You are on page 1of 14

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN KORBAN DITINJAU DARI

PRESPEKTIF LPSK

Rike Erin Sherina, Dewi Alyanissa, Yeni Widowaty


Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Jl. Brawijaya, Geblagan, Tamantirto, Kec. Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah
Istimewa Yogyakarta 5518, Indonesia

rike.erin.law20@mail.umy.ac.id dewi.alyanissa.law20@mail.umy.ac.id yeniwidowaty@umy.ac.id

ABSTRACT

Law No. 31 of 2014 concerning the Protection of Witnesses and Victims was formed to provide a sense of
security for every witness and/or victim in giving information in every criminal justice process. Writing
about "Witness and Victim Legal Protection by the Witness and Victim Protection Agency" aims to
provide a clearer explanation of the mechanism and performance of the LPSK in carrying out its duties
and authorities. Protection in Law no. 31 of 2014 is interpreted as all efforts to fulfill rights and provide
assistance to provide a sense of security to witnesses and/or victims that must be carried out by the LPSK
or other institutions in accordance with the provisions of this Law. The mechanism for providing
protection to witnesses and victims is regulated in articles 28-32 of Law no. 31 of 2014 which includes
various procedures and requirements that must be met by witnesses and/or victims to be able to obtain
protection from the LPSK which are sometimes difficult for these witnesses and/or victims to do. LPSK's
performance in carrying out its duties is also seen as less effective. The weakness of the Law on the
Protection of Witnesses and Victims is that witnesses and/or victims must submit an application to the
LPSK so that they can get protection from the LPSK, besides that they also have to meet the requirements
set by the LPSK. lack of information for the community, resulting in the lack of public knowledge of the
existence of this LPSK even though the Law on Witness and Victim Protection has been promulgated.

Keywords: Protection, Witnesses, Victims.

ABSTRAK

Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dibentuk untuk
memberikan rasa aman terhadap setiap saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap
proses peradilan pidana. Penulisan tentang “Perlindungan Hukum Saksi dan Korban Oleh Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban” ini bertujuan untuk memberikan penjelasan secara lebih jelas tentang
mekanisme dan kinerja LPSK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Perlindungan dalam UU No.
31 Tahun 2014 diartikan sebagai segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk
memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga
lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Mekanisme pemberian perlindungan terhadap saksi
dan korban diatur dalam pasal 28-32 UU No. 31 Tahun 2014 yang mencakup berbagai prosedur dan
persayaratan yang harus dipenuhi oleh saksi dan/atau korban untuk bisa mendapatkan perlindungan dari
LPSK yang terkadang sulit dilakukan oleh saksi dan/atau korban tersebut. Kinerja LPSK dalam
menjalankan tugasnya pun dipandang kurang efektif. Kelemahan Undang-undang Perlindungan Saksi
dan Korban yaitu, saksi dan/atau korban haruslah mengajukan permohonan kepada LPSK agar mereka
bisa mendapatkan perlindungan dari LPSK, disamping mereka juga harus memenuhi persyaratan yang
telah ditentukan oleh LPSK. kurangnya informasi bagi masyarakat, sehingga minimnya pengetahuan
masyarakat akan kehadiran LPSK ini walaupun telah diundangkannya UU Perlindungan Saksi dan
Korban.

Kata kunci: Perlindungan, Saksi, Korban.

