You are on page 1of 20

Membangun Model Penyelesaian Sengketa Pertanahan melalui Pengadilan

Pertanahan demi Mewujudkan Keadilan Agraria


Luthfi Hafidz Rafsanjani1, Muhammad Abiyyu Arhab2, Bashir Hastaryo Susetyo3
1, 2, 3
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Jl. Prof. Soedarto, SH., Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah, 50275
E-mail: luthfihafidzrafsanjani@gmail.com

Abstract

The land is an inseparable part of the earth's surface and has strategic values, such as
religious, economic, cultural, and unrenewable. The current land dispute is an integral part of
the history of the Indonesian nation. This dispute starts from the synchronization and
disharmony of laws and regulations governing the settlement of land problems to the existence
of dualism in the adjudication of land disputes in the courts through the General Courts and
State Administrative Courts. The preparation of this scientific article aims to investigate more
deeply the existing conditions of land dispute resolution in Indonesia, as well as the land court
model in resolving land disputes to realize agrarian justice. The preparation of this scientific
article uses doctrinal research methods. The results found inconsistent land provisions
scattered in several different laws and regulations. In addition, current land issues can contain
three domains of violation of legal norms, which can occur in civil, criminal, and administrative
aspects, so that the settlement of cases touches on two different judicial environments within
the scope of the general court and the state administrative court. Thus, of these problems, it is
necessary to establish a special land court to resolve land disputes based on the principle of a
simple trial, fast and low cost. The idea of settling land cases that will resolve under the general
court by adopting a connection system of settlement between the land court and the state
administrative court is in line with the non-partial and integral approach. The recommendation
that the author gives based on the preparation of this scientific article is that it is necessary to
establish a special land court under the general court environment through a law that
specifically regulates the formation of the court along with its procedural law. The establishment
of the land court needs to pay attention to the philosophical, sociological, and juridical basis, so
that its existence can resolve land disputes through decisions that contain legal certainty, are
fair, and are beneficial to realizing agrarian justice.

Keywords: Agrarian Justice, Land, Land Dispute, The Special Court.

Abstrak

Tanah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari permukaan bumi memiliki nilai strategis di
dalamnya, seperti aspek religius, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Sengketa tanah yang
terjadi saat ini merupakan suatu hal pokok yang tidak terpisahkan dalam perjalanan sejarah
bangsa Indonesia. Hal ini dimulai dari adanya disinkronisasi dan disharmonisasi peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian permasalahan pertanahan, hingga
adannya dualisme dalam penyelesaian sengketa tanah di peradilan melalui Peradilan Umum
dan Peradilan Tata Usaha Negara. Penyusunan artikel ilmiah ini bertujuan untuk menyelidiki
lebih dalam mengenai kondisi eksisting penyelesaian sengketa pertanahan di Indonesia, serta
model pengadilan pertanahan dalam menyelesaikan sengketa pertanahan demi mewujudkan
keadilan agraria. Penyusunan artikel ilmiah ini menggunakan metode penelitian doktrinal. Hasil
dari penelitian ini menemukan adanya inkonsistensi dari ketentuan yang mengatur mengenai
pertanahan yang terpencar di beberapa peraturan perundang-undangan yang berbeda. Selain
itu, permasalahan pertanahan saat ini dapat mengandung tiga ranah pelanggaran norma
hukum, yaitu dapat terjadi pada aspek keperdataan, pidana, dan administrasi, sehingga
penyelesaian perkaranya menyentuh pada dua lingkungan peradilan yang berbeda dalam
lingkup peradilan umum dan peradilan tata usaha negara. Sehingga, dari permasalahan
tersebut diperlukan pembentukan suatu pengadilan khusus pertanahan dengan tujuan dapat
menyelesaikan sengketa pertanahan berdasarkan asas peradilan yang sederhana cepat dan
berbiaya murah. Gagasan penyelesaian perkara pertanahan yang akan diselesaikan di bawah
peradilan umum dengan mangadopsi sistem penyelesaian secara koneksitas antara pengadilan
pertanahan dan pengadilan tata usaha negara, di mana hal ini selaras dengan pendekatan
tidak partial dan integral. Rekomendasi yang penulis berikan berdasarkan penyusunan artikel
ilmiah ini yaitu diperlukan pembentukan suatu pengadilan khusus pertanahan di bawah
lingkungan peradilan umum melalui undang-undang yang khusus mengatur mengenai
pembentukan pengadilan tersebut beserta dengan hukum acaranya. Pembentukan pengadilan
pertanahan tersebut perlu memerhatikan aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis, sehingga
keberadaannya mampu menyelesaikan sengketa pertanahan melalui putusan yang
mengandung kepastian hukum, adil, dan berkemanfaatan guna mewujudkan keadilan agraria.

Kata Kunci: Keadilan Agraria, Pengadilan Khusus, Pertanahan, Sengketa Pertanahan.

A. Pendahuluan
Tanah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari bumi, air, dan kekayaan alam
lainnya yang terkandung di dalamnya, di mana secara holistik menjadi bagian dari
kekayaan nasional yang bersifat tak terbarukan atau unrenewable. Tanah menjadi karunia
Tuhan Yang Maha Esa yang memegang peranan penting dalam penyelenggaraan
kehidupan manusia, karena hampir seluruh proses kehidupan manusia termasuk dalam
hal pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan sangat bergantung pada
keberadaan seta kepemilikan atas tanah. Secara makna, tanah dapat dipahamkan secara
multidimensional, baik dari sisi ekonomi, politis, kapital budaya, hingga makna yang
sakral. Pemahaman tersebut dapat mendudukkan tanah sebagai sarana produksi yang
mendatangkan kesejahteraan, menentukan posisi seseorang dalam pengambilan suatu
keputusan di masyarakat, sebagai penentu tinggi atau rendahnya status sosial
pemiliknya, hingga tanah secara sakral dalam perspektif keagamaan dimaknai sebagai
tujuan akhir manusia di akhir hayat.1 Jika dikaitkan dengan uraian tersebut, maka terdapat
suatu konsekuensi logis bahwa setiap manusia yang memiliki tanah akan
mempertahankan kepemilikan atas tanahnya dengan cara apa pun dan dalam kondisi
bagaimanapun ketika hak-haknya dilanggar.
Secara konstitusional, pengakuan terhadap bumi, air, dan segala kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya berada di bawah penguasaan negara dan diperuntukkan
bagi perwujudan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.2 Hal tersebut yang menjadi
dasar filosofis terhadap pengaturan pertanahan di Indonesia melalui hadirnya Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA). Pasal 4
ayat (1) UUPA telah menentukan bahwa hak penguasaan atas tanah diberikan dari

