Professional Documents
Culture Documents
3803 8851 1 SM
3803 8851 1 SM
Effendi Pasandaran
Naskah diterima: 2 Februari 2015; direvisi: 4 Maret 2015; disetujui terbit: 15 April 2015
ABSTRACT
From the viewpoint of historical perspective Indonesia has experienced three generations of water law
namely Algemeen Water Reglement (general water law), year 1936, Law No 11 of 1974 and Law No 7 Year 2004
on water resources. The purpose of this paper is to study factors considered as the drivers of the emergence of
each generation of law. The analysis of historical context identified the dominant factors. The three generations of
law are driven by various factors in response to the emerging political interests. In the first, ethical politics,
development of hydraulic technology, and the interest to support agricultural export commodity are important
driving factors. In the second, green revolution technologies, and the political interest to achieve rice self-
sufficiency are dominant factors while that of the third is influenced by politics of bureaucracy in the aftermath
of economic crisis of 1998, economic liberalization as condition for the World Bank loan, and global political
pressure to implement integrated water resources management. By the cancelation of the third generation of law
Indonesia is stepping toward the fourth generation of law which has to be prepared in accountable manner based
on the principles of good water governance.
ABSTRAK
Dari perspektif sejarah, Indonesia telah mengalami tiga generasi undang-undang yang terkait dengan
air, yaitu Algemene Water Reglement tahun 1936, Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, dan
UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Tulisan ini bertujuan mempelajari faktor-faktor penyebab
munculnya undang-undang pada setiap generasi dan mengusulkan langkah-langkah kebijakan untuk
mempersiapkan undang-undang generasi keempat. Berdasarkan konteks sejarah diidentifikasi faktor-faktor
dominan yang menjadi pemicu munculnya undang-undang pemicu. Ketiga generasi undang-undang tersebut
dipicu oleh berbagai faktor sebagai respons terhadap berbagai kepentingan politik yang muncul. Pada generasi
pertama, politik etika, perkembangan teknologi hidrolika, dan kepentingan ekspor komoditas pertanian
merupakan faktor-faktor pemicu. Pada generasi kedua, teknologi revolusi hijau dan kepentingan politik mencapai
swasembada beras merupakan faktor dominan, sedangkan undang-undang generasi ketiga dipengaruhi oleh
perkembangan birokrasi politik pasca krisis ekonomi tahun 1998, liberalisasi ekonomi sebagai persyaratan
bantuan Bank Dunia, dan tekanan politik global untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya air terpadu.
Dengan dibatalkannya undang-undang generasi ketiga, Indonesia memerlukan undang-undang generasi
keempat yang perlu disiapkan dengan lebih bertanggung jawab dan didasarkan pada prinsip-prinsip tata kelola
air yang baik.
Kata kunci: sejarah, tata kelola, generasi, undang-undang, sumber daya air, dan kepentingan politik
untuk pengairan pertanian, pembangkit tenaga berdasarkan permintaan yudicial review dari
listrik, dan untuk keperluan industri, yang Muhamadiyah dan lembaga lainnya. Oleh
mempunyai andil penting bagi kemajuan karena itu, di samping uraian tentang alasan
kehidupan manusia dan menjadi faktor penting hukum yang melatarbelakangi pembatalan
pula bagi manusia untuk dapat hidup layak. disoroti pula implikasi pembatalan tersebut.
Persyaratan konstitusionalitas UU SDA Dengan kembali kepada UU No. 11 Tahun
tersebut adalah bahwa UU tersebut dalam 1974 tentang Pengairan, apa implikasi hukum,
pelaksanaannya harus menjamin terwujudnya pembangunan, dan pengelolaan sumber daya
amanat konstitusi tentang hak penguasaan air yang perlu diperhatikan.
negara atas air. Menurut MK, jaminan bahwa Pada akhirnya tulisan ini menyoroti
negara masih tetap memegang hak langkah-langkah yang perlu segera ditempuh
penguasaannya atas air itu menjadi syarat yang untuk menyiapkan produk undang-undang yang
tak dapat ditiadakan dalam menilai baru, mengingat UU No. 11 Tahun 1974 yang
konstitusionalitas UU SDA. Beberapa prinsip dihasilkan empat dasawarsa yang lampau
dasar perlu diperhatikan, misalnya pengguna tersebut mempunyai berbagai keterbatasan
sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan untuk dipakai sebagai landasan hukum bagi
pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat pembangunan dan pengelolaan air di Indonesia
tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber dewasa ini. Pembatalan UU SDA hendaknya
daya air, sepanjang pemenuhan kebutuhan dapat dipakai sebagai peluang untuk
pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat di menyiapkan produk hukum baru yang lebih
atas diperoleh langsung dari sumber air. bertanggung jawab (accountable) dalam
UU SDA yang telah dibatalkan tersebut mendukung pengelolaan sumber daya air untuk
dan pokok-pokok pikiran yang terkandung di menunjang kesejahteraan masyarakat secara
dalamnya tidak terlepas dari undang-undang menyeluruh dan berkelanjutan sesuai dengan
yang ada sebelumnya. Oleh karena itu, dalam amanat UUD 1945 Pasal 33.
