Professional Documents
Culture Documents
297 1725 1 PB
297 1725 1 PB
Julianus Mojau
Fakultas Teologi, Universitas Halmahera
jmojau@gmail.com
DOI: https://doi.org/10.34307/b.v5i1.297
Abstract: The aims of this research are to examine the ecclesiological reasons the GKPI
pioneers separated from KINGMI in 1959 and to conduct a comparative analysis of the
ecclesiology of the 2010 and 2021 GKPI church order. By using qualitative research methods
through library research, this , this study concluded that: (1) the ecclesiological reasons for
the GKPI pioneer to separate is to go beyond KINGMI’s docetic tendencies and develop a
holistic-empirical ecclesiology that answers the life challenges of congregation members and
the peoples of North and East Kalimantan; (2) the 2010 GKPI church order ecclesiology has
bureaucratic and feudal characteristics; (3) the 2021 Church Order ecclesiology develops
equal and democratic relations between congregations and between congregations and
synod; (4) the ecclesiology of the 2010 Church Order and the 2021 Church Order do not
consider the culture of the Dayak people; (5) both the 2010 and 2021 Church Order has paid
attention to the Church’s social work; but it still needs to integrate it with the liturgy and
understanding of the GKPI faith so that the presence of the GKPI can become the ritual body
of Christ as well as the social body of Christ.
Abstrak: Tujuan penelitian ini ialah menelaah alasan eklesiologis perintis GKPI
memisahkan diri dari KINGMI tahun 1959 dan melakukan analisis perbandingan
eklesiologi Tata Gereja 2010 dan 2021 GKPI. Dengan menggunakan metode penelitian
kualitatif melalui jenis penelitian kepustakaan penelitian menghasilkan: (1) bahwa alasan
eklesiologis perintis GKPI memsahkan diri adalah ingin melampaui kecenderungan
eklesiologi dokestis KINGMI dan mengembangkan suatu eklesiologi holistik-empirik yang
menjawab tantangan kehidupan sehari-hari warga jemaat dan masyarakat Kalimantan
Utara dan Timur pada saat itu: (2) eklesiologi Tata Gereja 2010 sangat birokratis dan
feudal sehingga melemahkan kemandirian jemaat-jemaat dalam Sinode GKPI; (3) ada
pembaruan eklesiologi Tata Gereja 2021 yang hendak menekankan pola presbyterial-
sinodal di mana ada hubungan setara dan demokratis antarjemaat dan antara jemaat-
sinode; (4) baik eklesiologi Tata Gereja 2010 dan Tata Gereja 2021 tidak
mempertimbangkan budaya orang Dayak; (5) baik Tata Gereja 2010 maupun 2021 cukup
memberi perhatian pada tugas sosial Gereja di tengah-tengah masyarakat; tetapi ttperlu
mengintegrasikan dengan liturgi, pemahaman iman dan pokok-pokok tugas sosial gereja
sehingga dapat menjadikan kehadiran GKPI menjadi Gereja publik yang meragakan tubuh
ritual Kristus sekaligus tubuh sosial Kristus.
1. Pendahuluan
Tata Gereja bukanlah sekadar sekumpulan pasal dan ayat peraturan
kelembagaan melainkan juga harus mencerminkan wawasan eklesiologi tertentu.
Melalui tata gereja tersebut dapat dicermati corak eklesiologi seperti apa yang sedang
dihidupi oleh kelembagaan suatu Gereja. Oleh karena itu, melalui Tata Gereja itu, dapat
dikatahui bagaimana suatu Gereja memahami diri dan identitasnya sebagai Gereja
misionar dalam melaksanakan pelayanananya di tengah-tengah masyarakat di mana
Gereja tersebut berada.1
Pada akhir tahun 1950-an perintis Gereja Kristen Pemancar Injil (GKPI)
memisahkan diri dari Kemah Injil Gereja Masehi Indonesia (KINGMI). Salah satu alasan
eklesiologis perintis GKPI memisahkan diri dari KINGMI ialah ingin mengembangkan
suatu kesadaran eklesiologis dan praktik hidup menggereja yang terhubung dengan
tantangan kehidupan sehari-hari warga Jemaat dan warga masyarakat seperti
kemiskinan ekonomi dan keterbelakang pendidikan. Perintis GKPI (Pdt. Elisa Mou) ingin
melampaui kesadaran eklesiologis dan praktik hidup menggereja yang tidak hanya
memberi perhatian pada kehidupan rohani warga Jemaat dan warga masyarakat tetapi
juga pada kemajuan warga Jemaat dan warga masyarakat di bidang ekonomi dan
pendidikan.2
Sejak memisahkan diri GKPI telah memiliki dua Tata Gereja, yaitu Tata Gereja
2010 dan 2021. Dalam salah satu seminar Lazarus Purwanto pernah membedah Tata
Gereja 2010 GKPI. Lazarus Purwanto menyimpulkan bahwa struktur pelayanan GKPI
dalam bentuk Tata Gereja 2010 GKPI bertumpu pada: (a) kepemimpinan dan bukan
pada umat sebagai komunitas iman; (b) berpusat pada “komunitas” sinodal dan bukan
pada jemaat setempat (lokal) sebagai gereja konkret; (c) kepemimpinan kehilangan sifat
gerejawinya; dan (d) berstruktur hierarkis. Sebagai konsekuensi maka perumusan visi
dan misi serta penyusunan program pelayanan pun cenderung kurang berkaitan
langsung dengan kebutuhan konkret jemaat-jemaat dalam Sinode GKPI.3 Penulis sendiri
pernah melakukan telaah pada Tata Gereja 2010 GKPI.4
1 Lazarus H. Purwanto, “Church Order and Church Identity Challenges and Opportunities for
Churches in Indonesia to Express Their Identity Through Church Order”, dalam The Journal of the Society
for Protestant Church Polity, Volume 1, Number 1, Winter 2020, 20-21.
