Professional Documents
Culture Documents
Makalah Kurikulum Pendidikan Islam
Makalah Kurikulum Pendidikan Islam
Disusun Oleh :
PROGRAM STUDI S1
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM STAIT YOGYAKARTA
OKTOBER
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan kurikulum Pendidikan islam tidak lepas dari sejarah
perkembangan dakwah Agama Islam. Agama islam merupakan agama yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad n yang mengandung banyak aspek
kependidikan sebagai rahmat bagi sekalian alam. 1 Pada dasarnya pendidikan Islam
telah terjadi sejak dakwah islam dimulai pertama kali. Seiring berjalanya waktu
dakwah islam semakin berkembang yang semula berawal dari rumah ke rumah
kemudian berpindah ke Masjid dan Sekolah yang menjadi pusat pendidikan Islam
saat ini.
Dalam proses pembelajaran, tentunya terdapat kurikulum yang menjadi
panduan dalam proses belajar, sehingga kegiatan belajar dapat berlangsung dengan
baik. Banyak bermunculan ulama’ yang mengajarkan agama islam, banyak pula buku
dan karya ilmiyyah Ulama’ islam yang tersebar. Sebagian karya-karya tersebut
dijadikan kurikulum (materi pembelajaran) disuatu Lembaga Pendidikan Islam.
Kurikulum Pendidikan islam senantiasa berkembang sejalan dengan dakwah
Islam. Adapun, Pendidikan islam memiliki corak dan karekterisrik yang berbeda
sesuai dengan upaya pembaharuan yang dilakukan secara terus-menerus sesuai
dengan perkembangan zaman. Agus Salim mengutip tulisan Arman Arief dalam
bukunya Pengantar ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, mengenai perkembangan
sejarah kurikulum yang terbagi menjadi tiga masa, pertama masa klasik, yaitu Pada
masa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan masa sahabat. Kedua, Masa
Pertengahan, yaitu Masa keemasan pada masa pemerintahan Bani Abbasyiah,
khususnya pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid. Ketiga Masa Modern, yaitu
kurikulum Pendidikan pada masa saat ini. 2
1
Aep Saepul Anwar, “Kurikulum Pendidikan Islam dalam Lintas Sejarah”, Jurnal
Genealogi PAI, Vol. 5 No. 1 (Januari-Juni, 2018), 1.
2
Agus Salim, “Kurikulum Dalam Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam”,
Jurnal EduTech, Vol. 5 No. 2 (September, 2019), 106-107.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah perkembangan kurikulum Pendidikan islam?
2. Bagaimana perkembangan kurikulum di Indonesia?
3. Siapa saja tokoh pemikir kurikulum Pendidikan Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
a. Pengertian Sejarah
Prof. Kuntowijoyo secara sangat padat mendefinisikan sejarah
sebagai “rekonstruksi masa lalu.” Hanya saja tentu saja sejarah tidak
menjadikan seluruh masa lalu sebagai objeknya. Pada pokoknya sejarah
berporos pada masa lalu manusia. Sejarah membicarakan manusia dari
sudut pandang waktu. Dalam waktu dapat terjadi banyak hal, antara lain:
perkembangan, kesinambungan, pengulangan, dan perubahan. Perubahan
dapat terjadi dengan cara sangat cepat, cepat, lambat, atau dengan cara
sangat lambat. Itulah sebabnya periodisasi menjadi sangat penting dalam
sejarah; yakni agar dalam masing-masing periode dapat dilihat secara jelas
ciri-ciri dan karakteristik perubahannya.
Sejarah memilih hal-hal yang bermakna secara sosial untuk
menjadi objek pembahasannya. Tidak semua hal dipandang relevan
terhadap perkembangan dan perubahan masyarakat manusia. Namun
demikian sesuatu yang dalam tataran umum terasa ‘biasa’ dapat saja
memiliki makna sosial yang sangat penting dalam masa dan tempat
tertentu. Dengan kata lain, apa yang bermakna secara sosial dapat
dirumuskan secara bervariasi dari orang ke orang, dari waktu ke waktu.
Yang prinsip adalah bahwa sejarah memperhatikan yang bermakna, bukan
yang sia-sia. Dalam pada itu, sifat dasarnya membuat sejarah senantiasa
melihat objeknya sebagai sesuatu yang unik, dan karenanya maka
penjelasan yang diberikan pun dengan sendirinya bersifat unik dan sedapat
mugkin mendetail. Sejarah tidak mengupayakan generalisasi, sebagaimana
dalam ilmu-ilmu sosial lainnya seperti sosiologi dan antropologi.3
b. Pengertian Kurikulum
Secara harfiah kata kurikulum berasal dari bahasa latin Criculate
yang bermakna bahan pelajaran. Namun, ada juga yang mengatakan
berasal dari bahasa Prancis Courier yang artinya berlari.4 Istilah ini
kemudian digunakan untuk sejumlah mata pelajaran atau course yang
harus ditempuh untuk mencapai gelar penghargaan dalam dunia
pendidikan, yang dikenal dengan ijazah. 5 Pengertian ini sejalan dengan
pendapat Crow and Crow yang menyatakan bahwa kurikulum adalah
rencana pengajaran yang disusun secara sistimatis diperlukan untuk
menjadi syarat suatu program pendidikan tertentu.6
Sejalan dengan berkembangnya teori dan praktik pendidikan, kata
kurikulum memiliki banyak definisi dari sudut pandang orang yang
berbeda. Berikut ini beberapa pendapat mengenai kurikulum yang dapat
dikembangkan sebagai definisi dari kurikulum.
1. menurut Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibani, kurikulum adalah
jalan terang yang dilalui oleh pendidik atau guru latih dengan orang-
orang yang dididik dan dilatihnya untuk mengembangkan
pengetahuan, keterampilan dan sikap mereka.
2. menurut orow and orow, kurikulum meruapakan rancangan
pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara
sistematis, sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program
pendidikan tertentu
3. menurut Abdurrahman Abdullah, kurikulum adalah sejumlah mata
pelajaran yang disiapkan berdasarkan rancangan yang sistematik dan
3
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, cet. 5 (Yogyakarta: Bentang, 2005), h. 18.
4
S. Nasution, Azas-azas Kurikulum, bandung Jemmars, 11980, hal 5
5
Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktek (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1999), 3-4
6
Umar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm.164
koordinatif( dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang
ditetapkan
4. menurut Muhammad Ali Khalil, kurikulum adalah seperangkat
perencanaan dan media untuk mengantar lembaga pendidikan dalam
mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan
5. Wina Sanjaya, 2005. Pengertian kurikulum dapat dimaknai dalam tiga
konsep, yaitu :
a. Kurikulum sebagai mata pelajaran
Kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus
dikuasai oleh anak didik, dalam proses perencanaan biasanya
menggunakan pertimbangan ahli bidang studi untuk menentukan
mata pelajaran apa yang harus diajarkan pada siswa, tingkat
kesulitan, minat siswa, urutan bahan pelajaran, dan strategi
pembelajaran yang memungkinkan anak didik dapat menguasai
materi pelajaran.
b. Kurikulum sebagai pengalaman belajar
Kurikulum sebagai pengalaman belajar, mengandung
makna bahwa seluruh kegiatan yang dilakukan siswa baik didalam
maupun diluar sekolah merupakan kegiatan dari kurikulum.