membahas langkah-langkah perundang- Tulisan ini bertujuan mengkaji faktor-
undangan yang perlu ditempuh selanjutnya, kita faktor penyebab munculnya undang-undang
perlu menyoroti undang-undang yang telah ada pada setiap generasi dan mengusulkan langkah-
sebelumnya yang terkait dengan air dan langkah kebijakan untuk mempersiapkan
kepentingan politik apa yang melatarbelakangi undang-undang generasi keempat. Berdasar-
munculnya UU tersebut. kan konteks sejarah diidentifikasi faktor-faktor
Perkembangan global dalam dominan yang menjadi pemicu munculnya
pengelolaan sumber daya air juga perlu disoroti undang-undang. Dengan demikian, pendekatan
karena air merupakan bagian integral sumber yang dilakukan adalah pendalaman kontekstual
daya alam yang semakin lama menjadi sumber berdasarkan literatur sejarah yang tersedia baik
daya yang semakin terbatas dan gejala global di era kolonial maupun era kemerdekaan dan
seperti perubahan iklim dan degradasi sumber menyoroti proses yang terjadi sampai
daya alam turut memengaruhi perubahan terbentuknya produk perundang-undangan.
fungsional jasa ekosistem khususnya yang
menyangkut jasa air. SEJARAH PERKEMBANGAN UNDANG-
Ulasan berikut menyoroti terlebih UNDANG TENTANG AIR DI INDONESIA
dahulu latar belakang politik yang mendorong
munculnya undang-undang tentang air di
Indonesia sejak lebih dari satu setengah abad Indonesia telah mengalami sejarah
yang lampau, yaitu Algemene Water Reglement yang cukup panjang dalam politik pengelolaan
1936, UU No. 11 Tahun 1974 tentang Peng- air yang dituangkan dalam produk perundang-
airan dan UU No. 7 Tahun 2004 tentang undangan. Ada tiga produk perundang-
Sumber Daya Air. Selain ketiga UU tersebut, undangan yang telah dihasilkan yang masing-
UU No. 5 tentang Pokok-Pokok Agraria juga masing merupakan cermin dari kepentingan
menyoroti kewenangan penguasaan air yang politik pada zamannya. Menurut Molle (2008)
terkait dengan lahan petani. politik adalah seni dan ilmu yang mengatur
negara. Dalam pengertian yang lebih
Selanjutnya, setelah berlangsung operasional, politik adalah hubungan yang
sekitar satu dasawarsa terakhir, UU SDA yang kompleks dan agregat antara orang-orang
telah efektif dipraktikkan tersebut tiba-tiba dalam suatu masyarakat atau bangsa yang
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi
MENYOROTI SEJARAH PERKEMBANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG AIR PENGAIRAN DAN SUMBER DAYA AIR 35
Effendi Pasandaran
Jawa. Menurut laporan van der Meulen (1940), dengan biaya sebesar 35,5 juta gulden atau
irigasi skala besar model Belanda yang sekitar 90 gulden per ha (bandingkan dengan
pertama dibangun di Delta Sidoarjo seluas unit cost pembangunan irigasi dewasa ini).
34.000 ha di daerah aliran Sungai Brantas pada Lama sebelumnya, dalam rangka
pertengahan abad ke-19, namun pembangunan mempersiapkan organisasi pengelolaan irigasi,
yang menggunakan teknologi yang lengkap pada tahun 1871 suatu komisi telah dibentuk
baik irigasi maupun drainase dibangun di yang dipimpin oleh R. de Bruyn dan karena itu
daerah Irigasi Demak seluas 33.800 ha pada komisi tersebut juga disebut komisi de Bruyn.
tahun 1880-an. Ada tiga motif pembangunan Pada tahun 1885 dibentuklah
irigasi tersebut. Pertama, adanya kelaparan di departemen BOW (Burgerlijke Openbare
Jawa Tengah, khususnya di Demak, yang Werken) sebagai cikal bakal Departemen
mungkin disebabkan oleh kekeringan dan Pekerjaan Umum, yang salah satu bagiannya
kebanjiran. Kedua, dukungan irigasi terhadap bertugas mempersiapkan irigasi yang dibangun
komoditas ekspor seperti tebu. Ketiga, oleh Pemerintah. Bandingkan misalnya dengan
perkembangan teknik hidrolika yang dalam Departemen van Landbouw cikal bakal
pelaksanaannya memerlukan uji coba Departemen Pertanian yang baru dibentuk
pembangunan irigasi dalam skala besar. pada 1 Januari 1905 di Bogor. Berbeda dengan
Menurut laporan Van der Giessen (1946), BOW yang bertugas membangun prasarana
sebagai akibat gagal panen yang terjadi pada dan kelembagaan pengelolaan irigasi,
tahun 1948–1949 ada sekitar 200 ribu orang Departemen Pertanian yang berpusat di Bogor
yang meninggal dunia di Demak. Oleh karena terutama memperoleh mandat dalam penelitian
itu, Pemerintah kolonial segera membangun pertanian dan kemudian pada tahun 1912
stuwdam Glapan di Sungai Tuntang dan melaksanakan penyuluhan pertanian.
saluran-saluran Timur dan Barat dengan pintu- Perbedaan tersebut tetap diwariskan sampai
pintu airnya dan selesai pada tahun 1859 untuk dewasa ini.
mengairi areal seluas 12.000 ha. Walaupun
demikian, ancaman terhadap kelaparan masih Ada beberapa pelajaran yang dapat
muncul, dan ketika kelaparan kembali terjadi ditarik selama pelaksanaan rencana besar
pada tahun 1872, dibuat proyek baru di Dataran pembangunan irigasi di Jawa. Pertama, fakta
Demak yang penyelesaiannya memakan waktu bahwa sebelum adanya pembangunan irigasi
12 tahun. skala besar oleh pemerintah kolonial telah ada
sistem irigasi yang dibangun masyarakat
Oleh politik cultuur stelsel (tanam setempat. Hal ini merujuk pada pembangunan
paksa) dan liberalisasi perdagangan, irigasi seperti yang dilaporkan dalam Handbook
pemerintah kolonial memperoleh keuntungan of Netherland Indie (Tabel 1).
besar dari ekspor komoditas pertanian, namun
kemudian disadari pada penghujung abad ke- Tabel 1. Lahan irigasi di Jawa, 1914-1925 (ha)
19 bahwa masyarakat pribumi tetap miskin.
