You are on page 1of 22

 

Prophetica : Scientific and Research Journal of


Islamic Communication and Broadcasting
Volume 5 Nomor 2 (2019) 133-154
https://jurnal.fdk.uinsgd.ac.id/index.php/prophetica

Film sebagai Media Dakwah: Analisis Semiotika


Mutiara Cendekia Sandyakala1, Mukhlis Aliyudin2, Syukriadi Sambas3
1Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Program Pascasarjana,
UIN Sunan Gunung Djati, Bandung
2Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi,

UIN Sunan Gunung Djati, Bandung


3Jurusan Bimbingan dan Konseling, Fakultas Dakwah dan Komunikasi,

UIN Sunan Gunung Djati, Bandung


*Email : cendekiazaenalabidin@gmail.com

ABSTRACT
The purpose of this study is to gain an understanding of the symbols or signs used in the film of
Sang Pemikir and Pejuang KH Ahmad SanusiAs a medium to deliver da'wah through a series
of images (scene). To focus the research, then in this study refers to the semiotic model used,
namely Roland Barthes's semiotic, known as denotation, connotation and myth meaning. This
study uses Roland Barthes's semiotic theory, which consists of stages of denotation, namely objects
that describe the most obvious sign meanings, connotations namely word choice, emotive meaning
or evaluative meaning of the type of meaning in which stimulus and response contain emotional
values through messages that delivered so as to give birth to the meaning of da'wah messages and,
myths about encoding meaning and social values as something that is considered scientific so that
it can make a positive influence on film lovers through the da'wah messages contained therein.
The results of this study indicate that there are many da'wah messages contained in the film Sang
Pemikir and Pejuang KH Ahmad Sanusi, seen from the scenes in the film as a sign or symbol
of a mission message. Da'wah messages that are displayed through a scene in a film have a
meaning as a denotation that can educate, connotations that can provide information, and myths
that have meaning influencing positive direction for life.
Keywords: Film, Semiotics, Da'wah Message

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan pemahaman mengenai simbol-
simbol atau tanda-tanda yang digunakan pada Film Sang Pemikir dan Pejuang
Sebagai media penyampai dakwah melalui rangkaian gambar (scene). Untuk
memfokuskan penelitian, maka dalam penelitian ini mengacu pada model
semiotik yang digunakan, yaitu semiotik Roland Barthes, yang dikenal dengan
makna denotasi, konotasi dan mitos. Penelitian ini menggunakan teori semiotika
Roland Barthes, yaitu yang terdiri dari tahap denotasi yaitu objek yang
menggambarkan sebuah makna tanda yang paling nyata, konotasi yaitu pemilihan
kata-kata, makna emotif atau makna evaluatif suatu jenis makna dimana stimulus

Diterima: September 2019. Disetujui: November 2019. Dipublikasikan: Desember 2019 133
 
M. C. Sandyakala, M. Aliyudin, S. Sambas

dan respons mengandung nilai-nilai emosioal melalui pesan yang disampaikan


sehingga melahirkan sebuah makna pesan dakwah dan, mitos pengkodean makna
dan nilai-nilai sosial sebagai sesuatu yang dianggap ilmiah sehingga dapat
menjadikan pengaruh yang positif bagi penikmat fimnya melalui pesan dakwah
yang terkandung didalamnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat
banyak pesan dakwah yang terkandung dalam film Sang Pemikir dan Pejuang KH
Ahmad Sanusi, terlihat dari adegan-adegan dalam film tersebut sebagai sebuah
tanda atau simbol pesan dakwah. Pesan dakwah yang ditampilkan melalui sebuah
adegan dalam film memiliki makna sebagai denotasi yang dapat mengedukasi,
konotasi yang dapat memberikan sebuah informasi, dan mitos yang memiliki
makna mempengaruhi kepada arah yang positif untuk kehidupan.
Kata Kunci : Film, Semiotika, Pesan Dakwah

PENDAHULUAN
Dakwah dalam berbagai dimensinya memiliki wilayah kerja yang sangat luas yang
biasa disederhanakan dengan istilah dakwah bi al-Kalam (ceramah), bi al-Kitabah
(tulisan) dan dakwah bi al-Hal (dakwah dalam bentuk kegiatan nyata di lapangan)
(Azis, 2009: 87). Salah satu dari unsur dakwah adalah materi dakwah. Materi
dakwah dalam hal ini adalah isi pesan yang disampaikan kepada mitra dakwah
yang dimana pesan dakwah adalah ajaran Islam itu sendiri. Oleh karena itu,
hakikat isi pesan dakwah adalah pesan-pesan dakwah yang disampaikan kepada
mitra dakwah (Amin, 2001: 19-23).
Perkembangan media komunikasi saat ini menunjukkan perubahan cukup
mendasar. Banyak media yang dapat dijadikan alternatif untuk menyampaikan
pesan secara massif (dengan target penerima yang besar) dan dalam waktu yang
relatif cepat. Pemanfaatan media massa dalam aktivitas dakwah Islam juga
merupakan salah satu cara efektif dalam mengimbangi dan meminimalisir dampak
negatif yang ada dalam media tersebut.
Perkembangan teknologi membawa informasi yang tak mengenal batas
ruang dan waktu, dapat merambah ke segala arah, diterima oleh siapa saja yang
memerlukan. Derasnya arus informasi ini didukung oleh berbagai media sebagai
corong penyampai pesan baik itu komunikasi yang bersifat massa maupun pribadi
(Mulchias, 2008: 23). Di zaman yang serba canggih, kegiatan dakwah dapat
disampaikan dengan berbagai cara. Banyak media yang digunakan dalam
melakukan aktifitas dakwah, salah satunya media elektronik yaitu media film. Film
merupakan salah satu bentuk media massa yang dipandang mampu
mempengaruhi permintaan dan selera masyarakat akan hiburan disela aktifitas
yang padat. Pada perkembangan selanjutnya, film mulai beralih fungsi tidak hanya
untuk memenuhi kebutuhan akan hiburan masyarakat, tetapi juga menjadi wahana
penerangan, edukasi, penyampai informasi dan pengaruh positif yang memiliki
banyak nilai dan makna bagi kehidupan.
Dakwah dan perfilman tentu saling membutuhkan. Film merupakan hasil

134  Prophetica : Scientific and Research Journal of Islamic Communication and Broadcasting

 
Film sebagai Media Dakwah: Analisis Semiotika

karya yang sangat unik dan menarik, karena menuangkan gagasan dalam bentuk
gambar hidup, dan disajikan sebagai hiburan yang layak dinikmati oleh masyarakat
(Effendi, 2002: 110). Tetapi dalam pembuatan film harus memiliki daya tarik
tersendiri, sehingga pesan moral yang akan disampaikan bisa ditangkap oleh
penonton dapat tersampaikan secara efektif. Film berperan sebagai sarana baru
yang digunakan untuk menyebarkan hiburan dan dakwah yang sudah menjadi
kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa dan sajian teknis lainnya
kepada masyarakat umum (Effendi, 2002: 135). Film sebagai salah satu media
massa dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah, film menjadi media yang
cukup efektif dalam menyampaikan pesan dakwah.
Film Sang Pemikir dan Pejuang dikemas begitu menarik, alur cerita yang
maju, mundur, serta pengisahan konflik-konflik dan perjuangan membuat para
penonton semakin mengenal sejarah dan tercerahkan, membuat film ini semakin
bagus dan berkualitas. Namun sebuah film yang bagus dan berkualitas bukan
hanya dilihat dari alur ceritanya saja tetapi harus mempunyai pesan moral maupun
dakwah yang ingin disampaikan melalui film sebagai media dakwah kepada
penonton.
Film Sang Pemikir dan Pejuang, bukan proyek film komersial. Semua
berangkat dari pemikiran KH Ahmad Sanusi dan perjuangannya. Film ini dibuat
sebagai bentuk apresiasi terhadap KH Ahmad Sanusi, ulama pejuang dan pemikir
yang patut dibanggakan. KH Ahmad Sanusi adalah seorang Kiyai yang mampu
menjembatani secara logis perbedaan faham keagamaan. KH Ahmad Sanusi
tampil sebagai sosok Kiyai yang mempu menetralisasi keresahan umat islam di
lingkungannya dalam menghadapi proses yang disebut gerakan reformasi dan
pemurnian kehidupan beragama.
KH Ahmad Sanusi meninggalkan semangat kebangsaan, semangat
persatuan, dan semangat pembaharuan. Sebagai seorang ulama dan pejuang, KH
Ahmad Sanusi tidak mengharapkan penghargaan dalam bentuk apapun dari
umatnya. Beliau berjuang semata-mata ingin menegakkan ajaran Islam agar bangsa
bumi putera tidak bergantung pada bangsa asing. Kecakapan ilmu pengetahuan
yang KH Ahmad Sanusi miliki, tidak heran banyak masalah-masalah yang dibahas
secara tuntas oleh KH Ahmad Sanusi baik masalah yang berhubungan dengan
masalah pemikiran keagamaan yang berkembang saat itu termasuk yang
menyangkut gerakan-gerakan pembaharuan, maupun masalah-masalah yang
berhubungan dengan kemasyarakatan dan keagamaan (Falah, 2009: 134).
Dengan ini, film yang dijadikan sebagai media dakwah cukup efektif dalam
menyebarkan pesan-pesan agama kepada khalayak dengan memberikan kesan
atau cerita yang dikemas dengan ringan, tidak kaku, menghibur, tanpa melupakan
dalm memberikan motivasi dengan memberikan pesan-pesan agama menurut
kaidah-kaidah Islam, sehingga penikmat film tidak jenuh dalam menerima isi
pesan dari cerita film tersebut dan dapat menarik perhatian penonton dalam
mempelajari isi maupun nilai-nilai dakwah tersebut. Oleh karena itu, alasan
digunakannya penelitian ini, pertama bahwa objek yang akan di kaji untuk
diungkap maknanya adalah melalui tanda-tanda, lambang, bahkan simbol yang ada

