Professional Documents
Culture Documents
5205 24869 1 PB
5205 24869 1 PB
ABSTRACT
Characteristics of Apis dorsata`s forest honey from bioregions of Riau have not been studied intensively. This
research is aiming to provide characteristic information on honey from bioregions of Riau based on SNI 8664-2018.
The study was conducted in September to November 2015. Honey samples were collected from eight districts of six
bioregions in Riau Province, i.e Bengkalis and Selat Panjang (downstream), Kampar (mineral forest), Pelalawan
(peat swamp forest), Rokan Hilir (river bank), Siak (Acacia plantation forest), and Kuansing (oil palm and rubber
plantation). Samples of each bioregion were analyzed based on SNI 8664-2018 procedures. Results show that wild
honey characteristics were not significantly different among bioregions for almost all parameters in SNI 8664-2018.
However, the diastase enzyme parameter in honey taken from Pelalawan was the only parameter that had significant
value. In addition, the parameter of water content and reducing sugar content were only two parameters that did not
meet the SNI 8664-2018 requirements. Meanwhile, the type and size of pollen could be used for determining the origin
of honey between Riau bioregions.
Keywords: Forest honey, Riau bioregion, characteristic, Indonesian National Standard (SNI)
ABSTRAK
Karakteristik madu lebah hutan Apis dorsata yang berasal dari bioregion Riau belum dipelajari secara
intensif. Penelitian ini mempelajari karakteristik madu lebah hutan dari bioregion Riau berdasarkan
Standar Nasional Indonesia. Penelitian dilakukan pada bulan September hingga November 2015. Tiga
sampel madu hutan diambil sebagai ulangan pada setiap bioregion dan dianalisis berdasarkan prosedur
uji SNI 8664-2018. Sampel madu dikumpulkan dari enam bioregion hilir dan pesisir pantai (Bengkalis
dan Selat Panjang), hutan dengan tanah mineral (Kampar), hutan rawa gambut (Pelalawan), aliran
sungai (Rokan Hilir), hutan tanaman (Siak), dan perkebunan kelapa sawit dan karet (Kuansing). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antar bioregion terhadap mayoritas
parameter yang terdapat pada SNI 8664-2018. Namun, parameter gula reduksi dan kadar air pada
seluruh sampel yang diuji tidak memenuhi persyaratan SNI 8664-2018. Lebih lanjut, jenis dan ukuran
polen yang terdapat pada sampel madu dapat dijadikan metode untuk penentuan asal usul madu
berdasar bioregion.
Kata kunci: Madu hutan, bioregion Riau, karakteristik, Standar Nasional Indonesia (SNI)
hutan palsu meskipun produk madu hutan yang D. Analisis Sampel dan Pengolahan Data
diperoleh adalah asli (Suranto, 2004). Berdasarkan
masalah tersebut, tujuan penelitian ini adalah Pengujian sampel madu dilakukan berdasarkan
untuk memberi informasi tentang karakteristik SNI 8664-2018 di Balai Besar Industri Agro,
madu hutan asal Riau berdasarkan beberapa Bogor. Analisis data berupa hidroksimetilfurfural
parameter fisika dan kimia yang disyaratkan (HMF), enzim diastase, keasaman, kadar sukrosa,
dalam SNI 8664-2018 dan karakter polen dari gula reduksi, padatan tak larut, dan kadar air
masing-masing madu yang berasal dari berbagai dilakukan analisis secara deskriptif kuantitatif
bioregion di Riau. dengan melakukan uji banding (ANOVA) antar
bioregion. Selanjutnya, uji one sample t-test dilakuan
II. BAHAN DAN METODE untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang
nyata terhadap nilai hasil uji analisis dengan nilai
A. Lokasi acuan yang terdapat pada SNI 8664-2018 (kadar
hidroksimetilfurfural, enzim diastase, keasaman,
Penelitian dilakukan di Provinsi Riau pada kadar sukrosa, gula reduksi, padatan tak larut,
bulan September hingga November 2015. dan kadar air). Data berupa hasil uji organoleptik,
Pemilihan lokasi pengamatan dilakukan berdasar analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif
pada kondisi bioregion yang terdapat di Riau, dengan membandingkannya antar bioregion.
yaitu (1) Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Analisis melisapalinology untuk mengetahui
Meranti (bioregion kawasan hutan pesisir pantai), karakter polen, dilakukan dengan membuat
(2) Kabupaten Kampar dan Kabupaten sediaan mikroskopis serbuk sari berdasar metode
Rokan Hulu (bioregion kawasan hutan mineral), asetolisis (Erdtman, 1952). Dari data yang
(3) Kabupaten Pelalawan (bioregion kawasan hutan diperoleh kemudian dilakukan analisis deskriptif
gambut), (4) Kabupaten Rokan Hilir (bioregion kuantitatif terhadap tipe polen dan ukuran polen
hilir sungai), (5) Kabupaten Siak (bioregion yang mewakili bioregion tertentu.
kawasan hutan tanaman industri jenis Acacia
mangium, Acacia crassicarpa, dan Eucalyptus sp.), III. HASIL DAN PEMBAHASAN
dan (6) Kabupaten Kuansing (bioregion kawasan
perkebunan karet dan kelapa sawit). A. Karakteristik Madu Hutan dengan
Menggunakan Uji Organoleptik
B. Bahan dan Alat
Menurut Wagiyono (2003), pengujian
Bahan yang digunakan pada penelitian ini organoleptik adalah pengujian yang didasarkan
adalah sisiran madu dan sisiran bee bread dari pada proses pengindraan. Pengindraan diartikan
sarang lebah hutan segar yang baru dipanen, tali, sebagai suatu proses fisio-psikologis, yaitu
pisau, baju pengaman dari sengat lebah, botol kesadaran atau pengenalan alat indra akan sifat-
spesimen ukuran 200 ml, dan kantung plastik sifat benda karena adanya rangsangan yang
steril. diterima alat indra yang berasal dari benda
C. Metode tersebut. Salah satu parameter pada SNI 8664-
2018 adalah organoleptik yang berupa rasa dan
Metode penelitian yang digunakan adalah bau.