1. Pendahuluan

Negara Indonesia sebagai negara hukum perlu memahami dengan keadaan dunia yang telah mulai
banyak memperhatikan Hak Asasi Manusia, sehingga di era reformasi sebuah agenda besar tersebut
menuntut adanya perubahan sebuah tata kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Salah satu dari
perubahan tersebut yang menonjol adalah mengenai perlindungan hak-hak warga negara yang
berkaitan dengan Hak Asasi Manusia itu sendiri. Dalam perlindungan Hak Asasi Manusia telah
banyak perlindungan yang telah dengan jelas dan tegas diatur dalam sebuah peraturan perundang-
undangan seperti yang telah diatur dalam undangundang perlindungan anak, perlindungan
perempuan, kekerasan dalam rumah tangga dan lain sebagainya yang selanjutnya baru kemudian
perlindungan saksi hampir terlupakan dalam agenda reformasi. Perlindungan hukum merupakan suatu
bentuk pelayanan yang wajib diberikan oleh pemerintah untuk memberikan rasa aman kepada setiap
warga masyarakat. Berdasarkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
bahwa Negara bertanggung jawab atas perlindungan Hak Asasi Manusia merupakan suatu hal yang
sangat penting, seperti diuraikan dalam Pasal 28I ayat (4) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi : “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak
asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah". Perlindungan bagi warga negara
terhadap tindakan pemerintah. Menurut Phipus M. Hadjon, perlindungan hukum itu ada dua yaitu :
“Perlindungan hukum preventif dan represif. Pada perlindungan hukum preventif diberikan
kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapat sebelum suatu keputusan
pemerintah mendapat bentuk yang definitive. Artinya perlindungan hukum yang preventif bertujuan
untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum preventif sangat
signifikan bagi tindak pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak, karena dengan adanya
perlindungan hukum yang preventif Pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil
keputusan yang didasarkan pada diskresi”. (Phipus, Hadjon; 1987 : 2).
Hukum pidana adalah hukum sanksi, sebab dengan bertumpu pada sanksi itulah hukum pidana
difungsikan untuk menjamin keamanan, ketertiban, dan keadilan, akan tetapi dalam penyelesaian
perkara pidana, sering kali hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sementara
hak-hak korban diabaikan. Fungsi dari Hukum Pidana berkaitan dengan fungsi hukum pada umumnya
merupakan bagian dari hukum pada umumnya yaitu untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau
menyelenggarakan tata tertib dalam masyarakat, yang bertujuan untuk menegakkan tertib hukum,
melindungi masyarakat hukum manusia serta memberikan rasa takut untuk melakukan perbuatan
pidana dan mendidik orang yang melakukan perbuatan pidana supaya sadar sehingga menjadi orang
yang lebih baik lagi. (Sudikno, Mertokusumo; 1993 : 145). Lingkup perlindungan oleh LPSK adalah
pada semua tahap proses peradilan pidana, agar saksi dan/atau korban merasa aman ketika
memberikan keterangan atau kesaksian. Peranan saksi dan korban dalam setiap persidangan perkara
pidana sangat penting karena kerap keterangan saksi dan korban dapat mempengaruhi dan
menentukan kecendrungan putusan hakim. Jantungnya suatu proses peradilan adalah dalam tahap
pembuktian. Dalam tahap pembuktian di persidangan akan di hadapkan dengan berbagai alat bukti
yang dihadirkan sesuai dengan keterkaitan dengan tindak pidana yang sedang di gelar. Salah satu alat
bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi dan/atau korban yang
mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan
menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Dalam proses
pengungkapan suatu proses pidana mulai dari tahap penyidikan sampai dengan tahap pembuktian
persidangan keberadaan keberadaan dan peran sanksi sangatlah di harapkan. Bahkan menjadi faktor
penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan kasus pidana yang dimaksud. Pentingnya
perlindungan hukum terhadap setiap anggota masyarakat yang menjadi salah satu alasan dibuat
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam Undang-
undang ini, diatur pula tentang sebuah lembaga yang bertanggung jawab untuk menangani pemberian
perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada saksi dan
korban. Kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana menempati posisikunci, sebagaimana terlihat
dalam Pasal 184 Kitab Undang-undangHukum Acara Pidana. Jadi jelas bahwa saksi mempunyai
kontribusi yang sangatbesar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan. Berhubungan dengan hal
tersebut, saksi merupakan salah satu faktor penting dalam pembuktian atau pengungkapan fakta yang
akandijadikan acuan dalam menemukan bukti-bukti lain untuk menguatkansebuah penyelidikan,
penyidikan, dan bahkan pembuktian di pengadilan. (Sudikno, Mertokusumo; 1993 : 145) Persoalan
yang kadang dijumpai dalam proses peradilan pidana adalah banyaknya saksi yang tidak bersedia
menjadi saksi ataupun tidak berani mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya karena tidak adanya
jaminan yang memadai atas perlindungan maupun mekanisme tertentu untuk bersaksi. Saksi termasuk
pelapor bahkan sering mengalami intimidasi ataupun tuntutan hukum atas kesaksian atau laporan
yang diberikannya. Dalam kenyataannya tugas dan kewenangan LPSK dalam Undang - undang
Perlindungan Saksi dan Korban tidak diatur secara spesifik. Undang - undang Perlindungan Saksi dan
Korban hanya mengatur mengenai tanggung jawab LPSK, keanggotaan dan proses seleksi LPSK, dan
pengambilan keputusan dan pendanaan namun tidak mengatur secara spesifik mengenai organisasi
dan dukungan kelembagaan, administrasi, SDM, pengawasan, serta tranparansi dan akuntabilitas dari
LPSK.

