You are on page 1of 19

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr p-ISSN: 2354-9688

Vol. …, No. … e-ISSN: 2548-5393


http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/raushanfik
Jurnal Ilmiah Mahasiswa r
Raushan Fikr

PRINSIP GERAK IJTIHADI UṢŪL FIQH DAN MAQĀṢID ASY-SYARĪ’AH

ABSTRACT
The principles of Islamic law and its objectives in use as methods of legal finding and verification have
caused overlaps and even self-contradiction. As such, we need to understand those two in terms of
moving principles in order to make a proper system of Islamic law theory. This paper aims to study
those moving principles to build a reciprocal relationship in between. The research uses qualitative-
documentative approaches to data being collected from books and journal articles. This study leads to
the conclusion that, in general, each has those own moving principles at the philosophical, analytical,
and applicative levels. The principles of Islamic law move around, enclosing the meaning of the
Islamic text, whereas maqāsid asy-syarī’ah evaluates the law’s utilities by its analytical and critical
motions. All of the motions are based on philosophical maqāsid asy-syarī’ah’s motion, which are
taken into account for promoting mundane and hereafter prosperities. Manifasted as ideal values,
maqāsid asy-syarī’ah serves as future orientations, evaluating existing legal matters and adjusting
laws to the possibility of prosperities achievement in various locus and times. The maqāṣidic values
can take in form of genuine of communal meanings.

Keywords: fiqh, Islamic law, maqasid, philosophy, purposes

ABSTRAK
Penggunaan uṣūl fiqh dan maqāṣid asy-syarī’ah sebagai metode penemuan dan verifikasi hukum kerap
kali menyebabkannya tumpang tindih dan bahkan self-contradiction. Oleh sebab itu, perlu kiranya
memahami prinsip gerak keduanya, kemudian mengoperasikannya pada bagiannya masing-masing.
Makalah ini bertujuan untuk menelaah prinsip gerak masing-masing dan membangun relasi resiprokal
keluanya. Riset ini berjenis kualitatif-dokumentatif dengan data yang terkumpul dari buku-buku dan
jurnal. Penelitian ini berkesimpulan bahwa secara umum, masing-masing memiliki prinsip gerak
ijtihadi berupa filosofis, analitik, dan aplikatif. Prinsip uṣūl fiqh hanya sekedar mengungkapkan
makna naṣṣ menjadi konstruksi hukum, sedangkan dalam segi utilitasnya dinilai dengan maqāṣid
dengan gerakan analitik-kritisnya. Semuanya itu dilatarbelakangi oleh sinaran maqāṣid asy-syarī’ah
dalam gerak filosofis, yakni membangun sistem fikih yang bertujuan menciptakan kemaslahatan dunia
dan akhirat. Sebagai nilai ideal, maqāṣid berfungsi sebagai visi masa depan (ma’āl) untuk
mengevaluasi hukum-hukum yang telah ada, lalu disesuaikan dengan kemungkinan pencapaian
maslahat di suatu ruang dan waktu hukum itu diaplikasikan. Adapun bentuk dari nilai-nilai tersebut
adakalnya sebuah makna hakiki dan makna ‘urfī.

Kata Kunci: fikih, filsafat, hukum Islam, obyektif, tujuan

1
Name

PENDAHULUAN Konsepsi di atas menjadi


Dinamika perkembangan masqāṣid perenungan asy-Syāṭibī yang menilai
asy-syarī’ah dimulai semenjak awal bahwa penemuan hukum semacam itu tidak
kemunculanya pada abad 5-8 H (11-14 memiliki tujuan, sebab hanya menelisik
M)., rentang waktu di mana diskursus dalil tertentu tanpa ada kesatuan sistemik
filsafat hukum Islam menjadi tren di dalam mencapai kondisi ideal dari hukum.
kalangan para ahli usūl al-fiqh. Pada kurun Hal ini terlihat dari perenungannya dalam
ini terjadi momentum penting dalam kasus murā’ah al-khilāf, di mana
diskursus metodologi hukum, yakni menurutnya merupakan suatu cerminan
munculnya maqāsid asy-syarī’ah sebagai hukum Islam tidak memiliki ruh.(Masud,
elemen yang berdiri sendiri. Peristiwa itu 1973, p. 178) Dalam arti lain, hukum hanya
terjadi ketika asy-Syāṭibī (w.1388 M) perlu dilaksanakan, tidak memandang
menuangkan gagasan hukumnya dalam untuk apa hukum itu diberlakukan. Dalam
karya yang berjudul al-Muwaffaqāt fī Uṣūl rangka memecah ketidakbertujuan-nya
asy-Syarī’ah.(Auda, 2012, p. 51) Namun produk hukum usul fikih (yang
dalam rentang waktu sekitar lima abad, menyebabkan khilaf), dia ingin
maqashid ini tak kunjung mendapatkan mendasarkannya kepada misi pokok
penerimaan secara terbuka oleh para syarī’at diturunkan, dengan konsepsi
fukaha. Kemungkinan, faktor utamanya bahwa asas kemanfaatan merupakan fitur
adalah karya as-Syāṭibī tersebut belum inti (core feature) dari konstruksi hukum.
tersebar secara luas hingga abad 19. (Auda, 2012, pp. 57–58)
(Nassery et al., 2018, p. 226) Konsepsi maqāṣid al-Ghazāli
Pada era pra-Syāṭibī, diskursus (w.1111), al-Juwainī (w.1085) maupun
maqāṣid menjadi bagian dari uṣūl al-fiqh, asy-Syāṭibī (w.1388) memiliki pengaruh
tepatnya pada sub-bab masālik al-‘illat cukup signifikan dalam alur perkembangan
(rationes legis). Al-Ghazāli (w.1111) metodologi hukum. Aliran mutakallimīn
dalam al-Mustaṣfā menyebutnya al- yang diasosiasikan sebagai asy-Syāfi’iyyah
munāsabah, suatu metode penemuan masih mempertahan pakem maqāṣid
hukum yang dikembangkan dari konsepsi sebagai bagian tak terpisahkan dari uṣūl al-
maṣlaḥah gubahan gurunya, al-Juwaini fiqh, atau maqashid klasik. Di sisi lain,
(w.1085).(Auda, 2012, pp. 53–54) Metode yang tampak dalam corak pemikiran
penemuan rationes legis dari kedua hukum Islam kontemporer, adalah
pemikir klasik hukum Islam tersebut, berdirinya maqāṣid sebagai elemen terpisah
seperti yang kita pahami, merupakan dari uṣūl al-fiqh.(Auda, 2012, p. 59)
pemaknaan terhadap naṣṣ dengan Kecenderungan ini dipelopori oleh Ibnu
menelusuri sifat-sifat yang mendasari Asyur.(Nassery et al., 2018, p. 228)
diberlakukannya suatu hukum. Tentu Hal ini menyebabkan damarkasi
dalam tataran ini makna zahir menjadi baru dalam “fikih maqashid”. Yusuf
tolok ukur validitas nilai fitur-fitur Qardhawi mendefinisikan fikih maqashid
maṣlaḥah, mengingat pokok dari penemuan sebagai pemikiran dalam hubungan dalil
hukum adalah coraknya yang tekstual. pertikular versus tujuan hakikatnya. Para
Dalam kata lain, maqāṣid asy-syarī’ah fukaha dalam konteks ini terbagi menjadi
tidak lain merupakan legitimasi aspek- tiga kelompok. Pertama, kelompok literal-
aspek alasan hukum menjadi tujuan. tektualis yang memegang penuh dalil