2 MS GKPI, “Sejarah Berdirinya GKPI Tarakan Kalimantan Timur”, dalam Tim Perumus, Pemancar
Injil: Pembaruan Eklesiologi GKPI (Prosiding Konsultasi Virtual Eklesiologi GKPI, 15-17 April 2021)
(Makassar: Oase Intim, 2021), 96.
3Lazarus Purwanto, “Restrukturisasi GKPI: Sebuah Masukan” (ceramah, GKPI, Malinau, 21
Februari 2020).
4 Julianus Mojau, “Eklesiologi Holistik-Empirik GKPI: Pembacaan Berdasarkan Dokumen-
dokumen GKPI”, dalam Tim Perumus, Pemancar Injil: Pembaruan Eklesiologi GKPI (Prosiding Konsultasi
Virtual Eklesiologi GKPI, 15-17 April 2021), Tarakan-Makassar: MP GKPI dan Oase Intim, 2021, 124-157.
Menurut Leo J. Koffeman, eklesiologi suatu gereja tidak hanya dapat diamati
dari dokumen pemahaman iman dan/atau pengakuan iman dan Tata Gerejanya
melainkan juga dari liturginya. Leo J. Koffeman menulis: “The liturgy is the locus
ecclesiologicus par excellence”.5 Oleh karena itu, dalam mengkaji eklesiologi Tata Gereja
2010 dan 2021 GKPI, tidak cukup hanya dengan memperhatikan kedua Tata Gereja
tersebut. Dengan kesadaran seperti ini maka dalam kajian ini akan dianalisis juga Tata
Ibadah GKPI 2007 (yang berlaku sampai penelitian ini selesai dilakukan). Mengingat
Gereja sebagai persekutuan orang percaya tidak hidup untuk dirinya sendiri maka
kajian ini juga akan dianalisis Pemahaman Iman 2019 GKPI dan Garis-garis Besar
Pokok-Pokok Tugas GKPI. Maka kebaruan kajian ini dibandingkan dengan telaah
Lazarus Purwanto dan kajian penulis di atas ialah kajian menempatkan Tata Gereja
2010 dan 2021 GKPI dalam hubungan dengan liturgi GKPI, Pemahaman Iman GKPI dan
Pokok-Pokok Tugas GKPI. Selain itu, kajian ini juga memperhatikan alasan eklesiologis
perintis GKPI memisahkan diri dari KINGMI akhir tahun 1950-an.
Pertanyaan-pertanyaan yang digumuli dalam kajian ini ialah: (a) apa dan
bagaimana alasan eklesiologis perintis GKPI memisahkan diri dari KINGMI pada tahun
1959?; (b) apa dan bagaimana perbedaan antara Tata Gereja 2010 dan Tata Gereja 2021
GKPI?; (c) apakah kedua Tata Gereja GKPI tersebut telah memberi perhatian pada
budaya Dayak dan budaya digital mengingat GKPI melayani di tengah-tengah orang-
orang Dayak dan di tengah-tengah perubahan budaya di era digital ini?; (d) apakah
kedua Tata Gereja tersebut bagaimana hubungan kedua Tata Gereja GKPI tersebut
dengan tata ibadah GKPI, pemahaman iman GKPI dan Garis-garis Besar Pokok-pokok
Tugas GKPI? Dengan menggumuli pertanyaan-pertanyaan ini dalam kajian ini maka
diharapkan bahwa kajian ini dapat mengidentifikasi bagaimana GKPI memahami diri
dan memahami Jemaat-jemaat menjadi Gereja dan Jemaat-jemaat Publik dalam konteks
Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur. Ini penting karena secara teologis Gereja dan
Jemaat-jemaat dalam suatu Sinode Gereja tidak hidup untuk dirinya sendiri.6
2. Metode Penelitian
Kajian dalam tulisan ini menggunakan metode penelitian kualitatif jenis
penelitian kepustakaan (library-research) tentang alasan eklesiologis perintis GKPI
memisahkan diri dari KINGMI tahun 1959, eklesiologi Tata Gereja 2010 dan 2021, Tata
Ibadah 2007 dan Pemahaman Iman GKPI 2019. Menurut Dèdè Oetomo, metode
penelitian kualitatif tipe ini dapat diterapkan pada analisis dokumen-dokumen tertulis
Inkarnasional di Ruang Publik”, dalam Jurnal Theologia In Loco, Vol.3, No.1, (April 2021): 1-18.
sebagai objek kajian.7 Maka data primer dalam kajian ini adalah sejarah GKPI, Tata
Gereja 2010 GKPI, Tata Gereja 2021 GKPI, Tata Ibadah GKPI 2007l dan Pemahaman
Iman GKPI 2019.
