You are on page 1of 23

achmad dahlan

A fine WordPress.com site

Arsip Kategori: Makalah


Sampingan 2 Januari 2013

makalah hukum

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Aturan hukum mengenai masalah Abortus Profokatus dan Eutanasia sangat berbeda-beda di
seluruh dunia dan seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya dan
tersedianya perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara, tindakan ini dianggap legal,
sedangkan di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum. Karena sensitifnya isu ini,
pembatasan dan prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.

Tindakan aborsi menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia


dikategorikan sebagai tindakan kriminal. Pasal-pasal KUHP yang mengatur hal ini adalah pasal
299, 341, 342, 343, 346, 347, 348, dan 349 sedangkan tindakan eutanasia yang termasuk dalam
perbuatan tindakan pidana diatur dalam pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP).

1.2 RUMUSAN MASALAH

Apa yang di maksud Abortus Profokatus dan Eutanasia ?

1.3 TUJUAN

Mengetahui apa itu Abortus Profokatus dan apa itu Eutanasia

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Abortus

Gugur kandungan atau aborsi (bahasa Latin: abortus) adalah berhentinya kehamilan sebelum usia
kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan kematian janin. Apabila janin lahir selamat (hidup)
sebelum 38 minggu namun setelah 20 minggu, maka istilahnya adalah kelahiran prematur.
Dalam ilmu kedokteran, istilah-istilah ini digunakan untuk membedakan aborsi:
1. Spontaneous abortion: gugur kandungan yang disebabkan oleh trauma kecelakaan atau sebab-
sebab alami.
2. Induced abortion atau procured abortion: pengguguran kandungan yang disengaja. Termasuk
di dalamnya adalah:
o Therapeutic abortion: pengguguran yang dilakukan karena kehamilan tersebut mengancam
kesehatan jasmani atau rohani sang ibu, kadang-kadang dilakukan sesudah pemerkosaan.
o Eugenic abortion: pengguguran yang dilakukan terhadap janin yang cacat.
o Elective abortion: pengguguran yang dilakukan untuk alasan-alasan lain.
Dalam bahasa sehari-hari, istilah “keguguran” biasanya digunakan untuk spontaneous abortion,
sementara “aborsi” digunakan untuk induced abortion.
Aborsi merupakan masalah kesehatan masyarakat karena memberikan dampak pada kesakitan
dan kematian ibu. Sebagaimana diketahui penyebab utama kematian ibu hamil dan melahirkan
adalah perdarahan, infeksi dan eklampsia. Namun sebenarnya aborsi juga merupakan penyebab
kematian ibu, hanya saja muncul dalam bentuk komplikasi perdarahan dan sepsis (Gunawan,
2000)
2.2 Klasifikasi
a) Abortus spontanea
Abortus spontanea merupakan abortus yang berlangsung tanpa tindakan, dalam hal ini dibedakan
sebagai berikut:
• Abortus imminens, Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum 20
minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya dilatasi serviks.
• Abortus insipiens, Peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan
adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil konsepsi masih dalam uterus.
• Abortus inkompletus, Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu
dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus.
• Abortus kompletus, semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan.
b) Abortus provokatus
Abortus provokatus merupakan jenis abortus yang sengaja dibuat/dilakukan, yaitu dengan cara
menghentikan kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar tubuh ibu. Pada umumnya bayi
dianggap belum dapat hidup diluar kandungan apabila usia kehamilan belum mencapai 28
minggu, atau berat badan bayi kurang dari 1000 gram, walaupun terdapat beberapa kasus bayi
dengan berat dibawah 1000 gram dapat terus hidup.
Pengelompokan Abortus provokatus secara lebih spesifik:
1. Abortus Provokatus Medisinalis/Artificialis/Therapeuticus, abortus yang dilakukan dengan
disertai indikasi medik. Di Indonesia yang dimaksud dengan indikasi medik adalah demi
menyelamatkan nyawa ibu. Syarat-syaratnya:
• Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk
melakukannya (yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan) sesuai dengan
tanggung jawab profesi.
• Harus meminta pertimbangan tim ahli (ahli medis lain, agama, hukum, psikologi).
• Harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau suaminya atau keluarga terdekat.
• Dilakukan di sarana kesehatan yang memiliki tenaga/peralatan yang memadai, yang ditunjuk
oleh pemerintah.
• Prosedur tidak dirahasiakan.
• Dokumen medik harus lengkap.
2. Abortus Provokatus Kriminalis, aborsi yang sengaja dilakukan tanpa adanya indikasi medik
(ilegal). Biasanya pengguguran dilakukan dengan menggunakan alat-alat atau obat-obat tertentu.