Suatu komisi yang dipimpin oleh Theodore
Coenrad van Deventer mengusulkan suatu Jenis irigasi 1914 1918 1925
rumusan kebijakan yang kemudian Irigasi 578.524 548.000 1.040.000
disampaikan oleh Ratu Wilhelmina di depan permanen
tweede kamer (parlemen Belanda) pada Irigasi dalam 187.237 300.000 183.000
permulaan abad ke 20 yang disebut "ethiesche fase konstruksi
politiek" terdiri dari tiga kebijakan Irigasi dalam 470.641 471.000 505.000
pembangunan (trilogi) di Hindia Belanda, yaitu fase persiapan
irigasi, edukasi, dan transmigrasi. Walaupun /konstruksi
menurut Booth (1998) dampak dari politik etika Sawah 1.518.099 1.400.000 2.840.000
terhadap kesejahteraan masyarakat tidak beririgasi
besar, namun dampak jangka panjang terhadap Sumber: Departement van Landbouw (1930)
keberhasilan swasembada beras sangat
signifikan (Pasandaran et al., 2014).
Untuk mempersiapkan pembangunan Pada tahun 1914 misalnya, areal irigasi
irigasi besar-besaran disusun suatu rencana yang telah berfungsi permanen (yang dibangun
besar (en groot plan) pada tahun 1890 (yang pemerintah) hanya sepertiga dari irigasi yang
juga disebut werkplan 1890) pada areal seluas sudah dicatat dalam statistik. Hal tersebut
577.000 bau (kurang lebih 400 ribu ha) di Jawa memberikan indikasi bahwa kurang lebih dua
MENYOROTI SEJARAH PERKEMBANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG AIR PENGAIRAN DAN SUMBER DAYA AIR 37
Effendi Pasandaran
per tiga irigasi yang ada pada tahun tersebut Prinsip kedua disebut "Pategoean Regeling",
adalah irigasi masyarakat. Pembangunan yang pada dasarnya mengadopsi prinsip
irigasi oleh pemerintah kolonial kemungkinan pengelolaan air pada daerah irigasi yang
besar berlokasi dan mencakup areal irigasi dibangun oleh masyarakat sendiri, yaitu alokasi
yang sudah dibangun masyarakat atau pada air berdasarkan prinsip klasik tentang
sistem persawahan yang pembangunannya kesamaan kesempatan, sedangkan pola tanam
sudah dirintis oleh masyarakat setempat. diserahkan menjadi urusan masyarakat itu
Hal ini dapat dilihat pada statistik dalam sendiri atau principle of equal opportunity.
Tabel 1 yang menunjukkan progres perluasan Dengan memperhatikan kepentingan
areal irigasi baik yang dibangun masyarakat pemerintah kolonial, prinsip yang akhirnya
maupun pemerintah antara tahun 1914 dan dianut adalah prinsip pertama, yaitu
1925. Ada yang dikembangkan oleh pengelolaan air untuk mendukung cultur plan.
masyarakat langsung yang berasal dari areal Dalam rangka pelaksanaan prinsip tersebut,
sawah tadah hujan. dilembagakan berbagai aturan pengelolaan air
Pelajaran berikutnya adalah antara lain golongan air pada awal musim
membangun irigasi skala besar memerlukan hujan, kebutuhan air irigasi dengan sistem
waktu yang lama, yaitu sekitar 10 tahun, pasten, dan penjadwalan distribusi air yang
walaupun untuk sistem persawahannya telah keseluruhannya dituangkan dalam undang-
terlebih dahulu dirintis oleh masyarakat undang yang disebut "Algemeen Water
setempat. Pembangunan irigasi berjalan dalam Reglement" yang diumumkan pada tahun 1936.
tempo yang agak lambat pada fase awal Sistem pasten adalah pengaturan alokasi air
pembangunan dan berlangsung lebih cepat antartiga komoditas yang ditanam dalam suatu
pada fase akhir. Antara tahun 1880 dan 1910 daerah irigasi yaitu padi, palawija, dan tebu.
areal irigasi teknis yang dapat diselesaikan Pengaturan yang lebih spesifik diatur dalam
hanya 225.000 ha dengan rata-rata "Provinciale Water Reglement" untuk masing-
penyelesaian 7.500 ha pertahun (Van der masing provinsi di Jawa dan Madura. Dalam
Giessen, 1946). Antara tahun 1910 dan 1930 kerangka desentralisasi tugas-tugas
ada seluas 375.000 ha irigasi teknis yang dapat pemerintahan ke tingkat provinsi yang
diselesaikan atau rata-rata 23.500 ha. berlangsung antara tahun 1936 dan 1940,
Puncaknya terjadi antara tahun 1930 dan 1940 tugas-tugas irigasi juga diserahkan kepada
ada seluas 470.000 ha irigasi teknis yang dapat dinas tingkat provinsi.
