You are on page 1of 19

Jurnal Komunikasi Pembangunan

ISSN 1693-3699 Februari 2010, Vol. 08, No. 1

Analisis Teori Performance dan Positioning dalam Komunikasi


Pembangunan Berwawasan Gender

A. V. S. Hubeis(a) dan R. S. H. Mulyandari(b)


(a)
Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Mayor Komunikasi Pembangunan, Gedung Departemen KPM IPB Wing 1
Level 5, Jalan Kamper Kampus IPB Darmaga, Telp. 0251-8420252, Fax. 0251-8627797, (b) Pusat Perpustakaan dan
Penyebaran Teknologi Pertanian

Abstrak
Formative and positioning theories are the critique of structuralism and critical theory. In the formative perspective
and gender positioning, there is a consequence of the semiotic practices, as a sign of deviation patterns of adaptation
and negotiation position of a subject. Participation of the performance of gender can be done through mimicry and
subversion rhetoric and understanding the intersection of gender with race, class, sexuality, ethnicity, and
nationality. According to formative theory, gender or sexuality oppression is more of an ideological oppression and
representation. Formative and positioning theories describe the relationship between subjects, discourses, practices,
and position. The development of post structuralism theory manifests a constellation of challenges and new
methodologies and adapts into a feminist critique of structuralism with methodological theory and new horizons,
especially Post-Structuralism Discourse Analysis (PDA), which is directed at the meso level and the conversation
focused on understanding the structure of actions speaking (words and deeds) which is limited by reference to social
forces. PDA and then developed into a Post-Structuralism Feminist Discourse Analysis (FPDA). Forms of
participatory development communication perspective in the perspective of gender performance and positioning
theory state that the concept of empowerment of women in development is more focused on the patterns of
conversation, dialogue and dialectic process that includes grassroots forum for dialogue, a new function of
participatory communications on media, knowledge sharing on an equal footing, and Development Support
Communication Model (DSC).
Keywords:Post structuralism, Formative and Positioning theories, development communications, gender, Post-
Structuralism Discourse Analysis (PDA)

1. Pendahuluan perbedaan perbedaan jenis kelamin


1.1 Latar Belakang tidak perlu mengakibatkan perbedaan
Kesetaraan gender sering peran dan perilaku gender dalam
diucapkan oleh para aktivis sosial, kaum tatanan sosial. Kelompok feminis
feminis, politikus, bahkan oleh para lainnya menganggap perbedaan jenis
pejabat negara. Istilah kesetaraan kelamin akan selalu berdampak
gender dalam tatanan praktis hampir terhadap konstruksi konsep gender
selalu diartikan sebagai kondisi dalam kehidupan sosial, sehingga akan
selalu ada jenis-jenis pekerjaan
“ketidaksetaraan” yang dialami oleh
para wanita. Oleh karena itu, istilah berstereotip gender. Kedua kelompok
kesetaraan gender sering terkait dengan yang berbeda ini didasari oleh landasan
teori dan ideologi yang berbeda,
istilah-istilah diskriminasi terhadap
perempuan, subordinasi, penindasan, sehingga memberikan dasar analisis
gender yang berbeda pula.
perlakuan tidak adil, dan semacamnya
(Megawangi 1999). Analisis gender adalah proses
yang dibangun secara sistematik untuk
Terdapat dua kelompok besar
dalam diskursus feminisme mengenai mengidentifikasi dan memahami
pembagian kerja/peran laki-laki dan
konsep kesetaraan gender dan keduanya
perempuan, akses dan kontrol terhadap
saling bertolak belakang. Pertama
adalah sekelompok feminis yang sumber-sumber daya pembangunan,
partisipasi dalam proses pembangunan
mengatakan bahwa konsep gender
dan manfaat yang mereka nikmati, serta
adalah konstruksi sosial, sehingga
pola hubungan antara laki-laki dan
Analisis Teori Performance dan Positioning dalam Komunikasi Pembangunan
Berwawasan Gender

perempuan yang timpang. Dalam pelak- 2. Bagaimana aplikasi Post-structuralist


sanaan analisis gender memperhatikan Discource Analysis dalam
faktor-faktor lainnya seperti kelas komunikasi gender?
sosial, ras, dan suku bangsa. 3. Bagaimana aplikasi teori
Berbagai paham dan teori telah performance dan positioning dalam
mendasari pemahaman kita terhadap komunikasi pembangunan?
komunikasi gender. Namun demikian,
dalam konteks pengembangannya untuk 1.3 Tujuan
aplikasi komunikasi pembangunan, Penulisan makalah ini secara
perlu dilakukan pemahaman secara umum ditujukan untuk memahami
terstruktur terhadap komunikasi gender konsep komunikasi gender melalui
sehingga konsep-konsepnya dapat analisis teori performance dan
dimanfaatkan secara tepat. Salah satu
positioning yang termasuk dalam
konsep dalam teori komunikasi gender pandangan post-structuralist. Secara
adalah pandangan dari Post- khusus, tujuan makalah ini adalah:
Structuralist yang bersumber pada teori
1. Mereview pandangan post-
filosofi dan bahasa. Pandangan Post- structuralist khususnya dari
Structuralist dari perspektif teori perspektif teori performativitas dan
Performance dan Positinioning ter- teori positioning dalam komunikasi
masuk dalam kelompok feminisme yang gender.
mengatakan bahwa konsep gender 2. Memahami aplikasi Post-
adalah konstruksi sosial, sehingga structuralist Discource Analysis
perbedaan-perbedaan jenis kelamin
(PDA) dalam komunikasi gender.
tidak perlu mengakibatkan perbedaan 3. Menganalisis aplikasi teori
peran dan perilaku gender dalam performance dan positioning dalam
tatanan sosial khususnya dalam komunikasi pembangunan.
pembangunan atau pengembangan
masyarakat.
2. Metodologi
1.2 Permasalahan Tulisan hasil review terhadap
teori performance dan positioning
Komunikasi pembangunan sebagai salah satu pandangan dari teori
dalam perspektif gender selama ini Post-Structuralist dalam komunikasi
masih belum banyak dikembangkan dan gender. Analisis dilakukan terhadap
dikaji secara mendalam, khususnya beberapa hasil penelitian, literatur, dan
berdasarkan pandangan Post-
text book baik tercetak maupun
Structuralist dari perspektif teori elektronis (online melalui internet)
performance dan positioning. Beberapa
dengan literatur utama adalah dari buku
permasalahan yang muncul terkait “Gender Communication Theories &
dengan kajian komunikasi pem-
Analyses: from Silence to Performance”
bangunan dalam perspektif gender ini buah karya dari Charlotte Krolokke dan
adalah: Anne Scot Sorensen tahun 2006.
1. Bagaimana pandangan post-
structuralist khususnya dari
3. Hasil dan Pembahasan
perspektif teori performativitas dan 3.1 Pandangan Post-Structuralist
teori positioning dalam komunikasi
dalam Komunikasi Gender
gender?
Perspektif yang tidak dapat
dipisahkan dalam stukturalis adalah

