You are on page 1of 17
BABI PENDAHULUAN 1, Pengertian Negara Hukum Untuk memahami apa yang dimaksud dengan negara hukum dalam arti yang sesungguhnya, terlebih dahulu harus dipahami pengertian negara hukum itu sendiri, sebab tanpa memahami terlebih dahulu pengertian negara hukum sangat sulit mendeskripsikan secara utuh, mengenai apa yang dimaksud dengan negara hukum tersebut. Berbicara mengenai pengertian negara hukum, banyak tulisan atau pendapat yang diuraikan dalam kepustakaan hukum Indonesia. Dalam berbagai kepustakaan ditemukan secara jelas pengertian negara hukum yang diberikan oleh para sarjana, antara lain; Wiryono Projodikoro (1971:10), memberi pengertian negara hukum sebagai negara dimana Para penguasa atau pemerintah sebagai penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas kenegaraan terikat pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Muhammad Yamin (1952:74) mendefinisikan negara hukum sebagal statu negara yang menjalankan pemerntaanr yang tidak menurut kemauan orang-orang yang memegang kekuasaan, melainkan menurut aturan tertulis yang dibuat oleh badan-badan ‘ rat yang tel ‘ara Sah, sesuai dengan asas “the laws and not menshall govern. Joeniarto (1968:8) memberi definisi atau_pengertian tentang negara hukum sebagai negara dimana Fidlakanpenguasanya Parle aibates|-olehhulcuri-yang}bevamar Sudargo Gautama (1973:73-74) menyatakan bahwa paham negara hukum berasal dari ajaran kedaulatan hukum, ia memberi pengertian tentang negara hukum sebagai negara dimana alat-alat negaranyq tunduk pada aturan hukum. Sementara itu sarjana lainnya seperti Soediman Kartohadiprodjo (1953:13) mendefinisikan negara hukum sebagai negara dimana nasib dan kemerdekaan orang-orang di dalamnya dijamin sebaik-baiknya oleh hukum. Jika dicari inti dari pengertian negara hukum yang dikemukakan oleh para sarjana Indonesia yang cukup terkemuka itu, tampaknya mereka semua menekankan tentang tunduknya penguasa terhadap hukum sebagai esensi negara hukum. Esensi negara hukum yang demikian itu menitikberatkan pada tunduknya pemegang kekuasaan Negara pada aturan hukum. ee Negara Hukum dan Hak Asasi Mi kunt merupakan pr renin to reg nal Ht perkembangan sejarah, Se ikuti sejarah_perkembangan kehidupa, itu terus berkembang meng! araan, karena itu dalam Memaha; manusia dan sejarah koe ara hukum, perlu terlebih dah i secaa tepat dan perkembangan pemikiran politi dan diketahui_ gaml 1 ke i ir dan berkembangnya konsepsj_ pn, ar: hukum Oa tang negara hukum sebenarnya fed otoet tua, jauh lebih tua dari usia Iimu Negara ataupun Iimy Kelstanegaraan itu senditi, Saat ini pemikiran tentang negara hukun, merupakan gagasan pemikiran modern yang multi perspektif da, selalu aktual, Ditinjau dari perspektif historis perkembangan pemikiray filsafat hukum dan ketatanegaraan, gagasan tentang negara hukyn, sudah berkembang semenjak seribu delapan ratus tahun sebelym Masehi (von Schmit, 1988:7). Akar terjauh perkembangan awal pemikiran negara hukum adalah pada masa Yunani kuno. Dari beberapa pemikiran seperti yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddigie “(1994:11) bahwa tradisi Yunani° kuno menjadi sumber dari gagasan kedaulatan hukum. Pada masa Yunani kuno pemikiran tentang negara hukum cukup mendapat perhatian dari kalangan intelektual dan para pemikir, terutama pemikiran-pemikiran tentang negara dan hukum yang dikembangkan oleh para filsuf besar seperti Socrates, Plato, Aristoteles dan lain-lain. Dalam bukunya Politikos yang ditulis pada Penghujung hidupnya, Plato menguraikan bentuk-bentuk pemerintahan yang mungkin di- jalankan dalam negara. Menurut Plato, pada dasarnya ada dua macam pemerintahan yang dapat diselenggarakan, yaitu; Pertama; pemerintahan yang dibentuk dan dijalankan berdasarkan hukum, Pemerintahan seperti ini dijalankan oleh Para cendekia, pemerintahan ditujukan kepada dan mengutamakan kepentingan rakyat. Kedua; Pemerintahan yang terbentuk tidak melalui jalan hukum, pemerintahan seperti ini merupakan pemerintahan tiran yang melakukan penindasan terhadap rakyat. Senada dengan Plato, konsep negara hukum menurut Aristoteles, adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupaka" syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negarany2, dan sebagai dasar dari keadilan itu perlu diajarkan rasa susila epee ana manusia agar ia Menjadi warga negara yang baik. Menuru ristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusié 2 Bab I, Pendahuluan sebenarnya, melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Pada masa abad pertengahan, pemikiran tentang negara hukum lahir sebagai perjuangan melawan kekuasaan absolut para Raja. Menurut Paul