You are on page 1of 4

‫ َﻣ ْﻦ ﻳَـ ْﻬ ِﺪ ِﻩ‬،‫ﺎت أ َْﻋ َﻤﺎﻟِﻨَﺎ‬ ِ َ‫ َْﳓﻤ ُﺪﻩ وﻧَﺴﺘَﻌِﻴـﻨُﻪ وﻧَﺴﺘَـ ْﻐ ِﻔﺮﻩ وﻧَـﻌﻮذُ ِ ِ ِﻣﻦ ُﺷﺮوِر أَﻧْـ ُﻔ ِﺴﻨَﺎ وِﻣﻦ

ﻣﻦ ﺳﻴِﺌ‬%
َّ ْ َ ُْ ْ ُ َ ُْ ْ َ ُ ْ ْ َ ُ َ ‫اﳊَ ْﻤ َﺪ ﱠ‬
ِِ ْ
ِ ِ ْ ‫ﻀ ﱠﻞ ﻟَﻪ وﻣﻦ ﻳ‬ ِ ‫ﷲ ﻓَﻼَ ﻣ‬
‫ﻚ ﻟَﻪُ َوأَ ْﺷ َﻬ ُﺪ‬ َ ْ‫ َوأَ ْﺷ َﻬ ُﺪ أَ ْن ﻻَ إِﻟَﻪَ إِﻻﱠ ﷲُ َو ْﺣ َﺪﻩُ ﻻَ َﺷ ِﺮﻳ‬.ُ‫ﻀﻠ ْﻠﻪُ ﻓَﻼَ َﻫﺎد َي ﻟَﻪ‬ ُ ْ ََ ُ ُ ُ
ِ ‫ @ أَﻳـﱡﻬﺎ اﻟﻨﱠﺎس أُو ِﺻﻴ ُﻜﻢ وإِ ﱠ@ي ﺑِﺘـ ْﻘﻮى‬.‫أَ ﱠن ُﳏ ﱠﻤ ًﺪا ﻋﺒ ُﺪﻩ ورﺳﻮﻟُﻪ‬
‫َﱠﻣﺎ ﺑَـ ْﻌ ُﺪ؛ ﻓَِﺈ ﱠن‬Kَ ‫ﷲ ﻓَـ َﻘ ْﺪ ﻓَ َﺎز اﻟْ ُﻤﺘﱠـ ُﻘ ْﻮ‬ ََ َ َْ ْ ْ ُ َ َ ُ ْ ُ َ َ ُ َْ َ
‫َﺎ‬Sُ Tَ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َوﺷَﱠﺮ اﻷ ُُﻣﻮِر ُْﳏ َﺪ‬ ٍ ِ ِ‫ﻳﺚ ﻛ‬ِ ‫اﳊ ِﺪ‬
َ ‫ي ُﳏَ ﱠﻤﺪ‬ ُ ‫ﺪ‬
ْ ‫ﻫ‬
َ ‫ي‬ ‫ﺪ‬ْ َ‫ﳍ‬
ْ ‫ا‬ ‫ﲑ‬ ْ ‫ﺧ‬
َ ‫و‬
َ َ َ ُ ، ‫ﷲ‬ ‫ﺎب‬ ‫ﺘ‬
َ َْ ‫َﺻ َﺪ َق‬ ْ‫أ‬
‫ﺻ ِّﻞ َو َﺳﻠِّ ْﻢ َﻋﻠَﻰ ﻧَﺒِﻴِّﻨَﺎ ُﳏَ ﱠﻤ ٍﺪ َو َﻋﻠَﻰ‬ ٍ
َ ‫ اَﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ‬.‫ﺿﻼَﻟَﺔ ِﰲ اﻟﻨﱠﺎ ِر‬َ ‫ﺿﻼَﻟَﺔٌ َوُﻛ ﱠﻞ‬
ٍ ٍ
َ ‫َوُﻛ ﱠﻞ ُْﳏ َﺪﺛَﺔ ﺑِ ْﺪ َﻋﺔٌ َوُﻛ ﱠﻞ ﺑِ ْﺪ َﻋﺔ‬
‫ﺎن إِ َﱃ ﻳَـ ْﻮِم اﻟْ ِﻘﻴَ َﺎﻣ ِﺔ‬ٍ ‫ِِﺣﺴ‬b ‫آﻟِِﻪ وﺻﺤﺒِ ِﻪ وﻣﻦ ﺗَﺒِﻌﻬﻢ‬
َ ْ ْ َُ ْ ََ ْ َ َ
Ma’asyiral muslimin jama’ah Jum’ah rahimakumullah!