1
Rosmidah, “Kepemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum INOVATIF, Vol. 6, No. 2, 2013, hlm.
66. Lihat juga pada Heru Nugroho, Menggugat Kekuasaan Negara, (Surakarta: Muhammadiyah University Press,
2001) hlm. 237.
2
Lihat pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
negara kepada warga negara, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama, serta hak
tersebut dapat diberikan juga dari negara kepada badan hukum.
Dalam keberjalanannya, pemberian hak atas tanah beserta dengan perangkat
kebijakan pertanahan yang dikembangkan tersebut belum sepenuhnya menjabarkan
semangat dan cita-cita ideal yang termuat di dalam konstitusi dan UUPA. Hal ini
dikarenakan tanah sebagai sumber penghidupan yang mendasar bagi manusia memiliki
nilai ekonomis, di mana atas dasar tersebut menyebabkan tingginya kebutuhan akan
permintaan untuk mempunyai hak kepemilikan atas tanah yang mengalami ketimpangan
dengan terbatasnya ketersediaan lahan yang ada, sehingga memicu timbulnya
permasalahan, baik dalam bentuk sengketa, konflik, dan perkara pertanahan yang
semakin signifikan terjadi dari waktu ke waktu.3
Pada akhir 2021, berdasarkan data statistik dari Konsorsium Pembaruan Agraria
(KPA), menguraikan bahwa setidaknya terdapat 207 konflik pertanahan yang terjadi di
507 wilayah yang tersebar di 32 provinsi di Indonesia, di mana sebanyak 198.895 kepala
keluarga dengan total luas lahan 500.062 hektar terdampak akibat konflik pertanahan. Di
tengah pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia, angka tersebut terus mengalami
peningkatan yang signifikan.4 Ditambah lagi, catatan dari Ombudsman Republik Indonesia
(Ombudsman RI) mengenai aduan dari masyarakat terhadap permasalahan sistemis
pelayanan publik dan tata kelola pada sektor pertanahan, terdapat 865 aduan mengenai
permasalahan agraria yang masuk dari total 7.903 laporan yang diterima oleh
Ombudsman RI. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih banyaknya permasalahan
pertanahan yang saat ini terjadi dan belum sepenuhnya dapat terselesaikan.5
Permasalahan pertanahan saat ini dapat mengandung tiga ranah pelanggaran
norma hukum, yaitu menyentuh pada aspek keperdataan, pidana, serta administrasi,
yang penyelesaian perkaranya menyentuh pada dua lingkungan peradilan yang berbeda
dalam tataran peradilan umum dan peradilan tata usaha negara.6 Ketentuan mengenai
hubungan kepemilikan tanah sebagai benda tidak bergerak dan segala bentuk perikatan
yang berkaitan dengan penggunaan, pemanfaatan, maupun peralihan hak atas tanah
antarsubjek hukum menjadi ranah dari lapangan pengaturan keperdataan. Kemudian,
permasalahan yang berkenaan dengan segala keputusan dan peraturan yang dikeluarkan
oleh pejabat tata usaha negara berupa persyaratan, prosedur, serta pemberian hak

3
Elza Syarief, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2014), hlm. 50.
4
Imam Koeswahyono dan Diah Pawestri Maharani, “Rasionalisasi Pengadilan Agraria di Indonesia sebagai Solusi
Penyelesaian Sengketa Agraria Berkeadilan”, Arena Hukum, Vol. 15, No. 1, April 2022, hlm. 2.
5
Ibid.
6
Nurhasan Ismail, Hukum Agraria dalam Tantangan Perubahan, (Malang: Setara Press, 2018), hlm. 136. Lihat juga
pada Maria S.W. Sumardjono, Regulasi Pertanahan dan Semangat Keadilan Agraria, (Yogyakarta: STPN Press,
2018), hlm. 10.
kepemilikan atas tanah kepada subjek hukum sebagai wujud intervensi negara dalam
mengatur sumber daya tanah merupakan bagian dari tataran permasalahan secara
administrasi. Sedangkan, terdapat pula aspek pidana dalam pelanggaran norma hukum
pertanahan ketika suatu perbuatan yang disasarkan kepada tanah sebagai objek tersebut
terdapat unsur kesalahan yang dapat dipidana dan mengganggu kepentingan publik.7
Menurut Rusmadi Murad, sengketa pertanahan merupakan suatu perselisihan
yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang merasa dirugikan menyangkut kepemilikan
hak atas tanah, di mana perselisihan tersebut dapat diselesaikan baik melalui upaya
penyelesaian secara damai maupun mekanisme penyelesaian secara litigasi melalui
pengadilan.8 Meskipun objek permasalahan pertanahan hanya satu, yaitu tanah dan
pelanggaran terhadap hukum pertanahan, namun media kelembagaan penyelesaian
terhadap sengketa dan perkara pertanahan saat ini terbagi pada dua lingkungan lembaga
peradilan yang berbeda. Penyelesaian tersebut dilakukan melalui pengadilan yang berada
di lingkungan peradilan umum untuk penyelesaian sengketa keperdataan dan perkara
pidana di bidang pertanahan atau yang berkaitan dengan tanah sebagai objek perbuatan,
sedangkan sengketa yang bersifat administratif diselesaikan melalui pengadilan yang
berada di bawah lingkungan peradilan tata usaha negara.
Terbaginya media kelembagaan penyelesaian terhadap sengketa dan perkara
pertanahan tersebut dapat ditempatkan sebagai suatu keadaan yang positif apabila
kondisi tersebut dipahamkan sebagai bentuk perluasan media kelembagaan guna
mendorong setiap orang untuk tunduk pada ketentuan hukum pertanahan. Ditambah lagi,
jika putusan yang dilahirkan dari lembaga pada lingkungan peradilan yang berbeda
tersebut secara substansi didasarkan pada penafsiran yang sama, maka putusan tersebut
dapat dijadikan sebagai landasan hukum terhadap pelaksanaan putusan mengenai
pertanahan yang saling mendukung dan memperkuat. Namun, apabila putusan mengenai
pertanahan yang dilahirkan dari lembaga yang berada pada dua lingkungan peradilan
yang berbeda mengalami disparitas, hal tersebut akan memberikan dampak yang buruk
terhadap jaminan perlindungan dan pemenuhan terhadap kepastian, keadilan, serta
kemanfaatan hukum bagi masyarakat.
Selain itu, permasalahan secara praktis dalam penyelesaian sengketa pertanahan
melalui dua lingkungan peradilan yang berbeda tersebut mengakibatkan lamanya proses
penyelesaian dan penentuan status terhadap kepemilikan hak atas tanah yang
disengketakan beserta dengan tahapan yang bersifat eksekutorial. 9 Waktu penyelesaian

