You are on page 1of 22

LGBT DALAM PERSPEKTIF HUKUM HAK ASASI MANUSIA DAN

KUHP

Nurafni Faradillah dan Nurmi Erawati

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin


Jl. Perintis Kemerdekaan No. KM.10, Tamalanrea Indah, Kota Makassar
Email : nurafnifaradillah26@gmail.com , yayaredy85@gmail.com

Abstract

This paper deals with LGBT in the perspective of human rights and criminal law. The
problems discussed in this study are how human rights causality towards the existence of
LGBT globalization in Indonesia and how the policy of crime against LGBT is linked with
the dely-delic of propriety. The aim of researchers is to discuss LGBT phenomena in
Indonesia in a human rights perspective where there are two principles behind the human
rights concept itself: the principles of freedom and equality and to know the legislation
policies on LGBT in the violation of ethical morality. The author USES normatif juridics.
The conclusion of this study, first suggests that human rights are recognized in Indonesia
but that there are restrictions imposed by laws, morals, ethics, and religious values that
point out that every human being besides having human rights to protect, they also have
an obligation to respect the human rights of others and also to respect the human rights of
others as well as that of society around them. And second, LGBT action is an act that
violates the rules of religion and the value of religious life in Indonesian society. However,
the irony is that there is no specific law against LGBT problem, though seen from the
illegal nature of action, even if the act is not regulated in the laws and regulations, but if
the deed is dian.

Keywords: LGBT; Human Rights; KUHP

Abstrak

Tulisan ini membahas mengenai LGBT dalam perspektif hukum HAM dan KUHP.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana kausalitas hukum
hak asasi manusia terhadap eksistensi globalisasi LGBT di Indonesia dan bagaimana
kebijakan kriminalitas terhadap LGBT jika dikaitkan dengan delik-delik kesusilaan dalam
KUHP. Tujuan peneliti adalah untuk membahas fenomena LGBT di Indonesia dalam
perspektif hukum hak asasi manusia di mana terdapat dua prinsip yang melatarbelakangi
konsep HAM itu sendiri yakni prinsip kebebasan dan persamaan dan untuk mengetahui
kebijakan perundang-undangan tentang LGBT dalam pelanggaran kesusilaan KUHP.
Penulis menggunakan metode yuridis normatif. Kesimpulan dari penelitian ini, pertama
menunjukkan bahwa HAM adalah hak dasar yang diakui di Indonesia akan tetapi ada
pembatasan yang ditetapkan undang-undang, moral, etika, dan nilai agama yang
menegaskan bahwa setiap manusia di samping memiliki hak asasi manusia untuk
dilindungi, mereka juga memiliki kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain dan
juga ketertiban masyarakat sekitar dalam hal ini adalah pelaku LGBT. Dan kedua,
tindakan lgbt adalah tindakan yang melanggar aturan agama dan nilai kehidupan
beragama di masyarakat Indonesia. Namun, ironisnya tidak ada payung hukum khusus
untuk mengatur masalah lgbt meskipun jika dilihat dari sifat illegal suatu tindakan bahkan
jika tindakan tersebut tidak diatur dalam undang-undang dan peraturan (terhadap hukum
formal), tetapi jika akta itu dianggap tercela karena keadilan atau norma-norma kehidupan
sosial dalam masyarakat (melawan hukum materi) maka tindakan tersebut dapat
dihukum.