survey dengan melakukan uji banding terhadap Hasil uji organoleptik madu hutan yang berasal
sampel madu yang diperoleh dari berbagai dari 6 bioregion di Riau menunjukkan bahwa tidak
bioregion di Riau. Parameter yang diuji dalam ada perbedaan rasa dan bau pada jenis madu yang
penelitian ini adalah parameter berdasarkan SNI ada di Riau (Tabel 1). Jika dilakukan perbandingan
8664-2018. Survey dilakukan terhadap beberapa dengan SNI 8664-2018, rasa dan bau madu hutan
pohon sialang yang mewakili enam bioregion di asal Riau adalah sama. Pengukuran standar rasa
Provinsi Riau. Ulangan, sampel madu dan bee dan bau madu hutan ini tidak memiliki standar
bread diambil dari minimal tiga pohon sialang nilai yang jelas karena hanya berdasarkan pada
berbeda pada setiap bioregion. penilaian seorang ahli madu.
187
Penelitian Hasil Hutan Vol. 37 No. 3, November 2019: 185-200
Selain parameter berupa rasa dan bau, berwarna gelap. Akan tetapi, menurut Somerville
terdapat parameter berupa warna madu yang (2005), madu yang memiliki warna lebih gelap
dapat dijadikan faktor untuk menentukan jenis memiliki kandungan mineral yang lebih banyak
madu. Meskipun parameter warna tidak masuk dibandingkan madu yang berwarna terang (Tabel
pada SNI 8664-2018, penggunaan standar warna 3). Selain kandungan mineral, madu yang memiliki
telah banyak dilakukan di negara-negara Eropa warna lebih gelap juga menunjukkan kandungan
(British Honey Company, 2013) dan Amerika senyawa phenolik yang lebih tinggi dibandingkan
Serikat (Sanford, 2003). Berdasarkan standar madu berwarna terang (Lachman et al., 2010).
yang diberikan oleh Marchese dan Flottum (2013) Jika dihubungkan dengan warna madu, untuk
terdapat tujuh tingkatan warna madu mulai dari bioregion berupa hutan alam mineral yang diwakili
water white yang paling terang sampai dengan dark oleh Kabupaten Kampar dan Kabupaten Rokan
amber yang paling gelap. Jika dibandingkan dengan Hulu terdapat sampel madu yang menunjukkan
standar, tersebut maka kelompok madu hutan kisaran warna dari extra light amber dan light amber
yang berasal dari enam bioregion di Riau berada sampai dark amber. Hal ini menunjukkan bahwa
pada empat kategori terakhir seperti disajikan warna sampel madu yang berasal dari bioregion
pada Tabel 2. hutan alam mineral belum dapat dijadikan
Tabel 1. Hasil tes organoleptic madu hutan penanda yang khas karena memiliki kisaran
enam bioregion, Riau warna yang masih terlalu luas. Selain itu, madu
Table 1. Organoleptic test results of forest hutan asal Riau memiliki kecenderungan warna
honey from Riau bioregions gelap dan tidak terlihat perbedaan antara warna
madu yang berasal dari setiap bioregion, baik yang
Kabupaten (Districts) Penilaian (Remark) berasal dari bioregion hutan alam mineral maupun
Kuansing Khas madu bioregion hutan tanaman, ataupun perkebunan
Kampar Khas madu kelapa sawit dan karet. Bahkan, pada bioregion
Siak Khas madu yang memiliki karakteristik hampir sama (daerah
Bengkalis Khas madu
pesisir) di Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten
Meranti Khas madu
Meranti menunjukkan perbedaan warna. Hal ini
Pelalawan Khas madu
menguatkan bahwa kondisi bioregion yang ada di
Rokan Hulu Khas madu
Riau tidak mempengaruhi warna madu hutan.
Rokan Hilir Khas madu
Selain menjadi salah satu faktor dalam
Tingkat warna madu bergantung pada sumber menentukan warna madu, keberadaan mineral
nektar dan komposisi mineral dari tanah dimana pada madu juga menunjukkan kualitas madu.
tumbuhan penghasil nektar tersebut tumbuh. Komposisi macronutrient seperti unsur Ca, K,
Meskipun komposisi mineral pada madu hanya dan Na merupakan mineral yang penting bagi
3,68%, sebagian masyarakat beranggapan kesehatan lebah. Kandungan unsur K dan/
bahwa warna madu yang terang menunjukkan atau P dan kandungan Na yang rendah sering
kualitas yang lebih baik dibandingkan madu yang dihubungkan dengan penyakit kelumpuhan
188
Karakteristik Madu Lebah Hutan (Apis dorsata Fabr.) dari Berbagai Bioregion di Riau
(Avry Pribadi & M. Enggar Wiratmoko)
Tabel 3. Perbandingan komposisi mineral pada madu berwarna gelap dan terang
Table 3. Mineral content comparison of dark and light honey
Madu berwarna gelap Madu berwarna terang
Mineral
(Dark amber, mg/kg) (Light amber, mg/kg)
Ca 227 107
Cu 1 1
K 1241 441
Mg 132 40
Mn 10 1
Na 23 251
P 123 129
Zn 2 3
Sumber (Source): Petrov (1970)
pada lebah pekerja dewasa di Jerman dan selain metode SNI 8664-2018 dibanding SNI 3545-
itu, tingginya kandungan mineral juga dapat 2013 dalam penentuan karakteristik madu adalah
berimplikasi terhadap penyakit disentri pada pada SNI yang baru ini telah memisahkan asal
lebah pekerja dewasa (Somerville, 2005). Namun, usul madu berdasar lebah penghasilnya, yaitu
informasi mengenai kebutuhan lebah terhadap madu yang dihasilkan oleh lebah budi daya
mineral belum banyak diketahui. Lebih lanjut, bersengat (A. cerana dan A. mellifera), madu
menurut Somerville (2005), beberapa unsur yang dihasilkan lebah hutan (A. dorsata), dan
mineral yang perlu diperhatikan adalah Ca, K, dan madu yang dihasilkan oleh lebah tidak bersengat
Na sebagai unsur makronutrien dan unsur Cu, (Trigona spp.). Pendekatan dengan menggunakan
Mg, Mn, P, dan Zn sebagai unsur mikronutrien. analisis fitokimia digunakan untuk menentukan
Sebagai contoh, madu Ziziphus yang berwarna ciri senyawa aktif yang memiliki kemampuan
gelap asal Pakistan memiliki kandungan Natrium tertentu atau efek yang bermanfaat (Robinson,
856,6± 33,43 µg/g, Kalium 1506,4± 10,79 µg/g, 1991) dan terdiri atas alkaloid, flavonoid, steroid,
dan Calsium 848,1± 13,65 µg/g (Gulfraz et al., saponin, terpenoid, dan tannin (Harborne, 1984).