c. Kurikulum sebagai program belajar
Kurikulum sebagai program belajar tidak hanya berisi
tentang program kegiatan, akan tetapi juga berisi tentang tujuan
yang harus ditempuh beserta alat evaluasi untuk menentukan
keberhasilan pencapaian tujuan. Menurut Sukmadinata, kurikulum
mencakup semua pengalaman yang dilakukan siswa, dirancang,
diarahkan, diberikan bimbingan dan dipertanggung jawabkan oleh
sekolah.7
6. Menurut UU 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional Bab 1
Pasal 1 Ayat 19 disebutkan bahwa Kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
7
https://nalida24.wordpress.com/2011/06/09/kurikulum-dan-pembelajaran/
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Berdasarkan
pengertian tersebut, kurikulum mempunyai dua dimensi yaitu :
Pertama, berkaitan dengan rencana dan pengaturan mengenai
tujuan,isi dan bahan pelajaran. Kedua, berkaitan dengan rencana dan
pengaturan mengenai bagaimana cara menyampaikan tujuan, isi, dan
bahan pelajaran kepada peserta didik. Dengan demikian, kurikulum
berisi tentang apa tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta bagaimana
cara menyampaikannya.
c. Pengertian Pendidikan
Menurut kamus Bahasa Indonesia Kata pendidikan berasal dari
kata ‘didik’ dan mendapat imbuhan ‘pe’ dan akhiran ‘an’, maka kata
ini mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan mendidik. Secara
bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata
laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusiamelalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Menurut Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional
Indonesia) menjelaskan tentang pengertian pendidikan yaitu:
Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak,
adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat
yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai
anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan
setinggi-tingginya.
Menurut UU No. 20 tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
d. Pengertian Pendidikan Islam
Bila kita akan melihat pengertian pendidikan dari segi bahasa,
maka dalam islam terdapat 3 kata yang sering digunakan untuk
mendefinisikannya, yaitu kata Tarbiyyah, Ta’lim, dan Ta’diib. Berikut
kami berikan deskripsi terkait 3 kata tersebut :
1. Tarbiyyah
Secara etimologi kata tarbiyah yang sering diartikan
pendidikan, bahkan dalam dunia pendidikan Islam, Istilah tarbiyah
diambil dari fi’il madhinya yaitu Rabba yang memiliki arti
memproduksi, mengasuh, menanggung, memberi makan,
menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, membesarkan dan
menjinakkan. Pengertian tersebut diambil dari tiga ayat dalam Al-
Qur’an, yaitu QS. Al-Isra’ ayat 24 yang artinya “sebagaimana
mendidikku sewaktu kecil” yang menunjukkan pengasuhan dan
pendidikan orang tua kepada anak-anaknya, yang tidak saja mendidik
pada domain jasmani, tetapi juga pada domain rohani. Sedangkan
dalam QS. As-Syu’ara ayat 18 disebutkan “bukankah kami telah
mengasuhmu diantara (keluarga) kami”. Ayat ini menunjukkan
pengasuhan Fir‟aun terhadap Nabi Musa sewaktu kecil, yang mana
pengasuhan itu hanya sebatas pada domain jasmani, tanpa melibatkan
domain rohani. Sementara dalam QS. Al-Baqarah 276 disebutkan
“Allah menghapus sistem riba dan mengembangkan sistem sedekah”.
ayat ini berkenaan dengan makna “menumbuh kembangkan” dalam
pengertian tarbiyah, seperti allah menumbuh kembangkan sedekah
dan menghapus riba.8
2. Ta’lim
Ta’lim merupakan masdar (kata benda) dari kata ‘Allama.
Kata Ta’lim diterjemahkan dengan pengajaran. Muhammad Rasyid
Ridha mengartikan Ta’lim dengan “Proses transmisi berbagai ilmu
8
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir.Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta : Kencana, 2006), hlm.
11-12
pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan
tertentu”. Pengertian ini didasarkan atas firman Allahk dalam QS. Al-
Baqarah ayat 31 tentang kisah Nabi Adam p. Yang artinya “Dan dia
mengajarkan (allama) kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu
berfirman: “sebutkanlah kepadaku nama benda-benda itu jika kamu
memang orang-orang yang benar.”
3. At Ta’dib
Kata Ta’dib yang berarti pendidikan berasal dari kata
Ta’addaba dari akar kata addaba yang mempunyai arti sopan, berbudi
bahasa baik, menyelenggarakan perjamuan (pesta), mengundang ke
pesta, menghimpun, mengumpulkan, mendidik, memperbaiki, melatih,
berdisiplin, menghukum, mengambil tindakan terdidik, mengikuti
jejak akhlaknya, heran, aturan, tata cara dalam pergaulan dan
sebagainya.
2. Perkembangan Kurikulum Pendidikan Islam
Perkembangan kurikulum Pendidikan islam dapat di lihat dengan
kacamata sejarah. Pada masa klasik terdapat tiga lembaga pendidikan yang
berkembang kurikulum didalamnya, lembaga itu ialah:
1. Dar al-Arqam bin Abi al-Arqam, yaitu sebuah rumah yang dijadikan
sebagai tempat berlangsungnya Pendidikan islam.
2. Kuttab, yaitu Lembaga pendidikan rendah yang mengajarkan pengetahuan
dan keterampilan baca dan menulis.
3. Masjid, Pada awalnya masjid dibangun sebagai pusat peribadatan dan
pengetahuan karena di masjid tempat awal pertama mempelajari ilmu
agama yang baru lahir dan mengenal dasar-dasar, hukum-hukum, dan
tujuannya. Masjid yang pertama dibangun adalah masjid Quba, yaitu
setelah Nabi n hijrah ke Madinah. Seluruh kegiatan umat difokuskan di
masjid termasuk pendidikan. Pendidikan yang dilakukan Rasulullah
bersama sahabat di masjid dilakukan dengan sistem halakah.9
Kurikulum yang dimaksud ialah mata pelajaran yang diajarkan dalam
proses Pendidikan islam dalam literatur-literatur klasik. Hal ini berbeda
dengan pengertian kurikulum dalam perspektif modern yang ditentukan oleh
pemerintah dengan standar tertentu yang terdiri dari beberapa komponen,
seperti: tujuan, isi, organisasi dan strategi. Adapun perkembangan kurikulum
Pendidikan islam dapat di tinjau dari beberapa masa, yaitu:
9
Zaini Dahlan. Sejarah Pendidikan Islam (Medan: tp, 2018), hlm. 6-10
10
Ibid., 14.
Secara umum, materi Al-Qur‘an dan ajaran-ajaran Rasulullah n itu
menerangkan tentang kajian keagamaan yang menitikberatkan pada
memurnikan ibadah dengan hanya menyembah kepada Allah, beriman kepada
Allah k, Rasul-Nya, dan hari kemudian, serta amal ibadah, yaitu shalat. Zakat
sendiri ketika itu belum menjadi materi pendidikan, karena zakat pada masa
itu lebih dipahami dengan sedekah kepada fakir miskin dan anak-anak yatim.
Selain itu, materi akhlak juga telah diajarkan agar manusia bertingkah laku
dengan akhlak mulia dan menjauhi kelakuan jahat. Adapun materi-materi
scientific belum dijadikan sebagai mata pelajaran. Nabi ketika itu hanya
memberikan dorongan untuk memperhatikan kejadian manusia, hewan,
tumbuh-tumbuhan, dan alam raya.
Pada periode Madinah, kurang lebih selama 10 tahun, usaha pendidikan
Rasulullah n yang pertama adalah membangun masjid. Melalui pendidikan
masjid ini, Rasulullah n memberikan pengajaran dan pendidikan Islam. Ia
memperkuat persatuan di antara kaum muslim dan mengikis habis sisa-sisa
permusuhan, terutama antar penduduk Madinah yaitu bani Aus dan Khazraj.