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr Vol. …, No. … pg. 2


Name

partikular. Kedua, kelompok ‘mu’aṭilah’, penulis untuk mencoba menelisik dan


yakni mereka yang menerima secara penuh ‘mengharomoniskan’ keduanya dalam satu
maqasid dan mendistorsi dalil-dalil tatanan gerak sistemik dengan membagi
partikular. Ketiga, kelompok moderat peran masing-masing dalam satu tujuan,
(mutawassiṭ) yang mengadopsi keduanya yakni ‘konstruksi hukum Islam’. Demi
dalam memproduksi hukum.(Qaraḍ āwī, memenuhi upaya ini, penulis
2007, pp. 39–40) mempertanyakan focus pada detail peran
Perbedaan ketiga kelompok di atas masing-masing, dan dari sana membangun
disebabkan oleh ragam pandangan filosofis kesatuan gerak ber-iringan dengan peran
tentang hubungan antar elemen nature of yang berbeda dalam memproduksi hukum
Islamic law (manusia, metode dan hukum). Islam.
Asumsi filosofis ini, menurut Batul Faruq, Beberapa pemikir hukum Islam
menentukan bentuk metode penggalian pernah mengkaji diskursus ini. Di
hukum, baik dalam kalangan yang antaranya adalah Abdullah b. Bayah
memiliki kecenderungan lebih terhadap dengan karyanya yang berjudul ‘Alāqah
maqashid(Fārūq, 2013, p. 260) maupun Maqāṣid asy-Syarī’ah bi Uṣūl al-Fiqh.
usul fikih.(Fārūq, 2013, p. 228) Jadi, dapat Dalam buku ini termuat diskusi mengenai
dipetakan ketegangan antara kelompok persinggungan anatar status keumuman
maqashid klasik dan kontemporer adalah maqashid yang mengalahkan ‘otoritas’ ke-
permasalahan metodologis dan, lebih jauh khāṣṣ-an dalil spesifik. Dengan begitu
lagi, dapat dikatakan hingga level terjadi tumpang tindih antara peluang
epistemologis dalam konteks yang lebih mentakhsis maqashid. Demi melerai
fundamental. kontradiksi ini, Bin Bayah menawarkan
Kedua metode ini jika dipaksa jalan tengah bahwa khass dan ‘amm harus
berkonvergensi justru akan mendatangkan ditempatkan pada posisi semestinya.
tumpang tindih metodologi, sebagaimana Kesimpulan ini terinspirasi dari asy-Syāṭibi
yang tampak dalam metode maqashid di yang mewanti-wanti para fuqahā untuk
rentang abad-19 yang, menurut Cefli tidak terjebak dalam tanāsukh antar
Ademi, tidak lebih dari sekedar sikap keduanya, yakni mengabaikan keumuman
apologetik terhadap kemajuan Barat waktu (maqashid) karena mengamalkan
itu selama okupasi. Pada rentang ini, teori- kekhususan (single dalil), begitupun
teori maqashid klasik dikutip sedemikian sebaliknya.(Bayah, 2006)
rupa, dan di saat yang sama pula mereka Salanjutnya adalah Ali Mustakin
menyerang produk fikih hasil dari metode dalam tulisannya pada publikasi Jurnal
yang mereka kutip itu.(Nassery et al., 2018, Kanun. Dia berkesimpulan bahwa maqāṣid
p. 227) Sehingga jika dilihat lebih jauh asy-syarīah merupakan inti dari hukum
bagi seseorang yang menyadari kontradiksi yang mengimpikan terciptanya tatanan
ini pada akhirnya tetap ‘dipaksa’ memilih dunia yang maslahat. Nilai-nilai maslahat
untuk mendasarkan hukum pada usul fikih, itu harus bersumber dalam al-Qur’an
maupun maqashid syari’ah. maupun Sunnah. Adapun cara penemuanya
Berdasarkan beberapa dinamika di dengan dua metode, yakni: ta’līl yang
atas, perlu kiranya upaya kreatif untuk tercakup di dalamnya qiyas dan istiḥsān,
mengurai ‘gerak ijtihadi’ kedua metode kemudian istiṣlāḥ yang meliputi maṣlaḥah
tersebut. Problem ini menarik perhatian mursalah dan żarī’ah.(Mutakin, 2017)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr Vol. …, No. … pg. 3


Name

Dalam karya ini tidak sekalipun ia qawaid fiqhiyyah yang berujung pada
menyentuh perinsip gerak metodik pernyataan hukum atas suatu kasus.(Helim,
keduanya, namun justru mengikutsertakan 2019) Karya ini, meskipun memiliki
maqashid dalam uṣūl al-fiqh. Sehingga kesamaan tujuan, namun berbeda dalam
yang terjadi adalah hanya membahas satu pendekatan dan metodologi dengan
aspek, yakni penggalian maqaṣīd dengan penulis.
isṭinbāṭ.
Karya selanjutnya adalah tulisan METODE
Fatimah Halim dalam Jurnah Hunafa. Ia Metode yang digunakan dalam
berkesimpulan bahwa kemaslahatan hidup makalah ini adalah kualitatif sebagai
manusia merupakan tujuan diturunkannya pendekatan, dokumentatif sebagai strategi
wahyu. Sedangkan dalam rangka pengumpulan data, dan analisis konten
menemukan maqaṣīd dapat dilakukan sebagai pisau bedahnya. Adapun data
dengan ijtihād kontekstual menggunakan primer yang digunakan adalah buku-buku
perantara asbāb an-nuzūl, qiyās, dan dan catatan yang memuat materi usul fikih
żari’ah.(Halim, 2010) Ia berusaha dan masqashid asy-syari’ah baik dari
mengelaborasi antara maqasid dan metode kalangan klasik maupun kontemporer.
ijtihad ushul fikih. Perbedaanya dengan Lalu, untuk sumber sekunder meliputi
tulisan penulis ini adalah coraknya yang catatan-catatan lain yang berisi informasi
menekankan pada sistematisasi kedua mengenai hubungan antara keduanya.
metode dengan mensistematisasi peran Sedangkan kerangka paradigmatik yang
masing-masing. berperan menyusun arah penelitian adalah
Karya yang mencoba memberikan filosofis, khususnya epistemologi dalam
porsi imbang adalah tulisan Abdul Helim kedua konteksnya, yakni context of
dengan judul Maqāṣid al-Syarī’ah versus discovery dan context of justification.
Uṣūl al-Fiqh. Ia melihat bahwa maqāṣid (Gunstone, 2015, p. 229) Hal ini tentu
belum memiliki posisi yang jelas dalam mempertimbangkan ‘hasrat’ penulis yang
usul fikih, baik dalam peran penggalian hanya bisa tercapai dengan meminjam
maupun analisis hukum. Meskipun gagasan fungsi kritis-konstruktif dari filsafat untuk
maqāṣid asy-syari’ah telah ada sejak memfokuskan data, membingkai
berabad-abad lalu, namun kenyataanya ia pembahasan, kontrol subyektifitas, dan
hanya sebagai “figuran” dalam produksi penekanan analisis data.(Given, 2008, p.
hukum, ushul fikih masih tetap menjadi 872)
“aktor utama”. Helim berusaha
menempatkan keduanya dalam posisi HASIL DAN DISKUSI
seimbang. Ia berkesimpulan bahwa tujuan Prinsip Gerak Ijtihadi dalam Nature
itu dapat terwujud menggunakan berbagai Hukum Islam
macam analisis dalam mencari maslahah. Nature merupakan eskosistem yang
Analisis tersebut dimulai dari metode qauli, menghubungkan beberapa elemen yang
induktif, penggalian illat, pembuatan saling berkaitan. Dalam beberapa sumber
kaidah-kaidah usul fikih bersinergi, yang menerangkan tentang nature of
perluasan ushulul khomsah, dan kajian Islamic Law, tidak ditemui definisi pasti
metode maknawiyah, menentukan prioritas dari kata “kealamiahan” itu. Namun dalam
maslahah dan diakhiri dengan kajian beberapa pembahasan, nature dari sesuatu

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr Vol. …, No. … pg. 4


Name

adalah hubungan tak terpisahkan antar mempelajari pergerakan fitur-fitur yang


elemen yang membentuk gerak sistemik, saling terkoneksi di bawah dorongan
bertautan dan saling terkait. Seperti natur eksternal. Setiap bagian ini memiliki gerak
manusia adalah dirinya, tumbuh-tumbuhan tersendiri yang secara sistemik menuju satu
dan hewan-hewan yang dimakan, arah. Gerak di sini berarti perubahan dari
lingkungan sekitar dan pendidikan yang posisi satu ke posisi lain yang memiliki
membuatnya berkembang. Tentu saja efek bagi perangkat lain yang terkait itu
tendensi ini akan melibatkan seluruh (“Rigid Body Dynamics,” 2020). Misalkan
elemen yang terkait, sehingga sejumlah kita membayangkan sebuah sepeda motor,
kesuluruhan eksistensi akan menjadi terkait komponen-komponen saling terkait,
dengannya baik secara langsung maupun bergerak menurut polanya sendiri menuju
tidak. Oleh karena itu diperlukan satu tujuan yakni memutar roda belakang.
pembatasan kontekstual dan konseptual Demikian, kata “prinsip gerak” dalam
dalam melibatkan elemen-elemen yang makalah ini memiliki makna yang lebih
dirasa penting dalam relasi sistemik itu. luas dibanding prosedur tata kerja, yaitu
Dalam konteks hukum Islam, mencakup hubungan interrelatif antara
penulis hanya melibatkan tiga komponen pengoprasian teori dan elemen di luarnya.
yang menjadi ekosistem. Ketiga ekosistem Mengaplikasikan konsep ini dalam
tersebut dapat dikelompokkan ke dalam nature hukum Islam berimplikasi bahwa
dua fungsi, yakni fungsi metode penemuan masing-masing ketiga fitur di atas memiliki
hukum yang terdiri dari (1) uṣūl fiqh dan gerak sendiri, dimana pemicu pergerakanya
(2) maqāṣid syarī’ah. Sedang elemen ketiga adalah dorongan eksternal (khārijiyyah).
adalah fikih, yang menjadi produk hukum Dorongan eksternal dalam konteks ini
dari motode sebelunya: Fitur-fitur ini merupakan kondisi sosial yang menuntut
penulis hasilkan dari beberapa pembacaan pergerakan dari ketiga fitur di atas. Dalam
karya-karya terkait hukum Islam, seperti hal ini prinsip gerak adalah ketentuan-
Shaṭibī’s Philosophy of Islamic Law, ketentuan situasi kapan penggunaan
Disertasi Muhammad Khalid Masud, metodologi hukum dilakukan, sedangkan
(Masud, 1973, p. 43) Contemporary geraknya adalah pengaplikasian
Anthropology of Religion yang dieditori metodologi hukum itu sendiri. Dengan
oleh Timothy P. Daniels,(Daniels, 2017) begitu ‘prinsip gerak ijtihadi’ adalah
dan Falsafah al-Fiqh karya Batūl Fārūq. aturan-aturan penggunaan fitur-fitur itu
(Fārūq, 2013) Konsep-konsep itu kemudian dilakukan, menurut pola dan fungsi ijtihad-
penulis saring dengan hanya melibatkan nya masing-masing, yang disebabkan oleh
komponen yang memiliki peran metodik. kondisi/konteks sosial.
Kata “prinsip gerak” dalam hukum Uṣūl al-Fiqh sebagai fitur pertama
Islam pernah digunakan oleh Damanhuri memiliki dua prinsip gerak, yakni gerak
dengan nuansa prosedur atau tatakerja istinbāṭ dan gerak istidlāl. Yang pertama
Ijtihad (Damanhuri, 2016, p. 22). Apa yang adalah penemuan hukum dengan menggali
maksud dengan ‘prinsip gerak’ dalam di dari sumbernya secara langsung.
tulisan ini mengambil perspetif yang Sedangkan kedua adalah berangkat dari
berbeda. Penulis terinspirasi dari salah satu peristiwa kasuistik (ṭāri’). Adapun faktor
studi fisika, yakni rigid-body dynamics. pendorong eksternalnya adalah ketika
Sub ini merupakan cabang kinematik yang

