You are on page 1of 24

Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981

Vol. 3, No. 2, 2020 E-ISSN: 2685-1148


doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
PENDEKATAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL PADA PESANTREN DI
INDONESIA (STUDI ANALISI PENDEKATAN PENDIDIKAN MULTIKULUTAL
JAMES A. BANK)

Made Saihu
Institut PTIQ Jakarta
madesaihu@ptiq.ac.id

Taufik
STIT Al-Amin Kreo Tangerang
taramovida@gmail.com

ABSTRACT
This paper discusses the multicultural education approach to pesantren in Indonesia. Critical
studies on critical analysis of James A. Bank's multicultural approach empathy include:
content integration, knowledge construction processes, reduction of prejudice, equity
pedagogy, which in fact only educates emotional intelligence. If this continues to be
manifested, then human intellectual and spiritual intelligence will be empty and the aspiration
to instill multicultural understanding is felt to be less than optimal. This study aims to
develop James A. Bank's multicultural approach through a study of multicultural approaches
to education in Islamic boarding schools in Indonesia. This paper is a literature study with
data sources obtained through literature and books on multiculturalism education and
education models in Islamic boarding schools. The result of this paper is that the process of
planting multicultural values in Islamic boarding schools is carried out through balancing the
development of the physical aspects, the development of the intellectual aspects, the
development of the aspects, and the development of the spiritual aspects. By balancing these
components possessed by humans, the five souls, including the spirit of sincerity, the spirit of
simplicity, the spirit of independence, the spirit of ukhuwah Islamiyah, and the spirit of
freedom, are well planted, and efforts to create ukhuwwah Islamiyyah (brotherhood due to
Islam), ukhuwwah wathaniyyah (brotherhood due to homeland), and ukhuwwah basyaraiyyah
(brotherhood due to humanity) are easy to implement.

Keywords: Multicultural, James A. Bank, Islamic Boarding School, Development

ABSTRAK
Tulisan ini membahas tentang pendekatan pendidikan multikultural pada pesantren di
Indonesia. Kajian berfokus pada analisis kritis dari empat pendekatan multikultural James A.
Bank meliputi: content integration, knowledge construction process, prejudice reduction, an
equity pedagogy, yang ternyata hanya mendidik kecerdasan emosional saja. Jika hal ini terus
diejewantahkan, maka kecerdasan intelektual dan spiritual manusia menjadi kosong dan cita-
cita untuk menanamkan pemahaman multikultural dirasa kurang maksimal. Penelitian ini
bertujuan untuk mengembangkan pendekatan multikultural James A. Bank melalui kajian
pendekatan pendidikan multikultural pada pesantren di Indonesia. Tulisan ini adalah studi
kepustakaan dengan sumber data ini diperoleh melalui literatur dan buku-buku tentang
pendidikan multiculturalisme dan model pendidikan di pesantren. Hasil dari tulisan ini
memperlihatkan bahwa proses penanaman nilai-nilai multikultural di pesantren dilakukan
melalui penyeimbangan pengembangan aspek jasmani, pengembangan aspek intelektual,
pengembangan aspek emosional, dan pengembangan aspek spiritual. Dengan

319
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 2, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
menyeimbangkan komponen yang dimiliki oleh manusia ini, maka panca jiwa, meliputi jiwa
keikhlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa kemandirian, jiwa ukhuwah Islamiyah, dan jiwa
kebebasan, tertanam dengan baik, dan upaya untuk menciptakan ukhuwwah Islamiyyah
(persaudaraan karena agama Islam), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan karena tanah air),
dan ukhuwwah basyaraiyyah (persaudaraan karena kemanusiaan) mudah untuk
diimplementasikan.

Kata Kunci: Multikultural, James A. Bank, Pesantren, Pengembangan

320
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 2, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
A. PENDAHULUAN
Tulisan ini membahas tentang peran dan fungsi pesantren sebagai lembaga
pendidikan tertua di Indonesia yang ternyata mampu menciptakan peserta didik yang
berwawasan pluralis secara agama dan berwawasan multikultural. Dengan demikian
pesantren bisa dikatakan sebagai lembaga multikultural pertama di Indonesia, karena
keberadaan pesantren sebenarnya merupakan hasil dialog antara konsepsi teologis dan
konsepsi sosiologis yang ada di masyarakat.1 Tentu saja karena merupakan hasil dari
dialog masyarakat, pesantren memiliki strategi khusus dalam menciptakan santri-santri
yang berakhlak mulia atau berkarakter ke-Indonesiaan.
Konsep pendidikan multikultural yang banyak di anut oleh negara-negara
demokratis, seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukan hal baru lagi. Mereka telah
melaksanakan, khususnya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang
kulit putih dan kulit hitam yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas
nasional. Salah satu bukti keberhasilan pendidikan multikultural di Amerika untuk saat
ini adalah hadirnya Barack Obama Husein sebagai presiden Amerika Serikat dari warga
kulit hitam. Pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman etnis dan budaya
masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen: “Religious, linguistic,
and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were often subordinated,
sometimes forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant
society. While many people... had to discard their own cultures, languages, religions and
traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated and
reproduced through national institutions, including the educational and legal system”.2
Menurut penelitian Banks, pendidikan multikultural memiliki empat dimensi
atau pendekatan yang saling berkaitan, antara lain: 1) Integrasi pendidikan dalam
kurikulum (content integration), yaitu mengintegrasikan berbagai budaya baik teori
maupun realisasi dalam mata pelajaran/disiplin ilmu; 2) Konstruksi ilmu pengetahuan
(knowledge construction process), yaitu membawa peserta didik untuk memahami
implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran/disiplin ilmu; 3) Pengurangan
Prasangka (prejudice reduction). Maksudnya adalah mengidentifikasi karakter ras atau
etnis siswa dan menentukan metode pengajaran mereka; 4) Pedagogi kesetaraan
antarmanusia (equity pedagogy). Melalui dimensi ini pendidik harus menyesuaikan
metode pengajaran dengan cara belajar peserta didik dalam rangka memfasilitasi prestasi
akademik peserta didik yang beragam baik dari segi ras, budaya, agama, ataupun sosial.
Keempat pendekatan tersebut di atas semuanya bermuara kepada pemberdayaan
kebudayaan sekolah (empowering school culture). Apabila pendekatan-pendekatan
pendidikan multikultural tersebut di atas dapat dilaksanakan, maka dengan sendirinya
lahir kebudayaan sekolah yang kuat dalam menghadapi masalah-masalah sosial dalam
masyarakat.3
Sekilas apa yang ditawarkan oleh Bank sangat menarik dan rasional untuk
diterapkan dalam kerangka pendidikan Islam di Indonesia. Tetapi yang menjadi
pertanyaan adalah, bagaimana mungkin empat pendekatan pendidikan multikultural itu
dapat optimal untuk diimplementasikan, jika aspek kejiwaan atau ruhani manusia tidak
tersentuh sehingga kosong dari muatan spiritual. Maka yang terjadi adalah bisa jadi
empat pendekatan itu cocok diterapkan di amerika dan eropa tetapi tidak cocok

1
Amin Haedari, Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas Dan Tantangan Komplesitas
Global, ed. IRD Press, 1st ed. (Jakarta, 2004), 3.
2
Rudolfo Stavenhagen, “Education for a Multikultural World,” in Multikulturalisme Dan Pendidikan
Multikultura (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2004), 10.
3
James A. Banks, “Multicultural Education: Historical Development, Dimensions, and Practice,” in
Handbook of Research on Multicultural Education (San Fransisco: Jossey-Bass, 2001), 138–40.

321
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 2, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
diterapkan di Indonesia dimana masyarakatnya memandang spiritual dalam hal ini agama
sebagai pandangan hidup (weltanschauung).4 Bagi masyarakat Indonesia agama adalah
nilai fundamental yang mendasari dan mengarahkan seluruh kehidupan. 5 Selain itu,
agama merupakan respons manusia terhadap realitas yang dianggap sebagai yang suci
(the holy) serta pemahaman, penyingkapan, dan perayaan terhadap “yang suci”
merupakan hal penting dalam memahami eksistensi manusia.6
Menjawab fenomena ini pesantren sejak dahulu hadir sebagai sebuah lembaga
pendidikan agama yang ternyata mampu menghasilkan peserta didik yang tidak saja
multikultural dalam pemikiran, tetapi juga inklusif dalam tindakan.7 Lalu bagaimana
model pembelajaran di pesantren sehingga ia mampu menciptakan peserta didik yang
pluralis? Metode apa yang digunakan, dan materi apa yang diberikan? Dalam tulisan ini
menguraikan tentang model pendidikan multikulturalisme di pesantren di mulai dari
aspek pendidikan aql, ruhani dan nafsani, emosional dan terakhir spiritual.

B. TINJAUAN PUSTAKA
Pendidikan Multikultural lahir sesudah sekitar 30-an tahun yang silam, yaitu
sesudah Perang Dunia II ditandai dengan lahirnya banyak negara dan berkembangnya
prinsip-prinsip demokrasi. Dengan adanya gerakan kemerdekaan bukan hanya di
negaranegara bekas jajahan, melainkan juga di negara-negara maju terjadi tantangan
tentang prinsip hidup demokrasi.8 Dalam perkembangannya studi ini menjadi sebuah
studi khusus tentang pendidikan multikultural yang pada awalnya bertujuan agar
populasi mayoritas dapat bersikap toleran terhadap para imigran baru. Studi ini juga
mempunyai tujuan politis sebagai alat kontrol sosial penguasa terhadap warganya agar
kondisi negara aman dan stabil. Namun dalam perkembangannya, tujuan politis ini
menipis bahkan hilang sama sekali karena ruh dan nafas dari pendidikan multikultural
adalah demokrasi, humanisme, dan pluralisme yang menjadi motor penggerak dalam
penegakannya yang dilakukan di sekolah-sekolah, kampus, dan institusi-institusi
pendidikan lainnya.9
Sejarah kelam yang panjang yang dialami negara-negara Eropa dan Amerika
seperti kolonialisme, perang sipil di Amerika dan perang dunia I dan II, sebenarnya juga
menjadi landasan utama sehingga pendidikan multikultural ini di aplikasikan di kedua
benua tersebut. Perang dunia I yang diawali pada tahun 1914 dan kemudian berlanjut
menjadi perang dunia II yang dimulai pada tahun 1939 yang berakhir hingga pertengahan
tahun 1900-an telah menyebabkan negara-negara Eropa bercerai berai dan saling
bermusuhan. Disisi lain, 1861-1865, Amerika juga telah mengalami tragedi yang sangat
menyakitkan yaitu perang sipil. Perang yang di akibatkan oleh adanya isu pertentangan
ras dan etnis ini telah merenggut ratusan ribu jiwa. Perang dunia I dan II dan perang sipil
di Amerika, telah menjadi bagian sejarah kelam dunia khususnya bagi bangsa Eropa dan
Amerika.10

4
H.A.R. Tilaar, Kaleidoskop Pendidikan Nasional (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2012),
1003.
5
M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme, ed. Pustaka Pelajar (Yogyakarta, 2016),
207.
6
Fredrik Bart, Kelompok Etnik Dan Batasannya (Jakarta: UI Press, 1988), 20.
7
Abu Yazid, Paradigma Baru Pesantren (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018), 172.
8
H A R Tilaar, Kekuasaan Dan Pendidikan: Suatu Tinjauan Dari Perspektif Studi Kultural
(IndonesiaTera, 2003), 204, https://books.google.co.id/books?id=QXAH73XZDUgC.
9
Yaqin. M. Ainul, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding Untuk Demokrasi Dan
Keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), 24.
10
Ainul, 22.