Scholten (1949:383), istilah negara hukum itu berasal dari abad ke sembilanbelas, tetapi gagasan tentang negara hukum itu pada awalnya tumbuh di Eropa sudah hidup dalam abad tujuhbelas. Gagasan itu tumbuh di Inggris dan merupakan latar belakang dari Glorious Revolution 1688 M. Gagasan itu timbul sebagai reaksi terhadap kerajaan yang absolut, dan dirumuskan dalam piagam yang terkenal sebagai Bil/ of Right 1689, yang berisi hak dan kebebasan dari warga negara serta peraturan pengganti Raja di Inggris. Dalam kepustakaan, apa yang dimaksud dengan negara hukum, sering diterjemahkan dengan istilah rechtstaats atau rule of law. Paham rechtstaats. pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental, sedangkan paham rule of /aw bertumpu pada sistem hukum Anglo Saxon atau common aw system. Ide tentang rechtstaats mulai populer pada abad ke tujuh belas sebagai akibat dari situasi sosial politik Eropa yang didominir oleh absolutisme Raja. Paham rechtstaats ini dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Kontinental seperti Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl, Sedangkan Paham rule of /aw mulai dikenal setelah Albert Vann Dicey pada tahun 1885 menerbitkan bukunya yang berjudul Introduction to Study of The Law of The Constitution. Dalam bukunya Albert Vann Dicey mengetengahkan tiga arti the rule of law yaitu (Jimly Asshiddigie, 2004:5); © 1. Supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk Menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, Jadi berupa discretionary authority yang luas dari pemerintah; 2. Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court; ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk mentaati hukum yang sama, Jadi tidak perlu ada peradilan administrasi negara; 3. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber, tetapi merupakan konsekuensi [Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia i indivi i i kan oleh dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegask ar peradilan; singkatnya, prinsip-prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan Parlemen diperluas hingga membatasi posisi Crown dan pejabat-pejabatnya. Dikaji dari latar belakang dan sistem hukum yang menopangnya, terdapat perbedaan antara konsep “rechtsstaat dengan konsep “rule of jaw, walaupun pada dasarnya kedua konsep itu mengarahkan dirinya pada satu sasaran utama, yaitu pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, tetapi Keduanya tetap berjalan dengan sistem hukum sendiri. Konsep “rechtsstaat” lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep “rule of /aw* berkembang secara evolusioner. Hal ini tampak dari isi atau kriteria “rechtsstaat’ dan kriteria “rule of law”. Konsep “rechtsstaat’ bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut “civil Jaw’ atau “modern roman law", sedangkan konsep “rule of Jaw’ bertumpu atas sistem hukum yang disebut “common law’. Karakteristik “ail Jaw" adalah “administratie?, sedangkan karakteristik “common law’ adalah “judicial . Perbedaan karakter kedua sistem hukum tersebut terletak pada kekuasaan Raja, hal ini dapat dilihat dari sejarah kejayaan Raja-raja pada zaman Romawi, pada masa itu kekuasaan yang menonjol dari Raja adalah membuat peraturan melalui dekrit. Kekuasaan itu kemudian didelegasikan kepada pejabat-pejabat administratif yang membuat pengarahan-pengarahan atau petunjuk tertulis bagi hakim, tentang bagaimana menyelesaikan suatu sengketa, kegiatan-kegiatan pejabat administratif yang demikian setiap saat terus meningkat sehubungan meningkatnya kasus-kasus dibidang hukum, sehingga dengan begitu besarnya peranan administrasi negara, tidak meng- herankan kalau dalam sistem Eropa kontinental inilah asal muasal munculnya cabang hukum baru yang disebut “droit administratieF yang intinya adalah hubungan antara administrasi negara dengan rakyat. Sebaliknya di Inggris, kekuasaan utama dari Raja adalah memutus perkara sehingga Raja juga sekaligus merupakan hakim yang memegang badan peradilan. Peradilan oleh Raja ini kemudian berkembang menjadi suatu peradilan negara, sehingga hakim-hakim peradilan merupakan delegasi dari Raja, tetapi bukan melaksanakan kehendak Raja, melainkan bertindak atas nama hukum dan menjalankan hukum yang berlaku. Intinya hakim harus memutus 4 Bab I. Pendahuluan perkara berdasarkan kebiasaan umum Inggris (the common custom of England), sebagaimana dilakukan oleh Raja sendiri sebelumnya. Mengacu pada hal tersebut, tampak bahwa di Eropa peranan administrasi negara bertambah maju dan mengemuka, sedangkan di Inggris peranan peradilan dan para hakim bertambah besar. Sehubungan dengan perkembangan tersebut, di Eropa