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr Vol. …, No. … pg. 5


Name

ditemui kasus yang sama sekali baru dan dijadikan manhaj dalam menciptakan
kosongnya dari status hukum. kondisi ideal di masyarakat. Hal ini sepakat
Fitur selanjutnya adalah fikih, yang dengan pendekatan sistem Jasser Auda
merupakan buah dari ushul fiqh, memiliki yang menegaskan bahwa hukum Islam
dua prinsip, yakni gerak ‘azīmah dan memiliki karakter ‘bertujuan’ (ing:
rukhṣah. Prinsip gerak ‘azīmah merupakan purposefulness, ar: ghā’iyyah).(Auda,
implementasi hukum seperti ‘hukum 2012, p. 105)
asalnya’.(’Uṡmān, 2002, p. 208) Sementara
kedua adalah memberlakukan dispensasi Prinsip Gerak Ijtihādī Uṣūl al-Fiqh
hukum, karena adanya suatu perihal Seperti diulas secara singkat pada
eksternal (‘āriḍ). Adapun faktor tersebut sub-bab sebelumnya bahwa faktor
yakni kesulitan, darurat dan kondisi- penggerak eksternal dari usul fikih adalah
kondisi genting di masyarakat.(’Uṡmān, at-ṭāri’ (kasus baru). Hal ini merupakan
2002, p. 170) Dimana ketika dipaksakan konsekuensi dari cakupan universal hukum
memberlakukan hukum asal justru akan Islam, dimana tidak boleh terjadi
menjadikan kesulitan semakin parah, dan kekosongan hukum atas suatu kasus.(asy-
bahkan mengancam nyawanya. Dengan Syuwaylī, 2018, p. 113) Bahkan, kasus
begitu, pendorong eksternal dalam hal ini yang tidak memiliki tendensi halal-haram,
adalah ‘ada atau tidak’-nya situasi genting makruh-sunnah tetap diberi label ‘mubah’.
itu. Untuk mengaplikasikan kedua gerak Sesuai dengan definisinya, fikih adalah
tersebut dibutuhkan ilmu yang disebut al- pembahasan terkait tindakan mukallaf.
qawā’id al-fiqhiyyah (Islamic legal Implikasi dari asumsi ini adalah
maxim). lazimnya kontinuitas gerak pencarian
Terakhir, prinsip gerak dari hukum. Bentuk dari pergerakan penemuan
maqāṣid asy-syarī’ah adalah filosofis, hukum adalah mengaplikasikan metode-
teoritis dan aplikatif. Yang pertama adalah metode usḥul fikh dengan mengaitkan
penggunaan maqashid dalam level filsafat nilai-nilai dari sumber hukum dengan
hukum. Kedua adalah penggunaanya peristiwa kasuistik. Demikian, gerakan
sebagai acuan memahami suatu kasus penemuan hukum memiliki dua pola, satu
dengan kerangka konseptual dan pola bergerak menuju sumber hukum untuk
operasional yang memandu jalanya menemukan nilai-nilai, sedang kedua
analisis. Sedangkan yang ketiga adalah adalah gerak menuju kasus untuk
perannya sebagai pengukur dari memahami hakikat dari peristiwa hukum
implementasi hukum yang langsung itu. Yang pertama disebut istinbāṭ dan
bersinggungan dengan masyarakat. Faktor kedua disebut istidlāl.
pendorong eksternal di sini adalah ada atau Istinbāṭ dalam akar etimologisnya
tidaknya kemanfaatan dari produk hukum mendeskripsikan aktifitas pengambilan air
bagi masyarakat. dari dalam tanah. Setelahnya, kata ini
Beberapa perinsip gerak tersebut, menjadi istilah tekhnis berupa upaya
saling terkait dalam menuju satu tujuan pengambilan makna dari sumber hukum
final, yakni menciptakan hukum yang dengan penuh kehati-hatian, mengandalkan
berdedikasi bagi kemanfaatan baik di dunia kekuatan isyarāh dan pikiran.(’Uṡmān,
maupun akhirat. Dalam kata lain hukum 2002, p. 52) Dalam hal ini, seorang
merupakan persembahan dari Allah untuk mujtahid dengan sengaja memunculkan

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr Vol. …, No. … pg. 6


Name

hukum dari kandungan nash, artinya tentang istilah ini bermacam-macam,


hukum itu sudah berada di dalamnya dan menurut al-Āmidī (w.1233), merupakan
dapat dideteksi dengan kaidah-kaidah usul suatu jenis dalil yang bukan termasuk nass,
fikih. ijma’ maupun qiyas.(al-Āmidī, 2003, p.
Adapun metodologi yang 145) Sedangkan menurut al-Juwainī,
digunakan dalam gerak ini adalah kaidah- istidlal adalah pencarian makna yang
kaidah analisis bahasa (alfāẓ) dalam uṣūl menurut akal dirasa bersesuaian dengan
al-fiqh. Sebagaimana kita ketahui bahwa hukum, tanpa ada sandaran sumber hukum
terdapat dua aliran dalam uṣūl fikih, yakni yang disepakati.(al-Juwainī, 1399, p. 1113)
aliran mutakallimin dan Hanafiyyin. Demikian, gerak ini adalah upaya terakhir
Kelompok pertama mewakili Syāfi’iyyah, mencari klaim legitimasi hukum.
Malikiah dan Hanabilah dengan corak khas Menurut al-Ījī, istidlāl
dalam kerangka teorinya, yakni membagi memfokuskan pada pencarian sebab, māni’
dalālah menjadi manṭūq dan mafhūm.(az- dan syarat. Adapun metode yang
Zuḥ ailị, 1986, pp. 360–361) digunakan adalah talāzum bayna ḥukmayni
Berbeda dengan mutakallimin, min ghayri ta’yīn al-‘illah, istiṣhāb dan,
Hanafiah memiliki kerangka teori syar’u man qablanā. Ketiga ini disepakati
tersendiri dalam menganali kode-kode oleh ulama, sedangkan golongan Hanafiah
hukum dari nass. Adapun dalam kelompok memasukkan istiḥsān, lalu maṣlīḥ
ini dikenal beberapa rumpun pembagian, mursalah oleh Malikiah.(al-Ījī, 2004, pp.
diantaranya: (1) rumpun peletakan makna 502–504)
(waḍ’ al-ma’nā). (2) penggunaan lafadz Demikian dua gerak ini, sekali lagi,
menunjuk makna (i’tibār isti’māl al-lafẓ fi merupakan respon atas faktor eksternal,
al-ma’nā). (3) sisi kejelasan dan tidaknya yakni kekosongan suatu kasus dari status
lafadz menunjuk makna (dalālah al-lafẓ hukum. Adapun sebab dari kekososongan
‘alā al-ma’na bi ḥasbi ẓuhurih wa ini adalah “syubuhạt”. Istilah ini sengaja
khafā’ih). (4) karakter penunjukan dan penulis pinjam dari asy-Syuwaylī untuk
pemahaman lafadz mengungkapkan makna mendeskripsikan kondisi ‘kesamaran’ [pen:
(kayfiyah dalālah al-lafẓ ‘alā al-ma’nā wa iltibās] yang ditemui, sehingga nilai-nilai
ṭuruq fahm al-murā̄d).(az-Zuḥ ailị, 1986, p. dari nass tidak bisa diangkat, atau dalam
202) Akan tetapi yang memiliki implikasi satu sisi hakikat dari suatu kasus tidak
terhadap hukum secara langsung adalah dipahami. Syubuhat ini terdiri dari tiga
yang terakhir dengan membaginya lagi macam, di antaranya: (1) syubuhat
menjadi, ‘ibārah an-nass, dalālah an-nass, ḥukmiyyah, yakni faktor kealpaan dalil
isyārah an-nass dan iqtiḍā’ an-nass.(az- spesifik atau dalil yang masih mauqūf, (2)
Zuḥ ailị, 1986, p. 348) syubuhat mafhūmiyyah, yang disebabkan
Dalam beberapa situasi, terjadi kealpaan pemahaman, (3) syubuhat
dimana kasus benar-benar tidak tercantum maṣdāqiyyah, kealpaan dari subyek
dalam dalil spesifik sumber hukum, aplikatif hukum.(asy-Syuwaylī, 2018, pp.
sehingga menyebabkan gerak istinbāṭ tidak 113–114)
mungkin dilakukan. Permasalahan ini harus
disikapi dengan gerak berbeda, yakni Maqāṣid asy-Syarī’ah sebagai Spin off
menuju kepada kasus secara langsung. Hal Prinsip Gerak Ijtihadi Usul Fikih
ini merupakan gerakan istidlāl. definisi

