You are on page 1of 165

MODEL PREDIKSI DISTRIBUSI

LAJU PENYEBARAN SULFUR DIOKSIDA (SO2)


DAN DEBU DARI KAWASAN INDUSTRI
(STUDI KASUS DI KOTA CILEGON)

YAYAT RUHIAT

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam


disertasi saya yang berjudul:

MODEL PREDIKSI DISTRIBUSI LAJU PENYEBARAN


SULFUR DIOKSIDA (SO2) DAN DEBU DARI KAWASAN
INDUSTRI (STUDI KASUS DI KOTA CILEGON)

Merupakan gagasan atau hasil disertasi saya sendiri, dengan bimbingan para
Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas rujukannya. Disertasi ini belum
pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan
tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat
diperiksa kebenarannya.

Bogor, Mei 2009

YAYAT RUHIAT
G 261040011
ABSTRACT

YAYAT RUHIAT. Predictive Distribution Model of Dispersion Sulphur dioxide


(SO2) and Dust of Industrial Area (Case Study at Cilegon City). Under
supervision of Ahmad Bey, Imam Santoso and Leopold Oscar Nelwan.

This study aims to examine the characteristics of local air; analyze the
concentration of air pollution emitted from factories located in an industrial area;
and predict air pollution distribution the city of Cilegon. Several sequential steps
of analysis are carried out which include: (1) calculation of high-layer pollutant
mixing in the atmosphere (mixing height), (2) analysis of emission of air pollutant
from the source point using screen3 model; (3) analysis of distribution of air
pollutant from the industrial area using general transport equation of unsteady
flow. Based on climatology, Pasquill stability criterian indicate that stability
profile in the region ranges from A (very unstable) to E (slightly stable). Pollutant
distribution from the industry depends on the height of the chimney. The higher
the chimney is, the further the distribution of the pollutant as a result of emission
is expected to be. The highest concentration of SO2 is found in the emission of
industry area, with atmosfheric stability class A (very unstable), whereas furthest
distance occurred stability E class (slightly stable). The distribution of SO2
extends towards Tamansari village of Pulomerak District. From 24 sampling
points, the highest concentration of 55,75 μg/m3 occurred in the ASDP Merak.
The levels and patterns of air pollutant distribution in the area need to be taken
into account, particularly in the interest of protecting public healthlife from the
impacts caused by the pollutant.

Keywords: Prediction model, Sulphur dioxide (SO2), characteristics of local air,


general equation of transport, unsteady flow, and industrial area
RINGKASAN

YAYAT RUHIAT. Model Prediksi Distribusi Laju Penyebaran Sulfur Dioksida


(SO2) dan Debu dari Kawasan Industri (Studi Kasus di Kota Cilegon). Dibimbing
oleh Ahmad Bey, Imam Santoso dan Leopold Oscar Nelwan.

Di Kota Cilegon telah berdiri industri sebanyak 104 perusahaan besar,


yang menyebar di tiga zona kawasan. Zona KS 44 perusahaan, zona Pulomerak 39
perusahaan dan zona Ciwandan 21 perusahaan. Bahan bakar yang digunakan oleh
pabrik di kawasan industri tersebut adalah High Speed Diesel, Marine Fuel Oil,
Pyrolisis Fuel Oil, solar, residu, bahan bakar gas dan batubara. Bahan bakar
dengan kapasitas besar yang digunakan oleh pabrik di kawasan industri adalah
batubara. Kapasitas terbesar digunakan oleh Unit Bisnis Pembangkitan (UBP)
Suralaya, dengan kisaran 170 – 255 ton/jam. Sementara itu tinggi cerobong yang
digunakan oleh pabrik bervariasi antara 10 sampai 275 meter. Beragamnya bahan
bakar dan tinggi cerobong yang digunakan, diduga akan berimplikasi pada
berbagai jenis dan sebaran polutan yang diemisikan.
Metode yang digunakan untuk menganalisis emisi polutan di kawasan
industri menggunakan model screen3. Sementara itu untuk menduga sebaran
polutan dari kawasan industri menggunakan persamaan umum transpor untuk
aliran unsteady. Pola sebaran dianalisis dalam periode tiga bulanan.
Untuk menjelaskan karakteristik udara Kota Cilegon digunakan data iklim
stasiun meteorologi Serang, periode pengamatan Tahun 2001 sampai Tahun 2007.
Hasil analisis mawar angin menunjukkan pola yang bervariasi antara pagi, siang,
sore dan malam hari. Pada bulan Nopember sampai Maret umumnya angin
bergerak dari Barat ke Timur, sedangkan pada bulan April sampai Oktober
umumnya angin bergerak dari Utara ke Selatan. Sementara itu kemantapan
(stabilitas) atmosfer diperoleh bahwa pada pagi, siang, sore dan malam hari
mempunyai variasi antara A (sangat tidak stabil) sampai E (agak stabil). Hal ini
menunjukkan bahwa kondisi udara di Kota Cilegon berada antara labil mantap
sampai agak stabil, sesuai dengan kriteria kemantapan udara Pasquill.
Hasil running model screen3 pada berbagai stabilitas atmosfer
menunjukaan bahwa: (1) semakin tinggi cerobong yang digunakan, semakin jauh
jarak sebaran dengan konsentrasi sulfur dioksida (SO2) dan debu yang diemisikan
semakin kecil; dan (2) konsentrasi tertinggi yang diemisikan dari cerobong terjadi
pada stabilitas A (sangat tidak stabil), dengan jarak sebaran minimum, sementara
pada stabilita E (agak stabil) konsentrasi yang diemisikan minimum, tapi jarak
sebarannya maksimum. Hasil analisis untuk setiap kondisi stabilitas atmosfer
menunjukkan bahwa umumnya penyebaran SO2 dan debu akan terkumpul di
sekitar jarak maksimum dari sumber emisi, kemudian akan menyebar dengan
konsentrasi yang menurun sampai jarak yang cukup jauh dari sumbernya.
Untuk menilai kehandalan model emisi yang telah digunakan, maka hasil
dari model dibandingkan dengan hasil pengukuran. Di kawasan Pulomerak
konsentrasi SO2 yang diemisikan dari UBP Suralaya pada unit-1 sampai unit-4
diperoleh rata-rata hasil model sebesar 304,646 μg/m3 dengan simpangan baku
312,01. Kemudian dianalisis untuk memperoleh nilai mutlak z-score. Pada unit-1
diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,183, pada unit-2 diperoleh nilai mutlak z-
score sebesar 0,377 pada unit-3 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 1,492 dan
pada unit-4 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 2,203. Kemudian pada unit-5
sampai unit-7 diperoleh rata-rata hasil model sebesar 197,878 μg/m3 dengan
simpangan baku 21,707. Pada unit-5 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,589
pada unit-6 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 1,079 dan pada unit-7 diperoleh
nilai mutlak z-score sebesar 0,715. Berdasarkan syarat nilai z-score, untuk
pencemar SO2 pada unit-1, unit-2, unit-3, unit-5, unit-6, dan unit-7 aplikasi model
termasuk pada kategori ‘hasil yang dapat diterima’ (acceptable performance).
Sementara itu pada unit-4 aplikasi model termasuk pada kategori ‘hasil yang
diragukan’ (questionable performance). Untuk kawasan Krakatau Steel
konsentrasi SO2 yang diemisikan sebagai berikut: pada unit BSP diperoleh rata-
rata hasil model sebesar 5,501 μg/m3 dengan simpangan baku 2,075 pada unit
SSP-1 rata-rata hasil model sebesar 5,419 μg/m3 dengan simpangan baku 2,085
pada unit SSP-2 rata-rata hasil model sebesar 5,339 μg/m3 dengan simpangan
baku 2,095 pada unit DRP-2 rata-rata hasil model sebesar 56,026 μg/m3 dengan
simpangan baku 20,621 dan pada unit HYL rata-rata hasil model sebesar 146,751
μg/m3 dengan simpangan baku 29,230. Pada unit BSP diperoleh nilai mutlak z-
score sebesar 0,610 pada unit SSP-1 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,461
pada SSP-2 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,342 pada unit DRP-2
diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 5,522 dan pada unit HYL diperoleh nilai
mutlak z-score sebesar 1,435. Berdasarkan syarat nilai z-score, untuk pencemar
SO2 pada unit BSP, unit SSP-1, unit SSP-2, dan unit HYL aplikasi model termasuk
pada kategori ‘hasil yang dapat diterima’ (acceptable performance). Akan tetapi
pada unit DRP-2 aplikasi model termasuk pada ketgori ‘hasil yang diragukan’
(questionable performance). Hasil verifikasi pada berbagai stabilitas atmosfer
menunjukkan bahwa emisi pencemar udara SO2 hasil pengukuran pada umumnya
masih memenuhi kisaran angka yang dihasilkan model. Secara umum hasil
analisis sebaran emisi SO2 di kawasan industri dengan model screen3 termasuk
pada kategori hasil yang dapat diterima (acceptable performance).
Konsentrasi debu yang diemisikan dari UBP Suralaya pada unit-1 sampai
unit-4 diperoleh rata-rata hasil model sebesar 106,980 μg/m3 dengan simpangan
baku 27,446. Pada unit-1 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 1,204 pada unit-2
diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 3,887 pada unit-3 diperoleh nilai mutlak z-
score sebesar 1,781 dan pada unit-4 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 2,182.
Kemudian pada unit-5 sampai unit-7 diperoleh rata-rata hasil model sebesar
106,364 μg/m3 dengan simpangan baku 20,079. Pada unit-5 diperoleh nilai mutlak
z-score sebesar 3,415 pada unit-6 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 1,807 dan
pada unit-7 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 5,428. Berdasarkan syarat nilai
z-score, untuk pencemar debu pada unit-1, unit-3, dan unit-6 aplikasi model
termasuk pada kategori ‘hasil yang dapat diterima’ (acceptable performance).
Kemudian pada unit unit-4 aplikasi model termasuk pada ketgori ‘hasil yang
diragukan’ (questionable performance), sedangkan pada unit-5 dan unit-7 aplikasi
model termasuk pada kategori ‘hasil yang tidak dapat diterima’ (unacceptbale
performance). Sementara itu konsentrasi debu yang diemisikan dari kawasan
Krakatau Steel sebagai berikut: pada unit BSP diperoleh rata-rata hasil model
sebesar 26,052 μg/m3 dengan simpangan baku 9,533 pada pada unit SSP-1 rata-
rata hasil model sebesar 26,025 μg/m3 dengan simpangan baku 9,333 pada unit
SSP-2 rata-rata hasil model sebesar 25,272 μg/m3 dengan simpangan baku 9,575
pada unit DRP-2 rata-rata hasil model sebesar 2,566 μg/m3 dengan simpangan
baku 0,956 dan pada unit HYL rata-rata hasil model sebesar 17,382 μg/m3 dengan
simpangan baku 9,399. Pada unit BSP diperoleh nilai mutlak z-score sebesar
3,154 pada unit SSP-1 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 3,351 pada SSP-2
diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,893 pada unit DRP-2 diperoleh nilai
mutlak z-score sebesar 0,906 dan pada unit HYL diperoleh nilai mutlak z-score
sebesar 2,197. Berdasarkan syarat nilai z-score, untuk emisi pencemar debu pada
unit SSP-2, dan unit DRP-2 aplikasi model termasuk pada kategori ‘hasil yang
dapat diterima’ (acceptable performance). Sementara itu pada unit HYL aplikasi
model termasuk pada ketgori ‘hasil yang diragukan’ (questionable performance)
dan pada unit BSP dan SSP-1 aplikasi model termasuk pada kategori ‘hasil yang
tidak dapat diterima (unacceptable performance). Secara umum hasil model
screen3 untuk emisi debu di kawasan industri termasuk pada kategori hasil yang
diragukan (questionable performance). Berdasarkan hal tersebut, maka polutan
yang dikaji dengan menggunakan persamaan umum transpor untuk aliran
unsteady adalah SO2.
Hasil analisis model berdasarkan arah angin dominan bahwa SO2
menyebar dari Barat ke Timur sesuai arah angin, konsentrasi tertinggi terjadi di
Desa Tamansari Kecamatan Pulomerak. Lokasi yang menunjukkan konsentrasi
SO2 tinggi terjadi di ASDP Merak. Hasil model berada pada kisaran 41,116 –
51,058 μg/m3 sedangkan hasil pengukuran sebesar 55,75 μg/m3. Jarak lokasi
tersebut dari UBP Suralaya berkisar 3 km. Sesuai dengan arah penyebaran SO2
tersebut, maka penduduk di sekitar lokasi ASDP Merak paling berpeluang untuk
mengalami gangguan kesehatan.
Untuk menilai kehandalan model penyebaran pencemar udara yang telah
digunakan, maka hasil dari model dibandingkan dengan hasil pengukuran. Hasil
verifikasi menunjukkan bahwa secara umum konsentrasi SO2 di 24 titik sampel di
Kota Cilegon hasil model selalu lebih kecil dari hasil pengukuran. Perbedaan hasil
model dengan hasil pengukuran, disebabkan model hanya memperhitungkan
polutan yang diemisikan dari kawasan industri yang memiliki cerobong di atas 40
meter. Polutan yang diemisikan dari kendaraan bermotor pada studi ini tidak
diperhitungkan. Hasil pengukuran SO2 untuk pengukuran 24 jam di semua lokasi
secara kualitatif masih jauh berada di bawah baku mutu yang ditetapkan dalam PP
41/1999 sebesar 365 μg/m3.

Kata kunci: kawasan industri, sulfur dioksida, debu, model screen3, persamaan
transpor, aliran unsteady
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan IPB secara wajar.

Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis


dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
MODEL PREDIKSI DISTRIBUSI
LAJU PENYEBARAN SULFUR DIOKSIDA (SO2)
DAN DEBU DARI KAWASAN INDUSTRI
(STUDI KASUS DI KOTA CILEGON)

YAYAT RUHIAT

DISERTASI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Klimatologi Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Zainal Alim Mas’ud, DEA
Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Sc
2. Dr. Ir. Yadi Suryadi, M.Si
Judul Disertasi : Model Prediksi Distribusi Laju Penyebaran
Sulfur Dioksida (SO2) dan Debu dari Kawasan Industri
(Studi Kasus di Kota Cilegon)
Nama : Yayat Ruhiat
NRP : G261040011

Disetujui,
Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey, M.Sc


Ketua

Dr. Ir. Imam Santoso, M.S Dr. Leopold Oscar Nelwan, STP, M.Si
Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Klimatologi Terapan

Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

Tanggal Ujian: 14 Mei 2009 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., atas segala karunia-
Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2005 ini ialah pencemaran udara,
dengan judul Model Prediksi Distribusi Laju Penyebaran Sulfur Dioksida (SO2)
dan Debu dari Kawasan Industri (Studi kasus di Kota Cilegon). Tiga perempat
dari seluruh kegiatan ekonomi Kota Cilegon berbasis pada sektor sekunder,
dengan industri pengolahan sebagai penggerak utama.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey, M.Sc
sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Imam Santoso, MS dan Dr. Leopold
Oscar Nelwan, STP, M.Si sebagai anggota Komisi Pembimbing, atas
bimbingan, arahan, saran dan bantuan sejak dalam persiapan sampai penulisan
disertasi ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan Ketua Program Studi Klimatologi
Terapan, yang telah menerima penulis untuk mengikuti Program S3 pada Program
Studi tersebut pada Tahun 2004. Selanjutnya terimakasih juga penulis sampaikan
kepada Rektor, Dekan FKIP dan Ketua Jurusan Pendidikan Matematika
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis, untuk studi lanjut pada program S3. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Kepala Bapedalda Banten, Kepala Dinas Lingkungan Hidup
Pertambangan dan Energi Kota Cilegon beserta staf dan Kepala Bapeda Cilegon
beserta staf, Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika Kabupaten Serang, serta
Kepala Pusdiklat Krakatau Steel yang telah membantu selama pengumpulan data.
Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri dan anak serta
seluruh keluarga, atas segala do’a dan kasih sayangnya.
Akhirnya, penulis mohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam
penulisan disertasi ini. Perhatian dan bimbingan serta dorongan yang telah
diberikan, sangat berarti bagi penulis. Semoga penelitian ini, menjadi sesuatu
yang berguna.
Bogor, Mei 2009
Yayat Ruhiat
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Cikalong Kecamatan Cikalong Kabupaten


Tasikmalaya, Jawa Barat pada tanggal 11 Agustus 1964 sebagai anak ketujuh dari
ayah bernama Rukandi dan ibu bernama Urminah. Pendidikan sarjana ditempuh
di jurusan pendidikan Fisika, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam (FPMIPA) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP)
Muhammadiyah Jakarta, lulus pada Tahun 1991. Pada Tahun 1998, penulis
mengikuti pendidikan pra S2 selama satu tahun dan diterima sebagai mahasiswa
S2 Fisika pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Indonesia dan memperoleh gelas Magister Sains (MSi) pada Tahun 2002.
Kesempatan untuk melanjutkan ke progam doktor pada program studi
Agroklimatologi (sekarang: Klimatologi Terapan) Sekolah Pascasarjana IPB
diperoleh Tahun 2004 dan menamatkannya pada Tahun 2009. Beasiswa
pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI)
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada jurusan pendidikan Fisika IKIP
Muhammadiyah Jakarta (sekarang Universitas Muhammadiyah Hamka) sejak
Tahun 1991. Pada Tahun 2002 sampai sekarang penulis bekerja sebagai staf
pengajar pada program studi Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta).
Artikel berjudul karakteristik udara di Kota Cilegon telah diterbitkan pada
jurnal penelitian ilmu-ilmu sosial dan eksakta Lembaga Penelitian dan
Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Untirta pada Tahun 2009. Artikel lain
berjudul prediksi sebaran pencemar udara di Kota Cilegon diterbitkan pada jurnal
Sains Indonesia FMIPA UI pada Tahun 2009. Karya-karya ilmiah tersebut
merupakan bagian dari program S3 penulis.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ………………………………………………………... xii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………... xii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………... xvii

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………... 1
1.2 Kerangka Pemikiran ………………………….................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………………… 4
1.4 Luaran Penelitian …………………………………………………… 4
1.5 Kebaruan (novelty) ...………………………………………………... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Komposisi Atmosfer ……………………………………………….. 6
2.2 Pencemar Udara ……………………………………………………. 7
2.2.1 Partikulat ……………………………………………………. 8
2.2.2 Senyawa Sulfur ….…………………………………………... 9
2.3 Sumber Pencemar Udara …………………………………………… 11
2.4 Pencemaran Udara ………………………………………………….. 13
2.5 Penyebaran Pencemar Udara ……………………………………… 16
2.6 Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Polutan ………………….. 17
2.6.1 Stabilitas Atmosfer …………………………………………. 19
2.6.2 Turbulensi …………………………………………………... 21
2.6.3 Sirkulasi Angin Lokal ………………………………………. 23
2.6.4 Kondisi Topografi …………………………………………... 27
2.7 Model Prediksi ……………………………………………………... 27
2.7.1 Model Dispersi ……………………………………………… 27
2.7.2 Sistem Peramalan Kualitas Udara ………………………….. 30
2.7.3 Pengembangan Model ……………………………………… 31
2.7.4 Aplikasi Model untuk Mengevaluasi Konsentrasi Polutan …. 34

III. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ……………………………………… 39
3.2 Prosedur Penelitian …………………………………………………. 39
3.3 Data dan Peralatan ………………………………………………….. 41
3.3.1 Pengumpulan Data ………………..………………………… 41
3.3.2 Data dan Software ………………………………………….. 41
3.3.3 Data dan Informasi Pendukung …………………………….. 42
3.4 Analisa Data ……………………………………………….............. 42
3.4.1 Analisis Karakteristik cuaca di Kota Cilegon ……………….. 42
3.4.2 Analisis Sebaran Polutan di Kawasan Industri ……………… 44
3.4.3 Prediksi Sebaran Polutan pada suatu Wilayah ......................... 46
3.5 Pemantauan Kualitas Udara ………………………………………… 49
3.6 Pembandingan Hasil Program dengan Hasil Pengukuran ………….. 51

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Karakteristik Cuaca di Kota Cilegon ……………………………… 52
4.2 Pencemaran Udara di Kawasan Industri ……………………………. 56
4.2.1 Kawasan Industri ...................................................................... 56
4.2.2 Aplikasi Model Screen3 …………………………………….. 60
4.2.3 Sebaran Polutan di Kawasan Industri ....................................... 62
4.3 Hasil Pengukuran Emisi di Kawasan Industri ……………………... 68
4.3.1 Iklim ........................................................................................ 68
4.3.2 Emisi Pencemar Udara .................………………………….. 69
4.4 Validasi Model Emisi ……………………………………………...... 75
4.5 Prediksi Sebaran Polutan di Kota Cilegon ………………………...... 81
4.5.1 Pemecahan Model Prediksi ………………………………… 81
4.5.2 Aplikasi Model di Kota Cilegon …………………………...... 84
4.5.3 Sebaran SO2 di Kota Cilegon ……………………………..... 91
4.6 Prediksi Sebaran SO2 di Kota Cilegon ……………………………... 96
4.7 Validasi Model Sebaran SO2 .............................................................. 98
4.8 Laju Penyebaran SO2 di Kota Cilegon …………………………....... 101

V. SIMPULAN DAN SARAN


5.1 Simpulan ……………………………………………………………. 107
5.2 Saran ………………………………………………………………... 110

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….. 112


LAMPIRAN ……………………………………………………………… 120
DAFTAR TABEL
Halaman

1. Gas-gas tidak tetap dalam atmosfer ………………………………… 6


2. Susunan gas di atmosfer pada suhu dan tekanan udara baku ............. 7
3. Jenis industri dan bahan pencemar udara yang diemisikan ................. 8
4. Beberapa jenis pencemar udara dan pengaruhnya terhadap manusia 15
5. Ukuran cerobong pabrik pengolahan besi dan peleburan baja di PT
Krakatau Steel ………………………………………………………. 17
6. Kondisi stabilitas berdasarkan Richardson Number (Ri) .................... 22
7. Nilai p untuk model profil angin sebagai pengaruh kekasapan
permukaan ........................................................................................... 25
8. Hubungan antara parameter n dengan kondisi stabilitas atmosfer ...... 26
9. Jenis dan macam data yang diperlukan ……………………………... 41
10. Kondisi atmosfer dalam berbagai stabilitas ........................................ 43
11. Hubungan antara kondisi stabilitas dan nilai konstanta n ................... 44
12. Nama pabrik yang menyebarkan polutan di kawasan industri …….... 45
13. Variasi suhu tahunan ………………………………………………... 52
14. Kemantapan udara (stabilitas) Pasquill ……………………………... 54
15. Ketinggian lapisan pencampuran ………………………………….... 56
16. Data iklim Kota Cilegon ……………………………………………. 57
17. Jenis dan alokasi pemakaian bahan bakar ........................................... 58
18. Jarak sebaran SO2 dan Debu dengan konsentrasi maksimum di zona
Pulomerak .......................................................................................... 62
19. Jarak sebaran SO2 dan Debu dengan konsentrasi maksimum di zona
KS ...................................................................................................... 63
20. Jarak sebaran SO2 dan Debu dengan konsentrasi maksimum di zona
Ciwandan ........................................................................................... 63
21. Hasil pengukuran iklim mikro di sekitar UBP Suralaya ..................... 68
22. Hasil pengukuran SO2 di cerobong UBP Suralaya ............................. 70
23. Hasil pengukuran emisi debu di cerobong UBP Suralaya .................. 72
24. Hasil pengukuran emisi SO2 di lokasi PT KS .................................... 73
25. Hasil pengukuran emisi debu di lokasi PT KS .................................... 74
26. Hasil pengukuran dan model emisi SO2 dan Debu di UBP Suralaya 75
27. Hasil pengukuran dan model emisi SO2 dan Debu di PT KS ………. 77
28. Angka hasil pendugaan menurut model screen3 dan pengukuran di
UBP Suralaya ..................................................................................... 79
29. Difusivitas SO2 terhadap udara …………………………………….. 86
30. Hasil pengukuran dan model sebaran SO2 di Kota Cilegon ………... 100
31. Penggunaan lahan di Kota Cilegon .................................................... 120
32. Luas daerah dan pembagian wilayah ................................................. 120
33. Pabrik di kawasan industri Cilegon .................................................... 121

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka pemikiran model prediksi ………………………………... 3
2. Konsentrasi TSP dan PM10 dan Debu ………………………………. 10
3. Konsentrasi SO2 di Kota Cilegon ........................................................ 11
4. Stabilitas atmosfer ditinjau dari laju penurunan suhu ……………..... 20
5. Sketsa aliran turbulen di atas permukaan yang halus ……………..... 22
6. Pola dispersi pada permukaan ………………………………………. 24
7. Profil kecepatan angin di permukaan kota ………………………...... 25
8. Model penyebaran polutan dari sumber titik berdasar sebaran Gauss 35
9. Wilayah studi ………………………………………………………... 39
10. Diagram alir prosedur penelitian …………………………………..... 40
11. Lokasi pengukuran pencemar udara ……………………………….... 50
12. Mawar angin (windrose) Cilegon …………………………………… 55
13. Bentuk cerobong ……………………………………………………. 59
14. Model input data pada model screen3 ................................................ 61
15. Konsentrasi maksimum SO2 sebagai fungsi jarak ............................... 66
16. Contour sebaran SO2 dari kawasan industri ........................................ 67
17. Hasil pengukuran emisi SO2 di Cerobong UBP Suralaya …............... 70
18. Hasil pengukuran emisi Debu di Cerobong UBP Suralaya ................. 72
19. Hasil pengukuran emisi SO2 di PT KS ……………………................ 74
20. Hasil pengukuran dan model di PLTU Suralaya ................................ 76
21. Hasil pengukuran dan model di PT KS ............................................... 77
22. Volume kontrol sekitar node p …………………………………….... 82
23. Sebaran SO2 dan Debu pada 24 titik sampel di Kota Cilegon periode
2005 – 2007 ........................................................................................ 85
24. Interval konsentrasi SO2 pada 24 titik sampel di Kota Cilegon
periode 2005 – 2007 ............................................................................ 86
25. Grid Kota Cilegon .............................................................................. 88
26. Sebaran SO2 hasil model dan hasil pengukuran di 24 titik sampel
pada kecepatan angin 1 – 3 m/s ......................................................... 95
27. Sebaran SO2 di Kota Cilegon ............................................................. 95
28. Perbedaan hasil model dan hasil pengukuran .................................... 99
29. Sebaran SO2 pada periode tiga bulanan saat ada sumber dan tidak
ada sumber dengan kecepatan angin 2,5 m/s ...................................... 103
30. Pola sebaran SO2 di Kota Cilegon ..................................................... 105
31. Sebaran SO2 dari kawasan industri ..................................................... 128
32. Sebaran debu dari kawasan industri ................. .................................. 131
33. Sebaran SO2 di Kota Cilegon pada berbagai stabilitas atmosfer
(skenario ada sumber) ........................................................................ 134
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

Pemakaian
pertama
Singkatan Nama
kali pada
halaman
PT Perusahaan Terbatas ………………………………... 1
KS Krakatau Steel ………………………………………. 1
BUMN Badan Usaha Milik Negara …………………………. 1
DLHPE Dinas Lingkungan Hidup Pertambangan dan Energi 1
UKMO United Kingdom Meteorological Office ..................... 2
UMPL Unifed Model for Poland Area ................................... 2
ISCST3 Industrial Source Complex Short-Term3 ………….... 2
HSD High Speed Diesel ………………………………….. 2
MFO Marine Fuel Oil ……………………………………... 2
PFO Pyrolisis Fuel Oil …………………………………… 2
UBP Unit Bisnis Pembangkitan ………………………….. 2
PT-RMS Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer ............ 6
AGL Above Ground Level .................................................. 6
KLH Kementrian Lingkungan Hidup …………………….. 8
BAPEDALDA Badan Pengendali Dampak Lingkungan Daerah …… 9
PP Peraturan Pemerintah ……………………………….. 11
WHO World Health Organization ………………………… 12
GEP Good Engineering Practice …………………………. 16
PLTU Pembangkit Listrik Tenaga Uap ……………………. 16
CFD Computational Fluid Dynamic ................................... 17
EDLA Evaluasi Dosis Lepasan Atmosfir ............................... 18
OSPM Operational Street Pollution Model ............................ 18
RASS Radio Acoustic Sounding Sistem …………………... 19
ELR Environmental Lapse Rate ………………………….. 20
IBL Internal Boundary Layer ……………………………. 24
NSW-EPA New South Wales Environment Protection Authority 28
TAPM The Air Pollutan Model .............................................. 29
IOA Index of Agreement .................................................... 29
SIP Strongly-Implicit-Procedure ....................................... 29
EPAV Environment Authority of Victoria ………………… 30
FVM Finit Volum Method ………………………………... 31
PGT Pasquill-Gifford-Turner …………………………….. 36
PTM Pasquill-Turner Method .............................................. 36
US-EPA United States-Environmental Protection Agency …... 36
DAUMOD The Atmospheric Dispersion Model ………………... 37
HILA High Level Architecture ............................................. 37
Distributed Spatial-temporal Interoperability
DALI 38
architecuture ...............................................................
BPN Badan Pertanahan Nasional ………………………… 39
BMG Badan Meteorologi dan Geofisika …………………. 40
TDMA Tri-Diagonal Matrix Algorithm …………………….. 48
KDL Krakatau Daya Listrik ………………………………. 56
BBG Bahan Bakar Gas …………………………………… 58
CEM Continuous Emitions Monitoring …………………... 59
SSP Steel Slab Plant ……………………………………... 59
DRP Direct Reduction Plant ……………………………… 59
BSP Billet Steel Plant ……………………………………. 59
WRM Wire Rod Mill ………………………………………. 59
HSM Hot Strip Mill ……………………………………….. 59
PGI Perusahaan Gas Indonesia ………………………….. 60
CRM Cold Rolling Mill …………………………………… 60
KWH Kilowatt hour ……………………………………….. 60