Berdasarkan uraian diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah
mekanisme pemberianperlindungan hukum terhadap korban oleh LPSK. Serta bagaimanakah
Perlindungan korban tindak pidana kesusilaan dalam hukum pidana Indonesia dalam perspektif
viktimologi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa mekanisme pemberianperlindungan
hukum terhadap korban oleh LPSK. Serta mengkaji lebih dalam bagaimanakah Perlindungan korban
tindak pidana kesusilaan dalam hukum pidana Indonesia dalam perspektif viktimologi.

2. Metode Penelitian
Jenis metode penelitian yang digunakan adalah merupakan penelitian hukum empiris normatif
atau penelitian hukum sosiologis normatif atau penelitian hukum indoktriner normative yaitu
Penelitian ini didasarkan pada fakta-fakta yang terjadi di dalam LPSK atau lingkungan
terkait dengan bagaimana pelaksanaan kebijakan perlindungan hukum terhadap saksi dan
korban dalam prosese peradilan pidana di Indonesia, bagaimana cara mendapatkan
perlindungan saksi dan korban, serta apa yang menjadi kendala LPSK dalam memberikan
perlindungan hukum terhadap saksi dan korban. untuk mencari dan menemukan konsis-tensi
dan kesesuaian antara rumusan Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlin-dungan Saksi
dan Korban dengan kenyataan dalam implementasinya (penerapannya).

Bahan hukum primer yang digunakan untuk menganalisis rumusan masalah adalah: Ketua dan
anggota/pengurus Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban baik yang berada di pusat ataupun yang
berada di daerah. Dan bahan hukum skunder yang digunakan untuk menganalisis rumusan masalah
adalah: data hukum dari norma (dasar) atau kaidah dasar, peraturan perundang-undangan, bahan
hukum yang tidak dikodifikasi, dan yurisprudensi. Teknik analisi bahan hukum yang digunakan
adalah dekskriptif kualitatif. Seluruh bahan hukum yang telahdikumpulkan, selanjutnya
diinventarisasi, diklasifikasi dan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif untuk
menguraikan masalah hukumnya sehingga menghasilkan solusi yang tepat.
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
3.1. Mekanisme Pemberian Perlindungan Hukum Terhadap Korban Oleh LPSK.

Perlindungan terhadap saksi dan korban diberikan berdasarkan beberapa asas seperti yang
tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yaitu: penghargaan atas harkat dan
martabat, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif, dan kepastian hukum. Sebelum saksi dan korban
bisa mendapatkan perlindungan hukum dari LPSK, mereka harus melewati beberapa prosedur yang
telah ditetapkan oleh LPSK disamping mereka harus memenuhi persyaratan untuk mendapat
perlindungan dari LPSK ini seperti yang telah dijelaskan dalam pasal 28 pasal 36 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2014. Adapun beberapa persyaratan yang telah di tentukan oleh LPSK untuk
pemberian perlindungan dan bantuan terhadap saksi dan korban tercantum dalam Pasal 28 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2014 yang berbunyi: Perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau
Korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan
mempertimbangkan syarat sebagai berikut:

a) Sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban;


b) Tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban;
c) Basil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban;
d) Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban.