322
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 2, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
Indonesia juga mempunyai pengalaman yang tidak kalah menyedihkan seperti
kekerasan dan pemberontakan, pembumihangusan, dan pembunuhan generasi.
Perpecahan dan ancaman disintegrasi bangsa telah terjadi sejak zaman kerajaan
Singosari, Sriwijaya, Majapahit, Gowa, Mataram, hingga pada era terkini. Pembunuhan
besar-besaran terhadap masa pengikut Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965,
kekerasan terhadap etnis Cina di Jakarta pada Mei 1998, perang Islam Kristen di Maluku
Utara pada tahu 1999-2003, dan perang etnis antar warga Dayak dan Madura yang terjadi
sejak tahun 1931 hingga tahun 2000 yang telah menelan korban jiwa kurang lebih 2000
nyawa manusia melayang sia-sia. Ini merupakan bagian dari sejarah kelam bangsa
Indonesia.

C. METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif
dengan menggunakan metode deskriptif analisis yang menggunakan teknik analisis
kajian melalui study kepustakaan. Study kepustakaan merupakan metode pengumpulan
data yang diarahkan kepada pencarian data dan informasi melalui dokumen-dokumen,
baik dokumen tertulis, foto-foto, gambar, maupun dokumen elektronik yang dapat
mendukung dalam proses penulisan. “Hasil penelitian juga akan semakin kredibel
apabila di dukung foto-foto atau karya tulis akademik dan seni yang telah ada.” 11
Sumber data pada penelitian ini adalah literatur-literatur yang berkaitan dengan
pendidikan multikultural dalam perspektif James A. Bank dan literatur-literatur tentang
model pendidikan multikultural di pesantren yang ada di Indonesia, berupa bahan-bahan
pustaka, seperti: dokumen, arsip, koran, majalah, jurnal ilmiah, buku, laporan tahunan
dan lain sebagainya.12. Dalam tulisan ini, analisis data mengacu pada prosedur analisis
data Milles dan Hubermen, yaitu analisis data dilakukan dimulai sejak pengumpulan
data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.13

D. HASIL DAN PEMBAHASAN


Seputar Pesantren
Pesantren merupakan lembaga yang berangkat dari budaya nusantara yang tentu
saja terkait dengan tradisi dan kearifan masyarakat Indonesia. Pesantren, misalnya,
dikatakan sebagai hasil dari produk budaya Indonesia, karena pesantren memiliki akar
yang kuat (indigenous) pada masyarakat Muslim Indonesia, yang dalam perjalanannya mampu
menjaga dan mempertahankan keberlangsungan dirinya (survival system), serta memiliki model
pendidikan multi aspek. 14 Santri atau murid yang belajar di pesantren, tidak hanya dididik
menjadi seseorang yang mengerti ilmu agama, tetapi juga mendapat tempaan kepemimpinan,
kemandirian, kesederhanaan, ketekunan, kebersamaan, kesetaraan, dan sikap positif lainnya.
Modal inilah yang diharapkan melahirkan masyarakat yang berkualitas dan mandiri sebagai
bentuk partisipasi pesantren dalam menyukseskan tujuan pembangunan nasional sekaligus
berperan aktif dalam mencerdaskan bangsa sesuai yang diamanatkan oleh Undang-undang
Dasar 1945. 15

11
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Dan R & D, 11th ed.
(Bandung: ALPABETA, 2010), 83.
12
Maman Dkk, Metedologi Penelitian Agama Teori Dan Praktek (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2006), 80.
13
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi Dan Ilmu
Sosial Lainnya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002).
14
Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam Dan Perkembangannya Di Indonesia (Bandung: Al-
Ma’rifat, 1979), 35.
15
Haedari, Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas Dan Tantangan Komplesitas Global.

323
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 2, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
Pentingnya keberadaan pesantren ini adalah karena selain sebagai salah satu
pemicu terwujudnya kohesi sosial, keberadaan pesantren hadir dan terbuka dengan
mengedepankan nilai-nilai ketaatan, keikhlasan, kesetiakawanan, kebersamaan,
persamaan, saling tolong-menolong, kesederhanaan, kebersamaan, saling menghargai,
dan saling menghormati.16 Konsepsi perilaku (sosial behavior) yang ditampilkan
pesantren ini, mempunyai daya rekat sosial yang tinggi dan sulit ditemukan pada institusi
pendidikan lainnya.17 Begitu juga dengan genealogi pesantren yang telah lama
berkembang dan muncul sejak pra-kemerdekaan, selain mengajarkan agama, pesantren
juga mengajarkan nilai-nilai moralitas dan local wisdom kebhinekaan.
Untuk memantapkan kerjanya, pesantren memiliki komponen-komponen yang
selalu berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Komponen itu adalah; masjid, santri,
pengajaran kitab Islam klasik (kitab kuning), dan kiai yang menjadi elemen dasar dalam
tradisi pendidikan di pesantren.18 Pesantren juga merupakan lembaga pendidikan Islam
yang unik. Letak keunikannya dapat dilihat pada gambaran lahiriahnya dimana pesantren
adalah sebuah kompleks yang di dalamnya berdiri beberapa bangunan, meliputi; rumah
kediaman pengasuh (di Jawa dipanggil kiai, di daerah yang berbahasa sunda dipanggil
ajengan, di Madura dipanggil Nun atau bendara yang selanjutnya di disingkat menjadi
Ra), sebuah surau atau masjid, tempat pengajaran (madrasah), dan asrama tempat tinggal
para santri.19
Dalam lingkungan fisik sebagaimana digambarkan di atas, diciptakan cara
kehidupan yang memiliki sifat dan ciri tersendiri, dimulai dengan jadwal kegiatan yang
menyimpang dari pengertian rutin kegiatan masyarakat pada umumnya. Gambaran
kegiatan di pesantren berputar dan berdasarkan pada pembagian periode waktu salat lima
waktu (salat rawatib), seperti waktu pagi, siang, dan sore, di pesantren berbeda dengan
pengertian aslinya. Maka tidaklah mengherankan apabila sering dijumpai santri menanak
nasi di tengah malam buta atau mencuci pakaian menjelang terbenamnya matahari.
Dimensi waktu yang unik ini tercipta karena kegiatan pokok pesantren dipusatkan pada
pemberian pengajian pada setiap habis menjalankan salat rawatib sekaligus mewajibkan
kegiatan lain harus tunduk dan patuh atau disesuaikan dengan pembagian waktu
pengajian.20
Pesantren, sebagaimana dijelaskan oleh Zuhri di mulai sejak zaman Maulana
Malik Ibrahim, yang olehnya disebut sebagai the spiritual father of Walisongo (dalam
masyarakat santri Jawa dipandang sebagai gurunya tradisi pesantren di tanah Jawa).21
Sementara menurut Azyumardi Azra, selain merupakan lembaga pendidikan tertua di
Indonesia, pesantren juga merupakan lembaga pendidikan yang dihasilkan dari produk
budaya Indonesia, dimana sejarah kehadirannya sangat erat kaitannya dengan sejarah
masuknya Islam ke Indonesia. Oleh karena itu, membahas pesantren di tanah air, tidak dapat
dipisahkan dari membahas mengenai sejarah Islam itu sendiri.22 Dikatakan sebagai hasil
dari produk budaya Indonesia, karena pesantren memiliki akar yang kuat (indigenous)
pada masyarakat Muslim Indonesia, yang dalam perjalanannya mampu menjaga dan

16
Yazid, Paradigma Baru Pesantren.
17
Saipul Hamdi, Pesantren Dan Gerakan Feminisme Di Indonesia (Yogyakarta: Arti Bumi Intaran,
2017), 41.
18
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Kyai. Jakarta: LP3ES. Cet. VII.
(Jakarta: LP3ES, 2011), 79.
19
Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Kyai. Jakarta: LP3ES. Cet. VII.
20
Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Keindonesiaan Dan Transformasi
Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institut, 2007), 90.
21
Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam Dan Perkembangannya Di Indonesia.
22
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII:
Akar Pembaruan Islam Indonesia, II (Jakarta: Prenada Media, 2005), 5.

324
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 2, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
mempertahankan keberlangsungan dirinya (survival system), serta memiliki model pendidikan
multi aspek. Santri atau murid yang belajar di pesantren, tidak hanya dididik menjadi
seseorang yang mengerti ilmu agama, tetapi juga mendapat tempaan kepemimpinan,
kemandirian, kesederhanaan, ketekunan, kebersamaan, kesetaraan, dan sikap positif lainnya.
Modal inilah yang diharapkan melahirkan masyarakat yang berkualitas dan mandiri sebagai
bentuk partisipasi pesantren dalam menyukseskan tujuan pembangunan nasional sekaligus
berperan aktif dalam mencerdaskan bangsa sesuai yang diamanatkan oleh Undang-undang
Dasar 1945.23
Dalam Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, posisi pondok pesantren
sebagai lembaga pendidikan keagamaan memiliki tempat yang istimewa. Letak
istimewanya adalah di satu sisi pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan non-
formal, tetapi di sisi lain pesantren juga dapat menjadi lembaga pendidikan formal.
Sebagai lembaga pendidikan yang concern di bidang keagamaan, pesantren memiliki
ketentuan-ketentuan proses pendidikan dan pembelajaran-nya yang diatur dalam pasal 30
Undang-Undang Sisdiknas Tahun 2003, yang berbunyi; Pertama, pendidikan keagamaan
diselenggarakan oleh pemerintah dan atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan; Kedua, pendidikan keagamaan berfungsi
mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan
mengamalkan nilai-nilai ajaran agama-nya dan atau menjadi ahli ilmu agama; Ketiga,
pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, non-formal,
dan informal; Keempat, pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren,
dan bentuk lain yang sejenis.24
Jika dilihat lebih dalam, keterkaitan antara pesantren dengan masyarakat
sekitarnya sangat erat.25 Sehingga banyak dijumpai pondok pesantren tumbuh dan
berkembang umumnya di daerah pedesaan, karena tuntutan masyarakat yang
menghendaki berdirinya pondok pesantren sebagai lembaga kontrol sosial terhadap
fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat. Bahkan akhir-akhir ini juga sudah
banyak pesantren yang berdiri di daerah perkotaan, hal ini dikarenakan perkembangan
dari daerah itu sendiri yang awalnya sebuah desa, berkembang menjadi daerah pusat
industri, pendidikan, ataupun pemerintahan.26 Dengan demikian, pesantren
sesungguhnya terbangun dari konstruksi kemasyarakatan dan epistemologi sosial yang
menciptakan suatu transendensi atas perjalanan historis sosial.
Pengaruh utama yang dimiliki pesantren atas kehidupan masyarakat, terletak pada
interaksi perorangan yang menembus batas hambatan yang diakibatkan dari perbedaan-
perbedaan yang terjadi di masyarakat. Interaksi ini merupakan jalur timbal balik yang
memiliki dua fungsi, yaitu; mengatur bimbingan spiritual–dari pihak pesantren kepada
masyarakat–dalam soal-soal perdata agama (perkawinan, hukum waris, dan sebagainya),
dan soal-soal ibadah ritual yang mengatur pemeliharaan material finansial oleh
masyarakat dalam bentuk pengumpulan dana dan sebagainya. Sehingga baik agama
Islam maupun pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, tidak pernah mengajarkan
tindakan radikalisme, terorisme, karena berdirinya pesantren memiliki misi untuk
menyebar-luaskan informasi, ajaran, dan doktrin tentang universalitas Islam ke seluruh

23
Haedari, Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas Dan Tantangan Komplesitas Global.
24
Surayin, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Bandung: Yrama Widya, 2004), 58–59.
25
Surayin, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
26
Rela Mar’ati, “Pesantren Sebagai Basis Pendidikan Karakter: Tinjauan Psikologis,” Al-Murabbi, 1,
no. 1 (2014): 1–15.