Sumber-sumber kajian tersebut akan dianalisis secara komparatif. Melalui
analisis komparatif kajian ini akan menelaah dan membandingkan perbedaan
eklesiologi Tata Gereja 2010 dan 2021. Oleh karena itu, pendekatan ini menggaribawahi
bahwa telaah terhadap eklesiologi dalam dokumen-dokumen gerejawi GKPI tersebut
tidak semata-mata dibaca secara idealis sebagai rumusan-rumusan normatif-dogmatis;
tetapi juga menelaah bagaimana GKPI mengembangkan diri sebagai gereja konkret
operatif dalam perspektif eklesiologi holistik-empirik.8
7Sebagaimana dikutip oleh Jeniffer Pelupessy Wowor, “Partisipasi Pendidikan Kristiani Di Ruang
Publik Dalam Menunjang Deradikalisasi,” Kurios 7, no. 1 (2021): 108
8Bdk. Johannes A. van der Ven, Ecclesiology in Context (Michigan: Eerdmans Publishing, 1996), ix-
xv dan Bintoro, Dhaniel Whisnu. “Metode Refleksi Eklesiologis bagi Warga Gereja Katolik Indonesia yang
Misioner”, dalam Eklesiologi: Langkah demi Langkah: Sudut-Sudut Ziarah Gereja, Peny. B.S, Mardiatmadja,
SJ (Yogyakarta: Kanisius, 2020), 214-236
9 MS GKPI, “Sejarah Gereja Kristen Pemancara Injil Tarakan,” dalam Pemancar Injil: Pembaruan
A.B. Simpson digerakkan oleh Injil-Kristus yang menyembuhkan itu untuk melayani
mereka yang dikategorikan “sampah masyarakat” seperti pelacur, pekerja pelabuhan
dan tunawisma di New York maka Pdt. Elisa Mou digerakkan oleh Injil-Kristus yang
menyembuhkan itu untuk melayani mereka yang miskin dan tertinggal di daerah-
daerah terpencil di Kalimantan Utara dan Timur) Perbedaan konteks telah
memungkinkan kedua sahabat se-tradisi iman Kristen CMA ini memilih orientasi dan
strategi penerapan Injil-Kristus secara berbeda.
Dengan memaknai secara kontekstual karya Kristus Pdt. Elisa Mou sedang
membenihkan sautu “gereja-konkret-operatif” di tanah Kalimantan Utara dan Timur di
mana masyarakatnya yang sedang bergumul dan bergulat dengan kehidupan sehari-hari
secara ekonomi dan pendidikan. Karena, sejatinya, dalam sejarah KINGMI Injil Yesus
Kristus itu justru tumbuh dari kebutuhan akan pendidikan seperti nyata dari keputusan
penerima pertama Injil (seorang Dayak bernama Jalung Ipui) seperti dicatat dalam
sejarah penginjilan CMA.11 Yang harus perlu diingat bahwa Injil Yesus Kristus itu
mendapat bentuk “gereja-konkret operatif” melalui organisasi kekaryaan sosial yang
dirintis oleh Pdt. Elisa Mou, yaitu: AMTI (Angkatan Muda Tanah Tidung) dan koperasi.
Bahkan dalam bentuk lembaga pendidikan gerejawi dalam bentuk pendidikan teologi
dasar yang tidak saja belajar “hal-hal rohani” tetapi juga “hal-hal jasmaniah” seperti
pertanian.12
Jika dicermati, terdapat tiga hal penting sebagai pelajaran dari inisiatif
eklesiologis Pdt. Elisa Mou seperti telah diuraikan di atas. Pertama, kegelisahan-Injili
yang menawan Pdt. Elisa Mou sehingga membangkitkan kepekaan spiritual (spiritual-
discernment) beliau terhadap kondisi-kondisi de-human (kemiskinan, ketidakadilan dan
diskriminasi) di dalam kehidupan sosial sehari-hari. Kedua, kepekaan spiritual itu telah
memampukan beliau membaca tanda-tanda zaman dalam melakukan pelayanan
gerejawinya di tengah-tengah kehidupan sosial sehari-hari masyarakat Kalimantan
Utara dan Timur pada saat itu. Ketiga, kepekaan spiritual dan kecakapan membaca
tanda-tanda zaman itulah membuat Pdt. Elisa Mou mengambil-langkah kreatif dan
inovatif menghidupi tradisi iman kristologis CMA Pdt. A.B. Simpson untuk menginisiatif
gereja-konkret-operatif yang mengubah dan mentransformasi kehidupan sehari-hari
dalam konteks Kalimantan Utara dan Timur pada akhir tahun 1950-an dan awal tahun
1960-an.13
Eklesiologi gereja-konkret operatif Pdt. Elisa Mou di atas memperlihatkan usaha
serius perintis GKPI membenihkan eklesiologi holistik empirik untuk menghindarkan
“docetism-ecclesiology” dalam tubuh CMA-KINGMI, terutama dalam sejarah GKPI
dikemudian hari. “Docetism-ecclesiology” adalah paham tentang gereja yang bertumpu
14Samuel Rayan, “The Search for an Asian Spirituality of Liberation,” dalam Asian Christian
Spirituality: Reclaiming Traditions, Eds. Virginia Fabela, Peter K.H. Lee, David Kwang-sun Suh (New York:
Orbis Books, 1992, 18-19.