Melalui khutbah Jum’at ini mari kita kembali mengevaluasi diri kita, menghitung-hitung kembali
apa yang sudah kita lakukan, mana yang menjadi infestasi kebaikan, mana yang menjadi amal
yang sia-sia, mana yang perlu kita sempurnakan sehingga dengan kesadaran melakukan kalkulasi
diri, menghitung-hitung diri kita sehingga mempunyai kesadaran senantiasa lebih
menyempurnakan amal ibadah yang kita lakukan, baik yang secara langsung berkaitan dengan
Allah subnahu wata’ala dalam berbagai bentuk yang sudah diatur yang bersifat mahdhoh, bersifat
ta’abuddiyah maupun amal-amal ibadah yang berkaitan dengan kehidupan kita bemasyarakat,
bernegara, yang biasanya disebut dalam istilah agama ibadah ghoiru mahdhoh yang lahiriahnya
bersifat mubahah tetapi karena didorong dengan motifasi niatan yang baik maka hal-hal yang
bersifat sosial, yang bersifat muamalah akan menjadi ibadah. hal Itu kita usahakan untuk
senantiasa kita sempurnakan, kita evaluasi sehingga haqqotuqotihi itu intinya kesadaran
mengevaluasi terhadap diri kita, apa yang sedang kita lakukan, yang pantas kita lakukan yang
harus kita sempurnakan. Dan mana yang harus kita tinggalkan.

Ma’asyiral muslimin !

Bahwa kini harus kita lakukan kesadaran mengevaluasi diri karena hidup kita ini senantiasa berada
di dalam pertarungan yang tidak pernah berhenti, ada interaksi didalam diri kita, ini kekuatan-
kekuatan bayyinah, kekuatan-kekuatan yang bersifat destruktive, kekuatan-kekuatan yang bersifat
negative, kekuatan-kekuatan kebinatangan dengan kekuatan-kekuatan yang bersifat malaikah,
ilahiyyah atau kekuatan yang berupa kebaikan, positif yang dari dalam diri kita.

Kalau mahluk yang lain barangkali tidak perlu ada khutbah Jum’at, jenjang pendidikan, ngaji,
aturan, undang-undang, malaikat tidak perlu undang-undang karena dia ditugasi dengan tugas yang
hanya itu, yang dia lakukan kecuali beribadah kepada Allah. Allah tidak memberi nafsu kepada
malaikat, tidak ada ambisi dalam diri malaikat, tidak ada kepentingan, tidak ada syahwat sehingga
malaikat tidak perlu aturan hukum, tidak perlu pendidikan.
Begitupula kepada binatang. Binatang tidak memerlukan itu, karena Allah menciptakannya seperti
itu sehingga tidak ada pertanggungjawaban, tidak ada mas’uliyyah, tidak ada pertanggung jawaban
yang akan diminta oleh Allah, dari malaikat dan dari binatang itu.

Manusia pun kalau tidak berakal lagi karena gila atau dalam kondisi yang tertekan diluar
kemampuan dia, maka dia pun sesungguhnya tidak lagi berada dalam wilayah taklif, yang seperti
itu karena tidak lagi mampu mempunyai kekuatan akal dan kekuatan kesadaran diri, maka hadis
Rasulullah memberi gambaran :

‫ﱠﻬ َﻮِة‬
ْ ‫ﱠﺎس ِ ﻟْ َﻌ ْﻘ ِﻞ َواﻟﺸ‬ َ ‫َرﱠﻛ‬
َ ‫ﺐ ﷲُ اﻟﻨ‬
Dalam diri manusia ini ada dua dimensi yang terus melakukan interaksi dan pertarungan yang
tidak pernah berhenti apa itu? “Warokkaba allahu an-nasa bil’aqli wa as-syahwati”, ada dua
kekuatan yang disusun oleh Allah dalam diri manusia ini yakni al-syahwah wa al-‘aql ada kekuatan
nafsu, ambisi, keinginan, ambisi untuk menjadi yang terkaya, terhebat, berkuasa, ambisi untuk
menang, ambisi untuk pendapat penghargaan. Semua itu kalau tidak di-manage dengan baik, maka
berlaku sabda Rasullullah:

‫ﱠﻬ َﻮاةُ اﻟْ َﻌ ْﻘ َﻞ ﻓَـ ُﻬ َﻮ َﺷﱞﺮِﻣ َﻦ اﻟْﺒَـ َﻬﺎﺋِِﻢ‬ ْ َ‫ﻓَﺄَﻳـﱡ ُﻬ َﻤﺎ َﻏﻠَﺒ‬
ْ ‫ﺖ اﻟﺸ‬