Materi pendidikan berkisar pada empat bidang: pendidikan keagamaan,
pendidikan akhlak, Pendidikan kesehatan jasmani, dan pengetahuan yang
berkaitan dengan kemasyarakatan. Pada bidang keagamaan tediri dari
keimanan dan ibadah, seperti shalat, puasa, haji, dan zakat. Pendidikan akhlak
lebih menekankan pada penguatan basis mental yang telah dilakukan pada
periode Mekah. Pendidikan kesehatan jasmani lebih ditekankan pada
penerapan nilai-nilai yang dipahami dari amaliah ibadah, seperti makna
wudlu, shalat, puasa, dan haji. Sedangkan pendidikan yang berkaitan dengan
kemasyarakatan meliputi pada bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum.
Masyarakat diberi pendidikan oleh Rasul tentang kehidupan berumah tangga,
warisan, hukum perdata dan pidana, perdagangan, dan kenegaraan serta lain-
lainnya. Rasulullah n melaksanakan pendidikan Islam di Masjid Nabawi yaitu
di salah satu sudut masjid yang disebut dengan Suffah. Namun demikian tidak
menutup kemungkinan Rasulullah memberikan pembelajaran di luar masjid.
b) Kurikulum Pendidikan Islam pada Masa Khulafa Ar Rasyidin
Ketika Daulat Islamiyyah berkembang dengan berhasilnya
umat Islam yang dimulai pada khalifah Umar bin Khaththab a
menaklukkan wilayah non Arab, maka pemeluk Islam terdiri dari
orang Arab dan non Arab. Kondisi ini menimbulkan berbagai kesulitan
bagi ummat Islam non Arab untuk membaca dan memahami al-
Qur‘an. Maka dipandang perlu untuk memberikan pengetahuan bahasa
Arab dengan segala cabangnya. Semenjak itulah pendidikan Islam
menyandingkan pembelajaran Bahasa Arab di samping pembelajaran
al-Qur‘an.
Untuk memberikan kemudahan belajar al-Qur‘an bagi umat
Islam non Arab, guru-guru pengajar al-Qur‘an mengusahakan upaya-
upaya: pertama, mengembangkan cara membaca al-Qur‘an yang baik
yang selanjutnya melahirkan ilmu tajwid al-Qur‘an. Kedua, meneliti
cara pembacaan al-Qur‘an (qira‟at) yang berkembang pada masa itu,
yaitu menentukan bacaan yang benar sesuai yang tertulis dalam
mushhaf yang selanjutnya melahirkan ilmu Qira‟at dan memunculkan
Qira‟at Sab‟ah. Ketiga, memberikan tanda, harakat (syakal) dalam
mushhaf al-Qur‘an sehingga memudahkan orang yang baru
mempelajari al-Qur‘an. Keempat, memberikan penjelasan terhadap
ayat-ayat al-Qur‘an yang selanjutnya memunculkan ilmu Tafsir.
Semula ilmu Tafsir menggunakan penjelasan yang mereka terima dari
Rasulullah n kemudian berkembang pada penafsiran dangan akal dan
kaidah-kaidah bahasa Arab.11
12
Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hal. 181
13
Ibid.
saling bertentangan serta tumbuh dan berkembang secara terpisah satu sama
lain.
Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) mengusulkan
“hendaknya diadakan satu macam sekolah untuk segala lapisan masyarakat
atau mengintegrasikan kedua sistem pendidikan warisan budaya bangsa
tersebut”, yaitu pemberian pengajaran agama secara teratur dan seksama di
sekolah-sekolah yang bersifat sekuler dan netral terhadap agama serta
bercorak kolonial. Sehingga menjadi sekolah-sekolah yang bersendi agama
dan kebudayaan bangsa, sebagaimana dikehendaki oleh pendiri bangsa dan
negara ini. Sedangkan pemberian tuntunan dan bantuan kepada madrasah dan
pesantren-pesantren dimaksudkan agar lembaga pendidikan Islam mampu
meningkatkan usaha dan peran sertanya sebagai alat pendidikan dan
pencerdasan kehidupan bangsa serta mampu berkembang dan mengadakan
pembaharuan secara terintegrasi dalam satu pendidikan nasional.14
Meskipun demikian, pendidikan agama tetap mendapat porsi kedua
setelah pendidikan umum di Indonesia. Pada awal kemerdekaan, pemerintah
dan bangsa Indonesia mewarisi sistem pendidikan dan pengajaran yang
dualisme, yaitu sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah
umum bercorak sekuler, tak mengenal ajaran agama, yang merupakan warisan
dari pemerintah kolonial Belanda dan sistem pendidikan dan pengajaran Islam
yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Islam sendiri. Kedua
sistem pendidikan tersebut sering dianggap saling bertentangan serta tumbuh
dan berkembang secara terpisah satu sama lain.
Pengarahan proses yang konsisten sesuai dengan cita-cita pendidikan
Islam, fungsi ilmu pendidikan Islam secara teoritis adalah sebagai petunjuk
jalan bagi proses operasionalnya. Proses inilah yang menjadi umpan balik
(feedback) dalam mengoreksi berbagai teori yang disusun ilmu pendidikan
Islam. Kurikulum merupakan bahan-bahan ilmu pengetahuan yang diproses di
dalam sistem pendidikan Islam. Ia juga menjadi salah satu bahan masukan
14
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Surabaya: Pustaka Pelajar,
2003), hal. 83
yang mengandung fungsi sebagai alat pencapai tujuan pendidikan Islam.
Menurut sifatnya, kurikulum pendidikan Islam dipandang sebagai cermin
idealitas Islam yang tersusun dalam bentuk serangkaian program dan konsep
dalam mencapai tujuan. Dengan memperhatikan program yang berbentuk
kurikulum, kita dapat mengetahui cita-cita apakah yang hendak diwujudkan
oleh proses pendidikan Islam itu. Pernyataan ini akan terjawab dalam
kurikulum yang dipersiapkan dalam suatu proses pendidikan.
Sistem pendidikan untuk suatu bangsa harus sesuai dengan falsafah
dan kebudayaan sendiri. Mengambil alih suatu sistem atau gagasan di bidang
pendidikan dari bangsa lain harus dikaji penerapannya dengan latar belakang
budaya yang ada. Sebagai contoh, sekarang ini dunia pendidikan Indonesia
sedang dilanda semangat untuk menerapkan sistem pengejaran yang
menekankan “proses”, dengan metode pengajaran yang disebut “Inquiry
Teaching Method”. Metode ini sangat ampuh untuk meningkatkan critical
thinking anak didik.15
Pendidikan Islam di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya
Islam ke Indonesia. Pada tahap awal pendidikan Islam dimulai dari kontak-
kontak pribadi maupun kolektif antara mubaligh (pendidik) dengan peserta
didiknya. Setelah komunitas muslim terbentuk di suatu daerah tersebut tentu,
mereka membangun tempat peribadatan dalam hal ini masjid. Masjid
merupakan lembaga pendidikan Islam yang pertama muncul di samping
rumah tempat kediaman ulama atau mubaligh. Setelah itu muncullah lembaga
pendidikan lainnya seperti pesantren, dayah, ataupun surau dan meunasah.
Nama-nama tersebut walaupun berbeda, tetapi hakikatnya sama yakni sebagai
tempat untuk menuntut ilmu pengetahuan keagamaan. Perbedaan nama itu
hanya dipengaruhi oleh perbedaan tempat. 16
Walaupun undang-undang yang mengatur pelaksanaan dan
penyelanggaraan satu sistem pendidikan dan pengajaran nasional tidak dengan
15
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2000), h.