325
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 2, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
pelosok Nusantara.27. Dari gambaran ini, maka pesantren selalu menghasilkan atau dapat
membentuk pribadi-pribadi Muslim yang selain dalam ilmu agamanya, juga memiliki
watak yang humanis, toleran, dan pluralis.28

Model Pendidikan Multikultural di Pesantren


Kesempurnaan penciptaan manusia itu kemudian semakin “disempurnakan” oleh
Allah dengan mengangkat manusia sebagai khalifah di muka bumi yang mengatur alam
dan ekosistem Ilahiyah. Berkaitan dengan tingkah laku manusia, al-Qur'an menyebut
manusia sebagai makhluk yang amat terpuji dan disebut pula sebagai makhluk yang amat
tercela. Hal itu ditegaskan dalam berbagai ayat, bahkan ada pula yang ditegaskan dalam
satu ayat. Akan tetapi itu tidak berarti manusia dipuji dan dicela dalam waktu yang
bersamaan, melainkan berarti bahwa dengan potensi yang telah dipersiapkan baginya,
manusia dapat menjadi makhluk yang mulia dan dapat pula menjadi makhluk yang hina.
Sebab manusia terdiri dari berbagai unsur. Rincian unsur manusia ini ditelusuri
berdasarkan isyarat-isyarat al-Qur’an dalam menggambarkan sosok manusia dalam
berbagai unsurnya. Secara umum, isyarat al-Qur’an lebih banyak berkaitan dengan unsur
aql, jasmani, ruhani atau dan nafsani.
Islam sebagai kerangka konsep pendidikan multikultural di pesantren dijabarkan
dalam skema dibawah ini:
Development
of Intellectual
Aspects

Development
of Physical
Human Development
of Emotional
Aspects Being Aspects

Development
of Spiritual
Aspects

1. Pengembangan Aspek Jasmani


Unsur Jasmani menjadi salah satu aspek manusia yang dididik di pesantren.
Jasmani terdiri dari unsur biologis dan indera adalah potensi yang dimiliki manusia yang
menjadikannya makhluk dengan kesempurnaan yang lengkap, indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, pengecap dan peraba tidak hanya menjadi pelengkap pada diri
manusia, melainkan seperangkat atribut yang bisa mengantarkan manusia untuk
mengembangkan dan memberdayakan potensi kemanusiaannya. Aktivitas jasmani juga
dapat dijelaskan sebagai kegiatan pelaku gerak untuk meningkatkan keterampilan
motorik dan nilai-nilai fungsional yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan sosial.
Aktivitas ini harus dipilih dan disesuaikan dengan tingkat perkembangan pelaku. Melalui
kegiatan keolahragaan diharapkan pelaku atau pengguna akan tumbuh dan berkembang
secara sehat, dan segar jasmaninya, serta dapat berkembang kepribadiannya agar lebih
harmonis.29 penting pengembangan aspek jasmani ini dicatat dalam al-Quran QS [16]:

27
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga
Postmodernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), 109.
28
Syamsul Ma’arif, “Transformative Learning Dalam Membangun Pesantren Berbasis Multikultural,”
Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi Dan Aplikasi 1, no. 1 (2012): 58–71.
29
Azhar Romadhana Sonjaya, “Pengaruh Metode Pendekatan Bermain Terhadap Partisipasi Belajar
Pendidikan Jasmani Pada Siswa Adaptif Tuna Grahita Ringan,” Jurnal Perspekti 1, no. 1 (2017): 28.

326
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 2, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
78. 16, ayat 78. Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat
kebugaran organ-organ tubuh dan sendinya akan dapat mempengaruhi semangat dan
intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ tubuh yang lemah akan dapat
menurunkan kualitas ranah cipta (kognitif) sehingga materi yang dipelajarinya pun
kurang atau tidak berbekas. 30 Untuk mempertahankan tonus dan jasmani agar tetap
bugar, siswa sangat dianjurkan mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi.
selain itu, siswa juga dianjurkan memilih pola istirahat yang cukup dan olah raga ringan
yang sedapat mungkin terjadwal secara tetap dan berkesinambungan. Hal ini sangat
penting untuk menjaga reaksi tonus dari hal negatif dan merugikan semangat mental
siswa itu sendiri. 31
Umumnya pendidikan jasmani di pesantren adalah dengan mengintensipkan
latihan bela diri (pecak silat) serta latihan atau riyadhah dengan puasa senin-kamis, atau
puasa yang disunatkan lainnya. Selain itu intensifikasi pendidikan jasmani melalui
olahraga juga sering dilakukan di pesantren. Aktivitas ini penting untuk dilakukan,
karena pendidikan jasmani, selain media gerak tubuh dirancang untuk menghasilkan
beragam pengalaman dan tujuan antara lain belajar, sosial, intelektual, keindahan dan
kesehatan, pendidikan jasmani juga merupakan bagian yang integral dari seluruh proses
pendidikan yang bertujuan mengembangkan individu secara organik, meliputi: fisik,
mental, emosi, intelektual, dan sosial.32 Sehingga melalui aktivitas jasmani ini peserta
didik memperoleh beragam pengalaman kehidupan yang nyata sehingga benar- benar
membawa anak ke arah sikap dan tindakan yang baik.
Pemantapan pendidikan multikultural melalui aktivitas jasmani sangat bermanfaat
bagi peserta didik, antara lain: Pertama, dorongan berkomunikasi. Peserta didik dapat
belajar membangun komunikasi melalui suatu bentuk aktivitas yang mengalir dan
menyenangkan dalam permainan tersebut. Komunikasi dalam bermain adalah terjadinya
persamaan pendapat mengenai suatu objek atau makna dalam permainan tersebut.
Bentuk komunikasi dalam bermain dapat komunikasi lisan, tertulis maupun isyarat. 33
Melalui permainan dalam bentuk fisik mempermudah anak untuk berkomunikasi antar
mereka hal ini terjadi karena adanya dorongan yang kuat untuk memahami konsep
bersama atau individu-individu. Sebagai contoh anak-anak dari berbagai sudut daerah
berkumpul di halaman pesantren dengan berbagai aktivitas jasmani sehinga komunikasi
dapat terbangun dengan baik.34
Kedua, Penyaluran energi emosional yang terpendam. Aktivitas jasmani melalui
bermain misalnya merupakan media penyaluran ketegangan-ketegangan ataupun energi
potensial yang disebabkan oleh pembatasan lingkungan terhadap perilaku hidup mereka.
Melalui bermain energi yang tersimpan atau emosi anak akan dapat dikeluarkan dengan
lancer tanpa mengalami hambatan apapun, anak dalam bermain akan mengeluarkan apa
saja yang menjadi tekanan/hambatan dengan bebas seperti berteriak keras-keras di
lapangan, menendang bola sekuat tenaga, atau memukul bola dengan sekeras-kerasnya,
sehingga memudahkan untuk membuat keseimbangan psikis yang dapat mengembalikan
berperilaku anak normal kembali. Selain itu melalui aktivitas bermain tersebut membawa

30
Robert N. Singer, Motor Learning and Human Performance: An Application to Physical Education
Skills, 2nd ed. (New York: Macmillan Publishing Co., Inc, 1975), 36.
31
Ani Lailaturrohmah, “Pendidikan Jasmani Dan Keterampilan Menurut Al Quran Dan Hadis,” Jurnal
Pendidikan Jasmani 1, no. 1 (2017): 1–8.
32
R. Koenig. Constance Charles A. Bucher, Methods and Materials for Secondary School Physical
Education (St. Louis: The CV. Mosby Company, 1983), 73.
33
A.M. Bandi Utama, “Pembentukan Karakter Anak Melalui Aktivitas Bermain Dalam Pendidikan
Jasmani,” Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia 8, no. 1 (2011): 1–9.
34
Sukintaka, Teori Bermain Untuk Pendidikan Jasmani (Yogyakarta: FPOK IKIP, 1998), 6.

327
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 2, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
anak mampu untuk melatih dan mengelola emosi yang pasti timbul dalam kegiatan
bermain.
Ketiga, sumber belajar. Bermain memberi kesempatan secara luas pada anak
untuk mempelajari berbagai bidang yang tidak diperoleh melalui belajar di sekolah,
keluarga dan masyarakat. Melaui bermain anak akan memperoleh pengalaman langsung
dari berbagai bidang dalam hal kognitif, afektif, maupun psiomotorik. Pengalaman
langsung dalam domain kognitif melalui bermain tebak menebak, teka-teki, dengan
menggunakan peraturan sederhana maupun baku. Melalui bermain tersebut anak akan
bertambah pengetahuan dan pemahaman suatu objek serta pengambilan keputusan yang
cepat dan tepat dalam arti kecerdasan praktis. Pengalaman langsung pada domain afektif
dalam aktivitas bermain yaitu pada saat anak-anak mampu menaati/melaksanakan
peraturan yang mereka sepakati atau peraturan permainan yang baku dengan sukarela,
jujur dalam bertindak, fair play, mampu bekerja sama, dan berperilaku baik. Sedang
pengalaman langsung dalam domain psychomotor adalah pada saat anak-anak aktif
melakukan kegiatan dalam permainan tersebut seperti berlari, melempar, menangkap,
menendang, memukul, berguling, melompat, meloncat, merayap, memutar, menyelam,
mengapung, berenang, bergoyang, mendorong, menarik, bertepuk tangan, dan
sebagainya dengan berbagai variasi geraknya.
Keempat, perkembangan wawasan diri. Aktivitas jasmani melalui bermain
merupakan cermin dalam kehidupan anak-anak. Melalui bermain anak mampu melihat
dirinya sendiri karena ada tolok ukur atau pembanding yaitu teman atau lawan bermain-
nya, sehingga mereka mengetahui kelebihan dan kekurangannya dalam berbagai bidang
seperti fisik, psikis, dan sosial. Melalui bermain anak-anak mengetahui tingkat
kemampuannya. Misalnya si A lebih cepat dalam berlari dari pada si B, atau si C lebih
pandai dari pada si B, dan si B lebih kuat dari pada si A, dan sebagainya. Hal ini
memungkinkan anak-anak tersebut untuk mengembangkan konsep dirinya dengan lebih
pasti dan nyata.
Kelima, belajar bermasyarakat. Pendidikan jasmani melalui permainan juga dapat
diartikan pusat kegiatan “masyarakat” bagi anak-anak. Dalam kehidupan bermasyarakat
dipastikan ada komunikasi, hubungan sosial, nilai kerja sama, saling menolong, ada
aturan yang harus ditaati, ada tujuan bersama yang ingin dicapai, saling menghormati,
saling percaya, ada rasa senang, cinta, kebersamaan, kerukunan, dan kedamaian. Melalui
aktivitas bermain anak akan belajar bermasyarakat dengan cara berkomunikasi dengan
orang lain, belajar menghormati, mempercayai, belajar menaati aturan, kebersamaan dan
kerja sama. Jika anak-anak sudah terbiasa dengan menaati aturan, kerja sama, saling
menolong dan berkomunikasi dengan orang lain dalam setiap kesempatan bermain maka
dapat diduga kebiasaan ini akan dibawa dalam kehidupan yang akan datang sehingga
hidup bermasyarakat yang sesungguhnya dapat terwujud.
Keenam, standar moral. Bermain juga dapat sebagai standard moral yang berarti
melalui bermain dapat dilihat baik buruknya sikap atau tingkah laku anak pada saat
bermain. Dalam aktivitas bermain anak-anak bebas mengekspresikan segala kemampuan
yang dimilikinya secara bebas dalam hal sikap, tingkah laku maupun tutur kata, sehingga
anak yang mempunyai kebiasaan bertingkah laku baik atau buruk akan tampak dalam
kegiatan bermain tersebut. Selain itu anak-anak pasti sudah belajar di keluarga maupun
di sekolah mengenai hal yang baik dan buruk serta penerapannya, tetapi pelaksanaan
standard moral paling teguh ada dalam aktivitas bermain.
Dari sini dapat dipahami bahwa, unsur jasmani dalam diri manusia adalah salah
satu unsur yang harus dilatih, karena aktivitas jasmani yang dilakukan dengan sungguh-
sungguh dan sukarela serta menyenangkan yang sering dilakukan oleh sebagian anak-
anak, mampu membawa peserta didik untuk mengembangkan dan meningkatkan