15Bnd. Leo J. Koffeman, “The Vulnerability of the Church—Ecclesiological Observations”, Scriptura
102 (2009), 409.
menggereja holistik empirik seperti dirintis oleh Pdt. Elisa Mou. Tetapi semangat hidup
menggereja ini tidak begitu operatif untuk memperkuat jemaat-jemaat dalam Sinode
GKPI. Hal ini disebabkan oleh lemahnya kemandirian dan insiatif warga jemaat dan
jemaat-jemaat dalam Sinode GKPI. Hal ini dapat ditelusuri ke dalam tata kelembagaan
GKPI sebagaimana diatur dalam Tata Gereja 2010. Dalam satu percakapan dengan
pimpinan GKPI dan warga Jemaat pada saat berlangsung webinar eklesiologi GKPI, 19-
20 Mei 2021 menjadi nyata bahwa selama ini semua program jemaat-jemaat dalam
Sinode GKPI hanyalah penjabaran program sinodal saja. Tidak pernah ada kesempatan
bagi jemaat-jemaat menggumuli dan membuat program-program sendiri sesuai dengan
konteks dan tantangan pelayanan yang dihadapi setiap hari. Padahal ada keragaman
konteks dan tantangan pelayanan di jemaat-jemaat dalam Sinode GKPI.16 Pengakuan
dan tanggapan warga Jemaat ini dapat dipahami mengingat secara kelembagaan GKPI
mengorganisir diri seperti itu. Hal ini dapat dibaca dalam PD 2010-2015, Bab IV, pasal 6
ayat 1 dan 2. Lebih mengejutkan lagi pasal 6 ayat 1 pola pengorganisasian GKPI itu
mengambil berbentuk: Sinodal Presbiterial. Melalui pola pengorganisasian ini maka
hubungan jemaat-resort-sinode bersifat hirakhis sehingga semua program pelayanan
pun bersifat top-down seperti terlihat dari diagram sebagai berikut:
Gambar 1.
Menurut Rijnardus A. van Kooij, dll. sistem ini “lebih mementingkan keputusan-
keputusan sinodal dibanding keputusan Majelis Jemaat (keputusan Majelis Jemaat lebih
sering mengikut keputusan sinode)”.17 Sistem pengelolaan relasi jemaat-sinode secara
birokratis dan feodal ini merupakan sisa-sisa mentalitas kelembagaan De Nederlandse
Hervormde Kerk (NHK) sejak tahun 1816. Mentalitas kelembagaan ini masih sangat kuat
mempengaruhi sistem pemerintahan Gereja-gereja arus utama (mainstream-churches)
di Indonesia. 18 Mentalitas GKPI berada dalam lingkaran mentalitas ini. Dapat diduga
GKPI, yang sejatinya memiliki semangat kongregasionalisme sebagaimana DNA
kelembagaan KINGMI, mengadopsi sistem ini dari Gereja Kalimantan Evanggelis (GKE).
Karena hanya GKE satu-satunya Gereja-gereja arus utama di Indonesia yang secara
jelas-jelas dalam Tata Gerejanya menyebutkan menganut sistem: Sinodal Presbiterial.19
Menariknya, dalam PRT 2010-2015, Bab XXV, pasal 23, tiba-tiba muncul DNA
kelembagaan KINGMI, seperti yang dapat dibaca sebagai berikut:
“Jemaat GKPI merupakan suatu perwujudan Tubuh Kristus yang didirikan atas
dasar Persekutuan dengan Allah, dibangun dan tumbuh serta berkembang oleh
Roh Kudus”.
Ada tiga hal yang ditekankan dalam rumusan wujud Jemaat-jemaat dalam Sinode GKPI.
Pertama, jemaat-jemaat dalam Sinode GKPI adalah perwujudan Tubuh Kristus. Kedua,
dasar persekutuan jemaat-jemaat adalah persekutuan dengan Allah. Ketiga,
pertumbuhan dan perkembangan jemaat-jemaat adalah karya Roh Kudus. Insentif
eklesiologis ini dapat mengimbangi kewenangan yang begitu kuat di Majelis Sinode dan
Majelis Resort. Tetapi insentif eklesiologis ini perlu dikelola dengan baik agar tidak
terjadi pemisahan jemaat-jemaat dari Sinode GKPI. Jika tidak dikelola dengan baik maka
jemaat-jemaat dalam Sinode GKPI dapat menjadi jemaat-jemaat yang berjalan sendiri-
sendiri. Dengan demikian GKPI lalu jatuh ke dalam tata pemerintahan gereja dengan
sistem kongregasionalisme.20 Dengan kata lain: jemaat-jemaat jatuh ke dalam ekstrim
hidup menggereja yang tidak peduli dengan persekutuan sinodal. Sebaliknya,
pengelolaan insentif eklesiologis dalam PRT akan memungkinkan GKPI dapat
memelihara “ketegangan kreatif” menghidupi “batas-batas kewenangan” antaramajelis
jemaat , antara majelis jemaat dan majelis resort, dan antara majelis-jemaat, majelis
resort dan majelis sinode dalam pengorganisasiannya.