Kata kunci: LGBT, Hak Asasi Manusia, KUHP

Pendahuluan
Indonesia lahir dengan ideologi Pancasila, yang diambil dari jiwa dan nilai-
nilai yang hidup dari bangsa Indonesia. Negara Pancasila ini terdiri dari berbagai
keragaman, mulai dari suku, agama, budaya, bahasa, serta beberapa pemikiran
bangsa.pancasila sendiri pada hakikatnyamerupakan sesuatu kekayaan bangsa
oleh karena bisa menjadi panutan nilai moral,etis dan spiritual. Sebagai pedoman,
Pancasila telah memiliki 5 prinsip lengkap yaitu ketuhanan, kemanusian,
kebangsaan, dan kajian keadilan sosial. Fungsi Pancasila sebagai sebuah
pedoman juga mengandung arti jika sebuah perbuatan tidak boleh bertentangan
denga napa yang sudah diamanatkan dalam prinsip-prinsip Pancasila tersebut.
Pancasila adalah gambaran jiwa dan nilai masyarakat,yang menjadikan
persatuan dan kesatuan bangsa dengan menciptakan kerukunan hidup serta
ketemtraman keberlangsungan hidup berbangsa bernegara Pancasila. Pancasila
memiliki nilai-nilai keseimbangan yang berasal dari jiwa bangsa Indonesia, yang
mana nilai tersebut saling berhubungan dan nilai memiliki nilai tertinggi dan tidak
boleh ditentang dan dilanggar yaitu nilai ketuhanan.
Nilai kemanusian atau yang modern disebut dengan hak asasi manusia
sebagai salah satu nilai yang fundamental dimiliki setiap manusia. HAM adalah
hak yang alamiah yang dimiliki manusia yang sudah melekat pada dirinya sejak
manusia terlahir ke dunia. Hak alamiah ini mendahului posisi legal, kultural,
ekonomi, dan sosial manusia dalam komunitasnya, karena hak ini diberikan oleh
kekuasaan adiduniawi, yaitu tuhan YME. Hak ini sifatnya sangat mendasar bagi
hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodratif yang tidak bisa
terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.
Pernyataan HAM did alam Pancasila mengandung pemikiran bahwa
manusia diciptakan oleh tuhan yang maha esa dengan menyandang 2 aspek
yakni aspek individualitas dan aspek sosialitas. Oleh karena itu, kebebasan setiap
orang dibatasi oleh hak asasi orang lain. Ini berarti, bahwa setiap orang
mengembang kewajiban mengakui dan menghormati hak asasi orang lain.
Kewajiban ini juga berlaku bagi setiap organisasi pada tatanan manapun,
terutama negara dan pemerintah khususnya dinegara Indonesia. Dengan
demikian negara dan pemerintah bertanggung jawab dan menghormati,
melindungi, membela, dan menjamin hak asasi manusia setiap warga negara dan
penduduknya tanpa diskriminasi.
Namun ham yang datang setelah adanya perubahan dalam amandemen
UUD NRI tahun 1945, tidak bisa dijadikan tempat berlindung apabila perbuatan
yang dilakukan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan moral masyarakat.
Dalam konteks kekinian khusunya pasca reformasi Pancasila sangat jarang
dibicarakan, khususnya dalam hubungannya ilmu hukum. Banyak perbuatan yang
menyangkut moralitas pada masyarakat Indonesia sekarang ini yang perlu
dibenahi dengan penegakkan hukumnya secara benar mengingat akibat negative
dan hukum yang timbul sangat banyak.1
Permasalahan LGBT diindonesia banyak menimbulkan pertentangan
pendapat, antara pihak pro dan kontra mereka yang pro terhadap LGBT
menyatakan, bahwa negara dan masyrakat harus mengkampanyekan prinsip
nondisriminasi antara lelaki, perempuan, transgender, pencinta lawan jenis
(heterosexual) maupun pencinta sejenis (homoseksual). Pendukung LGBT
menggunakan pemenuhan hak asasi manusia sebagai dasar tuntutan mereka
1
Destashya Wisna Dirayaputri, (2022), ”LGBT Dalam Kajian Hak Asasi Manusia Di Indonesia”, Jurnal
Hukum Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia Vol.No.2.1.
dengan menyatakan bahwa orientasi seksual adalah hak asasi manusia bagi
mereka.
Sebaliknya pihak-pihak yang kontra terhadap LGBT, menilai bahwa LGBT
sebagai bentuk penyimpangan, dan tidak masuk dalam konsepsi HAM. Dalam hal
ini, negara dan masyarakat harus berusaha semaksimal mungkin untuk
melakukan upaya preventif terhadap gejala muncul dan berkembangnya LGBT
yang akan membahayakan generasi masa depan Indonesia. Oleh sebab itu,
posisi strategis pemerintah dalam hal ini sangat diperlukan dalam menangani
polemik LGBT secara langsung agar tidak terjadi disintegrasi bangsa.
Situasi yang terjadi diindonesia terkait fenomena LGBT tersebut, tentunya
tidak dapat dilepaskan dari gejolak fenoma LGBT yang terjadi ditingkatan dunia
international. Pada tahun 2011, dewan HAM PBB mengeluarkan resolusi pertama
tentang pengakuan atas hak-hak LGBT, yang diikuti dengan laporan dari komisi
HAM PBB yang mendokumentasikan pelanggaran hak-hak dari orang LGBT,
termasuk kejahatan kebencian, kriminalisasi homo seksualitas, dan diskriminasi.
Menindaklanjuti laporan tersebut, komisi HAM PBB mendesak semua negara
untuk memberlakukan hukum yang melindungi hak-hal LGBT. Dasar aturan yang
digunakan oleh PBB adalah dalam perspektif universal declaration of human rights
(deklarasi universal hak-hak asasi manusia, dewan HAM PBB mensahkan resolusi
persamaan hak yang menyatakan bahwa setiap manusia dilahirkan bebas dan
sederajat dan setiap orang berhak untuk memperoleh hak dan kebebasannya
tanpa diskriminasi apapun.2
Studi yang pernah dilakukan sebelumnya terkait LGBT dalam kajian hak
asasi manusia (Destashya Wisna Diraya Putri 2022; Meilanni Budiarti Santoso
2022; Febby Shafira Dhamayanti 2022; Ateng Sudibyo 2019; Ari Wibowo 2015),
semua penelitian yang telah dilakukan, hanya membahas LGBT dalam perspektif
hak asasi manusia dan agama, sehingga pada penelitian ini peneliti akan
memaparkan perbandingan terkait LGBT dalam perspektif hukum hak asasi
manusia dan perspektif KUHP.
Banyak kajian yang dilakukan oleh para akademisi dan aktivis HAM yang
menghasilkan polarisasi sikap terhadap kaum LGBT. Banyak pihak yang menolak
perilaku seksual menyimpang tersebut dan tidak sedikit pula yang bersedia
2
Meilanni Budiarti Santoso, (2022), “LGBT Dalam Persepektif Hak Asasi Manusia”, Jurnal Hukum Universitas
Padjajaran Vol. 6 No.2.
menerima. Perdebatan pendapat antara keduanya semakin memanas dan meluas
dengan adanya argumentasi-argumentasi yang bersperspektif HAM dan
argumentasi yang berperspektif dari KUHP. Maka dari itu, permasalahan yang
dianalisis dalam tulisan ini adalah tentang bagaimana kausalitas hukum hak asasi
manusia terhadap eksistensi LGBT di Indonesia dan bagaimana kebijakan
kriminal LGBT dalam delik kesusilaan kitab undang-undang hukum pidana di
Indonesia.

Metode Penelitian
Pada penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif,
untuk mendapatkan data dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan
pendekatan Undang-undang dan pendekatan komparatif. Penelitian ini
menggunakan penelitian pustaka dengan mendapatkan data skunder berupa buku
literatur, hasil penelitian, jurnal, artikel, maupun peraturan hukum terkait objek
penelitian.3

Hasil Penelitian dan Pembahasan

A. Kausalitas Hukum Hak Asasi Manusia Terhadap Eksistensi LGBT Di


Indonesia
Indonesia merupakan negara yang mengakui HAM sebagai sesuatu yang
eksis dan harus dihormati dan dilindungi. BAB 10 A UUD NRI Tahun 1945
merupakan bab yang secara khusus mengatur tentang HAM di Indonesia secara
umum. UUD NRI Tahun 1945 secara hirarki merupakan peraturan perundang
undangan tertinggi yang menjadi acuan peraturan perundang-undangan lain di
bawahnya, sehingga tidak aka nada peraturan di Indonesia yang tidak mengakui
HAM. Selain itu, Indonesia juga mengakui UDHR Tahun 1948 yang menjadi
instrument HAM international yang diakui oleh bangsa-bangsa di dunia.
Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada setiap manusia apapun
kebangsaan kita, tempat tinggal, jenis kelamin, asal kebangsaan atau etnis, warna
kulit, agama, bahasa atau status lainnya.

