jurnal Kajian terhadap Isu Aktual Dan
Strategis X(09), 19-25.

Selman, Y. F., & A.Jaedun. (2020). Evaluation of The Implementation of 4CSkills in Indonesian Subject at
Senior High Schools. Jurnal Pendidikan Indonesia (JPI), 244-257.

Setiawan, A. (2020). Lembar Kegiatan Literasi Saintifik untuk Pembelajaran Jarak Jauh Topik Penyakit
Coronavirus 2019 (COVID-19). Edukatif: Jurnal Ilmu Pendidikan, 28-37.

Setiawana, W., Qurrohmana, T., & Kurniawan, F. (2019). E-Learning Application as a IslamicMentoring on
Learning System of Informatics Engineering Students. Letters in Information Technology
Education (LITE), 32-35.

Sujatmoko, E. (2010). Hak warga negara dalam memperoleh pendidikan. urnal Konstitus,7(1), Doi:
https://doi.org/10.31078/jk%25x.

Trilling, B., & Fadel, C. (2009). 21st Century Learning Skills. San Francisco, CA: John Wiley & Sons.

Vision. (2002). Transforming Education and Training Through Advanced Technologies. U.S: Department
of Commerce, www.ta.doc.gov.

Wijaya, I. K. (2020). Pengembangan Kompetensi 4C dan Keterampilan Proses Sains Melalui Pembelajaran
Berbasis Catur Pramana. Jurnal Pendidikan Hindu Jurusan Pendidikan Agama Fakultas Dharma
Acarya Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, 71-76.
ŽivkoviĿ, S. (2016). A model of critical thinking as an important attribute for success in the 21st century.
Procedia-Social and Behavioral Sciences, 102-108.

Zubaidah, S. (2018). Mengenal 4C: Learning and Inovation skills untuk Menghadapi Revolusi Industri 4.0.
Paper: Presented in the seminar of the 2nd National Conference on Science Education at
Trunojoyo University Madura.

Zubaidah, S. (2018). Mengenal 4c: Learning And Innovation Skills Untuk Menghadapi Era . In 2nd Science
Education National Conference (Vol. 13), 1-18.
Attachment:

Table.2 Interview Guide

No. Component Indicator


Menurut anda apakah 4C competency pada
1 siswa itu penting di era industry 4.0?
2 Teacher efforts in Critical Thinking; a. Bagaimana cara anda menilai keterampilan
berpikir kritis siswa dalam online learning?
b. Langkah apa yang anda dilakukan dalam
developing keterampilan berpikir kritis
siswa dalam online learning?
c. Metode pembelajarang online learning
seperti apa yang anda gunakan untuk
meningkatkan skill critical thinking siswa?
3 Teacher efforts in Communication; a. Langkah apa yang anda dilakukan dalam
developing keterampilan komunikasi siswa
dalam online learning?
b. Dalam penilaian anda kapan komuniasi itu
dapat dikatakan berhasil?
c. Metode pembelajarang online learning
seperti apa yang anda gunakan untuk
meningkatkan skill communication siswa?
4 Teacher efforts in Collaboration; a. Bagaimana cara anda menilai keterampilan
. collaboration siswa dalam online learning?
b. Langkah apa yang anda dilakukan dalam
developing keterampilan collaboration
siswa dalam online learning?
c. Metode pembelajarang online learning
seperti apa yang anda gunakan untuk
meningkatkan skill collaboration siswa?
5 Teacher efforts in Creativity a. Langkah apa yang anda dilakukan dalam
developing keterampilan creativity siswa
dalam online learning?
b. Dalam penilaian anda kapan creativity itu
dapat dikatakan berhasil?
c. Metode pembelajarang online learning
seperti apa yang anda gunakan untuk
meningkatkan skill creativity siswa?

You might also like