You are on page 1of 21

LAPORAN PENDAHULAN

TINJAUAN TEORI

A. KONSEP TEORI PENYAKIT


I. Definisi
Hidrocel adalah sesuatu yang tidak nyeri bila ditekan, massa berisi cairan yang
dihasilkan dari gangguan drainase limfatik dari skrotum dan pembekakan tunika
vaginalis yang mengelilingi testis (Lewis, 2014).
Hidrocel adalah penyebab umum dari pembekaan skrotum dan dikarenakan oleh
ruang paten di tunika vaginalis. Hidrocel terjadi ketika ada akumulasi abnormal cairan
serusa antara lapisan parietal dan viseral dari tunika vaginalis yang mengelilingintestis
(Parks & Leung, 2013).
Hidocel adalah pelebaran kantong buah zakar karena terkumpulnya cairan linfe
didalam tunika vaginalis testis. Hidrocel dapat terjadi pada satu atau dua kantung buah
zakar ( Kemenkes RI, 2013 )
Hidrocel adalah kumpulan cairan diantara lapisan viseralis dan parietal tunika
vaginalis testis di sepanjang funikulus spermatikus ( Kowalak dkk, 2011 )
Hidrocel adalah penumpukan cairan berlebihan di antara cairan lapisan parietalis
dan viseralis tunika vaginalis, yang dalam keadaan normal cairan ini berda dalam
keseimbangan antara produksi dan reabsorsi oleh sistim limfatik di sekitarnya ( Purnomo,
2010 )

II. Etiologi
a. Belum sempurnanya penutupan prosesus vaginalis dan atau belum
sempurnanya sistim limfatik di daerah skrotum dalam melakukan resorbsi cairan hidrocel
( Purnomo, 2010 )

b. Ketidakseimbangan antra produksi dan penyerapan cairan dalam membran


serosa dari tunika vaginalis(Borgman,2014;Parks&Leung,2013)

c. Bisa juga karena trauma, infeksi, atau proses neoplastik ( Park & Leung,
2013 )

III. Klasifikasi
Menurut ( Jenkins, 2008 ) Dalam Mahayani dan Darmajaya (2012) dikatakan
bahwa hidrocel diklasifikasikan menjadi lima yaiyu Hidrocel Komunikan, Hidrocel
Nonkomunikan, Hidrocel Reaktif, Hidocel pada cord, Hidocel pada canal of nuck, dan
Hidrocel abdominoskrotal.
Hidrokel dapat diklasifikasi menjadi dua jenis berdasarkan kapan terjadinya yaitu:
1. Hidrokel primer
Hidrokel primer terlihat pada anak akibat kegagalan penutupan prosesus vaginalis.
Prosesus vaginalis adalah suatu divertikulum peritoneum embrionik yang melintasi
kanalis inguinalis dan membentuk tunika vaginalis. Hidrokel jenis ini tidak diperlukan
terapi karena dengan sendirinya rongga ini akan menutup dan cairan dalam tunika akan
diabsorpsi.
2. Hidrokel sekunder
Pada orang dewasa, hidrokel sekunder cenderung berkembang lambat dalam suatu
masa dan dianggap sekunder terhadap obstruksi aliran keluar limfe. Dapat disebabkan
oleh kelainan testis atau epididimis. Keadaan ini dapat karena radang atau karena suatu
proses neoplastik. Radang lapisan mesotel dan tunika vaginalis menyebabkan terjadinya
produksi cairan berlebihan yang tidak dapat dibuang keluar dalam jumlah yang cukup
oleh saluran limfe dalam lapisan luar tunika.

IV. Patofisiologi
Hidrokel disebabkan oleh kelainan kongenital (bawaan sejak lahir)
ataupun ketidaksempurnaan dari prosesus vaginalis tersebut menyebabkan tidak
menutupnya rongga peritoneum dengan prosessus vaginalis. Sehingga terbentuklah
rongga antara tunika vaginalis dengan cavum peritoneal dan menyebabkan
terakumulasinya cairan yang berasal dari sistem limfatik disekitar. Cairan yanng
seharusnya seimbangan antara produksi dan reabsorbsi oleh sistem limfatik di sekitarnya.
Tetapi pada penyakit ini, telah terganggunya sistem sekresi atau reabsorbsi cairan limfa.
Dan terjadilah penimbunan di tunika vaginalis tersebut. Akibat dari tekanan yang terus-
menerus, mengakibatkan Obstruksi aliran limfe atau vena di dalam funikulus
spermatikus. Dan terjadilah atrofi testis dikarenakan akibat dari tekanan pembuluh darah
yang ada di daerah sekitar testis tersebut.