2010). Sebagai contoh adalah madu manuka yang berasal
Selain menggunakan parameter SNI 8664- dari Selandia Baru memiliki lima komponen
2018 dalam penentuan karakteristik madu bahan aktif utama yang menjadi ciri khas madu
hutan, terdapat beberapa pendekatan lain yang manuka, yaitu phenylacetic acid, phenyllactic
dapat digunakan, yaitu analisis fitokimia, analisis acid, 4-methoxyphenyllactic acid, leptosin, dan
mineral, analisis melissapalynology, dan asam methyl syringate (Stephens et al., 2010; Tuberoso
organik. Keunggulan dalam menggunakan et al., 2009).
Tabel 4. Hasil uji madu berdasarkan parameter SNI 8664-2018 pada enam bioregion di Riau
Table 4. The average value of forest honey parameter based on SNI 8664-2018 in six bioregions
of Riau
Parameter (Parameters)
Lokasi yang mewakili
bioregion (Locations that Hidroksimetil Enzim diastase Keasaman Kadar sukrosa Gula reduksi Padatan tak Kadar air
represent bioregions) furfural (HMF, (Diastase (Acidity, ml (Sucrose content, (Reducing sugar, larut (Unsolved (Water content,
mg/kg) enzyme, DN) NaOH/kg) % b/b) % b/b) solid, % b/b) % b/b)
Rokan Hulu 36,33 ± 0,58a 3,23 ± 0,15ab 37,34 ± 0,57a 1,15 ± 0,05a 60,72 ± 0,25a 0,02 ± 0,005a 26,7 ± 1a
Bengkalis 36,33 ± 0,58a 3,33 ± 0,10ab 37,34 ± 1,15a 1,15 ± 0,05a 61 ± 0,50a 0,02 ± 0,005a 24 ± 1a
Pelalawan 36,50 ± 0,50a 3,42 ± 0,08b 37,10 ± 0,65a 1,14 ± 0,04a 60,72 ± 0,25a 0,02 ± 0,003a 24,5 ± 1a
Siak 36,90 ± 0,89a 3,28 ± 0,08ab 36,50 ± 0,50a 1,13 ± 0,04a 60,78 ± 0,30a 0,02 ± 0,004a 24 ± 0,83a
Kampar 37,00 ± 0,71a 3,27 ± 0,05ab 36,50 ± 0,55a 1,12 ± 0,41a 60,73 ± 0,30a 0,02 ± 0,001a 24 ± 1,04a
Meranti 37,16 ± 0,76a 3,13 ± 0,15a 37,10 ± 0,45a 1,08 ± 0,07a 60,83 ± 0,57a 0,02 ± 0,005a 24,33 ± 0,57a
Rokan Hilir 37,16 ± 0,28a 3,30 ± 0,10ab 37,30 ± 0,26a 1,12 ± 0,02a 60,83 ± 0,28a 0,02 ± 0,003a 24,8 ± 0,76a
Kuansing 37,25 ± 0,69a 3,30± 0,08ab 36,76 ± 0,71a 1,14 ± 0,05a 60,82 ± 0,42a 0,02 ± 0,002a 23,83 ± 0,81a
189
Penelitian Hasil Hutan Vol. 37 No. 3, November 2019: 185-200
B. Karakteristik Madu Hutan Berdasar enam bioregion di Riau telah sesuai dengan SNI
Parameter SNI 8664-2018 8664-2018 karena memiliki nilai HMF di bawah
40 mg/kg. Selain itu, nilai HMF madu hutan yang
Hasil analisis sidik ragam terhadap berada di bawah 40, telah sesuai dengan studi
tujuh parameter kuantitatif SNI 8664-2018 yang dilakukan oleh Kamal et al. (2002) yang
menunjukkan bahwa keseluruhan sampel madu menunjukkan nilai HMF pada beberapa madu
yang diperoleh dari enam bioregion yang mewakili segar di Pakistan berada di kisaran 31−43 mg/
Riau tidak memberikan nilai yang berbeda nyata kg. Nilai HMF juga menjadi salah satu parameter
(p>0,05) kecuali parameter aktivitas enzim dalam penentuan kualitas madu di dunia (Shapla
diastase. Hal ini menunjukkan bahwa secara et al., 2018). Codex (2011) membagi madu
umum madu hutan yang berasal dari Provinsi menjadi enam kelompok berdasarkan kandungan
Riau memiliki kesamaan karakteristik jika dilihat HMF. Hasil uji menunjukkan madu hutan asal
berdasarkan SNI 8664-2018 (Tabel 4). Riau tidak memiliki nilai sama sekali (0) karena