dipikirkan langkah-langkah untuk membatasi kekuasaan administrasi negara, sedangkan di Inggris dipikirkan langkah-langkah untuk mewujudkan suatu peradilan yang adil. Dalam perjalanan waktu kedua konsep itu berkembang dengan cepat, konsep “rechtstaat’ telah mengalami perkembangan dari konsep Klasik ke konsep modern. Sesuai dengan sifat dasarnya, konsep klasik dari rechstaat disebut “ k/asiek /iberale en democratische rechtstaat'. Sedangkan konsep modern lazimnya disebut "sociale rechtstaat" atau “sociale democratische rechtstaat" (Phlipus M. Hadjon, 1987:71-74). Sifatnya yang liberal bertumpu pada pemikiran kenegaraan dari John Locke, Montesquieu dan Immanuel Kant, sedangkan sifatnya yang demokratis bertumpu atas pemikiran kenegaraan dari J.J. Rousseau tentang kontrak sosial (Crownberg, 1977:25). Prinsip liberal bertumpu pada “/iberty’ dan prinsip demokrasi bertumpu pada “equality’. Pengertian “/iberty’ menurut Immanuel Kant adalah “the free selfassertion of each-limited only by the like liberty of alP. Atas dasar itu “/iberty“ merupakan suatu kondisi yang memungkinkan, pelaksanaan kehendak secara bebas dan hanya dibatasi seperlunya, untuk menjamin koeksistensi yang harmonis antara kehendak bebas individu, dengan kehendak bebas semua rakyat yang lain. Dari konsep Pemikiran inilah mengalir prinsip selanjutnya yang dikenal dengan: “freedom from arbitrary and unreasonable exercise of the Power and authority’ (Pound, 1957:1-2). Sedangkan konsep “equality mengandung makna yang abstrak dan formal (abstract-formal equality) dan dari sini mengalir suatu prinsip yang sangat popular Gengae-sebutan “one man-one vote’. Dari sudut pandang ilmu hukum dapat dipahami bahwa asas-asas demokratis yang melandasi rechtsstaat meliputi lima asas yaitu: 1. asas hak-hak politik; 2. _asas mayoritas; 3. asas perwakilan; 4. asas pertanggungjawaban; 5. _asas publik (apenbaarheidsbeginsel ). Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia Dengan demikian, atas dasar sifat liberal dan sifat demokratis yang ditemukan dalam konsep rechtsstaat maka ciri-ciri 'rechtsstaat” adalah: 1, Adanya Undang-Undang Dasar atau Konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dengan rakyat; a 2. hems pemisahan kekuasaan negara, yang meliputi: kekuasaan pembuat undang-undang yang berada pada parlemen, kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka, kekuasaan ini tidak hanya menangani sengketa antar individu rakyat, tetapi juga antara rakyat dengan penguasa dan pemerintah mendasarkan tindakan- nya atas undang-undang (wetmatig bestuur); a 3. Diakui dan dilindunginya hak-hak rakyat yang sering disebut “vriiheidsrechten van burger’. Dalam kaitannya dengan ciri-ciri di atas, menunjukkan dengan jelas bahwa ide sentral konsep “rechtsstaat’, adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang bertumpu pada prinsip kebebasan dan persamaan. Secara teoritik pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam konsep rechtsstaat dapat dilihat dari kriteria: 1, Adanya Undang-Undang Dasar yang akan memberikan jaminan secara konstitusional bagi warga terhadap asas kebebasan dan persamaan. 2. Adanya pemisahan kekuasaan bertujuan untuk menghindar dari penumpukan kekuasaan dalam satu tangan, karena penumpukan kekuasaan ini sangat cenderung mengarah kepada penyalah- gunaan kekuasaan yang berarti pemerkosaan terhadap kebebasan dan persamaan. 3. Adanya pembuatan undang-undang yang dikaitkan dengan parlemen, dimaksudkan untuk menjamin bahwa hukum yang dibuat adalah atas kehendak rakyat, dengan demikian hukum tersebut tidak akan memperkosa hak-hak rakyat, dan apabila dikaitkan dengan asas mayoritas, kehendak rakyat diartikan sebagai kehendak golongan mayoritas, *: pslerma etmatig Sestuur" agar tindak pemerintahan kebebassn i fentuan Undang-undang dan tidak memperkosa Persamaan (heerschappij van de wet). Bab I, Pendahuluan Dalam konsep ‘yechtsstaat” yang liberal dan demokratis, inti perlindungan hukum bagi rakyat adalah perlindungan terhadap kebebasan individu. Setiap tindak pemerintahan yang melanggar kebebasan individu, melahirkan hak bagi masyarakat untuk menggugat di muka pengadilan. Dalam konsep yuridis, AM, Donner berpendapat bahwa sesungguh- nya istilah “sociale rechtsstaat’ jauh lebih baik dari istilah "welvaartsstaat’ (Verdam,1976:17). Sedangkan S.W. Couwenberg menjelaskan rechtsstaat merupakan variant dari “sociale rechtsstaat’ terhadap “Jiberaal- democratische rechtsstaat’, pemikiran ini antara lain menimbulkan konsep pemikiran sebagai interpretasi baru terhadap hak-hak klasik serta merupakan dominasi hak-hak sosial, konsepsi baru tentang kekuasaan politik dalam hubungannya dengan