You are on page 1of 18

REFORMULASI HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

DALAM PELAKSANAAN EKSEKUSI PUTUSAN “HADHANAH”


Arne Huzaimah

Abstract: Execution of child custody verdicts (hadhanah) there are still


several executions of whose decisions cannot be carried out. The issues
of child executions to date can be resolved in the midst of problems in
the absence of regulations or the absence of legislation. Reformulation
of Procedure for Religious Courts in Execution child custody decisions
apply dwangsom institutions when approving cases to religious courts
Dwangsom institutions can be an instrument of execution if the
plaintiff believes that the defendant will not implement the judge's
decision and believes that execution will increase difficulties.
Dwangsom Institution can be a preventive solution, where the psychic
defendant will receive pressure to immediately implement a judge's
decision that has the legal force to continue working voluntarily. In
addition, there are other efforts that can be made in implementing this
decision in a religious court, namely before the pronouncement of the
decision, the Chairperson of the Assembly can ask and involve the
defendant to send the child to the party plaintiff, what more children
need to know with the plaintiff with defendant. This can be done if the
defendant wants to listen to the judge's advice before the case is
decided and considers the benefits for the child, so that the verdict to
be pronounced does not become an illusion.
Kata Kunci: Hak asuh anak (hadhanah), Pengadilan Agama, Dwangsom.

Hadhanah menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk


seperti menggendong, atau meletakkan sesuatu dalam pangkuan (Satria
Effendi M. Zein, 2004: 166). Hadhanah menurut istilah adalah tugas menjaga
dan mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak dia lahir sampai
mampu menjaga dan mengatur dirinya sendiri (Satria Effendi M. Zein, 2004:
166).
Hadhanah (pemeliharaan anak) merupakan tanggungjawab kedua
orang tua yang melahirkannya. Kewajiban dan tanggung jawab orang tua
dalam usaha perlindungan anak diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu:
a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. Menumbuhkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.Tanggungjawab.
d. memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada
Anak.
Hadhanah (pemeliharaan anak) dapat terlaksana dengan baik jika
antara kedua orangtua dapat hidup rukun dan damai. Persoalan hadhanah
menjadi suatu hal yang sangat serius apabila terjadi perceraian antara


Alamat koresponden penulis, email: arnehuzaimah_uin@radenfatah.ac.id

227
NURANI, VOL. 18, NO. 2, DESEMBER 2018: 227 -244

kedua orangtuanya. Setelah terjadi perceraian, tidak sedikit pula anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut menanggung derita yang
berkepenjangan. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan keinginan
dari kedua orangtuanya tersebut dan juga menimbulkan masalah hukum
dalam penguasaan anak setelah bercerai, misalnya siapa yang akan
memelihara dan mengasuh anak-anak mereka, hak-hak apa saja yang harus
diberikan oleh kedua orangtua kepada anak-anaknya. Kondisi seperti itulah
yang menyebabkan lahirnya sengketa pemeliharaan anak (hadhanah) yang
diajukan ke pengadilan.
Perkara hadhanah salah satu bagian dari perkara perkawinan(Pasal
49 huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006). Secara kelembagaan,
penyelesaian perkara hadhanah bagi orang yang beragama Islam menjadi
kewenangan pengadilan agama (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006). Berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Peradilan Agama
terdapat perkara hadhanah yang telah diputus di tingkat pertama dalam
yurisdiksi Mahkamah Syariyah/pengadilan tinggi agama:
Tabel 1
Rekapitulasi Perkara pada Tingkat Pertama yang diputus
Mahkamah Syari’ah/Pengadilan Agama Seluruh Indonesia
Tahun 2011-2015
No. Jenis Perkara Tahun Jumlah
2011 2012 2013 2014 2015
1. Hadhanah 356 394 473 523 572 2318
Sumber: Data diolah dari Subdit Statistik dan Dokumentasi
Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, Jakarta, Maret
2016.

Berdasarkan Tabel 1 di atas terdapat 2318 perkara hadhanah yang


telah diputus oleh Pengadilan Tingkat Pertama seluruh Indonesia pada
kurun waktu 2011-2015. Ini menunjukkan bahwa perkara hadhanah adalah
salah satu perkara dalam lingkup kewenangan pengadilan agama yang
banyak diterima, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Agama.
Lingkup wilayah yang lebih kecil, berdasarkan laporan Statistik
Perkara Hadhanah yang Diputus Menurut Wilayah Pengadilan Tinggi
Agama Palembang selama 3 (tiga) tahun terakhir sebagai berikut:
Tabel 2
Statistik Perkara Hadhanah yang Diputus Pengadilan Agama
Menurut Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Palembang
Tahun 2013-2015
No. Nama Tahun Jumlah
Pengadilan Agama 2013 2014 2015
1. Palembang 5 6 0 11
2. Lahat 0 1 0 1
3. Baturaja 1 0 0 1
4. Kayuagung 2 0 3 5
5. Lubuk Linggau 3 1 0 4
6. Sekayu 1 0 1 2
7. Muara Enim 1 0 0 1
13 8 4 25

228
REFORMULASI HUKUM ACARA, …, ARNE HUZAIMAH

Sumber: Data diolah dari Laporan Pengadilan Tinggi Agama Palembang,


Maret 2016.
Berdasarkan data yang terdapat pada tabel 2 di atas bahwa terdapat
25 perkara hadhanah yang diterima, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
Tingkat Pertama dalam wilayah Pengadilan Tinggi Agama Palembang dalam
kurun waktu 2013-2015.
Setiap perkara hadhanah yang telah diputus oleh Pengadilan Tingkat
Pertama, apabila telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), maka putusan
tersebut dapat dilaksanakan. Apabila putusan hadhanah yang telah
berkekuatan hukum tetap (inkracht) tidak dilaksanakan secara sukarela,
maka pihak yang memiliki hak hadhanah tersebut dapat mengajukan
permohonan eksekusi ke pengadilan agama tingkat pertama dimana perkara
hadhanah tersebut diputus.
Secara praktek, pelaksanaan eksekusi putusan hadhanah masih
terdapat beberapa hambatan sehingga eksekusi putusan hadhanah tidak
dapat dilaksanakan. Kendala teknis yang kerap kali ditemui dalam praktik
selama ini antara lain adanya keengganan pihak yang kalah (tergugat)
menyerahkan begitu saja pengasuhan anaknya kepada pihak yang menang
(penggugat) sebagaimana yang tertuang dalam vonnis pengadilan agama.
Selanjutnya, tergugat senantiasa berusaha menghindari eksekusi dengan
jalan memberikan perlawanan sedemikian rupa, dengan menyembunyikan
dan atau mengalihkan anak tersebut dari tempat semula setiap kali akan
dilakukan eksekusi sehingga eksekusi terhadap anak tersebut tidak dapat
dilaksanakan sebagaimana mestinya. Selain itu, belum adanya aturan
formal yang secara khusus mengatur masalah teknis eksekusi anak. Dengan
demikian, khusus masalah eksekusi anak sampai saat ini dapat dikatakan
tengah terjadi kekosongan aturan atau kekosongan undang-undang
(vacuum). Selain itu, anak sebagai objek eksekusi tidak dapat disamakan
dengan benda ketika eksekusi terjadi. Jika benda dapat diambil secara
paksa, tetapi eksekusi terhadap anak tidak dapat dilakukan secara paksa
dan harus pula memperhatikan kondisi psikologis anak.
Kekosongan hukum yang secara khusus mengatur tentang teknis
eksekusi anak inilah yang mendorong untuk melakukan kajian dan
penelitian lebih lanjut dalam rangka mereformulasi hukum acara peradilan
agama dalam eksekusi putusan hadhanah. Hal ini penting dilakukan karena
untuk mencari langkah-langkah yang efektif dan humanis ketika
pelaksanaan eksekusi hadhanah.