Volume 5 Nomor 2 (2019) 133-154  135

 
M. C. Sandyakala, M. Aliyudin, S. Sambas

di dalam film Sang Pemikir dan Pejuang KH Ahmad Sanusi. Teori Semiotika
Roland Barthes dipilih karena teori inilah yang memberikan kedalaman dalam
memaknai sebuah pesan dalam film.
Didalam film Sang Pemikir dan Pejuang KH Ahmad Sanusi terdapat banyak
adegan dan dialog yang mengandung pesan-pesan dakwah. Dengan latar belakang
tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut guna memahami
pesan apa yang sebenarnya hendak disampaikan melalui makna simbolis mengenai
pesan dakwah dalam film Sang Pemikir dan Pejuang KH Ahmad Sanusi melalui
pendekatan semiotika Roland Barthes. Didalam film Sang Pemikir dan Pejuang
KH Ahmad Sanusi terdapat banyak adegan dan dialog yang mengandung pesan-
pesan dakwah. Dengan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk
mengetahui lebih lanjut guna memahami pesan apa yang sebenarnya hendak
disampaikan melalui makna simbolis mengenai pesan dakwah dalam film Sang
Pemikir dan Pejuang KH Ahmad Sanusi melalui pendekatan semiotika Roland
Barthes. Sebab dalam dunia perfilman, khususnya bagi sutradara ada pesan atau
simbol-simbol yang disampaikan melalui film sebagai media dakwah.
Studi analisis semiotika tentang pesan dakwah daam film Sang Pemikir dan
Pejuang, mencoba menelaah dan menganalisa pemahaman mengenai simbol-
simbol atau tanda-tanda yang digunakan pada Film Sang Pemikir dan Pejuang
Sebagai media penyampai dakwah melalui rangkaian gambar (scene) mengacu
pada teori semiotik yang digunakan, yaitu semiotik Roland Barthes, yang dikenal
dengan makna denotasi, konotasi dan mitos, sehingga dapat memehami pesan
atau simbol-simbol yang tersurat maupun yang tersirat melalui dialog,
pengambilan gambar dan gerak yang terdapat dalam setiap adegan dalam film
tersebut dari segi edukasi, dalam memberikan informasi dan juga pengaruh positif
dengan makna pesan dakwah yang terkandung dalam setiap adegan dalam film
tersebut (Barthes, 2007: 97).
Mengenai penelitian mengenai film sebagai media dakwah bukan
merupakan suatu penelitian yang baru, sudah ada yang melakukan, seperti
penelitian yang dilakukan Silvia Riskha Fabriar (2009) dengtan judul “Pesan
Dakwah Dalam Film Perempuan Berkalung Sorban (Anallisis Pesan Tentang
Kesetaraan Gender Dalam Prespektif Islam) “Jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam, Fakultas Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semmarang.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pesan dakwah tentang kesetaraan gender
yang terkandung dalam film perempuan berkalung sorban adalah yang
berhubungan dengan syariah dan bidang muamalah. Pesan tersebut disajikan
dalam dua bentuk yaitu bidang domestik dan bidang publik. Penelitian lainnya
seperti yang dilakukan oleh Yana Ahmad Rifa’i (2015) Institut Agama Islam
Negeri Sultan Maulana Hassanudin Banten, Fakultas Ushuluddin, Dakwah dan
Adab, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Judul Penelitian “Pesan Dakwah
dalam Film (Studi Analisis Film “99 Cahaya di Langit Eropa”Karya Guntur
Soeharjanto). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui simmbol atau tanda
dalam setiap adegan dan dialog yang mengandung pesan dakwah Islam dalam film

136  Prophetica : Scientific and Research Journal of Islamic Communication and Broadcasting

 
Film sebagai Media Dakwah: Analisis Semiotika

99 Cahaya di Langit Eropa ditinjau dari teori semiotika Roland Barthes. Penelitian
ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis
Analisis semiotika Roland Barthes untuk menganalisis simbol atau tanda
dalam setiap adegan dan dialog yang mengandung pesan dakwah Islam.
Sedangkan penelitian lainnya adalah Nurul Fajri Utami (2013) dengan judul Studi
Semiotika Pesan Moral dalam Film Hafalan Shalat Delisa. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis analisis teks media. Bentuk
analisis yng digunakan adalah analisis semiotika signifikasi dua tahap Roland
Barthes yaitu menganalisis petanda dan penanda pada degan film. Data pada
penelitian ini dikumpulkan melalui riset kepustakaan dan proses dokumentasi,
kemudian makna konotatif yang didapatkan dan dianalisis secara mendalam untuk
mencari mitos. Mengkaji makna pesan yang ada dibalik adegan-adegan dalam film
“Hafalan Shalat Delisa” bertujuan untuk mengkaji makna adegan yang
mrepresentasika nilai ssial, nilai keagamaan dan pesan moral secara mendalam.
Objek penelitian ini adalah film “Sang Pemikir dan Pejuang KH Ahmad
Sanusi”, sedangkan subjek penelitiannya adalah potongaan adegan visual ataupun
narasi dialog sebagai makna dan petanda film sebagai media dakwah dalam film
Sang Pemikir dan Pejuang yang berkaitan dengan pesan dakwah yang disampaikan
dalam ini.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan pemahaman mengenai
simbol-simbol atau tanda-tanda yang digunakan pada Film Sang Pemikir dan
Pejuang Sebagai media penyampai dakwah melalui rangkaian gambar (scene).
Penelitian ini menggunakan paradigma paradigma konstruktivis. Paradigma
konstruktivis ini memandang bahwa ilmu sosial sebagai analisis sistematis
terhadap socially meaningful action melalui pengamatan langsung dan terperinci
terhadap pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara atau
mengola dunia sosial mereka (Hidayat: 2003, 89). Paradigma kontruktivis memiliki
beberapa kriteria yang membedakannya dengan paradigma lainnya, yaitu,
ontologi, epistemologi, dan metodologi. Pada level ontologi, paradigma
konstruktivis melihat kenyataan sebagai hal yang ada tetapi realitas bersifat
majemuk, dan maknanya berbeda bagi tiap orang. Dalam epistemologi, peneliti
menggunakan pendekatan subjektif karena dengan cara itu bisa menjabarkan
pengkonstruksian makna oleh individu. Dalam metodologi, paradigma ini
menggunakan berbagai macam jenis pengkonstruksian dan menggabungkannya
dalam sebuah konsensus. Proses ini melibatkan dua aspek, yaitu hermeneutik dan
dialetik. Hermeneutik merupakan aktivitas dalam mengkaji teks, percakapan,
tulisan, atau gambar. (Hidayat, 2003: 53).
Metode yang digunakan adalah metode analisis semiotik, secara singkat
dapat dinyatakan bahwa analisis semiotik merupakan cara atau metode untuk
menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang pesan
atau teks. Selain itu semiotik adalah suatu ilmu atau metode untuk mengkaji dan
menganalisis tanda. Tanda-tanda adaalah perangkat yang dipakai dalam upaya
berusaha mencari jalan atau solusi dalam menganalisis bahan penelitian.

Volume 5 Nomor 2 (2019) 133-154  137

 
M. C. Sandyakala, M. Aliyudin, S. Sambas

LANDASAN TEORITIS
Film atau gambar hidup juga sering disebut movie. Film secara kolektif sering
disebut “sinema”. Gambar hidup adalah bentuk seni, bentuk populer dari hiburan
dan juga bisnis. Film dihasilkan dengan rekaman dari orang dan benda (termasuk
fantasi dan figur palsu) dengan kamera, dan atau oleh animasi. Film dalam hal ini
adalah filt teatrikal yaitu film yang secara khusus untuk dipertunjukkan di gedung-
gedung pertunjukan. Secara harfiah, film (sinema) adalah sinematografi yang
berasal dari kata cinema (gerak), tho atau phytos (cahaya), dan graphie atau grhap
(tulisan, gambar, citra). Jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya.
Agar dapat melukis gerak dengan cahaya, harus menggunakan alat khusus, yang
biasa disebut kamera.
Film adalah alat komunikasi massa yang mengoperasikan lambang-lambang
komunikasinya dalam bentuk bayangan hidup di atas bayangan putih, hal ini
dilakukan atas bantuan proyektor, sedangkan filmnya sendiri adalah rentetan foto
di atas seloid. Film adalah alat komunikasi massa yang mengoperasikan lambang-
lambang komunikasinya dalam bentuk bayangan hidup di atas bayangan putih, hal
ini dilakukan atas bantuan proyektor, sedangkan filmnya sendiri adalah rentetan
foto di atas seloid.
Film memberikan pengaruh yang besar pada jiwa manusia. Dalam satu
proses menonton film, terjadi suatu gejala yang disebut oleh ilmu jiwa sosial
sebagai identifikasi psikologis. Ketika proses decoding terjadi, para penonton
kerap menyamakan atau meniru seluruh pribadinya dengan peran film. Penonton
bukan hanya dapat memahami atau merasakan seperti yang dialami oleh salah satu
pemeran, lebih dari itu mereka juga seolah-olah mengalami sendiri adegan-adegan
dalam film.
Pengaruh film akan membekas dalam jiwa penonton. Lebih jauh pesan itu
akan membentuk karakter penonton. Pengaruh film terhadap jiwa manusia
disebabkan karena, pertama disebabkan oleh suasana didalam gedung bioskop,
dan kedua dikarenakan sifat dari media massa itu sendiri, pada saat film akan
dimulai, lampu-lampu dimatikan, pintu-pintu ditutup, sehingga dalam ruangan itu
sangat gelap sekali. Tiba-tiba tampak pada layar besar yang dihadapanya tampak
gambar-gambar yang merupakan cerita yang pada umumnya bersifat drama.
Seluruh mata tertuju pada layar, segenap perhatian dan seluruh perasan tercurah
pada film.
Media dakwah melalui seni dan budaya sangat efektif dan terasa signifikan
dalam hal penerapan idfeologi Islam. Film dakwah adalah peluang yang baik bagi
pelaku dakwah ketika efek dari film tersebut bisa diisi dengan konten-konten
ajaran keislaman dalam cerita dan adegannya. (Arifin, Anwar, 2011).
Film sebagai media komunikasi bisa menjadi suatu tontonan yang
menghibur juga bisa menjadi tontonan sebagai tuntunan dengan terdapatnya
pesan-pesan dakwah didalamnya. Selama ada nilai-nilai kebaikan yang di
propagandakan kepada penonton melalui film tersebut, maka itu sudah bisa
dikatakan sebagai film dakwah. Media dakwah merupakan salah satu komponen
138  Prophetica : Scientific and Research Journal of Islamic Communication and Broadcasting