59
A. V. S. Hubeis dan R. S. H. Mulyandari

menonjolkan keadaan saling mem- kekuatan yang diwujudkan dari sebuah


pengaruhi dari subyek, bahasa, dan ritual khusus. Hal ini mendasari adanya
masyarakat, serta mengutamakan pembentukan bahasa tubuh sebagai
kelembagaan, kompleksitas, dan ritual sosial semacam “girling”
kemungkinan dalam pemanfaatan (kewanita-wanitaan) sebagai produksi
kekuasaan. Post-structuralist melam- dari seorang gadis (Livia & Hall 1997).
bangkan sebuah perubahan ke arah Charlotte Krolokke dan Anne Scot
performan sebagai sebuah wujud dari Sorensen (2006) menyampaikan premis
praktek komunikasi (Krolokke dan dan perspektif teori Performance dan
Anne 2006). Positioning dalam komunikasi gender
Ahli filsafat Michel Foucault, sebagai berikut:
Jacques Lacan, dan Judith Butler telah 1. Gender bukan hanya sekedar sebuah
menjadi sumber inspirasi untuk sumber dari identitas dan bahasa
pengetahuan ilmiah di bidang tetapi merupakan sebuah
komunikasi yang mengarah pada konsekuensi – sebuah tindakan yang
paradigma post-structuralist. Dua kata dilakukan atau sebuah efek dari
kunci yang diberikan oleh Foucault praktek-praktek semiotik.
yaitu (a) merujuk pada sebuah proses 2. Gender adalah sebuah pertanda
subyektifikasi dan perwujudan secara performativitas dengan efek
simultan, di mana diskursus menjadi keganjilan, oleh apa yang kita sebut
subyektif dan penting, serta (b) sebagai penyimpangan dari pola
kebenaran dan sistem kekuasaan adaptasi dan negosiasi posisi suatu
berhubungan secara komplek sehingga subyek.
kebenaran dan kekuasaan bukan 3. Kita berperan serta dalam performan
struktur atau lembaga yang monolitik, gender dengan sebuah retorika
tetapi lebih diberikan untuk penyebutan mimikri (peniruan) dan subversi.
situasi strategi yang kompleks. 4. Pengertian gender berinterseksi
dengan pengertian ras, klas,
3.2 Analisis Teori Performativitas dan seksualitas, etnisitas, dan
Posisioning dalam Komunikasi nasionalitas.
Gender Teori performativitas dikem-
Teori formativitas dan bangkan oleh Butler di awal tahun 90-
posisioning adalah sebuah kritik an. Butler mengatakan bahwa tidak ada
identitas gender di balik ekspresi
terhadap strukturalisme dan teori kritis
gender. Identitas dibentuk secara
yang memiliki latar belakang yang
beragam terkait dengan teori feminisme performatif, diulang-ulang hingga
tercapai “identitas yang asli”
sebagai teori kategori sosial,
identifikasi, dan agensi. Dasar teori sebagaimana disampaikan dalam
bukunya yang berjudul Gender Trouble
yang mendasari teori formativitas dan
posisioning adalah teori aktivitas (Salih 2002 ):
kemampuan berbicara dan khususnya “Gender is the repeated stylization
of the body, a set of repeated acts
dari teori performativitas Austin.
Formativitas adalah sebuah kata kerja within a highly rigid regulatory
yang merupakan tindakan dalam suatu frame that congeal over time to
produce the appearance of
peristiwa berpidato, misalnya
substance, of a natural sort of
pengenalan tokoh, teriakan keras yang
being.”
melambangkan semangat dalam
Gender tidak hanya sekedar sebuah
berpidato, dan menyimpulkan suatu
proses, tetapi gender adalah sebuah tipe

60
Analisis Teori Performance dan Positioning dalam Komunikasi Pembangunan
Berwawasan Gender

proses tertentu dari seperangkat pernah dapat dicapai, bahwa upayanya


aktivitas yang diulang-ulang dalam untuk menjadi idealisasinya tidak
batas-batas kerangka yang mengatur pernah bisa dicapai, dan ia selalu
dalam tingkatan yang tinggi (“a set of dihantui wilayah kemungkinan seksual
repeated acts within a highly regulatory yang harus dikeluarkan dari norma
frame”). gender heteroseksual untuk
Byrne (2000) menyatakan menghasilkannya” (Salih 2002).
bahwa Butler dalam bukunya yang Bagi Butler, seks bukanlah "a
berjudul Gender Trouble berhubungan bodily given on which the construct of
dengan penelitian bagaimana kategori gender is artificially imposed”,
gender dihasilkan oleh rejim diskursif melainkan “ a cultural norm which
dari pada sebagai kategori ontologi. governs the materialization of bodies"
Kategori dari laki-laki, perempuan, (sebuah norma budaya yang mengatur
heteroseksual, homoseksual bukan materialisasi tubuh). Baginya seks
merupakan karakteristik yang penting adalah "konstruk ideal yang
atau yang tidak dapat dipisahkan tetapi termaterialisasikan secara paksa melalui
merupakan efek dari sebuah kekuatan proses waktu. Seks bukan sekedar
formulasi yang spesifik. Butler fakta sederhana atau kondisi tubuh yang
perhatian terhadap cara dalam mana statis melainkan adalah “a regulatory
tubuh (body) secara diskursif terbentuk. ideal whose materialization is
Identitas terbentuk secara compelled”, dan materialisasi ini
performatif melalui berbagai ekspresi berlangsung melalui praktek pendisiplin
yang selama ini dianggap sebagai yang sangat canggih dan laten.”
hasilnya. Bentuk seksualitas ini Pengulangan ini menurutnya penting
direproduksi dan dinaturalkan dengan sebagai tanda bahwa materialisasi itu
imitasi yang berulang-ulang (reiterative tidak pernah selesai dan tubuh tidak
imitations), yang beroperasi melalui pernah secara 100% sesuai dengan
devaluasi, stigmatisasi dan abnor- norma yang mengharuskan adanya
malisasi praktek seksual lainnya karena proses normalisasi tersebut
statusnya yang selalu terancam. Butler (Conanedogawa 2008).
selanjutnya menyatakan bahwa“Imitasi Butler menghadapi kritik dari
merupakan inti proyek heteroseksual konstruksionis sosial radikal dalam
dan binerisme gendernya, bahwa drag pengembangan pentingnya “the body”
bukanlah imitasi sekunder yang (tubuh). Butler selanjutnya menyaran-
mengasumsikan sebuah gender yang kan topik pemahaman persoalan dalam
asli, melainkan heteroseksualitas yang istilah permohonan (keinginan) dan
hegemonik itu sendiri adalah upaya tidak memiliki keputusan yang pasti
yang konstan dan berulang-ulang untuk dari pembahasan yang terkait dengan
menyerupai yang diidealkan. Bahwa hubungan antara “tubuh, keinginan
imitasi ini harus diulang-ulang, (hasrat), dan diskursus. Kritik lainnya
diproduksinya praktek-praktek yang adalah bahwa teori ini adalah bersifat
mempatologikan dan sains yang dasar-individual dan tidak memper-
menormalkan secara besar-besaran timbangkan faktor lain, misalnya
untuk menghasilkan dan membuktikan jangka waktu dalam mana performan
klaimnya tentang originalitas dan terjadi, keterlibatan orang lain, dan
kelayakan, menegaskan bahwa perfor- bagaimana mereka melihat atau
mativitas heteroseksual yang sempurna mempersepsikan apa yang mereka
itu selalu dalam ancaman dan tidak saksikan. Kritik terakhir adalah premis

