You are on page 1of 226

ANALISIS ALTERNATIF PENGGUNAAN LAHAN

UNTUK MENJAMIN KETERSEDIAAN SUMBERDAYA AIR


DI DAS KONAWEHA PROVINSI SULAWESI TENGGARA

La Baco S.

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi tentang “Analisis Alternatif


Penggunaan Lahan untuk Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS
Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara” adalah karya saya sendiri dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

La Baco S.
NRP. A262030041
iii

ASTRACT

La Baco S. A262030041. Analysis of Land Use Alternatives to Ensure Water


Resource Availability in Konaweha Watershed, Southeast Sulawesi Province,
under the supervision of Naik Sinukaban, Yanuar Jarwadi Purwanto, Bunasor
Sanim and Suria Darma Tarigan.
Phenomena of depleting of water resources and increasing water demand have
been occurring in Konaweha watershed. Combine with other degraded
conditions, Konaweha watershed have been categorized as priority watershed in
Southeast Sulawesi Province. Land use change is the main factor to influence
water balance that indicated by the increasing maximum discharge in rainy
seasons and decreasing minimum discharge in dry seasons. The objective of this
research were (1) to evaluate the effects of land use changes on water resources
of Konaweha watershed; (2) to evaluate the availability of water resources to
meet water demand as well as minimum proportion of forest cover in the
watershed to ensure sustainable water resources in Konaweha watershed, (3) to
evaluate the proportion of maintenance cost that should be shared by each district
to maintain sustainable water resources; and (4) to formulate land use
alternatives and management policy of Konaweha watershed. This research was
conducted in Konaweha watershed for 10 months from June 2009 to March 2010.
The result of this research showed that forest, swamp, plantation and bush area
tended to decline exponentially year by year due to population growth. The
decline of forest area have significantly decreased minimum discharge of
Konaweha River in dry seasons and increased maximum discharge in rainy
seasons. These condition have caused a significant deficit of water resources in
dry seasons starting from period of 2006 to 2030 eventhough there was no deficit
of annual water resources. To ensure sustainability of water resources in
Konaweha watershed, regression analysis showed that the minimum proportion of
forest cover in Konaweha watershed should be keept in place about 32.5 to 37.5
% of the total watershed area. Economic value of water analysis showed that
Kendari District should share about 37 %, Konawe District 28 %, South Konawe
District 14 % and Kolaka District 21 % of the total maintenance cost for ensuring
good hydrological function of the watershed. Forest economic value including
flora and fauna, carbon stock, option value, bequest value and existence value
reaches 15 million rupiah per hectare. Simulation of proper multiple regression
showed the composition of dominant land use in Konaweha watershed of 40 %
forest, 46 % plantation, 5 % mix garden and 4 % bush will be the best land use
alternative for ensuring sustainable water resources in Konaweha watershed.

Key Words: watershed, land use change, water resource, water demand,
economic value, maintenance cost
iv

RINGKASAN

La Baco S. A262030041. Analisis Alternatif Penggunaan Lahan untuk Menjamin


Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara
dibawah bimbingan Naik Sinukaban, Yanuar Jarwadi Purwanto, Bunasor Sanim
dan Suria Darma Tarigan.
Fenomena yang akhir-akhir ini terkait dengan eksistensi sumberdaya air adalah
penurunan ketersediaan air, sementara kebutuhan air meningkat terus dari waktu
ke waktu yang merupakan konsekuensi logis dari pertambahan jumlah penduduk
dan peningkatan aktivitas ekonomi. Fenomena tersebut juga terjadi di DAS
Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara. Salah satu penyebab penurunan
ketersediaan air di DAS Konaweha adalah perubahan penggunaan lahan
khususnya hutan yang cenderung mengalami penurunan luas dari waktu ke waktu.
Salah satu akibat dari hal tersebut adalah peningkatan debit maksimum dan
penurunan debit minimum Sungai Konaweha. Jika penurunan debit minimum
terus berlangsung maka suatu ketika akan terjadi defisit air pada musim kemarau.
DAS Konaweha memegang peranan penting karena fungsinya yang sangat vital
khususnya sebagai sumber air bagi Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Konawe
Selatan dan Kolaka.
Tujuan penelitian ini adalah : (1) mengkaji perubahan penggunaan lahan dan
pengaruhnya terhadap sumberdaya air di DAS Konaweha; (2) mengkaji
ketersediaan dan kebutuhan air serta proporsi luas hutan minimal yang harus
dipertahankan untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya air di DAS Konaweha;
(3) mengkaji proporsi biaya pemeliharaan fungsi DAS dalam menjaga tata air
bagi kabupaten/kota untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya air; dan (4)
mengkaji kebijakan penggunaan lahan alternatif yang dapat menjamin
ketersediaan air jangka panjang.
Penelitian ini dilakukan di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara yang
mencakup Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Kolaka dan Kota Kendari,
selama 10 bulan yakni Juni 2009 sampai Maret 2010. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode survei dengan sampel wilayah kabupaten/kota,
kecamatan, dan desa/kelurahan ditentukan secara purposive, sedangkan sampel
responden dengan cara acak (random) dan metode bola salju (snow ball method).
Aspek-aspek yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) kondisi DAS meliputi
tata guna lahan, morfologi DAS, tanah, iklim, dan kependudukan, (2) kebutuhan
air (domestik, industri, pertanian, dan air yang menggelontor), (3) ketersediaan air
(curah hujan dan debit sungai), (4) proporsi luas hutan minimal untuk memenuhi
kebutuhan air, (5) nilai ekonomi hasil hutan non kayu mencakup nilai ekonomi
rotan, madu, produksi air, potensi penyerapan karbon, nilai pilihan (option value),
nilai warisan (bequest value) dan nilai keberadaan (existence value), (6) proporsi
biaya pemeliharaan fungsi DAS bagi kabupaten/kota yang memanfaatkan air dari
DAS Konaweha, (7) penggunaan lahan alternatif yang dapat menjamin
ketersediaan air jangka panjang. Penggunaan lahan alternatif ditentukan dengan
simulasi hubungan antara penggunaan lahan dengan debit sungai. Hasil simulasi
tersebut digunakan untuk menentukan proporsi luas hutan minimal yang harus
dipertahankan agar ketersediaan air dapat menjamin seluruh kebutuhan air hingga
kurun waktu tertentu. Kelayakan penggunaan lahan alternatif ditentukan
berdasarkan kelayakan lingkungan, ekonomi dan sosial. Skala waktu perencanaan
atau kajian adalah tahun 2011-2050.
v

Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama periode 1991-2010 terjadi penurunan


luas hutan di DAS Konaweha Hulu, diikuti dengan peningkatan luas penggunaan
lahan lainnya. Diperkirakan luas hutan rata-rata periode 2026-2030 adalah 32 %,
sedangkan perkebunan, kebun campuran dan semak belukar masing-masing 48 %,
6 % dan 4 %. Luas hutan periode 2046-2050 adalah 22 %, sedangkan perkebunan,
kebun campuran dan semak belukar masing-masing 52 %, 7 % dan 5 %. Selama
periode tersebut telah terjadi peningkatan koefisien aliran permukaan dari 31,4 %
menjadi 45,6 % dan terjadi penurunan debit minimum dari 40 m3/detik menjadi
24 m3/detik, sedangkan debit maksimum meningkat dari 246 m3/detik menjadi
284 m3/detik.
Ketersediaan air yang didasarkan pada perubahan penggunaan lahan menunjukkan
penurunan dari 37,6 m3/detik pada periode 2011-2015 menjadi 23,0 m3/detik
pada periode 2031-2035 dan 14,7 m3/detik pada periode 2046-2050. Sementara
itu distribusi bulanan kebutuhan air sektor domestik (3,8 %), industri (4,7 %) dan
irigasi (91,5 %) mengalami peningkatan yakni 24 m3/detik pada periode 2011-
2015 meningkat menjadi 29 m3/detik pada periode 2031-2035 dan 33 m3/detik
periode 2046-2050. Proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan untuk
menjamin ketersediaan air di DAS Konaweha adalah 32,5-37,5 % dari luas DAS
Konaweha Hulu.
Proporsi biaya pemeliharaan fungsi DAS yang menjadi tanggung jawab Kota
Kendari adalah 37 %, sedangkan Kabupaten Konawe, Kolaka dan Konawe
Selatan masing-masing 28 %, 21 % dan 14 % dari total nilai ekonomi air DAS
Konaweha. Pada tahun 2050 Kota Kendari harus membayar sebesar 6,97 milyar
rupiah, sedangkan Kabupaten Konawe, Kolaka dan Konawe Selatan masing-
masing 5,51 milyar rupiah, 4,32 milyar rupiah dan 2,80 milyar rupiah untuk
memelihara fungsi DAS Konaweha dalam menjaga tata air. Sumber-sumber
pendanaan yang bisa digunakan kabupaten/kota adalah dana alokasi khusus
(DAK), dana masyarakat melalui penarikan pajak air bagi pengguna dan dana
pembayaran jasa lingkungan (payment of environmetal services) bagi daerah hilir.
Nilai ekonomi hasil hutan non kayu di DAS Konaweha adalah sekitar 15 juta
rupiah per hektar dimana sekitar 90 % diperoleh dari nilai ekonomi penyerapan
karbon, sedangkan sisanya dari nilai ekonomi rotan (flora) dan madu (fauna), nilai
pilihan, nilai warisan dan nilai keberadaan. Tiga dari lima skenario penggunaan
lahan alternatif di DAS Konaweha yakni skenario 2 (35 % hutan, 51 %
perkebunan, 6 % kebun campuran dan 3 % semak belukar), skenario 3 (kondisi
eksisting tahun 2011) dan skenario 5 (40 % hutan, 46 % perkebunan, 5 % kebun
campuran dan 4 % semak belukar) layak diterapkan di DAS Konaweha umumnya
dan DAS Konaweha Hulu pada khususnya, sedangkan skenario 1 dan skenario 4
tidak layak untuk diterapkan. Kebijakan yang berkaitan dengan penatagunaan
lahan di DAS Konaweha saat ini adalah RTRW masing-masing kabupaten/kota
yang didasarkan pada batas administrasi. Jika kebijakan tersebut berjalan terus,
maka pada tahun 2050 akan terjadi defisit air 14,5 m3/detik atau 37,6 juta m3 dan
kemungkinan besar akan terjadi konflik kepentingan antar daerah khususnya
berkaitan dengan alokasi sumberdaya air. Komposisi 40 % hutan, 46 %
perkebunan, 5 % kebun campuran dan 4 % semak belukar merupakan penggunaan
lahan alternatif terbaik untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya air di DAS
Konaweha.

Kata kunci: Perubahan penggunaan lahan, sumberdaya air, ketersediaan air,


kebutuhan air, nilai ekonomi, biaya pemeliharaan fungsi DAS
vi

@Hak Cipta milik IPB, tahun 2012


Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
.ANALISIS ALTERNATIF PENGGUNAAN LAHAN
UNTUK MENJAMIN KETERSEDIAAN SUMBERDAYA AIR
DI DAS KONAWEHA PROVINSI SULAWESI TENGGARA

La Baco S.

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Analisis Alternatif Penggunaan Lahan untuk


Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS
Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara

Nama Mahasiswa : La Baco S.

Nomor Pokok : A262030041

Program Studi : Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Menyetujui :
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc.


Ketua

Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS. Prof. Dr. Ir. H. Bunasor Sanim, M.Sc.
Anggota Anggota

Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc.


Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi DAS Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian: 19 September 2011 Tanggal Lulus:


Penguji Luar Komisi

Ujian Tertutup:

1. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.S. (Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Manajemen
Institut Pertanian Bogor).
2. Dr. Ir. Nora Herdiana Pandjaitan, DEA. (Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil
dan Lingkungan Fakultas Teknik Pertanian Institut Pertanian Bogor).

Ujian Terbuka:

1. Dr. Ir. Harry Santoso (Dirjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial
Kementerian Kehutanan Republik Indonesia).

2. Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, M.S. (Guru Besar Departemen Teknik Sipil dan
Lingkungan Fakultas Teknik Pertanian Institut Pertanian Bogor).
x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
dan karuniaNya sehingga penulisan disertasi ini dapat berjalan sebagaimana
mestinya.

Penyusunan disertasi ini merupakan satu kesatuan proses yang diawali dari
konsultasi, penyusunan proposal penelitian, penelitian dan penyusunan draf
disertasi. Keseluruhan proses tersebut tidak mungkin dapat terlaksana tanpa
arahan, fasilitasi, bantuan, masukan, saran maupun kritik dari komisi pembimbing.

Penulis menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Komisi


Pembimbing yang terdiri dari: Bapak Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc selaku
Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS; Bapak
Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim,M.Sc; dan Bapak Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc
masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang selama ini dengan
segala upaya memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.

Ucapkan terima kasih penulis sampaikan kepada penguji luar komisi ujian
pada ujian tertutup yakni: Bapak Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.S dan Ibu
Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Dr. Ir. Harry Santoso (Direktur Jenderal Pengelolaan DAS dan Perhutanan
Sosial Kementrerian Kehutanan Republik Indonesia) dan Bapak Prof. Dr. Ir. Asep
Sapei, M.S masing-masing bertindak sebagai penguji luar komisi pada ujian
terbuka.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Rektor Universitas


Haluoleo Kendari; Bapak Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S., Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Haluoleo; Bapak Dr. Ir. H. Taane La Ola, M.P., yang telah
memberikan bantuan moril maupun materil kepada penulis selama masa studi
hingga saat ini.

Penulis mengucaplkan terima kasih banyak kepada Pemerintah Daerah


Provinsi Sulawesi Tenggara yang memberikan dukungan data dan informasi
selama penulis melakukan penelitian meliputi Gubernur Provinsi Sulawesi
xi

Tenggara; Bapak H. Nur Alam, SE, Walikota Kendari; Bapak Ir. H. Asrun,
M.Eng, Bupati Konawe; Bapak Dr. H. Lukman Abunawas, M.Si, Bupati Konawe
Selatan; Bapak Drs. H. Imran, M.Si., dan Bupati Kolaka; Bapak Dr. H. Buhari
Matta, M.Si.

Ucapan terima kasih khusus penulis sampaikan kepada Kepala Badan


Pengelolaan DAS Sampara Provinsi Sulawesi Tenggara bersama staf yang
membantu menyediakan peta-peta, pengecekan lapangan dan bantuan lainnya.

Disertasi ini saya dedikasikan untuk seluruh keluarga khususnya istri


tercinta ”Hj. Andi Sri Rahyuni, SP.” dan anak-anak tersayang yakni ”Tasya Audrya
Wulandari (almarhumah), ”Athalia Neva Belinda” dan ”Callista Adira Putri” atas
dorongan dan motivasi yang diberikan selama ini hingga penulis dapat
menyelesaikan studi S3 di Institut Pertanian Bogor.

Akhirnya penulis menyadari bahwa disertasi ini hanyalah karya dari


manusia biasa sehingga akan jauh dari kata “sempurna”, oleh karena itu saran dan
masukan dari berbagai pihak sangat diharapkan guna menyempurnakan disertasi
ini.

Semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat bagi para pihak yang
berkepentingan khususnya bagi penulis, Amien ...!

Bogor, Januari 2012

Penulis
xii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lambale Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi


Tenggara pada tahun 1963 sebagai anak kedua dari 5 bersaudara pasangan Sudia
(almarhum) dengan Mahania. Pendidikan S1 diselesaikan tahun 1987 pada Jurusan
Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari. Tahun 1997
penulis menyelesaikan studi S2 pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai Institut Pertanian Bogor. Tahun 2003 penulis mendapat kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan S3 pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Institut Pertanian Bogor dengan sumber dana BPPS Dikti.

Sejak tahun 1989 maka penulis menjadi staf pengajar pada Fakultas Pertanian
Universitas Haluoleo Kendari. Disamping itu sejak tahun 1998 sampai sekarang,
penulis menjadi peneliti pada Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas
Haluoleo Kendari.

Karya ilmiah yang berjudul “Valuasi Ekonomi Hutan di DAS Konaweha Hulu
Provinsi Sulawesi Tenggara” akan diterbitkan pada jurnal ilmiah Agriplus untuk
volume 21 (2) Mei tahun 2011 dan “Analisis Alternatif Penggunaan Lahan untuk
Menjamin Ketersediaan Air di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara” akan
diterbitkan pada Jurnal Ilmiah Sains Tanah Volume 8 Nomor 2 Edisi Juli 2011.
Kedua karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari penelitian disertasi yang
dilakukan oleh penulis.
xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI ii
ABSTRACT iii
RINGKASAN iv
HAK CIPTA MILIK IPB vii
HALAMAN PENGESAHAN ix
KATA PENGANTAR xi
RIWAYAT HIDUP xii
DAFTAR ISI xiii
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xvii
DAFTAR LAMPIRAN xix

PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 4
Kerangka Pemikiran 4
Tujuan Penelitian 7
Kebaruan (Novelty) 8
Batasan dan Ruang Lingkup Penelitian 8

TINJAUAN PUSTAKA
Air dan Permasalahannya 11
Faktor-faktor Penyebab dan Dampak Perubahan Penggunaan Lahan 15
Fungsi Hutan Dalam Menjaga Tata Air 20
Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam 23
Manfaat Ekonomi Sumberdaya Hutan 29
Kebutuhan Air 32

METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian 37
Bahan dan Peralatan 38
Penetapan Lokasi Penelitian Intensif 38
Teknik Penentuan Populasi dan Sampel 39
Jenis dan Sumber Data 44
Analisis Data 45
Tujuan Pertama 45
Tujuan Kedua 51
Tujuan Ketiga 61
Tujuan Keempat 63
xiv

KEADAAN UMUM DAS KONAWEHA


Luas dan Wilayah Administrasi DAS Konaweha 71
Iklim 71
Topografi dan Kelerengan 72
Geologi dan Geomorfologi 73
Tanah 74
Penggunaan Lahan 75
Kependudukan 76
Lembaga Perekonomian 78

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis Perubahan Penggunaan Lahan 79
Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Kondisi Hidrologi 90
Analisis Ketersediaan Air 102
Analisis Kebutuhan Air 108
Proporsi Luas Hutan Minimal untuk Memenuhi Kebutuhan Air 123
Valuasi Ekonomi Air dan Proporsi Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS 127
Alternatif Penggunaan Lahan di DAS Konaweha 134

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan 159
Saran 160
DAFTAR PUSTAKA 161
LAMPIRAN-LAMPIRAN 171
xv

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman


1 Penggunaan Air Total dan Rata-rata Tahunan beberapa
Negara di Dunia Tahun 1996-2002 12
2 Proporsi Penggunaan Air Rata-rata Sektor Domestik,
Industri dan Pertanian beberapa Negara di Dunia Tahun
1996-2002 13
3 Data Penggunaan Air Austin, Texas Tahun 1970-1985 33
4 Jumlah dan Penyebaran Wilayah Administrasi Pengambilan
Sampel di DAS Konaweha Tahun 2009 42
5 Distribusi dan Jumlah Informan Penerima Manfaat Hasil
Hutan Non Kayu di DAS Konaweha Tahun 2009 44
6 Jenis dan Sumber serta Metode Pengumpulan Data di DAS
Konaweha 45
7 Luasan DAS Konaweha Berdasarkan Kelas Kemiringan 72
8 Luasan DAS Konaweha Berdasarkan Geomorfologi/Bentuk
Lahan 73
9 Luasan DAS Konaweha Berdasarkan Jenis Tanah 74
10 Jenis dan Luas Penggunaan Lahan di DAS Konaweha Hulu
Tahun 2008 75
11 Luas Wilayah dan Pertambahan Penduduk di DAS
Konaweha Tahun 2003-2008 76
12 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di DAS
Konaweha Tahun 2007 76
13 Penduduk Menurut Mata Pencaharian di DAS Konaweha
Tahun 2007 78
14 Jumlah dan Macam Lembaga Perekonomian di DAS
Konaweha Tahun 2007 78
15 Pengaruh Waktu terhadap Rata-rata Luas Hutan,
Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak Belukar di DAS
Konaweha Hulu Periode 1991-2010 84
16 Pengaruh Jumlah Penduduk terhadap Luas Hutan Rata-rata
di DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010 88
17 Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas
Perkebunan terhadap Koefisien Aliran Permukaan, Debit
Maksimum dan Debit Minimum DAS Konaweha Hulu
Periode 1991-2010 92
18 Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas
Perkebunan terhadap Koefisien Aliran Permukaan Musim
Hujan DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010 94
19 Proyeksi Kebutuhan Air Domestik Periode 2011-2050 di
DAS Kon 110
20 Proyeksi Kebutuhan Air Industri Periode 2011-2050 di DAS
Konaweha 114
xvi

21 Proyeksi Kebutuhan Air Irigasi Periode 2011-2050 di DAS


Konaweha 117
22 Proyeksi Kebutuhan Air Menggelontor Periode 2011-2050 di
DAS Konaweha 119
23 Proyeksi Kebutuhan Air Total Periode 2011-2050 di DAS
Konaweha 120
24 Proyeksi Kebutuhan Air Total Musim Kemarau Periode
2011-2050 di DAS Konaweha 123
25 Neraca Ketersediaan dan Kebutuhan Air di DAS Konaweha
Periode 2011-2050 125
26 Nilai Ekonomi Air berdasarkan Sektor di DAS Konaweha
Periode 2011-2050 128
27 Proyeksi Nilai Ekonomi Air di DAS Konaweha Menurut
Wilayah Periode 2011-2050 130
28 Total Nilai Ekonomi Hasil Hutan Non Kayu di DAS
Konaweha Tahun 2009 135
29 Manfaat Ekonomi Nilai Pilihan Keanekaragaman Hayati dan
Habitat di DAS Konaweha Tahun 2009 139
30 Manfaat Ekonomi Nilai Warisan Flora Fauna dan Habitat
Satwa di DAS Konaweha Tahun 2009 141
31 Manfaat Ekonomi Nilai Keberadaan Habitat dan Flora Fauna
Dilindungi di DAS Konaweha Tahun 2009 142
32 Rasio Ketersediaan dan Kebutuhan Air berbagai Skenario
Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu
Tahun 2050 147
33 Biaya Pemeliharaan Fungsi Hutan Skenario Penggunaan
Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu 148
34 Nilai R/C Skenario Penggunaan Lahan Alternatif DAS
Konaweha Hulu 150
35 Analisis Penerimaan Para Pihak terhadap Skenario
Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu 151
36 Analisis Kelayakan Penggunaan Lahan Alternatif di DAS
Konaweha Hulu Tahun 2050 152
37 Analisis Perbandingan antara Kebijakan Tata Guna Lahan
Eksisting dengan Skenario Penggunaan Lahan Alternatif di
DAS Konaweha Hulu Tahun 2050 157
xvii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman


1 Kerangka Berpikir Analisis Penggunaan Lahan Alternatif
untuk Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS
Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara 7
2 Perubahan Luas Hutan Alam Tropis Benua Amerika, Afrika
serta Asia dan Oceania. 17
3 Klaisifikasi Nilai Lingkungan dan Hubungannya dengan
Metode Valuasi. 26
4 Peta Lokasi Penelitian Intensif DAS Konaweha Hulu Tahun
2009 37
5 Desain Jalur Analisis Vegetasi di DAS Konaweha Hulu Tahun
2009 39
6 Kerangka Penarikan Sampel Penelitian (Sampling Frame) di
DAS Konaweha Tahun 2009 41
7 Grafik Rata-Rata Curah Hujan Bulanan di DAS Konaweha 71
8 Peta DAS Konaweha berdasarkan Kemiringan Lereng 73
9 Peta Luasan DAS Konaweha Berdasarkan Jenis Tanah 74
10 Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 2008 75
11 Pola Penurunan Luas Hutan di DAS Konaweha Hulu Periode
Lima Tahunan (1991-2010) 80
12 Pola Peningkatan Luas Perkebunan di DAS Konaweha Hulu
Periode Lima Tahunan (1991-2010) 81
13 Pola Peningkatan Luas Kebun Campuran di DAS Konaweha
Hulu Periode Lima Tahunan (1991-2010) 82
14 Pola Peningkatan Luas Semak Belukar di DAS Konaweha
Hulu Periode Lima Tahunan (1991-2010) 83
15 Proyeksi Luas Hutan, Perkebunan, Kebun Campuran dan
Semak Belukar di DAS Konaweha Hulu Periode Lima
Tahunan (2011-2050) 85
16 Pengaruh Jumlah Penduduk terhadap Luas Hutan di DAS
Konaweha Hulu Periode 1991-2010 87
17 Debit Harian Rata-rata, Debit Harian Maksimum dan Debit
Harian Minimum Sungai Konaweha Tahun 2007-2009 90
18 Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas
Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak Belukar terhadap
Koefisien Aliran Permukaan (C) di DAS Konaweha Hulu 95
19 Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas
Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak Belukar terhadap
Debit Maksimum (Qmax) Sungai Konaweha 96
20 Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas
Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak Belukar terhadap
Debit Minimum (Qmin) Sungai Konaweha 98
xviii

21 Pengaruh Penurunan Luas Hutan terhadap Koefisien Aliran


Permukaan DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010 99
22 Pengaruh Penurunan Luas Hutan terhadap Debit Minimum
(Qmin) Sungai Konaweha Periode 1991-2010 100
23 Hidrograf Aliran Sungai Konaweha berdasarkan Rata-rata
Aritmetik dan Peluang 80 % Tahun 1993-2009 104
24 Distribusi Ketersediaan Air dan Curah Hujan Bulanan di DAS
Konaweha Tahun 1993-2009 105
25 Proyeksi Debit Minimum (Qmin) Sungai Konaweha Periode
Lima Tahunan (2011-2050) 107
26 Pola Pertumbuhan Penduduk di DAS Konaweha Tahun 2000-
2009 109
27 Pola Pertumbuhan Industri Kecil di DAS Konaweha Tahun
2000-2009 112
28 Pola Pertumbuhan Industri Sedang/Besar di DAS Konaweha
Tahun 2000-2009 113
29 Pola Pertumbuhan Luas Sawah di DAS Konaweha Tahun
2000-2009 116
30 Kurva Ketersediaan dan Kebutuhan Air Periode 2011-2050 di
DAS Konaweha 126
31 Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS Kabupaten/Kota di DAS
Konaweha (10 % Nilai Manfaat Ekonomi Air Kabupaten
/Kota) Periode 2046-2050 133
32 Peta Skenario 1 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS
Konaweha Hulu 144
33 Peta Skenario 2 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS
Konaweha Hulu 144
34 Peta Skenario 3 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS
Konaweha Hulu 145
35 Peta Skenario 4 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS
Konaweha Hulu 145
36 Peta Skenario 5 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS
Konaweha Hulu 146
xix

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Teks Halaman


1 Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 1991 171
2 Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 1999 171
3 Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 2011 172
4 Proporsi Luas Masing-masing Jenis Penggunaan Lahan di DAS
Konaweha Hulu Tahun 1991-2011 172
5 Analisis Keragaman (Anova) Pengaruh Waktu terhadap
Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Konaweha Hulu 173
6 Proyeksi Luas Hutan, Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak
Belukar di DAS Konaweha Hulu Tahun 2011-2050 173
7a Debit Harian Rata-rata Sungai Konaweha Tahun 2007 174
7b Debit Harian Rata-rata Sungai Konaweha Tahun 2008 175
7c Debit Harian Rata-rata Sungai Konaweha Tahun 2009 176
7d Debit Harian Rata-rata, Debit Harian Maksimum dan Debit
Harian Minimum Sungai Konaweha 2007-2009 177
8 Curah Hujan Rata-rata Bulanan DAS Konaweha Tahun 1999-
2009 177
9 Debit Bulanan Rata-rata, Maksimum dan Minimum Sungai
Konaweha Tahun 1993-2009 177
10 Koefisien Aliran Permukaan, Debit Maksimum dan Debit
Minimum DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010 178
11 Analisis Regresi dan Keragaman Pengaruh Perubahan
Penggunaan Lahan terhadap Kondisi Hidrologi DAS Konaweha
Hulu 178
12 Debit Rata-rata Sungai Konaweha dengan Pendekatan Rata-rata
Aritmetik (m3/detik) 179
13 Debit Rata-rata Sungai Konaweha dengan Peluang 80 %
(m3/detik) 179
14 Debit Minimum (Qmin) Sungai Konaweha Periode 2011-2050 179
15a Contoh Hasil Tabulasi Kebutuhan Air Penduduk Kelas Sosial
Tinggi di Kota Kendari 180
15b Jumlah Penduduk menurut Kelas Sosial di DAS Konaweha
Tahun 2000-2009 181
15c Kebutuhan Air Domestik DAS Konaweha Tahun 2010-2050
(juta m3) 181
15d Distribusi Bulanan Kebutuhan Air Domestik DAS Konaweha
Tahun 2010-2050 (juta m3) 182
16a Jumlah Industri Kecil dan Industri Sedang/Besar di DAS
Konaweha Tahun 2000-2009 183
16b Hasil Tabulasi Kebutuhan Air Industri Sedang/Besar di DAS
Konaweha 183
16c Kebutuhan Air Industri DAS Konaweha Tahun 2010-2050 (juta
m3 ) 184
16c Distribusi Bulanan Kebutuhan Air Industri DAS Konaweha
Tahun 2010-2050 (juta m3) 185
17a Tabulasi Hasil Perhitungan Penggunaan dan Kebutuhan Air
Irigasi Rata-rata di Kabupaten Kolaka (m3/hektar/tahun) 186
17b Luas Sawah di DAS Konaweha Tahun 2000-2009 187
xx

17c Proyeksi Kebutuhan Air Irigasi DAS Konaweha Tahun 2010-


2050 (juta m3) 187
17d Distribusi Bulanan Kebutuhan Air Irigasi DAS Konaweha
Tahun 2010-2050 (juta m3) 188
18a Proyeksi Kebutuhan Air Menggelontor di Sungai Konaweha
Tahun 2010-2050 189
18b Distribusi Bulanan Kebutuhan Air yang Menggelontor di Sungai
Tahun 2010-2050 di DAS Konaweha 190
19a Proyeksi Kebutuhan Air Total di DAS Konaweha Tahun 2010-
2050 191
19b Distribusi Bulanan Kebutuhan Air Total DAS Konaweha Tahun
2010-2050 (juta m3) 192
19c Distribusi Bulanan Kebutuhan Air Total DAS Konaweha Tahun
2010-2050 (m3/detik) 193
20 Nilai Ekonomi Air Masing-masing Sektor di DAS Konaweha
Tahun 2010-2050 194
21 Nilai Ekonomi Air Kabupaten/Kota di DAS Konaweha Tahun
2010-2050 195
22 Proporsi Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS Masing-masing
Kabupaten/Kota di DAS Konaweha Tahun 2010-2050 196
23 Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS Kabupaten/Kota di DAS
Konaweha Tahun 2010-2050 197
24a Hasil Perhitungan Nilai Ekonomi Rotan di DAS Konaweha
Tahun 2009 198
24b Produktivitas Rata-rata Pengumpul/Pengolah Rotan di DAS
Konaweha Tahun 2009 198
25a Nilai Ekonomi Madu di DAS Konaweha Tahun 2009 199
25b Nilai Produktivitas dan Penerimaan Madu di DAS Konaweha
Tahun 2009 200
26a Contoh Analisis Vegetasi Semai untuk Plot 10 di DAS
Konaweha Tahun 2009 200
26b Potensi Karbon Rata-rata Semai, Pancang, Tiang dan Pohon di
DAS Konaweha Tahun 2009 201
27 Analisis WTP Nilai Pilihan Responden di DAS Konaweha
Tahun 2009 202
28 Analisis WTP Nilai Warisan Responden di DAS Konaweha
Tahun 2009 203
29 Analisis WTP Nilai Keberadaan Responden di DAS Konaweha
Tahun 2009 204
30 Hubungan Proporsi Tutupan Masing-masing Jenis Penggunaan
Lahan dengan Debit Minimum DAS Konaweha Hulu 205
31 Proporsi Luas Masing-masing Skenario Penggunaan Lahan
Alternatif di DAS Konaweha Hulu 205
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Fenomena yang akhir-akhir ini terkait dengan eksistensi sumberdaya air


adalah penurunan ketersediaan air sementara kebutuhan air meningkat terus dari
waktu ke waktu yang merupakan konsekuensi logis dari pertambahan jumlah
penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi.

Rata-rata ketersediaan air saat ini di atas daratan Indonesia adalah kurang
lebih 15.000 m3/kapita/tahun. Angka tersebut sebenarnya relatif sangat besar
yaitu hampir 25 kali rata-rata ketersediaan air per kapita per tahun dunia yang
besarnya 600 m3/kapita/tahun (Arif, 2003). Walaupun angka ketersediaan air di
Indonesia sangat besar, namun tidak merata baik secara spasial maupun temporal.
Wilayah Indonesia Bagian Barat diberi berkah dengan hujan yang sangat
berlimpah, sedangkan Wilayah Indonesia Bagian Timur mengalami hal yang
sebaliknya. Ketersediaan air tersebut masih belum merata sepanjang tahun,
sehingga di suatu wilayah terjadi kekeringan pada musim kemarau dan banjir
pada musim hujan.

Penurunan ketersediaan air bertolak belakang dengan fenomena


peningkatan kebutuhan air. Tingkat kebutuhan air terbesar di Indonesia
berdasarkan sektor kegiatan dapat dibagi dalam tiga kelompok besar (Dyah,
2000), yakni : kebutuhan domestik, kebutuhan irigasi pertanian dan kebutuhan
industri. Pada tahun 1990 kebutuhan air untuk domestik, irigasi dan industri
berturut-turut adalah : 3,2 x 109 m3/tahun, 74,9 x 109 m3/tahun, dan 0,70 x 109
m3/tahun. Pada tahun 2000 kebutuhan air masing-masing sektor berturut-turut :
3,5 x 109 m3/tahun, 82,4 x 109 m3/tahun, dan 0,79 x 109 m3/tahun (Isnugroho,
2002). Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa selama kurun waktu 10 tahun
maka kebutuhan air sektor domestik dan irigasi meningkat sekitar 9 %, sedangkan
sektor industri sebesar 11 %.

Penurunan ketersediaan air dan peningkatan kebutuhan air juga terjadi di


Provinsi Sulawesi Tenggara, termasuk juga di DAS Konaweha. Hal ini
2

kemungkinan disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan akibat eksploitasi


lahan secara terus-menerus sehingga terjadi penurunan kapasitas infiltrasi dan
peningkatan aliran permukaan, akibatnya jumlah air yang hilang ke laut akan
meningkat pula yang pada akhirnya akan mempengaruhi ketersediaan air.

Perubahan penggunaan lahan diduga mengakibatkan terjadinya penurunan


debit minimum dan peningkatan debit maksimum. Fakta menunjukkan bahwa
pada bulan mei tahun 2000 terjadi banjir dengan debit sekitar 380 m3/detik yang
menyebabkan lebih dari 10.000 hektar sawah di wilayah irigasi Wawotobi
terendam banjir. Pada tahun yang sama dari september sampai nopember terjadi
kekeringan dengan debit minimum rata-rata 10,6 m3/detik yang mengakibatkan
lebih dari 5.000 hektar sawah di wilayah tersebut tidak mendapatkan pasokan air
yang cukup. Pada bulan september tahun 2003 maka debit minimum Sungai
Konaweha adalah 27 m3/detik, pada tahun 2006 dan 2008 maka debit minimum
bulan september menjadi 23 m3/detik dan 20 m3/detik (Sub Dinas PU Pengairan
Provinsi Sulawesi Tenggara. 2010). Jika kecenderungan penurunan ini berlanjut,
diperkirakan akan terjadi defisit air pada musim kemarau.

Kebijakan pemerintah pusat tentang pembangunan Kawasan Ekonomi


Khusus (KEK) pertambangan yang dipusatkan di Provinsi Papua, Papua Barat dan
Sulawesi Tenggara juga berpotensi memberikan dampak terhadap perubahan
penggunaan lahan. Untuk tujuan tersebut maka Pemerintah Provinsi Sulawesi
Tenggara mengusulkan perubahan status hutan seluas 310.165 hektar menjadi
areal penggunaan lain (APL) melalui revisi Rencana Umum Tata Ruang Wilayah
(RUTRW) Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2010 (Bappeda Provinsi Sulawesi
Tenggara, 2010). Dari luasan tersebut, maka sekitar 10 % berada di DAS
Konaweha. Jika usulan tersebut di atas disetujui, maka dihkawatirkan akan
semakin menurunkan ketersediaan air khususnya distribusi ketersediaan air
bulanan.

Seiring dengan penurunan ketersediaan air, maka kebutuhan air di DAS


Konaweha cenderung mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Peningkatan
kebutuhan air ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, peningkatan
3

jumlah industri dan pertambahan luas sawah. Angka pertumbuhan penduduk rata-
rata di DAS Konaweha adalah 1,22 % per tahun, sementara laju pertambahan
industri kecil adalah 0,7 % per tahun dan industri sedang dan besar lebih dari 7 %
per tahun, sedangkan laju pertambahan luas sawah diperkirakan lebih dari 1 %
per tahun.

DAS Konaweha mempunyai fungsi strategis karena merupakan DAS


terbesar di Sulawesi Tenggara dengan luas ± 697.841 hektar dan secara
administrasi meliputi empat daerah otonom yakni Kabupaten Konawe, Konawe
Selatan, Kolaka dan Kota Kendari (BPDAS Sampara, 2009). Salah satu
peranannya yang sangat vital adalah sebagai sumber air bagi pemenuhan
kebutuhan domestik, industri dan irigasi keempat daerah otonom tersebut di atas.

Vitalnya peranan DAS Konaweha tersebut di atas belum didukung oleh


upaya pemeliharaan fungsi DAS dalam menjaga tata air oleh keempat daerah
otonom. Hal ini disebabkan oleh belum jelasnya proporsi pembiayaan yang
harus menjadi tanggung jawab masing-masing wilayah. Alokasi pembiayaan
yang bersumber dari nilai ekonomi hutan dan air belum dapat direalisasikan
karena hingga saat ini belum ada penelitian tentang hal ini. Oleh karena itu perlu
dilakukan suatu kajian tentang valuasi ekonomi hutan dan air serta proporsi biaya
pemeliharaan fungsi DAS yang bersumber dari nilai manfaat ekonomi bagi
masing-masing wilayah di DAS Konaweha.

Selain itu hingga saat ini belum ada kebijakan penggunaan lahan alternatif
di DAS Konaweha, khususnya kebijakan yang berkaitan dengan keberlanjutan
ketersediaan air jangka panjang. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan
konflik kepentingan antar wilayah yang memanfaatkan jasa DAS Konaweha
sebagai sumber air bersih.

Dalam rangka mencari alternatif untuk menyelesaikan berbagai masalah


sebagaimana diuraikan terdahulu, maka diperlukan penelitian komprehensif dan
mendalam. Oleh karena itu, maka penelitian tentang “Analisis Alternatif
Penggunaan Lahan untuk Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS
Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara” perlu untuk dilakukan.
4

Rumusan Masalah

DAS Konaweha yang merupakan DAS terbesar di Sulawesi Tenggara


mempunyai masalah yang cukup kompleks. Masalah tersebut akan semakin
kompleks jika dikaitkan dengan pemanfaatan sumberdaya lahan termasuk hutan
dan air. Beberapa masalah yang mungkin akan terjadi di DAS Konaweha adalah
sebagai berikut:

1. Defisit air; Kecenderungan penurunan debit minimum dan peningkatan debit


maksimum akibat perubahan penggunaan lahan khususnya hutan sangat
berpotensi menyebabkan terjadinya defisit air. Masalah ini akan semakin
besar seiring dengan peningkatan kebutuhan air sektor domestik, industri dan
irigasi di DAS Konaweha.

2. DAS Konaweha yang secara administrasi meliputi Kabupaten Konawe,


Konawe Selatan, Kolaka dan Kota Kendari memanfaatkan jasa lingkungan
DAS Konaweha sebagai sumber air selama ini belum memberikan kontribusi
memadai terhadap biaya pemeliharaan fungsi DAS dalam menjaga tata air.
Alokasi biaya pemeliharaan fungsi DAS yang bersumber dari manfaat
ekonomi air hingga saat ini belum bisa direalisasikan karena belum adanya
besaran proporsi masing-masing daerah otonom dalam pembiayaan.

3. DAS Konaweha merupakan DAS regional yang secara administrasi terdiri


dari Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Kolaka dan Kota Kendari belum
ada regulasi yang mengatur kebijakan penggunaan lahan alternatif yang dapat
menjamin ketersediaan air jangka panjang.

Kerangka Pemikiran

Defisit air yang tercermin dari penurunan debit minimum dan peningkatan
debit maksimum Sungai Konaweha diduga disebabkan oleh perubahan
penggunaan lahan khususnya perubahan luas hutan. Perubahan penggunaan lahan
ini tidak terlepas dari aspek pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan
aktivitas ekonomi yang menyebabkan terjadinya tekanan terhadap lahan.
5

Perubahan penggunaan lahan khususnya penggunaan lahan hutan menjadi


non hutan akan meningkatkan aliran permukaan dan penurunan kapasitas infiltrasi
tanah sehingga sebagian besar air hujan menjadi aliran permukaan dan terbuang
ke laut. Pada saat yang sama maka jumlah air yang masuk dan tersimpan di
dalam tanah juga berkurang akibat penurunan kapasitas infiltrasi tanah sehingga
akan mengurangi jumlah aliran dasar (baseflow). Aliran dasar inilah yang
diharapkan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air jangka panjang.

Penurunan kapasitas infiltrasi tanah dan peningkatan aliran permukaan


akan menyebabkan pola distribusi air yang tidak merata, artinya ada waktu-waktu
tertentu terjadi kelebihan air yang tidak termanfaatkan, dan sebaliknya pada waktu
lainnya terjadi kekurangan air. Kelebihan air yang terjadi pada musim hujan
sampai saat ini belum dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pada
musim kemarau sehingga sebagian besar air hujan yang jatuh akan menjadi aliran
permukaan dan hilang ke laut.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi masalah tersebut


di atas adalah bagaimana mengoptimalkan jumlah air hujan yang masuk ke dalam
tanah pada musim hujan sehingga tidak hilang ke laut, guna memenuhi kebutuhan
air pada musim kemarau. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
memanfaatkan kelebihan air adalah dengan menyimpan air di dalam tanah melalui
peningkatan kapasitas infiltrasi tanah. Upaya ini diharapkan dapat menyimpan air
hujan yang jatuh pada musim hujan kemudian air tersebut akan mengalir kembali
secara perlahan-lahan melalui aliran dasar pada musim kemarau.

Pada konteks hubungan antara perubahan penggunaan lahan dengan


ketersediaan air, maka penataan pengguaan lahan diharapkan dapat menurunkan
aliran permukaan dan meningkatkan jumlah air hujan yang masuk dan tersimpan
di dalam tanah sehingga akan meningkatkan aliran dasar (baseflow) atau aliran
sungai. Penurunan aliran permukaan ini akan menurunkan debit maksimum
sungai akibat sebagian air hujan tersimpan di dalam tanah dan menjadi aliran
dasar (aliran sungai). Akibatnya distribusi bulanan aliran sungai diharapkan
relatif merata.
6

Perubahan penggunaan lahan di DAS Konaweha yang dikhawatirkan akan


menyebabkan defisit air perlu dikendalikan dan diatur berdasarkan proporsi luas
masing-masing jenis penggunaan lahan yang dapat menjamin ketersediaan air
jangka panjang. Status neraca ketersediaan dan kebutuhan air di DAS Konaweha
merupakan salah satu cara untuk menentukan penggunaan lahan alternatif di DAS
Konaweha.

Kebijakan penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha ditentukan


berdasarkan indikator biofisik (debit minimum lebih dari atau sama dengan
kebutuhan air), indikator ekonomi (penerimaan lebih besar dari biaya yang
digunakan) dan indikator sosial (dapat diterima, tidak bertentangan dengan
kebiasaan masyarakat dan dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat dengan
pengetahuan yang mereka miliki).

Kebijakan penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha yang


merupakan DAS terbesar di Sulawesi Tenggara mencakup Kabupaten Konawe,
Konawe Selatan, Kolaka dan Kota Kendari perlu disepakati dan diatur agar tidak
terjadi konflik. Salah satu aspek yang perlu diatur adalah tanggung jawab
pembiayaan untuk pemeliharaan fungsi DAS dalam menjaga tata air berdasarkan
nilai manfaat ekonomi air yang diperoleh masing-masing kabupaten/kota.

Diagram kerangka berpikir penelitian analisis penggunaan lahan alternatif


untuk menjamin ketersediaan sumberdaya air di DAS Konaweha Provinsi
Sulawesi Tenggara disajikan pada Gambar 1.
7

Perubahan Penggunaan Lahan

Pertambahan Jumlah
Penduduk dan Infiltrasi Aliran Permukaan
Peningkatan Aktivitas Menurun Meningkat Curah Hujan
Ekonomi

Peningkatan Kebutuhan Air Volume Air Hilang ke Laut Analisis


Sektor Domestik, Industri dan Meningkat Tanggung Jawab
Pertanian Biaya
Pemeliharaan
Fungsi DAS oleh
Analisis Perubahan Distribusi Debit Sungai
Analisis Kabupaten/Kota
Penggunaan Lahan tidak Merata
Kebutuhan Air

Analisis Hidrograf
Aliran
Keluaran :
Kebutuhan Air Total
(Jumlah dan Distribusi)

Neraca Air Keluaran : Ketersediaan Air


(Jumlah dan Distribusi), Runoff
Coeficient (RO)

Surplus Defisit Analisis Manfaat Analisis Manfaat


Ekonomi Air Ekonomi Hutan
STOP LANJUT

Analisis Sosial Analisis Penggunaan Analisis R/C Valuasi Ekonomi


Lahan Alternatif

:
REKOMENDASI

Gambar 1. Kerangka Berpikir Analisis Penggunaan Lahan Alternatif untuk


Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS Konaweha Provinsi
Sulawesi Tenggara.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian : (1) mengkaji perubahan penggunaan lahan dan


pengaruhnya terhadap sumberdaya air di DAS Konaweha; (2) mengkaji
ketersediaan dan kebutuhan air serta proporsi luas hutan minimal yang harus
dipertahankan untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya air di DAS Konaweha;
(3) mengkaji proporsi biaya pemeliharaan fungsi DAS dalam menjaga tata air
bagi kabupaten/kota untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya air; dan (4)
mengkaji kebijakan penggunaan lahan alternatif yang dapat menjamin
ketersediaan air jangka panjang.
8

Kebaruan (Novelty)

Hasil penelitian yang berjudul “Analisis Alternatif Penggunaan Lahan


untuk Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS Konaweha Provinsi
Sulawesi Tenggara” menemukan kebaruan (novelty) yang sifatnya tidak
bertentangan bahkan memperkuat atau menyempurnakan temuan atau teori-teori
yang ada selama ini. Kebaruan tersebut adalah:

1. Proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan dalam suatu DAS
ditentukan atas dasar besarnya debit minimum yang dihasilkan untuk
memenuhi kebutuhan air dengan besaran lebih dari atau sama dengan
kebutuhan air.

2. Daerah Aliran Sungai (DAS) yang secara administrasi mencakup lebih dari
satu daerah otonom dan memanfaatkan air dari DAS tersebut, maka tanggung
jawab masing-masing daerah otonom terhadap pembiayaan pemeliharaan
fungsi DAS dalam menjaga tata air didasarkan pada proporsi nilai ekonomi air
yang dimanfaatkan masing-masing daerah otonom terhadap total nilai
ekonomi air yang digunakan. Hal ini sejalan dengan prinsip PES (payment of
environmental services) yakni siapa saja yang memanfaatkan jasa lingkungan
termasuk air harus membayar jasa tersebut.

Batasan dan Ruang Lingkup Penelitian

Batasan dan ruang lingkup penelitian Analisis Alternatif Penggunaan Lahan


untuk Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS Konaweha Provinsi
Sulawesi Tenggara perlu dirumuskan untuk memberikan arah yang jelas tentang
penelitian. Batasan dan ruang lingkup tersebut adalah sebagai berikut :

1. Lokasi penelitian adalah DAS Konaweha yang berada di Provinsi Sulawesi


Tenggara yang meliputi 3 kabupaten dan 1 kota yakni Kabupaten Konawe,
Konawe Selatan, Kolaka dan Kota Kendari.
9

2. Penelitian aspek kebutuhan air domestik dan kebutuhan air industri dilakukan
di seluruh DAS Konaweha ditambah dengan wilayah di Kota Kendari yang
berada di luar DAS Konaweha namun menggunakan air yang bersumber dari
DAS Konaweha. Penelitian kebutuhan air irigasi dilakukan di dalam DAS
Konaweha yakni di Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kabupaten
Kolaka.

3. Penelitian aspek ketersediaan air (aspek hidrologi) dilakukan di DAS


Konaweha Hulu yang meliputi kawasan Irigasi Wawotobi sampai ke hulu
DAS Konaweha. Penelitian curah hujan difokuskan pada kajian tentang curah
hujan rata-rata dan distribusi curah hujan bulanan di DAS Konaweha.

4. Penelitian aspek hidrologi difokuskan pada kajian kondisi hidrologi DAS


Konaweha Hulu. Aspek-aspek hidrologi yang dikaji adalah koefisien aliran
permukaan dan debit minimum dalam kaitannya dengan perubahan
penggunaan lahan.

5. Penelitian tentang perubahan penggunaan lahan difokuskan pada perubahan


penggunaan lahan dominan dalam kaitannya dengan pertumbuhan populasi
penduduk di DAS Konaweha.

6. Penelitian neraca ketersediaan dan kebutuhan air didasarkan pada ketersediaan


dan kebutuhan air minimum pada bulan tertentu sedangkan bulan-bulan
lainnya diabaikan dalam analisis.

7. Penelitian tentang nilai ekonomi sumberdaya alam difokuskan pada nilai


ekonomi hasil hutan non kayu, meliputi nilai ekonomi flora dan fauna (rotan
dan madu), penyerapan karbon, nilai pilihan, nilai warisan, dan nilai
keberadaan. Nilai ekonomi air yang diteliti adalah nilai ekonomi air yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik, industri dan irigasi.
Penelitian tentang nilai ekonomi hasil hutan non kayu dan nilai ekonomi air
dilakukan di seluruh DAS Konaweha.

8. Penelitian aspek sosial difokuskan pada persepsi para pihak yang terkait
dengan tata guna lahan di DAS Konaweha.
10

9. Penelitian aspek proporsi tanggung jawab pembiayaan masing-masing


kabupaten/kota difokuskan pada nilai ekonomi air yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan sektor domestik, industri dan irigasi.

10. Penentuan penggunaan lahan alternatif didasarkan pada hasil kajian aspek
lingkungan, ekonomi dan sosial.

11. Ketersediaan air adalah jumlah air yang berasal dari debit sungai dan tersedia
setiap saat guna memenuhi kebutuhan domestik, industri dan irigasi.

12. Kebutuhan air adalah jumlah air yang dibutuhkan untuk keperluan sektor
domestik, industri dan sektor pertanian (irigasi) serta air yang harus tetap
menggelontor di sungai.

13. Air sungai yang menggelontor adalah air yang harus tetap mengalir agar
fungsi sungai baik fungsi ekologi maupun fungsi ekonomi tetap terjaga.

14. Defisit air adalah suatu keadaan dimana jumlah air tersedia tidak dapat
mencukupi kebutuhan air domestik, industri, irigasi dan air yang harus tetap
menggelontor di sungai.
TINJAUAN PUSTAKA

Air dan Permasalahannya

Sejalan dengan meningkatnya pembangunan pada berbagai bidang, maka


kebutuhan untuk mendapatkan sumberdaya air juga meningkat, baik kuantitas
maupun kualitas. Sementara itu fasilitas pelayanan prasarana dasar penyediaan
air belum mampu memenuhi peningkatan kebutuhan tersebut. Fauzi (2004)
mengemukakan bahwa seiring dengan bertambahnya penduduk dan eskalasi
pembangunan ekonomi, maka fungsi ekonomi dan sosial air sering terganggu
karena semakin kritisnya suplai air sementara permintaan terus meningkat.

Permasalahan air yang banyak timbul pada umumnya diakibatkan oleh


ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan, kualitas serta cara pandang
masyarakat tentang ketersediaan air (Kodoatie, et al., 2002), antara lain : (1)
permintaan terhadap penyediaan air meningkat, sementara itu ketersediaan air dan
prasaranya semakin terbatas; (2) tingkat pencemaran air dan badan air terus
berlangsung sehingga mencapai keadaan yang memprihatinkan; (3) tingkat
penghayatan kondisi krisis (sense of crisis), rasa memiliki dan partisipasi
masyarakat terhadap pengelolaan air masih relatif rendah; dan (4) tingginya
kerusakan lingkungan di daerah tangkapan air (catchment area), tingginya erosi,
dan ancaman banjir.

Krisis air akhir-akhir ini telah melanda berbagai negara di dunia termasuk
juga Indonesia. Air yang merupakan kebutuhan esensial berbagai aktivitas
manusia telah menjadi barang langka sejak terjadinya peningkatan aktivitas
manusia dengan pesat. Sementara itu total air bersih yang tersedia di berbagai
negara cenderung menjadi terbatas. Jumlah populasi penduduk dan ketersediaan
air per kapita berbagai negara di dunia menjadi isu yang sangat menarik
(International Water Management Institute, 2006).

Biswas (1997) mengemukakan bahwa Canada dengan jumlah penduduk


29.1 juta pada tahun 1994 mempunyai angka ketersediaan air tertinggi yakni
99.69 ribu m3 per kapita, tahun 2025 dengan jumlah penduduk 38.3 juta
12

mempunyai angka ketersediaan air 75,74 ribu m3 per kapita, sedangkan tahun
2050 diperkirakan jumlah penduduknya mencapai 39.9 juta dengan angka
ketersediaan air sebesar 72.70 ribu m3 per kapita. Penduduk Indonesia pada
tahun 1994 yang berjumlah 189.9 juta mempunyai angka ketersediaan air sebesar
13.32 ribu m3 per kapita, tahun 2025 dengan jumlah penduduk 275.6 juta
mempunyai angka ketersediaan air 9.17 ribu m3 per kapita, sedangkan tahun 2050
diperkirakan jumlah penduduknya mencapai 318.8 juta dengan angka
ketersediaan air 7.94 ribu m3 per kapita.

Laporan International Water Management Institute (IWMI, 2006) bahwa


Amerika Serikat, Cina dan India mencapai angka rata-rata penggunaan air
tahunan yakni masing-masing 477.000 km3, 549.760 km3 dan 645.840 km3 dari
tahun 1996-2002 (Tabel 1).

Tabel 1. Penggunaan Air Total dan Rata-rata Tahunan beberapa Negara di Dunia
Tahun 1996-2002.

No. Negara Penggunaan Penggunaan Per Kapita Tahun Data


3
Air (km ) (m3/Tahun)
1. USA 477.000 1.686 2000
2. Canada 44.720 1.386 1996
3. Mesir 68.300 923 2000
4. Finlandia 2.330 444 1999
5. Belgia 7.440 714 1998
6. Panama 820 254 2000
7. India 645.840 585 2000
8. China 549.760 415 2000
9. Polandia 11.730 304 2002
10. Afrika Selatan 12.500 264 2000
Sumber : International Water Management Institute (2006).

Tabel 1 menunjukkan bahwa USA menggunakan air 477.000 km3 setiap


tahun, China sebesar 549.760 km3, India sebesar 645.840 km3. Mesir
menggunakan air rata-rata setiap tahun sebesar 68.000 km3, Canada hanya 44.720
km3, sedangkan negara lainnya menggunakan air kurang dari 10 km3 per tahun,
kecuali Polandia dan Afrika Selatan masing-masing 11.730 km3 setiap tahun dan
12.500 km3.
13

Tabel 1 juga memperlihatkan bahwa penggunaan air per kapita per tahun
USA mencapai angka tertinggi dengan nilai 1.686 m3/kapita/tahun, sedangkan
Canada dan Mesir masing-masing sebesar 1.386 m3/kapita/tahun dan 923
m3/kapita/tahun. Angka-angka tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan
dengan penggunaan air rata-rata negara-negara lainnya seperti Belgia, India dan
Cina masing-masing sebesar 714 m3/kapita/tahun, 585 m3/kapita/tahun dan 415
m3/kapita/tahun. Sedangkan penggunaan air rata-rata Finlandia, Panama,
Polandia dan Afrika Selatan masing-masing sebesar 444 m3/kapita/tahun, 254
m3/kapita/tahun, 304 m3/kapita/tahun dan 264 m3/kapita/tahun.

Penggunaan air tiga sektor yakni sektor domestik, industri dan pertanian
negara-negara di dunia menunjukkan angka yang cukup bervariasi. Proporsi
penggunaan air masing-masing sektor juga cukup bervariasi tergantung dari
kondisi kependudukan, pertumbuhan industri dan pembangunan sektor pertanian.
Penggunaan air sektor domestik, industri dan pertanian beberapa negara di dunia
disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Proporsi Penggunaan Air Rata-rata Sektor Domestik, Industri dan


Pertanian beberapa Negara di Dunia Tahun 1996-2002.

No. Negara Penggunaan Air Sektor (%) Tahun Data


Domestik Industri Pertanian
1. USA 13 46 41 2000
2. Canada 20 68 12 1996
3. Mesir 8 6 86 2000
4. Finlandia 14 83 3 1999
5. Belgia 13 85 2 1998
6. Panama 67 5 28 2000
7. India 8 5 87 2000
8. China 7 25 68 2000
9. Polandia 13 79 8 2002
10. Afrika Selatan 31 6 63 2000
Sumber : International Water Management Institute (2006).
14

Tabel 2 menunjukkan bahwa 13 % penggunaan air di USA tahun 2000


adalah untuk memenuhi kebutuhan domestik, 46 % untuk kebutuhan industri dan
41 % untuk memenuhi kebutuhan sektor pertanian. Sebagian besar penggunaan
air untuk Panama adalah untuk memenuhi kebutuhan domestik yakni 67 %, dan
hanya 28 % untuk kebutuhan pertanian serta 5 % untuk kebutuhan industri.
Sebagian besar (87 %) penggunaan air India adalah untuk memenuhi kebutuhan
sektor pertanian dan hanya 8 % untuk memenuhi kebutuahan domestik dan 5 %
untuk kebutuhan industri.

Penggunaan air harian rumah tangga kota untuk air minum adalah 8 galon
per hari atau sekitar 2,0 % dari total penggunaan rumah tangga. Penggunaan
untuk toilet cukup besar yakni sekitar 96 galon per hari atau sekitar 28,0 % dari
total penggunaan rumah tangga. Penggunaan untuk kebutuhan mandi yaitu 80
galon per hari atau sekitar 23 % dari total penggunaan keluarga (Ward and Elliot,
1995).

Menurut proyeksi IFPRI (International Food Policy Research Institute),


kebutuhan air Indonesia tahun 2020 untuk keperluan pertanian, industri dan
domestik dibandingkan tahun 1995 meningkat berturut-turut 25 persen, 300
persen dan 400 persen, padahal secara kuantitas volume air yang ada relatif
konstan. Bahkan air yang dapat digunakan (utilizable) cenderung menurun
antara lain akibat pencemaran dan kerusakan biofisik DAS. Salah satu
indikatornya adalah tingginya fluktuasi debit pada musim hujan dan musim
kemarau serta rentannya (susceptible) pasokan air akibat deraan anomali iklim
seperti elnino dan lanina (Suara Merdeka, 2004). Masalah air bukan hanya
masalah penyediaan air bersih untuk konsumsi manusia, melainkan juga
menyangkut berbagai keperluan lain. Air buangan (wastewater) harus didaur
ulang untuk mengurangi pencemaran.

Tingkat kebutuhan air terbesar berdasarkan sektor kegiatan dapat dibagi


dalam tiga kelompok besar (Dyah, 2000), yakni : kebutuhan domestik, kebutuhan
irigasi pertanian dan kebutuhan industri. Sejalan dengan pertambahan penduduk
di Indonesia, maka kebutuhan air ketiga sektor ini akan meningkat pula.
15

Tingkat kebutuhan air terbesar di Indonesia berdasarkan sektor kegiatan


dapat dibagi dalam tiga kelompok besar (Dyah, 2000), yakni : kebutuhan
domestik, kebutuhan irigasi pertanian dan kebutuhan industri. Pada tahun 1990
kebutuhan air untuk domestik, irigasi dan industri berturut-turut adalah : 3,2 x 109
m3/tahun, 74,9 x 109 m3/tahun, dan 0,70 x 109 m3/tahun. Pada tahun 2000
kebutuhan air masing-masing sektor berturut-turut : 3,5 x 109 m3/tahun, 82,4 x
109 m3/tahun, dan 0,79 x 109 m3/tahun (Isnugroho, 2002). Angka-angka tersebut
menunjukkan bahwa selama kurun waktu 10 tahun maka kebutuhan air untuk
sektor domestik dan irigasi meningkat 9 % dan sektor industri sebesar 11 %.

Hasil perbandingan yang dilakukan sejak tahun 1990 hingga tahun 2000
antara ketersediaan dan kebutuhan air menunjukkan bahwa ketersediaan air
khususnya di Pulau Jawa dan Bali telah mengalami tingkat yang kritis. Kondisi
kritis ini juga terjadi di Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan (Dyah, 2000).
Apabila kondisi tersebut terus berlanjut, maka akan terjadi keterbatasan
pengembangan dan pelaksanaan pembangunan di daerah-daerah tersebut karena
daya dukung sumberdaya air yang telah terlampaui.

Faktor Penyebab dan Dampak Perubahan Penggunaan Lahan

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan


termasuk deforestasi antara lain adalah faktor demografi (kependudukan), sosial
ekonomi dan faktor biofisik. Faktor demografi antara lain meliputi jumlah
penduduk dan pertumbuhan penduduk, struktur penduduk (umur dan jenis
kelamin), dan jumlah kepala keluarga. Faktor sosial ekonomi antara lain meliputi
tingkat pendidikan, tingkat pendapatan keluarga, dan jenis mata pencaharian.
Sedangkan faktor biofisik antara lain jenis tanah dan kemiringan lereng (Mena,
Walsh and Bilsborrow, 2010).
Perubahan penggunaan lahan berhubungan erat dengan peningkatan
kebutuhan barang dan jasa yang membutuhkan lahan. Peningkatan jumlah
penduduk akan menyebabkan peningkatan kebutuhan pangan, sandang dan
energi. Peningkatan kebutuhan pangan, sandang dan energi akan mempengaruhi
16

secara langsung perubahan penggunaan lahan melalui konversi lahan untuk


perluasan areal pertanian. Peningkatan kebutuhan energi atau bahan bakar seperti
ethanol akan menyebabkan peningkatan luas lahan pertanian (Marshall, et al.,
2011). Lebih lanjut Barbieri (2006) mengemukakan bahwa faktor penting yang
mempengaruhi perubahan penggunaan lahan adalah mobilitas penduduk.

Analisis perubahan penggunaan lahan dengan menggunakan Conversion


of Land Use and its Effects (CLUE-s) model dijelaskan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan penggunaan lahan sangat kompleks, namun demikian
faktor-faktor tersebut secara garis besar terdiri dari faktor kebutuhan lahan (land
demand), perubahan populasi penduduk (changes in population), alokasi lahan
(land allocation) dan perubahan produksi pertanian (changes in yield of
agriculture) (Verburg, et al., 1999; Verburg, et al., 2011). Lebih lanjut
dijelaskan bahwa analisis perubahan penggunaan lahan dengan model CLUE-s
menggunakan variabel kebutuhan tutupan lahan (land cover demand), kesesuaian
lokasi (location suitability), dan karakteristik konversi lahan (land conversion
characteristics) (Fox, et al., 2011). Pola perubahan penggunaan lahan khususnya
lahan pertanian dipengaruhi oleh faktor ketinggian tempat (elevation), kemiringan
(slope) dan kepadatan penduduk (population density) (Huang, Cai and Peng,
2007). Selanjutnya Wainger, Rayburn dan Price (2007) mengemukakan bahwa
perubahan penggunaan lahan dipengaruhi oleh kebutuhan energi khususnya bio
energi yang bersumber dari pertanian. United State Environmental Protection
Agency (USEPA) melaporkan bahwa pertumbuhan penduduk dan pola
penggunaan lahan mempengaruhi perubahan penggunaan lahan (Environmental
Protection Agency, 2000). Perubahan penggunaan lahan dipengaruhi oleh hasil
interaksi yang kompleks antara faktor-faktor manusia dan faktor lingkungan
(Schaldach and Priess, 2008).

Kondisi sumberdaya lahan saat ini berada dalam tekanan yang serius
akibat pertambahan jumlah penduduk dan aktivitas ekonominya. Saat ini paling
tidak ada sekitar 16 % lahan yang sesuai untuk pertanian telah terdegradasi dan
17

angka tersebut menunjukkan kecenderungan yang meningkat terus (UNEP and


FAO, 1999).