7
Ibid.
8
Sarjita, “Strategi Mengelola Konflik Pertanahan”, Mimbar Hukum,
http://repository.stpn.ac.id/288/1/Sarjita_Mimbar%20Hukum.pdf, (diakses pada 20 Juli 2022), hlm. 82. Lihat juga
pada Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Hak Atas Tanah, (Bandung: Alumni, 1991), hlm. 12.
9
Koeswahyono dan Diah Pawestri Maharani, “Rasionalisasi..., Op.Cit., hlm. 14.
dapat bertambah lama apabila para pihak yang terkait dengan sengketa pertanahan
tersebut mengajukan upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan kembali.
Penyelesaian yang berlarut-larut demikian pula dapat menyebabkan membengkaknya
biaya perkara serta biaya operasional lain yang diperlukan selama proses beracara
berlangsung.
Hal tersebut menunjukkan bahwa politik hukum dalam penyelesaian sengketa
pertanahan di Indonesia belum sepenuhnya terinstitusional dengan kuat dan stabil pada
satu institusi, di mana pertanahan sebagai bagian dari sistem keadilan agraria harus
mampu menyelesaikan permasalahan guna memastikan hak-hak masyarakat terhadap
pertanahan tetap terjaga. Penguatan secara kelembagaan dalam penyelesaian sengketa
pertanahan diperlukan guna menjamin keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum di
bidang agraria. Upaya demikian selaras dengan semangat yang terkandung di dalam
konstitusi yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, sehingga
setiap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara harus selaras pada
ketentuan hukum yang berlaku.
Pembaharuan atau reforma agraria melalui penataan kembali penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan terhadap sumber daya agraria diperlukan
sebagai upaya untuk mewujudkan tercapainya keadilan agraria.10 Oleh karena itu, maka
diperlukannya suatu upaya penyelesaian permasalahan pertanahan melalui gagasan
pembentukan pengadilan pertanahan sebagai pengadilan khusus11 guna menjamin
perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara terhadap tanah sebagai
bagian holistik dari sumber daya agraria, serta dengan tujuan akhir untuk memenuhi
amanat konstitusi agar sumber-sumber agraria dapat dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.12
Elza Syarief berpandangan bahwa penyelesaian sengketa tanah melalui lembaga
peradilan umum dan peradilan tata usaha negara saat ini belum sepenuhnya bekerja
secara optimal dan belum sanggup menyelesaikan permasalahan pertanahan secara
tuntas, bahkan tanah sebagai bagian integral dari sumber daya agraria tidak dapat
dimanfaatkan secara menyeluruh oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Sehingga, upaya tepat yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan sengketa
pertanahan yaitu dengan menghadirkan suatu pengadilan khusus pertanahan, di mana
dalam pelaksanaannya menggunakan hukum acara yang sesuai dengan konsep yang

10
Yance Arizona, Konstitusionalisme Agraria, (Yogyakarta: STPN Press, 2014), hlm. 403.
11
Menurut Pasal 1 angka (8) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan
bahwa Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai wewenang untuk memutus, mengadili, dan
memeriksa perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.
12
Tim Kerja RUU Pengadilan Agraria, Politik Hukum Agraria: Gagasan Pendirian Pengadilan Agraria Perspektif
DPD RI, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Daerah, 2014), hlm. 9.
terdapat pada UUPA dan peraturan perundang-undangan lainnya di bidang pertanahan.
Melalui pembentukan pengadilan khusus pertanahan tersebut, penyelesaian terhadap
sengketa pertanahan tidak menjadi berlarut-larut dikarenakan putusan yang dihasilkan
dari pengadilan khusus tersebut bersifat final dan memiliki kekuatan eksekutorial,
sehingga dapat mewujudkan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya
murah.13
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis menggagas suatu penyusunan artikel
ilmiah yang berjudul “Membangun Model Penyelesaian Sengketa Pertanahan melalui
Pengadilan Pertanahan Demi Mewujudkan Keadilan Agraria”. Berangkat dari uraian latar
belakang, maka rumusan masalah yang diangkat dalam artikel ilmiah ini antara lain: 1)
Bagaimana kondisi eksisting mengenai penyelesaian sengketa pertanahan di
Indonesia?; dan 2) Bagaimana model pengadilan pertanahan dalam menyelesaikan
sengketa pertanahan demi mewujudkan keadilan agraria?
Penyusunan artikel ilmiah ini didasarkan pada latar belakang dan rumusan masalah
yang diangkat, yaitu bertujuan untuk mengetahui, mengkritisi, dan menganalisis kondisi
eksisting mengenai penyelesaian sengketa pertanahan di Indonesia. Selain itu, tujuan
dari penyusunan artikel ilmiah ini yaitu untuk mengkaji serta merumuskan model
pengadilan pertanahan dalam menyelesaikan sengketa pertanahan demi mewujudkan
keadilan agraria di Indonesia.
Manfaat dari penulisan artikel ilmiah ini yaitu secara teoritis diharapkan dapat
memberikan wawasan serta edukasi bagi para pembaca maupun masyarakat mengenai
kondisi eksisting mengenai penyelesaian sengketa pertanahan di Indonesia saat ini.
Serta, penulisan artikel ilmiah ini mengandung ide dan konsep pembentukan pengadilan
pertanahan sebagai upaya penyelesaian sengketa pertanahan yang berkeadilan di
Indonesia, sehingga dapat memberikan rujukan bagi pemerintah dalam merumuskan dan
menetapkan kebijakan berupa peraturan perundang-undangan berkaitan dengan
penyelesaian sengketa pertanahan melalui pengadilan pertanahan.

B. Pembahasan
1. Kondisi Eksisting mengenai Penyelesaian Sengketa Pertanahan di Indonesia
Secara etimologi, pengertian agraria berasal dari kata agros dalam bahasa belanda,
agrarius dalam bahasa latin, atau dalam bahasa inggris disebut agrarian yang berarti
tanah untuk pertanian.14 Sejak dikeluarkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan

13
Adi Sulistiyono dan Isharyanto, Sistem Peradilan di Indonesia dalam Teori dan Praktik, (Depok: Prenadamedia
Group, 2018), hlm. 389. Lihat juga pada Syarief, Menuntaskan..., Op.Cit., hlm. 427.
14
Arba, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2019), hlm. 1.
Sumberdaya Alam (TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001),15 komitmen terhadap upaya
penyelesaian permasalahan pertanahan sebagai bagian integral dari program
pembaharuan agraria di Indonesia mendapatkan posisi yang strategis.
Melalui ketentuan Pasal 6 ayat (1) TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001 telah
ditentukan bahwa arah kebijakan terhadap pembaharuan agraria yaitu disasarkan pada
beberapa hal, antara lain melakukan penataan kembali terhadap penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah melalui pengkajian ulang terhadap berbagai
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria, termasuk pertanahan.
Selain itu, penataan kembali dalam rangka pembaharuan agraria tersebut dilakukan
melalui pendataan atau inventarisasi pertanahan secara komprehensif dan sistematis,
serta melakukan penyelesaian konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya
agraria yang timbul baik melalui upaya preventif dan represif. Hal tersebut tentunya perlu
didukung dengan penguatan secara kelembagaan terkait berikut dengan kewenangannya
sebagai pelaksana pembaharuan agraria, salah satunya yaitu melalui optimalisasi
terhadap aspek pembiayaan dalam pelaksanaan program pembaruan agraria.
Selain UUD NRI Tahun 1945 dan TAP MPR RI Nomor XI/MPR/2001, pengaturan
mengenai pertanahan saat ini diatur dalam UUPA sebagai pedoman dalam pengaturan
dan pelaksanaan terhadap struktur pemilikan, penguasaan, penggunaan, pemanfaatan,
dan pengendalian tanah. Namun, pengaturan tentang pertanahan tidak hanya diatur
dalam UUPA saja, akan tetapi terdapat beberapa undang-undang lain yang memuat
tentang tanah sebagai objek pengaturannya, yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun,
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Berkaitan dengan agraria atau pertanahan, tidak terlepas dari adanya
permasalahan, baik berupa konflik, sengketa, maupun perkara pertanahan. Secara
yuridis, permasalahan berupa sengketa pertanahan yaitu pertikaian tanah antarindividu,
badan hukum dan tidak berdampak luas, sedangkan konflik pertanahan merupakan
perselisihan tanah antar individu, badan hukum yang memiliki dampak luas. Selain
permasalahan berupa sengketa dan konflik, terdapat perselisihan pertanahan yang
penyelesaian masalahnya ditempuh melalui lembaga peradilan yang disebut sebagai
perkara pertanahan.16 Di negara Indonesia sendiri memiliki dua cara dalam