61
A. V. S. Hubeis dan R. S. H. Mulyandari

pada anggapan bahwa gender tidak konflik dalam hubungan, situasi, dan
datang lebih dahulu atau lebih tepatnya konteks yang berbeda.
terjadi setelah praktek (kebiasaan atau Dalam pendekatan analisis
mengikuti tindakan orang lain) yang positioning, Raggat (2007) membuat
cepat terjadi dalam interaksi mikro. tiga perbedaan utama dalam sistem
klasifikasi. Pertama, terdapat perbedaan
3.3 Analisis Teori Posisioning dalam yang didasarkan atas medium
Komunikasi Gender (perantara) atau mode ekpresi yang
Teori posisioningdapat di- mengindikasikan posisi (contohnya
katakan sebagai pelekatan dalam teori diskursif, embodied – menjadikan
diskursif Butler sebagai sifat dasar dari bagian dari). Kedua, kita dapat
gender, yang melengkapi batas mengidentifikasi konflik dinamis di
perbedaan dari posisi subyek untuk dalam diri seseorang – posisi pribadi.
Ketiga, dalam domain budaya, posisi
tinggal, sehingga dengan cara tersebut
dapat mentransformasikan (mengubah sosial tetap dan menggolongkan secara
bentuk) mereka. Meskipun demikian, individu, yang selalu menempatkan
derajat seseorang pada kekuatan
hal ini juga muncul sebagai sebuah
bagian dari teori antara teori diskursus kewenangan untuk mengampuni (belas
dalam tradisi Faucauldian: kecen- kasihan) dan pembagian di sekitar
derungan terbaru dalam psikologi budaya. Bentuk klasifikasi posisi
seperti “psycho-socio-linguistics” dan menjadi domain ekspresif, personal, dan
formulasi yang baru-baru ini terjadi, sosial disajikan pada Tabel 1.
contohnya, teori “speech act” (kepura- Dalam mode ekspresi (a),
Raggatt (2007) menyatakan bahwa
puraan dalam berbicara/sandiwara)
sebagaimana yang dinyatakan oleh bentuk positioning terdiri atas narasi,
Baxter (2002). ekspresif, dan embodied. Posisioning
Menurut Davies & Harre tidak hanya berperan secara diskursif,
(Krolokke & Anne 2006) dinyatakan tetapi juga memberikan tanda khusus
bahwa teori posisioning menggam- sebagai performan dari aktor sosial dan
barkan hubungan antara subyek, juga memahatnya melalui kekuatan
media dari embodiment (perwujudan)
diskursus, praktek, dan posisi.
Selanjutnya, kemungkinan pilihan sebagaimana dinyatakan oleh Butler
berasal dari keberadaan berbagai (1992).
diskursus dan (perbedaan yang
diterima), boleh jadi juga pada posisi

62
Analisis Teori Performance dan Positioning dalam Komunikasi Pembangunan
Berwawasan Gender

Tabel 1.
Bentuk klasifikasi posisi dalam teori posisioning (Raggatt 2007).
(a) Mode ekspresi
Narratif/diskursif Cerita diri sendiri, autobiografi, ucapan naratif
Performatif/ekspresif Presentasi diri sendiri yang strategis, bermain peran,
teater, komedi, upacara keagamaan secara pribadi
Embodied (menjadikan Komunikasi non verbal, pemaknaan dan pencitraan
bagian dari/mewujudkan) terhadap tubuh, kostum, fashion, cross dressing dan
trans gender
(b) Posisi pribadi: Konflik dinamis dalam diri orang tersebut
Moral career (Karir moral) Kepribadian yang baik vs kepribadian yang buruk; hero
vs penjahat
Affect (Pengaruh) Menyenangkan diri sendiri vs menyedihkan diri sendiri
Agency (Lembaga) Kontrol, kebebasan, generativitas (sifat dapat
menghasilkan) dan stagnasi
Communion Kasih sayang dan pertengkaran; pengikatan dan
(Persamaan/persahabatan) perpecahan
(c) Posisi sosial: Konstruksi sosial dan budaya
Konversasional/diskursif Posisi dalam dialog
Peran institusional/ritual Peran sosial mikro (keluarga, pekerjaan)
Posisi secara politik /hirarki
Kekuasaan Otoritas dan subordinasi
Kelas Tinggi dan rendah
Etnisiti Perbedaan ras dan budaya
Gender Patriarchi: maskulinitas – feminitas

Harre dan rekan-rekannya implisit oleh kemurnian perbedaan


(Harre & Moghaddam 2003) kekuasaan dalam dikotomi sosial;
menyatakan bahwa teori posisioning contohnya perempuan dan laki-laki.
bersifat sosial, diskursif, dan dinamis. Istilah majikan (laki-laki) didefinisikan
Identitas berubah-ubah dan maknanya sebagai kekurangan kepemilikan harta,
tidak tetap, tetapi dapat dibagi dengan yang dalam suatu istilah yang negatif
pihak lain dan dinegosiasikan di antara memberikan pengaruh bahwa secara
komunitas mereka sendiri. Masyarakat individu dan kelompok seringkali
menegosiasikan makna posisi mereka membuatnya menjadi pendiam atau
sendiri dan orang lain secara strategis tertekan oleh bentuk posisi sosial
melalui sebuah pertukaran sosial. Posisi tersebut.
merupakan respon dinamis dan berubah
untuk sebuah proses sosial dan sebuah 3.4 Post-Structuralist Discourse
sumber perangkat budaya, diskursif, dan Analysis (PDA) dalam Komunikasi
simbolik yang terjadi (ada) sebelum Gender
subyek hidup. Posisi muncul dari peran
Perkembangan post struktural-
kelembagaan, misalnya yang memak-
isme juga memanifestasikan konstelasi
sakan melalui stereotipe mikro dan
teori dan metodologi baru yang
sosial makro yang sedang berlaku,
menantang dan diadaptasikan oleh
contohnya tentang peranan gender. feminis ahli komunikasi. Post
Posisi sosial seringkali dihasilkan secara strukturalisme pertama kali mengeks-

63
A. V. S. Hubeis dan R. S. H. Mulyandari

presikannya dalam sebuah kritik sosial; serta pada tingkatan makro


strukturalisme dan selanjutnya terhadap skemata aestetik, diskursif
melampauinya untuk menunjukkan teori repertoir, idiom, dan sebagainya.
dan horison metodologikal baru, Kerangka kerja PDA terutama
khususnya terkait dengan Post- diarahkan pada tingkatan meso dan
Structuralist Discourse Analysis (PDA). difokuskan pada pemahaman
PDA tidak dapat memiliki percakapan sebagai “sebuah struktur
agenda emansipatori dalam kesadaran tindakan berbicara”, sebagai perkataan
bahwa dukungan sebuah narasi yang dan perbuatan dari tipe yang dibatasi
indah yang menjadi diskursus dominan oleh referensinya terhadap kekuatan
miliknya sendiri. PDA memiliki sosial mereka (Krolokke dan Anne
perhatian dalam kebebasan bermain dari 2006).
kemampuan berbicara yang berkali-kali
(multiple) dalam sebuah konteks 3.5 Feminist Post-Structuralist
diskursus, yang berarti bahwa Discourse Analysis (FPDA)
percakapan tersebut diam (bungkam), FPDA berasal dari sumber yang
minoritas atau kelompok yang tertindas
berbeda dan juga diasumsikan dengan
yang perlu didengarkan. Mengikuti aturan yang agak berbeda. FPDA
alasan Foucault (1980) Baxter (2002) diinspirasikan dari teori performance
menyarankan bahwa PDA diperlukan dan positioning dari Butler dan Davis
untuk dekonstruksi konteks diskursif di khususnya dan Judith Baxter merupakan
manapun diskursus dominan mencari satu dari pendukung utamanya.
sebuah “tekad untuk kebenaran” dan Berdasarkan garis besar inspirasi dalam
selanjutnya sebuah “tekad untuk
sebuah metodologi singkat tersebut,
kekuasaan”. Judith Baxter lebih menyukai
Kecenderungan lain dalam PDA terminologi PDA yang lebih luas.
berakar dari alasan hubungan antara Baxter telah memperluas secara
diskursif psikologi dan psikolinguistik eksplisit pada FPDA sebagai variasi
sebagai “positioning analysis” (analisis PDA didasarkan atas sebuah kritik
posisi). Selanjutnya Davies dan Harre terhadap analisis percakapan
berpendapat bahwa praktek diskursif
(Conversation Analysis-CA) dan
menyediakan posisi subyek yang Critical Discourse Analisys (CDA),
memasukkan konsepsi naskah juga lebih tepatnya ebuah
pertunjukan dan lokasi. Asumsinya
pengembangan lebih lanjut dari analisis
adalah dalam posisi tertentu, seseorang
diskursus dari CA dan CDA ke PDA.
tidak dapat terhindarkan untuk melihat Baxter juga melaksanakan dua studi
dan bertindak dari kedudukan yang baik
utama yang dipresentasikan dalam
di dunia terhadap posisi dan dalam bukunya yang berjudul Feminist Post-
terminologi konsep, alur cerita, metafor,
Structuralist Discourse Analysis
dan image tertentu sebagai “naskah (FPDA): From Theory to Practice dan
pertunjukan yang dapat diinter- telah memperkenalkan metodologi
pretasikan”. Kemungkinan pilihan
dalam serangkaian buku “Positioning
berakar dari eksistensi yang sering kali Gender in Discourse: a Feminist
kontradiktif, praktek diskursif. Methodology. Kalau Davis memiliki
Positioning diperagakan pada tingkatan
latar belakang dalam psikologi diskursif
diskursus yang berbeda; pada tingkatan
dan analisis naratif, Baxter memiliki
mikro dari pembentukan tata bahasa dan
latar belakang dalam linguistik dan CA.
kalimat, dan pada tingkatan meso dari
Dalam beberapa hal tertentu, Davis
percakapan, bercerita, dan hubungan