Daerah-daerah tropis mengalami kejadian dramatis pada bidang


perubahan penggunaan lahan selama beberapa dekade terakhir akibat
pertumbuhan penduduk yang cepat, perubahan orientasi ekonomi dari subsisten
ke orientasi pasar, instabilitas politik dan konflik sumberdaya bagi para pihak.
Forest Resources Assessment (FRA) dan Food Agricultural Organization (FAO)
memperkirakan bahwa perubahan penggunaan lahan menyebabkan kehilangan
hutan alam tropis di dunia sudah sangat menghawatirkan. FRA memperkirakan
pada era tahun 1990 – 2000 bahwa total hutan alam tropis dunia yang hilang
adalah 9 juta hektar, dibandingkan dengan perhitungan FAO bahwa pada kurun
waktu yang sama adalah 11,3 juta hektar dan periode 1990 – 1995 mencapai
angka 13 juta hektar. Selanjutnya FRA memperkirakan bahwa pada periode
tahun 2000 hingga sekarang telah terjadi kehilangan hutan alam tropis seluas 14,9
juta hektar dengan laju deforestasi rata-rata sebesar 0.7 % per tahun (Drigo,
2005).

Penyusutan luas hutan tersebut di atas masing-masing untuk Benua


Amerika, Afrika, serta Benua Asia dan Oceania menunjukkan bahwa Benua
Amerika mempunyai tingkat penyusutan luas hutan terbesar baik periode 1990-
2000, maupun periode 2000-sekarang sebagaimana disajikan pada Gambar 2.
6
5.69
1990-2000
2000-sekarang
5.43
5

4.69 4.81
Kehilangan hutan Tahunan (Juta ha)

4
3.7
3.51

Amerika Afrika Asia dan Oceania

Sumber : Diadaptasi dari Drigo (2005).


Gambar 2. Perubahan Luas Hutan Alam Tropis Benua Amerika, Afrika serta
Asia dan Oceania.
18

Gambar 2 menunjukkan bahwa kehilangan hutan alam tropis Benua


Amerika pada periode 1990-2000 adalah 5.69 juta hektar, sedangkan periode
2000-sekarang mencapai 4.69 juta hektar. Benua afrika mengalami kehilangan
hutan tropis sebesar 3.7 juta hektar pada periode 1990-2000, sedangkan pada
periode 2000-sekarang meningkat menjadi 5.43 juta hektar. Kehilangan hutan
alam tropis Benua Asia dan Oceania pada era 1990-2000 adalah 3.51 juta hektar,
sedangkan periode 2000-sekarang menjadi 4.81 juta kehtar.

Asia Tenggara merupakan wilayah yang mempunyai hutan tropis dengan


laju degradasi yang serius sejak waktu lampau, namun percepatan degradasi hutan
tropis di Asia Tenggara baru terjadi pada era 1970an guna memperoleh
pendapatan untuk pembiayaan pembangunan negara. Pada tahun 1980an laju
deforestasi untuk Kamboja adalah sekitar 60.000 hektar per tahun, sedangkan
Indonesia sudah mencapai 600.000 hektar per tahun. Dua puluh tahun kemudian,
maka laju deforestasi Indonesia menjadi tidak terkendali yakni mencapai
1.600.000 hektar per tahun dan tinggal menyisakan kawasan hutan seluas 93 juta
hektar tahun 2000 dibandingkan tahun 1980 dengan luas kawasan hutan 120 juta
hektar (Murdiyarso, 2005).

Dampak hidrologi perubahan penggunaan lahan dapat berupa jumlah


maupun kualitas air. Selanjutnya dijelaskan bahwa dampak perubahan
penggunaan lahan dalam hubungannya dengan aspek hidrologi (Bonell and
Bruijnzeel, 2005) adalah : (1) erosi meningkat dengan terganggunya hutan; (2)
laju sedimentasi meningkat akibat peningkatan erosi dan perubahan penutupan
tanah; (3) kehilangan unsur hara akibat peningkatan pencucian (leaching); (4)
produksi air (water yield) dalam hal ini ditribusi bulanan menurun seiring dengan
penurunan evapotranspirasi vegetasi; (5) aliran air musiman khususnya aliran
dasar (baseflow) akan menurun seiring dengan penurunan kapasitas infiltrasi
tanah dan peningkatan aliran permukaan; (6) aliran puncak (peakflow) akan
meningkat seiring dengan berkurangnya penutupan tanah; dan (7) pengisian air
tanah akan menurun. Selanjutnya Aylward (2005) mengemukakan bahwa
19

dampak perubahan penggunaan lahan terhadap jumlah air meliputi : (1) hasil air
tahunan; (2) aliran air musiman; (3) aliran puncak; dan (4) level air tanah.

Menurut Barbier (1995) kehilangan keanekaragaman hayati memberikan


konsekuensi hilangnya nilai ekonomis potensial dari hutan seperti: produk hutan
non kayu, bahan genetik untuk industri farmasi, bioteknologi, ilmu pengetahuan
dan teknologi, serta jenis-jenis kayu yang tidak dipasarkan. Pengukuran
keanekaragaman jenis merupakan cara untuk menilai dampak kerusakan
lingkungan.

Deforestasi juga memberikan dampak tidak langsung terhadap jasa


keberadaan hutan untuk turisme dan rekreasi serta pendidikan, juga mempunyai
dampak nyata terhadap kesejahteraan manusia melalui perlindungan DAS,
pengaturan iklim dan penyedia karbon. Dengan demikian deforestasi
menyebabkan hilangnya manfaat dari sumberdaya hutan sehingga menimbulkan
kerugian ekonomi yang seharusnya dapat diperoleh. Kerugian ekonomi yang
hilang dan berdampak pada timbulnya biaya akibat kebakaran hutan dapat
disetarakan dengan istilah biaya kesempatan atau opportunity cost dalam ilmu
ekonomi (Field, 1994; Pearce dan Moran, 1994).

Perubahan penggunaan lahan akan mempengaruhi aktivitas ekonomi baik


langsung maupun tidak langsung. Semakin intensifnya penggunaan lahan dan
pertumbuhan penduduk akan menyebabkan eksploitasi biomassa dan spesies
tertentu sehingga tidak cukup waktu bagi vegetasi tersebut untuk melakukan
regenerasi ketika dieksploitasi kembali, terjadi eksploitasi besar-besaran vegetasi
tertentu, sehingga akan memicu pembangunan infrastruktur lainnya. Selanjutnya
dijelaskan bahwa perubahan fungsi hidrologi akibat perubahan penggunaan lahan
akan berpengaruh terhadap aspek ekonomi baik di kawasan hulu (upstream)
maupun di kawasan hilir (downstream). Beberapa dampak ekonomi perubahan
penggunaan lahan (Aylward, 2005) di kawasan hulu antara lain : penurunan
produktivitas yang menyebabkan penurunan pendapatan, kehilangan potensi
kayu, kayu bakar dan hasil-hasil non kayu, kehilangan potensi penyerap karbon,
kehilangan spesies satwa liar, kehilangan flora bahan obat-obatan dan lain-lain.
20

Kerugian ekonomi di kawasan hilir antara lain adalah berkurangnya pasokan air
bersih untuk kebutuhan rumah tangga, penurunan pasokan air untuk pembangkit
tenaga listrik, kehilangan produksi sawah akibat penurunan pasokan air irigasi,
peningkatan biaya yang diperlukan untuk pengolahan air bersih akibat bahan-
bahan pencemar yang terangkut, penurunan potensi wisata, dan peningkatan
biaya untuk mitigasi banjir dan lain-lain.

Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi non hutan, permukiman


dan kawasan industri akan meningkatkan koefisien limpasan, akibatnya banjir
akan meningkat baik besaran maupun frekuensinya. Banjir yang diakibatkan oleh
meningkatnya koefisien limpasan DAS sesungguhnya harus dapat dicegah oleh
manusia. Namun pada kenyataannya banjir yang diakibatkan oleh faktor inilah
yang paling banyak terjadi di Indonesia (Sinukaban, 2008).

Penurunan jumlah aliran permukaan sangat nyata dengan meningkatnya


tingkat penutupan permukaan tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perbandingan besarnya aliran permukaan pada lokasi dengan penutupan dan tanpa
penutupan jerami, maka penurunan besarnya aliran permukaan berkisar antara 10
sampai 85 persen (Sinukaban, 1987 dalam Sinukaban, 2008).

Fungsi Hutan dalam Menjaga Tata Air

Hutan sebagai suatu ekosistem mempunyai fungsi atau manfaat yang


bermacam-macam, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Menurut
Gregory (1972), hutan selain berfungsi sebagai kawasan produksi yang berperan
dalam produksi kayu dan produk hasil hutan non kayu lainnya yang memiliki
fungsi sosial ekonomi bagi masyarakat, tetapi juga mempunyai fungsi rangkap
sebagai pelindung tanah, air, iklim, dan lain-lain (fungsi hidrologis atau ekologis),
bahkan fungsi yang lain seperti sumber plasma nutfah dan keanekaragaman
hayati.

Hutan merupakan penggunaan lahan paling baik dalam fungsinya sebagai


pengatur proses hidrologi dan melindungi tanah. Penggundulan hutan
21

menyebabkan penurunan kapasitas infiltrasi tanah sehingga terjadi peningkatan


aliran permukaan dan percepatan erosi tanah, bahkan dapat menyebabkan
perubahan karakteristik pasokan air. Total hasil air (water yield) yang keluar dari
suatu DAS meningkat, begitu juga dengan perbedaan hasil air antara musim
kemarau dan musim hujan (Purwanto dan Ruijter, 2004; Chandler dan Suyanto,
2004). Dumairy (2002) mengemukakan bahwa tindakan yang harus dilakukan
untuk memperbaiki pasokan air adalah merubah penggunaan lahan.

Selanjutnya dijelaskan bahwa hutan mempengaruhi infiltrasi dan


kandungan lengas tanah. Secara umum laju infiltrasi di hutan lebih tinggi dari
jenis penggunaan lahan lainnya karena banyaknya pori-pori hayati (biofor) di
dalam tanah. Pori-pori hayati terjadi karena adanya aktivitas fauna tanah, akar
dan kandungan bahan organik yang tinggi. Keberadaan seresah daun dapat
melindungi pori-pori tanah dari penyumbatan, oleh karena itu tanah hutan
mempunyai kemampuan menyimpan air yang tinggi. Jika intensitas hujan di
bawah hutan melebihi kapasitas infiltrasi tanah, maka kelebihan air yang tidak
terserap oleh tanah akan mengalir sebagai aliran permukaan. Air yang terinfiltrasi
akan meresap ke dalam tanah tergantung pada daya hantar hidrolik vertikal dan
lateral, kelembaban tanah dan kecuraman lereng dengan melalui satu atau lebih
alur untuk menuju ke sungai utama. Hutan memiliki daya tampung dan daya
infiltrasi air yang tinggi, karena itu aliran permukaan jarang terjadi pada lahan
hutan. Tingginya kemampuan infiltrasi tanah hutan, maka air dapat dengan
mudah mencapai sistem air tanah (ground water), sehingga jumlah air yang
ditampung pada “reservoir” air tanah menjadi tinggi. Air ini dilepaskan lagi
secara bertahap sebagai aliran dasar (baseflow) ke sungai (Purwanto dan Ruijter,
2004).

Hutan bersifat seperti busa (sponge), mengisap air dari tanah di musim
hujan dan melepaskannya sedikit-demi sedikit di musim kemarau ketika terjadi
kekurangan air. Menurunnya penutupan hutan akan menyebabkan berkurangya
pasokan air pada musim kemarau sehingga menyebabkan kekurangan air. Oleh
karena itu suatu keseimbangan diperlukan antara kondisi hutan dengan
22

ketersediaan air, sehingga harus ditentukan proporsi hutan minimum yang dapat
menjamin ketersediaan air dalam suatu DAS (Van Noordwijk et al., 2004).

Sebagai akibat dari penggundulan hutan, maka tanggap lahan terhadap


hujan akan berubah, tergantung pada sistem penebangan hutan, iklim wilayah,
kondisi geologi dan curah hujan. Satu faktor paling penting yang akan berubah
ketika terjadi penggundulan hutan dan gangguan terhadap tanah adalah
menurunnya kemampuan tanah menyerap air karena penurunan kapasitas
infiltrasi tanah. Alihguna hutan tropis menjadi lahan pertanian menyebabkan
penurunan kapasitas infiltrasi tanah pengambilan air oleh pepohonan karena
faktor-faktor berikut (Purwanto dan Ruijter, 2004) : (1) tersingkapnya permukaan
tanah yang gundul terhadap pukulan butir-butir air hujan secara langsung; (2)
menurunnya transpirasi karena tanaman pertanian tidak mempunyai tajuk secara
terus-menerus; (3) pemadatan tanah lapisan atas; dan (4) lenyapnya aktivitas
fauna tanah secara perlahan-lahan.

Salah satu akibat dari perubahan penggunaan lahan hutan ke penggunaan


pertanian adalah meningkatnya jumlah aliran tahunan yang keluar dari DAS
tersebut. Kejadian ini merupakan konsekuensi sederhana dari keseimbangan air;
jika evaporasi dari air yag diintersepsi dan transpirasi oleh tanaman berkurang,
maka air yang mengalir sebagai aliran sungai menjadi lebih banyak, apalagi
setelah kapasitas penyimpanan air oleh tanah tidak mampu menampung lagi.
Total hasil air di suatu DAS meningkat secara signifikan pada pertanian lahan
kering (sekitar 150 – 450 mm per tahun, tergantung curah hujan) dibandingkan
dengan hutan alami. Namun demikian peningkatan hasil air lebih banyak berupa
peningkatan debit puncak dibanding dengan peningkatan aliran dasar. Hal ini
menunjukkan adanya potensi peningkatan frekuensi dan intensitas banjir pada
daerah hilir (Purwanto dan Ruijter, 2004). Pada hutan alami yang belum
terganggu, umumnya aliran sungai di musim kemarau (baseflow) dapat
dipertahankan pada tingkat tertentu. Aliran ini diperoleh pada musim hujan
ketika tersedia cukup air yang mampu menginfiltrasi melalui tanah hutan yang
mempunyai permeabilitas tinggi dan menembus tanah lapisan bawah. Penurunan
23

kapasitas infiltrasi menyebabkan tanah menjadi cepat jenuh oleh air hujan
sehingga memaksa air untuk mengalir di permukaan tanah.

Tutupan lahan oleh pohon dengan segala bentuknya dapat mempengaruhi


aliran air. Tutupan pohon tersebut dapat berupa hutan alami, pohon sebagai
tanaman pagar atau pohon monokultur (misalnya hutan tanaman industri).
Tutupan pohon ini mempengaruhi aliran air dalam berbagai tahapan (Van
Noordwijk, et al., 2004), yakni : (1) Intersepsi ; selama kejadian hujan, tajuk
pohon dapat mengintersepsi dan menyimpan sejumlah air hujan dalam bentuk
lapisan tipis air pada permukaan daun dan batang yang selanjutnya akan
mengalami evaporasi sebelum jatuh ke tanah; (2) Perlindungan agregat tanah ;
vegetasi dan lapisan seresah melindungi permukaan tanah dari pukulan langsung
butir-butir hujan yang dapat menghancurkan agregat tanah sehingga terjadi
pemadatan tanah ; (3) Infiltrasi ; Proses infiltrasi tergantung dari struktur tanah
pada lapisan permukaan dan berbagai lapisan dalam profil tanah; dan (4)
Drainase lansekap ; Besarnya drainase suatu lansekap (bentang lahan)
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kekasaran permukaan tanah, relief
permukaan tanah dan tipe saluran yang terbentuk akibat aliran permukaan yang
dapat memicu terjadinya aliran cepat.

Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam

Dari sudut pandang ekonomi, masalah lingkungan timbul karena ada


eksternalitas yaitu tidak dimasukkannya biaya lingkungan kedalam biaya
produksi, sehingga mengakibatkan kerugian bagi orang atau pihak lain.
Timbulnya eksternalitas mengakibatkan kegagalan pasar untuk menyeimbangkan
permintaan (demand) dan persediaan (supply) sumberdaya alam dan lingkungan
hidup. Akibatnya timbul inefisiensi dalam alokasi sumberdaya alam dan
lingkungan hidup. Pendekatan ekonomi yang dapat memadukan lingkungan ke
dalam proses pembangunan sudah banyak dikenal oleh para pengambil kebijakan
di negara-negara maju, tetapi masih merupakan hal yang langka di negara-negara
berkembang (Djajadiningrat, 1997).
24

Penentuan nilai ekonomi SDA merupakan hal yang sangat penting sebagai
bahan pertimbangan dalam mengalokasikan SDA yang semakin langka
(Setiawan, 2000). Nilai ekonomi sumberdaya bermanfaat untuk mengilustrasikan
hubungan timbal balik antara ekonomi dan lingkungan yang diperlukan untuk
pengelolaan SDA yang baik dan menggambarkan keuntungan atau kerugian yang
berkaitan dengan berbagai pilihan kebijakan dan program pengelolaan SDA,
sekaligus bermanfaat dalam menciptakan keadilan dalam distribusi manfaat SDA
tersebut (Ramdan, Yusran dan Darusman, 2003).

Berdasarkan landasan konsep ekonomi bahwa nilai ekonomi mencakup


konsepsi kegunaan, kepuasan atau kesenangan yang diperoleh individu atau
masyarakat tidak terbatas kepada barang dan jasa yang diperoleh dari jual beli,
tetapi semua barang dan jasa yang dapat memberikan manfaat untuk
kesejahteraan manusia (Ramdan, Yusran dan Darusman, 2003). Pendekatan
barang dan jasa secara ekonomi biasanya melalui pendekatan nilai pasar yaitu
berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran. Namun pada berbagai
kalangan menilai bahwa sumberdaya alam belum dapat dinilai secara memuaskan
dalam perhitungan ekonomi. Masih banyak masalah-masalah penilaian yang
terjadi atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam tersebut.
Banyak manfaat hutan seperti nilai hidrologis, biologis, dan estetika yang masih
luput dari penilaian pasar.

Menurut Pearce dan Moran (1994), pendekatan penilaian sumberdaya


alam dan lingkungan dapat dibagi dua yaitu: pendekatan langsung dan pendekatan
tidak langsung. Pendekatan langsung dengan cara: eksperimen, kuisioner, survey,
dan contingent valuation method. Sedangkan pendekatan tidak langsung, yaitu:
pendekatan pasar pengganti (surrogate market) dan pendekatan pasar
konvensional. Menurut Duerr (1960), penilaian sumberdaya hutan atas dasar
manfaat ada dua kategori yaitu: pendekatan nilai barang atau jasa yang
marketable dan non marketable. Freeman (1994) mendekati penilaian
sumberdaya alam dan lingkungan dari segi metode pengumpulan data, yaitu:
25

observasi langsung, observasi tidak langsung, hipotetis langsung dan hipotetis


tidak langsung.

Berbagai metode valuasi ekonomi terhadap dampak lingkungan telah


dipakai secara meluas di banyak negara. Metode-metode tersebut pada dasarnya
dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yakni: (1) metode yang secara
langsung didasarkan pada perubahan produktivitas dan nilai pasar; (2) metode
yang menggunakan nilai pasar barang pengganti atau barang pelengkap; dan (3)
metode yang didasarkan pada hasil survei (Suparmoko, 2006).

Selanjutnya Suparmoko (1997) dan Suparmoko (2006) menjelaskan


bahwa pendekatan harga pasar mencakup pendekatan harga pasar yang
sebenarnya dan pendekatan modal manusia (human capital) atau pendekatan
penghasilan yang hilang (foregone earnings). Pendekatan dengan nilai barang
pengganti atau barang pelengkap mencakup pendekatan nilai kekayaan,
pendekatan tingkat upah, dan pendekatan biaya perjalanan. Sedangkan metode
yang didasarkan pada hasil survei mencakup lelang dan survei langsung serta
pendekatan delphi.

Cara penilaian yang lazim mengelompokkan nilai menjadi tiga kelompok


(Sanim, 2005), yakni : (1) Nilai pasar (market value); Nilai pasar merupakan
nilai yang diperoleh dari harga pasar hasil suatu proses transaksi. Pada pasar
bersaing sempurna harga ini mencerminkan kesediaan membayar setiap orang
(willingness to pay). Nilai yang diperoleh dari pasar persaingan sempurna
merupakan nilai baku karena memenuhi keinginan menjual dan membeli serta
memberikan surplus kesejahteraan yang maksimal; (2) Nilai kegunaan (value in
use); Penggunaan sumberdaya oleh seseorang atau individu merupakan nilai
kegunaan sumberdaya. Nilai kegunaan sumberdaya dapat digunakan oleh penjual
maupun pembeli untuk memberikan nilai kegunaan sumberdaya tersebut; dan (3)
Nilai sosial (social value); Nilai sosial adalah nilai yang ditentukan oleh individu
atau seseorang atau masyarakat berdasarkan suatu kesepakatan secara sosial.

Secara garis besar nilai suatu sumberdaya terdiri dari nilai penggunaan (use
value) dan nilai non penggunaan (non use value). Option value didasarkan pada
26

penilaian berapa besar kesediaan seseorang untuk membayar (willingnes to pay)


dari suatu pilihan perlindungan lingkungan. Nilai yang diminta (bequest value)
didasarkan pada pemahaman individu akan manfaat suatu sumberdaya di masa
depan. Nilai eksistensi (existence value) didasarkan kepada pemahaman akan
keberadaan atau eksistensi suatu sumberdaya.

Penilaian atau valuasi dampak dalam nilai moneter sangat ditentukan oleh
teknik valuasi yang digunakan. Teknik yang paling umum dilakukan adalah
kesediaan untuk membayar (willingnes to pay). Teknik valuasi dapat juga
ditentukan oleh jenis pasar dan sumberdaya atau barang dan jasa lingkungan. Para
ahli telah mengembangkan teknik dan cara valuasi dampak untuk mengukur
manfaat lingkungan atau harga yang jelas. Teknik dan cara yang beragam
memerlukan pendekatan yang jelas agar tidak terjadi penghitungan ganda (double
counting) sebagaimana disajikan pada Gambar 3.

Nilai Ekonomi

Nilai Penggunaan Nilai yang Tidak Digunakan

Penggunaan Langsung Nilai tidak Langsung Nilai opsional Bequest Value Nilai eksistensi
Output yang dapat
dimanfaatkan langsung Manfaat Fungsional Penggunaan untuk masa Nilai warisan Nilai dari pengetahuan
depan, nilai tidak dan keberlanjutan
Produksi kayu; produksi Perlindungan DAS, langsung
non kayu; rekreasi; sikulus hara, polusi Biodiversity, budaya,
udara, penyerapan CO2, Penggunaan di masa Habitat, perubahan heritage,intrisic worth
habitat manusia; budaya
iklim mikro. depan, langsung maupun yang tidak dapat
tidak Langsung kembali

Metode Valuasi (Valuation Methods )

Analisis pasar, Biaya yang dikeluarkan


perubahan dalam untuk tindakan preventif,
produktivitas, TCM, perubahan dalam CVM
CVM, Hedonic Price , produktivitas, Biaya
Public Price, IOC, IS, Ganti
Biaya Ganti

Keterangan :
CVM = Contingent Valuation Method
TCM = Travel Cost Method
IOC = Indirect Opportunity Cost Approach
IS = Indirect Substitute Approach

Gambar 3. Klaisifikasi Nilai Lingkungan dan Hubungannya dengan Metode


Valuasi (Richards, 1997).
27

Perhitungan nilai total dari suatu sumberdaya dan lingkungan, dapat pula
didekati dengan cara pengukuran kesediaan membayar (willingness to pay/WTP)
individu, agar sumberdaya tetap terpelihara dan tersedia. Menurut Huang Ju-Chin
dan Smith (1998) dalam Yunus (2005), model WTP dominan dalam menduga
nilai non use (nilai pasif) dan mempunyai tingkat kesalahan (error) lebih rendah
apabila digunakan untuk pendugaan nilai yang berguna (use value).

Salah satu metode untuk menilai WTP adalah dengan contingent


valuation method (CVM). Contingent valuation method (CVM) menyediakan
informasi tentang manfaat yang tidak digunakan secara langsung, seperti nilai
diketahuinya keberadaan spesies di suatu tempat (existence value), nilai pilihan
(option value) untuk mengkonsumsi di masa datang dan nilai warisan bagi
generasi akan datang (bequest value) (Spash, 1997).

Menurut Randal (1987) bahwa contingent valuation method sebagai


usaha untuk menentukan suatu jumlah kompensasi, dibayar atau diterima, yang
dapat memulihkan atau mengembalikan kepuasan seseorang pada tingkat
kepuasaan awal. Sedang menurut Eagle dan Betters (1998) teknik ini digunakan
untuk menduga nilai ekonomi melalui pertanyaan kepada seseorang atau
masyarakat, apakah mereka: (1) bersedia membayar barang dan jasa, atau (2)
kesediaan menerima untuk menghindari turunnya atau hilangnya suatu barang
atau jasa.

Menurut Freeman (1994), tiga hal penting dalam penggunaan CVM yaitu:
gambaran hipotetikal responden terhadap barang dan jasa lingkungan,
kemampuan responden untuk menentukan nilai barang dan jasa lingkungan serta
opportunity cost, dan pengujian validitas WTP responden dengan karakteristik
sosial ekonomi dan demografi. Pengujian validitas CVM dengan mencermati isi,
kriteria dan struktur dari pertanyaan untuk menilai WTP responden.

Sehubungan dengan gambaran hipotetikal responden, Loomis et al. (1996)


menyimpulkan bahwa ada perbedaan antara kesediaan membayar secara hipotetis
dan aktual, tetapi perbedaan tersebut relatif kecil, dimana willingness to pay
secara hipotetis lebih besar dua kali dari willingness to pay aktual. Sehingga
28

menurut Champ (1997) bahwa dalam membangun model statistik willingness to


pay (WTP), penting untuk diprediksi apakah responden “inconsistent” atau tidak
dalam memberikan penilaian tentang willingness to pay secara hipotetis dan
aktual. Namun demikian, metode ini juga mempunyai beberapa kelemahan,
sebagaimana dijelaskan oleh Tietenberg (1992) yaitu bias strategi, bias titik awal,
bias informasi, dan bias hipotetis. Selain keempat bias diatas, Freeman (1994)
mengembangkan lagi dengan beberapa kelemahan yaitu: bias terhadap
pewawancara dan responden, bias aggregat, bias kemampuan mengingat
responden, dan bias sarana pembayaran.

Metode yang juga umum digunakan dalam melihat manfaat perlindungan


DAS adalah perubahan produktivitas. Pendekatan ini didasarkan pada interaksi
dan perubahan dalam input/output dalam sistem produksi yang dipengaruhi oleh
keberadaan program perlindungan DAS. Ini dapat digunakan untuk mengukur
pengaruh erosi terhadap sistem usahatani, atau sedimentasi di waduk. Dalam hal
ini ada beberapa pendektan analisis biaya yang juga dapat dilakukan. Misalnya
seberapa besar manfaat yang diperoleh dengan membiayai pencegahan dampak
(pendekatan pengeluaran preventif) dan biaya ganti dari jasa lingkungan misalnya
penggunaan pupuk akibat kehilangan unsur hara oleh erosi tanah (Sihite, 2004).
Setiap teknik dan cara valuasi memerlukan persyaratan terutama data,
biaya dan waktu serta tingkat akseptibilitas yang berbeda bagi pengambilan
kebijakan. Tantangannya adalah bagaimana menggunakan valuasi secara akurat
dan efektif biaya sehingga teknik valuasi berkembang menjadi seni dan ilmu.

Analisis biaya dan manfaat (ABM) merupakan salah satu teknik valuasi
ekonomi. Teknik ABM merupakan metode yang koheren mengorganisasi dan
mengemukakan informasi yang diinginkan dalam terminologi nilai moneter.
Sama dengan teknik valuasi lainnya, pemahaman akan interaksi lingkungan dan
ekonomi tetap diperlukan (Enters, 1998). Langkah utama yang diperlukan dalam
ABM antara lain (Sihite, 2004): (1) identifikasi semua komponen yang relevan
dengan analisis; (2) kuantifikasi dampak fisik; dan (3) valuasi dampak dalam nilai
29

moneter. Analisis biaya dan manfaat on-site mempunyai batasan kritis pada
penentuan discount rate, rentang waktu, nilai tenaga kerja, dan analisis sosial.

Manfaat Ekonomi Sumberdaya Hutan

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sumberdaya hutan kayu dan


non kayu maupun yang sifatnya non-use value dapat dihitung nilai ekonomi
totalnya dengan menggunakan berbagai pendekatan penilaian ekonomi. Menurut
Pearce dan Moran (1994), penilaian manfaat langsung menurut harga pasar atau
produktivitas terhadap sumberdaya hutan seperti nilai kayu, buah dan lateks yaitu
sekitar US$ 6.280/ha atau Rp 13.627.600/hektar (IDR= Rp 2.170).

Watson (1988) dalam Yunus (2005) menduga produksi hutan di Malaysia


sebesar US$ 2.445/hektar atau Rp. 4.136.940/hektar (IDR= Rp. 1.629) dibanding
US$ 217/hektar (Rp 367.164/hektar) untuk pertanian intensif. Kramer et.al
(1993) menduga nilai kayu bakar kebutuhan rumah tangga sekitar Taman
Nasional Mantadia di Madagaskar sebesar US$ 39/tahun atau Rp. 81.744/tahun
(IDR = Rp 2.096). Gutierrez dan Pearce (1992) dalam Yunus (2005), menduga
nilai ekonomi hutan Amazone Brasil dengan pendekatan willingess to pay sebesar
US$ 199/tahun atau Rp. 405.363/tahun (IDR= Rp 2.037), total nilai ekonomi US$
91 billion (Rp. 185 trilyun) dengan nilai guna langsung US$ 15 milyar (Rp. 30
trilyun), kegunaan tidak langsung US$ 46 milyar (Rp. 93 trilyun) dan nilai
keberadaan sebesar US$ 30 milyar (Rp. 61 trilyun).

Hasil penelitian lain menyatakan bahwa total ekonomi hutan di Meksiko


dengan luas 51,5 juta hektar (Pearce et al., 1994) terdiri atas nilai manfaat untuk
wisata US$ 31,2 juta atau Rp. 67 milyar (IDR= Rp. 2.096), nilai karbon (C)
sebesar US$ 3.788,3 juta (Rp. 7,9 trilyun), perlindungan daerah aliran sungai
(DAS) US$ 2,3 juta (Rp. 4,8 milyar), nilai pilihan US$ 331,7 juta (Rp. 695
milyar) dan nilai eksistensi US$ 60,2 juta (Rp. 126 milyar). Sementara dengan
pendekatan net present value (NPV) menduga nilai manfaat hutan Korup di
Kamerun yaitu perlindungan banjir US$ 23/hektar atau Rp. 39.606/ha (IDR = Rp.
30

1.722), pengendali erosi US$ 8/hektar (Rp. 13.776/ha), tanaman obat US$ 7/ha
(Rp. 12.054) dan untuk wisata US$ 19/hektar (Rp. 32.718/ha). Pearce (1990)
dalam Yunus (2005) menduga nilai karbon hutan tropis antara US$ 1.300 sampai
US$ 5.700/hektar/tahun atau sekitar Rp. 2,4 juta/tahun sampai Rp. 10,5
juta/tahun.

Menurut Swanson (1996), proyeksi pendugaan kehilangan biodiversitas


dari beberapa hasil penelitian adalah sangat besar, yang ditunjukkan bahwa pada
tingkat tertentu kehilangan hutan sebesar 5% sampai 9% akan menyebabkan
kehilangan biodiversitas sebesar 15% sampai 50%. Demikian pula dari beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa pendugaan nilai sumberdaya non kayu juga
bernilai tinggi sebagaimana dikemukakan oleh McNeely (1992) bahwa pada
tahun 1990 nilai produk non kayu dari hutan di Indonesia sebagai sumber devisa
yaitu US$ 200 juta atau Rp. 369 milyar (IDR= Rp. 1.849).

Sebagai pembanding antara nilai sumberdaya kayu dan non kayu, Myers
(1988) dalam McNeely (1992) menyimpulkan bahwa sebuah kawasan hutan
seluas 500 km2 di Brazil dan pengelolaannya efektif dapat menghasilkan tanaman
pangan dan tanaman obat dengan nilai sedikitnya US$ 10 juta/tahun (Rp. 16,9
milyar/tahun) atau kurang lebih US$ 200/hektar (Rp. 338.400/hektar), sedang
pembukaan hutan untuk kegiatan komersial nilainya hanya US$ 150 perhektar
(Rp. 253.800/ha) dengan nilai IDR = Rp. 1.692 (tahun 1998). Hasil penelitian
menggunakan pendekatan penilaian atas dasar penggunaan produktif dari
sumberdaya hutan. Namun, tidak dijelaskan secara rinci metode perhitungannya.

Sementara hasil studi yang dilakukan oleh Kramer dan Mercer (1997)
dengan menggunakan contingent valuation method di Amerika Serikat terhadap
perlindungan hutan hujan tropik, hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata
responden bersedia membayar US$ 21 - US$ 31 per rumah tangga atau sekitar
Rp. 62.055 - Rp. 91.605 (IDR=Rp. 2.955) untuk melindungi 5% hutan hujan
tropik.

Hasil penelitian penilaian ekonomi total hutan produksi di Kalimantan


Tengah yang dilakukan oleh Fakultas Kehutanan IPB (1999) menunjukkan bahwa
31

nilai total hutan produksi pada lahan kering Rp. 49 juta/ha/tahun dan di lahan
basah Rp. 79 juta/ha/tahun. Pada lahan kering, nilai guna langsung Rp. 2,21
juta/ha/tahun, nilai guna tidak langsung Rp. 11,21 juta/ha/tahun, nilai pilihan Rp.
1.631/ha/tahun, dan nilai keberadaan Rp. 35,7 juta/ha/tahun. Sementara untuk
lahan basah, nilai guna langsung Rp. 1,18 juta/ha/tahun, nilai guna tidak langsung
Rp. 40,7 juta/ha/tahun, nilai pilihan Rp. 1.681/ha/tahun, dan nilai keberadaan Rp.
37,8 juta/ha/tahun.

Ramdan, Yusran dan Darusman (2003) mengemukakan bahwa manfaat


hidrologis total kawasan Gunung Ciremai dari sektor rumah tangga mencapai Rp.
3,35 x 1013 per tahun (tiga puluh tiga trilyun lima ratus milyar rupiah). Nilai ini
baru sebagian kecil dari total nilai yang dikandung oleh Gunung Ciremai.
Besarnya manfaat hidrologis ini menunjukkan besarnya manfaat yang diberikan
Gunung Ciremai, sehingga perlu dilakukan upaya-upaya konservasi secara
konsisten untuk menjaga agar manfaat ini tidak hilang.

Selanjutnya Sulistiyono (2006) mengemukakan bahwa nilai ekonomi yang


terkandung pada pola penggunaan lahan hutan meliputi nilai guna (use value) dan
nilai bukan guna (non use value). Nilai guna meliputi (1) nilai guna langsung
seperti penghasil kayu, kayu bakar, dan wisata alam; dan (2) nilai guna tidak
langsung seperti manfaat air untuk rumah tangga, manfaat air untuk pertanian
lahan basah serta pencegah banjir dan erosi. Nilai bukan guna meliputi : (1) nilai
pilihan seperti penyerap karbon; dan (2) nilai keberadaan seperti habitat flora dan
fauna. Selanjutnya hasil penelitian Sulistiyono (2006) menunjukkan bahwa total
nilai guna langsung kawasan lindung di DAS Ciliwung Hulu adalah Rp.
208.280.566 per tahun, nilai guna tidak langsung mencapai Rp. 3.992.075.860 per
tahun. Nilai ekonomi kawasan lindung di DAS tersebut untuk nilai bukan guna
meliputi; nilai pilihan mencapai Rp. 387.510.290 per tahun, sedangkan nilai
keberadaan mencapai Rp. 689.040.000 per tahun. Dari angka-angka tersebut,
maka terlihat bahwa nilai ekonomi total (total economic value) kawasan lindung
di DAS Ciliwung Hulu adalah Rp. 5.068.626.290 per tahun.
32

Darusman dan Bahruni (2005) menjelaskan bahwa nilai ekonomi jasa


lingkungan sumberdaya air yang dihitung untuk sektor rumah tangga dan
pertanian adalah sebagai berikut : (1) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
bernilai Rp. 4,3 milyar per tahun (air untuk rumah tangga); (2) Taman Nasional
Halimun sebesar Rp. 3,4 milyar per tahun (air untuk rumah tangga) dan 1,6
milyar per tahun (air untuk pertanian); dan (3) Taman Wisata Papandayan sebesar
1,3 milyar per tahun (air untuk rumah tangga) dan Rp. 11,1 milyar per tahun (air
untuk pertanian).

Penelitian secara makro nilai kerugian ekonomi kebakaran hutan dan


lahan di Indonesia pada tahun 1997/1998 dengan perkiraan luas kebakaran 5 juta
hektar yang dilakukan oleh EEPSEA bekerjasama dengan WWF Indonesia
diperkirakan sebesar US$ 4.469,5 juta atau sekitar Rp. 11 trilyun (IDR=Rp.
2500), meliputi kerugian yang dialami oleh Indonesia, Malaysia, Singapore, dan
Thailand. Metode perhitungan yang digunakan antara lain: pendekatan produksi,
nilai pasar, biaya kerusakan tanaman, pendapatan yang hilang, dose respons,
biaya pengobatan akibat penduduk sakit dan transfer benefit. Dari hasil penelitian
ini diketahui pula besarnya kerugian ekonomi Indonesia sehubungan dengan
kebakaran dan asap yang dialami pada periode Agustus – Desember 1997 sebesar
US$ 3.799,9 juta (85%) atau sekitar Rp. 9,4 trilyun. Sedang negara lain sebesar
669.6 juta dollar (15%) atau setara dengan Rp. 1,6 trilyun (Yunus, 2005).

Kebakaran hutan yang terjadi di Kabupaten Sintang Provinsi Kalimantan


Barat tahun 1997 menyebabkan hilangnya sumberdaya hutan dengan nilai
kerugian sebesar Rp. 53,91 milyar. Nilai ini meningkat sebesar 69,48 % atau
sekitar Rp. 91,38 milyar untuk kebakaran hutan tahun 2003 (Yunus, 2005).

Kebutuhan Air

Jumlah air yang dibutuhkan untuk memenuhi berbagai keperluan


dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain: jumlah penduduk dan pertumbuhan
penduduk (population), harga air (water price), pendapatan keluarga (household
33

income) dan curah hujan (rain fall). Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi
satu sama lain mempengaruhi tingkat kebutuhan air (Mays and Tung, 1992).

Analisis regresi sangat sering digunakan untuk menganalisis berbagai


jenis hubungan empiris dari berbagai faktor. Sebagai ilustrasi maka
dikembangkan model prediksi penggunaan air untuk mengidentifikasi faktor yang
mempengaruhi penggunaan air, antara lain : jumlah penduduk, harga air,
pendapatan rata-rata, dan curah hujan tahunan. Sebagai contoh disajikan data
penggunaan air di Austin, Texas dari tahun 1970 sampai 1985 (Tabel 3).

Tabel 3. Data Penggunaan Air Austin, Texas Tahun 1970-1985.


Tahun Populasi Harga ($/1000 Income Curah hujan Water Use
Galon) ($/orang) tahunan (in.) (ac-ft)
1970 251808 1.05 8453 30.64 50683
1971 259900 1.00 8713 24.95 56600
1972 268252 1.20 9286 26.07 57151
1973 276837 1.13 9694 40.46 57466
1974 285771 1.06 9542 36.21 63263
1975 294955 0.98 9684 36.81 57357
1976 304434 0.93 10152 39.17 51163
1977 314217 0.87 10441 22.14 68413
1978 324315 0.81 10496 30.39 69994
1979 334738 1.10 10679 37.50 65204
1980 345496 1.05 10833 27.38 78564
1981 354401 0.96 11060 45.73 76339
1982 368135 0.91 11338 26.63 87309
1983 383326 0.87 11752 33.98 82120
1984 399147 0.84 12763 26.30 97678
1985 424120 1.41 12748 32.49 97708
Sumber : Mays and Tung (1992).
34

Tabel 3 menunjukkan bahwa penggunaan air tahunan total di Austin,


Texas merupakan pengaruh kombinasi banyak faktor. Untuk ilustrasi, maka
pendekatan per kapita digunakan untuk menganalisis hubungan antara
penggunaan air dengan jumlah penduduk. Penggunaan air tahunan akan
meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Pengkajian tentang hal
ini akan memudahkan perencana untuk mengantisipasi pertambahan jumlah
penduduk sehingga pasokan air masa depan dapat terpenuhi.

Meningkatnya aktivitas pembangunan dan tekanan penduduk berakibat


semakin meningkatkan kebutuhan akan air. Dampak negatif dari situasi tersebut
yaitu berakibat semakin kritisnya kondisi hidrologis dan kelestarian konservasi
air, serta semakin tercemarnya sumber air. Kondisi kritis juga diindikasikan
dengan sangat besarnya fluktuasi debit air antara musim hujan dan musim
kemarau sampai mencapai 150 kali (Dewan Riset Nasional, 1994 dalam Atmanto,
1998). Semakin jeleknya fungsi tangkapan air di banyak Daerah Aliran Sungai
(DAS), berakibat semakin langkanya air pada musim kemarau dan menjadi
bencana banjir pada musim hujan. Situasi dan kondisi di atas apabila tidak
dikelola secara antisipatif akan menjadi faktor pendorong munculnya suasana
kompetisi dan bahkan tidak mustahil akan memunculkan konflik kepentingan
penggunaan air.

Relevansi dengan kekhawatiran semakin kompetitif antar pengguna dan


akan berkembang pada situasi konflik kepentingan antar sektor tersebut, sektor
pertanian tampaknya akan menjadi salah satu sektor yang akan menerima
dampaknya. Menurut Soenarno (1995) dalam Atmanto (1998) bahwa kebutuhan
air irigasi untuk budidaya pertanian diperkirakan masih sekitar 80 % dari total
kebutuhan air. Dengan semakin bertambahnya penduduk dan berkembangnya
pembangunan sektor lain, maka dikhawatirkan eksistensi jaminan alokasi air
untuk pertanian akan menjadi labil dan tergeser oleh kebutuhan penggunaan air
untuk sektor lainnya.

Kebutuhan air untuk berbagai sektor setiap tahunnya mengalami


peningkatan, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan perkembangan
35

sosial ekonomi masyarakat. Sanim (2003) mengemukakan bahwa kebutuhan air


akan meningkat mengikuti pertambahan jumlah penduduk, taraf hidup, dan
perkembangan sektor industri. Padahal ketersediaan air cenderung tetap bahkan
malah menurun akibat perubahan tata ruang dan iklim. Ironisnya, penggunaan air
saat ini belum optimal atau efisien secara ekonomi, sosial maupun teknis.
Misalnya penggunaan air irigasi yang boros atau kehilangan air yang masih tinggi
pada sistem distribusi air. Itulah sebabnya mengapa permintaan akan air dengan
sistem pipanisasi harganya menjadi mahal. Semua itu terjadi karena pasokan air
dengan bantuan rekayasa teknis (bendungan) telah mendekati daya dukung alami
potensi sumber daya air, sehingga untuk memenuhi permintaan yang terus
meningkat hanya dapat dilakukan dengan biaya yang mahal pula. Kebutuhan air
yang lebih besar dari ketersediaannya akan menciptakan kondisi kelangkaan
(scarcity) yang dapat memicu terjadinya konflik pengguna air (Ramdan, 2006).

Diprediksikan keseimbangan air tahun 2002; untuk kebutuhan air total


regional Sumatera (mewakili pulau basah) masih jauh di bawah dependable
discharge. Tetapi untuk Pulau Jawa keadaanya sudah kritis. Untuk keperluan
irigasi saja tidak mencukupi terutama antara Juni-September 2002. Selanjutnya
dikatakan bahwa kebutuhan air irigasi bulan Juni sebesar 4.057 juta m3 sementara
air yang diandalkan hanya tersedia 3.531 juta m3. Artinya pada bulan itu terdapat
defisit air sebesar 526 juta m3. Padahal kebutuhan total air pada bulan Juni
sebesar 5.278 juta m3 atau defisit 1.221 m3. Namun air akan melimpah pada
bulan-bulan basah yakni Oktober-April 2003. Wilayah Bali, NTB dan NTT
(daerah kering) juga akan mengalami defisit air pada Juni-Oktober 2002. Untuk
keperluan irigasi mungkin masih cukup, tetapi untuk kebutuhan total Mei defisit
sebesar 473 juta m3 (Dirjen Sumberdaya Air, 2002).

Beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk pengelolaan sumberdaya


air (Dziegielewski, 2003) adalah sebagai berikut: (1) pendidikan masyarakat
(public education), seperti program pendidikan usia dini, kampanye dan iklan
media, diseminasi informasi melalui pemanfaatan media; (2) program
pengelolaan air (water management programs) seperti: program deteksi dan
36

perbaikan fasilitas pelayanan, dan audit sistem distribusi air; (3) regulasi
pemerintah (government regulation) antara lain: peraturan pemerintah pusat dan
daerah serta standar baku mutu air; dan (4) insentif ekonomi (economic
incentives) seperti: penetapan standar harga air, perdagangan air, pemasaran air
secara regional (lintas wilayah), pajak dan lain-lain.
METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian tentang Analisis Alternatif Penggunaan Lahan untuk Menjamin


Ketersediaan Sumberdaya Air dilakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS)
Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara administrasi DAS Konaweha
dengan total luas 697.841 hektar meliputi 3 kabupaten dan 1 kota yakni Kabupaten
Konawe, Konawe Selatan, Kolaka dan Kota Kendari.

Penelitian ini dilaksanakan selama 10 (sepuluh) bulan terhitung sejak Juni


2009 sampai dengan Maret 2010. Alokasi waktu penelitian meliputi: 2 bulan
untuk pengumpulan data sekunder, 4 bulan untuk pengumpulan data primer, dan 4
bulan untuk pengelompokkan, tabulasi dan pengolahan data.

Aspek-aspek yang dikaji di DAS Konaweha Hulu adalah aspek kebutuhan


air, ketersediaan air, aspek nilai ekonomi hasil hutan non kayu (analisis vegetasi)
dan nilai ekonomi air. Lokasi penelitian intensif di DAS Konaweha Hulu
disajikan pada Gambar 4.

Bendungan Irigasi
Wawotobi

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian Intensif DAS Konaweha Hulu Tahun 2009
38

Bahan dan Peralatan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data yang
diperoleh dari berbagai sumber, antara lain : data curah hujan dan data debit; peta
penggunaan lahan, peta topografi, peta jenis tanah, dan peta rupa bumi; data
demografi, data jenis dan jumlah industri, dan data luas sawah.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah : Personal Computer


(PC) lengkap dengan software MS Office 2003, scanner, digitaizer, camera,
Geographycal Position System (GPS), alat penakar hujan, alat pengukur
kecepatan aliran (current meter), alat pengukur tinggi muka air otomatis (AWLR),
alat pengukur tinggi pohon, jangka sorong, meteran, dan alat tulis kantor (ATK).

Penetapan Lokasi Penelitian Intensif

Secara garis besar lokasi penelitian mencakup seluruh DAS Konaweha


(on-site) dan di luar DAS konaweha yakni wilayah-wilayah di kota Kendari yang
secara administrasi tidak masuk di dalam DAS Konaweha (off-site). Pemilihan
wilayah-wilayah tersebut didasarkan atas pemenuhan kebutuhan airnya yang
disuplai dari Sungai Konaweha.

Penelitian di dalam DAS Konaweha (on-site) dilakukan secara


proporsional di seluruh wilayah administrasi yakni Kabupaten Konawe, Kolaka
dan Konawe Selatan. Kawasan penelitian intensif mewakili tiga sektor utama
pengguna air yakni sektor domestik, industri dan pertanian. Disamping itu
kawasan penelitian intensif memiliki data pengukuran hujan dan debit runtut
waktu. Data hujan diperoleh dari semua stasiun hujan yang ada di DAS
Konaweha, sedangkan data debit diperoleh dari Bendungan Irigasi Wawotobi.

Penelitian di Kota Kendari dilakukan pada empat kecamatan yakni


Kecamatan Kendari Barat, Mandonga, Baruga dan Kecamatan Poasia. Penetapan
keempat wilayah ini didasarkan pada keterwakilan pengguna air untuk sektor
domestik dan industri dimana keempat kecamatan ini merupakan area utama
pelayanan PDAM Kota Kendari.
39

Penelitian tentang fungsi hutan dalam menyerap karbon dilakukan pada 4


lokasi yakni di kawasan hutan Kecamatan Mowewe, Tinondo, Latoma dan
Kecamatan Uluiwoi. Penetapan keempat lokasi tersebut dilakukan secara sengaja
(purposive) dengan pertimbangan bahwa sebagian besar wilayahnya merupakan
kawasan hutan. Pengamatan intensif untuk analisis vegetasi dilakukan pada suatu
petak contoh yakni kombinasi antara metode jalur dan metode garis berpetak
(Yunus, 2005) sebagaimana disajikan pada Gambar 5.

C D C D
B B
A A
A
A
B
C
D

Keterangan:
Ukuran sub plot untuk berbagai stadium pertumbuhan adalah :
A. Semai dan Tumbuhan Bawah : 2 m x 2 m; B. Pancang : 5 m x 5 m
C. Tiang : 10 m x 10 m D. Pohon : 20 m x 20 m

Gambar 5. Desain Jalur Analisis Vegetasi di DAS Konaweha Hulu Tahun 2009

Teknik Penentuan Populasi dan Sampel

Unit populasi di dalam penelitian adalah DAS Konaweha yang terdiri dari
empat wilayah yakni Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Kolaka dan Kota
Kendari. Keempat wilayah administrasi tersebut ditetapkan secara sengaja
(purposive) sebagai lokasi penelitian karena wilayah-wilayah tersebut secara
administrasi berada di DAS Konaweha dan memanfaatkan air yang bersumber
dari Sungai Konaweha. Selanjutnya dari wilayah kabupaten/kota ditetapkan
sampel wilayah kecamatan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa kecamatan
yang dipilih secara administrasi berada di dalam DAS Konaweha dan
memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di DAS Konaweha. Langkah
40

selanjutnya adalah penetapan sampel desa/kelurahan pada setiap kecamatan


dengan metode acak bertingkat (stratified random sampling) yang diawali dengan
pengklasifikasian desa/kelurahan berdasarkan jumlah kepala keluarga (KK) yakni
kelas I dengan jumlah KK < 500 per desa/kelurahan dan kelas II dengan jumlah
KK > 500 KK per desa/kelurahan. Kemudian dilakukan pengacakan untuk
memilih masing-masing 1 desa/kelurahan pada setiap kelas sehingga setiap
kecamatan diwakili 1 desa/kelurahan untuk masing-masing kelas I dan kelas II.
Langkah terakhir adalah penetapan responden/informan yang terdapat pada
masing-masing desa/kelurahan yang terpilih. Metode penetapan responden untuk
kebutuhan air juga dilakukan dengan menggunakan metode acak bertingkat.
Responden kebutuhan air domestik ditetapkan dengan terlebih dahulu dilakukan
klasifikasi responden berdasarkan tingkat pendapatan rata-rata per bulan yakni
kelas I (< Rp. 1.000.000 per bulan), kelas II (Rp. 1.000.000 – Rp. 3.000.000 per
bulan) dan kelas III (> Rp. 3.000.000 per bulan). Selanjutnya dilakukan
penetapan responden secara acak pada masing-masing kelas. Klasifikasi
responden kebutuhan air industri diawali dengan melakukan klasifikasi skala
industri (menggunakan acuan Dinas Perindustrian dan Perdagangan) yakni kelas I
adalah industri kecil dan kelas II adalah industri sedang/besar, selanjutnya
dilakukan pengacakan untuk menentukan responden pada masing-masing kelas.
Klasifikasi responden kebutuhan air irigasi ditentukan berdasarkan luas
kepemilikan lahan sawah dengan kriteria kelas I adalah petani yang memiliki
sawah < 1 hektar dan kelas II adalah petani yang memiliki sawah > 1 hektar.
Penetapan informan nilai manfaat ekonomi air dan hasil hutan non kayu dilakukan
dengan metode bola salju (snow ball method). Kerangka penarikan sampel
(sampling frame) penelitian disajikan pada Gambar 6.
41

DAS Konaweha
Unit Populasi

Kabupaten Konawe, Kolaka, Konawe Sampel


Purposive
Selatan dan Kota Kendari Kabupaten/Kota

Sampel
Kecamatan (20)
Kecamatan

Stratified Sampel
Random Desa/Kelurahan Desa/Kelurahan
Sampling (40)

Kebutuhan Air Domestik


640 orang
Sampel Stratified
Responden Kebutuhan Air Industri Random
60 unit Sampling
Kebutuhan Air Irigasi
90 orang

Nilai Ekonomi :
1. WTP Air Irigasi = 75 orang
2. WTP Keberadaan =100 orang
3. WTP Nilai Warisan = 100 orang
Snow Ball
4. WTP Nilai Pilihan = 100 orang
Method
5. Pengolah Rotan = 26 Pemilik Izin
6. Pengumpul Madu = 68 orang

Gambar 6. Kerangka Penarikan Sampel Penelitian (Sampling Frame) di DAS


Konaweha Tahun 2009

Gambar 6 menunjukkan bahwa unit populasi adalah area atau wilayah


yakni DAS Konaweha yang mencakup 3 kabupaten dan 1 kota, 20 kecamatan dan
40 desa/kelurahan dan responden/informan. Jumlah dan metode pengambilan
sampel masing-masing unit populasi berbeda-beda yakni metode penetapan
disengaja (purposive), acak bertingkat (stratified random sampling) dan metode
bola salju (snow ball method).

Gambar 6 menunjukkan bahwa unit populasi penelitian adalah 3


kabupaten di DAS Konaweha yakni Kabupaten Konawe, Kolaka dan Kabupaten
Konawe Selatan ditambah dengan Kota Kendari yang memanfaatkan air dari DAS
Konaweha. Jumlah dan penyebaran sampel wilayah pengambilan data disajikan
pada Tabel 4.
42

Tabel 4. Jumlah dan Penyebaran Wilayah Administrasi Pengambilan Sampel di


DAS Konaweha Tahun 2009
No. Kabupaten Nama Kecamatan Jumlah Jumlah
/Kota Kecamatan Desa/
Kelurahan
1. Konawe Unaaha, Wawotobi, Sampara, 9 18
Pondidaha, Lambuya, Uepay,
Abuki, Latoma, Amonggedo
2. Konawe Ranomeeto, Landono 2 4
Selatan
3. Kolaka Ladongi, Tirawuta, Tinondo, 5 10
Mowewe, Uluiwoi
4. Kendari Kendari Barat, Mandonga, 4 8
Baruga, Poasia
Jumlah 20 40

Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah wilayah kecamatan yang menjadi


sampel penelitian di Kabupaten Konawe adalah 9 kecamatan, yakni Kecamatan
Unaaha, Wawotobi, Sampara, Pondidaha, Lambuya, Uepay, Abuki, Latoma dan
Kecamatan Amonggedo. Jumlah desa/kelurahan di wilayah tersebut adalah 18
desa/kelurahan (tiap kecamatan diwakili 2 desa/kelurahan). Sampel wilayah di
Kabupaten Konawe Selatan adalah Kecamatan Ranomeeto dan Landono yang
terdiri dari 4 desa/kelurahan sampel. Sampel wilayah Kabupaten Kolaka adalah
Kecamatan Ladongi, Tirawuta, Tinondo, Mowewe dan Kecamatan Uluiwoi yang
mencakup 10 desa, Sedangkan Kota Kendari meliputi Kecamatan Kendari Barat,
Mandonga, Baruga dan Kecamatan Poasia yang mencakup 8 kelurahan.

Responden Kebutuhan Air

Analisis kebutuhan air dilakukan pada tiga sektor yakni pertanian, industri
dan sektor domestik. Pengguna air di sektor pertanian yang dianalisis adalah
pertanian lahan basah (sawah). Penentuan responden petani sawah dilakukan di
Kabupaten Konawe yang meliputi Kecamatan Wawotobi, Unaaha, Abuki,
Amonggedo dan Kecamatan Lambuya dengan metode acak bertingkat. Masing-
masing kecamatan dan desa sampel ditentukan sampel petani sawah yakni 10
orang setiap desa sehingga keseluruhannya terdapat 50 orang responden
43

berdasarkan luas kepemilikan lahan sawah. Responden petani sawah untuk


Kabupaten Kolaka mencakup Kecamatan Mowewe dan Ladongi yakni sebanyak
20 orang responden (masing-masing kecamatan 10 orang responden), sedangkan
Kabupaten Konawe Selatan mencakup Kecamatan Ranomeeto dan Landono
dengan jumlah 20 orang responden (masing-masing kecamatan 10 orang).

Penetapan responden untuk analisis kebutuhan air pada sektor industri


dilakukan baik di dalam DAS Konaweha maupun di luar DAS Konaweha yang
menggunakan air dari Sungai Konaweha. Responden ditetapkan dengan
menggunakan metode acak bertingkat berdasarkan jenis/skala industri. Penentuan
sampel responden dilakukan dengan menetapkan secara acak 40 sampel industri
kecil dan 20 industri sedang/besar, sehingga jumlah sampel untuk industri
sebanyak 60 unit.

Selanjutnya responden kebutuhan air untuk sektor domestik diambil di


DAS Konaweha dan Kota Kendari. Pengambilan sampel responden dilakukan
menggunakan metode acak bertingkat berdasarkan tingkat pendapatan rata-rata
per bulan responden. Distribusi jumlah responden rumah tangga di DAS
Konaweha adalah 260 orang responden di Kota Kendari yang terdistribusi di
Kecamatan Mandonga, Kendari Barat, Baruga dan Kecamatan Poasia. Jumlah
responden kebutuhan air domestik untuk Kabupaten Konawe adalah 180 orang
yang terdistribusi di Kecamatan Unaaha, Lambuya, Amonggedo dan Kecamatan
Abuki. Jumlah responden kebutuhan air domestik di Kabupaten Kolaka adalah
100 orang yang terdistribusi di Kecamatan Mowewe dan Kecamatan Ladongi.
Sedangkan responden kebutuhan air domestik di Kabupaten Konawe Selatan
berjumlah 100 orang yang terdistribusi di Kecamatan Ranomeeto dan Kecamatan
Landono.

Informan Penerima Manfaat Hasil Hutan Non Kayu

Penerima manfaat hasil hutan non kayu yang dimaksud adalah pengguna
air irigasi, pengolah flora dan fauna (rotan dan madu), manfaat nilai pilihan,
warisan dan manfaat ekonomi nilai keberadaan. Penentuan informan masing-
44

masing penerima manfaat menggunakan metode bola salju (snow ball method).
Distribusi dan jumlah informan masing-masing jenis manfaat ekonomi hasil hutan
non kayu disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Distribusi dan Jumlah Informan Penerima Manfaat Hasil Hutan Non
Kayu di DAS Konaweha Tahun 2009
No. Jenis Manfaat Kabupaten/Kota Kecamatan Jumlah
Informan
1. Air irigasi Konawe Unaaha, Wawotobi, 50
Abuki, Lambuya,
Amonggedo
Kolaka Ladongi, Tinondo 15
Konawe Selatan Ranomeeto, Landono 10
2. Rotan Konawe Abuki, Latoma, Sampara, 24
Lambuya, Unaaha,
Wawotobi
Kolaka Ladongi, Uluiwoi 2
3. Madu Konawe Latoma, Abuki 32
Kolaka Uluiwoi 36
4. Nilai Pilihan, Konawe Unaaha, Wawotobi, 60
Nilai Warisan, Abuki, Lambuya,
Nilai Pondidaha, Latoma
Keberadaan Kolaka Ladongi, Uluiwoi 20
Konawe Selatan Ranomeeto, Landono 20

Jenis dan Sumber Data

Sesuai dengan tujuan penelitian, maka data yang digunakan secara garis
besar meliputi data yang berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan,
kebutuhan air, ketersediaan air, serta manfaat dan nilai ekonomi hutan. Jenis-jenis
data, metode pengumpulan dan sumber data yang diperlukan di dalam penelitian
ini pada dasarnya meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh
melalui observasi lapang, wawancara, pemotretan, pengukuran dan pengamatan,
sedangkan data sekunder diperoleh dari dinas/instansi terkait (Tabel 6).
45

Tabel 6. Jenis dan Sumber serta Metode Pengumpulan Data di DAS Konaweha
Jenis Data Sumber Data Metode Pengumpulan
Data
Primer
Kebutuhan air Responden Wawancara
Penggunaan lahan Lapang Ground ceck
Bentuk lahan Lapang Ground ceck
Potensi tegakan hutan Kawasan hutan Analisis vegetasi
Hasil hutan non kayu Informan, observasi Wawancara mendalam
Potensi penyerapan karbon Kawasan hutan Analisis vegetasi
Fungsi keanekaragaman Informan, observasi Wawancara mendalam
hayati
Sekunder
Kependudukan BPS Provinsi Sultra Kunjungan dinas/instansi
Kebutuhan air Instansi terkait Kunjungan dinas/instansi
Curah hujan Subdin PU Pengairan Sultra Kunjungan dinas/instansi
Luas dan jenis penggunaan Departemen Kehutanan, Kunjungan dinas/instansi,
lahan BPDAS Sampara dan interpretasi Citra dan peta
Bakosurtanal.
Debit sungai Subdin PU Pengairan Sultra Kunjungan dinas/instansi
RTL DAS Konaweha BPDAS Sampara Kunjungan dinas/instansi

Analisis Data

Tujuan Pertama

Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Konaweha

Data peta penggunaan lahan DAS Konaweha diperoleh melalui kerjasama


dengan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Sampara Provinsi
Sulawesi Tenggara, Bakosurtanal dan Biotrop. Peta penggunaan lahan DAS
Konaweha diinterpretasi dari data citra satelit tahun 1991, 1999, 2001, 2004,
2005, 2006, 2008 dan 2011. Untuk kepentingan analisis perubahan penggunaan
lahan dan hubungannya dengan kondisi hidrologi, maka digunakan peta
penggunaan lahan DAS Konaweha Hulu.

Analisis perubahan penggunaan lahan di DAS Konaweha Hulu dilakukan


dengan menggunakan software ArcView geographycal information system (GIS)
dan hasilnya disajikan dalam bentuk deskriptif dan peta.
46

Langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis perubahan


penggunaan lahan di DAS Konaweha Hulu: (1) mengumpulkan bahan-bahan yang
digunakan dalam analisis perubahan penggunaan lahan seperti peta Rupa Bumi
Indonesia (Bakosurtanal), peta penggunaan lahan DAS Konaweha Hulu
(Bakosurtanal dan BP DAS Sampara), peta batas DAS Konaweha (BP DAS
Sampara), citra satelit DAS Konaweha tahun 1991, 1999, 2001, 2004, 2005, 2006,
2008 dan 2011; (2) pengecekan lapang (ground ceck) penggunaan lahan dominan;
dan (3) interpretasi citra satelit untuk menentukan penggunaan lahan DAS
Konaweha Hulu dengan menggunakan acuan panduan interpretasi citra
Departemen Kehutanan (2010), Peta Rupa Bumi Indonesia, peta penggunaan
lahan (Bakosurtanal dan BPDAS Sampara), dan hasil pengecekan lapang.

Analisis perubahan penggunaan lahan secara keseluruhan dilakukan untuk


mengetahui kecenderungan perubahan penggunaan lahan di DAS Konaweha
umumnya dan DAS Konaweha Hulu pada khususnya yang difokuskan pada
kecenderungan perubahan penggunaan lahan periode 1991-1995, periode 1996-
2000, periode 2001-2005 dan periode 2006-2010.

Analisis perubahan penggunaan lahan hanya dilakukan pada penggunaan


lahan yang dominan yakni penggunaan lahan yang proporsinya lebih 1 % dari
total luas DAS Konaweha Hulu pada tahun 1991. Berdasarkan hal ini maka
perubahan penggunaan lahan yang dianalisis adalah hutan, perkebunan, kebun
campuran, dan semak belukar.

Untuk kepentingan analisis kecenderungan perubahan penggunaan lahan


di DAS Konaweha Hulu yang didasarkan pada ketersediaan data penggunaan
lahan, maka unit waktu analisis dibagi menjadi 4 periode (masing-masing 5
tahun), yakni: periode 1991-1995, periode 1996-2000, periode 2001-2005 dan
periode 2006-2010.

Analisis perubahan penggunaan lahan hutan, perkebunan, kebun campuran


dan semak belukar menggunakan analisis regresi dengan asumsi bahwa luas
masing-masing jenis penggunaan lahan merupakan fungsi dari waktu (t), sehingga
luas penggunaan lahan pada waktu t ditentukan oleh luas penggunaan lahan
47

sebelumnya dan laju perubahan penggunaan lahan rata-rata. Diduga bahwa


kecenderungan perubahan penggunaan lahan dipengaruhi oleh pertumbuhan
penduduk yang bersifat eksponensial, maka sangat beralasan kalau perubahan
penggunaan lahan juga akan bersifat eksponsial terhadap waktu, sehingga luas
masing-masing jenis penggunaan lahan dapat diduga dengan persamaan regresi:

Lit = Lioert (1)

dimana Lit adalah luas masing-masing jenis penggunaan lahan pada waktu t, Lio
adalah luas masing-masing jenis penggunaan lahan pada waktu to, e adalah
bilangan logaritma natural (2,7182818), r laju perubahan masing-masing jenis
penggunaan lahan, t adalah waktu yang bernilai 0, 5, 10, 15, 20 dan seterusnya, i
adalah jenis penggunaan lahan yakni hutan, perkebunan, kebun campuran dan
semak belukar.