Pasal 28 ini memberikan penjelasan bahwa setiap saksi dan/atau korban bisa menerima
perlindungan hukum dari LPSK jika memenuhi syarat-syarat di atas, yaitu setiap keterangan yang
diberikan oleh Saksi dan/atau Korban dalam suatu sidang di pengadilan haruslah bersifat penting.
Selain itu juga adanya ancaman dari luar yang mungkin membahayakan nyawa para saksi dan/atau
korban serta membahayakan keluarganya. Tata Cara pemberian Perlindungan terhadap saksi dan
korban dipaparkan dalam pasal 29 UU No. 31 Tahun 2014 yang berbunyi: Tata cara memperoleh
perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebagai berikut:

a) sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban;


b) tingkat Ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban;
c) hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban; dan
d) rekam jejak tindak pidana yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban.

`Dari ketentuan Pasal 29 ini ada pengaturan mengenai apakah permohonan itu secara tertulis atau
permohonan perlindungan seharusnya bukan cuma dari pihak saksi/korban dan pejabat yang
berwenang tetapi juga oleh keluarga saksi dan korban yang bersangkutan dan pendamping saksi dan
korban. Pengajuan seharusnya dapat dilakukan oleh orang tua atau walinya terhadap korban atau saksi
masih dibawah umur atau anak-anak. LPSK membuat Peraturan LPSK Nomor 6 Tahun 2010 yang
secara khusus mengatur mengenai tata cara mengajukan permohonan. Dalam Pasal 9 menyebutkan
bahwa:

(1) Pemohon perlindungan yang ditujukan kepada ketua LPSK melalui surat atau permintaan
pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b, ketua LPSK
meneruskan permohonan kepada UP2 LPSK untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
kelengkapan persyaratan sesuai dalam ketentuan peraturan ini.
(2) Dalam hal untuk memperoleh pemenuhan kelengkapan berkas permohonan perlindungan, UP2
LPSK dapat berkoordinasi kepada pejebat berwewenang atau yang mengajukan permohonan.
(3) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan pasal 7, UP2 LPSK dapat
meminta data atau informasi tambahan yang berkaitan perkaranya antara lain:
a) Hasil Berita Acara Pemeriksaan (BAP);
b) Sifat pentingnya kesaksian dalam perkara;
c) Surat panggilan kepolisian atau Kejaksaan atau Pengadilan;
d) Surat laporan atau informasi kepada pejabat terkait: kepolisian, Komisi Negara,
pemerintah, pemerintah Daerah, yang berkaitan atas kesaksiannya sebagai pelapor;
e) Surat dari instansi terkait mengenai kasusnya.

Permohonan yang telah diterima akan dilanjutkan kepada UP2 oleh ketua LPSK. UP2 (Unit
Penerimaan Permohonan) adalah Unit yang bertugas untuk memberikan pelayanan penerimaan
permohonan perlindungan bagi saksi dan korban yang terkait pelaksanaan fungsi dan tugas Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban. Sedangkan mengenai keputusan LPSK perihal diterima ataupun
ditolaknya suatu permohonan perlindungan yang berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan
disampaikan paling lambat 7 hari sejak permohonan perlindungan tersebut diajukan. Selanjutnya
dalam pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 menyebutkan bahwa : “Dalam hal
LPSK menerima permohonan Saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Saksi
dan/atau Korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan
yang harus ditandatangani oleh saksi dan/atau korban diatur dalam pasal 30 ayat (2) yang berisi:
Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memuat:

a) kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan;
b) kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya;
c) kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan dengan cara apa pun dengan orang
lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK;
d) kewajiban Saksi dan/atau Korban untuk tidak memberitahukan kepada siapa pun mengenai
keberadaannya di bawah perlindungan LPSK; dan
e) hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK..