Pemakaian
pertama
Lambang Nama
kali pada
halaman
SO2 Sulfur dioksida ………………………………………... 1
CO Karbon monoksida ……………………………………. 1
NO2 Nitrogen dioksida ……………………………............... 1
Pb Timbal ………………………………………………… 1
H2 O Air …………………………………………….............. 6
CO2 Karbon dioksida ………………………………………. 6
O3 Ozon …………………………………………………... 6
NH3 Ammonia ……………………………………………... 7
H2S Hidrogen sulfur ……………………………….............. 7
N2 Nitrogen ………………………………………………. 7
O2 Oksigen ……………………………………….............. 7
Ar Argon …………………………………………………. 7
Ne Neon …………………………………………………... 7
He Helium ………………………………………………... 7
Kr Kripton ………………………………………………... 7
H Hidrogen ……………………………………………… 7
CH4 Metana ………………………………………………... 7
NOx Oksida nitrogen ……………………………….............. 7
PM10 Partikulat Mater 10 mikro …………………………….. 8
PM2,5 Partikulat Mater 2,5 mikro ……………………………. 8
TSP Total Suspended Particulate ………………….............. 8
SOx Oksida sulfur .................................................................. 9
NOx Nitrogen oksida ……………………………………….. 12
CO-Hb Karboksi-hemoglobin .................................................... 14
u Kecepatan angin ............................................................. 25
z Ketinggian ...................................................................... 25
p Fungsi stabilitas atmosfer .............................................. 25
Ф Konsentrasi pencemar ………………………………… 32
τ Tensor tegangan viskositas …………………………… 32
μ Viskositas dinamik ……………………………………. 33
ρ Kerapatan udara ………………………………………. 33
g Percepatan gravitasi …………………………............... 33
v Viskositas kinematis …………………………………. 33
C Konsentrasi polutan ....................................................... 35
Q Jumlah emisi .................................................................. 35
σy, σz Parameter penyebaran plume ......................................... 35
uz Kecepatan angin pada ketinggian z ……………............ 35
Г Difusivitas pencemar ..................................................... 46
p Tekanan di suatu tempat ................................................ 47
pc Tekanan kritis pencemar ................................................ 47
T Temperatur di suatu tempat ........................................... 47
Tc Temperatur kritis ............................................................ 47
z z-score ............................................................................ 51
VR Nilai referensi ................................................................ 51
Vs Nilai hasil simulasi ......................................................... 51
U Nilai penyimpangan yang diterima ................................ 51
Sh Simpangan baku ............................................................ 51
n Jumlah nilai hasil simulasi ............................................. 51

DAFTAR LAPMPIRAN
Halaman
1. Wilayah dan Kawasan Industri Kota Cilegon ……………………... 120
2. Analisis Distribusi Laju Penyebaran Pencemar Udara …………..... 124
3. Hasil Running Screen3 ....................................................................... 128
4. Sebaran SO2 di Kota Cilegon ………………………………………. 134
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Aktivitas industri dapat memberikan kontribusi kenaikan kadar polutan,
seperti gas dan partikulat ke dalam lingkungan udara atmosfer sehingga dapat
menurunkan mutu udara ambien. Peningkatan aktivitas industri akan diikuti
dengan peningkatan penggunaan bahan bakar, misalnya batubara, minyak bumi
ataupun sumber energi lainnya. Beragamnya penggunaan bahan bakar yang
digunakan, akan berimplikasi pada jenis penyebaran pencemar udara.
Cilegon dikenal sebagai kota baja karena di wilayah ini berdiri PT
Krakatau Steel (KS), yang merupakan perusahaan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) pengolah baja terbesar di Indonesia. Lahan yang digunakan untuk
industri seluas 2983.5 km2. Di atas lahan tersebut, telah berdiri industri sebanyak
104 perusahaan besar, yang menyebar di tiga zona kawasan. Zona KS 44
perusahaan, zona Pulomerak 39 perusahaan dan zona Ciwandan 21 perusahaan
(Data Kota Cilegon, 2004). Masing-masing industri tersebut, menggunakan bahan
bakar dan tinggi cerobong yang berbeda. Banyaknya industri dengan berbagai
penggunaan bahan bakar dan tinggi cerobong yang berbeda, akan berimplikasi
pada berbagai jenis dan sebaran polutan yang menyebar di Kota Cilegon.
Berdasarkan hasil pengujian udara emisi, yang dilakukan di beberapa
pabrik di kawasan industri serta hasil analisis udara ambien di beberapa tempat di
wilayah Kota Cilegon, yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup
Pertambangan dan Energi (DLHPE) diketahui bahwa jenis pencemar udara yang
menyebar adalah: nitrogen dioksida (NO2), partikel/debu, sulfur dioksida (SO2),
karbon monoksida (CO), hidrokarbon, dan timbal (Pb).
Upaya untuk mengetahui konsentrasi polutan, dilakukan pengukuran
secara periodik pada setiap titik sampel, sedangkan untuk menduga
penyebarannya dilakukan dengan model. Model yang dibuat berkaitan dengan
penyebaran pencemar udara, merupakan suatu upaya untuk memberikan masukan
sekaligus informasi dini mengenai penyebaran pencemar udara pada suatu area.
Osrodka, Wojtylak dan Krajny (2001) membuat model prakiraan polusi udara dari
industri dan prakiraan cuaca secara numerik. Model untuk prakiraan polusi udara

1
2

dibangun dengan menggunakan UKMO (United Kingdom Meteorological Office),


sedangkan prakiraan cuaca menggunakan UMPL (Unifed Model for Poland Area).
Model tersebut diaplikasikan untuk memprakirakan sebaran SO2 dan particulate
matter periode 1999 – 2000 pada 24 titik sampel. Hasil penelitian menunjukkan
selama pengukuran 24 jam, nilai hasil model berada pada kisaran hasil
pengukuran. Berkaitan dengan penyebaran polutan dari kawasan industri Cilegon,
Raharjo (1999) melakukan penelitian di PT Krakatau Steel, untuk memprediksi
penyebaran SO2 dari beberapa sumber. Model yang digunakan menerapkan
program ISCST3 (Industrial Source Complex Short Term3).
Untuk menduga sebaran polutan di Kota Cilegon, pada kajian ini
menggunakan model dispersi untuk aliran unsteady. Model ini dibangun untuk
menganalisis sebaran pencemar udara dari kawasan industri. Emisi polutan dari
cerobong pabrik dianalisis dengan menggunakan model screen3. Sementara itu
analisis angin dominan menggunakan program WrPlot. Pemilihan Kota Cilegon
sebagai wilayah kajian untuk aplikasi model, didasarkan pada luasnya kawasan
industri di kota tersebut. Secara geografis Kota Cilegon berbatasan dengan laut,
hal ini akan berimplikasi pada karakteristik cuaca, sehingga diasumsikan akan
berdampak pada pola penyebaran pencemar udara di wilayah tersebut.

1.2 Kerangka Pemikiran


Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada sub-bab latar belakang,
disusunlah kerangka pemikiran kajian model prediksi distribusi penyebaran
pencemar udara seperti yang disajikan pada Gambar 1. Berdasarkan Gambar
tersebut dapat dijelaskan bahwa banyaknya industri dengan berbagai bahan bakar
dan tinggi cerobong, akan berimplikasi pada jenis polutan dan jarak sebaran.
Proses penyebaran polutan pada suatu wilayah, dipengaruhi oleh stabilitas
atmosfer daerah setempat.
Bahan bakar yang digunakan oleh pabrik di kawasan industri Cilegon
terdiri dari High Speed Diesel (HSD), Marine Fuel Oil (MFO), Pyrolisis Fuel Oil
(PFO), solar, residu, Bahan Bakar Gas (BBG) dan batubara. Bahan bakar dengan
kapasitas besar yang digunakan oleh pabrik di kawasan industri adalah batubara.
Bahan bakar tersebut digunakan oleh Unit Bisnis Pembangkitan (UBP) Suralaya,
3

dengan kapasitas pemakaian pada unit 1 sampai 4 masing-masing sebesar 170


ton/jam, sedangkan pada unit 5 sampai 7 masing-masing sebesar 255 ton/jam.
Berdasarkan besarnya pemakaian bahan bakar batubara oleh pabrik di kawasan
industri, maka polutan yang dikaji dalam penelitian ini adalah SO2 dan debu.
Tinggi cerobong yang digunakan oleh pabrik di kawasan industri Cilegon
bervariasi antara 10 sampai 275 meter. UBP Suralaya pada unit 1 sampai 4
menggunakan cerobong masing-masing tingginya 200 meter, sedangkan pada unit
5 sampai 7 masing-masing tingginya 275 meter. Tingginya cerobong yang
digunakan, diduga sebaran SO2 dan debu menyebar ke luar kawasan industri.
Aplikasi model untuk menganalisis emisi SO2 dan debu pada setiap pabrik
di kawasan industri menggunakan model screen3, sedangkan untuk menganalisis
sebaran polutan di Kota Cilegon menggunakan persamaan umum transpor untuk
aliran unsteady. Dalam aplikasi model untuk aliran unsteady, didasarkan pada
hasil running model screen3, difusivitas pencemar serta arah angin dominan.

Gambar 1. Kerangka pemikiran model prediksi

Untuk memprediksi penyebaran SO2 dan debu di Kota Cilegon akan


diperoleh melalui studi ini. Beberapa permasalahan yang muncul dalam penelitian
ini adalah:
(1) bagaimana mendapatkan karakteristik udara lokal, karena akan
berimplikasi pada pola penyebaran SO2 dan debu;
(2) bagaimana sebaran SO2 dan debu yang diemisikan oleh pabrik di
kawasan industri;
4

(3) bagaimana mendapatkan laju penyebaran SO2 dan debu di Kota


Cilegon.

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan identifikasi permasalahan di atas, disusun tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Memahami karakteristik udara lokal di Kota Cilegon, yaitu ciri-ciri
cuaca dan iklim yang meliputi pola pergerakan angin dominan, dan
stabilitas atmosfer;
2. Mendapatkan konsentrasi SO2 dan debu di kawasan industri yang
bersumber dari emisi pabrik, berdasarkan stabilitas atmosfer;
3. Mengestimasi konsentrasi SO2 dan debu pada suatu wilayah di Kota
Cilegon dengan menggunakan model.

1.4 Luaran Penelitian


Adapun output atau luaran yang diharapkan dari penelitian dengan tema
model prediksi distribusi laju penyebaran SO2 dan debu dari kawasan industri di
Kota Cilegon, antara lain:
1. Memberikan informasi ciri-ciri cuaca, pola pergerakan angin serta
stabilitas atmosfer di Kota Cilegon
2. Memberikan informasi potensi besarnya konsentrasi SO2 dan debu
yang diemisikan oleh pabrik di kawasan industri
3. Masukan bagi pengambil kebijakan dan instansi terkait dalam
pengendalian pencemaran udara di Kota Cilegon

1.5 Kebaruan (novelty)


Ada tiga hal sebagai unsur kebaruan (novelty) dalam penelitian ini, sebagai
berikut:
(1) dapat diketahui jarak dan konsentrasi SO2 dan debu yang diemisikan
dari kawasan industri Cilegon pada berbagai stabilitas atmosfer
5

(2) dapat mengestimasi konsentrasi SO2 dan debu dalam periode tiga
bulanan di suatu wilayah di Kota Cilegon yang diemisikan dari
kawasan industri
(3) upaya memberikan informasi dini besarnya konsentrasi SO2 dan debu
pada suatu wilayah di Kota Cilegon, sehingga dapat dilakukan
langkah-langkah untuk pengendalian.

Ketiga hal tersebut diharapkan sedikitnya menyumbang informasi bagi


berbagai pihak terutama bagi DLHPE Kota Cilegon.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komposisi Atmosfer


Secara alami atmosfer terdiri dari berbagai gas, jumlahnya ada yang tetap
dari waktu ke waktu dan ada yang berfluktuasi, karena adanya masukan yang
berasal dari berbagai aktivitas makhluk hidup di permukaan bumi. Fungsi
atmosfer adalah untuk mencegah pemanasan dan pendinginan permukaan bumi
yang berlebihan dan menyediakan gas-gas tertentu bagi organisme. Atmosfer
sendiri merupakan suatu medium yang sangat dinamik, ditandai dengan
kemampuan-kemampuan sebagai: penyebaran (dispersion), pengenceran
(dilutions), difusi (antar molekul gas atau partikel/aerosol) dan transformasi fisik-
kimia dalam proses dan mekanisme kinetik atmosferik. Pergerakan dan dinamika
serta kimia atmosferik, merupakan faktor-faktor yang sangat menentukan
keberadaan pencemar udara setelah diemisikan dari sumbernya. Schnitzhofer
et.al. (2006) membuat model distribusi vertikal polusi udara dengan menggunakan
PTR-MS (Proton Transfer Reaction Mass Spectrometer). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pencampuran polutan terjadi sampai di atas 100 m AGL
(above ground level). Pada ground level meningkat karena kesetimbangan radiasi,
kemudian polutan meningkat karena inversi dan pengenceran.
Dalam atmosfer dari permukaan bumi hingga ketinggian 80 – 90 km
berbagai gas berada secara tetap dalam bentuk campuran, kecuali pada saat
perubahan kecil selama periode yang pendek dan pada wilayah di luar batas
ketinggian tersebut. Sementara itu kadar gas di atmosfer yang bersifat tidak tetap,
selengkapnya ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Gas-gas tidak tetap dalam atmosfer
Gas Persentase Volume
Air (H2O) 0–7
Karbon dioksida (CO2) 0,01 – 0,1 (rata-rata = 0,032)
Ozon (O3) 0 – 0,1 (pada ketinggian 20 – 50 km)
Sulfur dioksida (SO2) 0 – 0,0001
Nitrogen dioksida (NO2) 0 – 0,00002
Sumber: Anon (1971)

Ada empat macam gas terbanyak di udara yakni: nitrogen (78,08%),


oksigen (20,94%), argon (0,90%) dan karbondioksida (0,03%). Di samping

6
7

keempat gas tersebut, udara mengandung gas-gas lain dalam jumlah yang sangat
kecil, di antaranya ada yang merupakan pencemar udara yaitu: NH3, SO2, CO dan
H2S, selengkapnya ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Susunan gas di atmosfer pada suhu dan tekanan udara baku
Volume (%) Kandungan (μg/Nm3)
Jenis Gas Simbol
A B C
Nitrogen N2 78,80 9,75 x 108
Oksigen O2 20,94 2,99 x 108
Argon Ar 0,93 1,60 x 107
Karbon dioksida CO2 0,03 5,90 x 105
Neon Ne 1,60 x 107
Helium He 920
Kripton Kr 4.100
Hidrogen H 26-90
Ozon O3 10-15
Metana CH4 1.080
Oksida nitrogen NOx 0-6
Sulfur dioksida SO2 2-50
Ammonia NH3 0-15
Karbon monoksida CO 130
Hidrogen Sulfur H2S 3-30
Sumber: A dan B : Barry and Chorly (1968); Gordon et al (1998), di troposfer
sampai ketinggian 25 km
C : Bowen (1979), sampai ketinggian 100 m
Suhu baku adalah 25oC, tekanan udara baku adalah
1 atmosfer

2.2 Pencemar Udara


Pencemar udara adalah substansi di atmosfer yang pada kondisi tertentu
akan membahayakan manusia, hewan, tanaman atau kehidupan mikroba atau
bahan bangunan (Oke, 1978). Pencemar udara dapat dikelompokkan berdasar
caranya menjadi polutan, yaitu polutan primer dan polutan sekunder, dapat juga
berdasarkan jumlah yang dihasilkan yaitu pencemar mayor dan pencemar minor,
berdasarkan bentuk fisik yaitu gas, cair dan padat (partikel). Pencemar udara
dihasilkan oleh alam dan juga terutama oleh kegiatan manusia (man-made
pollution). Pencemar udara yang disebabkan oleh kegiatan manusia terutama
merupakan hasil dari kegiatan transportasi, industri dan urbanisasi. Stafilov,
Bojkovska dan Hirao (2003) mengukur konsentrasi CO, SO2, NO, NO2, suspensi
particulate matter (SPM), dan O3 pada waktu yang bersamaan dengan parameter
8

meteorologi yang berbeda pada empat stasiun di Skopje Macedonia. Konsentrasi


polutan mayor (SO2, NO2, CO dan SPM) meningkat selama proses pemanasan.
Konsentrasi tinggi disebabkan oleh gabungan polutan karena pemanasan, kondisi
geograpi dan kondisi meteorologi.
Pencemar udara yang dihasilkan dari industri berbeda-beda, tergantung
pada bahan bakar yang digunakan oleh industri tersebut. Pemakaian bahan bakar
sebagai sumber energi dalam menunjang proses industri masih sangat
mendominasi kegiatan industri di Indonesia, akibat belum mencukupinya energi
listrik yang ada. Pemakaian bahan bakar fosil akan memberikan emisi pencemar
udara konservatif, yang meliputi CO, hidrokarbon, NOx, partikulat (total
tersuspensi), dan SOx. Unsur-unsur ini dapat menjadi indikator utama pencemaran
udara, di samping oksidan photokimia yang terbentuk akibat adanya unsur-unsur
prekursor (hidrokarbon dan NOx) yang bereaksi dengan adanya sinar ultra violet.
Kawasan industri Kota Cilegon terdapat berbagai macam pabrik pengolahan
dengan berbagai produk yang berbeda-beda. Pelbagai pabrik di kawasan industri
tersebut, dapat digolongkan menjadi empat jenis dengan berbagai pencemar udara
yang diemisikan, selengkapnya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis industri dan bahan pencemar udara yang diemisikan


Jenis Industri Pencemar yang dihasilkan
Industri besi dan baja debu, senyawa fluorida dan SO2
Industri kayu lapis padatan tersuspensi, fenol dan asam
resin

Industri kimia tergantung jenis industri kimia,


misalnya HCl, Cl2, NO2, NH3,
hidrokarbon aromatik, pestisida dan
lain-lain
Industri logam dan pengecoran logam SO2, sulfida, klor, HCl dan debu
Sumber: Hartogensis (1977); Winarso (1991); Strauss dan Mainwaring (1994)

2.2.1 Partikulat
Secara fisik untuk penentuan kualitas udara ambien, partikulat
dikelompokkan menjadi PM10 yaitu partikulat dengan ukuran <10 μm, PM2,5 yaitu
partikulat dengan ukuran <2,5 μm, dan TSP (Total Suspended Particulate) yaitu
partikulat tersuspensi (KLH, 2002). Secara kimia partikel dapat dikelompokkan
9

menjadi partikel anorganik dan fly ash (sisa debu dari sistem cerobong industri
yang menggunakan bahan bakar fosil).
Partikel yang lebih halus, PM10 dan khususnya PM2,5 yang ultra-halus,
adalah yang paling berbahaya. Pada udara ambien, partikel biasanya ada dengan
sejumlah zat pencemar lain. Nakaguchi et.al. (2005) melakukan penelitian
distribusi partikulat di atmosfer selama 9 bulan di Osaka Jepang. Partikulat yang
diteliti PM-1 (> 10 μm), PM-2 (10 – 2,5 μm) dan PM-3 (< 2,5 μm). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa rasio total PM selama 9 bulan adalah 0,880 ±
207/206 208/206
0,011 untuk Pb 2,137 ± 0,033 untuk Pb dan 0,413 ± 0,007 untuk
207/208 207/206
Pb. Terdapat hubungan yang signifikan antara rasio PM-1 dengan Pb
208/206
dan Pb dalam PM-1 dan PM-2. Berdasarkan hasil pengukuran Badan
pengendalian dampak lingkungan (Bapedal) Indonesia (2000) konsentrasi TSP
mulai Tahun 1996 sampai Tahun 1998 di sebagian besar kota-kota Indonesia
meningkat dengan cepat. Konsentrasi TSP tertinggi terjadi di kota Ujung Pandang
Tahun 1997. Sementara itu hasil pengukuran Bapedalda Jakarta (2002)
menunjukkan bahwa PM10 selama Tahun 2001 terjadi sangat tinggi pada bulan
Juni – September. Berkaitan dengan sebaran partikulat dari kawasan industri,
Bapedalda Banten (2002) menganalisis jarak sebaran partikulat dari sumber
Cilegon yang jatuh pada permukaan tanah adalah 16230 meter dengan konsentrasi
sebesar 34,95 μg/m3. Jarak sebaran partikulat dari sumber Serang adalah 5008
meter dengan konsentrasi sebesar 6,9 μg/m3. Jarak sebaran tersebut terjadi pada
stabilitas atmosfer E (agak stabil). Sementara itu hasil pemantauan udara ambien
pada 24 titik sampel yang dilakukan DLHPE Kota Cilegon (2005) dengan baku
mutu 230 μg/m3, menunjukkan bahwa debu yang melebihi baku mutu terjadi pada
9 titik sampel, tertinggi terjadi di lokasi kantor Bea Cukai dengan konsentrasi
sebesar 514 μg/m3. Selengkapnya ditampilkan pada Gambar 2.

2.2.2 Senyawa Sulfur


Menurut Seinfeld (1986), sumber senyawa sulfur di atmosfer adalah
penghancuran secara biologi, pembakaran bahan bakar fosil dan bahan bakar
organik, percikan air laut serta industri peleburan logam. Sulfur terutama terlepas
dalam bentuk SO2, selanjutnya teroksidasi menjadi SO3, kedua senyawa tersebut
dikenal sebagai oksida sulfur (SOx). SO2 bersifat larut dalam air dan dapat
10

mengiritasi mata, kulit, selaput lendir dan sistem pernafasan serta pada
konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kematian. Jika membentuk kabut (haze)
dari reaksi fotokimia aerosol, SO2, oksida nitrogen dan hidrokarbon di atmosfer.
Senyawa sulfur dapat menurunkan jarak pandang, jika bereaksi dengan air hujan
akan meningkatkan keasaman air hujan yang dapat menyebabkan asidifikasi
sumber air serta penurunan unsur hara tanah, juga menyebabkan korosi logam dan
bahan bangunan lain. Emisi sulfur dioksida terutama timbul dari pembakaran
bahan bakar fosil yang mengandung sulfur terutama batubara yang digunakan
untuk pembangkit tenaga listrik atau pemanasan rumah tangga.

600

500

K o n s e n t r a s i ( u g /m
400

300

200

100

Lokasi Pengukuran
Konsentrasi (ug/m3)
Baku Mutu (ug/m3)

a) Rata-rata Konsentrasi b) Konsentrasi PM10 c) Konsentrasi debu di Kota


TSP Tahunan di Indonesia di Jakarta, 2001 Cilegon, 2005

Gambar 2. Konsentrasi TSP, PM10 dan debu

Sulfur dioksida (SO2) adalah gas yang tidak berwarna, memedihkan mata
(irritating), mudah larut dalam air dan reaktif. Gas yang berbau tajam tapi tak
bewarna ini dapat menimbulkan serangan asma, gas ini menetap di udara, bereaksi
dan membentuk partikel-partikel halus dan zat asam. Gas ini dibentuk pada saat
bahan bakar (minyak dan batubara) yang mengandung sulfur dibakar, terutama
dari kegiatan industri. SO2 dapat mematikan dan menghambat pertumbuhan
pepohonan, hasil produksi pertanian dapat merosot, hutan-hutan menjadi kurang
produktif sehingga akan mengurangi peranan hutan sebagai tempat rekreasi dan
keindahan. Pada manusia dapat menimbulkan efek iritasi pada saluran nafas
sehingga menimbulkan gejala batuk dan sesak nafas. SO2 dihasilkan oleh
kendaraan bermotor dan industri, dan dapat menyebabkan hujan asam.
Penyumbang pencemar SO2 terbesar adalah industri (76%) diikuti dengan
transportasi (15%). Perkiraan besarnya emisi SO2 yang berasal dari kendaraan
11

bermotor menurut Bapedal (2001) pada Tahun 1999, 2000 dan 2001 secara
berurutan adalah 46.562,7 ton/tahun; 48.482 ton/tahun; 53.401,9 ton/tahun. Tasic
et.al. (2007) mengimplementasikan sistem monitoring kualitas udara, untuk
mengestimasi konsentrasi SO2 dengan menggunakan TScreen. Hasil model untuk
waktu rata-rata 1 jam pada 8 titik sampel menunjukkan adanya hubungan antara
tingkat emisi dengan konsentrasi SO2. Berkaitan dengan sebaran SO2 di Kota
Cilegon, DLHPE Tahun 2005 melakukan pemantauan udara ambien pada 24 titik
sampel. Hasil pemantauan dengan baku mutu 365 μg/m3, menunjukkan bahwa
SO2 tertinggi terjadi di lokasi depan PENI Desa Gerem Kecamatan Grogol dengan
konsentrasi sebesar 15,12 μg/m3. Selengkapnya disajikan pada Gambar 3.
Kelapa Tujuh
Gambar 3. Konsentrasi SO2 di 24 titik sampel Kant or Bea Cukai
ASDP M erak
Pasar M erak
16.00 Depan PENI
Cikuasa Baru
14.00 Cikuasa Lama
Kruwuk
12.00 Sumur Wuluh (Jalan Tol)
Konsentrasi

Pabuaran Lor
10.00
Komp, Arga Baja Pura
Polres
8.00
Palem Hills

6.00 Perum KS
Telkom Warnasari
4.00 Semangraya
Nirmala Optik
2.00 Pelindo
Ramayana
0.00 PCI
Randakari
SO2
KBS/Sebrang rel
Lokasi pemnantauan Pengabuan
Cilodan

2.3 Sumber Pencemar Udara


Pencemaran udara terjadi akibat dilepaskannya zat pencemar dari berbagai
sumber ke udara. Sumber-sumber pencemar udara dapat bersifat alami maupun
antropogenik (aktivitas manusia). Peraturan Pemeritah (PP) mengenai pengelolaan
udara yang saat ini berlaku di Indonesia yaitu PP No. 41/1999 mendefinisikan
sumber pencemar sebagai setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan
bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak berfungsi sebagaimana
mestinya. PP ini kemudian menggolongkan sumber pencemar atas lima kelompok,
yaitu: (1) sumber bergerak, sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada
suatu tempat yang berasal dari kendaraan bermotor; (2) sumber bergerak spesifik,
serupa dengan sumber bergerak namun berasal dari kereta api, pesawat terbang,
12

kapal laut dan kendaraan berat lainnya; (3) sumber tidak bergerak, sumber emisi
yang tetap pada suatu tempat; (4) sumber tidak bergerak spesifik, serupa dengan
sumber tidak bergerak namun berasal dari kebakaran hutan dan pembakaran
sampah; dan (5) sumber gangguan, sumber pencemar yang menggunakan media
udara atau padat untuk penyebarannya. Sumber ini terdiri dari kebisingan, getaran,
dan kebauan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan sumber pencemar
atas sumber tidak bergerak, sumber bergerak dan sumber dalam ruangan. Di kota-
kota Besar di Indonesia, sumber bergerak telah mendominasi emisi pencemar
udara. Di Jakarta misalnya, kendaraan bermotor telah menyumbangkan 70 % dari
pencemar PM10 dan NOx Tahun 1998. Faktor yang mempengaruhi tingginya
pencemaran udara dari kendaraan bermotor adalah pesatnya pertambahan jumlah
kendaraan bermotor, rendahnya kualitas bahan bakar minyak dan masih
digunakannya jenis bahan bakar minyak mengandung Pb, penggunaan teknologi
lama (sistem pembakaran) pada sebagian besar kendaraan bermotor di Indonesia
dan minimnya budaya perawatan kendaraan secara teratur.
Sumber pencemar udara dari sumber tidak bergerak terdiri dari industri,
rumah tangga, dan kebakaran hutan. Sektor industri merupakan penyumbang
pencemaran udara setelah kendaraan bermotor, melalui penggunaan bahan bakar
fosil untuk pembangkit tenaga. Penggunaan bahan bakar fosil dan kayu di rumah
tangga ikut menyumbang pencemaran udara dari sumber tidak bergerak meskipun
tidak sebesar kontribusi pencemaran industri. Kemudian asap pekat dari
kebakaran hutan menjadi bahan pencemar udara. Hasil dari proses pembakaran, di
dalam asap terkandung campuran gas-gas dan partikel-partikel yang mengancam
kesehatan manusia dan menambah jumlah gas rumah kaca di atmosfer.
Produksi energi, pengangkutan, konversi serta rumah tangga, industri dan
penggunaan kendaraan bermotor, merupakan penyumbang antropogenik utama
kepada polusi udara. Bahan-bahan pencemar utama yang penting adalah timbal,
partikel halus, karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), hidrokarbon,
sulfur dioksida (SO2), dan karbon diokida (CO2). Menurut Novontny dan
Chlesters (1981) sumber polusi udara global adalah:
a. Emisi dari kota dan industri: pembangkit energi, industri dan domestik;
13

b. Emisi dari pertanian dan hutan: erosi tanah oleh angin, slash burning dari
kebakaran hutan, komponen pupuk dan pestisida yang terbawa erosi angin,
dekomposisi limbah pertanian dan peternakan;
c. Emisi yang terjadi secara alami dalam skala global: tiupan debu dari daerah
kering dan gurun, kebakaran hutan, semak dan rumput, letusan gunung berapi,
emisi hidrokarbon dari hutan dan aktivitas budidaya hutan, percikan air laut,
serta evaporasi dari tubuh air.