15
Saat ini masih dinyatakan berlaku sampai terlaksanakanya seluruh ketentuan dalam Ketetapan tersebut
sebagaimana menurut Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/2003
tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.
16
Lihat pada Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 3, dan Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus
Pertanahan.
menyelesaikan permasalahan pertanahan, yaitu melalui litigasi atau jalur peradilan dan
nonlitigasi atau upaya di luar pengadilan. Penyelesaian permasalahan pertanahan secara
litigasi dapat diselesaikan melalui lembaga peradilan umum untuk sengketa keperdataan
dan perkara pidana, serta penyelesaian sengketa administrasi yang dapat diselesaikan
melalui lembaga peradilan tata usaha negara.17 Setidaknya, beberapa contoh pengaturan
mengenai perbuatan atau jenis kasus yang terkait dengan permasalahan pertanahan dari
beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini dapat dilihat melalui uraian
pada tabel sebagai berikut.

Tabel 1. Uraian mengenai Contoh Jenis Kasus atau Perbuatan yang terkait dengan
Pertanahan beserta Klasifikasinya18

Ranah Contoh Perbuatan/Jenis


Dasar Hukum
Hukum Kasus

Pidana Pemalsuan Surat Pasal 263 dan Pasal 264 KUHP

Penyerobotan Lahan Pasal 385 angka 4 KUHP

Memasuki Lahan tanpa Pasal 167 dan Pasal 168 KUHP


Izin

Perdata Jual beli Pasal 1457 dan Pasal 1458 KUHPer

Sewa Pasal 1548 KUHPer

Gadai Pasal 1155 dan Pasal 1156 KUHPer

Adminis- Penerbitan Sertipikat Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun


trasi sebagai Tanda Bukti Hak 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Atas Tanah Agraria, Pasal 1 angka 9 dan Pasal 1 angka
10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, serta
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021
tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah,
Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran
Tanah

Sengketa Penentuan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 2 Tahun


Lokasi dalam Pengadaan 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Tanah untuk Kepentingan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
Umum

17
Ismail, Hukum..., Op.Cit., hlm .
18
Hasil Olahan Sendiri. Disadur dari hasil inventarisasi beberapa peraturan perundang-undangan.
Baik penyelesaian secara litigasi melalui lembaga peradilan umum, maupun
peradilan tata usaha negara, dalam menyelesaikan sengketa pertanahan harus
senantiasa mampu menjamin bahwa proses penyelesaian sengketa pertanahan dapat
dilakukan dengan memerhatikan kepastian, kemanfaatan dan keadilan hukum bagi para
pencari keadilan di bidang pertanahan secara adil, sederhana, cepat, dan berbiaya
murah. Sehingga, penyelesaian sengketa pertanahan yang dilakukan melalui mekanisme
peradilan dapat dilakukan secara efektif, efisien, tuntas, dan final untuk melahirkan suatu
ketetapan yang dapat memuaskan pihak yang bersengketa secara berkeadilan.19
Namun, dalam upaya menyelesaikan sengketa pertanahan di Indonesia, lembaga
peradilan umum dan peradilan tata usaha negara belum sepenuhnya mampu
menyelesaikan sengketa pertanahan yang ada secara optimal, di mana hal ini dapat
dilihat dari persentase tingkat kasus sengketa pertanahan di Indonesia yang saat ini
masih sangat besar. Pada Januari 2020, berdasarkan data statistik dari Kementerian
Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia (ATR/BPN), sepanjang tahun 2019
setidaknya terdapat 4.431 kasus sengketa pertanahan di Indonesia dengan rincian 3.230
kasus yang telah terselesaikan, sedangkan kasus yang belum terselesaikan dan masih
dalam proses penyelesaian sebanyak 1.201 kasus sengketa.20
Tingginya persentase sengketa pertanahan termasuk sengketa yang belum
terselesaikan hingga saat ini dikarenakan proses penyelesaian sengketa yang berlarut-
larut, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap status tanah yang
disengketakan. Selain itu, adanya peluang dualisme putusan yang dapat dikeluarkan oleh
lembaga peradilan umum dan lembaga peradilan tata usaha negara terhadap objek
sengketa pertanahan yang sama menyebabkan proses penyelesaian sengketa
pertanahan menjadi tidak terselesaikan secara komprehensif. Hal ini yang kemudian
menjadi dasar urgensi untuk menghadirkan suatu pengadilan khusus yang menangani
permasalahan di bidang pertanahan guna mengurangi jumlah sengketa pertanahan di
Indonesia.21
Di beberapa negara, terdapat fakta empiris mengenai keberadaan pengadilan yang
menyelesaikan permasalahan di bidang pertanahan, yaitu adanya Pengadilan Gugat
Tanah di Afrika Selatan dan Pengadilan Tanah dan Lingkungan yang berada di negara
bagian New South Wales, Australia. Pengadilan Gugatan Tanah di Afrika Selatan sendiri
dibentuk dengan tujuan untuk menyelesaikan persoalan tanah seperti permasalahan
pemberlakuan kebijakan pertanahan yang bersifat diskriminatif oleh kaum putih kepada