Reorientasi Pelaksanaan Eksekusi Putusan Hadhanah di Pengadilan Agama


Perkara perdata yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan kepada
Pengadilan sebagai upaya untuk mendapatkan pemecahan atau
penyelesaian. Pemeriksaan perkara diakhiri dengan putusan, akan tetapi
putusan itu harus dapat dilaksanakan atau dijalankan. Suatu putusan
pengadilan tidak ada artinya apabila tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena
itu, putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap mempunyai
kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa yang
ditetapkan dalam putusan tersebut secara paksa oleh alat-alat negara
(Sudikno Mertokusumo, 2006: 249). Pelaksanaan eksekusi pada hakikatnya
adalah realisasi daripada kewajiban pihak yang kalah untuk memenuhi
prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut.

229
NURANI, VOL. 18, NO. 2, DESEMBER 2018: 227 -244

Pelaksanaan eksekusi hadhanah sampai saat ini masih terdapat


perbedaan pendapat di kalangan ahli hukum. Ada yang berpendapat bahwa
anak tidak dapat dieksekusi, sedangkan yang lain menyatakan bahwa
putusan hadhanah dapat dieksekusi.
Alasan para ahli hukum yang berpendapat bahwa eksekusi anak
tidak boleh dilaksanakan adalah bahwa selama ini yurisprudensi yanga ada
tentang eksekusi semuanya hanya dalam bidang hukum benda, bukan
terhadap orang. Sedangkan para ahli hukum yang memperbolehkan eksekusi
terhadap anak dapat dijalankan mengatakan bahwa masalah penguasaan
anak yang putusannya bersifat condemnatoir, jika sudah berkekuatan
hukum tetap, maka putusan itu dapat dieksekusi (Abdul Manan, 2005: 436).
Pengadilan mempunyai upaya paksa dalam melaksanakan putusan ini.
Dengan demikian, seorang anak yang dikuasai oleh salah satu orang tuanya
yang tidak berhak sebagai akibat dari putusan perceraian atau permohonan
talak, maka Pengadilan Agama dapat mengambil anak tersebut dengan
upaya paksa dan menyerahkan kepada salah satu orang tua yang berhak
untuk mengasuhnya.
Mahkamah Agung RI khususnya Hakim Agung telah mengambil
suatu keputusan pada tanggal 6 Juli 1999 yang isinya adalah Masalah
penguasaan anak (hadhanah) dalam pelaksanaan eksekusinya merupakan
upaya paksa dan dapat dijalankan, apabila ada yang menghalangi
pelaksanaannya, maka akan terkena ketentuan yang berbunyi: “Barangsiapa
dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan suatu perbuatan
yang dilakukan oleh salah seorang pegawai negeri dalam menjalankan suatu
peraturan perUUan dihukum penjara selama-lamanya 4 (empat) bulan 2
(dua) minggu atau denda setinggi-tingginya Rp. 9000,-“. Apabila dikaitkan
dengan eksekusi anak, pelaksanaan eksekusinya dihalang-halangi, maka
sama halnya dengan menghalang-halangi pelaksanaan hukum yang telah
berkekuatan hukum tetap dan akan terkena sanksi pidan tersebut.
Pelaksanaan eksekusi pada asasnya harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. Menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
b. Putusan tidak dijalankan secara sukarela.
c. Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnator.
d. Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan (M.
Yahya Harahap, 1993).
Berdasarkan uraian tentang asas-asas pelaksanaan eksekusi
tersebut, maka putusan hadhanah yang bersifat kondemnator dan telah
berkekuatan hukum tetap serta tidak dijalankan secara sukarela oleh pihak
tergugat, maka dapat dilaksanakan eksekusi melalui pengajuan permohonan
eksekusi kepada Ketua Pengadilan Agama dimana perkara hadhanah
tersebut diputuskan.
Pelaksanaan eksekusi terhadap putusan hadhanah harus melalui
prosedur hukum yang berlaku dan apabila eksekusi tidak dilaksanakan
sesuai dengan prosedur hukum yang telah ditetapkan maka eksekusi tidak
sah.
Adapun prosedur eksekusi putusan hadhanah adalah sebagai berikut:
1. Pihak yang menang (penggugat) mengajukan permohonan eksekusi
kepada Ketua Pengadilan Agama dimana putusan hadhanah tersebut
diputus.

230
REFORMULASI HUKUM ACARA, …, ARNE HUZAIMAH

Pengajuan permohonan eksekusi putusan hadhanah disampaikan


kepada Ketua Pengadilan Agama yang memutus perkara itu pada
tingkat pertama. Hal ini diatur dalam Pasal 195 Ayat (1) HIR / Pasal
206 Ayat (1) RBg yang menegaskan, bahwa kewenangan menjalankan
putusan pengadilan yang telah memperoleh hukum tetap adalah atas
perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri
(Pengadilan Agama) yang memutus perkara ityu dalam tingkat
pertama (op last en onder leiding van den voorzitter van den
landraad).
2. Penaksiran biaya eksekusi.
Jika Ketua Pengadilan Agama telah menerima permohonan eksekusi
dari pihak penggugat, maka Ketua Pengadilan Agama
memerintahkan meja I untuk menaksir biaya eksekusi yang
diperlukan dalam pelaksanaan eksekusi. Biaya eksekusi meliputi:
biaya pendaftaran ekseskusi, biaya saksi-saksi, biaya pengamanan
serta lain-lain yang dianggap perlu. Setelah biaya eksekusi dibayar
oleh pihak penggugat kepada kasir, barulah permohonan eksekusi
tersebut didaftarka dalam Buku Registrasi Eksekusi.
3. Pemanggilan tergugat untuk diperingatkan.
Setelah permohonan eksekusi telah diregistrasi, maka Ketua
Pengadilan Agama memerintahkan untuk melakukan pemanggilan
tergugat untuk menghadap ke pengadilan pada hari, tanggal dan jam
yang telah ditentukan. Pemanggilan dan kehadiran tergugat di
pengadilan merupakan rangkaian proses “memberi peringatan” atau
“teguran” atas kelalaiannya memenuhi isi putusan pengadilan. Pada
saat sidang peringatan, Ketua Pengadilan Agama memberi batas
waktu kepada tergugat untuk menjalankan putusan secara suka rela.
Masa peringatan tersebut tidak boleh lebih dari 8 (delapan) hari.
Ketentuan ini termaktib dalam Pasal 196 HIR / Pasal 207 RBg.
4. Peringatan dilakukan dalam Sidang Insidentil dengan Berita Acara.
Agar tindakan peringatan yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan
Agama memenuhi tata cara formal yang bernilai autentik, peringatan
harus dilakukan dalam pemeriksaan sidang “insidentil” yang dihadiri
oleh Ketua Pengadilan Agama, panitera dan pihak tergugat. Dalam
sidang insidentil diberitahukan permohonan eksekusi dari pihak
penggugat dan tergugat menjalankan putusan dalam waktu yang
telah ditentukan. Semua peristiwa yang terjadi dalam persidangan
tersebut dicatat dalam Berita Acara Persidangan, sebagai bukti
autentik sidang peringatan. Bahkan berita acara tersebut sangat
penting untuk mendukung dan menjadi sumber landasan keabsahan
penetapan perintah eksekusi selanjutnya.
5. Tergugat tidak menghadiri peringatan.
a. Ketidakhadiran berdasarkan alasan yang sah (Default with a legal
reason).
Ketidakhadiran memenuhi panggilan peringatan disebabkan
alasan yang sah, misalnya alasan sakit yang dikuatkan dengan
surat keterangan dokter, atau sedang berada di luar kota. Apabila
ketidakhadiran memenuhi panggilan peringatan didasarkan pada
halangan yang sah dan beralasan, maka:
- Ketidakhadiran dianggap sah dan harus ditolerir; dan

231
NURANI, VOL. 18, NO. 2, DESEMBER 2018: 227 -244

- Harus dilakukan pemanggilan ulang.