Persamaan 1 di atas menggunakan data penggunaan lahan hasil


interpretasi citra satelit DAS Konaweha tahun 1991-2008. Mengingat
keterbatasan data penggunaan lahan dari tahun ke tahun, maka perubahan
penggunaan lahan menggunakan data tahun 1991, 1999, 2001, 2004, 2005, 2006
dan 2008. Berdasarkan hal ini maka dilakukan analisis perubahan penggunaan
lahan periode 5 tahunan dimulai dari tahun 1990, 5(1991-1995), 10(1996-2000),
15(2001-2005), 20(2006-2010), dan seterusnya. Proyeksi luas hutan, perkebunan,
kebun campuran dan semak belukar tahun ke-25(2011-2015) sampai tahun ke-60
(2046-2050) menggunakan Persamaan 1.

Lebih lanjut dilakukan analisis keragaman (anova) untuk mengetahui


pengaruh waktu terhadap perubahan penggunaan lahan hutan, perkebunan, kebun
campuran dan semak belukar di DAS Konaweha Hulu. Untuk tujuan ini maka
dirumuskan hipotesis :

Ho : Waktu tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan luas masing-masing jenis


penggunaan lahan.

H1 : Waktu berpengaruh nyata terhadap perubahan luas masing-masing jenis


penggunaan lahan.
48

kriteria keputusan yang digunakan adalah: terima Ho atau tolak H1 jika Fhitung <
Ftabel pada taraf kepercayaan 95 % atau ά = 0,05. Sebaliknya tolak Ho dan terima
H1 jika Fhitung > Ftabel taraf kepercayaan 95 % atau ά = 0,05.

Jika H1 diterima maka dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan uji


beda nyata terkecil (BNT) untuk membandingkan proporsi luas masing-masing
jenis penggunaan lahan dominan pada setiap periode. Langkah-langkah analisis
keragaman dan uji BNT dilakukan sesuai dengan prosedur rancangan percobaan
(Mattjik dan Sumertajaya, 2006).

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan sangat


kompleks, namun demikian faktor-faktor tersebut secara garis besar terdiri dari
faktor kebutuhan lahan (land demand), perubahan populasi penduduk (changes in
population), alokasi lahan (land allocation) dan perubahan produksi pertanian
(changes in yield of agriculture) (Verburg, et al., 1999; Verburg, et al., 2011).

Berdasarkan hal tersebut di atas maka analisis perubahan penggunaan


lahan hanya difokuskan pada hubungan antara pertumbuhan penduduk dengan
perubahan penggunaan lahan karena ketiga faktor lainnya erat kaitannya dengan
pertumbuhan penduduk. Oleh karena itu maka penurunan luas hutan diduga
dipengaruhi secara eksponensial oleh pertumbuhan penduduk. Berdasarkan hal
ini maka penurunan luas hutan ditentukan oleh jumlah penduduk dengan
persamaan:

Lht = βerPopt + έ (2)

dimana Lht adalah proporsi luas hutan pada waktu t, β adalah koefisien yang
dipengaruhi jumlah penduduk, e adalah bilangan logaritma natural (2,7182818),
Popt adalah jumlah penduduk pada waktu t, dan έ adalah residual atau kesalahan
yang diasumsikan berdistribusi normal dengan rata-rata mendekati 0 dan standar
deviasi tertentu (Iriawan dan Astuti, 2008). Persamaan 2 digunakan untuk
mengkaji pengaruh jumlah populasi penduduk dengan perubahan luas hutan di
DAS Konaweha Hulu.
49

Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Kondisi Hidrologi

Hubungan antara perubahan penggunaan lahan di DAS Konaweha dikaji


untuk mengetahui pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi
hidrologi DAS Konaweha Hulu. Unit waktu yang digunakan untuk analisis
pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologi sama dengan
periode waktu analisis perubahan penggunaan lahan.

Analisis pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologi


DAS Konaweha Hulu menggunakan data penggunaan lahan, data hujan (Sub
Dinas PU Pengairan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2009) dan data debit (Sub Dinas
PU Pengairan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010) tahun 1999, 2001, 2004, 2005,
2006 dan 2008 dengan menggunakan kriteria keputusan (decission criteria): debit
maksimum (Qmax), debit minimum (Qmin) dan koefisien aliran permukaan (C).

Curah hujan rata-rata DAS Konaweha dianalisis dengan metode poligon


thiessen (Singh, 1992; Van der Weert, 1994), sedangkan hidrograf aliran selama
satu tahun menggunakan analisis rata-rata aritmetik dan rata-rata peluang
kejadian.

Pengaruh perubahan luas hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak


belukar terhadap debit maksimum, debit minimum dan koefisien aliran
permukaan dianalisis menggunakan analisis regresi dan analisis keragaman,
dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil. Prosedur analisis regresi, analisis
keragaman dan uji beda nyata terkecil menggunakan prosedur yang sama dengan
analisis perubahan penggunaan lahan sebagaimana disebutkan terdahulu.

Pengaruh masing-masing jenis penggunaan lahan terhadap kondisi


hidrologi DAS Konaweha Hulu ditentukan berdasarkan analisis keragaman
dengan indikator berpengaruh nyata jika Fhitung lebih besar dari Ftabel pada taraf
kepercayaan 95 %, demikian pula sebaliknya. Jika Fhitung lebih besar dari Ftabel
pada taraf kepercayaan 95 %, maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil
(BNT) (Mattjik dan Sumertajaya, 2006).
50

Koefisien aliran permukaan (ronoff coeficient) adalah angka yang


menunjukkan perbandingan antara volume aliran sungai dengan volume curah
hujan, dihitung dari data debit Sungai Konaweha dan data curah hujan DAS
Konaweha. Koefisien aliran permukaan dihitung dengan menggunakan
persamaan (Singh, 1992):

C = (Q/R) (3)

dimana: C = koefisien aliran permukaan (%); Q = volume debit aliran sungai


(m3) dan R= volume curah hujan (m3).

Di dalam penelitian ini maka koefisien aliran permukaan (C) difokuskan


pada nilai C tahunan dan musim hujan. Koefisien aliran permukaan musim hujan
ditentukan berdasarkan jumlah volume aliran sungai musim hujan (curah hujan
lebih dari 100 mm per bulan) dibandingkan dengan jumlah volume curah hujan
pada musim tersebut.

Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologi DAS


Konaweha Hulu dianalisis dengan menggunakan analisis regresi berganda
(multiple regression) dengan menggunakan persamaan:

Qmax = βo + β1x1 + β2x2 + β3x3 + β4x4 + β5x5 + βnxn + έ (4)

Qmin = βo + β1x1 + β2x2 + β3x3 + β4x4 + β5x5 + βnxn + έ (5)

C = βo + β1x1 + β2x2 + β3x3 + β4x4 + β5x5 + βnxn + έ (6)

dimana x1; x2; x3; x4; x5; dan xn; adalah proporsi masing-masing jenis penggunaan
lahan, βo, β1, β2, β3, β4, β5 dan βn adalah koefisien regresi masing-masing variabel
x. Sedangkan έ adalah residual atau error yang diasumsikan berdistribusi normal
dengan rata-rata mendekati 0 dan standar deviasi tertentu (Iriawan dan Astuti,
2008).
51

Tujuan Kedua

Ketersediaan Air

Analisis ketersediaan air dilakukan atas dasar hasil analisis curah hujan
dan analisis hidrograf aliran bulanan selama satu tahun dengan menggunakan data
debit Sungai Konaweha tahun 1993-2009. Ketersediaan air dinyatakan dalam
satuan m3/detik dan satuan volume (m3).

Curah Hujan

Ketersediaan air hujan menunjukkan besarnya curah hujan rata-rata suatu


wilayah. Pendugaan ketersediaan air hujan wilayah menggunakan metode
Poligon Thiessen dengan persamaan (Singh, 1992; Soewarno, 2000) :

n
AiPi
Pa (7)
i 1 An

dimana Pa = curah hujan rata-rata wilayah; Ai = luas poligon dari stasiun ke-i;
Pi = curah hujan rata-rata stasiun ke-i; An = luas wilayah (luas seluruh poligon).

Untuk mengantisipasi data hilang atau tidak lengkap, maka selanjutnya


dilakukan uji konsistensi data dengan menggunakan analisis massa ganda
(double-mass analysis) menggunakan masukan data curah hujan yang ada
sebelumnya. Hasil analisis digunakan untuk membuat kecenderungan
ketersediaan curah hujan wilayah untuk masa yang akan datang (Singh, 1992).

Debit Sungai

Analisis debit sungai dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui


kecenderungan distribusi hidrograf aliran sungai sepanjang tahun yakni mulai
Bulan Januari sampai Bulan Desember.

Analisis hidrograf aliran Sungai Konaweha dilakukan melalui dua


pendekatan yakni pendekatan rata-rata aritmetik dan pendekatan rata-rata peluang
kejadian. Di dalam penelitian ini maka digunakan peluang kejadian 80 % yang
52

berarti bahwa peluang debit dengan besaran lebih dari atau sama dengan besaran
tertentu adalah 80 %.

Analisis hidrograf aliran sungai dengan pendekatan rata-rata aritmetik


menggunakan data debit bulanan rata-rata Sungai Konaweha dari tahun 1993-
2009. Perhitungan debit rata-rata dengan pendekatan rata-rata aritmetik
menggunakan persamaan (Singh, 1992):

(Q1 + Q2 + Q3+ ... + Qn)


Qrata-rata = ------------------------------ (8)
n

dimana Qrata-rata adalah debit rata-rata bulanan pada bulan tertentu, Q1, Q2. Q3 dan
Qn adalah debit rata-rata bulanan pada tahun 1, 2, 3 dan ke-n, sedangkan n adalah
jumlah tahun pengamatan (data).

Analisis hidrograf aliran sungai dengan pendekatan peluang kejadian


dilakukan dengan cara menyusun data debit selama n tahun pengamatan
berdasarkan ranking mulai dari debit tertinggi pertama, kedua, ketiga dan ke n
untuk masing-masing bulan. Dari data debit dengan nilai tertentu yang
mempunyai urutan ranking m, maka ditentukan persamaan matematis periode
ulang dan peluang kejadian yakni (Bosscher, 1984):

(n+1) 1
T = ---------- dan P = ------ (9)
m T

dimana T adalah periode ulang (tahun), P adalah peluang kejadian, n adalah


jumlah pengamatan dan m adalah ranking dari debit tertentu.

Hidrograf aliran sungai rata-rata yang diperoleh dari hasil analisis


menggunakan Persamaan 8 dan Persamaan 9 dibandingkan satu sama lain untuk
melihat kecenderungan masing-masing hasil analisis.

Hasil analisis hidrograf aliran sungai baik dengan pendekatan rata-rata


aritmetik maupun pendekatan peluang kejadian digunakan untuk menentukan
53

distribusi ketersediaan air bulanan DAS Konaweha dengan indikator penentu


ketersediaan air yakni debit minimum (Qmin). Ketersediaan air yang ditentukan
oleh besaran debit minimum diperoleh dari hidrograf aliran sungai yang telah
dianalisis menggunakan Persamaan 8 dan Persamaan 9.

Ketersediaan air yang merupakan debit minimum rata-rata selama periode


2011- 2050 ditentukan dengan menggunakan analisis regresi berganda (multiple
regresion) yang menjelaskan pola hubungan antara proporsi penggunaan lahan
dengan debit minimum Sungai Konaweha (Persamaan 5). Proporsi luas masing-
masing jenis penggunaan lahan ditentukan terlebih dahulu dengan menghitung
luas masing-masing jenis penggunaan lahan. Proyeksi proporsi masing-masing
jenis penggunaan lahan periode 2011-2050 menggunakan Persamaan 1.

Selanjutnya dilakukan perhitungan debit minimum (Qmin) dengan


menggunakan Persamaan 5. Variabel yang digunakan untuk menduga debit
minimum adalah luas hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar.

Kebutuhan Air Domestik

Kebutuhan air domestik ditentukan oleh jumlah penduduk dan tingkat


konsumsi air pada suatu wilayah. Tingkat konsumsi air ditentukan oleh kelas
sosial masyarakat dimana semakin tinggi kelas sosial masyarakat semakin tinggi
pula konsumsi airnya. Kelas sosial dibedakan atas tiga kategori yaitu kelas sosial
rendah, sedang dan kelas sosial tinggi yang ditentukan berdasarkan pendapatan
rata-rata penduduk, yakni : < Rp. 1 juta per bulan = kelas sosial rendah, Rp 1 juta
– Rp.3 juta per bulan = kelas sosial sedang, > Rp. 3 juta per bulan = kelas sosial
tinggi.

Kebutuhan air domestik di seluruh DAS Konaweha dihitung dengan


menggunakan persamaan (Purwanto, 1995; Purwanto and Sutoyo, 2010) :

m
YPenduduk PPi xPxKAPxCPi (10)
i 1
54

dimana :
Ypenduduk = kebutuhan air penduduk (liter/hari)
PPj = persentase penduduk pada kelas sosial ke-i (%)
P = jumlah penduduk (jiwa)
KAP = Kebutuhan air rata-rata per kapita (liter/kapita/hari)
CPi = koefisien kebutuhan air penduduk pada kelas sosial ke-i
m = jumlah kelas sosial; i = 1, 2,..., m

Kebutuhan air per kapita menggunakan standar World Health


Organization (WHO) yakni 110 liter/kapita/hari (WHO, 2009). Penentuan kelas
sosial dilakukan berdasarkan tingkat pendapatan responden. Selanjutnya
berdasarkan kelas sosial penduduk, maka ditentukan koefisien kebutuhan air
penduduk setiap kelas sosial.

Proyeksi kebutuhan air domestik sangat ditentukan oleh jumlah dan


pertumbuhan penduduk. Proyeksi pertumbuhan penduduk dilakukan dengan
menggunakan persamaan:

Pt = Po.er (11)

dimana Pt = jumlah penduduk pada tahun ke-t (jiwa); Po = jumlah penduduk


mula-mula (jiwa), r = laju pertumbuhan penduduk per tahun (%), dan t = jumlah
tahun proyeksi, serta e = bilangan logaritma natural (2,7182818).

Berdasarkan Persamaan 10 dan Persamaan 11, maka kebutuhan air


domestik diproyeksi dengan menggabungkan kedua persamaan tersebut :

m
Yt PPi xPo e r xKAPxCPi (12)
i 1

dimana Yt = adalah kebutuhan air penduduk untuk tahun ke-t.

Koefisien kebutuhan air domestik merupakan rasio antara pemakaian air


rata-rata dengan kebutuhan air rata-rata setiap kelas sosial. Data penggunaan air
diperoleh dari rekening air PDAM, sedangkan data kebutuhan air setiap kelas
sosial diperoleh dari hasil wawancara responden. Berdasarkan hal ini maka
55

koefisien kebutuhan air (CP) untuk setiap kelas sosial diduga dengan persamaan
yakni:

CAPi = CPi x KAP, sehingga CPi = (CAPi/KAPi) (13)

dimana CAPi adalah konsumsi atau penggunaan air penduduk kelas sosial ke-i
rata-rata per kapita per hari, CPi adalah koefisien kebutuhan air penduduk kelas
sosial ke-i dan KAP adalah kebutuhan air rata-rata penduduk setiap kelas sosial
ke-i.

Kebutuhan Air Industri

Kebutuhan air industri ditentukan berdasarkan jenis dan skala industri


yang menggunakan air dari DAS Konaweha. Sebagai gambaran bahwa kisaran
kebutuhan air untuk industri besar adalah 151 – 350 m3/hari, industri sedang
berkisar antara 51 – 150 m3/hari dan industri kecil sekitar 5 – 50 m3/hari
(Purwanto, 1995). Klasifikasi industri berdasarkan skalanya (besar, sedang dan
kecil) menggunakan ketentuan Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
Koefisien kebutuhan air industri pada skala dan besaran tertentu
dimasukkan kedalam persamaan kebutuhan air industri untuk menduga kebutuhan
air industri (Purwanto, 1995; Purwanto and Sutoyo, 2010) :

n
YIndustri PI j xIxKAIxCI j (14)
j 1

dimana :
Yindustri = kebutuhan air industri (liter/hari)
PIj = persentase industri pada jenis ke-j (%)
I = jumlah industri (unit)
KAI = Kebutuhan air rata-rata per unit industri (liter/unit/hari)
CIj = koefisien kebutuhan air industri (tergantung jenis dan skala industri)
n = jumlah jenis industri
j = 1, 2, 3, ..., n

Proyeksi kebutuhan air industri ditentukan berdasarkan hasil perhitungan


total kebutuhan air industri dan pertumbuhan industri pengguna air baik di dalam
DAS Konaweha maupun di Kota Kendari. Pertumbuhan (pertambahan atau
56

pengurangan) jumlah industri menggunakan data sekunder dari Dinas


Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara, Kota Kendari,
Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kabupaten Kolaka.

Tingkat konsumsi air industri juga ditentukan melalui survei


konsumsi/penggunaan air rata-rata harian industri di wilayah penelitian. Dari
hasil survei tersebut, maka ditentukan nilai koefisien kebutuhan air (CIj) untuk
setiap kelas industri yakni industri kecil dan industri sedang/besar. Persamaan
matematis yang digunakan untuk menduga koefisien kebutuhan air industri:

CAIj = CIj x KAI, sehingga CIj = (CAIj/KAI) (15)

dimana CAIj adalah konsumsi atau penggunaan air kelas industri ke-j rata-rata per
unit per hari (data pemakaian air dari PDAM), CIj adalah koefisien kebutuhan air
industri kelas ke-j dan KAIj adalah kebutuhan air industri rata-rata kelas ke-j yang
diperoleh dari hasil survei.

Kebutuhan Air Irigasi

Proyeksi kebutuhan air irigasi ditentukan berdasarkan hasil perhitungan


total kebutuhan air irigasi dan pertambahan luas sawah di DAS Konaweha.
Pertumbuhan (pertambahan atau pengurangan) luas sawah menggunakan data
sekunder dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Sub Dinas Pengairan
Provinsi Sulawesi Tenggara, Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kolaka.

Kebutuhan air irigasi rata-rata di wilayah penelitian dihitung berdasarkan


penggunaan air irigasi rata-rata selama satu tahun. Penggunaan air irigasi rata-
rata ditentukan oleh variabel luas sawah, tinggi muka air rata-rata selama
pertanaman, umur tanaman dan frekwensi tanam dalam setahun serta faktor
efisiensi (kehilangan). Berdasarkan hal ini maka perhitungan kebutuhan air
irigasi rata-rata di wilayah studi dirumuskan sebagai berikut:

Ykonsumsi = A x H x Fg x Ft (16)
H = (hot + hb + hv + hg)/4 (17)
Yirigasi = Ykonsumsi + lYkonsumsi (18)
57

dimana Ykonsumsi adalah penggunaan air irigasi rata-rata (m3/hektar/tahun), A


adalah luas sawah (hektar), H adalah tinggi genangan rata-rata (cm), Fg adalah
frekwensi penggantian lapisan genangan sepanjang masa tanam setiap musim, Ft
adalah frekwensi tanam dalam setahun, hot adalah tinggi genangan pada saat
pengolahan tanah (cm), hb adalah tinggi genangan pada saat pembibitan (cm), hv
dan hg masing-masing sebagai tinggi genangan pada saat pertumbuhan vegetatif
dan generatif (cm), Yirigasi adalah kebutuhan air irigasi rata-rata wilayah studi, dan
l adalah faktor kehilangan atau efisiensi yang bernilai 15 % (Sub Dinas PU
Pengairan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010).

Kebutuhan air irigasi petani diperoleh dari hasil wawancara petani dan
hasil pengukuran tinggi muka air rata-rata genangan sawah. Dari data tersebut,
maka ditentukan koefisien kebutuhan air irigasi yang berlaku di wilayah
penelitian. Gunanya adalah untuk mendapatkan gambaran tentang tingkat
konsumsi air irigasi di wilayah penelitian. Perhitungan koefisien kebutuhan air
irigasi di wilayah studi menggunakan persamaan:

Cirigasi = (Yirigasi/Yirigasi Standar) (19)

dimana Yirigasi standar adalah standar kebutuhan rata-rata air irigasi yakni 1,2
liter/detik/hektar (Puslitbang Pengairan, 1999).

Kebutuhan Air yang Menggelontor

Dalam rangka pemenuhan kebutuhan air sektor domestik, industri dan


irigasi, maka aliran di Sungai Konaweha harus tetap ada agar fungsi ekologi dan
ekonomi sungai tetap terjaga. Aliran air yang harus tetap tersedia tersebut akan
menjaga fungsi sungai sebagai habitat bagi kehidupan air tawar dan fungsi sungai
sebagai prasarana transportasi sungai.

Untuk mempertahankan kondisi tersebut di atas, maka Sub Dinas PU


Pengairan menetapkan standar minimal tinggi muka air rata-rata yang melimpas
melewati bendungan terjunan air yakni minimal 10 cm yang setara dengan 7,9
m3/detik. Angka inilah yang digunakan sebagai debit sungai yang harus selalu
58

menggelontor atau mengalir untuk memelihara fungsi sungai baik fungsi ekonomi
maupun fungsi lingkungan.

Air yang menggelontor di Sungai Konaweha juga mensuplai selain


kebutuhan air untuk menjaga fungsi ekologi dan ekonomi (transportasi sungai),
juga digunakan untuk kebutuhan lain di Kota Kendari yakni kebutuhan air
fasilitas umum seperti rumah ibadah, perkantoran, pembersihan jalan, pasar, dan
pemadam kebakaran. Oleh karena itu maka jumlah air yang menggelontor
tersebut juga dipengaruhi oleh dinamika peningkatan kebutuhan air akibat
pertumbuhan penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi, sehingga kebutuhan
air yang menggelontor bersifat dinamis dari waktu ke waktu.

Berdasarkan uraian-uraian di atas maka perhitungan kebutuhan air yang


menggelontor memperhatikan hal-hal berikut:

1. Jumlah air yang menggelontor untuk memelihara fungsi ekologi dan ekonomi
sungai adalah 7,9 m3/detik atau setara dengan 246 juta m3 per tahun (Sub
Dinas PU Pengairan, 2010).

2. Alokasi pemenuhan kebutuhan air non domestik dan non industri di Kota
Kendari adalah 24 % dari total alokasi atau sekitar 76 % alokasi air ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan domestik dan industri (PDAM Kota Kendari,
2010). Proporsi alokasi 24 % tersebut harus dimasukkan sebagai bagian dari
jumlah air yang menggelontor.

3. Dinamika perubahan kebutuhan air yang menggelontor mengikuti


kecenderungan peningkatan kebutuhan air rata-rata sektor domestik dan
industri. Hal ini disebabkan karena keterbatasan data sehingga diasumsikan
bahwa peningkatan kebutuhan air yang menggelontor dipengaruhi oleh
dinamika pertumbuhan penduduk sebagaimana halnya kebutuhan air sektor
domestik dan industri.

Sesuai dengan penjelasan Nomor 1 – 3 di atas, maka perhitungan


kebutuhan air yang menggelontor dirumuskan sebagai berikut:
59

DMOt = (24/76) (Dd + Di)t = 0,32 (Dd + Di)t (20)

DMt = 246 + DMOt (21)

dimana DMOt adalah kebutuhan air non domestik dan non industri yang termasuk
air yang menggelontor (juta m3), 246 adalah kebutuhan air menggelontor yang
harus tetap tersedia untuk memelihara fungsi ekologi dan fungsi ekonomi sungai
(juta m3), (Dd + Di)t adalah kebutuhan air domestik dan industri pada tahun ke-t;
dan DMt adalah kebutuhan air menggelontor pada tahun ke-t (juta m3).

Kebutuhan Air Total

Kebutuhan air total adalah jumlah air yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan sektor domestik, industri, irigasi dan debit yang harus tetap
menggelontor di sungai agar fungsi-fungsi sungai tetap terjaga. Kebutuhan air
total masa datang dihitung dengan menggunakan proyeksi berdasarkan laju
pertumbuhan penduduk, pertambahan industri dan pertambahan luas sawah di
DAS Konaweha. Distribusi bulanan kebutuhan air domestik dan industri
ditentukan dari hasil perhitungan kebutuhan air tahunan sektor domestik dan
industri. Berdasarkan hal ini maka kebutuhan air bulanan kedua sektor tersebut
dapat dihitung dari kebutuhan air masing-masing sektor dibagi jumlah bulan
dalam setahun. Distribusi bulanan kebutuhan air irigasi ditentukan oleh frekwensi
tanam dan kebutuhan air irigasi dalam setahun, sebagaimana disajikan pada
persamaan berikut:

Ydtahunan
Ydj = -------------- (22)
n

Yitahunan
Yij = -------------- (23)
n

Ystahunan
Ysk = -------------- (24)
2m
60

dimana Ydi adalah kebutuhan air bulanan sektor domestik untuk bulan ke-i,
Ydtahunan adalah kebutuhan air tahunan sektor domestik dan n adalah jumlah bulan
yang membutuhkan air, Yij adalah kebutuhan air bulanan sektor industri pada
bulan ke-j dan Yitahunan adalah kebutuhan air tahunan sektor industri, Ysk adalah
kebutuhan air bulanan sektor irigasi pada bulan ke-k, Ystahunan adalah kebutuhan
air tahunan sektor irigasi dan m adalah jumlah bulan pada setiap periode tanam.

Proporsi Luas Hutan Minimal untuk Memenuhi Kebutuhan Air

Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menjelaskan


bahwa proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan dalam suatu DAS
adalah 30 %. Angka tersebut hingga saat ini masih diperdebatkan baik
menyangkut besaran maupun dasar ilmiah penetapannya. Oleh karena itu maka
perlu dilakukan kajian dan analisis untuk menentukan besaran dan kriteria luas
hutan minimal yang harus dipertahankan.

Hasil penelitian menunjukkan bukti empiris bahwa keberadaan hutan


sangat erat kaitannya dengan kondisi hidrologi DAS. Hutan akan mempengaruhi
neraca air DAS melalui perubahan komponen-komponen dalam siklus hidrologi,
antara lain: intersepsi, evapotrasmpirasi, infiltrasi, aliran permukaan, aliran
sungai, jumlah dan distribusi ketersediaan air.

Proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan di DAS Konaweha


ditentukan dengan simulasi menggunakan hasil analisis regresi hubungan antara
penggunaan lahan dengan debit minimum (Persamaan 5). Beberapa asumsi yang
digunakan adalah: (1) simulasi hanya melibatkan penggunaan lahan dominan
yakni hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar; (2) proporsi luas
hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar berubah mengikuti
kecenderungan perubahan masing-masing jenis penggunaan lahan; dan (3) hasil
simulasi berlaku untuk seluruh periode perencanaan yakni 2011-2050.

Proporsi luas hutan minimal di DAS Konaweha ditentukan dengan


menggunakan rasio ketersediaan (supply) dan kebutuhan (demand) air sebagai
kriteria keputusan (decision criteria). Berdasarkan hal ini maka yang dimaksud
61

dengan proporsi luas hutan minimal di DAS Konaweha adalah luas hutan yang
harus dipertahankan agar ketersediaan air (supply) ≥ kebutuhan air (demand) atau
dengan kata lain (S/D) ≥ 1. Pada kondisi ini maka akan terjadi perpotongan antara
kurva ketersediaan dengan kurva kebutuhan air. Langkah-langkah penentuan
proporsi luas hutan minimal di DAS Konaweha adalah sebagai berikut:

1. Menentukan pola hubungan antara penggunaan lahan dengan debit minimum


menggunakan analisis regresi berganda dengan metode backward elimination
(Persamaan 5).

2. Menghitung distribusi kebutuhan air total musim kemarau untuk sektor


domestik, industri, irigasi dan air yang menggelontor selama periode 2011-
2050 (Persamaan 12, 14, 18, 23,24,dan Persamaan 25).

3. Melakukan simulasi untuk menentukan ketersediaan air atau Qmin yakni


jumlah air yang harus tersedia untuk memenuhi kebutuhan air musim kemarau
dari periode 2011-2050.

4. Melakukan plotting nilai kebutuhan dan ketersediaan air serta luas hutan dari
periode 2011-2050.

5. Menentukan titik potong antara ketersediaan dengan kebutuhan air dan


selanjutnya membuat garis proyeksi dari titik perpotongan ketersediaan
dengan kebutuhan air yang memotong sumbu luas hutan pada kurva.

Tujuan Ketiga

Valuasi Ekonomi Air dan Proporsi Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS

Manfaat ekonomi air yang dianalisis dibedakan atas dua bagian yakni nilai
ekonomi air untuk kebutuhan domestik dan industri serta nilai ekonomi untuk
kebutuhan air sektor pertanian (irigasi). Valuasi ekonomi air untuk kebutuhan
domestik dan industri menggunakan pendekatan harga pasar, sedangkan valuasi
ekonomi kebutuhan air irigasi menggunakan pendekatan kemauan untuk
membayar (willingness to pay, WTP).
62

Nilai ekonomi air yang diperoleh dari valuasi ekonomi air digunakan
untuk menentukan proporsi manfaat ekonomi yang diperoleh masing-masing
kabupaten/kota. Proporsi ini juga digunakan untuk menentukan proporsi
tanggung jawab pembiayaan untuk pemeliharaan fungsi DAS masing-masing
kabupaten/kota.

Penentuan proporsi tanggung jawab pembiayaan pemeliharaan fungsi


DAS Konaweha menggunakan prinsip PES (payment of environmental services),
yakni sebagai berikut: (1) Menghitung nilai ekonomi sektor domestik, industri dan
pertanian (irigasi) yang memanfaatkan air dari DAS Konaweha; (2) Menghitung
nilai ekonomi total dari pemanfaatan air masing-masing kabupaten/kota untuk
sektor domestik, industri dan pertanian (irigasi); dan (3) Menghitung proporsi
manfaat ekonomi air dari masing-masing kabupaten/kota dengan membandingkan
nilai manfaat ekonomi air masing-masing kabupaten/kota terhadap nilai ekonomi
total air yang dimanfaatkan oleh kabupaten/kota.

Berdasarkan langkah-langkah tersebut di atas, maka dilakukan perhitungan


proporsi pembiayaan pemeliharaan fungsi DAS dalam menyediakan air bagi
kabupaten/kota. Proporsi biaya tersebut menjadi tanggung jawab masing-masing
kabupaten/kota ditentukan melalui cara tersebut di atas. Berdasarkan hal ini maka
persamaan matematis untuk menentukan total nilai ekonomi air (TEA), total nilai
ekonomi air kabupaten/kota (TEAm), proporsi biaya pemeliharaan fungsi DAS
untuk kabupaten/kota (PBm), dan biaya yang harus dibayarkan masing-masing
kabupaten/kota pada tahun tertentu (Bmt) dirumuskan sebagai berikut:

TEA = (TEAd + TEAi + TEAs) (25)

TEA = (DdPd + DiPi + DsPs) (26)

TEAm = (DdmPd + DimPi + DsmPs) (27)

(DdmPd + DimPi + DsmPs)


PBm = -------------------------------- x 100 % (28)
(DdPd + DiPi + DsPs)

Bmt = 0,1 TEA x PBm (29)


63

dimana TEA, TEAd, TEAi, TEAs : total nilai ekonomi air, total nilai ekonomi air
sektor domestik, industri dan irigasi; Dd : kebutuhan air sektor domestik, Di :
kebutuhan air sektor industri, Ds : kebutuhan air sektor irigasi (sawah), Pd : harga
air untuk kebutuhan domestik, Pi : harga air untuk kebutuhan industri, Ps : harga
air untuk kebutuhan irigasi, TEAm : total nilai ekonomi air untuk kabupaten/kota
ke-m, Ddm : kebutuhan air sektor domestik kabupaten/kota ke-m, Dim : kebutuhan
air sektor industri kabupaten/kota ke-m, Dsm : kebutuhan air sektor irigasi
kabupaten/kota ke-m, PBm : proporsi biaya pemeliharaan fungsi DAS
kapupaten/kota ke-m, dan Bmt : tanggung jawab pembiayaan pemeliharaan fungsi
DAS kabupaten/kota ke-m pada tahun ke-t.

Tujuan Keempat

Valuasi Ekonomi Hasil Hutan Non Kayu

Secara garis besar bahwa ada dua bentuk manfaat (benefit) yang
terkandung di dalam suatu sumberdaya seperti DAS yakni manfaat yang
terhitung (tangible) dan manfaat yang tidak terhitung (intangible) (Kartodiharjo,
dkk, 2004).

Manfaat ekonomi sumberdaya hutan dapat berupa nilai guna dan nilai
bukan guna. Nilai guna meliputi nilai guna langsung dan nilai guna tidak
langsung serta nilai pilihan (option value). Sedangkan nilai bukan guna meliputi
nilai eksistensi (existence value) dan nilai warisan (bequest value).

Manfaat ekonomi hutan yang dikaji dalam penelitian ini adalah manfaat
ekonomi hasil hutan non kayu yang juga pernah diteliti sebelumnya, meliputi
nilai ekonomi flora dan fauna (rotan dan madu), karbon, manfaat pilihan
keanekaragaman hayati dan habitat (option value); nilai warisan keanekaragaman
hayati (bequest value); dan nilai keberadaan keanekaragaman hayati (existence
value) (Ramdan, 2006; Yunus, 2005).

Analisis ekonomi flora (rotan) dan fauna (madu) yang terdapat di dalam
kawasan hutan DAS Konaweha menggunakan pendekatan produktivitas
64

pengumpul atau pengolah rotan dan madu setiap satuan waktu. Persamaan
matematis perhitungan nilai ekonomi flora dan fauna di DAS Konaweha
menggunakan persamaan (Yunus, 2005):

n n
NTFL ( NMFLi j JPFLij ) (30)
i 1 j 1

n n
NMFL KMFLij HFLij (31)
i 1 j 1

dimana,
NTFL = nilai ekenomi flora/fauna (Rupiah)
NMFLij = nilai manfaat flora/fauna jenis ke-i yang diperoleh responden pertahun
dilokasi ke-j (Rp/tahun)
JPFLij = jumlah masyarakat pengumpul flora/fauna jenis ke-i di lokasi ke-j (orang)
KMFLij = kemampuan responden pengumpul flora/fauna jenis ke-i dalam setahun, di
areal ke-j(unit/orang/tahun)
HFLij = harga pasar jenis flora/fauna ke-i di lokasi ke-j (Rp/unit)
i = jenis flora (tanaman obat-obatan, madu, rotan dan lain- lain)/fauna
j = lokasi pengamatan

Perhitungan nilai manfaat lingkungan akibat penyerapan karbon dari udara


menggunakan pendekatan jumlah kandungan karbon (karbon stock) yang diikat
oleh tegakan pohon. Tahapan dalam perhitungan pendugaan karbon diuraikan
sebagai berikut (Hairiah et al. 2001): (1) membuat plot sampling vegetasi pada
areal hutan untuk menghitung diameter dan tinggi pohon yang ada; (2)
menghitung biomas dari setiap pohon kemudian dikalikan dengan jumlah pohon;
(3) menentukan jumlah potensi karbon (C) yang diikat dari setiap tegakan yang
diperoleh dari 0,5 x Biomas (Brown, 1997); dan (4) menghitung nilai manfaat dari
penyerapan karbon dari rata-rata kandungan C per hektar dikali nilai karbon per
ton pada seluruh areal.

Pendugaan jumlah karbon tanaman kayu di hutan alam menggunakan


persamaan allometric pendugaan biomas W = 0.118D 2.53 (Brown, 1997). Jumlah
karbon yaitu C = ½ W (biomas mengandung 45–50% karbon). Dimana; W=
Biomas (kg/pohon); C = karbon (kg/pohon):
65

CS = ½ (0.118 D 2,53) (32)

JCS = (CS x JPH) x LAj (33)

NCS = JCS x HCS (34)

dimana,
CS = biomas atau karbon terserap pada setiap vegetasi-pohon di setiap areal (kg)
D = diameter (cm)
JPH = rata-rata jumlah pohon per hektar (pohon/ha)
LAj = luas areal (ha)
NCS = nilai penyerapan karbon (Rp)
JCS = jumlah penyerapan karbon disetiap areal (kg)
HCS = harga karbon persatuan (Rp/kg atau Rp/ton)

Manfaat ekonomi nilai pilihan (option value), nilai warisan (bequest value)
dan nilai keberadaan (exixtence value) dianalisis dengan menggunakan metode
CVM (contingent valuation method) dengan pendekatan kemauan untuk
membayar (willingness to pay, WTP) jasa lingkungan hutan di DAS Konaweha.

Nilai pilihan (option value), nilai warisan (bequest value) dan nilai
keberadaan (exixtence value) dari sumberdaya hutan dan lahan diukur dengan
pendekatan kesediaan membayar (WTP) responden. Pendekatan kesediaan
membayar (WTP) nilai pilihan, nilai warisan dan nilai keberadaan menggunakan
nilai rata-rata kesediaan membayar pertahun agar tidak terjadi kerusakan hutan
dan lahan.

Notasi manfaat nilai pilihan, nilai warisan dan nilai keberadaan


keanekaragaman hayati dan habitat dengan pendekatan kesediaan untuk
membayar mengacu pada persamaan yang digunakan oleh Yunus (2005):

n
NMPT MPR j JPj (35)
j 1

n n MPij
MPR j (36)
i 1 j 1 Nj
66

Dimana:
NMPT = total nilai WTP (Rp)
MPRj = manfaat ekonomi flora fauna rata-rata perorang, disetiap areal ke-j
(Rp/ orang)
MPij = nilai WTP responden ke- i pertahun, disetiap areal ke-j (Rp/orang)
JPj = jumlah penduduk sekitar areal ke-j (orang)
Nj = jumlah responden di desa ke-j (orang)
i = jumlah responden (orang)
j = jumlah areal sampel

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka nilai ekonomi hutan yang


dianalisis merupakan total dari nilai ekonomi flora dan fauna, penyerapan karbon,
nilai pilihan, nilai warisan dan nilai keberadaan dengan persamaan :

NET = NTLF + NCS + NMPT + NMTW + NMTK (37)

dimana:
NET = nilai ekonomi total (Rp)
NTLF = nilai ekonomi flora dan fauna (Rp)
NCS = nilai ekonomi penyerapan karbon (Rp)
NMPT = nilai ekonomi manfaat pilihan (Rp)
NMTW = nilai ekonomi manfaat warisan (Rp)
NMTK = nilai ekonomi manfaat keberadaan (Rp)

Analisis Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha

Analisis penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha dilakukan untuk


periode waktu tertentu yakni periode 2010-2050 atau dua periode Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) daerah.

Penggunaan lahan alternatif ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan


neraca ketersediaan dan kebutuhan air di DAS Konaweha. Penggunaan lahan
yang menjadi indikator utama adalah penggunaan lahan hutan karena diduga
hingga saat ini hutan masih menjadi penggunaan lahan terbaik dalam fungsinya
menjaga tata air DAS, sedangkan penggunaan lahan lainnya ditentukan
berdasarkan hasil simulasi.
67

Penyusunan rekomendasi penggunaan lahan di DAS Konaweha


didasarkan pada berbagai pertimbangan yakni pertimbangan kondisi biofisik DAS
(lingkungan), ekonomi dan sosial. Rekomendasi penggunaan lahan alternatif
tersebut ditujukan untuk menjamin ketersediaan air di DAS Konaweha hingga
tahun 2050.

Penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha dianalisis dengan berbagai


skenario yang diarahkan untuk pemanfaatan air secara optimal dan peningkatan
debit minimum Sungai Konaweha:

Skenario 1 : Minimal 30 % luas hutan (Undang-undang Nomor 41 tahun 1999)


sedangkan proporsi penggunaan lahan lainnya ditentukan
berdasarkan hasil simulasi.

Skenario 2 : Prporsi luas hutan sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Konawe dan Kabupaten Kolaka, luas tutupan penggunaan lahan
lainnya sesuai kondisi eksisting.

Skenario 3 : Proporsi luas hutan sesuai kondisi eksisting tahun 2011, demikian
juga luas penggunaan lahan lainnya.

Skenario 4 : Modifikasi skenario 3 dengan mengurangi 10 % luas hutan untuk


areal penggunaan lain (APL) pertambangan.

Skenario 5 : Luas hutan menurut arahan fungsi kawasan DAS Konaweha


(BPDAS Sampara), sedangkan luas penggunaan lahan lainnya
sesuai hasil simulasi.

Analisis Kelayakan Penggunaan Lahan Alternatif

Kelayakan skenario penggunaan lahan alternatif menggunakan alat


pengambil keputusan (decision tools) sebagai berikut: (1) aspek lingkungan: debit
minimum dan rasio ketersediaan dan kebutuhan air (S/D), (2) aspek ekonomi:
rasio R/C, dan (3) aspek sosial: penerimaan para pihak. Penggunaan lahan
alternatif dinyatakan layak jika rasio antara ketersediaan air dengan kebutuhan air
(S/D) ≥ 1, demikian juga sebaliknya.
68

Kelayakan ekonomi didasarkan pada rasio antara nilai ekonomi hasil hutan
non kayu dan nilai ekonomi air (return) dengan biaya yang diperlukan untuk
memelihara fungsi lindung hutan (cost) dengan kriteria layak jika nilai R/C > 1.

Kelayakan sosial dari skenario penggunaan lahan alternatif ditandai


dengan tingkat penerimaan para pihak. Jika penggunaan lahan alternatif diterima,
maka skenario tersebut dikatakan layak, demikian juga sebaliknya.

Analisis neraca ketersediaan dan kebutuhan air masing-masing


penggunaan lahan alternatif merupakan selisih atau rasio antara ketersediaan
dengan kebutuhan air pada bulan dimana terjadi debit minimum. Kebutuhan air
yang dimaksud adalah kebutuhan air total pada bulan tertentu yang saat terjadinya
debit minimum sebagaimana hasil perhitungan pada tujuan pertama.

Ketersediaan air yang dimaksud adalah debit minimum yang harus terjaga
untuk memenuhi kebutuhan air untuk lima skenario yang telah ditetapkan
sebelumnya. Debit minimum masing-masing skenario ditentukan berdasarkan
hasil analisis regresi hubungan antara perubahan penggunaan lahan dengan debit
minimum.

Perhitungan nilai manfaat ekonomi pada penelitian ini menggunakan


pendekatan analisis R/C rasio (return and cost ratio). Soekartawi (2006) dan
Suratiah (2006) mengemukakan bahwa R/C rasio sering diterapkan untuk
menghitung penerimaan usahatani, sehingga penerapannya menggunakan contoh
kasus usahatani. R/C adalah singkatan dari return cost ratio, atau dikenal dengan
perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya. Analisis R/C mencakup
analisis biaya (cost) dan analisis penerimaan (return).

Di dalam penelitian ini maka yang dimaksud dengan biaya (C) adalah
biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan fungsi hutan dalam menjaga tata air
dengan acuan hasil perhitungan UNDP dan KLH (1999) yakni 1,5 juta rupiah per
hektar. Sedangkan penerimaan (R) adalah nilai ekonomi hasil hutan non kayu dan
nilai ekonomi air yang mencakup nilai ekonomi flora dan fauna, karbon, nilai
pilihan, nilai warisan, dan nilai keberadaan hutan serta nilai ekonomi air.
69

Kelayakan ekonomi penggunaan lahan terbaik dianalisis dengan


menggunakan RC Ratio (Husnan dan Muhammad, 2000; Gittinger, 1986;
Soekartawi, 2006 dan Suratiyah, 2002). Secara matematik analisis R/C
dirumuskan sebagai berikut:

Nilai Ekonomi Hasil Hutan non Kayu dan Nilai Ekonomi Air (R)
(R/C) = ------------------------------------------------------------------------- (38)
Biaya Pemeliharaan Fungsi Hutan (C)

Penetapan tata guna lahan alternatif yang secara sosial layak


direkomendasikan jika alternatif tersebut memenuhi satu atau lebih kriteria
(Sinukaban, 1994) berikut : (1) dapat diterapkan (aplicable) oleh masyarakat lokal
dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya; (2) dapat direplikasikan
(replicable) di tempat lain tanpa bantuan dari pihak luar; (3) dapat diterima
(acceptable) karena tidak bertentangan dengan adat, tradisi dan kebiasaan
masyarakat lokal; (4) pernah dilakukan sebelumnya oleh masyarakat lokal; dan
(5) alternatif yang ditawarkan tidak menimbulkan kerugian ekonomi dan
lingkungan kepada masyarakat.

Analisis Kebijakan Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha

Analisis kebijakan penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha


dilakukan dengan membandingkan kebijakan penggunaan lahan eksisting dengan
penggunaan lahan alternatif. Langkah-langkah yang dilakukan untuk mencapai
tujuan tersebut di atas (Kartodihardjo, dkk., 2004) adalah sebagai berikut:

1. Melakukan evaluasi dan kajian kebijakan penggunaan lahan eksisting, bentuk,


konsep dasar, batas yuridiksi formal, substansi dasar, regulasi, implementasi
dan kendala.

2. Membandingkan kebijakan penggunaan lahan eksisting dengan penggunaan


lahan alternatif menggunakan kriteria aspek lingkungan, ekonomi dan sosial.
70

3. Merumuskan rekomendasi atau saran kebijakan penggunaan lahan alternatif


berdasarkan skenario penggunaan lahan alternatif yang layak diterapkan.

Analisis kebijakan penggunaan lahan eksisting dan penggunaan lahan


alternatif menggunakan kerangka waktu yang sama yakni tahun 2050 sehingga
analisis faktor lingkungan, ekonomi dan sosial menggunakan waktu tersebut.
KEADAAN UMUM DAS KONAWEHA

Luas dan Wilayah Administrasi DAS Konaweha

Luas DAS Konaweha adalah 697.841 hektar, yang mencakup 4 (empat)


wilayah administrasi yaitu Kabupaten Konawe, Kolaka, Konawe Selatan dan Kota
Kendari, dan 22 (dua puluh dua) wilayah kecamatan (BPDAS Sampara, 2009).

Iklim

Keadaan iklim pada wilayah DAS Konaweha menurut klasifikasi Smith dan
Ferguson merupakan tipe iklim C dengan nilai Q = 0,333. Sedangkan menurut
klasifikasi Oldeman merupakan tipe D2 yaitu terdapat 3 (tiga) bulan kering (curah
hujan rata-rata kurang dari 100 mm/bulan) dan 9 (sembilan) bulan lembab (curah
hujan rata-rata lebih dari 100 mm/bulan dan kurang dari 200 mm/bulan). Rata-rata
curah hujan bulanan selama 10 (sepuluh) tahun terakhir di DAS Konaweha disajikan
pada Gambar 7.

Gambar 7. Grafik Rata-Rata Curah Hujan Bulanan di DAS Konaweha

Gambar 7 menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan di DAS Konaweha


termasuk sedang dengan jumlah curah hujan tahunan rata-rata sebesar 1.617 mm.
Musim hujan berlangsung pada Bulan Desember sampai Bulan Juli, sedangkan
musim kemarau berlangsung mulai Bulan Agustus sampai Nopember.
72

Topografi dan Kelerengan

Kelas kelerangan di DAS Konaweha dibedakan atas 5 (lima) kelas lereng


yaitu : lereng kelas I (0 – 8%), Kelas II (8 – 15%), Kelas III (15 – 25%), Kelas IV
(25 – 40%) dan Kelas V (> 40%). Kelas kelerengan dan luasan penyebarannya di
wilayah DAS Konaweha secara umum disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 8.

Tabel. 7. Luasan DAS Konaweha Berdasarkan Kelas Kemiringan


No Kelas Kelerengan Luas (hektar) Proporsi (%)
1. I 190.830 27,3
2. II 14.617 2,1
3. III 21.943 3,2
4. IV 1.228 0,2
5. V 469.223 67,2
Total 697.841 100,0

115° 10' 115° 15' 115° 20' 115° 25' 115° 30' 115° 35' 115° 40' 115° 45' 115° 50' 115° 55' 116° 116° 5' 116° 10' 116° 15' 116° 20' 116° 25' 116° 30'
300000 350000 400000

PETA KELAS LERENG


PA KU E UTA RA

PA KU E TENGA H #

#
DAS KONAWEHA

-3°1 5'
-3° 15'

W E

-3°2 0'
-3° 20'

1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Kilo meters
NGA PA
#

ASER A
SKALA 1 : 175.000
#

ASER A
#

NGA PA

-3°2 5'
#
-3° 25'

LEGENDA :

Batas Provinsi
0-8
KOD EO HA Batas Kabupaten
#

-3°3 0'
15-25
-3° 30'

Batas Kecamatan
KEC. U LUIWOI 25-40
Garis Pantai / Sungai
8-15
Jalan
>40
RAN TEANG IN KEC. LA TOMA
#

ASER A Batas DA S Konaweha


#

Batas Curah H ujan


-3°3 5'
-3° 35'

Z
$ Statiun Curah Hujan

ASER A
9600000
9 600000

RAN TEANG IN
#

KEC. A BU KI
-3°4 0'
-3° 40'

250 000 300 000 350 000 400 000 450 000 500 000 550 000 600 000
975 000 0 975 000 0

LA SOLO
970 000 0 970 000 0

KEC.TONG AUN A
-3°4 5'
-3° 45'

965 000 0 965 000 0


#

LA SOLO

960 000 0 960 000 0

UNA AH A

KEC. MELUH U 955 000 0 955 000 0


KEC. SAW A
LEMB O
-3°5 0'
-3° 50'

KEC. MOW EW E 950 000 0 950 000 0

KEC. A MONG GED O


945 000 0 945 000 0
KEC. W AWO TOBI #

SOR OPIA

KEC. U EPA Y
KEC. B OND OA LA 940 000 0 940 000 0
-3°5 5'
-3° 55'

KEC. W ONGG ED UK U #

935 000 0 935 000 0

MA ND ONG A

250 000 300 000 350 000 400 000 450 000 500 000 550 000 600 000

KEC. PON DIDA HA KEC. B ESU LUTU


KEC. TIRA WU TA KEC. LA MBU YA
-4°
-4°

BAR UG A

KEC. R AN OMEETO BA RA T #

Sumber data :

1. P eta R BI S kala 1 : 50.000, Bakosurtanal Tahun 1992


9550000
9 550000

RAN OMEETO
KEC. LA ND ONO
2. P eta P enggunaan Lahan , Hasil Interpretasi Penggunaan lahan,
-4° 5'

KEC. PUR IALA


-4° 5'

KEC. MOW ILA Bakosurtanal Tahun 2004

3. P eta Tanah, s kala 1 . 250.000, Puslibang Bogor


RAN OMEETO
4. P eta K awasan Hutan, S kala 1 : 100.000 BIP HUT Sultra

5. P eta G eomorfologi, Skala 1 : 100.000

6. P eta G eologi S kala 1 : 100.000


#

7. P eta K elas Lereng Sk ala 1 : 100.000


KEC. A NGA TA
-4°1 0'
-4° 10'

WOLASI 8. P eta A dministrasi S kala 1 : 100.000


KEC. LA DON GI

KEC. B EN UA
-4°1 5'
-4° 15'

300000 350000 400000


115° 10' 115° 15' 115° 20' 115° 25' 115° 30' 115° 35' 115° 40' 115° 45' 115° 50' 115° 55' 116° 116° 5' 116° 10' 116° 15' 116° 20' 116° 25' 116° 30'

Sumber : BPDAS Sampara (2009)


Gambar 8. Peta DAS Konaweha berdasarkan Kemiringan Lereng

Tabel 7 dan Gambar 8 menunjukkan bahwa sebagian besar DAS Konaweha


mempunyai tingkat kelerengan lebih dari 40% (curam) yakni seluas 469.223 hektar
atau 67,2 % dari luas DAS Konaweha. Lahan dengan lereng landai (0-8 %)
73

mencapai luas 190.830 hektar atau 27,3 %, sedangkan lahan dengan lereng 25-40 %
mencapai luas 1.228 hektar atau sekitar 0,2 % dari total luas DAS Konaweha.

Geologi dan Geomorfologi

Kondisi batuan DAS Konaweha ditinjau dari sudut geologis, terdiri dari
batuan sedimen, batuan metamorfosis, dan batuan beku. BPDAS Sampara (2009)
melaporkan bahwa sebagian besar wilayah DAS Konaweha yakni 228.406 hektar
atau 32,7 mempunyai jenis batuan geologi berupa batuan malihan skis, genes, filit,
kuarsit, dan sedikit pualam.

Struktur geologi memberikan informasi tentang asal usul (genesis) dari


bentuk lahan. Adapun yang dimaksud dengan bentuk lahan adalah bentang
permukaan lahan yang mempunyai relief yang khas sebagai akibat/pengaruh yang
kuat dari struktur kulit bumi dan akibat proses alam yang bekerja pada batuan di
dalam ruang dan waktu tertentu. Geomorfologi/bentuk lahan dan luasan
penyebarannya di DAS Konaweha secara umum disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Luasan DAS Konaweha Berdasarkan Geomorfologi/Bentuk Lahan


No. Geomorfologi Luas (ha) Proporsi (%)
1. Dataran 78.662 11,7
2. Dataran Aluvial 76.957 11,0
3. Jalur Meander 7.996 1,1
4. Kipas Dan Lahar 23.407 3,3
5. Pantai 2.722 0,4
6. Pegunungan 426.583 61,1
7. Perbukitan 41.768 5,8
8. Rawa 26.679 3,6
9. Rawa Pasang Surut 2.142 0,3
10 Teras 10.925 1,6
Total 697.841 100,0
Sumber: BPDAS Sampara (2009).

Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar geomorfologi/bentuk lahan di


DAS Konaweha adalah berasal dari napal dan batu gamping dengan bentuk lahan
pegunungan seluas 426.583 hektar atau 61,1 %. Bentuk lahan dataran juga
mempunyai proporsi yang relatif tinggi yakni 11,7 %.
74

Tanah

Berdasarkan Peta Tanah Tinjau skala 1 : 250.000 jenis tanah yang terdapat
pada DAS Konaweha meliputi : tanah podsolik, kambisol, mediteran, organosol,
alluvial, dan latosol. Penyebaran dan luas DAS Konaweha berdasarkan jenis tanah
secara umum disajikan pada Tabel 9 dan secara spasial disajikan pada Gambar 9.

Tabel 9. Luasan DAS Konaweha Berdasarkan Jenis Tanah


No Jenis Tanah Luas (ha) Proporsi (%)
1. Aluvial 104.176 14,9
2. Gleisol 2.142 0,3
3. Kambisol 97.522 14,1
4. Litosol 298.786 42,8
5. Mediteran 92.126 13,2
6. Organosol 21.280 3,0
7. Podsolik 80.372 11,5
8. Regosol 1.437 0,2
Total 697.841 100,0

115° 10' 115° 15' 115° 20' 115° 25' 115° 30' 115° 35' 115° 40' 115° 45' 115° 50' 115° 55' 116° 116° 5' 116° 10' 116° 15' 116° 20' 116° 25' 116° 30'
300000 350000 400000

PETA TANAH
PA KU E UTA RA

PA KU E TENGA H #

#
DAS KONAWEHA

-3°1 5'
-3° 15'

W E

S
-3°2 0'
-3° 20'

1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Kilo meters
NGA PA
#

ASER A
SKALA 1 : 175.000
#

ASER A
#

NGA PA
-3°2 5'

#
-3° 25'

LEGENDA :

Batas Provinsi Aluvial

KOD EO HA Entisol
Batas Kabupaten
#
-3°3 0'
-3° 30'

Gleisol
Batas Kecam atan
KEC. U LUIWOI Kam bisol
Garis Pantai / Sungai
Litosol
Jalan
Mediteran
RAN TEANG IN KEC. LA TOMA
#

ASER A Batas DA S Konaweha


Organosol
#

Batas Curah H uj an Podsolik


-3°3 5'
-3° 35'

Z
$ Statiun Curah Huj an Regosol

ASER A
9600000
9 600000

RAN TEANG IN
#

KEC. A BU KI
-3°4 0'
-3° 40'

250 000 300 000 350 000 400 000 450 000 500 000 550 000 600 000
975 000 0 975 000 0

LA SOLO
970 000 0 970 000 0

KEC.TONG AUN A
-3°4 5'
-3° 45'

965 000 0 965 000 0


#

LA SOLO

960 000 0 960 000 0

UNA AH A

KEC. MELUH U 955 000 0 955 000 0


KEC. SAW A
LEMB O
-3°5 0'
-3° 50'

KEC. MOW EW E 950 000 0 950 000 0

KEC. A MONG GED O


945 000 0 945 000 0
KEC. W AWO TOBI #

SOR OPIA

KEC. U EPA Y
KEC. B OND OA LA 940 000 0 940 000 0
-3°5 5'
-3° 55'

KEC. W ONGG ED UK U #

935 000 0 935 000 0

MA ND ONG A

250 000 300 000 350 000 400 000 450 000 500 000 550 000 600 000

KEC. PON DIDA HA KEC. B ESU LUTU


KEC. TIRA WU TA KEC. LA MBU YA
-4°
-4°

BAR UG A

KEC. R AN OMEETO BA RA T #

Sum ber data :

1. P eta R BI S kala 1 : 50.000, Bakosurtanal Tahun 1992


9550000
9 550000

RAN OMEETO
KEC. LA ND ONO
2. P eta P enggunaan Lahan , Hasil Interpretasi Penggunaan lahan,
-4° 5'

KEC. PUR IALA


-4° 5'

KEC. MOW ILA Bakosurtanal Tahun 2004

3. P eta Tanah, s kala 1 . 250.000, Pusli bang Bogor


RAN OMEETO
4. P eta K awasan Hutan, S kala 1 : 100.000 BIP HUT Sultra

5. P eta G eom orfologi , Skala 1 : 100.000

6. P eta G eologi S kala 1 : 100.000


#

7. P eta K elas Lereng Sk al a 1 : 100.000


KEC. A NGA TA
-4°1 0'
-4° 10'

WOLASI 8. P eta A dm inistrasi S kala 1 : 100.000


KEC. LA DON GI

KEC. B EN UA
-4°1 5'
-4° 15'

300000 350000 400000


115° 10' 115° 15' 115° 20' 115° 25' 115° 30' 115° 35' 115° 40' 115° 45' 115° 50' 115° 55' 116° 116° 5' 116° 10' 116° 15' 116° 20' 116° 25' 116° 30'

Sumber : BPDAS Sampara (2009).


Gambar 9. Peta Luasan DAS Konaweha Berdasarkan Jenis Tanah

Tabel 9 dan Gambar 9 menunjukkan bahwa sebagian besar jenis tanah di


DAS Konaweha adalah jenis litosol 298.786 hektar atau 42,8 % dari total luas DAS
Konaweha. Selain itu maka jenis tanah aluvial mencapai luas 104.176 hektar atau
75

sekitar 14,9 %, sedangkan jenis tanah mediteran mencapai luas 92.126 hektar atau
13,2 % dari total luas DAS Konaweha. Tanah gleisol dan regosol hanya mencapai
proporsi masing-masing 0,3 % dan 0,2 % dari luas DAS Konaweha.

Penggunaan Lahan

Gambaran tentang penggunaan lahan DAS Konaweha dijelaskan dengan


menggunakan peta penggunaan lahan DAS Konaweha Hulu. Peta penggunaan lahan
DAS Konaweha Hulu dianalisis dari citra satelit DAS Konaweha Hulu tahun 2008
dan hasilnya disajikan pada Tabel 10 dan secara spasial disajikan pada Gambar 10.

Tabel 10. Jenis dan Luas Penggunaan Lahan di DAS Konaweha Hulu Tahun 2008
No. Penggunaan Lahan Luas (ha) Proporsi (%)
1. Hutan 158.763 47,0
2. Kebun Campuran 18.532 5,5
3. Lahan Terbuka 1.530 0,5
4. Perkebunan 135.200 40,0
5. Permukiman 3.638 1,1
6. Sawah 2.101 0,6
7. Semak Belukar 11.055 3,3
8. Tegalan 7.173 2,1
Total 337.992 100,0

Sumber: Interpretasi Citra Satelit DAS Konaweha Hulu tahun 2008


Gambar.10. Peta Luasan DAS Konaweha Berdasarkan Penggunaan Lahan
76

Tabel 10 dan Gambar 10 menunjukkan bahwa penggunaan lahan tahun 2008


masih didominasi oleh hutan dengan luas 159.763 hektar atau sekitar 47,0 % dari
luas DAS Konaweha Hulu. Sedangkan penggunaan lahan perkebunan, dan kebun
campuran mencapai luas masing-masing 135.200 hektar (40,0 %) dan 18.532 hektar
atau sekitar 5,5 % dari total luas DAS Konaweha. Penggunaan lahan sawah dan
lahan terbuka mencapai luas masing-masing 2.101 hektar (0,6 %) dan 1.530 hektar
(0,5 %) dari total luas DAS Konaweha Hulu.

Kependudukan

Pertambahan penduduk mempunyai 2 (dua) implikasi penting, yaitu


pertumbuhan tenaga kerja dan kebutuhan akan pangan, sandang, papan, lapangan
pekerjaan, dan kebutuhan sosial ekonomi lainnya. Dengan demikian pertambahan
penduduk akan mempengaruhi penggunaan sumberdaya alam, tanah, hutan, dan air.
Semakin besar pertambahan penduduk maka ada kecenderungan untuk
meningkatkan penggunaan sumberdaya alam. Pertambahan penduduk pada wilayah
DAS Konaweha selama tahun 2002-2007 disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Luas Wilayah dan Pertambahan Penduduk di DAS Konaweha Tahun
2003-2008
No Kabupaten/Kota Luas Wilayah DAS Konaweha Pertambahan
(ha) Penduduk (%)
1. Konawe 362453,42 2,67
2. Konawe Selatan 81409,14 2,71
3. Kolaka 265242,81 1,88
4. Kendari 1847,29 0,97
Rata-rata (DAS Konaweha) 2,06
Sumber: BPS Provinsi Sulawesi Tenggara (2008), BPDAS Sampara (2009)

Berdasarkan Tabel 11 diketahui bahwa jumlah penduduk dari tahun 2003-2008


meningkat, dengan rata-rata pertambahan 2,06 %. Rata-rata pertambahan penduduk
tertinggi di wilayah Kabupaten Konawe Selatan dengan pertambahan penduduk
sebesar 2,71 %. Hal ini dikarenakan adanya kelahiran dan migrasi penduduk, yang
77

selanjutnya akan berdampak pada pengkonversian lahan, dari lahan hutan menjadi
lahan pertanian dan pemukiman.

Struktur umur penduduk sangat ditentukan oleh perkembangan tigkat


kelahiran, kematian, dan migrasi. Berdasarkan usia, penduduk dapat dibagi menjadi :
1) kelompok belum produktif (dibawah usia 15 tahun), 2) tidak produktif (usia lebih
dari 60 tahun), dan 3) usia produktif (15 – 60 tahun). Perbandingan jumlah penduduk
antara usia produktif dengan usia belum dan tidak produktif merupakan angka
ketergantungan (dependency ratio). Jumlah penduduk menurut kelompok umur di
wilayah DAS Konaweha pada tahun 2009 disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di DAS Konaweha Tahun
2009
No. Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Jumlah
Umur di DAS Konaweha (jiwa) (jiwa)
0-14 Th 15-60 Th > 60 Th
1. Konawe 44.111 80.721 3.432 128.264
2. Konawe Selatan 11.887 20.750 1.624 34.261
3. Kolaka 23.082 30.603 2.796 56.481
4. Kendari 4.246 7.276 996 12.518
Jumlah (DAS Konaweha) 83.326 139.350 8.848 231.524
Sumber: BPS Provinsi Sulawesi Tenggara (2008), BPDAS Sampara (2009)

Berdasarkan Tabel 12 diketahui bahwa komposisi penduduk usia produktif di


wilayah DAS Konaweha sebesar 60,3 % (komposisi penduduk usia produktif
tertinggi berada di DAS Konaweha wilayah Kabupaten Konawe, yaitu sebesar 62,93
%). Tabel 17 juga dapat diketahui bahwa angka ketergantungan usia belum dan tidak
produktif terhadap penduduk usia produktif di wilayah DAS Konaweha sebesar 65,8
; yang berarti bahwa setiap 100 jiwa tenaga produktif menanggung 65,8 jiwa usia
belum dan tidak produktif.