3
Irwansyah dan Ahsan Yunus, (2021), Penelitian Hukum Pilihan Metode dan Praktek Penulisan Artikel,
Yogyakarta: Mega Cakrawala, hal. 94.
Konsep HAM yang sebelumnya bersifat teologis, filsafati, ideologis, atau
moralistk dengan kemajuan berbangsa dan bernegara dalam konsep modern
akan cenderung ke sifat yuridis dan politik, karena instrumen HAM dikembangkan
sebagai bagian yang menyeluruh dan hukum international baik tertulis maupun
tidak tertulis. Bentuknya bisa dalam wujud deklarasi, konvensi, kofenan, resolusi
maupun general comen. instrumen-instrumen tersebut akan membebankan
kewajiban para negara-negara PBB, Sebagian mengikat secara yuridis dan
Sebagian lagi kewajiban secara moral walaupun para negara anggota belum
melakukan ratifikasi secara formal.4
Ada beberapa prinsip telah menjiwai hak-hak asasi manusia international.
Prinsip-prinsip terdapat hampir pada semua perjanjian international dan
diaplikasikan ke dalam hak-hak yang lebih luas. Prinsip kesetaraan, pelarang
diskriminasi dan kewajiban positive yang dibebankan kepada setiap negara
digunakan untuk melindungi hak-hak tertentu.5
Perkembangan konsep-konsep HAM telah membawa perubahan yang cukup
mendasar dalam pandangan lingkup international dan lingkup hukum nasional.
Perkembangan tentang HAM ini tidak terlepas dari keinginan masyarakat dunia
international untuk membentuk suatu system hukum yang humanis dan
memperhatikan hak-hak individu. Terdapat 4 kelompok pandangan tentang HAM
ini yaitu pandangan universal absolute, pandangan universal relative, pandangan
partikularistik absolute dan pandangan partikulariistik relative.
Pandangan universal absolute memandang ham sebagai nilai-nilai universal
sebagaimana dirumuskan dalam dokumen-dokumen HAM dan profile sosial
budaya yang melekat pada masing-masing bangsa tidak diperhitungkan.
Pandangan universal relative, memandang HAM sebagai suatu masalahyang
bersifat universal dengan perkecualian dan batasan yang didasarkan pada asas-
asas hukum international. pandangan partikulistik absolute memandang HAM
sebagai persoalan dari masing-masing bangsa. Pandangan partikularistik relative
memandang HAM sebagai suatu masalah universal dan juga masalah nasional
dari masing-masing bangsa.6
4
Sunarso, (2020), Pendidikan Hak Asasi Manusia, Surakarta: CV Indotama Solo, hal. 63
5
Philips Alston dan Franz Magnis, (2008), Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi
Manusia Universitas Islam Indonesia, hal. 39.
6
Firdaus Arifin, (2019), Hak Asasi Manusia Teori, Perkembangan dan Pengaturan, Yogyakarta: Thafamedia, hal.
20.
Hak asasi manusia dipercayai memiliki nilai yang universal. Nilai universal
berarti tidak mengenal batas ruang dan waktu, nilai universal ini yang kemudian
diterjemahkan dalam berbagai produk hukum nasional diberbagai negara untuk
dapat melindungi dan menegakkan nilai-nilai kemanusian. Bahkan nilai universal
ini dikukuhkan dalam instrument internasional, termasuk perjanjian international
dibidang HAM. Namun kenyataan menunjukkan bahwa nilai-nilai HAM yang
universal ternyata dalam penerapannya tidak memiliki kesamaan dan
keseragaman. Penerapan instrument HAM international akan terkait dengan
karateristik ataupun sifat khusus yang melekat dari setiap negara. 7
Dalam perkembangannya, HAM menjadi sebuah trend global yang semakin
menempati posisi penting dalam pola hubungan antara individu dengan
masyarakat dunia. HAM seolah menjadi sebuah janji bagi terpeliharanya hak-hak
individu dan mencapaian kehidupan yang baik bagi manusia. Lahirnya HAM ini
tidak bisa dilepaskan dari pergolakan manusia modern yang harus menghadapi
pengaturan negara dan semakin meningkatnya kesadaran akan fungsi negara
bagi perlindungan individu.8
Selain itu, HAM yang dianut diindonesia bukanlah sama dengan HAM yang
sering digadang-gadangkan dengan HAM barat, yang mempunyai landasan
ideologi liberal. Indonesia dengan Pancasila sangat erat dengan nilai-nilai yang
ada didalam 5 silanya.terutama dengan adanya nilai ketuhanan yang harus tetap
terjaga dan mandarah daging didalam setiap masyarrakat Indonesia. Sejatinya
Pancasila dan HAM itu sejalan dan selaras.penerapan nilai-nilai dan prinsip HAM
sangat sesuai dengan semangat Pancasila maupun sebaliknya. Tidak perlu ada
yang dipertontonkan di dalamnya. Prinsip universal HAM yang sangat mendasar
yaitu non diskriminasi, terhadap manusia tidak boleh melakukan penindasan,
Adapun jika terdapat prilaku yang menyimpang, meresahkan dan menyalahi
sendi-sendi dalam masyarakat, maka bukan hal yang tabuh jika kemudian
dilakukan respon dari masyarakat sendiri maupun dari negara. 9

7
Sherlika Aprita dan Yonani Hasyim, (2020), Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Mitra Wacana Media,
hal.8.
8
Abu Dzarrin Al-hamidy, (2015), ”Tinjauan Hukum International HAM dan Hukum Islam Terhadap LGBT
Perspektif Human Dignity Mashood A.Baderin”, Jurnal Studi Keislaman Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya Vol 10 No.1.
9
Iqbal Kamalludin dkk, (2018), ”Politik Hukum Dalam Kebijakan Hukum Pidan LGBT”, Jurnal Cita Hukum
Universitas Diponegoro Vol.6 No.2.
Semua manusia memiliki hak asasi atas kebebasan. Namun kebebasan
yang dimiliki memiliki batas-batas yang berlaku bagi semua orang tanpa
terkecuali, termasuk kaum lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT). 10Oleh
karena itu setiap hak perlu adanya pembatasan terhadap hak-hak manusia
lainnya ketika berpotensi menimbulkan kegaduhan dan ketertiban masyarakat.
Demikian hal dengan prilaku LGBT.11 Kemudian hak asasi manusia dapat
dilaksanakan jika telah melaksanakan kewajiban asasi manusia. Hak orang lain
artinya bahwa kebebasan dasar orang lain menjadi pembatas bagi seseorang
menjalankan kebebasan dasarnya.12
Sedangkan yang berkaitan dengan LGBT adalah homo seksual, yang
memiliki arti yaitu seseorang yang cenderung mengutamakan orang yang berjenis
kelamin sama sebagai mitra seksual disebut homo seksual, sehingga dengan arti
tersebut Oeotomo mendefinisikan sebagai orientasi atau pilihan seks yang
diarahkan kepada seseorang atau orang-orang dari jenis kelamin yang sama atau
ketertarikan seseorang secara emosional dan seksual kepada seseorang atau
orang-orang dari jenis kelamin yang sama. Dari kedua pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa homo seksual merupakan orientasi atau pilihan dari seseorang
yang ditujukan kepada individu atau beberapa individu dengan jenis kelamin yang
sama. Homo seksual laki-laki disebut dengan gay sedangkan homo seksual
perempuan disebut lesbian.
Lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan orientasi
seksualnya kepada sesama perempuan, selain itu juga diartikan wanita yang
mencintai atau merasakan rangsangan seksual sesamaa jenisnya, wanita homo
sex. Istilah ini juga merujuk kepada perempuan yang mencintai perempuan baik
secara fisik, seksual, emosional atau secara spiritual.
Gay merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan seorang pria
yang secara seksual tertarik kepada sesama pria dan menunjukan kepada
komunitas yang berkembangan diantara orang-orang yang mempunyai orientasi
seksual yang sama. Istilah gay biasanya dikontraskan dengan straight. Biseksual

