You are on page 1of 30

MAKALAH

PENDIDIKAN KEWARGANAAN
“ INTEGRASI NASIONAL “

Di Buat oleh
Kelompok 9
Aminah (2022229)
Hariyati (2022238)
Markiah (2022247)
Nadi Safitri (2022259)
Ramuna (2022267)
Risti Ananda (2022270)
Supiatunnisa (2022276)

SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI AMUNTAI


(STIA)
PRODI ADMINISTRASI PUBLIK
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan kuruniaNya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Melalui makalah
ini, kami juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pengajar Drs. H. Raihani,
M.Pd selaku dosen pembimbing pada mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
yang telah memberi tugas makalah ini.
Dalam makalah ini kami membahas tentang Integrasi Nasional. Makalah ini
akan menjelaskan seluas-luasnya mengenai integrasi nasional yang kami rangkum
dari berbagai teori baik melalui buku maupun internet. Untuk itu semoga makalah
yang kami buat ini dapat menjadi dasar dan acuan kita menjadi lebih kreatif lagi
dalam membuat suatu laporan makalah.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, sehingga kami
masih membutuhkan saran dan bimbingan dari dosen pengajar dan teman-teman
semua.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah
SWT. senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin.

Amuntai, 9 Mei 2023


Penulis

Kelompok 9

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 2
C. Tujuan Masalah ....................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 3
A. Integrasi Nasional dan Pluraritas Masyarakat Indonesia ........................ 3
B. Strategi Integritas .................................................................................... 11
C. Integritas Nasional Indonesia .................................................................. 13
D. Faktor-faktor yang mempengaruhi integritas nasional ........................... 17
E. Bagaimana proses Integrasi Nasional di Indonesia ................................. 19
F. Ancaman terhadap Integrasi Nasional .................................................... 20
G. Cara Mengatasi Ancaman Integrasi Nasional ......................................... 24
BAB III PENUTUP ....................................................................................... 25
A. Kesimpulan ............................................................................................. 25
B. Saran ........................................................................................................ 25
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 26

iii
BAB I
PENDEHULUAN
A. Latar Belakang
Makalah ini dilatarbelakangi dari tugas yang diberikan oleh Dosen Mata
Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, yaitu Dosen Drs. H.Raihani,M.Pd selain itu
menjadi langkah awal untuk mengasah kemampuan kami dalam membuat
makalah sekaligus menambah wawasan mengenai Integrasi Nasional.
Sifat masyarakat Indonesia yang indiviualisme menjadi salah satu faktor
penyebab runtuhnya jiwa persatuan dan kesatuan bangsa. Maka dari itu
diperlukan pendidikan kewarganegaraan sejak dini untuk menumbuhkan
semangat jiwa berbangsa dan patriotisme. Semangat jiwa berbangsa dan
patriotisme diperlukan untuk tetap menjaga kebhinekaan bangsa, sebab dengan
menjaga kebhinekaan akan tercipta kehidupan yang aman dan tentram di setiap
lapisan masyarakat.
Sebagai generasi penerus bangsa, marilah kita memiliki rasa tanggung jawab
terhadap keutuhan dan kesatuan bangsa. Tidak hanya sebagai generasi penerus
bangsa, tetapi kita adalah generasi pelurus bangsa dimana menjunjung tinggi sikap
keadilan adalah suatu keharusan demi terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran
bangsa.
Sebagai warga Negara Indonesia yang baik, marilah kita memiliki rasa
Integrasi Nasional. Yaitu suatu sikap kepedulian terhadap sesame, serta memiliki
rasa persatuan yang tinggi, baik terhadap bangsa, negara, agama, social, budaya,
maupun keluarga. Tidak ada kata terlambat untuk memulai terciptanya kehidupan
yang berlandaskan Pancasia, berpegang teguh pada semboyan bangsa “Bhinneka
Tunggal Ika” dan bersandar hukum pada UUD.
Integrasi suatu bangsa terjadi karena adanya perpaduan dari berbagai
unsur, seperti suku bangsa, tradisi, kepercayaan atau agama, sosial budaya, dan
budaya ekonomi sehingga terwujud satu kesatuan wilayah, politik, ekonomi, sosial,
dan budaya yang membentuk jati diri suatu bangsa. Menurut Liddle, suatu
integrasi nasional yang tangguh hanya bisa berkembang apabila :
1. Sebagian besar anggota suatu masyarakat bersepakat tentang batas-batas
teritorial dari negara sebagai suatu kehidupan politik di mana mereka menjadi
warganya.
2. Apabila sebagian besar anggota masyarakat tersebut bersepakat mengenai
struktur pemerintahan dan aturan-aturan daripada proses-proses politik yang
berlaku bagi seluruh masyarakat diatas wilayah negara tersebut.
Suatu konsensus nasional mengenai bagaimana suatu kehidupan bersama
sebagai bangsa harus diwujudkan atau diselenggarakan, melalui suatu konsensus

1
nasional mengenai “sistem nilai” yang akan mendasari hubungan-hubungan sosial
di antara anggota suatu masyarakat negara. Adapun langkah-langkah yang dapat
dilakukan adalah :
1. Melakukan pengorbanan sebagai langkah penyesuaian antara banyak
perbedaan, perasaan, keinginan dan ukuran penilaian.
2. Mengembangkan sikap toleransi di dalam kelompok sosial.
3. Terciptanya kesadaran dan kesediaan untuk mencapai suatu konsensus.
4. Mengidentifikasi akar persamaan di antara kultur-kultur etnis yang ada.
5. Kemampuan segenap kelompok yang ada untuk berperan secara bersama-
sama dalam kehidupan budaya dan ekonomi.
6. Mengakomodasi timbulnya etnis.
7. Upaya yang kuat dalam melawan prasangka dan diskriminasi.
8. Menghilangkan pengkotak-pengkotakan kebudayaan.
Dalam konteks Indonesia, maka proses integrasi nasional haruslah berjalan
alamiah, sesuai dengan keanekaragaman budayanya dan harus lepas dari
hegemoni dan dominasi peran politik etnik tertentu. Suatu integrasi nasional yang
tangguh hanya akan berkembang di atas konsensus nasional mengenai batas-batas
suatu masyarakat politik dan sistem politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat
tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari integrasi Nasional
2. Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi integrasi nasional
3. Bagaimana proses Integrasi Nasional di Indonesia ?
4. Apa sajakah ancaman terhadap Integrasi Nasional ?
5. Bagaimana cara mengatasi ancaman Integrasi Nasional ?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian integrasi nasional
2. Mengetahui faktor-faktor pendorong dan pendukung integrasi nasional
3. Mengetahui bagaimana proses Integrasi Nasional di Indonesia.
4. Mengetahui bahaya dari ancaman Integrasi Nasional.
5. Mengetahui cara mengatasi ancaman Integrasi Nasional.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Integrasi Nasional dan Pluralitas Masyarakat Indonesia


1. Pengertian Integrasi Nasional
Integrasi nasional adalah upaya menyatukan seluruh unsur suatu bangsa
dengan pemerintah dan wilayahnya (Saafroedin Bahar,1998). “Mengintegrasikan”
berarti membuat untuk atau menyempurnakan dengan jalan menyatukan unsur-
unsur yang semula terpisah-pisah. Menurut Howard Wrigins (1996), integrasi
berarti penyatuan bangsa-bangsa yang berbeda dari suatu masyarakat menjadi
suatu keseluruhan yang lebih utuh atau memadukan masyarakat-masyarakat kecil
yang banyak menjadi satu bangsa. Jadi menurutnya, integrasi bangsa dilihatnya
sebagai peralihan dari banyak masyarakat kecil menjadi satu masyarakat besar.
Tentang integrasi, Myron Weiner (1971) memberikan lima definisi mengenai
integrasi, yaitu :
a. Integrasi menunjuk pada proses penyatuan berbagai kelompok budaya dan
sosial dalam satu wilayah dan proses pembentukan identitas nasional,
membangun rasa kebangsaan dengan cara menghapus kesetiaan pada ikatan-
ikatan yang lebih sempit.
b. Integrasi menunjuk pada masalah pembentukan wewenang kekuasaan
nasional pusat di atas unit-unit sosial yang lebih kecil yang beranggotakan
kelompok-kelompok sosial budaya masyarakat tertentu.
c. Integrasi menunjuk pada masalah menghubungkan antara pemerintah dengan
yang diperintah. Mendekatkan perbedaanperbedaan mengenai aspirasi dan
nilai pada kelompok elit dan massa.
d. Integrasi menunjuk pada adanya konsensus terhadap nilai yang minimum yang
diperlukan dalam memelihara tertib sosial.
e. Integrasi menunjuk pada penciptaan tingkah laku yang terintegrasi dan yang
diterima demi mencapai tujuan bersama.
Sejalan dengan definisi tersebut, Myron Weiner membedakan 5

3
(lima) tipe integrasi yaitu integrasi nasional, integrasi wilayah, integrasi
nilai, integrasi elit-massa, dan integrasi tingkah laku (tindakan integratif). Integrasi
merupakan upaya menyatukan bangsa-bangsa yang berbeda dari suatu
masyarakat menjadi satu keseluruhan yang lebih utuh, atau memadukan
masyarakat kecil yang banyak jumlahnya menjadi satu bangsa.
Howard Wriggins (1996) menyebut ada 5 (lima) pendekatan atau cara
bagaimana para pemimpin politik mengembangkan integrasi bangsa. Kelima
pendekatan yang selanjutnya kami sebut sebagai faktor yang menentukan tingkat
integrasi suatu negara adalah: 1) adanya ancaman dari luar, 2) gaya politik
kepemimpinan, 3) kekuatan lembaga-lembaga politik, 4) ideologi nasional, dan 5)
kesempatan pembangunan ekonomi. Hampir senada dengan pendapat di atas,
Sunyoto Usman (1998) menyatakan bahwa suatu kelompok masyarakat dapat
terintegrasi apabila, 1) masyarakat dapat menemukan dan menyepakati nilai-nilai
fundamental yang dapat dijadikan rujukan bersama, 2) masyarakat terhimpun
dalam unit sosial sekaligus memiliki “croos cutting affiliation” sehingga
menghasilkan “croos cutting loyality”, dan 3) masyarakat berada di atas saling
ketergantungan di antara unit-unit sosial yang terhimpun di dalamnya dalam
pemenuhan kebutuhan ekonomi.

