Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT
The principles of Islamic law and its objectives in use as methods of legal finding and verification have
caused overlaps and even self-contradiction. As such, we need to understand those two in terms of
moving principles in order to make a proper system of Islamic law theory. This paper aims to study
those moving principles to build a reciprocal relationship in between. The research uses qualitative-
documentative approaches to data being collected from books and journal articles. This study leads to
the conclusion that, in general, each has those own moving principles at the philosophical, analytical,
and applicative levels. The principles of Islamic law move around, enclosing the meaning of the
Islamic text, whereas maqāsid asy-syarī’ah evaluates the law’s utilities by its analytical and critical
motions. All of the motions are based on philosophical maqāsid asy-syarī’ah’s motion, which are
taken into account for promoting mundane and hereafter prosperities. Manifasted as ideal values,
maqāsid asy-syarī’ah serves as future orientations, evaluating existing legal matters and adjusting
laws to the possibility of prosperities achievement in various locus and times. The maqāṣidic values
can take in form of genuine of communal meanings.
ABSTRAK
Penggunaan uṣūl fiqh dan maqāṣid asy-syarī’ah sebagai metode penemuan dan verifikasi hukum kerap
kali menyebabkannya tumpang tindih dan bahkan self-contradiction. Oleh sebab itu, perlu kiranya
memahami prinsip gerak keduanya, kemudian mengoperasikannya pada bagiannya masing-masing.
Makalah ini bertujuan untuk menelaah prinsip gerak masing-masing dan membangun relasi resiprokal
keluanya. Riset ini berjenis kualitatif-dokumentatif dengan data yang terkumpul dari buku-buku dan
jurnal. Penelitian ini berkesimpulan bahwa secara umum, masing-masing memiliki prinsip gerak
ijtihadi berupa filosofis, analitik, dan aplikatif. Prinsip uṣūl fiqh hanya sekedar mengungkapkan
makna naṣṣ menjadi konstruksi hukum, sedangkan dalam segi utilitasnya dinilai dengan maqāṣid
dengan gerakan analitik-kritisnya. Semuanya itu dilatarbelakangi oleh sinaran maqāṣid asy-syarī’ah
dalam gerak filosofis, yakni membangun sistem fikih yang bertujuan menciptakan kemaslahatan dunia
dan akhirat. Sebagai nilai ideal, maqāṣid berfungsi sebagai visi masa depan (ma’āl) untuk
mengevaluasi hukum-hukum yang telah ada, lalu disesuaikan dengan kemungkinan pencapaian
maslahat di suatu ruang dan waktu hukum itu diaplikasikan. Adapun bentuk dari nilai-nilai tersebut
adakalnya sebuah makna hakiki dan makna ‘urfī.
1
Name
Dalam karya ini tidak sekalipun ia qawaid fiqhiyyah yang berujung pada
menyentuh perinsip gerak metodik pernyataan hukum atas suatu kasus.(Helim,
keduanya, namun justru mengikutsertakan 2019) Karya ini, meskipun memiliki
maqashid dalam uṣūl al-fiqh. Sehingga kesamaan tujuan, namun berbeda dalam
yang terjadi adalah hanya membahas satu pendekatan dan metodologi dengan
aspek, yakni penggalian maqaṣīd dengan penulis.
isṭinbāṭ.
Karya selanjutnya adalah tulisan METODE
Fatimah Halim dalam Jurnah Hunafa. Ia Metode yang digunakan dalam
berkesimpulan bahwa kemaslahatan hidup makalah ini adalah kualitatif sebagai
manusia merupakan tujuan diturunkannya pendekatan, dokumentatif sebagai strategi
wahyu. Sedangkan dalam rangka pengumpulan data, dan analisis konten
menemukan maqaṣīd dapat dilakukan sebagai pisau bedahnya. Adapun data
dengan ijtihād kontekstual menggunakan primer yang digunakan adalah buku-buku
perantara asbāb an-nuzūl, qiyās, dan dan catatan yang memuat materi usul fikih
żari’ah.(Halim, 2010) Ia berusaha dan masqashid asy-syari’ah baik dari
mengelaborasi antara maqasid dan metode kalangan klasik maupun kontemporer.