V. Pemeriksaan penunjang
1. Transiluminasi
Merupakan langkah diagnostik yang paling penting sekiranya menemukan massa
skrotum. Dilakukan didalam suatu ruang gelap, sumber cahaya diletakkan pada sisi
pembesaran skrotum. Struktur vaskuler, tumor, darah, hernia dan testis normal tidak
dapat ditembusi sinar. Trasmisi cahaya sebagai bayangan merah menunjukkan rongga
yang mengandung cairan serosa, seperti hidrokel .
2. Ultrasonografi
Ultrasonografi dapat mengirimkan gelombang suara melewati skrotum dan
membantu melihat adanya hernia, kumpulan cairan (hidrokel), vena abnormal (varikokel)
dan kemungkinan adanya tumor.

VI. penatalaksanaan
Hidrokel biasanya tidak berbahaya dan pengobatan biasanya baru dilakukan jika
penderita sudah merasa terganggu atau merasa tidak nyaman atau jika
hidrokelnya sedemikian besar sehingga mengancam aliran darah ke testis.
Pengobatannya bisa berupa aspirasi (pengisapan cairan) dengan bantuan sebuah
jarum atau pembedahan. Tetapi jika dilakukan aspirasi, kemungkinan besar hidrokel akan
berulang dan bisa terjadi infeksi. Setelah dilakukan aspirasi, bisa disuntikkan zat
sklerotik tetrasiklin, natrium tetra desil sulfat atau urea) untuk menyumbat/menutup
lubang di kantung skrotum sehingga cairan tidak akan tertimbun kembali. Hidrokel yang
berhubungan dengan hernia inguinalis harus diatasi dengan pembedahan sesegera
mungkin. Hidrokel pada bayi biasanya ditunggu hingga anak mencapai usia 1 tahun
dengan harapan setelah prosesus vaginalis menutup, hidrokel akan sembuh sendiri, tetapi
jika hidrokel masih tetap ada atau bertambah besar perlu dipikirkan untuk dilakukan
koreksi.
Beberapa indikasi untuk melakukan operasi pada hidrokel adalah :
(1) Hidrokel yang besar sehingga dapat menekan pembuluh darah,
(2) Indikasi kosmetik
(3) Hidrokel permagna yang dirasakan terlalu berat dan mengganggu pasien dalam
melakukan aktivitasnya sehari-hari.

Tindakan pembedahan berupa hidrokelektomi. Pengangkatan hidrokel bisa


dilakukan anestesi umum ataupun regional (spinal).
Teknik Operasi
Secara singkat tehnik dari hidrokelektomi dapat dijelaskan sebagai berikut:
• Dengan pembiusan regional atau umum.
• Posisi pasien terlentang (supinasi).
• Desinfeksi lapangan pembedahan dengan larutan antiseptik.
• Lapangan pembedahan dipersempit dengan linen steril.
• Insisi kulit pada raphe pada bagian skrotum yang paling menonjol lapis demi lapis
sampai tampak tunika vaginalis.
• Dilakukan preparasi tumpul untuk meluksir hidrokel, bila hidrokelnya besar sekali
dilakukan aspirasi isi kantong terlebih dahulu.
• Insisi bagian yang paling menonjol dari hidrokel, kemudian dilakukan:
• Teknik Jaboulay: tunika vaginalis parietalis dimarsupialisasi dan bila diperlukan
diplikasi dengan benang chromic cat gut.
• Teknik Lord: tunika vaginalis parietalis dieksisi dan tepinya diplikasi dengan benang
chromic cat gut.
• Luka operasi ditutup lapis demi lapis dengan benang chromic cat gut

B. PERTIMBANGAN ANESTESI
I. Definisi Anestesi
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika
dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit, dalam
hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal bagi
pelaksanaan pembedahan (Sabiston, 2011).
Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan menurut jenis kegunaannya dibagi
menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya kesadaran, sedangakan anestesi regional
dan anestesi local menghilangya rasa nyeri disatu bagian tubuh saja tanpa menghilangnya
kesadaran (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012).
Anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh
(Morgan, 2011).
Dari beberapa definisi anestesi menurut para ahli maka dapat disimpulkan bahwa
Anestesti merupakan suatu tindakan menghilangkan rasa sakit pada saat pembedahan
atau melakukan tindakan prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit dengan cara
trias anestesi yaitu hipnotik, analgetik, relaksasi.