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr Vol. …, No. … pg. 7


Name

Pada bab ini penulis berasumsi dapat menarik perinsip ini menjadi core
bahwa awalnya maqāṣid asy-syari’ah values, dari semua ketetapan hukum, dan
menjadi bagian dari gerak uṣūl al-fiqh, kemanfaatan-kemanfaatan lain dalam
namun pada giliranya ia terlepas, lalu setiap ‘bentuk hukum’. Dalam tataran ini,
memiliki prinsip gerak sendiri. Istilah core values dapat dijadikan konstruksi
spinoff sengaja penulis pilih dengan paradigmatik yang membentuk ‘worldview
mengacu kepada istilah media, yakni hukum Islam’ bahwa “fikih memiliki
‘cerita’ yang terlepas dari suatu narasi tujuan menciptakan kemaslahatan’.1 Dalam
induk, sehingga ia memiliki plot tersendiri. konteks ini, maqashid memiliki ‘gerak
(Spin-Off | Meaning in the Cambridge filosofis’ karena berfungsi secara
English Dictionary, n.d.) konstruktif terhadap worldview fikih.
Secara ‘genealogis’, maqāṣid asy- Oleh karena hukum Islam
syarī’ah menginduk pada perinsip gerak mengarah terhadap kemaslahatan, maka
istidlal dalam ushul fiqh. Tentu saja bagian semua metode yang ada dalam hukum
paling berpengaruh adalah istiṣlāḥ, istiḥsān Islam haruslah memiliki potensi
dan munāsabah dimana pada bagian ini, membuahkan kemanfaatan. Dengan kata
illat ditelusuri dan diproyeksikan sebagai lain, ia dapat digunakan sebagai standar
tujuan akhir dari suatu hukum. Akan tetapi nilai ideal dari hukum Islam. Maksud dari
selanjutnya ia mengalami momentum nilai ideal adalah “bagaimana seharusnya
dimana mendapatkan sandaran filosofisnya hukum Islam”. Menilai idealitas
lalu bergerak mengkritisi fikih dan usul ‘konstruksi hukum Islam’ adalah dengan
fikih. Momen ini adalah ketika asy-Syāṭibi mempertimbangkan bagaimana hasil akhir
ingin memberikan ruh kepada fikih agar suatu hukum jika diterapkan.(asy-Syāṭibī,
memiliki arah yang jelas, yakni berasaskan 1997a, pp. 177–178) Sehingga dapat
maslahah, dan memberikan maslahah. dikatakan hukum Islam tanpa menyertakan
Pemberian ruh ini diwujudkan nilai ini tidak mencerminkan kehendak
dalam garis-garis yang disusun olehnya Syāri’ yang sesungguhnya. Dalam konteks
dengan memodifikasi beberapa bagian ini, maqāṣid dapat bergerak dalam pola
gerak ushul fikih. Modifikasi pertama “analitik” terhdap hukum Islam.
adalah maslahah mursalah yang semula Jamak diketahui bahwa dalam
hanya sebagai bagian dari munāsabah mencapai suatu tujuan dapat dilakukan
diletakkan sebagai usūl asy-syarī’ah. berbagai macam cara, seperti itu pula yang
Selanjutnya adalah ḥikmah min warā’ al- terjadi di dalam hukum Islam, yang kita
aḥkām yang semula sebagai ‘elemen kenal dengan konsep maqāṣid dan wasā’il.
tersisih’ karena tidak mencukupi syarat Oleh karena itu terdapat pluralitas
dijadikan ‘illah, kini menjadi qawā’id al- kebenaran dalam konstruksi hukum Islam.
aḥkām. Terakhir adalah memberikan Tentu saja ini akan berpengaruh dalam
maqaṣid yang pada awalnya dianggap tataran aplikatif bahwa semua konstruksi
ẓanni karena melewati proses induksi,
berstatus qaṭ’ī.(Auda, 2012, pp. 57–58) 1
Hal ini terlihat dalam perumusan syarat mujtahid
Maqashid sebagai usūl asy-syarī’ah yang harus memiliki kompetensi pemahaman
maqāṣid asy-syarī’ah baik secara secara global
berarti menjadikan terciptanya
maupun spesifik, serta bersedia mendasarkan
kemaslahatan bagi manusia sebagai alasan hukum yang difatwakanya terhadap kemaslahatan.
terbesar dalam penetapan syari’at. Kita (asy-Syāṭibī, 1997a, pp. 41–42)

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr Vol. …, No. … pg. 8


Name

yang mengarah kepada keinginan Syāri’ kenyataan bahwa para fakih juga
adalah benar. Tidak cukup sampai di situ, kebanyakan tertarik dengan teologi,
peran maqāṣid dalam konteks aplikatif sehingga semakin dalam menyelami
hukum Islam adalah memilih yang paling argumen fikih secara tidak sengaja akan
baik diterapkan di masyarakat. Hal ini menyentuh permasalahan teologis.(Giorgio
sesuai dengan apa yang ditekankan oleh Levi della Vida Conference, 1971, p. 4)
‘Izz ad-Dīn b. ‘Abd as-Salām (w.1262) Hubungan dekat antara teologi dan fikih
bahwa seorang alim harus memiliki adalah pokok dan cabang (usūl wa furū’),
kapasitas seleksi maṣlaḥah dalam skema dimana asumsi dasarnya adalah fikih
‘hirarki prioritas’ (al-ahamm ṡumma al- merupakan cabang dari ilmu kalam. Hal ini
ahamm).(as-Sulamī, 2014, p. 43) Dalam memiliki dua alasan: pertama, aspek
peran ini, penulis sebut “gerak aplikatif”. fundasional fikih berdasar pada premis-
Sebagai spinoff, maqāṣid asy- premis ilmu kalam. Kedua, premis ilmu
syrī’ah membangun konstruksinya sendiri kalam memiliki pengaruh ideologis dan
dalam menonjolkan sisi efek ‘positif’ metodologis dalam premis hukum Islam.
dalam hukum Islam. Demikian, faktor (Fārūq, 2013, p. 73)
eksternal prinsip maqashid ini adalah Sebagaimana dalam diskursus
“kealpaan fikih dari kemanfaatan”, sesuatu filsafat pada umumnya, bahwa penekanan
yang telah dirasakan oleh asy-Syāṭibi, pertama adalah pertanyaan mengenai
begitupun Jasser Auda dengan klaimnya keberadaan dari sesuatu (ontologi). Disini,
bahwa melaksanakan hukum Islam sebagai para fukaha mempertanyakan eksistensi
mana kita terima dari jurisprudensi justru maqṣad dalam syari’at lalu ditarik menuju
akan membuat masyarakat muslim hakikatnya. Perinsip umum selanjutnya
kesulitan di tengah tatanan dunia yang adalah “jika ia ada maka mungkin untuk
sudah sama sekali berbeda. Untuk diketahui”, sehingga setelah menekankan
mengulasnya lebih mendalam, penulis eksistensinya mereka mempertanyakan
sajikan beberapa sub-bab berikut sesuai bagaimana cara mengetahuinya. Sedangkan
bingkai tiga gerak maqāṣid asy-syarī’ah di setelah diketahui maka mempertimbangkan
atas. apa manfaat dari maqṣad ini.(Fārūq, 2013,
p. 42)
Gerak Filosofis Maqāṣid asy-Syarī’ah Pertanyaan populer di kalangan
Peran utama gerak filosofis ini fukaha dalam membahas keterkaitan antara
adalah menyediakan argumen pandangan hukum dan maqṣad adalah eksistensi ‘illat
worldview hukum Islam yang ‘bertujuan’. dalam syari’at. Adapun Asy’ariyyah
Adapun dalam tradisi Islam pengajuan berkeyakinan bahwa hukum syari’at
argumen bertajuk “al-adillah an-naqliyyah termasuk dalam kelaziman perbuatan Allah
al-mu’ayyadah bi al-adillah al-‘aqliyyah”, (jā’iz), oleh karena itu tidak memiliki
yakni argumen teologis yang dikuatkan ‘illat. Sedangkan Mu’tazilah berpendapat
dengan bukti rasional, atau dalam redaksi bahwa perbuatan Allah berasaskan
lain disebut al-adillah wa al-barāhīn. ‘keadilan-Nya’, maka ia memiliki alasan di
(Āfandī, 1932, p. 7) Tradisi berargumentasi baliknya. Sedangkan posisi tengah diajukan
ini berasal dari para mutakallimīn dalam oleh Māturīdiyyah, dimana tindakan Allah
perdebatan persoalan ketuhanan. memiliki sebab dan tujuan yang kembali
Sebagaimana kata J. Schacht dengan kepada kemaslahatan makhluk, yang