 
Film sebagai Media Dakwah: Analisis Semiotika

dakwah, sekalipun media dakwah bukan penentu utama bagi kegiatan dakwah,
akan tetapi media ikut memberikan andil yang besar untuk kesuksesan dakwah.
Pesan dakwah yang penting dan perlu selera diketahui semua lapisan masyarakat,
mutlak memerlukan media radio, koran, majalah maupun film. Media dakwah
dapat berfungsi secara efektif bila dapat menyesuaikan diri dengan pendakwah,
pesan dakwah, dan mitra dakwah. Selain ketiga unsur utama ini, media dakwah
juga perlu menyesuaikan diri dengan unsur-unsur dakwah yang lain, seperti
metode dakwah dan logistik dakwah. Pilihan media dakwah sangat terkait dengan
kondisi unsur-unsur dakwah. (Bungin, Burhan, 2008: 97)
Film menunjukkan sejarah yang ditinggalkan pada masa lampau,
menunjukkan masa kini, dan keinginan manusia terhadap masa yang akan datang,
sehingga dalam perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha menampilkan
cerita bergerak (Moving Images), namun juga diikuti oleh muatan-muatan
kepentingan tertentu. Maka dengan perkembangan teknologi informasi yang
semakin maju, telah menciptakan perubahan dalam banyak hal, sehingga beragai
kalangan berlomba untuk memanfaatkan teknologi canggih untuk dijadikan media
komunikasi sebagai sarana dakwah.
Dakwah Islami melalui kecanggihan teknologi dengan memanfaatkan
informasi modern seperi film akan lebih efisien daripada dakwah kultural yang
masih harus menyesuaikan dengan kondisi budaya masing-masing daerah. Karena
selain film sebagai media komunikasi, film juga dapat berfungsi sebagai media
dakwah, yaitu untuk mengajak kepada kebenaran dan kembali pada jalan Allah
SWT. Faridl, Miftah. 2000: 19)
Film sebagai media dakwah, tentunya mempunyai kelebihan-kelebihan
tesendiri dibandingan dengan media lainnya. Dengan kelebihan itulah film dapat
menjadi media dakwah yang efektif, dimana pesan-pesannya dapat tersampaikan
kepada penonton secara halus dan berkesan. Oleh karena aitu, selain film hadir
dalam bentuk penglihatan dan pendengaran, film juga dapat memberikan
pengalaman-pengalaman baru kepada para penonton, seperti adanya nuansa
perasaan dan pemikiran.
Dengan demikian, film dengan menampilkan kebudayaan Islam dan
membawa misi bagi keselamatan bagi seluruh umat manusia, nampak sudah
semakin penting untuk menjadikan bahan pemikiran yang serius b0agi kalangan
muslim, khususnya mereka yang bergerak di bidang dakwah.
Keberadaan dakwah sangat urgen dalam Islam. Dakwah dan Islam tidak
bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya.
Karena pentingnya dakwah itulah, maka dakwah bukan pekerjaan yang
difikirkan dan dikerjakan sambil lalu saja melainkan suatu pekerjaan yang telah
diwajibkan bagi setia pengikutnya. Dasar kewajiban dakwah tersebut terdapat
dalam kedua sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadist. Agama Islam
adalah agama yang menganut ajaran kitab Allah yakni Al-Qur’an yang mana
merupakan sumber utama ajaran-ajaran Islam. Di dalam Al-Qur’an banyak sekali
yang membahas tentang masalah dakwah. Oleh karena itu materi dakwah Islam
dari sumber Al-Qur’an. Didalam Sunnah Rasul banyak kita temui Hadist-Hadist

Volume 5 Nomor 2 (2019) 133-154  139

 
M. C. Sandyakala, M. Aliyudin, S. Sambas

yang berkaitan dengan dakwah. Begitu juga sejarah hidup, perjuangan dan cara-
cara yang dipakai dalam menyiarkann dakwah.
Jadi, pengertian dakwah merupakan sebuah kegiatan atau ajakan, yang mana
dakwah tersebut dapat dilakukan secara sadar dan be0rencana, tentunya dalam
upaya mempengaruhhi orang lain baik secara individu maupun secara keompok,
supaya timbul dalam dirinya sebuah kesadaran, baik dalam sikap penghayatan
maupun pengalaman terhadap ajaran agama Islam, dan sebagai pesan yang
disampaikan kepadanya tanpa ada faktor keterpaksaan dari siapapun.
Secara umum, definisi dakwah menunjuk pada kegiatan yang be0rtujuan
perubahan positif dalam diri manusia. Perubahan positif ini diwujudkan dengan
peningkatan iman, mengingat sasaran dakwah adalah iman. Unsur-unsur dakwah
adalah komponen-komponen yang selalu ada dalam setiap kegiatan dakwah.
Unsur-unsur dakwah adalah faktor atau muatan-muatan yang mendukung
aktivitas dakwah itu sendiri, artinya satu kesatuan yang saling mendukung dan
mempengaruhi antara unsur satu dengan yang lainnya, antara lain : (a) Subjek
Dakwah. Yang dimaksud dengan subjek dakwah adalah da’i. Da’i adalah orang
yang melaksanaka dakwah baik lisan maupun tulisan atau pun perbuatan baik
secara individu, kelompok atau berbentuk organisasi atau lembaga. Da’i sering
disebut kebanyakan orang dengan mubaligh (orang yang menyampaikan ajaran
Islam). (b) Objek Dakwah. Objek Dakwah (mad’u) adalah merupakan sasaran
dakwah. Yang tertuju pada masyarakat luas, mulai diri pribadi, keluarga,
kelompok, baik yang menganut Islam maupun tidak, dengan kata lain manusia
secara keseluruhan. (c) Metode Dakwah. Secara etimologi, metode berasal dari
bahasa Yunani, Motodos yang berarti cara atau jalan. Jadi metode dakwah adalah
jalan atau cara untuk mencapai tujuan yang dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Bagaimanapun caranya, ada beberapa dasar metode dalam melakukan dakwah
yang lebih efisien. Dakwah bertujuan menciptakan suatu tatanan kehidupan
individu dan masyarakat yang aman, damai dan sejahtera yang dinaungi oleh
kebahagiaan, baik jasmani maupun rohani, dalam pancaran sinar agama Allah
dengan mengharap ridho-Nya.
Tujuan dakwah adalah suatu faktor yang menjadi pedoman arah proses yang
dikendalikan secara sistematis dan konsisten. Dalam kegatan dakwah selalu terjadi
proses interaksi, yaitu antara hubungan da’i dengan mad’u (objek dakwah).
Interaksi dalam prposes dakwah ini ditunjukan menpengaruhi mad’u yang akan
membawa perubahan sikap dengan tujuan dakwah itu mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat.
Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami
dunia sebagai sistem hubungan yang dimiliki unit dasar yang disebut dengan
“tanda”, dengan demikian, semiotik mempeajari hakikat tentang keberadaan suatu
tanda.
Studi sistematis tentang tanda-tanda dikenal sebagai seminologi. Arti
harfiah adalah “kata-kata mengenai tanda-tanda”. Kata semi dalam semiologi
berasal dari semion (bahasa latin), yang artinya “tanda-tanda”. Semiologi telah