1. Hidroksimetilfurfural (HMF) kadar HMF ≥ 20 mg/kg.
190
Karakteristik Madu Lebah Hutan (Apis dorsata Fabr.) dari Berbagai Bioregion di Riau
(Avry Pribadi & M. Enggar Wiratmoko)
191
Penelitian Hasil Hutan Vol. 37 No. 3, November 2019: 185-200
umum yang memiliki kadar sukrosa maksimal (2015) menyatakan bahwa kadar gula pereduksi
5%, (2) madu yang berasal dari bunga Robinia, di daerah Maros, Sulawesi Selatan memiliki nilai
Lavandula, Hedysarum, Trifolium, Citrus, Mediacago, antara 65,62−72,32%. Berdasarkan hal tersebut,
Eucalyptus camaldulensis, dan Eucryphia memiliki kandungan gula pereduksi madu hutan yang
kadar sukrosa maksimal 10%, dan (3) madu berasal dari seluruh bioregion di Riau termasuk
yang berasal dari bunga Calomanthus, Eucalyptus rendah.
scabia, Banksia, Xanthorrhoea, dan embun madu Nilai gula pereduksi erat hubungannya
(honey dew) memiliki kadar sukrosa maksimal dengan kadar sukrosa. Enzim diastase yang
15%. Berdasarkan hal tersebut, madu hutan disekresikan oleh lebah akan mengubah kadar
asal Provinsi Riau yang cenderung multiflora sukrosa (gula komplek) menjadi gula sederhana
(madu umum) telah masuk pada standar yang (reduksi) seperti glukosa dan fruktosa, sehingga
dikeluarkan oleh Swiss Bee Research Centre. kombinasi nilai sukrosa dan gula pereduksi sering
dijadikan dasar dalam menentukan keaslian
5. Gula pereduksi
madu. Namun, Kucuk et al. (2007) menyatakan
Selanjutnya, pada analisis kandungan gula bahwa rendahnya kandungan gula pereduksi
pereduksi menunjukkan bahwa tidak ada pada madu dimungkinkan terjadi jika madu yang
perbedaan yang nyata antara bioregion yang ada dipanen masih dalam keadaan belum matang (sel
di Provinsi Riau (Tabel 4) (p>0,05). Hal ini madu belum tertutup sempurna) sehingga proses
mengindikasikan bahwa perbedaan bioregion inversi oleh enzim amilase yang memecah gula
yang ada di Provinsi Riau tidak berpengaruh kompleks menjadi gula sederhana (reduksi) pada
nyata terhadap kandungan gula pereduksi madu madu belum sempurna. Menurut Sihombing
hutan di daerah tersebut. Kandungan gula (2005), suhu dapat mempengaruhi produksi
pereduksi merupakan salah satu parameter pada nektar tanaman sumber pakan, semakin tinggi
SNI 8664-2018 yang paling sering digunakan suhu lingkungan maka nektar yang dihasilkan
dalam menentukan keaslian madu (Maun, 1999). tanaman sumber pakan lebih sedikit, namun
Jenis-jenis gula pereduksi yang terdapat pada kandungan sukrosa pada nektar semakin
madu tidak hanya glukosa dan fruktosa, tetapi meningkat. Hal ini diduga menjadi penyebab
juga terdapat maltosa dan dekstrin (Ratnayani meningkatnya kandungan glukosa madu.
et al., 2008). Sihombing (2005) dan Wright et
al. (2018) menyatakan bahwa madu kaya akan 6. Padatan tak larut
karbohidrat sederhana karena lebah pekerja
Pada parameter padatan tak larut, hasil analisis
meminum nektar dan memuntahkannya kembali
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
sambil menambahkan enzim yang disebut enzim
nyata antara sampel madu yang diambil dari
invertase. Pada kondisi tersebut, sukrosa diubah
enam bioregion di Provinsi Riau (Tabel 4) (p<0,05).
seluruhnya menjadi gula sederhana (fruktosa dan
Hal ini menunjukkan bahwa nilai padatan tidak
glukosa) hingga mencapai 85−95% dari total
larut yang berasal dari sampel madu di seluruh
karbohidrat pada madu.
Provinsi Riau adalah sama, meskipun berasal dari
Jika dibandingkan dengan nilai pada SNI
bioregion yang berbeda. Padatan tak larut pada
8664-2018, kadar gula pereduksi menunjukkan
madu adalah senyawa organik dan anorganik yang
perbedaan yang nyata dan berada di bawah nilai
tidak larut oleh cairan madu, contohnya adalah
SNI 8664-2018, yaitu 65% (p>0,05). Nilai ini
potongan daun, bagian tubuh serangga dan
juga berbeda dengan studi yang dilakukan oleh
pasir. Zat organik tersebut tidak hanya merusak
Ashkani et al. (2014) yang menyatakan bahwa
tampilan madu, namun juga akan menjadi
madu hutan yang berasal dari Gilgit, Pakistan
pemicu turunnya kualitas madu (Sumoprastowo
memiliki nilai berkisar antara 68−75%. Sedangkan
& Suprapto, 1987).
menurut Qamer et al. (2013), kadar gula Lebih lanjut, hasil one-sample-t-test dengan
pereduksi madu di tiga hutan di Nepal berkisar menggunakan nilai SNI 8664-2018 menunjukkan
antara 73−77%. Lebih lanjut, Sukmawati et al. bahwa nilai padatan tak larut pada seluruh sampel
192
Karakteristik Madu Lebah Hutan (Apis dorsata Fabr.) dari Berbagai Bioregion di Riau
(Avry Pribadi & M. Enggar Wiratmoko)
madu berbeda nyata dan berada di bawah nilai menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
maksimal standar yang disyaratkan untuk jenis yang nyata antara enam bioregion yang ada di Riau
madu hutan, yaitu 0,5% (p>0,05). Menurut (p>0,05).