64
Analisis Teori Performance dan Positioning dalam Komunikasi Pembangunan
Berwawasan Gender

menjadi lebih rumit dalam pendekatan diskursif yang berbeda, seperti


teoritisnya, tetapi Baxter jauh lebih kebijakan pembangunan dan lembaga
ekplisit dalam garis besar pembangunan, teori pembangunan, dan
metodologinya. Secara umum, dokumen proyek. Pendekatan semiotik
Krolokke dan Anne (2006) memahami diskursus sosial dan kode
mendefinisikan pendekatan FPDA budaya sebagai seperangkat koordinasi
untuk meneliti cara dalam mana simbolik dengan mana sebuah
pembicara menegosiasikan identitasnya, komunitas membuat kesadaran umum.
hubungan, dan posisinya di dunia sesuai Kode budaya dan diskursus sosial
dengan cara penempatan mereka yang menghasilkan usaha komunitas manusia
berkali-kali dalam diskursus (pidato) untuk mengekstrak dunia dari ruangan
yang berbeda. yang tidak terbatas oleh superimposing
Dasar perhatian pendekatan sebuah kisi-kisi dari label realitas.
tersebut lebih banyak kesesuaiannya Pembangunan dapat dipelajari
dengan teori performance maupun teori sebagai fenomena sosial yang sesuai
positioning. Namun demikian, Baxter dengan proses sejarah dan ditrans-
(2002) telah menyumbangkan formasikan menjadi sifat dasar dan
pendekatan post strukturalis sebuah bahasa yang dirampas. Pembangunan
prinsip pandangan yang dipinjam dari pertama muncul pada waktu era selesai
formalis Rusia Mikhail Bakhtin: perang dunia kedua ketika negara-
polyphony dan heteroglossia. negara kaya di dunia mengetahui
Polyphony dalam interpretasi Baxter kemiskinan massal di negara-negara
menandakan perkembangan Asia, Afrika dan Amerika Latin. Nama
(multiplying) teknik metodologi dan dan definisi menandakan pada
proses kerja dengan persaingan predeterminasi realitas sosial tipe
interpretasi terhadap seni yang sama, pertimbanga solusi yang sesuai. Oleh
dengan demikian menekankan proses karena itu, sebagai “dunia ketiga”
tentang produk. Heteroglossia berarti didefinisikan untuk istilah solusi
memperkuat polyphory dengan pembangunan dalam terminologi
memfokuskan pada partisipasi dan modernitas, batasan disusun untuk
perspektif yang berbeda atau dengan mendeterminasikan solusi pem-
penyajian analisis terhadap keterlibatan bangunan dalam terminologi untuk
partisipasi mata dan kemudian menanggulangi kemiskinan, yang oleh
mengolahnya lagi. Escobar (1995) dinyatakan bahwa
kemiskinan menjadi konsep yang
3.6 Analisis Teori Performance dan terorganisir dan obyek dari sebuah
Positioning dalam Komunikasi problematika baru. Dalam kasus
Pembangunan beberapa problematika (Foucault 1986),
Kontruksi gender dalam diskursus dinyatakan bahwa kemiskinan
komunikasi pembangunan membawa pada adanya diskursus dan
praktek yang membentuk realitas yang
Pengetahuan ilmiah komunikasi dirujuk. Bahwa perlakuan esensial
pembangunan saat ini mulai mem- terhadap dunia ketiga adalah kemis-
pelajari diskursus yang digunakan untuk kinan tersebut dan solusinya adalah
membenarkan dan menjelaskan pertumbuhan ekonomi dan pem-
intervensi. Dalam usaha untuk meng- bangunan menjadi jelas, penting, dan
ekspos diskursus pembangunan, para kebenaran universal
ilmuwan memiliki artefak (penemuan)

65
A. V. S. Hubeis dan R. S. H. Mulyandari

Program pembangunan yang didefinisikan, dibentuk, diartikulasikan


dirancang dan diimplementasikan dalam – dinamakan- oleh orang lain dalam
konteks modernisasi ditujukan bagi lingkungan yang memiliki kekuasaan
laki-laki dan perempuan dunia ketiga (Rodriguez 2001).
yang kental dengan ciri-cirmuncul
sebagai sebuah mode interpretasi 3.7 Komunikasi pembangunan untuk
realitas sosial yang dihasilkan oleh Millenium Domestic Growth
konstruksi simbol lokal gender, kelas, (MDGs): UNICEF’s Global
dan ras. Hasilnya adalah sebuah Overview dalam perspektif gender
diskursus pembangunan yang mem- Perbaikan dan peningkatan
bicarakan diskursus Barat tentang kualitas SDM bersifat multi dimensi,
modernisasi dengan diskursus lokal baik pendidikan, keterampilan,
terhadap ras, kelas, dan gender. kesempatan kerja dan berusaha, maupun
Pembangunan menjadi sebuah
gizi dan kesehatan. Faktor-faktor ini
mitos. Diskursus sosial, simbol-simbol juga yang harus dikembangkan untuk
budaya, dan mitos tidak innocent. memperkuat gerakan gender
Label tersebut dibentuk untuk membuat
mainstreaming dalam kebijakan pem-
kesadaran terhadap realita yang bangunan pertanian. Kesemuanya ini
diorganisasikan menjadi sistem berkaitan erat dengan peran, tugas, dan
simbolik yang berfungsi di sekitar fungsi serta kedudukan wanita dalam
sepasang oposisi yang diakui dalam strategi pembangunan pertanian melalui
terminologi hirarki. Contohnya atas- upaya pemberdayaan wanita tani di
bawah: “atas” secara kultural diakui perdesaan. Tingkat adopsi inovasi
sebagai yang lebih baik dan “bawah”
teknologi terhadap kaum wanita relatif
sebagai yang kalah. Label tersebut rendah.
menyaring hubungan kekuasaan yang Menurut Sayogyo (Elizabeth
sama dengan naturalisasi dan legitimasi 2007), perubahan peran dan status
jika hirarki mereka organik dan wanita umumnya disebabkan oleh
penting, serta bukan konstruksi perkembangan masyarakat dan wilayah
kemanusiaan. Berdasarkan atas di lingkungannya. Perubahan masya-
legitimasi simbolik, hubungan
rakat tersebut makin dipacu oleh
kekuasaan yang tidak seimbang tetap pertumbuhan ekonomi, akibat
tinggal dalam kehidupan nyata beralihnya sistem perekonomian dari
masyarakat sepanjang mereka tidak
sektor pertanian ke sektor nonpertanian.
mempertanyakannya. Formula retorikal
Perubahan tersebut akan berdampak
menempatkan diskursus pembangunan pada perubahan sosial dan budaya
bukan sesuatu yang luar biasa.
masyarakatnya. Perkembangan ekonomi
Pembangunan muncul sebagai sebuah dan sosial menimbulkan desintegrasi
mode interpretasi realitas sosial yang
pembagian kerja antar gender yang
dihasilkan oleh subyek sejarah tertentu secara tradisional telah terbentuk sejak
(laki-laki, perempuan, dan lembaga di dulu. Pola kerja produktif yang baru
negara kaya) ke arah berlawanan dari
antar ataupun lintas gender mengarah
subyek sejarah lainnya (laki-laki dan pada diskriminasi pembagian kerja antar
perempuan miskin dunia ketiga). pria-wanita. Selama masa transisi
Dalam kesadaran ini, pembangunan
tersebut, bukan suatu keniscayaan
tidak pernah membicarakan tentang
bilamana berbagai fungsi produktif
dirinya sendiri, tetapi tentang orang
wanita tani akan tercabut, yang
lain. Pembangunan merupakan sebuah
diskursus historis dalam mana manusia