Sejauh uraian di atas dapat dikatakan bahwa pasal dan ayat PD GKPI 2010 lebih
menempatkan pemahaman diri GKPI dalam wujud tujuan eklesiologinya. GKPI
memahami dirinya bentara Kristus di dalam dunia. Pendekatan fungsional PD ini
sebaiknya diletakan dalam bingkai bangunan eklesiologi tentang hakekat dan wujud
jemaat-jemaat dalam Sinode GKPI dan hakekat dan wujud Sinode GKPI. Perbedaan ini
memperlihatkan tidak sinkronnya PD dan PRT. Tentu saja visi eklesiologis PD dan basis
eklesiologis jemaat-jemaat GKPI PRT tidaklah bertentangan. Bisa saling melengkapi.
Tetapi perlu sinkronisasi sehingga PD dan PRT saling memperkuat. Bukan saling
meniadakan seperti nyata dari PD 2010 dan PRT 2010. Selain itu dibutuhkan
pemahaman diri GKPI yang lebih fungsional dan tata kelembagaannya yang lebih
mendukung fungsi pemberdayaan jemaat-jemaat dalam Sinode GKPI.
18 Ibid.
19Zakaria J. Ngelow, “Ringkasan Tata GKE” (Ceramah, Virtual Meeting Bersama GKPI, 15 April
2021).
20J.L.Ch. Abineno, Garis-garis Besar Hukum Gereja, 85-86.
“GKPI adalah persekutuan orang-orang percaya yang hidup di dalam dunia, tetapi
bukan dari dunia (Yoh. 17:16); yang diutus ke dalam dunia (Yoh. 20:21) untuk
turut berpartisipasi dalam misi Kerajaan Allah di tengah dunia. Itu berarti GKPI
hadir di tengah masyarakat, bangsa dan dunia. GKPI menghadirkan dirinya
sebagai garam dan terang dunia (Mat. 5:14-16) ”.
Pada butir 4 dirumuskan pemahaman diri GKPI sebagai berikut:
“Pengakuan Yesus adalah Tuhan menegaskan bahwa Yesus adalah Kepala Gereja
(Efesus 1:23), yaitu Kepala GKPI, dan GKPI adalah tubuh Kristus (1Kor. 12: 27).
Sebagai tubuh Kristus GKPI tidak bisa dilepaskan dari Yesus Kristus. GKPI ada
karena Yesus Kristus dan untuk Yesus Kristus. Ketika GKPI terlepas atau
melepaskan diri dari Yesus Kristus, maka GKPI bukan lagi tubuh Kristus”.
Dalam visi GKPI dapat juga terbaca informasi tentang pemahaman diri GKPI adalah
umat Allah (1 Pet 2:9-10; 2 Kor 6 : 16-18 ) sekaligus Tubuh Kristus (Kristus (1 Kor 12:
27) dengan tugas menjadi garam dan terang dunia (Matius 5:13-16) dengan
membebaskan orang-orang tertindas (Luk 4 : 18-19). Hal ini diulang lagi dalam Garis-
garis Besar Tugas Panggilan GKPI 2021 (lihat GBTP—Pendahuluan—butir 1 dan 2) dan
dasar-dasar penyusunan GBTP GKI (butir 1—mandat iman dan butir 3—mandat
peraturan dasar GKPI). Dalam materi katekisasi butir 11 dapat juga diketahui
pemahaman diri GKPI yang dikaitkan dengan tugas memberitakan Injil kepada semua
makhluk (Markus 16:16) yang diikuti oleh panggilan Gereja (GKPI) untuk bersekutu
(koinonia-model trinitaris/tritunggal), melayani (diakonia) dan bersaksi (marturia)
serta penatalayanan (oikonomia).
Sejauh dokumen-dokumen di atas secara tipologis dapat dilihat adanya
kecenderungan-kecenderungan eklesiologi GKPI ke depan (setelah Sidang Sinode GKPI
2021) sebagai berikut. Pertama, GKPI hendak memahami diri adalah umat Allah
(eklesiologi 1 Petrus) sekaligus tubuh Kristus (eklesiologi Paulus). Kedua, kepimpinan
dalam GKPI adalah kepemimpinan Kristokrasi. Ketiga, menekankan hubungan personal
warga jemaat dengan Yesus Kristus, Sang Guru Kehidupan (eklesiologi Yohanes) dan Sang
Kepala Gereja (Paulus dan Deutro-Paulin).21 Oleh karena itu, tim revisi tata kelembagaan
GKPI, menata kelembagaan GKPI yang diusulkan kepada Sidang Sinode GKPI 2021
perubahan pola pengorganisasian hubungan antarjemaat, antara jemaat dan
resort/wilayah, antara jemaat-resort/wilayah-sinode tidak lagi berpola struktural dan
hierarkis; tetapi berpola persekutuan jaring laba-laba sebagai berikut:
Gambar 2.