140  Prophetica : Scientific and Research Journal of Islamic Communication and Broadcasting

 
Film sebagai Media Dakwah: Analisis Semiotika

dikembangkan untuk menganalisis tanda-tanda. Semiotika berhubungan dengan


antara tanda, penanda, dan pikiran manusia. Tradisi ini sangat berpengaruh dalam
membantu kita melihat bagaimana tanda dan simbol digunakan, apa maknanya,
dan bagaimana mengaturnya. Biasanya terdiri atas campuran simbol-simbol yang
diatur secara spesial dan kronologis untuk menciptakan sebuah kesan,
menyampaikan sebuah gagasan, atau memunculkan sebuah pemaknaan pada
audiens. Semiotika telah memberikan alat bantu yang kuat untuk menguji
pengaruh media massa, bagi ahli semiotika, isi adalah penting, tetapi isi merupakan
hasil dari penggunaan tanda-tanda. (LittleJohn, 2009: 134)
Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis semiotika.
Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk
berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang
diharapkan. Yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara, kata yang
diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi gambar-
gambar) dan musik film. Sistem semiotika yang lebih penting lagi dalam film
adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tandatanda yang menggambarkan
sesuatu. (Budiman, Kris. 2003: 115)
Analisa semiotik berupaya menemukan makna tanda termasuk hal-hal yang
tersembunyi di balik sebuah tanda. Karena sistem tanda sifatnya amat kontekstual
dan bergantung pada penggunaan tanda tersebut. Pemikiran pengguna tanda
merupakan hasil pengaruh dari berbagai kontruksi sosial di mana pengguna tanda
tersebut berada (Kriyantono, 2006:264).
Yang dimaksud “tanda” ini sangat luas , dibedakan atas lambang (symbol),
ikon (icon),indeks (index) (Kriyantono, 2006: 264). Dapat dijelaskan sebagai
berikut: (a) Lambang: suatu tanda di mana hubungan antara tanda dan acuannya
merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara konvensional. (b) Lambang ini
adalah tanda yang dibentuk karena adanya consensus dari para pengguna tanda.
Warna merah bagi masyarakat Indonesia adalah lambang berani, mungkin di
Amerika bukan. (c) Ikon: suatu tanda di mana hubungan antara tanda dan
acuannya berupa hubungan kemiripan. Jadi, ikon adalah bentuk tanda yang dalam
berbagai bentuk menyerupai objek dari tanda tersebut. Patung kuda adalah ikon
dari seekor kuda.
Indeks: suatu tanda di mana hubungan antara tanda dan acuannya timbul
karena ada kedekatan eksistensi. Jadi indeks adalah suatu tanda yanmg mempunyai
hubungan langsung (kausalitas) dengan objeknya.
Fokus perhatian Barthes lebih tertuju kepada gagasan tentang signifikasi
dua tahap atau dua tatanan pertandaan (two order of signification) yang terdiiri dari
first orderof signification yaitu denotasi, dan second order of signification yaitu konotasi.
Tatanan yang pertama mencakup pertanda yang berbentuk tanda yang disebut
makna denotasi.
Semiotika atau dalam istilah Barthes, semiologi pada dasarnya hendak
mempelajari bagaimana keanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).

Volume 5 Nomor 2 (2019) 133-154  141

 
M. C. Sandyakala, M. Aliyudin, S. Sambas

“Memaknai (to signify) dalam hal ini ridak dapat dicampuradukka dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek
tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem
terstruktur dari tanda” (Kurniawan, 2001: 53).
Roland Barthes dalam membedah mitos-mitos budaya massa (2007)
menyatakan :
“Tanda dan lambang tersebut dapat dianalisis dengan memahami teks
sebgaai mitos. Mitos di sini bukanah seperti cerita-cerita tradisional, namun
dalam kacamata Barthes, mitos adalah semacam wicara ( a type of speech), cara
mengungkapkan sesuatu. Segalanya dapat menjadi mitos asal hal itu
disampaikan lewat wacana (discourse). Dalam kerangka Barthes, konotasi
identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai “mitos”, dan
berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-
nilai dominan yang berlaku pada suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga
terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda, namun juga sebagai
suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang
telah ada sebelumnya, atau dengan kata lain, mitos juga adalah suatu sistem
pemaknaan tataran kedua.
Pertimbangan Barthes menempatkan ideologi dengan mitos karena, baik
dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda denotatif dan petanda
konotatif terjadi secara termotivasi (Budiman, dalam Sobur, 2006:71). Seperti
Marx, Barthes juga memahami ideologi sebagai kesadaran palsu yang membuat
orang hidup di dalam imajiner dan ideal, meski realitas hidupnya yang
sesungguhnya tidaklah demikian. Ideologi mewujudkan dirinya melalui berbagai
kode yang merembes masuk ke dalam teks dalam bentuk penanda-penanda
penting, seperti tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain.
Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda.
Konotasi islah kata yang digunakan Barthes untuk menjelaskan signifikasi tahap
kedua. Hal ini menggambarkan yang terjadi ketika gambar bertemu dengan
perasaan atau emosi dari pembaca serta nili-nilai dari kebudayaannya. Konotasi
mempunyai nilai subyektif atau paling tidak intersubyektif. Pemilihan kata-kata
kadang merupakan pilihan terhadap konotasi, misalnya kata “penyuapan” dengan
“memberi uang pelicin”. Dengan kata lain, deotasi adalah apa yang digambarkan
tanda terhadap sebuah obyek, sedangan konotasi adalah adalah bagaimana
menggambarkannya (Sobur, Alex, 2012: 87). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda
konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan, namun juga mengandung
kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaaannya. Sesungguhnya
inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi
Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif.
Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan ini, tanda bekerja
melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau
memahami beberapa aspek tetang realitas atau gejala alam. Jadi, mitos dalam
pemahaman semiotika Rolan Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai

142  Prophetica : Scientific and Research Journal of Islamic Communication and Broadcasting

 
Film sebagai Media Dakwah: Analisis Semiotika

sosial sebagai sesuatu yang dianggap alamiah (Barthes, Roland. 2012: 121).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Komunikasi dakwah ahli hikmah kepada pasien dengan pendekatan terapeutik
dilakukan di empat kecamatan kabupaten Subang, yaitu kecamatan Jalancagak,
Kasomalang, Dawuan dan Subang. Penentuan keempat kecamatan tersebut
didasarkan pada ketersediaan data utama penelitian berkaitan dengan keberadaan
ahli hikmah yang melakukan komunikasi dakwah kepada pasien dengan
menggunakan pendekatan terapeutik.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh temuan bahwa praktek komunikasi
dakwah melalui pendekatan terapeutik dilakukan oleh ahli hikmah sebagai
penyampai pesan yang berperan sebagai da’i. Hal ini didasarkan pada aktivitas ahli
hikmah yang melakukan dakwah di tengah-tengah praktek pengobatan yang
dijalankannya. Dakwah tersebut disampaikan kepada para pasien sebagai
penerima pesan dakwah yang berperan sebagai mad’u.
Penerapan Komunikasi Dakwah Ahli Hikmah dengan Pendekatan
Terapeutik
Dakwah pada dasarnya merupakan proses penyelenggaraan suatu usaha yang
dilakukan dengan sadar dan sengaja, baik dengan cara mengajak orang untuk
beriman dan mentaati Allah Swt, atau memeluk agama Islam dan juga
menjalankan amar ma’ruf nahi munkar untuk mencapai tujuan kebahagiaan dan
kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat (Tajiri, 2015: 16). Merujuk kepada
makna tersebut, maka dakwah berarti memperjuangkan yang ma’ruf dan mencegah
dari kemunkaran sesuai dengan ajaran-ajaran yang telah ditetapkan oleh Allah Swt
agar manusia menjadi tunduk dan patuh kepada Allah Swt.
Sebagai suatu aktivitas yang di dalamnya berisi ajakan atau seruan, maka
proses dakwah berkaitan erat dengan persoalan komunikasi. Sehingga aktivitas
dakwah merupakan kegiatan komunikasi dimana seorang pendakwah (da’i)
mengkomunikasikan pesan dakwahnya kepada orang yang didakwahi (mad’u), baik
secara kelompok maupun personal. Dan sebelum suatu pesan dakwah dapat
dikonstruksikan untuk disampaikan kepada komunikan dengan tujuan
mempengaruhi dan mengajak di dalamnya harus terdapat materi/ pesan dakwah
yang dirumuskan sesuai dengan ajaran Islam.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa aktivitas dakwah merupakan
sebuah kewajiban setiap umat Islam untuk mengamalkan, mengajak dan menyeru
kepada orang lain dalam hal amar ma’ruf dan nahi munkar agar manusia dapat
mematuhi Allah Swt dalam ketaatan dan keimanan kepada Allah Swt. Aktivitas
dakwah ini pada prakteknya sangat beragam dilakukan oleh umat Islam sesuai
dengan konteks pendekatan, media dan sasarannya masing-masing. Salah satunya
adalah aktivitas dakwah yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan
terapeutik dengan sasaran dakwah yakni para pasien. Kondisi ini seperti terjadi di
kabupaten Subang dimana dakwah dilakukan kepada para pasien dengan memakai