2. Pentingnya Integrasi Nasional


Masyarakat yang terintegrasi dengan baik merupakan harapan bagi setiap
negara. Sebab integrasi masyarakat merupakan kondisi yang diperlukan bagi
negara untuk membangun kejayaan nasional demi mencapai tujuan yang
diharapkan. Ketika masyarakat suatu negara senantiasa diwarnai oleh
pertentangan atau konflik, maka akan banyak kerugian yang diderita, baik kerugian
berupa fisik materiil seperti kerusakan sarana dan prasarana yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat, maupun kerugian mental spiritual seperti perasaan
kekawatiran, cemas, ketakutan, bahkan juga tekanan mental yang berkepanjangan.
Di sisi lain banyak pula potensi sumber daya yang dimiliki oleh negara, yang
mestinya dapat digunakan untuk melaksanakan pembangunan bagi kesejahteraan
masyarakat, harus dikorbankan untuk menyelesaikan konflik tersebut. Dengan
demikian negara yang senantiasa diwarnai konflik di dalamnya akan sulit untuk
mewujudkan kemajuan.
Integrasi masyarakat yang sepenuhnya memang sesuatu yang tidak
mungkin diwujudkan, karena setiap masyarakat di samping membawakan potensi
integrasi juga menyimpan potensi konflik atau pertentangan. Persamaan
kepentingan, kebutuhan untuk bekerjasama, serta konsensus tentang nilai-nilai
tertentu dalam masyarakat, merupan potensi yang mengintegrasikan. Sebaliknya
perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat seperti perbedaan suku,
perbedaan agama, perbedaan budaya, dan perbedaan kepentingan adalah
menyimpan potensi konflik, terlebih apabila perbedaan-perbedaan itu tidak
dikelola dan disikapi dengan cara dan sikap yang tepat. Namun apapun kondisinya
integrasi masyarakat merupakan sesuatu yang sangan dibutuhkan untuk

4
membangun kejayaan bangsa dan negara, dan oleh karena itu perlu senantiasa
diupayakan. Kegagalan dalam mewujudkan integrasi masyarakat berarti kegagalan
untuk membangun kejayaan nasional, bahkan dapat mengancam kelangsungan
hidup bangsa dan negara yang bersangkutan.
Sejarah Indonesia adalah sejarah yang merupakan proses dari bersatunya
suku-suku bangsa menjadi sebuah bangsa. Ada semacam proses konvergensi, baik
yang disengaja atau tak disengaja, ke arah menyatunya suku-suku tersebut
menjadi satu kesatuan negara dan bangsa.(Sumartana dkk, 2001:100).

3. Pluralitas Masyarakat Indonesia


Kenyataan bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat pluralis
atau masyarakat majemuk merupakan suatu hal yang sudah samasama
dimengerti. Dengan meminjam istilah yang digunakan oleh Clifford Geertz,
masyarakat majemuk adalah merupakan masyarakat yang terbagibagi ke dalam
sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dalam mana masing-
masing sub sistem terikat ke dalam oleh ikatan-ikatan yang bersifat primordial.
(Geertz, 1963: 105 dst.) Apa yang dikatakan sebagai ikatan primordial di sini adalah
ikatan yang muncul dari perasaan yang lahir dari apa yang ada dalam kehidupan
sosial, yang sebagian besar berasal dari hubungan keluarga, ikatan kesukuan
tertentu, keanggotaan dalam keagamaan tertentu, budaya, bahasa atau dialek
tertentu, serta kebiasaan-kebiasaan tertentu, yang membawakan ikatan yang
sangat kuat dalam kehidupan masyarakat.
Sedangkan menurut Pierre L. van den Berghe masyarakat majemuk memiliki
karakteristik (Nasikun, 1993: 33):
a. Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang seringkali
memiliki sub-kebudayaan yang berbeda satu sama lain;
b. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembagalembaga yang
bersifat non-komplementer;
c. Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-
nilai yang bersifat dasar;
d. Secara relatif seringkali mengalami konflik di antara kelompok yang satu
dengan kelompok yang lain;
e. Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling
ketergantungan dalam bidang ekonomi;
f. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompokkelompok yang
lain.
Walaupun karakteristik masyarakat majemuk sebagaimana dikemukakan oleh
Pierre L. van den Berghe sebagaimana di atas tidak sepenuhnya mewakili
kenyataan yang ada dalam masyarakat Indonesia, akan tetapi pendapat tersebut
setidak-tidaknya dapat digunakan sebagai acuan berfikir dalam menganalisis
keadaan masyarakat Indonesia.
Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang unik. Secara
horizontal masyarakat Indonesia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-

5
kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaan
agama, adat, serta perbedaan-perbedaan kedaerahan. Secara vertikal struktur
masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaanperbedaan vertikal antara
lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. (Nasikun, 1993: 28).
Dalam dimensi horizontal kemajemukan masyarakat Indonesia dapat dilihat
dari adanya berbagai macam suku bangsa seperti suku bangsa Jawa, suku bangsa
Sunda, suku bangsa Batak, suku bangsa Minangkabau, suku bangsa Dayak, dan
masih banyak yang lain. Tentang berapa jumlah suku bangsa yang ada di Indonesia,
ternyata terdapat perbedaan yang cukup signifikan di antara para ahli tentang
indonesia. Hildred Geertz misalnya menyebutkan adanya lebih dari 300 suku
bangsa di Indonesia dengan bahasa dan identitas kulturalnya masing-masing.
Sedangkan Skinner menyebutkan lebih dari 35 suku bangsa di Indonesia dengan
bahasa dan adat istiadat yang berbeda satu sama lain. Perbedaan yang mencolok
dari jumlah suku bangsa yang disebutkan di atas bisa terjadi karena perbedaan
dalam melihat unsur-unsur keragaman pada masingmasing suku bangsa tersebut.
Namun seberapa jumlah suku bangsa yang disebutkan oleh masing-masing, cukup
rasanya untuk mengatakan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang
majemuk.
Sebelum kita menanggapi diri kita ini sebagai bangsa Indonesia, suku-suku
bangsa ini biasa dinamakan bangsa, seperti bangsa Melayu, bangsa Jawa, bangsa
Bugis, dan sebagainya. Masing-masing suku bangsa memiliki wilayah kediaman
sendiri, daerah tempat kediaman nenek moyang suku bangsa yang bersangkutan
yang pada umumnya dinyatakan melalui mitos yang meriwayatkan asal usul suku
bangsa yang bersangkutan. Anggota masing-masing suku bangsa cenderung
memiliki identitas tersendiri sebagai anggota suku bangsa yang bersangkutan,
sehingga dalam keadaan tertentu mereka mewujudkan rasa setiakawan,
solidaritas dengan sesama suku bangsa asal. (Bachtiar, 1992: 12).
Berkaitan erat dengan keragaman suku sebagaimana dikemukakan di atas
adalah keragaman adat- istiadat, budaya, dan bahasa daerah. Setiap suku bangsa
yang ada di Indonesia masing masing memiliki adat-istiadat, budaya, dan
bahasanya yang berbeda satu sama lain, yang sekarang dikenal sebagai adat-
istiadat, budaya, dan bahasa daerah. Kebudayaan suku selain terdiri atas nilai-nilai
dan aturan-aturan tertentu, juga terdiri atas kepercayaan-kepercayaan tertentu,
pengetahuan tertentu, serta sastra dan seni yang diwariskan dari generasi ke
generasi. Secara umum dapat dikatakan bahwa sebanyak suku bangsa yang ada di
Indonesia, setidaktidaknya sebanyak itu pula dapat dijumpai keragaman adat-
istiadat, budaya serta bahasa daerah di Indonesia.
Di samping suku-suku bangsa tersebut di atas, yang bisa dikatakan sebagai
suku bangsa asli, di Indonesia juga terdapat kelompok warga masyarakat yang lain
yang sering dikatakan sebagai warga peranakan. Mereka itu seperti warga
peranakan Cina, peranakan Arab, peranakan India. Kelompok warga masyarakat
tersebut juga memiliki kebudayaannya sendiri, yang tidak mesti sama dengan
budaya suku-suku asli di Indonesia, sehingga muncul budaya orang-orang Cina,