328
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 2, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
kemampuan atau potensi yang dimilikinya ke arah yang positif dalam arti potensi
mereka, baik segi kognitif, afektif, fisik, dan psikomotorik. Hal ini berarti bahwa melalui
melatih jasmani dalam bentuk apapun selama kegiatan itu positif dapat membentuk
karakter individu.

2. Pengembangan Aspek Intelektual


Pengembangan aspek intelektual yang penulis maksud adalah pengembangan
kecerdasan intelektual atau Intellectual Quotient (IQ). Akal adalah salah satu aspek
penting dalam hakikat manusia. Menurut Nasution, ada tujuh kata yang digunakan al-
Qur’an untuk mewakili konsep akal, seperti nazara, tadabbara, tafakkara, faqiha,
tadzakkara, fahima, dan aqala, kata-kata itu menunjukkan bahwa al-Qur’an mengakui
akal adalah salah satu aspek terpenting dalam hakikat manusia. 35 Sementara menurut
kata ‘a-q-l, dalam bentuk derivatif-nya diulang sebanyak 49 kali dalam al-Qur’an.
Bentuk-bentuk derivatif yang digunakan dalam al-Qur’an ada lima, yaitu: ‘aqalûh 1 kali,
na‘qil 1 kali, ya‘qiluhâ 1 kali, ya‘qilûn 22 kali, dan ta‘qilûn 24 kali. Kata ‘aql antara lain
disandingkan dengan negasi interogatif afalâ sebanyak 15 kali, negasi lâ 12 kali, harapan
(la‘alla) 8 kali, shart (in kuntum) 2 kali, dan hanya 12 kali berdiri sendiri. Dari 49 kali
penggunaan kata ‘aql tersebut, hanya sekitar tiga kali dikaitkan secara jelas dengan
aspek-aspek metafisik, sedangkan sisanya dikaitkan dengan fenomena alam, yang dalam
bahasa al-Qur’an disebut tanda (âyât).
Mayoritas mufasir mengartikan dan menafsirkan kata ‘aql dalam ayat-ayat
dimaksud dengan mengetahui (ta‘qilûn-ta‘lamûn),36 mencapai pengetahuan (idrâk),
memikirkan (afalâ ta‘qilûn-afalâ-ta‘lamûn),37 memahami (‘aqalûh-fahhamûh), dan
kebijaksanaan (ta‘qilûn-learn wisdom).38 Berkaitan dengan makna-makna yang dikaitkan
dengan aspek kognitif tersebut, al-Qur’an juga menggunakan kata lain dengan maksud
yang tak jauh berbeda. Sekalipun aspek yang ditekankan kedua mufasir berbeda-berbeda,
mereka sepakat tentang makna kata ‘aql, yakni paham atau mengerti. Salah satu ayat al-
Qur’an yang di dalamnya terdapat kata ‘aql QS [2]: 44. Dalam menafsirkan ayat di atas,
al-Baydhâwî menegaskan arti kata ‘aql sekaligus menjelaskan penggunaannya secara
metaforis fungsional pada manusia. Dengan akal, menurutnya, manusia bisa mengetahui
dan memahami, dan dengan pengetahuan dan pemahaman yang sama manusia bisa
menahan diri dari keburukan dan menambatkan diri pada kebaikan, yang dalam konteks
agama secara ringkas bisa dikatakan, orang yang berakal akan bertakwa, yakni mematuhi
ketentuan-ketentuan agama. Al-Qur’an juga banyak mempertanyakan fungsi ‘aql ketika
tidak mampu memahami âyât yang bertebaran di alam semesta, dan cenderung menerima
begitu saja berita-berita yang bertentangan dengan kebenaran wahyu. 39
Sementara menurut M. Quraish Shihab, akal selain dapat mengetahui perbuatan
baik dan buruk , akal juga dapat menghalangi seseorang untuk melakukan perbuatan
jahat dan menjaga seseorang dari perbuatan salah yang dapat merugikan dirinya dan
orang lain sebagaimana ungkapannya yaitu akal berarti potensi yang terdapat pada
manusia yang sangat besar fungsinya untuk menghalangi agar tidak terjebak dalam
perbuatan dosa dan menjaga manusia dari berbuat kesalahan. 40 Tegasnya akal dapat
35
Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: Universitas Indonesia, 1982), 39–42.
36
Muhammad Tabataba’i, Al-Mîzân Fî Tafsîr Al-Qur’ân, 16th ed. (Beirut: Mu’assasat al-A’lâ, n.d.),
166.
Shihab al-din Mahmud, , ‘Abd Allâh Al-Alûsî, Rûh Al-Ma‘Ânî Fî Tafsîr Al-Qur’Ân Al-‘Azîm Wa Al-
37

Sab‘ Al-Mathânî, 2nd ed. (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâth al-‘Arabî, n.d.), 194.
38
‘Umar b. Muhammad al-Shîrâzî al-Baydâwî Nâsir al-Dîn Abû Sa’îd ‘Abd Allâh, Anwâr Al-Tanzîl
Wa Asrâr Al-Ta’wîl, 1st ed. (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, n.d.), 70.
39
Al-Baydâwî, Anwâr Al-Tanzîl (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, n.d.), 59.
40
M. Quraish Shihab, Logika Agama (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 88.

329
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 2, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
mengetahui suatu perbuatan yang bermanfaat baginya dan perbuatan yang tidak
bermanfaat atau membahayakan dirinya. Untuk mengasah kecerdasan akal di pesantren
dilakukan dengan cara latihan membaca “kitab kuning” dengan menggunakan metode
sorogan atau wetonan. Kitab kuning adalah kitab yang memiliki ciri-ciri unik, yaitu
ditulis dengan menggunakan huruf Arab atau Melayu, Jawa, Sunda, dan lainnya; huruf-
huruf tersebut tidak diberi syakal dan karena itu disebut juga “kitab gundul” yang pada
umumnya dicetak pada kertas yang berwarna kuning. Karena dia tidak diberi syakal,
maka untuk bisa membacanya membutuhkan pengetahuan ilmu nahwu (bapak ilmu) dan
syaraf (ibu ilmu) dan ini sangat membutuhkan pengetahuan aql yang tinggi. 41 oleh
karena itu pendidikan intelektual atau akal sangat diperhatikan di pesantren.
Adapun yang dimaksud dengan metode sorogan adalah sebuah sistem belajar di
mana santri maju satu persatu untuk membaca dan menguraikan isi kitab atau al-Qur’an
di hadapan seorang guru atau Kyai. 42 dari metode ini dapat dipahami bahwa fungsi akal
akan benar-benar bekerja untuk dapat menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru.

3. Pengembangan Kecerdasan Emosional


Berbeda dengan kecerdasan intelektual yang terlalu mengandalkan kemampuan
nalar, pemahaman verbal, dan kemampuan numerik, kecerdasan emosional, lebih kepada
suatu kesadaran mengenai perasaan milik diri sendiri dan perasaan milik orang lain.
Kecerdasan emosional juga berarti memberikan rasa empati, cinta, motivasi, dan
kemampuan menanggapi kesedihan atau kegembiraan secara tepat.43 Kecerdasan
emosional juga berarti menunjuk kepada kemampuan mengenai perasaan diri sendiri
serta perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, serta kemampuan
mengelola emosi diri sendiri dengan baik dan dalam hubungannya dengan orang lain. 44
Kecerdasan emosional juga merupakan salah satu dasar pendidikan dan pembelajaran,
yaitu sebagai proses pendidikan yang berorientasi pada perkembangan emosi.
Menurut Goleman, EQ adalah prasyarat dasar untuk menggunakan IQ secara
efektif. Dengan kata lain, EQ mengarah pada IQ. Kabar baiknya, tak seperti IQ, yang tak
bisa ditingkatkan alias sudah merupakan bawaan lahir, EQ bisa dilatih dan ditingkatkan
terus menerus. Meningkatkan kemampuan emosional dapat dilakukan dengan cara: 1)
Mengonfrontasikan emosi, bukan lari darinya, mengenalinya, berdialog dengannya dan
akhirnya bukan hanya berdamai melainkan mengendalikannya agar tidak destruktif dan
menjadi positif; 2) Bersikap sensitif dalam menempatkan diri kita dalam situasi
emosional orang lain demi pemahaman tentangnya, dan akhirnya menampilkan sikap
simpati yang tulus padanya. 45
Di pesantren, aktivitas pengembangan kecerdasan emosional dengan
mengoptimalkan beberapa aspek kejiwaan, antara lain: Pertama, Aspek Mengelola
Emosi Diri. Di pesantren anak di ajarkan untuk bersabar dalam menjalani hidup yang
serba sederhana dan jauh dari orang tua. Ini bertujuan untuk melatih kesabaran dan
ketabahan dan ketekunan dalam menghadapi kehidupan di pesantren yang serba
kekurangan dengan fasilitas serba kekurangan. Salah satu cara untuk mengendalikan
emosi dan memupuk kesabaran di pesantren adalah dengan banyak membaca al-Qur’an,
mengingat Allah (zikir) dan salat. Dzikrullah dapat mencakup makna keagungan Allah

41
Yazid, Paradigma Baru Pesantren.
42
Muhammad Zein, Methodologi Pengajaran Agama (Yogyakarta: AK. Group, 1995), 95.
43
D. Marshall Zohar, Kecerdasan Emosional (Bandung: Mizan, 2007), 3.
44
Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosional. Mengapa EI Lebih Penting
Daripada IQ (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), 38.
45
Goleman, Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosional. Mengapa EI Lebih Penting Daripada IQ.