diselesaikan atau 47.000 ha per tahun. Uji coba lainnya yang dilakukan oleh
Walaupun pada tahun 1930-an terjadi maleise pemerintah kolonial adalah uji coba
(depresi ekonomi) dan berdampak besar pada kelembagaan petani di tingkat jaringan irigasi
produksi pabrik-pabrik gula tebu di Jawa, tersier. Menurut laporan Van der Giessen
namun tidak mengurangi komitmen pemerintah (1946), pengelompokan petani menurut unit
kolonial dalam menyelesaikan proyek-proyek tersier sudah dilakukan uji coba sejak 1907 di
irigasi (Pasandaran et al., 2014). daerah irigasi Pemali Tjomal. Pembagian air
Hal lain yang menarik perhatian adalah dalam unit tersier dilakukan oleh Ulu-Ulu
laporan yang disampaikan oleh Hasselman Pembagian atau Ulu-Ulu Golongan. Pada
(1914) tentang pengkajian kesejahteraan di waktu itu muncul pemikiran baik golongan
Hindia Belanda. Sebagai tindak lanjut dari tanam maupun golongan pembagian air
rencana kesejahteraan dibentuk suatu komisi sebaiknya diatur menurut unit tersier (Gruyter,
yang menetapkan prinsip-prinsip pengelolaan 1933; Van der Geissen, 1946). Selanjutnya
irigasi yang akan dan sedang dibangun oleh dilaporkan bahwa yang dijadikan alasan adalah
pemerintah kolonial. Ada dua pilihan prinsip bahwa Ulu-Ulu Pembagian dipilih oleh petani
pengelolaan irigasi yang diusulkan. Pertama karena lebih dapat mewakili kepentingan petani
disebut "Pakalen Regeling", yaitu suatu sistem dibandingkan Ulu-Ulu Desa yang lebih mewakili
pengelolaan yang didasarkan pada pola tanam kepentingan Pemerintah Desa.
(cultur plan) yang ditetapkan sebelumnya. Secara menyeluruh dapat disimpulkan
Prinsipnya adalah bahwa pengelolaan air bahwa AWR telah berhasil mewujudkan
diperlukan untuk mendukung terlaksananya pembangunan sumber daya air khususnya
pola tanam yang dikehendaki, suatu prinsip irigasi yang pada era kemerdekaan turut
klasik tentang asas kegunaan (the classical menyumbang terwujudnya swasembada beras
principle of utility, menurut Rawls, 1971). pada tahun 1984. Generasi pertama
38 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Vol. 33 No. 1, Juli 2015: 33–46
pembangunan irigasi yang pada mulanya portofolio yang mengurus pengairan, yaitu
didorong oleh pembangunan infrastruktur dan Menteri Pengairan Dasar yang mengurus
teknologi hidrolika, kemudian disusul oleh uji pengairan yang dikelola oleh Pemerintah dan
coba kelembagaan pengelolaan selama Menteri Pengairan Rakyat yang mengurus
beberapa dasawarsa tidak terlepas dari pengelolaan pengairan oleh masyarakat.
kepentingan politik pemerintah kolonial Dengan demikian bolehlah dikatakan setelah
menghasilkan produk perundang-undangan adanya rintisan pembangunan irigasi oleh
yang disebut AWR pada tahun 1936. AWR masyarakat sampai pertengahan abad 19,
selanjutnya menghasilkan PWR yang mengatur periode sesudahnya sampai dengan permulaan
pengelolaan irigasi di tingkat provinsi. Jadi, era Orde Baru adalah suatu fase koeksistensi
pada hakikatnya pendekatan pengelolaan antara pengelolaan irigasi berbasis pemerintah
irigasi di era kolonial bersifat sentralistik. dan pengelolaan irigasi berbasis masyarakat.
Produk tersebut berhasil menciptakan good Pada era Orde Baru mulai terjadi proses ko-
governance dalam pengelolaan irigasi yang optasi pengelolaan irigasi berbasis pemerintah
selanjutnya diwariskan pada generasi kedua terhadap irigasi berbasis masyarakat.
pembangunan pengairan di era kemerdekaan. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam
pembangunan irigasi dan pengairan di
Undang-Undang Generasi Kedua: Undang- Indonesia paling tidak sampai paruh kedua
Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang tahun delapan puluhan, dan untuk kasus-kasus
Pengairan tertentu sampai sekarang ini, adalah pen-
dekatan pembangunan pengairan yang
Pada era kemerdekaan, politik mengutamakan pembangunan struktur fisik
kesejahteraan pada era generasi pertama tetap dibandingkan dengan pendekatan kelembaga-
dilanjutkan. Istilah ”pengairan” yang an dan dimensi ”manusia” dari sistem
dipergunakan dalam undang-undang ini pengairan yang sedang dibangun. Walaupun
merefleksikan pemanfaatan air lebih dari pada generasi pertama ditekankan pentingnya
sekedar irigasi walaupun dalam pengertian pembangunan kelembagaan, namun dari
umum istilah tersebut sering dipertukarkan perspektif pendidikan pejabat-pejabat yang
dengan irigasi. Secara resmi penggunaan mengurus pengairan di Indonesia pada fase
istilah tersebut dituangkan dalam UU Nomor 11 awal pascaera kemerdekaan masih mewarisi
Tahun 1974 tentang Pengairan sebagai ”Dutch School of Thought” tentang irigasi dan
pengganti Algemeen Water Reglement 1936, pengairan hanya sebagai bagian dari
yang dianggap tidak memadai dalam bangunan-bangunan hidrolika (Vlughter, 1949).
mendukung keperluan pembangunan. Dalam Pendekatan seperti ini diterjemahkan dalam
praktiknya ruang lingkup pengairan mencakup pendekatan proyek yang mengukur
irigasi, pengelolaan sungai dan pengendalian keberhasilan dari target pembangunan fisik
banjir, dan reklamasi rawa dan pasang surut. semata, kurang mengindahkan apakah target
Dalam administrasi pemerintahan Sukarno tersebut benar-benar efektif mendukung
konsep salah satu rencana kesejahteraan yang pembangunan selanjutnya seperti terwujudnya
dimaksud adalah pembangunan Waduk peningkatan hasil dan produksi pertanian.