Ketidakhadiran memenuhi panggilan berdasarkan halangan yang
benar-benar patut dan beralasan dapat menjadi dasar pemaaf
(rechtvaardigingsgrond, ground of justification) atas
ketidakhadiran, yang mengharuskan pengadilan melakukan
pemanggilan ulang (pemanggilam yang kedua).
b. Ketidakhadiran tanpa alasan (Default without legal reason ).
Ketidakhadiran tanpa halangan yang patut dan beralasan oleh
hukum dianggap sebagai tindakan keingkaran memenuhi
panggilan. Terhadap orang yang seperti ini, berlaku prinsif bahwa
hukum tidak perlu melindungi orang yang membelakangi
ketentuan, sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 197 Ayat (1)
HIR / Pasal 208 Ayat (1) RBg kepada pihak yang kalah yang tidak
memenuhi panggilan peringatan tanpa alasan yang patut, maka:
- Tidak diperlukan proses pemeriksaan sidang peringatan;
- Tidak diberika tenggang masa peringatan; dan
- Secara ex officio, Ketua Pengadilan dapat langsung
mengeluarkan surat perintah eksekusi dalam eksekusi riil
atau perintah executoriale beslag dalam eksekusi
pembayaran sejumlah uang.
6. Panggilan peringatan dipenuhi.
Apabila pihak tergugat memenuhi panggilan peringatan dari Ketua
Pengadilan Agama, maka kehadirannya itu memberikan kesempatan
bagi pengadilan membuka sidang peringatan yang dibarengi dengan
pemberian batas waktu peringatan, yaitu paling lama 8 hari, bagi
tergugat untuk memenuhi isi putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap tersebut. Apabila masa peringatan telah dilampaui dan pihak
tergugat tetap enggan melaksanakan menjalankan pemenuhan dalam
masa peringatan, maka berdasarkan Pasal 197 Ayat (1) HIR / 208
Ayat (1) RBg menyatakan: “Dengan dilampauinya masa peringatan,
perintah eksekusi sudah dapat dikeluarkan secara ex officio oleh
Ketua Pengadilan”. Kewenangan ex officio adalah kewenangan yang
“langsung” atau “direct”, maksudnya apabila tenggang masa
peringatan telah lampau, dan tidak ada keterangan atau pernyataan
dari pihak tergugat tentang pemenuhan putusan, maka sejak saat itu
Ketua Pengadilan dapat “langsung” memerintahkan eksekusi tanpa
menunggu permohonan ulang pihak penggugat.
7. Pelaksanaan eksekusi.
Perintah menjalankan eksekusi harus melalui surat penetapan dari
Ketua Pengadilan Agama. Surat penetapan tersebut menjamin
autentikasi perintah menjalankan eksekusi, baik terhadap diri
panitera atau juru sita yang mendapat perintah tersebut maupun
terhadap pihak tergugat. Tanpa surat penetapan, pihak tergugat
dapat menolak eksekusi yang dilakukan panitera atau juru sita.
Selain itu, surat penetapan perintah eksekusi berisi “penunjukan”
nama pejabat yang diperintahkan. Jika yang ditunjuk panitera, maka
harus disebut jabatan dan namanya dalam surat penetapan tersebut.
Demikian juga, jika yang ditunjuk itu juru sita, maka harus disebut
jabatan dan nama juru sita dalam surat penetapan.

232
REFORMULASI HUKUM ACARA, …, ARNE HUZAIMAH

Panitera atau juru sita yang melaksanakan eksekusi harus datang ke


tempat objek barang yang akan dieksekusi, tidak dibenarkan
melakukan eksekusi hanya dibelakang meja atau dengan jarak jauh.
Eksekusi harus dilaksanakan sesuai dengan bunyi amar putusan.
Pelaksanaan eksekusi dibantu oleh 2 (dua) orang saksi yang
memenuhi unsur sebagaimana tersebut dalam Pasal 210 ayat (2) RBg
yaitu: “saksi itu haruslah penduduk Indonesia yang telah cukup
berumur 21 tahun dan dikenal oleh yang melakukan penyitaan bahwa
saksi dapat dipercaya atau diterangkan demikian oleh Ketua kepada
pemerintah setempat”.
Selanjutnya, panitera atau juru sita mengambil anak tersebut secara
baik-baik, sopan dan tetap berpegang kepada adat istiadat setempat,
kalau tidak duserahkan secara sukarela maka dilaksanakan secara
paksa. Setelah itu jurusita membuat berita acara eksekusi yang
ditandatangani oleh juru sita beserta dua saksi sebanyak rangkap
lima.
Pelaksanaan eksekusi hadhanah sebagaimana tersebut di atas adalah
sejalan dengan Pasal 319 KUH Perdata yang menyatakan bahwa jika pihak
yang senyatanya menguasai anak-anak yang belum dewasa` itu menolak
menyerahkan anak-anak itu, maka para pihak yang menurut keputusan
pengadilan harus menguasai anak tersebut, mereka boleh meminta melalui
juru sita dan menyuruh kepadanya melaksanakan keputusan ini.
Secara prosedural, proses pengajuan permohonan eksekusi hadhanah
sampai pada tahap perintah pelaksanaan eksekusi tidak banyak hambatan
karena sudah dilaksanakan sesuai aturan yang berlaku. Namun, secara
fakta, ketika proses pelaksanaan eksekusi di lapangan, terdapat beberapa
kesulitan. Menurut Pak Lekat, eksekusi putusan hadhanah banyak yang
tidak berhasil dilakukan, sehingga putusan menjadi illusoir (Wawancara
tanggal 2 Nopember 2017 Jam 10.00 WIB di Pengadilan Agama Kelas 1 A
Palembang).
Faktor penyebab eksekusi putusan hadhanah tidak dapat
dilaksanakan di lapangan adalah:
a. Pihak tergugat enggan menyerahkan anak kepada pihak
penggugat.
b. Pihak tergugat menghalangi-halangi dengan memberikan
ancaman untuk melakukan tindakan kekerasan apabila anak
tersebut diambil secara paksa.
c. Anak disembunyikan oleh pihak tergugat.
d. Anak sendiri tidak mau kembali kepada penggugat.
Selama ini, eksekusi riil hanya berlaku untuk hukum kebendaan saja.
Objek eksekusi riil adalah benda. Jika benda, maka akan dengan mudah
mengalihkan dari pihak tergugat kepada pihak penggugat walaupun dengan
cara paksa. Eksekusi terhadap putusan hadhanah berbeda dengan eksekusi
riil lainnya. Eksekusi hadhanah harus memperhatikan kepentingan dan
psikologis anak, karena pengalihan anak dari tergugat kepada penggugat
secara paksa, apa lagi kalau penggugat itu bukan orangtua yang disayangi
anak, maka hal ini akan mempengaruhi dan menjadi beban psikologis bagi
anak. Kepentingan anak menjadi pertimbangan utama untuk melakukan
eksekusi hadhanah secara paksa.