Keadaan mata pencaharian penduduk dipengaruhi antara lain oleh sumberdaya


yang tersedia dan kondisi sosial ekonominya, seperti : tingkat pendidikan,
ketrampilan penduduk, lapangan pekerjaan yang ada, dan modal yang tersedia.
Matapencaharian penduduk di wilayah DAS Konaweha tahun 2007 disajikan pada
Tabel 13.
78

Tabel 13. Penduduk Menurut Mata Pencaharian di DAS Konaweha Tahun 2007
No Mata Jumlah Penduduk di Kabupaten : (jiwa) Jumlah
Pencaharian Konawe Konawe Selatan Kolaka Kendari (jiwa) %
1. Pertanian 42.519 9.975 14.983 316 67.793 61,02
2. Pertambangan 311 286 501 27 1.125 1,01
3. Industri 7.453 715 477 344 8.989 8,09
4. Bangunan 3.807 286 136 217 4.446 4,00
5. Perdagangan 8.387 1.256 2.892 1.094 13.629 12,27
6. Jasa Lain 7.935 1.542 3.310 2.332 15.119 13,61
Jumlah 70.412 14.060 22.299 4.330 111.101 100,00

Sumber: BPS Provinsi Sulawesi Tenggara (2008), BPDAS Sampara (2009)

Tabel 13 sebagian besar (61,02 %) penduduk menggantungkan hidupnya pada


sektor pertanian. Hal ini disebabkan antara lain : ketrampilan penduduk yang relatif
rendah dan terbatas yang dibarengi dengan keterbatasan kesempatan kerja diluar
sektor pertanian.

Lembaga Perekonomian

Lembaga perekonomian akan mempengaruhi kelancaran kegiatan ekonomi di


suatu wilayah. Sedangkan Jumlah dan macam lembaga perekonomian mempunyai
peranan penting dalam menunjang laju kegiatan perekonomian. Sarana
perekonomian di wilayah DAS Konaweha pada tahun 2007 disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Jumlah dan Macam Lembaga Perekonomian di DAS Konaweha Tahun
2007
No. Kabupaten/Kota Jumlah Lembaga Perekonomian (Koperasi) (unit)
KUD Non KUD
1. Konawe 22 53
2. Konawe Selatan 9 20
3. Kolaka 20 154
4. Kendari 0 6
Jumlah 51 227
Sumber: BPS Provinsi Sulawesi Tenggara (2008), BPDAS Sampara (2009)

Tabel 14 menunjukkan bahwa jumlah lembaga perekonomian non KUD di


DAS Konaweha adalah 227 unit dengan jumlah terbanyak terdapat di Kabupaten
Kolaka yakni sebanyak 154 unit. Sedangkan lembaga Koperasi Unit Desa (KUD)
berjumlah 51 unit dimana Kabupaten Konawe terdapat 22 unit.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Perubahan Penggunaan Lahan

Analisis citra satelit DAS Konaweha Hulu tahun 1991-2011 menunjukkan


bahwa selama periode 1990-2000 penggunaan lahannya masih didominasi oleh hutan
dengan luas tutupan lebih dari 50 %. Analisis citra satelit (peta penggunaan lahan
DAS Konaweha Hulu) tahun 1991, 1999 dan 2011 disajikan pada Lampiran 1,
Lampiran 2, dan Lampiran 3.

Analisis peta penggunaan lahan DAS Konaweha Hulu periode 1990-2010


menunjukkan bahwa terjadi penurunan luas hutan selama periode tersebut,
sedangkan luas perkebunan, kebun campuran, semak belukar, tegalan dan
permukiman cenderung meningkat seiring dengan penurunan luas hutan. Luas
masing-masing jenis penggunaan lahan DAS Konaweha Hulu disajikan pada
Lampiran 4.

Lampiran 4 menunjukkan bahwa penggunaan lahan DAS Konaweha Hulu


tahun 1991 masih didominasi oleh hutan dengan luas 225 ribu hektar atau 66,6 %
dari luas DAS Konaweha Hulu. Pada tahun 1999 luas hutan menurun menjadi 187
ribu hektar atau 55,3 % dan pada tahun 2011 menurun menjadi 147 ribu hektar atau
43,6 % dari luas DAS Konaweha Hulu. Pada periode yang sama maka terjadi
pertambahan luas perkebunan dari 88 ribu hektar (26,0 %) pada tahun 1991 menjadi
142 ribu hektar (42,0 %) pada tahun 2011, demikian juga penggunaan lahan lainnya.

Penurunan luas hutan di DAS Konaweha Hulu disebabkan oleh semakin


meningkatnya kebutuhan lahan pertanian dari tahun ke tahun akibat pertambahan
jumlah penduduk. Pertambahan jumlah penduduk yang diikuti peningkatan
kebutuhan pangan berimplikasi terhadap meningkatnya kebutuhan akan lahan
pertanian. Selain peningkatan kebutuhan pangan yang merupakan konsekuensi dari
pertambahan jumlah penduduk, maka peningkatan harga komoditas pertanian juga
mendorong bertambahnya luas lahan pertanian sehingga akan meningkatkan tekanan
terhadap lahan hutan.
80

Analisis regresi perubahan luas hutan periode lima tahunan selama periode
1991-2010 menggunakan Persamaan 1 (Lit = Lioert) dan data penggunaan lahan
(Lampiran 4) menunjukkan bahwa luas hutan menurun secara eksponensial seiring
dengan bertambahnya waktu. Pola penurunan luas hutan periode lima tahunan di
DAS Konaweha Hulu disajikan pada Gambar 11.

100
Luas Hutan (% dari Luas DAS Konaweha Hulu)

80

y = 71.26e-0.02x
R2 = 0.92
60

40

20

0
0 5 10 15 20 25
0 adalah Tahun 1991 Periode (5 Tahunan)

Gambar 11. Pola Penurunan Luas Hutan di DAS Konaweha Hulu Periode Lima
Tahunan (1991-2010)

Gambar 11 merupakan pola penurunan luas hutan periode lima tahunan


(1991-1995, 1996-2000, 2001-2005 dan 2006-2010) di DAS Konaweha Hulu.
Gambar tersebut menunjukkan bahwa luas hutan menurun secara eksponensial
mengikuti persamaan:

y = 71.26 e-0.02X (39)

dimana y adalah luas hutan pada periode tertentu, x adalah periode waktu yakni x = 0
untuk tahun 1991, x = 5 (1991-1995), x = 10 (1996-2000), x = 15 (2001-2005), x =
20 (2006-2010), dan e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818.

Persamaan 39 (y = 71.26 e-0.02X) menggambarkan pola penurunan luas hutan


periode lima tahunan dari 1991-2010. Luas hutan periode selanjutnya (2011-2050)
81

dapat diproyeksikan menggunakan persamaan tersebut dengan asumsi bahwa


penurunan luas hutan konsisten mengikuti kecenderungan yang ada saat ini.

Pertambahan jumlah penduduk menyebabkan terjadinya perubahan


penggunaan lahan di DAS Konaweha Hulu. Pertambahan jumlah penduduk
menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan lahan pertanian dan peningkatan
kebutuhan kayu, bahan bakar dan produk-produk non kayu. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya penurunan luas hutan akibat perluasan lahan pertanian dan
eksploitasi hasil hutan kayu dan non kayu guna memenuhi permintaan penduduk.
Kenyataan ini sejalan dengan pendapat Wood, Tappan dan Hadj (2004) bahwa lebih
dari 80 % kebutuhan bahan bakar penduduk Senegal berasal dari sumberdaya alam
khususnya kayu, oleh karena itu maka kebutuhan kayu bakar dan produk-produk non
kayu meningkat pesat yang akan meningkatkan laju penurunan luas hutan.

Peningkatan luas perkebunan merupakan salah satu faktor yang mendorong


penurunan luas hutan. Analisis regresi pola perubahan luas perkebunan di DAS
Konaweha Hulu periode lima tahunan menggunakan Persamaan 1 (Lit = Lioert) dan
data penggunaan lahan (Lampiran 4) menunjukkan bahwa lahan perkebunan
mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Peningkatan luas perkebunan periode
lima tahunan di DAS Konaweha Hulu disajikan pada Gambar 12.

100
Luas Perkebunan (% dari Luas DAS Konaweha Hulu)

80

60

y = 10.2Ln(x) + 10.3
2
R = 0.97
40

20

0
0 5 10 15 20 25
0 adalah Tahun 1991 Periode (5 Tahunan)

Gambar 12. Pola Peningkatan Luas Perkebunan di DAS Konaweha Hulu Periode
Lima Tahunan (1991-2010)
82

Gambar 12 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan luas perkebunan selama


periode 1991-1995, 1996-2000, 2001-2005 dan 2006-2010. Hasil analisis regresi
menunjukkan bahwa luas perkebunan meningkat secara logaritmik mengikuti
persamaan:

y = 10.2 Ln (x) + 10.3 (40)

dimana y adalah luas perkebunan pada periode tertentu, x adalah periode waktu
yakni x = 0 untuk tahun 1991, x = 5 (1991-1995), x = 10 (1996-2000), x = 15 (2001-
2005), dan x = 20 (2006-2010).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pola perubahan penggunaan lahan untuk kebun
campuran dan semak belukar di DAS Konaweha Hulu mengikuti pola perubahan
penggunaan lahan perkebunan. Kedua jenis penggunaan lahan tersebut mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Analisis regresi pola perubahan luas kebun
campuran di DAS Konaweha Hulu periode lima tahunan menggunakan Persamaan 1
(Lit = Lioert) dan data penggunaan lahan (Lampiran 4) disajikan pada Gambar 13.

15
Luas Kebun Campuran (% dari Luas DAS Konaweha Hulu)

10

y = 1.67x0.36
R2 = 0.90
5

0
0 5 10 15 20 25
0 adalah Tahun 1991 Periode (5 Tahunan)

Gambar 13. Pola Peningkatan Luas Kebun Campuran di DAS Konaweha Hulu
Periode Lima Tahunan (1991-2010)
83

Gambar 13 memperlihatkan pola peningkatan kebun campuran selama


periode 1991-1995, 1996-2000, 2001-2005 dan 2006-2010. Gambar 13
menunjukkan bahwa luas kebun campuran mengalami peningkatan selama empat
periode tersebut mengikuti persamaan:

y = 1.67x0.36 (41)

dimana y adalah luas kebun campuran periode tertentu, x adalah periode waktu yakni
x = 0 untuk tahun 1991, x = 5 (1991-1995), x = 10 (1996-2000), x = 15 (2001-2005),
dan x = 20 (2006-2010).

Kecenderungan pola perubahan luas semak belukar sama dengan pola


perubahan luas perkebunan dan kebun campuran. Hasil analisis regresi pola
perubahan luas semak belukar periode lima tahunan menggunakan Persamaan 1 (Lit
= Lioert) dan data penggunaan lahan (Lampiran 4) disajikan pada Gambar 14.

10
Luas Semak Belukar (% dari Luas DAS Konaweha Hulu)

4
y = 0.88x0.44
R2 = 0.95

0
0 5 10 15 20 25
0 adalah Tahun 1991 Periode (5 Tahunan)

Gambar 14. Pola Peningkatan Luas Semak Belukar di DAS Konaweha Hulu Periode
Lima Tahunan (1991-2010)

Gambar 14 menunjukkan bahwa pola perubahan luas lahan semak belukar


selama periode 1991-1995, 1996-2000, 2001-2005 dan 2006-2010 mengalami
peningkatan sebagaimana halnya perkebunan dan semak belukar. Peningkatan luas
semak belukar selama periode 1991-2010 mengikuti persamaan:
84

y = 0.88x0.44 (42)

dimana y adalah luas semak belukar periode tertentu, x adalah periode waktu yakni
x = 0 untuk tahun 1991, x = 5 (1991-1995), x = 10 (1996-2000), x = 15 (2001-2005),
dan x = 20 (2006-2010).

Analisis keragaman (anova) menunjukkan bahwa variabel periode waktu (x)


berpengaruh nyata terhadap perubahan luas hutan, perkebunan, kebun campuran dan
semak belukar. Hasil analisis keragaman keempat jenis penggunaan lahan
(Lampiran 4) di DAS Konaweha Hulu disajikan pada Lampiran 5.

Lampiran 5 menunjukkan bahwa Ho ditolak dan H1 diterima untuk semua


variabel yang dianalisis. Hal ini dapat dilihat dari nilai Fhitung semua variabel yang
lebih besar dari nilai Ftabel pada taraf kepercayaan 95 %. Uji rata-rata pengaruh
waktu terhadap luas hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar dengan
menggunakan uji beda nyata terkecil (BNT) menunjukkan bahwa rata-rata luas
masing-masing penggunaan lahan berbeda nyata setiap periode (Tabel 15).

Tabel 15. Pengaruh Waktu terhadap Rata-rata Luas Hutan, Perkebunan, Kebun
Campuran dan Semak Belukar di DAS Konaweha Hulu Periode 1991-
2010
Periode Hutan (%) Perkebunan Kebun Campuran Semak Belukar
(%) (%) (%)
1991-1995 66,6b 26.0a 3,0a 1,7a
1996-2000 55,3a 34,8b 3,8b 2,6b
2001-2005 50,7a 38,6c 4,3c 3,0c
2006-2010 48,3a 39,7c 5,0d 3,1c
BNT0,05 7,47 3,23 0,33 0,31
Keterangan: Nilai rata-rata pada kolom sama dan diikuti huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf kepercayaan 95 %.

Tabel 15 merupakan hasil uji beda nyata terkecil (BNT) pengaruh waktu
terhadap luas hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar di DAS
Konaweha Hulu selama periode 1991-2010. Hasil uji BNT menunjukkan bahwa luas
hutan rata-rata pada periode 1991-1995 yakni 66,6 % berbeda nyata jika
dibandingkan dengan luas hutan pada periode 1996-2000, 2001-2005 dan 2006-2010,
sedangkan luas hutan periode 1996-2000, 2001-2005 dan 2006-2010 tidak berbeda
nyata pada taraf kepercayaan 95 %. Selanjutnya luas perkebunan rata-rata periode
85

1991-1995 adalah 26,0 %, berbeda nyata jika dibandingkan dengan luas perkebunan
periode 1996-2000, 2001-2005 dan 2006-2010. Luas perkebunan pada periode
1996-2000 berbeda nyata dengan luas perkebunan periode 2001-2005 dan 2006-
2010. Sedangkan luas perkebunan pada periode 2001-2005 dan 2006-2010 tidak
berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 %. Selanjutnya dijelaskan bahwa luas
kebun campuran pada setiap periode menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf
kepercayaan 95 %. Luas semak belukar rata-rata pada periode 1991-1995 yakni 1,7
% berbeda nyata jika dibandingkan dengan luas semak belukar tiga periode
selanjutnya, demikian pula luas semak belukar periode 1996-2000 berbeda nyata jika
dibandingkan dengan luas semak belukar periode 2001-2005 dan 2006-2010, namun
demikian antara periode 2001-2005 dengan periode 2006-2010 tidak berbeda nyata
pada taraf kepercayaan 95 %.

Persamaan 39 (y = 71.26 e-0.02X), Persamaan 40 (y = 10.2 Ln (x) + 10.3),


Persamaan 41 (y = 1.67x0.36) dan Persamaan 42 (y = 0.88x0.44) digunakan untuk
proyeksi luas hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar periode 2011-
2050 dan hasilnya disajikan pada Lampiran 6 dan Gambar 15.

60
Luas Tutupan (% dari Luas DAS Konaweha Hulu)

50

40

30

20

10

0
2011-2015 2016-2020 2021-2025 2026-2030 2031-2035 2036-2040 2041-2045 2046-2050
Hutan (%) 43.2 39.1 35.4 32.0 29.0 26.2 23.7 21.5
Perkebunan (%) 43.1 45.0 46.6 47.9 49.1 50.2 51.2 52.1
Kebun Campuran (%) 5.3 5.7 6.0 6.3 6.6 6.8 7.1 7.3
Semak Belukar (%) 3.6 3.9 4.2 4.5 4.7 4.9 5.1 5.3
Periode 5 Tahunan (2011-2015 sampai 2046-2050)

Gambar 15. Proyeksi Luas Hutan, Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak
Belukar di DAS Konaweha Hulu Periode Lima Tahunan (2011-2050)
86

Lampiran 6 dan Gambar 15 merupakan proyeksi luas hutan, perkebunan,


kebun campuran dan semak belukar di DAS Konaweha Hulu periode lima tahunan
(2011-2015 sampai periode 2046-2050). Penurunan luas hutan periode 2011-2015
adalah 43,2 % dan periode 2021-2025, 2031-2035, 2041-2045 dan periode 2046-
2050 luas hutan akan mengalami penurunan masing-masing menjadi 35,4 %, 29,0 %,
23,7 % dan 21,5 %. Penurunan luas hutan tersebut diikuti dengan peningkatan luas
perkebunan yakni 43,1 % pada periode 2011-2015, akan meningkat menjadi 47,9 %
pada periode 2026-2030 dan 52,0 % pada periode 2046-2050. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa luas kebun campuran dan semak belukar juga mengalami
peningkatan sebagai konsekuensi penurunan luas hutan di DAS Konaweha Hulu.
Pada periode 2011-2015 maka luas kebun campuran adalah 5,3 %, meningkat
menjadi 6,0 % periode 2021-2025 dan 7,3 % periode 2046-2050. Kecenderungan
peningkatan luas kebun campuran hampir sama dengan peningkatan luas semak
belukar. Luas semak belukar periode 2011-2015 adalah 3,6 %, akan meningkat
menjadi 4,4 % pada periode 2021-2025 dan 5,3 % pada periode 2046-2050.

Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan luas hutan dari


tahun ke tahun diikuti dengan peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan
semak belukar. Hal ini erat kaitannya dengan pertambahan jumlah penduduk dari
tahun ke tahun.

Pertambahan jumlah penduduk di DAS Konaweha Hulu berimplikasi


terhadap peningkatan eksploitasi sumberdaya alam termasuk juga hutan. Penduduk
yang ada di wilayah tersebut akan mengeksploitasi kawasan hutan untuk dijadikan
lahan pertanian khususnya lahan perkebunan kakao, lahan tegalan dan eksploitasi
hutan dalam bentuk pembalakan liar. Konversi hutan di wilayah tersebut lebih
banyak dilakukan oleh penduduk dalam bentuk pembukaan lahan pertanian
khususnya perkebunan kakao. Hal ini dapat dilihat dari besarnya nilai Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor pertanian Kabupaten Kolaka dan
Kabupaten Konawe hingga tahun 2007 yakni lebih besar 50 %. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di wilayah ini masih menggantungkan
hidupnya pada sektor pertanian khususnya perkebunan kakao.
87

Penambahan luas areal pertanian khususnya perkebunan dan pertanian


tanaman pangan di DAS Konaweha Hulu dilakukan dengan jalan membuka hutan
melalui sistem tebas bakar (slash and burn) yang hingga saat ini masih dipraktekkan
di wilayah tersebut. Kenyataan ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa
sekitar 20 % penyebab degradasi hutan di Kabupaten Kolaka disebabkan oleh sistem
perladangan berpindah, khususnya dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar
kawasan hutan (Taufik, Nikoyan dan La Baco, 2001).

Sebagaimana uraian-uraian sebelumnya bahwa perubahan penggunaan lahan


di DAS Konaweha Hulu diduga dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk
yang meningkat dari tahun ke tahun. Analisis regresi pengaruh jumlah penduduk
terhadap penurunan luas hutan di DAS Konaweha Hulu menggunakan data
penggunaan lahan (Lampiran 4) dan data jumlah penduduk DAS Konaweha Hulu
disajikan pada Gambar 16.

100
Luas Hutan (% dari Luas DAS Konaweha Hulu)

75

y = 196.2e-0.01x
R2 = 0.98

50

25

0
140 150 160 170 180 190 200
Populasi (x 1000 jiwa)

Gambar 16. Pengaruh Jumlah Penduduk terhadap Luas Hutan di DAS Konaweha
Hulu Periode 1991-2010

Gambar 16 menunjukkan bahwa pertambahan jumlah penduduk berkorelasi


negatif terhadap luas hutan yang berarti bahwa semakin banyak penduduk maka
semakin menurun luas hutan di DAS Konaweha Hulu. Kedua variabel tersebut
88

terdapat korelasi kuat dengan koefisien korelasi -0,98. Pola hubungan kedua variabel
juga ditunjukkan dengan besarnya nilai koefisien determinasi (R2) yakni 98 %.
Pengaruh pertambahan jumlah penduduk terhadap penurunan luas hutan bersifat
eksponensial mengikuti persamaa:

y = 196.2e0,01X (43)

dimana y adalah luas hutan (% dari luas DAS Konaweha Hulu); x adalah jumlah
penduduk (jiwa) dan e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818.

Analisis keragaman tentang pengaruh jumlah penduduk terhadap luas hutan


menunjukkan bahwa pertambahan jumlah penduduk berpengaruh nyata terhadap
penurunan luas hutan di DAS Konaweha Hulu selama periode 1991-1995, 1996-
2000, 2001-2005 dan 2006-2010. Uji beda nyata terkecil (BNT) pengaruh jumlah
penduduk terhadap penurunan luas hutan disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16. Pengaruh Jumlah Penduduk terhadap Luas Hutan Rata-rata di DAS
Konaweha Hulu Periode 1991-2010
Jumlah Penduduk Luas Hutan (% dari Luas DAS Konaweha Hulu)
(x 1000 jiwa)
P1 (147.5) 66.6d
P2 (175.8) 55.3c
P3 (185.1) 50.7b
P4 (191.3) 48.3a
BNT0,05 0,44
Keterangan: Nilai rata-rata diikuti huruf yang tidak sama berbeda nyata pada taraf
kepercayaan 95 %.

Tabel 16 menunjukkan bahwa pertambahan jumlah penduduk dari P1 (147,5


ribu jiwa) pada periode 1991-1995 menjadi P2 (175,8 ribu jiwa) pada periode 1996-
2000 menyebabkan terjadinya penurunan luas hutan dari 66,6 % menjadi 55,3 %
dengan nilai penurunan sebesar 11,3 %, nilai tersebut lebih besar dari BNT0,05 yakni
0,44 sehingga dapat disimpulkan bahwa luas hutan kedua periode tersebut berbeda
nyata pada taraf kepercayaan 95 %. Selanjutnya dijelaskan bahwa pertambahan
jumlah penduduk dari P3 menjadi P4 akan menyebabkan terjadinya penurunan luas
hutan dari 50,7 % menjadi 48,3 %. Hasil uji beda nyata terkecil menunjukkan bahwa
luas hutan yang dipengaruhi oleh jumlah penduduk sebanyak P3 dan P4 berbeda
89

nyata pada taraf kepercayaan 95 %. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rentang rata-
rata antara P3 dan P4 yakni 2,4 % lebih besar jika dibandingkan dengan nilai
BNT0,05. Demikian juga halnya antara P2 dengan P3, P2 dengan P4, P1 dengan P3
dan P1 dengan P4 mempunyai nilai rentang rata-rata yang lebih besar dari nilai
BNT0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa semua taraf jumlah penduduk pada
masing-masing periode menyebabkan penurunan luas hutan yang berbeda nyata pada
taraf kepercayaan 95 %.

Penurunan luas hutan di DAS Konaweha Hulu merupakan fenomena yang


terjadi di wilayah lain. Angka penurunan luas hutan di DAS Konaweha Hulu
maupun rata-rata Indonesia masih relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan
beberapa negara di Afrika seperti Haiti (5,7 % per tahun), El Salvador (4,6 % per
tahun), Rwanda (3,9 % per tahun), Togo (3,4 % per tahun), dan Sierra Leone dengan
laju penurunan hutan rata-rata 2,9 % per tahun. Namun demikian angka penurunan
luas hutan di DAS Konaweha relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju
penurunan luas hutan di Brazil yakni 0,4 % per tahun (Rudel, et al, 2005).

Apabila kondisi seperti tersebut di atas berlangsung terus tanpa ada kebijakan
pengendalian perubahan penggunaan lahan, maka diduga akan mempengaruhi
kondisi hidrologi DAS Konaweha Hulu dan pada akhirnya akan mempengaruhi
keberlanjutan ketersediaan air di DAS Konaweha. Kenyataan ini sejalan dengan
pendapat Tang, et al (2005) bahwa salah satu dampak lingkungan langsung dari
perubahan penggunaan lahan termasuk hutan adalah terjadinya degradasi
sumberdaya air baik kuantitas maupun kualitas. Oleh karena itu maka perlu adanya
kebijakan yang mengatur pola penggunaan lahan di wilayah tersebut dengan
pertimbangan kecukupan kebutuhan lahan dan ketersediaan air bagi penduduk di
wilayah tersebut. Lebih lanjut dijelaskan bahwa perubahan penggunaan atau tutupan
lahan akibat faktor alam dan aktivitas manusia akan berdampak bukan saja terjadi di
dalam DAS tetapi juga di luar batas DAS tersebut (Begum, Narayana, and Kumar,
2010) berupa penurunan fungsi ekologi akibat degradasi lahan dan penurunan indeks
keanekaragaman hayati. Akibat lebih lanjut adalah penurunan produktivitas akibat
90

penurunan kesuburan tanah yang pada akhirnya mempengaruhi mata pencaharian


petani (Maltima, et al, 2009; Maltima, et al., 2010).

Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Kondisi Hidrologi

Analisis kondisi hidrologi DAS Konaweha Hulu selama tiga tahun terakhir
(2007, 2008 dan 2009) menunjukkan bahwa distribusi debit harian rata-rata, debit
harian maksimum dan debit harian minimum cukup bervariasi. Salah satu faktor
yang menyebabkan hal tersebut diduga adalah variasi curah hujan di wilayah
tersebut. Selain itu kemungkinan lainnya adalah adanya perubahan penggunaan
lahan yang menyebabkan terjadinya perubahan respon hidrologi DAS Konaweha
terhadap input curah hujan sehingga memberikan pengaruh terhadap kondisi
hidrologi.

Hasil analisis debit harian rata-rata, debit harian maksimum dan debit harian
minimum dengan pendekatan rata-rata aritmetik selama tiga tahun terakhir
menggunakan data debit harian (Lampiran 7a, 7b, 7c dan 7d) dan Persamaan 8
menunjukkan bahwa distribusi bulanan debit harian rata-rata, debit harian maksimum
dan debit harian minimum mempunyai kecenderungan yang sama (Gambar 17).
350
Debit Harian Maksimum (m3/det)
Debit Harian Minimum (m3/det)
Debit Harian Rata-rata (m3/det)
300

250
Debit (m3/detik)

200

150

100

50

0
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

Bulan

Gambar 17. Debit Harian Rata-rata, Debit Harian Maksimum dan Debit Harian
Minimum Sungai Konaweha Tahun 2007-2009
91

Gambar 17 merupakan distribusi bulanan debit harian rata-rata, debit harian


maksium dan debit harian minimum dari tahun 2007-2009. Pola distribusi bulanan
debit harian rata-rata, debit harian maksimum dan debit harian minimum cenderung
sama dengan nilai tertinggi terjadi pada Bulan Mei dan nilai terendah terjadi pada
Bulan September. Gambar tersebut di atas memperlihatkan bahwa koefisien regim
sungai (KRS) yang merupakan perbandingan antara debit maksimum dengan debit
minimum relatif kecil. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi harian debit sungai
relatif merata, kecuali koefisien regim sungai musim hujan dengan musim kemarau
yang relatif besar. Berdasarkan distribusi debit harian maka diketahui bahwa debit
harian rata-rata tertinggi terjadi pada Bulan Mei yakni 242 m3/detik, debit harian
minimum sebesar 109 m3/detik dan debit harian maksimum sebesar 313 m3/detik.
Pada saat yang sama maka debit harian rata-rata terendah terjadi pada Bulan
September yakni 32 m3/detik, debit harian minimum dan debit harian maksimum
pada bulan tersebut masing-masing 16 m3/detik dan 84 m3/detik.

Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologi DAS


Konaweha Hulu difokuskan pada koefisien aliran permukaan (C), debit maksimum
(Qmax) dan debit minimum (Qmin). Perhitungan koefisien aliran permukaan (C)
dengan Persamaan 3 (C=(Q/R)) menggunakan data curah hujan rata-rata (Lampiran
8) dan data debit Sungai Konaweha (Lampiran 9). Hasil perhitungan koefisien aliran
permukaan, debit maksimum dan debit minimum Sub DAS Konaweha Hulu
disajikan pada Lampiran 10.

Lampiran 10 menunjukkan bahwa koefisien aliran permukaan dan koefisien


regim sungai (KRS) akan meningkat seiring dengan penurunan proporsi luas hutan
dan peningkatan proporsi penggunaan lahan lainnya. Koefisien aliran permukaan
meningkat dari 28,4 % pada periode 1991-1995 menjadi 36,3 % pada periode 1996-
2000, 43,1 % pada periode 2001-2005 dan 45,6 % pada periode 2006-2010.
Selanjutnya pada periode yang sama maka fluktuasi debit sungai atau koefisien
regim sungai dari 6,2 pada periode 1991-1995, menjadi 11,8 pada periode 2006-
2010.
92

Karakteristik hidrologi DAS Konaweha Hulu dipengaruhi oleh perubahan


penggunaan lahan di wilayah tersebut khususnya penggunaan lahan dominan yakni
hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar. Analisis keragaman
melibatkan empat jenis penggunaan lahan utama di DAS Konaweha Hulu
menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan berpengaruh nyata terhadap
koefisien aliran permukaan, debit maksimum (Qmax) dan debit minimum (Qmin)
sebagaimana disajikan pada Lampiran 11.

Komposisi luas hutan, perkebunan, kebun campuran, dan semak belukar


pada setiap periode berbeda-beda. Pada periode 1991-1995 maka komposisi
penggunaan lahan dominan adalah 66,6 % hutan, 26,0 % perkebunan, 3,0 % kebun
campuran dan 1,7 % semak belukar, sedangkan periode 2006-2010 adalah 48,3 %
hutan, 39,7 % perkebunan, 5,0 % kebun campuran dan 3,1 % semak belukar.

Penurunan luas hutan dan peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan
semak belukar mempengaruhi koefisien aliran permukaan, debit maksimum dan
debit minimum. Uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf kepercayaan 95 %
(Lampiran 8 dan Lampiran 10) pengaruh penurunan luas hutan dan peningkatan luas
lahan perkebunan terhadap koefisien aliran permukaan, debit maksimum dan debit
minimum DAS Konaweha Hulu disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17. Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas Perkebunan
terhadap Koefisien Aliran Permukaan, Debit Maksimum dan Debit
Minimum DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010
Periode Luas (% dari Luas DAS C (%) Qmax Qmin
Konaweha Hulu) (m3/detik) 3
(m /detik)
Hutan Perkebunan
(1991-1995) 66,6 26.0 31,4a 246a 40c
(1996-2000) 55,3 34,8 36.3b 252b 36b
(2001-2005) 50,7 38,6 43,1c 272c 33b
(2006-2010) 48,3 39,7 45,6d 284d 24a
BNT0,05 0,25 0,84 3,98
Keterangan: Nilai rata-rata diikuti huruf yang sama pada kolom sama tidak berbeda nyata
pada taraf kepercayaan 95 %.
93

Tabel 17 menunjukkan bahwa penurunan luas hutan dari 66,6 % pada periode
1991-1995 menjadi 55,5 % pada periode 1996-2000 dan peningkatan luas
perkebunan dari 26,0 % pada periode 1991-1995 menjadi 34,8 % pada periode 1996-
2000 menyebabkan peningkatan koefisien aliran permukaan dari 31,4 % pada
periode 1991-1995 menjadi 36,3 % pada periode 1996-2000. Pada kondisi ini maka
terjadi peningkatan debit maksimum dari 246 m3/detik menjadi 252 m3/detik,
sedangkan debit minimum menurun dari 40 m3/detik menjadi 36 m3/detik.
Penurunan luas hutan dari 50,7 % pada periode 2001-2005 menjadi 48,3 % pada
periode 2006-2010 dan peningkatan luas perkebunan dari 38,6 % pada periode 2001-
2005 menjadi 39,7 % pada periode 2006-2010 menyebabkan peningkatan koefisien
aliran permukaan dari 43,1 % pada periode 1991-1995 menjadi 45,6 % pada periode
1996-2000. Pada kondisi ini maka terjadi peningkatan debit maksimum dari 272
m3/detik menjadi 284 m3/detik, sedangkan debit minimum menurun dari 33 m3/detik
menjadi 24 m3/detik.

Tabel 17 memperlihatkan bahwa komposisi luas hutan dan perkebunan


periode 1991-1995 menghasilkan nilai koefisien aliran permukaan sebesar 31,4 %
berbeda nyata jika dibandingkan dengan koefisien aliran permukaan yang dihasilkan
oleh komposisi kedua jenis penggunaan lahan tersebut periode 1996-2000, periode
2001-2005 dan periode 2006-2010. Koefisien aliran permukaan pada periode 1996-
2000 juga berbeda nyata jika dibandingkan dengan koefisien aliran permukaan
periode 2001-2005 dan periode 2006-2010, demikian juga koefisien aliran
permukaan periode 2001-2005 dan 2006-2010 juga berbeda nyata pada taraf
kepercayaan 95 %. Komposisi luas hutan dan perkebunan periode 1991-1995
menghasilkan debit maksimum yang berbeda nyata jika dibandingkan dengan debit
maksimum yang dihasilkan oleh komposisi luas penggunaan lahan periode lainnya.
Komposisi luas hutan dan perkebunan periode 1996-2000 mempengaruhi debit
maksimum, berbeda nyata jika dibandingkan dengan debit maksimum periode 2001-
2005 dan periode 2006-2010. Lebih lanjut dijelaskan bahwa debit minimum yang
dihasilkan oleh komposisi luas hutan dan perkebunan periode 2006-2010 berbeda
nyata jika dibandingkan dengan debit minimum yang dihasilkan komposisi luas
penggunaan lahan semua periode. Debit minimum yang dihasilkan komposisi luas
94

hutan dan perkebunan periode 2001-2005 tidak berbeda nyata dengan debit
minimum yang dihasilkan periode 1996-2000, namun berbeda nyata dengan debit
minimum yang dihasilkan komposisi luas hutan dan perkebunan periode 1991-1995
dan 2006-2010.

Komposisi luas hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar juga
meningkatkan koefisien aliran permukaan musim hujan di DAS Konaweha Hulu
selama periode 1991-2010. Analisis rata-rata koefisien aliran permukaan musim
hujan dengan menggunakan Persamaan 3, data curah hujan (Lampiran 8) dan data
debit sungai (Lampiran 9) serta analisis beda nyata terkecil (BNT) selama periode
1991-2010 menunjukkan bahwa koefisien aliran permukaan musim hujan periode
1991-1995 adalah 43,2 % meningkat menjadi 55,9 % pada periode 2006-2010. Hasil
analisis rata-rata beda nyata terkecil disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18. Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas Perkebunan
terhadap Koefisien Aliran Permukaan Musim Hujan DAS Konaweha
Hulu Periode 1991-2010.
Periode Luas (% dari Luas DAS Konaweha Hulu) C Musim Hujan (%)
Hutan Perkebunan
(1991-1995) 66,6 26.0 43,2a
(1996-2000) 55,3 34,8 45,1a
(2001-2005) 50,7 38,6 53,5b
(2006-2010) 48,3 39,7 55,9c
BNT0,05 2,3
Keterangan: Nilai rata-rata diikuti huruf yang sama pada kolom sama tidak berbeda nyata
pada taraf kepercayaan 95 %.

Tabel 18 menunjukkan bahwa penurunan luas hutan dari 66,6 % periode


1991-1995 menjadi 55,3 % periode 1996-2000 dan peningkatan luas perkebunan dari
26,0 % periode 1991-1995 menjadi 34,8 % periode 1996-2000 menghasilkan
koefisien aliran permukaan musim hujan sebesar 43,2 %. Nilai tersebut berbeda
nyata pada taraf kepercayaan 95 % jika dibandingkan dengan koefisien aliran
permukaan musim hujan pada periode 2001-2005 dan 2006-2010 dengan komposisi
luas hutan 50,7 % dan 48,3 % sedangkan luas perkebunan adalah 38,6 % dan 39,7 %.
Namun demikian koefisien aliran permukaan musim hujan yang dipengaruhi luas
95

hutan dan perkebunan periode 1991-1995 dan 1996-2000 tidak berbeda nyata pada
taraf kepercayaan 95 %.

Pengaruh perubahan penggunaan lahan dominan (hutan, perkebunan, kebun


campuran dan semak belukar) terhadap koefisien aliran permukaan, debit maksimum
dan debit minimum dianalisis dengan menggunakan analisis regresi berganda dan
analisis keragaman (anova) sesuai dengan Persamaan 4 (Qmax= βo+β1x1+β2x2+β3x3+
β4x4+β5x5+βnxn +έ), Persamaan 5 (Qmin= βo+β1x1+β2x2+β3x3+β4x4+β5x5+βnxn +έ) dan
Persamaan 6 (C = βo+β1x1+β2x2+β3x3+β4x4+β5x5+βnxn+έ) menunjukkan bahwa
perubahan penggunaan lahan berpengaruh nyata terhadap kondisi hidrologi DAS
Konaweha Hulu. Hasil analisis regresi pengaruh perubahan penggunaan lahan
dominan terhadap koefisien aliran permukaan, debit maksimum dan debit minimum
disajikan pada Lampiran 11. Pengaruh penurunan luas hutan dan peningkatan luas
perkebunan, kebun campuran dan semak belukar terhadap koefisien aliran
permukaan (C) di DAS Konaweha Hulu disajikan pada Gambar 18.

60

50
Koefisien Aliran Permukaan (%)

40

Koefisien C (%) = 64.0 - 0.9 H (%) + 0.5 K (%) - 0.8 Kc (%) + 2.4 Sb (%)
R2 = 0.8
30

20

10

0
1999 2001 2004 2005 2006 2008
H; Hutan (%) 55.3 51.3 50.1 49.2 48.8 47.0
K; Perkebunan (%) 34.8 38.3 39.0 39.5 39.6 40.0
Kc; Kebun Campuran (%) 3.8 4.0 4.5 4.7 4.8 5.5
Sb; Semak Belukar (%) 2.6 2.9 3.0 3.0 3.1 3.3
Koefisien C (%) 36.3 42.4 43.8 44.7 45.1 47.1
Tahun dan Penggunaan Lahan (% Luas DAS Konaweha Hulu)

Gambar 18. Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas Perkebunan,
Kebun Campuran dan Semak Belukar terhadap Koefisien Aliran
Permukaan (C) di DAS Konaweha Hulu

Gambar 18 menunjukkan bahwa dinamika perubahan penggunaan lahan


menyebabkan terjadinya peningkatan koefisien aliran permukaan (C) secara
konsisten dari tahun ke tahun. Penurunan luas hutan dari 55,3 % pada tahun 1999
menjadi 51,3 % pada tahun 2001 menyebabkan penurunan koefisien aliran
96

permukaan meningkat dari 36,3 % menjadi 42,4 %. Kondisi tersebut merupakan


pengaruh kumulatif peningkatan luas perkebunan dari 34,8 % menjadi 38,3 %,
peningkatan luas kebun campuran dan semak belukar masing-masing dari 3,8 % dan
2,6 % menjadi 4,0 % dan 2,9 % dari luas Sub DAS Konaweha Hulu. Angka-angka
tersebut memperlihatkan bahwa koefisien aliran permukaan dipengaruhi secara nyata
oleh keempat jenis penggunaan lahan sesuai persamaan:

C (%) = 64.0 - 0.9 H (%) + 0.5 K (%) - 0.8 Kc (%) + 2.4 Sb (%) (44)

dimana C adalah koefisien aliran permukaan (%), H adalah luas hutan (% luas DAS
Konaweha Hulu), K adalah luas perkebunan (% luas DAS Konaweha Hulu), Kc
adalah luas kebun campuran (% luas DAS Konaweha Hulu) dan Sb adalah luas
semak belukar (% luas DAS Konaweha Hulu).

Analisis regresi dan keragaman (anova) pengaruh perubahan penggunaan


lahan terhadap debit maksimum menunjukkan bahwa penurunan luas hutan dan
peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar menyebabkan
terjadinya peningkatan debit maksimum (Lampiran 11) dan Gambar 19.

300

250

Qmax (m3/detik) = 1713 - 20.1 H (%) - 10.1 K (%) - 45.4 Kc (%) + 47.5 Sb (%)
200 R2 = 0.7
Qmax (m3/detik)

150

100

50

0
1999 2001 2004 2005 2006 2008
H; Hutan (%) 55.3 51.3 50.1 49.2 48.8 47.0
K; Perkebunan (%) 34.8 38.3 39.0 39.5 39.6 40.0
Kc; Kebun Campuran (%) 3.8 4.0 4.5 4.7 4.8 5.5
Sb; Semak Belukar (%) 2.6 2.9 3.0 3.0 3.1 3.3
Qmax (m3/detik) 205 255 254 258 266 275
Tahun dan Penggunaan Lahan (% Luas DAS Konaweha Hulu)

Gambar 19. Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas Perkebunan,
Kebun Campuran dan Semak Belukar terhadap Debit Maksimum (Qmax)
Sungai Konaweha
97

Gambar 19 menunjukkan bahwa penurunan luas hutan dan peningkatan luas


perkebunan, kebun campuran dan semak belukar menyebabkan peningkatan debit
maksimum Sungai Konaweha secara konsisten dari tahun ke tahun. Penurunan luas
hutan dari 55,3 % tahun 1999 menjadi 47,0 % pada tahun 2008 menyebabkan debit
maksimum Sungai Konaweha meningkat dari 205 m3/detik menjadi 275 m3/detik.
Peningkatan debit maksimum tersebut merupakan pengaruh kumulatif dari
peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar masing-masing
34,8 %, 3,8 % dan 2,6 % pada tahun 1999 menjadi 40,0 %, 5,5 % dan 3,3 % dari luas
DAS Konaweha Hulu.

Angka-angka tersebut di atas menunjukkan bahwa perubahan keempat jenis


penggunaan lahan tersebut meningkatkan aliran permukaan secara nyata dari tahun
ke tahun mengikuti persamaan:

Qmax (m3/detik) = 1713-20.1 H (%)-10.1 K (%)-45.4 Kc (%)+47.5 Sb (%) (45)

dimana Qmax adalah debit maksimum (m3/detik), H adalah luas hutan (% luas DAS
Konaweha Hulu), K adalah luas perkebunan (% luas DAS Konaweha Hulu), Kc
adalah luas kebun campuran (% luas DAS Konaweha Hulu) dan Sb adalah luas
semak belukar (% luas DAS Konaweha Hulu).

Analisis regresi dan keragaman (anova) menunjukkan bahwa perubahan


penggunaan lahan DAS Konaweha Hulu berpengaruh nyata terhadap debit minimum
(Qmin). Penurunan luas hutan dan peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan
semak belukar menyebabkan terjadinya penurunan debit minimum Sungai
Konaweha secara konsisten dari tahun ke tahun. Analisis regresi dan keragaman
(Lampiran 11) menunjukkan bahwa penggunaan lahan hutan dan perkebunan
berpengaruh positif terhadap debit minimum, sedangkan penggunaan lahan kebun
campuran dan semak belukar berpengaruh negatif terhadap debit minimum Sungai
Konaweha. Hal ini disebabkan karena kemampuan hutan dan perkebunan dalam hal
menyerap air hujan lebih baik jika dibandingkan dengan penggunaan lahan kebun
campuran dan semak belukar. Akibatnya jumlah air yang tersimpan di dalam tanah
yang bervegetasi hutan dan perkebunan lebih banyak jika dibandingkan dengan
98

penggunaan lahan kebun campuran dan semak belukar. Air yang tersimpan di dalam
tanah tersebut akan menjadi aliran dasar (base flow) dan akan mengalir secara
perlahan-lahan ke sungai. Pengaruh penurunan luas hutan dan peningkatan luas
perkebunan, kebun campuran dan semak belukar terhadap debit minimum Sungai
Konaweha disajikan pada Gambar 20.

60

50

40
Qmin (m3/detik)

Qmin (m3/detik) = 13 + 0.7 H (%) + 0.6 K (%) - 3.4 Kc (%) - 3.7 Sb (%)
R2 = 0.9
30

20

10

0
1999 2001 2004 2005 2006 2008
H; Hutan (%) 55.3 51.3 50.1 49.2 48.8 47.0
K; Perkebunan (%) 34.8 38.3 39.0 39.5 39.6 40.0
Kc; Kebun Campuran (%) 3.8 4.0 4.5 4.7 4.8 5.5
Sb; Semak Belukar (%) 2.6 2.9 3.0 3.0 3.1 3.3
Qmin (m3/detik) 36 34 30 28 23 20
Tahun dan Penggunaan Lahan (% Luas DAS Konaweha Hulu)

Gambar 20. Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas Perkebunan,
Kebun Campuran dan Semak Belukar terhadap Debit Minimum (Qmin)
Sungai Konaweha

Gambar 20 menunjukkan bahwa penurunan luas hutan dan peningkatan luas


perkebunan, kebun campuran dan semak belukar tahun 1999-2008 menyebabkan
terjadinya penurunan debit minimum dari 36 m3/detik menjadi 20 m3/detik. Angka
penurunan debit minimum tersebut cukup besar yakni hampir dua kali lipat dari debit
minimum tahun 1999. Berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan bahwa
penurunan debit minimum merupakan fungsi dari penurunan luas hutan dan
peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar menurut
persamaan:
99

Qmin (m3/detik) = 13 + 0.7 H (%) + 0.6 K (%) - 3.4 Kc (%) - 3.7 Sb (%) (46)

dimana Qmin adalah debit minimum (m3/detik), H adalah luas hutan (% luas DAS
Konaweha Hulu), K adalah luas perkebunan (% luas DAS Konaweha Hulu), Kc
adalah luas kebun campuran (% luas DAS Konaweha Hulu) dan Sb adalah luas
semak belukar (% luas DAS Konaweha Hulu).

Analisis perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologi difokuskan


pada pengaruh perubahan luas hutan terhadap koefisien aliran permukaan (C) dan
debit minimum (Qmin) menggunakan data luas hutan periode 1991-2010 (Lampiran 4
dan Lampiran 6), data koefisien aliran permukaan (Lampiran 8, 9, 10 dan Lampiran
11) menunjukkan bahwa penurunan luas hutan menyebabkan peningkatan koefisien
aliran permukaan dan penurunan debit minimum secara eksponensial. Analisis
pengaruh penurunan luas hutan terhadap koefisien aliran permukaan (C) DAS
Konaweha Hulu disajikan pada Gambar 21.

50

40
y = 158.8 e-0.03X
R2 = 0.98
Koefisien Aliran Permukaan (%)

30

20

10

0
45 50 55 60 65 70
Luas Hutan (% Luas DAS Konaweha Hulu)

Gambar 21. Pengaruh Penurunan Luas Hutan terhadap Koefisien Aliran


Permukaan DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010

Gambar 21 menunjukkan bahwa koefisien aliran permukaan meningkat


secara eksponensial yang dipengaruhi oleh penurunan luas hutan. Peningkatan
100

koefisien aliran permukaan di DAS Konaweha Hulu mengikuti pola penurunan luas
hutan menurut persamaan:

y = 158,8 e-0,03X (47)

dimana y adalah koefisien aliran permukaan (%), X adalah luas hutan (% dari luas
DAS Konaweha Hulu) dan e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai
2,7182818.

Berdasarkan Persamaan 47 (y = 158,8 e-0,03X) tersebut maka disimpulkan


bahwa semakin luas hutan maka semakin kecil nilai koefisien aliran permukaan.
Oleh karena itu upaya-upaya penurunan koefisien aliran permukaan dapat dilakukan
melalui penambahan luas hutan.

Penurunan luas hutan akan menyebabkan terjadinya penurunan debit


minimum Sungai Konaweha. Analisis pengaruh perubahan luas hutan dengan debit
minimum menunjukkan bahwa debit minimum menurun secara eksponensial
mengikuti pola penurunan luas hutan. Analisis pengaruh penurunan luas hutan
terhadap debit minimum Sungai Konaweha disajikan pada Gambar 22.

50

40

y = 18.6 e0.012x
R2 = 0.97
Debit Minimum (m3/detik)

30

20

10

0
45 50 55 60 65 70
Luas Hutan (% Luas DAS Konaweha Hulu)

Gambar 22. Pengaruh Penurunan Luas Hutan terhadap Debit Minimum (Qmin)
Sungai Konaweha Periode 1991-2010
101

Gambar 22 menunjukkan bahwa penurunan debit minimum dipengaruhi oleh


penurunan luas hutan di DAS Konaweha Hulu. Penurunan luas hutan selama periode
1991-2010 menyebabkan penurunan debit minimum secara eksponensial mengikuti
persamaan:

y = 18,6 e0,01X (48)

dimana y adalah debit minimum (m3/detik), X adalah luas hutan (% dari luas DAS
Konaweha Hulu) dan e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818.

Berdasarkan Persamaan 48 (y= 18,6 e0,01X) maka disimpulkan bahwa semakin


luas hutan maka semakin besar debit minimum dan sebaliknya. Oleh karena itu
maka upaya-upaya untuk meningkatkan debit minimum dapat dilakukan melalui
peningkatan atau penambahan luas hutan.

Fenomena tersebut di atas menunjukkan bahwa perubahan luas penggunaan


lahan khususnya hutan di daerah-daerah tropis akan mempengaruhi siklus hidrologi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Bonell and Bruijnzeel (2005); bahwa: (1) erosi
meningkat dengan terganggunya hutan; (2) produksi air (water yield) dalam hal ini
ditribusi bulanan menurun seiring dengan penurunan evapotranspirasi vegetasi; (3)
aliran air musiman khususnya aliran dasar (baseflow) akan menurun seiring dengan
penurunan kapasitas infiltrasi tanah dan peningkatan aliran permukaan (Lerner and
Harris, 2009); dan (4) aliran puncak (peak flow) akan meningkat seiring dengan
berkurangnya penutupan tanah. Selanjutnya Aylward (2005) dan Gregory (1972)
mengemukakan bahwa dampak perubahan penggunaan lahan terhadap jumlah air
meliputi : (1) hasil air tahunan; (2) aliran air musiman; (3) aliran puncak; dan (4)
level air tanah. Hutan merupakan penggunaan lahan paling baik dalam fungsinya
sebagai pengatur proses hidrologi dan melindungi tanah. Penggundulan hutan
menyebabkan penurunan kapasitas infiltrasi tanah sehingga terjadi peningkatan
aliran permukaan dan percepatan erosi tanah, bahkan dapat menyebabkan perubahan
karakteristik pasokan air. Total hasil air (water yield) yang keluar dari suatu DAS
meningkat, begitu juga dengan perbedaan hasil air antara musim kemarau dan musim
hujan (Purwanto dan Ruijter, 2004; Chandler dan Suyanto, 2004).
102

Selain faktor perubahan penggunaan lahan, maka kemampuan tanah untuk


memasukkan dan menyimpan air juga erat kaitannya dengan debit aliran sungai
akibat peningkatan aliran permukaan. Kemampuan tanah untuk menyimpan air
sangat ditentukan oleh sifat tanah khususnya kandungan bahan organik yang
mencakup karbon organik dan total nitrogen tanah yang lebih tinggi pada tanah-tanah
dengan penutupan vegetasi hutan dan akan menurun jika tanah dibuka (Yusnaini, et
al., 2008).

Uraian-uraian di atas menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan


memmpengaruhi keberlanjutan sumberdaya air di DAS Konaweha. Oleh karena itu
maka perlu dilakukan berbagai upaya untuk mengendalikan perubahan penggunaan
lahan.

Analisis Ketersediaan Air

Analisis Curah Hujan

Curah hujan rata-rata tahunan di DAS Konaweha yang direpresentasi oleh


data curah hujan rata-rata tahunan 18 stasiun pengamat adalah 1.269 mm per tahun.
Angka tersebut diperoleh dari data curah hujan harian 18 stasiun pengamatan selama
11 tahun yakni tahun 1999 sampai tahun 2009.

Curah hujan rata-rata bulanan 18 stasiun hujan di DAS Konaweha sangat


fluktuatif berdasarkan ruang dan waktu. Hal ini disebabkan oleh letak geografis
masing-masing stasiun dimana daerah-daerah dataran rendah (daerah hilir)
cenderung lebih kering dibandingkan dengan daerah dataran tinggi (daerah hulu).
Variasi curah hujan masing-masing stasiun juga kemungkinan disebabkan oleh
topografi wilayah yang cukup bervariasi. Gambaran curah hujan rata-rata bulanan
stasiun hujan di DAS Konaweha disajikan pada Lampiran 8 terdahulu.

Hasil analisis curah hujan rata-rata menggunakan Persamaan 7 seperti terlihat


pada Lampiran 8 terdahulu menunjukkan bahwa curah hujan rata-rata bulanan
tertinggi di DAS Konaweha terjadi pada Bulan Mei dengan curah hujan 169 mm,
sedangkan curah hujan rata-rata bulanan terendah terjadi pada Bulan September
103

dengan curah hujan sebesar 37 mm. Dari data curah hujan bulanan rata-rata tersebut,
maka curah hujan rata-rata tahunan di DAS Konaweha adalah 1.269 mm.
Berdasarkan data curah hujan rata-rata di DAS Konaweha baik bulanan maupun
tahunan, maka potensi ketersediaan air di wilayah ini cukup besar. Perhitungan
ketersediaan air berdasarkan data curah hujan rata-rata tahunan di DAS Konaweha
menunjukkan bahwa ketersediaan air tahunan adalah 8,86 x 109 m3 per tahun. Nilai
tersebut diperoleh dari konversi curah hujan rata-rata tahunan sebesar 1.269 mm per
tahun dengan luas DAS 697.841 hektar. Angka tersebut sebenarnya sangat besar jika
dibandingkan dengan total kebutuhan air tahunan di wilayah ini yakni kurang dari
0,9 x 109 m3 per tahun yang berarti bahwa total kebutuhan air tahunan hanya sekitar
10 % dari total ketersediaan curah hujan di DAS Konaweha. Hal ini masih
memungkinkan untuk optimalisasi pemanfaatan air hujan guna memenuhi berbagai
kebutuhan air di wilayah ini. Berdasarkan besarnya potensi curah hujan dan
perkiraan total kebutuhan air di DAS Konaweha maka masih sangat memungkinkan
pengembangan energi berbasis sumberdaya air seperti pembangunan Pembangkit
Listrik Tenaga Air (PLTA). Berdasarkan hasil analisis hidrologi bahwa hampir 50 %
air hujan akan hilang menjadi aliran permukaan. Jumlah air yang hilang tersebut
akan semakin banyak jika diakumulasikan dengan debit sungai yang tidak
termanfaatkan khususnya debit musim hujan.

Analisis Debit Sungai

Analisis debit Sungai Konaweha dengan pendekatan rata-rata aritmetik


menggunakan Persamaan 8 dan pendekatan peluang kejadian menggunakan
Persamaan 9 menghasilkan hidrograf aliran bulanan rata-rata selama 12 bulan atau
satu tahun. Analisis debit sungai dengan rata-rata aritmetik dan peluang kejadian
disajikan pada Lampiran 12 dan Lampiran 13.

Lampiran 12 dan Lampiran 13 merupakan hidrograf aliran bulanan rata-rata


yang dihitung dengan pendekatan rata-rata aritmetik dan peluang kejadian 80 %.
Debit rata-rata yang dihitung dengan pendekatan rata-rata aritmetik lebih besar
(peluang kejadian ± 50 %) jika dibandingkan dengan debit rata-rata peluang 80 %.
104

Hasil analisis hidrograf aliran dengan pendekatan rata-rata aritmetik dan peluang 80
% disajikan pada Gambar 23.

300
Rata-rata Aritmetik (m3/detik)
Peluang 80 % (m3/detik)

250

200
Debit (m3/detik)

150

100

50

0
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

Bulan

Gambar 23. Hidrograf Aliran Sungai Konaweha berdasarkan Rata-rata Aritmetik


dan Peluang 80 % Tahun 1993-2009

Gambar 23 menunjukkan bahwa hidrograf aliran Sungai Konaweha tertinggi


terjadi pada Bulan Mei dan terendah terjadi pada Bulan September baik perhitungan
dengan rata-rata aritmetik maupun peluang kejadian 80 %. Hidrograf aliran rata-rata
pada Bulan September sampai Bulan Mei mengalami peningkatan cukup signifikan,
sementara itu hidrograf aliran dari Mei sampai September mengalami penurunan.

Hasil perhitungan debit rata-rata dengan peluang 80 % menunjukkan bahwa


debit rata-rata bulanan lebih rendah dibandingkan dengan debit rata-rata hasil
perhitungan dengan metode rata-rata aritmetik. Jika menggunakan perhitungan
dengan peluang kejadian tertentu, maka debit bulanan dari hasil perhitungan rata-rata
aritmetik mempunyai peluang kejadian sekitar 50 % dengan periode ulang 4 tahun.

Hidrograf aliran rata-rata bulanan Sungai Konaweha yang merupakan


cerminan ketersediaan air rata-rata di DAS Konaweha dipengaruhi oleh curah hujan
yang terjadi di wilayah tersebut. Analisis curah hujan rata-rata bulanan DAS
Konaweha dan hidrograf aliran bulanan menunjukkan bahwa curah hujan rata-rata
105

berkorelasi positif dengan debit aliran sungai. Distribusi bulanan ketersediaan air
dan curah hujan bulanan di DAS Konaweha disajikan pada Gambar 24.

500 0

450 50

400 100

350 150
Ketersediaan Air (m3/detik)

Curah Hujan (mm)


300 200
Debit (m3/detik)
Curah Hujan (mm)
250 250

200 300

150 350

100 400

50 450

0 500
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

Bulan

Gambar 24. Distribusi Ketersediaan Air dan Curah Hujan Bulanan di DAS
Konaweha Tahun 1993-2009

Gambar 24 memperlihatkan ketersediaan air yang dinyatakan dengan debit


rata-rata. Ketersediaan air maksimum berdasarkan peluang kejadian 80 % adalah
236 m3/detik dan minimum sebesar 24 m3/detik. Angka-angka tersebut merupakan
gambaran ketersediaan air aktual di DAS Konaweha. Kecenderungan hidrograf
aliran sungai yang memperlihatkan penurunan debit aliran sungai khususnya dari
Bulan Juli, Agustus, September sampai Oktober dijadikan acuan dalam perencanaan
alokasi sumberdaya air.

Uraian-uraian terdahulu menunjukkan bahwa hidrograf aliran rata-rata


bulanan Sungai Konaweha dipengaruhi oleh curah hujan rata-rata bulanan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Litte et al (2009) bahwa aliran sungai merupakan hasil
interaksi yang kompleks antara faktor terestrial yang meliputi geomorfologi DAS,
tipe tanah, vegetasi dan penggunaan lahan dengan faktor-faktor atmosferik seperti
curah hujan, temperatur, kelembaban udara, angin dan lain-lain dimana curah hujan
merupakan faktor dominan penyebab variasi ketersediaan air bulanan, musiman dan
tahunan.
106

Dari uraian-uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa


ketersediaan air yang merupakan cerminan dari hidrograf aliran Sungai Konaweha
ditentukan juga oleh curah hujan rata-rata di wilayah tersebut. Dalam kaitannya
dengan neraca ketersediaan dan kebutuhan air serta perencanaan alokasi sumberdaya
air, maka hidrograf aliran bulanan yang dihitung dengan peluang kejadian dijadiakan
acuan karena mempunyai akurasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan
hidrograf aliran yang dihitung dengan pendekatan rata-rata aritmetik.

Berkaitan dengan fokus penelitian yakni hubungan antara perubahan


penggunaan lahan dengan ketersediaan air, maka pengaruh perubahan penggunaan
lahan terhadap kondisi hidrologi DAS Konaweha Hulu dititikberatkan pada
hubungan antara perubahan luas hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak
belukar dengan debit minimum. Hal ini disebabkan karena ketersediaan air di
wilayah ini ditentukan oleh debit minimum Sungai Konaweha.

Proyeksi debit minimum Sungai Konaweha periode lima tahunan (2011-


2050) menggunakan Persamaan 46 (Qmin= 13 + 0.7 H +0.6 K -3.4 Kc -3.7 Sb)
melibatkan variabel luas hutan (Persamaan 39: y = 71.26 e-0.02X), perkebunan
(Persamaan 40; y = 10.2 Ln (x) + 10.3), kebun campuran (Persamaan 41; y =
1.67x0.36) dan semak belukar (Persamaan 42; y = 0.88x0.44) menunjukkan bahwa
debit minimum Sungai Konaweha menurun seiring dengan berjalannya waktu.
Penurunan debit minimum Sungai Konaweha akan mempengaruhi ketersediaan air
khususnya distribusi bulanan ketersediaan air yang tidak merata. Pada musim hujan
akan terjadi aliran sungai dengan debit yang berlebihan, sedangkan debit aliran
sungai musim kemarau tidak mampu mencukupi kebutuhan air sehingga akan terjadi
defisit air. Proyeksi ketersediaan air (debit minimum) Sungai Konaweha periode
2011-2050 disajikan pada Lampiran 14 dan Gambar 25.
107

40.0

30.0
Debit Minimum (m3/detik)

37.6

33.5
20.0
29.7

26.2

23.0
10.0
20.0
17.3
14.7

0.0
2011-2015 2016-2020 2021-2025 2026-2030 2031-2035 2036-2040 2041-2045 2046-2050
Luas Hutan (%) 43.2 39.1 35.4 32.0 29.0 26.2 23.7 21.5
Qmin (m3/detik) 37.6 33.5 29.7 26.2 23.0 20.0 17.3 14.7
Periode (5 Tahunan) dan Luas Hutan (% Luas DAS Konaweha Hulu)

Gambar 25. Proyeksi Debit Minimum (Qmin) Sungai Konaweha Periode Lima
Tahunan (2011-2050)

Lampiran 14 Gambar 25 merupakan hasil analisis ketersediaan air atau debit


minimum Sungai Konaweha periode 2011-2015 sampai periode 2046-2050. Luas
hutan yang cenderung mengalami penurunan dan diikuti oleh peningkatan luas
perkebunan, kebun campuran dan semak belukar dari waktu ke waktu menyebabkan
penurunan debit minimum selama kurun waktu 2011-2015 hingga periode 2046-
2050. Penurunan luas hutan dari 43,2 % pada periode 2011-2015 menjadi 35,4 %
pada periode 2021-2025 menyebabkan penurunan debit minimum dari 37,6 m3/detik
menjadi 29,7 m3/detik. Pada kondisi ini maka luas perkebunan, kebun campuran dan
semak belukar mengalami peningkatan masing-masing dari 47,9 %, 6,0 % dan 4,2 %.
Penurunan luas hutan pada periode 2046-2050 akan menyebabkan terjadinya aliran
sungai dengan debit minimum sebesar 14,7 m3/detik. Pada kondisi ini maka luas
perkebunan, kebun campuran dan semak belukar masing-masing adalah 52,1 %, 7,3
% dan 5,3 %. Angka-angka tersebut di atas merupakan gambaran ketersediaan air
periode lima tahunan di DAS Konaweha.
108

Analisis Kebutuhan Air

Kebutuhan Air Domestik

Kebutuhan air domestik ditentukan oleh jumlah penduduk dan tingkat


konsumsi air pada suatu wilayah. Tingkat konsumsi air ditentukan oleh kelas sosial
masyarakat dimana semakin tinggi kelas sosial masyarakat semakin tinggi pula
konsumsi airnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien kebutuhan air domestik rata-


rata adalah 0,48 untuk responden dengan tingkat pendapatan kurang dari 1 juta
rupiah per bulan dan 0,64 untuk responden dengan tingkat pendapatan 1 – 3 juta
rupiah per bulan, sedangkan koefisien kebutuhan air bagi responden dengan tingkat
pendapatan lebih dari 3 juta per bulan adalah 0,82. Perhitungan koefisien kebutuhan
air domestik ditentukan berdasarkan hasil survei kebutuhan air di wilayah studi.
Hasil survei kebutuhan air wilayah studi dapat dilihat pada Lampiran 15a (contoh
tabulasi penentuan koefisien kebutuhan air domestik penduduk kelas sosial tinggi
Kota Kendari). Perhitungan koefisien kebutuhan air domestik di wilayah studi
menggunakan Persamaan 13 (CPi= (CAPi/KAPi). Angka-angka koefisien kebutuhan
air domestik tersebut merupakan perbandingan atau rasio antara penggunaan air rata-
rata penduduk per kapita per hari dengan kebutuhan air rata-rata per kapita per hari di
wilayah penelitian.

Perbedaan nilai koefisien kebutuhan air masing-masing kelas sosial


disebabkan oleh perbedaan konsumsi air rata-rata akibat perbedaan tingkat
pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan tingkat
pendapatan kurang dari 1 juta rupiah per bulan cenderung menggunakan air air lebih
sedikit karena penggunaan air bagi mereka hanya untuk kebutuhan minum, memasak
dan mencuci pakaian. Kebutuhan air untuk mencuci lantai, kendaraan dan menyiram
taman hampir tidak ada karena umumnya tidak memiliki kendaraan bermotor, lantai
rumah dari tanah dan semen kasar.
109

Kebutuhan air domestik dipengaruhi oleh jumlah dan pertumbuhan penduduk


pada setiap kelas sosial, kelas sosial (tingkat pendapatan) masyarakat, dan kebutuhan
air rata-rata penduduk.