Jatiluhur di Jawa Barat (Blommestein, 1946). Pendekatan seperti ini juga dilakukan secara
Pembangunan waduk ini yang dimulai sejak berulang tatkala Indonesia semakin sering
paruh akhir tahun lima puluhan baru berfungsi mengalami gejala-gejala kekeringan yang
secara efektif pada awal tujuh puluhan, dan kemudian dipakai sebagai alasan untuk
kemudian disusul dengan pembangunan memperoleh dana tambahan perbaikan
waduk-waduk besar lainnya di berbagai wilayah bangunan-bangunan irigasi baik yang dikelola
sungai di Jawa dan Lampung pada era Orde oleh pemerintah maupun masyarakat, tanpa
Baru. memperhatikan akar permasalahan terjadinya
Walaupun dalam kurun waktu era kekeringan. Dengan semakin menuanya sistem
administrasi Sukarno terjadi perluasan irigasi irigasi warisan pemerintah kolonial, keperluan
yang dikelola pemerintah dan perluasan melaksanakan rehabilitasi irigasi dijadikan
pembangunan pengairan yang multifungsi, sebagai program utama pemerintah Orde Baru
eksistensi sistem irigasi masyarakat tetap dimulai sejak Pelita I (1969–1974) dan disusul
berlangsung dengan baik. Pada masa akhir dengan perluasan irigasi baik irigasi skala
pemerintahan Sukarno, khususnya pada kurun besar maupun irigasi skala kecil pada
waktu kabinet ”Seratus Menteri” terdapat dua beberapa Pelita berikutnya.
MENYOROTI SEJARAH PERKEMBANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG AIR PENGAIRAN DAN SUMBER DAYA AIR 39
Effendi Pasandaran
Komitmen rehabilitasi dan perluasan bahwa biaya investasi sumber daya air untuk
irigasi dipacu oleh kepentingan untuk mencapai keperluan mempertahankan swasembada
swasembada beras yang telah dicanangkan beras semakin lama semakin meningkat.
sejak awal Pelita I. Perbaikan jaringan irigasi Misalnya, biaya pengendalian banjir secara riil
tersier yang dilakukan sejak awal Pelita II pada meningkat sekitar 25 kali selama 20 tahun
daerah-daerah irigasi yang telah direhabilitasi sejak dimulainya Pelita, demikian pula untuk
dengan bantuan kredit lunak dari IDA rehabilitasi irigasi yang meningkat sebesar 15
(International Development Association) kali (Pasandaran, 2002). Agak berlawanan
dianggap sebagai salah satu upaya untuk dengan meningkatnya pengeluaran pemerintah
mempercepat berfungsinya irigasi dengan lebih untuk rehabilitasi irigasi yang begitu besar
efektif. Munculnya Revolusi Hijau dianggap adalah rendahnya mutu rehabilitasi sehingga
sebagai momentum untuk memacu perluasan terjadi siklus rehabilitasi yang cepat. Kalau
dan rehabilitasi sistem irigasi yang ada. sistem irigasi yang dibangun pada jaman
Upaya lainnya yang dianggap tak kalah kolonial dapat bertahan lebih dari 50 tahun
pentingnya adalah pengembangan Perkumpul- sebelum direhabilitasi kembali, maka siklus
an Petani Pemakai Air (P3A) pada unit tersier rehabilitasi sesudahnya berkisar antara 10
yang telah diperbaiki, walaupun P3A yang sampai 20 tahun. Hal ini mungkin dipacu oleh
melayani unit tersier bukanlah sesuatu yang rendahnya biaya operasi dan pemeliharaan
baru. Namun demikian, perkembangan P3A irigasi. Oleh karena itu, pada paruh kedua
yang pesat sejak awal tahun 1970-an dalam pemerintahan Orde Baru di samping pen-
berbagai varian terkesan menekan peran dekatan teknis struktural yang mengandalkan
lembaga tradisional ke tingkat yang lebih pada perangkat keras, mulai dirintis upaya yang
rendah yaitu hanya mengurus distribusi irigasi meringankan beban pemerintah melalui
ditingkat kuarter seperti halnya pada pendekatan partisipatif, yaitu introduksi jasa air
kelembagaan Janggol di Kabupaten Sukabumi. irigasi untuk membiaya operasi dan pemelihara-
Ada pula yang secara arif memfungsikan an sistem irigasi. Pendekatan ini antara lain
lembaga tradisional di tingkat desa seperti dipicu oleh krisis harga minyak yang terjadi
halnya Raksabumi di Kabupaten Cirebon yang pada tahun 1986 karena salah satu determinan
sudah ada menjadi pemimpin P3A, namun ada utama investasi irigasi adalah harga minyak
pula yang mengganti lembaga tradisional dunia (Rosegrant dan Pasandaran, 1995).
tersebut dengan struktur P3A yang lebih formal. Kesadaran bahwa pendekatan
Bolehlah dikatakan bahwa hampir seluruh investasi publik secara langsung (direct public
sistem irigasi di Indonesia, baik pada sistem investment strategy) pada sistem irigasi yang
irigasi yang dibangun pemerintah maupun dibangun oleh masyarakat sendiri meningkat-
sistem irigasi yang dirintis atau dibangun oleh kan ketergantungan pada pemerintah dan
masyarakat, kecuali sistem Subak di Bali, melemahkan dinamika internal dalam
terkena imbas formulasi penyeragaman P3A. pengembangan wawasan pembangunan irigasi
Pada sistem irigasi yang baru dibangun di luar yang ada pada masyarakat setempat baru
Jawa, introduksi P3A dapatlah dianggap se- muncul setelah sebagian besar sistem irigasi
bagai hal wajar, mengingat belum ada warisan yang dibangun oleh masyarakat ikut terkooptasi
elemen kelembagaan yang dapat dijadikan menjadi sistem irigasi berwawasan pemerintah.