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr Vol. …, No. … pg. 9


Name

merupakan manifestasi rahmat-Nya.(Auda, suatu aturan yang memuat subyek dan


2012, pp. 107–108) predikatnya, sedangkan hukum sebagai
Menurut penulis, diskusi ini predikat adalah menjelaskan subyek itu
menjebak pemahaman, sebab selalu dalam label al-ahkam asy-syar’iyyah.
menyeret diskursus hukum ke ranah Misalnya ungkapa hukum “pezina wajib
teologis, sehingga perlu dilakukan dirajam”, konstruksinya adalah ungkapan
pembatasan antara ‘illah dalam perspektif itu sendiri bahwa pezina (subyek) hukum-
hukum dan teologi. Para fukaha kiranya nya wajib (predikat) dan dirajam. Lebih
telah mencoba melakukanya pada masa lanjut, hukum sebagai predikat adalah
perkembangan uṣul al-fikh, sehingga ‘status wajib dirajam’ (predikat) yang
ditemui fakih beraliran Asy’ariyyah disematkan kepada subyek (pezina). Tentu
mengakui adanya ‘illat dalam hukum, sebelum mengungkapkan hukum secara
seperti yang nampak dalam pemikiran konstruksi harus diketahui dahulu
Fakhruddin ar-Razi.(’Āsyūr, 1984, pp. keadaanya sebagai predikat. Adalah ‘illat
379–380) Di sini kita dapat menarik garis yang menyebabkan pezina itu diberi label
damarkasi bahwa ‘illat hukum adalah sifat wajib dirajam, yakni perbuatan zina.
yang menjadi sebab hukum semata. Demikian, ‘illat adalah sifat yang
Sedangkan ‘illat dalam teologi adalah dipahami dari nass agar dapat menjadi
sebab yang ‘mewajibkan’ Allah penyambung antara subyek dan predikat.
melakukan sesuatu.(al-Būṭī, n.d., pp. 96– Sedangkan maqṣad adalah tujuan yang
97) dapat ditangkap dari penetapan hubungan
‘Jebakan’ selanjutnya adalah tidak ketiganya, yakni berupa nilai-nilai ideal
adanya damarkasi antara ‘illat dan maqṣad. yang hendak dicapai dari hukum tersebut.
Dalam perspektif para uṣuliyyūn, maqṣad Dengan begitu ‘illat adalah pemantik
sama dengan ‘illat, karena ‘tujuan hukum, lalu maqṣad adalah nilai yang
dikategorikan sebuah alasan tindakan Allah dikehendaki oleh pembuat hukum, ‘illat
dalam menurunkan syari’at’. Hal ini mengatur konstruksi wasilah, maqṣad
menjadikan ‘multiple overlapings’ antara menetapkan target yang hendak digapai.
tiga elemen: (1) ‘illat dalam perspektif uṣūl Dalam contoh “pezina wajib dirajam”,
al-fiqh, (2) ‘illat dalam perpektif ilmu maqṣad-nya adalah ‘agar manusia terhindar
kalam, dan (3) maqṣad. Penulis mencoba dari percampuran nasab’.
mengurai “keruwetan” ini dengan Penempatan ‘illat, hukum dan
mengajukan dua tahap argumen, pertama maqṣad ini menunjukkan bahwa ada visi
untuk membuat damarkasi antara maqṣad tertentu Allah penetapan syari’at. Adapun
dan ‘illat dalam uṣul fikih, kedua syari’at adalah misi yang dapat
mengkaitkan keduanya dengan ‘Illat dalam mengantarkan manusia dalam kondisi
ilmu kalam. tersebut. Oleh sebab itu eksistensi maqṣad
Adapun ‘illat dalam uṣūl fikih dapat diterima dan oleh karenanya, fikih
merupakan sifat yang menjadi sebab merupakan ‘entitas bertujuan’
berlakunya hukum. Dalam hal ini kita (purposefulness). Hal ini sejalan dan
dapat memerincinya menjadi tiga elemen,
pertama: ‘illat, kedua: hukum sebagai
konstruksi, dan tiga: hukum sebagai
predikat. Hukum sebagai konstruksi adalah

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr Vol. …, No. … pg. 10


Name

memperkuat dalil naqlī surat an-Nisā’: 165 tab’iyyah) dengan syarat tidak
dan al-Anbiyā: 105.2 bertentangan dengan nilai-nilai syari’at,
Sebagai konsekuensi filosofis, yakni maslahah murni atau unggul atas
bahwa jika eksistensi telah diterima maka mafsadah (preponderant).(ar-Raisūnī,
ia mungkin untuk diketahui. Dalam hal ini 2014, p. 148 dan 421)
Ibnu ‘Āsyūr (w.1973) mengajukan tiga
metode dalam mengungkap maqṣad, Gerak Analitik Maqāṣid asy-Syarī’ah
diantaranya: 1) Istiqrā’ syariat baik lewat Sebagai nilai ideal, maqāṣid
‘single ‘illat’ maupun ‘collective ‘illat’, 2) berfungsi sebagai visi masa depan (ma’āl)
dari dalil-dalil jelas, dan 3) hadits yang dapat digambarkan dari penarikan
mutawattir baik secara makna dan/atau kesimpulan pencarian nilai-nilai itu di balik
aktifitas (ma’na/’amalī).(’Āsyūr, 2010, pp. nass. Adapun bentuk dari nilai-nilai
26–30) tersebut adakalnya sebuah makna hakiki
Perbedaan mendasar dari metode dan makna ‘urfī. Yang pertama adalah
mengetahui tujuan hukum dalam ilmu makna universal yang oleh akal sehat
maqashid asy-syri’ah adalah penekanan dinilai sebagai suatu kebenaran, sedangkan
pada kolektifitas ayat-ayat al-Qur’an dalam kedua adalah makna yang dibentuk oleh
menyimpulkan fitur maqashid. Hal ini suatu komunitas, bahwa sesuatu itu
merupakan wujud dari istiqrā’ (induksi) membawa kebaikan untuk manusia.
makna berbagai macam ayat yang memiliki (’Āsyūr, 2010, pp. 83–84)
tema serupa. Berdasarkan kesamaan tujuan Ada beberapa syarat suatu nilai
dan hikmahnya akan ditarik menjadi fitur dapat dijadikan sebagai maqaṣid, di
maqashid. Berbanding dengan usul fikih antaranya: 1) ṡubūt (makna yang diakui), 2)
yang cukup menggunakan satu ayat dalam ẓāhir (dapat diidentifikasi), 3) inḍibāṭ
menetapkan hukum. Hal ini cukup (terukur kriterianya) dan, 4) iṭṭirād (berlaku
dimaklumi sebab istinbāṭ yang notabene umum).(’Āsyūr, 2010, pp. 84–86) Dalam
menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan hal ini dapat dicontohkan dengan
dalam porsi besar tidak bisa mengabaikan “keadilan”, dimana makna ini dapat dilihat
satu lafadzpun untuk dijadikan sebagai ketetapanya dalam an-Nisā: 46 dan 135, al-
sandaran hukum. Mā’idah: 8, 41-42, an-Naḥl: 90 dan 126, al-
Konsekuensi terakhir adalah Ḥujrāt: 9. Wujud keadilan itu dapat
merumuskan kemanfaatan maqaṣid. Terjadi diidentifikasi karena menunjukkan
perdebatan apakan nilai-nilai maqāsid indikator-indikator yang terukur, dan
dapat menjadi faktor determinan dalam berlaku umum karena hampir seluruh
peran pembentukan konstruksi hukum. manusia mengakui bahwa keadilan adalah
Bagi ar-Raisūnī, maqāsid atau maṣlaḥah sebuah kemaslahatan.
dianggap sebagai salah satu ‘sumber Adapun maqṣad dalam konteks
hukum dependen’ (al-maṣādir at- keluasan cakupannya terbagi menjadi tiga.
Pertama: maqṣad ‘āmmah (universal),
2
Dalil-dalil ini sengaja diajukan oleh asy-Syāṭibi yakni mencakup keseluruhan hukum
karena sifat ke-universalan-nya, yakni dengan syarī’ah. Terma ini disebut oleh asy-Syāṭibi
mengajukan klaim bahwa para rasul diutus karena
dengan kuliyyāt al-millah. Kedua, maqṣad
visi tertentu, tentu akan mencakup keseluruhan
ajaran yang disampaikanya juga memuat misi. khāṣṣah (parsial), mencakup terma-terma
Bacaan lebih lanjut: (asy-Syāṭibī, 1997b, pp. 10–11) khusus yang biasnya melampaui batasan-