Proses pengajuan permohonan hingga disetujuinya permohonan tersebut sering kali


membingungkan para saksi dan korban, karena mereka harus melewati proses yang tidak pendek
untuk mendapat perlindungan dari LPSK ini. Hal inilah yang sering menjadi penyebab saksi dan atau
korban merasa enggan untuk meminta perlindungan dari LPSK dan memilih untuk diam. Para saksi
dan korban merasa kurang mengerti akan prosedur-prosedur yang ditetapkan oleh LPSK. Apalagi bagi
para saksi dan korban yang tidak begitu mengerti akan hukum. Karena itulah pemdampingan akan
seorang advokat akan sangatlah membantu para saksi dan korban ini. Dengan berada dibawah
perlindungan LPSK, saksi dan/atau korban ini tidaklah secara sepenuhnya merasa aman, karena
banyaknya persoalan yang kian datang sesuai dengan berjalannya suatu persidangan. Dalam realita
social penegak hukum tidak mau mendengar, melihat, atau merasakan bahwa saksi yang dipanggil
oleh penegak hukum, apakah dirinya merasa aman atau nyaman, termasuk anggota keluarganya.
Apalagi dalam setiap tahap pemeriksaan mulai dari tingkat penyidikan sampai pemeriksaan di
pengadilan yang bertele-tele memakan waktu cukup lama. Kadang-kadang perkara yang telah
berlangsung cukup lama, sehingga secara manusiawi saksi atau korban lupa akan peristiwa itu, tetapi
di depan sidang pengadilan harus dituntut kebenaran kesaksiannya. Dalam fase yang seperti inilah
campur tangan LPSK sangat diperlukan. Karena kehadiran LPSK diharapkan dapat memberikan rasa
nyaman dan aman bagi saksi atau korban agar dapat memberikan kesaksiannya di depan persidangan
dan proses persidangan pun dapat berjalan tanpa bertele-tele.

3.2. Perlindungan Korban Tindak Pidana Kesusilaan dalam Hukum Pidana Indonesia dalam
Perspektif Viktimologi.

Dalam pengaturan Hukum Pidana Indonesia dilihat dari sudut pandang viktimologi, hanya sedikit
yang mengatur tentang perlindungan korban seperti yang dinyatakan oleh Ira Dwiati, bahwa : Dalam
pengaturan hukum Indonesia, korban selalu menjadi pihak yang paling dirugikan. Bagaimana tidak, selain
korban telah menderita kerugian akibat kejahatan yang telah menimpa dirinya, baik secara materil, fisik
maupun psikologis, korban juga harus menanggung derita ganda karena tanpa disadari sering
diperlakukan hanya sebagai sarana demi terwujudnya sebuah kepastian hukum, misalnya harus kembali
mengemukakan, mengingat dan bahkan harus mengulangi atau merekonstruksi kejahatan yang pernah
menimpanya pada saat sedang menjalani proses pemeriksaan, baik ditingkat penyidikan maupun setelah
kasusnya diperiksa di pengadilan.

Dari pernyataan tersebut tegas dinyatakan bahwa korban menderita kerugian karena tidak mendapat
perlakuan yang baik. Korban hanya dipergunakan sebagai sarana untuk memberi kesaksian dan sebagai
penguat tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Ide dasar perlindungan korban tindak pidana kesusilaan
berdasarkan perspektif viktimologis adalah selain mengalami penderitaan secara fisik, korban juga
mengalami penderitaan secara psikis yang membutuhkan waktu lama untuk memulihkannya. Mengingat
penderitaan yang dialami korban tindak pidana kesusilaan tidak ringan dan membutuhkan waktu yang
tidak singkat untuk bisa memulihkannya, maka diperlukan aturan hukum yang memadai sebagai dasar
aparat penegak hukum untuk memberikan perlindungan terhadap korban tindak pidana kesusilaan. Pada
sistem peradilan pidana, kepentingan korban diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum maupun masyarakat
luas. Selain itu, kerugian korban dapat bersifat materiil yang dapat dinilai dengan uang, dan immateriil
yakni perasaan takut, sakit, sedih, kejutan psikis dan lain sebagainya Perlindungan korban berupa
penggantian kerugian materiil dapat dituntut langsung kepada si pelaku kejahatan. Akan tetapi terhadap
penggantian kerugian materil, di beberapa negara (apabila pelaku orang yang tidak mampu) dibebankan
kepada negara.