19
A. Mukti Arto, Mencari Keadilan, Kritik dan Solusi Terhadap Praktik Peradilan Perdata di Indonesia,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 12-13.
20
Cindy Nabila Saraswati dan Atik Winanti, “Pembentukan Pengadilan Agraria dalam Penyelesaian Sengketa
Pertanahan di Indonesia”, SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i, Vol. 8, No. 1, 2021, hlm. 242.
21
Ibid.
rakyat Afrika Selatan atau apartheid. Pembentukan Pengadilan Gugatan Tanah di Afrika
Selatan pada 1948 dilatarbelakangi oleh kemenangan dari Partai Nasional de Boer dalam
kontestasi penyelenggaraan pemilihan umum di Afrika Selatan, sehingga partai tersebut
kemudian memasukan kebijakan apartheid ke dalam suatu undang-undang di Afrika
Selatan.22
Terdapat beberapa yurisdiksi dari Pengadilan Gugatan Tanah di Afrika Selatan yang
dibagi menjadi tujuh kelas, yaitu perlindungan perencanaan dan banding lingkungan,
pemerintah daerah, banding dan izin membangun, hak atas tanah dan kompensasi,
perencanaan dan perlindungan lingkungan termasuk penegakan hukum pidana,  banding
terkait tindak pidana lingkungan, serta permohonan izin banding terkait tindak pidana
lingkungan. Pengadilan Gugatan Tanah berkedudukan setingkat dengan pengadilan
tinggi, sehingga dalam hal salah satu pihak yang bersengketa mengajukan banding, maka
penyelesaiannya akan dibawa ke Mahkamah Agung (MA) dan Pengadilan
Konstitusional.23
Selain Pengadilan Gugatan Tanah di Afrika Selatan, terdapat pula Pengadilan
Tanah dan Lingkungan yang berada di negara bagian New South Wales, Australia.
Pengadilan ini dibentuk dengan tujuan untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa
pertanahan di pengadilan, di mana landasan dari pembentukannya adalah berdasarkan
pada ketentuan Land and Environment Court Act 1979, Nomor 204. Prinsip yang dianut
oleh pengadilan ini adalah penyelesaian perkara secara adil, cepat, dan murah. Sama
seperti Pengadilan Gugatan Tanah di Afrika Selatan, Pengadilan Tanah dan Lingkungan
di negara bagian New South Wales, Australis berkedudukan setingkat dengan pengadilan
tinggi. Sehingga, penyelesaian pengajuan upaya hukum banding akan dibawa ke Court of
Appeal dan Court of Criminal Appeal.24
Berbagai permasalahan pertanahan di Indonesia saat ini pada hakikatnya
bersumber dari pola pengaturan yang bersifat sektoral, di mana hal tersebut
menyebabkan regulasi saling tumpang tindih bahkan bertentangan antarperaturan satu
sama lain. Hal tersebut memengaruhi adanya inkonsistensi terhadap peraturan
perundang-undangan dan pelaksanaannya, sehingga berimplikasi terhadap kurangnya
jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam mengakses keadilan
terhadap perolehan dan pemanfaatan sumber daya agraria.

2. Model Pengadilan Pertanahan dalam Menyelesaikan Sengketa Pertanahan Demi


Mewujudkan Keadilan Agraria

22
Syarief, Menggugat..., Op.Cit., hlm. 350.
23
Ibid., hlm. 361-366.
24
Ibid., hlm. 353-360.
Menurut Konstitusi Pengadilan Pertanahan telah dijelaskan dalam Pasal 24 ayat (1)
UUD NRI 1945 yang berbunyi “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”,
kemudian yang dilanjutkan pada ayat (3) yaitu “Badan-badan lain fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”.25 Hal inilah yang dilanjutkan
oleh Pasal 1 angka (8) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang berbunyi “Pengadilan khusus adalah pengadilan yang mempunyai
kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya
dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang”.26
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa Pengadilan Pertanahan
dapat dibentuk berdasarkan undang-undang dan kedudukan kelembagaannya berada di
bawah Mahkamah Agung, sebagaimana yang diperkuat oleh pendapat A. Hamid S.
Attamimmi yakni suatu kelembagaan baru dapat dibentuk melalui undang-undang yang
bersifat delegasi. Maksudnya ialah, pembuatan suatu undang-undang bertujuan untuk
memindahkan atau menyerahkan kewenangan untuk membentuk peraturan dari
pemegang kewenangan asal (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegataris),27
yakni dengan membentuk suatu undang-undang yang mengatur tentang Pengadilan
Pertanahan sekaligus memindahkan tugas dan wewenang terkait sengketa pertanahan
yang selama ini diberikan kepada pengadilan negeri, dan pengadilan Tata Usaha Negara
(TUN).
Pembentukan pengadilan pertanahan tidak terlepas dari pembentukan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan hal tersebut. Oleh karena itu, apabila
berbicara mengenai pembentukan pengadilan pertanahan, maka perlu didasarkan pada
tiga landasan penting, yaitu landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Pembentukan
pengadilan khusus pertanahan diharapkan dapat menyelesaikan sengketa/perkara
pertanahan dengan menemukan kebenaran materiil yang sangat diperlukan dalam
penyelesaian konflik atau sengketa pertanahan. Hal ini dapat diwujudkan melalui putusan
pengadilan yang sungguh-sungguh sehingga putusan yang dihasilkan bukan hanya
putusan yang mengandung kepastian hukum, namun juga mengandung keadilan yang
berkemanfaatan, sebagaimana yang dimaksud dalam sila kelima Pancasila yakni
“keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, serta Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 33 ayat
(3) UUD NRI Tahun 1945. Melalui pengadilan khusus ini pula, diharapkan dapat
memberikan kemudahan dan perlakuan khusus kepada pihak tertentu yang bersengketa

25
Lihat Pasal 24 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
26
LIhat Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
27
Hamid S. Attamimmi, Ilmu Perundang-Undangan, (Bandung: Grafika, 1990), hlm. 352.
agar mendapatkan kesempatan dan manfaat yang sama terhadap sumberdaya
pertanahan yang menjadi obyek sengketa sehingga pihak tertentu tersebut mencapai
persamaan dan keadilan di hadapan hukum, sesuai dengan amanah Pasal 28H ayat (2)
UUD Negara RI 1945. 28
Dengan demikian, secara filosofis penyelesaian sengketa
pertanahan melalui pengadilan pertanahan diharapkan dapat menciptakan keadilan,
kepastian, kemanfaatan bagi setiap warga negara, khususnya pihak-pihak yang
bersengketa di pengadilan.
Apabila merujuk pada pembentukan Pengadilan Pertanahan, maka landasan
sosiologis dibentuknya pengadilan ini adalah untuk menyelesaikan sengketa-sengketa
pertanahan yang berlarut-larut, dan menyatukan dualisme penyelesaian sengketa tanah
yang sebelumnya diselesaikan pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan TUN menjadi
satu pengadilan khusus yakni Pengadilan Pertanahan.29 Pada dasarnya gagasan
pembentukan pengadilan ini memang telah lama muncul, sebagaimana yang pernah
digagas oleh Prof. Arie S Hutagalung,30 bahwa: “Secara teoretis, pembentukan
pengadilan pertanahan dapat saja dilakukan dan dasar hukum pembentukannya
pengadilan pertanahan dalam lingkungan peradilan umum dapat dilihat dalam Pasal 8,
yang menyebutkan bahwa di lingkungan Peradilan umum dapat diadakan pengkhususan
yang diatur dengan undang-undang. Ciri pokok Pengadilan Pertanahan yang diharapkan
adalah yaitu: a) di setiap Pengadilan Negeri ditempatkan seorang hakim atau lebih yang
semata-mata diberi tugas untuk mengadili perkara-perkara pertanahan, b) hukum acara
yang dipergunakan adalah hukum acara perdata yang berlaku di Pengadilan Negeri.”31
Dengan demikian, maka hakim Pengadilan Pertanahan adalah Hakim Pengadilan Negeri
dengan penugasan khusus, serta menggunakan hukum acara perdata.
Berkenaan dengan gagasan tersebut, Maria S.W. Sumardjono menyatakan bahwa
pada tahun 1995 pernah tercatat adanya usulan untuk membentuk pengadilan
pertanahan dalam lingkup peradilan umum. Pada kesempatan rapat dengar pendapat di
hadapan Panitia Khusus Pertanahan DPR bulan Mei 2004, Maria S.W. Sumardjono juga
pernah menyampaikan bahwa pembentukan pengadilan pertanahan memang
dimungkinkan, akan tetapi perlu kecermatan dan kehati-hatian dalam persiapannya.
Salah satu yang harus dipikirkan adalah sengketa tanah apa saja yang menjadi
wewenang pengadilan pertanahan.32