2.4 Pencemaran Udara


Pencemaran udara dapat diartikan sebagai adanya satu atau lebih pencemar
yang masuk ke dalam udara atmosfer yang terbuka, yang dapat berbentuk sebagai
debu, uap, gas, kabut, bau, asap, atau embun yang dicirikan bentuk jumlahnya,
sifatnya dan lamanya. Pencemaran udara dibataskan sebagai menurunnya kualitas
udara sehingga akibatnya akan mempengaruhi kesehatan manusia yang
menghirupnya. Salah satu faktor penyebab meningkatnya pencemaran udara
adalah semakin meningkatnya populasi penduduk di suatu tempat, terutama di
Kota-kota Besar. Kegiatan transportasi, industri dan aktivitas penduduk menjadi
sumber pencemaran udara. Miller (1979) membagi bahan pencemar udara
menjadi: karbon oksida (CO, CO2), sulfur oksida (SO2, SO3), nitrogen oksida
(N2O, NO, NO2), hidrokarbon (CH4, C4H10, C6H6), fotokimia oksidan (O3, PAN
dan aldehida), partikel (asap, debu, jelaga, asbestos, logam, minyak dan garam),
senyawa inorganik (asbestos, HF, H2S, NH3, H2SO4, H2NO3), senyawa inorganik
lain (pestisida, herbisida, alkohol, asam-asam dan zat kimia lainnya), zat
radioaktif, panas, dan kebisingan. Pengaruh yang sangat penting adanya
pencemaran udara pada manusia adalah dalam aspek: kesehatan, kenyamanan,
keselamatan, estetika dan perekonomian.
Pencemaran udara dapat digolongkan ke dalam tiga kategori; pergesekan
permukaan, penguapan, dan pembakaran. Pergesekan permukaan adalah penyebab
utama pencemaran partikel padat di udara dan ukurannya dapat bemacam-macam,
misalnya: penggergajian, dan pengeboran. Kemudian penguapan merupakan
perubahan fase cair menjadi gas. Polusi udara banyak disebabkan zat-zat yang
mudah menguap, seperti pelarut cat dan perekat. Sementara itu pembakaran
14

merupakan reaksi kimia yang berjalan cepat dan membebaskan energi cahaya atau
panas. Bahan bakar yang umum digunakan ialah kayu, batubara, kokas, minyak,
semuanya mengandung karbon, sehingga dalam proses pembakaran dihasilkan
senyawa karbon dioksida dan air, disamping arang dan jelaga.
Kriteria dampak pencemaran udara, mengacu pada Peraturan Pemerintah
No. 27 Tahun 1999 dan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan No. KEP-056/Tahun 1994 sebagai berikut: (1) jumlah manusia yang
terkena dampak, (2) luas wilayah persebaran dampak, (3) lamanya dampak
berlangsung, (4) intensitas dampak, (5) banyaknya komponen lingkungan lain
yang terkena dampak, (6) sifat kumulatif dampak, dan (7) berbalik (reversible)
atau tidak berbalik (irreversible) dampak.
Pengaruh pencemaran udara terhadap manusia tergantung pada pencemar
yang ada di udara. Pada Tabel 4 dimuat beberapa jenis pencemar udara dan
pengaruhnya terhadap manusia. Menurut Adel (1995) dan Hill (1984), CO
merupakan gas tidak berwarna dan tidak berbau, mempunyai afinitas yang tinggi
dengan hemoglobin, yaitu sekitar 240 kali lebih kuat dibandingkan afinitas O2
terhadap hemoglobin. Apabila CO masuk ke dalam paru-paru akan berikatan
dengan hemoglobin membentuk karboksi-hemoglobin (CO-Hb). Chi-Wen (1999)
meneliti penyebaran pencemar udara dari industri kimia dan serat di Taiwan, yang
dilakukan sebagai tanggapan atas keberatan atau reaksi terhadap bau yang
ditimbulkan. Pencemar udara yang diemisikan adalah senyawa sulfur (SO2, H2S,
CS2 dan merkaptan) dan beberapa senyawa organik volatif (benzene, toluena,
pxylene aseton dan kloroform). Pengukuran di udara ambien dilakukan di empat
lokasi sekitar industri tersebut. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa di keempat
lokasi pengukuran, H2S dengan rata-rata hasil pengukuran 7,6 ppb telah melewati
ambang batas bau (odoran threshold) sekitar 0,47 ppb, di satu lokasi CS2 pada
malam hari dapat mencapai 256 ppb melewati ambang batas bau sebesar 210 ppb.
Sementara itu Bokowa dan Liu (2003) mengestimasi kebauan yang diemisikan
dari sumber fugitive dengan menggunakan model screen3. Konsentrasi kebauan
hasil model antara 0,6 sampai 1,2 dengan rata-rata 0,9 sedangkan hasil monitoring
antara 0,98 sampai 1,1. Hasil model menunjukkan nilai sedikit dibawah hasil
monitoring.
15

Tabel 4 . Beberapa jenis pencemar udara dan pengaruhnya terhadap manusia


Jenis pencemar udara Pengaruh terhadap manusia
Karbon monoksida (CO) Menurunkan kemampuan darah membawa
oksigen, melemahkan berpikir, penyakit jantung,
pusing, kelelahan, sakit kepala dan kematian
Sulfur dioksida (SO2) Memperberat penyakit saluran pernafasan,
melemahkan pernafasan dan iritasi mata
Nitrogen oksida (NOx) Memperberat penyakit jantung dan pernafasan,
dan iritasi paru-paru
Hidrokarbon Mempengaruhi sistem pernafasan, beberapa jenis
dapat menyebabkan kanker
Oksigen fotokimia (O3) Memperberat penyakit jantung dan pernafasan,
iritasi mata, iritasi kerongkongan dan saluran
pernafasan
Debu Penyakit kanker, memperberat penyakit jantung
dan pernafasan, batuk, iritasi kerongkongan dan
dada tak enak
Amonia (NH3) Iritasi saluran pernafasan
Hidrogen sulfida (H2S) Mabuk (pusing), iritasi mata dan kerongkongan
dan racun pada kadar tinggi
Logam dan senyawa logam Menyebabkan penyakit pernafasan, kanker,
kerusakan syaraf dan kematian
Sumber: Hartogensis (1977); Fardiaz (1992); Nukman (1998); Holper dan Noonan
(2000)

Vinitnantharat dan Khummongkol (2003) melakukan penelitian deposisi


sulfur dan nitrogen yang disebabkan oleh pencemar udara industri dan kendaraan
di enam wilayah di Thailand. Penelitian dilakukan baik terhadap deposisi basah
dan deposisi kering. Pengumpulan sampel basah dilakukan dengan menampung
air hujan menggunakan penakar hujan (rain gauge), sedangkan sampel kering
dikumpulkan menggunakan filter empat tahap. Terhadap sampel basah diukur pH
(di tempat), dianalisis SO42 dan NO3, terhadap sampel kering dilakukan analisis
SO42 dan NO3. Hasil analisis menunjukkan bahwa pH air hujan berkisar dari 5,5
sampai 6,3 bahkan di satu wilayah dengan pH lebih rendah dari 5,6 yang
merupakan pH batas hujan asam. Hal ini berarti bahwa telah terjadi hujan asam
akibat pencemaran sulfur dan nitrogen.
16

2.5 Penyebaran Pencemar Udara


Penyebaran pencemar udara berhubungan dengan keadaan atmosfer,
sedangkan keadaan atmosfer tergantung pada perubahan sistem cuaca, sirkulasi
angin regional dan turbulensi, dan efek mikrometeorologi. Parameter-parameter
penting yang diperlukan dalam menetapkan potensi penyebaran pencemar udara
ialah: ketinggian bercampur, tinggi pembalikan, kecepatan angin tahunan, potensi
tinggi pencemar udara yang dapat mempengaruhi suatu area, dan kejadian harian.
Adapun efek mikrometeorologi tergantung pada insolasi solar, topografi,
kekasapan permukaan, albedo permukaan, lahan yang digunakan dan radiasi
panjang gelombang (Mikkelsen, 2003).
Penyebaran pencemar udara, terutama dari industri ditentukan oleh tinggi
cerobong (stack). Semakin tinggi stack yang digunakan, semakin jauh jarak
sebaran polutan yang diemisikan. Good Engineering Practice (GEP)
mengusulkan secara ekstrim, bahwa tinggi stack harus 305 meter (Leonard, 1997).
Sebaran polutan dari kegiatan industri dengan ketinggian cerobong di atas lima
puluh meter diduga dapat memberikan dampak sebaran polutan sampai dengan
jarak yang cukup jauh dari lokasi sumber. Untuk industri dengan daya yang besar,
tinggi cerobong asap harus di atas 200 meter (Forsdyke, 1970). Sehubungan
dengan hal itu, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya menggunakan
cerobong setinggi 200 meter sehingga abu dan gas SO2 yang terbang ke udara
dapat terdispersi secara baik, dan tidak mencemari udara di pemukiman sekitarnya
(Bapedalda Banten, 2004).
Setiap pabrik di kawasan industri, memiliki ukuran stack yang berbeda.
Hal ini dimungkinkan karena kapasitas dan jenis bahan bakar yang digunakan
berbeda. Vawda et.al. (2005) mengukur konsentrasi SO2 yang diemisikan dari
suatu kawasan. Estimasi emisi SO2 dari masing-masing tinggi stack menggunakan
ADMS-Screen. Dari lima metode yang digunakan, menunjukkan bahwa metode
ADMS-screen paling sesuai untuk menganalisis emisi pada berbagai tinggi stack.
Hasil identifikasi cerobong pabrik pengolahan besi dan peleburan baja di
kawasan PT Krakatau Steel (KS) disajikan pada Tabel 5. Pada tabel tersebut,
tampak bahwa tinggi cerobong di kawasan PT KS berada pada kisaran 10 – 80
meter. Hal ini akan berdampak pada pola sebaran polutan yang diemisikan dari
17

kawasan tersebut pada lingkungan di sekitarnya. Keragaman penyebaran polutan


yang diemisikan, akan berimplikasi pada perbedaan konsentrasi pada suatu area.

Tabel 5. Ukuran cerobong pabrik pengolahan besi dan peleburan baja di


PT Krakatau Steel

NO LOKASI CEROBONG TINGGI NO LOKASI CEROBONG TINGGI


1 DR1 Gas Ref 1 33,5 4 SSP 1 Ladle Furnace 1 32
Gas Ref 2 33,5 Ladle Furnace 2 32
Gas Preh 5 33,2 Dedusting 35
Gas Preh 6 33,2 5 SSP 2 Ladle Furnace 32
Gas Preh 7 33,2 Dedusting 35
Gas Preh 8 33,2 6 BILLET Ladle Furnace 32
Air Preh 2 27,2 Timur Dedusting 1 35
Scrubber 1 10,8 Barat Dedusting 2 35
Scrubber 2 10,8 7 SSP 1 Ladle Furnace 1 32
B Down Stack 30,2 Ladle Furnace 2 32
2 DR2 Gas Ref 1 33,5 Dedusting 35
Gas Ref 2 33,5 8 SSP 2 Ladle Furnace 32
Scrubber 1 10,8 Dedusting 35
Scrubber 2 10,8 9 BILLET Ladle Furnace 32
B Down Stack 30,2 Timur Dedusting 1 35
3 HYL III Gas Heater 1 80 Barat Dedusting 2 35
Gas Heater 2 80
Sumber: Dinas Lingkungan Hidup Pertambangan dan Energi Kota Cilegon (2006)

2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Polutan


Penyebaran polutan di atmosfer dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Menurut Stull (2000), penyebaran polutan di atmosfer melibatkan tiga mekanisme
utama yaitu gerakan udara secara global, fluktuasi kecepatan turbulensi yang akan
menyebarkan polutan ke seluruh arah dan difusi massa akibat perbedaan
konsentrasi. Sementara itu penyebaran polutan dari suatu sumber emisi selain
dipengaruhi oleh karakteristik sumber emisi juga oleh karakteristik meteorologi
dan tofografi setempat (Oke, 1978).
Faktor meteorologi yang berpengaruh langsung terhadap penyebaran
polutan adalah angin (meliputi arah dan kecepatan) serta stabilitas atmosfer.
Huang et.al. (2005) membuat simulasi CFD (Computational Fluid Dynamic)
dengan radiasi dan analisis konduksi yang diangkat keluar untuk menganalisis
dispersi polutan dengan kondisi non istermal di Kota Kawasaki Jepang. Hasil
simulasi menunjukkan bahwa kecepatan angin rata-rata di atas bangunan sekitar 2
18

m/s secara signifikan besarnya menurun karena efek bloking bangunan.


Penyebaran polutan searah dengan arah angin. Sementara itu Mayhoub, Essa dan
Aly (2003) membangun bentuk analisis dispersi polutan untuk kondisi atmosfer
yang berbeda. Hubungan antara jarak peluruhan (downwind dan crosswind)
sebanding dengan tinggi inversi. Kecepatan angin dan koefisien difusi berbeda
untuk stabilitas atmosfer yang berbeda (stabil dan netral).
Variabel lain yang bertalian dengan meteorologi terdiri dari unsur-unsur
radiasi matahari, suhu dan tekanan udara, curah hujan, kelembapan, dan
evaporasi. Arah angin akan menentukan arah penyebaran polutan, sedangkan pola
penyebaran polutan tergantung pada lokasi sumber pencemar, kondisi
meteorologi serta topografi daerah. Cahyana, Umbara dan Lubis (1998) membuat
pemodelan isodosis dari dispersi radionuklida di atmosfer di daerah PPTN
Serpong. Perangkat lunak yang digunakan adalah EDLA (Evaluasi Dosis Lepasan
Atmosfir) dengan menggunakan bahasa pemrograman Delphi 3,0. Penyebaran gas
atau partikel radionuklida yang terlepas ke atmosfir menggunakan persamaan
Gauss. Klasifikasi kestabilan atmosfir dilakukan berdasarkan kecepatan angin
permukaan, insolation (incoming solar radiation) dan radiasi bersih (net
radiation) dari tapak. Parameter insolation digunakan jika pengamatan dilakukan
pada siang hari, sedangkan radiasi bersih digunakan jika pengamatan dilakukan
pada malam hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perangkat lunak EDLA
dapat digunakan untuk mensimulasikan dispersi radionuklida di atmosfir sampai
pada penghitungan dosis efektif sebagai fungsi jarak dari titik pelepasan yang
akan diterima manusia, baik untuk kondisi operasi normal ataupun bila terjadi
kecelakaan release (kedaruratan nuklir). Besarnya dosis efektif sebagai fungsi
koordinat dapat diketahui dengan cepat dan akurat. Pemanfaatan perangkat lunak
EDLA untuk kasus kedaruratan nuklir dapat memberikan informasi dosis efektif
kecelakaan, sehingga upaya penanggulangan yang sesuai dapat dilakukan secara
efektif dan efisien. Sementara itu Wang, Bosch dan Kuffer (2008) meneliti
sebaran NO2 dan PM10 di jalan raya. Model dispersi yang digunakan adalah
OSPM (Operational Street Pollution Model). OSPM adalah model polusi yang
digunakan di jalan raya yang dibangun oleh Departemen Atmosfer Lingkungan,
institute riset Nasional Denmark. Data meteorologi sebagai input, digunakan data
19

kecepatan dan arah angin per jam dan temperatur ambien. Output model yang
berhubungan dengan database memberikan peringatan pada ketinggian 17 m.

2.6.1 Stabilitas Atmosfer


Stabilitas atmosfer menurut Stull (2000) terbagi dua, ada yang statis dan
ada yang dinamis. Stabilitas dinamis ditentukan oleh faktor buoyancy (daya apung
udara akibat pemanasan oleh radiasi matahari) dan wind shears (gesekan yang
terjadi antara dua lapisan atmosfer dengan arah angin berbeda), sedangkan
stabilitas statis hanya mempertimbangkan faktor buoyancy. Chung-Chen, Kot dan
Tepper (1996) mendeteksi kondisi stabil dan inversi dengan menggunakan Radio
Acoustic Sounding Sistem (RASS). Hasil deteksi menunjukkan bahwa tanggal 3
Januari 1996 pukul 11.30am pada kondisi stabil, dan terjadi inversi pada saat
fumigasi pada permukaan lapisan. Sementara itu Huser, Nilsen dan Skatun (1997)
membangun sebuah prosedur untuk memprediksi kondisi stabil atmosfer pada
permukaan yang kompleks dengan model k-ε dengan program FLOW3D. Angin,
temperatur dan kuantitas turbulensi dihitung dengan aliran udara dan transfer
panas sampai keadaan steady. k-ε adalah model turbulensi, dengan k adalah
turbulensi energi kinetik dan ε adalah bouyance pada kondisi stabil. Model
diaplikasi untuk memprediksi sebaran konsentrasi NOx di atmosfer. Hasil
pembandingan prediksi dengan model menunjukkan bahwa hasil prediksi berada
pada kisaran hasil pengukuran.
Karakteristik yang dapat menunjukkan stabilitas atmosfer adalah gradien
suhu potensial (dθ/dZ). Suhu potensial (θ) adalah suhu yang akan dimiliki suatu
paket udara kering jika bergerak secara adiabatik dari tekanan tertentu (p) menuju
permukaan atau tekanan standar po. Umumnya po digunakan 1000 mb (Wark dan
Warner, 1981)
Rd / C p
⎛p ⎞
θ =T⎜ o ⎟ ……. 2.1
⎝ p⎠
dengan Rd adalah konstanta gas universal untuk udara kering dan nilai eksponen
untuk udara kering adalah 0,286 (Stull, 2000)

Secara umum stabilitas statis terdiri dari tiga kondisi kestabilan yaitu
stabil, tidak stabil dan netral. Gambar 4 menunjukkan stabilitas atmosfer ditinjau
20

dari laju penurunan suhu paket udara dan lingkungan serta gradien suhu potensial.
Pada gambar tersebut Environmental Lapse Rate (ELR) adalah laju penurunan
suhu lingkungan, sedangkan Г adalah laju penurunan suhu paket udara.
Kondisi tidak stabil adalah kondisi ketika laju penurunan suhu paket udara
lebih kecil dibandingkan laju penurunan suhu udara lingkungannya, sehingga
pada ketinggian yang sama, suhu paket udara lebih tinggi dibanding
lingkungannya. Paket udara ini akan cenderung mengembang secara vertikal,
pergerakan secara horisontal akan bergantung arah anginnya. Hal ini terjadi
biasanya pada siang hari dengan radiasi matahari tinggi. Berkaitan dengan suhu
potensial, pada kondisi stabil gradien suhu potensial terhadap ketinggian negatif.

Sumber: Oke (1978)


Gambar 4. Stabilitas atmosfer ditinjau dari laju penurunan suhu

Kondisi netral ditunjukkan oleh laju penurunan suhu paket udara yang
sama dengan laju penurunan suhu udara lingkungannya, sehingga suhu keduanya
akan sama pada ketinggian yang sama. Menurut Stull (2000), pada kondisi ini jika
udara tidak jenuh, maka dT/dZ=-Гd, jika udara jenuh uap air dT/dZ=-Гs (laju
penurunan suhu udara jenuh). Apabila diekspresikan dengan suhu potensial, maka
kondisi netral ditunjukkan oleh dθ/dZ=0, jika udara tidak jenuh, dan dθ/dZ=Гd-Гs
biasa terjadi siang ataupun malam hari, berangin dan atau berawan.
Kondisi stabil terjadi jika laju penurunan suhu paket udara lebih besar
dibandingkan dengan laju penurunan suhu udara lingkungannya. Pada ketinggian
yang sama suhu paket udara lebih rendah dibanding suhu lingkungannya,
sehingga tidak akan dapat berkembang vertikal. Hal ini menyebabkan suatu paket
udara cenderung stabil ditempatnya.
21

Atmosfer dikatakan dalam kondisi inversi jika terjadi kenaikan suhu


terhadap ketinggian. Menurut Schnelle dan Dey (2000), inversi suhu dapat terjadi
akibat beberapa hal, yaitu: (1) berubahnya keseimbangan radiasi gelombang
pendek dan panjang (inversi radiasi) seperti yang terjadi secara alami di
permukaan bumi pada malam hingga dini hari, (2) karena evaporasi, sehingga
terjadi pendinginan permukaan bumi (evaporation inversion) terutama pada siang
hari saat langit cerah tanpa awan, (3) adanya udara hangat bergerak di atas
permukaan yang lebih dingin (advection inversion), sehingga dapat membentuk
kabut, dan (4) adanya subsidensi udara dingin (udara dingin lebih berat sehingga
cenderung turun), sehingga udara yang lebih hangat naik, seperti yang terjadi di
sekitar lereng atau lembah pegunungan.

2.6.2 Turbulensi
Di atas permukaan, ketika udara bergerak akan mengalami gesekan
maupun geseran sehingga akan menimbulkan olakan (eddy), sehingga terjadi
turbulensi yang melibatkan pergerakan molekul-molekul antar lapisan udara
dikenal pula sebagai konveksi mekanik (forced convection). Di atas ketinggian
planetary boundary layer, pengaruh gesekan diabaikan. Pada Gambar 5
divisualisasikan sketsa aliran turbulen di atas permukaan yang halus. Pada lapisan
udara yang paling dekat dengan permukaan, terdapat lapisan tipis yang disebut
laminar boundary layer (Oke, 1978), yang merupakan lapisan dengan gerakan
laminier (gerakan paralel terhadap permukaan bumi, tidak ada komponen yang
saling menyilang) dan tidak ada konveksi, transfer non-radiasi berjalan secara
molekular. Sementara itu difusivitas molekular udara sangat kecil, sehingga
kadang kala lapisan ini menjadi penghalang yang penting antara permukaan
dengan atmosfer. Ketebalannya akan bergantung pada kekasapan permukaan dan
kecepatan angin. Jika kecepatan angin tinggi, lapisannya akan menjadi sangat tipis
bahkan akan menghilang sementara. Di atas lapisan laminier aliran udara menjadi
tidak stabil dan terdiri dari olakan (eddy) yang acak, disebut lapisan turbulen,
dengan ketebalan sekitar 50 meter di atas permukaan. Pada lapisan ini
perpindahan turbulen (konveksi) lebih efektif daripada difusi molekular.
22

Menurut Schenelle dan Dey (2000), Richardson Number (Ri) dapat


digunakan sebagai indikator turbulensi indeks kestabilan atmosfer. Parameter
stabilitas dalam hal ini adalah s yang diekspresikan dalam persamaan berikut:
g ⎛ Δθ ⎞
s= ⎜ ⎟ ……. 2.2
T ⎝ Δz ⎠

⎛ Δθ ⎞
g⎜ ⎟
Δz ⎠
dan Ri = ⎝ ……. 2.3
⎛ du ⎞
T⎜ ⎟
⎝ dz ⎠

Sumber: McIntosh dan Thom (1973)


Gambar 5. Sketsa aliran turbulen di atas permukaan yang halus

Tabel 6. Kondisi stabilitas berdasar Richardson Number (Ri)


Stabilitas Ri Keterangan
Stabil > 0,25 tidak ada vertical mixing, angin lemah,
inversi kuat, turbulensi mekanik diperkecil,
penyebaran kepulan asap dapat diabaikan
Stabil 0 < Ri < 0,25 turbulensi mekanik ditekan oleh stratifikasi
yang stabil
Netral 0 turbulensi mekanik
Tidak stabil -0,03 < Ri < 0 turbulensi mekanik dan konveksi
Tidak stabil < -0,04 konveksi mendominasi, angin lemah, gerak
vertikal kuat, asap menyebar dengan cepat
secara vertikal dan horisontal
Sumber: Schenelle dan Dey (2000)
23

2.6.3 Sirkulasi Angin Lokal


Kecepatan angin secara horisontal dipengaruhi oleh gradien tekanan di
permukaan serta kondisi kekasapan permukaan (surface roughness). Semakin
besar beda tekanan akan semakin tinggi kecepatan angin, tetapi semakin kasap
permukaan maka angin horisontal akan diperlambat. Angin mempengaruhi
penyebaran, pengenceran dan perpindahan polutan (Oke, 1978). Ketika angin
bertiup, polutan mengalami penyebaran searah angin dan jika terjadi turbulensi
maka penyebaran dapat terjadi searah dan melintas arah angin (crosswind).
Kecepatan angin berimplikasi pada proses pengenceran, semakin besar kecepatan
angin maka konsentrasi semakin mengecil. Raducan (2008) meneliti level
konsentrasi NOx, NO2, NO, CO dan O3 dari urban area dengan menggunakan
OSPM (Operational Street Pollution Model). OSPM digunakan dengan parameter
aliran yang sangat simpel dan kondisi dispersi pada street canyon. Aliran angin
dan dispersi polutan secara khusus tergantung pada aspek rasio (H/W = 1,16
dengan H adalah tinggi rata-rata bangunan sepanjang jalan dan W adalah lebar
jalan). Pembandingan hasil pengukuran dan perhitungan konsentrasi yang
ditunjukkan OSPM berhasil untuk memprediksi polusi dari lalulintas di jalan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara lalulintas
dan polusi. Sementara itu Cahyono (2005) meneliti sebaran SO2 dan NO2 dari
industri di Bandung. Metode yang digunakan adalah semi top-down untuk data
gradien menggunakan MM5. MM5 adalah salah satu model gradien yang
merupakan model prediksi cuaca regional. MM5 sendiri merupakan model
gradien finite difference. Berdasarkan hasil analisis dengan MapInfo dan ArcView
tampak di daerah sebelah timur kota Bandung emisi NO2 and SO2 lebih tinggi
dibandingkan daerah lain. SO2 mencapai nilai 240.000 kg/tahun dan NO2
mencapai nilai 335.000 kg/tahun. Akan tetapi pola penyebaran ini juga
dipengaruhi oleh efek sirkulasi diurnal di daerah tersebut seperti angin gunung
dan angin lembah. Di daerah utara sekitar Dago dan daerah terdekatnya cenderung
nilainya rendah, karena daerah utara Bandung merupakan daerah tinggi yang
penuh dengan vegetasi. Angin dapat membawa materi polutan melintasi batas
kota dan negara sampai ratusan kilometer. Faktor iklim dan cuaca sangat
menentukan dalam penyebaran polutan di suatu wilayah. Faktor meteorologi
24

mempunyai peran yang sangat utama dalam menentukan kualitas udara di suatu
daerah, baik kualitas udara perkotaan, pedesaan maupun alami.
Pola angin pada jenis permukaan berbeda akan menentukan pola dispersi
yang terjadi berbeda. Pada Gambar 6.a tampak terjadi perbedaan arah dispersi di
permukaan dan lapisan di atasnya. Menurut Klipp dan Mahrt (2003) ketika lapisan
pembatas terdapat di atas dua jenis permukaan yang berbeda, maka
kesetimbangan dengan permukaan di bawahnya akan terganggu, dan terbentuk
lapisan yang disebut Internal Boundary Layer (IBL). Pada Gambar 6.b
menggambarkan pola dispersi pada permukaan yang lebih homogen yaitu daratan
(perkotaan), pola dispersi akan menyesuaikan dengan pola angin yang terjadi.
Arah dan kecepatan angin selalu berubah-ubah sehingga memerlukan
analisis data angin untuk mendapatkan arah dan kecepatan angin rata-rata di suatu
tempat pada suatu waktu tertentu. Analisis ini dikenal sebagai windrose (Cooper
dan Alley, 1994). Data yang diperlukan untuk analisis ini adalah data kecepatan
dan arah angin dari waktu ke waktu, dibuat tabel frekuensi untuk arah angin dan
kisaran kecepatan angin tertentu.

(a) Pola dispersi pada permukaan heterogen (b) Pola dispersi pada permukaan homogen
Gambar 6. Pola dispersi pada permukaan

Profil kecepatan angin vertikal antara urban, pedesaan atau sub-urban serta
permukaan terbuka ditunjukkan pada Gambar 7.a. Pada ketinggian yang sama
untuk ketiga jenis permukaan menunjukkan kecepatan angin yang berbeda.
Wilayah yang lebih kasap, perubahan kecepatan angin antar ketinggiannya kecil,
karena terjadi olakan yang mengakibatkan kecepatan angin lebih homogen. Pada
Gambar 7.b-e menunjukkan pengaruh stabilitas terhadap profil kecepatan angin.
Pada kondisi stabil perbedaan kecepatan angin antar ketinggian lebih besar
dibandingkan dengan kondisi netral dan tidak stabil.
25

Sumber: Oke (1978)


Gambar 7. Profil kecepatan angin di permukaan kota, suburban dan daerah
terbuka (a), serta pengaruh stabilitas (b, c, d, e)

Pada skala vertikal kecepatan angin meningkat terhadap ketinggian, dan


dapat dihitung dengan menggunakan pendekatan Deacon dalam Wark dan Warner
(1981) sebagai berikut:
p
u2 ⎛ z 2 ⎞
=⎜ ⎟ ……. 2.4
u1 ⎝ z1 ⎠
dengan : u1, u2 = kecepatan angin pada dua lapisan ketinggian yang berbeda (ms-1)
z1, z2 = ketinggian dua lapisan (m); p = fungsi stabilitas atmosfer

Menurut Geiger, Aron dan Todhunter (1995), variasi angin terhadap


ketinggian maksimum terjadi di atas permukaan yang tidak beraturan dan
minimum di atas daratan yang datar dan permukaan air. Pada daerah yang penuh
bangunan tinggi nilai p sekitar 0,40 kota kecil dan daerah berhutan p = 0,28
sedangkan untuk daerah terbuka dan datar, danau dan laut nilai p = 0,16.

