Professional Documents
Culture Documents
1942-Article Text-8044-1-10-20190129
1942-Article Text-8044-1-10-20190129
Alamat koresponden penulis, email: arnehuzaimah_uin@radenfatah.ac.id
227
NURANI, VOL. 18, NO. 2, DESEMBER 2018: 227 -244
kedua orangtuanya. Setelah terjadi perceraian, tidak sedikit pula anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut menanggung derita yang
berkepenjangan. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan keinginan
dari kedua orangtuanya tersebut dan juga menimbulkan masalah hukum
dalam penguasaan anak setelah bercerai, misalnya siapa yang akan
memelihara dan mengasuh anak-anak mereka, hak-hak apa saja yang harus
diberikan oleh kedua orangtua kepada anak-anaknya. Kondisi seperti itulah
yang menyebabkan lahirnya sengketa pemeliharaan anak (hadhanah) yang
diajukan ke pengadilan.
Perkara hadhanah salah satu bagian dari perkara perkawinan(Pasal
49 huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006). Secara kelembagaan,
penyelesaian perkara hadhanah bagi orang yang beragama Islam menjadi
kewenangan pengadilan agama (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006). Berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Peradilan Agama
terdapat perkara hadhanah yang telah diputus di tingkat pertama dalam
yurisdiksi Mahkamah Syariyah/pengadilan tinggi agama:
Tabel 1
Rekapitulasi Perkara pada Tingkat Pertama yang diputus
Mahkamah Syari’ah/Pengadilan Agama Seluruh Indonesia
Tahun 2011-2015
No. Jenis Perkara Tahun Jumlah
2011 2012 2013 2014 2015
1. Hadhanah 356 394 473 523 572 2318
Sumber: Data diolah dari Subdit Statistik dan Dokumentasi
Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, Jakarta, Maret
2016.
228
REFORMULASI HUKUM ACARA, …, ARNE HUZAIMAH
229
NURANI, VOL. 18, NO. 2, DESEMBER 2018: 227 -244
230
REFORMULASI HUKUM ACARA, …, ARNE HUZAIMAH
231
NURANI, VOL. 18, NO. 2, DESEMBER 2018: 227 -244
232
REFORMULASI HUKUM ACARA, …, ARNE HUZAIMAH
233
NURANI, VOL. 18, NO. 2, DESEMBER 2018: 227 -244
234
REFORMULASI HUKUM ACARA, …, ARNE HUZAIMAH
dengan benda ketika eksekusi terjadi. Jika benda dapat diambil secara
paksa, tetapi eksekusi terhadap anak tidak dapat dilakukan secara paksa
dan harus pula memperhatikan kondisi psikologis anak.
Peranan hakim sangat diperlukan dalam menyikapi problematika
pelaksanaan eksekusi putusan hadhanah, karena hakim merupakan
pemeran utama dalam proses peradilan. Hakim harus mempunyai jiwa
mujtahid, mujaddid dan progresif (A. Mukti Arto, 2017:253), sehingga dapat
terwujudnya peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan guna memberikan
perlindungan hukum dan keadilan bagi pencari keadilan.
Hakim mujtahid adalah hakim yang berani dan mampu
memanfaatkan semua potensi yang dimilikinya untuk melakukan penemuan
dan pembaharuan hukum baik dalam bentuk interpretasi, argumentasi,
konstruksi, kontra legem, terobosan hukum, menembus tembok hukum
konvensional, mengesampingkan ultra petita maupun melakukan penciptaan
hukum baru serta menggali ius constituendum, apabila memang diperlukan
demi mewujudkan keadilan (A. Mukti Arto, 2017: 254).
Hakim mujaddid adalah hakim yang berani dan mampu melakukan
pembaharuan hukum Islam demi tegaknya keadilan berdasarkan Ketuhanan
yang Maha Esa pada kasus yang dihadapinya dan demi tegaknya kembali
fungsi hukum Islam, yaitu memberikan perlindungan hukum dan keadilan
kepada umat manusia secara konkret demi terwujudnya maqashid al
syariah. Tuags hakim bukanlah menegakkan teks hukum melainkan
menegakkan fungsi hukum demi terwujudnya kemaslahatan dan keadilan.