18.
16
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2007), hh. 145-146
segera dapat terwujud, tetapi hal itu tidak berarti bahwa usaha untuk
mengadakan pembaharuan dan mengintegrasikan pendidikan Islam ke dalam
sistem pendidikan nasional, tidak atau belum berlangsung. Ternyata semua
aturan perundang-undangan dengan kebijaksanaan serta praktik
penyelenggaraan pendidikan nasional yang dilaksanakan oleh pemerintah RI
selama ini, nampak mengarah dan sebagai usaha untuk mewujudkan integrasi
atau untuk terwujudnya satu sistem pendidikan nasional sebagaimana yang
dikehendaki oleh UUD 1945, dengan memberikan wadah dan kesempatan
kepada lembaga pendidikan Islam untuk berkembang secara terintegrasi ke
dalamnya. Dalam hal ini sangat terkait dengan peran Departemen Agama
(Depag) yang mulai resmi berdiri tenggal 3 Januari 1946. Lembaga ini secara
intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Orientasi
usahanya dalam bidang pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi umat Islam
agar pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah.17
Menyangkut upaya membangun pendidikan Islam secara terpadu
untuk mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Pendidikan Islam di
beberapa negara Islam yang mayoritas penduduknya beragama Islam termasuk
Indonesia tidak lebih dari duplikasi terhadap pendidikan di negara-negara
Barat sekuler. Dengan demikian produk sistem pendidikan Barat tidak
mungkin menjadi atau berupa alternatif. Kerena itu, tantangan yang mendasar
bagi pendidikan Islam saat ini adalah mencari sistem pendidikan alternatif
sebagai sintesa dari berbagai sistem pendidikan yang pernah ada. Bagaimana
wujud sintesa tersebut yaitu perlunya pendidikan Islam yang lebih
menitikberatkan pada aspek afektif seimbang dengan segi kognitif, serta
memadukan secara harmonis pendidikan formal, non formal dan informal.
Pada perkembanganya, kurikulum pendidikan nasional telah beberapa kali
mengalami perubahan dan berdampak pada perubahan kurikulum pendidikan
Islam.
1. Kurikulum 1947
Oleh karena beberapa sebab, kurikulum ini dalam praktiknya baru
dilaksanakan pada tahun 1950. Oleh sebab itu, banyak kalangan
menyebutkan bahwa perkembangan kurikulum di Indonesia secara formal
dimulai tahun 1950. Keberadaan pendidikan agama islam telah diatur
pelaksanaannya dalam SKB dua menteri (Menteri PP & K dan Menteri
Agama) tahun 1946. Kurikulum 1947 ini masih kental dengan corak
sistem pendidikan Jepang ataupun Belanda. Hal ini terjadi mungkin
disebabkan karena Negara ini baru merdeka. Sehingga, proses pendidikan
lebih ditekankan untuk mewujudkan manusia yang cinta Negara, sehingga
menjadi berdaulat dan tumbuh kesadaran berbangsa dan bernegara
2. Kurikulum 1952-1964
Dalam kurikulum ini muatannya adalah pada pengajaran yang harus
disampaikan pada siswa, dalam bentuk mata pelajaran Bahasa Indonesia,
Bahasa Daerah, Ilmu Alam, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi, dan sejarah.
Sementara itu, pelaksanaan pembelajaran dalam kurikulum ini
sebagaimana diatur dalam UUPPP (Undang-Undang Pokok (Pendidikan
dan Pengajaran) nomor 4 tahun 1950. Selanjutnya, muncul SKB dua
menteri tahun 1951 yang menegaskan bahwa pendidikan agama wajib
diselenggarakan di sekolah-sekolah, minimal 2 jam perpekan. Selain itu,
DEPAG juga telah mengupayakan terbentuknya kurikulum agama di
sekolah maupun pesantren, akhirnya dibentuklah tim yang diketuai oleh
K.H. Imam Zarkasyi dari Pondok Gontor yang berhasil menyusun
kurikulum agama yang kemudian disahkan oleh menteri agama pada tahun
1952. Disebutkan bahwa, setelah DEPAG berhasil menyusun kurikulum
18
A. Muhyidin Albarobis, Pendidikan Islam Berbasis Problem Sosial, (Jogjakarta: Ar Ruzz
Media, 2012),
Baca juga Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999). dan M. Ali Hasan, Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya: 2003).
itu, pendidikan agama memperoleh porsi 25 % dari keseluruhan mata
pelajaran yang diajarkan sekolah selama seminggu.
1. Kurikulum 1968
Boleh dibilang, kurikulum 1968 ini adalah penyempurnaan dari
kurikulum 1964. Sejak kemerdekaan, kurikulum ini menjadi model kurikulum
terintegrasi. Focus kurikulum ini tidak lagi pancawardhana sebagaimana
kurikulum 1964. Hanya saja, pelaksanaan pendidikan agama kebijakannya
kurang lebih sama dengan kurikulum 1964.
2. Kurikulum 1975
Dalam kurikulum ini, orientasi pendidikan adalah untuk meningkatkan
efektifitas dan efisiensi kegiatan belajar mengajar. Di era inilah dikenal istilah
satuan pelajaran yang merupakan rencana pengajaran pada setiap bahasan.
Sementara tujuan pendidikan dan pengajaran terbagi pada tujuan pendidikan
umum, tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan instruksional umum dan
tujuan instruksional khusus.
Pendidikan agama islam dalam kurikulum 1975 mengalami perubahan
cukup signifikan. Adanya SKB 3 menteri (Menteri Agama, Menteri dalam
Negeri dan Menteri P&K) serta disusunnya kurikulum madrasah 1975,
pendidikan agama mendapatkan porsi 30%, sementara pendidikan umum
70%. Sehingga ijazah madrasah setingkat dengan ijazah dari sekolah umum,
dan murid madrasah yang ingin pindah ke sekolah umumpun
diakui/diperbolehkan. Kondisi demikian berbeda dengan masa-masa sebelum
kurikulum 1975 ini diterapkan.
3. Kurikulum 1984
Boleh dibilang, kurikulum 1984 ini adalah menyempurnakan
kurikulum 1975. Peran siswa dalam kurikulum ini menjadi mengamati
sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini
disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming
(SAL). CBSA memposisikan guru sebagai fasilitator, sehingga bentuk
kegiatan ceramah tidak lagi ditemukan dalam kurikulum ini. Pendidikan
agama dikuatkan melalui SKB 2 Menteri (Menteri P&K dan Menteri dalam
Negeri) yang mempertegas lulusan madrasah juga bisa juga melanjutkan
pendidikannya ke sekolah umum.
1. Kurikulum KBK
Era reformasi telah memberikan ruang yang cukup besar bagi
perumusan kebijakan- kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan
revolusioner. Era ini memiliki visi untuk mewujudkan masyarakat Indonesia
yang berdaya saing, maju, sejahtera dalam wadah NKRI. Sebagai salah satu
dampak dari laju reformasi adalah dibuatnya sistem “Kurikulum Berbasis
Kompetensi” atau yang kerap disebut kurikulum KBK.
Menguatkan hal diatas, pemerintah kemudian menetapkan UU No 20
tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menggantikan UU No 2 tahun
1989, dan sejak saat itu pendidikan dipahami sebagai: “usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan Negara.”.