embrio bagi pengembangan kelembagaan Salah satu upaya yang dilakukan untuk
pengelolaan air ditingkat masyarakat tani. memulihkan situasi tersebut adalah uji coba
Munculnya P3A secara meluas dan transfer pengelolaan irigasi dari pemerintah
terkesan direkayasa dari atas mungkin juga kepada masyarakat setempat, penyerahan
dipacu oleh pemerintah untuk memperbaiki irigasi kecil kepada P3A, yang kemudian
irigasi desa yang sebelumnya belum pernah ditindaklanjuti dengan ketetapan untuk
tersentuh oleh intervensi kebijakan pemerintah menyerahkan pengelolaan irigasi yang dikelola
melalui kegiatan irigasi desa pada awal tahun pemerintah secara bertahap, selektif, dan
1990-an. Konsekuensi dari upaya perbaikan demokratis kepada Perkumpulan Petani Pe-
tersebut adalah adopsi standar rancang bangun makai Air yang diatur dalam Inpres No. 3 Tahun
irigasi dan kelembagaan P3A versi birokrasi 1999 dan selanjutnya penyerahan pengelolaan
irigasi. irigasi kepada P3A diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 77 Tahun 2001.
Setelah Indonesia mencapai
swasembada beras pada tahun 1984, disadari Salah satu hal yang menonjol dalam
pengairan di Indonesia dan lebih khusus di
40 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Vol. 33 No. 1, Juli 2015: 33–46
Pulau Jawa adalah perluasan pembangunan daya khususnya wewenang pengelolaan irigasi
waduk-waduk besar yang dirintis sejak era berkali-kali mengalami perubahan, (2) upaya
pemerintahan Sukarno dan meluas pada era liberalisasi ekonomi yang dikemukakan oleh
Orde Baru. Di wilayah Sungai Citarum, Jawa World Bank sebagai prasyarat pinjaman untuk
Barat terdapat tiga waduk, yaitu Waduk pemulihan ekonomi, dan (3) tekanan global
Saguling, Waduk Cirata, dan Waduk Jatiluhur untuk memberlakukan pendekatan terpadu dan
atau Waduk Ir. H. Juanda. Demikian pula di berlanjut seperti Integrated Water Resources
wilayah Sungai Brantas Jawa Timur, terdapat Management yang disampaikan di
berbagai waduk seperti Waduk Ir. Sutami, Johannesburg pada tahun 2002.
Waduk Wlingi, Waduk Gajah Mungkur di bagian Inisiatif penyusunan UU SDA yang
hulu wilayah Sungai Bengawan Solo, dan berasal dari pemerintah merupakan salah satu
Waduk Kedungombo di wilayah Sungai agenda Structural Adjustment Loan dan
Jratunseluna, Jawa Tengah. Arti penting dari merupakan prasyarat sebuah pinjaman,
pembangunan waduk tersebut terutama dilihat walaupun ini bukan yang pertama dilakukan
dari sumbangannya bagi pertumbuhan ekonomi oleh lembaga seperti World Bank (Pasandaran,
wilayah dan nasional melalui dukungan 2006). Selanjutnya dikemukakan bahwa pada
terhadap irigasi, upaya pengendalian banjir, tahun 1987, misalnya tatkala Indonesia sedang
tenaga listrik, air baku untuk air minum, melakukan proses deregulasi yang dipicu oleh
perkotaan dan industri, dukungan terhadap budi krisis minyak tahun 1986, World Bank
daya perikanan, dan dukungan terhadap menawarkan ”irrigation sector loan” yang pada
pariwisata. Pengelolaan waduk-waduk yang hakikatnya merubah pendekatan investasi yang
sudah beroperasi agak lama seperti yang lebih ditujukan kepada pendekatan struktural
terdapat di wilayah Sungai Brantas dan (hardware) kepada pendekatan managerial
Bengawan Solo diorganisir menjadi Badan yaitu melalui konsep efficient operation and
Usaha Milik Negara dengan nama Perusahaan maintenance dan iuran pengelolaan air irigasi.
Jasa Tirta I (PJT I) dan Perusahaan Jasa Tirta Kebijakan yang dihasilkan melalui irrigation
II di wilayah Sungai Citarum. Apa masalah sector loan ternyata tidak menghasilkan
dan dampak yang dihadapi oleh pembangunan perbaikan yang efektif seperti yang dinyatakan
waduk-waduk tersebut sekarang dan pada oleh Menteri Perencanaan Pembangunan
generasi yang akan datang menjadi penting Nasional dalam suratnya kepada Presiden
untuk diketahui tidak saja menyangkut biaya World Bank pada bulan April 1999 dalam
sosial yang muncul yang mungkin saja kurang meminta persetujuan WATSAL bahwa operasi
diperhitungkan dengan baik tatkala dan pemeliharaan irigasi tetap tidak efisien dan
membangun waduk-waduk tersebut, tetapi juga terjadinya sistem irigasi berumur pendek
ancaman-ancaman yang mungkin menunggu dengan biaya mahal. Sejalan dengan agenda
yang perlu diantisipasi lebih awal untuk utama WATSAL seperti yang telah dibahas
menghindari malapetaka yang mungkin terjadi sebelumnya, maka Undang-Undang Sumber
di masa yang akan datang. Daya Air (UU SDA) ini pun diharapkan memiliki
Pembangunan pengairan yang semangat reformasi.