Teks hukum bersifat temporer sehingga dapat diperbaharui demi
mempertahankan nilai kemaslahatan dan keadilan (A. Mukti Arto, 2017:
255).
Hakim progresif adalah hakim yang berpandangan bahwa hukum itu
dibuat untuk memberikan perlindungan hukum dan keadilan bagi umat
manusia demi terwujudnya kemaslahatan dan keadilan. Hal ini dilakukan
sebagai upaya untuk melaksanakan “sistem peradilan berbasis perlindungan
hukum dan keadilan”, yaitu sebuah sistem peradilan yang mengamanatkan
pengadilan menjalankan 3 (tiga) prinsif, yaitu: a. Aktif membantu para
pencari keadilan agar mereka berhasil mendapatkan keadilan dan
menyelamatkan mereka dari kegagalan memperoleh keadilan; b. Aktif
melakukan penemuan hukum agar dapat memberikan keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa kepada para pencari keadilan baik diminta
maupun yang tidak diminta dalam petitum; c. Memberi jaminan hukum
bahwa putusan dapat dieksekusi dengan mudah, efektif dan efisien (A. Mukti
Arto, 2017:253: 256). Tugas ini harus dilaksanakan secara profesional dan
penuh tanggung jawab.
Hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Mahkamah Agung RI di
Manado pada tahun 2012, telah merekomendasikan penerapan dwangsom
dalam perkara hadhanah. Dalam rumusan hasil Rakernas Mahkamah agung
RI tersebut dinyatakan bahwa “pada dasarnya putusan perkara hadhanah
dapat dieksekusi, tetapi dalam pelaksanaannya harus memperhatikan
kepentingan dan psikologis anak. Untuk menghindari kesulitan pelaksanaan
eksekusi, hakim dapat menghukum tergugat untuk membayar dwangsom”
(Cik Basir, 2015: 80). Rekomendasi tersebut merupakan salah satu bentuk
terobosan dan pembaharuan dalam hukum acara pada penyelesaian perkara
hadhanah di pengadilan agama.
235
NURANI, VOL. 18, NO. 2, DESEMBER 2018: 227 -244
236
REFORMULASI HUKUM ACARA, …, ARNE HUZAIMAH
(2) Uang paksa hanya dapat dijatuhkan dalam hal hukuman pokok
yang bukan merupakan hukuman menyerahkan sejumlah uang.
(3) Tuntutan uang paksa dapat juga diajukan dalam perkara
perlawanan.
(4) Uang paksa tidak dapat ditagih sebelum putusan penghukuman
uang paksa diberitahukan kepada pihak yang bersangkutan.
(5) Dalam putusan hakim ditentukan kapan uang paksa dapat
ditagih.
(6) Uang paksa berlaku paling lama 6 (enam) bulan terhitung setelah
tanggal putusan tersebut diberitahukan kepada terhukum.
Pasal 298
Hakim dalam putusannya wajib menentukan besarnya uang paksa
yang harus dibayar sekaligus untuk waktu tertentu atau untuk setiap
hari keterlambatan melaksanakan kewajiban atau setiap kali
melakukan pelanggaran.
Pasal 299
Uang paksa yang sudah dapat ditagih menjadi hak penuh dari pihak
yang menang dan pihak tersebut dapat meminta pelaksanaan
putusan uang paksa.
Pasal 300
Atas permohonan dari pihak yang dihukum untuk membayar uang
paksa, ketua pengadilan yang menjatuhkan hukuman pembayaran
uang paksa dapat membatalkan hukuman, memperpendek masa
berlaku, atau mengurangi uang paksa, dalam hal:
a. Pihak yang dihukum untuk membayar uang paksa untuk
sementara atau untuk waktu yang tetap berada dalam keadaan
tidak mampu memenuhi sama sekali seluruhnya atau sebagian
hukuman pokok;
b. Keadan sebagaimana dimaksud dalam huruf a harrus terjadi
setelah uang paksa dapat ditagih.
Pasal 301
(1) Selama kepailitan dari terhukum uang paksa tidak dapat
dimintakan pelaksanaanya.