6
budaya orang-orang Arab, budaya orang-orang India, dan lain-lain. Kadang-kadang
mereka juga menampakkan diri dalam kesatuan tempat tinggal, sehingga di kota-
kota besar di Indonesia dijumpai adanya sebutan Kampung Pecinan, Kampung
Arab, dan mungkin masih ada yang lain.
Keberagaman suku bangsa di Indonesia sebagaimana diuraikan di atas
terutama disebabkan oleh keadaan geografis Indonesia yang merupakan negara
kepulauan dengan jumlah pulau yang sangat banyak dan letaknya yang saling
berjauhan. Dalam kondisi yang demikian nenek moyang bangsa Indonesia yang
kira-kira 2000 tahun SM secara bergelombang datang dari daerah yang sekarang
dikenal sebagai daerah Tiongkok Selatan, mereka harus tinggal menetap di daerah
yang terpisah satu sama lain. Karena isolasi geografis antara satu pulau dengan
pulau yang lain, mengakibatkan masing-masing penghuni pulau itu dalam waktu
yang cukup lama mengembangkan kebudayaannya sendiri-sendiri terpisah satu
sama lain. Di situlah secara perlahan-lahan identitas kesukuan itu terbentuk, atas
keyakinan bahwa mereka masing-masing berasal dari satu nenek moyang, dan
memiliki kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan suku yang lain.
Kemajemukan lainnya dalam masyarakat Indonesia ditampilkan dalam wujud
keberagaman agama. Di Indonesia hidup bermacam-macam agama yang secara
resmi diakui sah oleh pemerintah, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan
Kong Hu Chu. Di samping itu masih dijumpai adanya berbagai aliran kepercayaan
yang dianut oleh masyarakat.
Keragaman agama di Indonesia terutama merupakan hasil pengaruh letak
Indonesia di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia yang menempatkan
Indonesia di tengah-tengah lalu lintas perdagangan laut melalui kedua samodra
tersebut. Dengan posisi yang demikian Indonesia sejak lama mendapatkan
pengaruh dari bangsa lain melalui kegiatan para pedagang, di antaranya adalah
pengaruh agama. Pengaruh yang datang pertama kali adalah pengaruh agama
Hindu dan Budha yang dibawa oleh para pedagang dari India sejak kira-kira tahun
400 Masehi. Pengaruh yang datang berikutnya adalah pengaruh agama Islam
datang sejak kira-kira tahun 1300 Masehi, dan benar-benar mengalami proses
penyebaran yang meluas sepanjang abad ke15. Pengaruh yang datang belakangan
adalah pengaruh agama Kristen dan Katholik yang dibawa oleh bangsa-bangsa
Barat sejak kira-kira tahun 1500 Masehi.
Sesuai dengan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa kondisi perbedaan
dalam masyarakat Indonesia sebagaimana dimaksud terkait dengan beberapa
faktor yang saling berkaitan satu sama lain. Faktor-faktor tersebut secara garis
besar meliputi faktor historis, faktor ekologis, dan faktor perubahan sosial
budaya.(Mutakin, 1998:29). Faktor historis merupakan faktor yang berkaitan
dengan sejarah asal mula terbentuknya masyarakat Indonesia, faktor ekologis
merupakan faktor yang terkait dengan kondisi fisik geografis Indonesia, dan faktor
perubahan sosial yang terjadi seiring dengan perjalanan waktu masyarakat
membangun kehidupan bersama.

7
4. Potensi Konflik dalam Masyarakat Indonesia
Dengan kondisi masyarakat Indonesia yang diwarnai oleh berbagai
keanekaragaman, harus disadari bahwa masyarakat Indonesia menyimpan potensi
konflik yang cukup besar, baik konflik yang bersifat vertikal maupun bersifat
horizontal. Konflik vertikal di sini dimaksudkan sebagai konflik antara pemerintah
dengan rakyat, termasuk di dalamnya adalah konflik antara pemerintah daerah
dengan pemerintah pusat. Sedangkan konflik horizontal adalah konflik antarwarga
masyarakat atau antarkelompok yang terdapat dalam masyarakat.
Dalam dimensi vertikal, sepanjang sejarah sejak proklamasi Indonesia
hampir tidak pernah lepas dari gejolak kedaerahan berupa tuntutan untuk
memisahkan diri. Kasus Aceh, Papua, Ambon merupakan konflik yang bersifat
vertikal yang bertujuan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Kasus-kasus tersebut merupakan perwujudan konflik antara
masyarakat daerah dengan otoritas kekuasaan yang ada di pusat. Konflik tersebut
merupakan ekspresi ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat yang
diberlakukan di daerah. Di samping itu juga adanya kepentingan-kepentingan
tertentu dari masyarakat yang ada di daerah.
Kebijakan pemerintah pusat sering dianggap memunculkan kesenjangan
antardaerah, sehingga ada daerah-daerah tertentu yang sangat maju
pembangunannya, sementara ada daerah-daerah yang masih terbelakang. Dalam
hubungan ini, isu dikhotomi Jawa-luar Jawa sangat menonjol, di mana Jawa
dianggap merepresentasikan pusat kekuasaan yang kondisinya sangat maju,
sementara banya daerah-daerah di luar Jawa yang merasa menyumbangkan
pendapatan yang besar pada negara, kondisinya masih terbelakang.
Menurut Stedman (1991:373), penyebab konflik kedaerahan adala h:
1) Krisis pemerintahan nasional, baik karena persoalan suksesi maupun jatuh
bangunnya pemerintahan karena lemahnya konstitusi.
2) Kegagalan lembaga-lembaga negara menengahi konflik, baik yang
melibatkan unsur-unsurr masyarakat maupun lembaga-lembaga negara.
3) Pembatasan partisipasi politik warga negara di daerah-daerah.
4) Ketidakadilan distribusi sumber daya ekonomi nasional dan sulitnya akses
masyarakat di daerah terhadap sumber daya tersebut.
5) Rezim yang tidak responsif terhadap tuntutan warga negara dan tidak
bertanggungjawab terhadap rakyatnya.

Dengan mengacu pada faktor-faktor terjadinya konflik kedaerahan


sebagaimana disebutkan di atas, konflik kedaerahan di Indonesia agaknya terkait
secara akumulatif dengan berbagai faktor tersebut.
Di samping konflik vertikal tersebut, konflik horizontal juga sering muncul,
baik konflik yang berlatarbelakang keagamaan, kesukuan, antarkelompok atau
golongan dan semacamnya yang muncul dalam bentuk kerusuhan, perang
antarsuku, pembakaran rumah-rumah ibadah, dan sebagainya. Dalam hal ini dapat
kita sebutkan kasus-kasus yang terjadi di Poso, Sampit, Ambon, kasus di Lombok,

8
dan masih ada tempat-tempat yang lain. Terjadinya konflik horizontal biasanya juga
merupakan akumulasi dari berbagai faktor baik faktor kesukuan atau etnis, agama,
ekonomi, sosial, dan sebagainya. Apa yang tampak sebagai kerusuhan yang
berlatarbelakang agama bisa jadi lebih terkait dengan sentimen etnis atau
kesukuan, begitu juga dengan konflik yang tampak dengan latar belakang etnis
atau keagamaan sebenarnya hanya merupakan perwujudan dari kecemburuan
sosial.
Berkenaan dengan konflik horizontal, khususnya konflik etnis terdapat
pandangan konstruktivis yang menyatakan bahwa konflik etnik merupakan
konstruksi sosial, yaitu hasil dari pengalaman historis serta diskursus etnisitas
dengan identitas. Pandangan ini merupakan sintesa dari pandangan primordialis
dan pandangan instrumentalis. Pandangan primordialis mengatakan bahwa konflik
etnik dapat dilacak akarnya pada sifat naluri alamiah saling memiliki, dan sifat
kesukuan (tribalism) berdasar pada perbedaan bahasa, ras, kekerabatan,
tempramen, dan tradisi suku-suku yang berkonflik. Sedangkan pandangan
instrumentalis menolak pendapat ini dengan menekankan sifat lentur dari
identitas etnik yang biasa digunakan, dimobilisasi, dan dimanipulasi oleh
kelompok-kelompok elite dan negara untuk tujuan politik tertentu.
Konflik horizontal lainnya yang juga sering terjadi adalah konflik yang
berlatar belakan keagamaan. Konflik keagamaan sering terjadi dalam intensitas
yang sangat tinggi oleh karena agama merupakan sesuatu hal yang sifatnya sangat
sensitif. Ketersinggungan yang bernuansa keagamaan sering memunculkan
pertentangan yang meruncing yang disertai dengan tindak kekerasan di antara
kelompok penganut suatu agama dan kelompok penganut agama lainnya. Konflik
dengan intensitas yang demikian tinggi disebabkan karena masalah yang
bernuansa keagamaan sangat mudah membangkitkan solidaritas di kalangan
sesama pemeluk agama untuk melibatkan diri ke dalam konflik yang sedang
berlangsung, dengan suatu keyakinan bahwa perang ataupun konflik membela
agama adalah perjuangan yang suci.
Suatu pendapat menyatakan bahwa terjadinya konflik keagamaan
disebabkan oleh eksklusivitas dari sementara pemimpin dan penganut agama;
sikap tertutup dan saling curiga antaragama; keterkaitan yang berlebihan dengan
simbol-simbol keagamaan; agama yang seharusnya merupakan tujuan hanya
dijadikan sebagai alat; serta faktor lain yang berupa kondisi sosial, politik dan
ekonomi (Assegaf dalam: Sumartana, 2001:34-37). Apa yang disebutkan paling
akhir memberikan pemahaman bahwa konflik berlatarbelakang keagamaan tidak
lepas dari aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat. Tindak kekerasan
antarumat beragama biasanya terjadi apabila kepentingan-kepentingan tertentu
memainkan peranan dalam percaturan hubungan anatarumat beragama (Ismail,
1999:1). Dengan demikian, apa yang dikatakan sebagai konflik agama ketika
dicermati ternyata bukan konflik yang berlatarbelakang keagamaan tetapi konflik
lain yang memanfaatkan simbol-simbol agama sebagai sarana membangkitkan
solidaritas kelompoknya.