II. Jenis Anestesi


a. General Anestesi
Anestesi umum melibatkan hilangnya kesadaran secara penuh. Anestesi umum
dapat diberikan kepada pasien dengan injeksi intravena atau melalui inhalasi (Royal
College of Physicians (UK), 2011).
Anestesi umum meliputi:

1) Induksi inhalasi, rumatan anestesi dengan anestetika inhalasi (VIMA=Volatile


Induction and Maintenance of Anesthesia)

2) Induksi intravena, rumatan anestesi dengan anestetika intravena (TIVA=Total


Intravenous Anesthesia)
Anestesi umum merupakan suatu cara menghilangkan seluruh sensasi dan
kesadarannya. Relaksasi otot mempermudah manipulasi anggota tubuh. Pembedahan
yang menggunakan anestesi umum melibatkan prosedur mayor, yang membutuhkan
manipulasi jaringan yang luas.

b. Regional Anestesi

1) Pengertian Anestesi Spinal


Anestesi spinal adalah injeksi agen anestesi ke dalam ruang intratekal, secara
langsung ke dalam cairan serebrospinalis sekitar region lumbal di bawah level L1/2
dimana medulla spinalis berakhir (Keat, dkk, 2013). Spinal anestesi merupakan anestesia
yang dilakukan pada pasien yang masih dalam keadaan sadar untuk meniadakan proses
konduktifitas pada ujung atau serabut saraf sensori di bagian tubuh tertentu (Rochimah,
dkk, 2011)

2) Tujuan Anestesi Spinal


Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 anestesi spinal dapat digunakan
untuk prosedur pembedahan, persalinan, penanganan nyeri akut maupun kronik.

3) Kontraindikasi Anestesi Spinal


Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 anestesi regional yang luas seperti
spinal anestesi tidak boleh diberikan pada kondisi hipovolemia yang belum terkontrol
karena dapat mengakibatkan hipotensi berat.
Komplikasi yang dapat terjadi pada spinal anestesi menurut Sjamsuhidayat & De
Jong tahun 2010, ialah:

- Hipotensi terutama jika pasien tidak prahidrasi yang cukup;

- Blokade saraf spinal tinggi, berupa lumpuhnya pernapasan dan memerlukan bantuan
napas dan jalan napas segera;

- Sakit kepala pasca pungsi spinal, sakit kepala ini bergantung pada besarnya diameter
dan bentuk jarum spinal yang digunakan.
4) Jenis – Jenis Obat Spinal Anestesi
Lidokain, Bupivakain, dan tetrakain adalah agen anestesi lokal yang utama
digunakan untuk blockade spinal. Lidokain efektif untuk 1 jam, dan bupivacaine serta
tetrakain efektif untuk 2 jam sampai 4 jam (Reeder, S., 2011).

III. Teknik Anestesi


Sebelum memilih teknik anestesi yang digunakan, terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan diantaranya keselamatan dari ibu, keselamatan bayi, kenyamanan ibu serta
kemampuan operator di dalam melakukan operasi pada penggunaan anestesi tersebut.
Menurut Mangku G & Senapathi T tahun 2018 pada sectio caesarea terdapat dua kategori
umum anestesi diantaranya Generał Anesthesia (GA) dan Regional Anesthesia (RA)
dimana pada RA termasuk dua teknik yakni teknik spinal dan teknik epidural. Teknik
anestesi dengan GA biasanya digunakan untuk operasi yang emergensi dimana tindakan
tersebut memerlukan anestesi segera dan secepat mungkin. Teknik anestesi GA juga
diperlukan apabila terdapat kontraindikasi pada teknik anestesi RA, misalnya terdapat
peningkatan pada tekanan intrakranial dan adanya penyebaran infeksi di sekitar vertebra.
Terdapat beberapa resiko dari GA yang dapat dihindari dengan menggunakan
teknik RA, oleh karena itu lebih disarankan penggunaan teknik anestesi RA apabila
waktu bukan menupakan suatu prioritas. Penggunaan RA spinal dan RA epidural lebih
disarankan untuk digunakan dibandingkan dengan teknik GA pada sebagian kasus sectio
caesarea. Salah satu alasan utama pemilihan teknik anestesi RA dibandingkan dengan
GA adalah adanya resiko gagalnya intubasi trakea serta aspirasi dari isi lambung pada
teknik anestesi GA. Selain itu, GA juga meningkatkan kebutuhan resusitasi pada
neonatus (Fyneface, S. O 2thed).
Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk teknik spinal anestesi, yaitu:

a. Pre Block Preparations


Induksi spinal anestesia seringkali menimbulkan perubahan hemodinamik, oleh
karena itu pasien harus dimonitor secara kontinyu, obat-obat resusitasi dan peralatan
harus dapat disediakan dengan segera. Sedasi (analgetik dan anxiolitik) seringkali
diberikan sebelum melakukan anestesi spinal untuk mengurangi rasa tidak nyaman dan
kecemasan. Penting untuk mengingat bahwa tidak semua spinal anestesia sukses dan
spinal anestesia itu sendiri bisa mengakibatkan gangguan respirasi. Sehingga, setiap
anestesia spinal potensial memerlukan perubahan yang cepat ke general anestesia.Obat-
obat dan peralatan untuk airway management yang tepat harus bisa disediakan dengan
cepat.

b. Patient Positioning
Lateral dekubitus, duduk dan prone posisi, semuanya dapat digunakan untuk
melakukan anestesia spinal. Tiap posisi memiliki kelebihan dan kekurangan. Lateral
dekubitus adalah posisi yang paling sering dipakai. Pasien biasanya merasa nyaman
dengan posisi ini dan lebih sedikit menelungkup dalam bergerak, dibandingkan posisi
duduk. Sinkop lebih jarang terjadi daripada posisi duduk. Pasien diposisikan pada pinggir
meja operasi dengan pinggul dan bahu diposisikan vertikal.
Posisi duduk, rutin dipilih oleh beberapa praktisi dan seringkali dipilih saat
dilakukan pada pasien obese. Pada populasi obese, palpasi dimidline processus spinosus
seringkali sulit / tidak memungkinkan. Pada kasus ini, posisi midline dapat diperkirakan
dengan menghubungkan garis imaginer antara vertebra cervical yang paling menonjol
(C7) dan cekungan intergluteal dan hal ini lebih mudah dilakukan saat pasien duduk.
Posisi telungkup kadangkala dipilih untuk melakukan spinal anestesia pada pasien
yang akan dilakukan anal surgery dengan posis jack-knife. Pasien diposisikan sesuai
pembedahan lalu dilakukan lumbal punksi. Anestesi lokal hipobarik dipergunakan untuk
membatasi efek anestesi pada dermatom sakral dan lumbal bawah.

c. Puncture Site
Punksi dura biasanya dilakukan dibawah L2 untuk menghindari spinal cord yang
berakhir pada L1-L2. Meskipun terdapat variasi dari masing- masing individu, sebuah
garis yang melalui Krista iliaca biasanya akan melalui ruang diantara L4-L5. Teknik
aseptik sangat penting, termasuk melapisi regio lumbal dengan iodine dan atau larutan
alkohol dan memakai penutup steril.

d. Midline atau Paramedian Approach


Dua pendekatan ke ruang subarachnoid seringkali dipakai yaitu midline dan
paramedian. Keduanya simpel dan efektif. Praktisi harus familiar dengan kedua
pendekatan ini, sehingga mereka memiliki teknik alternatif pada saat pendekatan pertama
gagal dilakukan.

IV. Rumatan Anestesi


a. Regional Anestesi
b. General Anestesi
Induksi inhalasi, rumatan anestesi dengan
anestetika inhalasi (VIMA=Volatile Induction and Maintenance of Anesthesia);
1)Induksi intravena, rumatan anestesi dengan anestetika intravena (TIVA=Total
Intravenous Anesthesia);

2)Obat Pelumpuh Otot;

3)Obat Analgetik;

4)Obat Hipnotik Sedatif;

5)Obat untuk merangsang kontraksi uterus (Oxytocin dan


Metylergometrine)

6)Obat Antiemetik.