3. Kurikulum 2013
Berikut ini adalah cirri-ciri yang melekat dalam K-13 (Kurikulum
2013, sebatas yang penulis ketahui), yaitu mewujudkan pendidikan
berkarakter. Pendidkan berkarakter sebenarnya merupakan karakter dan ciri
pokok kurikulum pendidikan sebelumnya. Dimana dalam kurikulum tersebut
dituntut bagaimana mencetak peserta didik yang memiliki karakter yang baik,
bermoral dan mmemiliki budi pekerti yang baik. Namun pada implementasi
kkurikulum ini masih terdapat berbagai kekuragan sehingga menuaiberbagai
kritik. sehingga kurikulum berbasis kompetensi ini direvisi guna menciptakan
sistem pendidikan yang berkelanjutan dan dapat mencerdaskan kehidupan
bangsa. Ciri kurikulum 2013 lainnya adalah menciptakan pendidikan
berwawasan local. Wawasan lokal merupakan satu hal yang sangat penting.
Namun pada kenyataan yang terjadi selama ini, potensi dan budaya lokal
seaan terabaikan dan tergerus oleh tingginya pengaruh buudaya modern.
Budaya yang cenderung membawa masyarakat untuk melupakan cita-cita
luhur nenek moyang dan potensi yang dimilikinya dari dalam jiwa. Hal itulah
yang mendoronggg bagaimana penanaman budaya lokal dalam pendidikan
dapat diterapkan. Sistem ini akan diterapkan dalam konsep sintem pendidikan
kurikulum 2013. Sistem yang dapat lebih mengentalkan budaya lokal yang
selamaa ini dilupakan dan seakan diacuhkan. Olehnya itu dengan sistem
pendidkan kurikulum 2013 diharapkan pilar budaya lokal dapat kembali
menjadi inspirasi dan implementasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Dihrapkan budaya lokal dapat menjadi ciri penting dan menjadi raja di negeri
sendiri dan tidak punah ditelan zaman.
Pendidikan tidak hanya sebagai media pembelajaran. Tetapi pada
dasarnya pendidikan merupakan tempat untuk menggali seluruh potensi dalam
diri. Olehnya itu, dengan sistem pendidikan yang diterapkan pada kurikulum
2013 nantinya akan diharapkan dapat menggali seluruh potensi diri peserta
didik, baik restasi akademik maupun non akademik. Maka dengan begitu pada
kurikulum 2013 nantinya akan diterapkan pendidikan yang lebih
menyenangkan, bersahabat, menarik dan berkompeten. Sehingga dengan cara
tersebut diharapkan seluruh potensi dan kreativitas serta inovasi peserta didik
dapat tereksploitasi secara cepat dan tepat.
4. Kurikulum Merdeka
Kurikulum Merdeka adalah kurikulum dengan pembelajaran
intrakurikuler yang beragam di mana konten akan lebih optimal agar
peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan
menguatkan kompetensi. Guru memiliki keleluasaan untuk memilih
berbagai perangkat ajar sehingga pembelajaran dapat disesuaikan
dengan kebutuhan belajar dan minat peserta didik. Projek untuk
menguatkan pencapaian profil pelajar Pancasila dikembangkan
berdasarkan tema tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Projek
tersebut tidak diarahkan untuk mencapai target capaian pembelajaran
tertentu, sehingga tidak terikat pada konten mata pelajaran.19
Mulai tahun ajaran 2022/2023, penerapan Kurikulum Merdeka
mulai digunakan pada tingkat TK, SD, SMP, hingga Perguruan Tinggi
(PT). Tentunya, penerapan kurikulum ini memiliki perbedaan pada
masing-masing jenjang.
19
https://ditpsd.kemdikbud.go.id/hal/kurikulum-merdeka#:~:text=Kurikulum
%20Merdeka%20adalah%20kurikulum%20dengan,mendalami%20konsep%20dan
%20menguatkan%20kompetensi.
Merdeka Belajar di tingkat PAUD/TK maknanya adalah merdeka
untuk bermain. Dengan begitu, penerapan Kurikulum Merdeka di tingkat
PAUD/TK adalah dengan mengajak anak bermain sambil belajar, tidak
terlalu berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Sementara itu, di tingkat
SD, ada beberapa perbedaan dalam hal mata pelajaran (mapel) pada
penerapan Kurikulum Merdeka. Di antaranya adalah penggabungan mapel
IPA dan IPS menjadi satu (Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial), serta
menjadikan bahasa Inggris yang sebelumnya merupakan mapel muatan
lokal (mulok) sebagai mapel pilihan.
Hampir sama dengan tingkat SD, Panduan Kurikulum Merdeka
Belajar di tingkat SMP juga terdapat perubahan status beberapa mapel.
Misalnya, mapel Teknologi Informasi dan Komunikasi(TIK) menjadi
mapel wajib. Pada kurikulum sebelumnya, mapel ini hanya sebagai
pilihan. Maka, kelak di semua jenjang SMP, wajib memiliki mapel
Informatika. Penggunaan Kurikulum Merdeka pada tingkat SMA
memungkinkan para siswa tidak akan lagi dibeda-bedakan dengan
berbagai peminatan, seperti IPA, IPS, maupun Bahasa. Sementara itu, di
tingkat SMK, model pembelajaran akan dibuat menjadi lebih sederhana,
yaitu 70 persen mapel kejuruan dan 30 persen mapel umum.
Selain itu, pada akhir masa pendidikannya kelak, para siswa
dituntut untuk menyelesaikan suatu esai ilmiah sebagaimana para
mahasiswa yang harus menyelesaikan tugas akhir atau skripsi saat akan
lulus studi. Hal ini demi mengasah kemampuan para siswa untuk dapat
berpikir kritis, ilmiah, dan analitis.
Kurikulum Merdeka Belajar Perguruan Tinggi terwujud dalam
Program Kampus Merdeka. Pelaksanaannya pun memiliki beberapa
perbedaan dengan penerapan kurikulum sebelumnya. Dalam Program
Kampus Merdeka, mahasiswa diberi kesempatan untuk mempelajari
sesuatu di luar program studi yang ditempuhnya. Hal ini bisa dilakukan
melalui beberapa cara, seperti praktik kerja (magang), pertukaran
mahasiswa, penelitian, proyek independen, wirausaha, menjadi asisten
pengajar, juga Kuliah Kerja Nyata (KKN) tematik untuk membangun
desa.20
1. Kurikulum Pesantren
Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, dan pernah
mengalami suasana kesederhanaan begitu lama, sampai di zaman modern
sekarang ini pun dunia pesantren tetap memiliki ciri khas tersendiri di banding
jenis institusi pendidikan formal seperti madrasah dan sekolah. Di masa lalu, jenis
lembaga pendidikan ini tidak mengenal kurikulum, juga istilah manhaj dalam
bahasa Arab, apalagi menempatkannya sebagai rancangan atau pegangan baku
dalam kegiatan pendidikan. Selama rentang waktu yang cukup panjang, kegiatan
pendidikan di pesantren bertumpu pada spesialis keilmuan kyai, selaku pemilik
dan sekaligus pemimpin utamanya. Masyarakat di Indonesia lebih mengenal kitab
apa yang dianggap penting dan diajarkan kepada para santri, bukan kurikulum
seperti apa yang dipergunakan dalam aktifitas pembelajaran. Karenanya, ada
sebutan pesantren jurumiyah, pesantren alfiyah, pesantren ihya’ ulumuddin dan
seterusnya, yang tidak lain adalah nama-nama kitab terkenal dan itulah makna
kurikulum dulu bagi dunia pesantren.