9
Konflik horizontal juga banyak terjadi dengan latar belakang perbedaan
kepentingan, baik kepentingan politik, ekonomi, maupun sosial. Kepentingan suatu
kelompok berbeda atau bahkan bertentangan satu sama lain, sehingga upaya
suatu kelompok untuk mencapai tujuan dirasakan mengganggu pencapaian tujuan
kelompok lainnya. konflik yang demikian biasanya tidak bersifat laten akan tetapi
hanya merupakan kejadian sesaat, dan ketika kepentingan itu bergeser, konflik pun
akan selesai dan bahkan berubah menjadi kerjasama. Konflik antarpendukung
partai, calon presiden, atau kepala desa misalnya merupakan beberapa contoh di
antaranya.
Kecenderungan terjadinya disintegrasi semakin besar ketika antara satu
daerah dengan daerah lain yang saling terpisah itu menunjukkan kondisi kemajuan
sosial ekonomi yang jauh berbeda satu sama lain. Dengan lain perkataan terjadi
kesenjangan yang tajam antar daerah. Kesenjangan antar daerah akan
memunculkan kecemburuan antara daerah satu dengan daerah lainnya, di mana
daerah yang kondisinya “terbelakang” merasa dianaktirikan oleh pemerintah
pusat. Oleh karena itu maka untuk menghindari terjadinya disintegrasi,
pemerintah perlu melaksanakan pembangunan yang merata di seluruh daerah
untuk mewujudkan kemajuan yang seimbang antara satu daerah dengan daerah
lainnya.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah adanya daerah-daerah yang
merasa terpencil dan terisolasi dari daerah lainnya. Keadaan yang demikian
disebabkan oleh minimnya sarana transportasi dan sarana komunikasi. Oleh
karena itu keberadaan sarana transportasi dan sarana komuinikasi yang memadai
merupakan suatu hal yang sangat penting.
Ketika satu daerah dengan daerah lain jaraknya berjauhan dihubungkan
dengan sarana transportasi dan sarana komunikasi yang memadai, maka jarak
yang jauh itu akan terkesan lebih dekat dan tidak ada daerah yang merasa terisolasi
dari daerah yang lain. Karena itu menanggapi kondisi wilayah geografis yang sangat
luas dan saling terpisah satu sama lain, pemerintah perlu membangun sarana
transportasi dan sarana komunikasi yang memadai. Dengan demikian mobilitas
penduduk antar daerah dapat terjadi dengan lancar, arus informasi dan
komunikasi juga dapat berjalan dengan baik sehingga tidak ada daerah yang
merasa terpencil dan terisolasi dari daerah lainnya. Tersedianya sarana
transportasi dan komunikasi antar daerah juga akan memicu perkembangan
daerah-daerah yang bersangkutan, dan pada gilirannya akan mengurangi
kecenderungan disintegrasi.
Berbagai keragaman masyarakat sebagaimana diuraikan di atas dan kondisi
negara kepulauan juga membentuk pola pemilahan sosial (Social Cleavage) yang
akan ikut berpengaruh pada upaya mewujudkan integrasi nasional. Masalah
pemilahan sosial menggambarkan pola pengelompokan masyarakat terkait
dengan berbagai aspek perbedaan yang ada di dalamnya. Pola pemilahan sosial
dapat dibedakan atas pemilahan sosial yang bersifat consolidated dan pola
pemilahan sosial yang bercorak intersected. Pemilahan sosial yang bercorak

10
consolidated merupakan pola pemilahan sosial di mana dua atau lebih kelompok
masyarakat sekaligus membawakan beberapa aspek perbedaan di antara mereka.
Sedangkan pemilahan sosial yang bercorak intersected merupakan pemilahan
sosial di mana beberapa aspek perbedaan jatuh pada pengelompokan masyarakat
secara tidak bersamaan melainkan saling berpotongan atau interseksi. Pemilahan
sosial yang lebih mendukung upaya mewujudkan integrasi nasional adalah
pemilahan yang bercorak intersected. Sedangkan dalam beberapa hal pemilahan
masyarakat Indonesia menampakkan pola consolidated, suatu pola pemilahan
yang sesungguhnya kurang mendukung upaya pembinaan integrasi nasional.
B. Strategi Integrasi
Masalah integrasi nasional merupakan persoalan yang dialami oleh semua
negara, terutama adalah negara-negara berkembang. Dalam usianya yang masih
relatif muda dalam membangun negara bangsa (nation state), ikatan antara
kelompok-kelompok yang berbeda dalam negara masih rentan dan mudah tersulut
untuk terjadinya pertentangan antar kelompok. Di samping itu masyarakat di
negara berkembang umumnya memiliki ikatan primordial yang masih kuat.
Kuatnya ikatan primordial menjadikan masyarakat lebih terpancang pada ikatan-
ikatan primer yang lebih sempit seperti ikatan keluarga, ikatan kesukuan, ikatan
sesama pemeluk agama, dan sebagainya. Dengan demikian upaya mewujudkan
integrasi nasional yang notabene mendasarkan pada ikatan yang lebih luas dan
melawati batas-batas kekeluargaan, kesukuan, dan keagamaan menjadi sulit untuk
diwujudkan.
Dalam rangka mengupayakan terwujudnya integrasi nasional yang mantap ada
beberapa strategi yang mungkin ditempuh, yaitu:
1. Stategi Asilmilasi
2. Strategi Akulturasi
3. Strategi Pluralis
Ketiga strategi tersebut terkait dengan seberapa jauh penghargaan yang
diberikan atas unsur-unsur perbedaan yang ada dalam masyarakat. Srtategi
asimilasi, akulturasi, dan pluralisme masing-masing menunjukkan penghargaan
yang secara gradual berbeda dari yang paling kurang, yang lebih, dan yang paling
besar penghargaannya terhadap unsur-unsur perbedaan dalam masyarakat, di
dalam upaya mewujudkan integrasi nasional tersebut.
1. Strategi Asimilasi
Asimilasi adalah proses percampuran dua macam kebudayaan atau lebih
menjadi satu kebudayaan yang baru, di mana dengan percampuran tersebut maka
masing-masing unsur budaya melebur menjadi satu sehingga dalam kebudayaan
yang baru itu tidak tampak lagi identitas masing-masing budaya pembentuknya.
Ketika asimilasi ini menjadi sebuah strategi integrasi nasional, berarti bahwa
negara mengintegrasikan masyarakatnya dengan mengupayakan agar unsur-unsur
budaya yang ada dalam negara itu benar-benar melebur menjadi satu dan tidak

11
lagi menampakkan identitas budaya kelompok atau budaya lokal. Dengan strategi
yang demikian tampak bahwa upaya mewujudkan integrasi nasional dilakukan
tanpa menghargai unsur-unsur budaya kelompok atau budaya lokal dalam
masyarakat negara yang bersangkutan. Dalam konteks perubahan budaya,
asimilasi memang bisa saja terjadi dengan sendirinya oleh adanya kondisi tertentu
dalam masyarakat. Namun bisa juga hal itu merupakan bagian dari strategi
pemerintah negara dalam mengintegrasikan masyarakatnya, yaitu dengan cara
melakukan rekayasa budaya agar integrasi nasional dapat diwujudkan. Dilihat dari
perspektif demokrasi, apabila upaya yang demikian itu dilakukan dapat dikatakan
sebagai cara yang kurang demokratis dalam mewujudkan integrasi nasional.
2. Strategi Akulturasi
Akulturasi adalah proses percampuran dua macam kebudayaan atau lebih
sehingga memunculkan kebudayaan yang baru, di mana ciri-ciri budaya asli
pembentuknya masih tampak dalam kebudayaan baru tersebut. Dengan demikian
berarti bahwa kebudayaan baru yang terbentuk tidak “melumat” semua unsur
budaya pembentuknya. Apabila akulturasi ini menjadi strategi integrasi yang
diterapkan oleh pemerintah suatu negara, berarti bahwa negara mengintegrasikan
masyarakatnya dengan mengupayakan adanya identitas budaya bersama namun
tidak menghilangkan seluruh unsur budaya kelompok atau budaya lokal. Dengan
strategi yang demikian tampak bahwa upaya mewujudkan integrasi nasional
dilakukan dengan tetap menghargai unsur-unsur budaya kelompok atau budaya
lokal, walaupun penghargaan tersebut dalam kadar yang tidak terlalu besar.
Sebagaimana asimilasi, proses akulturasi juga bisa terjadi dengan sendirinya tanpa
sengaja dikendalikan oleh negara. Namun bisa juga akulturasi menjadi bagian dari
strategi pemerintah negara dalam mengintegrasikan masyarakatnya. Dihat dari
perspektif demokrasi, strategi integrasi nasional melalui upaya akulturasi dapat
dikatakan sebagai cara yang cukup demokratis dalam mewujudkan integrasi
nasional, karena masih menunjukkan penghargaan terhadap unsur-unsur budaya
kelompok atau budaya lokal.
3. Strategi Pluralis
Paham pluralis merupakan paham yang menghargai terdapatnya
perbedaan dalam masyarakat. Paham pluralis pada prinsipnya mewujudkan
integrasi nasional dengan memberi kesempatan pada segala unsur perbedaan
yang ada dalam masyarakat untuk hidup dan berkembang. Ini berarti bahwa
dengan strategi pluralis, dalam mewujudkan integrasi nasional negara memberi
kesempatan kepada semua unsur keragaman dalam negara, baik suku, agama,
budaya daerah, dan perbedaan-perbedaan lainnya untuk tumbuh dan
berkembang, serta hidup berdampingan secara damai. Jadi integrasi nasional
diwujudkan dengan tetap menghargai terdapatnya perbedaan-perbedaan dalam
masyarakat. Hal ini sejalan dengan pandangan multikulturalisme, bahwa setiap

12
unsur perbedaan memiliki nilai dan kedudukan yang sama, sehingga
masingmasing berhak mendapatkan kesempatan untuk berkembang.