10
Desfia Winandra, dkk, (2018), “Implementasi Hukum Hak Asasi Manusia Dalam Sarana Control Sosial
Terhadap Pelaku Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) Di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum Universitas
Tarumanegara Vol.5 No.2.
11
Anisa fauziah dkk, (2020), ”Perilaku Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) Dalam Perspektif Hak
Asasi Manusia” Jurnal Surya Kencana 1 Universitas Pamulang Vol.11 No.2.
12
Akmal, (2015), Hak Asasi Manusia, Padang: UNP Press Padang, hal. 4
adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang tertarik
kepada 2 jenis kelamin sekaligus, jadi tipe ini tertarik pada laki-laki dan juga
tertarik kepada perempuan.
Transgender merupakan istilah untuk orang yang cara berprilaku atau
penampilannya tidak sesuai dengan jenis kelaminnya, misalnya cowok tetapi
tingkah laku dan sikapnya seperti cewek, bahkan berpakainnya pun seperti cewek
atau sebaliknya. Sedangkan transseksual berbeda dengan transgender, trans
seksual adalah orang yang merasa identitas gendernya berberda dengan orientasi
seksualnya, orang ini merasa bahwa dirinya terjebak pada tubuh yang salah. 13
Isu mengenai LGBT saat ini sudah berada dalam tatanan global,
keberhasilan penyebarannya dicapai melalui serangkaian gerakan pro LGBT yang
telah ada sejak lama. Fenomena ini didukung dengan adanya deklarasi HAM
universal pada tahun 1948, serta reformasi politik dan demokratisasi yang sering
disalah pahami sebagai proses liberalisasi dan kebebasan mengekspresikan diri.
Secara keseluruhan, semakin makmur dan sekuler suatu bangsa, maka semakin
besar kemungkinannya untuk merangkul hak-hak kaum LGBT. Sebaliknya,
semakin miskin dan religius suatu bangsa, maka semakin besar kemungkinannya
untuk menekan kaum LGBT. Terutama dari fakta bahwa negara itu demokratis
atau tidak, meskipun hak LGBT tidak ditemukan pada semua negara yang
demokratis, hak LGBT hampir tidak ada dalam negara non demokrasi.
Komisaris tinggi perserikatan bangsa-bangsa untuk hak asasi manusia
melaporkan bahwa: ”hampir pada semua wilayah, terdapat orang yang mengalami
kekerasan dan diskriminasi karena orientasi seksual atau identitas gender
mereka. Pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi, termasuk tetapi tidak
terbatas kepada pembunuhan, perkosaan, dan serangan fisik, penyiksaan,
penahanan sewenang-wenang, penolakan hak untuk berkumpul, ekspresi dan
informasi, dan diskriminasi dalam pekerjaan, kesehatan dan pendidikan.
UDHR tahun 1948 memang tidak menentukan bahwa orientasi seksual pria
harus kepada wanita atau sebaliknya, Akan tetapi, hal itu tidak secara serta merta
berarti bahwa perilaku kaum LGBT harus diperolehkan dan didukung. UDHR
tahun 1948 juga mengatur pembatasan dalam pasal 29 ayat 2 dinyatakan bahwa:
in the exercise of his righst and freedoms limitations as are determined by law
13
Febbi Safira Dhamayanti, (2022), ”Pro Kontra Terhadap Pandangan Mengenai LGBT Berdasarkan Perspektif
HAM, Agama, dan Hukum Di Indonesia)”, Jurnal Hukum Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia Vol.2 No.2.
recognition and respect for the righst and freedom of others and vof meeting the
just requirements of morality, public order and the general wealfare in ademocratic
societe (UUDHR 1948).
Sama halnya di dalam undang-undang nasional, pasal 28 j ayat 2 UUD NRI
tahun 1945, pasal 69 ayat 1, dan 73 undang-undang HAM No. 39 tahun 1999,
telah ditentukan pembatasan yang intinya bahwa setiap orang yang memiliki HAM
juga harus menghormati HAM orang lain, menghormati pembatasan yang
ditentukan oleh undang-undang, memenuhi persyaratan moral, etika, tata tertib
kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, nilai-nilai agama, serta
menjaga keamanan dan ketertiban umum masyarakat demokratis.
Dalam peraturan perundang undangan telah ditetapkan pembatasan
bahwasanya pernikahan yang diakui adalah pernikahan yang dilangsungkan
secara sah (pasal 28 b UUD NRI tahun 1945) pernikahan dianggap sah jika
dilaksanakan berdasarkan ketentuan agama,dan pernikahan adalah dilakukan
oleh seorang pria dan fitrahnya (Undang-undang perkawinan no. 1 tahun 1974).
Seandainya pun kaum LGBT melakukan perilaku seksual menyimpang bukan
untuk berkeluarga atau menikah, dalil penolakan justru semakin menguat. Secara
moral, etika, nilai agama, dan ketertiban masyarakat, hubungan seksual tanpa
menikah antara lelaki dan perempuan tidak dibenarkan oleh masyarakat, apalagi
jika ditambah dengan perilaku seksual tersebut menyimpang dari fitrahnya. 14
Selama ini perbuatan LGBT berlindung atas nama HAM yang universal yang
dianut negara-negara barat, sedangkan Indonesia menganut HAM yang
berdasarkan Pancasila karena Pancasila telah menganut nilai-nilai kemanusian.
Hal tersebut dapatlah dilihat dari nilai-nilai keseimbangan yang terdapat dalam
Pancasila yang bersumber dari jiwa bangsa.
Beberapa kasus LGBT sudah terjadi di Indonesia namun tidak ada hukum
positif yang terlanggar secara pasti menyebutkan tindakan LGBT dan hanya
mendekati perbuatan tersebut dalam delik salah satunya pasal 292 KUHP, akibat
belum adanya upaya kebijakan hukum pidana dalam menanggulanugi perbuatan
tersebut pasal 292 KUHP juga menyebutkan tindakan seksual sesama kelamin
dan sejenis namun tidak bisa menjerat pelaku LGBT karena perbuatan tersebut
harus dilakukan terhadap anak di bawah umur. Pasal 292 KUHP berbunyi:
14
Robby Yansa, (2018), ”Globalisasi Lesbian,Gay,Biseksual,dan Transgender (LGBT) Perspektif Ham dan
Agama Dalam Lingkup Hukum Di Indonesia”Jurnal Law Reform Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Vol.14 No.1.
“orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang
lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum
cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun”.
Beberapa pelaku akhirnya dibebaskan karena tidak dapat dijerat pidana dan
tidak dapat dijerat dengan pasal 292 KUHP. Karena secara detail perbuatan
tesebut tidak termasuk perbuatan LGBT, namun dianggap perbuatan sodomi.
Namun perbuatan LGBT itu sesungguhnya sudah menciderai nilai-nilai
keseimbangan Pancasila dan nilai-nilai moral yang ada dalam masyarakat serta
mendekati perbuatan pornografi. Ada baiknya tindakan LGBT ini dirumuskan
dalam undang-undang pornografi dengan melakukan perluasan makna serta
penjelasan dari pasal 292 KUHP serta pasal 10 Undang-Undang Pornografi.
Prinsip-prinsip tentang HAM dapat dilihat dalam berbagai instrument,
diantaranya:
1. UU dasar 1945,yang tertuang dalam pasal 28i, pasal 28j UUDNRI tahun
1945.
2. UU no. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, dalam bab 1 tentang
ketentuan umum dan bab 2 tentang asas-asas dasar.
Di mana dalam dua instrumen di atas dapat disimpulkan bahwa: HAM adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk tuhan YME, dan merupakan anugrah tuhan yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindung oleh negara namun juga oleh setiap orang, dan
manusia tidak hanya memiliki HAM hanya secara jelas disebutkan. Bahwa
manusia juga memiliki kewajiban dasar di mana ketika kewajiban itu tidak
dilaksanakan maka tidak akan dimungkinkan adanya pelaksanaan dan tegaknya
HAM, hal itu sebagai penyeimbang keberlakuan HAM.