Tabel 7. Nilai p untuk model profil angin sebagai pengaruh kekasapan permukaan
Kelas stabilitas p (kota) p (desa)
A 0,15 0,15
B 0,15 0,15
C 0,20 0,20
D 0,25 0,25
E 0,40 0,40
F 0,60 0,60
Sumber: Cooper dan Alley (1994)
26

Wark dan Warner (1981) mengemukakan bahwa nilai p pada persamaan


2.4 dapat dihubungkan dengan nilai n (parameter stabilitas):
n
p= ……. 2.5
2−n
Pada kondisi netral, persamaan 2.4 menjadi:
u* ⎛ z ⎞ ……. 2.6
u= ln ⎜ ⎟
k ⎝ zo ⎠

dengan u* = τ
ρ
Keterangan : u = kecepatan angin pada ketinggian z
k = konstanta von Karman (0,4 untuk dekat permukaan tanah)
zo= panjang kekasapan permukaan (bidang yang paling aktif
melakukan pertukaran), makin halus permukaan zo makin kecil
diukur dari analisa profil
τ = tegangan geser permukaan
ρ = kerapatan atmosfer
u* = kecepatan gesekan (sher velocity) merupakan indikasi
turbulensi dan bergantung ketinggian

Tabel 8. Hubungan antara parameter n dengan kondisi stabilitas atmosfer


Kondisi stabilitas n
Laju penurunan suhu besar 0,20
Laju penurunan suhu kecil atau nol 0,25
Inversi moderat 0,33
Inversi kuat 0,50
Sumber: Suton dalam Wark dan Warner (1981)
u*
Jika dianggap sebagai suatu konstanta c, maka persamaan 2.6 menjadi :
k
⎛ z ⎞
u = c log ⎜ ⎟ ……. 2.7
⎝ zo ⎠

ketika terjadi inversi, udara dingin cenderung bertahan di permukaan, sehingga:


du ……. 2.8
= cz −1
dz

menurut Geiger, Aron dan Todhunter (1995) secara umum persamaan 2.8 ditulis
menjadi:
du ……. 2.9
= cz − β
dz

dengan β adalah fungsi struktur suhu (stabilitas), β = 1 untuk kondisi netral, β < 1
untuk kondisi stabil dan β > 1 untuk kondisi tidak stabil
27

2.6.4 Kondisi Topografi


Kondisi topografi suatu wilayah akan mempengaruhi angin dan suhu udara
di atasnya. Perbedaan penerimaan radiasi matahari antara datar dan berlereng
menyebabkan terjadinya pola aliran udara yang mengikuti perbedaan suhu dan
tekanan udara di atasnya.
Pengaruh topografi cukup rumit, sehingga menurut Barry (1968), perlu
mengenali jenis pegunungan dengan kriterianya. Pada dasarnya perlu dibedakan
antara puncak yang terisolasi, yaitu rangkaian pegunungan yang cukup besar
untuk memodifikasi aliran udara ke atas maupun ke bawah, dan dataran tinggi
yang membentuk penghalang utama untuk gerakan udara dan memiliki iklim
sendiri. Puncak yang tinggi mengalami suhu yang hampir sama dengan udara
bebas pada ketinggian yang sama, sementara dataran tinggi dipanaskan dan
didinginkan oleh proses radiasi. Lembah diantara dataran tinggi memiliki
atmosfer ‘tertutup’ yang secara diurnal dimodifikasi oleh pendinginan malam
hari, khususnya di musim dingin dan dinaikkan (suhunya) oleh pemanasan siang
hari.
Wilayah dengan topografi datar, pola anginnya relatif tidak mengalami
gangguan, seperti yang dikemukakan oleh Zhang dan Ghoniem (1993) bahwa
pengaruh topografi datar terhadap dispersi dan lintasan kepulan sangat kecil.
Untuk daerah dengan berpegunungan gerakan udara (angin) akan mendapatkan
hambatan sehingga terjadi gerakan udara ke atas secara mekanik (forced
convective). Topografi juga dapat mengubah arah dan kecepatan angin dengan
cepat karena adanya saluran (chanelling) melalui lembah, dan city-street canyon,
atau pemisahan aliran. Menurut Bibero dan Young (1974) profil kota yang kasar
menjadi tempat penyerapan energi kinetik dan memperlambat angin.

2.7 Model Prediksi


2.7.1 Model Dispersi
Secara umum terdapat empat model kualitas udara yang digunakan, yaitu:
(1) model empirik atau statistik, model ini digunakan untuk menghubungkan data
konsentrasi suatu lingkungan dengan lingkungan lain, misalnya CAR-model, suatu
model untuk mengestimasi kepadatan lalulintas dengan perubahan area; (2) model
28

Gaussian atau plume-model, merupakan model teori dasar penyebaran mengenai


distribusi polutan karena turbulensi, model ini dapat digunakan pada skala lokal;
(3) model Lagrangian, model untuk paket udara sebagai fungsi waktu sepanjang
aliran streamlines dalam atmosfer. Model ini digunakan untuk menganalisis emisi
polutan pada topografi yang kompleks, sedangkan aliran dan perubahan
konsentrasinya dikaji secara particulary (Noonan, 1999). Jenis model partikel
Lagrangian merupakan satu level di atas model puff. Model ini membutuhkan
sejumlah banyak partikel untuk membangun signifikansi statistik pada simulasi
(Mikkelsen, 2003); dan (4) model Eulerian, suatu model untuk menganalisis
konsentrasi satu atau beberapa kotak, pergerakan dari kotak ke kotak dipengaruhi
oleh kecepatan angin.
Untuk memprediksi penyebaran pencemar udara dikenal dua level
pemodelan, yakni screen modeling dan refined modeling. Analisis penyebaran
dengan screening modeling memberikan prediksi yang bersifat konservatif
terhadap dampak sumber pencemar dengan menggunakan masukan data dari
kasus terburuk (konsentrasi zat pencemar maksimum) atau data yang minimum
ketersediaannya (NSW-EPA 2001 dan ODEQ 2002). Menurut New South Wales
Environment Protection Authority (2001), screening modeling ini akan
memberikan suatu penilaian yang disebut ‘penilaian dampak tingkat 1’ (level 1
impact assessment). Dalam publikasi World Bank (1997) diungkapkan bahwa
screen models dapat digunakan untuk menentukan dispersi pencemar udara
dengan lebih cepat karena prosesnya yang tidak terlalu kompleks.
Model prediksi dapat diberlakukan untuk setiap evolusi dan seluruh
spesies polutan dalam lingkungan dengan perubahan yang konstan. Menurut
Ching et al. (2005) keluaran model secara kuantitatif tergantung pada seleksi grid
serta aplikasi komputasi yang digunakan. Lee, Geem, Kim dan Nam Yon (1998)
membangun simulasi komputer untuk memprediksi polutan beracun melalui
adveksi dan difusi untuk aliran unsteady. Model simulasi komputer dibangun
dengan UNET, model simulasi kualitas air, TOX15. Model ini diaplikasikan pada
phenol di sungai Nakdong Korea. Hasil model menunjukkan secara akurat dapat
memprediksi transpor polutan pada sistem sungai. Sementara itu Reza, Kingham
dan Pearce (2005) mengevaluasi model dispersi PM10 dengan menggunakan
29

model TAPM (The Air Pollutan Model) di Christchurch New Zeland. Hasil
pembandingan statistik dengan monitoring dengan IOA (Index of Agreement) 0,6
untuk variabel meteorologi menunjukkan hasil yang baik.
Penggunaan model dispersi udara secara esensi menggambarkan laju
emisi. Model dispersi adalah melakukan penghitungan sebaran udara dengan
koefisien dari setiap udara bebas pada waktu dan keadaan tertentu. Mayinger,
Pultz dan Durst (1989) membuat model simulasi numerik penyebaran polutan
pada lapisan batas atmosfer. Model yang dibangun menggunakan model Euler.
Persamaan difernsial dikembangkan dari hukum konservasi massa, momentum
dan energi. Prosedur solusi numerik untuk unsteady secara spesipik dilakukan
melalui: metode finite volum, menggunakan scheme implicit (time step),
sedangkan penyelesaian matrik menggunakan Strongly-Implicit-Procedure (SIP).
Secara umum penyebaran plume pada lapisan batas atmosfer melalui dua
mekanisme yaitu konveksi (atau adveksi) dan difusi. Difusi adalah pergerakan
atau perpindahan molekul-molekul dari material tertentu, dari tempat konsentrasi
tinggi ke tempat dengan konsentrasi lebih rendah. Difusi merupakan sifat alamiah
molekul yang terjadi karena setiap molekul memiliki energi kinetik untuk terus
bergerak dengan bebas, cepat dan acak sehingga molekul-molekul akan saling
bertabrakan sampai terdistribusi merata.
Model dispersi yang digunakan, tingkat kerumitannya akan beragam,
tergantung pada input yang digunakan dan output yang diharapkan. Drew et.al.
(2006) membuat model penyebaran bioaerosol dari fasilitas pupuk kompos. Data
konsentrasi bioaerosol diukur dan dianalisis secara berurut dengan menggunakan
model dispersi ADMS. Model ini adalah model dispersi Gausian untuk durasi
penyebaran yang singkat dan permukaan yang kompleks. Hasilnya kemudian
dibandingkan dengan hasil pengukuran untuk mendapatkan model prediksi yang
akurat. Dalam membandingkan hasil model, didasarkan pada tiga kelas stabilitias
Pasquill (very unstable, neutral dan very stable). Pada kondisi very unstable
konsentrasi bioaerosol pada ground level lebih tinggi dari pada kelas stablitias
yang lain. Sementara itu Cemas dan Rakovec (2003) membangun model spasial
dan temporal untuk menganalisis emisi SO2 dari termal Powerplant di Europa.
Konsentrasi polutan di atmosfer dianalisis menggunakan konservasi massa. Model
30

yang dibangun menggunakan model dispersi MEDIA yaitu suatu model Eulerian
untuk grid tiga dimensi dengan sigma sebagai koordinat vertikal. Konsentrasi
polutan diukur pada setiap titik grid (node) pada setiap waktu.

2.7.2 Sistem Peramalan Kualitas Udara


Menurut Tetuko (1998) terdapat beberapa metode komputasi untuk
pemodelan, misalnya metode analitik (analytical method), metode momen
(moment method), metode elemen hingga (finite element method), dan metode
beda hingga kawasan waktu (finite difference time domain). Pemilihan metode
mana yang terbaik tergantung pada problem utama yang akan dianalisa. Sebuah
Model Simulasi Kualitas Udara dapat berupa metodologi atau teknik numerik,
yang didasarkan atas dasar-dasar pokok fisika, yang digunakan untuk
memperkirakan konsentrasi pencemar udara dalam waktu dan ruang sebagai
fungsi dari distribusi emisi dan parameter meteorologi serta keadaan geofisik.
Menurut Mcdonald (2003), model simulasi adalah esensi prosedur komputasi
untuk memprediksi konsentrasi karena arah dan kecepatan angin, emisinya
didasarkan pada karakteristik (kecepatan keluar stack, temperatur plume, dan
diameter stack), bentuk permukaan (kekasapan permukaan, topografi lokal,
bentuk bangunan) dan keadaan atmosfer (kecepatan angin, stabilitas, dan tinggi
bercampur).
Sistem peramalan kualitas udara dapat digolongkan menjadi sistem
peramalan empirik atau statistik dan sistem peramalan numerik atau hibrid. Sistem
peramalan empirik atau statistik telah dioperasikan oleh beberapa lembaga negara
di Australia, misalnya Environment Authority of Victoria (EPAV)
mengembangkannya untuk kota Melbourne dan Geelong sejak Tahun 1982.
Prakiraan kualitas udara secara numerik mengembangkan prediksi meteorologi
dan kualitas udara melalui pemecahan persamaan konservasi untuk momentum,
energi, uap air dan massa untuk beberapa spesies.
Sistem numerik sekarang sedang dikembangkan di beberapa negara,
termasuk Jepang, Jerman, Amerika Serikat dan Kanada. Ada tiga macam teknik
pemecahan numerik, yaitu finit difference, finit element dan spectral method.
Metode numerik adalah teknik yang digunakan untuk memformulasikan persoalan
31

matematik sehingga dapat dipecahkan dengan operasi perhitungan/aritmetika biasa.


Reddy (1998) membuat model komputasi untuk memprediksi aliran dan transpor
polutan di sungai, muara dan laut. Persamaan dibangun dari konservasi massa dan
momentum, persamaannya diselesaikan dengan teknik finite different. Solusi
persamaan ini dapat memprediksi sebaran polutan pada setiap grid sebagai fungsi
ruang dan waktu. Tang et.al. (2006) membuat simulasi Computational Fluid
Dynamic (CFD) pada penyebaran jangka-pendek, secara khusus aliran dan
penyebaran pada struktur yang kompleks. Pengembangan dalam simulasi
komputer menggunakan performa FLUENT. Program ini merupakan solusi dari
persamaan konservasi massa, momentum dan energi.
Pengembangan dari finit element adalah finit volum method (FVM).
Nelwan (2005) telah mengembangkan FVM dalam penelitiannya untuk
mendapatkan distribusi suhu dan kelembapan nisbi udara dalam alat pengering
berbantuan energi surya yang berbentuk silinder untuk pengeringan biji kakao.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penggunaan FVM diperoleh
perbedaan suhu dan kelembapan nisbi udara pada beberapa posisi dalam
pengering tersebut sesuai dengan hasil pengukuran langsung. Sementara itu
Papakostas et.al. (2005) membuat model numerik dengan scheme implisit untuk
polusi atmosfer. Model konsentrasi polutan di atmosfer dihubungkan dengan
kecepatan angin, vektor difusivitas turbulen dan difusi massa polutan. Solusi
numerik dengan asumsi S=0 (tidak ada sumber) didapatkan solusi analitik model
Gaussian sebagai fungsi jarak dan waktu.

2.7.3 Pengembangan Model


Model yang dibangun untuk memprediksi laju penyebaran pencemar
udara, merupakan pengembangan dari persamaan kontinuitas dan persamaan
gerak. Model aliran yang dibangun dari kedua persamaan tersebut dapat
diaplikasikan untuk penyebaran polutan. Untuk mengkaji model penyebaran
tersebut digunakan model Euler atau model Lagrang. Model Euler mengkaji
model aliran dalam konsep medan, sedangkan model Lagrang mengkaji model
aliran dalam konsep partikel (Cengel dan Cimbala, 2006)
32

Persamaan kontinuitas dibentuk dari pola aliran dengan memperhatikan


hukum kekekalan, jika φ property fluida per unit volum (biasa disebut
konsentrasi) dan net efek per unit volum pada seluruh proses non-konservatif
adalah Q [φ ] diperhitungkan, maka persamaan umum kontinuitas menurut Vallis

(2005) adalah:
Dφ v v
+ φ∇.V = Q [φ ] ……. 2.10
Dt

D ∂ ∂ ∂ ∂
dengan = +u +v + w
Dt ∂t ∂x ∂y ∂z

Jika efek pada proses non-konservatif tidak diperhitungkan, maka persamaan 2.10
berubah menjadi:
∂φ v v
+ ∇. (φV ) = 0 ……. 2.11
∂t

Secara umum:
∂ v v
( ρφ ) + ∇. ( ρφV ) = 0 ……. 2.12
∂t
dengan ρ adalah kerapatan udara.

Pada persamaan gerak berlaku kesetimbangan momentum. Aliran


momentum, baik masuk maupun keluar, melalui dua mekanisme, yaitu konveksi
dan transfer molekul (Bird et al., 1960). Dalam setiap fluida yang mengalir
terdapat dua jenis perpindahan momentum: (1) perpindahan momentum secara
molekular, yang ditimbulkan karena gaya tarik-menarik antar molekul, dan (2)
perpindahan momentum secara konveksi, yang ditimbulkan karena adanya aliran
massa. Secara umum persamaan gerak dirumuskan:
v
D( ρV ) v v v
= −∇p + ∇.τ + ρ g …… 2.13
Dt
v
dengan τ adalah tensor tegangan viskos, sebagai berikut:

⎛ ∂u ⎛ ∂u ∂v ⎞ ⎛ ∂u ∂w ⎞ ⎞
⎜ 2μ μ ⎜ + ⎟ μ ⎜ + ⎟⎟
⎜ ∂x ⎝ ∂y ∂x ⎠ ⎝ ∂z ∂x ⎠ ⎟ ....... 2.14
⎛ τ xx τ xy τ xz ⎞ ⎜
v ⎜ ⎟ ⎛ ∂v ∂u ⎞ ∂v ⎛ ∂v ∂w ⎞ ⎟
τ = ⎜τ yx τ yy τ yz ⎟ = ⎜ μ ⎜ + ⎟ 2μ μ⎜ + ⎟⎟
⎜ ∂x ∂y ⎠ ∂y ⎝ ∂z ∂y ⎠ ⎟
⎜τ
⎝ zx τ zy τ zz ⎟⎠ ⎜ ⎝ ⎟
⎜μ ⎛ ∂w ∂u ⎞ ⎛ ∂w ∂v ⎞ ∂w ⎟
⎜ ⎜⎝ ∂x + ∂z ⎟⎠ μ ⎜ ∂y + ∂z ⎟ 2μ
∂z ⎟
⎝ ⎝ ⎠ ⎠
33

v
jika tensor tegangan τ pada persamaan 2.14 dimasukkan ke persamaan 2.13,
maka didapat persamaan Navier-Stokes (Cengel dan Cimbala, 2006):
v
D( ρV ) v
= −∇p + μ∇ 2V + ρ g ……. 2.15
Dt
dengan μ adalah viskositas dinamik, ρ adalah kerapatan udara, p adalah tekanan,
v
V adalah vektor kecepatan dan g adalah percepatan gravitasi bumi.

Perpindahan massa berlangsung dengan dua cara yaitu: konveksi dan


difusi. Perpindahan secara konveksi, karena adanya gaya dari luar sistem,
sedangkan perpindahan massa secara difusi, karena adanya gaya penggerak dalam
sistem, yakni perbedaan konsentrasi. Alirannya berlangsung dari konsentrasi
tinggi ke konsentrasi rendah (Bird et al., 1960). Penyebaran pencemar udara
diperoleh dengan menggabungkan persamaan 2.10 dan 2.15 sebagai berikut:
v
∂ρV v v v
+ ∇. ( ρV ) = −∇p + μ∇ 2V + ρ g ……. 2.16
∂t

Penyebaran pencemar udara, untuk keadaan steady, dalam hal ini bahwa ρ
adalah tetap, maka uraian persamaan 2.16, untuk komponen-x adalah :
⎛ ∂u ∂u ∂u ∂u ⎞ ∂p ⎛ ∂ 2u ∂ 2u ∂ 2u ⎞
ρ⎜ + u + v + w ⎟ = − + ρ gx + μ ⎜ 2 + 2 + 2 ⎟ ……. 2.17.1
⎝ ∂t ∂x ∂y ∂z ⎠ ∂x ⎝ ∂x ∂y ∂z ⎠

∂u ∂ 2u
ρ =μ 2 ……. 2.17.2
∂t ∂z
∂u ∂ 2u
=ν 2 ……. 2.17.3
∂t ∂z
μ
dengan ν = adalah viskositas kinematik.
ρ
⎛ ∂u ∂u ∂u ⎞ ∂p
Untuk keadaan steady ⎜ u + v + w ⎟ = 0 kemudian = 0 dan ρ g x = 0
⎝ ∂x ∂y ∂z ⎠ ∂x
karena tidak ada perubahan tekanan dan gaya gravitasi pada sumbu-x. Fluida
∂ 2u ∂ 2u
mengalir pada sumbu-x, maka syarat kontinuitas = 0 dan = 0 karena
∂x 2 ∂y 2
tidak ada kecepatan terhadap sumbu y, maka fluida mengalir pada bidang x-z.
Persamaan 2.17.3 merupakan persamaan difusi untuk satu dimensi. Menurut
Mikkelsen (2003) persamaan difusi timbul sebagai konsekuensi langsung dari
34

prinsip konservasi massa, dengan perubahan total massa pada sistem tertutup
adalah nol.

2.7.4 Aplikasi Model untuk Menganalisis Konsentrasi Polutan


Untuk menganalisis sebaran pencemar udara dari sumber dilakukan model.
Suatu model untuk menganalisis sebaran pencemar udara digunakan model
Gaussian. Proses model plume Gauss, cocok untuk mengidentifikasi hubungan
input dan output dari data yang di uji (Sabin et al., 2000). Gaussian plume model
adalah salah satu model matematika yang digunakan untuk mempresentasikan
proses dispersi polutan di udara. Persamaan dari model tersebut digunakan untuk
menentukan konsentrasi polutan hasil dispersi cerobong asap pabrik di lokasi
tertentu di sekitar cerobong asap. Pada model ini perilaku polutan mengikuti
distribusi normal atau distrbusi Gaussian. Model Gausian secara luas digunakan
untuk mengestimasi impact polutan non-reaktif dari sumber titik atau garis (Arya,
1999).
Model Gaussian pertama-tama dikembangkan untuk mengolah emisi dari
sebuah sumber titik (plumes) dalam skala lokal, model multi kotak sengaja
dikembangkan sebagai model regional (skala meso) untuk menangani pencemaran
di daerah urban yang secara spesifik akan mengolah penyebaran pencemar di
daerah berdasarkan distribusi emisi pencemarnya. Formula pada Gaussian plume
model dapat digunakan untuk menentukan tinggi fisik cerobong asap yang
minimum agar dispersi polutan tidak membahayak makhluk hidup di sekitar
pabrik. Soriano et.al. (2003) melakukan pengukuran dampak emisi dari cerobong
industri, dengan menggunakan model Gaussian dan mesoscale. Model Gaussian
digunakan untuk memprediksi konsentrasi pelbagai polutan pada ground-level
yang diemisikan dari cerobong industri. Sementara itu dampak emisi dari
cerobong indutri di Eastern Spanyol digunakan model TAPM (The Air Pollutan
Model).
Model sebaran pencemar udara dari sumber titik disajikan pada Gambar 8.
Hasil model plume Gaussian sebagai solusi dari persamaan difusi. Pada model ini
faktor lain yang dipertimbangkan yaitu stabilitas atmosfer yang mempengaruhi
penyebaran polutan baik secara horisontal searah angin (downwind) maupun
35

melintasi arah angin (crosswind). Formula dasar fungsi Gaussian dapat digunakan
secara tepat untuk mengestimasi distribusi polutan dari single source (Forsdyke,
1970). Model dispersi Gauss dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan:

Q ⎡ 1 ⎛ y ⎞ ⎤ ⎧⎪ ⎡ 1 ⎛ z − H ⎞2 ⎤ ⎡ 1 ⎛ z + H ⎞2 ⎤ ⎫⎪
……. 2.18
C ( x, y , z ; H ) = exp ⎢ − ⎜ 2 ⎟ ⎥ ⎨exp ⎢ − ⎜ 2 ⎟ ⎥ + exp ⎢ − ⎜ 2 ⎟ ⎥ ⎬
2πσ yσ z u ⎢⎣ 2 ⎜⎝ σ y ⎟⎠ ⎥⎦ ⎪⎩ ⎢⎣ 2 ⎝ σ z ⎠ ⎥⎦ ⎢⎣ 2 ⎝ σ z ⎠ ⎥⎦ ⎪⎭

keterangan :
C adalah konsentrasi polutan pada suatu titik (x,y,z), dalam gm-3
Q adalah laju emisi, dalam gs-1
σy, σz adalah parameter penyebaran horisontal (y) dan vertikal (z), merupakan
fungsi dari jarak (x)
u adalah kecepatan angin rata-rata pada ketinggian cerobong, dalam ms-1
y adalah kepulan horisontal dari centerline, dalam m
x adalah kepulan vertikal dari permukaan, dalam m
H adalah ketinggian efektif (H=h+∆h), h adalah ketinggian cerobong dan ∆h
adalah tinggi kepulan di atas cerobong

Gambar 8. Model penyebaran polutan dari sumber titik berdasar sebaran


Gauss
(Carbon, 2004 )

Gambar 8 memberikan ilustrasi tentang pemodelan dispersi polutan


dengan Gaussian plume model. Polutan bergerak searah dengan arah angin pada
sumbu-x. Sumbu-y adalah arah tegak lurus horisontal dengan sumbu-x dan
sumbu-z adalah vertikal dengan permukaan tanah. Pada proses difusi polutan,
terjadi difusi tiga dimensi karena molekul-molekul polutan berdifusi pada sumbu-
x, sumbu-y dan sumbu-z. Selain proses difusi, pada sumbu-x juga terjadi proses
adveksi atau transportasi polutan yang diakibatkan oleh angin.
Persamaan 2.18 dapat digunakan dengan asumsi; kecepatan dan arah angin
dari sumber titik sampai reseptor konstan, turbulensi atmosfer konstan, seluruh
kepulan tidak mengalami deposisi ataupun washout, komponen yang mencapai
36

permukaan dipantulkan kembali ke dalam kepulan, tidak ada komponen yang


diserap oleh badan air atau vegetasi, dan secara kimia tidak ada komponen yang
mengalami transformasi, dispersi hanya terjadi pada arah vertikal dan crosswind
(Leonard, 1997). Stabilitas atmosfer dan downwind distance pada model
Gaussian, bukan merupakan input langsung, tapi seluruhnya terkaper pada
parameter dispersi σy dan σz. Parameter tersebut diasumsikan sebagai standar
deviasi horisontal dan vertikal. Parameter dispersi yang biasa digunakan untuk
model Gaussian adalah koefisien dispersi PGT (Pasquill-Gifford-Turner) untuk
rural area. Ashrafi dan Hoshyaripour (2008) membuat model untuk menganalisis
stabilitas atmosfer dan hubungannya dengan konsentrasi CO. Metode yang
digunakan untuk menganalisis stabilitas atmosfer adalah PTM (Pasquill-Turner
Method) dengan program PORTRAN90. Untuk aplikasi model digunakan data
meteorologi dari Tahun 2000 sampai 2005 dari stasiun Mehrabad. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada hubungan antara konsentrasi CO dengan stabilitas
atmosfer. Klasifikasi stabilitas atmosfer sebesar 38,77%, 27,26%, 33,97% untuk
kondisi stabil, netral dan tidak stabil. Hasil frekuensi relatif mengindikasikan
kondisi stabil menurun selama periode Januari sampai Juni, dan meningkat selama
periode Juli sampai Desember. Sementara itu Ruhiat et.al. (2009) melakukan
analisis karkateristik udara di Kota Cilegon. Data meteorologi yang digunakan
dari Tahun 2005 – 2007. Hasil analisis menunjukkan bahwa stabilitas atmosfer di
Kota Cilegon berada pada stabilitas A (sangat tidak stabil) sampai E (agak stabil).
Aplikasi model untuk single source pada berbagai stabilitas atmosfer
digunakan model screen3 suatu model yang dikembangkan oleh badan
lingkungan Amerika USEPA (United States Environmental Protection Agency).
Model dispersi Screen3 digunakan untuk menganalisis pola sebaran polutan yang
tidak reaktif pada periode jangka pendek (harian), sehingga diperoleh pola
sebaran pada tingkat stabilitas yang berbeda. Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Daerah (Bapedalda) Banten (2002) melakukan analisis pola
penyebaran polusi udara di Provinsi Banten. Sebaran polutan dikaji dengan
menggunakan model screen3. Hasil analisis sebaran menunjukkan bahwa jarak
sebaran terjadi pada berbagai kondisi stabilitas atmosfer. Pada stabilitas E yaitu
pada saat kondisi udara agak stabil (slightly stable), penyebaran polutan dapat
37

terjadi sampai jarak puluhan ribu meter atau puluhan kilometer dari sumbernya.
Konsentrasi terbesar (maksimum) yang jatuh pada permukaan tanah adalah pada
stabilitas A yaitu pada kondisi udara labil mantap (very unstable).
Aplikasi model untuk multiple sources digunakan model ISCST3
(Industrial Source Complex Short Term3). Rahmawati (2003) mengaplikasikan
model dispersi Gauss untuk menduga pencemaran udara di kawasan industri.
Analisis emisi dari sumber menggunakan model ISCST3. Sementara itu Venegas
dan Mazzeo (2002) membuat model dispersi untuk mengevaluasi konsentrasi NO2
di Buinos Aires. Aplikasi model dari sumber titik menggunakan model ISCST3
sedangkan dari sumber area menggunakan model DAUMOD (The Atmospheric
Dispersion Model). Model ini diaplikasikan untuk mengevaluasi sebaran polutan
pada setiap grid untuk Kota Buinos Aires. Konsentasi NO2 perjam dan pertahun
dapat diestimasi. Hasil prediksi terjadinya konsentrasi perjam lebih besar dari
yang ditunjukan WHO. Ruhiat et.al. membuat prediksi sebaran SO2 di Kota
Cilegon. Model dibangun dengan menggunakan persamaan adveksi-difusi untuk
aliran unsteady. Kemudian Tan, Vergel dan Camagay (2006) membangun dan
mengkalibrasi model dispersi polutan. Model dispersi udara digunakan untuk
mengestimasi konsentrasi polutan yang diemisikan pada berbagai sumber industri.
Konsentrasi polutan dianalisis searah dengan arah angin. Model ini diaplikasikan
di Kota Manila, sebarannya dianalisis sebagai fungsi ruang dan waktu.
Untuk menganalisis penyebaran pencemar udara pada suatu wilayah,
Santoso (2005) membuat model penyebaran pencemar udara dari kendaraan
bermotor dengan menggunakan metode volume terhingga di Kota Bogor. Model
yang dibangun, diturunkan dari persamaan umum tranpor untuk aliran steady.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencemar udara, menyebar ke semua arah
melalui proses difusi. Sementara itu Lastdrager, Koren dan Verwer (2001)
membuat teknik kombinasi masalah adveksi time-dependent pada setiap grid.
Persamaan adveksi didiskretisasi menjadi persamaan linear. Hasil analisis
menunjukkan bahwa teknik kombinasi lebih efisien dari pada pendekatan single-
grid.
Schulze et.al. (2002) membuat model distribusí dan simulasi spasial-
temporal. Untuk mendukung informasi spasial digunakan HILA (High Level
38

Architecture). Spasial-temporal pada standar geoinformasi digunakan DALI


(Distributed Spatial-temporal Interoperability architecuture). Sementara itu
Alimaman (2004) membuat model matematis monitoring kualitas lingkungan
untuk kawasan perkotaan. Model ini dilakukan pada lokasi; Kota Bogor, Kota
Jakarta, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surakarta dan Kota Bandung.
Model matematis yang dibangun adalah model regresi. Hasil pola regresi dengan
variabel yang dikembangkan, didapat bahwa jumlah rumah dan jumlah industri
yang bertambah, akan membutuhkan kebutuhan kapasitas jalan sesuai kebutuhan
dengan jumlah kendaraan yang ada, akan mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Kemudian Chenevez, Baklanov dan Sorensen (2004) membuat model prediksi
transpor polutan dengan scheme integrasi numerik. Sebaran konsentrasi polutan
(C) dianalisis dengan menggunakan persamaan adveksi-difusi. Persamaan
dibangun dalam bentuk spasial dan temporal. Konsentrasi yang diemisikan pada
waktu t + Δt di dalam grid didapat solusi: C t +Δt = 2Δt.Q ( t ) + C t −Δt dengan Q

tergantung pada volume emisi grid. Sementara itu Tartakovsky, Federico (1997)
membuat solusi analitik untuk transpor pencemaran pada aliran nonuniform.
Persamaan dibangun dari persamaan difernsial dispersi-konveksi steady-state
untuk kasus 2 dimensi. Kemudian Fadimba (2005) membuat linierisasi dengan
scheme Euler pada persamaan adveksi-difusi nonlinear. Fungsi aliran faksional,
fungsi invers, dan koefisien difusi menggunakan deret Taylor-expansion. Hasil
analisis linearisasi untuk time-step ditunjukkan dengan matrik.
III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2005 sampai April 2008 termasuk
untuk persiapan, perijinan dan penyusunan proposal. Penelitian dilakukan di Kota
Cilegon Provinsi Banten. Wilayah kajian melingkupi kawasan industri, dan
perumahan atau pemukiman Kota Cilegon dengan Kabupaten Serang, seperti
terlihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Wilayah studi

Cilegon dikenal sebagai kota baja, karena di kota ini berdiri perusahaan
pengolah baja terbesar di Indonesia. Berdirinya perusahaan ini, diikuti oleh
perusahaan lain sebagai penunjang, sehingga membutuhkan lahan yang cukup
luas. Lahan yang digunakan untuk industri menurut penggunaan tanah seluas
2.846,89 ha (BPN Kota Cilegon, 2004). Industri tersebut menyebar di tiga
kecamatan yakni: kecamatan Ciwandan, Citangkil dan Pulomerak.