Sumber: Tim Revis Tata Gereja GKPI 2020.
Dalam Tata Gereja 2021 pasal 1 tentang hakekat dan wujud GKPI terbaca jelas
perubahan sistem kelembagaan dan pola pengorganisasian hubungan jaring-laba GKPI
di atas. Melalui perubahan ini GKPI ingin menegaskan identitas eklesial sebagai tubuh
Kristus yang konkret yang mewujud dalam bentuk Jemaat-Jemaat sebagai persekutuan
(koinonia) saling menopang dan saling menghidupkan antarjemaat dalam Sinode GKPI.
GKPI menyadari bahwa kekuatan GKPI itu tidak bertumpu pada Sinode sebagai
Lembaga tetapi bertumpu pada berjalan bersamanya jemaat-jemaat dalam sinode GKPI.
Di sini pada satu pihak terasa sari-sari DNA eklesiologi CMA-KINGMI dan di pihak lain
terasa sari-sari DNA berjalan bersama (bersinhodos) eklesiologi Gereja-gereja Calvinis.
Sari-sari tersebut tidak saling menegasi tetapi saling terikat. Melalui pola relasi setara
antarmajelis inilah, ke depan GKPI, baik secara sinodal maupun jemaat-jemaat setempat,
dapat memerankan diri sebagai gereja konkret operatif utuh dan lengkap yang diikat
oleh kehidupan bersama yang berjejaring untuk saling melengkapi dan saling
memberdayakan di tengah-tengah tantangan pelayanan di Kalimantan Utara dan Timur.
Pembaruan eklesiologi GKPI dalam Tata Gereja 2021 ini ini memperlihatkan
keberhasilan GKPI membentuk eklesiologinya yang bersesuain dengan prinsip dan DNA
kelembagaan eklesiologi Presbiterial-Sinodal. Karena, dalam eklesiologi kelembagaan
Presbiterial Sinodal, sangat ditekankan kewenangan saling berbagi sehingga
21Raymond E. Brown, Gereja yang Apostolis Terjemahan Indra Sanjaya, Sarijatmika, dan Budi
kewenangan majelis jemaat setempat diberi peran sama dengan peran majelis sinode.22
Kesetaraan, demokratisasi dan kerjasama adalah DNA dan mentalitas eklesiologi
kelembagaan Presbiterial Sinodal.23
Eklesiologi GKPI ini perlu diperkaya oleh identitas budaya orang-orang Dayak. Hal ini
penting karena sebagian besar warga GKPI dan pusat pelayanan GKPI ada di tengah-
tengah orang-orang Dayak.24 Selain itu, GKPI juga tidak bisa menutup diri terhadap
perkembangan budaya digital yang ditopang oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Juga GKPI tidak mungkin tanpa Interaksi dengan “budaya hidup menggereja”
gerakan karismatik dan neo-karismatik. Dengan demikian eklesiologi holistik empirik
GKPI harus merupakan hasil dialog dan negosiasi kultural antara identitas kultural
Alkitabiah, identitas kultural ke-Dayak-kan, tradisi/budaya eklesiologi CMA,
tradisi/budaya eklesiologi operatif Gereja-gereja lain (Calvinis-Lutheran, Karismatik dan
Neo-Karismatik) dan budaya digital. Maka desain eklesiologi holistik empirik GKPI ke
depan adalah proses hermeneutik dialogis dan negosiatif antarbudaya dan antartradisi
yang menghasilkan budaya dan tradisi hidup menggereja operatif hybrid GKPI yang
dapat digambarkan proses tersebut sebagai berikut:
Gambar 3.
Eklesiologi GKPI Berbasis Misi Gereja
22Rijnardus A. van Kooij, Sri Agus Patnaningsih dan Yam’ah Tsalatsa, Menguak Fakta, Menata
Karya Nyata, 45; J.L.Ch. Abineno, Garis-garis Besar Hukum Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 83.
23Julianus Mojau, “Hidup Menggereja Asas Presbiterial Sinodal,” dalam Mata di Halmahera: Buku
Peringatan Hut V Universitas Halmahera (Fakultas Teologi), Editor Sefnat A. Hontong (Yogyakarta:
Kanisius, 2013), 68-74; Julianus Mojau, Menjadi Buah Bungaran Kebun Anggur Allah: Pergulatan
Eklesiologis GMIH Pasca Gereja-Zending (Tobelo: Yayasan Percis Halmahera dan Universitas Halmahera,
2010), 89-93.
24Saya mendapat informasi selain Dayak Lundayeh dan Agabag juga ada Dayak Punan, Berusu dan
Kenyak di Kalimantan Utara dan Timur (wilayah pelayanan GKPI)(Informasi dari Pak Ketum GKPI). Yulius
Daud (Ketua Umum Sinode GKPI), wawancara penulis, via telpon, Indonesia, 15 April 2021.
Gambar 4.