B. Kebijakan Kriminal LGBT Dalam Delik Kesusilaan Kitab Undang-Undang


Hukum Pidana Di Indonesia
Kriminalisasi merupakan bagian politik hukum pidana yang pada intinya
merupakan kebijakan bagaimana merumuskan hukum pidana yang baik dan
memberikan pedoman dalam pembuatan (kebijakan legislative), aplikasi
(kebijakan yudikatif), dan pelaksanaan (kebijakaan eksekutif) hukum pidana.
Politik hukum pidana sendiri merupakan bagian politik hukum yang menurut
sudarto diartikan sebagai serangkaian usaha untuk menciptakan norma-norma
hukum yang sesuai dengan situasi dan kondisi pada masa tertentu. Politik hukum
menyangkut ius konstituendum, yaitu hukum pada masa mendatang yang dicita-
citakan.
Kriminalisasi menjadi bagiam dari politik hukum pidana khususnya pada
kebijakan legislative atau formulatif, tahap formulatif merupakan tahap yang
sangat menentukan bagi tahap berikutnya karena pada tahap ini akan ditentukan
perbuatan-perbuatan apa saja yang akan dijadikan sebagai tindak pidana.
Kriminalisasi sendiri merupakan proses penetapan suatu perbuatan yang awalnya
bukan merupakan tindak pindana menjadi tindak pidana. Proses ini diakhiri
dengan terbentuknya undang-undang yang mengancam perbuatan tersebut
dengan sanksi pidana. Aspek krusial dalam melakukan kriminalisasi adalah
menentukan kriteria atau ukuran yang menjadi dasar perlu tidaknya suatu
perbuatan dinyatakan sebagai tindak pidana. 15
Tidak semua hal dapat dikriminalisasi. Hingga sekarang belum ada
ketentuan yang mengatur LGBT secara rinci. Kriminologi merupakan mempelajari
kejahatan tersebut dan menanggulanginya. Sama dengan pengertian R. Soesilo
yang menyatakan kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari
kejahatan dan mencegah kejahatan. Kejahatan sendiri memiliki arti sesuatu yang
merugikan perseorangan ataupun secara berkelompok dan kelakuan tersebut
dapat ditolak oleh masyarakat. Tentunya kejahatan adalah hal yang berbeda
dengan tindak pidana. Tindak pidana sendiri diartikan sebagai sesuatu yang
dilarang oleh hukum pidana. Di dalam kriminologi tentunya mempelajari kejahatan
bukan tindak pidana. Di mana kriminalisasi merupakan suatu hal yang telah terjadi
namun ditinjau kembali apakah dapat dijadikan suatu tindak pidana atau tidak.
Seringkali orang salah mengartikan antara kejahatan dan anti sosial. Anti sosial
memiliki arti sikap menyimpang dari norma-norma masyarakat.
Kejahatan berdasarkan kriminologi adalah berbeda dengan kejahatan dalam
tindak pidana. Kejahatan dalam tindak pidana tertuang dalam buku 2 kitab UU
hukum pidana (selanjutnya disebut KUHP), kedua perbedaan tersebut adalah:
1. Kejahatan secara yuridis berdasarkan hukum pidana, adalah perbuatan
yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakayat serta diberi
15
Ari Wibowo, (2015), ”Tinjauan Teoritis Terhadap Wacana Kriminalisasi LGBT”, Jurnal Cakrawala Hukum
Vol.11 No.1.
sanksi pidana oleh negara. Perbuatan pidana seluruhnya diatur dalam
KUHP, namun tidak secara keseluruhan dalam KUHP yang mengatur
tentang kejahatan, yang mengatur tentang kejahatan pada buku 2 KUHP.
Perbedaannya terletak pada delik. Kejahatan termasuk dalam delik hukum
dan pelanggaran termasuk delik Undang-Undang. Pengertian kejahatan
adalah pelanggaran atas norma-norma agama, kebiasaan, kesusilaan,
yang hidup dalam masyarakat.
2. Kejahatan dalam sudut pandang kriminologi, merupakan perilaku yang
dilakukan oleh masyarakat yang memiliki perilaku yang berbeda-beda
namun terdapat beberapa bagian dengan pola yang sama. Menurut Paul
Moekdikdo menyatakan: kejahatan merupakan pelanggaran hukum yang
ditafsirkan sebagai perbuatan yang merugikan dan harus ditolak serta
perbuatan tersebut tidak boleh dibiarkan begitu saja. 16
Hukum pidana Indonesia adalah hukum pidana yang diwariskan oleh hukum
pidana colonial yaitu warisan dari negara belanda selaku penjajah Indonesia. Ini
dapat dilihat dari penggunaan hukum yang selama ini masih dipergunakan oleh
masyarakat Indonesia dengan KUHP yang bukan berasal dari nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat Indonesia. Di Indonesia sudah berusaha melakukan
pembaruan hukum pidana dengan membuat KUHP nasional yang berlandaskan
nilai-nilai yang hidup dengan Pancasila. KUHP selama ini hanya berasal dari nilai-
nilai yang ada dan hidup dalam bangsa belanda yang banyak tidak sesuai nilai
yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
KUHP yang selama ini diajarkan bukan hukum pidana yang memang
berasal, berakar atau bersumber dari pandangan atau konsep nilai-nilai dasar
(grundnorm) dan kenyataan dalam sosio politik, sosio ekonomi dan sosio budaya)
yang hidup dalam masyarakat Indonesia sendiri. Oleh karenanya, Indonesia
sebagai bangsa yang merdeka seharusnya terlah memiliki KUHP nasional yang
hidup dan berasal dari nilai-nilai dalam masyarakat yang diambil dari Pancasila
dan UUD NRI 1 Tahun 945. Telah tiba saatnya untuk merombak tata hukum
pidana dan hukum pidana yang masih berpijak pada asas-asas dan dasar-dasar
yang berasal dari zaman colonial dan menggantinya dengan tata hukum pidana