66
Analisis Teori Performance dan Positioning dalam Komunikasi Pembangunan
Berwawasan Gender

berdampak pada perlambatan proses Salah satu tulisan Elizabeth


pertumbuhan pembangunan pertanian. (2007) menyatakan bahwa perencanaan
Perbedaan status/posisi setiap pembangunan pertanian di masa lalu,
anggota rumah tangga merupakan bukan mustahil secara tidak sengaja
pengkajian diferensiasi peranan, ber- telah mengabaikan peran kaum wanita
dasarkan perbedaan umur, jenis tani tersebut. Keteledoran tersebut
kelamin, status perkawinan, status/ menyebabkan posisi kaum wanita
posisi sosial ekonomi, generasi, ataupun makin terjepit dan terkungkung dalam
kekuasaan. Perbedaan tersebut dimensi keterbatasan. Secara internal,
merupakan analisis struktural, yang keterbatasan wanita tercermin pada
sebagian besar disebabkan oleh alasan lebih rendahnya pendidikan, keteram-
biologis dan sosial budaya lingkungan pilan, rasa percaya akan kemampuan
suatu rumah tangga. Teridentifikasi dan potensi diri. Secara eksternal,
bahwa pada dasarnya wanita memiliki keterbatasan tersebut tercermin pada
peranan ganda dalam rumah tangga. lebih rendahnya akses wanita
Peran ganda kaum wanita tersebut menangkap berbagai peluang di luar
terimplikasi pada (1) peran kerja rumah tangganya.
sebagai ibu rumah tangga (men- Analisis gender merupakan alat
cerminkan feminimine role), meski analisis konflik yang difokuskan pada
tidak langsung menghasilkan pen- ketidak adilan struktural yang di-
dapatan, secara produktif bekerja sebabkan oleh gender. Hubeis (1995)
mendukung kaum pria (kepala keluarga) mengemukakan perlunya pendekatan
untuk mencari penghasilan (uang), dan GDP (Gender dalam Pembangunan) dan
(2) berperan sebagai pencari nafkah pendekatan WDP (Wanita dalam
(tambahan ataupun utama). Pembangunan) dalam setiap program
Pada era globalisasi, peran pembangunan. Pendekatan GDP
transisi dan egalitarian diprediksi akan mendesain program yang meng-
menimbulkan berbagai kondisi, yaitu integrasikan dan mengarus-utamakan
(1) dengan potensi dan kemampuan (memainstreamkan) aspirasi, ke-
sebagai indikator penentu, keajegan butuhan, dan minat gender, sehingga
penajaman peran pria dan wanita akan pengembangan perencanan dan
memudar sehingga tidak jelas lagi implementasi program lebih banyak
pembedanya, (2) wanita pekerja akan mencakup kebutuhan strategis gender.
meningkat sedangkan pria pengang- Pendekatan WDP didesain untuk
guranpun akan meningkat, (3) mobilitas menjembatani kesenjangan pria wanita
sosial dan geografis memisahkan tempat dalam semua aspek pembangunan.
tinggal suami-isteri, orangtua anak, Muncul dan berkembangnya berbagai
sehingga keluarga menjadi tidak utuh gerakan wanita dan disiplin tentang
(Hubeis 1995). Berbagai kemungkinan studi wanita, mempengaruhi perkem-
tersebut mengindikasikan wanita dan bangan teoriteori feminis yang berkaitan
pria dapat berperan setara, sebagai erat dengan isu gender.
pencari nafkah di berbagai bidang, Dalam konsep Gender dan
kegiatan rumah tangga, dan dalam Pembangunan (GAP), gender di-
bersosialisasi di masyarakat. Hal ini nyatakan oleh Butler sebagai
berimplikasi pada terjadinya kesetaraan performance dari seseorang yang tidak
peran antara wanita dan pria dalam bebas. Kita selalu memainkan peran
pembangunan nasional. yang diatur secara sosial dan meng-
internalisaikan peranan tersebut pada

67
A. V. S. Hubeis dan R. S. H. Mulyandari

kita. Kita memainkan variasi peranan etnisisasi ruang. Artinya ruang


pada performance yang diatur atau didefinisikan kembali dalam konteks
memberlakukan kembali peranan yang nilai-nilai yang dilekatkan kepada
sama dengan makna yang baru, masing-masing ruang (yang sudah
pengulangan unit yang bertentangan, dipilah-pilah) dan juga didekatkan ke
contohnya julukan keganjilan (label batas-batas di antara kedua domain.
queer) tidak sebagai sebuah Gender mainstreaming
pencemaran, tetapi sebuah kebijakan (pengarusutamaan gender) bertujuan
(politik) baru. agar pelaksanaan program-program
Judith Butler (1992) menyatakan pembangunan dapat mempertim-
bahwa perubahan sosial maupun bangkan kesempatan dan akses wanita
kebijakan pembangunan dalam terhadap program pembangunan, yaitu
penampakan identitas muncul ketika dengan terciptanya kendali serta
ada pergeseran dalam wacana-wacana manfaat bagi wanita. Dengan demikian,
dominan. Karya Judith Butler (1992) diperlukan pembinaan peran wanita
ini menjadi penting dalam kajian agar mampu meningkatkan peran dan
tentang ruang, terutama untuk potensi, terutama produktivitasnya
menunjukkan bahwa tempat dan ruang melalui pemberdayaan kaum wanita di
bukanlah sesuatu yang sudah hadir segala bidang.
sebelumnya di mana suatu kejadian atau
penampakan muncul. Melainkan bahwa 3.8 Pentingnya GPI (Gender and
kejadian atau penampakan itu sendiri Poverty Inclusive)
merupakan sesuatu yang membentuk Gender and poverty inclusive,
atau me(re)produksi tempat dan ruang
atau inklusif gender dan kemiskinan,
adalah efek dari persilangan kekuatan- merupakan nilai atau roh yang
kekuatan dominan. Dengan demikian, diperjuangkan oleh berbagai lembaga
dikotomi antara privat dan publik tidak yang memberi perhatian khusus pada
lagi relevan. Kalau dikotomi itu dulu gender, di antaranya adalah Australian
memandang ruang itu homogen, artinya Community Development and Civil
immobile dan statis, kini ruang tidak Society Strengthening Scheme
jelas lagi batas-batasnya. Baik ruang
(ACCESS) dan menjadi pegangan di
publik maupun ruang privat adalah dalam melaksanakan program. Untuk
heterogen dan tidak semua ruang jelas itu ACCESS mencoba mengembangkan
batas-batasnya antara yang privat dan
policy, strategi dan teknik-teknik yang
publik. Dalam konteks inilah Jolly
bisa digunakan untuk mendorong agar
(2000) menyampaikan tentang proses nilai GPI bisa diterapkan dan mewarnai
bekerjanya kuasa dalam ruang (tanpa
semua aktivitas, dengan menggunakan
peduli apakah privat atau publik). proses-proses yang partisipatif (CLAPP
Konsep pembangunan yang
– Community Led Assessment
memisahkan antara daerah perkantoran Plannning Process).
dan perumahan, menunjukkan ter- Keberpihakan pada perempuan
pisahnya wilayah kerja antara
dan orang miskin dilatarbelakangi oleh
perempuan dan laki-laki. Laki-laki kenyataan pada umumnya perempuan
berurusan dengan wilayah publik yang dan orang miskin memiliki posisi yang
namanya kantor, sementara perempuan
lebih rentan dibandingkan kelompok
bekerja di rumah, di wilayah privat,
laki-laki maupun kelompok yang
yang dipisah jauh jaraknya dari kantor.
memiliki latar belakang sosial ekonomi
Selain proses genderisasi ruang, kita
yang lebih kuat. Sebagian besar
juga mengenal proses rasialisasi dan