28
Tim Kerja RUU Pengadilan Agraria, Politik..., Op.Cit., hlm. 86.
29
Ismail, Hukum..., Op.Cit., hlm. 136.
30
Enrico Simanjuntak, “Rekonseptualisasi Pengadilan Pertanahan”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 3, No. 3,
November 2014, hlm. 254.
31
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta: Lembaga Pemberdayaan
Hukum Indonesia, 2005), hlm. 373-374.
32
Maria S.W. Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) di
Bidang Pertanahan, (Jakarta: Penerbit Kompas Gramedia, 2008), hlm. 117-118.
Secara substansi atau kompetensi materi, sengketa pertanahan selama ini
diselesaikan melalui dua peradilan yakni peradilan umum dan peradilan tata usaha
negara. Pada peradilan umum misalnya, ruang lingkup kompetensi penyelesaian
sengketa yang berkaitan dengan tanah diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 49
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009
tentang Peradilan Umum yakni memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana
dan perkara perdata baik di tingkat pertama maupun tingkat banding. Sedangkan,
kompetensi peradilan tata usaha negara terdapat dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor
51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Selain itu,
ruang lingkup dan wewenangnya hanya berkaitan dengan permasalahan kepemilikan dan
hak-hak atas tanah, baik yang menyangkut aspek keperdataan, pidana maupun
administratif, akan tetapi sengketa-sengketa pertanahan yang ruang lingkupnya jauh lebih
luas dan dampaknya jauh lebih besar belum menjadi ruang lingkup penanganan peradilan
ini. Terlebih, masih banyaknya konflik-konflik pertanahan yang belum terselesaikan
sehingga perlu dibentuk pengadilan pertanahan.33
Ketentuan Pasal 24, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 33 ayat (3)
UUD NRI Tahun 1945 mengamanatkan secara implisit bahwa peradilan harus diarahkan
pada penegakan hukum dan juga keadilan yakni dengan menjamin adanya perlindungan
dan kepastian hukum serta perlakuan yang sama, Namun, jika perlakuan yang sama
justru menyebabkan ketidakadilan, maka putusan pengadilan tersebut harus mampu
memberikan kemudahan dan perlakuan khusus agar seseorang mendapatkan
kesempatan dan manfaat yang sama terhadap sumberdaya pertanahan sehingga orang
tersebut mencapai persamaan dan keadilan;
Kemudian, TAP MPR Nomor IX/MPR/2001, khususnya pada Pasal 6 ayat (1) huruf
d, huruf e, huruf f, dan ayat (2) huruf e yang mengamanatkan untuk menyelesaikan konflik
penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, khususnya tanah bagi terlaksananya
penegakan hukum dengan mendasarkan pada sejumlah prinsip sebagaimana tertuang
Pasal 5, dan memperkuat kelembagaan serta kewenangan dan pembiayaan
kelembagaan yang bertugas dalam penyelesaian konflik dan reforma agraria di bidang
pertanahan. Artinya, TAP MPR ini membuka kemungkinan untuk membentuk pengadilan
khusus bidang konflik pertanahan sebagai bagian dari penguatan terhadap lembaga
peradilan umum.
Ditambah lagi, ketentuan pada Pasal 27 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman memperkenankan pembentukan pengadilan khusus di
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha
33
Tim Kerja RUU Pengadilan Agraria, Politik..., Op. Cit., hlm. 91-92.
negara sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Artinya, pembentukan
pengadilan khusus di masing-masing lingkungan peradilan tersebut diperkenankan
dengan pertimbangan bahwa pengadilan yang berlangsung saat ini tidak mampu
menyelesaikan secara tuntas sumber konflik atau sengketa, dan dalam hal
pembentukannya diatur dalam undang-undang, baik dalam suatu undang-undang
tersendiri atau sebagai bagian terpadu dari undang-undang yang memuat hukum materiil
atau perpaduan keduanya.
Apabila dikaitkan dengan penyelesaian sengketa pertanahan di Indonesia, maka
pengadilan pertanahan mempunyai kompetensi absolute terhadap sengketa yang
bersumber dari penguasaan dan pemanfaatan semua sumberdaya pertanahan, di mana
pembentukannya dilakukan dengan undang-undang tersendiri, hal ini dikarenakan secara
teknis tidak mungkin memasukkan pengaturan pembentukannya ke dalam UUPA atau
Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUU Pertanahan). Selain itu, secara yuridis
dorongan pembentukan lembaga Pengadilan Pertanahan lebih dikarenakan: 1) Secara
materiil konflik-konflik agraria belum tertangani oleh lembaga peradilan yang telah ada; 34
2) Mewujudkan amanat TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumberdaya Alam;35 3) Dimungkinkannya suatu pengadilan khusus dapat
dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
dengan suatu undang-undang;36; dan 4) Menciptakan Pengadilan Pertanahan yang
memenuhi prinsip-prinsip peradilan yang cepat, murah dan sederhana serta berkeadilan.
Pembentukan Pengadilan Pertanahan bukan berarti menghidupkan kembali
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform, tetapi lebih
mengarahkan pada pencermatan corak-corak sengketa dan mekanisme penyelesaian
sengketa pertanahannya. Kemudian, terkait konsep Pengadilan Pertanahan yang akan
dibentuk ialah dengan membentuk suatu pengadilan khusus yang mempunyai
kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara khusus pertanahan yang
hanya terletak di bawah lingkungan peradilan umum saja, serta dalam pembentukannya
diatur melalui undang-undang,37 sebagaimana yang telah dilaksanakan pada Pengadilan
Hubungan Industrial, Pengadilan Niaga, Pengadilan Pajak, dan sebagainya. Kemudian,
dari segi kedudukan dan ruang lingkupnya, pengadilan ini dapat mengadopsi model dari
keberadaan Pengadilan Hubungan Industrial, di mana pengadilan khusus tersebut
berkedudukan di ibu kota provinsi yang daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi yang

34
Ismail, Hukum..., Op. Cit., hlm. 136.
35
Lihat pada Pasal 6 ayat (1) huruf d dan Pasal 6 ayat (2) huruf e Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.
36
Lihat pada Pasal 27 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
37
Lihat pada Pasal 9A ayat (1) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
bersangkutan, dan putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dapat langsung
dieksekusi. Dengan kata lain, pengadilan ini berfungsi sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat dalam mencari keadilan di bidang pertanahan.