3.2 Prosedur Penelitian


Proses pendugaan dan analisis dispersi pada penelitian ini terbagi menjadi
beberapa tahap kegiatan. Tahapan tersebut mencakup kegiatan pengumpulan data,
pembuatan model prediksi serta aplikasi model pada studi kasus, hingga pemetaan
penyebaran pencemar udara di Kota Cilegon. Tahapan pengolahan dan analisis
data penelitian, selengkapnya disajikan pada Gambar 10.

39
40

Gambar 10. Diagram alir prosedur penelitian

Pada tahap satu kegiatan difokuskan di kawasan industri dan Badan


Meteorologi dan Geofisika (BMG). Pengkajian di kawasan industri mencakup
bahan bakar dan tingi cerobong, kemudian diinventarisasi yang didasarkan pada
jenis bahan bakar dan tinggi cerobong yang digunakan. Output pada tahap ini
didapatkan karakteristik udara lokal Kota Cilegon.
Pada tahap dua pengkajian di fokuskan di kawasan industri, untuk
menganalisis pencemar udara yang diemisikan dari pabrik didasarkan
karakteristik udara. Analisis penyebaran menggunakan screen3 model US-EPA
Environmental Protection Agency, Amerika Serikat. Output pada tahap ini
didapatkan konsentrasi maksimum di permukaan tanah (ground level
concentration) dan jarak sebaran polutan yang diemisikan dari pabrik. Polutan
yang dianalisis dalam penelitian ini adalah partikulat (debu) dan SO2. Untuk
41

mengevaluasi kehandalan model, dilakukan pengukuran emisi polutan di kawasan


industri.
Pada tahap tiga yang merupakan tahap akhir kegiatan penelitian,
menganalisis sebaran polutan di Kota Cilegon. Analisis penyebaran polutan
menggunakan persamaan umum transpor untuk aliran unsteady. Input untuk
model ini adalah hasil running screen3 dan difusivitas pencemar udara. Output
pada tahap ini didapatkan sebaran polutan di Kota Cilegon. Agar model yang
dikembangkan dapat digunakan, maka dilakukan validasi. Untuk memvalidasi
kehandalan model, dilakukan pengukuran sebaran polutan pada 24 titik sampel di
Kota Cilegon. Studi kasus ini dilakukan untuk memahami lebih jauh aplikasi
model pada kondisi tertentu. Analisis model dibuat dalam periode tiga bulanan,
hal ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran sebaran konsentrasi polutan pada
suatu wilayah di Kota Cilegon.

3.3 Data dan Peralatan


3.3.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dari
hasil survey lapang, maupun dari instansi-instansi terkait yang ada di wilayah
Kota Cilegon. Jenis dan macam data yang diperlukan ditampilkan pada Tabel 9.

Tabel 9. Jenis dan macam data yang diperlukan


Jenis Macam Sumber
Peta Kota Cilegon geografi, topografi Bapeda Kota Cilegon
Industri dan DLHPE
Potensi polutan jumlah, lokasi, kapasitas emisi
Kota Cilegon
Cuaca dan iklim suhu, angin, awan, hujan Stasiun Meteorologi
Kondisi atmosfer stabilitas, mixing height Stasiun Meteorologi

3.3.2 Data dan Software


Data yang digunakan untuk membangun model prediksi, terdiri dari jenis
polutan yang diemisikan masing-masing pabrik. Adapun data yang berhubungan
dengan meteorologi diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG).
Untuk aplikasi pada studi kasus, digunakan data, alat dan software penunjang
sebagai berikut:
1. Peta Kota Cilegon
42

2. Data pengukur kualitas udara ambien


3. Alat penunjuk arah angin
4. Software Wrplot untuk mendapatkan arah dan kecepatan angin rata-
rata
5. Software Screen3 untuk menganalisis pola sebaran polutan dari
masing-masing pabrik di kawasan industri
6. Software Matlab R2006b versi 7.3 untuk menganalisis distribusi laju
sebaran polutan di Kota Cilegon
7. Software ArcView untuk memetakan penyebaran zat pencemar di Kota
Cilegon

3.3.3 Data dan informasi pendukung


Untuk mendukung analisis dan evaluasi dalam penelitian ini, diperlukan
beberapa data dan informasi, yaitu:
1. Data pabrik di kawasan industri, yakni jumlah pabrik di zona KS, zona
Ciwandan, dan zona Pulomerak
2. Penggunaan bahan bakar masing-masing pabrik
3. Penggunaan cerobong masing-masing pabrik
4. Data unsur cuaca atau iklim yang diperoleh dari stasiun Klimatologi
Serang

3.4 Analisis Data


3.4.1 Analisis karakteristik cuaca di Kota Cilegon
Analisis faktor-faktor meteorologi antara lain meliputi mawar angin (wind
rose), analisis stabilitas atmosfer, analisis ketinggian pencampuran polutan, dan
analisis profil kecepatan angin pada level ketinggian.
Metode analisis penentuan stabilitas atmosfer berdasarkan model
persamaan menurut Turner dalam Cooper dan Alley (1994) atau lebih dikenal
dengan Pasquill-Gifford-Turner (PGT). Kategori PGT dihitung dari kecepatan
angin (10 meter di atas permukaan) dan mendatangkan insolasi sebagai parameter
pengembangan, dengan kategori (A = sangat tidak stabil, B = tidak stabil
menengah, C = sedikit tidak stabil, D = netral, E = agak stabil, F = stabil) yang
berhubungan dengan kurva σy (kualitas plume lateral) dan σz (kualitas plume
43

vertical) untuk difusi waktu rata-rata. Adapun kategori penentuan stabilitas


tersebut disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Kondisi atmosfer dalam berbagai stablitas


Kecepatan Radiasi matahari siang hari Keawanan malam harie
angin Berawan Cerah
b c d
permukaan Kuat Sedang Redup (≥ 4/8) (≤ 3/8)
(m/det)a
<2 A A–B B E F
2–3 A–B B C E F
3–5 B B–C C D E
5–6 C C–D D D D
>6 C D D D D
Sumber: Turner (1970) dalam Cooper dan Alley (1994)
Keterangan:
a. Kecepatan angin permukaan diukur pada ketinggian 10 meter di atas
permukaan
b. Siang hari pada musim panas yang cerah dengan ketinggian matahari > 60o di
atas garis horison
c. Siang hari musim panas sedikit gumpalan awan, atau siang hari cerah dengan
ketinggian matahari 35o – 60o di atas horison
d. Siang hari menjelang sore, atau siang hari musim panas yang berawan, atau
siang hari musim panas dengan sudut ketinggian matahari 15o – 35o
e. Keawanan didefinisikan sebagai fraksi dari penutupan langit oleh awan.

Metode perhitungan tinggi lapisan pencampuran polutan di atmosfer


(mixing height) dilakukan dengan menggunakan persamaan Randerson (1984):
0,3u *
zm = ……. 3.1
f
Perhitungan nilai u* dapat dihitung dari kecepatan angin pada 10 meter (u10),
dalam hal ini : u* = 0,1u10 , dengan : u* adalah kecepatan friksi (ms-1), dan f

adalah parameter coriolis (9,374 10-5 pada 40o). Metode perhitungan profil
kecepatan angin pada lapisan ketinggian, menggunakan persamaan 2.4 dengan
formula:
n
uz ⎛ z ⎞
=⎜ ⎟ ……. 3.2
uo ⎝ z o ⎠
dengan : uz = kecepatan angin pada ketinggian z (meter)
uo = kecepatan angin pada ketinggian zo (meter), umumnya dipakai angin
permukaan pada ketinggian 10 (sepuluh) meter
n = konstanta, tergantung pada kondisi stabilitas, antara 0,20 – 0,50
seperti pada Tabel 11.
44

Tabel 11. Hubungan antara kondisi stabilitas dan nilai konstanta n


Kondisi stabilitas Nilai konstanta
Large lapse rate 0,20
Zero or small lapse rate 0,25
Moderate inversion 0,33
Large inversion 0,50
Sumber: Wark dan Warner (1981)

3.4.2 Analisis sebaran polutan di Kawasan Industri


Analisis sebaran polutan di kawasan industri, dilakukan dengan beberapa
tahap, sebagai berikut:
1) Inventarisasi Emisi
Kegiatan inventarisasi emisi dilakukan untuk memperoleh gambaran
secara rinci dan lengkap mengenai jenis dan sumber pencemar di wilayah
studi. Hal ini dilakukan, agar dapat mendukung dalam analisis pola sebaran.
Salah satu dasar batasan yang dipakai untuk menentukan sumber polutan
adalah ketinggian cerobong. Inventarisasi emisi yang dilakukan dalam
penelitian ini hanya dibatasi pada sumber pencemar dari kegiatan industri
dengan ketinggian cerobong di atas 40 (empat puluh) meter, karena hal ini
dianggap dapat memberikan kontribusi sebaran polutan pada daerah yang
cukup luas, yang meliputi seluruh wilayah Kota Cilegon. Sementara itu jenis
dan sumber polutan dengan ketinggian di bawah 40 meter, termasuk sumber
transportasi maupun sumber domestik diabaikan dalam penelitian ini, karena
pola sebarannya lebih bersifat lokal atau mikro dengan sebaran polutan pada
luas wilayah yang relatif lebih kecil.

2) Verifikasi Pabrik
Jumlah pabrik di Kota Cilegon sebanyak 104 dengan pelbagai
produksi dan bahan bakar yang digunakan berbeda. Pabrik tersebut menyebar
di tiga zona kawasan industri. Untuk menganalisis sebaran polutan yang
diemisikan, dilakukan verifikasi yang didasarkan pada tinggi cerobong yang
digunakan. Dalam penelitian ini, diambil pabrik dari masing-masing zona
(sesuai kriteria pada bagian 1), selengkapnya ditampilkan pada Tabel 12.
45

Tabel 12. Nama pabrik yang menyebarkan polutan di kawasan industri

No Nama Pabrik Zona Bahan Bakar Jumlah


Cerobong
1 PT. Indonesia Power Pulomerak Batu bara, HSD 7
(PLTU Suralaya) dan MFO
2 PT. Chandra Asri Ciwandan Solar, PFO dan 10
MFO
3 Pembangkit Listrik (Cigading) Ciwandan Residu dan 5
BBG
4 PT. Krakatau Steel KS HSD dan MFO 25
5 PT. Krakatau Daya Listrik KS Residu 4
Keterangan : HSD = High Speed Diesel
MFO = Marine Fuel Oil
PFO = Pyrolisis Fuel Oil

3) Analisis sebaran polutan di kawasan industri


Besarnya kapasitas emisi yang dipancarkan dari setiap kegiatan industri
sangat tergantung pada jenis dan jumlah bahan bakar yang digunakan dalam setiap
proses produksi. Umumnya bahan bakar batubara akan memberikan kontribusi
emisi polutan yang lebih besar dibandingkan dengan bahan bakar minyak dan gas
bumi. Akan tetapi ada beberapa faktor yang dapat menurunkan kadar emisi ke
udara yaitu faktor penggunaan teknologi pengendalian emisi dan kadar polutan
dalam bahan bakar yang digunakan.
Industri yang menggunakan teknologi pengendalian emisi akan
memberikan kontribusi emisi polutan yang lebih kecil dibandingkan dengan
industri yang sama sekali tidak menggunakan teknologi pengendalian. Demikian
juga dengan penggunaan bahan bakar, industri yang menggunakan bahan bakar
yang kandungan polutannya lebih rendah akan memberikan emisi yang lebih
kecil.
Untuk menganalisis konsentrasi pencemar udara yang keluar dari
cerobong pabrik menggunakan persamaan model dispersi Gauss. Model untuk
menganalisis penyebaran pencemar udara dari setiap cerobong pabrik
menggunakan screen3. Dalam publikasi World Bank (1997) diungkapkan bahwa
screen models dapat digunakan untuk menentukan dispersi pencemar udara
dengan lebih cepat karena prosesnya yang tidak terlalu kompleks. Output dari
model screen3 akan didapat konsentrasi maksimum dan jarak polutan yang
diemisikan dari sumber.
46

3.4.3 Prediksi Sebaran Polutan pada suatu Wilayah


Dalam memprediksi distribusi laju penyebaran pencemar udara di Kota
Cilegon, dilakukan dengan beberapa batasan sebagai berikut:
1) Perlakuan
Penyebaran polutan di Kota Cilegon, akan dikaji melalui dua
perlakuan; pertama penyebaran pencemar dengan ada sumber pencemar,
kedua penyebaran pencemar dengan tidak ada sumber pencemar. Kedua
skenario tersebut, dibuat secara periodik dalam periode tiga bulanan. Output
nya didapatkan perbedaan konsentrasi sebaran pencemar udara pada setiap
stabilitas atmosfer pada suatu wilayah yang diemisikan dari industri pada
waktu tertentu.

2) Persamaan yang digunakan


Penyebaran pencemar udara selain berlangsung melalui proses difusi,
juga dipengaruhi oleh aliran atau gesekan udara yang disebut proses konveksi.
Untuk mengkaji aliran penyebaran pencemar udara menggunakan model
Euler, yakni suatu kajian model aliran pencemar dalam bentuk paket atau
kotak. Persamaan model yang dibangun merupakan gabungan persamaan
kontinuitas dan persamaan gerak.
Model yang digunakan untuk memprediksi sebaran polutan
dikembangkan dari persamaan 2.15 dengan memperhitungkan sumber emisi.
Untuk itu, model yang digunakan diturunkan dari hukum konservasi
persamaan umum transpor untuk aliran unsteady (Versteeg, 1995), sebagai
berikut:
d
( ρφ ) + div ( ρφ u ) = div ( Γgradφ ) + Sφ ……. 3.3
dt
keterangan: ρ = Kerapatan udara [kg/m3]
Г = Difusivitas pencemar [kg/m.s]
u = Kecepatan angin [m/s]
S = Sumber (source)
φ = Properti (pencemar udara) [μg/m3]

Difusivitas antar pencemar udara (Г), menurut Bird (1960) dihitung


dengan menggunakan persamaan:
47

p Γ AB ⎛ T ⎞
b
……. 3.4
= a⎜ ⎟
⎛ 1 1 ⎞
1/ 2 ⎜ T T ⎟
⎝ ⎠
( p cA p cB ) (TcATcB )
1/ 3 5 /12 cA cB
⎜ + ⎟
⎝MA MB ⎠
dengan : Γ AB = difusivitas antar pencemar [kg/m.s]
p = tekanan di suatu tempat [atm]
pc = tekanan kritis pencemar [atm]
Tc = temperatur kritis [oK]
T = temperatur di suatu tempat [oK]
MA dan MB = massa masing-masing pencemar
a dan b adalah konstanta, dengan a = 2.745 x10−4 dan b = 1,823

3) Tahapan pemecahan model


Aplikasi matematik untuk memecahkan persamaan model,
menggunakan solusi persamaan difernsial parsial. Cara umum untuk
menyelesaikan persamaan difernsial parsial dilakukan dengan membagi
daerah (domain) ke dalam kisi-kisi dengan jarak berhingga dalam arah
koordinat (Rice, 1983). Pada studi ini, model matematik yang dibangun
dipecahkan dengan metode finite volum. Menurut Burden dan Douglas (1989)
metode finite volum digunakan untuk menyelesaikan masalah nilai-batas untuk
setiap turunan pada persamaan difernsial. Metode finite volum digunakan
untuk menyelesaikan suatu persamaan umum secara numerik dengan teknik
integral (Rice, 1983). Metode numerik tersebut dipilih karena cukup baik dan
sederhana dalam pemecahan persoalan aliran atau transpor. Penyelesaiannya
menggunakan teorema Green, solusinya berbentuk node dan titik sekitarnya
(Hoffmann dan Steve, 1993). Tahapan pemecahan model tersebut adalah
sebagai berikut:
a) pembentukan grid, membagi domain menjadi volume kontrol
b) diskretisasi

Untuk pemecahan model, dilakukan analisis terhadap model


penyebaran pencemar udara sebagai fungsi waktu. Persamaan 3.3
didiskretisasi dengan mengintegrasi pada volume kontrol dengan interval
waktu dari t ke t + Δt. Aliran ini harus memenuhi aturan kontinuitas berikut:

d ( ρφ u )
=0 ……. 3.5
dx
maka persamaannya menjadi:
48

⎛ φ p − φ po ⎞ ⎡ Γ e (φE − φP ) Γ w (φP − φW ) ⎤ ⎡ Γ e (φEo − φPo ) Γ w (φPo − φWo ) ⎤ …. 3.6


ρ ⎜⎜ ⎟⎟ Δx = θ ⎢ − ⎥ + (1 − θ ) ⎢ − ⎥ + S Δx
⎝ Δt ⎠ ⎣ δ xPE δ xWP ⎦ ⎢⎣ δ xPE δ xWP ⎥⎦

dengan θ adalah parameter yang digunakan untuk mengevaluasi integral φP ,


φE , dan φW .

Diskretisasi adalah:
aPφP = aW ⎡⎣θφW + (1 − θ ) φWo ⎤⎦ + aE ⎡⎣θφE + (1 − θ ) φEo ⎤⎦ + ⎣⎡ aPo + (1 − θ ) aW − (1 − θ ) aE ⎦⎤ φPo + b …. 3.7

Δx
dengan : aP = θ ( aW + aE ) + aPo dan aPo = ρ
Δt

Scheme yang digunakan untuk penelitian ini adalah scheme implisit


dengan parameter θ = 1 pada kasus dua dimensi, maka diskretisasi aliran
penyebaran pencemar:
aPφP = aW φW + aEφE + aSφS + aN φN + aPoφPo + Su ……. 3.8

ρ op ΔxΔy
dengan : aP = aW + aE + aS + aN + a + ΔF − S P dan a = 0
P
o
p
Δt

Setelah terbentuk persamaan-persamaan pada volume kontrol, hasil


analisis persamaan 3.8 disusun ke dalam suatu matriks. Selanjutnya dilakukan
eleminasi, sehingga distribusi penyebaran konsentrasi pencemar dapat
diperoleh.

4) Langkah pembuatan model


a) Pemantauan konsentrasi polutan di Kota Cilegon, data ini digunakan
sebagai nilai kondisi awal (initial conditions) di suatu tempat
b) Pemantauan udara di perbatasan Kota Cilegon, digunakan sebagai nilai
pada kondisi batas (boundary conditions)
c) Untuk memprediksi distribusi laju penyebaran pencemar udara di Kota
Cilegon, menggunakan persamaan 3.8
d) Sebaran konsentasi pencemar udara pada setiap titik di Kota Cilegon,
menggunakan software Matlab
e) Analisis distribusi laju penyebaran pencemar udara di Kota Cilegon,
menggunakan tri-diagonal matrix algorithm (TDMA). Persamaannya
49

didapat berdasarkan ukuran grid dari peta Kota Cilegon yang sudah di
digitasi
f) Validasi model

5) Pemetaaan
Sebaran konsentrasi zat pencemar yang dihasilkan oleh program model
meliputi seluruh titik pada rentang grid daerah penerima di Kota Cilegon.
Langkah pemetaan distribusi pencemar dilakukan sebagai berikut:
a) penyediaan peta dasar yaitu peta Kota Cilegon diperoleh dari Badan
Perencanaan Kota Cilegon;
b) digitasi peta dasar yang diperoleh dari Badan Perencanaan Kota Cilegon;
c) selanjunya peta penyebaran pencemar udara, ditumpangtindihkan dengan
peta Kota Cilegon, sehingga dapat diketahui wilayah yang menjadi arah
atau terkena penyebaran pencemar udara. Penumpangtindihan (overlaping)
dilakukan dengan program ArcView 3.3.

3.5 Pemantauan Kualitas Udara


Pemantauan kualitas emisi dilakukan di kawasan industri, hal ini
dilakukan untuk mengetahui konsentrasi pencemar udara yang diemisikan dari
masing-masing pabrik. Untuk aplikasi model penyebaran polutan di Kota Cilegon,
dilakukan pengkuran pada beberapa titik sampel untuk mengetahui kondisi awal
(initial conditions) dan kondisi batas (boundary conditions). Pengukuran
dilakukan di 24 titik sampel yang menyebar di seluruh wilayah Kota Cilegon.
Sementara itu untuk mengetahui kondisi batas, dilakukan pengukuran masing-
masing di 7 titik sampel di sebelah Timur dan Selatan batas antara Kota Cilegon
dan Kabupaten Serang. Untuk validasi model, dilakukan pengukuran di 24 titik
sampel secara periodik dalam periode tiga bulanan dari Tahun 2005 sampai Tahun
2007. Kegiatan pemantauan kualitas udara di Kota Cilegon ditampilkan pada
Gambar 11.a sedangkan pengukuran di daerah perbatasan ditampilkan pada
Gambar 11.b. Pengukuran dilakukan di daerah sekitar kawasan industri, daerah
padat lalulintas dan daerah perumahan.
50

a Lokasi pemantauan kualitas udara di Kota Cilegon

b. Lokasi pengukuran di daerah perbatasan Cilegon dan Serang


Gambar 11. Lokasi pengkuran pencemar udara di dalam dan di perbatasan Kota Cilegon
51

3.6 Pembandingan Hasil Model dengan Hasil Pengukuran


Hasil model kemudian dibandingkan dengan hasil pengukuran kualitas
udara ambien pada beberapa titik sampel. Pengukuran dilakukan di 24 titik sampel
di Kota Cilegon bekerja sama dengan DLHPE Kota Cilegon. Selanjutnya guna
mengetahui tingkat kepastian hasil model prediksi, Coutinho et al. (2002)
berusaha menggambarkan variabilitas hasil model dengan menghitung z-score.
VR − VS
z= ……. 3.9
U

dengan : U = ⎡⎛ Sh ⎞ 2 ⎤
⎟ − U mod ⎥
2
⎢⎜
⎢⎣⎝ n ⎠ ⎥⎦

keterangan :
z = z-score
VR = nilai referensi (hasil pengukuran langsung)
VS = nilai hasil simulasi/model
U = nilai penyimpangan yang dapat diterima
Sh = simpangan baku
n = jumlah nilai hasil simulasi/model
Umod = nilai ketidakpastian untuk model prediksi, dianggap setara dengan 2

Nilai hasil program model tersebut dihitung atau dibandingkan dengan


nilai hasil pengukuran atau observasi langsung di lapang (pengukuran konsentrasi
ambien). Batas z-score ditentukan dan diklasifikasikan sebagai berikut:
o z ≤2 dinyatakan sebagai ‘hasil dapat diterima’ (acceptable performance)

o 2 < z ≤ 3 dinyatakan sebagai ‘hasil yang diragukan’ (questionable


performance)
o z >3 dinyatakan sebagai ‘hasil yang tidak dapat diterima’ (unacceptable

performance).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Cuaca di Kota Cilegon


Untuk menjelaskan karakteristik udara Kota Cilegon digunakan data iklim
stasiun meteorologi Serang, periode pengamatan Tahun 2001 sampai Tahun 2007.
Data iklim yang diuraikan, yang berhubungan dengan studi ini meliputi:
1) Suhu udara
Variasi suhu harian mempunyai arti penting dalam kaitannya dengan
penyebaran polusi udara. Pada siang hari dengan suhu permukaan tinggi dan yang
cukup lebih tinggi dari suhu lapisan udara di atasnya memberikan kecenderungan
udara bergerak ke atas dan mengangkut bahan-bahan polutan ke atas, sehingga
daerah penyebaran menjadi luas. Sebaliknya pada malam dan pagi hari dengan
suhu permukaan rendah dan lebih rendah dari suhu lapisan udara di atasnya,
memberi kecenderungan udara diam atau bergerak ke bawah dan memperbesar
daya pengendapan sehingga daerah penyebaran bahan-bahan polutan sempit.
Suhu udara rata-rata bulanan di Kota Cilegon tidak memperlihatkan
fluktuasi atau variasi yang nyata, berkisar dari yang terendah 21,0 oC pada bulan
Agustus, sampai yang tertinggi 34,4 oC pada bulan April. Suhu tertinggi terjadi
sekitar pukul 13.00 waktu setempat dan minimum pada pagi sekitar 07.00 waktu
setempat.
Variasi suhu tahunan tidak terlalu besar dibandingkan dengan variasi suhu
harian. Hal tersebut dikarenakan kedudukan matahari yang hampir selalu di atas
khatulistiwa. Beda maksimum dan minimum rata-rata sekitar 14 derajat, variasi
suhu tahunan ditampilkan pada Tabel 13.

Tabel 13. Variasi suhu tahunan (oC)


Stasiun Suhu Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Maks 30,1 30,2 31,3 32,0 31,9 31,8 31,6 31,7 32,4 32,5 32,2 31,1
Cengkareng Rata2 26,3 26,2 26,8 27,1 27,2 26,7 26,4 26,4 26,9 27,2 27,1 26,7
Min 23,6 23,4 23,6 23,7 23,8 23,2 22,7 22,4 22,8 23,3 23,6 23,5
Maks 30,5 30,5 31,7 32,4 32,6 32,4 32,4 32,8 33,4 33,1 32,4 31,3
Curug Rata2 25,9 25,7 26,2 26,5 26,6 26,3 25,9 26,0 26,5 26,7 26,5 26,2
Min 23,2 23,0 23,1 23,2 23,2 22,5 21,7 21,6 21,9 22,7 23,2 23,0
Maks 30,5 30,7 31,7 32,2 32,2 31,5 31,4 31,3 32,4 32,5 32,0 30,7
Serang Rata2 26,3 26,1 26,5 26,7 26,9 26,7 26,2 26,2 26,6 26,8 26,7 26,9
Min 23,5 23,8 23,8 24,0 23,5 23,0 22,8 22,4 22,9 23,2 23,3 23,4

52
53

2) Arah dan kecepatan angin


Angin sangat besar pengaruhnya dalam penyebaran polusi udara. Arah
angin ikut menentukan ke arah mana polutan menyebar, dan kecepatan angin ikut
menentukan sampai sejauh berapa polutan disebarkan. Kecepatan angin rata-rata
bulanan di Kota Cilegon berkisar dari 0,2 m/s pada bulan Januari, sampai 4,0 m/s
pada bulan Desember. Untuk mengetahui distribusi keseringan angin tersebut data
angin dianalisis dan dibuat peta mawar angin (windrose), selengkapnya
ditampilkan pada Gambar 12.
Berdasarkan hasil analisis mawar angin untuk Kota Cilegon menunjukkan
pola yang bervariasi antara pagi, siang, sore dan malam hari. Secara umum, pada
bulan Nopember sampai Maret umumnya angin bergerak dari Barat ke Timur.
Frekuensi angin Barat terendah adalah 36,7 % pada bulan Nopember, dan yang
tertinggi 87,1 % pada bulan Desember. Sementara itu pada bulan April sampai
Oktober umumnya angin bergerak dari Utara ke Selatan. Frekuensi angin Utara
terendah adalah 46,7 % pada bulan Juni, dan yang tertinggi 67,7 % pada bulan
Agustus.

3) Hujan
Secara umum musim hujan terjadi dalam bulan Nopember sampai Maret,
dan musim kemarau dari bulan April sampai Oktober. Di Kota Cilegon, data
curah hujan rata-rata bulanan memperlihatkan periode curah hujan tinggi dan
periode curah hujan rendah. Periode curah hujan rendah (musim kemarau)
berlangsung dari bulan April sampai Oktober, dengan kisaran curah hujan berkisar
dari 42 mm pada bulan Mei sampai 185 mm pada bulan Juli. Periode curah hujan
tinggi berlangsung dari bulan Nopember sampai Februari, dengan curah hujan
berkisar dari 70 mm pada bulan Nopember sampai 305 mm pada bulan Januari.
Hari hujan terendah adalah 11 hari pada bulan Agustus dan September, dan hari
hujan tertinggi adalah 25 hari pada bulan Januari.

4) Kemantapan udara (Stabilitas atmosfer)


Lama penyinaran matahari merupakan nisbah antara lamanya atau periode
matahari bersinar cerah dalam sehari dengan panjang hari yang dinyatakan dalam
persen. Data lamanya penyinaran rata-rata bulanan menunjukkan bahwa lama
54

penyinaran memperlihatkan pola musiman, dengan nilai terendah 36% pada bulan
Januari dan yang tertinggi 72% pada bulan Agustus dan September.
Secara praktis untuk aplikasi dalam analisis pola sebaran polusi udara
digunakan kemantapan udara Pasquill, dalam hal ini stabilitas atmosfer dibagi
dalam enam kelas yang didasarkan atas kecepatan angin, radiasi matahari, dan
jumlah awan pada saat itu. Kemantapan (stabilitas) udara Pasquill secara periodik
di Kota Cilegon pada pagi, siang, sore, dan malam hari, selengkapnya ditampilkan
ditampilkan pada Tabel 14. Dari hasil analisis stabilitas atmosfer diperoleh bahwa
stabilitas pada pagi, siang, sore dan malam hari mempunyai variasi antara A
(sangat tidak stabil) sampai E (agak stabil), hal ini menunjukkan bahwa kondisi
udara di Kota Cilegon berada antara labil mantap sampai agak stabil, sesuai
dengan kriteria kemantapan udara Pasquill.