2.3 Penyebab Abortus


Karakteristik ibu hamil dengan abortus yaitu:
• Umur Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan
adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia di bawah 20
tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi daripada kematian maternal yang terjadi pada usia 20-29
tahun. Kematian maternal meningkat kembali sesudah usia 30-35 tahun. Ibu-ibu yang terlalu
muda seringkali secara emosional dan fisik belum matang, selain pendidikan pada umumnya
rendah, ibu yang masih muda masih tergantung pada orang lain. Keguguran sebagian dilakukan
dengan sengaja untuk menghilangkan kehamilan remaja yang tidak dikehendaki. Keguguran
sengaja yang dilakukan oleh tenaga nonprofessional dapat menimbulkan akibat samping yang
serius seperti tingginya angka kematian dan infeksi alat reproduksi yang pada akhirnya dapat
menimbulkan kemandulan. Abortus yang terjadi pada remaja terjadi karena mereka belum matur
dan mereka belum memiliki sistem transfer plasenta seefisien wanita dewasa. Abortus dapat
terjadi juga pada ibu yang tua meskipun mereka telah berpengalaman, tetapi kondisi badannya
serta kesehatannya sudah mulai menurun sehingga dapat mempengaruhi janin intra uterine.
• Jarak hamil dan bersalin terlalu dekat Jarak kehamilan kurang dari 2 tahun dapat menimbulkan
pertumbuhan janin kurang baik, persalinan lama dan perdarahan pada saat persalinan karena
keadaan rahim belum pulih dengan baik. Ibu yang melahirkan anak dengan jarak yang sangat
berdekatan (di bawah dua tahun) akan mengalami peningkatan resiko terhadap terjadinya
perdarahan pada trimester III, termasuk karena alasan plasenta previa, anemia dan ketuban pecah
dini serta dapat melahirkan bayi dengan berat lahir rendah.
• Paritas ibu Anak lebih dari 4 dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan janin dan perdarahan
saat persalinan karena keadaan rahim biasanya sudah lemah. Paritas 2-3 merupakan paritas
paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 1 dan paritas tinggi (lebih dari 3)
mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian
maternal. Risiko pada paritas 1 dapat ditangani dengan asuhan obstetrik lebih baik, sedangkan
risiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian
kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan.
• Riwayat Kehamilan yang lalu Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan terjadinya abortus
lagi pada seorang wanita ialah 73% dan 83,6%. Sedangkan, Warton dan Fraser dan Llewellyn –
Jones memberi prognosis yang lebih baik, yaitu 25,9% dan 39% (Wiknjosastro, 2007).
1. Penyebab dari segi Maternal
Penyebab secara umum:
a) Infeksi akut
• virus, misalnya cacar, rubella, hepatitis.
• Infeksi bakteri, misalnya streptokokus.
• Parasit, misalnya malaria.
b) Infeksi kronis
• Sifilis, biasanya menyebabkan abortus pada trimester kedua.
• Tuberkulosis paru aktif.
• Keracunan, misalnya keracunan tembaga, timah, air raksa, dll.
• Penyakit kronis, misalnya :
 hipertensi
 nephritis
 diabetes
 anemia berat
 penyakit jantung
 toxemia gravidarum
• Gangguan fisiologis, misalnya Syok, ketakutan, dll.
• Trauma fisik.
c) Penyebab yang bersifat lokal:
• Fibroid, inkompetensia serviks.
• Radang pelvis kronis, endometrtis.
• Retroversi kronis.
• Hubungan seksual yang berlebihan sewaktu hamil, sehingga menyebabkan hiperemia dan
abortus.
2. Penyebab dari segi Janin
• Kematian janin akibat kelainan bawaan.
• Mola hidatidosa.
• Penyakit plasenta dan desidua, misalnya inflamasi dan degenerasi