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr Vol. …, No. … pg. 11


Name

batasan tabwīb dalam fikih. Ketiga: Status substansial dari maqṣad ini
maqṣad juz’iyyah (partikular), terbatas menyediakan gerak analitik-kritik dalam
cakupanya dalam makna yang tersimpan melihat wasā’il dalam segi potensinya
dalam nilai-nilai tujuan “hukum sebagai mengantarkan menuju maqṣad. Dengan
predikat”.(ar-Raisūnī, 2010, pp. 13–16) menempatkan maqṣad sebagai fungsi gerak
Sedangkan fitur-fitur maqsāṣid kritis ia dapat bergerak ke dua arah, yakni
dibagi dalam tiga kualitas hirariki. arah interal dan eksternal. Adapun gerak
Pertama: ḍarūrī, apabila menyangkut internal adalah melihat hubungan antara
kehidupan dasar dalam menunjang maqaṣid ‘kuliyyah (‘āmmah), khāṣṣah dan
kehidupan dunia dan akhirat. Kedua, ḥāji juz’iyyah dalam bersama-sama
jika menyangkut hal-hal yang non-primer mengantarkan menuju kondisi ideal yang
namun menunjang kemudahan hidup.(asy- diharapkan oleh syari’at. Dalam hal ini,
Syāṭibī, 1997a, pp. 18–19) Terakhir, kendali dipegang oleh maksud universal,
taḥsīnī jika menyangkut hal-hal tersier yang bertugas menganalisis dan
untuk menunjang kualitas hidup dan mengkritisi maqsad parsial dan partikular
estetika. Penulis sengaja merombak posisi agar tidak terjadi kontradiksi internal dalam
fitur-fitur tersebut. Adapun darūriyyāt hirarki maqāsid.(an-Najār, 2008, p. 43)
khamsah biasanya masuk dalam klasifikasi Sedangkan gerak eksternal adalah
pertama. Namun fitur-fitur itu penulis peranya masing-masing dari ketiganya
diletakkan di luar. Artinya ketiga hirarki ini dalam menilai konstruksi hukum dalam
merupakan ‘kualitas’ fitur, bukan fitur di segi potensinya menggapai kemaslahatan
dalam kualitas hirarki. Hal ini dilakukan di dalam setiap tingkatan. Dengan begitu,
untuk menyederhanakan maqāṣid klasik fungsi maqaṣid yang dimaksud asy-Syāṭibi
yakni tambahan tatimmah dan takmilah. berada dalam gerak eksternal ini, sebab ia
Dalam rangka memenuhi kriteria menganulir konstruksi hukum, bukan
gerak analitik, petama yang perlu menganulir maqṣad lain yang cakupanya
ditekankan adalah sifat substantif- lebih rendah.
aksidental (jauhariyyah-a’rāḍiyyah) dari
maqāṣid dan konstruksi hukum. Dalam Gerak Aplikatif Maqashid asy-Syari’ah
kajian ini, sebagaimana diketahui, bahwa Pembahasan ini akan lebih condong
substansi dari hukum adalah maqṣad-nya, mengenai prinsip gerak fikih yang telah
sedangkan aksiden darinya adalah macam- disinggung sebelumnya. Disebutkan bahwa
macam wās’il-nya, dimana ar-Raisūni gerak aplikatif fikih memiliki dua macam,
menyebutnya dengan ‘taṭbīq ‘araḍī’.(ar- yakni ‘Azimah dan rukhshah, dimana
Raisūnī, 2014, p. 442) Hal ini senada bangunan konsepnya berasal dari usul
dengan asy-Syāṭibī bahwa ma’āl dapat fikih, namun identifikasi aplikatifnya
menganulir konstruksi hukum jika ditemui dibantu oleh legal maxim (qawā’id
perubahan kontekstual. Misal suatu fiqhiyyah). Pembahasan ini penting sebab
konstruksi hukum yang diterapkan dalam perbedaan kondisi sosial-masyarakat, baik
nass, pada masa turunya membuahkan dalam dimensi waktu dan tempat, menuntut
maslahat, namun pada perkembanganya pola penerapan yang berbeda pula.
justru membuahkan mafsadah, maka Konsekuensinya, dalam rangka mencapai
konstruksi itu hilang ‘status masyrū’iyyah- maqāṣid dituntut suatu metode yang
nya’.(asy-Syāṭibī, 1997a, pp. 177–178) memungkinkan seorang mifti atau fakih

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr Vol. …, No. … pg. 12


Name

mengakomodasi perbedaan tersebut Rāzī, 1992, p. 120) Sehingga dalam contoh


menuju satu tujuan yang sama. pemberian rukhṣah ‘diperbolehkanya’
Tradisi penggunaan legal maxim memakan bangkai bagi seseorang yang
menandai pergeseran era ijtihad menuju hampir mati karena kelaparan, penekanan
taqlid, yakni saat Muhammad b. Ibrahim argumen berada pada “untuk apa” dari
al-Jājirmī (w.1216) melakukan induksi pada “kenapa”.
pendapat-pendapat ulama Syāfi’iyyah lalu Implikasi metodologis darinya,
mengelompokkannya menjadi suatu idiom. adalah setidaknya ada tiga fungsi legal
(Opwis, 2010, pp. 139–140) Pada masa ini, maxim yang dapat menuntun seorang
pendapat-pendapat itu laksana sumber mufti/fakih dalam mengaplikasikan
hukum primer, dengan bukti bahwa pada konstruksi hukum. Pertama: dalam
masa selanjutnya para ulama melakukan pemberian rukhṣah tidak terpaku kepada
qiyas dengan pendapat-pendapat itu, dan māni’, melainkan titik tekan pertimbangan
tidak sedikit pula yang menyebutnya aplikatif melihat sisi maṣlaḥah dan
dengan istilah ‘nass’.(Auda, 2012, p. 312) mafsadah bagi orang yang melakukanya.
Dalam perspektif Abū Zahrah, ijtihad ini Kedua: dapat digunakan sebagai metode
disebut sebagai ijtihad taṭbīqī, yakni upaya tarjīh dalil-dalil atau pendapat ulama-
perluasan cakupan hukup yang telah ulama terdahulu dengan
digarisan oleh para ulama pendiri mazhab. mempertimbangkan maslaḥah dan
Ijtihad ini biasanya dalam bentuk takhrīj mafsadah dari masing-masing pendapat
dan taṭbīq ilat-ilat hukum yang telah jika diaplikasikan dalam suatu komunitas
ditentukan oleh pendahulunya dalam tertentu. Ketiga: penggunaan sadd/fatḥ aż-
permasalahan pertikular (juz’iyyah). żarī’ah dalam konsepsi ‘hukum dan
Dengan kata lain ijtihād bersifat taḥqīq al- wasā’il-nya,3 demi mencapai maslaḥah.
manāṭ.(Zahrah, n.d., p. 379) (Opwis, 2010, pp. 143–155)
Adalah Syihāb ad-Dīn al-Qarāfī Konstruksi hukum yang telah
(w.1285) yang berupaya mesistematisasi melewati legal maxim ini, status
‘bangunan besar’ (legal edifice) hukum pemberlakuan ‘azīmah dan rukhṣah masih
Islam dengan membuat lebih dari 50 daftar diperdebatkan. Adapun bagi ar-Rāzī, al-
legal maxim. Hal senada juga dilakukan Āmidī, Ibnu Ḥājib (w.1249),
oleh gurunya, ‘Izz ad-Dīn b. ‘Abd as- mengklasifikasi dalam bagian aqsām al-
Salām, namun dengan rumusan yang lebih fi’l, sedang asy-Syaukānī (w.1839) dan
ringkas, hanya terdiri dari lima kaidah lainya memasukkan dalam aqsām al-ḥukm.
universal (kuliyyāt khmsah).(Opwis, 2010, Bagi yang pertama, pada kenyataanya tidak
pp. 142–143) Kedua alim ini memiliki merubah ketentuan hukum, hanya saja
perbedaan karakteristik dalam segi titik merubah cara bertindak di bawah hukum.
tolak pemberian rukhshah dibanding para
fakih mutakallimin kebanyakan. Adapun 3
Perbedaan konsep wasail-maqāṣid dalam
bagi keduanya penilaian kapasitas ‘subyek’ perspektif ‘Ilmu Maqasid dan Ilmu Qawā’id adalah
sukhshah dilihat dari maslahah dan obyeknya. Adapun dalam ilmu maqashid, maqashid
mafsadah. Sedangkan mutakallimin, dalam adalah makna yang hendak dituju oleh konstruksi
hukum, sedang dalam qawaid, maqashid adalah
hal ini diwakili oleh Fakhr ad-Dīn ar-Rāzi
hukum itu sendiri, sedang wasailnya adalah segala
(w.1209) mendasarkan penilaian itu dari yang memiliki keterkaitan dekat yang berpengaruh
māni’ yang dijadikan sebagai ‘illat.(ar- baik langsung maupun tidak langsung.

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr Vol. …, No. … pg. 13


Name

Sedang bagi yang kedua, merubah hukum. Kedua, Hubungan penemuan hukum dan
(ar-Rāzī, 1992, p. 121) kemanfaatan hukum. Ketiga, pemilihan dan
Sebagaimana kita ketahui, bahwa aplikasi hukum.
legal maxim merupakan metode terakhir
sebelum suatu konstruksi hukum Hubungan Immutabilitas-Fleksibiilitas
diterapkan di masyarakat. Adakalanya Konteks aplikatif antara usul fikih
seroang fakih berlaku sebagai hakim (qāḍī) dan fikih memiliki perbedaan yang
atau mufti. Bagi seorang mufti, cakupan diametral. Adalah sebuah rahasia umum
hukum hanya mengikat mustaftī, sehingga bahwa kaidah-kaidah usul fikih
menjadi keharusan baginya untuk membuahkan kepastian hukum, sebab ia
memahami situasi dan kondisi peminta hanya meyediakan hukum dalam arti
fatwa, agar hukum yang difatwakanya predikat. Di lain pihak, legal maxim
membawa kemaslahatan. Seperti itu pula menyediakan proses aplikatif terhadap
bagi seorang hakim, dimana cakupan konstruksi hukum. Dalam arti lain, satu
hukumnya mengikat seluruh wilāyat al- konstruksi hukum memiliki dua sisi
ḥukm-nya, untuk mengetahui kondisi berlawanan, yakni “immutability” dan
sosial-masyarakat.(al-Ajfān, 1984, pp. 68– “flexibility” atau dalam bahasa Ahmad ar-
69) Raisūnī disebut aṡ-ṡābit wa al-marūnah.
(ar-Raisūnī, 2014, p. 409)
Membangun Relasi Resiprokal Uṣūl al- Hal ini memunculkan pertanyaan
Fiqh dan Maqāṣid asy-Syarī’ah terkait status hukum Islam itu sendiri,
Sebagai wujud dari upaya apakah ia termasuk sebuah hukum mistik
‘harmonisasi’ prinsip gerak di atas, dalam atau profan. Al-Ghazāli mengindikasikan
bab ini penulis mencoba menyusunnya bahwa ia termasuk ma’qūlat dimana dalam
menjadi sistem metodologi hukum Islam premis-premis penyusun konstruksi
yang terpadu. Berdasarkan diskusi tentang hukumnya dapat berdasar kepada hal-hal
perinsip gerak usul fikih, maqasid asy- ẓanniyah. Selain itu, kemaslahatan ilmu
syarī’ah dan fikih memiliki peran sentral fikih hanya sebatas dunyawiyyah. Hal
masing-masing. Peran sentral ini adalah menarik ketika al-Ghazālī dihadapkan
karakteristik, tujuan, dan fungsi dari dengan kenyataan bahwa sumbernya
pergerakan itu. Adapun pergerakan usul adalah wahyu (usul). Menanggapi ini ia
fikih adalah menemukan hukum (law berargumen bahwa antara sumber dan fikih
finding) dari suatu nass maupun kasus itu sesuatu yang berbeda. Adapun fikih
hukum. Di samping itu maqaṣid syarī’ah hanya sekedar hasil pemahaman manusia
menyediakan pandangan dunia, fungsi tentang wahyu dan hanya menyediakan
analitik kritis secara internal dan eksternal. dimensi zahiri dalam suatu aturan.(Fārūq,
Sedangkan fikih dengan bantuan legal 2013, pp. 61–62) Demikian, yang tidak
maxim berada pada tataran aplikatif terkait berubah adalah nilai-nilai wahyu, sedang
bagaimana menerapkan konstrksi hukum yang berubah adalah konstruksi hasil
dalam skala individu dan komunitas. pemahaman wahyu. Berseberangan dengan
Penyusunan resiprokalitas dalam itu, asy-Syaukānī mengungkapkan bahwa
konteks ini akan penulis lakukan dengan fikih adalah entitas mistik, dengan dasar
beberapa tahap: pertama, menyambungkan bahwa diambil dari premis-premis
sisi berubah dan tidaknya hukum Islam.