V. Risiko
1) Gangguan kardiovaskuler : Penurunan curah jantung

2) Gangguan respirasi : Pola nafas tidak efektif

3) Gangguan termoregulasi : Hipotermi

4) Gastrointestinal : Rasa mual dan muntah

5) Resiko infeksi : Luka insisi post operasi

6) Nyeri : Proses kontraksi, terputusnya kontinuitas jaringan kulit

7) Resiko Jatuh : Efek obat anestesi, Blok pada saraf motorik

8) Ansietas : Ketakutan akan tindakan pembedahan


C. WEB OF CAUTION (WOC)

HIDROKEL

Tindakan operasi
D. TINJAUAN TEORI ASKAN
I. Pengkajian
Pengkajian merupakan dasar proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan data tentang penderita agar dapat mengidentifikasi kebebutuhan serta
masalahnya. Data pengkajian yang secara umum ditemukan pada pasien hidrokel
dengan regional anestesi meliputi:

a. Data Subjektif

1) Pasien mengatakan takut di operasi;

2) Pasien mengatakan sering kencing;

3) Pasien merasa tidak dapat rileks;

4) Pasien mengatakan belum pernah menjalani operasi;

5) Pasien mengeluh mual dan pusing;

6) Pasien mengatakan kedinginan;

7) Pasien merasa badan lemas;

8) Pasien mengatakan kaki sulit digerakkan.

b. Data obyektif

1) Pasien tampak gelisah;

2) Terdapat cairan pada kantong zakar;

3) Nadi, TD, RR meningkat; 4) SaO2 <95%

4) TD dibawah batas normal

5) Akral teraba dingin

6) Pasien tampak menggigil

7) Bromage score >1

II. Masalah Kesehatan Anestesi


Masalah kesehatan anestesi yang secara umum sering muncul pada pasien
hidrokel dengan spinal anestesi meliputi:
Pre Anestesi :

- Risiko cedera anestesi

- Cemas/ansietas

Intra Anestesi :

- Risiko cedera trauma pembedahan

- RK disfungsi respirasi

- RK disfungsi kardiovaskuler

Post Anestesi :

- Risiko jatuh

- Nyeri pasca operasi

III. Perencanaan
Intervensi Pre
Anestesi :
Risiko Cedera Anestesi
Tujuan :

- Setelah diberikan asuhan keperawatan anestesi diharapkan tidak terjadi cedera


anestesi.
Kriteria Hasil :

- Pasien siap untuk dilakukan tindakan anestesi

- Pemilihan teknik anestesi yang tepat sesuai kondisi pasien


Rencana Intervensi :

- Lakukan persiapan sebelum pembedahan

- Kaji status nutrisi pasien (menimbang BB)


- Anjurkan pasien untuk berpuasa

- Anjurkan pasien untuk mengosongkan kandung kemih sebelum operasi

- Lakukan balance cairan

- Lepaskan aksesoris

- Lakukan latihan pra anestesi

- Pantau penyulit yang akan terjadi

- Tentukan status fisik menurut ASA

- Kolaborasi dalam pemberian obat premedikasi

- Kolaborasi penetapan teknik anestesi

- Lakukan informed consent

Cemas/Ansietas
Tujuan :

- Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan ansietas


(kecemasan) teratasi
Kriteria Hasil :

- Pasien bersedia menjalani operasi

- Pasien tampak tenang dan tidak gelisah

- TTV dalam batas normal (TD: 100-120/70-80 mmHg, N: 60-100 x/mnt R: 16-24
x/mnt, S: 36,5-37,5oC)
Recana Intervensi:

- Lakukan kunjungan pra operasi

- Bantu pasien mengekspresikan perasaan

- Berikan dukungan pada pasien

- Jelaskan tentang prosedur pembedahan dan anestesi


- Jelaskan tentang Latihan aktivitas pasca operasi

- Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian premedikasi

Intra Anestesi :

Risiko Cedera Trauma Pembedahan


Tujuan :

- Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan tidak terjadi cedera


trauma pembedahan.
Kriteria Hasil :
- Tidak ada tanda tanda-tanda trauma pembedahan

- Pasien tampak rileks selama operasi berlangsung

- TTV dalam batas normal (TD : 100-120/70-80 mmHg, N : 60-100 x/mnt R : 16-
24 x/mnt, S : 36,5-37,5oC)

- Saturasi oksigen >95%

- Pasien telah teranestesi, relaksasi otot cukup, dan tidak


menunjukkan respon nyeri

- Tidak adanya komplikasi anestesi selama operasi berlangsung


Rencana Intervensi :