330
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 2, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
Swt, surga atau neraka-Nya, rahmat dan siksa-Nya, atau perintah dan larangan-Nya dan
juga wahyu-wahyu-Nya.
Kedua, Aspek Motivasi. Menurut Goleman, dimensi motivasi dalam kecerdasan
emosional adalah kecerdasan untuk menggunakan hasrat seseorang menuju sasaran,
membantu seseorang dalam mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif dan
bertahan menghadapi kegagalan dan frustrasi. 46 Hal ini senada dengan motivasi yang
didefinisikan sebagai segala sesuatu yang menjadi pendorong tingkah laku yang
menuntut atau mendorong seseorang untuk memenuhi kebutuhan. 47 Ibadah yang banyak
dilakukan di pesantren merupakan motivasi utama manusia dalam berperilaku. Hal ini
dikarenakan sesungguhnya manusia tidak lain diciptakan untuk menyembah Tuhannya.48
Seperti yang tercatat dalam firman Allah Swt QS [51]: 56.
Aktivitas ibadah di pesantren bukan hanya sekadar ketaatan dan ketundukan,
tetapi ia adalah satu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat
adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia
mengabdi di pesantren. Ia juga merupakan dampak dari keyakinan bahwa pengabdian itu
tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau arti hakikatnya. Al-
Qur’an memiliki banyak sekali kandungan ayat-ayat yang mendorong manusia untuk
beribadah dan melakukan perbuatan sebaik-baiknya. Hal ini dapat menjadi sumber
inspirasi pelajar yang belajar di pesantren untuk melakukan ibadah dan terus memotivasi
diri untuk berkarya di jalan Allah Swt. Meskipun Allah telah menentukan takdir
seseorang, namun Allah tidak memerintah manusia berdiam diri menunggu takdir
ditetapkan baginya. Allah memerintah manusia untuk berusaha mencari nafkah dan
berusaha terus menerus memperbaiki dirinya. Al-Qur’an juga memerintahkan kepada
umat manusia untuk terus termotivasi untuk melakukan aktivitas kebaikan. Manusia
harus memotivasi diri untuk melakukan kebaikan dengan tetap meniatkan perbuatannya
karena Allah semata. Hal ini sesuai dengan firman Allah QS [5]: 48. Oleh para siswa
yang belajar di pesantren, ayat ini menjadi rujukan dalam memotivasi diri mereka
masing-masing, jika motivasi itu didasarkan pada motivasi ilahiah, bukan tidak mungkin
segala aktivitas manusia akan selalu mendapat pertolongan dan kemudahan dari Allah
Swt.
Ketiga, Aspek Empati. Menurut Goleman, dimensi empati merupakan
kemampuan untuk merasakan yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami
perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri
dengan bermacam-macam orang.49 Dalam pandangan Islam, Allah Swt menganjurkan
pada kaum beriman untuk saling menyebarkan kasih sayang dan saling menghibur di
kala duka dengan pesan sabar. Hal ini sesuai dengan firman-Nya QS [90]: 17. Dalam
menafsirkan ayat di atas, Quraish Shihab, berargumen bahwa seseorang tidak dapat
dinamai beriman apabila di dalam jiwanya tidak terdapat kendala yang menghalanginya
berlaku sewenang-wenang atau memerkosa hak-hak asasi manusia, tidak juga
mengabaikan hak-hak anak yatim, orang miskin, serta orang-orang yang membutuhkan
uluran tangan, dan ini sebenarnya esensi dari pendidikan multikulutal yang senantiasa di
ajarkan di pesantren.50
46
Daniel Goleman, Working with Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak
Prestasi (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), 43.
47
Abdul Rahman Shaleh Dan Muhbib Abdul Wahab, Psikologi Dalam Perspektif Islam (Jakarta:
Prenada Media, 2003), 132.
48
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 78.
49
Goleman, Working with Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak
Prestasi.
50
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur`an, 15th ed.
(Tangerang: PT. Lemtera Hati, 2016), 332.

331
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 2, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
Keempat, Aspek Keterampilan Sosial. Dimensi keterampilan sosial menurut
Goleman merupakan kemampuan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan
dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial; berinteraksi
dengan lancar; menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk mempengaruhi dan
memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan dan untuk bekerja sama
dalam kelompok. 51 Di ini siswa di pesantren dididik agar tergerak hati dan sikapnya
untuk meningkatkan kemampuan menjalin relasi dengan santri lain di lingkungan
pesantren. Karena sebagaimana diketahui siswa yang belajar di pesantren berasal dari
latar belakan yang berbeda-beda (suku, ras, etnis, dan golongan).
Lebih jauh, sesungguhnya Islam merupakan agama yang menekankan pentingnya
kehidupan sosial. Pada dasarnya ajaran Islam mengajarkan manusia untuk melakukan
segala sesuatu demi kesejahteraan bersama, bukan pribadi semata. Islam menjunjung
tinggi tolong menolong, saling menasihati tentang hak dan kesabaran, kesetiakawanan,
kesamaan derajat (egaliter), tenggang rasa dan kebersamaan. Bahkan dalam Islam, Allah
Swt menilai ibadah yang dilakukan secara berjamaah atau bersama-sama dengan orang
lain nilainya lebih tinggi daripada salat yang dilakukan perorangan, dengan perbandingan
27 derajat. Dalam QS [5]: 2 disebutkan bahwa agar selalu tolong-menolong dalam
mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
permusuhan. Prinsip dasar dalam menjalin kerja sama kepada siapa pun sebagaimana
kandungan ayat di atas adalah akan bermakna ibadah jika tujuannya untuk kebajikan dan
meningkatkan ketakwaan.52
Dalam hubungan sosial, faktor kepemimpinan sangatlah memegang peranan
penting. Umumnya hal ini di lakukan oleh Kyai di pesantren. Kyai di pesantren adalah
orang yang paham ilmu agama sekaligus menjadi tokoh masyarakat dimana pesantren itu
berdomisili. Sudah pasti tingkat hubungan atau interaksi sosial kyai kepada masyarakat
akan menjadi tolak ukur keteladan yang dapat diikuti oleh para santri. Dan umumnya
para Kyai melakukan berdakwah menyesuaikan model dakwahnya dengan berdasar
kepada situasi dan kondisi masyarakat sekitar, agar materi dakwah yang disampaikan
tidak menyinggung perasaan masyarakat yang berakibat pada renggang-nya hubungan
sosial.

4. Pengembangan Aspek kecerdasan Spiritual


Kecerdasan spiritual lebih mengacu kepada dimensi non-material, yaitu
diumpamakan sebagai intan yang belum terasah dan dimiliki oleh setiap insan. Setiap
manusia harus mengenali seperti adanya, menggosoknya, sehingga mengkilap dengan
tekad yang besar yang pada akhirnya, setiap individu menggunakannya menuju kearifan
yang akan mengarahkannya kepada kebahagiaan yang abadi. 53 dengan kata lain,
kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan pada jiwa manusia, dengan kata lain,
kecerdasan spiritual merupakan potensi terpendam yang dimiliki oleh setiap orang.
Kecerdasan spiritual memberi manusia mata untuk melihat nilai positif dalam setiap
masalah dan kearifan untuk menangani masalah sekaligus memetik keuntungan darinya.
Konsep mengenai SQ itu sendiri sebenarnya sudah lama, hanya saja dalam
kemasan yang berbeda. Zohar dan Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai
kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu
kemampuan untuk menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang

51
Goleman, Working with Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak
Prestasi.
52
Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur`an.
53
Sukidi, Rahasia Sukses Hidup Bahagia, Mengapa SQ Lebih Penting Dari Pada IQ Dan EQ (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2004), 77.

332
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 2, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan dan jalan hidup seseorang
lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. 54 Argumentasi yang dibangun oleh
Zohar dan Mashall berangkat dari pandangan keduanya, bahwa bisa saja komputer
memiliki IQ yang tinggi ataupun banyak binatang yang memiliki EQ yang memadai,
tetapi baik komputer ataupun binatang-binatang tersebut tidak pernah bisa
mempertanyakan mengapa “saya” memiliki aturan dan situasi seperti ini? 55
Kecerdasan spiritual dapat menjadikan manusia lebih kreatif mengubah aturan
dan situasi. SQ memberikan manusia kemampuan untuk membedakan, memberi rasa
moral, kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku diikuti dengan pemahaman dan cinta
sampai pada batasnya. Manusia menggunakan SQ untuk bergulat dengan hal yang baik
dan jahat, serta untuk membayangkan kemungkinan yang belum terwujud dan
memberikan kemampuan untuk bangkit dari keterpurukan.
Dari beberapa definisi tentang kecerdasan spiritual yang telah dipaparkan, penulis
menyimpulkan bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk menata hati, kata,
sikap, dan perilaku agar senantiasa berada dalam jalur kebenaran yang menguntungkan
semua pihak yang terkait. Jalur kebenaran di sini adalah peraturan-peraturan yang telah
ditetapkan Allah Swt baik di dalam al-Qur’an maupun yang disampaikan melalui Nabi
Muhammad saw. Kecerdasan spiritual juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk
menginternalisasikan nilai-nilai ilahiah (asmāul-husnā) ke dalam dirinya sehingga
menjadikan aktivitas kesehariannya sebagai bentuk ibadah dan pengabdian kepada Allah
swt. Kecerdasan spiritual adalah kemampuan manusia untuk mengenali potensi fitrah
yang telah built in dalam dirinya.
Model pengembangan kecerdasan spiritual di pesantren umumnya dilakukan
setiap habis salat rawatib yang dibina adalah ruhan atau nafs peserta didik. Ketika selesai
salat lima waktu di masjid atau musala di pesantren dilanjutkan dengan zikir dan tausiah
oleh kyai atau ustaz yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai agama. Adapun nilai-
nilai agama yang ditanamkan adalah:
Pertama, nilai keanekaragaman (at-tanawwu’iyyah). Dalam praktiknya, setiap
pembahasan yang menjadikan kitab kuning sebagai referensi utama, selalu dijelaskan
bahwa keanekaragaman merupakan sunatullah. Sehingga hal ini dapat dijadikan pijakan
untuk berinteraksi antar sesama warga pesantren terlebih lagi dengan lingkungan
masyarakat sekitar pesantren yang didiami oleh berbagai etnis. Di kalangan pesantren,
nilai keanekaragaman sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru, karena keanekaragaman
merupakan salah satu doktrin yang kompatibel dengan keanekaragaman kurikulum yang
diberikan oleh pesantren kepada para santrinya, yaitu; kurikulum pendidikan agama
Islam, kurikulum pengalaman dan pendidikan moral, kurikulum pendidikan umum dan
sekolah, serta kurikulum pendidikan keterampilan dan kursus.
Kedua, nilai persamaan dan keadilan (al-musawah wal-’adl, at-tasamuh).
Pesantren umumnya selalu mentradisikan nilai persamaan dan keadilan di lingkungannya
dengan mendasarkan prosesnya pada al-Qur’an (QS.5:8), (QS.11:118-119). Kyai akan
memerintahkan para ustaz atau pembantunya agar semua santri berhak memperoleh
pendidikan dan pelayanan yang sama dari pesantren serta untuk berinteraksi dengan
sesama santri di lingkungan pesantren. Semua santri memiliki kewajiban yang sama,
tanpa memandang asal usul daerah santri dan status sosial ekonominya. Berangkat dari
pembiasaan tradisi ini, menurutnya akan berimbas pada perilaku santri ketika

54
Danah Zohar & Ian Marshall, SQ: Spiritual Intelligence-The Ultimate Intelligence, ed. Terj. Rahmani
Astuti dkk, XI (Bandung: Mizan, 2007), 3, Made Saihu, Merawat Pluralisme Merawat Indonesia (Potret
Pendidikan Pluralisme Agama Di Jembrana-Bali) (Yogyakarta: Deepublish, 2019).
55
Abdul Wahid Hasan, SQ Nabi: Aplikasi Strategi Dan Model Kecerdasan Spiritual (SQ) Rasulullah
Di Masa Kini (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), 61.