C. Integrasi Nasional Indonesia


1. Dimensi Integrasi Nasional
Integrasi nasional dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan
dimensi horisontal. Dimensi vertikal dari integrasi adalah dimensi yang berkenaan
dengan upaya menyatukan persepsi, keinginan, dan harapan yang ada antara elite
dan massa atau antara pemerintah dengan rakyat. Jadi integrasi vertikal
merupakan upaya mewujudkan integrasi dengan menjebatani perbedaan-
perbedaan antara pemerintah dan rakyat. Integrasi nasional dalam dimensi yang
demikian biasa disebut dengan integrasi politik. Sedangkan dimensi horisontal
daari integrasi adalah dimensi yang berkenaan dengan upaya mewujudkan
persatuan di antara perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat itu sendiri,
baik perbedaan wilayah tempat tinggal, perbedaan suku, perbedaan agama,
perbedaan budaya, dan pernedaan-perbedaan lainnya. Jadi integrasi horisontal
merupakan upaya mewujudkan integrasi dengan menjembatani perbedaan antar
kelompok dalam masyarakat. Integrasi nasional dalam dimensi ini biasa disebut
dengan integrasi teritorial.
Pengertian integrasi nasional mecakup baik dimensi vertikal maupun
dimensi horisontal. Dengan demikian persoalan integrasi nasional menyangkut
keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat, serta keserasian hubungan di
antara kelompok-kelompok dalam masyarakat dengan latar belakang perbedaan
di dalamnya.
Dalam upaya mewujudkan integrasi nasional Indonesia, tantangan yang
dihadapi datang dari keduanya. Dalam dimensi horizontal tantangan yang ada
berkenaan dengan pembelahan horizontal yang berakar pada perbedaan suku,
agama, ras, dan geografi. Sedangkan dalam dimensi vertikal tantangan yang ada
adalah berupa celah perbedaan antara elite dan massa, di mana latar belakang
pendidikan kekotaan menyebabkan kaum elite berbeda dari massa yang
cenderung berpandangan tradisional. Masalah yang berkenaan dengan dimensi
vertikal lebih sering muncul ke permukaan setelah berbaur dengan dimensi
horizontal, sehingga memberikan kesan bahwa dalam kasus Indonesia dimensi
horizontal lebih menonjol daripada dimensi vertikalnya. (Sjamsuddin, 1989: 11).
Tantangan integrasi nasional tersebut lebih menonjol ke permukaan
setelah memasuki era reformasi tahun 1998. Konflik horizontal maupun vertikal
sering terjadi bersamaan dengan melemahnya otoritas pemerintahan di pusat.
Kebebasan yang digulirkan pada era reformasi sebagai bagian dari proses
demokratisasi telah banyak disalahgunakan oleh kelompok-kelompok dalam
masyarakat untuk bertindak seenaknya sendiri, tindakan mana kemudian

13
memunculkan adanya gesekan-gesekan antar kelompok dalam masyarakat dan
memicu terjadinya konflik atau kerusuhan antar kelompok. Bersamaan dengan itu
demontrasi menentang kebijakan pemerintah juga banyak terjadi, bahkan
seringkali demonstrasi itu diikuti oleh tindakan-tindakan anarkhis.
Keinginan yang kuat dari pemerintah untuk mewujudkan aspirasi
masyarakat, kebijakan pemerintah yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan
masyarakat, dukungan masyarakat terhadap pemerintah yang sah, dan ketaatan
warga masyarakat melaksanakan kebijakan pemerintah adalah pertanda adanya
integrasi dalam arti vertikal. Sebaliknya kebijakan demi kebijakan yang diambil oleh
pemerintah yang tidak/kurang sesuai dengan keinginan dan harapan masyarakat
serta penolakan sebagian besar warga masyarakat terhadap kebijakan pemerintah
menggambarkan kurang adanya integrasi vertikal. Memang tidak ada kebijakan
pemerintah yang dapat melayani dan memuaskan seluruh warga masyarakat,
tetapi setidaktidaknya kebijakan pemerintah hendaknya dapat melayani keinginan
dan harapan sebagian besar warga masyarakat.
Sedangkan jalinan hubungan dan kerjasama di antara kelompokkelompok
yang berbeda dalam masyarakat, kesediaan untuk hidup berdampingan secara
damai dan saling menghargai antara kelompokkelompok masyarakat dengan
pembedaan yang ada satu sama lain, merupakan pertanda adanya integrasi dalam
arti horisontal. Kita juga tidak dapat mengharapkan terwujudnya integrasi
horisontal ini dalam arti yang sepenuhnya. Pertentangan atau konflik antar
kelompok dengan berbagai latar belakang perbedaan yang ada, tidak pernah
tertutup sama sekali kemungkinannya untuk terjadi. Namun yang diharapkan
bahwa konflik itu dapat dikelola dan dicarikan solusinya dengan baik, dan terjadi
dalam kadar yang tidak terlalu mengganggu upaya pembangunan bagi
kesejahteraan masyarakat dan pencapaian tujuan nasional.
2. Mewujudkan Integrasi Nasional Indonesia
Salah satu persoalan yang dialami oleh negara-negara berkembang
termasuk Indonesia dalam mewujudkan integrasi nasional adalah masalah
primordialisme yang masih kuat. Titik pusat goncangan primordial biasanya
berkisar pada beberapa hal, yaitu masalah hubungan darah (kesukuan), jenis
bangsa (ras), bahasa, daerah, agama, dan kebiasaan. (Geertz, dalam: Sudarsono,
1982: 5-7).
Di era globalisasi, tantangan itu bertambah oleh adanya tarikan global di
mana keberadaan negara-bangsa sering dirasa terlalu sempit untuk mewadahi
tuntutan dan kecenderungan global. Dengan demikian keberadaan negara berada
dalam dua tarikan sekaligus, yaitu tarikan dari luar berupa globalisasi yang
cenderung mangabaikan batas-batas negarabangsa, dan tarikan dari dalam berupa
kecenderungan menguatnya ikatanikatan yang sempit seperti ikatan etnis,

14
kesukuan, atau kedaerahan. Di situlah nasionalisme dan keberadaan negara
nasional mengalami tantangan yang semakin berat.
Namun demikian harus tetap diyakini bahwa nasionalisme sebagai
karakter bangsa tetap diperlukan di era Indonesia merdeka sebagai kekuatan untuk
menjaga eksistensi, sekaligus mewujudkan taraf peradaban yang luhur, kekuatan
yang tangguh, dan mencapai negara-bangsa yang besar. Nasionalisme sebagai
karakter semakin diperlukan dalam menjaga harkat dan martabat bangsa di era
globalisasi karena gelombang “peradaban kesejagatan” ditandai oleh semakin
kaburnya batas-batas teritorial negara akibat gempuran informasi global yang
nyaris tanpa hambatan yang dihadirkan oleh jaringan teknologi informasi dan
komunikasi. (Budimansyah dan Suryadi, 2008:164).
Dengan kondisi masyarakat Indonesia yang diwarnai oleh berbagai
keanekaragaman, harus disadari bahwa masyarakat Indonesia menyimpan potensi
konflik yang sangat besar, baik konflik yang bersifat vertikal maupun bersifat
horizontal. Dalam dimensi vertikal, sepanjang sejarah sejak proklamasi Indonesia
hampir tidak pernah lepas dari gejolak kedaerahan berupa tuntutan untuk
memisahkan diri. Sedangkan dalam dimensi horizontal, sering pula dijumpai
adanya gejolak atau pertentangan di antara kelompok-kelompok dalam
masyarakat, baik konflik yang bernuansa ras, kesukuan, keagamaan, atau
antargolongan. Di samping itu juga konflik yang bernuansa kecemburuan sosial.
Dalam skala nasional, kasus Aceh, Papua, Ambon merupakan konflik yang
bersifat vertikal dengan target untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Kasus-kasus tersebut dapat dilihat sebagai konflik antara
masyarakat daerah dengan otoritas kekuasaan yang ada di pusat. Di samping
masuknya kepentingan-kepentingan tertentu dari masyarakat yang ada di daerah,
munculnya konflik tersebut merupakan ekspresi ketidakpuasan terhadap
kebijakan pemerintah pusat yang diberlakukan di daerah. Kebijakan pemerintah
pusat dianggap memunculkan kesenjangan antardaerah, sehingga ada daerah-
daerah tertentu yang sangat maju pembangunannya, sementara ada daerah-
daerah yang masih terbelakang. Dalam hubungan ini, isu dikhotomi Jawa-luar Jawa
sangat menonjol, di mana Jawa dianggap merepresentasikan pusat kekuasaan
yang kondisinya sangat maju, sementara banya daerah-daerah di luar Jawa yang
merasa menyumbangkan pendapatan yang besar pada negara, kondisinya masih
terbelakang. Dengan mengacu pada faktor-faktor terjadinya konflik kedaerahan
sebagaimana disebutkan di atas, konflik kedaerahan di Indonesia agaknya terkait
secara akumulatif dengan berbagai faktor tersebut.
Di samping konflik vertikal tersebut, konflik horizontal juga sering muncul,
baik konflik yang berlatarbelakang keagamaan, kesukuan, antarkelompok atau
golongan dan semacamnya yang muncul dalam bentuk kerusuhan, perang
antarsuku, pembakaran rumah-rumah ibadah, dan sebagainya. Dalam hal ini dapat