ijtihad ushul fikih. Perbedaanya dengan Lalu, untuk sumber sekunder meliputi
tulisan penulis ini adalah coraknya yang catatan-catatan lain yang berisi informasi
menekankan pada sistematisasi kedua mengenai hubungan antara keduanya.
metode dengan mensistematisasi peran Sedangkan kerangka paradigmatik yang
masing-masing. berperan menyusun arah penelitian adalah
Karya yang mencoba memberikan filosofis, khususnya epistemologi dalam
porsi imbang adalah tulisan Abdul Helim kedua konteksnya, yakni context of
dengan judul Maqāṣid al-Syarī’ah versus discovery dan context of justification.
Uṣūl al-Fiqh. Ia melihat bahwa maqāṣid (Gunstone, 2015, p. 229) Hal ini tentu
belum memiliki posisi yang jelas dalam mempertimbangkan ‘hasrat’ penulis yang
usul fikih, baik dalam peran penggalian hanya bisa tercapai dengan meminjam
maupun analisis hukum. Meskipun gagasan fungsi kritis-konstruktif dari filsafat untuk
maqāṣid asy-syari’ah telah ada sejak memfokuskan data, membingkai
berabad-abad lalu, namun kenyataanya ia pembahasan, kontrol subyektifitas, dan
hanya sebagai “figuran” dalam produksi penekanan analisis data.(Given, 2008, p.
hukum, ushul fikih masih tetap menjadi 872)
“aktor utama”. Helim berusaha
menempatkan keduanya dalam posisi HASIL DAN DISKUSI
seimbang. Ia berkesimpulan bahwa tujuan Prinsip Gerak Ijtihadi dalam Nature
itu dapat terwujud menggunakan berbagai Hukum Islam
macam analisis dalam mencari maslahah. Nature merupakan eskosistem yang
Analisis tersebut dimulai dari metode qauli, menghubungkan beberapa elemen yang
induktif, penggalian illat, pembuatan saling berkaitan. Dalam beberapa sumber
kaidah-kaidah usul fikih bersinergi, yang menerangkan tentang nature of
perluasan ushulul khomsah, dan kajian Islamic Law, tidak ditemui definisi pasti
metode maknawiyah, menentukan prioritas dari kata “kealamiahan” itu. Namun dalam
maslahah dan diakhiri dengan kajian beberapa pembahasan, nature dari sesuatu
ditemui kasus yang sama sekali baru dan dijadikan manhaj dalam menciptakan
kosongnya dari status hukum. kondisi ideal di masyarakat. Hal ini sepakat
Fitur selanjutnya adalah fikih, yang dengan pendekatan sistem Jasser Auda
merupakan buah dari ushul fiqh, memiliki yang menegaskan bahwa hukum Islam
dua prinsip, yakni gerak ‘azīmah dan memiliki karakter ‘bertujuan’ (ing:
rukhṣah. Prinsip gerak ‘azīmah merupakan purposefulness, ar: ghā’iyyah).(Auda,
implementasi hukum seperti ‘hukum 2012, p. 105)
asalnya’.(’Uṡmān, 2002, p. 208) Sementara
kedua adalah memberlakukan dispensasi Prinsip Gerak Ijtihādī Uṣūl al-Fiqh
hukum, karena adanya suatu perihal Seperti diulas secara singkat pada
eksternal (‘āriḍ). Adapun faktor tersebut sub-bab sebelumnya bahwa faktor
yakni kesulitan, darurat dan kondisi- penggerak eksternal dari usul fikih adalah
kondisi genting di masyarakat.(’Uṡmān, at-ṭāri’ (kasus baru). Hal ini merupakan
2002, p. 170) Dimana ketika dipaksakan konsekuensi dari cakupan universal hukum
memberlakukan hukum asal justru akan Islam, dimana tidak boleh terjadi
menjadikan kesulitan semakin parah, dan kekosongan hukum atas suatu kasus.(asy-
bahkan mengancam nyawanya. Dengan Syuwaylī, 2018, p. 113) Bahkan, kasus
begitu, pendorong eksternal dalam hal ini yang tidak memiliki tendensi halal-haram,
adalah ‘ada atau tidak’-nya situasi genting makruh-sunnah tetap diberi label ‘mubah’.