Melalui keseimbangan pelaksanaan keempat tugas Gereja itu diharapkan GKPI
mewujudkan identitas eklesialnya sebagai gereja konkret/empirik operatif dan efektif,
baik secara internal (penyegaran dan pemberdayaan warga jemaatnya) maupun secara
eksternal (penyegaran dan pemberdayaan warga masyarakat). GKPI dapat menjadi
gereja konkret operatif yang mandiri, misioner, terbuka dan dialogis, dan komunikatif di
tengah-tengah penderitaan dan kerlukaan dunia di sekitar GKPI.26 Keseimbangan
25Informasi tentang kebutuhan ini muncul dalam pleno lokakarya dan dalam penyampaian lisan
(2009), 413-414.
pelaksanaan keempat tugas Gereja di atas juga akan menghindarkan GKPI dari: (a)
menyempitkan makna pekabaran Injil hanya dalam kaitan dengan penyelematan jiwa-
jiwa untuk menambah jumlah anggota Gereja (proselitisme); (b) rutinitas pelaksanaan
kegiatan-kegiatan upacara dan pesta-pesta keagamaan Kristen (seperti ibadah minggu
dan perayaan-perayaan gerejawi) hanya sebagai kewajiban atau hanya sekadar suatu
tuntutan memenuhi tuntutan formal keagamaan Kristen yang melelahkan dan
mematikan inisiatif, kreativitas dan inovasi warga Jemaat dan terlepas dari praktik etis
dalam kehidupan sehari-hari(ritualisme); (c) memisahkan diri dan menjadi kelompok
tertutup dengan urusannya sendiri tanpa peduli dengan dunia sekitarnya (gethoisme);
(d) melakukan aktivitas-aktivitas sosial politik dan sosial-ekonomi terlepas dari
penghayatan spirituaitas Kristiani (aktivisme); dan (e) menyempitkan makna sifat-sifat
Gereja (kudus, esa, am, rasuli) hanya terkait kehidupan anggota Gereja saja.27
27Julianus Mojau, “Relevansi Pernyataan Iman bahwa Gereja itu Kudus dan Am”, dalam
Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia: Buku Penghormatan 70 Tahun Prof. DR. Sularso
Sopater. Peny. A.A. Yewangoe, dkk (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 321-329.
28Rasid Rahman, Merayakan Tuhan: Topik-Topik Sekitar Liturgi (Jakarta: Grafika Kreasindo,
2016), 61-68.
29 Julianus Mojau, “Gereja sebagai Tubuh Ritual dan Tubuh Sosial Kristus” (Bahan Kuliah, Fakultas
Gambar 5.
Meragakan serentak tubuh ritual Kristus dan tubuh sosial Kristus secara liturgis
adalah sejalan dengan ajaran CMA-KINGMI yang berasa Calvinis yang sangat
menekankan hubungan “keberadaan telah diselamatkan dengan perbuatan nyata”. Salah
satu ajaran penting dalam tradisi iman Calvinis tentang anugerah dan keselamatan
adalah “anugerah berdampak” (efficacious grace). Maka hubungan pribadi dengan Yesus
Kristus harus mengubah kehidupan sehari-hari dengan jalan berani bertindak atau
mengambil-langkah untuk berubah dan mentransformasi kehidupan sehari-hari agar
tidak lagi hidup dalam keadaan keberdosaan.30 Dapat dihargai tekanan ini. Tetapi
sebaiknya juga perlu tetap bersikap kritis terhadap “semangat Calvinis” ini agar tidak
terjebak ke dalam semangat kapitalisme “teologi sukses” yang memprivatisasi iman dan
“eklesiologi-sukses” yang mengukur keberhasilan gereja dengan saldo tunai di bank-
30Tony Lanne, Menjelaja Doktrin Kristen, Terjemahan Paul S. Hidayat (Jakarta: Waskita Publishing
dan STT Cipanas, tt), 246. Topik status keselamatan berdampak ini sangat terkait dengan ajaran Calvinis
kemudian yang dikenal dengan istilah ordo salutis. Lihat J.V. Fesko, Beyond Calvin: Union with Christ and
Justification in Early Modern Reformed Theology (1517-1700) (Göttingen/ Bristol: Vandenhoeck &
Ruprecht GmbH & Co. KG/andenhoeck & Ruprecht, 2012).
bank tetapi tidak peka dan tidak peduli pada penderitaan sekitarnya atau memiliki
gedung-gedung gereja yang megah dan mahal tetapi tidak mengurus dengan baik rumah
sakit dan pendidikan.31
Perlu juga melakukan penghindaran untuk mengglorifikasi penderitaan
kehidupan sehari-hari sebagai bentuk dari memikul salib Kristus di dalam dunia tanpa
menganalisis sebab-sebab penderitaan itu. Baik secara ekonomi maupun politik. Dalam
konteks kemiskinan rakyat dan kerusakan lingkungan/alam sekitar di Kalimantan Utara
dan Timur di tengah-tengah kekayaan sumber daya alam, menghidupi spiritualitas yang
mengglorifikasi penderitaan kehidupan sehari-hari secara ekonomi dan politik tanpa
menganalisis sebab-sebabnya sejatinya sedang mengidap spiritualitas doketis
(docetism-spirituality). Tipe spiritualitas ini dapat mengalienasikan /mengasingkan
orang-orang Kristen atau orang-orang beriman dari kehidupan konkret sehari-hari.