Sungguh unik realitas kurikulum pendidikan Islam di Indonesia,
khususnya di lingkungan institusi pendidikan yang populer dengan ciri khas
tradisionalisnya tersebut. Bagaimana tidak, pesantren tradisional memiliki jenjang
shifir awal, shifir tsani, shifir tsalis dan seterusnya, masing-masing dengan
20
https://pintek.id/blog/ini-beda-kurikulum-merdeka-belajar-dan-kurikulum-
sebelumnya/
21
Moh. Khoiruddin, Analisis Kebijakan Kurikulum Pendidikan Islam di Lembaga
Pendidikan Islam
(JOIES: Journal of Islamic Education Studies Volume 1, Nomor 1, Juni 2016; p-ISSN 2540-
8070, e-ISSN 2541-
173X), hal. 162- 165.
kurikulum yang berbeda. Ada juga pesantren yang kecenderungannya selalu
mengarahkan aktifitas pendidikannya ke pendalaman ilmu-ilmu al-Qurán, tafsir,
hadist, fiqh, tasawuf dan sebagainya, yang juga disertai kurikulum masing-
masing. Sementara di sisi lain, pesantren modern, ada yang memiliki puluhan
jenis institusi pendidikan formal. Dalam hal ini adalah madrasah dan sekolah, dari
jenjang Taman Kanak- Kanak hingga perguruan tinggi. Perbedaan kurikulum juga
terjadi pada jenjang perguruan tinggi di lingkungan pesantren, antara yang
berafiliasi dengan kementrian agama dan kemenristekdikti Republik Indonesia.
Untuk mempertahankan ciri khasnya sebagai lembaga pendidikan Islam
tradisional, kalangan pesantren besar dan modernpun, biasanya tetap
menyelenggarakan aktifitas pendidikan non formal dalam wujud pengajian kitab
kuning, baik dengan metode sorogan, wetonan maupun bandongan. Demikian
pula, untuk maksud dan tujuan yang sama walaupun sudah banyak unit
pendidikan modern, sehingga sering kali masih diselenggarakan juga madrasah
diniyah, dengan sistem pengajaran klasik namun tetap menggunakan kitab kuning
sebagai inti kurikulum pembelajarannya.
2. Kurikulum Madrasah
Dari uraian tersebut di atas, sudah terlihat betapa erat kaitan antara dunia
madrasah dengan pesantren, walaupun tidak semua madrasah muncul dari atau
berkembang di lingkungan pesantren. Dalam konteks realitas keberadaan
institusinya, baik berada di lingkungan atau di luar pesantren, merupakan salah
satu faktor yang sangat penting bagi terjadinya perbedaan struktur dan muatan
kurikulum. Kurikulum madrasah di lingkungan pesantren, cenderung lebih
mendalam ilmu dan amaliah keagamaannya, mengingat sebagian materi
pembelajaran merujuk dan berdasarkan pada kitab kuning. Sementara madrasah
yang berlokasi di tengah masyarakat biasa, cukup menggunakan kurikulum dari
kementerian agama, yang muatannya justru lebih banyak pengetahuan umum di
banding ilmu dan amaliah keagamaan. Perbedaan itu terjadi, bukan saja pada
madrasah swasta, melainkan juga madrasah yang berstatus negeri.
Pada masa lalu, realitas kurikulum madrasah lebih bervariasi lagi, sesuai
dengan aneka jenis dan misi kelembagaannya yang memang sangat beragam. Ada
madrasah yang secara murni bertujuan untuk membina peserta didik agar secara
penuh mendalami ilmu keagamaan, yang erorientasi pada kepentingan dakwah,
ada yang spesifik bertugas mencetak guru agama Islam dan lain sebagainya.
Berbeda orientasi kelembagaannya, otomatis juga berbeda struktur dan muatan
kurikulum yang dipakai sebagai pegangan dalam aktifitas pembelajaran sehari-
hari. Realitas kurikulum madrasah modern dewasa inipun, sering menjadi sasaran
kritik oleh kalangan pemikir pendidikan Islam.
Sindiran populernya adalah kurikulum setengah hati atau konyol dalam
istilah lain. Maksudnya, pendalaman agama terlanjur dikurangi alokasi waktunya
untuk mengejar ilmu pengetahuan umum dan teknologi, namun hasil yang dicapai
justru tidak tuntas dalam menguasai ilmunya. Produk kurikulum seperti ini terlihat
jelas, misalnya ketika lulusan Madrash Aliyah (MA) melanjutkan studi ke
perguruan tinggi. Memilih jalur perguruan tinggi umum, kalah bersaing dengan
tamatan SMA. Sebaliknya masuk perguruan tinggi agama kekurangan bekal untuk
mendalami bidang studi keagamaan yang tertulis dalam kitab klasik berbahasa
Arab. Untuk mengatasi persoalan tersebut, jalan terbaik seyogyanya ditempuh
mengasramakan peserta didik, agar memiliki waktu belajar 24 jam setiap hari.
A. Generasi Klasik
1. Imam Ghazali
a. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad Al-
Ghozali. Ia dilahirkan di Thus, sebuah kota di Khurasan, Persia, pada
tahun 450 H / 1058 M. Imam Ghazali sejak kecil dikenal sebagai
pecinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang
hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa duka nestapa
dan sengsara. Al-Ghazali pada masa kanak-kanak belajar fiqh kepada
Ahmad ibn Muhammad ar-Radzakani, kemudian beliau pergi ke
Jurjan berguru kepada Imam Abu Nashr al-Ismaili. Setelah itu ia
menetap lagi di Thus untuk mengulang-ulang pelajaran yang
diperolehnya dari Jurjan.
b. Pemikiran Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali harus mengarah kepada
realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya
pada Perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk
mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia.
[4] Sebagaimana yang dikutip Athiyyah Al-abrasyi bahwa Imam
Ghazali berpendapat “sesungguhnya tujuan dari pendidikan ialah
mendekatkan diri kepada Allah Azza Wa Jalla. Al-Ghazali tidak
membedakan antara ilmu dengan Ma’rifah seperti tradisi umum kaum
sufi. Memeng ia pernah menyebutkan bahwa secara etimologi, ada
sedikit perbedaan antara keduanya, dan ia tidak keberatan atas
pemakaian terma Ma’rifah untuk konsep (tasawuf), dan ‘ilm untuk
assent (tasqiq). Akan tetapi dalam berbagai kitabnya, ia sering
memakai dua terma itu sebagaiu arti yang sama.
3. Ibn Sina
a. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Ali Al-Husayn Ibn Abdullah. Di
barat populer dengan sebutan Avicenna. Beliau lahir pada tahun 370 H /
980 M di Afshana, suatu daerah yang terletak di dekat Bukhara, di
kawasan Asia tengah. Ayahnya bernama Abdullah dari Balkan, Suatu kota
termasyhur dikalangan orang-orang Yunani. Diwafatkan di Hamdzan-
sekarang Iran, persia. Pada tahun 428 H (1037 M) alam usia yang ke 58
tahun, dia wafat karena terserang penyakit usus besar.