15
kita sebutkan kasus-kasus yang terjadi di Poso, Sampit, Ambon, kasus di Lombok,
dan masih ada tempat-tempat yang lain. Terjadinya konflik horizontal biasanya juga
merupakan akumulasi dari berbagai faktor baik faktor kesukuan atau etnis, agama,
ekonomi, sosial, dan sebagainya. Apa yang tampak sebagai kerusuhan yang
berlatarbelakang agama bisa jadi lebih terkait dengan sentimen etnis atau
kesukuan, begitu juga dengan konflik yang tampak dengan latar belakang etnis
atau keagamaan sebenarnya hanya merupakan perwujudan dari kecemburuan
sosial.
Sejak awal berdirinya negara Indonesia, para pendiri negara menghendaki
persatuan di negara ini diwujudkan dengan menghargai terdapatnya perbedaan di
dalamnya. Artinya bahwa upaya mewujudkan integrasi nasional Indonesia
dilakukan dengan tetap memberi kesempatan kepada unsur-unsur perbedaan
yang ada untuk dapat tumbuh dan berkembang secara bersama-sama. Proses
pengesahan Pembukaan UUD 1945 oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 yang
bahannya diambil dari Naskah Piagam Jakarta, dan di dalamnya terdapat rumusan
dasar dasar negara Pancasila, menunjukkan pada kita betapa tokoh-tokoh pendiri
negara (the founding fathers) pada waktu itu menghargai perbedaan-perbedaan
yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Para pendiri negara rela
mengesampingkan persoalan perbedaan-perbedaan yang ada demi membangun
sebuah negara yang dapat melindungi seluruh rakyat Indonesia.
Sejalan dengan itu dipakailah semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya
walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu adanya. Semboyan tersebut sama
maknanya dengan istilah “unity in diversity”, yang artinya bersatu dalam
keanekaragaman, sebuah ungkapan yang menggambarkan cara menyatukan
secara demokratis suatu masyarakat yang di dalamnya diwarnai oleh adanya
berbagai perbedaan. Dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika tersebut segala
perbedaan dalam masyarakat ditanggapi bukan sebagai keadaan yang
menghambat persatuan dan kesatuan bangsa, melainkan sebagai kekayaan
budaya yang dapat dijadikan sumber pengayaan kebudayaan nasional kita.
Untuk terwujudnya masyarakat yang menggambarkan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika, diperlukan pandangan atau wawasan multikulturalisme.
Multikulturalisme adalah pandangan bahwa setiap kebudayaan memiliki nilai dan
kedudukan yang sama dengan kebudayaan lain, sehingga setiap kebudayaan
berhak mendapatkan tempat sebagaimana kebudayaan lainnya. (Baidhawy,
2005:5). Perwujudan dari multikulturalisme adalah kesediaan orang-orang dari
kebudayaan yang beragam untuk hidup berdampingan secara damai. Di sini
diperlukan sikap hidup yang memandang perbedaan di antara anggota
masyarakat sebagai kenyataan yang wajar dan tidak menjadikan perbedaan
tersebut sebagai alasan untuk berkonflik. Di samping itu perlu memandang
kebudayaan orang lain dari perspektif pemilik kebudayaan yang bersangkutan, dan

16
bukan memandang kebudayaan orang lain dari perspektif dirinya sendiri. Oleh
karena itu multikulturalisme menekankan pentingnya belajar tentang kebudayaan-
kebudayaan lain dan mencoba memahaminya secara penuh dan empatik sehingga
dapat menghargai kebudayaan-kebudayaan lain di samping kebudayaannya
sendiri.

D. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Integrasi Nasional


Di dalam Integrasi Nasional terdapat beberapa faktor yang memengaruhinya,
faktor-faktor tersebut yaitu sebagai berikut :
1. Faktor Pendorong Integrasi Nasional
faktor pendorong merupakan faktor yang mempengaruhi kemajuan suatu
proses atau tindakan tertentu yang dilakukan oleh seseorang maupun kelompok.
Dalam mewujudkan integrasi nasional, terdapat beberapa faktor yang mendorong
terwujudnya integrasi nasional di Indonesia. Adapun faktor pendorong tersebut
diantaranya :
a. Adanya rasa yang senasib dan seperjuangan yang diakibatkan oleh faktor-faktor
sejarah
Indonesia telah mengalami sejarah yang kelam di masa lalu, terutama zaman
dimana
Indonesia dijajah oleh bangsa lain selama bertahun-tahun. Dalam sejarah
kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, perjuangan yang dilakukan oleh
setiap elemen masyarakat untuk memperoleh kemerdekaan bukanlah sesuatu
yang sifatnya main-main. Rasa senasib seperjuangan di masa lalu yang terbawa
sampai dengan masa sekarang menjadi salah satu faktor pendorong untuk
mewujudkan integrasi nasional. Jika di masa lalu rasa senasib seperjuangan
digunakan untuk memujudkan kemerdekaan Indonesia, di era sekarang ini rasa
senasib seperjuangan digunakan untuk memperkuat stabilitas nasional demi
terwujudnya persatuan Indonesia dalam integrasi nasional.
b. Adanya ideologi nasional deologi nasional negara kita Indonesia adalah
Pancasila. Sebagai ideologi nasional, Pancasila tidak dapat digantikan oleh
ideologi manapun. Walalupun Indonesia terdiri dari banyak kepercayaan, arti
penting dan fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia tidak
bisa terlepas dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Pemaknaan ideologi
nasional yaitu Pancasila dilakukan melalui implementasi nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan integrasi nasional di Indonesia.
Melalui pemaknaan ideologi nasional yaitu Pancasila dalam kehidupan sehari-
hari, integrasi nasional akan lebih mudah untuk diwujudkan.
c. Adanya sikap tekad dan keinginan untuk kembali bersatu
Perbedaan dan kemajemukan di Indonesia bukanlah salah satu alasan untuk
dijadikan faktor penyebab konflik sosial yang terjadi di kalangan masyarakat.
Justru perbedaan

17
inilah yang membuat masyarakat Indonesia mempunyai keinginan untuk
mempersatukan perbedaan di dalam satu kesatuan bangsa yang utuh. Baik di
dalam masyarakat tradisonal dan modern, keinginan untuk mempersatukan
perbedaan di dalam kehidupan sehari-hari tentunya ada. Dalam kehidupan
berbangsa negara dan berbangsa Indonesia, keinginan untuk mempersatukan
bangsa merupakan salah satu perwujudan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai
dasar negara.
d. Adanya ancaman dari luar
Walupun Indonesia sudah merdeka selama 71 tahun, bukan tidak mungkin
ancaman dari luar itu masuk ke Indonesia. Ancaman-ancaman dari luar di era
globalisasi sekarang ini tidak dapat diartikan sebagai ancaman yang menjajah
seperti pada masa kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, untuk
mengantisipasi ancaman dari luar dalam kaitannya dengan bahaya globalisasi
dan modernisasi, integrasi nasional perlu diwujudkan di setiap lapisan
masyarakat yang ada tinggal di wilayah Indonesia.

2. Faktor Pendukung Integrasi Nasional


a. Penggunaan bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa. Jika melihat sejarah, hal ini
telah dikumandangkan sejak di gelorakan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober
1928 yang berbunyi “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa
persatuaan Bahasa Indonesia”. Dengan semangat para pemuda tersebut maka,
disepakati Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu tanpa memandang
perbedaan di dalamnya.
b. Semangat persatuan serta kesatuan di dalam Bangsa
Kesadaran akan persatuan perlu dimunculkan dalam semangat persatuan dan
kesatuan, hal ini diperlukan untuk menjalin rasa kekeluargaan, persahabatan,
dan sikap saling tolong-menolong antar sesama dan bersikap nasionalisme,
serta menjalin rasa kemanusiaan yang memiliki sikap dan toleransi serta
keharmonisan untuk hidup secara berdampingan.
c. Adanya Kepribadian dan pandangan hidup kebangsaan yang sama yakni
Pancasila Pancasila adalah landasan idiil bangsa yang kedudukannya sangat
berpengaruh bagi jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi
seseorang yang di dalam jiwanya terdapat sifat patriotisme yang tinggi, maka Ia
akan selalu menerapkan butir-butir Pancasila di setiap aspek kehidupannya.
d. Adanya jiwa dan rasa semangat dalam bergotong royong
Gotong royong berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang
didambakan. Sikap gotong royong adalah bekerja bersama-sama dalam
menyelesaikan pekerjaan dan secara bersama-sama menikmati hasil pekerjaan
tersebut secara adil. Serta suatu usaha atau pekerjaan yang dilakukan tanpa
pamrih dan secara sukarela oleh semua komponen masyarakat menurut batas
kemampuannya masing-masing.
3. Faktor Penghambat Integrasi Nasional