333
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 2, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
berinteraksi di tengah masyarakat, yaitu santri dapat bersikap adil kepada sesama
manusia tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan.
Ketiga, toleransi (al-tasamuh). Para santri diajarkan untuk saling memahami dan
menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di pesantren seperti; minat, kepribadian, asal
usul daerah, kecerdasan, dan status sosial ekonomi santri. Lalu dalam aktivitas
pembelajaran-nya, ia selalu mengkontekstualisasikan nilai-nilai tasamuh tersebut dengan
warga di lingkungan pesantren yang mayoritas beragama Hindu, ia juga selalu
menghimbau kepada para santrinya untuk tidak saling membenci, menghardik serta tetap
menerima perbedaan yang ada, ditambah lagi ia sering menceritakan hubungan baik
antara umat Hindu dan Islam di Jembrana.
Keempat, musyawarah (al-musyawarah). Dalam implementasinya dijadikan
metode untuk mengkaji kitab-kitab Islam klasik bagi para santri senior untuk membahas
persoalan-persoalan keagamaan untuk diturunkan kepada santri-santri junior. Tujuan dari
KH. Fathurrahim menerapkan metode musyawarah adalah untuk membiasakan para
santri bermusyawarah di lingkungannya kelak yang bisa jadi sangat majemuk.
Kelima, persaudaraan dan persamaan (al-ukhuwwah). Sesungguhnya nilai
persaudaraan dan kebersamaan hidup di lingkungan pesantren didasarkan pada tradisi
salat berjamaah. Pesantren menjadikan salat jamaah sebagai salah satu kegiatan yang
harus diikuti oleh semua santri. Hal ini dilatarbelakangi oleh pandangan para kiai bahwa
praktik salat jamaah ini mengajarkan persaudaraan dan kebersamaan, yaitu nilai-nilai
yang harus ditumbuhkan dalam masyarakat Islam begitu juga dengan tradisi saling
tolong menolong juga merupakan nilai dari persaudaraan dan keadilan.
Nilai persaudaraan dan persamaan yang ditanamkan kepada para santri dilatar
belakangi oleh tiga hal; 1) para santri merasa sama-sama jauh dari keluarga; 2) para
santri meyakini sama-sama orang Islam, dan 3) mereka memiliki kepentingan dan tujuan
yang sama, yaitu belajar tentang Islam. Dalam konteks hubungan bermasyarakat, nilai
persaudaraan dan persamaan ini menjadi suatu yang wajib untuk diterapkan dalam
berinteraksi antar umat beragama, karena jika hal ini tidak dilakukan, maka konflik atau
segala macam jenis kekerasan akan mudah bersemi dengan sendirinya, baik itu di-
organisasi oleh kelompok tertentu ataupun tidak.
Keenam, perdamaian (al-salam). Biasanya konsep perdamaian ini biasa
disosialisasikan dan diimplementasikan melalui kegiatan ritual keagamaan sehari-hari
terutama setelah salat lima waktu berjamaah, yaitu santri secara bersama melakukan zikir
dan wirid. Dari sekian banyak bacaan zikir yang dibaca oleh para santri, ada bacaan yang
mengandung nilai-nilai perdamaian, seperti: ”Alláhumma antassalám, wa minkassalám,
wa ilaika ya’údus salám, fahayyinárabaná bissalám, wa adkhilnal jannata dárassalám,
tabárakta rabaná wata’álaita yá dzal jaláli wal ikrám.” Yang berarti, “ya Allah, Engkau
adalah kedamaian/keselamatan dan dari-Mulah kedamaian/keselamatan dan kepada-Mu
lah kembalinya kedamaian/keselamatan maka hidupkanlah kami ya Allah dengan
kedamaian/keselamatan dan masukkanlah kami ke dalam surga tempat yang damai.
Maha suci engkau dan maha tinggi wahai Tuhan kami yang memiliki kebesaran dan
kemuliaan”.56 Bacaan di atas mengandung pengertian bahwa nilai perdamaian
merupakan harapan dan cita-cita semua santri dalam kehidupan sosial sehari-hari, baik di
lingkungan pesantren maupun di masyarakat secara luas untuk memperoleh kehidupan
yang harmonis dan penuh kedamaian.
Pendidikan ruhani atau nafs ini merupakan salah satu aktivitas yang wajib ada di
lingkungan pesantren. Menurut M. Quraisy Shihab, nafs dalam al-Qur'an mempunyai

56
Ronald Alan Lukens-Bull, Jihad Ala Pesantren Di Mata Antropolog Amerika, ed. Abdurrahman
Mas’ud. (Yogyakarta: Gama Media, 2004), 74.

334
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 2, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
beberapa makna, salah satunya adalah apa yang terdapat dalam diri manusia yang
menghasilkan tingkah laku. Istilah Nafs dalam al-Qur’an jamaknya anfus, dan nufus
diartikan sebagai jiwa (soul), pribadi (person), diri (self), hidup (life), hati (heart) atau
pikiran (mind). 57
Kurikulum pesantren meyakini bahwa dengan mendidik nafs atau jiwa seseorang
kebutuhan dasar mereka akan terpenuhi, yaitu kebutuhan akan ketentraman hidup.
Ajaran Islam mengandung banyak petunjuk dalam segala bidang kehidupan yang dapat
memenuhi kebutuhan dasar tersebut. 58 Selanjutnya apa yang dimaksud dengan Nafs?
dalam khasanah Islam memiliki banyak pengertian. Nafs dapat berarti jiwa (Soul,
Psyche), nyawa dan lain-lain. Aktualisasi nafs membentuk kepribadian, yang
perkembangannya dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. 59 Istilah nafs yang
pertama ini menurut ahli tasawuf adalah nafsu, yang merupakan pokok yang
menghimpun sifat-sifat tercela dari manusia, sehingga mereka mengatakan bahwa kita
harus melawan nafsu (hawa nafsu ) dan memecahkannya. Nafsu adalah elemen jiwa
(unsur roh) yang berpotensi mendorong pada tabiat badaniah/biologis dan mengajak diri
pada berbagai amal baik atau buruk. Secara singkat, nafsu dapat dikatakan sebagai
insting.
Adapun nafsu memiliki tingkatan-tingkatan diantaranya: 1) Nafsu Amaroh,
maksudnya mengumbar dan tunduk sepenuhnya terhadap hasrat-hasrat rendah. Nafsu
amaroh tempatnya adalah “Ash-shodru” artinya dada. Adapun unsur-unsur di dalamnya
adalah Al-Bukhlu artinya kikir atau pelit, Al-Hirsh artinya tamak atau rakus, Al-Hasad
artinya hasud, Al-Jahl artinya bodoh, Al-Kibr artinya sombong dan Asy-Syahwat artinya
keinginan duniawi; 2) Nafsu Lawwamah. Dalam diri telah berkembang keinginan
berbuat baik, lembut dan tenang, dan menyesal bila berbuat kesalahan. Nafsu lawwamah
tempatnya adalah “Al-Qolbu” artinya hati, tepatnya dua jari di bawah susu kiri. Adapun
unsur-unsur di dalamnya adalah Al-Laum artinya mencela, Al-Hawa artinya bersenang-
senang, Al-Makr artinya menipu, Al-Ujb artinya bangga diri, Al-Ghibah artinya
mengumpat, Ar-Riya’ artinya pamer amal, Az-Zulm artinya zalim, Al-Kidzb artinya dusta;
3) Ketiga, Nafsu Muthmainnah. Jiwa yang suci, lembut dan tenang yang diundang Nya
dengan penuh keridaan ke dalam surga-Nya. Nafsu muthmainnah tempatnya adalah “As-
Sirr” artinya rahasia tepatnya dua jari dari samping susu kiri ke arah dada. Adapun
unsur-unsur di dalamnya adalah Al-Juud artinya dermawan, At-tawakkul artinya berserah
diri, Al-Ibadah artnya ibadah, Asy-Syukr artinya syukur atau berterima kasih, Ar-Ridho
artinya rida, dan Al-Khosyah artinya takut akan melanggar larangan. 60
Karena kecerdasan spiritual bersifat abstrak, yang bersifat fleksibel karena
menyangkut tentang kesadaran diri, kemampuan memberi makna terhadap segala
aktivitas yang terjadi. Dalam mengukur kecerdasan spiritual, yang dapat dilakukan
adalah dengan memberikan batasan-batasan yang lentur. Tentu saja ini berimplikasi pada
ketidaksamaan penetapan skor untuk menentukan tinggi rendahnya tingkat SQ
seseorang. Kecerdasan spiritual seseorang juga dapat diukur dari tingkat pengamalan
seseorang terhadap sifat-sifat Allah (asmā’ al-husnā) ke dalam dirinya, tentunya
kapasitasnya sebagai manusia. Pengembangan aspek spiritual ini dengan umumnya
dilakukan oleh Kiai yang di ikuti oleh seluruh warga pesantren dengan sering melakukan

57
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1997), 215, Athoilllah Islamy and Saihu,
“The Values of Social Education in the Qur’an and Its Relevance to The Social Character Building For
Children,” Jurnal Paedagogia 8, no. 2 (2019): 51–66.
58
Hariyanto & Fibriana Anjaryati, “Character Building: Telaah Pemikiran Ibnu Miskawaih Tentang
Pendidikan Karakter,” Jurnal Pemikiran Pendidikan Islam 1, no. 1 (2016): 111–18.
59
Abdul Mujib Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Pranada Media, 2006), 46.
60
Rafi Sapuri, Psikologi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2009), 352.