Perlindungan korban tindak pidana kesusilaan, perlindungan hukum dan segala aspeknya di dalam
Hukum Pidana Indonesia merupakan salah satu hak korban dan saksi (vide Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014). Dalam Pasal 5 ayat (2)
disebutkan bahwa hak sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) diberikan kepada saksi dan/atau
korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi
& Korban (LPSK). Jelaslah berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU No.31 tahun 2014, tidak setiap
saksi atau korban yang memberikan keterangan (kesaksian) dalam suatu proses peradilan pidana, secara
otomatis memperoleh perlindungan seperti yang dinyatakan dalam Undang-Undang ini.

Sebab jelas disebutkan kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK, apakah tindak
kesusilaan masuk kategori “kasus-kasus tertentu”. Dalam penjelasan pasal disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan “kasuskasus tertentu” antara lain tindak pidana korupsi, tindak pidana
narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana pelanggaran HAM berat yang dapat
mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.

Bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada korban dalam kasus tindak pidana kesusilaan
dapat diberikan berdasarkan pertimbangan kepala LPSK karena bentuk perlindungan berdasarkan UU
Nomor 31 Tahun 2014 tidak bersifat umum dan tindak berlaku untuk semua tindak pidana. LPSK hanya
berwenang memberikan rasa nyaman selama memberikan keterangan dan bukan memberikan pemulihan
rasa trauma. Bentuk perlindungan yang dapat diterima adalah mencegah korban atau saksi merasa
terancam atau tertekan saat memberikan keterangan sebagai saksi walaupun bentuk perlindungan ini tidak
sesuai dengan bentuk perlindungan yang dimaksud dalam sudut pandang viktimologi.

Kelemahan dalam bentuk perlindungan ini adalah Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban
tidak menetapkan mengenai berbagai ketentuan yang seharusnya disepakati oleh LPSK dengan saksi
dan/atau korban agar dapat berjalan beriringan, kemudian dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan
Korban juga tidak diatur tentang cara penegak hukum memberikan perlindungan terhadap saksi dan
korban. Selain itu LPSK juga tidak dapat turun langsung dalam memberikan perlindungan hukum kepada
saksi dan atau korban kekerasan seksual sebagai bentuk dari tindak pidana kesusilaan jika saksi korban itu
sendiri tidak melakukan insiatif pelaporan kepada pihak kepolisian atau LPSK. Bentuk-bentuk
perlindungan lain yang dapat diberikan kepada korban tindak kesusilaan adalah:

1. Proses penyidikan.
Berperannya lembaga-lembaga terkait dalam proses penyidikan, yakni LPSK dan PPA.
Dalam proses penyidikan tindak pidana kesusilaan bentuk perlindungan yang diberikan adalah
proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik khusus yakni adanya PPA yang bertugas untuk
memberikan perlindungan kepada korban tindak pidana kesusilaan yakni perempuan dan anak-
anak.
2. Restitusi
Restitusi menurut Pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun
2008 adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak
ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau
penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Kemudian dalam kebijakan
formulasi/legislatif hukum positif Indonesia (KUHP), pengaturannya hanya dapat dilihat pada pasal
14c KUHP yaitu mengatur adanya kemungkinan bagi hakim untuk menetapkan agar
terdakwa/tersangka memberikan penggantian kerugian pada korban. Pasal 14c ayat (1) berbunyi,
Dalam pemerintah yang dimaksud dalam Pasal 14c, kecuali jika dijatuhkan denda, selain
menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan perbuatan pidana, hakim dapat
menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa
percobaannya harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan
pidana tadi.
Restitusi yang dimaksud dalam bentuk perlindungan tersebut adalah, adanya ganti rugi yang
diberikan oleh tersangka sesuai dengan ketentuan Pasal 44 Tahun 2008 dan Pasal 14c KUHP
dimana syarat penggantian kerugian oleh terdakwa atau terpidana kepada korban hanya bersifat
sebagai syarat tambahan yang bersifat khusus dalam penjatuhan pidana bersyarat yang artinya
dalam penjatuhan pidana bersyarat tidak mengharuskan bagi hakim untuk memerintahkan
pemberian ganti rugi, sehingga dapat dikatakan pula bentuk pemberian ganti rugi menurut Pasal
14c KUHP bergantung pada bagaimana sudut pandang Hakim dalam memutus pidana.