233
NURANI, VOL. 18, NO. 2, DESEMBER 2018: 227 -244

Sebenarnya, dalam proses eksekusi di lapangan, ada beberapa alasan


mengapa eksekusi tidak dapat dijalankan (non executable). Salah satu
alasannya adalah objek eksekusi yang tidak ada. Jika pada saat eksekusi
hadhanah dijalankan, anak yang menjadi objek eksekusi tidak ada, atau
pemohon eksekusi tidak mampu menunjukkan anak sebagai objek eksekusi,
atau anak sebagai objek eksekusi tidak ditemukan (menghilang), maka
eksekusi hadhanah tidak dapat dijalankan sesuai amar putusan dengan
alasan objek eksekusi tidak ada atau tidak ditemukan. Dengan demikian,
Ketua Pengadilan Agama dapat mengeluarkan Penetapan noneksekutabel
atas alasan objek eksekusi tidak ada atau tidak ditemukan.

Reformulasi Hukum Acara Peradilan Agama dalam Pelaksanaan Eksekusi


Putusan Hadhanah
Tujuan peradilan adalah untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.
Hakim bukanlah corong undang-undang, tetapi hakim dalam menegakkan
hukum dan keadilan harus mampu menafsirkan undang-undang secara
aktual, yang berlandaskan Pancasila dan tujuan peraturan perundang-
undangan tersebut. Hakim juga harus berani menciptakan hukum baru,
yang disesuaikan dengan kesadaran dan perkembangan kebutuhan
masyarakat. Hakim juga harus berani berperan melakukan contra legem,
menyingkirkan pasal-pasal undang-undang yang dianggap oleh hakim
bertentangan dengan ketertiban, kepentingan dan kemaslahatan umum
tanpa melepaskan diri dari common basic idie (M. Yahya Harahap, 1993: 64).
Lahirnya suatu putusan (baca: putusan hadhanah) sangat
dipengaruhi oleh proses pengajuan gugatan, pemeriksaan perkara sampai
pada tahap pengambilan putusan hadhanah. Selain itu, dalam proses
penyelesaian perkara juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yuridis,
sebagaimana dikemukakan oleh Mukti Arto, antara lain: a. Keterbatasan
peraturan perundang-undangan, baik yang mengatur ketersediaan hukum
materiil maupun hukum acaranya serta sarana hukum lainnya yang
berkaitan dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat yang harus
disediakan oleh negara; b. Terdapat peraturan perundang-undangan yang
tidak lengkap sehingga sulit untuk dilaksanakan; atau c. Terdapat
kekosongan peraturan perundang-undangan yang mengatur suatu persoalan
tersebut(A. Mukti Arto, 2015: 87-88).
Secara praktek, pelaksanaan eksekusi putusan hadhanah masih
terdapat beberapa hambatan sehingga eksekusi putusan hadhanah tidak
dapat dilaksanakan. Kendala teknis yang kerap kali ditemui dalam praktik
selama ini antara lain adanya keengganan pihak yang kalah (tergugat)
menyerahkan begitu saja pengasuhan anaknya kepada pihak yang menang
(penggugat) sebagaimana yang tertuang dalam vonnis pengadilan agama.
Selanjutnya, tergugat senantiasa berusaha menghindari eksekusi dengan
jalan memberikan perlawanan sedemikian rupa, dengan menyembunyikan
dan atau mengalihkan anak tersebut dari tempat semula setiap kali akan
dilakukan eksekusi sehingga eksekusi terhadap anak tersebut tidak dapat
dilaksanakan sebagaimana mestinya. Selain itu, belum adanya aturan
formal yang secara khusus mengatur masalah teknis eksekusi anak. Dengan
demikian, khusus masalah eksekusi anak sampai saat ini dapat dikatakan
tengah terjadi kekosongan aturan atau kekosongan undang-undang
(vacuum). Selain itu, anak sebagai objek eksekusi tidak dapat disamakan

234
REFORMULASI HUKUM ACARA, …, ARNE HUZAIMAH

dengan benda ketika eksekusi terjadi. Jika benda dapat diambil secara
paksa, tetapi eksekusi terhadap anak tidak dapat dilakukan secara paksa
dan harus pula memperhatikan kondisi psikologis anak.
Peranan hakim sangat diperlukan dalam menyikapi problematika
pelaksanaan eksekusi putusan hadhanah, karena hakim merupakan
pemeran utama dalam proses peradilan. Hakim harus mempunyai jiwa
mujtahid, mujaddid dan progresif (A. Mukti Arto, 2017:253), sehingga dapat
terwujudnya peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan guna memberikan
perlindungan hukum dan keadilan bagi pencari keadilan.
Hakim mujtahid adalah hakim yang berani dan mampu
memanfaatkan semua potensi yang dimilikinya untuk melakukan penemuan
dan pembaharuan hukum baik dalam bentuk interpretasi, argumentasi,
konstruksi, kontra legem, terobosan hukum, menembus tembok hukum
konvensional, mengesampingkan ultra petita maupun melakukan penciptaan
hukum baru serta menggali ius constituendum, apabila memang diperlukan
demi mewujudkan keadilan (A. Mukti Arto, 2017: 254).
Hakim mujaddid adalah hakim yang berani dan mampu melakukan
pembaharuan hukum Islam demi tegaknya keadilan berdasarkan Ketuhanan
yang Maha Esa pada kasus yang dihadapinya dan demi tegaknya kembali
fungsi hukum Islam, yaitu memberikan perlindungan hukum dan keadilan
kepada umat manusia secara konkret demi terwujudnya maqashid al
syariah. Tuags hakim bukanlah menegakkan teks hukum melainkan
menegakkan fungsi hukum demi terwujudnya kemaslahatan dan keadilan.
Teks hukum bersifat temporer sehingga dapat diperbaharui demi
mempertahankan nilai kemaslahatan dan keadilan (A. Mukti Arto, 2017:
255).
Hakim progresif adalah hakim yang berpandangan bahwa hukum itu
dibuat untuk memberikan perlindungan hukum dan keadilan bagi umat
manusia demi terwujudnya kemaslahatan dan keadilan. Hal ini dilakukan
sebagai upaya untuk melaksanakan “sistem peradilan berbasis perlindungan
hukum dan keadilan”, yaitu sebuah sistem peradilan yang mengamanatkan
pengadilan menjalankan 3 (tiga) prinsif, yaitu: a. Aktif membantu para
pencari keadilan agar mereka berhasil mendapatkan keadilan dan
menyelamatkan mereka dari kegagalan memperoleh keadilan; b. Aktif
melakukan penemuan hukum agar dapat memberikan keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa kepada para pencari keadilan baik diminta
maupun yang tidak diminta dalam petitum; c. Memberi jaminan hukum
bahwa putusan dapat dieksekusi dengan mudah, efektif dan efisien (A. Mukti
Arto, 2017:253: 256). Tugas ini harus dilaksanakan secara profesional dan
penuh tanggung jawab.
Hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Mahkamah Agung RI di
Manado pada tahun 2012, telah merekomendasikan penerapan dwangsom
dalam perkara hadhanah. Dalam rumusan hasil Rakernas Mahkamah agung
RI tersebut dinyatakan bahwa “pada dasarnya putusan perkara hadhanah
dapat dieksekusi, tetapi dalam pelaksanaannya harus memperhatikan
kepentingan dan psikologis anak. Untuk menghindari kesulitan pelaksanaan
eksekusi, hakim dapat menghukum tergugat untuk membayar dwangsom”
(Cik Basir, 2015: 80). Rekomendasi tersebut merupakan salah satu bentuk
terobosan dan pembaharuan dalam hukum acara pada penyelesaian perkara
hadhanah di pengadilan agama.