(2) Uang paksa yang sudah dapat ditagih sebelum terhukum
dinyatakan pailit, tagihan pembayaran uang paksa tersebut
diajukan kepada kurator.
(3) Dalam hal terhukum meninggal dunia, uang paksa yang sudah
dapat ditagih sebelum terhukum meninggal dapat dimintakan
pelaksanaan penaguhannya kepada ahli warisnya melalui
penetapan pengadilan.
(4) Atas permohonan ahli waris, ketua pengadilan dapat
membatalkan, mengurangi, atau mengubah syarat-syarat
mengenai uang paksa tersebut.
Pengaturan mengenai lembaga dwangsom yang termuat dalam
Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut sudah cukup mengakomodir
berbagai sumber aturan yang ada, baik yang berlaku di Indonesia maupun di
Belanda. Namun, sampai saat ini Rancangan Undang-Undang (RUU)
tersebut belum menjadi Undang-Undang sehingga secara formal ketentuan
dwangsom tersebut belum dapat dijadikan pedoman. Sejauh ini, dasar
penerapan lembaga dwangsom dalam praktik peradilan di Indonesia masih
237
NURANI, VOL. 18, NO. 2, DESEMBER 2018: 227 -244
tetap berpedoman pada ketentuan yang ada selama ini yaitu Pasal 606a dan
606b RV, doktrin dan yurisprudensi dengan segala kekurangan dan
kelemahannya.
Dwangsom (uang paksa) merupakan hukuman tambahan yang
diberikan oleh hakim kepada pihak yang kalah untuk membayar sejumlah
uang selain yang telah disebutkan dalam hukuman pokok dengan maksud
agar pihak yang kalah bersedia secara sukarela memenuhi hukuman pokok
sebagaimana mestinya dan dalam batas waktu yang telah ditentukan.
Lembaga dwangsom (uang paksa) berbeda dengan lembaga ganti rugi
(Pasal 225 HIR) dan lembaga konpensasi (Hukum Perdata), sebab dalam
dwangsom ini kewajiban yang disebut dalam putusan hakim tetap ada dan
tidak bisa diganti atau dihapus. Dengan demikian, lembaga dwangsom
merupakan salah satu upaya untuk dapat mencegah putusan hadhanah
ilusoir (hampa) yang memang selama ini disinyalir bahwa banyak putusan
hadhanah yang tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya.
Ada 3 hal yang perlu dipahami sekaligus sebagai prinsip dasar dari
lembaga dwangsom, sebagaimana yang dijelaskan oleh Harifin A. Tumpa:
Pertama, dwangsom bersifat accessoir, karena keberadaannya tergantung
pada hukuman pokok. Oleh karena itu bersifat accessoir, maka gugatan
mengenai dwangsom hanya dapat dikabulkan oleh hakim apabila diajukan
bersama-sama dengan gugatan pokok. Dengan kata lain bahwa gugatan
mengenai dwangsom tidak dapat diajukan secara tersendiri atau terpisah
dari gugatan pokok, ia selalu mengikuti gugatan pokok. Dan dwangsom juga
tidak mungkin dijatuhkan hakim jika gugatan pokok tidak dikabulkan.
Tuntutan dwangsom hanya dapat dijatuhkan hakim apabila bersama-sama
dengan dikabulkannya hukuman pokok; Kedua, dwangsom merupakan
hukuman tambahan (subsidair) terhadap tuntutan pokok atau hukuman
primair. Oleh karena itu, hukuman dwangsom tersebut baru mempunyai
daya eksekusi dan dapat diberlakukan terhadap tergugat manakala tergugat
tidak memenuhi hukuman pokok dalam putusan hakim. Apabila hukuman
pokok dalam putusan telah dilaksanakan secara sukarela oleh pihak
tergugat, maka dengan sendirinya dwangsom tidak mempunyai kekuatan
hukum lagi dan tidak perlu dilaksanakan lagi. Namun, apabila tergugat lalai
melaksanakan hukuman pokok, lalu tergugat hanya melaksanakan
hukuman dwangsom sebagaimana yang dijatuhkan hakim dalam putusan,
maka pelaksanaan dwangsom tersebut sama sekali tidak menghapus
hukuman pokok; Ketiga, dwangsom merupakan media untuk memberikan
tekanan psychis (dwaang middelen) kepada terhukum, dalam hal ini
memberikan tekanan secara psychis kepada tergugat agar yang
bersangkutan mau melaksanakan putusan hakim secara sukarela (Harifin A.