itu. Untuk mengaplikasikan kedua gerak Sesuai dengan definisinya, fikih adalah
tersebut dibutuhkan ilmu yang disebut al- pembahasan terkait tindakan mukallaf.
qawā’id al-fiqhiyyah (Islamic legal Implikasi dari asumsi ini adalah
maxim). lazimnya kontinuitas gerak pencarian
Terakhir, prinsip gerak dari hukum. Bentuk dari pergerakan penemuan
maqāṣid asy-syarī’ah adalah filosofis, hukum adalah mengaplikasikan metode-
teoritis dan aplikatif. Yang pertama adalah metode usḥul fikh dengan mengaitkan
penggunaan maqashid dalam level filsafat nilai-nilai dari sumber hukum dengan
hukum. Kedua adalah penggunaanya peristiwa kasuistik. Demikian, gerakan
sebagai acuan memahami suatu kasus penemuan hukum memiliki dua pola, satu
dengan kerangka konseptual dan pola bergerak menuju sumber hukum untuk
operasional yang memandu jalanya menemukan nilai-nilai, sedang kedua
analisis. Sedangkan yang ketiga adalah adalah gerak menuju kasus untuk
perannya sebagai pengukur dari memahami hakikat dari peristiwa hukum
implementasi hukum yang langsung itu. Yang pertama disebut istinbāṭ dan
bersinggungan dengan masyarakat. Faktor kedua disebut istidlāl.
pendorong eksternal di sini adalah ada atau Istinbāṭ dalam akar etimologisnya
tidaknya kemanfaatan dari produk hukum mendeskripsikan aktifitas pengambilan air
bagi masyarakat. dari dalam tanah. Setelahnya, kata ini
Beberapa perinsip gerak tersebut, menjadi istilah tekhnis berupa upaya
saling terkait dalam menuju satu tujuan pengambilan makna dari sumber hukum
final, yakni menciptakan hukum yang dengan penuh kehati-hatian, mengandalkan
berdedikasi bagi kemanfaatan baik di dunia kekuatan isyarāh dan pikiran.(’Uṡmān,
maupun akhirat. Dalam kata lain hukum 2002, p. 52) Dalam hal ini, seorang
merupakan persembahan dari Allah untuk mujtahid dengan sengaja memunculkan
Pada bab ini penulis berasumsi dapat menarik perinsip ini menjadi core
bahwa awalnya maqāṣid asy-syari’ah values, dari semua ketetapan hukum, dan
menjadi bagian dari gerak uṣūl al-fiqh, kemanfaatan-kemanfaatan lain dalam
namun pada giliranya ia terlepas, lalu setiap ‘bentuk hukum’. Dalam tataran ini,
memiliki prinsip gerak sendiri. Istilah core values dapat dijadikan konstruksi
spinoff sengaja penulis pilih dengan paradigmatik yang membentuk ‘worldview
mengacu kepada istilah media, yakni hukum Islam’ bahwa “fikih memiliki
‘cerita’ yang terlepas dari suatu narasi tujuan menciptakan kemaslahatan’.1 Dalam
induk, sehingga ia memiliki plot tersendiri. konteks ini, maqashid memiliki ‘gerak
(Spin-Off | Meaning in the Cambridge filosofis’ karena berfungsi secara
English Dictionary, n.d.) konstruktif terhadap worldview fikih.