kekuasaan ekonomi, konsepsi baru tentang makna kepentingan umum, karakter baru dari “wet' dan “wetgeving’. H. Franken (1983:273) menjelaskan, kebebasan dan persamaan (vrijheid en gelijkheid) yang semula dalam konsep Iiberaal-democratische rechtsstaat sifatnya formal yuridis, sedangkan dalam konsep sociale rechtsstaat ditafsirkan secara rill dalam kehidupan masyarakat (reele maatschappelijke gelijkheid), hal ini mengandung pengertian bahwa tidak terdapat persamaan mutlak di dalam kehidupan masyarakat antara individu yang satu dengan individu yang lain. Menurut D.H.M. Meuwissen (1975:140), jika dikaitkan dengan perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintahan, dalam “sociale rechtsstaat’ -prinsip perlindungan hukum terutama diarahkan kepada perlindungan terhadap hak-hak sosial, hak ekonomi dan hak-hak kultural. Dikaitkan dengan sifat hak, dalam “rechtsstaat” yang liberal dan demokratis adalah “the right to do’, dalam "sociale rechtsstaat’ muncul “the right receive’. Jadi apabila dihubungkan dengan sasaran perlindungan hukum, maka terlihat semakin kompleks sistem perlindungan hukum bagi rakyat. Dalam konsep yuridis “sociale rechtsstaat’, tugas negara di samping melindungi kebebasan hak-hak sipil juga melindungi gaya hidup rakyat. Pengaruh negara terhadap individu menjelma dalam tiga cara yakni: 1. Pengaruh langsung sebagai akibat dari pengakuan dan perlindungan terHadap hak-hak sosial; 2. Pengaruh tidak langsung sebagai akibat dari pembentukan aparat pemerintah yang dilengkapi dengan kekuasaan jabatan dan keahlian; 3. Harapan bahwa problema-problema masyarakat dapat dipecahkan melalui campur tangan penguasa. ‘Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia Pandangan murni dan sempit mengenai “rule of Jaw’, sebagaimana dikemukakan oleh A.V. Dicey, karena inti dari tiga pengertian dasar yang diketengahkannya adalah “common /aw', sebagai dasar per- lindungan bagi kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan oleh penguasa. Demikian pula A.V. Dicey menolak kehadiran Peradilan Administrasi Negara, adalah sesuai dengan perkembangan hukum dan kenegaraan di Inggris. Inti kekuasaan Raja di Inggris semula adalah kekuasaan memutus perkara, kekuasaan itu kemudian didelegasikan kepada hakim-hakim peradilan yang memutus perkara tidak atas nama Raja, tetapi berdasarkan "the common custom of england” sehingga dengan pendelegasian untuk mengadili perkara yang di- serahkan pada hakim-hakim ini membuat karakteristik dari “common Jaw" adalah “judicial’, sedangkan karakteristik dari “civil /aw' adalah administratif. Pikiran-pikiran lain mengenai konsep rechtsstaat dan rule of law muncul dari Wade dan Geofrey Philips, pemikiran mereka merupakan pikiran yang telah terpengaruh oleh pandangan Eropa. Hal ini tampak dari konsepnya mengenai “rule of Jaw’ dan kritiknya terhadap pikiran dari Dicey. Dalam kritiknya terhadap A.V. Dicey mengenai “equality’, tampak di sana pengaruh dari pikiran-pikiran “rechtsstaat’, tentang kritiknya terhadap “common law’ dari Dicey, dalam kritik itu dikemukakan mengenai kelemahan dari “written constitution’ yang menunjukkan pengaruh dari pikiran-pikiran “/iberaldemocratisch” tentang “grondwet”. Padahal baik konsep “rule of /aw’ maupun konsep “vechtsstaat’ menampakkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai titik sentralnya. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa perbedaan yang sangat tajam antara konsep negara hukum rechtsstaat dengan konsep negara hukum rule of /aw, adalah dalam konsep negara hukum rechtsstaat terlihat besarnya peranan pejabat pemerintahan, sehingga yang tunduk dan patuh pada hukum hanyalah rakyatnya saja, konsep ini kemudian bergeser mengikuti konsep negara hukum rule of law, seperti negara Swedia tahun 1809 melahirkan lembaga Ombudsman, yang merupakan kepanjangan tangan parlemen Swedia, dengan fungsi utamanya melakukan kontrol terhadap pemerintahan atau Raja Swedia yang saat itu dipimpin oleh Raja yang selalu bertindak absolute, bahkan cenderung bertindak anarki serta sewenang-wenang terhadap rakyatnya, sehingga rakyatnya mengalami kesengsaraan. Mulai saat itu dipikirkanlah oleh Parlemen Swedia untuk membentuk 8 Bab I. Pendahuluan Peradilan Administrasi, khusus untuk mengadili aparat pemerintahan di Swedia. Menurut Roscoe Pound (1957:7). Konsep negara hukum rule of Jaw berintikan Judicial, artinya selalu menjunjung tinggi lembaga peradilan (supremacy of law), baik rakyat maupun pemerintah jika melakukan kesalahan harus diselesaikan melalui lembaga peradilan, tidak ada perbedaan perlakuan antara rakyat maupun pemerintah dimata hukum (equality before the law). Pemikiran lain