Proyeksi jumlah penduduk di DAS Konaweha menggunakan data penduduk


menurut kelas sosial dari tahun 2000 sampai 2009. Data jumlah penduduk DAS
Konaweha menurut kelas sosial tahun 2000-2009 disajikan pada Lampiran 15b.

Analisis regresi jumlah penduduk dari tahun 2000-2009 di DAS Konaweha


menunjukkan bahwa jumlah penduduk meningkat secara eksponensial dari waktu ke
waktu. Pertumbuhan penduduk di DAS Konaweha dianalisis menggunakan
Persamaan 11 (Pt= Po.er). Hasil analisis pola pertumbuhan penduduk di DAS
Konaweha tahun 2000-2009 disajikan pada Gambar 26.

500000
y = 419552 e0.0156X
2
R = 0.97
480000
Jumlah Penduduk (jiwa)

460000

440000

420000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
400000
Ta

Ta

Ta

Ta

Ta

Ta

Ta

Ta
Ta

Ta
hu

hu

hu

hu

hu

hu

hu

hu
hu

hu
n

n
n

n
20

20

20

20

20

20

20

20
20

20
00

02

03

05

06

07

08

09
01

04

Gambar 26. Pola Pertumbuhan Penduduk di DAS Konaweha Tahun 2000-2009


(Diolah dari Lampiran 15b)

Gambar 26 merupakan pola pertumbuhan penduduk di DAS Konaweha dari


tahun 2000-2009. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk di
DAS Konaweha bersifat eksponensial mengikuti persamaan:

y = 419552 e0.0156X (49)


110

dimana y adalah jumlah penduduk pada waktu t (jiwa), x adalah tahun data dimana
x=1 untuk tahun 2000, x = 2 untuk tahun 2001 dan seterusnya, dan e adalah bilangan
logaritma natural yang bernilai 2,7182818.

Persamaan 49 digunakan untuk proyeksi jumlah penduduk di DAS Konaweha


dari tahun 2010-2050. Proyeksi jumlah penduduk di DAS Konaweha Konaweha
tahun 2010-2050 disajikan pada Lampiran 15c.

Lampiran 15c menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang memanfaatkan air


di DAS Konaweha tahun 2010 adalah 495.760 jiwa. Dari jumlah tersebut maka
penduduk dengan tingkat pendapatan < Rp. 1.000.000 per bulan adalah 192.355 jiwa
atau 38,8 %, sedangkan jumlah penduduk dengan tingkat pendapatan Rp. 1.000.000-
Rp. 3.000.000 per bulan adalah 187.893 jiwa atau 37,9 % dan penduduk dengan
tingkat pendapatan > Rp. 3.000.000 per bulan adalah 115.512 jiwa atau 23,3 % (BPS
Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010).

Proyeksi kebutuhan air domestik dengan Persamaan 12 (Yt=∑PPi x P0er x


KAP x CPi) menggunakan data jumlah dan pertumbuhan penduduk di wilayah studi
(Persamaan 49; y = 419552 e0.0156X), nilai koefisien kebutuhan air domestik rata-rata
(contoh perhitungan Lampiran 15a), proporsi penduduk berdasarkan kelas sosial dan
standar kebutuhan air penduduk (WHO, 2009) yakni 110 liter per kapita per hari.

Proyeksi kebutuhan air domestik di DAS Konaweha menunjukkan bahwa


kebutuhan air domestik mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Proyeksi
kebutuhan air domestik dari 2010-2050 disajikan pada Lampiran 15c, sedangkan
proyeksi kebutuhan air domestik periode 2011-2050 disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19. Proyeksi Kebutuhan Air Domestik Periode 2011-2050 di DAS Konaweha
Periode Kebutuhan Air (juta m3) Peningkatan (juta m3)
2011-2015 13,1 0.8
2016-2020 13,9 0,8
2021-2025 14,8 0,9
2026-2030 15,8 0,9
2031-2035 16,7 1,0
2036-2040 17,8 1,1
2041-2045 18,9 1,1
2046-2050 20,1 1,2
111

Tabel 19 menunjukkan bahwa kebutuhan air rata-rata sektor domestik di


DAS Konaweha meningkat dari waktu ke waktu yakni 13,1 juta m3 pada periode
2011-2015 menjadi 15,8 juta m3 pada periode 2026-2030. Selanjutnya kebutuhan air
domestik periode 2036-2040 adalah 17,8 juta m3, meningkat menjadi 20,1 juta m3
pada periode 2046-2050.

Kecenderungan peningkatan kebutuhan air domestik disebabkan oleh


peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun dengan laju peningkatan rata-rata
sekitar 1,22 % per tahun. Selain itu peningkatan kebutuhan air ini juga dipengaruhi
oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat (penduduk), dan kebutuhan air rata-rata per
kapita penduduk. Tingkat sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat konsumsi
air bagi penduduk dimana semakin tinggi status sosial, maka semakin tinggi pula
tingkat konsumsi airnya. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa tingkat konsumsi air masyarakat kota yang cenderung lebih tinggi dari
masyarakat perdesaan karena umumnya tingkat sosial masyarakat kota lebih tinggi
dari tingkat sosial masyarakat perdesaan. Selain itu jumlah anggota keluarga juga
mempengaruhi tingkat konsumsi air masyarakat.

Analisis kebutuhan air domestik menunjukkan bahwa distribusi kebutuhan air


domestik diasumsikan merata setiap bulan. Berdasarkan hal ini maka perhitungan
kebutuhan air bulanan menggunakan angka kebutuhan air tahunan dibagi dengan
jumlah bulan dalam setahun. Distribusi kebutuhan air domestik bulanan dari tahun
2010 sampai 2050 disajikan pada Lampiran 15d.

Kebutuhan Air Industri

Klasifikasi jenis industri di Provinsi Sulawesi Tenggara dibedakan atas dua


jenis industri yakni industri kecil dan industri sedang dan besar (Dinas Perindustrian
dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010).

Jumlah industri kecil yang terdapat di Kabupaten Konawe, Konawe Selatan,


dan Kabupaten Kolaka mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, kecuali Kota
Kendari cenderung mengalami penurunan.
112

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah industri kecil dan industri


sedang/besar di DAS Konaweha mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Jumlah industri kecil dan industri sedang/besar di DAS Konaweha dari tahun 2000-
2009 (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010)
disajikan pada Lampiran 16a.

Lampiran 16a menunjukkan bahwa jumlah industri kecil di DAS Konaweha


tahun 2000 adalah 2.955 unit, meningkat menjadi 3.096 unit pada tahun 2005 dan
3.167 unit pada tahun 2009. Pada tahun 2000 maka jumlah industri sedang/besar di
DAS Konaweha adalah 2 unit, sedangkan tahun 2005 dan 2009 meningkat menjadi 6
unit dan 8 unit.

Angka-angka tersebut di atas menunjukkan bahwa pertumbuhan industri kecil


di DAS Konaweha menunjukkan kecenderungan yang positif. Hal ini disebabkan
karena wilayah tersebut merupakan pusat pengembangan pertanian dan perikanan di
Provinsi Sulawesi Tenggara.

Analisis regresi jumlah industri kecil dan industri sedang/besar di DAS


Konaweha menunjukkan bahwa pertumbuhan kedua jenis industri tersebut bersifat
eksponensial. Hasil analisis regresi pola pertumbuhan industri kecil di DAS
Konaweha disajikan pada Gambar 27.

3200

3100
Jumlah Industri Kecil (unit)

0.0076X
y = 2944.1e
2
R = 0.98
3000

2900

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
2800
Ta

Ta

Ta

Ta

Ta

Ta

Ta

Ta

Ta

Ta
hu

hu

hu

hu

hu

hu

hu

hu

hu

hu
n

n
20

20

20

20

20

20

20

20

20

20
00

01

02

03

04

05

06

07

08

09

Gambar 27. Pola Pertumbuhan Industri Kecil di DAS Konaweha Tahun 2000-2009
(Diolah dari Lampiran 16a)
113

Gambar 27 menunjukkan bahwa pertumbuhan industri kecil di DAS


Konaweha dari tahun 2000 sampai 2009 bersifat eksponensial. Pola pertumbuhan
industri kecil mengikuti persamaan:

y = 2944.1e0.0076X (50)

dimana y adalah jumlah industri kecil pada waktu t (unit), x adalah tahun data
dimana x=1 untuk tahun 2000, x = 2 untuk tahun 2001 dan seterusnya, dan e adalah
bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818.

Hasil analisis regresi pola pertumbuhan industri sedang/besar di DAS


Konaweha menggunakan data Lampiran 16a menunjukkan kecenderungan yang
sama dengan pola pertumbuhan industri kecil. Pola pertumbuhan industri
sedang/besar di DAS Konaweha disajikan pada Gambar 28.

10

9
Jumlah Industri Sedang/Besar (unit)

6 0.1542X
y = 1.9822 e
5 2
R = 0.88
4

1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0
Ta

Ta

Ta

Ta

Ta

Ta

Ta

Ta

Ta

Ta
hu

hu

hu

hu

hu

hu

hu

hu

hu

hu
n

n
20

20

20

20

20

20

20

20

20

20
00

01

02

03

04

05

06

07

08

09

Gambar 28. Pola Pertumbuhan Industri Sedang/Besar di DAS Konaweha Tahun


2000-2009 (Diolah dari Lampiran 16a)

Gambar 28 menunjukkan bahwa pola pertumbuhan industri sedang/besar di


DAS Konaweha bersifat eksponensial. Hal ini sesuai dengan kecenderungan data
jumlah industri sedang/besar dari tahun 2000 sampai 2009 mengikuti persamaan:

y = 1.9822 e0.1542X (51)


114

dimana y adalah jumlah industri sedang/besar pada waktu t (unit), x adalah tahun
data dimana x=1 untuk tahun 2000, x = 2 untuk tahun 2001 dan seterusnya, dan e
adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818.

Proyeksi kebutuhan air industri tahun 2010-2050 menggunakan hasil


proyeksi jumlah industri kecil (Persamaan 50; y = 2944.1e0.0076X) dan, proyeksi
industri sedang/besar (Persamaan 51; y = 1.9822 e0.1542X), koefisien kebutuhan air
industri kecil rata-rata di DAS Konaweha yakni 0,41 dan industri sedang/besar
adalah 0,73 (Lampiran 16b) serta standar kebutuhan air industri kecil (30 m3 per unit
per hari) dan industri sedang/besar yakni 200 m3 per unit per hari (Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010).

Hasil proyeksi jumlah industri kecil dan industri sedang/besar digunakan


untuk proyeksi kebutuhan air industri tahun 2010-2050 berdasarkan Persamaan 14
(Yindustri= ∑PIj x I x KAI x CIj) menggunakan data proyeksi jumlah industri
(Lampiran 16c), koefisien kebutuhan air industri,(Lampiran 16a) dan standar
kebutuhan air industri. Berdasarkan hal ini maka proyeksi kebutuhan air industri dari
tahun 2010-2050 disajikan pada Lampiran 16c, sedangkan proyeksi kebutuhan air
industri periode lima tahunan disajikan pada Tabel 20.

Tabel 20. Proyeksi Kebutuhan Air Industri Periode 2011-2050 di DAS Konaweha

Periode Kebutuhan Air (juta m3) Peningkatan (juta m3)


2011-2015 15,5 0,7
2016-2020 16,4 0,9
2021-2025 17,4 1,0
2026-2030 18,8 1.3
2031-2035 20,5 1.7
2036-2040 22,7 2.3
2041-2045 25,8 3,1
2046-2050 30,2 4,3

Tabel 20 menunjukkan bahwa kebutuhan air industri di DAS Konaweha


cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Kebutuhan air industri periode 2011-
2015 adalah 15,5 juta m3 dan periode 2021-2025 meningkat menjadi 17,4 juta m3.
115

Selanjutnya kebutuhan air industri periode 2026-2030 adalah 18,8 juta m3,
meningkat menjadi 22,7 juta m3 pada periode 2036-2040 dan 30,2 juta m3 pada
periode 2046-2050. Kebutuhan air industri periode 2036-2040 adalah 22,7 juta m3,
meningkat menjadi 25,8 juta m3 pada periode 2041-2045 dan dan 30,2 juta m3 pada
periode 2046-2050. Peningkatan kebutuhan air industri berkisar antara 0,7 juta m3
pada periode 2011-2015 menjadi 4,3 juta m3 pada periode 2046-2050.

Sebagian besar kebutuhan air industri diperuntukan bagi pemenuhan


kebutuhan air bagi industri kecil. Sebagai gambaran maka total kebutuhan air
industri periode 2016-2020 adalah 16,4 juta m3 dimana dari angka tersebut, maka
sebanyak 15,4 juta m3 merupakan kebutuhan air industri kecil, sedangkan selebihnya
yakni 1,0 juta m3 untuk kebutuhan air industri sedang/besar.

Distribusi kebutuhan air industri bulanan setiap tahun juga dihitung


berdasarkan asumsi yang sama dengan perhitungan distribusi kebutuhan air domestik
bulanan sehingga kebutuhan air industri setiap bulan pada tahun yang sama adalah
sama. Hasil proyeksi kebutuhan air industri bulanan di DAS Konaweha dari tahun
2010 sampai 2050 disajikan pada Lampiran 16d.

Kebutuhan Air Irigasi

Hasil penelitian di tiga wilayah untuk menghitung koefisien kebutuhan air


irigasi menunjukkan bahwa koefisien kebutuhan air irigasi untuk Kabupaten Konawe
adalah 0,62, Kabupaten Konawe Selatan adalah 0,63 dan Kabupaten Kolaka adalah
0,65. Jika koefisien kebutuhan air irigasi ketiga wilayah ini dirata-ratakan, maka
koefisien kebutuhan air irigasi rata-rata DAS Konaweha adalah 0.63 yang dihitung
berdasarkan Persamaan 16 (Ykonsumsi = A x H x Fg x Ft), Persamaan 17 (H = (hot + hb
+ hv + hg)/4), persamaan 18 (Yirigasi = Ykonsumsi + lYkonsumsi) dan Persamaan 19 (Cirigasi
= Yirigasi/Yirigasi Standar). Contoh penentuan koefisien kebutuhan air irigasi disajikan
pada Lampiran 17a.

Luas sawah di DAS Konaweha mengalami peningkatan dari tahun ke tahun


akibat pertambahan kebutuhan beras penduduk di Kabupaten Konawe, Konawe
116

Selatan dan Kolaka. Luas sawah di DAS Konaweha tahun 2000-2009 disajikan pada
Lampiran 17b.

Lampiran 17b menunjukkan bahwa luas sawah di DAS Konaweha tahun


2000 adalah 21.750 hektar, meningkat menjadi 23.855 hektar pada tahun 2005,
sedangkan tahun 2006, 2007, 2008 dan 2009 meningkat menjadi 23.980 hektar,
24.250 hektar, 24.330 hektar dan 24.850 hektar.

Analisis regresi pertumbuhan luas sawah di DAS Konaweha tahun 2000


sampai 2009 menggunakan data Lampiran 17b menunjukkan bahwa pola
pertumbuhan luas sawah bersifat eksponensial (Gambar 29).

25000

24000

y = 21696e 0.0138X
Luas Sawah (ha)

23000 R2 = 0.96

22000

21000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
20000
Ta

Ta

Ta

Ta

Ta

Ta

Ta

Ta

Ta

Ta
hu

hu

hu

hu

hu

hu

hu

hu

hu

hu
n

n
20

20

20

20

20

20

20

20

20

20
00

01

02

03

04

05

06

07

08

09

Gambar 29. Pola Pertumbuhan Luas Sawah di DAS Konaweha Tahun 2000-2009
(Diolah dari Lampiran 17b)

Gambar 29 menunjukkan bahwa pola pertumbuhan luas sawah di DAS


Konaweha bersifat eksponensial dan meningkat dari waktu ke waktu mengikuti
persamaan:

y = 21696 e0.0138X (52)

dimana y adalah luas sawah pada waktu t (hektar), x adalah tahun data dimana x=1
untuk tahun 2000, x = 2 untuk tahun 2001 dan seterusnya, dan e adalah bilangan
logaritma natural yang bernilai 2,7182818.
117

Proyeksi luas sawah di DAS Konaweha tahun 2010-2050 menggunakan


Persamaan 52 (y=21696e0.0138X) disajikan pada Lampiran 17c. Proyeksi kebutuhan
air irigasi tahun 2010-2050 menggunakan hasil proyeksi luas sawah (Lampiran 17c),
koefisien kebutuhan air irigasi rata-rata yakni 0,633 (hasil survei 4 wilayah,
Lampiran 17a untuk Kabupaten Kolaka) dan standar kebutuhan air irigasi rata-rata
(Puslitbang Pengairan, 1999) yakni 1,2 liter/detik/hektar. Proyeksi kebutuhan air
irigasi tahun 2010-2050 di DAS Konaweha disajikan pada Lampiran 17c, sedangkan
proyeksi kebutuhan air irigasi periode lima tahunan disajikan pada Tabel 21.

Tabel 21. Proyeksi Kebutuhan Air Irigasi Periode 2011-2050 di DAS Konaweha

Periode Kebutuhan Air (juta m3) Peningkatan (juta m3)


2011-2015 315,6 18,6
2016-2020 335,3 19,7
2021-2025 356,3 21,0
2026-2030 378,6 22,3
2031-2035 402,2 23,7
2036-2040 427,4 25,1
2041-2045 454,1 26,7
2046-2050 482,5 28,4

Tabel 21 menunjukkan bahwa kebutuhan air irigasi di DAS Konaweha


periode 2011-2015 adalah 315,6 juta m3, meningkat menjadi 335,3 juta m3 pada
periode 2016-2020. Selanjutnya kebutuhan air periode 2021-2025 meningkat
menjadi 356,3 juta m3 yang mengalami peningkatan pada periode 2026-2030 yakni
378,6 juta m3. Selanjutnya kebutuhan air irigasi tahun 2031-2035 adalah 402,2 juta
m3 meningkat menjadi 482,5 juta m3 pada periode 2046-2050.

Berdasarkan hasil penelitian lapangan maka diketahui bahwa kebiasaan


tanam setiap tahun di DAS Konaweha dimulai pada bulan maret sampai juni,
kemudian juli dan agustus lahan sawah diberokan, kemudian september sampai
desember merupakan musim penanaman kedua. Berdasarkan kebiasaan ini, maka
distribusi kebutuhan air irigasi bulanan dapat dihitung dan hasilnya disajikan pada
Lampiran 17d.
118

Kebutuhan Air yang Menggelontor

Kebutuhan air yang menggelontor merupakan debit sungai yang harus tetap
tersedia setiap saat adalah melalui tinggi muka air yang melewati penampang basah
bendungan. Tinggi muka air yang melewati penampang basah dipertahankan hingga
batas minimal yakni 10 cm dengan jalan mengatur pintu air yang masuk ke saluran
irigasi.

Jika tinggi muka air yang melewati penampang basah bendungan 10 cm maka
debit sungai adalah 7,9 m3/detik. Jika dikonversi menjadi satuan volume, maka
volume air yang harus tetap mengalir di sungai rata-rata adalah 20.5 juta m3.
Volume air tersebut yang harus tetap menggelontor di sungai agar fungsi sungai
dapat terjaga. Jika dikonversi menjadi volume air selama satu tahun, maka total
volume air yang harus tersedia adalah 246 juta m3 per tahun. Jumlah air tersebut
diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan air untuk menjaga fungsi ekonomi dan
ekologi Sungai Konaweha serta kebutuhan lainnya tahun 2009.

Air yang menggelontor di Sungai Konaweha juga mensuplai selain kebutuhan


air untuk menjaga fungsi ekologi dan ekonomi (transportasi sungai), juga digunakan
untuk kebutuhan lain di Kota Kendari yakni kebutuhan air fasilitas umum seperti
rumah ibadah, perkantoran, pembersihan jalan, pasar, dan pemadam kebakaran.
Oleh karena itu maka jumlah air yang menggelontor tersebut juga dipengaruhi oleh
dinamika peningkatan kebutuhan air akibat pertumbuhan penduduk dan peningkatan
aktivitas ekonomi, sehingga kebutuhan air yang menggelontor bersifat dinamis dari
waktu ke waktu.

Proporsi jumlah air yang dialokasikan untuk kebutuhan lain (non domestik
dan non industri) di Kota Kendari adalah sekitar 24 % dari total alokasi air setiap
tahun (PDAM Kota Kendari, 2010). Peningkatan jumlah alokasi kebutuhan lain juga
mengikuti kecenderungan peningkatan kebutuhan air domestik dan industri di Kota
Kendari. Perhitungan alokasi kebutuhan lain menggunakan Persamaan 20 (DMOt =
0,32(Dd+Di)t, sedangkan perhitungan kebutuhan air menggelontor menggunakan
Persamaan 21 (DMt = 246 + DMOt).
119

Kebutuhan air yang menggelontor merupakan jumlah dari kebutuhan aliran


air untuk memelihara fungsi lingkungan dan fungsi ekonomi sungai yakni 246 juta
m3 per tahun. Berdasarkan kedua persamaan tersebut maka proyeksi kebutuhan air
yang menggelontor dari tahun 2010-2050 disajikan pada Lampiran 18a. Sedangkan
proyeksi kebutuhan air menggelontor periode lima tahunan disajikan pada Tabel 22.

Tabel 22. Proyeksi Kebutuhan Air Menggelontor Periode 2011-2050 di DAS


Konaweha
Periode Kebutuhan Air (juta m3) Kebutuhan Lain (juta m3)
2011-2015 255,2 9,2
2016-2020 255,7 9,7
2021-2025 256,3 10,3
2026-2030 257,0 11,0
2031-2035 257,9 11,9
2036-2040 259,0 13,0
2041-2045 260,3 14,3
2046-2050 262,1 16,1

Tabel 22 menunjukkan bahwa kebutuhan air yang harus tetap menggelontor


di sungai periode 2011-2015 adalah 255,2 juta m3, meningkat menjadi 255,7 juta m3
pada periode 2016-2020. Selanjutnya kebutuhan air periode 2021-2025 meningkat
menjadi 256,3 juta m3 yang mengalami peningkatan pada periode 2026-2030 yakni
257,0 juta m3. Selanjutnya kebutuhan air yang harus menggelontor periode 2031-
2035 adalah 257,9 juta m3 meningkat menjadi 262,1 juta m3 pada periode 2046-2050.

Distribusi bulanan kebutuhan air yang harus tetap menggelontor setiap tahun
juga dihitung berdasarkan asumsi yang sama dengan perhitungan distribusi
kebutuhan air domestik dan kebutuhan air industri bulanan sehingga setiap bulan
pada tahun yang sama maka kebutuhan air yang menggelontor sama besarnya.
Distribusi kebutuhan air yang menggelontor di DAS Konaweha dari tahun 2010
sampai 2050 disajikan pada Lampiran 18b.

Kebutuhan Air Total

Total Kebutuhan air di DAS Konaweha diperoleh dari penjumlahan seluruh


kebutuhan air yang meliputi kebutuhan air domestik, kebutuhan air industri dan
120

kebutuhan air irigasi yang dihitung dari hasil proyeksi kebutuhan air tahun 2010-
2050 untuk masing-masing sektor ditambah dengan volume air yang harus tetap
menggelontor agar fungsi ekologi dan fungsi ekonomi sungai dapat terjaga. Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa kebutuhan air total meningkat dari tahun ke tahun.
Kebutuhan air total di DAS Konaweha dari tahun 2010-2050 merupakan
penjumlahan dari kebutuhan air domestik (Lampiran 15c), kebutuhan air industri
(Lampiran 16c), kebutuhan air irigasi (Lampiran 17c) dan kebutuhan air yang
menggelontor (Lampiran 18a) dan hasilnya disajikan pada Lampiran 19a, sedangkan
kebutuhan air total periode 2011-2050 disajikan pada Tabel 23.

Tabel 23. Proyeksi Kebutuhan Air Total Periode 2011-2050 di DAS Konaweha
Periode Kebutuhan Air Total (juta m3) Peningkatan (juta m3)
2011-2015 599,4 20,6
2016-2020 621,4 22,0
2021-2025 644,9 23,5
2026-2030 670,1 25,2
2031-2035 697,4 27,2
2036-2040 726,9 29,5
2041-2045 759,2 32,3
2046-2050 794,8 35,7

Tabel 23 menunjukkan bahwa kebutuhan air total di DAS Konaweha periode


2011-2015 adalah 599,4 juta m3 yang bersumber dari kebutuhan air domestik sebesar
13,1 juta m3, industri sebesar 15,5 juta m3, irigasi sebesar 315,6 juta m3 dan air yang
harus menggelontor sebesar 255,2 juta m3. Angka-angka tersebut menunjukkan
bahwa kebutuhan air total mengalami peningkatan sehingga pada periode 2046-2050
kebutuhan air total menjadi 794,8 juta m3 yang merupakan kontribusi dari sektor
domestik sebesar 20,1 juta m3, sektor industri sebesar 30,2 juta m3, dan irigasi
sebesar 482,5 juta m3 dan air yang menggelontor di sungai sebesar 262,1 juta m3.

Peningkatan kebutuhan air total di DAS Konaweha disebabkan oleh


peningkatan kebutuhan air sektor domestik, industri dan irigasi. Kontribusi masing-
masing sektor terhadap peningkatan kebutuhan air total dipengaruhi oleh
pertambahan jumlah penduduk, industri dan pertambahan luas sawah di DAS
121

Konaweha. Masing-masing sektor memberikan kontribusi berbeda terhadap


pertambahan jumlah kebutuhan air total.

Distribusi bulanan kebutuhan air total di DAS Konaweha menunjukkan


bahwa kebutuhan air selama 8 bulan mencapai angka tertinggi yakni maret-juni dan
september-desember. Distribusi bulanan kebutuhan air total di DAS Konaweha
disajikan pada Lampiran 19b.

Lampiran 19b menunjukkan bahwa kebutuhan air total tertinggi dicapai pada
periode Bulan Maret-Juni dan periode Bulan September-Desember karena pada
bulan-bulan tersebut merupakan waktu untuk alokasi kebutuhan air irigasi.
Sebaliknya kebutuhan air total bulan Januari, Pebruari, Juli dan Agustus mencapai
angka terendah karena pada bulan-bulan tersebut alokasi air hanya untuk memenuhi
kebutuhan domestik dan industri.

Distribusi kebutuhan air total di DAS Konaweha dikonversi ke dalam debit


dengan satuan m3/detik untuk tujuan penyeragaman dengan satuan distribusi debit
sungai atau ketersediaan air. Hasil konversi distribusi kebutuhan air total di DAS
Konaweha tahun 2010-2050 disajikan pada Lampiran 19c.

Lampiran 19c merupakan distribusi kebutuhan air total setiap bulan di DAS
Konaweha dari tahun 2010-2050. Sebagai contoh maka distribusi kebutuhan air total
tahun 2025 adalah sebagai berikut: pada Bulan Januari, Pebruari, Juli dan Agustus
masing-masing 8,98 m3/detik. Kebutuhan air untuk Bulan Maret, Mei, Oktober dan
Desember adalah 25,61 m3/detik.

Berdasarkan hasil analisis kebutuhan air di DAS Konaweha baik kebutuhan


air bulanan maupun tahunan untuk sektor domestik, industri dan irigasi, maka dapat
disimpulkan bahwa kebutuhan air di wilayah ini cukup besar sehingga suatu saat
suplai air tidak akan mampu lagi memenuhi kebutuhan air ketiga sektor tersebut.
Peningkatan kebutuhan air ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan
peningkatan taraf hidup masyarakat (Abaje, Ati and Ishaya, 2009). Lebih lanjut
Fares (2003) menjelaskan bahwa peningkatan populasi penduduk yang dibarengi
122

dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat akan menyebabkan kebutuhan air akan
meningkat dengan cepat pula.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kebutuhan air di DAS


Konaweha dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk, industri dan
pertambahan luas sawah. Faktor lain yang mempengaruhi tingginya kebutuhan air
adalah faktor rendahnya efisiensi alokasi sumberdaya air. Kehilangan air yang
dialokasikan untuk kebutuhan domestik dan industri di DAS Konaweha berkisar
antara 10-15 % (PDAM Kota Kendari, 2010), sedangkan kehilangan air irigasi
berkisar antara 10-20 % (Sub Dinas PU Pengairan Provinsi Sulawesi Tenggara,
2010).

Peningkatan efisiensi alokasi sumberdaya air merupakan salah satu solusi


untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air sektor domestik, industri dan irigasi di
wilayah tersebut. Kenyataan ini sesuai dengan pendapat Dziegielewski (2003) bahwa
pengelolaan kebutuhan air dapat dilakukan melalui peningkatan efisiensi penggunaan
air dan peningkatan efisiensi alokasi air melalui penyadaran konsumen akan
pentingnya penghematan penggunaan air dan perbaikan fasilitas sumberdaya air oleh
pihak-pihak terkait. Selanjutnya Seckler et al (1998) mengemukakan bahwa sekitar
50 % peningkatan kebutuhan air hingga tahun 2025 tercermin dari peningkatan
efektivitas irigasi. McWhinney (2005) mengembangkan model pengelolaan
ketersediaan dan kebutuhan air (water supply demand management) yang dikenal
dengan WELS (water efficiency labelling and standards) dengan titik berat pada
peningkatan efisiensi penggunaan dan alokasi air. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
strategi dan kebijakan pengelolaan ketersediaan dan kebutuhan air (Manoli, et al.,
2005; Biswas and Tortajada, 2010) adalah sebagai berikut : (1) meningkatkan suplai
air bersih melalui pemanfaatan secara optinal potensi sumberdaya air yang ada, (2)
pengelolaan kebutuhan air melalui peningkatan efisiensi pemanfaatan air, (3)
pengembangan bidang sosial melalui perbaikan kebijakan pengelolaan air, dan (4)
kebijakan institusi pengelolaan air melalui penetapan harga air, biaya pemeliharaan
dan sistem insentif.
123

Lebih lanjut dijelaskan bahwa analisis distribusi bulanan kebutuhan air total
di DAS Konaweha (Lampiran 19c) difokuskan pada kebutuhan air musim kemarau.
Hal ini disebabkan titik kritis pemenuhan kebutuhan air adalah debit minimum yang
terjadi pada musim kemarau. Kebutuhan air total musim kemarau di DAS
Konaweha disajikan pada Tabel 24.

Tabel 24. Proyeksi Kebutuhan Air Total Musim Kemarau Periode 2011-2050 di
DAS Konaweha
Periode Kebutuhan Air Total Musim Kemarau (m3/detik)
2011-2015 24,0
2016-2020 25,0
2021-2025 26,0
2026-2030 27,2
2031-2035 28,4
2036-2040 29,7
2041-2045 31,1
2046-2050 32,7

Tabel 24 menunjukkan bahwa kebutuhan air total musim kemarau periode


2011-2015 di DAS Konaweha adalah 24,0 m3/detik, akan meningkat menjadi 27,2
m3/detik pada periode 2026-2030. Kebutuhan air total musim kemarau periode
2036-2040 adalah 29,7 m3/detik akan meningkat menjadi 32,7 m3/detik pada periode
2046-2050.

Angka-angka tersebut di atas memberikan gambaran tentang jumlah air


minimal yang harus terpenuhi. Pemenuhan kebutuhan air tersebut bersumber dari
debit minimum yang merupakan gambaran ketersediaan air musim kemarau
sebagaimana disajikan pada Gambar 25 terdahulu.

Proporsi Luas Hutan Minimal untuk Memenuhi Kebutuhan Air

Proporsi luas di dalam suatu DAS sangat tergantung dari jumlah air yang
harus dipasok untuk memenuhi kebutuhan air di DAS tersebut khususnya kebutuhan
air pada musim kemarau. Jumlah kebutuhan air di dalam suatu DAS ditentukan oleh
jenis dan jumlah sektor yang memanfaatkan air.
124

Proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan adalah luas hutan yang
dapat menghasilkan debit minimum lebih besar atau sama dengan kebutuhan air.
Berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan bahwa proporsi luas hutan minimal
yang harus dipertahankan merupakan nilai relatif yang tergantung dari berapa jumlah
kebutuhan air yang harus terpenuhi oleh debit minimum yang dihasilkan akibat
mempertahankan luas hutan dengan luas tertentu.

Hasil analisis ketersediaan air musim kemarau menggunakan Persamaan 46


(Qmin = 13 + 0.7 H (%) + 0.6 K (%) - 3.4 Kc (%) - 3.7 Sb (%) dari periode 2011-2050
(Lampiran 14 dan Gambar 25) menunjukkan bahwa ketersediaan air musim kemarau
periode 2011-2015 adalah 37,6 m3/detik, akan menurun menjadi 26,2 m3/detik pada
periode 2026-2030. Nilai ketersediaan air tersebut akan menurun terus hingga
mencapai angka 20,0 m3/detik pada periode 2036-2040 dan 14,7 m3/detik pada
periode 2046-2050.

Hasil analisis distribusi kebutuhan air musim kemarau menggunakan


Persamaan 22 (Ydi = Ydtahunan/n), Persamaan 23 (Yij = Yitahunan/n), dan Persamaan 24
(Ysk = Ystahunan/2m) disajikan pada Lampiran 19a, Lampiran 19c dan Tabel 24
menunjukkan bahwa rata-rata kebutuhan air musim kemarau periode 2011-2015
adalah 24,0 m3/detik, akan meningkat menjadi 27,2 m3/detik pada periode 2026-
2030. Pada periode 2036-2040 maka kebutuhan air meningkat lagi menjadi 29,7
m3/detik dan 32,7 m3/detik pada periode 2046-2050.

Analisis neraca ketersediaan dan kebutuhan air menggunakan data proyeksi


ketersediaan air (debit minimum) (Gambar 25) dan data proyeksi kebutuhan air
musim kemarau (Tabel 24) menunjukkan bahwa pada periode 2026-2030 akan
terjadi defisit air di DAS Konaweha. Neraca ketersediaan dan kebutuhan air di DAS
Konaweha periode 2011-2050 disajikan pada Tabel 25.
125

Tabel 25. Neraca Ketersediaan dan Kebutuhan Air di DAS Konaweha Periode
2011-2050
Periode Ketersediaan Air Kebutuhan Air S-D Status
(S) (m3/detik) (D) (m3/detik) 3
(m /detik)
2011-2015 37,6 24,0 13,7 Surplus
2016-2020 33,5 25,0 8,6 Surplus
2021-2025 29,7 26,0 3,7 Surplus
2026-2030 26,2 27,2 -0,9 Defisit
2031-2035 23,0 28,4 -5,4 Defisit
2036-2040 20,0 29,7 -9,6 Defisit
2041-2045 17,3 31,1 -13,8 Defisit
2046-2050 14,7 32,7 -17,9 Defisit

Tabel 25 menunjukkan bahwa ketersediaan air (S) pada periode 2011-2025


lebih besar dari kebutuhan air (D) atau dengan kata lain status neraca air masih
surplus. Nilai surplus pada air pada periode tersebut masing-masing sebesar 13,7
m3/detik (periode 2011-2015), 8,6 m3/detik (periode 2016-2020) dan 3,7 m3/detik
(periode 2021-2025). Pada periode 2026-2050 maka ketersediaan air tidak
mencukupi kebutuhan air atau dengan kata lain terjadi defisit air. Nilai defisit air
pada periode tersebut adalah 0,9 m3/detik (periode 2026-2030), 5,4 m3/detik (periode
2031-2035), 9,6 m3/detik (periode 2036-2040), 13,8 m3/detik (periode 2041-2045)
dan 17,9 m3/detik (periode 2046-2050).

Tabel 25 memberikan gambaran bahwa neraca air di DAS Konaweha akan


terjadi defisit pada periode 2026-2030. Periode inilah yang menjadi titik kritis dalam
menentukan penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa kurva ketersediaan air atau debit minimum
(Gambar 25), kebutuhan air musim kemarau (Tabel 24), neraca ketersediaan dan
kebutuhan air (Tabel 25) dan proyeksi jumlah penduduk periode 2011-2050
digunakan untuk menentukan proporsi luas hutan minimal yang dapat menjamin
ketersediaan sumberdaya air di DAS Konaweha(Gambar 30).
126

50 50

40 40

Kebutuhan Air (M3/detik)


Ketersediaan Air (m3/detik) E
D
30 30
B
A

20 20

10 10

F C
0 0
2011-2015 2016-2020 2021-2025 2026-2030 2031-2035 2036-2040 2041-2045 2046-2050
Ketersediaan (m3/detik) 37.6 33.5 29.7 26.2 23.0 20.0 17.3 14.7
Kebutuhan Air (m3/detik) 24.0 25.0 26.0 27.2 28.4 29.7 31.1 32.7
Luas Hutan (%) 43.2 39.1 35.4 32.0 29.0 26.2 23.7 21.5
Jumlah Penduduk (x 100000 jiwa) 5.1 5.5 5.8 6.2 6.7 7.0 7.4 7.9

Periode (5 Tahunan), Luas Hutan (% Luas DAS Konaweha Hulu) dan Jumlah Penduduk (x 100000 jiwa)

Gambar 30. Kurva Ketersediaan dan Kebutuhan Air Periode 2011-2050 di DAS
Konaweha

Gambar 30 menunjukkan bahwa titik perpotongan antara kurva ketersediaan


dan kebutuhan air terjadi pada periode 2026-2030. Pada kondisi ini maka terjadi titik
keseimbangan antara ketersediaan air (S) dan kebutuhan air (D) atau ketersediaan air
sama dengan kebutuhan air.

Apabila titik keseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air (titik B)


pada Gambar 30 ditarik garis tegak lurus dari sumbu kebutuhan air (garis AB) dan
dari titik B ditarik garis tegak lurus sumbu luas hutan dan jumlah penduduk (garis
BC), maka garis tersebut akan memotong sumbu luas hutan pada titik C dengan nilai
sekitar 32,5 % (interpolasi antara 32,0-35,4). Pada kondisi ini maka luas hutan 32,5
% akan mampu menghasilkan air untuk memenuhi kebutuhan sektor domestik,
industri dan irigasi bagi penduduk sekitar 620.000 jiwa.

Jika proporsi luas hutan yang dipertahankan minimal 35,0 % dari luas DAS
Konaweha Hulu, maka diperkirakan debit minimum yang dihasilkan hanya akan
mampu memenuhi kebutuhan air sekitar 700.000 jiwa penduduk pada periode 2036-
127

2040 sehingga untuk pemenuhan kebutuhan air periode 2041-2045 dan periode
2046-2050 masih perlu menambah proporsi luas hutan.

Jika ditarik garis tegak lurus dari sumbu kebutuhan air yang melalui titik
kebutuhan air periode 2046-2050 dan memotong garis ketersediaan air di titik E
(garis DE), kemudian dari titik E ditarik garis tegak lurus yang memotong sumbu
luas hutan dan jumlah penduduk di titik F (garis EF), maka garis tersebut akan
memotong sumbu luas hutan pada angka sekitar 37,5 % (interpolasi antara 35,4-
39,1). Ini berarti bahwa luas hutan minimal yang harus dipertahankan untuk
menghasilkan air yang dapat memenuhi kebutuhan air hingga periode 2046-2050
adalah 37,5 % dari luas DAS Konaweha Hulu.

Dari uraian-uraian tersebut di atas maka disimpulkan bahwa proporsi luas


hutan minimal yang harus dipertahankan guna memenuhi kebutuhan air di DAS
Konaweha adalah 32,5-37,5 % dari luas DAS Konaweha Hulu. Proporsi luas hutan
tersebut akan menghasilkan debit minimum yang mampu memenuhi kebutuhan air
periode 2026-2050.

Nilai tersebut di atas cukup rasional untuk kondisi saat ini dimana kebutuhan
air semakin meningkat dari waktu ke waktu. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan yang mengharuskan untuk mempertahankan minimal 30 % luas
DAS sebagai kawasan hutan juga dianggap relevan dengan proporsi luas hutan
minimal yang harus dipertahankan di DAS Konaweha. Namun demikian angka
32,5-37,5 % tersebut bukan merupakan angka absolut melainkan angka relatif yang
besarannya masih perlu dikaji lebih mendalam dari berbagai perspektif.

Valuasi Ekonomi Air dan Proporsi Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS

Fakta yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa tidak ada alokasi pembiayaan
pemeliharaan fungsi DAS bagi kabupaten/kota yang memperoleh manfaat ekonomi
dari DAS Konaweha. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tidak adanya regulasi
yang mengatur mekanisme dan tata cara alokasi pembiayaan pemeliharaan fungsi
DAS, disamping itu pemerintah daerah yang wilayahnya masuk ke dalam DAS
128

Konaweha belum mengetahui proporsi yang harus dibayarkan sehubungan dengan


air yang digunakan.

Nilai ekonomi air yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan industri di


DAS Konaweha mencapai angka yang tertinggi jika dibandingkan dengan nilai
ekonomi air yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan irigasi.
Perhitungan nilai ekonomi air berdasarkan sektor menggunakan Persamaan 25 (TEA
= (TEAd + TEAi + TEAs)) dan Persamaan 26 (TEA = (DdPd + DiPi + DsPs). Data
yang digunakan adalah data kebutuhan air domestik (Lampiran 15c), kebutuhan air
industri (Lampiran 16c), kebutuhan air irigasi (Lampiran 17c), dan harga satuan air
untuk kebutuhan domestik dan industri sesuai standar PDAM (Rp. 3.755 per m3) dan
harga satuan air irigasi sesuai dengan nilai rata-rata kesediaan untuk membayar (Rp.
15,32 per m3). Hasil perhitungan nilai ekonomi air berdasarkan sektor di DAS
Konaweha dari tahun 2010-2050 disajikan pada Lampiran 20. Proyeksi nilai
ekonomi air menurut sektor periode 2011-2050 disajikan pada Tabel 26.

Tabel 26. Nilai Ekonomi Air berdasarkan Sektor di DAS Konaweha Periode 2011-
2050
Periode Domestik Industri Irigasi Total (Milyar
(Milyar (Milyar (Milyar Rupiah)
Rupiah) Rupiah) Rupiah)
2011-2015 49,25 58,34 4,84 112,42
2016-2020 52,35 61,59 5,14 119,07
2021-2025 55,64 65,52 5,46 126,62
2026-2030 59,14 70,45 5,80 135,39
2031-2035 62,86 76,83 6,16 145,86
2036-2040 66,82 85,34 6,55 158,71
2041-2045 71,03 96,99 6,96 174,97
2046-2050 75,50 113,26 7,39 196,15

Tabel 26 menunjukkan bahwa total nilai ekonomi air di DAS Konaweha


periode 2011-2015 adalah 112,42 milyar rupiah yang merupakan jumlah dari nilai
ekonomi air sektor domestik sebesar 49,25 milyar rupiah, industri sebesar 58,34
milyar rupiah dan irigasi sebesar 4,84 milyar rupiah. Selanjutnya periode 2021-2025
meningkat menjadi 126,62 milyar rupiah yang merupakan jumlah dari sektor
129

domestik sebesar 55,64 milyar rupiah, 65,52 milyar rupiah dari sektor industri dan
irigasi sebesar 5,46 milyar rupiah. Nilai ekonomi air periode 2041-2045 adalah
174,97 milyar rupiah yang merupakan nilai kumulatif sektor domestik, industri dan
irigasi dengan nilai masing-masing 71,03 milyar rupiah, 96,99 milyar rupiah dan
6,96 milyar rupiah. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa total nilai ekonomi
air untuk kebutuhan industri mencapai proporsi tertinggi yakni 63,4 %, sedangkan
kebutuhan air domestik dan irigasi masing-masing sebesar 32,5 % dan 4,1 %.

Angka-angka tersebut di atas menunjukkan bahwa nilai ekonomi air yang


dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan irigasi di DAS Konaweha periode 2011-
2015 adalah 4,84 milyar rupiah. Angka tersebut hampir sama dengan hasil
perhitungan nilai ekonomi air irigasi di DAS Way Betung tahun 2009 yakni 4,24
milyar rupiah. Sedangkan nilai ekonomi air untuk kebutuhan domestik di DAS
Konaweha adalah 49,25 milyar rupiah pada periode 2011-2015, sedangkan nilai
ekonomi untuk kebutuhan domestik (PDAM) Kota Bandar Lampung yang bersumber
dari DAS Way Betung tahun 2009 adalah 38,06 milyar rupiah. Nilai ekonomi air
untuk kebutuhan air industri di DAS Konaweha periode 2011-2015 adalah 58,34
milyar rupiah. Nilai tersebut hampir sama dengan nilai ekonomi air minum dalam
kemasan di DAS Way Betung tahun 2009 yakni 55,43 milyar rupiah (Yuwono,
2011). Angka-angka tersebut masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan
hasil penilaian manfaat hidrologis Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa
Barat untuk nilai ekonomi air rumah tangga menggunakan metode biaya perjalanan
(travel cost method) yakni 4,34 milyar rupiah per tahun (Darusman, 1993). Hasil
penilaian nilai manfaat hidrologis Gunung Ceremai untuk sektor rumah tangga
menggunakan metode biaya pengadaan (demand curve) yakni 3,34 milyar rupiah per
tahun (Ramdan, 2006). Perbedaan tersebut di atas diduga disebabkan oleh perbedaan
metode penilaian dan cakupan wilayah penilaian.

Proporsi nilai ekonomi air masing-masing sektor menunjukkan perbedaan


yang cukup besar dimana kebutuhan air industri mencapai angka tertinggi, kemudian
kebutuhan air domestik dan terendah adalah nilai ekonomi air irigasi. Fakta ini
bertentangan dengan jumlah kebutuhan air dimana kebutuhan air irigasi mencapai
130

angka tertinggi. Hal ini disebabkan karena penilaian harga air menggunakan
pendekatan dan satuan yang berbeda. Untuk kebutuhan air domestik dan industri
menggunakan pendekatan harga pasar standar PDAM dengan harga satuan Rp.3.755
per m3, sedangkan kebutuhan air irigasi menggunakan pendekatan kemauan untuk
membayar (WTP) dengan harga satuan air Rp. 15,32 per m3. Nilai WTP bagi
masyarakat yang memanfaatkan air dari DAS Konaweha sebagai sumber air irigasi
dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat. Hal ini sejalan dengan Adenike
dan Titus (2009) bahwa nilai WTP bagi masyarakat pengguna air berhubungan erat
dengan tingkat pendapatan masyarakat.

Perhitungan nilai ekonomi air di DAS Konaweha menurut wilayah


kabupaten/kota dilakukan menggunakan Persamaan 27 (TEAm=DdmPd+DimPi+DsmPs).
Data yang digunakan adalah proporsi penduduk masing-masing kabupaten/kota,
proporsi industri kecil dan industri sedang/besar masing-masing kabupaten/kota dan
proporsi luas sawah masing-masing kabupaten/kota (PBS Provinsi Sulawesi
Tenggara, 2010, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara,
2010 dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010).
Selain itu maka digunakan data kebutuhan air masing-masing sektor (Lampiran 15c,
Lampiran 16c dan Lampiran 17c). Proyeksi nilai ekonomi air menurut wilayah dari
tahun 2010-2050 disajikan pada Lampiran 21, sedangkan nilai ekonomi air rata-rata
periode 2011-2015 disajikan pada Tabel 27.

Tabel 27. Proyeksi Nilai Ekonomi Air di DAS Konaweha Menurut Wilayah Periode
2011-2050
Periode Konawe Konsel Kolaka Kendari Total
(Milyar Rp) (Milyar Rp) (Milyar Rp) (Milyar Rp) (Milyar Rp)
2011-2015 32,05 15,38 23,65 41,34 112,42
2016-2020 33,96 16,26 25,02 43,83 119,07
2021-2025 36,11 17,30 26,61 46,60 126,62
2026-2030 38,58 18,54 28,52 49,75 135,39
2031-2035 41,50 20,09 30,88 53,39 145,86
2036-2040 45,03 22,06 33,90 57,73 158,71
2041-2045 49,44 24,66 37,86 63,02 174,97
2046-2050 55,10 28,17 43,22 69,67 196,15
131

Tabel 27 menunjukkan bahwa nilai ekonomi air periode 2011-2015 di DAS


Konaweha adalah 112,42 milyar rupiah yang terdiri dari 41,34 milyar rupiah untuk
Kota Kendari, sedangkan Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kolaka masing-
masing sebesar 32,05 milyar rupiah, 15,38 milyar rupiah dan 23,65 milyar rupiah.
Pada periode 2021-2025 maka nilai ekonomi air di wilayah ini adalah 126,62 milyar
rupiah dimana Kota Kendari memperoleh nilai 46,60 milyar rupiah, Kabupaten
Konawe, Konawe Selatan dan Kabupaten Kolaka masing-masing sebesar 36,11
milyar rupiah, 17,30 milyar rupiah dan 26,61 milyar rupiah. Selanjutnya periode
2046-2050 adalah 196,15 milyar rupiah yang terdiri dari masing-masing 69,67
milyar rupiah (Kota Kendari), 55,10 milyar rupiah (Kabupaten Konawe), 28,17
milyar rupiah (Konawe Selatan) dan 43,22 milyar rupiah (Kolaka).

Nilai ekonomi air periode 2011-2015 adalah 112,42 milyar rupiah, sedangkan
periode 2016-2020 adalah 119,07 milyar rupiah. Nilai-nilai tersebut hampir sama
dengan total nilai ekonomi air DAS Way Betung tahun 2009 yakni sebesar 101,04
milyar rupiah yang merupakan kontribusi dari PDAM sebesar 38,06 milyar rupiah,
wisata sebesar 5,25 milyar rupiah, air minum dalam kemasan (AMDK) sebesar 55,43
milyar rupiah, rumah tangga hulu sebesar 2,89 milyar rupiah dan sektor irigasi
sebesar 4,24 milyar rupiah (Yuwono, 2011). Perbedaan nilai tersebut diduga karena
perbedaan komponen yang dinilai. Nilai ekonomi air di DAS Konaweha hanya
menilai tiga komponen yakni domestik, industri dan irigasi, sedangkan nilai ekonomi
air di DAS Way Betung memperhitungkan nilai ekonomi air dari sektor wisata dan
air minum dalam kemasan. Selain itu pemanfaatan air di DAS Konaweha sebagian
besar untuk memenuhi kebutuhan irigasi, sementara harga satuan air irigasi relatif
rendah akibat rendahnya nilai kemauan untuk membayar air yang digunakan untuk
irigasi yakni hanya Rp. 15,32 per m3. Disamping itu perbedaan nilai ekonomi juga
diduga akibat perbedaan metade penilaian dan cakupan wilayah yang dinilai.

Jika memperhatikan angka-angka tersebut di atas maka nilai manfaat


ekonomi air untuk kebutuhan domestik, industri dan irigasi di DAS Konaweha
menurut kabupaten/kota, maka Kota Kendari mencapai proporsi tertinggi, kemudian
Kabupaten Konawe, Kolaka dan Konawe Selatan.
132

Analisis proporsi nilai ekonomi air masing-masing kabupaten/kota dihitung


menggunakan Persamaan 28 (PBm= TEAm/TEA), data proyeksi nilai ekonomi air
menurut sektor (Lampiran 20) dan data proyeksi nilai ekonomi air menurut wilayah
(Lampiran 21). Proyeksi proporsi nilai ekonomi air masing-masing kabupaten/kota
tahun 2010-2050 di DAS Konaweha disajikan pada Lampiran 22.

Berdasarkan Lampiran 22 maka diketahui bahwa sekitar 37 % manfaat


ekonomi air di DAS Konaweha diperoleh Kota Kendari, 28 % Kabupaten Konawe,
21 % Kabupaten Kolaka dan 14 % Kabupaten Konawe Selatan. Tingginya proporsi
manfaat ekonomi yang diterima Kota Kendari disebabkan karena tingginya proporsi
penduduk yang memanfaatkan air yakni sekitar 52,5 % dari total penduduk yang
memanfaatkan air di DAS Konaweha, sementara proporsi penduduk Kabupaten
Konawe hanya sekitar 28,7 %, Kabupaten Kolaka 11,7 % dan Kabupaten Konawe
Selatan hanya sekitar 7,1 %. Selain itu proporsi jumlah industri cukup tinggi yakni
72,7 % untuk industri sedang/besar dan 19,1 % untuk industri kecil, sementara itu
proporsi luas sawah hanya sekitar 1,6 %. Proporsi manfaat ekonomi air untuk
kebutuhan domestik, industri dan irigasi untuk Kabupaten Konawe juga cukup
tinggi. Hal ini disebabkan karena wilayah ini merupakan pusat pengembangan
tanaman padi sawah di Sulawesi Tenggara.

Prinsip penentuan proporsi tanggung jawab pembiayaan pemeliharaan fungsi


DAS bagi kabupaten/kota adalah PES (payment of environmental services) yakni
siapa saja yang memanfaatkan jasa lingkungan diwajibkan membayar. Perhitungan
proporsi tanggung jawab tersebut menggunakan Persamaan 29 (Bmt= 0,1 TEAxPBm).
Berdasarkan hal tersebut maka proporsi biaya yang menjadi tanggung jawab Kota
Kendari adalah 37 % sebagaimana proporsi manfaat ekonomi yang diperoleh dari
penggunaan air yang bersumber dari DAS Konaweha, sedangkan Kabupaten
Konawe sebesar 28 %, sementara Kabupaten Kolaka dan Konawe Selatan masing-
masing sebesar 21 % dan 14 % dari total biaya pemeliharaan fungsi DAS Konaweha
(Lampiran 23 dan Gambar 31).
133

120 0

110
10
Nilai Ekonomi Air dan Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS (milyar Rp)

100
20

Proporsi Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS (%)


90
30
80
Nilai Ekonomi Air (milyar Rp)
Proporsi Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS (%) 40
70
Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS (milyar Rp)
60 50

50
60

40
70
30
80
20

90
10

0 100
Konawe Konsel Kolaka Kendari

Gambar 31. Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS Kabupaten/Kota di DAS Konaweha


(10 % Nilai Manfaat Ekonomi Air Kabupaten/Kota) Periode 2046-
2050

Lampiran 23 dan Gambar 31 menunjukkan bahwa nilai ekonomi air masing-


masing kabupaten/kota tahun 2050 di DAS Konaweha adalah 69,67 milyar rupiah
untuk Kota Kendari, sedangkan Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kolaka
masing-masing sebesar 55,10 milyar rupiah, 28,17 milyar rupiah dan 43,22 milyar
rupiah. Dari angka-angka tersebut maka biaya pemeliharaan fungsi DAS yang
menjadi kewajiban masing-masing wilayah pada tahun 2050 dapat dihitung dengan
asumsi bahwa 10 % nilai ekonomi air yang diterima harus dibayarkan untuk
memelihara fungsi DAS. Berdasarkan hal ini maka Kota kendari harus membayar
sebesar 6,97 milyar rupiah, sedangkan Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan
Kolaka masing-masing sebesar 5,51 milyar rupiah, 2,82 milyar rupiah dan 4,32
milyar rupiah pada tahun 2050.

Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa Kota Kendari harus membayar


lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan
Kabupaten Kolaka. Hal ini sangat rasional karena Kota Kendari memperoleh nilai
manfaat ekonomi air yang bersumber dari DAS Konaweha, lebih tinggi jika
dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya. Fakta ini sejalan dengan proporsi
manfaat ekonomi air yang diperoleh dimana Kota Kendari mencapai proporsi
tertinggi yakni 37 %, Konawe 28 %, Kolaka 21 % dan Konawe Selatan 14 %.
134

Pembiayaan pemeliharaan fungsi DAS Konaweha yang menjadi tanggung


jawab masing-masing kabupaten/kota dan dapat direalisasikan melalui:

1. Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota


melalui dana alokasi khusus (DAK) sektor kehutanan dan pertanian. Besarnya
DAK rata-rata kabupaten/kota di wilayah DAS Konaweha berkisar antara Rp. 30
milyar sampai Rp. 50 milyar per tahun. Angka tersebut harus dialokasikan untuk
membiayai tidak kurang dari delapan sektor termasuk sektor kehutanan dan
lingkungan hidup. Sekitar 40 % dari DAK dialokasikan untuk pemeliharaan
infrastruktur pelayanan publik, sedangkan alokasi untuk sektor kehutanan dan
lingkungan hidup hanya sekitar 8 % (BPS Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010).
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa pembiayaan pemeliharaan fungsi
DAS Konaweha dari DAK tidak memungkinkan untuk diterapkan.

2. Penggalangan dana masyarakat melalui penarikan pajak air sebesar 10 % dari


nilai manfaat ekonomi air yang diterima oleh pemakai air. Cara ini kemungkinan
akan efektif jika regulasi yang diterapkan didukung dengan sosialisasi dan
penyadaran kepada seluruh pemangku kepentingan di daerah.

3. Menerapkan sistem insentif hulu-hilir melalui mekanisme pembayaran jasa


lingkungan (payment of environmental services).

Ketiga cara tersebut memerlukan regulasi yang mengatur kesepakatan tentang


mekanisme pembayaran dan besaran yang menjadi tanggung jawab masing-masing
wilayah. Oleh karena itu maka Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dapat
memfasilitasi penyusunan regulasi yang mengatur mekanisme tersebut di atas.

Alternatif Penggunaan Lahan di DAS Konaweha

Valuasi Ekonomi Hasil Hutan Non Kayu

Manfaat ekonomi hutan yang dinilai di dalam penelitian ini adalah nilai
ekonomi hasil hutan non kayu, meliputi: flora (rotan) dan fauna (madu), penyerapan
karbon, nilai pilihan, nilai warisan dan nilai keberadaan. Manfaat ekonomi hutan
yang dinilai seperti flora dan fauna, penyerapan karbon, nilai pilihan, nilai warisan
135

dan nilai keberadaan telah diteliti sebelumnya di tempat lain seperti di Kalimantan
Barat (Yunus, 2005), Jambi (Rosalina, 2001), Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango Jawa Barat (Darusman, 1993) dan Taman Nasional Gunung Ceremai
(Ramdan, 2006).

Analisis nilai ekonomi total hasil hutan non kayu di DAS Konaweha
menggunakan Persamaan 37 (NET = NTLF + NCS + NMPT + NMTW + NMTK).
Hasil analisis menunjukkan bahwa total nilai ekonomi hasil hutan non kayu di DAS
Konaweha adalah Rp. 14.974.617 per hektar sebagaimana disajikan pada Tabel 28.

Tabel 28. Total Nilai Ekonomi Hasil Hutan Non Kayu di DAS Konaweha Tahun
2009
No. Komponen Nilai Ekonomi (Rp/Ha)
1. Rotan 672.000
2. Madu 220.950
3. Karbon 13.351.500
4. Nilai pilihan (option value) 198.000
5. Nilai warisan (bequest value) 248.417
6. Nilai keberadaan (existence value) 283.750
Total 14.974.617
Keterangan :
1. Rotan dihitung pada kondisi basah dengan harga satuan per maret 2010 = Rp. 80.000 per 100 kg.
2. Madu dihitung menggunakan satuan kg dengan harga satuan per maret 2010 = Rp. 45.000 per kg.

Tabel 28 menunjukkan bahwa total nilai ekonomi hasil hutan non kayu di
DAS Konaweha adalah Rp. 14.974.617 per hektar yang terdiri dari nilai ekonomi
rotan sebesar Rp.672.000 per hektar (Lampiran 24a dan Lampiran 24b), nilai
ekonomi madu sebesar Rp. 221.033 per hektar (Lampiran 25a dan Lampiran 25b),
karbon sebesar Rp. 13.351.500 per hektar (Lampiran 26a dan Lampiran 26b), nilai
pilihan (Lampiran 27), nilai warisan (Lampiran 28) dan nilai keberadaan (Lampiran
29) masing-masing sebesar Rp. 198.000 per hektar, Rp. 248.417 per hektar dan Rp.
283.750 per hektar. Nilai ekonomi rotan dengan pendekatan produktivitas
pengumpul disajikan pada Lampiran 35a dan Lampiran 35b.

Lampiran 24a dan Lampiran 24b menunjukkan bahwa nilai produktivitas


pengumpul dan pemegang izin pengolahan rotan di DAS Konaweha adalah 0,84 ton
136

per hektar. Nilai ini diperoleh dari nilai produktivitas pengumpul dan pengolah rotan
di Kecamatan Abuki sebesar 0,86 ton per hektar, Kecamatan Latoma sebesar 0,86
ton per hektar, Kecamatan Sampara dengan nilai produktivitas sebesar 0,74 ton per
hektar, Kecamatan Lambuya sebesar 0,91 ton per hektar, Kecamatan Unaaha dan
Wawotobi masing-masing sebesar 0,84 ton per hektar dan 0,76 ton per hektar.
Berdasarkan nilai produktivitas tersebut, maka nilai ekonomi rotan setiap satuan luas
adalah Rp. 672.000 per hektar(harga satuan rotan basah adalah Rp. 800.000 per ton).

Hasil penelusuran informasi dengan menggunakan metode bola salju (snow


ball method) dan wawancara mendalam baik dengan pengumpul maupun penampung
madu menunjukkan bahwa jumlah pengumpul madu terbanyak berasal dari Uluiwoi
Kabupaten Kolaka yang merupakan hulu DAS Konaweha yakni sebanyak 147 orang,
sedangkan Latoma dan Abuki masing-masing 73 orang dan 72 orang. Informasi
tentang jumlah penampung, pengolah, lokasi pengambilan madu, dan kapasitas atau
kemampuan mengolah, produktivitas dan penerimaan masyarakat disajikan pada
Lampiran 25a dan Lampiran 25b.

Lampiran 25a dan Lampiran 25b terlihat bahwa jumlah total madu dari
kawasan hutan Uluiwoi mencapai 8.820 kg lebih tinggi jika dibandingkan dengan
total madu yang berasal dari kawasan hutan Latoma yakni sebesar 3.650 kg dan
Abuki sebesar 2.880 kg. Tingginya jumlah madu yang dihasilkan di kawasan hutan
Uluiwoi disebabkan karena mempunyai kawasan hutan yang lebih luas, jumlah
pengumpul madu lebih banyak dan kapasitas atau kemampuan pengumpul
menghasilkan madu lebih tinggi jika dibandingkan dengan lokasi lainnya. Tingginya
kemampuan pengumpul menghasilkan madu disebabkan karena jarak permukiman
masyarakat lebih dekat dengan kawasan hutan tempat mencari madu dibandingkan
dengan lokasi lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat MacKinnon et al (1993)
bahwa ada ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Umumnya
masyarakat yang tinggal sekitar hutan termasuk di kawasan konservasi memiliki
ketergantungan dalam pemanfaatan sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan
mereka.
137

Selanjutnya produktivitas rata-rata madu dari kawasan hutan Uluiwoi juga


mencapai angka tertinggi yakni 5,88 kg per hektar lebih tinggi jika dibandingkan
dengan produktivitas rata-rata madu dari kawasan hutan Latoma maupun Abuki
dengan produktivitas masing-masing 4,06 kg per hektar dan 4,80 kg per hektar.
Angka-angka produktivitas tersebut diperoleh dari total produksi madu dibandingkan
dengan luas kawasan hutan yang menjadi lokasi pengambilan madu. Dengan asumsi
bahwa harga satuan madu di tingkat pengumpul adalah Rp.45.000 per kg, maka total
penerimaan pengolah madu dari kawasan hutan Uluiwoi adalah Rp. 396.900.000,
lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah lainnya. Penerimaan pengolah madu
dari kawasan hutan Latoma adalah Rp. 162.250.000, sedangkan kawasan hutan
Abuki mencapai angka Rp. 129.600.000. Dari angka-angka tersebut maka diketahui
bahwa total penerimaan pengolah madu di DAS Konaweha adalah Rp. 690.750.000.

Berdasarkan perhitungan tersebut di atas, maka diketahui bahwa


produktivitas rata-rata madu dari kawasan hutan di DAS Konaweha adalah 4,91 kg
per hektar. Apabila dikonversi menjadi satuan rupiah, maka nilai manfaat ekonomi
dari hasil hutan madu per hektar adalah Rp. 220.950 per hektar. Nilai ekonomi
madu di DAS Konaweha diduga dipengaruhi oleh faktor jumlah pengolah dan
kapasitas atau kemampuan pengolah untuk mengumpulkan madu dalam kurun waktu
tertentu serta harga madu di pasar lokal dan regional.

Hasil pengamatan dan analisis vegetasi yang dilakukan pada 12 plot


pengamatan menunjukkan bahwa potensi karbon setiap plot cukup bervariasi.
Perhitungan potensi karbon menggunakan Persamaan 32 (CS=½(0.118D2,53),
Persamaan 33 (JCS= (CS x JPH) xLAj) dan Persamaan 34 (NCS = JCS x HCS).
Contoh hasil analisis potensi karbon vegetasi tingkat semai disajikan pada Lampiran
26a.