Secara ‘genealogis’, maqāṣid asy- Oleh karena hukum Islam
syarī’ah menginduk pada perinsip gerak mengarah terhadap kemaslahatan, maka
istidlal dalam ushul fiqh. Tentu saja bagian semua metode yang ada dalam hukum
paling berpengaruh adalah istiṣlāḥ, istiḥsān Islam haruslah memiliki potensi
dan munāsabah dimana pada bagian ini, membuahkan kemanfaatan. Dengan kata
illat ditelusuri dan diproyeksikan sebagai lain, ia dapat digunakan sebagai standar
tujuan akhir dari suatu hukum. Akan tetapi nilai ideal dari hukum Islam. Maksud dari
selanjutnya ia mengalami momentum nilai ideal adalah “bagaimana seharusnya
dimana mendapatkan sandaran filosofisnya hukum Islam”. Menilai idealitas
lalu bergerak mengkritisi fikih dan usul ‘konstruksi hukum Islam’ adalah dengan
fikih. Momen ini adalah ketika asy-Syāṭibi mempertimbangkan bagaimana hasil akhir
ingin memberikan ruh kepada fikih agar suatu hukum jika diterapkan.(asy-Syāṭibī,
memiliki arah yang jelas, yakni berasaskan 1997a, pp. 177–178) Sehingga dapat
maslahah, dan memberikan maslahah. dikatakan hukum Islam tanpa menyertakan
Pemberian ruh ini diwujudkan nilai ini tidak mencerminkan kehendak
dalam garis-garis yang disusun olehnya Syāri’ yang sesungguhnya. Dalam konteks
dengan memodifikasi beberapa bagian ini, maqāṣid dapat bergerak dalam pola
gerak ushul fikih. Modifikasi pertama “analitik” terhdap hukum Islam.
adalah maslahah mursalah yang semula Jamak diketahui bahwa dalam
hanya sebagai bagian dari munāsabah mencapai suatu tujuan dapat dilakukan
diletakkan sebagai usūl asy-syarī’ah. berbagai macam cara, seperti itu pula yang
Selanjutnya adalah ḥikmah min warā’ al- terjadi di dalam hukum Islam, yang kita
aḥkām yang semula sebagai ‘elemen kenal dengan konsep maqāṣid dan wasā’il.
tersisih’ karena tidak mencukupi syarat Oleh karena itu terdapat pluralitas
dijadikan ‘illah, kini menjadi qawā’id al- kebenaran dalam konstruksi hukum Islam.
aḥkām. Terakhir adalah memberikan Tentu saja ini akan berpengaruh dalam
maqaṣid yang pada awalnya dianggap tataran aplikatif bahwa semua konstruksi
ẓanni karena melewati proses induksi,
berstatus qaṭ’ī.(Auda, 2012, pp. 57–58) 1
Hal ini terlihat dalam perumusan syarat mujtahid
Maqashid sebagai usūl asy-syarī’ah yang harus memiliki kompetensi pemahaman
maqāṣid asy-syarī’ah baik secara secara global
berarti menjadikan terciptanya
maupun spesifik, serta bersedia mendasarkan
kemaslahatan bagi manusia sebagai alasan hukum yang difatwakanya terhadap kemaslahatan.
terbesar dalam penetapan syari’at. Kita (asy-Syāṭibī, 1997a, pp. 41–42)
yang mengarah kepada keinginan Syāri’ kenyataan bahwa para fakih juga
adalah benar. Tidak cukup sampai di situ, kebanyakan tertarik dengan teologi,
peran maqāṣid dalam konteks aplikatif sehingga semakin dalam menyelami
hukum Islam adalah memilih yang paling argumen fikih secara tidak sengaja akan
baik diterapkan di masyarakat. Hal ini menyentuh permasalahan teologis.(Giorgio
sesuai dengan apa yang ditekankan oleh Levi della Vida Conference, 1971, p. 4)
‘Izz ad-Dīn b. ‘Abd as-Salām (w.1262) Hubungan dekat antara teologi dan fikih
bahwa seorang alim harus memiliki adalah pokok dan cabang (usūl wa furū’),
kapasitas seleksi maṣlaḥah dalam skema dimana asumsi dasarnya adalah fikih
‘hirarki prioritas’ (al-ahamm ṡumma al- merupakan cabang dari ilmu kalam. Hal ini
ahamm).(as-Sulamī, 2014, p. 43) Dalam memiliki dua alasan: pertama, aspek
peran ini, penulis sebut “gerak aplikatif”. fundasional fikih berdasar pada premis-
Sebagai spinoff, maqāṣid asy- premis ilmu kalam. Kedua, premis ilmu
syrī’ah membangun konstruksinya sendiri kalam memiliki pengaruh ideologis dan
dalam menonjolkan sisi efek ‘positif’ metodologis dalam premis hukum Islam.