2.4 Aspek Hukum Abortus


Abortus telah dilakukan oleh manusia selama berabad-abad, tetapi selama itu belum ada undang-
undang yang mengatur mengenai tindakan abortus. Peraturan mengenai hal ini pertama kali
dikeluarkan pada tahun 4 M di mana telah ada larangan untuk melakukan abortus. Sejak itu maka
undang-undang mengenai abortus terus mengalami perbaikan, apalagi dalam tahun-tahun
terakhir ini di mana mulai timbul suatu revolusi dalam sikap masyarakat dan pemerintah di
berbagai negara di dunia terhadap tindakan abortus.
Hukum abortus di berbagai negara dapat digolongkan dalam beberapa kategori sebagai berikut:
• Hukum yang tanpa pengecualian melarang abortus, seperti di Belanda.
• Hukum yang memperbolehkan abortus demi keselamatan kehidupan penderita (ibu), seperti di
Perancis dan Pakistan.
• Hukum yang memperbolehkan abortus atas indikasi medik, seperti di Kanada, Muangthai dan
Swiss.
• Hukum yang memperbolehkan abortus atas indikasi sosio-medik, seperti di Eslandia, Swedia,
Inggris, Scandinavia, dan India.
• Hukum yang memperbolehkan abortus atas indikasi sosial, seperti di Jepang, Polandia, dan
Yugoslavia.
• Hukum yang memperbolehkan abortus atas permintaan tanpa memperhatikan indikasi-indikasi
lainnya (Abortion on requst atau Abortion on demand), seperti di Bulgaris, Hongaria, USSR,
Singapura.
• Hukum yang memperbolehkan abortus atas indikasi eugenistis (aborsi boleh dilakukan bila
fetus yang akan lahir menderita cacat yang serius) misalnya di India
• Hukum yang memperbolehkan aborsi atas indikasi humanitarian (misalnya bila hamil akibat
perkosaan) seperti di Jepang
Negara-negara yang mengadakan perubahan dalam hukum abortus pada umumnya
mengemukakan salah satu alasan/tujuan seperti yang tersebut di bawah ini:
• Untuk memberikan perlindungan hukum pada para medisi yang melakukan abortus atas
indikasi medik.
• Untuk mencegah atau mengurangi terjadinya abortus provocatus criminalis.
• Untuk mengendalikan laju pertambahan penduduk.
• Untuk melindungi hal wanita dalam menentukan sendiri nasib kandungannnya.
• Untuk memenuhi desakan masyarakat.
Pada penjelasan UU no 23 tahun 1992 pasal 15 dinyatakan sebagai berikut:
Ayat (1) :
Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun, dilarang karena
bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan.
Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu atau janin yang
dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu
Ayat (2)
Butir a : Indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan
medis tertentu sebab tanpa tindakan medis tertentu itu,ibu hamil dan janinnya terancam bahaya
maut.
Butir b : Tenaga kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis tertentu adalah tenaga yang
memiliki keahlian dan wewenang untuk melakukannya yaitu seorang dokter ahli kandungan
seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan.
Butir c : Hak utama untuk memberikan persetujuan ada ibu hamil yang bersangkutan kecuali
dalam keadaan tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuannya ,dapat diminta dari
semua atau keluarganya.
Butir d : Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan peralatan
yang memadai untuk tindakan tersebut dan ditunjuk oleh pemerintah.
Ayat (3) :
Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanan dari pasal ini dijabarkan antara lain mengenal
keadaan darurat dalam menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya,tenaga kesehatan
mempunyai keahlian dan wewenang bentuk persetujuan, sarana kesehatan yang ditunjuk.
Abortus Provocatus Criminalis ( Abortus buatan illegal ) Yaitu pengguguran kandungan yang
tujuannya selain untuk menyelamatkan atau menyembuhkan si ibu, dilakukan oleh tenaga yang
tidak kompeten serta tidak memenuhi syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang.
Abortus golongan ini sering juga disebut dengan abortus provocatus criminalis karena di
dalamnya mengandung unsur kriminal atau kejahatan. Beberapa pasal yang mengatur abortus
provocatus dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP):
PASAL 299
1. Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati, dengan
diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat
digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak
empat pulu ribu rupiah.
2. Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan
tersebut sebagai pencaharian atau kebiasaan atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat,
pidananya dapat ditambah sepertiga.
3. Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencaharian, maka dapat
dicabut haknya untuk melakukan pencaharian.
PASAL 346
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh
orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
PASAL 347
1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa
persetujuan, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
2. Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling
lama lima belas tahun.
PASAL 348
1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seseorang wanita
dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
2. Jika perbuatan tersebut mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikarenakan pidana penjara
paling lama tujuh tahun.
PASAL 349
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal
346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam
pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengn sepertiga
dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.

PASAL 535

Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukkan suatu sarana untuk menggugurkan


kandungan, maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, ataupun secara
terang-terangn atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat,
sarana atau perantaraan yang demikian itu, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan atau
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Dari rumusan pasal-pasal tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan :


1. Seorang wanita hamil yang sengaja melakukan abortus atau ia menyuruh orang lain, diancam
hukuman empat tahun.
2. Seseorang yang sengaja melakukan abortus terhadap ibu hamil, dengan tanpa persetujuan ibu
hamil tersebut diancam hukuman 12 tahun, dan jika ibu hamil itu mati diancam 15 tahun
3. Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun penjara dan bila ibu
hamil tersebut mati diancam hukuman 7 tahun penjara.
4. Jika yang melakukan dan atau membantu melakukan abortus tersebut seorang dokter, bidan
atau juru obat (tenaga kesehatan) ancaman hukumannya ditambah sepertiganya dan hak untuk
praktek dapat dicabut.
Meskipun dalam KUHP tidak terdapat satu pasal pun yang memperbolehkan seorang dokter
melakukan abortus atas indikasi medik, sekalipun untuk menyelamatkan jiwa ibu, dalam
prakteknya dokter yang melakukannya tidak dihukum bila ia dapat mengemukakan alasan yang
kuat dan alasan tersebut diterima oleh hakim (Pasal 48). Selain KUHP, abortus buatan yang
ilegal juga diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan:

PASAL 80
Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana
dengan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah
2.5 Sejarah Eutanasia
1. Asal-usul kata eutanasia
Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu “eu” (= baik) and “thanatos” (maut, kematian)
yang apabila digabungkan berarti “kematian yang baik”. Hippokrates pertama kali menggunakan
istilah “eutanasia” ini pada “sumpah Hippokrates” yang ditulis pada masa 400-300 SM.Sumpah
tersebut berbunyi: “Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan
kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu”.Dalam sejarah hukum Inggris yaitu
common law sejak tahun 1300 hingga saat “bunuh diri” ataupun “membantu pelaksanaan bunuh
diri” tidak diperbolehkan.
2. Eutanasia dalam dunia modern
Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah
Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan
di negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh
beberapa negara bagian.
Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung dilakukannya
eutanasia secara sukarela.

Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di
Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia agresif,
walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika
maupun Inggris.
Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien yang
bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya.
Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit
parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan eutanasia
kepada dokter sebagai bentuk “pembunuhan berdasarkan belas kasihan”.
Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam suatu
“program” eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderita
keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka
tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 (“Action T4″) yang kelak diberlakukan
juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia.
3. Eutanasia pada masa setelah perang dunia
Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan eutanasia, pada era
tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap eutanasia, terlebih-lebih lagi
terhadap tindakan eutanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan
oleh cacat genetika.

4. Praktek-praktek eutanasia zaman dahulu kala


Praktek-praktek Eutanasia yang dilaporkan dalam berbagai tindakan masyarakat:
• Di India pernah dipraktekkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam
sungai Gangga.
• Di Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya di zaman purba.
• Uruguay mencantumkan kebebasan praktek eutanasia dalam undang-undang yang telah berlaku
sejak tahun 1933.
• Di beberapa negara Eropa, praktek eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang
sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.
• Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bagian mencantumkan eutanasia sebagai
kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika
Serikat.
• Satu-satunya negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para anggotanya adalah
Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu dapat meminta tindakan
eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam
praktek medis, biasanya tidaklah pernah dilakukan eutanasia aktif, akan tetapi mungkin ada
praktek-praktek medis yang dapat digolongkan eutanasia pasif.

2.6 Terminologi Eutanasia


1. Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya
Ditinjau dari sudut maknanya maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu eutanasia
pasif, eutanasia agresif dan eutanasia non agresif
• Eutanasia agresif : atau suatu tindakan eutanasia aktif yaitu suatu tindakan secara sengaja yang
dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup si
pasien. Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya pemberian
tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien.
• Eutanasia non agresif : atau kadang juga disebut autoeuthanasia (eutanasia otomatis)yang
termasuk kategori eutanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan
dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan sipasien mengetahui bahwa penolakannya
tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat
sebuah “codicil” (pernyataan tertulis tangan). Auto-eutanasia pada dasarnya adalah suatu praktek
eutanasia pasif atas permintaan.
• Eutanasia pasif : juga bisa dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak
menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit.
Tindakan pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan
medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen
bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika
kepada penderita pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan operasi yang seharusnya
dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara pemberian obat penghilang
rasa sakit seperti morfin walaupun disadari bahwa pemberian morfin ini juga dapat berakibat
ganda yaitu mengakibatkan kematian. Eutanasia pasif ini seringkali secara terselubung dilakukan
oleh kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis, maupun pihak keluarga yang
menghendaki kematian seseorang atau keputusasaan keluargan karena ketidak sanggupan
menanggung beban biaya pengobatan. Ini biasanya terjadi pada keluarga pasien yang tidak
mungkin untuk membayar biaya pengobatannya, dan pihak rumah sakit akan meminta untuk
dibuat “pernyataan pulang paksa”. Bila meninggal pun pasien diharapkan mati secara alamiah.
Ini sebagai upaya defensif medis.
2. Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin
Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
• Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan
keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan
pembunuhan.
• Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan
perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi
apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan
misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo).
Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk
mengambil keputusan bagi si pasien.
• Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga
masih merupakan hal kontroversial.
3. Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan
Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :
• Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
• Eutanasia hewan
• Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara
sukarela.
2.7 Eutanasia menurut hukum diberbagai negara
Sejauh ini eutanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta ditoleransi di negara
bagian Oregon di Amerika, Kolombia dan Swiss dan dibeberapa negara dinyatakan sebagai
kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark
1. Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan eutanasia,
undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002 [6], yang menjadikan
Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien
yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri
penderitaannya.
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia
dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sebuah karangan berjudul “The Slippery Slope of Dutch Euthanasia” dalam majalah Human Life
International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak
tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut
di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut
adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan
membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor
semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul
tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah
dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia
pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.
2. Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan UU yang
mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada
tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut “Right of the terminally ill bill” (UU
tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan
Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.
3. Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002. Para
pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya telah
dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia dinegara ini, namun mereka juga
mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya
untuk menciptakan “birokrasi kematian”.
Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia (setelah Belanda dan negara
bagian Oregon di Amerika ).
Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan
undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan
psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan
hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.
4. Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya
negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien
yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang
pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan
UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act)[8]. Tetapi undang-undang
ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan
cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh
diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus
diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di
antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh
memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis
penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak
berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan
pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang
dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari
tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam
Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya
sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang
pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999. Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu
Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya
eutanasia.
5. Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan
hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344
Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa “Barang siapa menghilangkan
nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan
sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”. Juga demikian halnya nampak
pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi
unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang
berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu
pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan bahwa :
Eutanasia atau “pembunuhan tanpa penderitaan” hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai
dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. “Euthanasia hingga saat ini tidak
sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku
yakni KUHP.
6. Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss ataupun orang
asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak
tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa “membantu suatu pelaksanaan bunuh diri
adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya semata untuk
kepentingan diri sendiri.”
Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk melakukan pengelompokan
terhadap obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang.
7. Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya (Britain’s
Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan
Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan
eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah
ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata guna memohon
dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor “kemungkinan hidup si bayi” sebagai suatu
legitimasi praktek kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di kerajaan
Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).
Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-
BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.
8. Jepang
Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang eutanasia demikian pula
Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah mengatur mengenai
eutanasia tersebut.
Ada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang dapat
dikategorikan sebagai “eutanasia pasif” (消極的安楽死, shōkyokuteki anrakushi)
Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai university pada tahun 1995
yang dikategorikan sebagai “eutanasia aktif ” (積極的安楽死, sekkyokuteki anrakushi)
Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka hukum dan suatu
alasan pembenar dimana eutanasia secara aktif dan pasif boleh dilakukan secara legal. Meskipun
demikian eutanasia yang dilakukan selain pada kedua kasus tersebut adalah tetap dinyatakan
melawan hukum, dimana dokter yang melakukannya akan dianggap bersalah oleh karena
merampas kehidupan pasiennya. Oleh karena keputusan pengadilan ini masih diajukan banding
ke tingkat federal maka keputusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum sebagai sebuah
yurisprudensi, namun meskipun demikian saat ini Jepang memiliki suatu kerangka hukum
sementara guna melaksanakan eutanasia.