Selanjutnya dari Lampiran 26a dilakukan analisis potensi karbon rata-rata


untuk setiap kategori yakni semai, pancang, tiang dan pohon. Dari hasil analisis
vegetasi maka selanjutnya ditentukan potensi karbon rata-rata per hektar untuk setiap
kategori dan selanjutnya nilai karbon total yang merupakan jumlah dari total potensi
karbon semua kategori dan hasilnya disajikan pada Lampiran 26b.
138

Lampiran 26b menunjukkan bahwa rata-rata potensi karbon vegetasi hutan di


DAS Konaweha adalah 148,35 ton per hektar. Angka ini merupakan kumulatif nilai
karbon vegetasi semai sebanyak 0,23 ton per hektar (0,15 %), pancang sebesar 9,83
ton per hektar (6,63 %), tiang sebanyak 12,64 ton per hektar (8,52 %) dan pohon
sebanyak 125,65 ton per hektar (84,70 %). Angka-angka tersebut di atas
menunjukkan bahwa vegetasi pohon memberikan kontribusi terbesar dalam hal
penyerapan karbon. Hal ini disebabkan oleh kandungan biomas yang lebih tinggi
dan diameter batang yang lebih panjang jika dibandingkan dengan vegetasi tiang,
pancang dan semai. Sebagaimana uraian-uraian sebelumnya bahwa potensi karbon
berkorelasi positif dengan diameter batang dan kandungan biomas.

Berdasarkan hasil perhitungan terdahulu, maka potensi penyerapan karbon


rata-rata per hektar di DAS Konaweha adalah 148,35 ton per hektar. Angka ini
cukup realistis untuk potensi karbon hutan alam di daerah tropis seperti juga hutan di
kawasan DAS Konaweha. Kenyataan ini sejalan dengan hasil-hasil penelitian
sebelumnya dimana potensi karbon untuk kawasan konservasi di Kalimantan adalah
184,73 – 344,20 ton per hektar (Yunus, 2005). Sedangkan hasil penelitian Brown
(1977) menemukan angka potensi karbon rata-rata hutan alam di Indonesia adalah
266,5 ton per hektar. Sementara itu hasil penelitian Rosalina (2001) pada kawasan
formasi hutan pegunungan dataran rendah di Provinsi Jambi berada pada interval
kandungan karbon 259 ton per hektar - 464 ton per hektar. Perbedaan potensi karbon
berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas mungkin karena perbedaan tipe hutan,
iklim, letak lintang, tingkat degradasi vegetasi hutan, dan tingkat akurasi metodologi
yang digunakan untuk analisis vegetasi.

Untuk menentukan nilai manfaat ekonomi potensi karbon, maka digunakan


harga standar karbon sebagaimana dikemukakan oleh Glover and Timothy (1999)
adalah 10 USD per ton. Apabila dikonversi kedalam satuan rupiah, maka nilai
tersebut mengikuti fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Dengan
asumsi bahwa nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika saat ini adalah Rp. 9.000
per dollar, maka harga satuan karbon adalah Rp. 90.000 per ton. Berdasarkan hal ini,
maka nilai ekonomi karbon di DAS Konaweha adalah Rp. 13.351.500 per hektar.
139

Angka tersebut merupakan nilai kumulatif dari manfaat ekonomi karbon semua
kategori vegetasi hutan. Sebagian besar nilai manfaat ekonomi diperoleh dari
vegetasi pohon dengan nilai Rp.11.308.500 per hektar.

Rata-rata WTP nilai pilihan sangat bervariasi tergantung tingkat pendidikan,


jenis pekerjaan, pendapatan, kepentingan dan status sosial. Sebagai pembanding
maka digunakan pendekatan transfer benefit didasarkan biaya konservasi
biodiversitas hutan di Indonesia sebesar US 300/km2/tahun menurut EEPSEA dan
WWF (1998).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kemauan membayar (WTP)


responden terhadap fungsi hutan sebagai sumber keankaragaman hayati dan habitat
bervariasi, tergantung dari tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan tingkat
pendapatan responden sebagaimana disajikan pada Lampiran 27 dan Tabel 29.

Tabel 29. Manfaat Ekonomi Nilai Pilihan Keanekaragaman Hayati dan Habitat di
DAS Konaweha Tahun 2009
Manfaat Jumlah WTP Total WTP Rata-rata Jumlah WTP
Ekonomi Responden (Rp) (Rp/ha) (Rp/ha)
(orang)
Nilai Pilihan 198.000
Habitat 60 5.090.000 84.833
Flora dan Fauna 60 6.790.000 113.167

Tabel 29 menunjukkan bahwa manfaat ekonomi nilai pilihan keanekaragaman


hayati dan habitat adalah Rp. 198.000 per hektar. Nilai tersebut merupakan jumlah
dari manfaat ekonomi nilai pilihan hutan yang berfungsi sebagai habitat yakni
sebesar Rp. 84.833 per hektar dan fungsi hutan sebagai sumber keanekaragaman
flora dan fauna dengan nilai Rp. 113.167 rupiah per hektar.

Nilai manfaat pilihan masyarakat persatuan luas yakni Rp.198.000 per hektar
hampir sama dengan metode transfer benefit konservasi habitat US$ 300/km2/tahun
oleh Ruitenbeek (1998) dalam Glover dan Timothy (1999) atau Rp. 171.000 per
hektar (1US$ = Rp. 8.500) dan Rp. 181.059 per hektar (1US$ = Rp. 9.000).
Sementara itu jika dibandingkan dengan nilai keanekaragaman hayati hasil
perhitungan UNDP dan KLH (1998) lebih rendah yaitu sebesar Rp. 1,5 juta per
140

hektar (transfer benefit). Perbedaan ini disebabkan oleh metode penilaian dan
asumsi yang digunakan penilaian manfaat pilihan dari potensi flora fauna, serta
adanya preferensi masyarakat yang berbeda yang dipengaruhi oleh kondisi sosisal
ekonomi mayarakat dan pengetahuan terhadap manfaat dan fungsi sumberdaya hutan
yang dinilai.

Manfaat ekonomi berdasarkan nilai pilihan keanekaragaman hayati dan


habitat kawasan hutan DAS Konaweha berhubungan erat dengan tingkat pendidikan,
jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan responden. Hal ini diduga disebabkan oleh
adanya keterkaitan langsung antara jenis pekerjaan dengan keberadaan hutan seperti
pencari rotan, pencari madu dan kayu bakar sehingga mereka mempunyai kemauan
untuk membayar jasa lingkungan yang berkaitan dengan mata pencaharian mereka.

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan,


jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan, maka akan semakin tinggi pula nilai
kemauan untuk membayar jasa lingkungan sebagai nilai pilihan. Kecenderungan ini
kemungkinan disebabkan oleh pemahaman masyarakat tentang fungsi hutan sebagai
penyedia jasa lingkungan seperti sumber keanekaragaman hayati dan habitat flora
dan fauna yang meningkat seiring dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat.
Selain itu tingkat pendidikan masyarakat juga berhubungan erat dengan tingkat
pendapatan dan jenis mata pencahariannya sehingga secara tidak langsung tingkat
pendidikan juga akan mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk membayar jasa
lingkungan yang diterimanya. Kenyataan ini sesuai dengan hasil penelitian Yunus
(2005) bahwa WTP rata-rata nilai pilihan keanekaragaman hayati dan habitat sangat
tergantung dari tingkat pendidikan masyarakat.

Penilaian manfaat warisan (bequest value) kawasan hutan di DAS Konaweha


mencakup manfaat flora fauna dan habitat satwa. Hasil penelitian manfaat warisan
persatuan luas terhadap flora fauna dan habitat satwa atas dasar kesediaan membayar
masyarakat sekitar hutan yaitu sebesar Rp. 248.417 per hektar (Lampiran 28 dan
Tabel 30).
141

Tabel 30. Manfaat Ekonomi Nilai Warisan Flora Fauna dan Habitat Satwa di DAS
Konaweha Tahun 2009
Manfaat Jumlah WTP Total WTP Rata- Jumlah WTP
Ekonomi Responden (Rp) rata (Rp/ha)
(orang) (Rp/ha)
Nilai Warisan 248.417
Habitat 60 7.685.000 128.083
Flora dan Fauna 60 7.220.000 120.333

Tabel 30 menunjukkan bahwa manfaat ekonomi berdasarkan nilai warisan


flora fauna dan habitat satwa di DAS Konaweha rata-rata adalah Rp. 248.417 per
hektar yang merupakan jumlah dari manfaat hutan sebagai habitat sebesar Rp.
128.083 per hektar dan manfaat ekonomi nilai warisan flora dan fauna sebesar Rp.
120.333 per hektar.

Manfaat ekonomi nilai warisan masyarakat persatuan luas yakni Rp.248.417


per hektar lebih tinggi dari nilai manfaat yang dihitung dengan metode transfer
benefit konservasi habitat US$ 300/km2/tahun oleh Ruitenbeek (1998) dalam Glover
dan Timothy (1999) atau Rp. 171.000 per hektar (1US$ = Rp. 8500) dan Rp.
181.059 per hektar (1US$ = Rp. 9.000). Namun demikian jika nilai warisan tersebut
masih lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil perhitungan UNDP dan KLH
(1999) yang menggunakan pendekatan transfer benefit yaitu sebesar Rp. 1,5 juta per
hektar terhadap nilai manfaat keanekaragaman hayati flora dan fauna. Kisaran nilai
kesediaan membayar manfaat warisan per orang per hektar sangat dipengaruhi oleh
persepsi untuk diwariskan agar dapat dimanfaatkan oleh anak cucu mereka, yang
terutama dipengaruhi oleh sejauhmana ketergantungan secara sosial ekonomi
terhadap keberadaan hutan di DAS Konaweha.

Penilaian manfaat keberadaan kawasan hutan di DAS Konaweha mencakup


habitat dan flora fauna dilindungi. Hasil penelitian manfaat keberadaan persatuan
luas terhadap habitat dan flora fauna dilindungi atas dasar kesediaan membayar
masyarakat sekitar hutan yaitu Rp. 283.750 per hektar sebagaimana disajikan pada
Lampiran 29 dan Tabel 31.
142

Tabel 31. Manfaat Ekonomi Nilai Keberadaan Habitat dan Flora Fauna Dilindungi
di DAS Konaweha Tahun 2009
Manfaat Ekonomi Jumlah WTP Total WTP Rata- Jumlah WTP
Responden (Rp) rata (Rp/ha)
(orang) (Rp/ha)
Nilai Keberadaan 283.750
Habitat 60 8.800.000 146.667
Flora dan Fauna 60 8.225.000 137.083

Tabel 31 menunjukkan bahwa manfaat ekonomi berdasarkan nilai keberadaan


habitat dan flora fauna dilindungi di DAS Konaweha rata-rata adalah Rp. 283.750
per hektar yang merupakan jumlah dari manfaat keberadaan hutan sebagai habitat
sebesar Rp. 146.667 per hektar dan manfaat keberadaan hutan sebagai sumber flora
dan fauna dilindungi dengan nilai rata-rata sebesar Rp. 137.083 per hektar.

Manfaat ekonomi nilai keberadaan hutan sebagai habitat dan sumber flora
fauna dilindungi persatuan luas yakni Rp.283.750 per hektar lebih tinggi dari nilai
manfaat yang dihitung dengan metode transfer benefit konservasi habitat US$
300/km2/tahun oleh Ruitenbeek (1998) dalam Glover dan Timothy (1999) atau Rp.
171.000 per hektar (1US$ = Rp. 8500) dan Rp. 181.059 per hektar (1US$ = Rp.
9.000). Namun nilai tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil
perhitungan UNDP dan KLH (1999) yang menggunakan pendekatan transfer benefit
yaitu sebesar Rp. 1,5 juta per hektar terhadap nilai manfaat keanekaragaman hayati
flora dan fauna. Kisaran nilai kesediaan membayar manfaat keberadaan perorang per
hektar sangat dipengaruhi oleh persepsi masyarakat terhadap pentingnya keberadaan
habitat dan flora fauna dilindungi terhadap kelangsungan hidup dimasa datang atau
sejauhmana ketergantungan secara sosial ekonomi terhadap keberadaan hutan di
DAS Konaweha.

Kecenderungan nilai WTP rata-rata baik WTP nilai warisan maupun WTP
nilai keberadaan yang meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan
responden kemungkinan disebabkan oleh pemahaman masyarakat tentang fungsi
hutan sebagai penyedia jasa lingkungan seperti sumber keanekaragaman hayati dan
habitat flora dan fauna yang meningkat seiring dengan meningkatnya pengetahuan
masyarakat. Selain itu tingkat pendidikan masyarakat juga berhubungan erat dengan
143

tingkat pendapatan dan jenis mata pencahariannya sehingga secara tidak langsung
tingkat pendidikan juga akan mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk
membayar jasa lingkungan yang diterimanya. Kenyataan ini sesuai dengan hasil
penelitian Yunus (2005) bahwa WTP rata-rata nilai keberadaan flora fauna
dilindungi dan habitat sangat tergantung dari tingkat pendidikan masyarakat, tingkat
pendapatan dan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Selanjutnya Yunus
(2005) mengemukakan bahwa pengaruh variabel pendidikan, mata pencaharian dan
pendapatan terhadap WTP nilai keberadaan erat kaitannya dengan persepsi
masyarakat akan manfaat yang terkandung di dalam sumberdaya hutan.

Analisis Penggunaan Lahan Alternatif

Hasil simulasi lima skenario penggunaan lahan alternatif di Sub DAS


Konaweha Hulu menghasilkan komposisi luas tutupan masing-masing jenis
penggunaan lahan (hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar) adalah
sebagai berikut:

1. Skenario 1: 30% hutan, 55% perkebunan, 6% kebun campuran dan 4% semak


belukar.

2. Skenario 2: 35% hutan, 51% perkebunan, 6% kebun campuran dan 3% semak


belukar.

3. Skenario 3: 43% hutan, 43% perkebunan, 6% kebun campuran dan 3% semak


belukar.

4. Skenario 4: 33% hutan, 52% perkebunan, 5% kebun campuran dan 4% semak


belukar.

5. Skenario 5: 40% hutan, 46% perkebunan, 5% kebun campuran dan 4% semak


belukar.

Peta skenario penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu disajikan


pada Gambar 32, Gambar 33, Gambar 34, Gambar 35 dan Gambar 36.
144

Gambar 32. Peta Skenario 1 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu

Gambar 33. Peta Skenario 2 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu
145

Gambar 34. Peta Skenario 3 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu

Gambar 35. Peta Skenario 4 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu
146

Gambar 36. Peta Skenario 5 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu

Analisis Aspek Lingkungan

Analisis kelayakan lingkungan skenario penggunaan lahan alternatif


didasarkan pada kriteria keputusan (decison criteria) yakni yakni ketersediaan air
(supply) atau debit minimum (Qmin) dan dan rasio antara ketersediaan (supply, S)
dengan kebutuhan air (demand, D).

Hubungan antara proporsi luas masing-masing jenis penggunaan lahan


terhadap kriteria tersebut dianalisis dengan simulasi menggunakan persamaan regresi
linier berganda. Hubungan antara proporsi luas tutupan masing-masing jenis
penggunaan lahan (hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar)
ketersediaan air atau debit minimum dijelaskan melalui Persamaan 46 terdahulu.
Hasil simulasi hubungan antara proporsi masing-masing jenis penggunaan lahan
terhadap ketersediaan air atau debit minimum dalam satuan m3/detik dan m3
disajikan pada Lampiran 30 dan Tabel 32.
147

Tabel 32. Rasio Ketersediaan dan Kebutuhan Air berbagai Skenario Penggunaan
Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Tahun 2050
Alternatif Ketersediaan Air Kebutuhan Air Rasio (S/D)
(m3/detik) (juta m3) (m3/detik) (juta m3)
Skenario 1 31.8 82.4 33.3 86.3 0.95
Skenario 2 36.6 94.9 33.3 86.3 1.10
Skenario 3 37.4 96.9 33.3 86.3 1.12
Skenario 4 35.5 92.0 33.3 86.3 1.07
Skenario 5 36.8 95.4 33.3 86.3 1.11
Skenario 1 = 30 % hutan, 55 % perkebunan, 6 % kebun campuran dan 4 % semak belukar
Skenario 2 = 35 % hutan, 51 % perkebunan, 6 % kebun campuran dan 3 % semak belukar
Skenario 3 = 43 % hutan, 43 % perkebunan, 6 % kebun campuran dan 3 % semak belukar
Skenario 4 = 33 % hutan, 52 % perkebunan, 5 % kebun campuran dan 4 % semak belukar
Skenario 5 = 40 % hutan, 46 % perkebunan, 5 % kebun campuran dan 4 % semak belukar
H = hutan, K = perkebunan, Kc = kebun campuran, Sb = semak belukar, C = koefisien regresi linier
Luas kondisi eksisting: Hutan= 43 %, perkebunan=43 %, kebun campuran=6 % dan semak belukar=3 %
Luas DAS Konaweha Hulu = 337992 hektar

Tabel 32 menunjukkan bahwa jika skenario 1 penggunaan lahan alternatif


dengan proporsi luas hutan minimal 30 % akan menghasilkan air tersedia atau debit
minimum (Qmin) sebesar 31,8 m3/detik atau setara dengan 82,4 juta m3. Jika skenario
1 diterapkan maka rasio antara ketersediaan (S) dengan kebutuhan air (D) adalah
0,95. Angka tersebut berarti bahwa skenario 1 penggunaan lahan alternatif tidak
layak diterapkan karena debit minimum yang dihasilkan tidak dapat memenuhi
kebutuhan air tahun 2050. Skenario 2 penggunaan lahan alternatif dengan proporsi
luas hutan 35 % akan menghasilkan debit minimum sebesar 36,6 m3/detik atau 94,9
juta m3, sehingga rasio antara ketersediaan dan kebutuhan air adalah 1,10. Angka
tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan skenario 1. Selanjutnya skenario 3
penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu dengan luas tutupan hutan 43 %
dan penggunaan lahan lainnya sesuai dengan kondisi eksisting, maka ketersediaan air
atau debit minimum yang dihasilkan adalah 37,4 m3/detik atau 96,9 juta m3 sehingga
rasio ketersediaan dan kebutuhan air adalah 1,12. Angka tersebut juga lebih baik jika
dibandingkan dengan rasio ketersediaan dan kebutuhan air skenario 1 dan skenario 2.
Skenario 4 penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu yang merupakan
modifikasi skenario 3 (pencadangan 10 % hutan untuk areal penggunaan lain) akan
menghasilkan debit minimum sebesar 35,5 m3/detik atau 92,0 juta m3, sehingga rasio
ketersediaan dan kebutuhan air adalah 1,07. Angka tersebut lebih rendah jika
148

dibandingkan dengan rasio ketersediaan dan kebutuhan air skenario 2 dan skenario 3.
Skenario 5 penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu dengan proporsi
luas tutupan hutan adalah 40 % akan menghasilkan debit minimum sebesar 36,9
m3/detik atau 95,4 juta m3 sehingga rasio ketersediaan dan kebutuhan air adalah 1,11.
Angka tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan skenario 1, skenario 2 dan
skenario 4.

Angka-angka yang diperlihatkan pada Tabel 32 di atas menunjukkan bahwa


seluruh skenario penggunaan lahan alternatif DAS Konaweha Hulu mempunyai
kecenderungan yang sama terhadap debit minimum. Nilai rasio ketersediaan dan
kebutuhan air skenario 2, skenario 3, skenario 4 dan skenario 5 lebih dari 1 yang
berarti bahwa keempat skenario tersebut mampu mengatasi defisit air (ketersediaan
air lebih besar dari kebutuhan air) hingga tahun 2050. Namun demikian rasio
ketersediaan dan kebutuhan air untuk skenario 1 kurang dari 1 yang berarti bahwa
skenario tersebut tidak dapat mengatasi defisit air hingga tahun 2050.

Analisis Aspek Ekonomi

Analisis biaya didasarkan pada luas hutan yang harus dipelihara agar
fungsinya menjaga tata air tetap terjaga. Hasil analisis biaya pemeliharaan fungsi
hutan skenario penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu disajikan pada
Lampiran 31 dan Tabel 33.

Tabel 33. Biaya Pemeliharaan Fungsi Hutan Skenario Penggunaan Lahan Alternatif
di DAS Konaweha Hulu
Alternatif Luas Hutan (ha) Biaya (Milyar Rupiah)
Skenario 1 101398 152
Skenario 2 118297 177
Skenario 3 145337 218
Skenario 4 111537 167
Skenario 5 135197 203
Catatan :
1. Standar pemeliharaan fungsi hutan = Rp. 1500000 per hektar (UNDP dan KLH, 1999)
2. Luas hutan masing-masing sesuai Lampiran 30 dan Lampiran 31

Tabel 33 menunjukkan bahwa biaya yang diperlukan untuk memelihara


fungsi hutan pada skenario penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu
149

berkisar antara 152 milyar rupiah sampai dengan 218 milyar rupiah. Jika luas hutan
kondisi eksisting 2011 dipertahankan, maka diperlukan biaya 218 milyar rupiah.
Jika 10 % dari hutan kondisi eksisting dialokasikan untuk areal penggunaan lain
(APL) pertambangan, maka diperlukan biaya sebesar 167 milyar rupiah. Sedangkan
biaya yang harus dialokasikan untuk implementasi RTRW dengan luas hutan 35 %
adalah 177 milyar rupiah dan implementasi arahan fungsi kawasan lindung
sebagaimana skenario 5 dibutuhkan biaya sebesar 203 milyar rupiah.

Selanjutnya yang dimaksud dengan penerimaan (return) adalah nilai ekonomi


air (water yield) dan nilai ekonomi hasil hutan non kayu masing-masing skenario
penggunaan lahan alternatif. Hasil air merupakan debit minimum yang merupakan
ketersediaan air dan dihasilkan akibat pemeliharaan satu satuan luas hutan di DAS
Konaweha Hulu. Sedangkan hutan merupakan kawasan hutan yang harus
dipertahankan agar debit aliran minimum dapat menjamin kebutuhan air hingga
tahun 2050.

Nilai ekonomi air untuk kebutuhan domestik dan industri menggunakan


pendekatan harga pasar (standar PDAM) yakni Rp. 3.755 per m3, sedangkan nilai
ekonomi air untuk kebutuhan irigasi menggunakan pendekatan kemauan untuk
membayar (WTP) air irigasi dengan harga satuan Rp. 15,32 per m3.

Nilai ekonomi hutan yang dihitung adalah nilai ekonomi hasil hutan non
kayu, mencakup nilai ekonomi flora dan fauna, karbon, nilai pilihan, nilai warisan
dan nilai keberadaan. Berdasarkan hal ini maka nilai ekonomi hutan per satuan luas
adalah Rp. 14.974.617,- per hektar yang merupakan nilai kumulatif dari nilai
ekonomi rotan (Rp. 672.236), madu (Rp. 221.033), karbon (Rp. 13.351.500), nilai
pilihan (Rp. 198.000), nilai warisan (Rp. 248.417) dan nilai keberadaan (Rp.
283.750).

Dari nilai penerimaan (return) dan biaya (cost) yang harus dikeluarkan pada
masing-masing skenario penggunaan lahan alternatif, maka dilakukan analisis rasio
penerimaan (R) dengan biaya (C). Perhitungan nilai R/C menggunakan Persamaan
38 (R/C = (Nilai Ekonomi Air dan Hasil Hutan non Kayu/Biaya Pemeliharaan
Fungsi Hutan), data nilai ekonomi hasil hutan non kayu (Persamaan 37) dan Tabel
150

28, data nilai ekonomi air masing-masing skenario, dan hasil perhitungan biaya
pemeliharaan fungsi lindung kawasan hutan setiap skenario (Lampiran 31) (UNDP
dan KLH, 1999). Hasil analisis R/C skenario penggunaan lahan alternatif di DAS
Konaweha Hulu disajikan pada Tabel 34.

Tabel 34. Nilai R/C Skenario Penggunaan Lahan Alternatif DAS Konaweha Hulu
Penggunaan Lahan Luas Hutan (ha) Hasil Air (Juta m3) Biaya Penerimaan R/C
Alternatif (milyar Rupiah) (milyar Rupiah)
Skenario 1 101398 82.4 152 1546 10.16
Skenario 2 118297 94.9 177 1803 10.16
Skenario 3 148716 96.9 218 2209 10.13
Skenario 4 114917 92.0 167 1701 10.17
Skenario 5 135197 95.4 203 2056 10.14
Catatan:
1. Proporsi kebutuhan air domestik = 3,8 %, industri = 4,7 %, irigasi = 91.5 %
2. Harga satuan air domestik dan industri = Rp. 3.755 per m3, irigasi = Rp. 15,32 per m3
3. Nilai ekonomi hutan = Rp 14.974.617 per hektar
4. Standar pemeliharaan fungsi hutan = Rp. 1500000 per hektar (KLH dan UNDP, 1999)

Tabel 34 merupakan hasil analisis R/C penggunaan lahan alternatif di DAS


Konaweha Hulu. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai R/C semua skenario cukup
besar dengan nilai lebih dari 10. Nilai R/C tertinggi dicapai skenario 3 dengan nilai
R/C adalah 10,17. Besarnya nilai R/C untuk semua skenario disebabkan karena
besarnya nilai penerimaan dari hasil hutan non kayu dengan memperhitungkan nilai
ekonomi yang dihasilkan oleh jasa lingkungan keberadaan hutan seperti flora dan
fauna, nilai penyerapan karbon, nilai pilihan, nilai warisan dan nilai keberadaan
hutan. Selain itu analisis R/C juga memperhitungkan nilai ekonomi hasil air. Fakta
yang kontradiktif dengan nilai penerimaan yang besar, maka nilai biaya yang
diperlukan masing-masing skenario relatif rendah. Hal ini disebabkan karena hutan
yang dipertahankan merupakan hutan yang sudah eksis sehingga tidak dilakukan
penambahan luas hutan, akibatnya biaya yang diperlukan hanya bersifat biaya
pemeliharaan fungsi kawasan hutan.

Analisis Aspek Sosial

Analisis sosial dilakukan untuk mengetahui kelayakan sosial berbagai


penggunaan lahan alternatif yang terlebih dahulu memenuhi persyaratan kelayakan
lingkungan dan kelayakan ekonomi. Hasil analisis aspek tingkat penerimaan para
151

pihak terhadap lima skenario penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu
disajikan pada Tabel 35.

Tabel 35. Analisis Penerimaan Para Pihak terhadap Skenario Penggunaan Lahan
Alternatif di DAS Konaweha Hulu
Penggunaan Penerimaan Keterangan
Lahan Alternatif Para Pihak
Skenario 1 Diterima Sudah tersosialisasi, implementasi UU No. 41
1999
Skenario 2 Diterima Sudah tersosialisasi, implementasi RTRW
Skenario 3 Diterima Sudah tersosialisasi, kondisi eksisting
Skenario 4 Ada penolakan Penolakan DPR, DPRD, Perguruan Tinggi,
LSM
Skenario 5 Diterima Sudah tersosialisasi sejak 2008

Tabel 35 menunjukkan bahwa skenario 4 penggunaan lahan alternatif di DAS


Konaweha Hulu masih potensial mengalami penolakan dari para pihak antara lain
DPR pusat, DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara, Perguruan Tinggi dan LSM lokal.
Hal ini terbukti dengan banyaknya penolakan dari pihak-pihak tersebut di atas
tentang rencana pemerintah untuk menjadikan Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) pertambangan dengan konsekuensi pemerintah
provinsi meminta penurunan status hutan menjadi areal penggunaan lain (APL)
seluas 300.000 hektar dimana sekitar 5.000 hektar merupakan hutan lindung.

Selanjutnya skenario 1 dan skenario 2 penggunaan lahan alternatif dapat


diterima oleh para pihak karena kedua skenario tersebut sudah menjadi kebijakan
sejak tahun 1999 yang lalu sehingga para pihak yang berkepentingan tidak menolak
kebijakan tersebut. Hal ini disebabkan karena skenario 1 merupakan implementasi
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang hingga saat masih
berlaku, sedangkan skenario 2 merupakan RTRW Kabupaten Konawe dan Kolaka
Provinsi Sulawesi Tenggara yang mulai berlaku sejak tahun 2005. Skenario 5
penggunaan lahan alternatif merupakan implementasi arahan fungsi kawasan lindung
yang ditetapkan oleh BPDAS Sampara dimana luas hutan lindung di DAS Konaweha
adalah 40 % dari luas DAS Konaweha yang mulai ditetapkan tahun 2008. Walaupun
152

skenario 5 belum tersosialisasi dengan baik karena baru ditetapkan tahun 2008,
namun diduga tidak akan mengalami penolakan dari pihak-pihak berkepentingan.

Fakta tersebut di atas juga diperkuat dengan hasil penelitian yang


menunjukkan bahwa pemeliharaan kawasan hutan di DAS Konaweha pernah
dilakukan di era tahun 1970an melalui kegiatan reboisasi dan penghijauan. Kegiatan
tersebut dilakukan di beberapa wilayah di DAS Konaweha seperti Unaaha,
Wawotobi, Pondidaha, Abuki, Sampara, Tirawuta, Tinondo dan Mowewe. Pada era
tahun 1990an juga dilakukan kegiatan serupa yang disebut dengan hutan
kemasyarakatan dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Beberapa wilayah yang
melaksanakan kegiatan tersebut adalah Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan
Kabupaten Kolaka. Kegiatan tersebut cukup berhasil ditinjau dari aspek sosial
karena hingga saat ini tidak ada penolakan dari para pihak.

Analisis Kelayakan Penggunaan Lahan Alternatif DAS Konaweha

Kelayakan skenario penggunaan lahan alternatif menggunakan kriteria


(decision tool) sebagai berikut: rasio ketersediaan dan kebutuhan air (S/D), rasio
R/C, dan penerimaan para pihak (aspek sosial). Hasil analisis kelayakan penggunaan
lahan alternatif disajikan pada Tabel 36.

Tabel 36. Analisis Kelayakan Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha


Hulu Tahun 2050
Alternatif Aspek Lingkungan Aspek Ekonomi Aspek Sosial
(S/D) (R/C) (Penerimaan Para Pihak)
Skenario 1 0.95 10.16 dapat diterima, implementasi UU No. 41, 1999
Skenario 2 1.10 10.16 dapat diterima, RTRW Konawe dan Kolaka
Skenario 3 1.12 10.13 dapat diterima, kondisi eksisting
Skenario 4 1.07 10.17 ada penolakan, belum disetujui, APL pertambangan
Skenario 5 1.11 10.14 dapat diterima, arahan fungsi kawasan BPDAS Sampara
Keterangan:
Skenario 1 = 30 % hutan, 55 % perkebunan, 6 % kebun campuran dan 4 % semak belukar
Skenario 2 = 35 % hutan, 51 % perkebunan, 6 % kebun campuran dan 3 % semak belukar
Skenario 3 = 43 % hutan, 43 % perkebunan, 6 % kebun campuran dan 3 % semak belukar
Skenario 4 = 33 % hutan, 52 % perkebunan, 5 % kebun campuran dan 4 % semak belukar
Skenario 5 = 40 % hutan, 46 % perkebunan, 5 % kebun campuran dan 4 % semak belukar
H = hutan, K = perkebunan, Kc = kebun campuran, Sb = semak belukar, C = koefisien regresi linier
Luas kondisi eksisting: Hutan= 43 %, perkebunan=43 %, kebun campuran=6 % dan semak belukar=3 %
Luas DAS Konaweha Hulu = 337992 hektar
153

Tabel 36 menunjukkan bahwa skenario 1 penggunaan lahan alternatif di


DAS Konaweha Hulu dengan luas hutan 30 %, perkebunan 55 %, kebun campuran 6
% dan semak belukar 4 % akan menghasilkan debit minimum yang lebih kecil dari
kebutuhan air sehingga nilai rasio ketersediaan dan kebutuhan air adalah 0,95 dengan
nilai R/C sebesar 10,16 dan secara sosial diterima para pihak karena merupakan
implementasi Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Kelayakan
berdasarkan tiga komponen yang dinilai yakni aspek lingkungan, ekonomi dan
sosial, maka skenario 1 tidak layak diterapkan karena nilai S/D < 1, R/C > 1 dan
secara sosial diterima oleh para pihak. Skenario 2 penggunaan lahan alternatif yang
merupakan RTRW Kabupaten Konawe dan Kolaka dengan luas hutan 35 %
dikombinasikan dengan 51 % perkebunan, 6 % kebun campuran dan 3 % semak
belukar akan mampu menghasilkan debit minimum yang lebih besar dari kebutuhan
air, sehingga rasio ketersediaan dan kebutuhan air adalah 1,10 dan nilai R/C sebesar
10,16 dan secara sosial dapat diterima karena sesuai dengan RTRW Kabupaten
Konawe dan Kolaka. Skenario 2 penggunaan lahan alternatif layak diterapkan
karena semua komponen yang dinilai memenuhi sarat yakni nilai S/D > 1, R/C > 1
dan secara sosial tidak menimbulkan masalah karena sesuai dengan RTRW
Kabupaten Konawe dan Kolaka yang sebelumnya ditetapkan melalui proses
sosialisasi yang cukup lama. Skenario 3 penggunaan lahan alternatif di DAS
Konaweha Hulu yang merupakan kondisi penggunaan lahan eksisting dengan luas
tutupan hutan 43 %, 43 % perkebunan dan 6 % kebun campuran serta 3 % semak
belukar layak diterapkan karena menghasilkan debit minimum yang melebihi
kebutuhan air dengan nilai S/D > 1, nilai R/C > 1 dan secara sosial diterima oleh para
pihak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa skenario 4 yang merupakan modifikasi
skenario 3 dengan alokasi 10 % hutan untuk areal penggunaan lain (APL)
pertambangan belum bisa diterapkan walaupun nilai S/D > 1 dan R/C > 1 karena
hingga saat ini belum mendapat persetujuan pihak-pihak terkait sehingga masih ada
penolakan. Sedangkan skenario 5 yang merupakan rencana implementasi arahan
fungsi kawasan lindung DAS Konaweha dengan proporsi luas hutan yang harus
dipertahankan minimal 40 % dikombinasikan dengan 46 % perkebunan, 5 % kebun
154

campuran dan 4 % semak belukar layak diterapkan baik ditinjau dari aspek
lingkungan, ekonomi maupun faktor sosial.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka disimpulkan bahwa skenario


2, skenario 3, dan skenario 5 penggunaan lahan alternatif layak diterapkan sesuai
indikator S/D ≥ 1, sedangkan skenario 1 dan skenario 4 tidak layak diterapkan. Hasil
analisis menggunakan indikator lingkungan, ekonomi dan sosial menunjukkan bahwa
komposisi 40 % hutan, 46 % perkebunan, 5 % kebun campuran dan 4 % semak
belukar merupakan alternatif penggunaan lahan terbaik untuk menjamin
keberlanjutan sumberdaya air di DAS Konaweha.

Analisis Kebijakan Penggunaan Lahan di DAS Konaweha

Produk kebijakan pada tingkat nasional yang berkaitan dengan penatagunaan


lahan antara lain adalah Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
yang mengatur tentang luas kawasan hutan yang harus di pertahankan yakni 30 %
dari luas DAS dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
yang mengatur penataan ruang berdasarkan fungsi lindung utama kawasan yakni
kawasan lindung dan kawasan budidaya. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999
menggunakan unit DAS, sedangkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007
menggunakan unit administrasi.

Berkaitan dengan kedua produk kebijakan tersebut, maka pemberlakuan


Undang-Undang Nomor 21 tahun 1999 yang direvisi menjadi Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diduga memberikan kontribusi
terhadap kebijakan penatagunaan lahan di tingkat daerah (kabupaten/kota) melalui
pemberian berbagai kewenangan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah seperti
pengelolaan sumberdaya alam skala kecil (pertambangan, kehutanan, lingkungan
hidup).

Kebijakan yang terkait dengan penatagunaan lahan di tingkat daerah (provinsi


dan kabupaten/kota) juga merujuk pada ketiga kebijakan tersebut di atas. Beberapa
produk kebijakan yang terkait dengan ini antara lain: Peraturan Daerah (Perda)
provinsi dan kabupaten/kota tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Perda
155

tentang pengelolaan tambang skala kecil, Perda tentang Izin Pemanfaatan Kayu
Tanah Milik, Perda tentang Pemanfaatn Hasil Hutan non Kayu dan lain-lain.

Kebijakan yang terkait dengan penatagunaan lahan di tingkat daerah


(kabupaten/kota) dalam hal ini Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
kabupaten/kota mengacu pada batas yuridiksi formal (batas administrasi) sehingga
sulit diterapkan untuk mengatur penatagunaan lahan yang menggunakan batas alam
(ekologi) seperti DAS Konaweha. Hal inilah yang dirasakan sulit untuk menerapkan
konsep pengelolaan DAS secara terpadu untuk mencapai “satu DAS satu rencana dan
satu pengelolaan” atau “one watershed one plan and one management”.

Kebijakan pada tingkat daerah (provinsi dan kabupaten/kota) yang mengatur


penatagunaan lahan, alokasi sumberdaya alam, dan tanggung jawab pembiayaan
masing-masing kabupaten/kota hingga saat belum ada. Pemerintah Provinsi
Sulawesi Tenggara yang diharapkan dapat memfasilitasi pengembangan kebijakan
terkait dengan hal-hal tersebut di atas hingga saat ini juga belum maksimal. Hal ini
ditunjukkan dengan belum adanya Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Gubernur
yang mengatur tata guna lahan, sistem alokasi sumberdaya dan tanggung jawab
pembiayaan bagi masing-masing wilayah otonom di DAS Konaweha. Satu-satunya
produk kebijakan tingkat kabupaten/kota yang berhubungan dengan tata guna lahan
adalah RTRW yang menggunakan batas yuridiksi formal. Penetapan fungsi kawasan
pada masing-masing RTRW kabupaten/kota hanya didasarkan pada Undang-Undang
Nomor 41 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tanpa
memperhitungkan dampak hidrologi khususnya pada aspek ketersediaan air jangka
panjang.

Akumulasi implementasi kebijakan penatagunaan lahan melalui RTRW bagi


kabupaten/kota di DAS Konaweha terlihat dari pola perubahan penggunaan lahan di
DAS Konaweha. Akumulasi kebijakan tersebut menyebabkan perubahan luas hutan
dari 55 % pada tahun 1999 menjadi 47 % pada tahun 2008. Perubahan tersebut
diikuti dengan peningkatan luas perkebunan dari 35 % pada tahun 1999 menjadi 40
% pada tahun 2008, sedangkan kebun campuran dan semak belukar meningkat dari
3,8 % dan 2,6 % pada tahun 1999 menjadi 5,5 % dan 3,3 % pada tahun 2008.
156

Implementasi kebijakan selama kurang lebih 10 tahun telah memberikan dampak


hidrologi yang cukup besar. Koefisien aliran permukaan meningkat dari 36,3 %
pada tahun 1999 menjadi 47,1 % pada tahun 2008, pada kurun waktu tersebut maka
koefisien regim sungai meningkat dari 5,7 menjadi 13,8 pada tahun 2008. Kebijakan
tersebut juga memberikan dampak cukup serius terhadap penurunan ketersediaan air.
Selama 10 tahun terakhir ini telah terjadi penurunan ketersediaan air dari 36 m3/detik
menjadi 20 m3/detik. Berdasarkan hal ini maka implementasi kebijakan
penatagunaan lahan melalui RTRW masing-masing kabupaten/kota semakin
memperburuk kondisi hidrologi DAS Konaweha, oleh karena itu maka perlu ada
langkah-langkah konkrit yang ditujukan untuk mengatur tata guna lahan agar kondisi
hidrologi DAS Konaweha tetap baik khususnya ketersediaan air jangka panjang tetap
terjamin.

Jika implementasi kebijakan penatagunaan lahan di DAS Konaweha melalui


penerapan RTRW kabupaten/kota akan memberikan dampak terhadap perubahan
penggunaan lahan yang tidak terkendali. Jika kebijakan implementasi RTRW
berjalan terus tanpa dilakukan perubahan, maka pada periode 2011-2015 luas hutan
diperkirakan menjadi 43,2 %, sedangkan luas perkebunan, kebun campuran dan
semak belukar masing-masing 43,1 %, 5,3 % dan 3,6 %. Pada periode 2036-2040
maka akan terjadi penurunan luas hutan rata-rata menjadi 26,2 %, sedangkan
perkebunan, kebun campuran dan semak belukar akan meningkat menjadi 50,2 %,
6,8 % dan 4,9 %. Jika perubahan penggunaan lahan tersebut mengikuti
kecenderungan sebelumnya, maka pada tahun 2050 luas hutan diperkirakan menjadi
21,5 %, sedangkan perkebunan, kebun campuran dan semak belukar akan meningkat
menjadi 52,1 %, 7,3 % dan 5,3 %. Perubahan penggunaan lahan yang merupakan
akibat implementasi kebijakan RTRW bagi kabupaten/kota dipastikan akan
mempengaruhi kondisi hidrologi khususnya ketersediaan air di DAS Konaweha.

Analisis kebijakan penggunaan lahan di DAS Konaweha dilakukan dengan


membandingkan kebijakan implementasi RTRW kabupaten/kota yang sedang
berjalan dengan skenario penggunaan lahan alternatif ditinjau dari perspektif
lingkungan, ekonomi dan sosial. Analisis yang didasarkan pada perspektif
157

lingkungan menggunakan alat keputusan berupa ketersediaan air dan rasio antara
ketersediaan dan kebutuhan air (S/D). Analisis yang didasarkan pada perspektif
ekonomi menggunakan alat keputusan berupa rasio penerimaan dengan biaya (R/C),
sedangkan analisis berdasarkan perspektif sosial menggunakan alat keputusan berupa
penerimaan para pihak (stakeholders acceptable).

Analisis perbandingan antara kebijakan tata guna lahan yang sedang berjalan
dengan penggunaan lahan alternatif tidak mengikutsertakan skenario 1 dan skenario
4 karena hasil analisis kelayakan dinyatakan tidak layak (Tabel 37).

Tabel 37. Analisis Perbandingan antara Kebijakan Tata Guna Lahan Eksisting
dengan Skenario Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu
Tahun 2050
Alternatif Aspek Lingkungan Aspek Ekonomi Aspek Sosial
(S/D) (R/C) (Penerimaan Para Pihak)
Skenario 2 1.10 10.16 dapat diterima, RTRW Konawe dan Kolaka
Skenario 3 1.12 10.13 dapat diterima, kondisi eksisting
Skenario 5 1.11 10.14 dapat diterima, arahan fungsi kawasan BPDAS Sampara
Kebijakan Eksisting 0.44 10.05 akan terjadi konflik kepentingan terkait dengan sumberdaya air
Keterangan:
Skenario 2 = 35 % hutan, 51 % perkebunan, 6 % kebun campuran dan 3 % semak belukar
Skenario 3 = 43 % hutan, 43 % perkebunan, 6 % kebun campuran dan 3 % semak belukar
Skenario 5 = 40 % hutan, 46 % perkebunan, 5 % kebun campuran dan 4 % semak belukar
Kebijakan Eksisting = 22 % hutan, 53 % perkebunan, 8 % kebun campuran, 5 % semak belukar
Skenario 1 dan skenario 4 penggunaan lahan alternatif tidak disertakan karena analisis sebelumnya tidak layak
R=penerimaan mencakup nilai ekonomi hasil hutan non kayu dan air, APL = areal penggunaan lain
Luas DAS Konaweha Hulu = 337992 hektar; S: supply, D: demand; R: return; C: cost

Tabel 37 menunjukkan kebijakan tata guna lahan melalui implementasi


RTRW kabupaten/kota di DAS Konaweha akan berimplikasi terhadap penurunan
ketersediaan sumberdaya air sehingga rasio ketersediaan dan kebutuhan air menjadi
0,44. Nilai tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai S/D skenario 2,
skenario 3, dan skenario 5. Oleh karena itu ditinjau dari perspektif lingkungan maka
kebijakan tersebut tidak layak untuk dipertahankan. Berdasarkan perspektif
ekonomi, maka kebijakan eksisting masih layak untuk dipertahankan karena nilai
R/C > 1, walaupun nilai tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai R/C
skenario 2 dan skenario 5. Berdasarkan perspektif sosial, maka kebijakan eksisting
tidak dapat dipertahankan karena kemungkinan besar akan menimbulkan konflik
kepentingan antar daerah berkaitan dengan alokasi sumberdaya air mengingat
kebijakan tersebut tidak mampu mengatasi defisit air hingga tahun 2050.
158

Uraian-uraian tersebut di atas mengindikasikan bahwa kebijakan tata guna


lahan yang selama ini diimplementasikan melalui RTRW kabupaten/kota
seyogyanya ditinjau kembali dan dianjurkan untuk tidak dilanjutkan. Kebijakan
tersebut hanya dapat dipertahankan hingga tahun 2030 yakni ketika ketersediaan air
lebih dari atau sama dengan kebutuhan air. Oleh karena itu maka skenario
penggunaan lahan alternatif yang ditawarkan layak untuk dipertimbangkan oleh
pengambil keputusan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Tiga skenario
penggunaan lahan alternatif yang ditawarkan harus didukung dengan regulasi agar
dapat menjadi kebijakan yang nantinya dapat diterapkan di DAS Konaweha.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang Analisis Alternatif Penggunaan Lahan


untuk Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS Konaweha Provinsi
Sulawesi Tenggara, maka dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:

1. Perubahan penggunaan lahan di DAS Konaweha yang terjadi adalah penurunan


luas hutan diikuti pertambahan luas perkebunan, kebun campuran dan semak
belukar. Jumlah penduduk mempengaruhi penurunan luas hutan mengikuti
persamaan: y = 196 e-0,01X, dimana y adalah luas hutan (% dari luas DAS
Konaweha Hulu), e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818
dan X adalah jumlah penduduk (ribuan jiwa).

2. Penurunan luas hutan menyebabkan peningkatan koefisien aliran permukaan


mengikuti persamaan: y = 158,8 e-0,03X dan penurunan debit minimum mengikuti
persamaan: y = 18,6 e0,01X, dimana y adalah koefisien aliran permukaan (%) dan
debit minimum (m3/detik), e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai
2,7182818 dan X adalah luas hutan (% luas DAS Konaweha Hulu).

3. Ketersediaan sumberdaya air menurun sementara kebutuhan air meningkat dari


tahun ke tahun. Defisit air di DAS Konaweha akan terjadi pada periode 2026-
2030 dengan nilai defisit sekitar 0,9 m3/detik, sedangkan defisit air periode 2046-
2050 adalah 17,9 m3/detik.

4. Proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan untuk menjamin


keberlanjutan sumberdaya air di DAS Konaweha adalah 32,5-37,5 % dari luas
DAS Konaweha Hulu.

5. Pembiayaan pemeliharaan fungsi DAS Konaweha untuk menjaga keberlanjutan


sumberdaya air didasarkan pada proporsi nilai manfaat ekonomi air masing-
masing kabupaten/kota, sehingga tanggung jawab pembiayaan bagi Kota
Kendari, Kabupaten Konawe, Kolaka dan Konawe Selatan masing-masing
sebesar 37 %, 28 %, 21 % dan 14 % dari total biaya yang diperlukan.
160

6. Kebijakan penggunaan lahan eksisting di DAS Konaweha hanya bisa menjamin


keberlanjutan sumberdaya air hingga periode 2026-2030. Komposisi
penggunaan lahan utama yang terdiri dari 40 % hutan, 46 % perkebunan, 5 %
kebun campuran, 4 % semak belukar dan 5 % penggunaan lahan lainnya
merupakan penggunaan lahan terbaik untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya
air di DAS Konaweha.

Saran

Berdasarkan kesimpulan yang diuraikan terdahulu, maka dirumuskan


beberapa saran:

1. Penurunan fungsi hidrologi akibat perubahan penggunaan lahan DAS Konaweha


akan mempengaruhi keberlanjutan sumberdaya air sehingga diperlukan upaya
yang ditujukan untuk mengendalikan perubahan penggunaan lahan khususnya
penurunan luas hutan. Upaya-upaya tersebut antara lain koordinasi dan
pengawasan yang ketat terhadap eksploitasi hutan, standar ketat konversi hutan,
dan reorientasi prioritas pembangunan daerah.

2. Pada kondisi surplus air maka alokasi air untuk kebutuhan sektor domestik,
industri dan irigasi mempunyai prioritas yang sama. Pada kondisi defisit, maka
prioritas utama pemenuhan kebutuhan air berturut-turut adalah sektor domestik,
irigasi dan industri.

3. Mengingat terbatasnya anggaran pembangunan daerah yang bersumber dari dana


alokasi khusus (DAK), maka sebaiknya biaya pemeliharaan fungsi DAS
Konaweha dibebankan kepada pemakai air melalui penarikan pajak air 10 % dari
biaya pemakaian air. Berdasarkan hal ini maka diperlukan regulasi seperti
Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur.

4. Mengingat kebijakan penggunaan lahan eksisting DAS Konaweha hanya dapat


menjamin keberlanjutan sumberdaya air hingga periode 2026-2030, maka
seyogyanya diterapkan kebijakan penggunaan lahan dengan komposisi 40 %
hutan, 46 % perkebunan, 5 % kebun campuran, 4 % semak belukar.
DAFTAR PUSTAKA

Abaje, I.B., O.F. Ati, and S. Ishaya. 2009. Nature of Potable Water Supply and
Demand in Jema’a Local Government Area of Kaduna State, Nigeria.
Research Journal of Environmental and Earth Sciences 1(1): 16-21, 2009.
ISSN: 2041-0492 Maxwell Scientific Organization, 2009.
Adenike, A.A., and O.B. Titus. 2009. Determinants of Willingness to Pay for
Improved Water Supply in Osogbo Metropolis; Osun State, Nigeria.
Research Journal of Social Sciences, 4:1-6, 2009. Department of
Agricultural Economics, Ladoke Akintola. University of Technology,
Ogbomoso.
Agus, F., M. Van Noordwijk, dan S. Rahayu. 2004. Dampak Hidrologis Hutan,
Agroforestri, dan Pertanian Lahan Kering sebagai Dasar Pemberian
Imbalan Kepada Penghasil Jasa Lingkungan di Indonesia. Prosiding
Lokakarya di Padang/Singkarak, Sumatera Barat. World Agroforestry
Centre.
Arif, S.S. 2003. Menuju Pengelolaan Sumberdaya Air Yang Berkelanjutan.
National Project Coordinator on Water Resources Management.
Prosiding Seminar FAO-Bappenas, Jakarta.
Atmanto, S.D. 1998. Air untuk Kesejahteraan Rakyat : Reformasi Kebijakan
Pengelolaan Sumberdaya Air yang Berkelanjutan dan Berdimensi
Kerakyatan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Reformasi Hukum dan
Kebijaksanaan di Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam, Jakarta.
Aylward, D. 2005. Land Use, Hydrological Function and Economic Valuation.
In: Forest, Water and people in the Humid Tropics. Ed. M. Bonell and
L.A. Bruijnzeel. Published by Cambridge University Press.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara. 2005.
Program Pembangunan Daerah (Propeda) dan Program Pembangunan
Tahunan Daerah (Propetada) Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2006.
Kendari, Sulawesi Tenggara.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara. 2010.
Draft Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara.
Kendari, Sulawesi Tenggara.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Kolaka. 2000-2008. Kabupaten Kolaka Dalam
Angka Tahun 2000-2008. Kolaka, Sulawesi Tenggara.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Konawe. 2000-2008. Kabupaten Konawe
Dalam Angka Tahun 2000-2008. Unaaha, Sulawesi Tenggara.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2005. Sulawesi Tenggara
Dalam Angka Tahun 2004. Kendari, Sulawesi Tenggara.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2008a. Sulawesi Tenggara
Dalam Angka Tahun 2008. Kendari, Sulawesi Tenggara.
162

Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2008b. Statistik Air Minum
Sulawesi Tenggara. Kendari, Sulawesi Tenggara.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2009. Sulawesi Tenggara
Dalam Angka Tahun 2008. Kendari, Sulawesi Tenggara.
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2010. Sulawesi Tenggara
Dalam Angka Tahun 2009. Kendari, Sulawesi Tenggara.
Barbier, E.B. 1995. The economics of forestry and conservation: Economic
values and policies. Commonwealth Forestry Review 74(1):128-140.
Barbieri, A.F. 2006. Household life cycles, population mobility and land use in
the Amazon: Some comments and research directions. Universidade
Federal de Minas Gerais, Brazil.
Begum, N., J. Narayana, and A. Kumar. 2010. Land Use/Land Cover Changes in
the Catchment of Water Bodies in and Around Davangere City,
Katnataka. International Journal of Ecology and Environmental Sciences
36 (4):277-280, 2010. National Institute of Ecology, New Delhi, India.
Biswas, A.K. 1997. Water Resources. Environmental Planning, Management,
and Development. McGraw-Hill, New York, USA.
Biswas, A.K., and C.Tortajadab. 2010. Water Supply of Phnom Penh: An
Example of Good Governance. International Journal of Water Resources
Development Publication details, including instructions for authors and
subscription information: Third World Centre for Water Management,
Mexico .
Bonell, M, and L.A. Bruijnzeel. 2005. Forest, Water and people in the Humid
Tropics. Published by Cambridge University Press.
Bosscher, A. 1984. Basic Hydrology and Water Resource Development. Lecture
Note. International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences.
BPDAS Sampara. 2008. Rencana Pengelolaan Terpadu DAS Konaweha. Badan
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Sampara Provinsi Sulawesi Tenggara.
Kendari, Sulawesi Tenggara.
Brown, S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest a
Primer. FAO Forestry 134:1-37.
Bruijnzeel, L.A. 1990. Hydrology of Moist Tropical Forests and Effects of
Conversion : A State of Knowledge Review. Humid Tropics Programme
of the International Hydrological Programme of UNESCO, Paris, and
Vrije Universiteit, Amsterdam.
Bruijnzeel, L.A. 2004. Hydrological Functions of Tropical Forest: Not Seeing
the Soil for the Trees. Agriculture, Ecology and Environment. Doi:
10.1006/jagee.2009.01.015.
163

Champ, P.A. 1997. Using Donation Mechanisms to Value Nonuse Benefit from
Public Goods. Journal of Environmental Economics and Management 33:
155-162.
Chandler, F.J.C., and Suyanto. 2004. Pengakuan dan Pemberian Imbalan bagi
Penyediaan Jasa Daerah Aliran Sungai (DAS). Prosiding Lokakarya di
Padang/Singkarak, Sumatera Barat. World Agroforestry Centre.
Darusman, D. 1993. Nilai Ekonomi Air untuk Pertanian dan Rumah Tangga:
Studi Kasus di Sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Makalah Disampaikan pada Simposium Nasional Permasalahan Air di
Indonesia. Bandung, 29 Juli 1993.
Darusman, D., dan Bahruni. 2005. Aspek Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan
Sumberdaya Air serta Kontribusinya terhadap Pemerintah Daerah dan
Masyarakat. Prosiding Seminar Pemanfaatan Air di Kawasan Konservasi.
Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam Departemen
Kehutanan.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2010.
Statistik Industri Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari, Sulawesi
Tenggara.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2010. Laporan
Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Tenggara
Tahun 2009. Kendari, Sulawesi Tenggara.
Direktorat Jenderal Pengairan. 1986. Buku Petunjuk Perencanaan Irigasi. Bagian
Penunjang untuk Standar Perencanaan Irigasi. CV. Galang Persada,
Bandung.
Direktur Jenderal Sumberdaya Air. 2002. Juni-September 2002 Persediaan
Air Irigasi Tidak Mencukupi. Departemen Kimpraswil Republik
Indonesia. Jakarta. Internet : Www.Google.Com
Djajadiningrat, S.T. 1997. Pengantar Ekonomi Lingkungan. Penerbit: LP3ES,
Jakarta.
Drigo, R. 2005. Trends and Patterns of Tropical Land Use Change. In: Forest,
Water and people in the Humid Tropics. Ed. M. Bonell and L.A.
Bruijnzeel. Published by Cambridge University Press.
Duerr, A.W. 1960. Fundamental of Forestry Economics. McGraw-Hill, Book
Company. New York, Toronto, London.
Dumairy. 1992. Ekonomi Sumberdaya Air, Pengantar ke Hidronomika. BPFE,
Yogyakarta.
Dyah, R.P. 2000. Pengelolaan dan Pemanfaatan Sungai Menyongsong Abad-21.
Orasi Ilmiah Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Sungai, Universitas
Diponegoro, Semarang.
164

Dziegielewski, B. 2003. Strategy fo managing water demand. Journal on Water


Resources Update. Universities Council on Water Resources. University
of Illinois, USA.
Eagle, J.G., and D.R. Betters. 1998. Analysis, the Endangered Species Act and
Economic values: A comparison of Fines and Contingent Valuation
Studies. Journal of Ecological Economics 26:165-171.
Economic and Environment Program for Southeast Asia (EEPSEA) and World
Wild Fund for Nature (WWF). 1998. The Indonesian fires and haze of
1997: The economic toll. 1-8. Unpublished Report.
Enters, T. 1998. A Framework for the Economic Assessment of Soil Erosion and
Soil Conservation. Principles and Methods for Assessing Causes and
Impacts. Cabi Publishing.
Environmental Protection Agency (EPA). 2000. Projecting Land-Use Change A
Summary of Models for Assessing the Effects of Community Growth and
Change on Land-Use Patterns. United State Environmental Protection
Agency, Washington DC, USA.
Fakultas Kehutanan IPB. 1999. Laporan Akhir Kajian Sistem Nilai Hutan
Produksi. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Fares, Y.R. 2003. Water resouces management in tropical river catchments.
Journal of Environmental Hydrology, Volume 11 Paper 14 November
2003. Fluid Research Centre, School of Engineering, University of
Surtey, Guildford, England.
Fauzi, A. 2004. Mencermati Implementasi Undang-Undang Sumberdaya Air.
Web Site: www.unisosdem.org.id
Field, B.C. 1994. Environmental Economics, An Introductions. The McGraw-
Hill, Book Company Inc. New York, Tokyo, Toronto, Singapore.
Fox, J. J.B. Vogler, O.L. Sen, A.L. Ziegler, and T.W. Giambelluca. 2011.
Simulating land-cover change in Montane Mainland Southeast Asia.
Geography, University of Hawaii, Manoa, USA.
Freeman, A.M. 1993. The Measurement of Environmental and Resource Value,
Theory and Methods. Washington, D.C.
Gittinger, J.P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Terjemahan :
Sutomo, S dan K. Mangiri. Edisi Kedua. Penerbit UI-Press, Jakarta.
Glover, D., and J. Timothy. 1999. Indonesia’s Fires and Haze, The Cost of
Catastrophe. Institute of Southeast Asian Studies, Singapore and
International Development Research Center, Canada.
Gregory, G.R. 1972. Forest Resource Economics. John Wiley and Sons. New
York, USA.
165

Hairiah K., SM Sitompul, Meine van Noordwijk, and Cheryl Palm. 2001.
Method for Sampling Carbon Stocks Above and Below Ground. ASB
Lecture Note 4B:1-22.
Huang, H.Q, Y.L. Cai, and J. Peng. 2007. Modeling the spatial pattern of
farmland using GIS and multiple logistic regression: a case study of
Maotiao River Basin, Guizhou Province, China. Environ Model Assess
(2007) , China.
Husnan, S., dan S. Muhammad. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Edisi Keempat.
Penerbit : UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
International Water Management Institute. 2006. Gobal Water Outlok to 2025.
Averting an Impending Crisis. International Food Policy Research
Institute. Washington, D.C, USA.
Iriawan, N., dan S.P. Astuti. 2008. Mengolah Data Statistik dengan Mudah
Menggunakan Minitab 14. Penerbit: Andi, Yogyakarta.
Isnugroho, 2002. Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air. Departemen Permukiman
dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia, Jakarta.
Kartodihardjo, H., K. Murtilaksono, dan U. Sudadi. 2004. Institusi Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai. Konsep dan Pengantar Analisis Kebijakan.
Fakultas kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Kiersch, B., and S. Tognetti. 2002. Land-Water Linkages in Rural Watershed :
Results from the FAO Electronic Workshop. Land Use and Water
Resources research, FAO, Rome, Italy.
Kodoatie, R.J., Suharyanto, S. Sangkawati, dan S. Edhisono. 2002. Pengelolaan
Sumberdaya Air dalam Otonomi Daerah. Penerbit : Andi Yogyakarta.
Kramer, R.A., and D.E. Mercer. 1997. Valuing a Global Environmental Good:
U.S. Resident Willingness to Pay to Protect Tropical Rain Rorest. Journal
of Land Economics 73(2):196-210.
Lerner, D.N., and B. Harris. 2009. The relationship between land use and
groundwater resources and quality. Journal of Land Use Policy 265
(2009) S265-S273.. Published by Elsevier Ltd, All rights reserved.
Little, C., A. Lara, J. McPhee, and R. Urrutia. 2009. Revealing the impact of
forest exotic plantations on water yield in large scale watershed in South-
Central Chile. Journal of Hydrology 374 (2009) 162-170. Published by
Elsevier Ltd, All rights reserved.
Loomis, J., T. Brown, B. Lucero, and G. Peterson. 1996. Improving Validity
Experiments of Contingent Valuation Methods: Results of Efforts to
Reduce the Disparity of Hypothetical and Actual Willingness to Pay.
Journal of Land Economics 72(4):450-461.
166

Mahbub, B. 2000. Pengelolaan Sumberdaya Air Berwawasan Lingkungan pada


Pengembangan Wilayah. Orasi Ilmiah Pengukuhan Ahli Peneliti Utama
Bidang Sungai, Universitas Diponegoro, Semarang.
Maltima, J.M., S.M. Mugatha, R.S. Reid, L.N. Gachimbi, A. Majule, H. Lyaruu,
D. Pomey, S. Mathai, and S. Mungisha. 2009. The linkages between land
use change, land degradation and biodiversity across East Africa. African
Journal of Environmental Science and Technology. Vol 3 (10) pp. 310-
325, october 2009.
Maltima, J.M., J.M. Olson, S.M. Mugatha, S. Magisha, and T. Mutie. 2010. Land
use changes, impacts and option for sustaining productivity and livelihood
in the basin of Lake Victoria. Journal of Sustainable Development in
Africa. Volume 12, No. 3, 2010. Clarion University of Pennsylvania,
USA.
Manoli, E., P. Katsiardi, G. Arampatzis, and D. Assimacopoulos. 2005.
Comprehensive Water Management Scenarios for Strategic Planning.
Global NEST Journal, Vol 7, No 3, pp 369-378, 2005. Copyright© 2005
Global NEST. Printed in Greece. All rights reserved. Rhodes Island,
Greece.
Marshall, E., M. Caswell, S. Malcolm, M. Motamed, J. Hrubovcak, C. Jones, and
C. Nickerson. 2011. Measuring the Indirect Land-Use Change Associated
With Increased Biofuel Feedstock Production. A Review of Modeling
Efforts. United States Department of Agriculture. Economic Research
Service, USA.
Mattjik, A.A. dan I.M. Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan dengan
Aplikasi SAS dan Minitab, Jilid 1. Edisi Kedua. Diterbitkan oleh IPB
PRESS, P.O. Box 199, Bogor.
Mays, L.W., and Y.K. Tung. 1992. Hydrosystems Engineering and Management.
McGraw-Hill, New York, USA.
McNeely, J.A. 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati : Mengembangkan
dan Memanfaatkan Perangsang Ekonomi untuk Melestarikan Sumberdaya
Hayati. Kusdyantinah (Penerjemah). Terjemahan dari: Economics and
Biological Diversity: Developing and Using Economics Incentives to
Conserve Biological Resources. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
McWhinney, S. 2005. Introducing the New Water Efficiency Labelling and
Standards (WELS) Scheme. Water Services Assosiation of Australia
Journal. Issue No. 3, May, 2005. Departement of the Envoronment and
Heritage, Australia.
Mena, C.F., S.J. Walsh, and R.E. Bilsborrow. 2010. Demographic,
Socieconomic, and Biophysical Factors Affecting Land Use and Land
Cover Change in The Northern Ecuadorian Amazon: Factors, Statistical
Models, and Spatial Explicit Simulations. Carolina Population Center and
Geography Department, University of North Carolina, USA.
167

Murdiyarso, D. 2005. Water Resources Management Policy Responses to Land


Cover Change in South East Asian River Basins. In: Forest, Water and
people in the Humid Tropics. Ed. M. Bonell and L.A. Bruijnzeel.
Published by Cambridge University Press.
Pawitan, H., R. Boer, Y. Kusmaryono, dan J.S. Baharsyah. 2003. Perubahan
Iklim Global dan Dampaknya terhadap Masa Depan Sumberdaya Air dan
Ketersediaan Air di Indonesia. Prosiding: Seminar Hari Air Sedunia,
Jakarta.
Pearce, D., and D. Moran. 1994. The Economic Value of Biodiversity. IUCN
Earthscan Publications Ltd. London.
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Kendari. 2010. Rencana
Pengembangan Peningkatan Pelayanan Konsumen Kota Kendari.
Kendari, Sulawesi Tenggara.
Purwanto, E., dan J. Ruijter. 2004. Hubungan antara Hutan dan Fungsi Daerah
Aliran Sungai. Prosiding Lokakarya di Padang/Singkarak, Sumatera
Barat. World Agroforestry Centre.
Purwanto, M.Y.J. 1995. Water Demand for Industry, Village and City. Seminar
on Water Demand in Developing Country, Tokyo, Japan.
Purwanto, M.Y.J, and Sutoyo. 2010. Water Resources Assessment for City Area.
Proceedings of The International Conference. The Quality Information
for Competitive Agricutural Based Production System and Commerce.
IPB International Convention Center, Bogor, 2010.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan. 1999. Inventarisasi Hidrologi di
15 Daerah Aliran Sungai (DAS). Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pengairan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum,
Departemen Pekerjaan Umum, Bandung.
Ramdan, H. 2006. Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan
Gunung Ciremai Provinsi Jawa Barat. Disertasi Doktor Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Ramdan, H., Yusran, dan D. Darusman. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Otonomi Daerah : Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi.
Cetakan Pertama. Penerbit Alqaprint Jatinangor, Bandung.
Randal, A. 1987. Resource Economic. John Wiley & Sons, Inc. New York,
Chichester, Brisbane, Singapore, Toronto.
Richard, M. 1997. The Potential for Economic Valuation of Watershed
Protection in Mountainous Areas : A Case Study from Bolivia. Mountain
Research and Development. Of land use change. Journal of Global
Environmental Change. 15 (2005) 23 – 31.
168

Rudel, T.K., O.T. Coomes, E. Moran, F. Achard, A. Angelsen, J. Xu, and E.