3. Bantuan Medis dan Bantuan Rehabilitasi Psiko-sosial Menurut Undang-Undang Nomor 31


Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban korban perkosaan juga berhak
mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
Bentuk bantuan yang dimaksud adalah layanan yang diberikan kepada korban dan/atau saksi
oleh lembaga tertentu salah satu nya LPSK. Dimana bentuk perlindungan ini dapat diperoleh
korban apabila korban tersebut melakukan permohonan langsung kepada pihak LPSK melalui
pengadilan. Keberadaan ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai saksi dan
korban tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tetapi tidak secara khusus
mengatur tentang bentuk perlindungan terhadap korban tindak pidana kesusilaan. Tugas dan
kewenangan mengenai perlindungan hak-hak saksi dan korban adalah Kepala Lembaga
Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK), padahal yang melakukan penyidikan dan pemeriksaan
di depan sidang pengadilan bukan lembaga perlindungan saksi, di mana lembaga perlindungan
saksi ini berada di luar lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
Selama dalam proses peradilan pidana keberadaan saksi dan korban hanya diposisikan sebagai
pihak yang dapat memberikan keterangan, dimana keterangannya dapat dijadikan alat bukti
dalam mengungkap sebuah tindak pidana, sehingga dalam hal ini yang menjadi dasar bagi aparat
penegak hukum yang menempatkan saksi dan korban hanya sebagai pelengkap dalam
mengungkap suatu tindak pidana dan memiliki hak-hak yang tidak banyak diatur dalam KUHAP,
padahal untuk menjadi seorang saksi dalam sebuah tindak pidana, tentunya keterangan yang
disampaikan tersebut dapat memberatkan atau meringankan seorang terdakwa, yang tentunya
bagi terdakwa apabila keterangan seorang saksi dan korban tersebut memberatkan
tersangka/terdakwa, maka ada kecenderungan terdakwa menjadikan saksi dan korban tersebut
sebagai musuh yang telah memberatkannya dalam proses penanganan perkara, hal ini tentunya
dapat mengancam keberadaan saksi dan korban.
Berdasarkan hal tersebut, maka tentunya bukan hanya tersangka atau terdakwa saja yang dilindungi
hak-haknya, tetapi juga korban dan saksi wajib mendapatkan perlindungan, karena mengingat keterangan
yang disampaikan dapat mengancam keselamatan dirinya sebagai seorang saksi. UndangUndang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur hak-hak asasi manusia pada Pasal 28 A sampai dengan
Pasal 28J. Bunyi Pasal-Pasal 28D, 28G, 28I, dan Pasal 28J ayat (1), Amandemen (II) Undang-Undang
Dasar 1945, dapat dijadikan sebagai acuan atau pedoman. Bunyi pasal-pasal dimaksud sebagaimana
tertuang dalam uraian sebagai berikut:

1) Pasal 28 D ayat (1), menyatakan:


“ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil,
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

2) Pasal 28 G ayat (1), berbunyi:


“ Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta
benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

3) Pasal 28 I ayat (2), menyebutkan:


“ Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

4) Pasal 28 J ayat (1) yang menyatakan :


“ Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”

Pasal-Pasal tersebut yang berisi tentang hak dan kewajiban yang diberikan kepada seluruh Warga
Negara yang tentunya mencakup terdakwa ataupun korban suatu tindak pidana yang semestinya
memberikan bentuk perlakuan yang sama. Kita sadari bersama, di dalam KUHP lebih mengutamakan
hak-hak tersangka/terdakwa. Namun demikian terdapat beberapa asas KUHAP yang dapat dijadikan
landasan perlindungan korban, misalnya:

a) Perlakuan yang sama di depan hukum;