Purnomo et al. (2008), proses panen madu yang Beberapa faktor yang menyebabkan nilai
higienis dapat meningkatkan kualitas madu hutan kadar air madu hutan di Provinsi Riau tinggi
yang salah satu caranya adalah dengan hanya adalah kelembapan (Sarwono, 2007) dan tingkat
memotong sisiran sarang dan menggunakan kematangan madu (Nuryati, 2006). Madu yang
teknik ekstraksi yang tepat (sistem tiris dan peras). memiliki sifat higroskopis akan mudah menyerap
Teknik pemanenan dengan hanya memotong kandungan air yang berada di udara bebas. Jika
sisiran madu akan mengurangi tercampurnya kelembapan udara tinggi, maka kadar air madu
madu dengan bahan organik atau kotoran lain akan semakin tinggi pula. Bahkan menurut
seperti anakan lebah yang dapat meningkatkan Sarwono (2007), jika kelembapan sekitar berada
persentase padatan tak larut pada madu dan di kisaran 51%, maka kadar air madu mencapai
proses fermentasi madu. 16,1%, akan tetapi jika kelembapan udara
mencapai 81% maka kadar air madu dapat
7. Kadar air mencapai 33,4%. Lebih lanjut, Nuryati (2006)
Hasil analisis kandungan air menunjukkan menyatakan bahwa Indonesia memiliki angka
bahwa seluruh sampel madu hutan yang diperoleh kelembapan udara relatif tinggi, yaitu 80%. Madu
dari enam bioregion di Provinsi Riau tidak berbeda dengan kadar air 18,3% atau lebih kecil dari itu,
nyata (p<0,05). Tingginya kandungan air pada akan menyerap uap air dari udara pada kelembapan
madu dapat disebabkan oleh beberapa masalah, relatif di atas 60%, kadar air yang tinggi dapat
diantaranya adalah kondisi lingkungan yang mempercepat proses fermentasi madu. Tingkat
lembap ketika proses produksi madu. Hal ini kematangan madu juga mempengaruhi kadar
menunjukkan bahwa seluruh bioregion yang ada air madu hutan. Menurut Pribadi dan Purnomo
di Provinsi Riau diduga memiliki kelembapan (2013), madu yang matang adalah madu yang
yang sama atau dengan kata lain kadar air telah tertutup oleh lilin. Panen madu dari sisiran
madu hutan di seluruh bioregion di provinsi Riau madu yang telah tertutup lilin sedikitnya 80%
baik yang berasal dari daerah hulu (kawasan akan mengurangi tingkat kerentanan madu dari
hutan) dan daerah kepulauan adalah sama fermentasi. Hal ini disebabkan karena rendahnya
atau dengan kata lain perbedaan karakteristik kadar air pada madu tersebut. Bahkan menurut
bioregion tidak mempengaruhi kadar air madu Olaitan dan Adeleke (2007) dan Sihombing
hutan di Provinsi Riau. Lebih lanjut, hasil uji (2005), madu yang memiliki kadar air lebih dari
one-sample-t-test menunjukkan bahwa seluruh 20% akan sangat rentan terhadap fermentasi.
madu tidak memenuhi syarat karena lebih dari Tingginya kadar air madu hutan melebihi yang
yang dipersyaratkan oleh SNI 8664-2018, yaitu dipersyaratkan SNI 8664-2018, sering kali
sebesar maksimal 22% (p>0,05). Kadar air yang menjadi permasalahan bagi madu hutan. Berbeda
ditetapkan oleh SNI 8664-2018 sebenarnya tidak dengan madu ternak A. mellifera dan A. cerana
berbeda dengan hasil studi yang dilakukan oleh yang berada pada kondisi terkontrol, madu hutan
Ashkani et al. (2014) yang menunjukkan bahwa sangat dipengaruhi oleh kelembapan udara karena
kadar air madu hutan asal Pakistan berkisar posisi sarang yang berada pada dahan pohon dan
antara 22−26%. Qamer et al. (2013) menyebutkan bersentuhan langsung dengan udara bebas.
