Professional Documents
Culture Documents
Laporan Pendahulan Askan Bedah Khusus Pada Anak Dengan Hidrokel
Laporan Pendahulan Askan Bedah Khusus Pada Anak Dengan Hidrokel
TINJAUAN TEORI
II. Etiologi
a. Belum sempurnanya penutupan prosesus vaginalis dan atau belum
sempurnanya sistim limfatik di daerah skrotum dalam melakukan resorbsi cairan hidrocel
( Purnomo, 2010 )
c. Bisa juga karena trauma, infeksi, atau proses neoplastik ( Park & Leung,
2013 )
III. Klasifikasi
Menurut ( Jenkins, 2008 ) Dalam Mahayani dan Darmajaya (2012) dikatakan
bahwa hidrocel diklasifikasikan menjadi lima yaiyu Hidrocel Komunikan, Hidrocel
Nonkomunikan, Hidrocel Reaktif, Hidocel pada cord, Hidocel pada canal of nuck, dan
Hidrocel abdominoskrotal.
Hidrokel dapat diklasifikasi menjadi dua jenis berdasarkan kapan terjadinya yaitu:
1. Hidrokel primer
Hidrokel primer terlihat pada anak akibat kegagalan penutupan prosesus vaginalis.
Prosesus vaginalis adalah suatu divertikulum peritoneum embrionik yang melintasi
kanalis inguinalis dan membentuk tunika vaginalis. Hidrokel jenis ini tidak diperlukan
terapi karena dengan sendirinya rongga ini akan menutup dan cairan dalam tunika akan
diabsorpsi.
2. Hidrokel sekunder
Pada orang dewasa, hidrokel sekunder cenderung berkembang lambat dalam suatu
masa dan dianggap sekunder terhadap obstruksi aliran keluar limfe. Dapat disebabkan
oleh kelainan testis atau epididimis. Keadaan ini dapat karena radang atau karena suatu
proses neoplastik. Radang lapisan mesotel dan tunika vaginalis menyebabkan terjadinya
produksi cairan berlebihan yang tidak dapat dibuang keluar dalam jumlah yang cukup
oleh saluran limfe dalam lapisan luar tunika.
IV. Patofisiologi
Hidrokel disebabkan oleh kelainan kongenital (bawaan sejak lahir)
ataupun ketidaksempurnaan dari prosesus vaginalis tersebut menyebabkan tidak
menutupnya rongga peritoneum dengan prosessus vaginalis. Sehingga terbentuklah
rongga antara tunika vaginalis dengan cavum peritoneal dan menyebabkan
terakumulasinya cairan yang berasal dari sistem limfatik disekitar. Cairan yanng
seharusnya seimbangan antara produksi dan reabsorbsi oleh sistem limfatik di sekitarnya.
Tetapi pada penyakit ini, telah terganggunya sistem sekresi atau reabsorbsi cairan limfa.
Dan terjadilah penimbunan di tunika vaginalis tersebut. Akibat dari tekanan yang terus-
menerus, mengakibatkan Obstruksi aliran limfe atau vena di dalam funikulus
spermatikus. Dan terjadilah atrofi testis dikarenakan akibat dari tekanan pembuluh darah
yang ada di daerah sekitar testis tersebut.
V. Pemeriksaan penunjang
1. Transiluminasi
Merupakan langkah diagnostik yang paling penting sekiranya menemukan massa
skrotum. Dilakukan didalam suatu ruang gelap, sumber cahaya diletakkan pada sisi
pembesaran skrotum. Struktur vaskuler, tumor, darah, hernia dan testis normal tidak
dapat ditembusi sinar. Trasmisi cahaya sebagai bayangan merah menunjukkan rongga
yang mengandung cairan serosa, seperti hidrokel .
2. Ultrasonografi
Ultrasonografi dapat mengirimkan gelombang suara melewati skrotum dan
membantu melihat adanya hernia, kumpulan cairan (hidrokel), vena abnormal (varikokel)
dan kemungkinan adanya tumor.