dalam hukum Islam. Demikian, faktor (Fārūq, 2013, p. 73)
eksternal prinsip maqashid ini adalah Sebagaimana dalam diskursus
“kealpaan fikih dari kemanfaatan”, sesuatu filsafat pada umumnya, bahwa penekanan
yang telah dirasakan oleh asy-Syāṭibi, pertama adalah pertanyaan mengenai
begitupun Jasser Auda dengan klaimnya keberadaan dari sesuatu (ontologi). Disini,
bahwa melaksanakan hukum Islam sebagai para fukaha mempertanyakan eksistensi
mana kita terima dari jurisprudensi justru maqṣad dalam syari’at lalu ditarik menuju
akan membuat masyarakat muslim hakikatnya. Perinsip umum selanjutnya
kesulitan di tengah tatanan dunia yang adalah “jika ia ada maka mungkin untuk
sudah sama sekali berbeda. Untuk diketahui”, sehingga setelah menekankan
mengulasnya lebih mendalam, penulis eksistensinya mereka mempertanyakan
sajikan beberapa sub-bab berikut sesuai bagaimana cara mengetahuinya. Sedangkan
bingkai tiga gerak maqāṣid asy-syarī’ah di setelah diketahui maka mempertimbangkan
atas. apa manfaat dari maqṣad ini.(Fārūq, 2013,
p. 42)
Gerak Filosofis Maqāṣid asy-Syarī’ah Pertanyaan populer di kalangan
Peran utama gerak filosofis ini fukaha dalam membahas keterkaitan antara
adalah menyediakan argumen pandangan hukum dan maqṣad adalah eksistensi ‘illat
worldview hukum Islam yang ‘bertujuan’. dalam syari’at. Adapun Asy’ariyyah
Adapun dalam tradisi Islam pengajuan berkeyakinan bahwa hukum syari’at
argumen bertajuk “al-adillah an-naqliyyah termasuk dalam kelaziman perbuatan Allah
al-mu’ayyadah bi al-adillah al-‘aqliyyah”, (jā’iz), oleh karena itu tidak memiliki
yakni argumen teologis yang dikuatkan ‘illat. Sedangkan Mu’tazilah berpendapat
dengan bukti rasional, atau dalam redaksi bahwa perbuatan Allah berasaskan
lain disebut al-adillah wa al-barāhīn. ‘keadilan-Nya’, maka ia memiliki alasan di
(Āfandī, 1932, p. 7) Tradisi berargumentasi baliknya. Sedangkan posisi tengah diajukan
ini berasal dari para mutakallimīn dalam oleh Māturīdiyyah, dimana tindakan Allah
perdebatan persoalan ketuhanan. memiliki sebab dan tujuan yang kembali
Sebagaimana kata J. Schacht dengan kepada kemaslahatan makhluk, yang
memperkuat dalil naqlī surat an-Nisā’: 165 tab’iyyah) dengan syarat tidak
dan al-Anbiyā: 105.2 bertentangan dengan nilai-nilai syari’at,
Sebagai konsekuensi filosofis, yakni maslahah murni atau unggul atas
bahwa jika eksistensi telah diterima maka mafsadah (preponderant).(ar-Raisūnī,
ia mungkin untuk diketahui. Dalam hal ini 2014, p. 148 dan 421)
Ibnu ‘Āsyūr (w.1973) mengajukan tiga
metode dalam mengungkap maqṣad, Gerak Analitik Maqāṣid asy-Syarī’ah
diantaranya: 1) Istiqrā’ syariat baik lewat Sebagai nilai ideal, maqāṣid
‘single ‘illat’ maupun ‘collective ‘illat’, 2) berfungsi sebagai visi masa depan (ma’āl)
dari dalil-dalil jelas, dan 3) hadits yang dapat digambarkan dari penarikan
mutawattir baik secara makna dan/atau kesimpulan pencarian nilai-nilai itu di balik
aktifitas (ma’na/’amalī).(’Āsyūr, 2010, pp. nass. Adapun bentuk dari nilai-nilai
26–30) tersebut adakalnya sebuah makna hakiki
Perbedaan mendasar dari metode dan makna ‘urfī. Yang pertama adalah
mengetahui tujuan hukum dalam ilmu makna universal yang oleh akal sehat
maqashid asy-syri’ah adalah penekanan dinilai sebagai suatu kebenaran, sedangkan
pada kolektifitas ayat-ayat al-Qur’an dalam kedua adalah makna yang dibentuk oleh
menyimpulkan fitur maqashid. Hal ini suatu komunitas, bahwa sesuatu itu
merupakan wujud dari istiqrā’ (induksi) membawa kebaikan untuk manusia.