18
Faktor penghambat sendiri merupakan suatu penghalang untuk melakukan
tindakan secara individu maupun kelompok. Beberapa faktor penghambat
terwujudnya integrasi nasional diantaranya :
a. Kurangnya penghargaan terhadap kemajemukan
Indonesia adalah negara yang memiliki jumlah suku dan kebudayaan terbanyak
di dunia. Namun sayangnya, ada beberapa pandangan masyarakat terhadap
pemerintah tentang keberagaman ini. Ada beberapa kemajemukan yang
terdapat di dalam masyarakat yang kurang diperhatikan oleh pemerintah
terutama yang berkaitan dengan kebudayaan setempat. Kurangnya
penghargaan terhadap kemajemukan yang dilakukan oleh pemerintah maupun
masyarakat Indonesia sendiri membuat kemajemukan itu
terkikis secara perlahan-lahan.
b. Kurangnya toleransi antar sesama golongan.
Kurangnya toleransi terhadap keberagaman dan kemajemukan yang ada di
masyakat menjadi salah satu penyebab konflik sosial. Dampak akibat konflik
sosial yang terjadi di dalam masyarakat terutama dalam hal yang berkaitan
dengan toleransi akan mengurangi rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Selain
itu, kurangnya toleransi terhadap perbedaan yang terjadi secara terus-menerus
akan membuat sebuah bangsa hancur akan sendirinya sehingga integrasi
nasional tidak akan pernah terwujud.
c. Kurangnya kesadaran di dalam diri masing-masing rakyat Indonesia
Kurangnya kesadaran diri dalam diri masyarakat untuk menjaga persatuan dan
kesatuan juga menjadi salah satu faktor yang mengambat terwujudnya
integrasi nasional. Di era globalisasi, masyarakat menjadi lebih individualistis
dan cenderung tidak memperdulikan kondisi dan situasi yang ada di sekitarnya.
Jika tidak dicegah, rasa kesadaran diri yang berkurang sebagai dampak
globalisasi akan makin mempersulit terwujudnya integrasi nasional. Oleh
karena itu, diperlukan kiat-kiat untuk membangun karakter bangsa di era
globalisasi untuk meningkatkan kesadaran diri masyarakat untuk mewujudkan
rasa persatuan dan kesatuan demi terwujudnya integrasi nasional bangsa.
d. Adanya sikap ketidakpuasan terhadap ketimpangan dan ketidakmerataan
pembangunan Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka sebagian
wewenang dan
tanggungjawab pemerintah pusat telah dilimpahkan kepada pemerintah
daerah. Dengan begitu akan semakin nampak ketimpangan baik sosial maupun
ekonomi antar daerah. Untuk menyeimbangkan ketimpangan tersebut
diperlukan kesadaran diri akan rasa keadilan sosial yang merata di berbagai
daerah di Indonesia.

E. Bagaimana proses Integrasi Nasional di Indonesia


Untuk mencapai Integrasi Nasional dibutuhkan suatu proses yang matang agar
kelak keintegrasian tersebut tidak terpecah belah oleh berbagai ancaman,

19
gangguan, dan hambatan yang datangnya berasal dari dalam ataupun luar negeri.
Lalu bagaimanakah proses integrasi tersebut?
a. Modal awal Integrasi Nasional adalah adanya rasa senasib dan sepenanggungan
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Meski perjuangan
bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah pada selang waktu sebelum abad 20
dengan ditandai adanya sifat kedaerahan, akan tetapi, rasa senasib
sepenanggungan yang ditunjukkan oleh para pejuang dan pandahulu kita telah
mencerminkan adanya benih-benih yakni semangat kebangsaan, yang pada
gilirannya kelak akan membentuk keutuhan bangsa Indonesia.
b. Memasuki pada abad 20, gejala semangat kebangsaan semakin membara dan
terlihat, dengan munculnya berbagai organisasi atau pergerakan yang menjadi
salah satu titik awal kebangkitan nasional. Perjuangan melalui berbagai
organisasi seperti contohnya Budi Utomo, Serikat Dagang Islam yang kemudian
akhirnya menjadi Serikat Islam. Perhimpunan Indonesia dan lain sebagainya
mencitrakan bahwa adanya Integrasi Sosial dan Kultural.
c. Pada dekade 1920an, para pemuda tampil di dalam panggung sejarah Indonesia
dengan menyongsong tema persatuan dan kesatuan untuk menuju Indonesia
yang merdeka. Melalui peristiwa Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, para
pemuda menunjukkan segala peran serta dalam pembentukan integrasi nasional.
d. Pasca proklamasi kemerdekaan, perjalanan bangsa Indonesia di dalam
bernegara harus ditempuh dengan berbagai peristiwa. Berbagai cobaan yang
mengguncang keutuhan bangsa juga dialami, ancaman dan bahaya terhadap
suatu negara yang tengah membangung keutuhan bangsa harus bisa dihadapi.

F. Ancaman terhadap Integrasi Nasional


Indonesia yang berada di tengah-tengah dunia dilewati garis khatulistiwa,
diapit oleh dua benua yaitu Asia dan Australia, serta berada diantara dua samudera
yaitu Samudera Hindia dan Pasifik. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa wilayah
Indonesia berada pada posisi silang sangat sangat
strategis.

Perlu kalian ketahui, bahwa posisi silang negara Indonesia tidak hanya
meliputi aspek kewilayahan saja, melainkan meliputi pula aspek-apek kehidupan
sosial, antara lain :
a. Penduduk Indonesia berada diantara daerah berpenduduk padat di utara dan
daerah berpenduduk jarang di selatan.
b. Ideologi Indonesia terletak antara komunisme di utara dan liberalisme di
selatan.
c. Demokrasi Pancasila berada diantara demokrasi rakyat di utara (Asia daratan
bagian utara) dan demokrasi liberal di selatan.
d. Ekonomi Indonesia berada diantara sistem ekonomi sosialis di utara dan sistem
ekonomi kapitalis di selatan.
e. Masyarakat Indonesia berada diantara masyarakat sosialis di utara dan
masyarakat individualis di selatan.
f. Kebudayaan Indonesia dinatara kebuadayaan timur di utara dan kebudayaan
barat di selatan.

20
Sistem pertahanan dan keamanan Indonesia berada diantara sistem pertahanan
continental di utara dan sistem pertahanan maritim di barat, selatan dan timur.
Posisi silang Indonesia sebagaimana diuraikan di atas merupakan sebuah potensi
sekaligus ancaman bagi integrasi nasional bangsa Indonesia.

Dikatakan sebuah potensi karena akan memberikan dampak positif bagi


kemajuan bangsa Indonesia serta akan memperkokoh keberadaan Indonesia
sebagai negara yang tidak dapat disepelekan perannya dalam menunjang
kemajuan serta terciptanya perdamaian dunia. Akan tetapi, posisi silang ini juga
mejadikan Indonesia sebagai negara yang tidak terbebas dari ancaman yang dapat
memecah belah bangsa.

Apa sebenarnya yang menjadi ancaman bagi integrasi nasional negara


Indonesia? Ancaman bagi integrasi nasional tersebut datang dari luar maupun dari
dalam negeri Indonesia sendiri dalam berbagai dimensi kehidupan. Ancaman
tersebut biasanya berupa ancaman militer dan nonmiliter. Berikut ini diuaraikan
secara singkat ancaman yang dihadapi Bangsa Indonesia baik yang berupa
ancaman militer maupun non-milter.

a. Ancaman Militer
Ancaman militer adalah ancarnan yang menggunakan kekuatan bersenjata
yang terorganisasi yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan
kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa.
Ancaman militer dapat berbentuk agresi, pelanggaran wilayah, spionase, sabotase,
aksi teror bersenjata, pemberontakan, dan perang saudara. Ancaman militer ini
dibagi menjadi dua yaitu:
1. Ancaman Militer Dalam Negeri
• Disintegrasi bangsa, melalui macam-macam gerakan separatis beradasarkan
sebuah sentimen kesukuan atau pemberontakan akibat ketidak puasan
daerah terhadap kebijakan pemerintahan pusat.
• Keresahan sosial akibat ketimpangan kebijakan ekonomi dan pelanggaran
hak asasi manusia yang pada gilirannya dapat mengakibatkan suatu
kerusuhan masal.
• Upaya penggantian ideologi pancasila dengan ideologi yang lain ekstrem
atau tidak sesuai dengan kebiasan dari masyarakat indonesia.
• Makar dan penggulingan pemerintahan yang sah dan konstitusional
2. Ancaman Militer Luar Negeri
• Pelanggaram batas negara yang dilakukan oleh negara lain.
• pemberontakan senjata yang dilakukan oleh negara lain.
• Aksi teror yang dilakukan oleh terorisme internasional.