235
NURANI, VOL. 18, NO. 2, DESEMBER 2018: 227 -244

Pengaturan secara khusus mengenai lembaga dwangsom di


pengadilan agama belum ada. Namun, berdasarkan ketentuan Pasal 54
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan Kedua
dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 yang berbunyi : “Hukum
Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama
adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
undang-undang ini”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pengadilan agama dapat
menggunakan dasar hukum penerapan dwangsom yang berlaku di peradilan
umum. Adapun dasar hukum penerapan lembaga dwangsom dalam praktek
peradilan di Indonesia adalah:
Pertama, Ketentuan dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de
Rechtsvordering) atau disingkat RV yang terdapat dalam Bab V Bagian 3
606a dan 606b (Harifin A. 2010: 52) RV. Adapun ketentuan Pasal 606a yang
terjemahannya berbunyi sebagai berikut:
“Sepanjang suatu keputusan hakim mengandung hukuman untuk
sesuatu yang lain daripada membayar sejumlah uang, maka dapat
ditentukan bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak
memenuhi hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah
uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan hakim dan uang
tersebut dinamakan uang paksa (dwangsom)”.
Ketentuan Pasal 606b RV berbunyi:
“Apabila keputusan (hakim) tersebut tidak dipenuhi maka pihak
lawan dari terhukum berwenang untuk melaksanakan keputusan
terhadap sejumlah uang paksa (dwangsom) yang telah ditentukan
tanpaterlenih dahulu memperoleh alas hak baru menurut hukum”.
Kedua, Pendapat para pakar hukum (doktrin).
Ketiga, yurisprudensi yaitu antara lain putusan Mahkamah Agung
Nomor 38 K/SIP/1967 tanggal 7 Mei 1967 yang sampai saat ini telah menjadi
pedoman dalam praktik peradilan di Indonesia. Dalam pertimbangan
hukumnya menyatakan bahwa “lembaga uang paksa (dwangsom), sekalipun
tidak secara khusus diatur di dalam HIR haruslah dianggap tidak
bertentangan dengan sistem HIR dan berdasarkan penafsiran yang lazim
dan pada Pasal 339 HIR dapat diterapkan di pengadilan-pengadilan” (Cik
Basir, 2015: 28).
Saat ini, telah ada upaya untuk memberikan landasan hukum secara
formal dan lebih lengkap dalam hal penerapan lembaga dwangsom dalam
peradilan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam Rancangan Undang-
Undang (RUU) Hukum Acara Perdata Indonesia sebagai ius constituendum.
Pengaturan dwangsom dalam RUU tersebut terdapat pada Bab XII Acara
Khusus Bagian Kelimabelas tentang Uang Paksa yang diatur dalam 5 (lima)
Pasal, yaitu Pasal 297 sampai dengan Pasal 301.
Pasal 297
(1) Atas tuntutan salah satu pihak, hakim dapat menghukum pihak
yang kalah untuk membayar uang paksa, dalam hal pihak
tersebut tidak memenuhi hukuman pokok, dengan tidak
mengurangi hak pihak yang bersangkutan atas ganti rugi bila ada
dasar hukumnya.

236
REFORMULASI HUKUM ACARA, …, ARNE HUZAIMAH

(2) Uang paksa hanya dapat dijatuhkan dalam hal hukuman pokok
yang bukan merupakan hukuman menyerahkan sejumlah uang.
(3) Tuntutan uang paksa dapat juga diajukan dalam perkara
perlawanan.
(4) Uang paksa tidak dapat ditagih sebelum putusan penghukuman
uang paksa diberitahukan kepada pihak yang bersangkutan.
(5) Dalam putusan hakim ditentukan kapan uang paksa dapat
ditagih.
(6) Uang paksa berlaku paling lama 6 (enam) bulan terhitung setelah
tanggal putusan tersebut diberitahukan kepada terhukum.
Pasal 298
Hakim dalam putusannya wajib menentukan besarnya uang paksa
yang harus dibayar sekaligus untuk waktu tertentu atau untuk setiap
hari keterlambatan melaksanakan kewajiban atau setiap kali
melakukan pelanggaran.
Pasal 299
Uang paksa yang sudah dapat ditagih menjadi hak penuh dari pihak
yang menang dan pihak tersebut dapat meminta pelaksanaan
putusan uang paksa.
Pasal 300
Atas permohonan dari pihak yang dihukum untuk membayar uang
paksa, ketua pengadilan yang menjatuhkan hukuman pembayaran
uang paksa dapat membatalkan hukuman, memperpendek masa
berlaku, atau mengurangi uang paksa, dalam hal:
a. Pihak yang dihukum untuk membayar uang paksa untuk
sementara atau untuk waktu yang tetap berada dalam keadaan
tidak mampu memenuhi sama sekali seluruhnya atau sebagian
hukuman pokok;
b. Keadan sebagaimana dimaksud dalam huruf a harrus terjadi
setelah uang paksa dapat ditagih.
Pasal 301
(1) Selama kepailitan dari terhukum uang paksa tidak dapat
dimintakan pelaksanaanya.
(2) Uang paksa yang sudah dapat ditagih sebelum terhukum
dinyatakan pailit, tagihan pembayaran uang paksa tersebut
diajukan kepada kurator.
(3) Dalam hal terhukum meninggal dunia, uang paksa yang sudah
dapat ditagih sebelum terhukum meninggal dapat dimintakan
pelaksanaan penaguhannya kepada ahli warisnya melalui
penetapan pengadilan.
(4) Atas permohonan ahli waris, ketua pengadilan dapat
membatalkan, mengurangi, atau mengubah syarat-syarat
mengenai uang paksa tersebut.
Pengaturan mengenai lembaga dwangsom yang termuat dalam
Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut sudah cukup mengakomodir
berbagai sumber aturan yang ada, baik yang berlaku di Indonesia maupun di
Belanda. Namun, sampai saat ini Rancangan Undang-Undang (RUU)
tersebut belum menjadi Undang-Undang sehingga secara formal ketentuan
dwangsom tersebut belum dapat dijadikan pedoman. Sejauh ini, dasar
penerapan lembaga dwangsom dalam praktik peradilan di Indonesia masih