makna berbagai macam ayat yang memiliki (’Āsyūr, 2010, pp. 83–84)
tema serupa. Berdasarkan kesamaan tujuan Ada beberapa syarat suatu nilai
dan hikmahnya akan ditarik menjadi fitur dapat dijadikan sebagai maqaṣid, di
maqashid. Berbanding dengan usul fikih antaranya: 1) ṡubūt (makna yang diakui), 2)
yang cukup menggunakan satu ayat dalam ẓāhir (dapat diidentifikasi), 3) inḍibāṭ
menetapkan hukum. Hal ini cukup (terukur kriterianya) dan, 4) iṭṭirād (berlaku
dimaklumi sebab istinbāṭ yang notabene umum).(’Āsyūr, 2010, pp. 84–86) Dalam
menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan hal ini dapat dicontohkan dengan
dalam porsi besar tidak bisa mengabaikan “keadilan”, dimana makna ini dapat dilihat
satu lafadzpun untuk dijadikan sebagai ketetapanya dalam an-Nisā: 46 dan 135, al-
sandaran hukum. Mā’idah: 8, 41-42, an-Naḥl: 90 dan 126, al-
Konsekuensi terakhir adalah Ḥujrāt: 9. Wujud keadilan itu dapat
merumuskan kemanfaatan maqaṣid. Terjadi diidentifikasi karena menunjukkan
perdebatan apakan nilai-nilai maqāsid indikator-indikator yang terukur, dan
dapat menjadi faktor determinan dalam berlaku umum karena hampir seluruh
peran pembentukan konstruksi hukum. manusia mengakui bahwa keadilan adalah
Bagi ar-Raisūnī, maqāsid atau maṣlaḥah sebuah kemaslahatan.
dianggap sebagai salah satu ‘sumber Adapun maqṣad dalam konteks
hukum dependen’ (al-maṣādir at- keluasan cakupannya terbagi menjadi tiga.