Volume 5 Nomor 2 (2019) 133-154  143

 
M. C. Sandyakala, M. Aliyudin, S. Sambas

pendekatan terapeutik. Jika pada umumnya dakwah dilakukan oleh seorang ulama
sebagai da’i atau muballigh, maka pada konteks dakwah dengan pendekatan
terapeutik kepada pasien di kabupaten Subang, pelaku dakwah adalah seorang ahli
hikmah yang biasa melakukan pengobatan spirital kepada para pasien.
Melihat karakteristik yang paling khas dari bentuk komunikasi dakwah
yang dilakukan oleh ahli hikmah dengan pendekatan terapeutik kepada pasien di
kabupaten Subang tersebut, adalah bahwa sasaran dakwah bukanlah masyarakat
secara luas melainkan mereka para pasien yang sedang sakit. Kondisi ini tentunya
dapat dipahami bahwa para pasien memiliki ciri-ciri khas sebagai sekelompok
manusia yang sedang mengusahakan kesembuhan atas penyakitnya. Dengan
demikian bentuk dakwah ahli hikmah dengan pendekatan terapeutik di kabupaten
Subang dilakukan dengan sasaran dakwah berupa kelompok kecil masyarakat yang
sedang mengalami sakit.
Bentuk penerapan komunikasi dakwah sebagaimana terjadi di kabupaten
Subang yang dilakukan oleh ahli hikmah dengan pendekatan terapeutik kepada
pasien, apabila ditinjau dari sudut pandang ilmu komunikasi dakwah tergolong ke
dalam bentuk dakwah fardiyah. Dakwah fardiyah adalah bentuk komunikasi dakwah
yang dilakukan secara face to face atau perorangan dalam rangka untuk menegakkan
amar ma’ruf nahi munkar. Dakwah fardiyah juga dimaknai sebagai konsentrasi
dengan dakwah atau berbicara dengan mad’u secara tatap muka atau dengan
sekelompok kecil dari manusia yang mempunyai ciri-ciri dan sifat-sifat khusus
(Nuh, 2000: 47). Dalam hal ini sifat-sifat khusus tersebut tentunya melekat pada
diri pasien yang digolongkan sebagai kelompok manusia yang sedang menderita
sakit. Oleh karena bentuk dakwah fardiyah dilakukan oleh seorang da’i kepada
mad’u secara tatap muka dakwah fardiyah cenderung menggunakan komunikasi
antarpribadi atau interpersonal. Komunikasi ini dalam konteks kasus komunikasi
dakwah ahli hikmah dengan pendekatan terapeutik terjalin di antara ahli hikmah
dan para pasien yang bersifat antarpribadi atau interpersonal.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diperoleh temuan bahwa
penerapan komunikasi dakwah ahli di kabupaten Subang terhadap para pasien
melibatkan berbagai unsur-unsur yang meliputi: Pertama, Penyampai pesan
dakwah (komunikator/da’i), yakni seseorang yang bertindak sebagai pelaku utama
yang menjalankan aktivitas dakwah. Dalam hal ini penyampai pesan dakwah atau
komunikator/da’i yang dimaksud adalah ahli hikmah itu sendiri yang menjadi
pelaku utama penerapan dakwah dalam aktivitas pengobatan terhadap para
pasien. Mereka para ahli hikmah pada umumnya adalah seorang yang memiliki
kemampuan khusus yang dapat dimanfaatkan untuk membantu proses
penyembuhan pasien. Pada umumnya latar belakang ahli hikmah adalah seorang
santri yang dahulunya pernah mesantren atau belajar di pondok pesantren; Kedua,
Pesan dakwah yang disampaikan oleh ahli hikmah selaku komunikator kepada para
pasien selaku komunikan atau penerima pesan dakwah. Pesan dakwah yang
disampaikan ini pada dasarnya berisikan materi-materi yang bersumber dari ajaran
Islam. Ketiga, Metode dakwah, yakni suatu cara yang digunakan dalam

144  Prophetica : Scientific and Research Journal of Islamic Communication and Broadcasting

 
Film sebagai Media Dakwah: Analisis Semiotika

menyampaikan pesan dakwah. Metode dakwah yang digunakan oleh ahli hikmah
ini secara umum dilakukan dengan menggunakan nasihat-nasihat islami yang
disampaikan kepada para pasien. Metode dengan menggunakan nasihat-nasihat
ini di dalam ilmu dakwah dikenal dengan al-Mau’idza al-Hasanah, yakni metode
dakwah yang di dalamnya mengandung unsur nasihat atau petuah dan bimbingan
kepada kebaikan. Penggunaan metode al-Mau’idza al-Hasanah pada penerapan
komunikasi dakwah ahli hikmah kepada pasien di kabupaten Subang ini dianggap
tepat mengingat dakwah yang dilakukan ahli hikmah tergolong ke dalam jenis
dakwah fardiyah, yakni dakwah yang dilakukan secara individu yang terjadi hanya
kepada para pasien yang meminta bantuan pengobatan kepada ahli hikmah.
Keempat, efek (atsar) atau tujuan dakwah sebagai hasil akhir atau tujuan dari
dilaksanakannya komunikasi dakwah ahli hikmah terhadap para pasien, dalam hal
ini adalah adanya perubahan sikap atau tingkah laku pasien yang sesuai dengan
tujuan dakwah itu sendiri, yaitu menjadikan pasien sebagai manusia yang lebih
baik dan bertakwa kepada Allah Swt.
Dari hasil wawancara dan observasi ahli hikmah yang melakukan
komunikasi dakwah di empat kecamatan di kabupaten Subang yaitu; pertama,
Sunarto di kecamatan dawuan, Kedua, Ruyani di kecamatan Jalancagak. Ketiga,
Ondi kecamatan Sagalaherang, Keempat, Gaos Kecamatan Subang.
Pesan Komunikasi Dakwah Ahli Hikmah Melalui Pendekatan Terapeutik
Salah satu unsur di dalam penerapan komunikasi dakwah ahli hikmah melalui
pendekatan terapeutik kepada para pasien di kabupaten Subang adalah adanya
pesan dakwah yang disampaikan oleh ahli hikmah selaku penyampai pesan
dakwah kepada para pasien selaku penerima pesan dakwah. Pesan dakwah ini di
dalamnya berisikan materi-materi ajaran Islam atau syari’at Islam dan bersumber
dari al-Qur’an dan Sunnah.
Pesan komunikasi dakwah ahli hikmah melalui pendekatan terapeutik
kepada pasien di empat kecamatan kabupaten Subang berupa materi-materi ajaran
Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Materi-materi yang
disampaikan di dalam pesan dakwah ahli hikmah tersebut meliputi materi akidah,
materi syari’ah dan akhlak.
Pertama, akidah yang merupakan hal yang paling pokok dan mendasar
dalam ajaran Islam mengingat kedudukannya sebagai pondasi keyakinan seorang
muslim terhadap Allah Swt. Bahkan bisa dikatakan bahwa akidah merupakan inti
dari ajaran Islam dimana setiap orang wajib mengimani Allah Swt sebagai Tuhan
semesta alam. Akidah berkaitan erat dengan urusan keimanan seseorang kepada
Allah Swt sebagai Tuhan semesta alam. Oleh karena itu masalah akidah ini
menjadi bagian sangat penting yang harus disampaikan di dalam aktivitas dakwah
untuk menguatkan keimanan kepada Allah Swt. Tanpa akidah yang kuat dan
kokoh, keimanan seorang muslim akan rapuh dan mudah digoyahkan sehingga
penanaman akidah menjadi persoalan penting untuk selalu disampaikan oleh
seorang da’i kepada mad’u dalam rangka menanamkan keyakinan kepada mad’u
agar keimanan mad’u menjadi bertambah kokoh kepada Allah Swt. Akidah

Volume 5 Nomor 2 (2019) 133-154  145

 
M. C. Sandyakala, M. Aliyudin, S. Sambas

didefinisikan sebagai sesuatu yang diyakini dan dipegang teguh, sukar sekali untuk
diubah. Ia beriman berdasarkan dalil-dalil yang sesuai dengan kenyataan, seperti
beriman kepada Allah Swt, para Malaikat Allah, kitab-kitab Allah, dan Rasul-rasul
Allah, adanya kadar baik dan buruk, dan adanya hari akhir (Qadir Ahmad, 2008:
116). Selanjutnya akidah Islam didefinisikan sebagai suatu sistem kepercayaan
Islam yang mencakup di dalamnya keyakinan kepada Allah Swt dengan jalan
memahami nama-nama dan sifat-sifatnya, keyakinan terhadap Malaikat, nabi-nabi,
kitab-kitab suci, serta hal-hal yang bersifat eskatologis (Ilyas, 2004: 4). Adanya
materi akidah yang disampaikan dalam komunikasi ahli hikmah di kabupaten
Subang dapat diidentifikasi dari penyampaian pesan ahli hikmah kepada pasien
mengenai perihal kesembuhan adalah atas kehendak Allah Swt yang memberikan,
pesan bahwa pada hakikatnya segala penyakit itu datang dari Allah Swt, pesan agar
tidak syirik dan hanya bergantung kepada Allah Swt dalam meraih kesembuhan.
Adapun perbuatan meminta bantuan kepada ahli hikmah di dalam pengobatan
hanyalah sebagai bentuk ikhtiar dan usaha saja yang sudah menjadi kewajiban bagi
manusia.
Kedua, syariah yakni hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah Swt untuk
hamba-hamba-Nya yang dibawa oleh seorang rasul Muhammad Saw, baik itu
sebagai hukum furu’ (cabang) dan al-‘amaliyah (perbuatan) dan untuknya
dihimpunlah “ilmu fiqh” (Djazuli, 2005: 1-2). Syaltut menjelaskan bahwa syari’ah
meru pakan cabang dari akidah yang merupakan pokoknya. Keduanya
mempunyai hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Akidah
merupakan fondasi yang dapat membentengi syari’ah, sementara syari’ah
merupakan perwujudan dari fungsi kalbu dalam berakidah (Syaltut, 1966: 12).
Bidang syariah ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang benar,
pandangan yang jernih, kejadian yang cermat terhadap hujjah atau dalil-dalil dalam
melihat setiap persoalan, sehingga umat Islam tidak terjerumus ke dalam
kejelekan, sementara yang diinginkan dalam dakwah adalah kebaikan (Munir,
2006: 26). Oleh sebab itu materi mengenai syari’ah di dalam dakwah penting untuk
disampaikan oleh seorang da’i kepada mad’u. Materi mengenai syariah dapat dilihat
dari pesan dakwah yang disampaikan oleh ahli hikmah kepada pasien mengenai
nasihat untuk lebih giat menjalankan shalat lima waktu dan tidak menunda-
nundanya, melaksanakan shalat tahajjud, berdzikir, berdo’a dan membaca al-
Qur’an.
Ketiga, akhlak yakni sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan
manusia di muka bumi. Sistem nilai yang dimaksud adalah ajaran Islam, dengan
al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai sumber nilainya serta ijtihad sebagai metode
berfikir Islami. Pola sikap dan tindakan yang dimaksud mencakup pola-pola
hubungan dengan Allah, sesama manusia (termasuk dirinya sendiri), dan dengan
alam (Nurdin, dkk: 1955: 2009). Para ahli bahasa mengartikan akhlak dengan
istilah watak, tabi’at, kebiasaan, perangai dan aturan (Aminuddin, 2006: 93). Secara
etimologis kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk jama’
(plural) dari kata khuluqun “‫ ”ﺧﻠﻖ‬yang menurut bahasa, berarti budi pekerti,