Tabel 14. Kemantapan udara (stabilitas) Pasquill


Waktu
Lokasi
07.00 13.00 19.00 22.00
Cilegon A-C B–D B-D D-E

5) Ketinggian pencampuran polutan (Mixing height)


Selain kemantapan atmosfer tingkat lamanya polutan di dalam udara
ditemukan pula kelembapan udara. Di Kota Cilegon kelembapan nisbi udara
terendah 82% yang terjadi pada bulan September, sedangkan kelembapan
nisbi udara tertinggi 87% pada bulan Februari dan Oktober. Untuk mengetahui
keadaan lamanya polutan di dalam udara digunakan kriteria yang disebut
mixing height yakni tebal lapisan atmosfer paling bawah yang memungkinkan
terjadinya proses pencampuran sempurna. Tebal lapisan tersebut mulai dari
permukaan sampai convective condensation level. Ketinggian level
pengembunan dihitung dengan menggunakan persamaan 3.1. Hasil analisis
menunjukkan bahwa pada pagi hari mixing height lebih rendah dibandingkan
dengan pada siang hari. Secara umum ketinggian lapisan pencampuran secara
periodik di Kota Cilegon pada pagi, siang, sore dan malam hari selengkapnya
ditampilkan pada Tabel 15.
55

Gambar 12. Mawar angin (windrose) Kota Cilegon (Sumber data: BMG stasiun klimatologi Serang)
56

Secara umum data iklim (hujan, suhu udara, kelembapan nisbi, lama
penyinaran dan kecepatan angin) Kota Cilegon rata-rata Tahun 2001 sampai
2007, ditampilkan pada Tabel 16.

Tabel 15. Ketinggian lapisan pencampuran (meter)


Waktu
Lokasi
07.00 13.00 19.00 22.00
Cilegon 320 - 640 320 - 2200 320 - 2200 320
Sumber data: BMG Serang

4.2 Pencemaran Udara di Kawasan Industri


4.2.1 Kawasan Industri
Kota Cilegon memiliki tiga zona kawasan industri, yakni: zona Ciwandan,
zona Krakatau Steel dan zona Pulomerak. Setiap zona terdiri dari beberapa pabrik
dengan berbagai produk, bahan bakar dan tinggi cerobong yang digunakan
berbeda-beda. Luas tanah yang digunakan untuk industri sebesar 17%. Jumlah
pabrik di Kota Cilegon sebanyak 104 perusahaan, yang tersebar di berbagai
kawasan industri. Jumlah pabrik di zona kawasan Krakatau Steel sebanyak 44
perusahaan, kawasan Ciwandan 21 perusahaan dan kawasan Pulomerak sebanyak
39 perusahaan, selengkapnya ditampilkan pada Tabel 33 pada Lampiran 1. Data
industri yang diuraikan, yang berhubungan dengan studi ini meliputi:
1) Sumber pencemar
Sumber pencemar yang dikaji dalam penelitian ini meliputi tiga zona
kawasan industri yang didasarkan pada penggunaan bahan bakar dan tinggi
cerobong masing-masing unit operasi. Berdasarkan survey lapang di kawasan
industri Kota Cilegon, terdapat lima pabrik dari semua kawasan industri yang
dominan mengemisikan polutan tinggi. Kelima pabrik tersebut didasarkan pada
tinggi cerobong dan bahan bakar yang digunakan. Untuk zona KS, dipilih PT KS,
PT Krakatau Daya Listrik (KDL), untuk zona Ciwandan, PT Chandra Asri, dan
Pembangkit Listrik Cigading, sedangkan untuk zona Pulomerak adalah PT
Indonesia Power.
57

Tabel 16. Data iklim Kota Cilegon

Bulan
No Unsur Iklim Tahunan
Jan Feb Maret Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nop Des
Hujan :

1 Curah hujan (mm) 305 287 192 87 42 163 185 44 66 149 70 886 2476

Hari hujan 25 19 18 14 18 18 13 11 11 18 13 29 207

2 Suhu udara (C) 26,4 26,6 27,0 27,4 27,2 26,9 26,4 26,2 27,0 27,0 26,9 26,3 26,8

3 Kelembapan Nisbi (%) 86 87 85 83 84 85 84 84 82 87 83 85 85

4 Lama Penyinaran (%) 36 47 58 65 67 65 71 72 72 61 51 29 58


Kecepatan angin
5 0,2 1,9 3,0 3,0 2,5 3,0 2,0 2,0 2,0 2,0 2,0 4,0 2,3
rata-rata (m/s)
Sumber data: Badan Meteorologi dan Geofisika, Stasiun Klimatologi Serang (rata-rata tahun 2001 sampai 2007)
58

2) Bahan bakar
Bahan bakar yang digunakan pabrik di kawasan industri Cilegon berbeda-beda,
secara umum ada lima jenis bahan bakar yang digunakan yakni: batubara, residu, solar,
High Speed Diesel (HSD), Pyrolisis Fuel Oil (PFO) dan Marine Fuel Oil (MFO).
Dalam pengoperasiannya PT Indonesia Power menggunakan bahan bakar batubara,
HSD dan MFO. Bahan bakar batubara dan HSD digunakan untuk proses pembakaran
unit 1 sampai unit 7, sedangkan untuk bahan bakar MFO hanya digunakan pada unit 1
sampai unit 4. PT Chandra Asri menggunakan bahan bakar solar, PFO dan MFO. Bahan
bakar residu dan Bahan Bakar Gas (BBG) digunakan pembangkit listrik Cigading. PT
Krakatau Daya Listrik menggunakan bahan bakar residu, sedangkan PT Krakatau Steel
menggunakan bahan bakar HSD dan MFO. Jenis dan alokasi pemakaian bahan bakar
selengkapnya ditampilkan pada Tabel 17.

Tabel 17. Jenis dan alokasi pemakaian bahan bakar


Bahan Pemakaian
No Perusahaan
Bakar ton/jam Liter/Bulan
1 PT Indonesia Power Batu bara 170-255 -
HSD - 320,09
MFO - 307.617
2 PT Chandra Asri Solar 1,00 -
PFO 3,72 -
MFO 3,76 -
3 PT Cigading Residu 80,00 -
BBG - -
4 PT KS HSD - 1.707
MFO - 44.444
5 PT Krakatau Daya Listrik Residu 80,00 -
Sumber: DLHPE Kota Cilegon (2006)

3) Cerobong
Cerobong yang digunakan pabrik di kawasan industri, berbeda-beda, masing-
masing pabrik memiliki beberapa cerobong dengan tinggi yang berbeda. Dari tiga
kawasan industri, di zona Pulomerak, yakni di PT Indonesia Power memiliki 7 cerobong
dengan tinggi 200 – 275 meter. Adapun bentuk bagian-bagian dari cerobong,
59

ditampilkan pada Gambar 13. Gambar tersebut memvisualisasikan bentuk cerobong


yang dipasang dengan Continuous Emitions Monitoring (CEM). Gambar diambil dari
cerobong pabrik dedusting PT KS setinggi 80 meter.

Gambar 13. Bentuk cerobong

4) Jenis produk dan kapasitas energi


Pada dasarnya kegiatan produksi yang dilakukan PT KS merupakan satu
kesatuan rangkaian proses produksi mulai dari bahan baku, berupa biji besi menjadi
produk setengah jadi. Saat ini PT KS memiliki 7 (tujuh) unit fasilitas produksi (pabrik),
yang terdiri dari: (1) Pabrik Besi Spons (Direct Reduction Plant), (2) Pabrik Baja Slab
(Slab Steel Plant) I, (3) Pabrik Baja Slab (Slab Steel Plant)-2, (4) Pabrik Billet Baja
(Billet Steel Plant), (5) Pabrik Batang Kawat (Wire Rod Mill), (6) Pabrik Canai Panas
(Hot Strip Mill), dan (7) Pabrik Canai Dingin (Cold Rolling Mill).
Pabrik besi spons atau Direct Reduction Plant (DRP) memproduksi besi spons,
dengan kapasitas produksi antara 1,3 juta sampai 2 juta ton per tahun. Proses produksi
dilakukan dengan cara mengubah pellet (Fe2O3) menjadi biji spons dengan metoda
reduksi langsung (Direct Reduction). Penggunaan energi yang dibutuhkan untuk
pengoperasian indutsri DRP menggunakan listrik dengan pemakaian per bulannya
sekitar 77,953 MW. Energi listrik tersebut disuplai oleh PT KDL.
Pabrik baja slab atau Steel Slab Plant (SSP)-1 dilengkapi dengan empat buah
dapur listrik (Electrical Furnace), dengan kapasitas masing-masing 130 ton liquid skill
yang dilengkapi dengan mesin continuous casting. Produksi pabrik SSP-1 berupa slab
sebagai bahan baku untuk pabrik Hot Strip Mill (HSM) dengan kapasitas 1.200.000
60

ton/tahun. Pabrik ini membutuhkan energi listrik sebesar 65.000.000 KWH/bulan yang
bersumber dari PT KDL. Selain listrik, pabrik ini juga menggunakan gas sebesar 16.000
m3/bulan untuk kegiatan industri yang bersumber dari Perusahaan Gas Indonesia (PGI).
Pabrik baja slab atau Steel Slab Plant (SSP)-2 pada dasarnya sama dengan
pabrik SSP-1. Kapasitas produksinya mencapai 800.000 ton/tahun. Pabrik ini
membutuhkan energi listrik sebesar 93,5 MW, sedangkan per bulannya sebesar 39,6 juta
KWH yang bersumber dari PT KDL. Selain listrik, pabrik ini juga menggunakan energi
gas alam sebesar 659,520 Nm3/bulan untuk kegiatan industri yang bersumber dari PGI.
Pabrik billet baja atau Billet Steel Plant (BSP) membutuhkan energi listrik
dengan kapasitas 165 MW yang bersumber dari PT KDL. Pemakaian perbulannya
berkisar 125 MW yang dibutuhkan untuk proses melting.
Pabrik batang kawat atau Wire Rod Mill (WRM) menggunakan bahan baku hasil
produksi pabrik BSP dengan berat 1,1 – 2,2 ton/batang billet. Kapasitas produksi pabrik
batang kawat adalah 375.000 ton/tahun. Energi yang digunakan di pabrik WRM adalah
energi listrik, khususnya untuk proses rolling, dengan jumlah sebesar 20 MW yang
disuplai dari PT KDL. Pabrik ini juga menggunakan energi gas yang disuplai dari
Pertamina dengan kapasitas terpasang 8.000 Nm3/jam sedangkan pemakaian per
bulannya sebesar 1508 Nm3/jam.
Pabrik canai panas atau Hot Strip Mill (HSM) menggunakan bahan baku slab
yang berasal dari pabrik SSP-1 dan SSP-2 dengan kapasitas maksimum 2.520.000 ton
per tahun. Penggunaan energi yang dibutuhkan pabrik ini adalah energi listrik yang
bersumber PT KDL dengan kapasitas terpasang sebesar 17.478.896 KWH sedangkan
rata-rata pemakaian per bulannya sebesar 14.512.774 KWH.
Pabrik canai dingin atau Cold Rolling Mill (CRM) menggunakan bahan baku
yang berasal dari HSM dalam bentuk gulungan hot rolled coil (HRC) dengan volume
56.181 ton per bulan. Kapasitas energi yang digunakan sebesar 17.513.852 KWH yang
bersumber dari PT KDL dengan pemakaian per bulannya sebesar 10.313.419 KWH.

4.2.2 Aplikasi Model Screen3


Screen3 adalah dispersi model single-source yang dibangun oleh US EPA untuk
mengestimasi konsentrasi maksimum pelbagai polutan. Model ini digunakan sebagai
61

penilaian awal untuk sumber titik dan sumber area (Jungers et. at. 2006). Berikut
ditampilkan aplikasi model screen3 untuk menentukan konsentrasi maksimum polutan
yang diemisikan dari cerobong pabrik. Output dari model ini akan didapat konsentrasi
maksimum dan jarak polutan yang diemsikan dari setiap cerobong.

a. Input data yang berhubungan dengan sumber emisi

b. Input data yang berhubungan dengan data meteorologi


Gambar 14. Model input data pada model screen3

Cara penggunan model tersebut hádala sebagai berikut:


a. pada Title tulis judul analisis, kemudian pada Source Type pilih Point. Selanjutnya
pada Dispersion Coeficient pilih Rural, sedangkan Flagpole Receptor tertulis
62

Receptor Height Above Ground, tulis 0 untuk ground level atau 1.5 m untuk
ketinggian standar
b. pada Point Source Parameters masukkan data tingkat emisi, tinggi stack, diameter
dalam stack, kecepatan gas keluar dari stack, temperatur gas keluar dari stack, dan
temperatur udara ambien. Setelah semua data diisi, kemudian clik option maka
muncul layar Source Type: Point
c. pada Terrain Option pilih: Simple Terrain untuk daerah yang simpel, Complex
Terrain untuk daerah yang kompleks, dan Complex + Simple Terrain. Untuk Simple
Terrain pilih Flat Terrain atau Elevated Terrain. Pada Choose At Least One Option
pilih Automated Distances atau Discrete Distances, dan pada Option pilih
Fumigation dan Building Downwash
d. untuk berbagai stabilitas atmosfer pilih Single Stability Class and Wind Speed. Pada
Stability Class pilih A sampai F (sesuai dengan stabilitas atmosfer suatu daerah),
kemudian tulis kecepatan angin pada ketinggian 10 meter (dengan range 1 sampai 5
m/s).

4.2.3 Sebaran Polutan di Kawasan Industri


Berdasarkan penerapan model screen3, maka didapat jarak sebaran dan
konsentrasi maksimum SO2 dan debu yang jatuh pada permukaan tanah. Hasil running
model screen3 pada berbagai stabilitas atmosfer dengan kecepatan angin rata-rata
bulanan 2,5 m/s ditampilkan pada Tabel 18 sampai Tabel 20.

Tabel 18. Jarak sebaran SO2 dan debu dengan konsentrasi maksimum (μg/m3) yang
jatuh pada permukaan tanah di kawasan industri zona Pulomerak
Sumber: PT Indonesi Power Unit 1-4 Sumber: PT Indonesi Power Unit 5-7
SO2 Debu SO2 Debu
Stabilitas Jarak Stabilitas Jarak
Atmosfer Sebaran Konsentrasi Konsentrasi Atmosfer Sebaran Konsentrasi Konsentrasi
(m) Maksimum Maksimum (m) Maksimum Maksimum
(μg/m3) (μg/m3) (μg/m3) (μg/m3)
A 1090 866,0000 143,0000 A 1223 592,4000 132,9500
B 3841 374,4000 127,2000 B 4801 237,2000 119,9000
C 8519 245,3000 107,0000 C 11086 148,9000 106,8700
D 18800 24,8500 94,3000 D 18800 4,8200 98,3000
E 18800 12,6800 63,4000 E 18800 1,0700 73,8000
63

Tabel 19. Jarak sebaran SO2 dan Debu dengan konsentrasi maksimum di kawasan
industri zona KS
Sumber: PT KDL Sumber: PT KS
Stabilitas SO2 Debu Stabilitas SO2 Debu
Jarak Jarak
Atmosfer Sebaran Konsentrasi Konsentrasi Atmosfer Sebaran Konsentrasi Konsentrasi
(m) Maksimum Maksimum (m) Maksimum Maksimum
(μg/m3) (μg/m3) (μg/m3) (μg/m3)
A 1000 78,6400 10,4700 A 1000 194,3300 27,1800
B 1000 222,2000 29,5900 B 1539 153,3800 26,7000
C 1514 192,6000 25,6500 C 2917 140,6900 20,3500
D 3847 102,0000 13,5900 D 10001 116,1900 8,0970
E 4302 61,1300 8,1430 E 11011 119,1630 4,5830

Tabel 20. Jarak sebaran SO2 dan Debu dengan konsentrasi maksimum di kawasan
industri zona Ciwandan
Sumber: PT Candra Asri Sumber: PT Ciwandan

Stabilitas SO2 Debu Stabilitas SO2 Debu


Jarak Jarak
Atmosfer Sebaran Konsentrasi Konsentrasi Atmosfer Sebaran Konsentrasi Konsentrasi
(m) Maksimum Maksimum (m) Maksimum Maksimum
(μg/m3) (μg/m3) (μg/m3) (μg/m3)
A 1000 0,5785 0,0214 A 1000 49,5200 9,8940
B 1909 0,3811 0,0141 B 1555 47,1200 9,4150
C 3757 0,2849 0,0106 C 2948 36,2100 7,2350
D 14052 0,1031 0,0038 D 10001 14,6200 2,9220
E 8741 0,1682 0,0062 E 9296 11,9900 2,3960

Hasil analisis sebaran pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa jarak sebaran pada
berbagai kondisi stabilitas atmosfer terlihat sangat bervariasi, sebagai berikut:

a) zona Pulomerak
Pada zona ini, pabrik yang dikaji adalah PT Indonesia Power yang dikenal
sebagai PLTU Suralaya. Perusahaan ini memiliki tujuh cerbong, pada unit 1 - 4
cerobong yang digunakan setinggi 200 meter sedangkan pada unit 5 - 7 menggunakan
cerobong setinggi 275 meter. Konsentrasi maksimum SO2 dan debu yang diemisikan
pada berbagai stabilitas atmosfer sangat bervariasi. Pada stabilitas sangat tidak stabil
sampai netral (A – D) jarak sebaran SO2 dan debu semakin besar, sedangkan
konsentrasi SO2 dan debu yang diemisikan semakin kecil. Jarak sebaran SO2 dan debu
terbesar terjadi pada stabilitas D (netral) dan E (agak stabil). Sementara itu konsentrasi
terbesar SO2 dan debu yang diemisikan yang jatuh pada permukaan tanah terjadi pada
stabilitas A yaitu pada kondisi udara labil mantap (very unstable). Penyebaran SO2 dan
64

debu dapat terjadi sampai jarak puluhan ribu meter atau beberapa puluh kilometer dari
sumbernya. SO2 dan debu yang diemisikan mencapai 18800 meter.

b) zona Kraktaua Steel (KS)


Pada zona ini, pabrik yang dikaji adalah PT KS dan PT KDL. Jumlah cerobong
pada PT KS sebanyak 25 cerobong dan PT KDL sebanyak 5 cerobong. Konsentrasi
terbesar SO2 dan debu yang jatuh pada permukaan tanah dari sumber PT KDL adalah
pada stabilitas B yaitu pada kondisi udara cukup labil (moderate unstable). Sementara
itu dari sumber PT KS konsentrasi terbesar SO2 dan debu yang jatuh pada permukaan
tanah adalah pada stabilitas A yaitu pada kondisi udara labil mantap (very unstable).
Penyebaran SO2 dan debu dapat terjadi sampai puluhan ribu meter atau beberapa puluh
kilometer dari sumbernya. Secara umum SO2 dan debu yang diemisikan pada stabilitas
sangat tidak stabil sampai agak stabil (A – E) menunjukkan semakin jauh jarak sebaran,
semakin kecil konsentrasinya.

c) zona Ciwandan
Pada zona ini, pabrik yang dikaji adalah PT Candra Asri dan PT Cigading.
Banyaknya cerobong pada PT Candra Asri 2 cerobong dan PT Cigading 5 cerobong.
Konsentrasi terbesar SO2 dan debu yang jatuh pada permukaan tanah adalah pada
stabilitas A yaitu pada kondisi udara labil mantap (very unstable). Pada stabilitas A
sampai D menunjukkan bahwa jarak sebaran semakin besar, sedangkan konsentrasi
yang diemisikan semakin kecil. Kemudian pada stabilitas E yaitu pada saat kondisi
udara agak stabil (slightly stable), baik jarak sebaran maupun konsentrasi SO2 dan debu
menurun. Penyebaran SO2 dan debu dapat terjadi sampai puluhan ribu meter atau
beberapa puluh kilometer dari sumbernya.
Hasil analisis untuk setiap kondisi stabilitas atmosfer menunjukkan bahwa
umumnya penyebaran SO2 dan debu akan terkumpul di sekitar jarak maksimum dari
sumber emisi, kemudian akan menyebar dengan konsentrasi yang menurun sampai jarak
yang cukup jauh dari sumbernya. Konsentrasi maksimum SO2 yang diemisikan dari unit
1 PLTU Suralaya sebagai fungsi jarak pada stabilitas A dengan kecepatan angin 2 m/s
ditunjukkan pada Gambar 15.a sedangkan pada stabilitas B dengan kecepatan angin
65

yang sama ditunjukkan pada Gambar 15.b selengkapnya ditampilkan pada Gambar 31
dan 32 Lampiran 2.
Berdasarkan Gambar 15 terlihat bahwa pada stabilitas atmosfer A konsentrasi
maksimum SO2 berada pada kisaran (800 – 900) μg/m3 dengan jarak (1000 – 2000)
meter, sedangkan pada stabilitas B konsentrasi maksimum berada pada kisaran (350 –
400) μg/m3 dengan jarak 4000 meter. Jarak dan besarnya kadar polutan yang jatuh pada
permukaan tanah selain dipengaruhi oleh stabilitas juga akan sangat dipengaruhi oleh
besarnya sumber emisi dan ketinggian cerobong. Pada stabilitas E yaitu pada saat
kondisi udara agak stabil (slightly stable), penyebaran polutan dapat terjadi sampai jarak
puluhan ribu meter atau puluhan kilometer dari sumbernya. Konsentrasi terbesar
(maksimum) yang jatuh pada permukaan tanah terjadi pada stabilitas A yaitu pada
kondisi udara labil mantap (very unstable). Semakin stabil kondisi atmosfer, konsentrasi
polutan di sekitar cerobong asap semakin kecil. Hal ini dikarenakan tingkat pengolakan
udara lebih kecil sehingga polutan tidak banyak berdispersi atau menyebar. Hasil ini
didukung oleh Ashraf dan Hoshyaripour (2008) yang membuat model untuk
menganalisis CO pada stabilitas atmosfer dengan PTM (Pasquill-Turner Method).
Cahyono (2005) yang meneliti sebaran SO2 dan NO2 dari industri di Bandung. Metode
yang digunakan adalah semi top-down untuk data gradien menggunakan MM5. Hasil
penelitiannya menyatakan bahwa angin dapat membawa materi polutan melintasi batas
kota dan negara sampai ratusan kilometer. Huang et.al. (2005) menganalisis dispersi
polutan dengan kondisi non istermal di Kota Kawasaki Jepang. Hasil simulasi
menunjukkan penyebaran polutan searah dengan arah angin. Kemudian Drew et.al.
(2006) yang membuat model penyebaran bioaerosol dari fasilitas pupuk kompos, yang
menyatakan bahwa pada kondisi very unstable konsentrasi bioaerosol pada ground level
lebih tinggi dari pada kelas stablitias yang lain.
Kapasitas emisi dari setiap kegiatan industri sangat tergantung pada jenis dan
jumlah bahan bakar yang digunakan dalam setiap proses produksi. Berdasarkan analisis
sebaran pada kecepatan angin 1 m/s debu dan SO2 yang diemisikan dari kawasan
industri sebagai berikut: dari zona Ciwandan pada stabilitas A (sangat tidak stabil) dan
B (tidak stabil menengah) masih di dalam kawasan, sedangkan pada stabilitas C – E
(sedikit tidak stabil sampai agak stabil) menyebar sampai ke luar kawasan industri; dari
66

zona KS pada stabilitas A – C masih di dalam kawasan, sedangkan pada stabilitas D – E


(netral sampai agak stabil) menyebar sampai ke luar kawasan industri; dan dari zona
Pulomerak, pada stabilitas A masih di dalam kawasan, sedangkan pada stabilitas B – E
menyebar sampai ke luar kawasan industri.

a. Jarak versus konsentrasi pada stabilitas A dengan v = 2,5 m/s

b. Jarak versus konsentrasi pada stabilitas B dengan v = 2,5 m/s


Gambar 15. Konsentrasi maksimum SO2 sebagai fungsi jarak

Pada kecepatan angin 2,5 m/s (rata-rata bulanan), debu dan SO2 yang diemisikan
dari kawasan industri sebagai berikut: dari zona Ciwandan pada stabilitas A – C masih
di dalam kawasan, sedangkan pada stabilitas D – E menyebar sampai ke luar kawasan
67

industri; dari zona KS pada stabilitas A – C masih di dalam kawasan, sedangkan pada
stabilitas D – E menyebar sampai ke luar kawasan industri; dan dari zona Pulomerak,
pada stabilitas A – B masih di dalam kawasan, sedangkan pada stabilitas C – E
menyebar sampai ke luar kawasan industri. Sementara itu jarak sebaran polutan, kecuali
tergantung pada stabilitas atmosfer juga tergantung pada kecepatan angin dan tinggi
cerobong. Semakin besar kecepatan angin, konsentrasi polutan di sekitar cerobong asap
semakin besar. Hal ini dikarenakan polutan akan lebih cepat mencapai lokasi tertentu
karena terbawa angin. Selain itu, angin yang lebih kencang akan lebih cepat
membelokkan polutan saat bergerak naik sehingga lintasan pergerakan polutan akan
lebih dekat dengan permukaan tanah. Contour sebaran polutan yang menyebar ke luar
kawasan industri pada kecepatan angin 2,5 m/s dari kawasan industri di Kota Cilegon,
disajikan pada Gambar 16.

Gambar 16. Contour sebaran SO2 dari kawasan industri

Dari gambar tersebut tampak bahwa, dari tiga zona kawasan industri yang ada di
Kota Cilegon sebaran polutan yang menyebar ke luar kawasan industri adalah dari zona
Pulomerak. Hal ini disebabkan pada zona tersebut, menggunakan tinggi cerobong 200-
68

275 meter. Sementara itu dari zona Ciwandan, sebarannya masih di sekitar kawasan
industri. Hasil ini didukung oleh hasil penelitian Bapedalda Banten (2002) yang
menyatakan bahwa sebaran polutan yang menyebar di provinsi Banten diemisikan dari
PLTU Suralaya. Kemudian Bokowa dan Liu (2003) yang mengestimasi kebauan yang
diemisikan dari sumber fugitive dengan menggunakan model screen3.

4.3 Hasil Pengukuran Emisi di Kawasan Industri


4.3.1 Iklim
Pengukuran iklim yang dilakukan merupakan pengukuran sesaat dan dalam
skala mikro yang meliputi parameter suhu lingkungan, kelembapan dan kecepatan serta
arah angin. Pengukuran dilakukan di enam lokasi, yaitu di Lebak Gede, Cipala Dua,
Brigil, Gunung Gede, Perumahan UBP Suralaya, dan Tapak UBP Suralaya. Tabel 21
memperlihatkan iklim mikro di sekitar UBP Suralaya.
Temperatur lingkungan maksimum yang terukur pada Bulan Mei Tahun 2007
berkisar antara (30 – 33)oC, sedangkan temperatur lingkungan minimum yang terukur
berkisar antara (27,5 – 31,2)oC. Terjadinya perbedaan suhu lingkungan tersebut erat
kaitannya dengan intensitas penyinaran matahari dan kelembapan yang terjadi pada saat
pengukuran dilakukan. Kelembapan maksimum bervariasi antara (61 – 91)%,
sedangkan kelembapan minimum yang terukur berkisar antara (60 – 81)%.
Tabel 21. Hasil pengukuran iklim mikro di sekitar UBP Suralaya
Bulan Januari 2005 – Juni 2007
Temperatur Kecepatan
Kelembapan % Arah Angin
No Lokasi Pengkuran (oC) Angin
ke
Min Max Min Max Min Max
1 Lebak Gede 28,0 31,2 61,0 85,0 0,2 2,1 40-60
2 Cipala Dua 28,5 30,0 60,0 91,0 0,4 2,4 220-240
3 Brigil 29,0 31,0 61,0 75,0 0,4 1,5 300-320
4 Gunung Gede 28,0 33,0 61,0 61,0 0,8 2,1 40-60
6 Perumahan UBP Suralaya 31,2 33,0 63,5 82,0 0,4 3,2 280-290
7 Tapak UBP Suralaya 27,5 30,9 67,7 84,8 0,4 1,2 60-80

Pengukuran temperatur menunjukkan suhu lingkungan tertinggi terukur di


Gunung Gede dan Perumahan UBP sebesar 33oC dan suhu terendah terukur di Tapak
UBP sebesar 27,5oC. Kelembapan udara yang terukur cenderung menunjukkan
penurunan kadar kelembapan, dengan kelembapan udara terendah tercatat di Cipala Dua
69

sebesar 60%, sedangkan kelembapan tertinggi juga terjadi di Cipala Dua yaitu sebesar
91%.
Arah dan kecepatan angin menunjukkan karakteristik atmosfer yang berbeda.
Hal ini ditunjukkan dengan kecepatan angin yang jauh lebih tinggi, yaitu antara (0,2 –
3,2) m/det. Kondisi cuaca cerah dan berawan di beberapa tempat dengan arah angin
bertiup ke arah barat.

4.3.2 Emisi Pencemar Udara


Sesuai dengan Kep.MENLH No.KEP.13/MENLH/3/1995 Lampiran A III
tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak untuk kegiatan pembangkitan listrik
tenaga uap berbahan bakar batubara, maka parameter pencemar yang harus dipantau
adalah total partikel SO2, dan NO2. Mengacu pada lampiran A III, hasil pengukuran
emisi pada pemantauan ini (khusus untuk parameter SO2) cenderung menunjukkan
peningkatan konsentrasi di beberapa lokasi.