Pertama: maqṣad ‘āmmah (universal),
2
Dalil-dalil ini sengaja diajukan oleh asy-Syāṭibi yakni mencakup keseluruhan hukum
karena sifat ke-universalan-nya, yakni dengan syarī’ah. Terma ini disebut oleh asy-Syāṭibi
mengajukan klaim bahwa para rasul diutus karena
dengan kuliyyāt al-millah. Kedua, maqṣad
visi tertentu, tentu akan mencakup keseluruhan
ajaran yang disampaikanya juga memuat misi. khāṣṣah (parsial), mencakup terma-terma
Bacaan lebih lanjut: (asy-Syāṭibī, 1997b, pp. 10–11) khusus yang biasnya melampaui batasan-
batasan tabwīb dalam fikih. Ketiga: Status substansial dari maqṣad ini
maqṣad juz’iyyah (partikular), terbatas menyediakan gerak analitik-kritik dalam
cakupanya dalam makna yang tersimpan melihat wasā’il dalam segi potensinya
dalam nilai-nilai tujuan “hukum sebagai mengantarkan menuju maqṣad. Dengan
predikat”.(ar-Raisūnī, 2010, pp. 13–16) menempatkan maqṣad sebagai fungsi gerak
Sedangkan fitur-fitur maqsāṣid kritis ia dapat bergerak ke dua arah, yakni
dibagi dalam tiga kualitas hirariki. arah interal dan eksternal. Adapun gerak
Pertama: ḍarūrī, apabila menyangkut internal adalah melihat hubungan antara
kehidupan dasar dalam menunjang maqaṣid ‘kuliyyah (‘āmmah), khāṣṣah dan
kehidupan dunia dan akhirat. Kedua, ḥāji juz’iyyah dalam bersama-sama
jika menyangkut hal-hal yang non-primer mengantarkan menuju kondisi ideal yang
namun menunjang kemudahan hidup.(asy- diharapkan oleh syari’at. Dalam hal ini,
Syāṭibī, 1997a, pp. 18–19) Terakhir, kendali dipegang oleh maksud universal,
taḥsīnī jika menyangkut hal-hal tersier yang bertugas menganalisis dan
untuk menunjang kualitas hidup dan mengkritisi maqsad parsial dan partikular
estetika. Penulis sengaja merombak posisi agar tidak terjadi kontradiksi internal dalam
fitur-fitur tersebut. Adapun darūriyyāt hirarki maqāsid.(an-Najār, 2008, p. 43)
khamsah biasanya masuk dalam klasifikasi Sedangkan gerak eksternal adalah
pertama. Namun fitur-fitur itu penulis peranya masing-masing dari ketiganya
diletakkan di luar. Artinya ketiga hirarki ini dalam menilai konstruksi hukum dalam
merupakan ‘kualitas’ fitur, bukan fitur di segi potensinya menggapai kemaslahatan
dalam kualitas hirarki. Hal ini dilakukan di dalam setiap tingkatan. Dengan begitu,
untuk menyederhanakan maqāṣid klasik fungsi maqaṣid yang dimaksud asy-Syāṭibi
yakni tambahan tatimmah dan takmilah. berada dalam gerak eksternal ini, sebab ia
Dalam rangka memenuhi kriteria menganulir konstruksi hukum, bukan
gerak analitik, petama yang perlu menganulir maqṣad lain yang cakupanya
ditekankan adalah sifat substantif- lebih rendah.
aksidental (jauhariyyah-a’rāḍiyyah) dari
maqāṣid dan konstruksi hukum. Dalam Gerak Aplikatif Maqashid asy-Syari’ah
kajian ini, sebagaimana diketahui, bahwa Pembahasan ini akan lebih condong
substansi dari hukum adalah maqṣad-nya, mengenai prinsip gerak fikih yang telah
sedangkan aksiden darinya adalah macam- disinggung sebelumnya. Disebutkan bahwa
macam wās’il-nya, dimana ar-Raisūni gerak aplikatif fikih memiliki dua macam,
menyebutnya dengan ‘taṭbīq ‘araḍī’.(ar- yakni ‘Azimah dan rukhshah, dimana
Raisūnī, 2014, p. 442) Hal ini senada bangunan konsepnya berasal dari usul
dengan asy-Syāṭibī bahwa ma’āl dapat fikih, namun identifikasi aplikatifnya
menganulir konstruksi hukum jika ditemui dibantu oleh legal maxim (qawā’id
perubahan kontekstual. Misal suatu fiqhiyyah). Pembahasan ini penting sebab
konstruksi hukum yang diterapkan dalam perbedaan kondisi sosial-masyarakat, baik
nass, pada masa turunya membuahkan dalam dimensi waktu dan tempat, menuntut
maslahat, namun pada perkembanganya pola penerapan yang berbeda pula.
justru membuahkan mafsadah, maka Konsekuensinya, dalam rangka mencapai
konstruksi itu hilang ‘status masyrū’iyyah- maqāṣid dituntut suatu metode yang
nya’.(asy-Syāṭibī, 1997a, pp. 177–178) memungkinkan seorang mifti atau fakih
Sedang bagi yang kedua, merubah hukum. Kedua, Hubungan penemuan hukum dan
(ar-Rāzī, 1992, p. 121) kemanfaatan hukum. Ketiga, pemilihan dan
Sebagaimana kita ketahui, bahwa aplikasi hukum.