16
Imanuel Robert Tanoko, (2022), ”LGBT (Lesbian,Gay,Biseksual,Transgender) Dilihat Dari Sudut Pandang UU
HAM di Indonesia”, Jurnal Hukum Universitas Surabaya Vol.5 No.1.
dan hukum pidana Indonesia, yang asas-asas dan dasar pokoknya berdasarkan
dan berlandaskan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. 17
Salah satu hal yang menarik didalam kitab undang-undang hukum pidana
Indonesia adalah peletakkan masalah LGBT sebagai sebuah fakta sehingga
persetubuhan sesama jenis kelamin (homo seksual) yang dilakukan secara suka
sama suka antara orang dewasa tidak dimasukkan menjadi delik kesusilaan. Di
dalam pasal 292 dinyatakan bahwa hubungan seksual homo seksual atau berjenis
kelamin sejenis laki-laki dengan laki-laki (gay), dan wanita dengan wanita
(lesbian), yang telah dewasa bukan merupakan tindak pidana. Bagi hukum
pudana Indonesia hubungan pencabulan seperti ini adalah sebuah fakta yang
tidak perlu diatur. Pengaturan dan larangan hanya diatributkan untuk melindungi
”anak di bawah umur”, artinya homoseksual yang menjadi tindak pidana hanya
akan terjadi jika perbuatan tersebut yang menjadi tindak pidana hanya akan terjadi
jika perbuatan tersebut dilakukan oleh anak di bawah umur atau sesama anak di
bawah umur tujuannya adalah anak agar si anak tersebut tidak terganggu
kejiwaannya di masa yang akan datang. Lebih lanjut di dalam pasal 292 KUHP
mengatakan “orang yang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang
lain sesama jenis kelamin, yang sepatutnya harus diduga belum dewasa, diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun” dan di dalam Undang-undang Nomor
35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, hukuman ini kemudian diperberat
bagi pelaku dewasa, sedangkan terhadap pelaku sesama anak dengan diversi. 18
Terhadap perkembangan praktek perilaku LGBT yang semakin berkembang
selama ini, pada dasarnya masyarakat Indonesia pada umumnya tidak dapat
menerima, karena masyarakat di Indonesia dari nenek moyang dahulu termasuk
saat perjuangan kemerdekaan yang didominasi oleh umat Islam dan selaku orang
timur yang mengedepankan nilai moral dan sopan santun, sangat sulit untuk
menerima praktik LGBT yang dipraktekkan sebagian kecil masyarakat. 19
Kebijakan kriminalisasi merupakan menetapkan perbuatan yang semula
bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana dalam aturan perundang-
17
Nila Arzaqi, (2018), “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Menanggulangi LGBT (Lesbian, Gay,
Biseksual, dan Transgend) Berbasis Nilai-Nilai Pancasila”, Jurnal Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Vol.2 No.2.
18
Ateng Sudibyo, (2019), “Kebijakan Kriminal Terhadap Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) Dikaitkan
dengan Delik Kesusilaan Di Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana”, Jurnal Ilmu Hukum Universitas Majalengka
Vol. 4 No. 1.
19
Muzakkir, (2021), “Lgbt Dalam Perspektif Ham Dan Menurut UUDN 1945”, Jurnal Al Mashaadir Vol
2 No. 1.
undangan. Pada hakikatnya kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari
kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana, dan oleh karena
itu termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana. Dalam rangka menanggulangi
kejahatan diperlukan berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada
pelaku kejahatan berupa pidana. Karena, pidana masih dianggap relevan untuk
menanggulangi kejahatan, meski masih banyak reaksi lain yang berupa non-
pidana dalam menanggulangi kejahatan.
Pidana sebagai sarana pengendalian kejahatan yang diperlukan adanya
konsepsi politik dalam hukum pidana yakni mengadakan pemilihan untuk
mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Konsepsi
politik hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan, di samping melalui
pembuatan produk hukum berupa pembuatan undang-undang, hukum pidana
tidak lepas juga dengan usaha menuju kesejahteraan masyarakat melalui
kebijakan sosial (social policy). Hal ini berarti kebijakan untuk menanggulangi
kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana, harus pula dipadukan dengan
usaha-usaha lain yang bersifat non-penal.
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana
penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan:
1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana
2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si
pelanggar.
Analisis terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari
konsepsi integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan
pembangunan hukum. Ini berarti pemecahan masalah-masalah di atas harus pula
diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial politik yang
telah ditetapkan. Dengan demikian, kebijakan hukum pidana, termasuk pula
kebijakan dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula dilakukan
dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy orientes approach).
Akan tetapi jika hukum diidentikkan dengan perundang-undangan, maka salah
satu akibatnya dapat dirasakan, adalah kalau ada bidang kehidupan yang belum
diatur dalam perundang-undangan, maka dikatakan hukum tertinggal oleh
perkembangan masyarakat. Demikian juga kepastian hukum tidak identik dengan
kepastian Undang-undang. Apabila kepastian hukum diidentikkan dengan
kapastian Undang-undang, maka dalam proses penegakan hukum dilakukan
tanpa memperhatikan kenyataan hukum yang berlaku.
Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral di atas
yang sering disebut sebagai masalah kriminalisasi, harus memperhatikan hal-hal