9. Republik Ceko
Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan berdasarkan
peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan dari rancangan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud
untuk memasukkan eutanasia dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan dengan
ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite
hukum negara tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut dihapus dari
rancangan tersebut.
10. India
Di India eutanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai larangan eutanasia
terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal 300 dari Kitab Undang-undang
Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun berdasarkan aturan tersebut
dokter yang melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kelalaian yang mengakibatkan
kematian dan bukannya pembunuhan yang hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304
IPC, namun ini hanyalah diberlakukan terhadap kasus eutanasia sukarela dimana sipasien
sendirilah yang menginginkan kematian dimana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan
eutanasia tersebut (bantuan eutanasia). Pada kasus eutanasia secara tidak sukarela (atas keinginan
orang lain) ataupun eutanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman berdasarkan
pasal 92 IPC.
11. China
Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutansia diketahui terjadi
pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama “Wang Mingcheng” meminta
seorang dokter untuk melakukan eutanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya polisi
menangkapnya juga si dokter yang melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun kemudian
Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People’s Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada
tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan
untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya eutanasia atas dirinya namun
ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan.
12. Afrika Selatan
Di Afrika Selatan belum ada suatu aturan hukum yang secara tegas mengatur tentang eutanasia
sehingga sangat memungkinkan bagi para pelaku eutanasia untuk berkelit dari jerat hukum yang
ada.
13. Korea
Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang eutanasia di Korea, namun
telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi)yang di Korea dikenal dengan “Kasus rumah
sakit Boramae” dimana dua orang dokter yang didakwa mengizinkan dihentikannya penanganan
medis pada seorang pasien yang menderita sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya.
Polisi kemudian menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi
catatan bahwa dokter tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah. Namun kasus ini tidak
menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy killing dalam arti kata eutanasia aktif.
Pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa ” pada kasus tertentu dari penghentian
penanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan eutanasia pasif, dapat diperkenankan
apabila pasien terminal meminta penghentian dari perawatan medis terhadap dirinya
2.8 Eutanasia menurut ajaran agama
1. Dalam ajaran gereja Katolik Roma
Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas
mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan,
sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus
Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan eutanasia
Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup,
adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan menetapkan pedoman.
Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi untuk ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi
tentang eutanasia (“Declaratio de euthanasia”) yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut,
khususnya dengan semakin meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan
gencarnya promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes
Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik Injil
Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar melawan “gejala yang
paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian’ dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan
lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu.” Paus Yohanes Paulus II juga
menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang
semu: “Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas
kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung” (Evangelium
Vitae, nomor 66).