Gambar 1. Bagan Alur Gagasan Penyelesaian Sengketa Pertanahan melalui


Pengadilan Pertanahan38

Selain itu, pengadilan ini tidak dilakukan upaya hukum banding, mengingat asas
peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan,39 karena sebelum perkara tersebut
diselesaikan melalui jalur litigasi, maka wajib dilakukan upaya hukum damai, seperti
mediasi dan konsiliasi. Apabila hal tersebut tidak menimbulkan kesepakatan, barulah
diselesaikan melalui proses persidangan. Akan tetapi, pada pengadilan ini memiliki upaya
hukum terakhir yakni kasasi, yaitu pembatalan putusan dari semua lingkungan peradilan
karena tidak berwenang atau melampaui batas wewenang, salah menerapkan atau
melanggar hukum yang berlaku, lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan
yang bersangkutan,40 serta memiliki upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali.
Upaya ini bertujuan agar dapat membuka kembali suatu putusan pengadilan yang telah

38
Hasil Olahan Sendiri.
39
Lihat pada Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
40
Lihat pada Pasal 30 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
mempunyai kekuatan hukum tetap akibat adanya kekeliruan atau kekhilafan Hakim ketika
menjatuhkan putusan pada tingkatan sebelumnya.41
Adapun tugas dan wewenangnya, pengadilan pertanahan dapat memeriksa,
mengadili dan memutus perkara di tingkat pertama yang berhubungan dengan sengketa
pertanahan baik berupa sengketa pidana, perdata maupun administrasi, terkhusus dalam
penyelesaian sengketa yang menyangkut administrasi maka dapat dilakukan pengadilan
koneksitas, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu "Pengadilan wajib saling memberi
bantuan yang diminta untuk kepentingan peradilan”. Maksudnya ialah Pengadilan
Pertanahan dan Pengadilan TUN harus saling memberikan bantuan dalam hal
administrasi berkas perkara, inventarisasi putusan pengadilan dan penggunaan sumber
daya manusia,42 yakni dengan meminta bantuan kepada Pengadilan TUN agar
melibatkan hakimnya dalam memeriksa, dan mengadili perkara yang berkaitan dengan
administrasi pertanahan. Hal ini diperkuat dengan pandangan dari Oemar Seno Adji
mengenai pemahaman pendekatan tidak partial dan integral dalam penyelesaian perkara
yang menyangkut keputusan atau ketetapan pejabat TUN secara administratif, di mana
fungsi pemerintah yang diselenggarakan oleh badan atau pejabat TUN merelevansikan
adanya perbuatan hukum perdata maupun hukum publik. Artinya, apabila keputusan yang
diterbitkan ini berada pada saat badan atau pejabat TUN menyelenggarakan fungsi
pemerintahan berkenaan dengan perbuatan privaatrechtelijk, maka terhadapnya tunduk
dan terikat pada suasana hukum keperdataan.43
Hal lain yang patut dipertimbangkan yaitu; a) keputusan badan atau pejabat TUN
layak dititikberatkan pada fungsi pemerintah yang diselenggarakan oleh badan atau
pejabat TUN dengan merelevansikan ada atau tidaknya perbuatan-perbuatan dalam
lingkup hukum perdata maupun hukum publik dengan alasan yaitu menghindari adanya
suatu extensib atas masuknya yurisdiksi pengadilan umum ke dalam perbuatan yang
bersifat publiekrechtelijk dari badan atau pejabat TUN maupun yurisdiksi (wewenang)
Peradilan TUN yang memasuki perbuatan dari badan atau pejabat TUN yang bersifat
privaatrechtelijk, b) perbuatan hukum perdata dari badan atau pejabat TUN, keputusan
TUN tidak dapat dikatakan sebagai keputusan yang berdiri sendiri tanpa adanya
perbuatan privaatrechtelijk, seperti dalam hal jual beli, c) perbuatan hukum perdata dari
badan atau pejabat TUN, keputusan TUN sebagai pelaksanaan lanjutan dari perbuatan-
perbuatan badan atau pejabat TUN yang berada dalam suasana dan lingkup hukum

41
Adi Harsanto, Jubair dan Sulbadana, “Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Katalogis, Vol. 5 No. 3, Maret 2017, hlm 1-11.
42
Lihat pada Penjelasan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
43
Oemar Seno Adji dan Indriyanto Seno Adji, Peradilan bebas & Contempt of court, (Jakarta: Diadit Media, 2007),
hlm. 169.
perdata, d) sejak pelaksanaan Peradilan TUN disahkan hingga dewasa ini belum ada
satupun yurisprudensi tetap dan konstan tentang yurisdiksi peradilan terhadap keputusan
TUN sejenis artinya keputusan yang diterbitkan oleh badan atau pejabat TUN berkenaan
dengan perbuatan-perbuatannya yang bersifat privaatrechtelijk belum diatur.44
Berbeda halnya dengan penyelesaian perkara perdata dari badan atau pejabat
TUN, keputusan TUN sebagai pelaksanaan lanjutan dari perbuatan-perbuatan badan atau
pejabat TUN yang berada dalam suasana dan lingkup hukum perdata di mana hal ini
telah mendapatkan yurisprudensi dari MA yakni Yurisprudensi Nomor 5/Yur/Pdt/2018
yang bersumber pada Putusan Nomor 976 K/Pdt/2015 tentang klasifikasi hak milik atas
tanah yang melahirkan kaidah hukum yaitu jika terdapat sertifikat ganda atas tanah yang
sama, di mana keduanya sama-sama otentik, maka bukti hak yang paling kuat adalah
sertifikat hak yang terbit lebih dahulu.45 Oleh karena itu, asas yang digunakan pada
pengadilan ini adalah asas kebenaran materiil, di samping asas-asas pengadilan lainnya
seperti sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. Asas tersebut bertujuan mencari
kebenaran yang sesungguhnya sesuai dengan kenyataan sebagaimana yang telah
diterapkan pada persidangan pidana,46 sekaligus menyelesaikan persoalan-persoalan
yang selama ini ditangani oleh melalui sengketa perdata di Pengadilan Negeri dan
sengketa TUN di Pengadilan TUN yang berfokus pada kebenaran formil.
Padahal jika mengacu pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, ditentukan bahwa: “Hakim dan hakim konstitusi
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.” Artinya, seorang hakim wajib menggali, memeriksa, menafsirkan, dan
menghasilkan suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap baik dengan keyakinannya
dan menurut undang-undang, serta seorang hakim juga harus bersikap proaktif dalam
mencari suatu kebenaran karena pihak-pihak yang berperkara tidak hanya pihak yang
cakap hukum namun juga pihak-pihak yang tidak cakap hukum dan tidak memiliki akses
dalam mengetahui bagaimana bentuk hukum tersebut.
Hal terakhir yang perlu diperhatikan ialah biaya perkara yang harus dikeluarkan oleh
para pihak dalam berperkara di pengadilan, yakni disesuaikan dengan besaran harga
objek sengketa berupa tanah, serta disediakannya suatu penyelesaian secara gratis
sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di
Pengadilan. Jika dikaitkan secara yuridis, aturan ini juga diperkuat dalam Pasal 237
hingga Pasal 245 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan Pasal 273 hingga Pasal 281
44
Adji dan Indriyanto Seno Adji, Peradilan..., Op. Cit., hlm 171-172.
45
Lihat pada Yuridprudensi Mahakamah Agung Nomor 5/Yur/Pdt/2018.
46
Departemen Kehakiman RI, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Jakarta:
Erlangga, 1976), hlm. 12.
Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg) yaitu: “Barang siapa hendak berperkara,
baik sebagai penggugat maupun tergugat, tetapi tidak mampu membayar ongkos perkara,
dapat mengajukan perkara dengan ijin tidak membayar ongkos”. Dengan demikian,
pembentukan Peradilan Pertanahan yang independen diharapkan dapat menyelesaikan
sengketa-sengketa pertanahan dengan cara yang lebih adil dan beradab, serta dapat
menciptakan keadilan agraria di Indonesia.