146  Prophetica : Scientific and Research Journal of Islamic Communication and Broadcasting

 
Film sebagai Media Dakwah: Analisis Semiotika

perangai, tingkah laku atau tabiat. Kata tersebut mengandung segi persesuaian
dengan perkataan khalaqun “‫”ﺧﻠﻖ‬yang berarti kejadian, yang juga erat
hubungannya dengan khalik “‫ ”ﺧﺎﻟﻖ‬yang berarti pencipta, demikian pula
makhluqun “‫ ”ﻣﺨﻠﻮﻕ‬yang berarti yang diciptakan. Perumusan pengertian akhlak
timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khalik
dengan makhluk (Mushtofa, 2008: 11)
Dengan demikian pesan akhlak di dalam ilmu komunikasi dakwah
memiliki keterkaitan erat dengan pesan mengenai perangai atau kebiasaan
manusia, perangai atau kebiasaan tersebut baik berupa akhlak manusia terhadap
Allah Swt, akhlak manusia terhadap sesama manusia dan akhlak manusia terhadap
alam semesta dan lingkungannya. Sehingga kemudian akhlak bisa berarti positif
dan bisa pula negatif. Yang termasuk positif adalah akhlak yang sifatnya benar
seperti amanah, sabar, jujur, tawakkal dan sifat-sifat baik lainnya. Sedangkan
akhlak yang negatif adalah akhlak yang sifatnya buruk, seperti sombong, dendam,
dengki, khianat dan lain-lain. Oleh sebab itu penerapan akhlak secara praktis tidak
hanya berhubungan dengan sang khalik yakni Allah Swt namun juga dengan
sesama dengan manusia dan alam lingkungannya (Daud Ali, 2008: 357).
Berdasarkan terminologi ini akhlak memiliki cakupan yang sangat luas dan hampir
ada di seluruh persendian kehidupan manusia mengingat akhlak itu sendiri
berkaitan dengan tabiat dan kebiasaan manusia di dalam menjalankan
kehidupannya. Berdasarkan pemaparan di atas dapat dipahami bahwa di antara
pesan dakwah dakwah yang disampaikan oleh ahli hikmah kepada pasiennya
adalah materi mengenai akhlak. Materi akhlak sebenarnya memiliki cakupan yang
sangat luas, sama luasnya dengan perilaku dan sikap manusia itu sendiri. Nabi
Muhammad Saw bahkan menempatkan akhlak sebagai pokok kerasulan-Nya. Hal
ini sebagaimana dapat dilihat di dalam sebuah hadits berikut:

ِ ‫ِﺇﻧﱠ َﻤﺎ ﺑُ ِﻌﺜْﺖُ ﻷُﺗَ ِ ّﻤ َﻢ َﻣ َﻜ‬


ِ ‫ﺎﺭ َﻡ ﺍﻷ َ ْﺧﻼ‬
‫ﻕ‬
Artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan
kemuliaan akhlak” (H.R. Bukhari).
Di dalam hadits tersebut di atas secara tegas Rasulullah Saw menyebutkan
bahwa beliau diutus bertujuan untuk menyempurnakan akhlak. Oleh karena itu
ajaran Islam secara keseluruhan di dalamnya mengandung pengajaran-pengaran
mengenai akhlak yang luhur, akhlak yang terpuji baik akhlak tersebut mencakup
akhlak terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama manusia dan alam sekitar. Sebagai
materi di dalam penyampaian pesan dakwah, pada dasarnya materi akhlak
merupakan elemen ketiga dari ajaran Islam sebagai materi dakwah, setelah akidah
dan syariah. Akidah menyangkut permasalahan yang harus diimani dan diyakini
oleh manusia sebagai sesuatu yang hakiki. Syariah mengenai berbagai ketentuan
berbuat dalam menata hubungan baik dengan Allah dan sesama makhluk.
Sementara akhlak menyangkut berbagai masalah kehidupan yang berkaitan
dengan ketentuan dan ukuran baik dan buruk atau benar salahnya suatu
perbuatan. Dengan demikian materi mengenai akhlak merupakan persoalan yang

Volume 5 Nomor 2 (2019) 133-154  147

 
M. C. Sandyakala, M. Aliyudin, S. Sambas

sangat penting untuk disampaikan oleh seorang da’i kepada mad’u.


Adapun materi akhlak dapat diidentifikasi melalui pesan yang disampaikan
ahli hikmah kepada pasien mengenai nasihat sabar, tawakkal, tidak buruk sangka
kepada Allah Swt, shodaqoh, menjaga kebersihan lingkungan dan lain sebagainya.
Metode Komunikasi Dakwah Ahli Hikmah dengan Pendekatan
Terapeutik
Pada aktualisasi nilai agama dalam tahlilan, setidaknya ada dua aspek yang terdapat
dalam sosialisasi nilai agama yakni adanya penerapan nilai agama dalam aspek
spiritual dan juga adanya penerapan nilai agama dalam aspek sosial. Melalui adanya
aktualisasi nilai agama dapat disimpulkan bahwa dalam tahlil adanya suatu
pembiasaan nilai agama pada masyarakat nahdliyin. Adanya pembiasaan nilai
agama tersebut merupakan tahap akhir setelah melewati tahapan-tahapan atau
proses sebelumnya. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya pembiasaan
nilai agama bagi masyarakat nahdliyin kemudian nilai agama tersebut
diimplementasikan dalam kehidupan mereka yang dibuktikan dalam amal nyata
atau dalam bentuk perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya.
Bagi masyarakat nahdliyin adanya tahlilan memberikan dampak tersendiri
bagi diri mereka. Semua itu dapat dilihat dengan terealisasinya nilai agama Islam
dalam kehidupan masyarakat dan juga lingkungan sekitar. Hal tersebut dapat
dapat ditunjukkan dengan bagaimana nilai agama tersebut dapat menyadarkan
hubungan warga nahdliyin dengan Allah, atau dalam arti lain adalah hablum
minallah.
Selain itu, pada aspek lain dapat ditunjukkan dengan bagaimana nilai agama
tersebut terbentuk melalui hubungan warga nahdliyin dengan masyarakat lainnya,
atau dalam kata arti lain adalah hablum minannas. Budaya tahlilan dapat dijadikan
sebagai media kohesivitas sosial atau kedekatan antar masyarakat, mempererat
solidaritas masyarakat, dan mempererat silaturrahmi (ukhuwah islamiyah).
Bagi masyarakat nahdliyin, tahlilan adalah salah satu media untuk membina
spiritual mereka kepada Allah. Adanya bacaan kalimat “tahlil” selain salah satu
bacaan dzikir, merupakan kalimat yang memberikan penyadaran akan mengingat
kematian. Sebaik-baiknya manusia ketika wafat adalah mereka yang membaca
kalimat tahlil. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh H. Rojali yang
menyatakan bahwa:
“Ritual do’a bersama, berdizikir dalam tahlilan itu merupakan ibadah dalam rangka
membina spiritual kepada Allah. Selain itu dalam tahlilan intinya adalah do’a,
sedangkan do’a salah satu bentuk untuk melatih spiritual untuk senantiasa meminta
kepada Allah.” (Wawancara 29 April 2019).
Hal lain diungkpkan oleh Juanda bahwa pelajaran yang paling utama dalam
tradisi ini adalah dapat melatih untuk selalu mengucap dzikir. Selain itu, tradisi ini
juga menjadi media untuk mengingat kematian agar dirinya senantiasa mengingat
hari kematian tersebut, sehingga akan timbul kesadaran untuk berbuat kebaikan
selama hidup. Hal tersebut merupakan suatu upaya untuk menjadikan hidupnya

148  Prophetica : Scientific and Research Journal of Islamic Communication and Broadcasting

 
Film sebagai Media Dakwah: Analisis Semiotika

agar selalu mengingat Allah.