2. Dalam ajaran agama Hindu


Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma,
moksa dan ahimsa.
Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud
perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau
tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari “karma” yang buruk adalah menjadi penghalang
“moksa” yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama
dari penganut ajaran Hindu.
Ahimsa adalah merupakan prinsip “anti kekerasan” atau pantang menyakiti siapapun juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu dengan pemikiran
bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi
oleh karena menghasilkan “karma” buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu
kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan
kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya
tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat
dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani
kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan
hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu
maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke
dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan “karma” nya terdahulu yang
belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.
3. Dalam ajaran agama Buddha
Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana penghindaran
untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah satu moral dalam ajaran
Budha. Berdasarkan pada hal tersebut di atas maka nampak jelas bahwa euthanasia adalah
sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha. Selain daripada hal
tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada “welas asih” (“karuna”)
Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap
perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi “karma” negatif kepada
siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang
tersebut.
4. Dalam ajaran Islam
Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak
seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada
manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22:
66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks
dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada
sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, “Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS 2: 195), dan dalam ayat lain
disebutkan, “Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri,” (QS 4: 29), yang makna langsungnya
adalah “Janganlah kamu saling berbunuhan.” Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang
membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu
tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih
sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun
negatif.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa
tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun pembunuhan
berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga
a) Eutanasia positif
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa’al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si
sakit—karena kasih sayang—yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen
(alat).
Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif)adalah tidak diperkenankan oleh
syara’. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter melakukan suatu tindakan aktif dengan tujuan
membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis dan
ini termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang
membinasakan.
Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang
mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena
bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya.
Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta’ala, karena Dia-lah yang memberi
kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-
Nya.
b) Eutanasia negatif
Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa’il. Pada eutanasia negatif tidak
dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia
hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan
pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak
memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam
semesta) dan hukum sebab-akibat.
Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara’ ialah bahwa mengobati atau
berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab.
Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam
hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah,
dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).

5. Dalam ajaran gereja Ortodoks


Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang beriman sejak
kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian dan alam baka dengan doa,
upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Seluruh
kehidupan hingga kematian itu sendiri adalah merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan
gerejawi. Kematian itu adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol pertentangan dengan
kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang sangat kuat terhadap
prinsip pro-kehidupan dan oleh karenanya menentang anjuran eutanasia.
6. Dalam ajaran agama Yahudi
Ajaran agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya
kedalam “pembunuhan”. Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan
yang memberikannya kehidupan sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun
tujuannya mulia sekalipun, sebuah tindakan mercy killing ( pembunuhan berdasarkan belas
kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap kewenangan Tuhan.
Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam alkitab Perjanjian Lama Kej
1:9 yang berbunyi :” Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut
balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan
menuntut nyawa sesama manusia”.Pengarang buku : Haktav v’hakaballah menjelaskan bahwa
ayat ini adalah merujuk kepada larangan tindakan eutanasia.
7. Dalam ajaran Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-
beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia.
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :[33]
• Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : ”
penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal
membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah
peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup
pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut”.
• Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan
medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan
medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat
dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan
pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh adalah
merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan
mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga
dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan
mereka atas pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah “bunuh
diri” dan “pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut “kekudusan
kehidupan” sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga
adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Melihat kondisi hukum mengenai abortus dan euthanasia di indonesia yang belum menyediakan
ruang untuk di legalkan maka hal ini masih dianggap ilegal di indonesia dan beberapa
negara.walaupun hal ini berkenaan dengan hak asasi manusia (HAM).
Meskipun dalam KUHP tidak terdapat satu pasal pun yang memperbolehkan seorang dokter
melakukan abortus atas indikasi medik, sekalipun untuk menyelamatkan jiwa ibu, dalam
prakteknya dokter yang melakukannya tidak dihukum bila ia dapat mengemukakan alasan yang
kuat dan alasan tersebut diterima oleh hakim
Eutanasia atau “pembunuhan tanpa penderitaan” hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai
dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. “Euthanasia hingga saat ini tidak
sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku
yakni KUHP.

3.2 Saran
Apabila hukum di indonesia kelak akan menjadikan persoalan abortus dan euthanasia sebagai
salah satu materi pembahasan,semoga tetap di perhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-
nilainya, baik sosial,etika maupun moral

DAFTAR PUSTAKA

Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
Pradono, Julianty et al. Pengguguran yang Tidak Aman di Indonesia, SDKI 1997. Jurnal
Epidemiologi Indonesia. Volume 5 Edisi I-2001. hal. 14-19.
KUHP
UU Kesehatan
http://situs.kesrepro.info/gendervaw/jul/2002/utama02.htm http://www.abortiono.org
http://www.liputan6.com http://www.kompas.co.id
Apuranto, H dan Hoediyanto. 2006. Ilmu Kedokteran Forensik Dan Medikolegal. Surabaya: Bag.
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran UNAIR
Wibudi.Aris,Euthanasia (makalah)http;//www.myquran.org/09 Agustus 2005
Kristiantoro Amb sigit,Euthanasia,perspektif moral hidup http ://www.kompas.com/kompas-
cetak/0410/15/ilpeng/1325806.htm jumat 15 oktober 2004
Tongat.euthanasia dalam perspektif hukum pidana di indonesia (makalah) malang,14 februari
2005