tentang konsep negara hukum seperti dikemukakan Immanuel Kant dalam bukunya Methaphysiche Ansfangsgrunde der Rechtslehre, yang pada pokoknya menguraikan mengenai konsep negara hukum liberal. Immanuel Kant mengemukakan paham negara hukum dalam arti sempit, yang menempatkan fungsi recht pada staat, hanya sebagai alat perlindungan hak-hak individual dan kekuasaan negara diartikan secara pasif, yaitu hanya bertugas sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat (Hadjon, 1987:71-74). Paham Immanuel Kant ini terkenal dengan sebutan nachiwachkerstaats atau nachtwachterstaats. Negara harus menjadi negara hukum, itulah semboyan dan sebenarnya juga daya pendorong dari perkembangan pada zaman baru ini. Negara harus menentukan secermat-cermatnya batas-batas kegiatannya, negara harus mewujudkan atau memaksakan gagasan good government dari segi negara, tegasnya negara itu bukan hanya mempertahankan tata hukum saja tanpa tujuan pemerintahan, atau hanya melindungi hak-hak dari perseorangan, negara hukum pada umumnya tidak berarti tujuan dan isi dari Negara semata-mata, melainkan bagaimana cara dan upaya untuk mewujudkannya. Sarjana lain seperti Paul Scholten (1935:382) menyebut dua ciri negara hukum. Ciri utama negara hukum ialah: “er is recht tegenover den staat’, artinya warga negara itu mempunyai hak terhadap negara, individu mempunyai hak terhadap masyarakat. Asas ini sebenarnya meliputi dua segi: Pertama; Manusia itu mempunyai suasana tersendiri yang pada asasnya terletak di luar wewenang negara; Kedua; Pembatasan suasana manusia itu, hanya dapat dilakukan dengan ketentuan undang-undang. Ciri yang kedua negara hukum Menurut Paul Scholten berbunyi; er és scheiding van machten, artinya dalam negara hukum ada pemisahan kekuasaan. Pandangan ini sama dengan pemikiran Montesquieu yang memisahkan kekuasaan menjadi ia Negara Hukum dan Hak Asasl Manus saan membuat undang-undends kekuasaan Menjlana, dan kekuasaan mela dari kebijakan atau ting Untuk melindungi hak 28 fam konsep “rule of law” cilakukgn sewenang-wenang penguasa, orinsip "equality before the lay" dengan upaya mengedep> hukum dengan tanpa membedala, adanya parca Lae edang dalam konsep rechtstaat yay, status nuk : h “rechtmatigheid" yang menonjolkan Sas legalita, aluemelan 2 ean tindak pemerintah harus sesual dengan hukum, Re nese Republik Indonesia yang menghendaki keserasia hubungan antara pemerintah dan rakyat yang aoe kan adalah asa, kerukunan, dalam hubungan antara pemerinta lengan rakyat. Daj asas ini akan berkembang elemen [ain dari konsep negara hukun Pancasila, yakni terjalinnya hubungan fungsional antara kekuasaan. kekuasaan negara, penyelesaian sengketa secara Musyawarah, sedangkan peradilan merupakan sasaran terakhir, dan tentang hale hak asasi manusia, tidak hanya menekankan hak dan kewajiban sa, tetapi juga terjalinnya suatu keseimbangan antara hak dan kewajiban, tiga, yaitu kekuas Undang-undang 2. Hubungan Negara Hukum Dengan Hak Asasi Manusia Pertanyaan mendasar yang dikemukakan pada bagian ini adalah: Apa hubungan negara hukum dengan hak asasi manusia?. Jawaban atas pertanyaan ini sudah barang tentu, tidak begitu sult mengkajinya dari sudut ilmu hukum, sebab antara negara hukum dengan hak asasi manusia, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Argumentasi hukum yang dapat diajukan tentang hal ini, ditunjukkan dengan ciri negara hukum itu sendiri, bahwa salah satu diantaranye adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dalam negara hukum hak asasi manusia terlindungi, jika dalam suatu negara hak asasi manusia tidak dilindungi, negara tersebut bukan negara hukum akan tetapi negara diktator dengan Pemerintahan yang sangat Otoriter. Perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam negalé fonsttas en eam bentuk Penormaan hak tersebut dalam g-undar ji melalui badan-badan ere dan untuk selanjutnya penegakannyé kehakiman, dilan sebagai pelaksana _kekuasa@" med an ebaman, Merupakan kekuasaan yang bebas dam ‘ mepas dari pengaruh kekuasaan_ pemerintat: 10 Bab I. Pendahuluan Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim. Salah satu ciri negara hukum ialah dimana terdapat suatu kemerdekaan hakim yang bebas dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan legislatif. Kebebasan hakim tidak harus diartikan bahwa hakim dapat melakukan tindakan yang sewenang-wenang terhadap suatu perkara yang diperiksanya, akan tetapi hakim tetap terikat pada hukum. Konstitusi melarang campur tangan pihak eksekutif ataupun legislatif terhadap kekuasaan kehakiman, bahkan pihak atasan langsung dari hakim yang bersangkutan pun, tidak mempunyai kewenangan untuk mempengaruhi atau