Apabila syahwat, ambisi manusia mengalahkan akalnya, maka manusia itu bisa lebih buruk dari
binatang. Kalau melakukan kejahatan tidak didukung dengan kekuatan intelektual, ilmu, oleh
teknologi dia melakukan kejahatan berdasarkan naluri kekuatan fisik yang telah diberikan oleh
Allah sebatas itu. Tapi kalau manusia melakukan kejahatan, didukung satu kekuatan ilmiah,
keintelektualan yang tinggi, oleh kemampuan akalnya maka kejahatan itu akan sangat berbahaya
dan jauh lebih membahayakan dari pada kejahatan yang dilakukan oleh binatang sekalipun
“fahuwa syarrun minal bayyimah” bahkan bisa lebih buruk dari binatang.

Tapi sebaliknya :

‫ﱠﻬ َﻮا َة ﻓَـ ُﻬ َﻮ َﺷﱞﺮِﻣ َﻦ اﻟْﺒَـ َﻬﺎﺋِِﻢ‬ ْ َ‫َوأَﻳـﱡ ُﻬ َﻤﺎ َﻏﻠَﺒ‬


ْ ‫ﺖ اﻟْ َﻌ ْﻘ ُﻞ اﻟﺸ‬
Apabila akalnya mampu me-manage syahwatnya, mampu mengatur dengan baik keinginan-
keinginan dan potensi di dalam dirinya maka manusia bisa lebih baik dari pada malaikat, kenapa?
Karena dia diberi oleh Allah kekuatan ganda yang bertarung tetapi dia mampu mengalahkan itu di
dalam dirinya dan memenangkan kekuatan ilahiyyah, kekuatan malaikah. Dia minum tapi
minumnya dengan cara benar, dia makan tidak seperti bahiimahnya makan, tetapi makan dengan
cara yang benar, nafsu berpolitik ia lampiaskan dengan cara yang benar, mendapatkan kekuatan
dengan cara yang benar.
Maka ketika dia mampu me-manage potensi nafsunya dengan kekuatan akal sesungguhnya bahwa
dia khoirun minal malaaikah, karena malaikat tidak punya dimensi pertarungan dalam dirinya,
sehingga kalau dia baik memang begitulah dia diciptakan laa ya’suna maa amarohum wa
yaf’aluuna maa yu’marun, itu adalah sebuah titah dan memang Allah menciptakan malaikat
dengan tanpa penyimpangan sedikitpun terhadap apa yang diperintahkan dan ditugaskan oleh
Allah. Loh manungso kok iso apik dan mampu me-manage dirinya dengan baik maka Allah akan
memberikan penegasan melalui hadisnya Rosulullah di atas fahuwa khoirun minal malaaikah.

Persoalannya adalah kata kuncinya, bagaimana agar kita mampu memanage nafsu kita, akal kita
dengan baik? Kata kuncinya adalah agama dan ilmu, ilmu pemahaman pengetahuan. Diantaranya
melalui sekolah. Cuma sayangnya di Indonesia ini, kita mendistorsi belajar dengan sekolah, orang
Indonesia hanya mau belajar kalau sekolah itupun kalau sekolahnya ada belajar, karena di
Indonesia ini banyak sekolah tetapi tidak ada belajar. Sekolah itu hanya sebagai institusi yang
cenderung mereduksi adanya aktifitas pembelajaran, yang lalu pembelajaran pun dipersempit
dengan membaca sebuah teks, membaca sebuah buku, menghabiskan sebuah kurikulum tanpa tahu
apa yang terjadi di lingkungan kita.

Itu pendidikan yang sama sekali tidak berkarakter. Menciptakan orang juara olimpiade mungkin,
tetapi dia tidak akan pernah mempunyai karakter dalam hidup karena dia diciptakan menghafal
rumus. Mencipatakan tehnograt mungkin tetapi dia tidak pernah tau bagaimana berintraksi dengan
masyarakat, intensitas seorang murid ketemu dengan orang tua, yang lalu orang tua memberikan
kasih sayang, memberikan bahasa yang sopan dan santun.

Bagaimana ia bisa berinteraksi dan memahami lingkungannya? Karena waktunya sudah


terkungkung habis dan membatasi diri bahwa iqro’ itu adalah madrasah, membaca itu adalah
sekolah, belajar itu adalah sekolah, belajar itu adalah teks. ini adalah sebuah distorsi sebuah
penyimpangan yang luar biasa, sebuah penggerusan yang luar biasa terhadap makna proses belajar
itu sendiri.