Tampilnya Ibn sina selain sebagai ilmuwan yang terkenal di
dukung oleh tempat kelahirannya sebagai ib kota kebudayaan, dan orang
tuanya yang dikenal sebagi pejabat tinggi, juga karena kecerdasan yang
luas biasa. Sejarah mencatat, bahwa Ibn Sina memuylai pendidikannya
pada usia lima tahun di kota kelahirannya, Bukhoro. Pengetahuan yang
pertama kali ia pelajar adalah membaca Al-qur’an. Setelah itu ia
melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama Islam seperti Tafsir,
Fiqh, Ushuluddin dan lain-lain. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, ia
berhasil menghafal Al-qur’an dan menguasai berbagai cabang ilmu
keislaman pada usia yang belum genap sepuluh tahun.
b. Pemikiran Pendidikan
Ibnu Sina banyak kaitannya dengan pendidikan, barangkali menyangkut
pemikirannya tentang falsafat ilmu. Menurut Ibnu Sina terbagi menjadi 2,
yaitu:
1. ilmu yang tak kekal
2. ilmu yang kekal
ilmu yang kekal dari peranannya sebagai alat dapat disebut logika. Tapi
berdasarkan tujuannya, maka ilmu dapat dibagi menjadi ilmu yang praktis
dan ilmu yang teoritis.[11]
Tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina, yaitu :
1. Diarahkan kepada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki
seseorang menuju perkembangan yang sempurna baik perkembangan
fisik, intelektual maupun budi pekerti.[12]
2. Diarahkan pada upaya dalam rangka mempersiapkan seseorang agar
dapat hidup bersama-sama di masyarakat dengan melakukan pekerjaan
atau keahlian yang dipilihnya disesuaikan dengan bakat, kesiapan,
kecenderungan dan potensi yang dimilikinya.[13]
3. Tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan, yang artinya mencetak
tenaga pekerja yang profesional.[14]
4. Ibn khaldun
a. Riwayat Hidup
Hasil gambar untuk ibn khaldunDi tengah konflik yang terjadi diantara
Kerajaan-kerajaan kecil, Kerajaan bani Abdul Wad Az-zanatiyah terkena
musibah dan bencana yang berasal dari Kerajaan tetangganya, yakni
Kerajaan Bani Hafzh yang berada di Tunisia.[15] Dalam suasana seperti
itu ibn Khaldun lahir di Tunisia, awal Ramadhan tahu 732 H, dari
kjeluarga besar berbangga dengan nasab Arabnya yang berasal dari
Hadromaut, Yaman. [16]
Ibnu Khaldun tumbuh dan berkembang sebagai orang yang mencintai
ilmu. Pertama-tama ia menghafal Al-Qur’an lewat bimbingan ayahnya
sendiri. Lalu ia mempelajari ilmu Hadits, ilmu Fiqh, Ushul Fiqh, Bahasa,
Sastra, Sejarah, selain mempelajari Filsafat dan Ilmu Mantiq (logika).[17]
b. Pemikiran Pendidikan
Ibnu Khaldun tidak memberikan defenisi pendidikan secara jelas, ia hanya
memberikan gambaran-gambaran secara umum, seperti dikatakan ibnu
Khaldun bahwa “barang siapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan
terdidik oleh zaman, maksudnya barang siapa yang tidak memperoleh tata
krama yang dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui orang tua
mereka yang mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan tidak
mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan
bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman,
zaman akan mangajarkannya.”[18]
Dari rumusan yang ingin dicapai Ibnu Khaldun menganut priunsip
keseimbangan. Dia inginanak didik mencapai kebahagiaan duniawi dan
sekaligus ukhrowinya kelak. Berangkat dari pengamatan terhadap
rumusan tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibnu Khaldun, secara jelas
kita dapat melihat bahwa ciri khas pendidikan islam yaitu sifat moral
religius nampak jelas dalam tujuan pendidikannya, dengan tanpa
mengabaikan masalah-masalah duniawi. Sehingga secara umum dapat kita
katakan bahwa pendapat Ibnu Khaldun tentang pendidikan telah sesuai
dengan perinsip-perinsip pendidikan Islam yakni aspirasi yang
bernafaskan agama dan moral.
Ibnu Khaldun memandang bahwa salah satu tujuan pendidikan adalah
memberikan kesempatan kepada aqal untuk lebih giat dan melakukan
aktivitas.[19]
4. Ikhwan As-Shafa
a. Riwayat Hidup
Hasil gambar untuk Ikhwan As-ShafaIkhwan al-Shafa (Persaudaraan)
adalah organisasi dari para filsuf Arab Muslim, yang berpusat di Basrah,
Irak yang saat itu merupakan ibukota Kekhalifahan Abassiyah sekitar abad
ke-10 Masehi. Kelompok yang lahir di Bashrah kira-kira tahun
373H/983M ini, terkenal dengan Risalahnya, yang memuat doktrin-
doktrin spiritual dan sistem filsafat mereka. Nama lengkap kelompok ini
adalah Ikhwan al-Shafa wa Khullan al-Wafa wa Ahl al-Hamd wa Abna’
al-Majd. Sebuah buku yang sangat mereka hormati “Kalilah wa Dimnah”.
[20]
Kemunculan Ikhwan Al Safa dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap
pelaksanaan ajaran Islam yang telah tercemar oleh ajaran-ajaran luar
Islam, serta untuk membangkitkan kembali rasa cinta pada ilmu
pengetahuan. Organisasi ini sangat merahasiakan anggotanya. Mereka
bekerja dan bergerak secara rahasia, disebabkan kekhawatiran akan tindak
penguasa waktu itu yang cenderung menindas gerakan-gerakan yang
timbul.[21]
Di samping itu juga, kelompok Ikhwan Al Safa mengklaim dirinya
sebagai kelompok non partisan, objektif, ahli pencita kebenaran, elit
intelektual dan solid kooperatif. Mereka mengajak masyarakat untuk
menjadi kelompok orang-orang mu'min yang militant untuk beramar
ma'ruf nahi mungkar.[22]
b. Pemikiran Pendidikan
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan
(muktasabah), bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat
dengan panca indera. Ikhwan al-Shafa menolak pendapat yang
mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi)
sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme.[23]
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba meng-
integrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa
kebutuhan jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki
keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah) semata. Manusia juga
memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu agama tidak bisa
berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah,
terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat.[24]
B. Generasi Moderen
b. Pemikiran Pendidikan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat
islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis
adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala
prioritas utama dalam proses pembangunan ummat.[26]
Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan islam hendaknya diarahkan pada
usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam
agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia
berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.
Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan
berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya
meliputi:[27]
1) Pendidikan moral, akhalq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter
manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2) Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara
perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta
antara dunia dengan akhirat.
3) Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
b. Pemikiran Pendidikan
Pola pemaparan konsep pendidikan K.H. Hasyim Asy’ari dalam kitab
Adab Alim Wa Muta’allim mengikuti logika induktif, di mana beliau
mengwali penjelasannya langsung dengan mengutip ayat-ayat al-qur’an.
Hadits, pendapat para ulama, syair-syair yang mengadung
hikamah.dengan cara ini. K.H. Hasyim Asy’ari memberi pembaca agar
menangkap ma’na tanpa harus dijelaskan dengan bahasa beliau sendiri.