bahwa kadar air madu hutan dari empat hutan Tingginya kadar air merupakan permasalahan
di Nepal bervariasi antara 22−24%. Kadar air utama madu hutan. Analisis kadar air pada tahun
merupakan salah satu parameter utama dalam 2007 juga menunjukkan bahwa kadar air madu
penentuan kualitas madu. Bahkan, berdasarkan hutan di Provinsi Riau memiliki nilai 24,1%
batasan yang dikeluarkan oleh Codex (2011) yang (Purnomo et al., 2008). Salah satu upaya yang telah
juga mencantumkan parameter kadar air sebagai sejak lama digunakan untuk mengurangi kadar air
salah satu persyaratan madu dunia, disebutkan adalah melalui pemanasan. Pemanasan memiliki
bahwa kadar air madu tidak boleh dari 19,6%. pengaruh yang signifikan terhadap berkurangnya
Lebih lanjut, hasil analisis kadar air madu hutan kadar air. Madu yang dipanasi pada temperatur
193
Penelitian Hasil Hutan Vol. 37 No. 3, November 2019: 185-200
60−80ºC akan menghasilkan kadar air masing- C. Karakteristik Madu Hutan Berdasar
masing sebesar 17,98−16,4% sementara lama Analisa Palynology
waktu pemanasan tidak berpengaruh terhadap
kadar air yang dihasilkan (Singh & Singh, 2018). Analisis palynology merupakan analisis
Pemanasan tidak hanya mengurangi kadar air polen yang terdapat pada madu. Menurut Ohe
tetapi juga mematikan mikroba yang dapat et al. (2004), pada sel madu juga sebenarnya
menyebabkan fermentasi. Namun, pemanasan terkandung polen dan embun madu yang dapat
yang terlalu tinggi dapat menurunkan kualitas mengandung algae dan spora jamur. Kedua
madu. Studi yang dilakukan oleh Darmawan kombinasi ini terutama polen merupakan kunci
dan Agustarini (2006) menunjukkan bahwa yang dapat digunakan sebagai tanda pengenal
pemanasan pada temperatur di atas 40ºC dapat dan asal usul madu. Analisis melissapalynology
menyebabkan penurunan aktivitas enzim merupakan pengujian tentang asal usul madu
diastase. Kerusakan madu akibat pemanasan yang lebih akurat dibandingkan uji fitokimia yang
juga dapat diindikasikan melalui meningkatnya membutuhkan data pembanding yang berasal dari
nilai HMF yang muncul dari reaksi antara gula berbagai tumbuhan yang terdapat pada vegetasi
(fructose) yang mengalami pemanasan atau tersebut. Selain itu, menurut Russmann (1998),
asam (Singh & Singh, 2018). Jika dibandingkan analisis polen pada madu juga dapat memberikan
dengan metode pemanasan, penurunan kadar informasi mengenai tingkat fermentasi madu,
air madu hutan dapat menggunakan model yang teknik ekstraksi dan penyaringan madu yang
diperkenalkan Darmawan dan Agustarini (2006). digunakan, serta senyawa yang mengkontaminasi
Pada metode ini, kombinasi penggunaan ruangan madu seperti abu (Louveaux et al., 1978).
kedap udara, pengatur suhu (AC) yang diatur Berdasarkan analisis palynology, diperoleh
pada temperatur 25ºC, dan alat dehumidifier 40%, informasi bahwa terdapat sembilan tipe polen
mampu menurunkan kadar air 0,82% per hari. pada sampel madu yang berasal dari enam bioregion
194
Karakteristik Madu Lebah Hutan (Apis dorsata Fabr.) dari Berbagai Bioregion di Riau
(Avry Pribadi & M. Enggar Wiratmoko)
di Riau (Tabel 5 & 6). Hasil ini dapat digunakan ukuran yang relatif besar dan terdapat jarum
sebagai salah satu tanda pengenal asal usul atau duri pada bagian permukaannya yang dapat
madu. Sebagai contoh, madu yang berasal dari menyulitkan lebah untuk mengemasnya di
Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Meranti kantung polen mereka.
yang memiliki bioregion hutan pesisir memiliki Polen merupakan sumber protein bagi koloni
karakteristik polen yang didominasi tipe prolate lebah yang dikonsumsi dalam bentuk asam
spheroidal (91,46%) dengan didominasi ukuran amino. Selama hidupnya lebah paling sedikit
minute (10−25 µm) (97,56%). Hal ini berbeda harus mengkonsumsi sepuluh jenis asam amino
dengan madu hutan yang berasal dari kawasan (essensial), yaitu threonine, valine, methionine,
bioregion hutan mineral (Kabupaten Kampar isoleucine, leucine, phenylalanine, histidine, lysine,
dan Kabupaten Rokan Hulu) yang memiliki arginine, dan tryptophan sedangkan jenis asam
karakterisitik tipe polen yang didominasi tipe amino lain seperti glycine, proline, dan serine
prolate spheroidal (36,04−38,20%), dan tipe oblate meskipun bukan termasuk asam amino essensial
spheroidal (32,51% dan 55,06%) dengan ukuran tetapi berguna untuk menstimulasi pertumbuhan
minute dan mediae (25−50 µm). (de Groot, 1953; Somerville, 2005)). Lebih lanjut,
Selain itu, untuk bioregion yang memiliki produktivitas madu pada koloni lebah A. mellifera
kecenderungan homogen (hutan tanaman dan yang dipasangi pollen trap mengalami penurunan
perkebunan) menunjukkan adanya perbedaan sebesar 5,89 kg per koloni per 3 minggu. Hal ini
tipe dan ukuran polennya. Untuk karakteristik menunjukkan bahwa pollen memiliki peranan
pollen yang berasal dari bioregion yang didominasi penting bagi kesehatan lebah.
oleh tegakan hutan tanaman (A. mangium, A.
crassicarpa, dan Eucalyptus sp.) yang diwakili oleh IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Kabupaten Siak menunjukkan bahwa tipe polen
prolate spheroidal (64,61%) (Tabel 12) dengan A. Kesimpulan
kelompok mediae (66%) (Tabel 13) mendominasi 1. Berdasarkan uji organoleptik, seluruh madu
kelompok dan ukuran polen. Hal ini berbeda hutan yang berasal dari enam bioregion di
dengan bioregion perkebunan kelapa sawit dan Provinsi Riau memiliki karakter madu sesuai
karet yang menunjukkan bahwa polen didominasi SNI 8664-2018.
oleh tipe sub olate (59,88%) dengan ukuran minute 2. Berdasarkan SNI 8664-2018, karakteristik
(73,48%). madu hutan yang berasal dari enam bioregion di
Lebah madu tidak mengambil seluruh polen Provinsi Riau memiliki nilai yang tidak berbeda
dengan tingkat efektivitas yang sama. Lebah madu nyata kecuali parameter enzim diastase pada
memiliki kecenderungan untuk tidak mengambil madu hutan di Kabupaten Pelalawan yang
polen dalam ukuran besar dan memiliki rambut mewakili bioregion hutan rawa gambut yang
seperti jarum atau duri pada bagian permukaannya. memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan
Oleh sebab itu, aktivitas pengumpulan polen bioregion lainnya.