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr Vol. …, No. … pg. 14


Name

ilahiyyah berupa wahyu.(Fārūq, 2013, p. Pola yang sama sebenarnya terjadi


66) dalam perseturuan antara mazhab usul fikih
Hal berbeda tentu akan terjadi dari dan maqashid asy-Syari’ah, dimana sama
kedua hal di atas ketika berhadapan dengan dalam segi sumbernya, namun berbeda
pemicu prinsip gerak ijtihadi, yakni kondisi dalam nilai-nilai yang diambilnya. Adapun
sosial. Bagaimana cara entitas mistik vs perbedaan paling mendasar dari keduanya
profan berhadapan dengan kebutuhan adalah “level kedalaman” dalam menggali
sosial. Segaris lurus dengan asy-Syaukāni, makna. Bagi usul fikih, mencukupkan
N.J. Coulson, H.A.R. Gibb, H.J. Liebesny, makna zahir, sedangkan maqashid syariah
M. Khudduri, H. Lammens, G. Makdisi, menyelam lebih dalam lagi bahkan sampai
J.N.D Anderson mengakui kenyataan pada level “irādah” (maqṣad asy-syāri’).
masyarakat muslim menganggap fikih Sehingga ketika diajukan dalam diskusi
sebagai entitas sakral karena bersandar immutabilitas vs fleksibilitas, yang tetap
pada kalam mistik, oleh sebab itu, ia adalah makna yang diambil dengan
bersifat tertutup karena dasarnya adalah maqashid asy-syari’ah, sedangkan yang
hukum tuhan. Dengan begitu kekacauan berubah adalah makna zahir. Maqaṣid
sosial masyarakat muslim disebabkan dapat mengambil nilai inti syari’at, usul
karena manusia mengabaikan hukum- fikih mencerna konstruksi. Dalam bahasa
hukum itu, ketimbang karena fikih tidak yang lebih filosofis, maqaṣid adalah zat
cukup untuk menyediakan kontrol dan (jauhar) sedang konstruksi adalah aksiden
rekayasa sosial.(Masud, 1973, p. 49) (‘araḍ)
Di lain pihak, dipelopori oleh Leon Demikian, ketika dihadapkan
Ostorong dan S.G.V Firtsgerald bahwa dengan sebuah perubahan sosial, nilai-nilai
fikih bersifat responsif dan terbuka ideal dari maqasid tidak boleh berubah,
terhadap perubahan sosial. Hal ini melihat namun dalam segi konstruksi hukumnya
kenyataan bahwa materi hukum yang dapat berubah.
terkandung dalam wahyu tidak begitu
banyak, sehingga pada masa selanjutnya ia Hubungan Istinbāṭ, Istidlāl, dan Kritik
dapat saja berkembang dan berubah seiring Maqaṣidi
adanya perubahan sosial. Keseluruhan Ada beberapa alasan kenapa penulis
batang tubuh hukum Islam, demikian, tidak lebih memilih kata “kritik maqaṣidi”
bisa dipandang sebagai hukum Tuhan. dibanding terma “istiṣlāḥ”. Kata ini lebih
(Fārūq, 2013, p. 50) menggambarkan fungsi analitik terhadap
Secara singkat al-Ghazālī dan konstruksi hukum, sedangkan kata istiṣlāḥ
pendukung fleksibilitas hukum Islam mewakili perdebatan dalam statusnya
menekankan bahwa hukum Islam responsif sebagai sumber hukum. Alasan selanjutnya
dengan kebutuhan sosial, dengan mengacu adalah bahwa “kritik maqashidi” terletak
kepada premis-premis yang ditangkap dari pada prinsep gerak maqāṣid asy-syarī’ah,
sumber hukum. Sebaliknya, bagi sedangkan istiṣlāḥ berada pada prinisip
pendukung “immutabilitas” hukum Islam gerak usul fikih, yakni Istidlāl. Sehingga
menjadi aturan rigid, mendekati menjadi opsi terakhir dalam upaya
positivisme hukum yang membutakan penemuan hukum, yakni ketika tidak ada
dirinya dari konteks sosial yang dihadapi. naṣṣ, qiyās dan ijmā’.

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr Vol. …, No. … pg. 15


Name

Sebagaimana diskusi sebelumnya, Kedua, ika naṣṣ telah menunjukkan


bahwa antara usul fikih dan maqashid asy- konstruksi yang jelas, sedang maslahah
syarī’ah memiliki proses berbeda dalam menunjukkan hal yang berbeda. Maqāṣid
melakukan pengambilan makna. Hal ini boleh menganulirnya, dalam arti
harus dikombinasikan dalam konteks menangguhkan pengaplikasian konstruksi
“utilitas konstruksi hukum”. Usul fikih tersebut. Hal ini masuk dalam penenyiam
sekedar menghasilkan konstruksi hukum, lpmsyrilsi hukum.
sedang penilaian maslahah-mafasid-nya Ketiga, Perbedaan antar maqāṣid
dilakukan oleh nilai-nilai ideal tersebut. mungkin saja disebabkan perbedaan
Konsepsi ini sesuai dengan asy-Syāṭibi perspektif dan tendensi eksternal yang
ketika membahas tentang ma’āl al-fi’l.(asy- dibawa dalam upaya pencarian nilai.
Syāṭibī, 1997b, pp. 177–178) Tendensi ini seperti ide-ide kalam, gerakan,
Nilai-nilai ini, sekali lagi, tidak ideologi dan organisasi-organisasi yang
boleh terlepas dari naṣṣ, sebab ia diambil membawa kepentingan tertentu. Sehingga
dari nilai-nilai ideal dibalik teks tersebut. nilai-nilai itu telah termanipulasi dan
hal ini menjawab kekhawatiran para ulama terkontaminasi oleh kepentingan atau hawa
uṣūl bahwa berpedoman dengan maṣlaḥah nafsu. Tentu dalam corak ini kita tidak
akan membahayakan teks. Ta’āruḍ bayna patut menganggap kontradiksi antar
an-nuṣuṣ wa al-maqāṣid sebenarnya hanya maqaṣid, melainkan “kontradiksi
terjadi lantaran perbedaan level penggalian kepentingan”.
makna. Yang satu memahami sampai taraf Adapun dalam menggunakan
substantif, di lain pihak baru sampai analisis-kritik ini, juga memiliki beberapa
aksiden. Sehingga, dengan menggunakan kemungkinan. Pertama, konstruksi hukum
analisis-kritik maqaṣidi sama saja melihat dalam naṣṣ sesuai dengan kriteria nilai-nilai
“kulit” menggunakan “isinya”. Jika ideal ḍarūriyyāt, maka konstruksi
kesemuanya rela ditarik kedalam sedalam digunakan apa adanya. Kedua, konstruksi
level substantif (nilai-nilai maqaṣidī), hukum tidak sesuai dengan ḍarūriyyāt,
sebagaimana kata ar-Raisūnī, niscaya tidak maka harus dianulir dan membentuk
ada kontradiksi baik antar ayat, maupun konstruksi yang relevan dengan kebutuhan
antar ayat dan maqaṣid.(ar-Raisūnī, 2014, primer itu. Ketiga, Konstruksi hukum
p. 442) memenuhi kriteria ḥājiyyāt, maka boleh
Terdapat beberapa kemungkinan sementara atau dipermanenkan. Hal ini
dalam terjadinya perbedaan antara tergantung dari kadarnya.
keduanya: Keempat. konsteruksi hukum tidak
Pertama, jika keduanya ditarik ke level memenuhi hajiyyat, tersedia peluang
maqasidi, yang ditemui adalah perbedaan perluasan dan rekonstruksi hukum. Kelima,
arah kemaslahatan. Adakalanya maqṣad Konstruksi hukum sesuai dengan
yang satu lebih prioritas, dan satu lagi tahsiniyāt, dilakukan jika tidak mengurangi
kurang prioritas. Dalam hal ini tidak bisa nilai-nilai ḍarūriyyāt dan dan ḥājiyyāt.
dikatakan kontradiktif, tetapi preponderant Keenam, Konstruksi hukum tidak sesuai
atau rājiḥ-marjūḥ. Cara untuk menentukan dengan tahsiniyyāt. Dilihat terlebih dahulu,
keduanya dapat dilakukan dengan hirarki apakah ḍarūriyyāt dan dan ḥājiyyāt sudah
maqāṣid, ḍaruriyāt khamsah, cakupan terpenuhi.
maslaḥah dan ma’āl al-fi’l.