ditunjang oleh UU No. 11 Tahun 1974 boleh Pertarungan kepentingan yang muncul
dikatakan berhasil dalam menunjang dalam arena politik perumusan RUU SDA
terwujudnya swasembada beras. Namun paling tidak meliputi lima kepentingan politik
berbeda dengan generasi pertama, produk sebagai berikut: (1) kepentingan untuk
infrastruktur yang dihasilkan dianggap jauh memberikan peran yang lebih besar pada
lebih mahal dengan kualitas yang rendah, masyarakat petani sesuai dengan agenda
sehingga siklus rehabilitasi menjadi pendek WATSAL melalui PP No. 77 tahun 2001 agar
dibandingkan dengan produk infrastruktur tercermin dalam UU SDA tersebut; (2)
generasi pertama. kepentingan untuk mempertahankan peran
pemerintah baik pusat dan daerah sebagai
Undang-Undang Generasi Ketiga: UU Nomor penanggung jawab utama dalam pengelolaan
7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air SDA termasuk air untuk keperluan domestik
dan irigasi; (3) kepentingan untuk mempertegas
Paling tidak ada tiga faktor pemicu UU peran swasta dalam pengelolaan sumber daya
generasi ketiga, yaitu (1) upaya pemulihan air; (4) kepentingan untuk menolak peran
krisis ekonomi setelah mengalami goncangan swasta yang lebih besar dalam pengelolaan
politik yang menyebabkan pengelolaan sumber SDA; dan (5) kepentingan untuk menempatkan
MENYOROTI SEJARAH PERKEMBANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG AIR PENGAIRAN DAN SUMBER DAYA AIR 41
Effendi Pasandaran
peran pemerintah sebatas regulator dan diharapkan yang belum muncul dengan lebih
fasilitator dalam pengelolaan SDA. baik di arena pengelolaan SDA ketimbang
Kepentingan untuk memberikan peran perannya sebagai pelaksana pembangunan
yang lebih besar pada masyarakat petani pada melalui pendekatan proyek. Pada UU SDA
hakikatnya didasarkan pada pemikiran bahwa yang disahkan, ternyata dominasi pemerintah
kemandirian masyarakat petani dalam baik pusat maupun daerah sebagai pemain
pengelolaan SDA khususnya irigasi perlu utama dalam pengelolaan SDA khususnya
diperkokoh untuk mewujudkan keberlanjutan irigasi semakin terpenuhi, demikian pula
operasi dan pemeliharaan sistem irigasi. peluang bagi sektor swasta untuk berperan
Belajar dari pengalaman selama ini, upaya dalam pembangunan dan pengelolaan SDA.
pengelolaan irigasi yang sentralistik justru Salah satu hal yang masih perlu
menambah beban bagi pemerintah dalam diperjelas melalui peraturan pelaksanaan UU
operasi dan pemeliharaan sistem irigasi. SDA dan khususnya Kebijakan Nasional
Demikian pula pendekatan seperti itu Sumber Daya Air adalah perlunya instrumen
menimbulkan ketergantungan yang semakin kebijakan yang sifatnya inklusif yang
tinggi pada pemerintah dalam pelaksanaan memungkinkan kelompok miskin terjamin
operasi dan pemeliharaan irigasi. Sementara ketersediaan airnya. Sejak zaman Kerajaan
sejarah menunjukkan bahwa sistem irigasi yang Jawa Kuno sekalipun para raja telah dengan
dikelola masyarakat sendiri (self-governance) sadar melakukan upaya untuk pengaturan
tanpa campur tangan pemerintah seperti penyediaan air guna menjamin pemasokan air
halnya sistem subak di Bali merefleksikan tata yang merata karena dengan begitu berarti raja
kelola air yang baik. memastikan kesejahteraan umum (Lombard,
Kepentingan untuk mempertahankan 1996).
peran pemerintah didasarkan pada asumsi Meskipun dalam penjelasan UU SDA
ketidakmampuan masyarakat untuk mengelola dikemukakan bahwa atas penguasaan sumber
sistem irigasi dan beratnya beban yang dipikul daya air oleh negara dimaksud, negara
oleh masyarakat tani. Oleh karena itu, menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan
tanggung jawab masyarakat seperti yang air bagi pemenuhan kebutuhan pokok sehari-
berlaku selama ini cukup dibatasi pada jaringan hari. Pada penjelasan lain yang menyangkut
tersier dan usaha tani. Demikian pula ada BUMN/BUMD disebutkan bahwa dengan
segmen masyarakat yang memerlukan mempertimbangkan kemampuan pembiayaan
perhatian pemerintah lebih besar untuk BUMN/BUMD Pengelola Sumber Daya Air,
menangani kebutuhan air untuk rumah tangga. Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam
Peran swasta dalam pengelolaan SDA batas tertentu dapat memberikan bantuan
didasarkan pada asumsi pentingnya per- pembiayaan pengelolaan sumber daya air
tumbuhan ekonomi melalui mekanisme pasar kepada yang bersangkutan antara lain untuk
dalam alokasi air, dan pentingnya peran sektor pembiayaan pelayanan sosial, pelayanan yang
swasta dalam melakukan investasi yang terkait ditujukan bagi kesejahteraan, dan keselamatan
dengan pengembangan SDA. Kepentingan umum. Penjelasan ini memberikan indikasi
yang menolak peran swasta terutama bahwa pelayanan untuk kaum miskin hanya
mendasarkan kekuatirannya atas perlakuan diperhatikan sebatas kemampuan pemerintah
monopolistik yang kemungkinan dilakukan oleh (Hadipuro, 2003).