“Bagi saya hal yang utama dalam tradisi tahlilan ini adalah mengingat kematian.
Selain itu, melatih untuk saya senantiasa berdzikir dan mengucap kalimat-kalimat
thoyyibah sehingga membuat diri kita itu ingat terus kepada Allah. Sehingga dengan
begitu timbul kesadaran bahwa dengan ingat kematian, ada upaya untuk selalu
bersikap positif dan menyadarkan diri bahwa segala di dunia ini sudah diatur oleh
Allah termasuk ajal kita. Maka secara otomatis selalu ada upaya untuk
memperbaiki ibadah” (Wawancara 29 April 2019).
Solidaritas masyarakat yang begitu tinggi akan kepedulian terhadap sesama,
dalam kontek ini dapat dilihat dengan antusiasnya masyarakat yang ikut
mendo’akan bahkan ikut membantu keluarga yang terkena musibah. Hal itu
mereka lakukan semata-mata karena keikhlasan tanpa untuk mendo’akan dan
perduli terhadap duka orang lain.
“Masyarakat disini sangat antusias untuk hadir dalam tahlilan. Kalau saya pribadi
didasari oleh keikhlasan. Ini merupakan bentuk dari adanya rasa solidaritas di
antara masyarakat di Desa Cipadung. Semua masyarakat guyub menjadi satu, dari
mana-mana datang” (Wawancara 29 April 2019).
Pada tahlilan di dapatkan bahwa adanya penerapan nilai agama Islam baik
pada aspek spiritual maupun pada aspek sosial. Nilai agama tersebut tercermin
dengan adanya penyadaran masyarakat akan hal ibadah kepada Allah atau hablum
minallah dan penyadaran masyarakat akan hablum minannas.
Adanya penerapan nilai agama baik dalam aspek spiritual dan aspek sosial
pada masyarakat nahdliyin di Kelurahan Cipadung, hal tersebut merupakan dari
bagian proses aktualisasi nilai agama Islam pada masyarakat. Adanya pembiasaan
nilai agama merupakan turunan dari aktualisasi nilai agama Islam.
Adanya pembiasaan nilai agama merupakan kegiatan yang dilakukan secara
konsisten dan terus menerus. Sehingga tujuan dari pembiasaan tersebut adalah
untuk memperkuat nilai-nilai tertentu agar menjadi permanen (Khomsiyah, 2015:
125). Melalu adanya tradisi tahlilan ini menunjukkan bahwa nilai-nilai agama Islam
telah teraktualisasikan melalui adanya kegiatan yang dilakukan secara konsisten
hingga sampai saat ini. Lebih jauh dari pada itu, bahwa output dalam aktivitas
dakwah pada tahlilan adalah masyarakat mampu memanifestasikan nilai agama
sesuai dengan ajaran Islam dalam bentuk sikap atau perlaku pada keseharian
mereka.
Menurut Beatty intisari dari ajaran Islam bagi kehidupan masyarakat yang
begitu kuat akan kulturnya terletak pada hadirnya suatu tradisi dalam kehidupan
mereka (Beatty, 1999: 28). Hal tersebut didasari bahwa praktek keagamaan
tertentu memiliki nilai tersendiri bagi mereka. Tradisi yang dimaksud disini adalah
suatu tradisi keagamaan yang di dalamnya memiliki suatu nilai keagamaan yang
kemudian nilai tersebut telah menyatu dalam kehidupan masyarakat.
Pendapat lain dikemukakan oleh Shein sebagaimana yang dikutip oleh
Khomsiyah bahwa kata kunci dalam pengertian budaya bagi masyarakat yakni
menganggap pasti terhadap sesuatu (asumsi). Asumsi tersebut meliputi adanya

Volume 5 Nomor 2 (2019) 133-154  149

 
M. C. Sandyakala, M. Aliyudin, S. Sambas

keyakinan dan nilai. Keyakinan merupakan asumsi dasar tentang pandangan


mereka terhadap sesuatu dan merupakan ekspresi material yang diperoleh oleh
suatu kelompok masyarakat. Sedangkan nilai merupakan ukuran normatif yang
dapat mempengaruhi masyarakat dalam bertindak (Khomsiyah, 2015: 128).
Sehingga secara definitif dapat dikatakan bahwa budaya keagamaan yang diyakini
oleh masyarakat memiliki nilai serta kepercayaan tersendiri sehingga budaya
tersebut menjadi suatu pembiasaan masyarakat dalam bersikap.
Aktualisasi nilai agama merupakan poin penting dalam proses dakwah,
karena dari pengaruh setelah adanya dakwah itulah yang menunjukkan
keberhasilan suatu dakwah (Barmawi, 2017: 21). Hal tersebut ditandai dengan
masyarakat dapat menjalankan nilai-nilai tersebut dalam aspek kehidupan mereka.

Respon Pasien Terhadap Komunikasi Dakwah Ahli Hikmah dengan


Pendekatan Terapeutik
Dilihat dari segi pengertian etimologis, respon berasal dari kata response, yang
berarti jawaban, balasan atau tanggapan (reaction) (Echoles dan Shadily, 2003: 481).
Pernyataan serupa juga ditemukan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI:2000), yang menyebutkan bahwa secara bahasa respon berarti tanggapan,
reaksi dan jawaban. Tanggapan, reaksi dan jawaban ini timbul setelah didahului
oleh tindakan, aksi dan pertanyaan sehingga kemunculan respon pada dasarnya
menjadi sebuah akibat dari keberadaan sebab terdahulu. Menurut pengertian
terminologis dijelaskan bahwa respon adalah suatu kegiatan (activity) dari
organisme itu bukanlah semata-mata suatu gerakan yang positif, setiap jenis
kegiatan (activity) yang ditimbulkan oleh suatu perangsang dapat juga disebut
respon. Secara umum respon atau tanggapan dapat diartikan sebagai hasil atau
kesan yang didapat (ditinggal) dari pengamatan tentang subjek, peristiwa atau
hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan
menafsirkan pesan-pesan (Rahmat, 2013: 51). Berdasarkan pengertian ini
dipahami bahwa respon diperoleh sebagai hasil yang didapat dari penyimpulan
sebuah informasi dan menafsirkan pesan-pesan. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa respon adalah suatu reaksi atau tanggapan seseorang terhadap
stimulus atau rangsangan yang muncul sebelumnya, dimana biasanya stimulus
tersebut berpengaruh terhadap diri sesorang sebagai sebuah reaksi. Karena itu fase
selanjutnya adalah muncul suatu reaksi yang beraneka ragam baik sebatas
pengetahuan atau pendapat, perasaan, maupun sikap atau perilaku sebagai wujud
respon yang ditampilkan.
Dalam hubungannya dengan komunikasi dakwah, maka respon dapat
dimaknai sebagai reaksi yang ditimbulkan oleh mad’u i sebagai penerima pesan
dakwah. Reaksi tersebut muncul setelah da’i menyampaikan komunikasi dakwah
kepada mad’u. Pada tahap selanjutnya reaksi tersebut berwujud macam-macam,
ada yang berupa pengetahuan, tanggapan, perasaan, sikap atau perilaku sebagai
respon yang ditampilkan. Berdasarkan keterangan ini maka dapat dipahami bahwa
dalam hubungannya dengan komunikasi dakwah ahli hikmah di kabupaten
150  Prophetica : Scientific and Research Journal of Islamic Communication and Broadcasting

 
Film sebagai Media Dakwah: Analisis Semiotika

Subang, respon yang dimaksud adalah reaksi baik berupa pengetahuan atau
pendapat, perasaan, maupun sikap atau perilaku yang ditimbulkan oleh pasien
selaku penerima pesan dakwah (mad’u) setelah mendapatkan perlakuan dakwah
berupa komunikasi dakwah yang disampaikan oleh ahli hikmah sebagai
penyampai pesan dakwah (da’i).
Pada dasarnya pasien merasa senang didakwahi oleh ahli hikmah melalui
nasihat-nasihat kebaikan yang oleh pasien dirasakan memberikan efek positif bagi
dirinya sehingga pasien kemudian menerima nasihat yang disampaikan oleh ahli
hikmah kepadanya dengan suka rela dan pada tahap selanjutnya timbul dorongan
berupa kesadaran diri pasien untuk mempraktekkan apa yang dinasihatkan oleh
ahli hikmah. Hal ini sebenarnya menjadi bagian dari identifikasi kesuksesan
dakwah ahli hikmah bahwa bahwa komunikasi dakwah yang dilaksanakan oleh
ahli hikmah mendapatkan reaksi atau respon positif dari pasien yang telah
didakwahinya. Respon tersebut ditunjuukkan dengan perasaan senang dan adanya
dorongan kesadaran yang tumbuh dari diri pasien untuk mewujudkan apa yang
dinasihatkan oleh ahli hikmah melalu sikap atau tingkah laku.
Sebagaimana disebutkan bahwa di antara respon yang ditunjukkan oleh
pasien dalam komunikasi dakwah yang dilakukan oleh ahli hikmah di kabupaten
Subang adalah tumbuhnya dorongan kuat yang dibarengi dengan realisasi
peningkatan amal ibadah pasien untuk menjadi manusia yang lebih baik karena
ingin mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Hal ini ditunjukkan dengan
pelaksanaan aktivitas amal ibadah pasien kepada Allah Swt yang meningkat.
Pasien memiliki keadaran bahwa setiap amal perbuatannya akan berdampak
kepada kehidupannya kelak. Mereka meyakini bahwa apabila mereka berbuat jahat
akan mendapatkan dosa dan apabila mereka melakukan amal ibadah akan
mendapatkan pahala yang akan membuat mereka bahagia. Dilihat dari perspektif
ajaran Islam, pada dasarnya setiap amal ibadah yang dilakukan oleh manusia
sebagai hamba Allah Swt akan mendapatkan balasan pahala dari Allah Swt yang
akan membuat manusia bahagia, demikian sebaliknya amal buruk manusia akan
mendatangkan dosa dan siksa yang akan membuat manusia celaka. Semua
manusia pada prinsipnya harus mempertanggungjawabkan setiap amal
perbuatannya, maka dari itu Islam mengajarkan kriteria perbuatan dan kewajiban
yang mendatangkan kebahagiaan bukan siksaan (Munir, 2006: 24). Kesadaran
untuk melaksanakan perbuatan yang mendatangkan kebahagiaan ini pada
dasarnya yang menjadi salah satu tujuan dilakukannya kegiatan dakwah mengingat
dakwah pada intinya bertujuan untuk membuat manusia bahagia di dunia dan juga
di akhirat. Sehingga dakwah diorientasikan dengan term amar ma’ruf dan nahyi
munkar. Oleh sebab itu setiap manusia harus meningkatkan amal ibadahnya
kepada Allah Swt dengan jalan melaksanakan segala hal yang telah diwajibkan oleh
Allah Swt dan menjauhi segala hal yang dilarang oleh Allah Swt yang dalam
efistimologi ajaran Islam disebut dengan amar makruf dan nahyi munkar sebagai
refresentasi ketaatan manusia di hadapan Allah Swt agar mendapatkan
keselamatan di dunia dan di akhirat.
Kemudian di antara respon lainnya yang juga ditunjukkan oleh pasien dalam