Makalah Hukum
Posted in Makalah
Tinggalkan komentar

29 Desember 2012
MAKALAH KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA (KDRT)

 
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan dan berpengaruh sangat
besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga.
Keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting
yang memimpin keluarga disamping beberapa anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga
terdiri dari Ayah, ibu, dan anak merupakan sebuah satu kesatuan yang memiliki hubungan yang
sangat baik. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian dalam hubungan timbal balik
antar semua anggota/individu dalam keluarga. Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh
anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan,
kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik, mental, emosi dan sosial) seluruh anggota
keluarga. Keluarga disebut disharmonis apabila terjadi sebaliknya. 
     Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri maupun orang tua dengan anak merupakan
hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan
tanpa konflik namun konflik dalam rumah tangga bukanlah sesuatu yang menakutkan. Hampir
semua keluarga pernah mengalaminya. Yang mejadi berbeda adalah bagaimana cara mengatasi
dan menyelesaikan hal tersebut.
Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya masing-masing. Apabila
masalah diselesaikan secara baik dan sehat maka setiap anggota keluarga akan mendapatkan
pelajaran yang berharga yaitu menyadari dan mengerti perasaan, kepribadian dan pengendalian
emosi tiap anggota keluarga sehingga terwujudlah kebahagiaan dalam keluarga. Penyelesaian
konflik secara sehat terjadi bila masing-masing anggota keluarga tidak mengedepankan
kepentingan pribadi, mencari akar permasalahan dan membuat solusi yang sama-sama
menguntungkan anggota keluarga melalui komunikasi yang baik dan lancar. Disisi lain, apabila
konflik diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan semakin sering terjadi dalam keluarga.
Penyelesaian masalah dilakukan dengan marah yang berlebih-lebihan, hentakan-hentakan fisik
sebagai pelampiasan kemarahan, teriakan dan makian maupun ekspresi wajah menyeramkan.
Terkadang muncul perilaku seperti menyerang, memaksa, mengancam atau melakukan
kekerasan fisik. Perilaku seperti ini dapat dikatakan pada tindakan kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) yang diartikan  setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
 
B.     Rumusan Masalah
a.       Apa yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga ?
b.      Apa saja bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga ?
c.       Apakah faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga ?
d.      Bagaimana cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga ?
 
C.    Tujuan Pembuatan Makalah
a.       Mengetahui apa yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah tangga.
b.      Mengetahui bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga.
c.       Mengetahui faktor-fartor apa saja yang menjadi penyebab Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
d.      Mengetahui cara penanggulangan kekerasan dalam Rumah Tangga.
 
 
 
PEMBAHASAN
 
A.    Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang No.23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan hukum dalam Undang-
undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain menegaskan bahwa:
a.       Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebes dari segala bentuk 
kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Republik Indonesia tahun 1945.
b.      Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga merupakan
pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk
deskriminasi yang harus dihapus.
c.       Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan, hal itu
harus mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas
dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat
dan martabat kemanusiaan.
d.      Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d perlu dibentuk Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri sebenarnya merupakan unsur yang berat
dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) pasal
356 yang secara garis besar isi pasal yang berbunyi:
“Barang siapa yang melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, isteri
atau anak diancam hukuman pidana”
 
B.     Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam  rumah
tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :
a.       Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul,
meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok,
memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti
bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
b.      Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.
Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-
komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar,
mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.
c.       Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa
melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan
pihak istri.
d.      Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut
hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini
adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri (http://kompas.com., 2006).
 
C.    Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga
Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur masyarakat dan
keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence)
sebagai berikut:
a.       Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga
mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
b.      Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita
(istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri
mengalami tindakan kekerasan.
c.       Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak.  Ketika
terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga
tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
d.      Wanita sebagai anak-anak
Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan kele-luasaan
laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita.  Laki-laki merasa
punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap
anaknya agar menjadi tertib.
e.       Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya,
diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau
ditutup.  Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum
bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.
 
D.    Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga, diperlukan cara-cara
penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain:
a.       Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada agamanya
sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh
kesabaran.
b.      Harus  tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena didalam agama
itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga
antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap pendapat yang ada.
c.       Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah
tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan
dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan
dalam rumah tangga.
d.      Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar anggota
keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa
saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa
kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang
kadang juga berlebih-lebihan.
e.       Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam keluarga,
sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga
kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.
 