- Siapkan peralatan dan obat-obatan sesuai dengan perencanaan teknik anestesi

- Bantu pelaksanaan anestesi (spinal anestesi) sesuai dengan program kolaboratif


spesialis anestesi

- Bantu pemasangan alat monitoring non invasif

- Monitoring perianestesi

- Atasi penyulit yang timbul

- Lakukan pemeliharaan jalan napas


- Lakukan pemasangan alat ventilaasi mekanik

- Lakukan pengakhiran tindakan anestesi

RK Disfungsi Respirasi
Tujuan :

- Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan tidak terjadi


disfungsi respirasi.
Kriteria Hasil :

- Tidak terjadi high spinal

- Pasien dapat bernapas dengan rileks

- RR normal : 16-20 x/menit

- SaO2 normal : 95-100%


Rencana Intervensi :

- Monitoring TTV

- Monitoring saturasi oksigen

- Atur posisi pasien

- Berikan oksigen

- Kolaborasi dengan dokter anestesi dalam pemasangan alat ventilasi mekanik

RK Disfungsi Kardiovaskuler
Tujuan :
- Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan tidak terjadi
disfungsi kardiovaskuler.
Kriteria Hasil :

- TTV dalam batas normal (TD : 100-120/70-80 mmHg, N : 60-100 x/mnt R : 16-
24 x/mnt, S : 36,5-37,5oC)

- CM = CK
- Tidak terjadi edema/asites

- Tidak terjadi sianosis

- Tidak ada edema paru


Rencana Intervensi :

- Observasi TTV

- Observasi kesadaran

- Monitoring cairan masuk dan cairan keluar

- Monitoring efek obat anestesi

- Kolaborasi dengan dokter anestesi dalam tindakan perioperative

- maintenance cairan intravena dan vasopressor

Post Anestesi :

Nyeri Pasca Anestesi


Tujuan :

- Setelah dilakukannya tindakan keperawatan anestesi diharapkan nyeri pasca


operasi teratasi.
Kriteri Hasil :

- TTV dalam batas normal (TD : 100-120/70-80 mmHg, N : 60-100 x/mnt R : 16-
24 x/mnt, S : 36,5-37,5oC)

- Skala nyeri berkurang 0-3

- Pasien tampak tenang


Rencana Intervensi :

- Observasi TTV
- Lakukan pengkajian PQRST

- Anjurkan pasien mengatur napas

- Ajarkan teknik distraksi relaksasi

- Kolaborasi dalam pemberian analgetic

Risiko Jatuh
Tujuan :

- Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan pasien aman setelah


pembedahan.
Kriteria Hasil :

- TTV dalam batas normal (TD : 100-120/70-80 mmHg, N : 60-100 x/mnt R : 16-
24 x/mnt, S : 36,5-37,5oC)

- Bromage score <1

- Pasien mengatakan kaki dapat digerakkan

- Pasien tampak tidak lemah


Rencana Intervensi :

- Monitoring TTV

- Lakukan penilaian bromage score

- Berikan pengaman pada tempat tidur pasien

- Berikan gelang resiko jatuh

- Latih angkat atau gerakkan ekstremitas bawah

4. Evaluasi
Evaluasi dalam keperawatan anestesi merupakan kegiatan dalam menilai
tindakan keperawatan anestesi yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan
kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Brunton, L. L., Lazo, J. S., & Parker, K. L. (2011). Goodman &
Gillman's the pharmacological basis of theurapeutics. New
York: McGraw Hill

Carpenito. (2013). “Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi”.

Keat, Sally.(2013). Anaesthesia on the move. Jakarta: indeks

Maesaroh. (2016). Faktor-Faktor yang Berhubungan Kejadian Plasenta


Previa.
Kesehatan, 1(1).

Mangku G. (2018). Buku ajar ilmu anestesia dan reanimasi. Jakarta:

Indeks.

Miller, D Ronald. 2015. Miller’s Anesthesia eigth edition. San Fransisco


California: Elsevier Saunders.

Morgan GE., Mikhail MS., & Murray MJ. (2011). Clinical Anesthesiology,
4thed. Lange Medical Books/McGraw-Hill

Sabiston, D. C. (2011). Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC.


Sjamsuhidajat, R., & Wim de Jong. (2010). BukuAjar Ilmu Beda (
Edisi 3). Jakarta: EGC

You might also like