68
Analisis Teori Performance dan Positioning dalam Komunikasi Pembangunan
Berwawasan Gender

perempuan mengalami subordinasi dan perempuan hanya sebagai “tambahan”


marginalisasi yang menyebabkan posisi penghasilan suami.
perempuan di masyarakat tidak cukup
kuat. Meskipun bentuk dan tingkat 3.9 Isu Keseteraan Gender dalam Hak,
subordinasi perempuan berbeda-beda Sumberdaya, dan Aspirasi
yang bergantung pada budaya dan juga Kesetaraan gender adalah
wilayah, namun bisa ditemukan adanya
kesamaan kondisi dan posisi bagi
beberapa kesamaan. Perempuan miskin perempuan dan laki-laki untuk
juga lebih menderita daripada laki-laki memperoleh kesempatan dan hak-
miskin dan lebih menderita daripada haknya sebagai manusia agar mampu
sesama perempuan yang berasal dari berperan dan berpartisipasi dalam
kelas ekonomi yang lebih baik. kegiatan politik, ekonomi, sosial
Kekurangan pangan, penghasilan yang
maupun budaya. Selama ini, perempuan
minim, penyakit yang tidak diobati memiliki akses yang secara sistematis
karena masalah biaya dan akses ke rendah terhadap berbagai sumberdaya
fasilitas kesehatan, gizi buruk, rumah
produktif, termasuk sumberdaya
yang tidak sehat, lingkungan yang pendidikan, tanah, informasi dan
buruk, sulitnya persediaan air bersih, keuangan. Di sebagian besar negara
adalah beberapa kondisi umum yang berkembang, perusahaan yang
dihadapi oleh orang miskin. Kondisi dijalankan oleh perempuan cenderung
seperti ini memaksa orang miskin untuk kekurangan modal, kurang memiliki
menghabiskan waktu dan tenaganya akses terhadap mesin, pupuk, informasi
untuk memenuhi kebutuhan dasar
penyuluhan dan kredit, dibandingkan
supaya bisa bertahan hidup. Selain itu, perusahaan yang dikelola laki-laki.
orang miskin biasanya juga ber- Ketidaksetaraan ini, baik dalam
pendidikan rendah atau bahkan buta pendidikan maupun sumber daya
huruf, yang tentu saja membatasi produktif lainnya, mengurangi
aksesnya terhadap informasi. kemampuan perempuan untuk berperan
Birdshal dan McGreevey (1983) serta dalam pembangunan dan dalam
menemukan fakta bahwa beban
meningkatkan taraf hidup keluarganya.
perempuan miskin lebih besar karena Hal ini juga memperbesar resiko dan
peran ganda mereka – sebagai orang kerentanan perempuan dalam
yang harus mengurus rumah tangga dan
menghadapi krisis pribadi maupun
sebagai pencari nafkah untuk keluarga.
keluarga, dalam masa tua maupun
Perempuan bertanggungjawab untuk ketika terjadi krisis ekonomi (Laporan
mengurus anak-anak, menyiapkan
Penelitian Bank Dunia 2002).
makanan, mengambil air dan kayu Ketidaksetraan gender dalam akses
bakar, mencuci baju, membersihkan
kontrol atas modal (asset) produktif
rumah, mengatur keuangan rumah seperti tanah, informasi, teknologi dan
tangga, yang menyerap sebagian besar modal keuangan membatasi perempuan
waktu mereka. Namun, pekerjaan ini
untuk berperan serta dan memanfaatkan
sering tidak dianggap sebagai peluang yang diberikan oleh
“pekerjaan”, sehingga juga tidak pembangunan. Tidak ada data
diperhitungkan dalam “produksi”
berdasarkan gender dari berbagai negara
sebuah rumah tangga. Hal ini
mengenai akses-akses ke sumberdaya
diperburuk lagi dengan adanya
produktif. Namun kenyataannya telah
anggapan bahwa penghasilan
terdokumentasi secara luas bahwa

69
A. V. S. Hubeis dan R. S. H. Mulyandari

perempuan pada umumnya memiliki ini berdampak lebih signifikan pada


lebih sedikit modal ketimbang laki-laki pemahaman relatif perempuan terhadap
dan memiliki akses yang lebih buruk informasi bidang pertanian. Petugas
terhadap kredit, pasokan lain, serta penyuluh yang sebagian besar adalah
terhadap layanan penyuluhan. laki-laki menyebabkan layanan
Di bidang pertanian misalnya, penyuluhan juga terbiasa meng-
petani wanita juga hanya memiliki utamakan petani laki-laki karena petani
sedikit jaringan kerja dan jaringan sosial laki-laki dianggap sebagai pengambil
yang dapat mempermudah akses keputusan utama urusan pertanian dan
terhadap pelayanan kredit. Petani akan meneruskan hasil penyuluhan yang
perempuan umumnya juga menerima diperolehnya tersebut kepada istrinya.
lebih sedikit bantuan teknis dan layanan Tidak satupun asumsi bahwa proses
penyuluhan pertanian. Perempuan lebih pengambil keputusan bidang usaha
sedikit memiliki akses terhadap layanan pertanian dikendalikan oleh petani laki-
penyuluhan karena selain pendidikan laki ini didukung oleh data akurat. Pada
mereka kurang, tanah yang dikuasai kenyataannya, perempuan adalah
juga kecil, dan karena penyuluh yang pengelola lahan di banyak negara dan
sebagian besar laki-laki, cenderung telahi berlangsung sejak dulu di Sub-
memberikan layanan bagi pertanian Sahara Afrika. Sedangkan di kawasan
yang ada laki-lakinya. Staf penyuluhan lain laki-laki yang meninggalkan
juga sebagian besar laki-laki, pekerjaan bertaninya ke pekerjaan non
perempuan juga masih sedikit yang pertanian semakin meningkat. Seperti
berkonsultasi pada petugas layanan sumberdaya rumahtangga lainnya,
penyuluhan. Hal ini diperburuk informasi penyuluhan antar warga
dengan kecenderungan adanya batasan- rumah pun seringkali tidak
batasan budaya yang menentang agen dipersatukan.
penyuluhan untuk bekerja sama dengan Dalam pengelolaan usahatani,
petani wanita karena petani pria terdapat pembagian kerja untuk tugas-
bertanggungjawab atas tanaman tugas tertentu antara pria dan wanita,
perdagangan yang seringkali lebih dan umumnya peranan pengambilan
mendapat perhatian dari dinas keputusan dilakukan oleh pria. Pria dan
penyuluhan daripada tanaman pangan. wanita memiliki usaha yang terpisah,
Dalam berbagai latar belakang budaya, misalnya pria lebih banyak menguasai
wanita tidak boleh mengutarakan pengelolaan tanaman perdagangan, dan
pendapat dalam sebuah pertemuan wanita pada ternak kecil. Banyak
kecuali bila diminta. Batasan ini pekerjaan di pertanian yang diserahkan
mengandung arti bahwa petani wanita kepada wanita saat kaum pria pergi ke
memiliki jendela wawasan lebih sempit kota untuk bekerja (Van den Ban &
untuk melihat dunia luar dibandingkan Hawkins 2007). Oleh karena itu, sudah
pria. Karena itu, wanita tidak banyak sepantasnya apabila wanita diposisikan
tahu tentang permasalahan yang sebagai subyek langsung dalam proses
sesungguhnya dapat dimintakan pembangunan.
bantuan dari agen penyuluhan.
Petani perempuan cenderung
mempunyai akses lebih buruk ke
sumberdaya penunjang produksi
pertanian, baik terhadap informasi
produksi, pelatihan maupun teknologi
dari berbagai lembaga penyuluhan. Hal