Lambin. 2005. Forest transitions: towards a global understanding.
Journal of Global Environmental Change 15 (2005) 23 – 31. Published by:
Elsevier, Ltd. All rights reserved.
Sanim, B. 2003. Ekonomi Sumberdaya Air dan Manajemen Pengembangan
Sektor Air Bersih Bagi Kesejahteraan Publik. Orasi Ilmiah Guru Besar
Tetap Bidang Ilmu Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Sanim, B. 2005. Handout Mata Kuliah : Ekonomi Lingkungan dan Analisis
Kebijakan. Fakultas Ekonomi Manajemen (FEM), Institut Pertanian
Bogor.
Schaldach, R., and J.A. Priess. 2008. Integrated Models of the Land System: A
Review of Modelling Approaches on the Regional to Global Scale.
Center for Environmental Systems Research University of Kassel, Kurt-
Wolters-Str. 3, Germany.
Seckler, D., U. Amarasinghe, D. Molden, R. de Silva, and R. Barker. 1998.
World Water Demand and Supply, 1990 to 2025: Scenarios and Issues.
Research Report 19. International Water Management Institute, P O Box
2075, Colombo, Sri Lanka.
Setiawan, A. 2000. Nilai Ekonomi Hutan Raya Wan Abdul Rachman Provinsi
Lampung. Thesis Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sihite, J.H.S. 2004. Valuasi Ekonomi dari Perubahan Penggunaan Lahan di Sub
DAS Besai-DAS Tulang Bawang Lampung. Disertasi Doktor, Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Singh, V.P. 1992. Elementary Hydrology. Departement of Civil Engineering
Louisiana State University. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey,
USA.
Sinukaban, N. 1994. Membangun Pertanian Menjadi Industri Lestari dengan
Pertanian Konservasi. Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Konservasi Tanah
dan Air. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sinukaban, N. 2005. Implication of Regional Autonomy on Watershed
Management. Paper Presented on Seminar for Contennial
Commemoration of the Indonesian Soil Research Institute, Bogor.
Sinukaban, N. 2008. Peranan Konservasi Tanah dan Air dalam Mitigasi Banjir.
Prosiding Seminar Konservasi Tanah dan Air. Forum DAS Provinsi
Lampung. Bandar Lampung, Indonesia.
Soekartawi. 2006. Analisis Usahatani. Penerbit: Universitas Indonesia. Jakarta,
Indonesia.
Soeparmoko, M. 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Suatu
Pendekatan Teoritis). Edisi Ketiga. Penerbit: BPFE Yogyakarta. Anggota
IKAPI No. 008.
169

Soeparmoko, M. 2006. Panduan dan Analisis Valuasi Ekonomi Sumberdaya


Alam dan Lingkungan (Konsep, Metode Penghitungan dan Aplikasi).
Edisi Pertama. Penerbit: BPFE Yogyakarta. Anggota IKAPI No. 008.
Spash, C.L. 1997. Ethics and Environment Attitudes with Implication for
Economic Valuation. Journal of Environmental Management 50:403-416.
Suara Merdeka. 2004. Tahun 2020 Indonesia Kekurangan Air Bersih. Senin, 13
Desember 2004. Internet : www.google.com
Sub Dinas PU Pengairan Provinsi Sulawesi Tenggara.2010. Debit Rata-Rata
Sungai Konaweha Tahun 1993 – 2009. Kendari, Sulawesi Tenggara.
Sub Dinas PU Pengairan Provinsi Sulawesi Tenggara.2009. Rekapitulasi Data
Curah Hujan Bulanan Stasiun Hujan Sulawesi Tenggara. Kendari,
Sulawesi Tenggara.
Sulistiyono, N. 2006. Penilaian Ekonomi pada Berbagai Pola Penggunaan Lahan
Berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003 (Studi Kasus di DAS
Ciliwung Hulu, DAS Ciesek, Kabupaten Bogor). Thesis Magister Sains
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Suratiah, K. 2006. Ilmu Usahatani. Penerbit: Penebar Swadaya Jakarta.
Jakarta, Indonesia.
Swanson, T.M. 1996. The Economic of Environment Degradation, The
Tragedy for the Commons. UNEP. Edward Elgar Publishing. Cheltenham
- UK, Brookfield - USA.
Tang, Z., B.A. Engel, B.C. Pijanowski, and K.J. Lim. 2005. Forecasting land use
change and its environmental impact at a watershed scale. Journal of
Envoronmental Management, 76 (2005) 35 – 45. Published by: Elsevier,
Ltd. All rights reserved. Doc:10.1016/j.jenvman. 2005.01.006.
Taufik, Y., A. Nikoyan, dan La Baco, 2001. Studi Pengembangan Masyarakat di
Sekitar Kawasan Hutan Kabupaten Kolaka. Kerjasama Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kolaka dengan Lembaga
Penelitian Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara.
Tietenberg, T. 1992. Environmental Economics and Policy. Harpers Collins
College Publisher Inc. New York.
UNEP and FAO. 1999. The Future of Our Land. Facing the Challenge. United
Nation Environment Programme. Food And Agriculture Organization,
Rome, Italy.
United Nation Development Programme (UNDP) dan Kementerian Lingkungan
Hidup (KLH), 1998. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Dampak,
Faktor dan Evaluasi. Jilid I. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup
Republik Indonesia. Jakarta.
170

Van Noordwijk, M., F. Agus, D. Suprayogo, K. Hairiah, G. Pasha, B. Verbist, dan


Farida. 2004. Peranan Agroforestri dalam Mempertahankan Fungsi
Hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS). Prosiding Lokakarya di
Padang/Singkarak, Sumatera Barat. World Agroforestry Centre.
Verburg, P, G.H.J. de Koning, K. Kok, A. Veldkamp, and J. Bouma. 1999. A
spatial explicit allocation procedure for modelling the pattern of land use
change based upon actual land use. Ecological Modelling 116 (1999) 45–
61. Elsevier, Wageningen, Netherlands.
Verburg, P.H, T. Veldkamp, and J.P. Lesschen. 2011. Exercises for the CLUE-S
model. The CLUE Modelling Framework. Ecological Modelling.
Elsevier, Wageningen, Netherlands.
Wainger, L.A., J. Rayburn, and E. W. Price. 2007. Review of Land Use Change
Models Applicability to Projections of Future Energy Demand in the
Southeast United States. University of Maryland, Center for
Environmental Science Chesapeake Biological Laboratory, USA.
Ward, A.D., W.J. Elliot. 1992. Environmental Hydrology. Lewis Publisher,
Boca Raton, New York, London, Tokyo.
World Health Organization (WHO). 2009. Jumlah Air Minimal Kebutuhan
Rumah Tangga. Technical Notes for Emergencies, Technical Note No. 9.
WHO Regional Office for South-East Asia.
Wood, E.C., G.G. Tappan, and A. Hadj. 2004. Undertanding the drivers of
Agricultural land use change in South-Central Senegal. Journal of Arid
Environments. Published by Elsevier, Ltd. All right reserved. Doc:
10.106.
Yunus, L. 2005. Metode Penilaian Ekonomi Kerusakan Lingkungan Akibat
Kebakaran Hutan dan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Sintang
Kalimantan Barat). Disertasi Doktor pada Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Yusnaini, S., A. Niswati, M.A.S. Arif, and M. Nonaka. 2008. The Changes of
Earthworm Population and Chemical Properties of Tropical Soil Under
Different Land Use System. Journal of Tropical Soils, Vol. 13, No. 2,
2008.
Yuwono, S.B. 2011. Alternatif Pengembangan Sumberdaya Air Berkelanjutan
DAS Way Betung Kota Bandar Lampung. Disertasi Doktor pada Program
Studi Pengelolaan DAS Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
171

Lampiran 1. Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 1991

Lampiran 2. Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 1999


172

Lampiran 3. Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 2011

Lampiran 4. Proporsi Luas Masing-masing Jenis Penggunaan Lahan di DAS


Konaweha Hulu Tahun 1991-2011
Penggunaan Lahan Luas (%)
1991 1999 2001 2004 2005 2006 2008 2011
Hutan 66,6 55,3 51,3 50,1 49,2 48,8 47,0 43,6
Perkebunan 26,0 34,8 38,3 39,0 39,5 39,6 40,0 42,0
Kebun Campuran 3,0 3,8 4,0 4,5 4,7 4,8 5,5 6,5
Semak Belukar 1,7 2,6 2,9 3,0 3,0 3,1 3,3 3,5
Tegalan 0,7 1,2 1,3 1,5 1,7 1,8 2,1 2,5
Lahan Terbuka 0,6 1,1 0,7 0,4 0,3 0,2 0,5 0,6
Permukiman 0,6 0,9 0,9 1,0 1,0 1,0 1,1 1,3
Sawah 0,2 0,4 0,5 0,5 0,6 0,6 0,6 0,8
Total 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Keterangan: Luas DAS Konaweha Hulu adalah 337.992 hektar.
173

Lampiran 5. Analisis Keragaman (Anova) Pengaruh Waktu terhadap Perubahan


Penggunaan Lahan di DAS Konaweha Hulu
Analysis of Variance (x, y1)
Source DF SS MS F P
Regression 1 177.012 177.012 17.01 0.054
Error 2 20.815 10.408
Total 3 197.827

Analysis of Variance (x, y2)


Source DF SS MS F P
Regression 1 100.801 100.801 13.36 0.067
Error 2 15.087 7.544
Total 3 115.888

Analysis of Variance (x, y3)


Source DF SS MS F P
Regression 1 2.1125 2.1125 281.67 0.004
Error 2 0.0150 0.0075
Total 3 2.1275

Analysis of Variance (x, y4)


Source DF SS MS F P
Regression 1 1.0125 1.0125 15.00 0.061
Error 2 0.1350 0.0675
Total 3 1.1475

Lampiran 6. Proyeksi Luas Hutan, Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak


Belukar di DAS Konaweha Hulu Tahun 2011-2050
Periode Hutan (%) Perkebunan (%) Kebun Campuran (%) Semak Belukar (%)
5 (1991-1995) 66.6 26.0 3.0 1.7
10 (1996-2000) 55.3 34.8 3.8 2.6
15 (2001-2005) 50.7 38.6 4.3 2.9
20 (2006-2010) 48.3 39.7 5.0 3.1
25 (2011-2015) 43.2 43.1 5.3 3.6
30 (2016-2020) 39.1 45.0 5.7 3.9
35 (2021-2025) 35.4 46.6 6.0 4.2
40 (2026-2030) 32.0 47.9 6.3 4.5
45 (2031-2035) 29.0 49.1 6.6 4.7
50 (2036-2040) 26.2 50.2 6.8 4.9
55 (2041-2045) 23.7 51.2 7.1 5.1
60 (2046-2050) 21.5 52.1 7.3 5.3
Keterangan:
Kolom 2: y = 71.26e^-0.02x
Kolom 3: y = 10.2Ln(x) + 10.3
Kolom 4: y = 1.67x^0.36
Kolom 5: y = 0.88x^0.44
Angka-angka yang dicetak tebal merupakan hasil proyeksi dari tahun 2011-2050
174

Lampiran 7a. Debit Harian Rata-rata Sungai Konaweha Tahun 2007


Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Tanggal Curah Hujan (mm) dan Debit (m3/detik)
CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit
1 0 50 0 60 38 210 20 188 0 88 35 224 0 97 0 89 1 67 3 44 2 33 3 47
2 0 47 0 54 20 245 0 176 38 205 24 211 0 85 0 88 1 67 0 39 0 29 0 39
3 0 45 32 165 0 224 0 175 0 265 0 202 15 114 7 119 17 119 0 32 13 88 11 79
4 4 77 7 161 0 213 18 230 22 300 0 187 12 119 35 188 0 94 0 25 31 159 0 68
5 0 75 0 158 0 199 4 222 0 285 0 165 0 87 0 176 0 75 0 21 0 144 0 57
6 0 70 0 147 0 166 0 175 0 275 0 133 0 74 17 177 0 58 0 19 0 133 0 52
7 0 65 0 139 42 256 0 154 0 255 0 115 0 63 0 165 0 47 0 18 0 126 0 49
8 0 57 0 133 0 220 43 287 0 245 10 147 0 55 0 122 0 39 0 17 0 121 0 40
9 0 53 0 113 0 210 7 256 20 271 0 124 0 47 0 114 0 28 0 16 0 95 35 171
10 15 138 0 104 0 177 3 228 0 260 0 118 0 44 0 87 0 27 6 59 0 82 2 155
11 0 135 0 97 0 164 0 197 0 260 20 175 0 43 0 64 0 22 0 55 0 71 1 149
12 0 122 0 86 0 144 0 177 8 255 15 188 0 41 0 51 0 20 0 45 0 60 0 133
13 0 110 0 64 0 125 10 220 0 247 0 177 0 41 0 44 0 17 0 40 0 51 0 116
14 31 160 0 51 0 110 14 210 0 245 0 146 18 121 0 37 0 15 0 35 0 41 0 105
15 19 165 6 124 11 165 0 185 0 240 16 178 6 102 0 33 6 45 0 35 0 33 0 96
16 18 160 0 118 0 142 0 167 0 235 0 144 0 78 3 41 0 26 0 35 11 125 0 89
17 0 145 13 141 0 133 0 154 0 227 0 122 0 66 0 37 0 22 5 57 0 100 0 79
18 0 133 0 137 0 129 10 178 0 175 0 97 0 59 3 55 0 19 0 55 0 78 0 74
19 0 124 0 130 0 125 18 194 0 135 0 76 4 64 2 42 0 16 0 49 0 65 0 69
20 0 117 0 122 0 118 0 175 0 115 0 75 37 233 23 155 0 15 23 144 0 55 0 64
21 0 97 0 119 0 103 0 146 44 318 0 71 0 187 14 153 0 15 0 125 0 41 10 99
22 0 88 0 109 0 100 0 131 13 310 0 71 0 169 0 133 0 14 0 112 0 32 0 93
23 0 77 0 87 0 85 0 126 10 307 15 137 13 206 0 127 0 14 0 96 8 65 14 119
24 0 64 15 101 20 122 0 97 0 287 0 122 10 222 0 116 0 13 0 78 0 55 0 94
25 0 57 35 225 8 124 0 85 5 280 0 106 11 210 0 110 0 13 0 66 0 44 0 85
26 15 122 25 220 1 122 0 81 0 275 41 274 4 197 11 132 7 34 0 49 0 36 0 72
27 13 125 0 185 0 85 0 72 0 260 0 222 0 144 5 127 0 22 0 37 0 31 8 88
28 2 118 0 155 0 77 0 65 0 244 0 178 9 157 1 122 0 20 0 29 0 29 5 79
29 0 109 0 62 0 64 0 215 0 155 0 132 1 122 0 19 0 22 0 26 0 60
30 0 99 14 112 14 124 0 197 0 143 0 113 0 97 0 17 0 20 0 22 0 60
31 0 95 0 97 20 225 0 97 0 75 0 19 0 55
117 100 133 125 154 147 161 165 180 242 176 149 139 112 122 103 32 34 37 48 65 69 89 85
Total CH 117 133 154 162 180 176 139 122 32 37 65 89
Debit Rata-rata 100 125 147 165 242 149 112 103 34 48 69 85
Qmax 160 225 256 287 318 274 233 188 119 144 159 171
Qmin 45 51 62 64 88 71 41 33 13 16 22 39
175

Lampiran 7b. Debit Harian Rata-rata Sungai Konaweha Tahun 2008


Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Tanggal Curah Hujan (mm) dan Debit (m3/detik)
CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit
1 0 94 10 123 45 255 5 140 13 256 3 175 0 88 5 77 0 25 0 30 19 127 0 70
2 0 93 6 144 5 230 0 133 15 259 0 168 0 77 0 58 0 25 0 30 5 122 0 70
3 7 106 10 155 4 200 0 133 0 255 0 159 0 75 0 51 0 25 0 30 0 102 0 65
4 8 127 15 171 0 215 23 260 0 250 0 142 10 125 0 39 0 21 20 77 0 87 0 60
5 2 138 0 169 0 165 2 255 0 245 0 140 0 119 0 35 0 21 0 63 0 82 25 135
6 0 122 0 165 14 200 0 245 25 275 0 133 0 116 4 55 0 21 0 55 0 72 20 145
7 0 120 0 155 0 189 17 254 12 271 9 224 11 130 10 74 0 20 0 55 0 69 0 135
8 0 80 0 149 0 161 0 245 13 269 0 203 0 126 7 70 0 19 0 55 0 57 0 135
9 0 70 7 160 7 206 0 224 0 260 4 207 5 124 0 61 5 55 0 52 0 43 28 184
10 0 77 8 190 10 230 0 221 0 255 10 238 5 121 0 50 2 40 0 48 15 100 8 175
11 0 70 0 162 0 190 20 259 15 260 14 241 7 126 2 59 2 35 0 45 5 95 0 146
12 4 120 0 156 8 199 0 250 0 253 16 245 6 125 0 56 0 30 15 61 0 88 5 145
13 0 112 0 145 0 150 0 240 0 242 9 230 3 120 0 55 0 30 0 56 0 85 0 131
14 0 108 0 128 6 155 6 237 0 240 12 244 0 90 7 81 0 25 0 50 0 71 0 128
15 0 108 0 110 0 145 8 251 0 220 0 233 0 80 8 88 0 20 0 50 0 64 0 127
16 6 110 0 100 10 195 0 200 0 170 0 215 0 80 12 122 0 20 0 45 0 52 0 112
17 0 122 0 98 0 200 30 250 14 256 0 188 0 70 0 82 3 35 0 40 0 47 0 104
18 0 122 0 96 0 145 4 240 0 244 0 171 14 135 0 70 0 25 0 40 0 45 0 92
19 7 125 0 85 0 140 9 245 0 231 0 162 0 122 0 62 0 20 0 35 0 44 0 77
20 0 120 12 160 3 167 9 249 0 224 0 137 7 112 4 65 0 20 0 35 0 42 0 66
21 0 114 0 159 0 163 1 233 0 220 0 121 5 98 8 85 0 20 0 27 0 39 0 65
22 25 147 0 155 0 123 1 232 0 220 0 117 4 97 0 67 0 20 0 27 4 43 0 60
23 0 175 0 155 4 127 0 190 0 215 0 105 6 104 0 59 0 20 17 67 0 42 0 55
24 0 165 0 146 6 149 0 160 0 200 0 100 8 122 0 55 3 25 0 59 0 40 0 47
25 10 160 0 135 0 130 0 125 16 257 5 155 0 117 0 50 0 25 0 47 0 40 4 83
26 10 150 0 120 0 120 0 110 0 250 0 137 0 114 2 55 8 63 0 41 25 165 0 81
27 3 140 3 129 0 105 0 105 0 238 0 124 0 85 1 37 6 52 2 37 17 147 0 76
28 11 132 16 220 0 90 7 120 8 247 0 121 0 72 0 37 2 45 0 37 0 122 0 76
29 1 120 40 235 12 108 17 180 0 223 0 120 0 70 0 35 0 37 0 37 0 114 5 65
30 18 100 10 155 0 170 0 180 6 100 0 66 0 35 0 32 0 35 0 93 0 65
31 2 102 0 140 0 145 0 65 0 35 0 30 0 60
114 118 127 147 144 166 159 205 131 236 88 169 91 102 70 60 31 29 54 45 90 78 95 97.9
Total CH 114 127 144 159 131 88 91 70 31 54 90 95
Debit Rata-rata 118 147 166 205 236 169 102 60 29 46 78 98
Qmax 175 235 255 260 275 245 135 122 63 77 165 184
Qmin 70 85 90 110 145 100 65 35 19 27 39 47
176

Lampiran 7c. Debit Harian Rata-rata Sungai Konaweha Tahun 2009


Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Tanggal Curah Hujan (mm) dan Debit (m3/detik)
CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit
1 0 82 20 157 0 88 0 183 0 178 15 246 0 63 0 42 0 22 4 33 0 30 0 35
2 15 143 0 148 22 192 0 179 0 177 0 239 0 63 0 41 15 55 0 27 10 95 0 35
3 0 133 0 145 0 185 0 169 17 270 0 220 0 59 7 66 0 33 0 25 0 80 5 55
4 10 147 0 145 0 165 25 266 0 270 40 293 35 217 2 62 0 28 0 25 0 77 38 128
5 0 145 0 130 0 121 0 261 10 265 0 277 0 185 0 43 30 125 0 22 0 69 15 177
6 3 145 0 115 0 116 0 241 0 265 0 267 0 164 0 41 8 104 0 20 0 65 0 169
7 0 139 10 161 0 92 11 247 17 270 0 239 0 151 0 40 0 87 0 20 35 157 0 153
8 0 133 7 144 0 84 0 242 0 265 0 216 0 139 0 38 0 65 6 43 0 146 0 139
9 0 130 0 120 0 77 0 226 0 220 0 145 0 122 7 55 0 54 0 40 0 142 0 131
10 0 120 0 85 0 73 7 239 0 210 0 122 0 95 10 73 0 41 0 39 0 122 0 114
11 0 90 0 71 21 242 0 227 0 165 17 233 0 81 0 61 0 38 0 35 0 90 0 87
12 0 85 0 64 0 222 0 225 0 144 20 251 0 66 0 55 0 36 0 33 7 99 0 71
13 0 70 12 144 0 197 0 209 0 102 0 224 0 57 0 49 0 33 0 32 0 89 0 66
14 0 65 7 156 18 245 12 237 0 93 0 187 23 155 0 43 0 28 0 30 0 79 0 47
15 0 55 31 253 0 235 0 229 10 266 20 260 0 141 0 42 0 27 0 25 0 75 0 45
16 10 127 10 237 0 224 0 207 0 254 12 245 0 128 32 174 0 24 0 22 0 67 0 32
17 0 118 0 225 0 182 0 175 0 233 16 230 24 155 17 155 0 22 0 21 0 55 10 88
18 8 135 0 202 7 225 0 165 54 347 0 225 0 133 0 128 0 20 14 77 0 35 5 84
19 0 129 0 198 0 195 0 133 0 342 0 188 0 122 0 93 0 18 0 75 0 28 4 83
20 0 122 17 203 0 156 0 104 0 321 0 174 25 161 0 75 0 17 33 144 9 71 0 77
21 0 117 18 217 0 143 0 97 0 304 10 187 0 127 0 63 0 15 0 121 0 56 0 69
22 0 106 0 195 37 266 0 86 0 277 0 153 0 115 15 102 0 14 0 117 0 47 0 59
23 30 166 3 195 10 247 0 83 0 264 0 137 25 159 7 84 0 13 0 104 0 39 0 48
24 45 188 0 150 0 211 0 81 10 279 0 115 0 140 0 71 0 12 0 85 13 88 0 41
25 0 175 0 135 0 190 48 279 16 288 0 102 0 124 0 61 0 11 0 77 0 77 18 133
26 0 173 0 120 0 175 25 272 0 270 0 95 0 112 0 57 0 11 0 65 0 62 0 125
27 0 168 0 83 15 200 21 247 10 265 0 88 0 92 0 45 0 10 8 55 0 60 0 124
28 0 165 0 66 0 152 19 227 8 265 0 74 0 83 18 110 0 10 0 41 0 59 0 114
29 0 135 0 133 0 216 0 247 0 66 0 69 0 93 0 9 0 39 0 49 0 112
30 0 133 21 198 0 202 20 275 0 63 0 57 0 85 0 9 0 32 0 42 0 91
31 0 122 0 195 0 265 0 55 0 55 0 27 0 88
121 128 135 152 151 175 168 198 172 247 150 185 132 116 115 71 53 33 65 50 74 75 95 91
Total CH 121 135 151 168 172 150 132 115 53 65 74 95
Debit Rata-rata 128 152 175 198 247 185 116 71 33 50 75 91
Qmax 188 253 266 279 347 293 217 174 125 144 157 177
Qmin 55 64 73 83 93 63 55 38 9 20 28 32
177

Lampiran 7d. Debit Harian Rata-rata, Debit Harian Maksimum dan Debit Harian
Minimum Sungai Konaweha 2007-2009
Tahun 2007 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Qmax (m3/det) 160 225 256 287 318 274 233 188 119 144 159 171
Qmin (m3/det) 45 51 62 64 88 71 41 33 13 16 22 39
Qrata-rata (m3/det) 100 125 147 165 242 149 112 103 34 48 69 85

Tahun 2008 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Qmax (m3/det) 175 235 255 260 275 245 135 122 63 77 165 184
Qmin (m3/det) 70 85 90 110 145 100 65 35 19 27 39 47
Qrata-rata (m3/det) 118 147 166 205 236 169 102 60 29 46 78 98

Tahun 2009 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Qmax (m3/det) 188 253 266 279 347 293 217 174 70 144 157 177
Qmin (m3/det) 55 64 73 83 93 63 55 38 15 20 28 32
Qrata-rata (m3/det) 128 152 175 198 247 185 116 71 33 50 75 91

Rata-Rata Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Qmax (m3/det) 174 238 259 275 313 271 195 161 84 122 160 177
Qmin (m3/det) 57 67 75 86 109 78 54 35 16 21 30 39
Qrata-rata (m3/det) 115 141 163 189 242 168 110 78 32 48 74 91

Lampiran 8. Curah Hujan Rata-rata Bulanan DAS Konaweha Tahun 1999-2009


Curah Hujan (mm)
Bulan 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata
Jan 100 144 115 112 105 99 122 101 117 114 121 114
Feb 118 136 132 120 141 124 124 104 133 127 135 127
Mar 135 67 135 171 185 144 158 142 154 144 151 144
Apr 147 125 140 160 166 160 149 140 162 155 168 152
May 155 278 155 170 163 150 101 165 180 168 172 169
Jun 130 107 139 170 102 134 82 150 176 109 150 132
Jul 114 93 128 41 167 99 72 95 139 77 132 105
Aug 88 60 90 10 58 58 66 85 122 64 115 74
Sep 47 18 46 11 45 40 44 44 32 31 53 37
Oct 65 106 92 12 16 75 98 18 37 54 65 58
Nov 90 28 123.2 28 34 80 102 88 66 72 74 71
Dec 97 22 102 144 154 94.8 118 94 89 95 95 100
Total 1286 1184 1397 1149 1336 1258 1236 1226 1407 1210 1431 1269

Lampiran 9. Debit Bulanan Rata-rata, Maksimum dan Minimum Sungai


Konaweha Tahun 1993-2009
Debit (m3/detik)
Bulan 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jan 100 135 79 59 55 53 90 114 121 98 94 90 132 142 100 135 128
Feb 129 149 127 174 151 185 106 110 114 81 113 145 164 174 125 177 152
Mar 182 231 151 181 152 200 125 71 133 127 134 175 196 175 147 192 175
Apr 234 251 291 182 240 242 162 176 165 122 125 202 258 199 165 244 198
May 254 246 238 232 255 271 195 381 237 243 247 254 203 266 242 275 247
Jun 290 180 295 234 185 225 205 276 220 127 225 182 74 168 149 166 185
Jul 189 126 185 175 172 181 108 143 165 52 126 99 60 95 112 87 116
Aug 78 99 94 98 89 147 56 66 81 44 65 58 59 55 103 49 71
Sep 37 38 41 40 37 35 36 11 34 31 25 30 28 23 34 20 33
Oct 70 49 76 77 66 55 41 23 55 23 28 49 59 31 48 39 50
Nov 191 89 118 162 114 88 58 29 110 40 46 85 118 47 69 48 75
Dec 135 125 136 119 78 74 75 35 118 120 99 92 122 95 85 85 91
Max 290 251 295 234 255 271 205 381 237 243 247 254 258 266 242 275 247
Min 37 38 41 40 37 35 36 11 34 31 25 30 28 23 34 20 33
178

Lampiran 10. Koefisien Aliran Permukaan, Debit Maksimum dan Debit Minimum
DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010

Periode Luas Tutupan (% Luas DAS Konaweha Koefisien C Qmax Qmin KRS
Hulu) (%) (m3/detik) (m3/detik)
H K Kc Sb
1991-1995 66,6 26,0 3,0 1,7 28,4 246 40 6,2
1996-2000 55,3 34,8 3,8 2,6 36,3 252 36 7,0
2001-2005 50,7 38,6 4,3 2,9 43,1 272 33 8,2
2006-2010 48,3 39,7 5,0 3,1 45,6 284 24 11,8
Keterangan:
H : hutan; K: perkebunan, Kc: kebun campuran; Sb: semak belukar; C: koefisien aliran
permukaan; KRS: koefisien regim sungai (Qmax/Qmin); Qmax: debit maksimum; Qmin: debit
minimum.

Lampiran 11. Analisis Regresi dan Keragaman Pengaruh Perubahan Penggunaan


Lahan terhadap Kondisi Hidrologi DAS Konaweha Hulu

Regression Analysis: C Tahunan (%) versus H (%), K (%), Kc (%), Sb (%)


The regression equation is
C (%) = 64.0 - 0.905 H (%) + 0.544 K (%) - 0.76 Kc (%) + 2.43 Sb (%)
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 4 69.854 17.464 390.47 0.038
Residual Error 1 0.045 0.045
Total 5 69.899

Regression Analysis: Qmax (m3/detik) versus H (%), K (%), Kc (%), Sb (%)


The regression equation is
Qmax (m3/detik) = 1713 - 20.1 H (%) - 10.1 K (%) - 45.4 Kc (%) + 47.5 Sb (%)
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 4 2982.33 745.58 1474.72 0.020
Residual Error 1 0.51 0.51
Total 5 2982.83

Regression Analysis: Qmin (m3/detik) versus H (%), K (%), Kc (%), Sb (%)


The regression equation is
Qmin (m3/detik) = 13 + 0.7 H (%) + 0.6 K (%) - 3.4 Kc (%) - 3.7 Sb (%)
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 4 180.00 45.00 33.91 0.360
Residual Error 1 11.50 11.50
Total 5 191.50
179

Lampiran 12. Debit Rata-rata Sungai Konaweha dengan Pendekatan Rata-rata


Aritmetik (m3/detik)
Debit (m3/detik)
Bulan 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata
Jan 100 135 79 59 55 53 90 114 121 98 94 90 132 142 100 135 128 101
Feb 129 149 127 174 151 185 106 110 114 81 113 145 164 174 125 177 152 140
Mar 182 231 151 181 152 200 125 71 133 127 134 175 196 175 147 192 175 162
Apr 234 251 291 182 240 242 162 176 165 122 125 202 258 199 165 244 198 203
May 254 246 238 232 255 271 195 381 237 243 247 254 203 266 242 275 247 252
Jun 290 180 295 234 185 225 205 276 220 127 225 182 74 168 149 166 185 199
Jul 189 126 185 175 172 181 108 143 165 52 126 99 60 95 112 87 116 129
Aug 78 99 94 98 89 147 56 66 81 44 65 58 59 55 103 49 71 77
Sep 37 38 41 40 37 35 36 11 34 31 25 30 28 23 34 20 33 31
Oct 70 49 76 77 66 55 41 23 55 23 28 49 59 31 48 39 50 49
Nov 191 89 118 162 114 88 58 29 110 40 46 85 118 47 69 48 75 87
Dec 135 125 136 119 78 74 75 35 118 120 99 92 122 95 85 85 91 99

Lampiran 13. Debit Rata-rata Sungai Konaweha dengan Peluang 80 % (m3/detik)


Ranking Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Periode (Tahun) Peluang (%)
1 142 185 231 291 381 295 189 147 41 77 191 136 18.00 6
2 135 177 200 258 271 290 185 103 40 76 162 135 9.00 11
3 135 174 196 251 257 276 181 99 38 70 118 125 6.00 17
4 132 174 192 244 266 234 175 98 37 66 118 122 4.50 22
5 128 164 182 242 255 225 172 94 37 59 114 120 3.60 28
6 121 152 181 240 255 225 165 89 36 55 110 119 3.00 33
7 114 151 175 234 254 220 143 81 35 55 89 118 2.57 39
8 100 149 175 202 254 205 126 78 34 50 88 99 2.25 44
9 100 145 175 199 247 185 126 71 34 49 85 95 2.00 50
10 98 129 152 198 247 185 116 66 34 49 75 92 1.80 56
11 94 127 151 182 246 182 112 65 33 48 69 91 1.64 61
12 90 125 147 176 242 180 108 59 30 41 58 85 1.50 67
13 90 114 134 165 240 168 99 58 28 39 48 85 1.38 72
14 79 113 133 165 238 166 95 56 25 31 47 78 1.29 78
15 59 110 127 162 232 149 87 55 23 28 46 75 1.20 83
16 55 106 125 125 203 127 65 49 20 23 40 74 1.13 89
17 53 81 71 122 180 74 52 44 11 23 29 35 1.06 94
Rata-rata 71 112 131 164 236 140 92 56 24 30 47 77
Peluang 80 %

Lampiran 14. Debit Minimum (Qmin) Sungai Konaweha Periode 2011-2015


sampai 2046-2050
Periode Hutan (%) Perkebunan (%) Kebun Campuran (%) Semak Belukar (%) Qmin (m3/detik)
1 2 3 4 5 6
2011-2015 43.2 43.1 5.3 3.6 37.6
2016-2020 39.1 45.0 5.7 3.9 33.5
2021-2025 35.4 46.6 6.0 4.2 29.7
2026-2030 32.0 47.9 6.3 4.5 26.2
2031-2035 29.0 49.1 6.6 4.7 23.0
2036-2040 26.2 50.2 6.8 4.9 20.0
2041-2045 23.7 51.2 7.1 5.1 17.3
2046-2050 21.5 52.1 7.3 5.3 14.7
Keterangan:
Kolom 2: y = 71.26e^-0.02x
Kolom 3: y = 10.2Ln(x) + 10.3
Kolom 4: y = 1.67x^0.36
Kolom 5: y = 0.88x^0.44
Kolom 6: Qmin (m3/detik) = 13 + 0.7 H (%) + 0.6 K (%) - 3.4 Kc (%) - 3.7 Sb (%)
180

Lampiran 15a. Contoh Hasil Tabulasi Kebutuhan Air Penduduk Kelas Sosial Tinggi
di Kota Kendari
181

Lampiran 15b. Jumlah Penduduk menurut Kelas Sosial di DAS Konaweha Tahun
2000-2009
Tahun Jumlah Penduduk (jiwa) Jumlah Penduduk tiap Kelas Sosial (jiwa)
Rendah Sedang Tinggi
Tahun 2000 419739 162859 159081 97799
Tahun 2001 433514 168203 164302 101009
Tahun 2002 440225 170807 166845 102572
Tahun 2003 451107 175030 170970 105108
Tahun 2004 456880 177269 173158 106453
Tahun 2005 464635 180278 176097 108260
Tahun 2006 468339 181716 177500 109123
Tahun 2007 473112 183567 179309 110235
Tahun 2008 481956 186999 182661 112296
Tahun 2009 487672 189217 184828 113628
Keterangan: Kelas sosial rendah, pendapatan < Rp. 1.000.000 per bulan (proporsi 38,8 % dari total)
Kelas sosial sedang, pendapatan Rp. 1.000.000 - Rp. 3.000.000 per bulan (proporsi 37,9 % dari total)
Kelas sosial tinggi, pendapatan > Rp. 3.000.000 per bulan (proporsi 23,3 % dari total)

Lampiran 15c. Kebutuhan Air Domestik DAS Konaweha Tahun 2010-2050 (juta m3)
Tahun Jumlah Penduduk Kelas Sosial Kebutuhan Air Kelas Sosial (juta m3) Total
(Jiwa) Rendah (Jiwa) Sedang (Jiwa) Tinggi (Jiwa) Rendah Sedang Tinggi (juta m3)
2010 495760 192355 187893 115512 3.71 4.83 3.80 12.34
2011 501849 194718 190201 116931 3.75 4.89 3.85 12.49
2012 508013 197109 192537 118367 3.80 4.95 3.90 12.65
2013 514253 199530 194902 119821 3.85 5.01 3.94 12.80
2014 520569 201981 197296 121293 3.89 5.07 3.99 12.96
2015 526963 204462 199719 122782 3.94 5.13 4.04 13.11
2016 533436 206973 202172 124291 3.99 5.20 4.09 13.28
2017 539988 209515 204655 125817 4.04 5.26 4.14 13.44
2018 546620 212089 207169 127363 4.09 5.32 4.19 13.60
2019 553334 214694 209714 128927 4.14 5.39 4.24 13.77
2020 560130 217331 212289 130510 4.19 5.45 4.30 13.94
2021 567010 220000 214897 132113 4.24 5.52 4.35 14.11
2022 573975 222702 217536 133736 4.29 5.59 4.40 14.28
2023 581024 225437 220208 135379 4.34 5.66 4.46 14.46
2024 588161 228206 222913 137041 4.40 5.73 4.51 14.64
2025 595385 231009 225651 138725 4.45 5.80 4.57 14.82
2026 602698 233847 228422 140429 4.51 5.87 4.62 15.00
2027 610100 236719 231228 142153 4.56 5.94 4.68 15.18
2028 617594 239626 234068 143899 4.62 6.01 4.74 15.37
2029 625180 242570 236943 145667 4.67 6.09 4.80 15.56
2030 632858 245549 239853 147456 4.73 6.16 4.85 15.75
2031 640632 248565 242799 149267 4.79 6.24 4.91 15.94
2032 648500 251618 245782 151101 4.85 6.32 4.97 16.14
2033 656465 254709 248800 152956 4.91 6.39 5.04 16.34
2034 664528 257837 251856 154835 4.97 6.47 5.10 16.54
2035 672690 261004 254950 156737 5.03 6.55 5.16 16.74
2036 680953 264210 258081 158662 5.09 6.63 5.22 16.95
2037 689317 267455 261251 160611 5.15 6.71 5.29 17.16
2038 697783 270740 264460 162583 5.22 6.80 5.35 17.37
2039 706354 274065 267708 164580 5.28 6.88 5.42 17.58
2040 715030 277431 270996 166602 5.35 6.96 5.49 17.80
2041 723812 280839 274325 168648 5.41 7.05 5.55 18.01
2042 732702 284288 277694 170720 5.48 7.14 5.62 18.24
2043 741702 287780 281105 172816 5.55 7.22 5.69 18.46
2044 750812 291315 284558 174939 5.61 7.31 5.76 18.69
2045 760033 294893 288053 177088 5.68 7.40 5.83 18.92
2046 769369 298515 291591 179263 5.75 7.49 5.90 19.15
2047 778818 302182 295172 181465 5.82 7.58 5.97 19.38
2048 788384 305893 298798 183694 5.90 7.68 6.05 19.62
2049 798068 309650 302468 185950 5.97 7.77 6.12 19.86
2050 807870 313453 306183 188234 6.04 7.87 6.20 20.11
182

Lampiran 15d. Distribusi Bulanan Kebutuhan Air Domestik DAS Konaweha Tahun
2010-2050 (juta m3)
Tahun Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Total
2010 1.03 1.03 1.03 1.03 1.03 1.03 1.03 1.03 1.03 1.03 1.03 1.03 12.34
2011 1.04 1.04 1.04 1.04 1.04 1.04 1.04 1.04 1.04 1.04 1.04 1.04 12.49
2012 1.05 1.05 1.05 1.05 1.05 1.05 1.05 1.05 1.05 1.05 1.05 1.05 12.65
2013 1.07 1.07 1.07 1.07 1.07 1.07 1.07 1.07 1.07 1.07 1.07 1.07 12.80
2014 1.08 1.08 1.08 1.08 1.08 1.08 1.08 1.08 1.08 1.08 1.08 1.08 12.96
2015 1.09 1.09 1.09 1.09 1.09 1.09 1.09 1.09 1.09 1.09 1.09 1.09 13.11
2016 1.11 1.11 1.11 1.11 1.11 1.11 1.11 1.11 1.11 1.11 1.11 1.11 13.28
2017 1.12 1.12 1.12 1.12 1.12 1.12 1.12 1.12 1.12 1.12 1.12 1.12 13.44
2018 1.13 1.13 1.13 1.13 1.13 1.13 1.13 1.13 1.13 1.13 1.13 1.13 13.60
2019 1.15 1.15 1.15 1.15 1.15 1.15 1.15 1.15 1.15 1.15 1.15 1.15 13.77
2020 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 13.94
2021 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 14.11
2022 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 14.28
2023 1.21 1.21 1.21 1.21 1.21 1.21 1.21 1.21 1.21 1.21 1.21 1.21 14.46
2024 1.22 1.22 1.22 1.22 1.22 1.22 1.22 1.22 1.22 1.22 1.22 1.22 14.64
2025 1.23 1.23 1.23 1.23 1.23 1.23 1.23 1.23 1.23 1.23 1.23 1.23 14.82
2026 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 15.00
2027 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 15.18
2028 1.28 1.28 1.28 1.28 1.28 1.28 1.28 1.28 1.28 1.28 1.28 1.28 15.37
2029 1.30 1.30 1.30 1.30 1.30 1.30 1.30 1.30 1.30 1.30 1.30 1.30 15.56
2030 1.31 1.31 1.31 1.31 1.31 1.31 1.31 1.31 1.31 1.31 1.31 1.31 15.75
2031 1.33 1.33 1.33 1.33 1.33 1.33 1.33 1.33 1.33 1.33 1.33 1.33 15.94
2032 1.34 1.34 1.34 1.34 1.34 1.34 1.34 1.34 1.34 1.34 1.34 1.34 16.14
2033 1.36 1.36 1.36 1.36 1.36 1.36 1.36 1.36 1.36 1.36 1.36 1.36 16.34
2034 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 16.54
2035 1.40 1.40 1.40 1.40 1.40 1.40 1.40 1.40 1.40 1.40 1.40 1.40 16.74
2036 1.41 1.41 1.41 1.41 1.41 1.41 1.41 1.41 1.41 1.41 1.41 1.41 16.95
2037 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 1.43 17.16
2038 1.45 1.45 1.45 1.45 1.45 1.45 1.45 1.45 1.45 1.45 1.45 1.45 17.37
2039 1.46 1.46 1.46 1.46 1.46 1.46 1.46 1.46 1.46 1.46 1.46 1.46 17.58
2040 1.48 1.48 1.48 1.48 1.48 1.48 1.48 1.48 1.48 1.48 1.48 1.48 17.80
2041 1.50 1.50 1.50 1.50 1.50 1.50 1.50 1.50 1.50 1.50 1.50 1.50 18.01
2042 1.52 1.52 1.52 1.52 1.52 1.52 1.52 1.52 1.52 1.52 1.52 1.52 18.24
2043 1.54 1.54 1.54 1.54 1.54 1.54 1.54 1.54 1.54 1.54 1.54 1.54 18.46
2044 1.56 1.56 1.56 1.56 1.56 1.56 1.56 1.56 1.56 1.56 1.56 1.56 18.69
2045 1.58 1.58 1.58 1.58 1.58 1.58 1.58 1.58 1.58 1.58 1.58 1.58 18.92
2046 1.60 1.60 1.60 1.60 1.60 1.60 1.60 1.60 1.60 1.60 1.60 1.60 19.15
2047 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 19.38
2048 1.64 1.64 1.64 1.64 1.64 1.64 1.64 1.64 1.64 1.64 1.64 1.64 19.62
2049 1.66 1.66 1.66 1.66 1.66 1.66 1.66 1.66 1.66 1.66 1.66 1.66 19.86
2050 1.68 1.68 1.68 1.68 1.68 1.68 1.68 1.68 1.68 1.68 1.68 1.68 20.11
183

Lampiran 16a. Jumlah Industri Kecil dan Industri Sedang/Besar di DAS Konaweha
Tahun 2000-2009
Tahun Industri Kecil (unit) Industri Sedang/Besar (unit)
Tahun 2000 2955 2
Tahun 2001 2999 3
Tahun 2002 3016 4
Tahun 2003 3022 4
Tahun 2004 3063 5
Tahun 2005 3096 6
Tahun 2006 3106 6
Tahun 2007 3119 7
Tahun 2008 3161 8
Tahun 2009 3167 8
Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara (2010)

Lampiran 16b.Hasil Tabulasi Kebutuhan Air Industri Sedang/Besar di DAS Konaweha


No. Jenis Industri Lokasi Pemakaian Air Rata-rata Kebutuhan Air (m3/hari)
(m3/hari) Bahan Baku Prosesing Mandi/cuci Minum dan masak Kehilangan Total
1 PT. Pelabuhan Samudra Kendari 200 100.00 85.00 60.00 1.50 20.00 266.50
2 PT. Perken Kendari 210 80.00 60.00 50.00 0.90 16.00 206.90
3 Pabrik Es Kendari 200 200.00 - 25.00 0.80 25.00 250.80
4 Tempat Pendaratan Ikan Kendari 60 16.00 - 60.00 0.40 15.00 91.40
5 Pengolahan Rotan Konawe Selatan 95 - 90.00 25.00 0.60 15.00 130.60
6 Restoran Fajar Kendari 20 5.00 - 35.00 10.00 5.00 55.00
7 Pusat Pencucian Mobil Kendari 180 - - 240.00 1.00 40.00 281.00
8 Pencucian Mobil Kendari 175 - - 180.00 0.70 25.00 205.70
9 Hotel Plaza Inn Kendari 110 2.00 - 120.00 6.00 12.00 140.00
10 Hotel Ataya Kendari 120 3.00 - 150.00 8.00 15.00 176.00
11 Industri Pengolahan Ikan Kendari 35 5.00 40.00 15.00 0.50 4.50 65.00
12 Restoran Pier 29 Kendari 30 4.00 - 30.00 8.00 3.00 45.00
13 Restoran Unaaha Konawe 25 3.00 - 35.00 10.00 5.00 53.00
14 Pencucian Mobil Unaaha Konawe 120 - - 90.00 0.60 18.00 108.60
15 Usaha Pencucian Mobil Kendari 90 - - 150.00 0.60 25.00 175.60
16 Frizt Mobil Kendari 120 - - 120.00 0.80 15.00 135.80
17 Pusat Jajanan Makanan Kendari 120 20.00 - 120.00 20.00 20.00 180.00
18 Hotel Qubra Kendari Kendari 60 10.00 - 60.00 4.00 8.00 82.00
19 Pusat Pengolahan Rotan Konawe 50 - 60.00 25.00 0.80 14.00 99.80
20 Hotel Horison Kendari 90 15.00 - 120.00 5.00 15.00 155.00
184

Lampiran 16c. Kebutuhan Air Industri DAS Konaweha Tahun 2010-2050 (juta m3)
Tahun Industri Kecil Industri Sedang Kebutuhan Air Kebutuhan Air Total Total
(Unit) dan Besar (Unit) Industri Kecil Industri Sedang/Besar (m3/Tahun) (Juta m3/Tahun)
(m3/Tahun) (m3/Tahun)
2010 3194 9 14340379 461705 14802083 14.80
2011 3217 9 14440762 500026 14940788 14.94
2012 3239 10 14541847 541528 15083375 15.08
2013 3262 11 14643640 586475 15230115 15.23
2014 3285 12 14746145 635152 15381298 15.38
2015 3308 13 14849368 687870 15537238 15.54
2016 3331 14 14953314 744963 15698277 15.70
2017 3354 15 15057987 806795 15864782 15.86
2018 3378 16 15163393 873759 16037152 16.04
2019 3401 18 15269537 946281 16215818 16.22
2020 3425 19 15386423 1024823 16401246 16.40
2021 3449 21 15484058 1109883 16593941 16.59
2022 3473 23 15592447 1202003 16794450 16.79
2023 3497 24 15701594 1301770 17003363 17.00
2024 3522 26 15811505 1409816 17221322 17.22
2025 3547 29 15922186 1526831 17449017 17.45
2026 3571 31 16033641 1653558 17687199 17.69
2027 3596 34 16145876 1790803 17936680 17.94
2028 3622 36 16258898 1939440 18198338 18.20
2029 3647 39 16372710 2100414 18473124 18.47
2030 3672 43 16487319 2274748 18762067 18.76
2031 3698 46 16602730 2463552 19066282 19.07
2032 3724 50 16718949 2668027 19386976 19.39
2033 3750 54 16835982 2889473 19725455 19.73
2034 3776 59 16953834 3129299 20083133 20.08
2035 3803 64 17072511 3389031 20461542 20.46
2036 3829 69 17192018 3670321 20862339 20.86
2037 3856 75 17312362 3974958 21287320 21.29
2038 3883 81 17433549 4304879 21738428 21.74
2039 3910 87 17555584 4662184 22217768 22.22
2040 3938 95 17678473 5049145 22727618 22.73
2041 3965 103 17802222 5468224 23270446 23.27
2042 3993 111 17926838 5922087 23848924 23.85
2043 4021 120 18052325 6413620 24465946 24.47
2044 4049 130 18178692 6945951 25124642 25.12
2045 4078 141 18305943 7522464 25828407 25.83
2046 4106 153 18434084 8146829 26580913 26.58
2047 4135 166 18563123 8823016 27386139 27.39
2048 4164 179 18693065 9555326 28248391 28.25
2049 4193 194 18823916 10348418 29172334 29.17
2050 4222 210 18955683 11207337 30163020 30.16
185

Lampiran 16d. Distribusi Bulanan Kebutuhan Air Industri DAS Konaweha Tahun
2010-2050 (juta m3)
Tahun Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Total
2010 1.23 1.23 1.23 1.23 1.23 1.23 1.23 1.23 1.23 1.23 1.23 1.23 14.80
2011 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 1.25 14.94
2012 1.26 1.26 1.26 1.26 1.26 1.26 1.26 1.26 1.26 1.26 1.26 1.26 15.08
2013 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 1.27 15.23
2014 1.28 1.28 1.28 1.28 1.28 1.28 1.28 1.28 1.28 1.28 1.28 1.28 15.38
2015 1.29 1.29 1.29 1.29 1.29 1.29 1.29 1.29 1.29 1.29 1.29 1.29 15.54
2016 1.31 1.31 1.31 1.31 1.31 1.31 1.31 1.31 1.31 1.31 1.31 1.31 15.70
2017 1.32 1.32 1.32 1.32 1.32 1.32 1.32 1.32 1.32 1.32 1.32 1.32 15.86
2018 1.34 1.34 1.34 1.34 1.34 1.34 1.34 1.34 1.34 1.34 1.34 1.34 16.04
2019 1.35 1.35 1.35 1.35 1.35 1.35 1.35 1.35 1.35 1.35 1.35 1.35 16.22
2020 1.37 1.37 1.37 1.37 1.37 1.37 1.37 1.37 1.37 1.37 1.37 1.37 16.40
2021 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 1.38 16.59
2022 1.40 1.40 1.40 1.40 1.40 1.40 1.40 1.40 1.40 1.40 1.40 1.40 16.79
2023 1.42 1.42 1.42 1.42 1.42 1.42 1.42 1.42 1.42 1.42 1.42 1.42 17.00
2024 1.44 1.44 1.44 1.44 1.44 1.44 1.44 1.44 1.44 1.44 1.44 1.44 17.22
2025 1.45 1.45 1.45 1.45 1.45 1.45 1.45 1.45 1.45 1.45 1.45 1.45 17.45
2026 1.47 1.47 1.47 1.47 1.47 1.47 1.47 1.47 1.47 1.47 1.47 1.47 17.69
2027 1.49 1.49 1.49 1.49 1.49 1.49 1.49 1.49 1.49 1.49 1.49 1.49 17.94
2028 1.52 1.52 1.52 1.52 1.52 1.52 1.52 1.52 1.52 1.52 1.52 1.52 18.20
2029 1.54 1.54 1.54 1.54 1.54 1.54 1.54 1.54 1.54 1.54 1.54 1.54 18.47
2030 1.56 1.56 1.56 1.56 1.56 1.56 1.56 1.56 1.56 1.56 1.56 1.56 18.76
2031 1.59 1.59 1.59 1.59 1.59 1.59 1.59 1.59 1.59 1.59 1.59 1.59 19.07
2032 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 19.39
2033 1.64 1.64 1.64 1.64 1.64 1.64 1.64 1.64 1.64 1.64 1.64 1.64 19.73
2034 1.67 1.67 1.67 1.67 1.67 1.67 1.67 1.67 1.67 1.67 1.67 1.67 20.08
2035 1.71 1.71 1.71 1.71 1.71 1.71 1.71 1.71 1.71 1.71 1.71 1.71 20.46
2036 1.74 1.74 1.74 1.74 1.74 1.74 1.74 1.74 1.74 1.74 1.74 1.74 20.86
2037 1.77 1.77 1.77 1.77 1.77 1.77 1.77 1.77 1.77 1.77 1.77 1.77 21.29
2038 1.81 1.81 1.81 1.81 1.81 1.81 1.81 1.81 1.81 1.81 1.81 1.81 21.74
2039 1.85 1.85 1.85 1.85 1.85 1.85 1.85 1.85 1.85 1.85 1.85 1.85 22.22
2040 1.89 1.89 1.89 1.89 1.89 1.89 1.89 1.89 1.89 1.89 1.89 1.89 22.73
2041 1.94 1.94 1.94 1.94 1.94 1.94 1.94 1.94 1.94 1.94 1.94 1.94 23.27
2042 1.99 1.99 1.99 1.99 1.99 1.99 1.99 1.99 1.99 1.99 1.99 1.99 23.85
2043 2.04 2.04 2.04 2.04 2.04 2.04 2.04 2.04 2.04 2.04 2.04 2.04 24.47
2044 2.09 2.09 2.09 2.09 2.09 2.09 2.09 2.09 2.09 2.09 2.09 2.09 25.12
2045 2.15 2.15 2.15 2.15 2.15 2.15 2.15 2.15 2.15 2.15 2.15 2.15 25.83
2046 2.22 2.22 2.22 2.22 2.22 2.22 2.22 2.22 2.22 2.22 2.22 2.22 26.58
2047 2.28 2.28 2.28 2.28 2.28 2.28 2.28 2.28 2.28 2.28 2.28 2.28 27.39
2048 2.35 2.35 2.35 2.35 2.35 2.35 2.35 2.35 2.35 2.35 2.35 2.35 28.25
2049 2.43 2.43 2.43 2.43 2.43 2.43 2.43 2.43 2.43 2.43 2.43 2.43 29.17
2050 2.51 2.51 2.51 2.51 2.51 2.51 2.51 2.51 2.51 2.51 2.51 2.51 30.16
186

Lampiran 17a. Tabulasi Hasil Perhitungan Penggunaan dan Kebutuhan Air Irigasi Rata-rata di Kabupaten Kolaka (m3/hektar/tahun)
No Lokasi Luas Tinggi Genangan (cm) Frekuensi Kehilangan Frekuensi Penggunaan Air Kebutuhan Air Standar (**) Koefisien
(Ha) Pengolahan Bibit Vegetatif Generatif Rata-rata Genangan (m3/ha/tahun) Tanam (m3/ha/tahun) (m3/ha/tahun) (m3/ha/tahun)
1 Mowewe 3.00 0.25 3.00 7.50 12.00 5.69 10 1,706 2 11,375 13,081 18,662 0.70
2 Mowewe 2.50 0.40 3.00 7.50 12.00 5.73 10 1,718 2 11,450 13,168 18,662 0.71
3 Mowewe 3.00 0.25 2.00 5.00 10.00 4.31 10 1,294 2 8,625 9,919 18,662 0.53
4 Mowewe 2.00 0.25 2.00 5.00 10.00 4.31 10 1,294 2 8,625 9,919 18,662 0.53
5 Mowewe 1.50 0.25 3.00 5.00 12.00 5.06 10 1,519 2 10,125 11,644 18,662 0.62
6 Mowewe 1.50 0.50 3.00 7.50 10.00 5.25 10 1,575 2 10,500 12,075 18,662 0.65
7 Mowewe 0.75 0.25 2.00 8.00 12.00 5.56 10 1,669 2 11,125 12,794 18,662 0.69
8 Mowewe 0.75 0.50 2.00 7.50 10.00 5.00 10 1,500 2 10,000 11,500 18,662 0.62
9 Mowewe 1.50 0.50 2.00 7.50 12.00 5.50 10 1,650 2 11,000 12,650 18,662 0.68
10 Mowewe 2.00 0.50 3.00 7.50 10.00 5.25 10 1,575 2 10,500 12,075 18,662 0.65
11 Ladongi 3.00 0.25 3.00 7.50 12.00 5.69 10 1,706 2 11,375 13,081 18,662 0.70
12 Ladongi 0.75 0.30 3.00 7.50 10.00 5.20 10 1,560 2 10,400 11,960 18,662 0.64
13 Ladongi 0.75 0.30 2.00 7.50 10.00 4.95 10 1,485 2 9,900 11,385 18,662 0.61
14 Ladongi 2.00 0.40 2.00 7.50 12.00 5.48 10 1,643 2 10,950 12,593 18,662 0.67
15 Ladongi 2.00 0.40 3.00 8.00 10.00 5.35 10 1,605 2 10,700 12,305 18,662 0.66
16 Ladongi 3.00 0.50 3.00 7.50 10.00 5.25 10 1,575 2 10,500 12,075 18,662 0.65
17 Ladongi 3.00 0.25 3.00 7.50 12.00 5.69 10 1,706 2 11,375 13,081 18,662 0.70
18 Ladongi 1.50 0.25 2.00 7.50 12.00 5.44 10 1,631 2 10,875 12,506 18,662 0.67
19 Ladongi 0.75 0.40 3.00 7.50 12.00 5.73 10 1,718 2 11,450 13,168 18,662 0.71
20 Ladongi 2.00 0.25 2.00 7.50 12.00 5.44 10 1,631 2 10,875 12,506 18,662 0.67
243,484 13.05
Rata-rata Kolaka 12,174 Koefisien 0.65
Keterangan:
(*) = Kehilangan air irigasi rata-rata sebelum masuk pematang sawah adalah= 15 % (Sub Dinas PU Pengairan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010)
(**) = Kebutuhan air untuk sawah adalah 1.2 liter/detik/hektar.
Kebutuhan standar per musim tanam = (1.2 x 60 x 60 x 24 x 180 hari)/1000 = 18662 m3/ha/tahun
Pengolahan tanah = 5 hari
Pembibitan = 15 hari
Vegetatif = 25 hari
Generatif = 45 hari
Panen = 10 hari
Jumlah hari untuk setahun (2 kali tanam) = 180 hari
187

Lampiran 17b. Luas Sawah di DAS Konaweha Tahun 2000-2009


Tahun Luas Sawah (ha)
Tahun 2000 21750
Tahun 2001 22473
Tahun 2002 22520
Tahun 2003 23063
Tahun 2004 23150
Tahun 2005 23855
Tahun 2006 23980
Tahun 2007 24250
Tahun 2008 24330
Tahun 2009 24850
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Tenggara (2010)

Lampiran 17c. Proyeksi Kebutuhan Air Irigasi DAS Konaweha Tahun 2010-2050
(juta m3)
Tahun Luas (ha) Kebutuhan Air (Juta m3/Tahun)
2010 25146 297.05
2011 25453 300.68
2012 25763 304.34
2013 26078 308.06
2014 26396 311.82
2015 26718 315.62
2016 27044 319.47
2017 27374 323.37
2018 27708 327.31
2019 28046 331.31
2020 28388 335.35
2021 28734 339.44
2022 29085 343.58
2023 29440 347.77
2024 29799 352.01
2025 30162 356.31
2026 30530 360.66
2027 30903 365.06
2028 31280 369.51
2029 31661 374.02
2030 32048 378.58
2031 32439 383.20
2032 32834 387.87
2033 33235 392.61
2034 33640 397.40
2035 34051 402.24
2036 34466 407.15
2037 34887 412.12
2038 35312 417.15
2039 35743 422.24
2040 36179 427.39
2041 36621 432.60
2042 37067 437.88
2043 37520 443.22
2044 37977 448.63
2045 38441 454.10
2046 38910 459.64
2047 39384 465.25
2048 39865 470.93
2049 40351 476.67
2050 40844 482.49
188

Lampiran 17d. Distribusi Bulanan Kebutuhan Air Irigasi DAS Konaweha Tahun
2010-2050 (juta m3)
Tahun Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Total
2010 0.00 0.00 37.13 37.13 37.13 37.13 0.00 0.00 37.13 37.13 37.13 37.13 297.05
2011 0.00 0.00 37.58 37.58 37.58 37.58 0.00 0.00 37.58 37.58 37.58 37.58 300.68
2012 0.00 0.00 38.04 38.04 38.04 38.04 0.00 0.00 38.04 38.04 38.04 38.04 304.34
2013 0.00 0.00 38.51 38.51 38.51 38.51 0.00 0.00 38.51 38.51 38.51 38.51 308.06
2014 0.00 0.00 38.98 38.98 38.98 38.98 0.00 0.00 38.98 38.98 38.98 38.98 311.82
2015 0.00 0.00 39.45 39.45 39.45 39.45 0.00 0.00 39.45 39.45 39.45 39.45 315.62
2016 0.00 0.00 39.93 39.93 39.93 39.93 0.00 0.00 39.93 39.93 39.93 39.93 319.47
2017 0.00 0.00 40.42 40.42 40.42 40.42 0.00 0.00 40.42 40.42 40.42 40.42 323.37
2018 0.00 0.00 40.91 40.91 40.91 40.91 0.00 0.00 40.91 40.91 40.91 40.91 327.31
2019 0.00 0.00 41.41 41.41 41.41 41.41 0.00 0.00 41.41 41.41 41.41 41.41 331.31
2020 0.00 0.00 41.92 41.92 41.92 41.92 0.00 0.00 41.92 41.92 41.92 41.92 335.35
2021 0.00 0.00 42.43 42.43 42.43 42.43 0.00 0.00 42.43 42.43 42.43 42.43 339.44
2022 0.00 0.00 42.95 42.95 42.95 42.95 0.00 0.00 42.95 42.95 42.95 42.95 343.58
2023 0.00 0.00 43.47 43.47 43.47 43.47 0.00 0.00 43.47 43.47 43.47 43.47 347.77
2024 0.00 0.00 44.00 44.00 44.00 44.00 0.00 0.00 44.00 44.00 44.00 44.00 352.01
2025 0.00 0.00 44.54 44.54 44.54 44.54 0.00 0.00 44.54 44.54 44.54 44.54 356.31
2026 0.00 0.00 45.08 45.08 45.08 45.08 0.00 0.00 45.08 45.08 45.08 45.08 360.66
2027 0.00 0.00 45.63 45.63 45.63 45.63 0.00 0.00 45.63 45.63 45.63 45.63 365.06
2028 0.00 0.00 46.19 46.19 46.19 46.19 0.00 0.00 46.19 46.19 46.19 46.19 369.51
2029 0.00 0.00 46.75 46.75 46.75 46.75 0.00 0.00 46.75 46.75 46.75 46.75 374.02
2030 0.00 0.00 47.32 47.32 47.32 47.32 0.00 0.00 47.32 47.32 47.32 47.32 378.58
2031 0.00 0.00 47.90 47.90 47.90 47.90 0.00 0.00 47.90 47.90 47.90 47.90 383.20
2032 0.00 0.00 48.48 48.48 48.48 48.48 0.00 0.00 48.48 48.48 48.48 48.48 387.87
2033 0.00 0.00 49.08 49.08 49.08 49.08 0.00 0.00 49.08 49.08 49.08 49.08 392.61
2034 0.00 0.00 49.67 49.67 49.67 49.67 0.00 0.00 49.67 49.67 49.67 49.67 397.40
2035 0.00 0.00 50.28 50.28 50.28 50.28 0.00 0.00 50.28 50.28 50.28 50.28 402.24
2036 0.00 0.00 50.89 50.89 50.89 50.89 0.00 0.00 50.89 50.89 50.89 50.89 407.15
2037 0.00 0.00 51.51 51.51 51.51 51.51 0.00 0.00 51.51 51.51 51.51 51.51 412.12
2038 0.00 0.00 52.14 52.14 52.14 52.14 0.00 0.00 52.14 52.14 52.14 52.14 417.15
2039 0.00 0.00 52.78 52.78 52.78 52.78 0.00 0.00 52.78 52.78 52.78 52.78 422.24
2040 0.00 0.00 53.42 53.42 53.42 53.42 0.00 0.00 53.42 53.42 53.42 53.42 427.39
2041 0.00 0.00 54.08 54.08 54.08 54.08 0.00 0.00 54.08 54.08 54.08 54.08 432.60
2042 0.00 0.00 54.73 54.73 54.73 54.73 0.00 0.00 54.73 54.73 54.73 54.73 437.88
2043 0.00 0.00 55.40 55.40 55.40 55.40 0.00 0.00 55.40 55.40 55.40 55.40 443.22
2044 0.00 0.00 56.08 56.08 56.08 56.08 0.00 0.00 56.08 56.08 56.08 56.08 448.63
2045 0.00 0.00 56.76 56.76 56.76 56.76 0.00 0.00 56.76 56.76 56.76 56.76 454.10
2046 0.00 0.00 57.46 57.46 57.46 57.46 0.00 0.00 57.46 57.46 57.46 57.46 459.64
2047 0.00 0.00 58.16 58.16 58.16 58.16 0.00 0.00 58.16 58.16 58.16 58.16 465.25
2048 0.00 0.00 58.87 58.87 58.87 58.87 0.00 0.00 58.87 58.87 58.87 58.87 470.93
2049 0.00 0.00 59.58 59.58 59.58 59.58 0.00 0.00 59.58 59.58 59.58 59.58 476.67
2050 0.00 0.00 60.31 60.31 60.31 60.31 0.00 0.00 60.31 60.31 60.31 60.31 482.49
189