Apabila syahwat, ambisi manusia mengalahkan akalnya, maka manusia itu bisa lebih buruk dari
binatang. Kalau melakukan kejahatan tidak didukung dengan kekuatan intelektual, ilmu, oleh
teknologi dia melakukan kejahatan berdasarkan naluri kekuatan fisik yang telah diberikan oleh
Allah sebatas itu. Tapi kalau manusia melakukan kejahatan, didukung satu kekuatan ilmiah,
keintelektualan yang tinggi, oleh kemampuan akalnya maka kejahatan itu akan sangat berbahaya
dan jauh lebih membahayakan dari pada kejahatan yang dilakukan oleh binatang sekalipun
“fahuwa syarrun minal bayyimah” bahkan bisa lebih buruk dari binatang.

Tapi sebaliknya :

‫ﱠﻬ َﻮا َة ﻓَـ ُﻬ َﻮ َﺷﱞﺮِﻣ َﻦ اﻟْﺒَـ َﻬﺎﺋِِﻢ‬ ْ َ‫َوأَﻳـﱡ ُﻬ َﻤﺎ َﻏﻠَﺒ‬


ْ ‫ﺖ اﻟْ َﻌ ْﻘ ُﻞ اﻟﺸ‬
Apabila akalnya mampu me-manage syahwatnya, mampu mengatur dengan baik keinginan-
keinginan dan potensi di dalam dirinya maka manusia bisa lebih baik dari pada malaikat, kenapa?
Karena dia diberi oleh Allah kekuatan ganda yang bertarung tetapi dia mampu mengalahkan itu di
dalam dirinya dan memenangkan kekuatan ilahiyyah, kekuatan malaikah. Dia minum tapi
minumnya dengan cara benar, dia makan tidak seperti bahiimahnya makan, tetapi makan dengan
cara yang benar, nafsu berpolitik ia lampiaskan dengan cara yang benar, mendapatkan kekuatan
dengan cara yang benar.

Maka ketika dia mampu me-manage potensi nafsunya dengan kekuatan akal sesungguhnya bahwa
dia khoirun minal malaaikah, karena malaikat tidak punya dimensi pertarungan dalam dirinya,
sehingga kalau dia baik memang begitulah dia diciptakan laa ya’suna maa amarohum wa
yaf’aluuna maa yu’marun, itu adalah sebuah titah dan memang Allah menciptakan malaikat
dengan tanpa penyimpangan sedikitpun terhadap apa yang diperintahkan dan ditugaskan oleh
Allah. Loh manungso kok iso apik dan mampu me-manage dirinya dengan baik maka Allah akan
memberikan penegasan melalui hadisnya Rosulullah di atas fahuwa khoirun minal malaaikah.

Persoalannya adalah kata kuncinya, bagaimana agar kita mampu memanage nafsu kita, akal kita
dengan baik? Kata kuncinya adalah agama dan ilmu, ilmu pemahaman pengetahuan. Diantaranya
melalui sekolah. Cuma sayangnya di Indonesia ini, kita mendistorsi belajar dengan sekolah, orang
Indonesia hanya mau belajar kalau sekolah itupun kalau sekolahnya ada belajar, karena di
Indonesia ini banyak sekolah tetapi tidak ada belajar. Sekolah itu hanya sebagai institusi yang
cenderung mereduksi adanya aktifitas pembelajaran, yang lalu pembelajaran pun dipersempit
dengan membaca sebuah teks, membaca sebuah buku, menghabiskan sebuah kurikulum tanpa tahu
apa yang terjadi di lingkungan kita.

Itu pendidikan yang sama sekali tidak berkarakter. Menciptakan orang juara olimpiade mungkin,
tetapi dia tidak akan pernah mempunyai karakter dalam hidup karena dia diciptakan menghafal
rumus. Mencipatakan tehnograt mungkin tetapi dia tidak pernah tau bagaimana berintraksi dengan
masyarakat, intensitas seorang murid ketemu dengan orang tua, yang lalu orang tua memberikan
kasih sayang, memberikan bahasa yang sopan dan santun.

Bagaimana ia bisa berinteraksi dan memahami lingkungannya? Karena waktunya sudah


terkungkung habis dan membatasi diri bahwa iqro’ itu adalah madrasah, membaca itu adalah
sekolah, belajar itu adalah sekolah, belajar itu adalah teks. ini adalah sebuah distorsi sebuah
penyimpangan yang luar biasa, sebuah penggerusan yang luar biasa terhadap makna proses belajar
itu sendiri.

You might also like