70
Analisis Teori Performance dan Positioning dalam Komunikasi Pembangunan
Berwawasan Gender

3.10 Komunikasi Pembangunan yang lebih baik dalam komunitas


Berwawasan Gender berdasarkan masyarakat sendiri.
Teori Post-Structuralist Bentuk-bentuk komunikasi pem-
(Permormance dan Positioning) bangunan yang partisipatif berwawasan
Jan Servaes mengaitkan konsep gender dalam konsep pemberdayaan
pemberdayaan pada partisipasi menurut Serveas (2002) mencakup
forum dialog akar rumput (grassroots
perempuan dalam pengambilan
keputusan kolektif. Pemberdayaan dialog forum), fungsi baru komunikasi
meyakinkan bahwa perempuan mampu pada media partisipatif (participatory
membantu dirinya sendiri. Dalam teori media), berbagi pengetahuan secara
posisioning (Raggatt 2007), pem- setara (knowledge-sharing on a co-equal
berdayaan lebih diarahkan pada basis), dan model komunikator
pendukung pembangunan
”conversational” yaitu proses dialog
dan dialektika. Melkote (2001) dalam (Development Support
bukunya yang berjudul Communication Communication). Dialog akar rumput
didasarkan atas kaidah partisipasi untuk
for Development in the Third World,
salah satu yang sangat luas digunakan mempertemukan sumber dan agen
saat ini adalah pemberdayaan sebagai perubahan langsung dengan masyarakat.
pusat pengorganisasian konsep. Metode yang digunakan adalah
Melkote setuju bahwa ketidakadilan penyadaran (conscientization) melalui
kekuasaan sebagai permasalahan sentral dialog. Lebih jauh lagi masyarakat
yang harus dipecahkan dalam pem- diajak untuk merumuskan permasalahan
dan menemukan pemecahannya
bangunan. Selanjutnya pember-dayaan
didefinisikan sebagai sebuah proses sekaligus pelaksanaan kegiatan untu
dalam mana masyarakat secara pemecahan permasalahan. Model
individual dan organisasional mem- komunikasi pembangunan berbasis
peroleh pengawasan dan penguasaan gender dalam perspektif teori
kondisi sosial ekonomi yang lebih performatifitas dan posisioning yang
banyak, dengan partisipasi demokrasi partisipatif dan diusulkan dalam akhir
tulisan ini disajikan pada Gambar 1.

71
A. V. S. Hubeis dan R. S. H. Mulyandari

5. Proses akses 6. Proses partisipasi:


(conscientization) - Dialogis
- Berbagi informasi
3.2. Audien terorganisasi:
Kelompok, kelembagaan lokal,
organisasi, & stakeholders lain

kelo Pendidikan untuk komunikasi:


3.1.PENERIMA PESAN: - Sosialisasi
- Masyarakat - Pendampingan
- Individu

PESAN: Undang-undang
- Pengarusutamaan gender
- Pemberdayaan dan Perlindungan
Perempuan & Anak

1.3. Media
1.6. Proses komunikasi lokal
1.4. Proses komunikasi - Interpersonal
internasional 1.5. Proses komunikasi
nasional - Kelompok
- Massa

1.2. Pembuat sandi pesan


- Pemda
- Biro pemberdayaan Perempiuan
- Pokja PUG
- Lembaga-lembaga Pemberdayaan Perempuan
- LSM

1.1. Organisasi sosial untuk komunikasi

Fungsi sosial
delegasi
7. Instance appeal:
Kelembagaan/organisasi Masyarakat, kelompok, individu yang 8. Evaluasi dan
legal untuk mengkritisi propelling body
media di tingkat memiliki kejujuran komunikasi
(Badan pendorong)
nasional maupun daerah

Gambar 1. Model komunikasi gender dalam proses pembangunan (dimodifikasi dari Servaes 2002)
1.3. Proses komunikasi internasional:
Unsur dari model komunikasi hubungan timbal balik antara
gender dengan partisipasi aktif lembaga media nasional dan
masyarakat sebagaimana disampaikan internasional yang menyediakan
oleh Servaes (2002) dapat dijelaskan pesan yang sesuai dengan dasar
sebagai berikut. hukum nasional dan internasional.
1.1. Organisasi sosial untuk masyarakat: 1.4. Proses komunikasi nasional:
struktur koordinasi dan kebijakan mekanisme dengan mana media
administratif dalam fungsi media. dan receiver memperoleh pano-
1.2. Media: seperangkat alat transmisi rama kritis terhadap realitas
yang terorganisasi yang mendis- nasional dalam lingkup keter-
tribusikan pesan di bawah batasan norma yang dibentuk
koordinasi 1.1. secara nasional sendiri.

72
Analisis Teori Performance dan Positioning dalam Komunikasi Pembangunan
Berwawasan Gender

1.5. Proses komunikasi lokal: mekanis- tualisasi dan proses komunikasi


me dengan mana media lokal dan serta potensi kejujurannya
komunikasi interpersonal bercam- menggunakan media untuk
pur baur dan menyumbang pada ”conscientization” secara lebih
proses pengambilan keputusan, jauh.
identitas budaya, partisipasi, dan 6. Proses partisipasi: mekanisme
sebagainya. dengan mana masyarakat yang
2. Pesan: dinamakan ”informasi” dari terorganisasi me-mungkinkan akses
dan tentang kejadian-kejasian yang pada struktur di mana perencanaan
diterima, diproses, dan ditrans- internal dan pengambilan
misikan pada informasi dasar untuk keputusan tentang suatu media
kejujuran sosial dan individu pada dilaksanakan, sebaik untuk
tingkat global dan sosial. organisasi yang memberikan
Informasi harus memberikan pendidikan untuk komunikasi.
keaslian atau kebenaran (bukan 7. Instance of appeal: organisasi legal
pernyataan yang salah/palsu), yang dibangun mendukung
perlakuan analitis dari masyarakat. kejujuran penerima untuk parti-
3.1. Receiver: penerima pesan yang sipasi informasi dan organisasi
memperoleh pendidikan yang media secara kritis.
cukup dan menyeleksi secara kritis 8. Evaluasi dan propelling body:
terhadap pesan. Pelatihan mem- sebuah mekanisme kelembagaan
bantu mereka menjadi subyek yang yang memiliki obyek penjaminan
aktif dalam proses komunikasi. produksi komunikasi sebagai
3.2. Audien yang terorganisasi: jumlah kejujuran sosial dan obligasi dan
receiver secara keseluruhan. membantunya dalam proses
Mereka harus menyadari bukan implementasi.
sebagai individu, tidak ter- Perkembangan teknologi infor-
organisasi, dan massa secara masi dan komunikasi (TIK) seperti
kuantitatif, namun lebih sebagai komputer dan teknologi komunikasi,
kelompok sosial atau lembaga yang khususnya internet dapat digunakan
berkaitan dalam sebuah bentuk untuk menjembatani informasi dan
organisasi atau struktur dengan pengetahuan yang tersebar di antara
masyarakat yang lebih luas, seperti yang menguasai informasi dan yang
kelompok buruh, kelompok tidak. Akses terhadap komunikasi
budaya, partai politik, atau gerakan digital membantu meningkatkan akses
sosial yang baru. (baik bagi kaum laki-laki maupun
4. Pendidikan untuk komunikasi: perempuan) terhadap peluang
pemanfaatan sumber daya pendidikan, meningkatkan transparansi
pendidikan dalam keseluruhan dan efisiensi layanan pemerintah,
tingkatan masyarakat menjadi memperbesar partisipasi secara
penerima yang memungkinkan langsung dari ”used-to-be-silent-public”
untuk membentuk opini, menilai (masyarakat yang tidak mampu
informasi, dan mengevaluasi berpendapat) dalam proses demokrasi,
peranan media sebagai transmiter meningkatkan peluang perdagangan dan
yang secara sosial menginter- pemasaran, memperbesar pember-
pretasikan kejadian. dayaan masyarakat dengan memberikan
5. Proses akses. kejujuran receiver suara kepada kelompok yang semula
berpartisipasi dalam konsep- tidak bersuara (perempuan) dan