4.3.2.1 PT Indonesia Power (zona Pulomerak)


A. Emisi Gas SO2
Kisaran konsentrasi emisi SO2 minimum yang terukur pada suhu baku 25 oC dan
tekanan 1 atmosfer pada bulan Maret Tahun 2007 adalah 127,44 μg/m3 di cerobong
Unit 4 hingga maksimum terukur sebesar 441,37 μg/m3 di cerobong Unit 1.
Pengambilan sampel emisi dilakukan pada 7 (tujuh) cerobong UBP Suralaya unit 1
sampai unit 7 untuk zona Pulomerak. Hasil pengukuran emisi SO2 pada bulan Mei 2007
cenderung menunjukkan peningkatan konsentrasi, tetapi di beberapa lokasi
menunjukkan penurunan konsentrasi. Konsentrasi SO2 minimum terukur di Unit 5
sebesar 258,39 μg/m3 dan maksimum terukur di Unit 4 dengan konsentrasi sebesar
414,14 μg/m3. Emisi gas SO2 di tujuh cerobong UBP Suralaya pada bulan Mei Tahun
2007 ditampilkan pada Tabel 22 dan Gambar 17. Apabila mengacu pada baku mutu
KepMen LH No. 13 Tahun 1995 Lampiran A III, maka hasil pemantauan emisi di
semua cerobong tidak ada yang melampaui baku mutu yang ditetapkan, yaitu sebesar
750 μg/m3. Tinggi rendahnya emisi SO2 yang terukur sangat dipengaruhi oleh
kandungan sulfur dalam batubara yang digunakan.
70

Tabel 22. Hasil pengukuran emisi SO2 pada suhu baku 25oC dan tekanan 1 atmosfer di
cerobong UBP Suralaya Bulan Januari 2005 – Juni 2007
2005 2006 2007
No Cerobong Satuan
Periode 1 Periode 2 Periode 3 Periode 4 Periode 1 Periode 2 Periode 3 Periode 4 Periode 1 Periode 2

1 Unit 1 μg/m3 654,00 571,00 582,00 720,00 648,00 734,00 718,00 587,00 441,37 295,57

2 Unit 2 μg/m3 654,00 571,00 465,00 687,00 645,00 701,00 615,00 686,00 348,34 323,36

3
3 Unit 3 μg/m 524,00 605,62 675,00 703,00 586,00 701,00 747,00 588,00 232,72 378,82

3
4 Unit 4 μg/m 524,00 682,99 425,00 720,00 513,00 567,00 620,00 653,00 127,44 414,14

3
5 Unit 5 μg/m 327,00 699,77 327,00 458,00 488,50 267,00 489,00 424,00 201,77 258,39

6 Unit 6 μg/m3 458,00 571,65 425,00 450,00 439,60 501,00 522,00 359,00 262,63 309,47

7 Unit 7 μg/m3 458,00 536,69 327,00 408,00 342,00 367,00 554,00 294,00 288,64 271,50

Baku Mutu μg/m3 750.00

a. Hasil pengukuran emisi SO2 di Cerobong UBP Suralaya (Unit 1 - 4)

800
700
600
SO2 (ug/m3)

500
400
300
200
100
0
P1-05 P2-5 P3-05 P4-05 P1-06 P2-06 P3-06 P4-06 P1-07 P2-07

Periode Pemantauan

Unit 1 Unit 2 Unit 3 Unit 4 BM

b. Hasil pengukuran emisi SO2 di Cerobong UBP Suralaya (Unit 5 - 7)

800
700
600
SO2 (ug/m3)

500
400
300
200
100
0
P1-05 P2-5 P3-05 P4-05 P1-06 P2-06 P3-06 P4-06 P1-07 P2-07

Periode Pemantauan

Unit 5 Unit 6 Unit 7 BM

Gambar 17. Hasil pengukuran emisi SO2 pada suhu baku 25oC dan
tekanan 1 atmosfer di PLTU Suralaya
71

B. Emisi Total Partikel/Debu


Total partikel yang terukur pada suhu baku 25oC dan tekanan 1 atmosfer, saat
pemantauan periode 2 Tahun 2007 berkisar antara (94,24 – 129,68) μg/m3, konsentrasi
terendah terukur di cerobong unit 4 dan tertinggi tercatat di cerobong unit 2.
Pengukuran emisi debu pada periode 4 Tahun 2006 menunjukkan penurunan
konsentrasi di semua unit, kecuali di cerobong unit 5 yang mengalami peningkatan
konsentrasi yang cukup berarti dibandingkan dengan hasil pengukuran emisi debu pada
periode 3 Tahun 2005, yaitu sebesar 109 μg/m3 menjadi 143 μg/m3 pada periode 4
Tahun 2005. Dibandingkan dengan hasil pengukuran emisi debu periode 4 Tahun 2006,
pengukuran emisi debu pada periode 1 Tahun 2007 cenderung menunjukkan
peningkatan konsentrasi, namun di beberapa lokasi menunjukkan penurunan
konsentrasi. Hasil pengukuran emisi debu periode 1 Tahun 2007 di unit 5 kembali
menunjukkan penurunan konsentrasi menjadi 102,57 μg/m3. Konsentrasi emisi debu di
unit 6 pada pengukuran periode 1 Tahun 2007 juga menurun dibandingkan dengan
pengukuran periode 4 Tahun 2006. Pada periode 2 Tahun 2007 pengukuran emisi debu
di unit 5 menunjukkan sedikit peningkatan konsentrasi yaitu mejadi 111,91 μg/m3.
Peningkatan konsentrasi emisi debu pada pengukuran periode 2 Tahun 2007
terjadi pada cerobong unit 2, 4, 5, dan 6. Peningkatan emisi debu pada cerobong unit 2
dan unit 6 hampir dua kali lipat dibandingkan dengan pengukuran debu pada periode 1
Tahun 2007. Konsentrasi emisi debu pada periode 1 Tahun 2007 di unit 2 sebesar 73,99
μg/m3 menjadi 129,68 μg/m3 pada periode 2 Tahun 2007. Di unit 6 sebesar 64,18 μg/m3
pada periode 1 Tahun 2007 menjadi 109,83 μg/m3 pada periode 2 Tahun 2007. Apabila
mengacu pada baku mutu yang diijinkan untuk emisi debu sebesar 150 μg/m3
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Kep.13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu
udara emisi sumber tidak bergerak untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap Berbahan
bakar Batubara, berlaku efektif Tahun 2000. Hasil pengukuran emisi debu di semua
cerobong ada yang melampaui baku mutu yang ditetapkan. Pengukuran periode 2 Tahun
2005 unit 1 dan unit 5 melampaui batas baku mutu yang ditetapkan. Kemudian pada
periode tiga, tahun yang sama unit 1, 2 dan 5 melampaui batas baku mutu yang
ditetapkan. Pada unit emisi total partikel/debu di tujuh cerobong UBP Suralaya pada
periode dua, Tahun 2007 selengkapnya ditampilkan pada Tabel 23 dan Gambar 18.
72

Tabel 23. Hasil pengukuran emisi debu pada suhu baku 25oC dan tekanan 1 atmosfer di
cerobong UBP Suralaya Bulan Januari 2005 – Juni 2007

2005 2006 2007


No Cerobong Satuan
Periode 1 Periode 2 Periode 3 Periode 4 Periode 1 Periode 2 Periode 3 Periode 4 Periode 1 Periode 2

1 Unit 1 μg/m3 127,00 250,59 172,00 148,00 130,00 197,00 148,00 115,00 130,10 99,95

2 Unit 2 μg/m3 134,00 - 640,00 132,00 149,00 164,00 71,00 57,00 73,99 129,68

3 Unit 3 μg/m3 107,00 61,39 121,00 18,00 52,00 32,00 154,00 77,00 132,97 117,38
3
4 Unit 4 μg/m - 21,61 147,00 142,00 27,00 14,00 87,00 58,00 83,12 94,24

5 Unit 5 μg/m3 91,00 352,87 161,00 11,00 44,00 80,00 109,00 143,00 102,57 119,91

6 Unit 6 μg/m3 37,00 16,22 127,00 96,00 45,00 110,00 140,00 139,00 64,18 109,83

7 Unit 7 μg/m3 89,00 19,46 48,00 58,00 58,00 147,00 149,00 116,00 146,65 126,93

a. Hasil pengukuran emisi Debu di Cerobong UBP Suralaya (Unit 1-4)

700
600
Debu (ug/m3)

500
400
300
200
100
0
P1-05 P2-5 P3-05 P4-05 P1-06 P2-06 P3-06 P4-06 P1-07 P2-07
Periode Pemantauan
Unit 1 Unit 2 Unit 3 Unit 4 BM

b. Hasil pengukuran emisi Debu di Cerobong UBP Suralaya (Unit 5-7)

400
350
Debu (ug/m3)

300
250
200
150
100
50
0
P1-05 P2-5 P3-05 P4-05 P1-06 P2-06 P3-06 P4-06 P1-07 P2-07
Periode Pemantauan

Unit 5 Unit 6 Unit 7 BM

Gambar 18. Hasil pengukuran emisi debu pada suhu baku 25oC dan
tekanan 1 atmosfer di PLTU Suralaya
73

4.3.2.2 PT Krakatau Steel (zona KS)


A. Emisi Gas SO2
Konsentrasi emisi SO2 yang terukur pada suhu baku 25oC dan tekanan 1
atmosfer pada bulan September Tahun 2007 tertinggi di SSP2 sebesar 126,30 μg/m3.
Untuk zona KS pengambilan sampel dilakukan di PT Krakatau Steel pada 4 cerobong
Krakatau Daya Listrik (KDL) dan 25 cerobong yang menyebar pada berbagai unit
pengolahan, seperti: Direct Reduction Plant (DRP), Steel Slab Plant (SSP) dan Billet
Steel Plant (BSP). Hasil pengukuran emisi SO2 pada periode ini cenderung
menunjukkan peningkatan konsentrasi, tetapi di beberapa lokasi menunjukkan
penurunan konsentrasi. Konsentrasi SO2 minimum terukur di SSP1 dan BSP. Emisi gas
SO2 di empat lokasi PT Krakatau Steel pada bulan September Tahun 2007 selengkapnya
ditampilkan pada Tabel 25. Apabila mengacu pada baku mutu KepMen LH No.13
Tahun 1995 Lampiran A III maka hasil pemantauan emisi di semua cerobong tidak ada
yang melampaui baku mutu yang ditetapkan, yaitu sebesar 750 μg/m3. Tinggi rendahnya
emisi SO2 yang terukur sangat dipengaruhi oleh kandungan sulfur dalam bahan bakar
yang digunakan.

Tabel 24. Hasil pengukuran emisi SO2 pada suhu baku 25oC dan tekanan
1 atmosfer di lokasi PT KS
No Lokasi Satuan Nop-05 Agust-06 Nop-06 Mart-07 Sept-07
3
1 SSP1 μg/m 5,00 5,00 5,00 5,00 0,00
3
2 SSP2 μg/m - 6,61 5,00 5,00 126,30
3
3 DRP2 μg/m - - 6,02 20,70 87,00
3
4 BSP μg/m 5,00 5,00 5,00 5,00 0,00

B. Emisi Total Partikel/Debu


Hasil pengukuran emisi debu pada suhu baku 25oC dan tekanan 1 atmosfer pada
bulan Maret 2007 cenderung menunjukkan peningkatan konsentrasi. Konsentrasi debu
minimum terukur di DRP2 sebesar 0,67 μg/m3. Konsentrasi maksimum terukur di SSP2
sebesar 21,54 μg/m3. Hasil pengukuran emisi debu pada bulan September 2007 terjadi
penurunan konsentrasi di semua lokasi pabrik. Konsentrasi minimum terjadi di DRP2
sebesar 0,46 μg/m3 dan maksimum terjadi di SSP1 sebesar 2,99 μg/m3. Hasil
pengukuran emisi debu di semua lokasi secara kualitatif masih jauh berada di bawah
74

baku mutu yang ditetapkan dalam PP 41/99 sebesar 150 μg/m3. Emisi debu di empat
lokasi PT Krakatau Steel bulan September Tahun 2007 selengkapnya ditampilkan pada
Tabel 25 dan Gambar 19.
Tabel 25. Hasil pengukuran emisi debu pada suhu baku 25oC dan tekanan
1 atmosfer di lokasi PT KS
No Lokasi Satuan Nop-05 Agust-06 Nop-06 Mart-07 Sept-07

3
1 SSP1 μg/m 10,00 56,00 12,30 12,50 2,99
3
2 SSP2 μg/m - - 6,70 21,54 1,28
3
3 DRP2 μg/m - - 0,82 0,67 0,46
3
4 BSP μg/m 59,26 28,57 13,33 12,31 0,54

a. Hasil pengukuran emisi SO2 di PT KS


140.00

120.00

100.00
SO2 (ug/m3)

80.00

60.00

40.00

20.00

0.00
Nop-05 Agust-06 Nop-06 Mart-07 Sept-07

Periode
SSP1 SSP2 DRP2 BSP

b. Hasil pengukuran emisi Debu di PT KS


70
60
Debu (ug/m3)

50
40
30
20
10
0
Nop-05 Agust-06 Nop-06 Mart-07 Sept-07
Periode
SSP1 SSP2 DRP2 BSP

Gambar 19. Hasil pengukuran emisi SO2 dan debu pada suhu baku 25oC dan
tekanan 1 atmosfer di PT KS
75

4.4 Validasi Model Emisi


Berdasarkan analisis sebaran, bahwa pada kecepatan angin 1 m/s SO2 dan debu
yang diemisikan dari zona Ciwandan pada stabilitas A (sangat tidak stabil) dan B (tidak
stabil menengah) masih di dalam kawasan, sedangkan pada stabilitas C (sedikit tidak
stabil) sampai E (agak stabil) menyebar sampai ke luar kawasan industri. Kemudian
pada zona KS SO2 dan debu yang diemisikan sampai ke luar kawasan industri terjadi
pada stabilitas D (netral) dan E (agak stabil). Sementara itu pada zona Pulomerak SO2
dan debu yang diemisikan sampai ke luar kawasan industri terjadi pada stabilitas B
(tidak stabil menengah) sampai E (agak stabil). Perbedaan jarak sebaran diakibatkan
oleh tinggi cerobong yang digunakan. Semakin tinggi cerobong asap, konsentrasi
polutan di sekitar cerobong asap semakin kecil karena lintasan pergerakan polutan
otomatis akan lebih jauh.
Untuk menilai kehandalan model emisi yang telah digunakan, maka hasil dari
model dibandingkan dengan hasil pengukuran. Pengukuran emisi SO2 dan debu
dilakukan di dua kawasan industri. Hasil analisis program model dengan pengukuran
emisi SO2 dan debu yang dilakukan di kawasan Pulomerak dan kawasan Krakatau Steel,
selengkapnya ditampilkan pada Tabel 26 dan 27, dan Gambar 20 dan 21.

Tabel 26. Hasil pengukuran dan model emisi SO2 dan Debu di PLTU Suralaya

Stabilitas
Pengukuran
No Lokasi A B C D E

SO2 Debu SO2 Debu SO2 Debu SO2 Debu SO2 Debu SO2 Debu

1 Unit-1 295,57 99,95 866,00 143,00 374,40 127,20 245,30 107,00 24,85 94,30 12,68 63,40

2 Unit-2 323,36 129,68 866,00 143,00 374,40 127,20 245,30 107,00 24,85 94,30 12,68 63,40

3 Unit-3 378,82 117,38 866,00 143,00 374,40 127,20 245,30 107,00 24,85 94,30 12,68 63,40

4 Unit-4 414,14 94,24 866,00 143,00 374,40 127,20 245,30 107,00 24,85 94,30 12,68 63,40

5 Unit-5 258,39 119,91 592,40 132,95 237,20 119,90 148,90 106,87 4,82 98,30 1,07 73,80

6 Unit-6 309,47 109,83 592,40 132,95 237,20 119,90 148,90 106,87 4,82 98,30 1,07 73,80

7 Unit-7 271,50 126,93 592,40 132,95 237,20 119,90 148,90 106,87 4,82 98,30 1,07 73,80

Emisi SO2 yang ditunjukkan pada Gambar 20 hasil model yang mendekati hasil
pengukuran pada stabilitas B (tidak stabil menengah) yaitu pada kisaran waktu siang
dan sore hari pukul 13.00 sampai 19.00 dengan kecepatan angin rata-rata bulanan 2,5
m/s. Hal ini sesuai dengan saat waktu pengukuran yang berlangsung di kawasan
Pulomerak. Sementara itu pada saat pengukuran di kawasan Krakatau Steel berlangsung
76

dari pagi sampai malam hari. Pada Gambar 21 ditunjukkan bahwa angka kisaran hasil
model pada berbagai stabilitas memenuhi hasil pengukuran. Emisi debu yang
ditunjukkan pada ke dua gambar tersebut, yang diemisikan dari kawasan Pulomerak dan
kawasan Krakatau Steel pada berbagai stabilitas angka hasil model berbeda jauh dengan
hasil pengukuran.

a. Hasil pengukuran dan m odel em isi SO2 PLTU Suralaya

1000
900
800
700
Konsentrasi

600
500
400
300
200
100
0
Unit-1 Unit-2 Unit-3 Unit-4 Unit-5 Unit-6 Unit-7
Pengukur an Stabi l i tas A Stabi l i tas B
Lokasi Pabrik
Stabi l i tas C Stabi l i tas D Stabi l i tas E

b. Hasil pengukuran dan m odel em isi Debu PLTU Suralaya

160
140
120
Konsentrasi

100
80
60
40
20
0
Unit-1 Unit-2 Unit-3 Unit-4 Unit-5 Unit-6 Unit-7
Pengukur an Stabi li tas A Stabil i tas B
Lokasi Pabrik
Stabi l i tas C Stabi li tas D Stabil i tas E

Gambar 20. Hasil pengukuran dan model di PLTU Suralaya


77

Tabel 27. Hasil pengukuran dan model emisi SO2 dan Debu di Krakatau Steel
Stabilitas
Pengukuran
No Lokasi A B C D E

SO2 Debu SO2 Debu SO2 Debu SO2 Debu SO2 Debu SO2 Debu

1 SSP-1 5,00 12,50 7,205 28,890 7,795 39,480 6,200 31,420 2,752 13,980 3,143 16,490

2 SSP-2 5,00 21,54 7,173 28,720 7,698 38,500 6,117 30,600 2,709 13,550 2,997 14,990

3 HYL 154,10 4,00 194,330 27,180 153,380 26,700 140,690 20,350 116,190 8,097 119,163 4,583

4 DRP-2 20,70 0,67 72,780 2,880 80,120 3,899 63,820 3,101 28,450 1,376 34,960 1,572

5 BSP 5,00 13,30 7,237 28,890 7,893 39,480 6,282 31,420 2,794 13,980 3,297 16,490

a. Hasil pengukuran dan m odel em isi SO2 PT KS

250

200
Konsentrasi

150

100

50

0
SSP-1 SSP-2 HYL DRP-2 BSP
Pengukur an Stabi l i tas A Stabi l i tas B
Lokasi Pabrik
Stabi l i tas C Stabi l i tas D Stabi l i tas E

b. Hasil pengukuran dan m odel em isi Debu PT KS

45
40
35
30
Konsentrasi

25
20
15
10
5
0
SSP-1 SSP-2 HYL DRP-2 BSP
Pengukur an Stabi l i tas A Stabi l i tas B Lokasi Pabrik
Stabi l i tas C Stabi l i tas D Stabi l i tas E

Gambar 21. Hasil pengukuran dan model di PT KS


78

Untuk menilai kehandalan model emisi yang telah digunakan, maka hasil dari
model dibandingkan dengan hasil pengukuran. Hasil analisis program model dengan
pengukuran emisi SO2 dan debu untuk kawasan industri yang dilakukan di kawasan
Pulomerak dan kawasan Krakatau Steel, selengkapnya ditampilkan pada Tabel 28.
Pada Tabel 28a untuk kawasan Pulomerak konsentrasi SO2 yang diemisikan dari
Unit Bisnis Pembangkitan (UBP) Suralaya pada unit-1 sampai unit-4 diperoleh rata-rata
hasil model sebesar 304,646 μg/m3 dengan simpangan baku 312,01. Kemudian
dianalisis dengan menggunakan persamaan 3.9 untuk memperoleh nilai mutlak z-score.
Pada unit-1 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,183 pada unit-2 diperoleh nilai
mutlak z-score sebesar 0,377 pada unit-3 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 1,492
dan pada unit-4 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 2,203. Kemudian pada unit-5
sampai unit-7 diperoleh rata-rata hasil model sebesar 197,878 μg/m3 dengan simpangan
baku 21,707. Pada unit-5 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,589 pada unit-6
diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 1,079 dan pada unit-7 diperoleh nilai mutlak z-
score sebesar 0,715. Berdasarkan syarat nilai z-score, untuk pencemar SO2 pada unit-1,
unit-2, unit-3, unit-5, unit-6, dan unit-7 aplikasi model termasuk pada kategori ‘hasil
yang dapat diterima’ (acceptable performance). Sementara itu pada unit-4 aplikasi
model termasuk pada kategori ‘hasil yang diragukan’ (questionable performance). Hal
ini disebabkan karena input data pada program model menggunakan data emisi yang
sama.
Berdasarkan data pada Tabel 28b untuk kawasan Krakatau Steel konsentrasi SO2
yang diemisikan sebagai berikut: pada unit BSP diperoleh rata-rata hasil model sebesar
5,501 μg/m3 dengan simpangan baku 2,075 pada unit SSP1 rata-rata hasil model sebesar
5,419 μg/m3 dengan simpangan baku 2,085 pada unit SSP2 rata-rata hasil model sebesar
5,339 μg/m3 dengan simpangan baku 2,095 pada unit DRP2 rata-rata hasil model
sebesar 56,026 μg/m3 dengan simpangan baku 20,621 dan pada unit HYL rata-rata hasil
model sebesar 146,751 μg/m3 dengan simpangan baku 29,230. Pada unit BSP diperoleh
nilai mutlak z-score sebesar 0,610 pada unit SSP1 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar
0,461 pada SSP2 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,342 pada unit DRP2 diperoleh
nilai mutlak z-score sebesar 5,522 dan pada unit HYL diperoleh nilai mutlak z-score
sebesar 1,435. Berdasarkan syarat nilai z-score, untuk pencemar SO2 pada unit BSP,
79

unit SSP1, unit SSP2, dan unit HYL aplikasi model termasuk pada kategori ‘hasil yang
dapat diterima’ (acceptable performance). Akan tetapi pada unit DRP2 aplikasi model
termasuk pada ketgori ‘hasil yang diragukan’ (questionable performance). Hasil
verifikasi pada berbagai stabilitas atmosfer menunjukkan bahwa emisi pencemar udara
SO2 hasil pengukuran pada umumnya masih memenuhi kisaran angka yang dihasilkan
model. Secara umum hasil analisis sebaran emisi SO2 di kawasan industri dengan model
screen3 termasuk pada kategori hasil yang dapat diterima (acceptable performance).

Tabel 28a. Angka hasil pendugaan menurut model scree3 dan data hasil pengukuran
dalam satuan μg/m3 emisi SO2 dan debu di Kawasan Industri Pulomerak
SO2 Debu
No Lokasi M M
P P
Minimal Maksimal Minimal Maksimal
1 Unit-1 295,57 12,68 866,00 99,95 63,40 143,00
2 Unit-2 323,36 12,68 866,00 129,68 63,40 143,00
3 Unit-3 378,82 12,68 866,00 117,38 63,40 143,00
4 Unit-4 414,14 12,68 866,00 94,24 63,40 143,00
5 Unit-5 258,39 1,07 592,40 119,91 73,80 132,95
6 Unit-6 309,47 1,07 592,40 109,83 73,80 132,95
7 Unit-7 271,50 1,07 592,40 126,93 73,80 132,95

Tabel 28b. Angka hasil pendugaan menurut model screen3 dan data hasil pengukuran
dalam satuan μg/m3 emisi SO2 dan debu di Kawasan Industri Krakatau Steel
SO2 Debu
No Lokasi M M
P P
Minimal Maksimal Minimal Maksimal
1 SSP1 5,000 2,752 7,795 12,500 13,980 39,480
2 SSP2 5,000 2,709 7,698 21,540 13,550 38,500
3 HYL 154,100 116,190 194,330 4,000 4,583 27,180
4 DRP2 20,700 28,450 80,120 0,670 1,376 3,899
5 BSP 5,000 2,794 7,893 13,300 13,980 39,480
Keterangan : M = angka menurut model
P = data hasil pengukuran

Konsentrasi debu yang diemisikan dari UBP Suralaya pada unit-1 sampai unit-4
diperoleh rata-rata hasil model sebesar 106,980 μg/m3 dengan simpangan baku 27,446.
Pada unit-1 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 1,204 pada unit-2 diperoleh nilai
mutlak z-score sebesar 3,887 pada unit-3 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 1,781
80

dan pada unit-4 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 2,182. Kemudian pada unit-5
sampai unit-7 diperoleh rata-rata hasil model sebesar 106,364 μg/m3 dengan simpangan
baku 20,079. Pada unit-5 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 3,415 pada unit-6
diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 1,807 dan pada unit-7 diperoleh nilai mutlak z-
score sebesar 5,428. Berdasarkan syarat nilai z-score, untuk pencemar debu pada unit-1,
unit-3, dan unit-6 aplikasi model termasuk pada kategori ‘hasil yang dapat diterima’
(acceptable performance). Kemudian pada unit unit-4 aplikasi model termasuk pada
ketgori ‘hasil yang diragukan’ (questionable performance), sedangkan pada unit-5 dan
unit-7 aplikasi model termasuk pada kategori ‘hasil yang tidak dapat diterima’
(unacceptbale performance). Sementara itu konsentrasi debu yang diemisikan dari
kawasan Krakatau Steel sebagai berikut: pada unit BSP diperoleh rata-rata hasil model
sebesar 26,052 μg/m3 dengan simpangan baku 9,533 pada unit SSP1 rata-rata hasil
model sebesar 26,025 μg/m3 dengan simpangan baku 9,333 pada unit SSP2 rata-rata
hasil model sebesar 25,272 μg/m3 dengan simpangan baku 9,575 pada unit DRP2 rata-
rata hasil model sebesar 2,566 μg/m3 dengan simpangan baku 0,956 dan pada unit HYL
rata-rata hasil model sebesar 17,382 μg/m3 dengan simpangan baku 9,399. Pada unit
BSP diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 3,154 pada unit SSP1 diperoleh nilai mutlak
z-score sebesar 3,351 pada SSP2 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,893 pada unit
DRP2 diperoleh nilai mutlak z-score sebesar 0,906 dan pada unit HYL diperoleh nilai
mutlak z-score sebesar 2,197. Berdasarkan syarat nilai z-score, untuk emisi pencemar
debu pada unit SSP2, dan unit DRP2 aplikasi model termasuk pada kategori ‘hasil yang
dapat diterima’ (acceptable performance). Sementara itu pada unit HYL aplikasi model
termasuk pada ketgori ‘hasil yang diragukan’ (questionable performance) dan pada unit
BSP dan SSP1 aplikasi model termasuk pada kategori ‘hasil yang tidak dapat diterima
(unacceptable performance). Secara umum model screen3 untuk menganalisis sebaran
emisi debu di kawasan industri termasuk pada kategori hasil yang diragukan. Dalam
menganalisis emisi debu di kawasan tersebut, perlu diperhatikan kandungan partikel
pada bahan bakar yang digunakan karena akan berimplikasi pada debit emisi pencemar
yang diemisikan masing-masing sumber.
Aplikasi model screen3 untuk kawasan industri memiliki kelemahan dan
kelebihan dalam menganalisis sebaran polutan. Hal ini ditunjukkan adanya pebedaan
81

hasil dalam menganalisis sebaran SO2 dan debu di kawasan industri Cilegon. Kelebihan
model screen3 dalam menganalisis sebaran, lebih cepat serta membutuhkan input yang
sederhana. Bentuk dan tinggi bangunan, dan posisi cerobong dengan menggunakan
model ini, tidak diperhitungkan. Sementara itu kelemaham hasil model ditunjukkan
dengan perbedaan hasil analisis, hal ini terjadi karena banyaknya cerobong dengan
tinggi yang berbeda pada masing-masing unit operasi. Aplikasi model screen3 dalam
menganalisis sebaran, harus di running pada setiap tinggi cerobong. Jika dalam setiap
unit operasi terdapat 4 cerobong, maka harus dilakukan running sebanyak empat kali.
Berdasarkan hasil survey, perbedaan tinggi cerobong pada masing-masing unit operasi
menunjukkan perbedaan kapasitas bahan bakar yang digunakan oleh pabrik tersebut.
Dengan kata lain model screen3 terdapat kelemahan, jika diaplikasikan pada kawasan
industri, karena tidak memperhitungkan posisi cerobong pada setiap unit operasi pada
masing-masing pabrik.