oleh lebah madu tergantung pada kemampuan 3. Madu hutan yang berasal dari beberapa bioregion
lebah pekerja dalam mengambil polen. Untuk di Provinsi Riau menunjukkan ketidaksesuaian
ukuran polen yang besar, akan di-repacking atau pada parameter gula pereduksi dan kadar
dikompres sehingga dapat menjadi ukuran yang air dengan standar yang berlaku pada SNI
dapat dibawa oleh lebah (Vaissière & Vinson, 8664-2018, sedangkan parameter lainnya
1994). Studi yang dilakukan oleh Percival (1947) menunjukkan kesesuaian dengan standar SNI
yang mengungkapkan bahwa lebah A. mellifera 8664-2018.
yang ditempatkan pada perkebunan kapas dengan 4. Berdasarkan tipe dan ukuran polen, masing-
radius 400 m, akan lebih memilih mengumpulkan masing bioregion memiliki perbedaan karakter
nectar pada tanaman kapas meskipun tanaman tipe dan polen.
kapas tersebut juga menghasilkan banyak
pollen. Hal ini disebabkan polen kapas memiliki
195
Penelitian Hasil Hutan Vol. 37 No. 3, November 2019: 185-200
196
Karakteristik Madu Lebah Hutan (Apis dorsata Fabr.) dari Berbagai Bioregion di Riau
(Avry Pribadi & M. Enggar Wiratmoko)
Erdtman, G. (1952). Pollen morphology and plant Louveaux, J., Maurizio, A., & Vorwohl, G. (1978).
taxonomy-angiosperms: An introduction to the Methods of melissopalynology. Bee World,
study pollen grains and spores. Munksgard, 59, 139–157.
Copenhagen: BRILL. Marchese, C. M., & Flottum, K. (2013). The honey
Gulfraz, M., Ifftikhar, F., Asif, S., Raja, G. K., connoisseur : selecting, tasting, and pairing honey,
Javaid, M., Imran, M., & Zeenat, A. (2010). with a guide to more than 30 varietals. New
Quality assessment and antimicrobial York: Black Dog & Leventhal Publishers.
activity of various honey types of Pakistan. Maun, S. (1999). Pemalsuan madu dengan
African Journal of Biotechnology, 9(41), c–6906. sakarosa. Jurnal Kedokteran Trisakti, 18(1),
doi: 10.5897/AJB10.003. 9–19.
Hadisoesilo, S., & Kuntadi. (2014). Faktor Nuryati, S. (2006). Status dan potensi pasar madu
penyebab kegagalan panen madu hutan organik nasional dan internasional. Laporan
di Taman Nasional Danau Sentarum pada Penelitian. Aliansi Organik Indonesia,
Musim Panen tahun 2009-2012: Jaringan Bogor.
Madu Hutan Indonesia. Jurnal Penelitian
Hutan dan Konservasi Alam, 11(2), 171–182. Ohe, W. V. D., Oddo, L. P., Piana, M. L., Morlot,
M., & Martin, P. (2004). Harmonized
Harborne, J. B. (1984). Phytochemical methods. A methods of melissopalynology. Apidologie,
guide to modern techniques of plant analysis (2nd 35, 18–25.
Edition). New York: Chapman and Hall
Ltd. Olaitan, P. B., & Adeleke, O. E. (2007). Honey:
a reservoir for microorganisms and an
Harder, L. D. (1986). Effects of nectar inhibitory. African Health Sciences, 7(3), 159–
concentration and flower depth on flower 165.
handling efficiency of bumble bees.
Oecologia, 69, 309–315. Oliveira, R. De, Ribeiro, R., Carneiro, S., Mársico,
E. T., Cunha, F. L., Adam, C., and Mano, S. B.
Julmansyah. (2010). Madu hutan menekan (2012). Influence of the time/temperature
deforestasi. Jaringan Madu Hutan Sumbawa, binomial on the hydroxymethylfurfural
Sumbawa. Diunduh dari http://labbadas. content of floral honeys subjected to heat.
sumbawakab.do.id/. pada 2 Maret 2018. Ciência e Agrotecnologia, 36(2), 204–209. doi:
Kamal, A., Saeeda, R., Nouman, N., Tabassum, 10.1590/S1413-70542012000200009.
N., Musarrat, G., Qurehi, M., & Nasim, Percival, M. (1947). Pollen collection by Apis
K. (2002). Comparative study of honey mellifera. New Phytology, 46, 142–165.
collected from different flora of Pakistan.
Journal of Biological Sciences, 2(9), 626–627. Pribadi, A., & Purnomo. (2013). Bee management
doi: 10.3923/jbs.2002.626.627. and productivity of two local honeybees
(Apis dorsata Fabr. and Apis cerana Fabr.)
Kucuk, M., Kolaylh, S., Karaoglu, S., Ulusoy, E., in Riau Province. Dalam The Second
Baltaci, C., & Candan, F. (2007). Biological International Conference of Indonesia Forestry
activities and chemical composition of Researchers: Celebrating a 100-year Forestry
three honeys of different types from Research in Indonesia: Forestry Research for
Anatolia. Food Chemistry, 100(2), 526–534. Sustainable Forest Management and Community
Lachman, J., HeJtmánkoVá, L., Sýkora, J., Karban, Welfare.
J., Orsák, M., & Rygero Vá, B. (2010).
Contents of major phenolic and flavonoid
antioxidants in selected czech honey. Czech
Journal of Food Science, 28(5), 412–426.
197
Penelitian Hasil Hutan Vol. 37 No. 3, November 2019: 185-200
Purnamasari, N., Aprilia, H., & Sukanta. (2015). Shapla, U. M., Alam, N., Khalil, I., & Gan, S. H.