b) Asas cepat, sederhana, dan biaya ringan;
c) Peradilan yang bebas;
d) Peradilan terbuka untuk umum;
e) Ganti kerugian
f) Keadilan dan kepastian hukum.
4. Kesimpulan
Mekanisme pemberian perlindungan hukum terhadap saksi dan korban oleh LPSK diberikan
berdasarkan beberapa asas seperti yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006. Saksi dan korban bisa mendapatkan perlindungan hukum dari LPSK, harus dengan memenuhi
persyaratan seperti yang telah dijelaskan dalam pasal 28 t pasal 36 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2014. Tata Cara pemberian Perlindungan terhadap saksi dan korban dipaparkan dalam pasal 29 UU
No. 31 Tahun 2014. Kehadiran LPSK diharapkan dapat memberikan rasa nyaman dan aman bagi
saksi atau korban agar dapat memberikan kesaksiannya di depan persidangan dan proses persidangan
pun dapat berjalan lancar. Perlindungan korban tindak pidana kesusilaan dalam hukum pidana
Indonesia dalam perspektif viktimologi korban selalu menjadi pihak yang paling dirugikan.
Perlindungan korban tindak pidana kesusilaan, perlindungan hukum dan segala aspeknya di dalam
Hukum Pidana Indonesia merupakan hak korban dan saksi Pasal 3 dan Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2014. Bentuk-bentuk perlindungan lain yang dapat diberikan kepada korban tindak
kesusilaan yakni proses penyidikan, restitusi dan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Abdulah, Edi., Muhadar., Thamrin Husni. Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan
Pidana. Surabaya: PMN, 2010.

Kenedi, Jhon. Perlindungan Saksi dan Korban.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2020.

2. Jurnal Ilmiah

Tuage, Saristha Natalia. “Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dan Korban Oleh Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK)” Lex Crime, No. 1 2013.

Marbun, Rocky. 2012. Kamus Hukum Lengkap. Jakarta. Visimedia.Mulyadi, Lilik. 2010.

Kompilasi Hukum Pidana dalam Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan. Bandung.

Mandar Maju.Sampara, Said. 2009. Buku Ajar Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta. Total Media.Sunarso
Siswanto. 2012.

Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana. Sinar Grafika.Syahrani, Riduan. 1991.

Rangkuman Intisari Ilmu Hukum Cetakan I. Pustaka Kartini.Tahir,Heri. 2010.

Proses Hukum yang Adil dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Yogyakarta. Laksbang
Pressindo.Waluyo, Bambang. 2011.

Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi. Jakarta. Sinar Grafika.Winarta, Frans Hendra. 2010.

Bantuan Hukum di Indonesia (Hak untuk didampingi Penasihat Hukum bagi Semua Warga Negara).
Jakarta. PT Elex Media Komputindo.Jurnal:Rahmat. 2012.

Penguatan Kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (Majalah Kesaksian Edisi II).
Jakarta.Syamsuddin, Amir. 2003.

Menanti Kehadiran UU Perlindungan Saksi dan Korban, (Artikel Jurnal Keadilan), Vol. 3 No. 2.

3. Media Online
Purwata, I Nengah Aryana. “Tinjauan Viktimologis Tentang Perlindungan Korban Tindak Pidana
Kesusilaan (Studi di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri)” Universitas Mataram Repository, 2017.
http://eprints.unram.ac.id/9816/1/JURNAL%20I%20NENGAH%20ARYANA%20PURWATA.pdf.

Mal ThesZumara, 2010, Fungsi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam Kasus
PelanggaranHAM Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, [pdf], (http://irfanwineers.wordpress.com/2012/03/02/cara-penulisan-referensi-
daftar-pustaka-pada-thesis-atau-laporan-ilmiah-lainnya, diakses tanggal 30 September 2012).
Putra, 2009, Definisi Hukum menurut Para Ahli,
(http://carapedia.com/pengertian_definisi_hukum_menurut_para_ahli_info489.html, diakses tanggal
15 September 2012)

Radianadi, 2011, Peraturan Perundang-undangan dikaitkan dengan LPSK,


(http://radianadi.wordpress.com/2011/03/14/peraturan-perundang-undangan-terkait-dengan-lpsk/,
diakses tanggal 0

You might also like