73
A. V. S. Hubeis dan R. S. H. Mulyandari

kelompok yang mudah diserang, tingkatan diskursus yang berbeda, pada


menciptakan jaringan dan peluang tingkatan mikro dari pembentukan tata
pendapatan untuk wanita, akses bahasa dan kalimat, dan pada tingkatan
terhadap informasi pengobatan untuk meso dari percakapan, bercerita, dan
masyarakat yang terisolasi dan hubungan sosial; serta pada tingkatan
meningkatkan peluang tenaga kerja makro terhadap skemata aestetik,
(Servaes 2007). diskursif repertoir, dan idiom.
Kerangka kerja PDA terutama
4. Simpulan diarahkan pada tingkatan meso dan
Pandangan post-structuralist difokuskan pada pemahaman
dari perspektif teori performativitas percakapan sebagai “sebuah struktur
dalam komunikasi gender dinyatakan tindakan berbicara”, sebagai perkataan
bahwa gender dan seksualitas dan perbuatan dari tipe yang dibatasi
oleh referensinya terhadap kekuatan
menentukan batas-batas maskulinitas
dan feminisme, menentukan norma- sosial. PDA selanjutnya dikembangkan
norma pergaulan antar gender yang menjadi Feminisme Post-Structuralist
Discourse Analysis (FPDA).
berbeda-beda, dan pada gilirannya
meneguhkan patriarki dan hetero- Bentuk-bentuk komunikasi
normativitas. Ketertindasan gender atau pembangunan yang partisipatif
seksualitas lebih dipahami sebagai berwawasan gender dalam konsep
ketertindasan secara ideologis dan pemberdayaan mencakup forum dialog
representatif, daripada kondisi material akar rumput (grassroots dialog forum),
penindasan itu sendiri. Materialitas fungsi baru komunikasi pada media
partisipatif (participatory media),
ideologi dan materialitas di luar
representasi dikesampingkan. berbagi pengetahuan secara setara
Sedangkan dari perspektif teori (knowledge-sharing on a co-equal
positioning dalam komunikasi gender basis), dan model komunikator
menggambarkan hubungan antara pendukung pembangunan (Development
subyek, diskursus, praktek, dan posisi. Support Communication). Dialog akar
Kemungkinan pilihan berasal dari rumput (grassroots dialog) didasarkan
atas kaidah partisipasi untuk
keberadaan berbagai diskursus dan
(perbedaan yang diterima) dan juga mempertemukan sumber dan agen
pada posisi konflik dalam hubungan, perubahan langsung dengan masyarakat.
Metode yang digunakan adalah
situasi, dan konteks yang berbeda.
penyadaran (conscientization) melalui
Perkembangan post struktu-
ralisme juga memanifestasikan dialog dan dialektika. Lebih jauh lagi
masyarakat diajak untuk merumuskan
konstelasi teori dan metodologi baru
yang menantang dan diadaptasikan oleh permasalahan dan menemukan
pemecahannya sekaligus pelaksanaan
feminis ahli komunikasi dalam sebuah
kritik strukturalisme dengan teori dan kegiatan dalam upaya pemecahan
horison metodologikal baru, khususnya permasalahan.
terkait dengan Post-Structuralist
Discourse Analysis (PDA). Daftar Pustaka
Kecenderungan dalam PDA adalah Baxter, J. 2002. Competing Discourses
berakar dari alasan hubungan antara in the Classroom: a Post-
diskursif psikologi dan psikolinguistik Structuralist Discourse Analyses
sebagai “positioning analysis” (analisis of Girl’ and Boys’ Speech in
posisi). Posisioning diperagakan pada Public Contexts. Discourse

74
Analisis Teori Performance dan Positioning dalam Komunikasi Pembangunan
Berwawasan Gender

Society 2002, 13; 827. Memoirs of a Nineteenth-


[terhubung berkala] 31 Oktober Century French Hermaphrodite,
2008. Sussex: The Harvester Press.
http://das.sagepub.com/cgi/conte [terhubung berkala] 31
nt/ abstract/13/6/827. Desember 2008.
Birdshall, N. and McGreevey, W.P. www.amazon.com/Herculine-
1983. Women, Poverty, and Barbin-Michel-
Development. In Women and Foucault/dp/0394508211 - 263k
Poverty in the Third World. Ed. Hubeis, A. S. 1995. Posisi dan Peran
M. Buvinic, MA. Lycette, W.P, Wanita dalam Era Globalisasi
McGreevey. Pp 3-13. The John dalam E. L. Hastuti, 2004.
Hopkins University, London. Pemberdayaan Petani dan
Butler, J. 1992. Contingent Foundation: Kelembagaan Lokal dalam
Feminism and the Question of Perspektif Jender. Working
Postmodernism, in Butler, Judith Paper No. 50. Pusat Penelitian
and Scott, Joan (eds.), Feminists Sosial Ekonomi Pertanian,
Theorize the Political. New Bogor.
York: Routledge. Jolly, S. 2000. What use is queer
Byrne, B. 2000. Troubling Race. theory to development?.
Using Judith Butler’s Work to [terhubung berkala] 31
think about Racialised Bodies Desember 2008.
and Selves. [terhubung berkala] www.ids.ac.uk/UserFiles/File/pa
31 Desember 2008. rticipation_team/sexrights/
www.ids.ac.uk/UserFiles/File/pa jollytalk.pdf
rticipation_team/sexrights/byrne Krolokke, C. and Anne Scott Sorensen.
.pdf - 2006. Gender Communication
Conanedogawa. 2008. Rethinking Theories & Analyses. SAGE
Gender dan Seksualitas Menurut Publications. Thousand Oaks,
Teori Queer. [terhubung London, New Delhi.
berkala] 30 Oktober 2008. Livia, A. and Kira Hall. 1997. Its a
www.indoforum.org/ Girl !. Bringing Performativity
blog.php?b=72&goto=prev - Back to Linguistics. [terhubung
39k - berkala] 5 Januari 2009.
Elizabeth, R. 2007. Pemberdayaan http://www.colorado.edu./lingui
Wanita mendukung Strategi stics/faculty/kira-hall/kira
Gender Mainstreaming dalam hall/articles/ L&H1997
Kebijakan Pembangunan Megawangi. 1999. Membiarkan
Pertanian di Perdesaan. Forum Berbeda? Sudut Pandang Baru
Penelitian Agroekonomi. tentang Relasi Gender. Mizan,
Volume 25 No. 2, Desember Bandung.
2007: 126 – 135. Melkote, SR. 2001. Communication for
Escobar, A. 1995, Encountering Development in the Third
Development, The Making and World: Theory and Practice.
Unmaking of the Third World. Sage. New Delhi.
Princeton-NJ, University Press, Raggatt, Peter T.F. 2007. Forms of
Princeton. Positioning in the Dialogical
Foucault, M. 1980. Herculine Barbine; Self: A System of Classification
Being The Recently Discovered and the Strange Case of Dame

75
A. V. S. Hubeis dan R. S. H. Mulyandari

Edna Everage. Theory


Psychology tahun 2007 (17):
355. [terhubung berkala] 31
Oktober 2008.
http://tap.sagepub.com/cgi/conte
nt/abstract/17/3/355.
Rodriguez, C. 2001. Shattering
Butterflies and A mazons:
Symbolic Constructions of
Women in Colombian
Development Discourse.
Communication Theory Eleven:
Four, November 2001.
International Communication
Association.
Salih, S. 2002. On Judith Butler and
Performativity. Lovaas –
5001.qdx 7/8/2006: 55.
[terhubung berkala] 1 Januari
2009. www.questia.com/library/
book/judith-butler-by-
Servaes, Jan. 2002. Communication
for Development: one world,
multiple culltures. Second
Printing. Hampton Press, Inc.
Cresskill, New Jersey.
Servaes, Jan. 2007. Harnessing the UN
System Into a Common
Approach on Communication
for Development. International
Communication Gazette 2007;
69; 483.
Van den Ban dan H.S. Hawkins. 2007.
Penyuluhan Pertanian. Kanisius,
Yogyakarta.

76

You might also like