Pembandingan parameter fisikokimia (2018). 5 ‑ Hydroxymethylfurfural (HMF)
madu pahit (aktivitas enzim diastase, levels in honey and other food products :
gula pereduksi (glukosa), keasaman, dan Effects on bees and human health. Chemistry
cemaran abu dan arsen) dengan madu Central Journal, 12(35), 1–18. doi: 10.1186/
manis murni. Prosiding Penelitian SPeSIA, s13065-018-0408-3.
46–50. Sihombing, D. T. H. (2005). Ilmu ternak lebah
Purnomo, Aprianis, Y., Junaedi, A., Rochmayanto, madu. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Y., Winarsih, A., & Suhendar. (2008). Press.
Standarisasi dan diversifikasi produk lebah Singh, I., & Singh, S. (2018). Honey moisture
madu hutan (Apis dorsata F.). Laporan Hasil reduction and its quality. Journal of Food
Penelitian. Kuok. Science and Technology, 55(10), 3861–3871.
Qamer, S., Ahamed, F., Ali, S. S., & Shakoori, doi: 10.1007/s13197-018-3341-5.
A. R. (2013). Effect of storage on various Smith, F. G. (1965). The sucrose content of
honey quality parameters of Apis dorsata western Australian honey. Journal of
honey from Nepal. Pakistan J. Zool., 45(3), Apicultural Research, 4(3),177–184. doi:
741–747. 10.1080/0021883 9.1965.11100120
Qamer, S., Ahmad, F., Latif, F., Ali, S. S., & Standar Nasional Indonesia (SNI). (2018). Madu
Shakoori, A. R. (2008). Physicochemical (SNI 8664-2018). Badan Standarisasi
analysis of Apis dorsata honey from Nasional, Jakarta.
terai forests, Nepal. Pakistan Journal of
Zoology. 40(1), 53–58. Somerville, D. (2005). Fat bees skinny bees:
A manual on honey bee nutrition for
Ratnayani, K., Adhi, D.S.N.M.A., & Gitadewi, beekeepers. Australian Government Rural
I.G.A.M.A.S. (2008). Penentuan kadar Industries Research and Development Corporation,
glukosa dan fruktosa pada madu randu (05), 1–142. Diunduh dari http://library.
dan madu kelengkeng dengan metode wur.nl/WebQuery/clc/1766764 pada 13
kromatografi cair kinerja tinggi. Jurnal February 2019.
Kimia, 2(2), 77–86.
Stephens, J. M., Schlothauer, R. C., Morris, B.
Robinson, T. (1991). The organic constituen of D., Yang, D., Fearnley, L., & Greenwood,
higher plants. (6th eds). Departement of D. R. (2010). Phenolic compounds and
Biochemistry, University of Massachusetts, methylglyoxal in some New Zealand
Massachusetts. manuka and kanuka honeys. Food
Russmann, H. (1998). Hefen und glycerin Chemistry, 120, 78–86. doi: 10.1016/j.
in blütenhonigen– Nachweis einer foodchem.2009.09.074.
gärung oder einerabgestoppten gärung. Sudarmalik, Rochmayanto, Y., & Purnomo.
Lebensmittelchemie, 52, 116–117. (2006). Peranan beberapa hasil hutan
Sanford, M. (2003). Honey judging and standards. bukan kayu (HHBK) di Riau dan Sumatera
Diunduh dari http://entnemdept.ufl.edu/ Barat. In Prosiding Seminar Hasil Litbang
honeybee/extension/AA24800 Honey Hasil Hutan (pp. 199–219). Loka litbang
Judging and Standards.pdf. pada 13 Januari hasil hutan bukan kayu, Kuok, Riau
2019. Sukmawati, Noor, A., & Firdaus. (2015). Analisis
Sarwono, B. (2007). Lebah madu. Jakarta: kualitas madu mallawa berdasarkan
AgroMedia Pustaka. parameter fisika kimia. Indonesia Journal of
Chemistry Research, 3, 259–262.
198
Karakteristik Madu Lebah Hutan (Apis dorsata Fabr.) dari Berbagai Bioregion di Riau
(Avry Pribadi & M. Enggar Wiratmoko)
Sumoprastowo, R. M., & Suprapto, R. (1987). Vaissière, B. E., & Vinson, S. B. (1994). Pollen
Beternak madu lebah modern. Jakarta: Bhatara morphology and its effect on pollenl
Karya Aksara. collection by honey bees, Apis mellifera
Suranto, A. (2004). Khasiat dan manfaat madu herbal. L. (Hymenoptera: Apidae), with special
Tangerang: AgroMedia Pustaka. reference to pollen morphology and
its effect on pollen collection by honey
Swiss Bee Research Centre. (2011). Honey bees, Apis mellifera L. (Hymenoptera:
quality, methods of analysis and international Apidae). Grana, 33, 128–138. doi:
regulatory standards: Review of the Work of the 10.1080/00173139409428989.
International Honey Commision. Bern: Federal
Dairy Research Institute. Wagiyono. (2003). Menguji kesukaan secara
organoleptik. Diunduh dari http://psbtik.
Thayer Jr., R. L. (2003). Life place, bioregional thought smkn1cms.net/pertanian/agroindustri/
and practice. California: Berkeley: Universitas agroindustri_non_pangan/menguji_
of California Press. kesukaan_secara_organoleptik.pdf. pada
Tuberoso, C. I., Bifulco, E., Jerkovic, I., Caboni, 20 Januari 2019.
P., Cabras, P., & Floris, I. (2009). Methyl Wright, G. A., Nicolson, S. W., & Shafir, S.
syringate: A chemical marker of asphodel (2018). Nutritional physiology and ecology
(Asphodelus microcarpus Salzm. et Viv.) of honey bees. Annual Review of Entomology,
monofloral honey. Journal Agriculture Food 63(1), 327–344. doi: 10.1146/annurev-
Chemistry, 57, 3895−3900. ento-020117-043423.
199