Volume 5 Nomor 2 (2019) 133-154  151

 
M. C. Sandyakala, M. Aliyudin, S. Sambas

komunikasi dakwah ahli hikmah di kabupaten Subang adalah timbulnya


pandangan dan kesadaran pasien bahwa seorang muslim harus memiliki sikap
tidak berburuk sangka kepada Allah Swt ketika ditimpakan kepadanya suatu
musibah atau cobaan. Kesadaran ini membuat mereka menjadi lebih berlapang
dada di dalam mengahadapi penyakit yang diderita sehingga mereka menjadi lebih
sabar dan tawakkal di dalam menghadapi penyakit tersebut. Selain itu pasien sudah
senantiasa mengamalkan dzikir secara rutin dan tidak lagi menunda-nunda dalam
menjalankan shalat wajib. Hal ini membuktikan bahwa komunikasi dakwah yang
dilakukan oleh ahli hikmah terbilang efektif dalam mempengaruhi para pasien
untuk diarahkan kepada tujuan yang dikehendaki oleh ahli hikmah selaku da’i.
Dalam hal ini pasien memperlihatkan perubahan terhadap perilakunya menjadi
perilaku yang lebih giat dalam beribadah seperti perilaku mengamalkan dzikir dan
melaksanakan shalat wajib. Selain itu respon pasien juga dapat dilihat ketika pasien
dinasihati untuk menjaga kebersihan tempat tinggalnya yang kemudian
dilaksanakan oleh pasien. Kemudian ketika pasien dinasihati untuk
mendawamkan membaca al-Qur’an juga dipraktekkan oleh pasin. Hal ini
membuktikan bahwa komunikasi dakwah yang dilakukan oleh ahli hikmah dapat
dikatakan berhasil.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa respon yang
ditunjukkan oleh pasien terhadap komunikasi dakwah ahli hikmah dengan
pendekatan terapeutik di empat kecamatan kabupaten Subang adalah positif dan
aktivitas dakwah ahli hikah dapat dikatakan telah berhasil memberikan pengaruh
positif kepada para pasien sebagai objek dakwah. Hal ini dapat dilihat dari adanya
perasaan senang pasien ketika didakwahi melalui nasihat-nasihat yang
disampaikan oleh ahli hikmah. Kemudian pasien juga melakukan apa yang
dinasihatkan oleh ahli hikmah, seperti mengerjakan shalat dan tidak menunda-
nudanya, melaksanakan shalat tahajjud, mendawamkan membaca al-Qur’an,
shodaqoh, sabar, tawakkal dan lain sebagainya. Selain itu respon yang ditunjukkan
oleh pasien adalah timbulnya dorongan dan motivasi setelah didakwahi oleh ahli
hikmah untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi dengan meningkatkan amal
ibadahnya kepada Allah Swt.

PENUTUP
Dari beberapa penjelasan diatas didapatkan kesimpulan Pertama: Penerapan
komunikasi dakwah ahli hikmah dilakukan dengan melibatkan unsur-unsur
komunikasi meliputi komunikator, pesan, metode dan efek. Penerapan
komunikasi dakwah ini lebih fokus kepada ahli hikmah yang bertindak sebagai
penyampai pesan dakwah (komunikator/da’i) Kedua, Pesan yang disampaikan dalam
komunikasi dakwah ahli hikmah adalah berupa materi-materi ajaran Islam yang
bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang meliputi: akidah, syari’ah dan
akhlak. Materi akidah seperti nasihat perihal kesembuhan adalah kehendak Allah
Swt, hakikat segala penyakit itu datang dari Allah Swt, tidak syirik dan hanya
bergantung kepada Allah Swt, sehingga perbuatan meminta bantuan kepada ahli
152  Prophetica : Scientific and Research Journal of Islamic Communication and Broadcasting

 
Film sebagai Media Dakwah: Analisis Semiotika

hikmah hanyalah sebagai bentuk ikhtiar dan usaha saja. Kemudian materi syariah
seperti nasihat untuk lebih giat menjalankan ibadah shalat, berdzikir, berdo’a dan
membaca al-Qur’an. Adapun materi akhlak seperti nasihat sabar, tawakkal, tidak
buruk sangka kepada Allah Swt, shodaqoh, menjaga kebersihan lingkungan dan lain
sebagainya.
Ketiga, Metode dakwah yang digunakan ahli hikmah dalam melakukan
komunikasi dakwah adalah metode nasihat (al-Mau’idza al-Hasanah) yang
dilakukan dengan cara memberikan nasihat-nasihat tentang kebaikan yang
diajarkan di dalam Islam dan bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Penerapan
metode ini dianggap tepat mengingat konteks dan karakteristik dakwah yang
dilakukan lebih bersifat personal (dakwah fardiyah) yang hanya terjadi di antara ahli
hikmah dan pasiennya, sehingga nasihat-nasihat yang disampaikan oleh ahli
hikmah kepada pasien dapat dengan mudah diterima oleh pasien selaku objek dan
sasaran dakwah.
Keempat, respon pasien terhadap komunikasi dakwah ahli hikmah dapat
dikatakan positif dan terbilang berhasil memberikan pengaruh positif kepada para
pasien. Hal ini dapat dilihat dari adanya perasaan senang pasien ketika dinasihati.
Kemudian pasien senantiasa melakukan apa yang dinasihatkan oleh ahli hikmah,
seperti mengerjakan shalat dan tidak menunda-nudanya, melaksanakan shalat
tahajjud, mendawamkan membaca al-Qur’an, shodaqoh, sabar, tawakkal dan lain
sebagainya. Selain itu respon yang ditunjukkan oleh pasien adalah timbulnya
dorongan dan motivasi setelah didakwahi oleh ahli hikmah untuk menjadi
manusia yang lebih baik lagi dengan meningkatkan amal ibadahnya kepada Allah
Swt.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, M. A. Q. (2008). Metodologi Pengajaran Agama Islam, terj. H.A. Mustofa.
Jakarta: Rineka Cipta.
Ali, M. D. (2008). Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Rajawali Press.
Aliyudin dan A.S, Enjang. (2009). Dasar-dasar Ilmu Dakwah. Bandung: Tim Widya
Padjadjaran.
Alwi, H. dkk. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia: Departemen Pendidikan. Jakarta :
Balai Pustaka.
Aminuddin. (2006). Membangun Karakter dan Kepribadian Melalui Pendidikan Agama
Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Arifin. (2000). Psikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Aziz, M. A. (2012). Ilmu Dakwah. Jakarta: PT. Kencana.
Dahro, A. (2012). Psikologi kebidanan: Analisa Perilaku Wanita Untuk Kesehatan.
Jakarta: Salemba Medika.
Damaiyanti, M. (2010). Komunikasi Terapeutik dalam Praktik Kebidanan. Bandung:
PT. Refika Aditama.
Djazuli, A. (2005). Ilmu Fiqih. Jakarta: Prenada.

Volume 5 Nomor 2 (2019) 133-154  153

 
M. C. Sandyakala, M. Aliyudin, S. Sambas

Echoles, J. M. dan Shadily, H. (2003). Kamus Bahasa Inggris-Indonesia. Jakarta : PT.


Gramedia.
Ilahi, W. (2013). Komunikasi Dakwah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Ilahi, W dan Munir, M. (2006). Manajemen Dakwah. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Ilyas, Y. (2011). Kuliah Aqidah Islam. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan
Pengamalan Islam.
Munir, M. (2006). Metode Dakwah. Jakarta: Prenada Media Group.
Mushtofa, A. (2008). Akhlak Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Musadad, A. N. (2016). Persinggungan Islam dan Tradisi Mistik Lokal: Studi
Kasus Pananyaan dan Ahli Hikmah di Masyarakat Tasikmalaya dalam
Indonesian Journal of Islamic Literature and Muslim Society: Vol. 1, No.1, 47-62.
Musliha dan Fatmawati, S. (2010). Komunikasi Keperawatan Plus Materi Komunikasi
Terapeutik. Yogyakarta: Nuha Medika.
Nuh, S. M. (2000). Dakwah Fardiyah; Pendekatan Personal dalam Dakwah. Solo: Era
Intermedia.
Nurdin, M. dkk, (1995). Moral dan Kognisi Islam. Bandung: CV. Alfabeta.
Rahmat, J. (2013). Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
Saputra, W. (2012). Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Setiadi, E. dan Kolip, U. (2011). Pengantar Sosiologi. Jakarta: PT. Kencana Prenada
Media Group.
Sukayat, T. (2015). Ilmu Dakwah Perspektif Filsafat Mabadi ‘Asyarah. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media.
Suparta, M. (2009). Metode Dakwah. Jakarta: Rahmat Semesta.
Suparta, M. dkk. (2003). Metode Dakwah. Jakarta: Prenada Media Group.
Syaltut, M. (1966). Al-Islam Aqidat wa Syari’at. Kairo: Dar al-Qalam.
Tajiri, H. (2015). Etika dan Estetika Dakwah Perspekktif Teologis, Fisiologis dan Praktis.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

154  Prophetica : Scientific and Research Journal of Islamic Communication and Broadcasting

You might also like