335
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 2, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
riyadah atau tirakat asmaul husna. Warga pesantren umumnya membaca asmaul husna
sebagai wujud pengabdian kepada Allah Swt, antara lain: 1) Al-Mu’min, yang berarti
Jujur 2) Al-Wakīl, yang berarti tanggung jawab; 3) Al-Matīn Disiplin; 4) Al-Jāmi’: yang
berarti kerja sama; 5) Al-‘Adl yang berarti adil; 6) Al-Ākhir yang berarti visioner; 7) Al-
Samī‘ dan al-Bashīr Allah; yang berarti Peduli. 61
Dengan demikian, menanamkan pemahaman multikultural di pesantren adalah
melalui penyeimbangakan aspek kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual
manusia. Ini berbeda dengan model pendekatan pendidikan multikultural yang
ditawarkan oleh James A. Bank, karena melalui empat pendekatannya itu sebenarnya
hanya mengembangkan kecerdasan emosional saja, padahal komponen manusia tidak
hanya pada emosional belaka, tetapi juga punya akal (IQ), emosional (EQ), roh dan
kejiwaan (SQ). Jika EQ mengajar manusia bersikap dalam setiap situasi emosional, SI
memberi makna bagi segenap tindakan-tindakan manusia. EQ terkait dengan perasaan
dan bersifat praktis, sedangkan SQ bersifat ruhani dan reflektif. Dengan kata lain, EQ
memberikan atau mengarahkan pada know-how, sementara SQ mengarahkan kepada
know-why. Yakni, SI terkait dengan adanya kebutuhan manusia untuk merasa tentran dan
bahagia karena merasa memahami hakikat hidup, memiliki yang bisa diandalkannya
dalam segenap pancaroba kehidupannya, dan mengetahui tujuan kea rah mana hidupnya
menuju. Dari sini, Zohar dan Masrhall mengklaim bahwa SQ merupakan landasan yang
diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Dengan kata lain SQ lah yang
mengarahkan IQ dan EQ. Meski Sebagian orang termasuk Zohar dan Marshall tak
hendak mengidentikkan-nya dengan agama (formal institusional), sulit disangkal bahwa
persoalan ini sedikit banyak bersifat religious. Dan, dalam khazanah keagamaan, hal ini
terkait erat dengan mistisisme, yaitu suatu disiplin spiritual (keruhanian) yang dijalani
demi membuka jalan bagi manusia untuk bisa bersahabat dengan hidup, betapapun
situasi yang ditimbulkannya atau bersahabat dengan Tuhan. Dari sini maka apa yang
dikatakan oleh James A. Bank, belum sempurna karena hanya menggarap satu
kecerdasan dalam diri manusia dan penelitian ini adalah bagian dari pengembangan
pendekatan multikultural sebagaimana apa yang dikatakan oleh James. A. Bank.
Di samping itu, kecerdasan IQ, EQ, dan SQ, sesuai dengan pasal 32 ayat 4 UUD
1945, yang berbunyi “pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban
dan kesejahteraan manusia”. Dari sini sangat jelas dikatakan, bahwa pemerintah berharap
agar seluruh bangsa Indonesia memiliki kemampuan olah teknologi yang unggul,
didasarkan pada nilai-nilai keagamaan, serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya
dan kearifan lokal yang dimiliki oleh setiap suku atau kelompok masyarakat yang
tersebar di seluruh Nusantara. Jika mengamati fenomena kehidupan modern dewasa ini–
dengan kemajuan ilmu pengetahuan teknologi dan komunikasi–telah mengubah wajah
kehidupan bersama umat manusia di muka bumi menjadi lebih terbuka. Untuk menjawab
fenomena ini, setiap individu atau warga negara di dunia perlu dikembangkan akalnya
(aspek kognitif), moral kemanusiaan atau emosi kejiwaannya, serta pendalaman kembali
aspek spiritualitas–agar jiwanya tidak kering–sehingga dapat mengikuti perubahan yang

61
Hasan, SQ Nabi: Aplikasi Strategi Dan Model Kecerdasan Spiritual (SQ) Rasulullah Di Masa Kini,
Saihu Saihu, “Local Tradition and Harmony among Religious Adherents: The Dominant Culture of Hindu-
Muslim Relation in Jembrana Bali,” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya, Vol. 5 No. 1 (2020),
2019.

336
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 2, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
sangat cepat yang bisa jadi dapat memengaruhi iman dan takwanya, bahkan juga dapat
menggoyahkan akhlak mulia yang dimilikinya. 62
Apa yang disebutkan pada pasal 32 ayat 4 UUD 1945, sejatinya, antara
Intelektual Quotient (IQ), Emosional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ) harus
saling menyeimbangkan antara satu dengan yang lainnya. Tujuan dari penyeimbangan
tiga kecerdasan ini adalah untuk menciptakan seorang individu yang cerdas, bermartabat,
serta berakhlak mulia. Pengembangan akal (IQ), kecerdasan sosial (SI) yang terintegrasi
dengan kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional (EQ), yang jika ini
terimplementasikan, maka akan tercipta kesadaran akan realitas sosial. Selain itu, melalui
penyeimbangan tiga kecerdasan ini, dapat menghasilkan anak didik yang tidak saja pintar
atau cerdas tetapi dapat menghasilkan anak yang bahagia.

E. KESIMPULAN
Penelitian ini membuktikan bahwa empat pendekatan pendidikan multikultural
yang ditawarkan oleh James A. Bank (content integration, knowledge construction
process, prejudice reduction, an equity pedagogy), hanya berputar-putar pada ranah
kecerdasan emosional dan ternyata belum menyentuh tiga aspek kecerdasan yang
dimiliki oleh manusia, yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan
kecerdasan spiritual ditambah lagi dengan belum mampu mengoptimalkan
pengembangan aspek jasmani.
Tidak demikian halnya di pesantren. Dalam mengimplementasikan pendekatan
pendidikan multikultural, pesantren mengembangkan: Pertama, Unsur jasmani yang
bermanfaat pada: 1) Adanya dorongan berkomunikasi; 2) Penyaluran bagi energi
emosional yang terpendam; 3) Dapat menjadi Sumber Belajar; 4) Berkembangannya
wawasan diri; 5) Belajar bermasyarakat; 6) Menjadi standar Moral; Kedua,
mengembangkan kecerdasan Intelektual (IQ), yaitu dengan memberdayakan akal untuk
mengetahui sesuatu baik dan yang buruk, QS [2]: 44; Ketiga, mengembangkan
kecerdasan emosional (EQ), meliputi: aspek mengelola emosi diri, QS [13]: 28, aspek
motivasi, QS [51]: 56, QS [13]: 11, QS [28]: 77, dan QS [5]: 48, aspek empati, QS [90]:
17, QS [19]: 96, dan QS [4]: 1, aspek keterampilan sosial, QS [5]: 2, QS [3]: 103, QS [4]:
59, 114; Keempat, mengembangkan kecerdasan spiritual (SQ), yaitu melalui
menanamkan dan melibatkan pengamalan anak terhadap sifat-sifat Allah Swt (asmā’ al-
husnā) ke dalam dirinya dengan sering melakukan zikir dan riyadah serta tirakat. Jika
nalar tiga kecerdasan ini seimbang, maka unsur ruhani dan nafsani peserta didik
meliputi: jiwa (soul), pribadi (person), diri (self), hidup (life), hati (heart) atau pikiran
(mind), akan terbina dengan baik. Dengan demikian, pendekatan pendidikan
multikultural di pesantren dengan menyeimbangkan tiga kecerdasan manusia akan
berbanding lurus dengan tiga prinsip persaudaraan dalam khazanah ke-Islaman, yaitu;
ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan karena agama Islam), ukhuwwah wathaniyyah
(persaudaraan karena tanah air), dan ukhuwwah basyaraiyyah (persaudaraan karena
kemanusiaan) yang didasarkan pada panca jiwa pondok pesantren, yaitu; jiwa
keikhlasan, jiwa kesederhanaan, jiwa kemandirian, jiwa ukhuwah Islamiyah, dan jiwa
kebebasan, sehingga dapat menciptakan kerukunan antar umat beragama.

62
Sunarti, Penilaian Dalam Kurikulum 2013 (Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2014), 1, Saihu Saihu,
“PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS KEARIFAN LOKAL (STUDI DI JEMBRANA BALI),” Edukasi
Islami: Jurnal Pendidikan Islam, 2019, https://doi.org/10.30868/ei.v8i01.364.

337
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 2, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme. Edited by Pustaka Pelajar.
Yogyakarta, 2016.
Ainul, Yaqin. M. Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding Untuk Demokrasi
Dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Al-Baydâwî. Anwâr Al-Tanzîl. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, n.d.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &
XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. II. Jakarta: Prenada Media, 2005.
———. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga
Postmodernisme. Jakarta: Paramadina, 1996.
Baharuddin. Paradigma Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Banks, James A. “Multicultural Education: Historical Development, Dimensions, and
Practice.” In Handbook of Research on Multicultural Education, 138–40. San Fransisco:
Jossey-Bass, 2001.
Bart, Fredrik. Kelompok Etnik Dan Batasannya. Jakarta: UI Press, 1988.
Charles A. Bucher, R. Koenig. Constance. Methods and Materials for Secondary School
Physical Education. St. Louis: The CV. Mosby Company, 1983.
Dan Muhbib Abdul Wahab, Abdul Rahman Shaleh. Psikologi Dalam Perspektif Islam.
Jakarta: Prenada Media, 2003.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Kyai. Jakarta: LP3ES.
Cet. VII. Jakarta: LP3ES, 2011.
Dkk, Maman. Metedologi Penelitian Agama Teori Dan Praktek. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2006.
Goleman, Daniel. Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosional. Mengapa EI Lebih
Penting Daripada IQ. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007.
———. Working with Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak
Prestasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.
H.A.R. Tilaar. Kaleidoskop Pendidikan Nasional. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara,
2012.
Haedari, Amin. Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas Dan Tantangan
Komplesitas Global. Edited by IRD Press. 1st ed. Jakarta, 2004.
Hamdi, Saipul. Pesantren Dan Gerakan Feminisme Di Indonesia. Yogyakarta: Arti Bumi
Intaran, 2017.
Hariyanto & Fibriana Anjaryati. “Character Building: Telaah Pemikiran Ibnu Miskawaih
Tentang Pendidikan Karakter.” Jurnal Pemikiran Pendidikan Islam 1, no. 1 (2016):
111–18.
Hasan, Abdul Wahid. SQ Nabi: Aplikasi Strategi Dan Model Kecerdasan Spiritual (SQ)
Rasulullah Di Masa Kini. Yogyakarta: IRCiSoD, 2006.
Islamy, Athoilllah, and Saihu. “The Values of Social Education in the Qur’an and Its
Relevance to The Social Character Building For Children.” Jurnal Paedagogia 8, no. 2
(2019): 51–66.
Lailaturrohmah, Ani. “Pendidikan Jasmani Dan Keterampilan Menurut Al Quran Dan
Hadis.” Jurnal Pendidikan Jasmani 1, no. 1 (2017): 1–8.
Lukens-Bull, Ronald Alan. Jihad Ala Pesantren Di Mata Antropolog Amerika. Edited by
Abdurrahman Mas’ud. Yogyakarta: Gama Media, 2004.
Ma’arif, Syamsul. “Transformative Learning Dalam Membangun Pesantren Berbasis
Multikultural.” Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi Dan Aplikasi 1, no. 1 (2012):
58–71.
Mahmud, Shihab al-din. , ‘Abd Allâh Al-Alûsî, Rûh Al-Ma‘Ânî Fî Tafsîr Al-Qur’Ân Al-‘Azîm