legal maxim merupakan metode terakhir
sebelum suatu konstruksi hukum Hubungan Immutabilitas-Fleksibiilitas
diterapkan di masyarakat. Adakalanya Konteks aplikatif antara usul fikih
seroang fakih berlaku sebagai hakim (qāḍī) dan fikih memiliki perbedaan yang
atau mufti. Bagi seorang mufti, cakupan diametral. Adalah sebuah rahasia umum
hukum hanya mengikat mustaftī, sehingga bahwa kaidah-kaidah usul fikih
menjadi keharusan baginya untuk membuahkan kepastian hukum, sebab ia
memahami situasi dan kondisi peminta hanya meyediakan hukum dalam arti
fatwa, agar hukum yang difatwakanya predikat. Di lain pihak, legal maxim
membawa kemaslahatan. Seperti itu pula menyediakan proses aplikatif terhadap
bagi seorang hakim, dimana cakupan konstruksi hukum. Dalam arti lain, satu
hukumnya mengikat seluruh wilāyat al- konstruksi hukum memiliki dua sisi
ḥukm-nya, untuk mengetahui kondisi berlawanan, yakni “immutability” dan
sosial-masyarakat.(al-Ajfān, 1984, pp. 68– “flexibility” atau dalam bahasa Ahmad ar-
69) Raisūnī disebut aṡ-ṡābit wa al-marūnah.
(ar-Raisūnī, 2014, p. 409)
Membangun Relasi Resiprokal Uṣūl al- Hal ini memunculkan pertanyaan
Fiqh dan Maqāṣid asy-Syarī’ah terkait status hukum Islam itu sendiri,
Sebagai wujud dari upaya apakah ia termasuk sebuah hukum mistik
‘harmonisasi’ prinsip gerak di atas, dalam atau profan. Al-Ghazāli mengindikasikan
bab ini penulis mencoba menyusunnya bahwa ia termasuk ma’qūlat dimana dalam
menjadi sistem metodologi hukum Islam premis-premis penyusun konstruksi
yang terpadu. Berdasarkan diskusi tentang hukumnya dapat berdasar kepada hal-hal
perinsip gerak usul fikih, maqasid asy- ẓanniyah. Selain itu, kemaslahatan ilmu
syarī’ah dan fikih memiliki peran sentral fikih hanya sebatas dunyawiyyah. Hal
masing-masing. Peran sentral ini adalah menarik ketika al-Ghazālī dihadapkan
karakteristik, tujuan, dan fungsi dari dengan kenyataan bahwa sumbernya
pergerakan itu. Adapun pergerakan usul adalah wahyu (usul). Menanggapi ini ia
fikih adalah menemukan hukum (law berargumen bahwa antara sumber dan fikih
finding) dari suatu nass maupun kasus itu sesuatu yang berbeda. Adapun fikih
hukum. Di samping itu maqaṣid syarī’ah hanya sekedar hasil pemahaman manusia
menyediakan pandangan dunia, fungsi tentang wahyu dan hanya menyediakan
analitik kritis secara internal dan eksternal. dimensi zahiri dalam suatu aturan.(Fārūq,
Sedangkan fikih dengan bantuan legal 2013, pp. 61–62) Demikian, yang tidak
maxim berada pada tataran aplikatif terkait berubah adalah nilai-nilai wahyu, sedang
bagaimana menerapkan konstrksi hukum yang berubah adalah konstruksi hasil
dalam skala individu dan komunitas. pemahaman wahyu. Berseberangan dengan
Penyusunan resiprokalitas dalam itu, asy-Syaukānī mengungkapkan bahwa
konteks ini akan penulis lakukan dengan fikih adalah entitas mistik, dengan dasar
beberapa tahap: pertama, menyambungkan bahwa diambil dari premis-premis
sisi berubah dan tidaknya hukum Islam.