237
NURANI, VOL. 18, NO. 2, DESEMBER 2018: 227 -244

tetap berpedoman pada ketentuan yang ada selama ini yaitu Pasal 606a dan
606b RV, doktrin dan yurisprudensi dengan segala kekurangan dan
kelemahannya.
Dwangsom (uang paksa) merupakan hukuman tambahan yang
diberikan oleh hakim kepada pihak yang kalah untuk membayar sejumlah
uang selain yang telah disebutkan dalam hukuman pokok dengan maksud
agar pihak yang kalah bersedia secara sukarela memenuhi hukuman pokok
sebagaimana mestinya dan dalam batas waktu yang telah ditentukan.
Lembaga dwangsom (uang paksa) berbeda dengan lembaga ganti rugi
(Pasal 225 HIR) dan lembaga konpensasi (Hukum Perdata), sebab dalam
dwangsom ini kewajiban yang disebut dalam putusan hakim tetap ada dan
tidak bisa diganti atau dihapus. Dengan demikian, lembaga dwangsom
merupakan salah satu upaya untuk dapat mencegah putusan hadhanah
ilusoir (hampa) yang memang selama ini disinyalir bahwa banyak putusan
hadhanah yang tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya.
Ada 3 hal yang perlu dipahami sekaligus sebagai prinsip dasar dari
lembaga dwangsom, sebagaimana yang dijelaskan oleh Harifin A. Tumpa:
Pertama, dwangsom bersifat accessoir, karena keberadaannya tergantung
pada hukuman pokok. Oleh karena itu bersifat accessoir, maka gugatan
mengenai dwangsom hanya dapat dikabulkan oleh hakim apabila diajukan
bersama-sama dengan gugatan pokok. Dengan kata lain bahwa gugatan
mengenai dwangsom tidak dapat diajukan secara tersendiri atau terpisah
dari gugatan pokok, ia selalu mengikuti gugatan pokok. Dan dwangsom juga
tidak mungkin dijatuhkan hakim jika gugatan pokok tidak dikabulkan.
Tuntutan dwangsom hanya dapat dijatuhkan hakim apabila bersama-sama
dengan dikabulkannya hukuman pokok; Kedua, dwangsom merupakan
hukuman tambahan (subsidair) terhadap tuntutan pokok atau hukuman
primair. Oleh karena itu, hukuman dwangsom tersebut baru mempunyai
daya eksekusi dan dapat diberlakukan terhadap tergugat manakala tergugat
tidak memenuhi hukuman pokok dalam putusan hakim. Apabila hukuman
pokok dalam putusan telah dilaksanakan secara sukarela oleh pihak
tergugat, maka dengan sendirinya dwangsom tidak mempunyai kekuatan
hukum lagi dan tidak perlu dilaksanakan lagi. Namun, apabila tergugat lalai
melaksanakan hukuman pokok, lalu tergugat hanya melaksanakan
hukuman dwangsom sebagaimana yang dijatuhkan hakim dalam putusan,
maka pelaksanaan dwangsom tersebut sama sekali tidak menghapus
hukuman pokok; Ketiga, dwangsom merupakan media untuk memberikan
tekanan psychis (dwaang middelen) kepada terhukum, dalam hal ini
memberikan tekanan secara psychis kepada tergugat agar yang
bersangkutan mau melaksanakan putusan hakim secara sukarela (Harifin A.
Tumpa, 2015: 439).
Sebagaimana diketahui bahwa hasil akhir dari keseluruhan proses
perkara di pengadilan adalah putusan (vonnis) hakim, apabila putusan
hakim telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van
gewijsde), maka harus dilaksanakan oleh pihak tergugat dan apabila
tergugat tidak melaksanakan isi putusan secara sukarela, maka dapat
dilakukan eksekusi (pelaksanaan putusan secara paksa) dengan cara
penggugat mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan tingkat pertama
di mana perkara tersebut diputus.

238
REFORMULASI HUKUM ACARA, …, ARNE HUZAIMAH

Adapun salah satu syarat agar putusan hakim dapat dieksekusi


adalah putusan hakim tersebut harus bersifat condemnatoir, yakni amar
atau diktum putusan tersebut mengandung unsur “penghukuman” terhadap
pihak tergugat. Putusan hakim yang amar atau diktumnya tidak
mengandung unsur penghukuman tidak dapat dieksekusi (non eksekutabel).
Putusan hakim yang bersifat condemnatoir biasanya terdapat pada perkara
yang bersifat kontentius, yaitu perkara yang mengandung sengketa, bersifat
partai dan penggugat dan tergugat mempunyai kedudukan yang sama
sebagai subjek hukum sehingga keduanya mempunyai hak yang sama untuk
saling membantah.
Fungsi utama lembaga dwangsom adalah sebagai alat/instrumen
eksekusi, terutama untuk upaya pelaksanaan putusan hakim yang
dilakukan secara tidak langsung, selain penerapan sandera. Penerapan
sandera (gijzeling) maupun dwangsom (uang paksa) tersebut dimaksudkan
sama-sama untuk memberikan tekanan psychis kepada terhukum yang tidak
mau memenuhi putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap secara
sukarela.
Dwangsom merupan hukuman yang bersifat accessoir dan subsidair.
Oleh karena itu, dwangsom hanya dapat dijatuhkan (dikabulkan) hakim
apabila bersama-sama dengan hukuman pokok. Dwangsom tidak mungkin
dijatuhkan (dikabulkan) hakim tanpa adanya hukuman pokok. Sebagai
contoh, seorang penggugat dalam gugatannya mendalilkan bahwa tergugat
telah menguasai harta warisan atau harta bersama yang sudah menjadi
bagian penggugat, namun penggugat dalam petitumnya gugatannya
ternyata sama sekali tidak meminta agar tergugat dihukum untuk
menyerahkan harta warisan atau harta bersama yang dikuasainya tersebut
kepada penggugat, penggugat hanya meminta agar tergugat dihukum
membayar dwangsom (uang paksa) kepada penggugat. Pada permohonan
dwangsom dalam contoh kasus tersebut, hakim tidak dapat atau tidak boleh
mengabulkannya, meskipun dalil gugatan penggugat tersebut terbukti. Hal
ini sebagaimana digariskan dalam ketentuan Pasal 606 RV bahwa
dwangsom hanya bersifat accessoir terhadap gugatan pokok. Dengan
demikian, keberadaan permohonan dwangsom sangat tergantung pada
hukuman pokok, dan tidak ada dwangsom tanpa hukuman pokok. Hukuman
pokok dalam contoh kasus tadi adalah menghukum tergugat untuk
menyerahkan harta warisan atau harta bersama yang telah dikuasai oleh
tergugat. Dwangsom hanya dapat dikabulkan jika diajukan oleh penggugat
dalam gugatan bersama-sama dengan hukuman pokok tersebut, dimana
penggugat dalam petitum gugatannya selain meminta agar tergugat
dihukum untuk menyerahkan harta warisan atau harta bersama yang
dikuasai tersebut kepada penggugat sekaligus meminta apabila tergugat
lalai dalam memenuhi hukuman pokok tersebut agar dihukum membayar
dwangsom kepada penggugat (Cik Basir,2015:18-19).
Lembaga dwangsom sebagai instrumen eksekusi ini tidak diragukan
lagi. Pembuat Undang-Undang memandang dwangsom itu sebagai alat
untuk memaksa agar putusan pengadilan dapat terlaksana. Hal ini
tergambar dalam pasal 611a RV. Harifin A. Tumpa menyatakan bahwa
“dwangsom merupakan sisi lain dari eksekusi, yang seolah-olah bekerja dari
samping” (Harifin A. Tumpa, 2015: 18). Eksekusi riil bekerja secara langsung
untuk terlaksananya hukuman pokok. Sedangkan dwangsom bekerja dari