Lampiran 18a. Proyeksi Kebutuhan Air Menggelontor di Sungai Konaweha Tahun


2010-2050
Tahun Kebutuhan Fungsi Ekonomi dan Ekologi (juta m3) Kebutuhan lain (juta m3) * Total (juta m3) (**)
2010 246 8.68 254.68
2011 246 8.78 254.78
2012 246 8.87 254.87
2013 246 8.97 254.97
2014 246 9.07 255.07
2015 246 9.17 255.17
2016 246 9.27 255.27
2017 246 9.38 255.38
2018 246 9.49 255.49
2019 246 9.60 255.60
2020 246 9.71 255.71
2021 246 9.83 255.83
2022 246 9.95 255.95
2023 246 10.07 256.07
2024 246 10.19 256.19
2025 246 10.33 256.33
2026 246 10.46 256.46
2027 246 10.60 256.60
2028 246 10.74 256.74
2029 246 10.89 256.89
2030 246 11.04 257.04
2031 246 11.20 257.20
2032 246 11.37 257.37
2033 246 11.54 257.54
2034 246 11.72 257.72
2035 246 11.90 257.90
2036 246 12.10 258.10
2037 246 12.30 258.30
2038 246 12.51 258.51
2039 246 12.74 258.74
2040 246 12.97 258.97
2041 246 13.21 259.21
2042 246 13.47 259.47
2043 246 13.74 259.74
2044 246 14.02 260.02
2045 246 14.32 260.32
2046 246 14.63 260.63
2047 246 14.97 260.97
2048 246 15.32 261.32
2049 246 15.69 261.69
2050 246 16.09 262.09
Keterangan : (*) : dihitung dari persamaan 20; (**) : dihitung dari persamaan 21
190

Lampiran 18b. Distribusi Bulanan Kebutuhan Air yang Menggelontor di Sungai


Tahun 2010-2050 di DAS Konaweha
Tahun Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Total
2010 21.22 21.22 21.22 21.22 21.22 21.22 21.22 21.22 21.22 21.22 21.22 21.22 254.68
2011 21.23 21.23 21.23 21.23 21.23 21.23 21.23 21.23 21.23 21.23 21.23 21.23 254.78
2012 21.24 21.24 21.24 21.24 21.24 21.24 21.24 21.24 21.24 21.24 21.24 21.24 254.87
2013 21.25 21.25 21.25 21.25 21.25 21.25 21.25 21.25 21.25 21.25 21.25 21.25 254.97
2014 21.26 21.26 21.26 21.26 21.26 21.26 21.26 21.26 21.26 21.26 21.26 21.26 255.07
2015 21.26 21.26 21.26 21.26 21.26 21.26 21.26 21.26 21.26 21.26 21.26 21.26 255.17
2016 21.27 21.27 21.27 21.27 21.27 21.27 21.27 21.27 21.27 21.27 21.27 21.27 255.27
2017 21.28 21.28 21.28 21.28 21.28 21.28 21.28 21.28 21.28 21.28 21.28 21.28 255.38
2018 21.29 21.29 21.29 21.29 21.29 21.29 21.29 21.29 21.29 21.29 21.29 21.29 255.49
2019 21.30 21.30 21.30 21.30 21.30 21.30 21.30 21.30 21.30 21.30 21.30 21.30 255.60
2020 21.31 21.31 21.31 21.31 21.31 21.31 21.31 21.31 21.31 21.31 21.31 21.31 255.71
2021 21.32 21.32 21.32 21.32 21.32 21.32 21.32 21.32 21.32 21.32 21.32 21.32 255.83
2022 21.33 21.33 21.33 21.33 21.33 21.33 21.33 21.33 21.33 21.33 21.33 21.33 255.95
2023 21.34 21.34 21.34 21.34 21.34 21.34 21.34 21.34 21.34 21.34 21.34 21.34 256.07
2024 21.35 21.35 21.35 21.35 21.35 21.35 21.35 21.35 21.35 21.35 21.35 21.35 256.19
2025 21.36 21.36 21.36 21.36 21.36 21.36 21.36 21.36 21.36 21.36 21.36 21.36 256.33
2026 21.37 21.37 21.37 21.37 21.37 21.37 21.37 21.37 21.37 21.37 21.37 21.37 256.46
2027 21.38 21.38 21.38 21.38 21.38 21.38 21.38 21.38 21.38 21.38 21.38 21.38 256.60
2028 21.40 21.40 21.40 21.40 21.40 21.40 21.40 21.40 21.40 21.40 21.40 21.40 256.74
2029 21.41 21.41 21.41 21.41 21.41 21.41 21.41 21.41 21.41 21.41 21.41 21.41 256.89
2030 21.42 21.42 21.42 21.42 21.42 21.42 21.42 21.42 21.42 21.42 21.42 21.42 257.04
2031 21.43 21.43 21.43 21.43 21.43 21.43 21.43 21.43 21.43 21.43 21.43 21.43 257.20
2032 21.45 21.45 21.45 21.45 21.45 21.45 21.45 21.45 21.45 21.45 21.45 21.45 257.37
2033 21.46 21.46 21.46 21.46 21.46 21.46 21.46 21.46 21.46 21.46 21.46 21.46 257.54
2034 21.48 21.48 21.48 21.48 21.48 21.48 21.48 21.48 21.48 21.48 21.48 21.48 257.72
2035 21.49 21.49 21.49 21.49 21.49 21.49 21.49 21.49 21.49 21.49 21.49 21.49 257.90
2036 21.51 21.51 21.51 21.51 21.51 21.51 21.51 21.51 21.51 21.51 21.51 21.51 258.10
2037 21.53 21.53 21.53 21.53 21.53 21.53 21.53 21.53 21.53 21.53 21.53 21.53 258.30
2038 21.54 21.54 21.54 21.54 21.54 21.54 21.54 21.54 21.54 21.54 21.54 21.54 258.51
2039 21.56 21.56 21.56 21.56 21.56 21.56 21.56 21.56 21.56 21.56 21.56 21.56 258.74
2040 21.58 21.58 21.58 21.58 21.58 21.58 21.58 21.58 21.58 21.58 21.58 21.58 258.97
2041 21.60 21.60 21.60 21.60 21.60 21.60 21.60 21.60 21.60 21.60 21.60 21.60 259.21
2042 21.62 21.62 21.62 21.62 21.62 21.62 21.62 21.62 21.62 21.62 21.62 21.62 259.47
2043 21.64 21.64 21.64 21.64 21.64 21.64 21.64 21.64 21.64 21.64 21.64 21.64 259.74
2044 21.67 21.67 21.67 21.67 21.67 21.67 21.67 21.67 21.67 21.67 21.67 21.67 260.02
2045 21.69 21.69 21.69 21.69 21.69 21.69 21.69 21.69 21.69 21.69 21.69 21.69 260.32
2046 21.72 21.72 21.72 21.72 21.72 21.72 21.72 21.72 21.72 21.72 21.72 21.72 260.63
2047 21.75 21.75 21.75 21.75 21.75 21.75 21.75 21.75 21.75 21.75 21.75 21.75 260.97
2048 21.78 21.78 21.78 21.78 21.78 21.78 21.78 21.78 21.78 21.78 21.78 21.78 261.32
2049 21.81 21.81 21.81 21.81 21.81 21.81 21.81 21.81 21.81 21.81 21.81 21.81 261.69
2050 21.84 21.84 21.84 21.84 21.84 21.84 21.84 21.84 21.84 21.84 21.84 21.84 262.09
191

Lampiran 19a. Proyeksi Kebutuhan Air Total di DAS Konaweha Tahun 2010-2050
Tahun Kebutuhan Air (Juta m3)
Domestik Industri Irigasi Menggelontor Total
2010 12.3 14.8 297.1 254.7 578.9
2011 12.5 14.9 300.7 254.8 582.9
2012 12.7 15.1 304.3 254.9 587.0
2013 12.8 15.2 308.1 255.0 591.1
2014 13.0 15.4 311.8 255.1 595.2
2015 13.1 15.5 315.6 255.2 599.4
2016 13.3 15.7 319.5 255.3 603.7
2017 13.4 15.9 323.4 255.4 608.0
2018 13.6 16.0 327.3 255.5 612.4
2019 13.8 16.2 331.3 255.6 616.9
2020 13.9 16.4 335.3 255.7 621.4
2021 14.1 16.6 339.4 255.8 626.0
2022 14.3 16.8 343.6 255.9 630.6
2023 14.5 17.0 347.8 256.1 635.3
2024 14.6 17.2 352.0 256.2 640.1
2025 14.8 17.4 356.3 256.3 644.9
2026 15.0 17.7 360.7 256.5 649.8
2027 15.2 17.9 365.1 256.6 654.8
2028 15.4 18.2 369.5 256.7 659.8
2029 15.6 18.5 374.0 256.9 664.9
2030 15.8 18.8 378.6 257.0 670.1
2031 15.9 19.1 383.2 257.2 675.4
2032 16.1 19.4 387.9 257.4 680.8
2033 16.3 19.7 392.6 257.5 686.2
2034 16.5 20.1 397.4 257.7 691.7
2035 16.7 20.5 402.2 257.9 697.4
2036 16.9 20.9 407.2 258.1 703.1
2037 17.2 21.3 412.1 258.3 708.9
2038 17.4 21.7 417.1 258.5 714.8
2039 17.6 22.2 422.2 258.7 720.8
2040 17.8 22.7 427.4 259.0 726.9
2041 18.0 23.3 432.6 259.2 733.1
2042 18.2 23.8 437.9 259.5 739.4
2043 18.5 24.5 443.2 259.7 745.9
2044 18.7 25.1 448.6 260.0 752.5
2045 18.9 25.8 454.1 260.3 759.2
2046 19.1 26.6 459.6 260.6 766.0
2047 19.4 27.4 465.3 261.0 773.0
2048 19.6 28.2 470.9 261.3 780.1
2049 19.9 29.2 476.7 261.7 787.4
2050 20.1 30.2 482.5 262.1 794.8
192

Lampiran 19b. Distribusi Bulanan Kebutuhan Air Total DAS Konaweha Tahun
2010-2050 (juta m3)
Tahun Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Total
2010 23.49 23.49 60.62 60.62 60.62 60.62 23.49 23.49 60.62 60.62 60.62 60.62 578.88
2011 23.52 23.52 61.10 61.10 61.10 61.10 23.52 23.52 61.10 61.10 61.10 61.10 582.88
2012 23.55 23.55 61.59 61.59 61.59 61.59 23.55 23.55 61.59 61.59 61.59 61.59 586.95
2013 23.58 23.58 62.09 62.09 62.09 62.09 23.58 23.58 62.09 62.09 62.09 62.09 591.05
2014 23.62 23.62 62.59 62.59 62.59 62.59 23.62 23.62 62.59 62.59 62.59 62.59 595.22
2015 23.65 23.65 63.10 63.10 63.10 63.10 23.65 23.65 63.10 63.10 63.10 63.10 599.44
2016 23.69 23.69 63.62 63.62 63.62 63.62 23.69 23.69 63.62 63.62 63.62 63.62 603.72
2017 23.72 23.72 64.14 64.14 64.14 64.14 23.72 23.72 64.14 64.14 64.14 64.14 608.05
2018 23.76 23.76 64.67 64.67 64.67 64.67 23.76 23.76 64.67 64.67 64.67 64.67 612.44
2019 23.80 23.80 65.21 65.21 65.21 65.21 23.80 23.80 65.21 65.21 65.21 65.21 616.89
2020 23.84 23.84 65.76 65.76 65.76 65.76 23.84 23.84 65.76 65.76 65.76 65.76 621.40
2021 23.88 23.88 66.31 66.31 66.31 66.31 23.88 23.88 66.31 66.31 66.31 66.31 625.97
2022 23.92 23.92 66.87 66.87 66.87 66.87 23.92 23.92 66.87 66.87 66.87 66.87 630.60
2023 23.96 23.96 67.43 67.43 67.43 67.43 23.96 23.96 67.43 67.43 67.43 67.43 635.30
2024 24.00 24.00 68.01 68.01 68.01 68.01 24.00 24.00 68.01 68.01 68.01 68.01 640.07
2025 24.05 24.05 68.59 68.59 68.59 68.59 24.05 24.05 68.59 68.59 68.59 68.59 644.90
2026 24.10 24.10 69.18 69.18 69.18 69.18 24.10 24.10 69.18 69.18 69.18 69.18 649.80
2027 24.14 24.14 69.78 69.78 69.78 69.78 24.14 24.14 69.78 69.78 69.78 69.78 654.78
2028 24.19 24.19 70.38 70.38 70.38 70.38 24.19 24.19 70.38 70.38 70.38 70.38 659.82
2029 24.24 24.24 71.00 71.00 71.00 71.00 24.24 24.24 71.00 71.00 71.00 71.00 664.94
2030 24.30 24.30 71.62 71.62 71.62 71.62 24.30 24.30 71.62 71.62 71.62 71.62 670.14
2031 24.35 24.35 72.25 72.25 72.25 72.25 24.35 24.35 72.25 72.25 72.25 72.25 675.41
2032 24.41 24.41 72.89 72.89 72.89 72.89 24.41 24.41 72.89 72.89 72.89 72.89 680.77
2033 24.47 24.47 73.54 73.54 73.54 73.54 24.47 24.47 73.54 73.54 73.54 73.54 686.21
2034 24.53 24.53 74.20 74.20 74.20 74.20 24.53 24.53 74.20 74.20 74.20 74.20 691.74
2035 24.59 24.59 74.87 74.87 74.87 74.87 24.59 24.59 74.87 74.87 74.87 74.87 697.35
2036 24.66 24.66 75.55 75.55 75.55 75.55 24.66 24.66 75.55 75.55 75.55 75.55 703.06
2037 24.73 24.73 76.24 76.24 76.24 76.24 24.73 24.73 76.24 76.24 76.24 76.24 708.86
2038 24.80 24.80 76.93 76.94 76.94 76.94 24.80 24.80 76.94 76.94 76.94 76.94 714.75
2039 24.88 24.88 77.62 77.66 77.66 77.66 24.88 24.88 77.66 77.66 77.66 77.66 720.73
2040 24.96 24.96 78.33 78.38 78.38 78.38 24.96 24.96 78.38 78.38 78.38 78.38 726.82
2041 25.04 25.04 79.04 79.12 79.12 79.12 25.04 25.04 79.12 79.12 79.12 79.12 733.03
2042 25.13 25.13 79.77 79.86 79.86 79.86 25.13 25.13 79.86 79.86 79.86 79.86 739.34
2043 25.22 25.22 80.52 80.62 80.62 80.62 25.22 25.22 80.62 80.62 80.62 80.62 745.77
2044 25.32 25.32 81.27 81.40 81.40 81.40 25.32 25.32 81.40 81.40 81.40 81.40 752.33
2045 25.42 25.42 82.04 82.18 82.18 82.18 25.42 25.42 82.18 82.18 82.18 82.18 759.02
2046 25.53 25.53 82.82 82.99 82.99 82.99 25.53 25.53 82.99 82.99 82.99 82.99 765.84
2047 25.64 25.64 83.62 83.80 83.80 83.80 25.64 25.64 83.80 83.80 83.80 83.80 772.80
2048 25.77 25.77 84.43 84.63 84.63 84.63 25.77 25.77 84.63 84.63 84.63 84.63 779.91
2049 25.89 25.89 85.25 85.48 85.48 85.48 25.89 25.89 85.48 85.48 85.48 85.48 787.17
2050 26.03 26.03 86.09 86.34 86.34 86.34 26.03 26.03 86.34 86.34 86.34 86.34 794.60
193

Lampiran 19c. Distribusi Bulanan Kebutuhan Air Total DAS Konaweha Tahun
2010-2050 (m3/detik)
Tahun Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
2010 8.77 9.71 22.63 23.39 22.63 23.39 8.77 8.77 23.39 22.63 23.39 22.63
2011 8.78 9.72 22.81 23.57 22.81 23.57 8.78 8.78 23.57 22.81 23.57 22.81
2012 8.79 9.73 23.00 23.76 23.00 23.76 8.79 8.79 23.76 23.00 23.76 23.00
2013 8.80 9.75 23.18 23.95 23.18 23.95 8.80 8.80 23.95 23.18 23.95 23.18
2014 8.82 9.76 23.37 24.15 23.37 24.15 8.82 8.82 24.15 23.37 24.15 23.37
2015 8.83 9.78 23.56 24.35 23.56 24.35 8.83 8.83 24.35 23.56 24.35 23.56
2016 8.84 9.79 23.75 24.55 23.75 24.55 8.84 8.84 24.55 23.75 24.55 23.75
2017 8.86 9.81 23.95 24.75 23.95 24.75 8.86 8.86 24.75 23.95 24.75 23.95
2018 8.87 9.82 24.15 24.95 24.15 24.95 8.87 8.87 24.95 24.15 24.95 24.15
2019 8.89 9.84 24.35 25.16 24.35 25.16 8.89 8.89 25.16 24.35 25.16 24.35
2020 8.90 9.85 24.55 25.37 24.55 25.37 8.90 8.90 25.37 24.55 25.37 24.55
2021 8.91 9.87 24.76 25.58 24.76 25.58 8.91 8.91 25.58 24.76 25.58 24.76
2022 8.93 9.89 24.96 25.80 24.96 25.80 8.93 8.93 25.80 24.96 25.80 24.96
2023 8.95 9.90 25.18 26.02 25.18 26.02 8.95 8.95 26.02 25.18 26.02 25.18
2024 8.96 9.92 25.39 26.24 25.39 26.24 8.96 8.96 26.24 25.39 26.24 25.39
2025 8.98 9.94 25.61 26.46 25.61 26.46 8.98 8.98 26.46 25.61 26.46 25.61
2026 9.00 9.96 25.83 26.69 25.83 26.69 9.00 9.00 26.69 25.83 26.69 25.83
2027 9.01 9.98 26.05 26.92 26.05 26.92 9.01 9.01 26.92 26.05 26.92 26.05
2028 9.03 10.00 26.28 27.15 26.28 27.15 9.03 9.03 27.15 26.28 27.15 26.28
2029 9.05 10.02 26.51 27.39 26.51 27.39 9.05 9.05 27.39 26.51 27.39 26.51
2030 9.07 10.04 26.74 27.63 26.74 27.63 9.07 9.07 27.63 26.74 27.63 26.74
2031 9.09 10.07 26.98 27.87 26.98 27.87 9.09 9.09 27.87 26.98 27.87 26.98
2032 9.11 10.09 27.21 28.12 27.21 28.12 9.11 9.11 28.12 27.21 28.12 27.21
2033 9.13 10.11 27.46 28.37 27.46 28.37 9.13 9.13 28.37 27.46 28.37 27.46
2034 9.16 10.14 27.70 28.63 27.70 28.63 9.16 9.16 28.63 27.70 28.63 27.70
2035 9.18 10.17 27.95 28.89 27.95 28.89 9.18 9.18 28.89 27.95 28.89 27.95
2036 9.21 10.19 28.21 29.15 28.21 29.15 9.21 9.21 29.15 28.21 29.15 28.21
2037 9.23 10.22 28.47 29.41 28.47 29.41 9.23 9.23 29.41 28.47 29.41 28.47
2038 9.26 10.25 28.72 29.69 28.73 29.69 9.26 9.26 29.69 28.73 29.69 28.73
2039 9.29 10.28 28.98 29.96 28.99 29.96 9.29 9.29 29.96 28.99 29.96 28.99
2040 9.32 10.32 29.24 30.24 29.26 30.24 9.32 9.32 30.24 29.26 30.24 29.26
2041 9.35 10.35 29.51 30.52 29.54 30.52 9.35 9.35 30.52 29.54 30.52 29.54
2042 9.38 10.39 29.78 30.81 29.82 30.81 9.38 9.38 30.81 29.82 30.81 29.82
2043 9.42 10.43 30.06 31.11 30.10 31.11 9.42 9.42 31.11 30.10 31.11 30.10
2044 9.45 10.47 30.34 31.40 30.39 31.40 9.45 9.45 31.40 30.39 31.40 30.39
2045 9.49 10.51 30.63 31.71 30.68 31.71 9.49 9.49 31.71 30.68 31.71 30.68
2046 9.53 10.55 30.92 32.02 30.98 32.02 9.53 9.53 32.02 30.98 32.02 30.98
2047 9.57 10.60 31.22 32.33 31.29 32.33 9.57 9.57 32.33 31.29 32.33 31.29
2048 9.62 10.65 31.52 32.65 31.60 32.65 9.62 9.62 32.65 31.60 32.65 31.60
2049 9.67 10.70 31.83 32.98 31.91 32.98 9.67 9.67 32.98 31.91 32.98 31.91
2050 9.72 10.76 32.14 33.31 32.24 33.31 9.72 9.72 33.31 32.24 33.31 32.24
194

Lampiran 20. Nilai Ekonomi Air Masing-masing Sektor di DAS Konaweha Tahun
2010-2050
Tahun Nilai Ekonomi Air Sektor (Milyar Rupiah)
Domestik Industri Irigasi Total
2010 46.34 55.58 4.55 106.47
2011 46.90 56.10 4.61 107.61
2012 47.50 56.64 4.66 108.80
2013 48.06 57.19 4.72 109.97
2014 48.65 57.76 4.78 111.18
2015 49.25 58.34 4.84 112.42
2016 49.85 58.95 4.89 113.69
2017 50.46 59.57 4.95 114.99
2018 51.08 60.22 5.01 116.32
2019 51.71 60.89 5.08 117.68
2020 52.35 61.59 5.14 119.07
2021 52.99 62.31 5.20 120.50
2022 53.64 63.06 5.26 121.97
2023 54.30 63.85 5.33 123.47
2024 54.96 64.67 5.39 125.02
2025 55.64 65.52 5.46 126.62
2026 56.32 66.42 5.53 128.26
2027 57.02 67.35 5.59 129.96
2028 57.72 68.33 5.66 131.71
2029 58.42 69.37 5.73 133.52
2030 59.14 70.45 5.80 135.39
2031 59.87 71.59 5.87 137.33
2032 60.60 72.80 5.94 139.34
2033 61.35 74.07 6.01 141.43
2034 62.10 75.41 6.09 143.60
2035 62.86 76.83 6.16 145.86
2036 63.64 78.34 6.24 148.21
2037 64.42 79.93 6.31 150.67
2038 65.21 81.63 6.39 153.23
2039 66.01 83.43 6.47 155.91
2040 66.82 85.34 6.55 158.71
2041 67.64 87.38 6.63 161.65
2042 68.47 89.55 6.71 164.73
2043 69.31 91.87 6.79 167.97
2044 70.16 94.34 6.87 171.38
2045 71.03 96.99 6.96 174.97
2046 71.90 99.81 7.04 178.75
2047 72.78 102.83 7.13 182.74
2048 73.68 106.07 7.21 186.96
2049 74.58 109.54 7.30 191.43
2050 75.50 113.26 7.39 196.15
195

Lampiran 21. Nilai Ekonomi Air Kabupaten/Kota di DAS Konaweha Tahun 2010-
2050
Tahun Total (Milyar Rupiah) Total (Milyar Rupiah)
Konawe Konsel Kolaka Kendari
2010 30.33 14.60 22.46 39.08 106.47
2011 30.66 14.75 22.68 39.51 107.61
2012 31.01 14.90 22.92 39.97 108.80
2013 31.34 15.06 23.16 40.41 109.97
2014 31.69 15.22 23.40 40.87 111.18
2015 32.05 15.38 23.65 41.34 112.42
2016 32.42 15.55 23.91 41.82 113.69
2017 32.79 15.72 24.17 42.31 114.99
2018 33.17 15.90 24.45 42.80 116.32
2019 33.56 16.08 24.73 43.31 117.68
2020 33.96 16.26 25.02 43.83 119.07
2021 34.37 16.46 25.31 44.36 120.50
2022 34.79 16.66 25.62 44.90 121.97
2023 35.22 16.86 25.94 45.45 123.47
2024 35.66 17.08 26.27 46.02 125.02
2025 36.11 17.30 26.61 46.60 126.62
2026 36.58 17.53 26.96 47.20 128.26
2027 37.06 17.77 27.33 47.81 129.96
2028 37.55 18.02 27.71 48.44 131.71
2029 38.06 18.27 28.10 49.08 133.52
2030 38.58 18.54 28.52 49.75 135.39
2031 39.13 18.82 28.95 50.43 137.33
2032 39.69 19.12 29.40 51.14 139.34
2033 40.27 19.43 29.87 51.87 141.43
2034 40.87 19.75 30.36 52.62 143.60
2035 41.50 20.09 30.88 53.39 145.86
2036 42.15 20.44 31.42 54.20 148.21
2037 42.83 20.81 31.99 55.03 150.67
2038 43.53 21.21 32.59 55.90 153.23
2039 44.26 21.62 33.23 56.79 155.91
2040 45.03 22.06 33.90 57.73 158.71
2041 45.83 22.52 34.60 58.70 161.65
2042 46.67 23.01 35.35 59.71 164.73
2043 47.55 23.53 36.14 60.76 167.97
2044 48.47 24.07 36.97 61.86 171.38
2045 49.44 24.66 37.86 63.02 174.97
2046 50.45 25.27 38.80 64.22 178.75
2047 51.52 25.93 39.81 65.48 182.74
2048 52.65 26.63 40.87 66.81 186.96
2049 53.84 27.38 42.01 68.20 191.43
2050 55.10 28.17 43.22 69.67 196.15
Keterangan :
Proporsi Penduduk : Konawe=28,7 %, Konsel=7,1 %, Kolaka=11,7 %, Kendari= 52,5 %
Proporsi Industri : Industri Besar DAS Konaweha= 13,64 %, Industri Kecil DAS Konaweha = 86,36 %
Industri Besar : Konawe = 9,1 %, Konsel = 9,1 %, Kolaka = 9,1 %, Kendari = 72,7 %%
Industri Kecil : Konawe = 27,6 %, Konsel = 20,9 %, Kolaka = 32,4 %, Kendari = 19,1 %%
Proporsi Sawah : Konawe = 68,0 %, Konsel = 13,0 %, Kolaka = 17,4 %, Kendari = 1,6 %
196

Lampiran 22. Proporsi Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS Masing-masing


Kabupaten/Kota di DAS Konaweha Tahun 2010-2050
Nilai Ekonomi Air (Milyar Rupiah) Proporsi Nilai Ekonomi (%)
Tahun Konawe Konsel Kolaka Kendari Total Konawe Konsel Kolaka Kendari Total
2010 30.33 14.60 22.46 39.08 106.47 28.49 13.72 21.09 36.71 100.00
2011 30.66 14.75 22.68 39.51 107.61 28.49 13.71 21.08 36.72 100.00
2012 31.01 14.90 22.92 39.97 108.80 28.50 13.70 21.07 36.74 100.00
2013 31.34 15.06 23.16 40.41 109.97 28.50 13.69 21.06 36.75 100.00
2014 31.69 15.22 23.40 40.87 111.18 28.51 13.69 21.05 36.76 100.00
2015 32.05 15.38 23.65 41.34 112.42 28.51 13.68 21.04 36.77 100.00
2016 32.42 15.55 23.91 41.82 113.69 28.51 13.67 21.03 36.78 100.00
2017 32.79 15.72 24.17 42.31 114.99 28.52 13.67 21.02 36.79 100.00
2018 33.17 15.90 24.45 42.80 116.32 28.52 13.67 21.02 36.80 100.00
2019 33.56 16.08 24.73 43.31 117.68 28.52 13.66 21.01 36.81 100.00
2020 33.96 16.26 25.02 43.83 119.07 28.52 13.66 21.01 36.81 100.00
2021 34.37 16.46 25.31 44.36 120.50 28.52 13.66 21.01 36.81 100.00
2022 34.79 16.66 25.62 44.90 121.97 28.52 13.66 21.01 36.81 100.00
2023 35.22 16.86 25.94 45.45 123.47 28.52 13.66 21.01 36.81 100.00
2024 35.66 17.08 26.27 46.02 125.02 28.52 13.66 21.01 36.81 100.00
2025 36.11 17.30 26.61 46.60 126.62 28.52 13.66 21.01 36.81 100.00
2026 36.58 17.53 26.96 47.20 128.26 28.52 13.67 21.02 36.80 100.00
2027 37.06 17.77 27.33 47.81 129.96 28.51 13.67 21.03 36.79 100.00
2028 37.55 18.02 27.71 48.44 131.71 28.51 13.68 21.04 36.78 100.00
2029 38.06 18.27 28.10 49.08 133.52 28.50 13.69 21.05 36.76 100.00
2030 38.58 18.54 28.52 49.75 135.39 28.50 13.70 21.06 36.74 100.00
2031 39.13 18.82 28.95 50.43 137.33 28.49 13.71 21.08 36.72 100.00
2032 39.69 19.12 29.40 51.14 139.34 28.48 13.72 21.10 36.70 100.00
2033 40.27 19.43 29.87 51.87 141.43 28.47 13.74 21.12 36.67 100.00
2034 40.87 19.75 30.36 52.62 143.60 28.46 13.75 21.14 36.64 100.00
2035 41.50 20.09 30.88 53.39 145.86 28.45 13.77 21.17 36.61 100.00
2036 42.15 20.44 31.42 54.20 148.21 28.44 13.79 21.20 36.57 100.00
2037 42.83 20.81 31.99 55.03 150.67 28.42 13.81 21.23 36.53 100.00
2038 43.53 21.21 32.59 55.90 153.23 28.41 13.84 21.27 36.48 100.00
2039 44.26 21.62 33.23 56.79 155.91 28.39 13.87 21.31 36.43 100.00
2040 45.03 22.06 33.90 57.73 158.71 28.37 13.90 21.36 36.37 100.00
2041 45.83 22.52 34.60 58.70 161.65 28.35 13.93 21.41 36.31 100.00
2042 46.67 23.01 35.35 59.71 164.73 28.33 13.97 21.46 36.24 100.00
2043 47.55 23.53 36.14 60.76 167.97 28.31 14.01 21.51 36.17 100.00
2044 48.47 24.07 36.97 61.86 171.38 28.28 14.05 21.57 36.10 100.00
2045 49.44 24.66 37.86 63.02 174.97 28.25 14.09 21.64 36.02 100.00
2046 50.45 25.27 38.80 64.22 178.75 28.22 14.14 21.71 35.93 100.00
2047 51.52 25.93 39.81 65.48 182.74 28.19 14.19 21.78 35.83 100.00
2048 52.65 26.63 40.87 66.81 186.96 28.16 14.24 21.86 35.73 100.00
2049 53.84 27.38 42.01 68.20 191.43 28.13 14.30 21.94 35.63 100.00
2050 55.10 28.17 43.22 69.67 196.15 28.09 14.36 22.03 35.52 100.00
1165.46 566.39 870.60 1497.56
Rata-rata 28 14 21 37
Keterangan :
Proporsi Penduduk : Konawe=28,7 %, Konsel=7,1 %, Kolaka=11,7 %, Kendari= 52,5 %
Proporsi Industri : Industri Besar DAS Konaweha= 13,64 %, Industri Kecil DAS Konaweha = 86,36 %
Industri Besar : Konawe = 9,1 %, Konsel = 9,1 %, Kolaka = 9,1 %, Kendari = 72,7 %%
Industri Kecil : Konawe = 27,6 %, Konsel = 20,9 %, Kolaka = 32,4 %, Kendari = 19,1 %%
Proporsi Sawah : Konawe = 68,0 %, Konsel = 13,0 %, Kolaka = 17,4 %, Kendari = 1,6 %
197

Lampiran 23. Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS Kabupaten/Kota di DAS


Konaweha Tahun 2010-2050
Tahun Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS (Milyar Rupiah) Total
Konawe Konsel Kolaka Kendari (Milyar Rupiah)
2010 3.03 1.46 2.25 3.91 10.65
2011 3.07 1.48 2.27 3.95 10.76
2012 3.10 1.49 2.29 4.00 10.88
2013 3.13 1.51 2.32 4.04 11.00
2014 3.17 1.52 2.34 4.09 11.12
2015 3.21 1.54 2.37 4.13 11.24
2016 3.24 1.55 2.39 4.18 11.37
2017 3.28 1.57 2.42 4.23 11.50
2018 3.32 1.59 2.44 4.28 11.63
2019 3.36 1.61 2.47 4.33 11.77
2020 3.40 1.63 2.50 4.38 11.91
2021 3.44 1.65 2.53 4.44 12.05
2022 3.48 1.67 2.56 4.49 12.20
2023 3.52 1.69 2.59 4.55 12.35
2024 3.57 1.71 2.63 4.60 12.50
2025 3.61 1.73 2.66 4.66 12.66
2026 3.66 1.75 2.70 4.72 12.83
2027 3.71 1.78 2.73 4.78 13.00
2028 3.75 1.80 2.77 4.84 13.17
2029 3.81 1.83 2.81 4.91 13.35
2030 3.86 1.85 2.85 4.97 13.54
2031 3.91 1.88 2.89 5.04 13.73
2032 3.97 1.91 2.94 5.11 13.93
2033 4.03 1.94 2.99 5.19 14.14
2034 4.09 1.97 3.04 5.26 14.36
2035 4.15 2.01 3.09 5.34 14.59
2036 4.21 2.04 3.14 5.42 14.82
2037 4.28 2.08 3.20 5.50 15.07
2038 4.35 2.12 3.26 5.59 15.32
2039 4.43 2.16 3.32 5.68 15.59
2040 4.50 2.21 3.39 5.77 15.87
2041 4.58 2.25 3.46 5.87 16.16
2042 4.67 2.30 3.53 5.97 16.47
2043 4.75 2.35 3.61 6.08 16.80
2044 4.85 2.41 3.70 6.19 17.14
2045 4.94 2.47 3.79 6.30 17.50
2046 5.05 2.53 3.88 6.42 17.88
2047 5.15 2.59 3.98 6.55 18.27
2048 5.27 2.66 4.09 6.68 18.70
2049 5.38 2.74 4.20 6.82 19.14
2050 5.51 2.82 4.32 6.97 19.62
Keterangan :
Proporsi Penduduk : Konawe=28,7 %, Konsel=7,1 %, Kolaka=11,7 %, Kendari= 52,5 %
Proporsi Industri : Industri Besar DAS Konaweha= 13,64 %, Industri Kecil DAS Konaweha = 86,36 %
Industri Besar : Konawe = 9,1 %, Konsel = 9,1 %, Kolaka = 9,1 %, Kendari = 72,7 %%
Industri Kecil : Konawe = 27,6 %, Konsel = 20,9 %, Kolaka = 32,4 %, Kendari = 19,1 %%
Proporsi Sawah : Konawe = 68,0 %, Konsel = 13,0 %, Kolaka = 17,4 %, Kendari = 1,6 %
198

Lampiran 24a. Hasil Perhitungan Nilai Ekonomi Rotan di DAS Konaweha Tahun
2009
No Lokasi Penampung Lokasi Pengolah Penampung Pengolah Kapasitas Pengolah Satuan Penerimaan
(unit) (orang) (ton/orang/tahun) (Rp/ton) (Rp)
1 Abuki Aleuti 5 60 8.4 800000 403200000
2 Abuki Atodopi 4 40 8.4 800000 268800000
3 Abuki Lalonggowuna 1 8 8.4 800000 53760000
4 Abuki Asinua Jaya 8 70 8.4 800000 470400000
5 Latoma Andaluto 4 48 8.4 800000 322560000
6 Latoma Mesowi 7 56 8.4 800000 376320000
7 Latoma Walanagau 1 10 8.4 800000 67200000
8 Latoma Watanapo 5 45 8.4 800000 302400000
9 Sampara Paku Jaya 5 40 8.4 800000 268800000
10 Latoma Waworaha 2 24 8.4 800000 161280000
11 Abuki Anggoro 2 22 8.4 800000 147840000
12 Abuki Ambondia 2 20 8.4 800000 134400000
13 Wawotobi Kukuluri 2 18 8.4 800000 120960000
14 Lambuya Lambuya 4 44 8.4 800000 295680000
15 Lambuya Onembute 1 10 8.4 800000 67200000
16 Unaaha Anggaberi 4 40 8.4 800000 268800000
17 Lambuya Morehe 4 36 8.4 800000 241920000
18 Sampara Sampara 3 30 8.4 800000 201600000
19 Lambuya Asahi 1 12 8.4 800000 80640000
20 Abuki Routa 4 48 8.4 800000 322560000
21 Latoma Ambondia 1 15 8.4 800000 100800000
22 Latoma Ambekairi 1 12 8.4 800000 80640000
23 Abuki Garuda 1 10 8.4 800000 67200000
24 Latoma Lalowata 1 14 8.4 800000 94080000
25 Uluiwoi Uluiwoi 4 40 8.4 800000 268800000
26 Ladongi Poli-Polia 2 22 8.4 800000 147840000
Keterangan : 1. Pengolah hanya bisa mengolah rotan kurang lebih 4 bulan dalam setahun
2. Kemampuan rata-rata setiap orang mengumpulkan rotan dalam sebulan adalah 2,1 ton,
asumsi lama merotan 14 hari per bulan dengan kemampuan rata-rata 150 kg per hari
3. Luas rata-rata setiap izin adalah 100 hektar
4. Harga satuan rotan basah per Februari 2010 = Rp. 800.000 per ton

Lampiran 24b. Produktivitas Rata-rata Pengumpul/Pengolah Rotan di DAS


Konaweha Tahun 2009
No Lokasi Pemegang Izin Jumlah Pengolah Produksi Luas Lokasi Produktivitas
(orang) (orang) (Ton) (Ha) (Ton/Ha)
1 Abuki 27 278 2335.2 2700 0.86
2 Latoma 22 224 1881.6 2200 0.86
3 Sampara 8 70 588 800 0.74
4 Lambuya 5 54 453.6 500 0.91
5 Unaaha 4 40 336 400 0.84
6 Wawotobi 2 18 151.2 200 0.76
7 Ladongi 2 22 184.8 200 0.92
8 Uluiwoi 4 40 336 400 0.84
Rata-Rata 0.84
199

Lampiran 25a. Nilai Ekonomi Madu di DAS Konaweha Tahun 2009


No Lokasi Penampung Pengumpul Jumlah Pengolah Kapasitas Total Madu Harga Penerimaan
(orang) Pengumpulan (kg) (Rp/kg) (Rp)
(kg/org/musim)*
1
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 6 30 360 45000 16200000
2
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 4 30 240 45000 10800000
3
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 4 30 240 45000 10800000
4
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 6 30 360 45000 16200000
5
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 5 30 300 45000 13500000
6
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 5 30 300 45000 13500000
7
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 6 30 360 45000 16200000
8
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 6 30 360 45000 16200000
9
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 6 30 360 45000 16200000
10
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 5 30 300 45000 13500000
11
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 8 30 480 45000 21600000
12
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 4 30 240 45000 10800000
13
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 4 30 240 45000 10800000
14
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 4 30 240 45000 10800000
15
Lalosingi (Lalolae) Latoma 5 25 250 45000 11250000
16
Lalosingi (Lalolae) Latoma 4 25 200 45000 9000000
17
Lalosingi (Lalolae) Latoma 8 25 400 45000 18000000
18
Lalosingi (Lalolae) Latoma 6 25 300 45000 13500000
19
Lalosingi (Lalolae) Latoma 8 25 400 45000 18000000
20
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 3 30 180 45000 8100000
21
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 4 30 240 45000 10800000
22
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 3 30 180 45000 8100000
23
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 4 30 240 45000 10800000
24
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 4 30 240 45000 10800000
25
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 3 30 180 45000 8100000
26
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 3 30 180 45000 8100000
27
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 3 30 180 45000 8100000
28
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 3 30 180 45000 8100000
29
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 3 30 180 45000 8100000
30
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 4 30 240 45000 10800000
31
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 3 30 180 45000 8100000
32
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 3 30 180 45000 8100000
33
Lalosingi (Lalolae) Uluiwoi 3 30 180 45000 8100000
34
Lalosingi (Lalolae) Latoma 3 25 150 45000 6750000
35
Lalosingi (Lalolae) Latoma 3 25 150 45000 6750000
36
Lalosingi (Lalolae) Latoma 4 25 200 45000 9000000
37
Lalosingi (Lalolae) Latoma 4 25 200 45000 9000000
38
Lalosingi (Lalolae) Latoma 4 25 200 45000 9000000
39
Lalosingi (Lalolae) Latoma 4 25 200 45000 9000000
40
Keisio (Lalolae) Uluiwoi 3 30 180 45000 8100000
41
Onembute (Lambuya) Abuki 3 20 120 45000 5400000
42
Unaaha (Unaaha) Abuki 6 20 240 45000 10800000
43
Unaaha (Unaaha) Abuki 6 20 240 45000 10800000
44
Unaaha (Unaaha) Abuki 4 20 160 45000 7200000
45
Unaaha (Unaaha) Abuki 5 20 200 45000 9000000
46
Unaaha (Unaaha) Latoma 4 25 200 45000 9000000
47
Unaaha (Unaaha) Latoma 7 25 350 45000 15750000
48
Unaaha (Unaaha) Latoma 5 25 250 45000 11250000
49
Unaaha (Unaaha) Latoma 4 25 200 45000 9000000
50
Simbune (Tirawuta) Uluiwoi 3 30 180 45000 8100000
51
Simbune (Tirawuta) Uluiwoi 3 30 180 45000 8100000
52
Simbune (Tirawuta) Uluiwoi 4 30 240 45000 10800000
53
Peroroa (Tirawuta) Uluiwoi 5 30 300 45000 13500000
54
Peroroa (Tirawuta) Uluiwoi 3 30 180 45000 8100000
55
Peroroa (Tirawuta) Uluiwoi 3 30 180 45000 8100000
56
Peroroa (Tirawuta) Uluiwoi 4 30 240 45000 10800000
57
Awua Sari (Abuki) Abuki 3 20 120 45000 5400000
58
Awua Sari (Abuki) Abuki 3 20 120 45000 5400000
59
Awua Sari (Abuki) Abuki 6 20 240 45000 10800000
60
Awua Sari (Abuki) Abuki 3 20 120 45000 5400000
61
Awua Sari (Abuki) Abuki 4 20 160 45000 7200000
62
Awua Sari (Abuki) Abuki 4 20 160 45000 7200000
63
Neduku (Abuki) Abuki 4 20 160 45000 7200000
64
Neduku (Abuki) Abuki 5 20 200 45000 9000000
65
Neduku (Abuki) Abuki 5 20 200 45000 9000000
66
Neduku (Abuki) Abuki 4 20 160 45000 7200000
67
Neduku (Abuki) Abuki 3 20 120 45000 5400000
68
Neduku (Abuki) Abuki 4 20 160 45000 7200000
Total 690750000
Keterangan : (*) = Musim madu dalam setahun adalah 2 kali yakni bulan 9, 10, 11 dan 12, 1, 2.
Dalam setiap musim, maka pengolah melakukan pengolahan 5 kali
200

Lampiran 25b. Nilai Produktivitas dan Penerimaan Madu di DAS Konaweha


Tahun 2009
No Sumber Madu Total Madu Luas Hutan Produktivitas Harga Satuan Penerimaan
(Kg) (Ha) (kg/ha) (Rp/kg) (Rp)
1 Uluiwoi 8820 1500 5.88 45000 396900000
2 Latoma 3650 900 4.06 45000 164250000
3 Abuki 2880 600 4.80 45000 129600000
Total 14.74 690750000
Rata-rata 4.91

Lampiran 26a. Contoh Analisis Vegetasi Semai untuk Plot 10 di DAS Konaweha
Tahun 2009
No. Individu Lingkar Batang Diameter Batang Biomas Karbon
(cm) (cm) (kg/pohon)(1) (kg/pohon) (2)
1 0.85 0.27 0.004326 0.002163
2 0.75 0.24 0.003152 0.001576
3 0.60 0.19 0.001792 0.000896
4 0.70 0.22 0.002647 0.001323
5 1.00 0.32 0.006526 0.003263
6 0.55 0.18 0.001438 0.000719
7 0.55 0.18 0.001438 0.000719
8 0.90 0.29 0.004999 0.002500
9 0.40 0.13 0.000642 0.000321
10 0.80 0.25 0.003711 0.001855
11 0.85 0.27 0.004326 0.002163
12 0.45 0.14 0.000866 0.000433
13 1.00 0.32 0.006526 0.003263
14 0.70 0.22 0.002647 0.001323
15 1.00 0.32 0.006526 0.003263
16 0.65 0.21 0.002194 0.001097
17 0.70 0.22 0.002647 0.001323
18 0.75 0.24 0.003152 0.001576
19 0.90 0.29 0.004999 0.002500
20 0.85 0.27 0.004326 0.002163
21 0.35 0.11 0.000458 0.000229
22 1.00 0.32 0.006526 0.003263
23 0.70 0.22 0.002647 0.001323
24 1.00 0.32 0.006526 0.003263
25 0.50 0.16 0.001130 0.000565
26 0.60 0.19 0.001792 0.000896
27 1.00 0.32 0.006526 0.003263
28 0.90 0.29 0.004999 0.002500
29 0.75 0.24 0.003152 0.001576
30 0.85 0.27 0.004326 0.002163
31 0.65 0.21 0.002194 0.001097
32 0.90 0.29 0.004999 0.002500
33 1.00 0.32 0.006526 0.003263
34 0.70 0.22 0.002647 0.001323
35 0.25 0.08 0.000196 0.000098
36 0.85 0.27 0.004326 0.002163
37 0.45 0.14 0.000866 0.000433
Total 8.7261 0.1287 0.0644
Rata-rata 0.2358 0.0035 0.002
Keterangan:
(1) Pendugaan Biomas dengan persamaan W = 0.118D 2.53 (Brown, 1997)
(2) Kandungan Karbon 50% dari Biomas (Brown, 1997)
Diameter batang = lingkar batang dibagi 3.14
201

Lampiran 26b. Potensi Karbon Rata-rata Semai, Pancang, Tiang dan Pohon di
DAS Konaweha Tahun 2009
No Semai (%) Pancang (%) Tiang (%) Pohon (%) Total (kg/ha) Total (ton/ha)
1 300.00 6329.74 12053.10 83065.17 101748.00 101.75
2 256.19 6254.70 14579.21 92633.26 113723.35 113.72
3 266.15 10788.03 12961.82 128532.65 152548.65 152.55
4 226.25 10198.29 16968.54 140706.23 168099.31 168.10
5 330.00 14479.03 12994.49 122685.98 150489.49 150.49
6 199.51 12266.70 10038.47 109404.32 131908.99 131.91
7 158.53 12346.00 14083.23 158064.35 184652.11 184.65
8 251.40 9524.47 14451.03 151427.60 175654.51 175.65
9 202.18 12593.08 9138.88 158064.35 179998.48 180.00
10 160.89 8558.37 12330.65 128004.17 149054.09 149.05
11 225.04 6625.35 10970.16 131831.69 149652.24 149.65
12 163.00 7975.15 11161.62 103364.04 122663.82 122.66
Total (kg) 2739.15 117938.90 151731.20 1507783.79 1780193.04 1780.19
Rata-rata (kg/ha) 228.26 9828.24 12644.27 125648.65 148349.42 148.35
Rata-rata (ton/ha) 0.23 9.83 12.64 125.65 148.35
202

Lampiran 27. Analisis WTP Nilai Pilihan Responden di DAS Konaweha Tahun
2009
No Lokasi Pendidikan Pekerjaan Income WTP Nilai Pilihan (Rp/ha)
(Rp/bulan) Habitat Folora dan Fauna Total
1 Abuki SD Buruh tani 700000 50000 50000 100000
2 Abuki SD Buruh tani 700000 50000 75000 125000
3 Abuki SD Pencari rotan 1680000 100000 150000 250000
4 Abuki SMP Pencari rotan 1680000 50000 75000 125000
5 Abuki SMP Penjual sayur 700000 25000 50000 75000
6 Abuki SMP Petani 1500000 75000 100000 175000
7 Abuki SMA PNS 1800000 50000 80000 130000
8 Abuki SMA Petani 1500000 80000 100000 180000
9 Abuki Sarjana Guru 3000000 100000 125000 225000
10 Abuki Sarjana PNS Kesehatan 2500000 80000 125000 205000
11 Lambuya SD Buruh tani 600000 50000 75000 125000
12 Lambuya SD Buruh tani 600000 50000 100000 150000
13 Lambuya SD Buruh bangunan 750000 75000 150000 225000
14 Lambuya SMP Pedagang keliling 800000 50000 80000 130000
15 Lambuya SMP Petani 1500000 80000 100000 180000
16 Lambuya SMP Petani 1500000 100000 150000 250000
17 Lambuya SMA Petani 1500000 75000 100000 175000
18 Lambuya SMA Tukang batu 1500000 50000 50000 100000
19 Lambuya Sarjana Parpol (DPRD) 5000000 250000 250000 500000
20 Lambuya Sarjana PNS Kesehatan 3000000 100000 150000 250000
21 Pondidaha SD Penjual jagung rebus 1800000 75000 100000 175000
22 Pondidaha SD Penjual jagung rebus 1700000 80000 100000 180000
23 Pondidaha SD Penjual jagung rebus 1500000 100000 125000 225000
24 Pondidaha SMP Tukang kayu 1500000 50000 100000 150000
25 Pondidaha SMP Tukang batu 1500000 75000 100000 175000
26 Pondidaha SMP Penjual jagung rebus 1750000 80000 100000 180000
27 Pondidaha SMA Penjual jagung rebus 2000000 75000 100000 175000
28 Pondidaha SMA Pengolah kayu bakar 3500000 100000 125000 225000
29 Pondidaha Sarjana Guru 3000000 80000 125000 205000
30 Pondidaha Sarjana Guru 3000000 75000 100000 175000
31 Uluiwoi SD Buruh tani 600000 50000 100000 150000
32 Uluiwoi SD Buruh tani 600000 50000 75000 125000
33 Uluiwoi SD Pencari rotan 1500000 100000 150000 250000
34 Uluiwoi SMP Pencari madu 1200000 100000 150000 250000
35 Uluiwoi SMP Pencari madu 1200000 100000 150000 250000
36 Uluiwoi SMP Pencari madu 1200000 50000 75000 125000
37 Uluiwoi SMA Petani 1500000 75000 75000 150000
38 Uluiwoi SMA Petani 1500000 80000 100000 180000
39 Uluiwoi Sarjana PNS Kesehatan 2500000 100000 125000 225000
40 Uluiwoi Sarjana Guru 3000000 100000 150000 250000
41 Ladongi SD Buruh tani 1200000 75000 100000 175000
42 Ladongi SD Buruh tani 1200000 75000 100000 175000
43 Ladongi SD Buruh bangunan 900000 50000 80000 130000
44 Ladongi SMP Buruh bangunan 900000 50000 75000 125000
45 Ladongi SMP Petani 3000000 100000 150000 250000
46 Ladongi SMP Petani 5000000 150000 150000 300000
47 Ladongi SMA Petani 3000000 150000 150000 300000
48 Ladongi SMA Petani 4500000 150000 100000 250000
49 Ladongi Sarjana Guru 1800000 100000 100000 200000
50 Ladongi Sarjana PNS Kesehatan 2500000 100000 125000 225000
51 Latoma SD Pencari madu 1200000 75000 100000 175000
52 Latoma SD Pencari rotan 1500000 75000 125000 200000
53 Latoma SD Pencari madu 1200000 50000 50000 100000
54 Latoma SMP Pencari rotan 1500000 100000 150000 250000
55 Latoma SMP Pencari rotan 1500000 100000 125000 225000
56 Latoma SMP Petani 1500000 80000 100000 180000
57 Latoma SMA Petani 1500000 75000 100000 175000
58 Latoma SMA Pencari rotan 1500000 100000 150000 250000
59 Latoma Sarjana Guru 3000000 150000 200000 350000
60 Latoma Sarjana Penanmpung rotan 4500000 150000 200000 350000
Total 5090000 6790000 11880000
Rata-Rata 84833 113167 198000
203

Lampiran 28. Analisis WTP Nilai Warisan Responden di DAS Konaweha Tahun
2009
No Lokasi Responden
Pendidikan Pekerjaan Income WTP Nilai Warisan (Rp/ha)
(Rp/bulan) Habitat Flora dan Fauna Total
1 Abuki SD Buruh tani 700000 50000 50000 100000
2 Abuki SD Buruh tani 700000 50000 50000 100000
3 Abuki SD Pencari rotan 1680000 150000 200000 350000
4 Abuki SMP Pencari rotan 1680000 150000 200000 350000
5 Abuki SMP Penjual sayur 700000 50000 50000 100000
6 Abuki SMP Petani 1500000 100000 75000 175000
7 Abuki SMA PNS 1800000 100000 100000 200000
8 Abuki SMA Petani 1500000 100000 100000 200000
9 Abuki Sarjana Guru 3000000 200000 100000 300000
10 Abuki Sarjana PNS Kesehatan 2500000 200000 150000 350000
11 Lambuya SD Buruh tani 600000 25000 25000 50000
12 Lambuya SD Buruh tani 600000 25000 25000 50000
13 Lambuya SD Buruh bangunan 750000 25000 30000 55000
14 Lambuya SMP Pedagang keliling 800000 50000 40000 90000
15 Lambuya SMP Petani 1500000 75000 75000 150000
16 Lambuya SMP Petani 1500000 75000 50000 125000
17 Lambuya SMA Petani 1500000 50000 50000 100000
18 Lambuya SMA Tukang batu 1500000 75000 50000 125000
19 Lambuya Sarjana Parpol (DPRD) 5000000 400000 350000 750000
20 Lambuya Sarjana PNS Kesehatan 3000000 250000 200000 450000
21 Pondidaha SD Penjual jagung rebus 1800000 75000 75000 150000
22 Pondidaha SD Penjual jagung rebus 1700000 60000 50000 110000
23 Pondidaha SD Penjual jagung rebus 1500000 50000 50000 100000
24 Pondidaha SMP Tukang kayu 1500000 50000 50000 100000
25 Pondidaha SMP Tukang batu 1500000 50000 50000 100000
26 Pondidaha SMP Penjual jagung rebus 1750000 50000 75000 125000
27 Pondidaha SMA Penjual jagung rebus 2000000 200000 150000 350000
28 Pondidaha SMA Pengolah kayu bakar 3500000 350000 350000 700000
29 Pondidaha Sarjana Guru 3000000 250000 300000 550000
30 Pondidaha Sarjana Guru 3000000 300000 300000 600000
31 Uluiwoi SD Buruh tani 600000 25000 25000 50000
32 Uluiwoi SD Buruh tani 600000 25000 25000 50000
33 Uluiwoi SD Pencari rotan 1500000 75000 100000 175000
34 Uluiwoi SMP Pencari madu 1200000 75000 75000 150000
35 Uluiwoi SMP Pencari madu 1200000 75000 75000 150000
36 Uluiwoi SMP Pencari madu 1200000 100000 100000 200000
37 Uluiwoi SMA Petani 1500000 100000 100000 200000
38 Uluiwoi SMA Petani 1500000 100000 100000 200000
39 Uluiwoi Sarjana PNS Kesehatan 2500000 200000 150000 350000
40 Uluiwoi Sarjana Guru 3000000 200000 200000 400000
41 Ladongi SD Buruh tani 1200000 150000 100000 250000
42 Ladongi SD Buruh tani 1200000 100000 100000 200000
43 Ladongi SD Buruh bangunan 900000 50000 75000 125000
44 Ladongi SMP Buruh bangunan 900000 50000 75000 125000
45 Ladongi SMP Petani 3000000 200000 200000 400000
46 Ladongi SMP Petani 5000000 300000 350000 650000
47 Ladongi SMA Petani 3000000 200000 150000 350000
48 Ladongi SMA Petani 4500000 300000 250000 550000
49 Ladongi Sarjana Guru 1800000 150000 150000 300000
50 Ladongi Sarjana PNS Kesehatan 2500000 200000 150000 350000
51 Latoma SD Pencari madu 1200000 100000 100000 200000
52 Latoma SD Pencari rotan 1500000 125000 125000 250000
53 Latoma SD Pencari madu 1200000 75000 75000 150000
54 Latoma SMP Pencari rotan 1500000 100000 75000 175000
55 Latoma SMP Pencari rotan 1500000 125000 75000 200000
56 Latoma SMP Petani 1500000 125000 100000 225000
57 Latoma SMA Petani 1500000 100000 100000 200000
58 Latoma SMA Pencari rotan 1500000 75000 100000 175000
59 Latoma Sarjana Guru 3000000 200000 200000 400000
60 Latoma Sarjana Penanmpung rotan 4500000 350000 300000 650000
Total 7685000 7220000 14905000
Rata-Rata 128083 120333 248417
204

Lampiran 29. Analisis WTP Nilai Keberadaan Responden di DAS Konaweha


Tahun 2009
No Lokasi Responden
Pendidikan Pekerjaan Income WTP Nilai Keberadaan (Rp/ha)
(Rp/bulan) Habitat Folora dan Fauna Total
Dilindungi
1 Abuki SD Buruh tani 700000 75000 75000 150000
2 Abuki SD Buruh tani 700000 100000 75000 175000
3 Abuki SD Pencari rotan 1680000 200000 150000 350000
4 Abuki SMP Pencari rotan 1680000 150000 150000 300000
5 Abuki SMP Penjual sayur 700000 75000 50000 125000
6 Abuki SMP Petani 1500000 100000 100000 200000
7 Abuki SMA PNS 1800000 150000 150000 300000
8 Abuki SMA Petani 1500000 150000 100000 250000
9 Abuki Sarjana Guru 3000000 200000 200000 400000
10 Abuki Sarjana PNS Kesehatan 2500000 200000 200000 400000
11 Lambuya SD Buruh tani 600000 75000 75000 150000
12 Lambuya SD Buruh tani 600000 75000 75000 150000
13 Lambuya SD Buruh bangunan 750000 75000 100000 175000
14 Lambuya SMP Pedagang keliling 800000 100000 100000 200000
15 Lambuya SMP Petani 1500000 150000 150000 300000
16 Lambuya SMP Petani 1500000 150000 150000 300000
17 Lambuya SMA Petani 1500000 150000 100000 250000
18 Lambuya SMA Tukang batu 1500000 100000 100000 200000
19 Lambuya Sarjana Parpol (DPRD) 5000000 400000 400000 800000
20 Lambuya Sarjana PNS Kesehatan 3000000 250000 250000 500000
21 Pondidaha SD Penjual jagung rebus 1800000 150000 150000 300000
22 Pondidaha SD Penjual jagung rebus 1700000 150000 150000 300000
23 Pondidaha SD Penjual jagung rebus 1500000 150000 100000 250000
24 Pondidaha SMP Tukang kayu 1500000 100000 75000 175000
25 Pondidaha SMP Tukang batu 1500000 100000 100000 200000
26 Pondidaha SMP Penjual jagung rebus 1750000 150000 150000 300000
27 Pondidaha SMA Penjual jagung rebus 2000000 200000 150000 350000
28 Pondidaha SMA Pengolah kayu bakar 3500000 200000 200000 400000
29 Pondidaha Sarjana Guru 3000000 200000 250000 450000
30 Pondidaha Sarjana Guru 3000000 200000 200000 400000
31 Uluiwoi SD Buruh tani 600000 50000 50000 100000
32 Uluiwoi SD Buruh tani 600000 50000 50000 100000
33 Uluiwoi SD Pencari rotan 1500000 150000 100000 250000
34 Uluiwoi SMP Pencari madu 1200000 100000 100000 200000
35 Uluiwoi SMP Pencari madu 1200000 100000 100000 200000
36 Uluiwoi SMP Pencari madu 1200000 75000 100000 175000
37 Uluiwoi SMA Petani 1500000 150000 100000 250000
38 Uluiwoi SMA Petani 1500000 150000 150000 300000
39 Uluiwoi Sarjana PNS Kesehatan 2500000 200000 150000 350000
40 Uluiwoi Sarjana Guru 3000000 200000 200000 400000
41 Ladongi SD Buruh tani 1200000 100000 100000 200000
42 Ladongi SD Buruh tani 1200000 100000 100000 200000
43 Ladongi SD Buruh bangunan 900000 100000 50000 150000
44 Ladongi SMP Buruh bangunan 900000 75000 75000 150000
45 Ladongi SMP Petani 3000000 200000 150000 350000
46 Ladongi SMP Petani 5000000 250000 250000 500000
47 Ladongi SMA Petani 3000000 200000 200000 400000
48 Ladongi SMA Petani 4500000 250000 150000 400000
49 Ladongi Sarjana Guru 1800000 150000 150000 300000
50 Ladongi Sarjana PNS Kesehatan 2500000 200000 100000 300000
51 Latoma SD Pencari madu 1200000 100000 75000 175000
52 Latoma SD Pencari rotan 1500000 100000 100000 200000
53 Latoma SD Pencari madu 1200000 75000 150000 225000
54 Latoma SMP Pencari rotan 1500000 100000 150000 250000
55 Latoma SMP Pencari rotan 1500000 100000 150000 250000
56 Latoma SMP Petani 1500000 150000 100000 250000
57 Latoma SMA Petani 1500000 150000 150000 300000
58 Latoma SMA Pencari rotan 1500000 150000 150000 300000
59 Latoma Sarjana Guru 3000000 250000 250000 500000
60 Latoma Sarjana Penanmpung rotan 4500000 250000 250000 500000
Total 8800000 8225000 17025000
Rata-Rata 146666.7 137083.3333 283750
205

Lampiran 30. Hubungan Proporsi Tutupan Masing-masing Jenis Penggunaan


Lahan dengan Qmin Sub DAS Konaweha Hulu
Alternatif H K Kc Sb CH CK CKc CSb C*H C*K C*Kc C*Sb Total Intersep Qmin (m3/detik) (m3/detik)
Skenario 1 30 55 6 4 0.7 0.6 3.4 3.7 21.0 33.0 20.4 14.8 18.8 13 31.8 Qmin

Skenario 2 35 51 6 3 0.7 0.6 3.4 3.7 24.5 30.6 20.4 11.1 23.6 13 36.6 Qmin

Skenario 3 43 43 6 3 0.7 0.6 3.4 3.7 30.1 25.8 20.4 11.1 24.4 13 37.4 Qmin

Skenario 4 33 52 5 4 0.7 0.6 3.4 3.7 23.1 31.2 17.0 14.8 22.5 13 35.5 Qmin

Skenario 5 40 46 5 4 0.7 0.6 3.4 3.7 28.0 27.6 17.0 14.8 23.8 13 36.8 Qmin
Keterangan:
Skenario 1 = 30 % hutan, 55 % perkebunan, 6 % kebun campuran dan 4 % semak belukar
Skenario 2 = 35 % hutan, 51 % perkebunan, 6 % kebun campuran dan 3 % semak belukar
Skenario 3 = 43 % hutan, 43 % perkebunan, 6 % kebun campuran dan 3 % semak belukar
Skenario 4 = 33 % hutan, 52 % perkebunan, 5 % kebun campuran dan 4 % semak belukar
Skenario 5 = 40 % hutan, 46 % perkebunan, 5 % kebun campuran dan 4 % semak belukar
H = hutan, K = perkebunan, Kc = kebun campuran, Sb = semak belukar, C = koefisien regresi linier
Luas kondisi eksisting: Hutan= 43 %, perkebunan=43 %, kebun campuran=6 % dan semak belukar=3 %
Luas DAS Konaweha Hulu = 337992 hektar

Lampiran 31. Proporsi Luas Masing-masing Skenario Penggunaan Lahan


Alternatif di Sub DAS Konaweha Hulu
Alternatif Hutan Perkebunan Kebun Campuran Semak Belukar
Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) %
Skenario 1 101398 30 185896 55 20280 6 13520 4
Skenario 2 118297 35 172376 51 20280 6 10140 3
Skenario 3 145337 43 145337 43 20280 6 10140 3
Skenario 4 111537 33 175756 52 16900 5 13520 4
Skenario 5 135197 40 155476 46 16900 5 13520 4
Luas DAS Konaweha Hulu = 337992 hektar
206

You might also like