Seolah-olah orang Kristen itu hidup hanya secara semu saja. Tipe spiritualitas ini lahir
dari pembacaan Alkitab yang terlepas dari konteksnya. Tipe spiritualitas ini hanya akan
memperkuat docetism-ecclesiology seperti telah disinggung sebelumnya. 32
Dalam hal pemahaman iman GKPI (Lihat butir 6 Pemahaman Iman GKPI) cukup
memberi perhatian pada makna salib Kristus. Perhatian ini dapat menjadi insentif
teologis dan eklesiologis untuk mengatasi docetism-ecclesiology dan docetism-spirituality
yang mengglorifikasi penderitaan secara ekonomi, politik, budaya dengan alasan
memanggul salib Kristus. Spiritualitas liturgi yang megintegrasikan ibadah kepada Allah
dengan pengabdian untuk penataan kehidupan sehari-hari akan memampukan GKPI
dan juga Gereja-gereja di Indonesia dapat menjadi gereja konkret operatif dan efektif di
tengah-tengah tantangan pelayanan seperti kemiskinan, ketidakadilan dan kerusakan
lingkungan. Dengan kata lain desain bentuk-bentuk liturgi yang mencerminkan
spritualitas liturgi holistik-empirik akan memungkinkan pemahaman dan penghayatan
diri Gereja sebagai Gereja yang meragakan tubuh ritual Kristus di sekitar pemberitaan
firman dan sakramen sekaligus menghidupi dan meragakan tubuh sosial Kristus dalam
kehidupan sehari-hari melalui karya-karya sosial-ekologis di tengah-tengah
ketidakadilan sosial ekonomi, sosial politik dan kerusakan lingkungan.33
4. Kesimpulan
Pertama, sebagaimana nyata dalam latar belakang pemisahan GKPI dari KINGMI
bahwa perintis GKPI (Pdt. Elisa Mou) telah mewariskan kepada GKPI suatu kesadaran
dikerjakan oleh GKPI setelah Sidang Sinode 2021. Jika tugas ini dilaksanakan, maka GKPI
(sebagaimana arah pembaruan eklesiologi dalam Tata Gereja 2021) dapat menjadikan
Jemaat-jemaatnya menjadi tubuh ritual Kristus sekaligus menjadi tubuh sosial Kristus di
tengah-tengah masyarakat Kalimatan Utara dan Kalimantan Timur. Bahkan GKPI dapat
menjadi contoh Gereja Publik dalam konteks Indonesia yang masih dililit oleh
kemiskinanan dan ketidakadilan sosial serta kerusakan alam dengan segala sumber
daya yang dikandungnya.
Referensi:
Abineno, J.L.Ch. Garis-garis Besar Hukum Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Bintoro, Dhaniel Whisnu. “Metode Refleksi Eklesiologis bagi Warga Gereja Katolik
Indonesia yang Misioner”, dalam Eklesiologi: Langkah demi Langkah: Sudut-Sudut
Ziarah Gereja, Peny. B.S, Mardiatmadja, SJ., 214-236. Yogyakarta: Kanisius, 2020.
Brown, Gillian dan George Yule, George. Analisis Wacana. Terjemahan I Soetikno.
Jakarta: Gramedia, 1996.
Brown, Rayamond E. Gereja yang Apostolis .Terjemahan Indra Sanjaya, Sarijatmika, dan
Budi Purnama. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Draft Restrukturisasi Organisasi GKPI
Empereur, SJ., James L dan Kiesling, PP., Christopher G. Th Liturgy That Does Justice.
Minnesota: The Liturgical Press, 1990.
Fesko, J.V. Beyond Calvin: Union with Christ and Justification in Early Modern Reformed
Theology (1517-1700). Göttingen/ Bristol: Vandenhoeck & Ruprecht GmbH & Co.
KG/andenhoeck & Ruprecht, 2012.
Haight, Roger. Christian Community in History: Historical Ecclesiology, Vol, 1. New York:
Continuum, 2004.
Hariman A. Pattianakotta, Hariman A. “Menjadi Jemaat Publik: Menggereja secara
Misional, Relasional dan Inkarnasional di Ruang Publik”, dalam Jurnal Theologia In Loco,
Vol.3, No.1, April 2021, 1-18.
Katekisasi Sidi GKPI 2021.
Koffeman, Leo J. “The Vulnerability of the Church—Ecclesiological Observations”,
Scriptura 102 (2009): 412, 409-414
Lanne, Tony. Menjelaja Doktrin Kristen, Terjemahan Paul S. Hidayat. Jakarta: Waskita
Publishing dan STT Cipanas, tt.
Mojau, Julianus. Pedoman Liturgi Gereja Masehi Injili di Halmahera. Tobelo: Yayasan
Percis Halmahera dan Universitas Halmahera, 2010.
MS GKPI, “Sejarah Gereja Kristen Pemancara Injil Tarakan,” dalam Pemancar Injil:
Pembaruan Eklesiologi GKPI—Laporan Konsultasi Virtual GKPI, 15-17 April 2021, Peny.
Christin Hutubessy, dkk, 96-97 (Makassar: Oase Intim, 2021.