VI. penatalaksanaan
Hidrokel biasanya tidak berbahaya dan pengobatan biasanya baru dilakukan jika
penderita sudah merasa terganggu atau merasa tidak nyaman atau jika
hidrokelnya sedemikian besar sehingga mengancam aliran darah ke testis.
Pengobatannya bisa berupa aspirasi (pengisapan cairan) dengan bantuan sebuah
jarum atau pembedahan. Tetapi jika dilakukan aspirasi, kemungkinan besar hidrokel akan
berulang dan bisa terjadi infeksi. Setelah dilakukan aspirasi, bisa disuntikkan zat
sklerotik tetrasiklin, natrium tetra desil sulfat atau urea) untuk menyumbat/menutup
lubang di kantung skrotum sehingga cairan tidak akan tertimbun kembali. Hidrokel yang
berhubungan dengan hernia inguinalis harus diatasi dengan pembedahan sesegera
mungkin. Hidrokel pada bayi biasanya ditunggu hingga anak mencapai usia 1 tahun
dengan harapan setelah prosesus vaginalis menutup, hidrokel akan sembuh sendiri, tetapi
jika hidrokel masih tetap ada atau bertambah besar perlu dipikirkan untuk dilakukan
koreksi.
Beberapa indikasi untuk melakukan operasi pada hidrokel adalah :
(1) Hidrokel yang besar sehingga dapat menekan pembuluh darah,
(2) Indikasi kosmetik
(3) Hidrokel permagna yang dirasakan terlalu berat dan mengganggu pasien dalam
melakukan aktivitasnya sehari-hari.
B. PERTIMBANGAN ANESTESI
I. Definisi Anestesi
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika
dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit, dalam
hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal bagi
pelaksanaan pembedahan (Sabiston, 2011).
Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan menurut jenis kegunaannya dibagi
menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya kesadaran, sedangakan anestesi regional
dan anestesi local menghilangya rasa nyeri disatu bagian tubuh saja tanpa menghilangnya
kesadaran (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012).
Anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh
(Morgan, 2011).
Dari beberapa definisi anestesi menurut para ahli maka dapat disimpulkan bahwa
Anestesti merupakan suatu tindakan menghilangkan rasa sakit pada saat pembedahan
atau melakukan tindakan prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit dengan cara
trias anestesi yaitu hipnotik, analgetik, relaksasi.
b. Regional Anestesi
- Blokade saraf spinal tinggi, berupa lumpuhnya pernapasan dan memerlukan bantuan
napas dan jalan napas segera;
- Sakit kepala pasca pungsi spinal, sakit kepala ini bergantung pada besarnya diameter
dan bentuk jarum spinal yang digunakan.
4) Jenis – Jenis Obat Spinal Anestesi
Lidokain, Bupivakain, dan tetrakain adalah agen anestesi lokal yang utama
digunakan untuk blockade spinal. Lidokain efektif untuk 1 jam, dan bupivacaine serta
tetrakain efektif untuk 2 jam sampai 4 jam (Reeder, S., 2011).
b. Patient Positioning
Lateral dekubitus, duduk dan prone posisi, semuanya dapat digunakan untuk
melakukan anestesia spinal. Tiap posisi memiliki kelebihan dan kekurangan. Lateral
dekubitus adalah posisi yang paling sering dipakai. Pasien biasanya merasa nyaman
dengan posisi ini dan lebih sedikit menelungkup dalam bergerak, dibandingkan posisi
duduk. Sinkop lebih jarang terjadi daripada posisi duduk. Pasien diposisikan pada pinggir
meja operasi dengan pinggul dan bahu diposisikan vertikal.
Posisi duduk, rutin dipilih oleh beberapa praktisi dan seringkali dipilih saat
dilakukan pada pasien obese. Pada populasi obese, palpasi dimidline processus spinosus
seringkali sulit / tidak memungkinkan. Pada kasus ini, posisi midline dapat diperkirakan
dengan menghubungkan garis imaginer antara vertebra cervical yang paling menonjol
(C7) dan cekungan intergluteal dan hal ini lebih mudah dilakukan saat pasien duduk.