239
NURANI, VOL. 18, NO. 2, DESEMBER 2018: 227 -244

samping sebagai alat penekan bagi terhukum untuk melakukan atau


menyerahkan sesuatu tertentu sesuai dengan isi putusan hakim.
Sehubungan dengan hasil Rakernas Mahkamah Agung tersebut
bahwa menjatuhkan hukuman dwangsom dalam perkara hadhanah haruslah
didasarkan pada adanya permohonan dari para pihak yang berperkara.
Hakim tidak dibenarkan menjatuhkan hukuman dwangsom atas inisiatif
sendiri. Hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman dwangsom atas dasar ex
officio.
Menjatuhkan dwangsom dalam perkara hadhanah harus didasarkan
adanya permohonan dari pihak berperkara dalam petitum gugatannya yang
didukung pula dengan posita gugatan. Di mana dalam petitum gugatannya
harus secara jelas penggugat menyatakan mohon agar Pengadilan Agama
bersangkutan menghukum tergugat membayar dwangsom, apabila tergugat
tidak memenuhi putusan secara sukarela, sehingga atas dasar itu apabila
beralasan hukum maka hakim dapat mengabulkan tuntutan dwangsom
tersebut dengan amar putusan, misalnya yang berbunyi:
1. Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya;
2. Menetapkan secara hukum anak yang bernama Mawar binti
Ahmad berada di bawah pengasuhan (hadhanah) penggugat;
3. Menghukum tergugat untuk menyerahkan anak tersebut kepada
penggugat;
4. Menghukum tergugat untuk membayar nafkah anak tersebut
sebesar Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah) per bulan terhitung sejak
putusan berkekuatan hukum tetap hingga anak tersebut berusia
21 tahun;
5. Menghukum tergugat untuk membayar dwangsom kepada
penggugat sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap hari
keterlambatannya melaksanakan putusan ini terhitung sejak
putusan ini berkekuatan hukum tetap (Cik Basir, 2015: 85).
Berkaitan dengan pemeriksaan tuntutan dwangsom pada perkara
hadhanah di pengadilan agama, maka tuntutan dwangsom harus diperiksa
sebagaimana pokok perkara. Meskipun tuntutan dwangsom bersifat
accessoir dan subsidair, keberadaanya dalam gugatan tetap harus dipandang
dan diperlakukan sebagaimana tuntutan pokok yang menyertainya.
Tuntutan dwangsom harus diperiksa, diadili dan diputus sebagaimana
tuntutan pokok yang menyertainya sesuai dengan prosedur hukum acara
yang benar, di mana untuk menemukan fakta dengan menguji dalil-dalil
posita berkaitan dengan tuntutan tersebut di persidangan sebagai bahan
pertimbangan untuk menolak atau mengabulkannya, dalil-dalil mengenai
tuntutan dwangsom tersebut harus diperiksa secara cermat, mendasar dan
prosedural sebagaimana tuntutan pokok dalam perkara bersangkutan.
Oleh karena itu, menurut (Cik Basir, 2015: 89-98) ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan sebelum menjatuhkan dwangsom :
a. Dwangsom harus diminta secara tegas oleh pihak yang
berperkara.
b. Dwangsom diajukan bersama-sama dengan hukuman pokok.
c. Hukuman pokok yang diminta bukan tentang pembayaran
sejumlah uang.
d. Terhukum mampu dan memungkinkan melaksanakan hukuman
pokok.

240
REFORMULASI HUKUM ACARA, …, ARNE HUZAIMAH

e. Dwangsom menjadi solusi efektif bagi penyelesaian perkara


tersebut.
Permohonan dwangsom bukanlah sesuatu yang bersifat imperatif
(harus) untuk dikabulkan, melainkan bersifat fakultatif (tidak wajib). Hakim
mempunyai kewenangan sepenuhnya untuk mengabulkan atau menolak
suatu permohonan dwangsom. Sejauh mana urgensi hukuman dwangsom
untuk dikabulkan bagi suatu perkara tergantung pada penilaian objektif
hakim. Namun demikian, permohonan dwangsom yang telah diajukan
pengggugat dalam gugatannya, maka hakim harus memeriksa dan
mengadili, baik dalam hal mengabulkan atau menolaknya, harus dengan
suatu pertimbangan hukum yang argumentatif, rasional, realistis dan
semata-mata untuk kepentingan para pencari keadilan dan penyelesaian
perkara tersebut.
Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan dwangsom (Mahkamah Agung RI, 1997: 3-145, Cik
Basir, 2015: 100), antara lain:
a. Objek sengketa dikuasai tergugat dan tergugat tidak akan
melaksanakan putusan secara sukarela.
b. Terjadinya wanprestasi atas suatu perjanjian.
c. Adanya kerugian yang nyata di pihak yang meminta dwangsom.
d. Diperkirakan terdapat kesulitan saat eksekusi.
Sebagaimana diketahui, akhir dari segala proses pemeriksaan atas
perkara di pengadilan adalah dijatuhkannya putusan hakim (vonnis).
Dengan adanya putusan hakim, pihak yang menang (penggugat) tentunya
berharap agar segera mendapatkan apa yang menjadi haknya, seperti dalam
perkara hadhanah, penggugat berharap bisa segera mendapatkan anaknya.
Hal ini dapat dipenuhi apabila apabila pihak yang kalah (tergugat) segera
memenuhi dan menjalankan isi putusan hakim sebagaimana mestinya
secara sukarela.
Apabila putusan hakim yang berupa hukuman pokok dapat
dilaksanakan sebagaimana mestinya secara suka rela oleh pihak yang kalah
(tergugat), tentu tidak akan menimbulkan persoalan, baik bagi para pihak
yang berperkara maupun bagi pengadilan yang bersangkutan. Itu berarti
bahwa perkara tersebut telah selesai. Demikian juga halnya dengan
hukuman dwangsom yang menyertai hukuman pokok dalam suatu perkara,
dengan terlaksanya hukuman pokok secara sukarela, maka dengan
sendirinya keberadaan hukuman dwangsom menjadi tidak mempunyai
kekuatan hukum lagi.
Adapun yang menjadi persoalan dalam hubungannya dengan
hukuman dwangsom apabila terhadap putusan hakim (vonnis) yang telah
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang amar atau diktum
putusannya yang berupa hukuman pokok dan hukuman dwangsom tersebut,
ternyata sama sekali tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya secara
sukarela oleh tergugat, meskipun tergugat tersebut telah pula dilakukan
aanmaning (peringatan) sebagaimana mestinya oleh Ketua Pengadilan
Agama. Apabila pihak yang kalah (tergugat) yang setelah dilakukan
aanmaning (peringatan) ternyata tetap tidak mau melaksanakan putusan
(hukuman pokok) secara suka rela, maka Ketua Pengadilan Agama harus
membuat surat “Penetapan” yang intinya menyatakan bahwa tergugat
terhitung sejak tanggal tersebut telah ingkar atau tidak mau memenuhi