338
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 2, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
Wa Al-Sab‘ Al-Mathânî. 2nd ed. Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâth al-‘Arabî, n.d.
Mar’ati, Rela. “Pesantren Sebagai Basis Pendidikan Karakter: Tinjauan Psikologis.” Al-
Murabbi, 1, no. 1 (2014): 1–15.
Marshall, Danah Zohar & Ian. SQ: Spiritual Intelligence-The Ultimate Intelligence. Edited by
Terj. Rahmani Astuti dkk. XI. Bandung: Mizan, 2007.
Marshall Zohar, D. Kecerdasan Emosional. Bandung: Mizan, 2007.
Mudzakir, Abdul Mujib Jusuf. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Pranada Media, 2006.
Muhammad Tabataba’i. Al-Mîzân Fî Tafsîr Al-Qur’ân. 16th ed. Beirut: Mu’assasat al-A’lâ,
n.d.
Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi Dan
Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.
Nâsir al-Dîn Abû Sa’îd ‘Abd Allâh, ‘Umar b. Muhammad al-Shîrâzî al-Baydâwî. Anwâr Al-
Tanzîl Wa Asrâr Al-Ta’wîl,. 1st ed. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, n.d.
Nasution, Harun. Akal Dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: Universitas Indonesia, 1982.
Saihu, Made. Merawat Pluralisme Merawat Indonesia (Potret Pendidikan Pluralisme Agama
Di Jembrana-Bali). Yogyakarta: Deepublish, 2019.
Saihu, Saihu. “Local Tradition and Harmony among Religious Adherents: The Dominant
Culture of Hindu-Muslim Relation in Jembrana Bali.” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama
Dan Sosial Budaya, Vol. 5 No. 1 (2020), 2019.
———. “PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS KEARIFAN LOKAL (STUDI DI
JEMBRANA BALI).” Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam, 2019.
https://doi.org/10.30868/ei.v8i01.364.
Sapuri, Rafi. Psikologi Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2009.
Shihab, M. Quraish. Logika Agama. Jakarta: Lentera Hati, 2005.
———. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur`an. 15th ed. Tangerang:
PT. Lemtera Hati, 2016.
———. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1997.
Singer, Robert N. Motor Learning and Human Performance: An Application to Physical
Education Skills. 2nd ed. New York: Macmillan Publishing Co., Inc, 1975.
Sonjaya, Azhar Romadhana. “Pengaruh Metode Pendekatan Bermain Terhadap Partisipasi
Belajar Pendidikan Jasmani Pada Siswa Adaptif Tuna Grahita Ringan.” Jurnal Perspekti
1, no. 1 (2017): 29.
Stavenhagen, Rudolfo. “Education for a Multikultural World.” In Multikulturalisme Dan
Pendidikan Multikultura, 10. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2004.
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Dan R & D.
11th ed. Bandung: ALPABETA, 2010.
Sukidi. Rahasia Sukses Hidup Bahagia, Mengapa SQ Lebih Penting Dari Pada IQ Dan EQ.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Sukintaka. Teori Bermain Untuk Pendidikan Jasmani. Yogyakarta: FPOK IKIP, 1998.
Sunarti. Penilaian Dalam Kurikulum 2013. Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2014.
Surayin. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Bandung: Yrama Widya, 2004.
Tilaar, H A R. Kekuasaan Dan Pendidikan: Suatu Tinjauan Dari Perspektif Studi Kultural.
IndonesiaTera, 2003. https://books.google.co.id/books?id=QXAH73XZDUgC.
Utama, A.M. Bandi. “Pembentukan Karakter Anak Melalui Aktivitas Bermain Dalam
Pendidikan Jasmani.” Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia 8, no. 1 (2011): 1–9.
Wahid, Abdurrahman. Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Keindonesiaan Dan Transformasi
Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institut, 2007.
Yazid, Abu. Paradigma Baru Pesantren. Yogyakarta: IRCiSoD, 2018.
Zein, Muhammad. Methodologi Pengajaran Agama. Yogyakarta: AK. Group, 1995.

339
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 2, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
Zuhri, Saifuddin. Sejarah Kebangkitan Islam Dan Perkembangannya Di Indonesia. Bandung:
Al-Ma’rifat, 1979.
Abdullah, M. Amin. Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme. Edited by Pustaka Pelajar.
Yogyakarta, 2016.
Ainul, Yaqin. M. Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding Untuk Demokrasi
Dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Al-Baydâwî. Anwâr Al-Tanzîl. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, n.d.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &
XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. II. Jakarta: Prenada Media, 2005.
———. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga
Postmodernisme. Jakarta: Paramadina, 1996.
Baharuddin. Paradigma Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Banks, James A. “Multicultural Education: Historical Development, Dimensions, and
Practice.” In Handbook of Research on Multicultural Education, 138–40. San Fransisco:
Jossey-Bass, 2001.
Bart, Fredrik. Kelompok Etnik Dan Batasannya. Jakarta: UI Press, 1988.
Charles A. Bucher, R. Koenig. Constance. Methods and Materials for Secondary School
Physical Education. St. Louis: The CV. Mosby Company, 1983.
Dan Muhbib Abdul Wahab, Abdul Rahman Shaleh. Psikologi Dalam Perspektif Islam.
Jakarta: Prenada Media, 2003.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Kyai. Jakarta: LP3ES.
Cet. VII. Jakarta: LP3ES, 2011.
Dkk, Maman. Metedologi Penelitian Agama Teori Dan Praktek. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2006.
Goleman, Daniel. Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosional. Mengapa EI Lebih
Penting Daripada IQ. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007.
———. Working with Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak
Prestasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.
H.A.R. Tilaar. Kaleidoskop Pendidikan Nasional. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara,
2012.
Haedari, Amin. Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas Dan Tantangan
Komplesitas Global. Edited by IRD Press. 1st ed. Jakarta, 2004.
Hamdi, Saipul. Pesantren Dan Gerakan Feminisme Di Indonesia. Yogyakarta: Arti Bumi
Intaran, 2017.
Hariyanto & Fibriana Anjaryati. “Character Building: Telaah Pemikiran Ibnu Miskawaih
Tentang Pendidikan Karakter.” Jurnal Pemikiran Pendidikan Islam 1, no. 1 (2016):
111–18.
Hasan, Abdul Wahid. SQ Nabi: Aplikasi Strategi Dan Model Kecerdasan Spiritual (SQ)
Rasulullah Di Masa Kini. Yogyakarta: IRCiSoD, 2006.
Islamy, Athoilllah, and Saihu. “The Values of Social Education in the Qur’an and Its
Relevance to The Social Character Building For Children.” Jurnal Paedagogia 8, no. 2
(2019): 51–66.
Lailaturrohmah, Ani. “Pendidikan Jasmani Dan Keterampilan Menurut Al Quran Dan
Hadis.” Jurnal Pendidikan Jasmani 1, no. 1 (2017): 1–8.
Lukens-Bull, Ronald Alan. Jihad Ala Pesantren Di Mata Antropolog Amerika. Edited by
Abdurrahman Mas’ud. Yogyakarta: Gama Media, 2004.
Ma’arif, Syamsul. “Transformative Learning Dalam Membangun Pesantren Berbasis
Multikultural.” Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi Dan Aplikasi 1, no. 1 (2012):
58–71.
Mahmud, Shihab al-din. , ‘Abd Allâh Al-Alûsî, Rûh Al-Ma‘Ânî Fî Tafsîr Al-Qur’Ân Al-‘Azîm

340
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 2, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
Wa Al-Sab‘ Al-Mathânî. 2nd ed. Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâth al-‘Arabî, n.d.
Mar’ati, Rela. “Pesantren Sebagai Basis Pendidikan Karakter: Tinjauan Psikologis.” Al-
Murabbi, 1, no. 1 (2014): 1–15.
Marshall, Danah Zohar & Ian. SQ: Spiritual Intelligence-The Ultimate Intelligence. Edited by
Terj. Rahmani Astuti dkk. XI. Bandung: Mizan, 2007.
Marshall Zohar, D. Kecerdasan Emosional. Bandung: Mizan, 2007.
Mudzakir, Abdul Mujib Jusuf. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Pranada Media, 2006.
Muhammad Tabataba’i. Al-Mîzân Fî Tafsîr Al-Qur’ân. 16th ed. Beirut: Mu’assasat al-A’lâ,
n.d.
Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi Dan
Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.
Nâsir al-Dîn Abû Sa’îd ‘Abd Allâh, ‘Umar b. Muhammad al-Shîrâzî al-Baydâwî. Anwâr Al-
Tanzîl Wa Asrâr Al-Ta’wîl,. 1st ed. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, n.d.
Nasution, Harun. Akal Dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: Universitas Indonesia, 1982.
Saihu, Made. Merawat Pluralisme Merawat Indonesia (Potret Pendidikan Pluralisme Agama
Di Jembrana-Bali). Yogyakarta: Deepublish, 2019.
Saihu, Saihu. “Local Tradition and Harmony among Religious Adherents: The Dominant
Culture of Hindu-Muslim Relation in Jembrana Bali.” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama
Dan Sosial Budaya, Vol. 5 No. 1 (2020), 2019.
———. “PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS KEARIFAN LOKAL (STUDI DI
JEMBRANA BALI).” Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam, 2019.
https://doi.org/10.30868/ei.v8i01.364.
Sapuri, Rafi. Psikologi Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2009.
Shihab, M. Quraish. Logika Agama. Jakarta: Lentera Hati, 2005.
———. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur`an. 15th ed. Tangerang:
PT. Lemtera Hati, 2016.
———. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1997.
Singer, Robert N. Motor Learning and Human Performance: An Application to Physical
Education Skills. 2nd ed. New York: Macmillan Publishing Co., Inc, 1975.
Sonjaya, Azhar Romadhana. “Pengaruh Metode Pendekatan Bermain Terhadap Partisipasi
Belajar Pendidikan Jasmani Pada Siswa Adaptif Tuna Grahita Ringan.” Jurnal Perspekti
1, no. 1 (2017): 29.
Stavenhagen, Rudolfo. “Education for a Multikultural World.” In Multikulturalisme Dan
Pendidikan Multikultura, 10. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2004.
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Dan R & D.
11th ed. Bandung: ALPABETA, 2010.
Sukidi. Rahasia Sukses Hidup Bahagia, Mengapa SQ Lebih Penting Dari Pada IQ Dan EQ.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Sukintaka. Teori Bermain Untuk Pendidikan Jasmani. Yogyakarta: FPOK IKIP, 1998.
Sunarti. Penilaian Dalam Kurikulum 2013. Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2014.
Surayin. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Bandung: Yrama Widya, 2004.
Tilaar, H A R. Kekuasaan Dan Pendidikan: Suatu Tinjauan Dari Perspektif Studi Kultural.
IndonesiaTera, 2003. https://books.google.co.id/books?id=QXAH73XZDUgC.
Utama, A.M. Bandi. “Pembentukan Karakter Anak Melalui Aktivitas Bermain Dalam
Pendidikan Jasmani.” Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia 8, no. 1 (2011): 1–9.
Wahid, Abdurrahman. Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Keindonesiaan Dan Transformasi
Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institut, 2007.
Yazid, Abu. Paradigma Baru Pesantren. Yogyakarta: IRCiSoD, 2018.
Zein, Muhammad. Methodologi Pengajaran Agama. Yogyakarta: AK. Group, 1995.

341
Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam P-ISSN: 2088-7981
Vol. 3, No. 2, 2020 E-ISSN: 2685-1148
doi.org/10.36670/alamin.v2i02.20
Zuhri, Saifuddin. Sejarah Kebangkitan Islam Dan Perkembangannya Di Indonesia. Bandung:
Al-Ma’rifat, 1979.

342

You might also like