yang pada intinya sebagai berikut:
1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan
nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata
materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan ini maka
penggunaan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan Demi
kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan
hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu
perbuatan yang mendatangkan kerugian material ataupun spiritual atau
warga masyarakat.
3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan
hasil (Cost benefit principle).
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).
Perbuatan LGBT sering dianggap sebagai penyakit yang menular, untuk itu
selain merumuskan dengan baik perbuatan itu sebagai tindak pidana dengan
kebijakan hukum pidananya, namun juga harus disertai dengan tujuan
pemidanaan yang dapat menanggulangi perbuatan tersebut yang juga
berorientasi pada perbaikan dan pengobatan terhadap pelaku. Tidak hanya
mengedepankan suatu tindakan pembalasan yang menjadi tujuan dari teori
perbedaan retributif. Kebijakan hukum pidana pada dasarnya mempelajari
masalah bagaimana sebaiknya hukum pidana itu dibuat, disusun dan digunakan
untuk mengatur atau mengendalikan tingkah laku manusia, khususnya untuk
menanggulangi kejahatan dalam rangka melindungi dan mensejahterakan
masyarakat. Dengan demikian, maka tujuan pemidanaan adalah untuk
memperbaiki kerusakan baik yang bersifat individual, maupun yang bersifat sosial
(individualand social damages) yang diakibatkan oleh tindak pidana. Tujuan
pemidanaan harus berorientasi pada pandangan yang integratif, yang terdiri dari
seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi, dengan catatan bahwa,
tujuan manakah yang merupakan titik berat sifatnya kasuistis. Seperti kasus
LGBT, tujuan pemidanaan diarahkan kepada perbuatan si pelaku juga demi
perbaikan diri pelaku LGBT sendiri.
Seperti yang dilakukan dengan rancangan KUHP yang akan datang, tim
perancang konsep KUHP Nasional telah sepakat bahwa tujuan pemidanaan
adalah:
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dalam menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat;
2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadikannya orang yang baik dan berguna;
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Dalam hal ini seharusnya arah politik hukum pidana atau kebijakan hukum
pidana dalam menanggulangi perbuatan LGBT, dengan menitikberatkan pada
tujuan pemidanaan yang dapat memberikan perbaikan dan pembinaan serta
dapat membuat efek jera pada pelaku perbuatan LGBT, serta mengembalikan
keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam masyarakat, dan menjaga
kesucian nilai-nilai keseimbangan yang ada pada Pancasila terutama nilai
ketuhanan. Kebijakan kriminal dalam menanggulangi perbuatan LGBT diarahkan
juga untuk membina pelaku agar kembali dapat diterima dalam masyarakat yang
beradab dan mendapatkan kesembuhan selain mendapatkan pemidanaan titik
karena perbuatan ini dianggap sebagai penyakit yang dapat menular melalui
pergaulan.
LGBT dilarang berdasarkan kaidah-kaidah semua agama yang diakui di
Indonesia, sehingga dianggap amoral dan dapat diskriminalisasi titik hanya saja
kriminalisasi hanya dapat dilakukan terhadap ekspresi LGBT yang berupa
perbuatan tertentu. Jika di kriminalisasi, ekspresi LGBT akan masuk dalam
kategori delik kesusilaan karena terkait dengan seksualitas Adapun terkait
perbuatan-perbuatan apa saja yang perlu di kriminalisasi dapat dipertimbangkan
hal-hal sebagai berikut:
1. Delik-delik kesusilaan pada pokoknya dicari pada syarat kuishcid, chasity,
sexual purity or decency. Artinya bahwa delik-delik kesusilaan harus
didasarkan pada kesesuaian atau kepatutan, kesucian atau sakralitas
perbuatan seksual, sehingga kejahatan terhadap hal-hal tersebut di atas
masuk pada kategori delik-delik kesusilaan.
2. Kriminalisasi yang ditujukan untuk tujuan perlindungan terhadap anak-anak
muda, supaya mereka jangan sampai menghadapi syok dalam
perkembangan seksual mereka. Seperti hubungan seksual dalam
perbuatan cabul yang dilakukan terhadap orang yang masih di bawah
umur.
3. Mencegah orang-orang yang tidak berdaya, misalnya orang yang tidak
sadar terhadap serangan-serangan seksual.
4. Untuk melindungi anak-anak dari perbuatan cabul yang dilakukan oleh
orang-orang yang memiliki hubungan tertentu yang didasarkan atas
hubungan kesusilaan, seperti perbuatan cabul kepada anak kandung, Anak
tiri, anak angkat, anak yang ada di bawah penguasaannya, kemudian
perbuatan cabul yang dilakukan oleh pejabat terhadap bawahannya
pengurus, dokter, guru, dan lain-lain terhadap pasien dan muridnya.
5. Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan untuk berhubungan seksual di
luar pernikahan atau perbuatan cabul.
6. Adanya faktor-faktor komersial dalam hubungan seksual di luar pernikahan,
seperti pelacuran dan rumah-rumah bordir.
7. Adanya perlindungan terhadap kesucian lembaga perkawinan seperti
larangan perzinahan (adultery).
Perilaku seksual menyimpang pada kalangan LGBT, sudah sepatutnya
tindakan LGBT dikualifikasikan sebagai suatu delik (tindak pidana) karena dapat
merusak moral bangsa Indonesia.20 Sehingga diperlukan kriminalisasi terhadap
ekspresi LGBT dalam rangka menjamin kebebasan kehidupan bangsa
berlandaskan nilai-nilai dan budaya Pancasila. Paradigma nilai dan budaya
Pancasila pada hakikatnya mengandung keseimbangan antara nilai ketuhanan
(moral religius), nilai kemanusiaan (humanistik), dan nilai kerakyatan (nasionalistik