mendiktekan kehendaknya kepada hakim bawahan. Menurut Oemar Seno Adji (1985:49) dalam bukunya yang berjudul, Peradilan Bebas Negara Hukum, dijelaskannya bahwa salah satu maxim dari konstitusionalisme adalah bahwa Pengadilan itu harus bebas dari pengawasan pengaruh dan campur tangan dari kekuasaan lain. Kebebasan kekuasaan kehakiman yang penyelenggaraannya diserahkan kepada badan-badan peradilan merupakan salah satu ciri khas negara hukum. Pada hakekatnya, kebebasan peradilan ini merupakan sifat pem- bawaan dari setiap peradilan, hanya saja batas dan isi kebebasannya dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial itu pun tidak mutlak sifatnya, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan, dengan jalan menafsirkan hukum dan men- cari dasar hukum serta asas-asas yang jadi landasannya. Hal ini dijalankan oleh hakim melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan (Mertokoesoemo, 1973:79-88). Asas perlindungan dalam negara hukum, tampak antara lain dalam Declaration of Independence, deklarasi tersebut mengandung asas bahwa orang yang hidup di dunia ini, sebenarnya telah diciptakan merdeka oleh Tuhan, dengan dikaruniai beberapa hak yang tidak dapat dirampas atau dimusnahkan, hak tersebut mendapat Perlindungan secara tegas dalam negara hukum. Peradilan tidak semata-mata melindungi hak asasi perseorangan, melainkan fungsinya adalah untuk mengayomi masyarakat sebagai totalitas, agar supaya cita-cita Iuhur bangsa tercapai dan terpelihara. Peradilan mempunyai maksud membina, tidak semata-mata Menyelesaikan perkara, hakim harus mengadili menurut hukum dan 11 jan Hak Asasi Manusia. laran akan kedudukan, fungsi dan sifat On hakim dalam = menjalankan tugasnya kepada diri sendiri dan Tons? Yang maha Esa, dan menegakkan masyarakat yang sejahtera ti ee enurut Muh. Yamin (1952:9) bahwa untuk me- 0 ntukan apakah suatu negara merupakan negara hukum, semata- mata didasarkan pada asas legalitas. Senada dengan itu Gouw Giok Siong menyatakan bahwa asas legalitas hanyalah merupakan salah satu unsur, atau salah satu corak dari negara hukum, perasaan keadilan dan perikemanusiaan, baik bagi rakyat maupun pimpinannya, Mengenai asas_perlindungan, dalam setiap konstitusi dimuat ketentuan yang menjamin hak-hak asasi manusia. Ketentuan tersebut antara lain: Kebebasan berserikat dan berkumpul; Kebebasan mengeluarkan pikiran baik lisan dan tulisan; Hak bekerja dan penghidupan yang layak; Kebebasan beragama; Hak untuk ikut mempertahankan negara; dan Hak lain-lain dalam pasal-pasal tentang hak asasi manusia. ra Hukum menjalankan den hukum. Dengan bertanggung jawab oy een Setiap orang dapat menuntut atau’ mengajukan gugatan kepada negara, bila negara melakukan suatu perbuatan yang melawan hukum (onrechtmatigadaad), bahwa seseorang dapat melakukan gugatan terhadap penguasa, jika putusan pejabat yang berwenang dirasa tidak adil. Banyak peraturan-peraturan yang memberi jaminan kepada para warga negara, untuk menggunakan hak-haknya mengaju- kan tuntutan-tuntutan di muka pengadilan, bila hak-hak dasarnya atau kebebasannya dilanggar. Dalam kaitannya dengan peradilan yang cepat, murah dan sederhana, fleksibilitas ini tidak lain untuk memungkinkan upaya Memenuhi secara cepat dan efisien permintaan yang ajeg akan keadilan. Dalam hal ini yang dimaksudkan tidak lain, adalah asas penting dalam peradilan yang tidak asing lagi yakni cepat, tepat, tuntas, sederhana dan biaya ringan. Cepat, tepat dan tuntas menyangkut cara penyelesaian atau pemeriksaan perkara. Cepatnya penyelesaian, berarti bahwa pemeriksaannya tidak bertele-tele atau Seen, tertunda-tunda tanpa alasan-alasan yang penting, yang nya akan mengakibatkan terjadinya kongesti atau tunggakan perkara. Tepat dan tuntas, terutama menyangkut putusan pengadilan. 12 Bab I. Pendahuluan Putusan pengadilan harus tepat sasarannya, hakim harus tepat mengetahui apakah yang sesungguhnya yang menjadi pokok sengketa. Putusan pengadilan baru tepat apabila konstatering peristiwanya dan kualifikasi peristiwanya itu tepat, yaitu peristiwa yang dianggap terbukti itu, sesuai dengan apa yang dituntut atau sesuai dengan kejadian yang sebenarnya terjadi, dan sesuai pula dengan pandangan masyarakat. Tuntas berarti bahwa putusannya sungguh-sungguh menyelesaikan atau mengakhiri perkara, sehingga tidak memungkinkan timbulnya perkara baru. Asas sederhana berhubungan dengan hukum acaranya. Hukum acara harus sederhana tidak berbelit-belit atau tidak formalitis, karena apabila formalitis akan mudah menimbulkan pelbagai penafsiran, kurang menjamin kepastian hukum dan menyebabkan keengganan atau ketakutan untuk beracara di muka pengadilan. Hukum acara