Berikut ini beberapa contoh dari ancaman militer terhadap negara :


1. Agresi, pengertian dari agresi adalah ancaman militer yang menggunakan
kekuatan bersenjata oleh negara lain terhadap suatu negara yang dapat

21
membahayakan kedaulatan dan keutuhan wilayah negara tersebut, dan juga
membahayakan keselamatan segenap bangsa tersebut.
2. Invasi, cara.bentuk dalam melakukan agresi terhadap suatu negara yang pertama
adalah invasi yaitu suatu serangan yang dilakukan oleh kekuatan bersenjata
negara lain terhadap wilayah NKRI
3. Bombardemen, cara/bentuk dalam melakukan agresi terhadap suatu negara
yang kedua adalah bombardemen yang mempunyai pengertian suatu
penggunaan senjata lainnya yang dilakukan oleh angkatan bersenjata negara
lain terhadap NKRI
4. Blokade, cara/bentuk dalam melakukan agresi yang terhakshir adalah blokade,
yang dilakukan di daerah pelabuhan atau pantai atau wilayah udara NKRI yang
dilakukan oleh angkatan bersenjata negara lain, dan lain-lain.
5. Spionase adalah ancaman militer yang dilakukan terhadap suatu negara yang
kegiatannya berupa mata-mata dan dilakukan oleh negara lain yang bertujuan
untuk mencari dan mendapatkan dokumen rahasia militer suatu negara.
6. Sabotase, adalah ancaman militer yang dilakukan oleh suatu negara yang
kegiatannya mempunyai tujuan untuk merusak instalasi militer dan obyek vital
nasional. Tentunya sabotase ini dapat membahayakan keselamatan suatu
bangsa.
7. Ancaman militer yang berupa aksi teror bersenjata yang dilakukan oleh suatu
jaringan terorisme yang luas (internasional) atau ancaman yang dilakukan oleh
teroris internasional yang bekerjasama dengan terorisme lokal (dalam negeri).
8. Ancaman militer terhadap suatu negara dapat juga berbentuk suatu
pemberontakan yang mana pemberontakan tersebut juga menggunakan
senjata.Selain
pemberontakan, terjadinya perang saudara yang menggunakan senjata juga
termasuk ancaman militer.
9. Selain pemberontakan, terjadinya perang saudara yang menggunakan senjata
juga termasuk ancaman militer.
Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan komponen utama yang
dipersiapkan untuk menghadapi ancaman militer, yang dilaksanakan melalui
tugas Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang
(OMSP).

b. Ancaman Non Militer


Ancaman non militer atau nin-niliter memiliki karakteristik yang berbeda
dengan ancaman militer, yaitu tidak bersifat fisik serta bentuknya tidak terlihat
sepeni ancaman militer. Ancaman nonmiliter berbentuk ancaman terhadap
ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, penahanan dan keamanan.

Berikut ini adalah beberapa contoh ancaman yang berbentuk non militer :
1. Ancaman Berdimensi Ideologi
Sistem politik internasional mengalami perubahan semenjak Uni Soviet
runtuh, sehingga paham komunis tidak populer lagi, akan tetapi, potensi
ancaman berbasis ideologi masih tetap diperhitungkan. Ancaman berbasis

22
ideologi ini bisa juga dalam bentuk penetrasi nilai-nilai kebebasan
(liberalisme) sehingga bisa memicu terjadinya proses disintegrasi bangsa.

2. Ancaman Berdimensi Politik


Politik merupakan instrumen utama dalam menggerakkan perang. Hal ini
membuktikan jika ancaman politik bisa menumbangkan suatu rezim
pemerintahan, bahkan juga bisa menghancurkan suatu negara. Masyarakat
internasional mengintervensi suatu negara melalui politik seperti contohnya
Hak Asasi Manusia (HAM), demokratisasi, penanganan lingkungan hidup,
serta penyelenggaraan pemerintahan yang bersih serta akuntabel.

3. Ancaman Berdimensi Ekonomi


Ekonomi merupakan salah satu penentu posisi tawar dari setiap negara dalam
pergaulan internasional. Kondisi ekonomi tentu sangat menentukan dalam
pertahanan negara. Ancaman berdimensi ekonomi ini terbagi menjadi 2, yakni
internal serta eksternal.
a. Ancaman yang berasal dari internal bisa berupa inflasi, pengangguran,
infrastruktur yang tidak memadai, serta sistem ekonomi yang tak cukup
jelas.
b. Ancaman yang berasal dari eksternal bisa berbentuk kinerja ekonomi yang
buruk, daya saing yang rendah, tidak siapnya dalam menghadapi era
globalisasi serta tingkat ketergantungan terhadap pihak asing.

4. Ancaman Berdimensi Sosial Budaya


Ancaman sosial budaya bisa berupa isu-isu mengenai kemiskinan, kebodohan,
keterbelakangan, serta ketidakadilan yang menjadi dasar timbulnya konflik
vertikal, antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, beserta dengan
konflik horizontal yakni suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Di tahun 1994 saja misalnya, 18 peperangan dari 23 peperangan yang terjadi


di dunia ini diakibatkan oleh sentimen-sentimen budaya, agama, serta etnis.
Sementara itu, 75% dari pengungsi dunia yang mengalir ke berbagai negara
lain didorong dengan alasan yang sama, tidak berbeda. Sementara itu, 8 dari
13 operasi pasukan perdamaian yang dijalankan oleh PBB ditujukan guna
mengupayakan terciptanya perdamaian dalam berbagai konflik antar etnis di
dunia.

5. Ancaman Berdimensi Teknologi Informasi


Kemajuan akan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang dengan
sangat pesat serta memberikan manfaat yang sangat besar bagi seluruh
masyarakat, namun, kejahatan juga terus mengikuti perkembangan tersebut,
seperti contohnya kejahatan cyber dan kejahatan perbankan.

6. Ancaman Berdimensi Keselamatan Umum


Ancaman untuk keselamatan umum bisa terjadi karena bencana alam, misal
gempa bumi, gunung meletus, dan tsunami. Ancaman yang disebabkan oleh

23
manusia, misal penggunaan obat-obatan dan penggunaan bahan kimia,
pembuangan limbah industri, kebakaran, hingga kecelakaan alat-alat
transportasi.
G. Cara Mengatasi Ancaman Integrasi Nasional
Ancaman militer akan sangat berbahaya apabila tidak diatasi. Oleh karena
itu, harus diterapkan startegi yang tepat untuk mengatasi ancaman integrasi
nasional itu. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengatur strategi
pertahanan dan keamanan bangsa Indonesia dalam mengatasi ancaman militer
tersebut. Pasal 30 ayat (1) sampai (5) UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menyatakan bahwa :
1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan
dan keamanan negara.
2) Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Indonesia Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan
rakyat, sebagai kekuatan pendukung.
3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan
Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi,
dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga
kemanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi,
melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara
Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-
syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan diatur
dengan undang-undang.

Ketentuan di atas menegaskan bahwa usaha pertahanan dan keamanan negara


Indonesia merupakan tanggungjawab seluruh Warga Negara Indonesia. Dengan
kata lain, pertahanan dan keamanan negara tidak hanya menjadi tanggung jawab
TNI dan POLRI saja; tetapi masyarakat sipil juga sangat bertanggung jawab
terhadap pertahanan dan kemanan negara; sehingga TNI dan POLRI manunggal
bersama masyarakat sipil dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

24
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Integrasi berasal dari bahasa inggris “integration” yang berarti
kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi nasional adalah usaha dan proses
mempersatukan perbedaan perbedaan yang ada pada suatu negara sehingga
terciptanya keserasian dan keselarasan secara nasional. Seperti yang kita ketahui,
Indonesia merupakan bangsa yang sangat besar baik dari kebudayaan ataupun
wilayahnya. Di satu sisi hal ini membawa dampak positif bagi bangsa karena kita
bisa memanfaatkan kekayaan alam Indonesia secara bijak atau mengelola budaya
budaya yang melimpah untuk kesejahteraan rakyat, namun selain menimbulkan
sebuah keuntungan, hal ini juga akhirnya menimbulkan masalah yang baru.

B. Saran
Integrasi nasional sangat diperlukan oleh negara indonesia karena dari
integrasi nasional dapat mempersatukan perbedaan-perbedaan yang ada di
indonesia, sehingga tidak adanya konflik perpecahan yang terjadi dikarenakan
perbedaan semata. Walaupun indonesia ini berbedabeda suku, ras, agama, dan
budaya, tetapi tetap indonesia adalah negara yang satu yang mempunyai satu
tujuan untuk memakmurkan negara indonesia.
Bagi pembaca diharapkan agar mengetahui apakah Integrasi Nasional serta
berbagai faktor yang mempengaruhi dan pentingnya Integrasi Nasional Bagi
Bangsa Indonesia. Dengan mengetahui pentingnya Integrasi Nasional Bagi
Bangsa Indonesia., diharapkan kita bisa menjadi warga negara yang baik dan

25
mampu melaksanakan proses pemersatuan perbedaan perbedaan yang ada pada
negara kita sehingga terciptanya keserasian dan tidak adanya konflik dalam
negara ini.

DAFTAR PUSTAKA

https://putriwindu.wordpress.com/2012/04/29/integrasi-nasional/

http://www.pengertianilmu.com/2015/07/normal-0-false-false-false-en-us-x-
none27_93.html

http://www.habibullahurl.com/2015/05/faktor-faktor-pendorong-pendukung-dan-
penghambatintegrasi-nasional.html

http://silva.web.unej.ac.id/2015/09/14/pentingnya-integrasi-nasional-bagi-
indonesia/

Wibowo, I, 2000, Negara dan Mayarakat : Berkaca dari Pengalaman Republik


Rakyat Cina, gramedia, Jakarta.

Winarno. 2007, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan Di Perguruan


Tinggi. Bumi
aksara, jakarta.

Buku Panduan Kewarganegaraan Tahun 2014. Universitas Sriwijaya. UPT Mata


Kuliah Pengembangan Kepribadian.

Bohlan, (2005). Integrasi nasional. (http://www.basic-integrasi-nasional.org)


Diakses pada tanggal 21 November 2017.

26
Nikolas, (2007). Pentingnya integrasi nasional indonesia. (http://www.education-
penteingnyaintegrasi-nasional.org/wiki)
Diakses pada 21 November 2017

27

You might also like