C. Simpulan
Permasalahan pertanahan saat ini dapat mengandung tiga ranah pelanggaran
norma hukum, yaitu dapat terjadi pada aspek keperdataan, pidana, dan administrasi,
sehingga penyelesaian perkaranya menyentuh pada dua lingkungan peradilan yang
berbeda dalam lingkup peradilan umum dan peradilan tata usaha negara. Tingginya
persentase sengketa pertanahan yang terjadi saat ini menujukkan bahwa penyelesaian
perkara melalui lingkungan peradilan yang berbeda saat ini belum sepenuhnya mampu
menyelesaikan permasalahan pertanahan secara optimal sesuai dengan asas peradilan
yang sederhana, cepat, dan berbiaya murah.
Pengadilan pertanahan digagas dengan tujuan dapat menyelesaikan sengketa
pertanahan berdasarkan asas peradilan yang sederhana cepat dan berbiaya murah.
Gagasan penyelesaian perkara pertanahan yang akan diselesaikan di bawah peradilan
umum dengan mangadopsi sistem penyelesaian secara koneksitas antara pengadilan
pertanahan dan pengadilan tata usaha negara, di mana hal ini selaras dengan
pendekatan tidak partial dan integral. Selanjutnya, digagas pula alur penyelesaian perkara
pertanahan sebelum masuk ke jalur litigasi, yaitu sengketa perlu terlebih dahulu
diselesaikan melalui upaya damai atau nonlitigasi. Sehingga, secara keseluruhan dari
gagasan pengadilan pertanahan semata-mata dibentuk untuk mewujudkan keadilan
agraria.

Daftar Pustaka

Buku:
Adji, OS dan Indriyanto Seno Adji. (2007). Peradilan bebas & Contempt of court. Jakarta: Diadit
Media.
Arba. (2019). Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Arizona, Y. (2014). Konstitusionalisme Agraria. Yogyakarta: STPN Press.
Arto, AM. (2001). Mencari Keadilan, Kritik dan Solusi Terhadap Praktik Peradilan Perdata di
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Attamimmi, HS. (1990). Ilmu Perundang-Undangan. Bandung: Grafika.
Bachtiar. (2018). Metode Penelitian Hukum. Tangerang Selatan: UNPAM Press.
Departemen Kehakiman RI. (1976). Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana. Jakarta: Erlangga.
Hutagalung, AS. (2005). Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah. Jakarta: Lembaga
Pemberdayaan Hukum Indonesia.
Ibrahim, J. (2005). Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia
Publishing.
Irwansyah. (2021). Penelitian Hukum: Pilihan Metode dan Praktik Penulisan Artikel. Yogyakarta:
Mitra Buana Media.
Ishaq. (2017). Metode Penelitian Hukum. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Ismail, N. (2018). Hukum Agraria dalam Tantangan Perubahan. Malang: Setara Press.
Marzuki, PM. (2005). Penelitian Hukum. Surakarta: Kencana.
Mike, MC dan Wing Hong Chui. (2007). Research Methods for Law: Second Edition. Edinburgh:
Edinburgh University Press.
Muhaimin. (2020). Metode Penelitian Hukum. Mataram: Mataram University Press.
Murad, R. (1991). Penyelesaian Sengketa Hukum Hak Atas Tanah. Bandung: Alumni.
Nugroho, H. (2001). Menggugat Kekuasaan Negara. Surakarta: Muhammadiyah University
Press.
Sulistyo, A dan Isharyanto. (2018). Sistem Peradilan di Indonesia dalam Teori dan Praktik.
Depok: Prenadamedia Group.
Sumardjono, MS.W. (2008). Mediasi Sengketa Tanah Potensi Penerapan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (ADR) di Bidang Pertanahan. Jakarta: Penerbit Kompas
Gramedia.
Sumardjono, MSW. (2018). Regulasi Pertanahan dan Semangat Keadilan Agraria. Yogyakarta:
STPN Press.
Syarief, E. (2014). Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Jurnal
Jubair, AH dan Sulbadana. (2017). “Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”. Jurnal Katalogis, Vol. 5 No. 3. hlm 1-11.
Koeswahyono, I dan Maharani, DP. (2022). “Rasionalisasi Pengadilan Agraria di Indonesia
sebagai Solusi Penyelesaian Sengketa Agraria Berkeadilan”. Arena Hukum, Vol. 15, No.
1. hlm. 2.
Rosmidah. (2013). “Kepemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia”. Jurnal Ilmu Hukum INOVATIF,
Vol. 6, No. 2. hlm. 66.
Saraswati, CN dan Winanti, A. (2021). “Pembentukan Pengadilan Agraria dalam Penyelesaian
Sengketa Pertanahan di Indonesia”. ALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar’I,  Vol. 8, No.
1.  hlm. 242.
Simanjuntak, E. (2014). “Rekonseptualisasi Pengadilan Pertanahan”. urnal Hukum dan
Peradilan, Vol. 3, No. 3. hlm. 254.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/2003 tentang
Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Yuridprudensi Mahakamah Agung Nomor 5/Yur/Pdt/2018.
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21
Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.

You might also like