Posisi telungkup kadangkala dipilih untuk melakukan spinal anestesia pada pasien
yang akan dilakukan anal surgery dengan posis jack-knife. Pasien diposisikan sesuai
pembedahan lalu dilakukan lumbal punksi. Anestesi lokal hipobarik dipergunakan untuk
membatasi efek anestesi pada dermatom sakral dan lumbal bawah.
c. Puncture Site
Punksi dura biasanya dilakukan dibawah L2 untuk menghindari spinal cord yang
berakhir pada L1-L2. Meskipun terdapat variasi dari masing- masing individu, sebuah
garis yang melalui Krista iliaca biasanya akan melalui ruang diantara L4-L5. Teknik
aseptik sangat penting, termasuk melapisi regio lumbal dengan iodine dan atau larutan
alkohol dan memakai penutup steril.
3)Obat Analgetik;
6)Obat Antiemetik.
V. Risiko
1) Gangguan kardiovaskuler : Penurunan curah jantung
HIDROKEL
Tindakan operasi
D. TINJAUAN TEORI ASKAN
I. Pengkajian
Pengkajian merupakan dasar proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan data tentang penderita agar dapat mengidentifikasi kebebutuhan serta
masalahnya. Data pengkajian yang secara umum ditemukan pada pasien hidrokel
dengan regional anestesi meliputi:
a. Data Subjektif
b. Data obyektif
- Cemas/ansietas
Intra Anestesi :
- RK disfungsi respirasi
- RK disfungsi kardiovaskuler
Post Anestesi :
- Risiko jatuh
III. Perencanaan
Intervensi Pre
Anestesi :
Risiko Cedera Anestesi
Tujuan :
- Lepaskan aksesoris
Cemas/Ansietas
Tujuan :
- TTV dalam batas normal (TD: 100-120/70-80 mmHg, N: 60-100 x/mnt R: 16-24
x/mnt, S: 36,5-37,5oC)
Recana Intervensi:
Intra Anestesi :
- TTV dalam batas normal (TD : 100-120/70-80 mmHg, N : 60-100 x/mnt R : 16-
24 x/mnt, S : 36,5-37,5oC)
- Monitoring perianestesi
RK Disfungsi Respirasi
Tujuan :
- Monitoring TTV
- Berikan oksigen
RK Disfungsi Kardiovaskuler
Tujuan :
- Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan tidak terjadi
disfungsi kardiovaskuler.
Kriteria Hasil :
- TTV dalam batas normal (TD : 100-120/70-80 mmHg, N : 60-100 x/mnt R : 16-
24 x/mnt, S : 36,5-37,5oC)
- CM = CK
- Tidak terjadi edema/asites
- Observasi TTV
- Observasi kesadaran
Post Anestesi :
- TTV dalam batas normal (TD : 100-120/70-80 mmHg, N : 60-100 x/mnt R : 16-
24 x/mnt, S : 36,5-37,5oC)
- Observasi TTV
- Lakukan pengkajian PQRST
Risiko Jatuh
Tujuan :
- TTV dalam batas normal (TD : 100-120/70-80 mmHg, N : 60-100 x/mnt R : 16-
24 x/mnt, S : 36,5-37,5oC)
- Monitoring TTV
4. Evaluasi
Evaluasi dalam keperawatan anestesi merupakan kegiatan dalam menilai
tindakan keperawatan anestesi yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan
kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Brunton, L. L., Lazo, J. S., & Parker, K. L. (2011). Goodman &
Gillman's the pharmacological basis of theurapeutics. New
York: McGraw Hill
Indeks.
Morgan GE., Mikhail MS., & Murray MJ. (2011). Clinical Anesthesiology,
4thed. Lange Medical Books/McGraw-Hill