20
Welly Kendra, (2020), “Kriminalisasi Terhadap Perilaku Penyimpangan Seksual”, Jurnal Swara Justisia
Universitas Ekasakti Vol 1 No.1.
demokratik dan keadilan sosial). Selain itu juga mencegah segala bentuk
penjajahan, termasuk penjajahan moral, penjajahan budaya, penjajahan ekonomi
dan penjajahan politik. Hal ini sesuai dengan bunyi pembukaan UUD 1945
“kemerdekaan adalah hak segala bangsa”.

Kesimpulan
Hukum Indonesia mengakui penegakan HAM yang disertai pembatasan
bahwa setiap orang yang memiliki HAM juga harus menghormati HAM orang lain,
menghormati pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang, memenuhi
persyaratan moral, etika, tata tertib kehidupan masyarakat, berbangsa dan
bernegara, nilai-nilai agama serta menjaga keamanan dan ketertiban umum
masyarakat demokratis. Perlindungan HAM atas kaum LGBT harus ditegakkan
dengan menerapkan konsep HAM universal dan memiliki struktur sosialnya sendiri
titik kelompok yang LGBT wajib dilindungi dari diskriminasi bullying, kekerasan
dan segala bentuk pelanggaran HAM lainnya. Sementara itu, penghormatan atas
keyakinan dan ajaran agama harus dijaga, sehingga diperlukan upaya
“penyembuhan dan pemulihan "perilaku seks menyimpang kelompok LGBT yang
melibatkan banyak pihak mulai dari pelaku LGBT, pendukung, penolak,
pemerintah dan akademisi. Semua aksi yang dilakukan berfokus bertujuan agar
kelompok LGBT tidak lagi menjadi korban pelanggaran HAM dan masyarakat
Indonesia merasa dihormati keyakinannya.
Ekspresi LGBT merupakan perbuatan amoral yang bertentangan dengan
moral Pancasila karena bertentangan dengan kaidah-kaidah semua agama yang
diakui di Indonesia titik terhadap perbuatan amoral tersebut, hukum pidana harus
mengambil bagian dalam rangka menjalankan fungsinya untuk menegakkan
moralitas. Memang tidak semua ekspresi LGBT terdapat dikriminalisasi karena
delik yang di kriminalisasi juga harus misarable sehingga dapat ditegakkan, Tetap
paling tidak terhadap ekspresi tertentu, seperti persetubuhan setiap jenis, hidup
bersama lainnya suami istri oleh pasangan sesama jenis, perkosa dan sesama
jenis, atau lainnya dapat di kriminalisasi. Kemudian, konsep kebijakan kriminal
terhadap LGBT tidak hanya dapat dilakukan dengan pendekatan penal karena
faktor yang menyebabkan kejahatan sangat kompleks yang berada di luar
jangkauan hukum pidana, sedangkan hukum pidana mempunyai keterbatasan
kemampuan untuk menanggulanginya. Mengingat adanya keterbatasan
kemampuan hukum pidana, maka untuk mengatasi LGBT perlu ditempuh dengan
kebijakan kriminal atau (criminal police) yang menggunakan pendekatan penal
dan non penal.

Daftar Pustaka
Buku:
Akmal, (2015), Hak Asasi Manusia, Padang: UNP Press Padang.
Firdaus Arifin, (2019), Hak Asasi Manusia Teori, Perkembangan dan Pengaturan,
Yogyakarta: Thafamedia.
Irwansyah dan Ahsan Yunus, (2021), Penelitian Hukum Pilihan Metode dan
Praktek Penulisan Artikel, Yogyakarta: Mega Cakrawala.
Philips Alston dan Franz Magnis, (2008), Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta:
Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia.
Sherlika Aprita dan Yonani Hasyim, (2020), Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Jakarta: Mitra Wacana Media.
Sunarso, (2020), Pendidikan Hak Asasi Manusia, Surakarta: CV Indotama Solo.

Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

Jurnal:
Abu Dzarrin Al-hamidy, (2015), ”Tinjauan Hukum International HAM dan Hukum
Islam Terhadap LGBT Perspektif Human Dignity Mashood A.Baderin”, Jurnal
Studi Keislaman Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Vol 10
No.1.
Anisa fauziah dkk, (2020), ”Perilaku Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender
(LGBT) Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia” Jurnal Surya Kencana 1
Universitas Pamulang Vol.11 No.2.
Ari Wibowo, (2015), ”Tinjauan Teoritis Terhadap Wacana Kriminalisasi LGBT”,
Jurnal Cakrawala Hukum Vol.11 No.1.
Ateng Sudibyo, (2019), “Kebijakan Kriminal Terhadap Gay, Biseksual, dan
Transgender (LGBT) Dikaitkan dengan Delik Kesusilaan Di Dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana”, Jurnal Ilmu Hukum Universitas Majalengka
Vol. 4 No. 1.
Desfia Winandra, dkk, (2018), “Implementasi Hukum Hak Asasi Manusia Dalam
Sarana Control Sosial Terhadap Pelaku Lesbian, Gay, Biseksual,
Transgender (LGBT) Di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum Universitas
Tarumanegara Vol.5 No.2.
Destashya Wisna Dirayaputri, (2022), ”LGBT Dalam Kajian Hak Asasi Manusia Di
Indonesia”, Jurnal Hukum Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia
Vol.No.2.1.
Febbi Safira Dhamayanti, (2022), ”Pro Kontra Terhadap Pandangan Mengenai
LGBT Berdasarkan Perspektif HAM, Agama, dan Hukum Di Indonesia)”,
Jurnal Hukum Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia Vol.2 No.2.
Imanuel Robert Tanoko, (2022), ”LGBT (Lesbian,Gay,Biseksual,Transgender)
Dilihat Dari Sudut Pandang UU HAM di Indonesia”, Jurnal Hukum Universitas
Surabaya Vol.5 No.1.
Iqbal Kamalludin dkk, (2018), ”Politik Hukum Dalam Kebijakan Hukum Pidana
LGBT”, Jurnal Cita Hukum Universitas Diponegoro Vol.6 No.2.
Meilanni Budiarti Santoso, (2022), “LGBT Dalam Persepektif Hak Asasi Manusia”,
Jurnal Hukum Universitas Padjajaran Vol. 6 No.2.
Muzakkir, (2021), “LGBT Dalam Perspektif HAM Dan Menurut UUDN 1945”,
Jurnal Almashaadir Vol. 2 No. 1.
Nila Arzaqi, (2018), “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Menanggulangi
LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgend) Berbasis Nilai-Nilai
Pancasila”, Jurnal Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Vol.2 No.2.
Robby Yansa, (2018), ”Globalisasi Lesbian,Gay,Biseksual,dan Transgender
(LGBT) Perspektif Ham dan Agama Dalam Lingkup Hukum Di
Indonesia”Jurnal Law Reform Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Vol.14 No.1.
Welly Kendra, (2020), “Kriminalisasi Terhadap Perilaku Penyimpangan Seksual”,
Jurnal Swara Justisia Universitas Ekasakti Vol 1 No.1.

You might also like