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr Vol. …, No. … pg. 16


Name

Demikian, masing-masing dari gerak sudah DAFTAR PUSTAKA


memberikan fungsinya, sehingga Āfandī, S. H. (1932). Al-Ḥuṣūn al-
diharapkan terjalinnya resiprokalitas Ḥamīdiyyah. Maktabah al-Jāriyyah
keduanya. al-Kubrā.
al-Ajfān, M. A. (1984). Fātawā al-Imām
CONCLUSION asy-Syāṭibi̇ (2nd ed.). al-Kawākib.
Dalam rangka harmonisasi prinsip al-Āmidī, ’Alī bin Muhammad. (2003). Al-
gerak ijtihadi fikih, usul fikih dan maqāṣid Iḥkām fī Uṣūl al-Aḥkām (1st ed.,
asy-syarī’ah haruslah membagi tempatnya Vol. 4). Dār aṣ-Ṣ amī’ī.
masing-masing. Adapun usul fikih hanya al-Būṭī, S. R. (n.d.). Ḍawābiṭ al-Maṣlaḥah
sekedar mengungkapkan naṣṣ menjadi fi asy-Syarī’ah al-Islāmiyyah.
konstruksi hukum, sedangkan dalam segi Mu’assasat ar-Risālah.
utilitasnya dinilai dengan maqāṣid dengan al-Ījī, ’Aḍ d ad-Dīn ’Abd ar=Raḥ man.
gerakan analitik-kritisnya. Sedangkan (2004). Syarah Mukhtaṣar al-
dengan menggunakan gerak ijtihadi fikih, Muntahā al-Uṣūlī (1st ed., Vol. 3).
mengarahkan aplikasi hukum kepada Dār al-Kutub al-Ilmiyyah.
masyarakat. Semuanya itu dilatarbelakangi al-Juwainī, al-I. al-Ḥ aramain A. al-M.
oleh sinaran maqāṣid asy-syarī’ah dalam ’Abd al-M. bin ’Abd A. nbin Y.
gerak filosofis, yakni membangun sistem (1399). Al-Burhān fī Uṣūl al-Fiqh
fikih yang bertujuan menciptakan (1st ed.). Jāmi’ah Qaṭr.
kemaslahatan dunia dan akhirat. an-Najār, ’Abd al-Majīd. (2008). Maqāṣid
Sebagai nilai ideal, maqāṣid as-Syarī’ah bi Ab’ād Jadīdah (2nd
berfungsi sebagai visi masa depan (ma’āl) ed.). Dār al-Gharb al-Islāmī.
yang dapat digambarkan dari penarikan ar-Raisūnī, A. bin ’Abd as-Salām. (2010).
kesimpulan pencarian nilai-nilai itu di balik Madkhal ilā Maqāṣid asy-Syarī’ah
nass. Adapun bentuk dari nilai-nilai (1st ed.). Dār al-Kalimah.
tersebut adakalnya sebuah makna hakiki ar-Raisūnī, A. bin ’Abd as-Salām. (2014).
dan makna ‘urfī. Yang pertama adalah At-Tajdīd al-Uṣūlī (1st ed.). The
makna universal yang oleh akal sehat International Institute of Islamic
dinilai sebagai suatu kebenaran, sedangkan Thought.
kedua adalah makna yang dibentuk oleh ar-Rāzī, al-I. al-U. an-N. al-M. F. ad-D. M.
suatu komunitas, bahwa sesuatu itu bin ’Umar bin al-Ḥ usain ar-Rāzī.
membawa kebaikan untuk manusia. (1992). Al-Maḥṣūl fī ’Ilm Uṣūl al-
(’Āsyūr, 2010, pp. 83–84) Fiqh (2nd ed., Vol. 1). Mu’assasat
ar-Risālah.
ACKNOWLEDGMENT as-Sulamī, al-I. al-M. S. al-’Ulamā’ A. M.
Terima kasih kepada Dr. Subaidi yang ’Izz ad-D. ’Abd al-’Azīz bin ’Abd
telah mengampu Mata Kuliah Artikel as-Salām. (2014). Qaw̄’id al-
Jurnal, di mana sebagian besar artikel ini Aḥkām fī Maṣāliḥ al-Anām (3rd ed.,
adalah hasil dari kritik dan satan beliau. Vol. 1). Dār al-Kutub al-’Ilmiyyah.
Sekali lagi, terima kasih banyak. asy-Syāṭibī, al-’Alāmah al-M. A. I. I. bin
M. M. al-Lakhmī. (1997a). Al-

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr Vol. …, No. … pg. 17


Name

Muwāfaqāt (1st ed., Vol. 5). Dār Research Methods (1 edition).


Ibn ’Affān. SAGE Publications, Inc.
asy-Syāṭibī, al-’Alāmah al-M. A. I. I. bin Gunstone, R. F. (Ed.). (2015).
M. M. al-Lakhmī. (1997b). Al- Encyclopedia of Science Education
Muwāfaqāt (1st ed., Vol. 2). Dār (1st ed.). Springer Reference.
Ibn ’Affān. Halim, F. (2010). Hubungan Antara
asy-Syuwaylī, ’Alī Ghānim. (2018). Uṣül Maqāṣid Al-Syarī’ah Dengan
al-Fiqh wa Qawā’id al-Istinbāṭ Beberapa Metode Penetapan
baina an-Naẓariyah wa aṭ-Ṭaṭbīq Hukum (qiyās Dan Sadd/Fath Al-
(1st ed.). Dār al-Kalimāt li aṭ- Żarī’ah). HUNAFA: Jurnal Studia
Ṭ ibā’ah. Islamika, 7(2), 121–134.
’Āsyūr, al-I. asy-S. M. aṭ-Ṭ āhir I. (1984). https://doi.org/10.24239/jsi.v7i2.94.
Tafsīr at-Taḥrīr wa at-Tanwīr (Vol. 121-134
1). ad-Dār at-Tūnisiyyah. Helim, A. (2019). Maqasid al-shari’ah
’Āsyūr, al-I. asy-S. M. aṭ-Ṭ āhir I. (2010). versus usul al-fiqh: Konsep dan
Maqāṣid asy-Syarī’ah al- posisinya dalam metodologi hukum
Islāmiyyah. al-Maktabah al- Islam (1st ed.). Pustaka Pelajar.
Iskandariyyah. Masud, M. K. (1973). Shāṭibī’s Philosophy
Auda, J. (2012). Maqāṣid asy-Syarī’ah ka of Islamic Law [Dissertation].
al-Falsafah li at-Tasyrī’ al-Islāmī Mutakin, A. (2017). Teori Maqâshid Al
(1st ed.). al-Ma’had al-alami li al- Syarî’ah dan Hubungannya dengan
Fikr al-Islami. Metode Istinbath Hukum. Kanun
az-Zuḥ ailị, W. (1986). Uṣūl al-Fiqh al- Jurnal Ilmu Hukum, 19(3), 547–
Islāmī (1st ed., Vol. 2). Daṝ al- 570.
Fikr. Nassery, I., Ahmed, R., & Tatari, M.
Bayah, A. bin. (2006). ’Alaqah Maqāṣid (Eds.). (2018). The Objectives of
asy-Syarī’ah bi Uṣūl al-Fiqh. Islamic Law: The Promises and
Mu’assasah al-Furqān li al-Turāṡ Challenges of the Maqāṣid al-
al-Islāmī. Shariʻa. Lexington Books.
Damanhuri. (2016). Ijtihad Hermeneutis Opwis, F. M. M. (2010). Maṣlaḥa and the
(K. Anwar, Ed.; 1st ed.). IRCiSoD. Purpose of The Law: Islamic
Daniels, T. P. (Ed.). (2017). Sharia Discourse on Legal Change from
Dynamics: Islamic Law and The 4th/10th to 8th/14th Century.
Sociopolitical Processes. Springer Brill.
International Publishing. Qaraḍ āwī, Y. al-. (2007). Dirāsah fī Fiqh
Fārūq, B. (2013). Falsafah al-Fiqh. Dār al- Maqāṣid asy-Syarīʻah (3rd ed.).
Abḥ āṡ. Dār asy-Syurūq.
Giorgio Levi della Vida Conference. Rigid body dynamics. (2020). In
(1971). Theology and law in Islam / Wikipedia.
edited by G. E. von Grunebaum. https://en.wikipedia.org/w/index.ph
OHarrassowitz. p?
Given, L. M. (Ed.). (2008). The SAGE title=Rigid_body_dynamics&oldid
Encyclopedia of Qualitative =967275457

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr Vol. …, No. … pg. 18


Name

Spin-Off | Meaning in the Cambridge


English Dictionary. (n.d.).
Retrieved November 12, 2020,
from
https://dictionary.cambridge.org/dic
tionary/english/spin-off
’Uṡmān, M. Ḥ āmid. (2002). Al-Qāmūs al-
Mubīn fi ̄Iṣṭilāḥāt al-Uṣūliyyịn (1st
ed.). Dār az-Zaḥ im.
Zahrah, M. A. (n.d.). Uṣūl al-Fiqh. Dār al-
Fikr al-’Arabī.

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Raushan Fikr Vol. …, No. … pg. 19

You might also like