Tumpa, 2015: 439).
Sebagaimana diketahui bahwa hasil akhir dari keseluruhan proses
perkara di pengadilan adalah putusan (vonnis) hakim, apabila putusan
hakim telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van
gewijsde), maka harus dilaksanakan oleh pihak tergugat dan apabila
tergugat tidak melaksanakan isi putusan secara sukarela, maka dapat
dilakukan eksekusi (pelaksanaan putusan secara paksa) dengan cara
penggugat mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan tingkat pertama
di mana perkara tersebut diputus.
238
REFORMULASI HUKUM ACARA, …, ARNE HUZAIMAH
239
NURANI, VOL. 18, NO. 2, DESEMBER 2018: 227 -244
240
REFORMULASI HUKUM ACARA, …, ARNE HUZAIMAH
241
NURANI, VOL. 18, NO. 2, DESEMBER 2018: 227 -244
242
REFORMULASI HUKUM ACARA, …, ARNE HUZAIMAH
Penutup
Berdasarkan uraian yang dipaparkan pada bab pembahasan, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut: Pelaksanaan Eksekusi Putusan
Hadhanah di Pengadilan Agama adalah: secara prosedural, proses
pengajuan permohonan eksekusi hadhanah sampai pada tahap
perintah pelaksanaan eksekusi tidak banyak hambatan karena sudah
dilaksanakan sesuai aturan yang berlaku. Namun, secara fakta, ketika
proses pelaksanaan eksekusi di lapangan, terdapat beberapa
kesulitan. sehingga eksekusi putusan hadhanah banyak yang tidak
berhasil dilakukan dan putusan menjadi illusoir. Faktor penyebab
eksekusi putusan hadhanah tidak dapat dilaksanakan di lapangan
adalah: Pihak tergugat enggan menyerahkan anak kepada pihak
penggugat; pihak tergugat menghalangi-halangi dengan memberikan
ancaman untuk melakukan tindakan kekerasan apabila anak tersebut
diambil secara paksa; anak disembunyikan oleh pihak tergugat; anak sendiri
tidak mau kembali kepada penggugat.
Selama ini, eksekusi riil hanya berlaku untuk hukum kebendaan saja.
Objek eksekusi riil adalah benda. Jika benda, maka akan dengan mudah
mengalihkan dari pihak tergugat kepada pihak penggugat walaupun dengan
cara paksa. Eksekusi terhadap putusan hadhanah berbeda dengan eksekusi
riil lainnya. Eksekusi hadhanah harus memperhatikan kepentingan dan
psikologis anak, karena pengalihan anak dari tergugat kepada penggugat
secara paksa, apa lagi kalau penggugat itu bukan orangtua yang disayangi
anak, maka hal ini akan mempengaruhi dan menjadi beban psikologis bagi
anak. Kepentingan anak menjadi pertimbangan utama untuk melakukan
eksekusi hadhanah secara paksa.
Reformulasi Hukum Acara Peradilan Agama dalam
Pelaksanaan Eksekusi Putusan Hadhanah adalah menerapkan
lembaga dwangsom pada saat mengajukan perkara hadhanah ke
pengadilan agama. Lembaga dwangsom dapat menjadi instrumen
eksekusi jika penggugat yakin bahwa tergugat tidak akan mau
melaksanakan putusan hakim dan yakin bahwa pelaksanaan eksekusi
dilapangan akan mengalami kesulitan. Lembaga dwangsom dapat
menjadi solusi preventif, di mana dengan adanya hukuman dwangsom,
tergugat secara psychis akan merasa tertekan untuk segera
melaksanakan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap
secara sukarela. Selain itu, Ada upaya lain yang dapat dilakukan
dalam pelaksanaan putusan hadhanah di pengadilan agama, di mana
243
NURANI, VOL. 18, NO. 2, DESEMBER 2018: 227 -244
DAFTAR PUSTAKA
244