sektor swasta, dan atas hilangnya akses oleh Terlepas dari pertarungan kepentingan-
publik terhadap sumber daya air tertentu kepentingan tersebut di atas, yang akan
apabila pengelolaannya diserahkan kepada menentukan arah pembangunan dan
pengusaha swasta. Ada persoalan yang terkait pengelolaan SDA di masa yang akan datang
dengan privatisasi dan komersialisasi air minum adalah apakah Indonesia akan tetap
(Ardhianie, 2003) yang tidak dapat dipecahkan meneruskan “business as usual” dengan
hanya melalui pendekatan Environmental pendekatan pembangunan yang didominasi
Service Program (ESP) seperti yang dilaporkan oleh aparat Pemerintah, ataukah pendekatan
Wienarto et al., 2009. Persoalan ini yang lebih reformatif yang menempatkan
memerlukan pendekatan keterpaduan antara Pemerintah dalam posisi regulator dan
masyarakat dan swasta (Bakker, 2008). fasilitator dan yang memberdayakan
Peran pemerintah sebagai regulator masyarakat luas untuk berperan lebih besar
dan fasilitator adalah peran yang lebih banyak dalam pengelolaan SDA akan menentukan
42 FORUM PENELITIAN AGRO EKONOMI, Vol. 33 No. 1, Juli 2015: 33–46
Putusan MK adalah prospektif dan air secara menyeluruh dalam suatu Daerah
tidak retroaktif sehingga seluruh klausul dalam Aliran Sungai (DAS). Prinsip-prinsip tersebut
perjanjian yang telah disepakati sebelum tidak diatur dalam undang-undang baik UU
ketukan palu pembatalan adalah hal yang Pengairan 1974 maupun UU SDA.
beralasan hukum. Dengan demikian, Tiga, walaupun UU SDA menghasilkan
penghormatan kontrak tetap dijalani sembari sekat-sekat birokrasi yang lebih banyak, tetapi
berharap penyusunan UU SDA yang baru yang UU tersebut memberi sebagian kewenangan
mengakomodasi kepentingan perlindungan dalam pengelolaan sumber daya air kepada
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. pemerintah kabupaten. Ini merupakan sesuatu
Keputusan MK bersifat prospektif yang tidak dilakukan dalam era UU pengairan
terutama yang menyangkut perjanjian baik 1974. Tantangan yang dihadapi adalah
antara swasta dan pemerintah maupun bagaimana tetap mempertahankan dan
antarpelaku lainnya. Implikasi lainnya yang memperkuat kemampuan pemerintah daerah
perlu segera ditindaklanjuti adalah langkah- khususnya kabupaten dalam pengelolaan
langkah untuk menyelaraskan peraturan- sumber daya air.
peraturan yang muncul sebagai tindak lanjut
UU SDA dengan pemberlakuan UU No. 11
Tahun 1974 tentang Pengairan sebagai LANGKAH LANGKAH KE DEPAN: MENUJU
konsekuensi pembatalan UU SDA. Masalah UNDANG-UNDANG GENERASI KEEMPAT
dan tantangan sebagai akibat dari keputusan
MK tersebut, yaitu: Memperhatikan masalah dan tantangan
Satu, seperti yang telah dibahas yang dihadapi sebagai akibat pembatalan UU
sebelumnya kedua undang-undang tersebut SDA tersebut pemerintah tidak dapat
berasal dari latar belakang dan kepentingan sepenuhnya hanya mengandalkan UU
politik yang berbeda. Misalnya, UU tentang pengairan 1974. Pembatalan tersebut
pengairan dihasilkan sebagai upaya hendaknya dipakai sebagai peluang untuk
memperkuat keberhasilan revolusi hijau yang menghasilkan undang-undang yang baru yang
bersifat sentralistik dan menunjang pendekatan merefleksikan prinsip-prinsip good water
program-program pangan yang pada era governance.
tersebut juga bersifat sentralistik. Dengan Paling tidak ada empat prinsip yang
pendekatan sentralistik, sekat-sekat perlu diperhatikan. Pertama, UU SDA yang
kewenangan antar sektor dengan mudah dapat baru harus mampu berkontribusi terhadap
diatasi melalui proses koordinasi sepanjang pengelolaan sumber daya lingkungan yang
ada komitmen politik yang kuat dari pemerintah memungkinkan terwujudnya ecosystem service
seperti ditunjukan oleh program swasembada yang baik. Dengan perkataan lain, UU SDA
beras melalui Bimas dan Inmas. Di pihak lain, harus dapat membangun prinsip pengelolaan
UU SDA 2004 menyebabkan munculnya sekat- secara terpadu yang memungkinkan fungsi
sekat kewenangan yang lebih banyak, yaitu penyediaan dan pengaturan air yang tidak
kewenangan antarsektor, kewenangan menghasilkan ancaman dan risiko seperti banjir
Pemerintah Pusat dan Daerah, dan dan kekeringan yang dewasa ini frekuensi
kewenangan antara Pemerintah Provinsi dan terjadinya semakin tinggi dan dampaknya
Kabupaten. Sebagai akibatnya, proses semakin meluas.
koordinasi menjadi lebih sulit dilaksanakan,
walaupun ada komitmen politik untuk Kedua, harus mampu mendukung
mendukung suatu program seperti terwujudnya ketangguhan sosial (social
swasembada pangan. recilience) untuk mencegah ancaman konflik
sosial yang muncul sebagai akibat dari
Dua, patut diduga bahwa pemberian permasalahan yang muncul seperti masalah
izin kepada pihak swasta sebagai pihak yang lintas batas (transboundary issues) serta
diberi keleluasaan mengelola sumber daya air antarunit-unit pengelolaan sumber daya air.
untuk tujuan komersial telah menimbulkan
pembatasan akses oleh publik untuk Ketiga, harus mampu membangun
memanfaatkan sumber daya air yang sama. etika bisnis yang diperlukan agar peran swasta
Padahal, keberlanjutan pengelolaan sumber dalam pengelolaan sumber daya air tidak
daya air oleh swasta sangat ditentukan oleh eksploitatif, tetapi memperhatikan kepentingan
prinsip-prinsip good governance sumber daya lingkungan dan kepentingan sosial.
MENYOROTI SEJARAH PERKEMBANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG AIR PENGAIRAN DAN SUMBER DAYA AIR 45
Effendi Pasandaran