241
NURANI, VOL. 18, NO. 2, DESEMBER 2018: 227 -244

putusan pengadilan agama secara sukarela. “Penetapan” ketua Pengadilan


Agama tersebut berguna untuk kepastian patokan menghitung mulainya
dwangsom menjadi beban pihak tergugat yang harus dibayar kepada
penggugat.
Eksekusi hukuman dwangsom baru dapat dijalankan sebagaimana
mestinya apabila telah memenuhi lima syarat sebagai berikut:
a. Putusan telah berkekuatan hukum tetap.
b. Hukuman dwangsom tercantum dalam amar putusan.
c. Hukuman pokok tidak dijalankan secara sukarela.
d. Adanya permohonan eksekusi dari pihak penggugat.
e. Ada perintah dari Ketua Pengadilan Agama (Mahkamah Agung
RI, 1997: 128-135).
Jika telah memenuhi syarat eksekusi hukuman dwangsom tersebut,
maka eksekusi hukuman dwangsom baru dapat dilaksanakan. Dan, eksekusi
hukuman dwangsom baru dapat dilaksanakan setelah eksekusi atas
hukuman pokok. Jadi, meskipun fungsi dan kedudukan dwangsom tersebut
tidak dapat dipisahkan dengan hukuman pokok, dan amar atau diktum
putusan merupakan satu kesatuan dengan hukuman pokok, namun dalam
hal eksekusinya tidak bisa dilakukan secara bersamaan dengan eksekusi
atas hukuman pokok. Hal ini disebabkan karena hukuman dwangsom hanya
dapat dieksekusi apabila tergugat ingkar dalam memenuhi hukuman pokok.
Apabila tergugat dapat memenuhi isi putusan secara sukarela, maka
hukuman dwangsom yang terdapat dalam amar putusan tersebut dianggap
tidak ada dan tidak dapat dipaksakan terhadap tergugat.
Eksekusi hukuman pokok dari perkara hadhanah dilakukan secara
riil, karena amar atau diktum dalam putusan perkara hadhanah berupa
tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan atau tindakan yang nyata (riil)
yaitu berupa penyerahan anak dari tergugat kepada pihak pengugat.
Eksekusi riil diatur dalam Pasal 1033 RV, Pasal 218 Ayat (2) R.Bg dan Pasal
200 Ayat (11) HIR serta Pasal 259 R.Bg dan Pasal 225 HIR.
Adapun pelaksanaan eksekusi hukuman dwangsom dilakukan dengan
cara verhaal executie yaitu dengan cara pembayaran sejumlah uang. Dalam
hal eksekusi atas hukuman dwangsom ini terlebih dahulu harus diletakkan
sita eksekusi (executorial beslag) atas harta kekayaan milik tergugat yang
kemudian dilanjutkan dengan menjual lelang harta kekayaan tersebut di
depan umum dan hasilnya baru akan dibayarkan kepada penggugat sesuai
dengan jumlah nominal uang paksa yang disebutkan dalam amar atau
diktum putusan dikalikan jumlah hari selama keingkaran tergugat.
Setelah keseluruhan tahap proses penjualan lelang dilaksanakan
bagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, lalu hasil
penjualan lelang atas barang-barang milik tergugat tersebut kemudian
dibayarkan kepada pihak penggugat sejumlah hukuman dwangsom yang
menjadi beban tergugat, dan ditambah dengan jumlah biaya pelaksanaan
eksekusi tersebut.
Upaya penerapan hukuman dwangsom dalam pelaksanaan eksekusi
perkara hadhanah memang belum terbukti efektif, namun dengan adanya
hukuman dwangsom dalam penyelesaian sengketa hadhanah dapat menjadi
solusi yang bersifat preventif, di mana dengan adanya hukuman dwangsom,
tergugat secara psychis akan merasa tertekan untuk segera melaksanakan
putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap secara sukarela.

242
REFORMULASI HUKUM ACARA, …, ARNE HUZAIMAH

Ada upaya lain yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan putusan


hadhanah di pengadilan agama, di mana sebelum pengucapan putusan,
Ketua Majelis Hakim dapat memanggil dan memerintah pihak tergugat
secara sukarela menyerahkan anak dengan cara baik-baik kepada pihak
penggugat dan anaknya sendiri lebih dekat dengan penggugat dari pada
dengan tergugat. Hal ini tentunya dapat dilakukan jika pihak tergugat mau
mendengarkan saran hakim sebelum perkara hadhanah tersebut diputus
dan mempertimbangkan kepentingan kemaslahatan anak, sehingga putusan
yang akan diucapkan nanti tidak menjadi ilusoir (hampa).

Penutup
Berdasarkan uraian yang dipaparkan pada bab pembahasan, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut: Pelaksanaan Eksekusi Putusan
Hadhanah di Pengadilan Agama adalah: secara prosedural, proses
pengajuan permohonan eksekusi hadhanah sampai pada tahap
perintah pelaksanaan eksekusi tidak banyak hambatan karena sudah
dilaksanakan sesuai aturan yang berlaku. Namun, secara fakta, ketika
proses pelaksanaan eksekusi di lapangan, terdapat beberapa
kesulitan. sehingga eksekusi putusan hadhanah banyak yang tidak
berhasil dilakukan dan putusan menjadi illusoir. Faktor penyebab
eksekusi putusan hadhanah tidak dapat dilaksanakan di lapangan
adalah: Pihak tergugat enggan menyerahkan anak kepada pihak
penggugat; pihak tergugat menghalangi-halangi dengan memberikan
ancaman untuk melakukan tindakan kekerasan apabila anak tersebut
diambil secara paksa; anak disembunyikan oleh pihak tergugat; anak sendiri
tidak mau kembali kepada penggugat.
Selama ini, eksekusi riil hanya berlaku untuk hukum kebendaan saja.
Objek eksekusi riil adalah benda. Jika benda, maka akan dengan mudah
mengalihkan dari pihak tergugat kepada pihak penggugat walaupun dengan
cara paksa. Eksekusi terhadap putusan hadhanah berbeda dengan eksekusi
riil lainnya. Eksekusi hadhanah harus memperhatikan kepentingan dan
psikologis anak, karena pengalihan anak dari tergugat kepada penggugat
secara paksa, apa lagi kalau penggugat itu bukan orangtua yang disayangi
anak, maka hal ini akan mempengaruhi dan menjadi beban psikologis bagi
anak. Kepentingan anak menjadi pertimbangan utama untuk melakukan
eksekusi hadhanah secara paksa.
Reformulasi Hukum Acara Peradilan Agama dalam
Pelaksanaan Eksekusi Putusan Hadhanah adalah menerapkan
lembaga dwangsom pada saat mengajukan perkara hadhanah ke
pengadilan agama. Lembaga dwangsom dapat menjadi instrumen
eksekusi jika penggugat yakin bahwa tergugat tidak akan mau
melaksanakan putusan hakim dan yakin bahwa pelaksanaan eksekusi
dilapangan akan mengalami kesulitan. Lembaga dwangsom dapat
menjadi solusi preventif, di mana dengan adanya hukuman dwangsom,
tergugat secara psychis akan merasa tertekan untuk segera
melaksanakan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap
secara sukarela. Selain itu, Ada upaya lain yang dapat dilakukan
dalam pelaksanaan putusan hadhanah di pengadilan agama, di mana

243
NURANI, VOL. 18, NO. 2, DESEMBER 2018: 227 -244

sebelum pengucapan putusan, Ketua Majelis Hakim dapat memanggil


dan memerintah pihak tergugat secara sukarela menyerahkan anak
dengan cara baik-baik kepada pihak penggugat dan anaknya sendiri
lebih dekat dengan penggugat dari pada dengan tergugat. Hal ini
tentunya dapat dilakukan jika pihak tergugat mau mendengarkan
saran hakim sebelum perkara hadhanah tersebut diputus dan
mempertimbangkan kepentingan kemaslahatan anak, sehingga
putusan yang akan diucapkan nanti tidak menjadi ilusoir (hampa).

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan


Agama, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2005.
A. Mukti Arto, Pembaharuan Hukum Islam melalui Putusan Hakim,
Yogyakarta, Pustaka Pelajara, 2015.
A. Mukti Arto, Penemuan Hukum Islam Demi Mewujudkan Keadilan:
Membangun Sistem Peradilan Berbasis Perlindungan Hukum dan
Keadilan, Yogyakarta, Pustaka Peajar, 2017.
Cik Basir, Penerapan Lembaga Dwangsom (Uang Paksa) di Lingkungan
Peradilan Agama, Yogyakarta, Deepublish, 2015.
Harifin A. Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan
implemtasinya di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group,
2010.
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,
Jakarta, Sinar Grafika,
M. Yahya Harahap, Beberapa Masalah dalam Hukum Acara pada Peradilan
Agama, Jakarta, Yayasan al-Hikmah, 1993.
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer,
Jakarta, Kencana Prenada Media, 2004.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta,
Liberty, 2006.
Mahkamah Agung RI, Beberapa Putusan Berkekuatan Hukum Tetap pada
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di Wilayah Hukum
Pengadilan Tinggi Jawa Barat, 1997.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

244

You might also like