yang sederhana dan mudah untuk dipahami, kecuali memperlancar jalannya peradilan juga akan membuat orang tidak segan beracara di pengadilan. Asas biaya ringan sangat penting artinya, karena biaya perkara yang tinggi akan membuat orang enggan berperkara. Tidak wajar kalau seseorang hendak menuntut haknya lewat pengadilan dipungut biaya yang tinggi. Jadi pada prinsipnya biaya perkara harus dapat dipikul oleh kebanyakan orang, dengan pengecualian khusus bagi mereka yang tidak mampu harus dibebaskan dari biaya perkara. Untuk lebih memantapkan dukungan ilmiah terhadap kebenaran proposisi kekuasaan kehakiman tunduk pada hukum, perlu dilakukan pembahasan yang lebih luas tentang keanekaragaman konsep negara hukum, sebagai batu loncatan untuk sampai pada jawaban apa hubungan antara negara hukum dengan hak asasi manusia. Dalam pengkajian Indonesia, penekanan negara hukum akan diletakkan pada pemikiran bahwa kekuasaan kehakiman Indonesia juga tunduk pada hukum. Pemikiran demikian, sangat penting untuk mengantarkan persepsi, bahwa tunduknya kekuasaan kehakiman pada hukum, Menyebabkan munculnya pemahaman akan adanya batas-batas kebebasan kekuasaan kehakiman, dalam memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Sehingga dari apa yang diuraikan di atas, sangat jelas hubungan antara negara hukum dengan hak asasi manusia. . Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum, ada 13 jara Hukum dan Hak Asasi Manusia pendapat mengatakan bahwa pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang Mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normatif mengenai supremasi hukum, adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik, adalah pengakuan yang tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang supreme. Bahkan, dalam Republik yang menganut sistem Presidentil yang bersifat murni, wajar apabila konstitusi itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai kepala negara. Itu sebabnya, dalam sistem pemerintahan presidentil, tidak dikenal adanya pembedaan antara kepala negara dan kepala pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer (Mahmuda Ismail, 1997:24). Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakat- kan secara luas, dalam rangka mempromosikan penghormatan dan Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, sebagai ciri yang penting suatu negara hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya negara dan demikian pula Penyelenggaraan kekuasaan suatu negara, tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu, oleh karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap negara yang disebut sebagai negara hukum. Jika dalam suatu negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan Penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti yang sesungguhnya. Untuk melihat lebih lanjut hubungan negara hukum dengan hak asasi manusia, dapat dikaji dari sudut pandang demokrasi, sebab hak asasi manusia dan demokrasi, merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan, dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. Hak asasi manusia dan demokrasi juga dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia, untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya konsepsi hak asasi manusia dan demokrasi yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan. Konsepsi hak asasi manusia dan demokrasi dapat dilacak secara teologis berupa relativitas manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada 14 Bab I. Pendahuluan manusia yang dianggap menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima facie, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki potensi untuk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara mutlak hanya Tuhan, oleh karenanya semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya secara relatif. Pemikiran yang mengklaim sebagai benar secara mutlak, dan yang lain berarti salah secara mutlak, adalah pemikiran yang bertentangan dengan Kemanusiaan dan Ketuhanan. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya, sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta, hal ini dengan tegas dimuat dalam Pasal 1 butir 1 Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mendefinisikan Hak Asasi Manusia sebagai; seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia’. Setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi sosial, akan tetapi kenyataan Menunjukkan bahwa hal ini tidak mungkin dapat dilakukan secara individual, pencapaiannya harus melalui organisasi atau perkumpulan, untuk itu dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan ‘organisasi sosial tersebut dan diberi kekuasaan secara demokratis. Konsepsi demokrasi itulah yang memberikan landasan dan mekanis- me kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat. Berdasar- kan pada teori kontrak sosial, untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-sama. Untuk itu dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan bersama, batas-batas hak individual dan siapa yang bertanggung jawab, untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi disuatu negara, kemudian dielaborasi secara 15 Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia konsisten dalam hukum dan kebijakan negara (Jimly Asshiddigie, 2001:12), Proses demokrasi juga terwujud melalui prosedur pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan pejabat publik lainnya. Konsepsi hak asasi manusia dan demokrasi dalam perkembangannya, sangat terkait dengan konsepsi negara hukum. Dalam negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hierarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti, bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi, Supremasi konstitusi di samping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan’ demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi. Selain itu, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan Perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan Perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat. Sebagaimana telah dirumuskan dalam naskah Perubahan Kedua UUD Tahun 1945, ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia telah mendapatkan jaminan konstitusional yang sangat kuat dalam Undang- Undang Dasar. Sebagian besar materi UUD ini sebenarnya berasal dari rumusan Undang-Undang yang telah disahkan sebelumnya, yaitu Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia, sangat penting dan bahkan dianggap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum disuatu negara. Di samping hak-hak asasi manusia, harus pula dipa- hami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang juga bersifat asasi. Setiap orang, selama hidupnya memiliki hak dan kewajiban yang hakiki sebagai manusia. Pembentukan negara dan pemerintahan, untuk alasan apapun, tidak boleh menghilangkan prinsip hak dan kewajiban yang disandang oleh setiap manusia, karena itu jaminan hak dan kewajiban itu tidak ditentukan oleh kedu- 16 Bab I. Pendahuluan cs ee Pepsi dukan orang sebagai warga suatu negara. Setiap orang dimana pun ia berada harus dijamin hak-hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang dimana pun ia berada, juga wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagaimana mestinya. Keseimbangan kesadaran akan adanya hak dan kewajiban asasi ini merupakan ciri penting pandangan dasar bangsa Indonesia, mengenai manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Bangsa Indonesia memahami bahwa The Universal Declaration of Human Rights yang dicetuskan pada tahun 1948, merupakan per- nyataan umat manusia yang mengandung nilai-nilai universal yang wajib dihormati. Bersamaan dengan itu, bangsa Indonesia juga memandang bahwa The Universal Deciaration of Human Responsibility yang dicetuskan oleh Inter Action Council pada tahun 1997 juga mengandung nilai universal yang wajib dijunjung tinggi untuk melengkapi 7he Universal Declaration of. Human Rights tersebut. Kesadaran umum mengenai hak-hak dan kewajiban asasi manusia itu, menjiwai keseluruhan sistem hukum dan konstitusi Indonesia, oleh karena itu perlu diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar atas dasar pengertian-pengertian dasar yang dikembangkan sendiri oleh bangsa Indonesia. Sehingga dengan demikian, perumusannya dalam Undang-Undang Dasar ini mencakup warisan- warisan pemikiran mengenai hak asasi manusia dimasa lalu dan mencakup pula pemikiran-pemikiran yang masih terus akan berkem- bang dimasa-masa yang akan datang. Dari uraian-uraian di atas terlihat jelas hubungan antara negara hukum dengan hak asasi manusia, hubungan mana bukan’ hanya dalam bentuk formal semata-mata, dalam arti bahwa perlindungan hak asasi manusia merupakan ciri utama konsep negara hukum, tapi juga hubungan tersebut terlihat secara materil. Hubungan secara materil ini dilukiskan atau digambarkan dengan setiap sikap tindak penyelenggara negara harus bertumpu pada aturan hukum sebagai asas legalitas. Konstruksi yang demikian ini menunjukkan pada hakekatnya semua kebijakan dan sikap tindak penguasa bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia. Pada sisi lain, kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka, tanpa dipengaruhi oleh kekuasaan manapun, merupakan wujud perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam negara hukum. 17

You might also like