Namun demikaian, ide-ide pemikirannya dapat dilihat dari bagaimana
beliau memaparkan isi kitab karangan beliau[30]
Tujuan pendidikan yang ideal menurut K.H. Hasyim Asy’ari adalah untuk
membentuk masyarakat yang beretika tinggi (akhlaqul karimah). rumusan
ini secara implisit dapat terbaca dari beberapa hadits dan pendapat ulama
yang dikutipnya. Beliau menyetir sebuah hadits yang berbunyi:
“diriwayatkan dari Aisyah r.a. dari Rasulullah SAW bersabda : kewajiban
orang tua terhadapnya adalah membaguskan namanya, membaguskan ibu
susuannya dan membaguskan etikanya.[31]
4. Hamka
a. Riwayat Hidup
Hasil gambar untuk hamka
“Hamka bukan hanya milik bangsa Indonesia, tetapi kebanggaan bangsa-
bangsa Asia Tenggara”.Begitulah kata mantan Perdana Menteri
Malaysia,Tun Abdul Rozak.Nama aslinya ialah Haji Abdul Malik Karim
Amrulloh biasa disebut dengan HAMKA yang merupakan singkatan dari
nama panjang beliau.[34] Beliau lahir di Maninjau,Sumatra Barat pada
tanggal 16 Februari 1908 M/ 13 Muharrom 1326 H.Belakangan ia
diberikan sebutan Abuya,yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang
berasal dari kata abi,abuya yang berarti ayahku atau orang yang dihormati.
Ayahnya adalah Syech Abdul Karim ibn Amrulloh,yang dikenal dengan
Haji Rosul dan merupakan pelopor Gerakan Islah(tajdid) di Minangkabau,
sekembalinya dari Makkah pada 1906.[35]
Sejak kecil ia menerima dasar-dasar agama dari sang ayah.Pada usia 6
tahun,ia dibawa ayahnya ke Padang Panjang. Pada usia 7 tahun, ia
dimasukkan ke sekolah desa dan malamnya ia belajar mengaji al-Qur’an
sampai khatam.
Beliau Sekolah Dasar “Maninjau sehingga Darjah Dua” kemudian
padausia 10 tahun, ayahnya mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang
bernama “Sumatera Thawalib” di Padang Panjang. Di situ Hamka
mempelajari ilmu agama dan mendalami bahasa Arab.
b. Pemikiran Pendidikan
Pendidikan dalam pandangan Hamka terbagi 2 bagian yaitu:
1. Pendidikan jasmani,pendidikan untuk pertumbuhan & kesempurnaan
jasmani serta,
2. Pendidikan ruhani,pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia
dengan ilmu pengetahuan & pengalaman yang didasarkan pada agama.
Keduanya memiliki kecenderungan untuk berkembang dengan melalui
pendidikan, karena pendidikan merupakan sarana yang paling tepat dalam
menentukan perkembangan secara optimal kedua unsur tersebut. Dalam
pandangan Islam kedua unsur tersebut dikenal dengan istilah fitrah.Titik
sentral pemikiran Hamka dalam pendidikan Islam adalah “fitrah
pendidikan tidak saja pada penalaran semata, tetapi juga
akhlakulkarimah”.
Fitrah setiap manusia pada dasarnya menuntun untuk senantiasa berbuat
kebajikan& tunduk mengabdi sebagai kholifah fi al-ardh maupun
‘abdulloh. Ketiga unsur tersebut adalah akal, hati, & pancaindra yang
terdapat pada jasad manusia.Perpaduan ketiga unsur tersebut membantu
manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan membangun
peradabannya, memahami fungsi kekhalifahannya, serta menangkap
tanda-tanda kebesaran Allah.[36]
Tujuan Pendidikan dalam Pandangan HAMKA adalah “mengenal dan
mencari keridhoan Allah, membangun budi pekerti untuk beraklhlaq
mulia” serta “mempersiapkan peserta didik untuk hidupsecara layak dan
berguna di tengah-tengah komunitas sosialnya”.[37]
5. Mahmud Yunus
a. Riwayat Hidup
Hasil gambar untuk Mahmud YunusProf. Dr. H. Mahmud Yunus
Dilahirkan di Batu Sangkar pada tanggal 10 Februari 1899 dan wafat pada
tanggal 16 Januari 1982. Sejak kecil, Mahmud Yunus sudah
memperlihatkan minat dan kecenderungannnya yang kuat untuk
memperdalam ilmu Agama Islam. Ketika berumur 7 tahun, ia belajar
membaca al-Qur’an di bawah bimbingan kakeknya Muhammad Thahir
yang dikenal dengan nama Engku Gadang. Setelah menamatkan al-
Qur’an, ia menggantikan kakeknyas ebagai guru ngaji al-Qur’an. Dua
tahun kemudian, ia melanjutkan studi ke sekolah desa dan kemudian
melanjutkan studi ke Madras School. Selanjutnya padatahun 1917, ia
bersama teman-temannya mengajar di Madras School dengan memperbaru
isi sitem belajar mengajar dengan menambah sistem halaqah di samping
sistem madrasah dengan menggunakank itab-kitabmutakhir.[38]
Dengan bekal kemampuan bahasa Arab yang sangat baik, padatahun 1924
Mahmud Yunus melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar di Kairo,
Mesir. Di sana ia memperdalam ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab.
Setelah lulus dari Universitas al-Azhar, ia melanjutkan studinya ke Daru
lUlum dan mendapatkan gelar diploma dengan spesialisasi dalam bidang
pendidikan.[39]
b. Pemikiran Pendidikan
Menurut Mahmud Yunus, pendidikan adalah suatu bentuk pengaruh yang
terdiri dari ragam pengaruh yang terpilih berdasarkan tujuan yang dapat
membantu anak-anak agar berkembang secara jasmani, akal dan
pikiran.dalam prosesnya ada upaya yang harus dicapai agar diperoleh hasil
yang maksimal dan sempurna, tercapai kehidupan harmoni secara personal
dan sosial.segala bentuk kegiatan yang dilakukan menjadi lebih sempurna,
kokoh, dan lebih bagus bagi masyarakat.[40]
Dari aspek tujuan pendidikan islam. Berkaitan dengan tujuan pokok
pendidikan Islam, Mahmud Yunus merumuskan dua hal, yaitu untuk
kecerdasan perseorangan dan kecerdasan mengerjakan pekerjaan. Ada
yang berpendapat bahwa tujuanpendidikan Islam ialah mempelajari serta
mengetahui ilmu-ilmu agama Islam dan mengamalkannya, seperti ilmu
tafsir, hadis, fikih, dan lain sebagainya. Tujuan inilah yang dipaka ioleh
madrasah-madrasah di seluruhdunia. Bahkan ada ulama yang
mengharamka nmempelajari ilmu pengetahuan umum seperti Fisika dan
Kimia. Tujuan seperti inilah menurut Mahmud Yunus yang membuat
Islam lemah dan tidak bisa mempertahanan kemerdekaannya.
Tujuan pendidikan islam menurut Mahmud Yunus ialah menyiapkan
anak-anak didik agar dewasa kelak mereka sanggup dan cakap melakukan
pekerjaan dan amalan akhirat , sehingga tercipta kebahagiaan dunia dan
akhirat.[41]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Aep Saepul Anwar, Kurikulum Pendidikan Islam dalam Lintas Sejarah, Jurnal
Genealogi PAI, Vol. 5 No. 1 (Januari-Juni) 2018. hlm. 1
Agus Salim, Kurikulum Dalam Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam, Jurnal
EduTech Vol. 5 No. 2 September 2019. hlm. 106-107
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, cet. 5 (Yogyakarta: Bentang, 2005), h. 18.
S. Nasution, Azas-azas Kurikulum, bandung Jemmars, 11980, hal 5
Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktek (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1999), 3-4
Umar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990),
hlm.164
Pratiwi Bernadetta Purba dkk, Kurikulum dan Pembelajaran, Yayasan Kita
Menulis, 2021, hal. 18-19
https://nalida24.wordpress.com/2011/06/09/kurikulum-dan-pembelajaran/
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir.Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta : Kencana,
2006), hlm. 11-12