 
 
KESIMPULAN
 
Seharusnya seorang suami dan istri harus banyak bertanya dan belajar, seperti membaca buku
yang memang isi bukunya itu bercerita tentang bagaimana cara menerapkan sebuah keluarga
yang sakinah, mawaddah dan warahmah.
Di dalam sebuah rumah tangga butuh komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta
sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada
keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu
timbulnya kekerasan dalam rumah tangga. Seharusnya seorang suami dan istri bisa mengimbangi
kebutuhan psikis, di mana kebutuhan itu sangat mempengaruhi keinginan kedua belah pihak
yang bertentangan. Seorang suami atau istri harus bisa saling menghargai pendapat pasangannya
masing-masing.
Seperti halnya dalam berpacaran. Untuk mempertahankan sebuah hubungan, butuh rasa saling
percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya. Begitu juga halnya dalam rumah tangga
harus dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi
kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat
cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan. Tidak sedikit
seorang suami yang sifat seperti itu, terkadang suami juga melarang istrinya untuk beraktivitas di
luar rumah. Karena mungkin takut istrinya diambil orang atau yang lainnya. jika sudah begitu
kegiatan seorang istri jadi terbatas. Kurang bergaul dan berbaur dengan orang lain. Ini adalah
dampak dari sikap seorang suami yang memiliki sifat cemburu yang terlalu tinggi. Banyak
contoh yang kita lihat dilingkungan kita, kajadian seperti itu. Sifat rasa cemburu bisa
menimbukan kekerasan dalam rumah tangga.
Maka dari itu, di dalam sebuah rumah tangga kedua belah pihak harus sama-sama menjaga agar
tidak terjadi konflik yang bisa menimbulkan kekerasan. Tidak hanya satu pihak yang bisa
memicu konflik di dalam rumah tangga, bisa suami maupun istri. Sebelum kita melihat
kesalahan orang lain, marilah kita berkaca pada diri kita sendiri. Sebenarnya apa yang terjadi
pada diri kita, sehingga menimbulkan perubahan sifat yang terjadi pada pasangan kita masing-
masing.
CONTOH KASUS
 
Contoh Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga yang terjadi dimasyarakat :
Contoh kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga yang kami ambil adalah Kekerasan dalam
Rumah Tangga yang dialami oleh Cici Paramida. Dimana dalam kasus KDRTnya ini, wajah Cici
Paramida babak belur akibat peristiwa penabarakan yang diduga dilakukan suaminya, Suhaebi.
Peristiwa itu sendiri berawal ketika Cici yang mencurigai suaminya membawa perempuan lain
mencoba mengejar mobil suaminya hingga ke kawasan puncak, Kabupaten Bogor. Saat kedua
mobil tiba di kawasan Gang Semen, Jalan Raya Puncak, Cisarua, mobil Cici menyalip.
Cici kemudian turun dari mobil. “Saat dia mau mendekati mobil itu, tiba-tiba mobil digas
sehingga menyerempet Cici. Akibatnya Cici Paramida  tampak terluka di bagian wajah dan
lengan seperti bekas tersenggol. Kemudian atas Kekerasan yang dilakukan oleh Suhebi, Cici
melaporkan tindakan kekerasan itu polisi.
Dari contoh kasus diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa seorang suami seharusnya
menjaga kepercayaan yang diberikan oleh istrinya. Suatu hubungan akan berjalan harmonis
apabila sebuah pasangan dilandasi dengan percaya kepada pasangannya. Namun kejadian ini
tidak akan terjadi apa bila sang istri menanyaka secara baik baik kepada suaminya. Apakah benar
ia bersama perempuan lain atau hanya sekedar rekan kerjanya.
 
 
DAFTAR PUSTAKA
 
Undang-undang tentang Penghapusan KDRT No. 23 tahun 2004,
Kenapa Laki-Laki Melakukan Tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)?
http://www.erwinmiradi.com/kenapa-laki-l… #erwinmiradi.com
Kekerasan pada Istri dalam rumah tangga
http://maureenlicious.wordpress.com/2011/04/28/kekerasan-pada-istri-dalam-rumah-tangga/
KDRT Cici Paramida, Suheaby diperiksa Polisi
http://syscomnet.info/kdrt-cici-paramida-suhaeby-diperiksa-polisi.html/
Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
http://student.eepisits.edu/~wily/kewarganegaraan/KEKERASAN%20PADA%20ISTRI
%20DALAM%RUMAH%TANGGA.html/
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
http://www.kantorhukum-lhs.com/details_artikel_hukum.php?id=14
Tips menanggulangi KDRT menurut Islam

http://ilalang.wordpress.com/2007/01/08/tips-menanggulangi-kdrt-menurut-islam/

Posted in Makalah
Tinggalkan komentar

Navigasi tulisan

Tulisan Terakhir
 Gila Jabatan Vs Gila Kuasa
 Pemimpin Serakah
 Teman Bukan Sahabat
 Meredakan Amarah
 Hindari Bakat Instan

Arsip
 April 2013
 Februari 2013
 Januari 2013
 Desember 2012

Kategori
 AGAMA
 ARTIKEL
 ayah
 ibu
 Islami
 Makalah
 SOSIAL POLITIK
Meta
 Mendaftar
 Masuk log
 RSS Entri
 RSS Komentar
 WordPress.com

Create a free website or blog at WordPress.com. | The Dusk To Dawn Theme.


Ikuti

Follow “achmad dahlan”

Get every new post delivered to your Inbox.

Bergabunglah dengan 1.131 pengikut lainnya.

Powered by WordPress.com

You might also like