4.5 Prediksi Sebaran Polutan di Kota Cilegon


4.5.1 Pemecahan Model Prediksi
Penyebaran pencemar udara selain berlangsung melalui proses difusi, juga
dipengaruhi oleh aliran atau gesekan udara yang disebut proses konveksi. Model yang
digunakan, diturunkan dari persamaan umum transpor dengan memperhitungkan efek
difusi-konveksi. Analisis aliran penyebaran pencemar merupakan bentuk umum hukum
konservasi massa. Model yang dibangun untuk memprediksi laju penyebaran pencemar
udara dengan memperhatikan sumber emisi, dikembangkan dari persamaan 3.3. Dalam
pembentukan grid pada volume kontrol dilakukan pada kasus satu dimensi, seperti
tampak pada Gambar 22. Titik P merupakan sebuah titik node umum dan titik
sekitarnya yang lain pada geometri satu dimensi, sebagai misal di sini dari arah barat ke
timur, node ke arah barat diidentifikasi sebagai W dan ke timur sebagai E. Volume
kontrol yang mengarah ke barat adalah w dan yang mengarah ke timur adalah e. Jarak
antara node w dan p dan antara node p dan e diidentifikasi sebagai δxwp dan δxpe,
sedangkan lebar volume kontrol Δx = δxwe.
82

δ xwp δ x pe

δ xwe

Gambar 22. Volume kontrol sekitar Node p

Integrasi finite volume persamaan 3.3 pada volume kontrol (CV), dengan interval
waktu t ke t + Δt sebagai berikut:
t +Δt
⎛ ⎞ t +Δt
……. 4.1
∫ ⎜⎝ ∫ n.( Γgradφ ) dA ⎟⎠ dt + ∫
⎛ t +Δt ∂ ⎞ t +Δt
⎛ ⎞
∫CV ⎜⎝ ∫t ∂t ( ρφ ) dt ⎟⎠ dV + ∫t ⎜⎝ ∫A n.( ρ uφ ) dA ⎟⎠ dt = t A t
Sφ dVdt

Untuk kasus satu dimensi, persamaan (3.3) berubah menjadi:



( ρφ ) + ( ρ uφ ) = ⎛⎜ Γ ⎞⎟ + Sφ
d d d
……. 4.2
dt dx dx ⎝ dx ⎠

d
dengan memperhatikan syarat kontinuitas ( ρ u ) = 0 , maka:
dx

( ρφ ) = ⎛⎜ Γ ⎞⎟ + Sφ
d d
……. 4.3
dt dx ⎝ dx ⎠

Persamaan (4.3) didiskretasasi pada volume kontrol, dengan interval waktu t ke


t + Δt , dengan ρ (kerapatan udara) konstan:
t +Δt t +Δt t +Δt
dφ d ⎛ dφ ⎞

t
∫CV ρ dt dVdt = ∫ ∫
t CV
⎜Γ ⎟ dVdt +
dx ⎝ dx ⎠ ∫ ∫ Sφ dVdt
t CV

e
⎡ t +Δt dφ ⎤ t +Δt
⎡⎛ dφ ⎞ ⎛ dφ ⎞ ⎤
t +Δt

∫w ⎣⎢ ∫t dt ⎦⎥
ρ dt dV = ∫t ⎢⎣⎜⎝ dx ⎟⎠e ⎜⎝ dx ⎟⎠w ⎥⎦ ∫t Sφ ΔVdt
Γ A − Γ A dt + ……. 4.4

dengan :
A = luas permukaan pada volume kontrol
ΔV = AΔx = volume
Δx = lebar pada volume kontrol
Sφ = sumber pencemar (source) rata-rata

Evaluasi integral bagian kiri persamaan 4.4 adalah:


e
⎡ t +Δt dφ ⎤
∫w ⎢⎣ ∫t ρ dt dt ⎥⎦ dV = ρ (φP − φP ) ΔV
o
……. 4.5

maka persamaan (4.4) berubah menjadi:


83

t +Δt
⎡⎛ φ E − φP ⎞ ⎛ φP − φW ⎞ ⎤ t +Δt
ρ (φP − φPo ) ΔV = ∫ ⎢⎜ Γ e A ⎟ − ⎜ Γ A ⎟ ⎥ dt + ∫t Sφ ΔVdt ……. 4.6
t ⎣⎝ δ xPE ⎠ ⎝
w
δ xWP ⎠ ⎦

Untuk mengevaluasi φP , φE dan φW pada persamaan (4.6), digunakan parameter

θ sebagai berikut:
t +Δt
Iφ = ∫ φ dt = ⎡⎣θφ + (1 − θ )φ ⎤⎦ Δt
o
P P P ……. 4.7
t

Substitusi persamaan (4.6) ke (4.7) menjadi:


t +Δt
⎡⎛ φE − φ P ⎞ ⎛ φP − φW ⎞⎤ t +Δt
ρ (φP − φPo ) ΔV = A ∫ ⎢⎜ Γ e ⎟ − ⎜ Γw ⎟⎥ dt + A ∫t Sφ Δxdt
t ⎣⎝ δ xPE ⎠ ⎝ δ xWP ⎠⎦
t +Δt
⎡⎛ φE − φP ⎞ ⎛ φP − φW ⎞⎤ t +Δt
ρ (φP − φPo ) Δx = ∫ ⎢⎜ Γ e ⎟ −⎜Γ ⎟ ⎥ dt + ∫ Sφ Δxdt
t ⎣⎝ δ xPE ⎠ ⎝ w δ xWP ⎠⎦ t

t +Δt t +Δt
Γe Γ
ρ (φP − φPo ) Δx = ∫t (φE − φP ) dt − δ xWP
w
∫t (φP − φW ) dt + Sφ ΔxΔt
δ xPE

Γe ⎡ ⎤ Γ w ⎡ t +Δt ⎤
t +Δt t +Δt t +Δt
ρ (φP − φ ) Δx =
o
⎢ ∫ φE dt − ∫ φP dt ⎥ − ⎢ ∫ φ p dt − ∫ φW dt ⎥ + Sφ ΔxΔt
P
δ xPE ⎣ t t ⎦ δ xWP ⎣ t t ⎦
Γe
ρ (φP − φPo ) Δx =
δ xPE
{
⎡⎣θφE + (1 − θ ) φEo ⎤⎦ Δt − ⎡⎣θφP + (1 − θ ) φPo ⎤⎦ Δt }
Γw
− {
⎡θφ + (1 − θ ) φPo ⎤⎦ Δt − ⎡⎣θφW + (1 − θ ) φWo ⎤⎦ Δt + Sφ ΔxΔt
δ xWP ⎣ P
}
⎛ φP − φPo ⎞ Γe
ρ⎜ ⎟ Δx = ⎡θφE − φP + (1 − θ ) (φEo − φPo ) ⎤
⎝ Δt ⎠ δ xPE ⎣ ⎦

Γw
− ⎡θφ − θφW + (1 − θ ) (φPo − φWo ) ⎤ + Sφ Δx
δ xWP ⎣ P ⎦

Δx Δx θΓ φ θΓ φ θΓ φ θΓ φ Γ φo
ρ φP − ρ φPo = e E − e P − w P + w W + (1 − θ ) e E
Δt Δt δ xPE δ xPE δ xWP δ xWP δ xPE

Γ eφPo Γ φo Γ φo
− (1 − θ ) − (1 − θ ) w P + (1 − θ ) w W + Sφ Δx
δ xPE δ xWP δ xWP

⎡ Δx ⎛ Γ Γ ⎞⎤ Γ Γ
⎢ρ + θ ⎜ e − w ⎟ ⎥ φP = e ⎡⎣θφE + (1 − θ ) φEo ⎤⎦ + w ⎡⎣θφW + (1 − θ ) φWo ⎤⎦
⎣ Δt ⎝ δ xPE δ xWP ⎠ ⎦ δ xPE δ xWP
84

⎡ Δx Γ Γ ⎤
+ ⎢ρ − (1 − θ ) e − (1 − θ ) w ⎥ φPo + Sφ Δx
⎣ Δt δ xPE δ xWP ⎦
Bentuk standar dari persamaan tersebut adalah:
⎡⎣ aPo + θ ( aE − aW ) ⎤⎦ φP = aE ⎡⎣θφE + (1 − θ ) φEo ⎤⎦ + aW ⎡⎣θφW + (1 − θ ) φWo ⎤⎦ + ⎡⎣aPo − (1 − θ ) aE − (1 − θ ) aW ⎤⎦ φPo + b

aPφP = aW ⎡⎣θφW + (1 − θ ) φWo ⎤⎦ + aE ⎡⎣θφE + (1 − θ ) φEo ⎤⎦ + ⎡⎣ aPo − (1 − θ ) aW − (1 − θ ) aE ⎤⎦ φPo + b

Δx Γ Γ
dengan : aP = ρ ; aW = w ; aE = e ; aP = θ ( aW + aE ) + aPo ; dan b = Sφ Δx .
Δt δ xWP δ xPE
Aliran penyebaran menggunakan scheme implisit (θ = 1) untuk kasus dua
dimensi, sebagai berikut:
aPφP = aW φW + aEφE + aSφS + aN φN + aPoφPo + Su ……. 4.9

ρ op ΔxΔy
dengan : aP = aW + aE + aS + aN + aP0 + ΔF − S P dan a op =
Δt
keterangan: φ po = pencemar pada kondisi awal

4.5.2 Aplikasi Model di Kota Cilegon


Hasil pengukuran kualitas udara ambien yang dilakukan selama 5 periode dari
Tahun 2005 sampai 2007 menunjukkan fluktuasi konsentrasi pada beberapa titik
sampel. Sebaran debu dan SO2 pada 24 titik sampel di Kota Cilegon disajikan pada
Gambar 23. Berdasarkan gambar tersebut, konsentrasi debu yang menyebar di Kota
Cilegon, kosentrasi tertinggi mencapai 686 μg/m3 terukur pada pengukuran ke tiga
Tahun 2006. Konsentrasi tersebut terjadi di lokai Nirmala Optik Desa Jombang Wetan
Kecamatan Jombang. Sementara itu konsentrasi SO2 tertinggi terjadi di ASDP Merak
Desa Tamansari Kecamatan Pulomerak sebesar 55,75 μg/m3. Besarnya konsentrasi
tersebut terukur pada pengukuran periode kelima Tahun 2007.
Untuk aplikasi model sebaran, polutan yang dianalisis didasarkan pada hasil
analisis model screen3. Pada model ini dianalisis dua jenis polutan yang diemisikan dari
sumber pencemar yakni SO2 dan debu. Berdasarkan validasi model screen3,
menunjukkan bahwa secara umum emisi SO2 diklasifikasikan sebagai ‘hasil yang dapat
85

diterima’ (acceptable performance), sedangkan emisi debu secara umum aplikasi model
termasuk pada kategori ‘hasil yang diragukan (questionable performance).

800
700
600
Debu (ug/m3)

500
SO2
400
Debu
300
200
100
0
0 10 20 30 40 50 60
Sulfur dioksida (ug/m3)

Gambar 23. Sebaran Debu dan SO2 pada 24 titik sampel


di Kota Cilegon periode 2005 – 2007

Hasil pengukuran SO2 selama 24 jam yang dilakukan pada tanggal 4 Juli Tahun
2007 (periode 5) menunjukkan konsentrasi tertinggi terukur di ASDP Merak Desa
Tamansari sebesar 55,75 μg/m3, sedangkan konsentrasi terendah terukur di Pallem Hills
dengan konsentrasi sebesar 7,65 μg/m3. Hasil pengukuran SO2 di semua lokasi secara
kualitatif masih jauh berada di bawah baku mutu yang ditetapkan dalam PP 41/1999
sebesar 365 μg/m3 (pengukuran 24 jam). Interval hasil pengukuran konsentrasi SO2
selama 5 kali pengukuran disajikan dalam Gambar 24. Berdasarkan gambar tersebut,
interval kenaikkan konsentrasi tertinggi terjadi di lokasi ASDP Merak Desa Tamansari
Kecamatan Pulomerak (No. 3). Pada periode pertama terukur konsentrasi SO2 sebesar
13,92 μg/m3 sedangkan pada periode kelima terumur sebesar 55,75 μg/m3. Kemudian di
lokasi depan PENI Desa Gerem Kecamatan Grogol (No. 5) periode pertama konsentrasi
SO2 sebesar 15,12 μg/m3 sedangkan pada periode kelima hasil pengukuran sebesar
41,42 μg/m3.
Secara umum hasil pengukuran SO2 pada beberapa titik sampel cenderung
meningkat, namun terjadi pula penurunan konsentrasi di beberapa titik lainnya. Hasil
pengukuran SO2 tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh tinggi rendahnya aktivitas
sekeliling titik pengukuran, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor meteorologi
setempat terutama sebagai akibat stabilitas atmosfir secara mikro.
86

Dalam menganalisis sebaran SO2 di Kota Cilegon menggunakan hasil analisis


faktor meteorologi, hasil model sebaran di kawasan industri, nilai kondisi awal (initial
conditions) dan nilai kondisi batas (boundary conditions) sebagai input model. Input
lain untuk aplikasi model adalah nilai difusivitas. Pencemar SO2 difusivitasnya dikaji
terhadap udara. Model dispersi untuk mengetahui distribusi laju penyebaran SO2
merupakan aplikasi dari persamaan 4.9. Model tersebut dibangun dengan menggunakan
software Matlab. Sementara itu difusivitas SO2 terhadap udara dikaji dengan
menggunakan persamaan Bird (persamaan 3.4), disajikan pada Tabel 29.
Konsentrasi SO2 (ug/m3)

30

20

10

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Lokasi Pengukuran (titik sampel)

Gambar 24. Interval konsentrasi SO2 pada 24 titik sample


di Kota Cilegon periode 2005 – 2007

Tabel 29. Difusivitas SO2 terhadap udara

Tempe Tekan Non-polar gas-


Tempe Tekan Massa Difusivitas
ratur an pairs
Zat ratur an Massa Jenis
Kritis Kritis
(K) (atm) (Kg/m3)
(K) (atm) 2 -4
a b cm /sec 10 kg/ms

Udara - - 28,97 1,29 132 36,4 - -


0,0002745 1,823
SO2 302,3 0,995 64,07 - 430,7 77,8 0,129 0,1664

Untuk menganalisis sebaran SO2 di Kota Cilegon dikaji dengan persamaan 4.9.
Sebaran SO2 dikaji dalam dua dimensi, berdasarkan karakteristik udara di Kota Cilegon
dan survey lapang sebagai berikut:
87

1) Arah angin rata-rata di Kota Cilegon bergerak dari Barat ke Timur


2) Sumber pencemar udara berada di antara Barat dan Timur
3) Tidak ada sumber pencemar udara pada batas antara Serang dan Cilegon

Persamaan sebaran dianalisis dengan menggunakan matriks, analisis persamaan


menggunakan Tri-Diagonal Matrix Algorithm (TDMA). Thomas (1949) membangun
teknik TDMA untuk mengimplementasikan dengan cepat suatu persamaan (Versteeg
and Malalasekela, 1995). Untuk menyelesaikan sistem TDMA pada kasus dua dimensi
untuk sebaran SO2 di Kota Cilegon, disesuaikan dengan jumlah grid sedangkan aliran
sebaran polutan dipilih dari Barat ke Timur (w – e).
Analisis sebaran pencemar udara berdasarkan persamaan 4.9 untuk kasus dua
dimensi adalah sebagai berikut:
aPφP = aW φW + aEφE + aSφS + aN φN + aPoφPo + Su

aP = aW + aE + aS + aN + aP0 + ΔF − S P

dengan: aW = Γ w Aw ; aE = Γ e Ae ; aS = Γ s As ; dan aN = Γ n An menurut Versteeg dan


δ xWP δ xPE δ xSP δ xPN

Malalasekera (1995) untuk kasus dua dimensi berlaku: Aw = Ae = Δy dan An = As = Δx .

Susunan grid Kota Cilegon diperoleh 192 cell, luas area setiap cell adalah 1 km2,
dengan ukuran 1,0 x 1,0 km. Susunan grid Kota Cilegon ditampilkan pada Gambar 25.
Difusivitas SO2 berdasarkan Tabel 29 diperoleh bahwa difusivitas SO2 dengan massa
jenis 1,289 kg/m3 adalah Γ SO2 = 0,1664 x10−4 kg/m.sec.

Analisis koefisien dari persamaan tersebut untuk pencemar udara adalah:


1) koefisien pada kondisi awal

1x (103 )
2
ρudara ( Δx )
2

Δt < =
(
2 Γ so2 ) 2 ( 0,1664 x10−4 )

Δt < 3, 005 x1010 sekon dan ρudara = 1kg / m3


koefisien untuk waktu tiga bulan, adalah:

1x (103 )
2
ρudara ΔxΔy
a =
o
p = = 0,12853 0,129 x10−2
Δt 7, 78 x108
88

Gambar 25. Grid Kota Cilegon

2) koefisien sulfur dioksida


0,1664 x10−4
aW = aE = aS = aN =
103
(103 ) = 0,1664 x10−4
Konveksi massa ΔF dihitung dengan menggunakan persamaan:
ΔF = Fe − Fw + Fn − Fs ……. 4.10

dengan: Fw = ( ρ u ) w Aw ; Fe = ( ρ u )e Ae ; Fn = ( ρ v )n An dan Fs = ( ρ v ) s As

Arah angin yang digunakan dari Barat ke Timur, pada penelitian ini hanya
menggunakana satu arah maka konveksi massa, dengan kecepatan u = 2,5 m/s adalah:
Fw = Fe = ( ρudara u ) Δy = 1x 2,5 x103 = 2,5 x103

Fn = Fs = 0
89

ΔF = Fe − Fw + Fn − Fs = 0 ……. 4.11

Dari persamaan 4.11 diperoleh bahwa konveksi massa adalah nol. Hal ini
menunjukkan bahwa sebaran SO2 di Kota Cilegon hanya ditinjau secara difusi. Dengan
kata lain SO2 menyebar dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Berdasarkan
model prediksi yang dilakukan serta hasil analisis difusivitas, maka diperoleh
persamaan distribusi sebaran SO2 sebagai fungsi waktu.
Analisis penyebaran SO2 dilakukan dengan menggunakan dua skenario.
Skenario pertama adalah dalam keadaan ada sumber pencemar dengan proses
penyebaran SO2 menyebar ke semua arah melalui proses difusi. Sementara itu skenario
kedua adalah dalam keadaan tidak ada sumber pencemar. Analisis sebaran SO2 di Kota
Cilegon sebagai berikut:
a) Dalam keadaan ada sumber pencemar
Pada skenario ini, menggunakan asumsi bahwa arah angin hanya satu arah, dari
Barat ke Timur. Analisis sebaran untuk masing-masing node menggunakan
persamaan sebagai berikut:
Node sebelah Barat ( aW = 0 ) dan ( S p = Su = 0 ) , karena tidak ada sumber:

aP = aE + aS + aN + aP0 + ΔF

aP = ( 0,1664 + 0,1664 + 0,1664 )10−4 + 0,129 x10−2 + 0 = 1,34 x10−3

aPφP = aEφE + aSφS + aN φN + aPoφPo

0,134 x10−2 φP = ( 0,1664φE + 0,1664φS + 0,1664φN )10−4 + 0,129 x10−2 φPo

atau
134φP = 0, 01664φE + 0, 01664φS + 0, 01664φN + 129φPo ……. 4.12.1

Node antara Barat dan Timur:


aP = aW + aE + aS + aN + aP0 + ΔF

aP = ( 0,1664 + 0,1664 + 0,1664 + 0,1664 )10−4 + 0,129 x10−2 + 0 = 1,36 x10−3

aPφP = aW φW + aEφE + aSφS + aN φN + aPoφPo + Su

0,136 x10−2 φP = ( 0,1664φW + 0,1664φE + 0,1664φS + 0,1664φN )10−4 + 0,129 x10−2 φPo + Su
atau
90

136φP = 0, 01664φW + 0, 01664φE + 0, 01664φS + 0, 01664φN + 129φPo + Su ……. 4.12.2

dengan: Su = Sumber emisi

Node sebelah Timur ( aE = 0 ) dan ( S p = Su = 0 ) , karena tidak ada sumber:

aP = aW + aS + aN + aP0 + ΔF

aP = ( 0,1664 + 0,1664 + 0,1664 )10−4 + 0,129 x10−2 + 0 = 1,34 x10−3

aPφP = aW φW + aSφS + aN φN + aPoφPo

0,134 x10−2 φP = ( 0,1664φW + 0,1664φS + 0,1664φN )10 −4 + 0,129 x10 −2 φPo

atau
134φP = 0, 01664φW + 0, 01664φS + 0, 01664φN + 129φPo ……. 4.12.3

b) Dalam keadaan tidak ada sumber pencemar


Pada skenario ini, menggunakan asumsi bahwa S = 0 (tidak ada sumber) dan
arah angin hanya satu arah, dari Barat ke Timur. Analisis sebaran untuk masing-
masing node menggunakan persamaan sebagai berikut:
Node sebelah Barat ( aW = 0 ) dan ( S p = Su = 0 ) :

aP = aE + aS + aN + aP0 + ΔF

aP = ( 0,1664 + 0,1664 + 0,1664 )10−4 + 0,129 x10−2 + 0 = 1,34 x10−3

aPφP = aEφE + aSφS + aN φN + aPoφPo

0,134 x10−2 φP = ( 0,1664φE + 0,1664φS + 0,1664φN )10 −4 + 0,129 x10−2 φPo

atau
134φP = 0, 01664φE + 0, 01664φS + 0, 01664φN + 129φPo ……. 4.13.1

Node antara Barat dan Timur ( S p = Su = 0 ) :

aP = aW + aE + aS + aN + aP0 + ΔF

aP = ( 0,1664 + 0,1664 + 0,1664 + 0,1664 )10−4 + 0,129 x10−2 + 0 = 1,36 x10−3

aPφP = aW φW + aEφE + aSφS + aN φN + aPoφPo


91

0,136 x10−2 φP = ( 0,1664φW + 0,1664φE + 0,1664φS + 0,1664φN )10−4 + 0,129 x10−2 φPo

atau
136φP = 0, 01664φW + 0, 01664φE + 0, 01664φS + 0, 01664φN + 129φPo ……. 4.13.2

Node sebelah Timur ( aE = 0 ) dan ( S p = Su = 0 ) :


aP = aW + aS + aN + aP0 + ΔF

aP = ( 0,1664 + 0,1664 + 0,1664 )10−4 + 0,129 x10−2 + 0 = 1,34 x10−3

aPφP = aW φW + aSφS + aN φN + aPoφPo

0,134 x10−2 φP = ( 0,1664φW + 0,1664φS + 0,1664φN )10 −4 + 0,129 x10 −2 φPo

atau
134φP = 0, 01664φW + 0, 01664φS + 0, 01664φN + 129φPo ……. 4.13.3

4.5.3 Sebaran SO2 di Kota Cilegon


Untuk menganalisis penyebaran SO2 di Kota Cilegon menggunakan arah angin
dominan. Sesuai dengan arah angin dominan tersebut, maka penyebaran SO2
berlangsung ke arah timur. Berdasarkan hasil analisis model, sebaran SO2 untuk
masing-masing skenario adalah sebagai berikut:
1) Hasil model sebaran SO2 berdasarkan skenario ada sumber pencemar
Hasil analisis model menunjukkan bahwa pada stabilitas A (sangat tidak stabil)
sebaran SO2 terjadi dikawasan industri. Sebaran SO2 dari kawasan industri ke seluruh
Kota Cilegon terjadi pada stabilitas tidak stabil menengah sampai agak stabil (B – E).
SO2 yang menyebar di Kota Cilegon pada stabilitas B (tidak stabil menengah) dengan
kecepatan angin 1 m/s dan 1,5 m/s diemisikan dari kawasan Pulomerak, sementara dari
kawasan Ciwandan dan KS sebaran SO2 masih di kawasan masing-masing. Pada
kecepatan angin 2 m/s ke atas, sebaran SO2 masih disekitar kawasan industri masing-
masing. Pada stabilitas C (sedikit tidak stabil) dengan kecepatan angin 1 m/s SO2 yang
menyebar di Kota Cilegon diemisikan dari kawasan Pulomerak dan Ciwandan.
Sementara itu pada kecepatan angin 1,5 m/s ke atas hanya kawasan Pulomerak yang
mengemisikan SO2 ke Kota Cilegon, sedangkan kawasan KS dan Ciwandan sebaran
SO2 masih di sekitar kawasan masing-masing. Pada stabilitas netral sampai agak stabil
92

(D – E) pada berbagai kecepatan angin, SO2 yang menyebar di Kota Cilegon terjadi
karena emisi dari ketiga kawasan industri.
Pada stabilitas B (tidak stabil menengah) dengan kecepatan angin 1 m/s
kosentrasi SO2 tinggi, dengan nilai 13 μg/m3 ke atas terjadi di empat kecamatan, yakni:
di Kecamatan Pulomerak dua lokasi, Kecamatan Grogol empat lokasi, Kecamatan
Purwakarta satu lokasi dan Kecamatan Citangkil satu lokasi. Kemudian pada stabilitas
atmosfer yang sama dengan kecepatan angin 1,5 m/s konsentrasi tinggi terjadi di tiga
kecamatan, yakni: di Kecamatan Pulomerak dua lokasi, Kecamatan Grogol empat lokasi
dan Kecamatan Purwakarta satu lokasi.
Pada stabilitas C (sedikit tidak stabil) dengan kecepatan angin 1 m/s kosentrasi
SO2 tinggi, dengan nilai 13 μg/m3 ke atas terjadi di tiga kecamatan, yakni: di Kecamatan
Pulomerak dua lokasi, Kecamatan Grogol empat lokasi, dan Kecamatan Purwakarta satu
lokasi. Kemudian pada stabilitas atmosfer yang sama dengan kecepatan angin (1,5 – 3)
m/s konsentrasi tinggi terjadi di empat kecamatan, yakni: di Kecamatan Pulomerak dua
lokasi, Kecamatan Grogol empat lokasi, Kecamatan Purwakarta satu lokasi, dan
Kecamatan Citangkil satu lokasi.
Pada stabilitas D (netral) dengan kecepatan angin 1 m/s kosentrasi SO2 tinggi,
dengan nilai 13 μg/m3 ke atas terjadi di empat kecamatan, yakni: di Kecamatan
Pulomerak satu lokasi, Kecamatan Grogol lima lokasi, Kecamatan Purwakarta satu
lokasi, dan Kecamatan Citangkil satu lokasi. Kemudian pada kecepatan angin 1,5 m/s
konsentrasi tinggi terjadi di empat kecamatan, yakni: di Kecamatan Pulomerak satu
lokasi, Kecamatan Grogol empat lokasi, Kecamatan Purwakarta satu lokasi, dan
Kecamatan Citangkil satu lokasi. Pada kecepatan angin (2 – 3) m/s konsentrasi tinggi
terjadi di Kecamatan Pulomerak satu lokasi, Kecamatan Grogol empat lokasi,
Kecamatan Purwakarta satu lokasi, dan Kecamatan Citangkil dua lokasi.
Pada stabilitas E (agak stabil) dengan kecepatan angin 1 m/s kosentrasi SO2
tinggi, dengan nilai 13 μg/m3 ke atas terjadi di empat kecamatan, yakni: di Kecamatan
Pulomerak satu lokasi, Kecamatan Grogol empat lokasi, Kecamatan Purwakarta satu
lokasi, dan Kecamatan Citangkil dua lokasi. Kemudian pada kecepatan angin (1,5 – 3)
m/s konsentrasi tinggi terjadi di Kecamatan Pulomerak satu lokasi, Kecamatan Grogol
empat lokasi, Kecamatan Purwakarta satu lokasi, dan Kecamatan Citangkil satu lokasi.
93

Pencemar SO2 di Kecamatan Pulomerak di Desa Tamansari pada berbagai


stabilitas atmosfer dengan berbagai kecepatan angin dalam rentang (1 – 3) m/s,
konsentrasi diprediksi pada kisaran antara (6,797 – 51,058) μg/m3. Hasil pengukuran di
desa tersebut yang berlokasi di Kantor Bea Cukai, ASDP Merak dan Pasar Merak,
konsentrasi SO2 terukur sebesar (10,35 - 16,56) μg/m3, (13,92 - 55,75) μg/m3 dan (8,69 -
16,93) μg/m3.
Konsentrasi SO2 di Kecamatan Grogol pada berbagai stabilitas dan berbagai
kecepatan angin dalam rentang (1 – 3) m/s, di Desa Gerem diprediksi berkisar dari
9,013 μg/m3 sampai 13,216 μg/m3, di Desa Rawaarum diprediksi berkisar dari 10,513
μg/m3 sampai 12,702 μg/m3, dan di Desa Kotasari diprediksi berkisar dari 11,812 μg/m3
sampai 13,825 μg/m3. Hasil pengukuran di Desa Gerem yang berlokasi di Cikuasa Baru
dan Cikuasa Lama, konsentrasi SO2 sebesar (9,57 - 13,39) μg/m3 dan (8,28 - 15,88)
μg/m3. Di Desa Rawaarum yang berlokasi di Kruwuk dan Pabuaran Lor, konsentrasi
SO2 sebesar (5,35 - 13,73) μg/m3 dan (14,57 – 17,32) μg/m3. Di Desa Kotasari yang
berlokasi di komplek Arga Baja, konsentrasi SO2 sebesar (5,21 – 5,35) μg/m3.
Konsentrasi SO2 di Kecamatan Purwakarta pada berbagai stabilitas dan berbagai
kecepatan angin dalam rentang (1 – 3) m/s, di Desa Ramanuju dan Desa Kotabumi
diprediksi berkisar dari (9,76 – 17,75) μg/m3 dan (4,51 – 15,85) μg/m3. Hasil
pengukuran di Desa Ramanuju yang berlokasi di depan Polres, konsentrasi SO2 terukur
sebesar (9,76 - 20,46) μg/m3. Sementara itu di Desa Kota Bumi yang berlokasi di Palem
Hills dan Perum KS, konsentrasi SO2 terukur sebesar (4,51 – 7,65) μg/m3 dan (10,58 –
15,85) μg/m3.
Konsentrasi SO2 di Kecamatan Citangkil pada berbagai stabilitas dan berbagai
kecepatan angin dalam rentang (1 – 3) m/s, di Desa Warnasari dan Desa Citangkil
diprediksi berkisar dari (5,979 - 7,002) μg/m3 dan (2,983 – 3,491) μg/m3. Hasil
pengukuran di Desa Warnasari yang berlokasi di depan Telkom Warnasari, konsentrasi
SO2 terukur sebesar (5,77 – 12,72) μg/m3 dan di Desa Citangkil yang berlokasi di
Semangraya, konsentrasi SO2 terukur sebesar (7,97 – 16,12) μg/m3.
Konsentrasi SO2 di Kecamatan Ciwandan pada berbagai stabilitas dan berbagai
kecepatan angin dalam rentang (1 – 3) m/s, di Desa Tegalratu, Randakari, Kepuh dan
Desa Gunungsugih diprediksi berkisar dari (3,594 – 8,261) μg/m3, (3,410 – 8,395)
94

μg/m3, (3,274 – 4,575) μg/m3 dan (6,505 – 7,229) μg/m3. Hasil pengukuran di Desa
Tegalratu yang berlokasi di depan Pelindo dan KBS/seberang Rel, konsentrasi SO2
terukur sebesar (8,90 – 13,25) μg/m3 dan (7,69 – 11,47) μg/m3. Di Desa Randakari yang
berlokasi di Randakari, konsentrasi SO2 terukur sebesar (3,45 – 10,85) μg/m3. Di Desa
Kepuh dan Desa Gunungsugih yang berlokasi di Pengabuan dan Cilodan, konsentrasi
SO2 terukur sebesar (5,98 – 11,94) μg/m3 dan (9,57 – 16,12) μg/m3.
Konsentrasi SO2 di Kecamatan Cibeber dan Jombang pada berbagai stabilitas
dan berbagai kecepatan angin dalam rentang (1 – 3) m/s, di Desa Sukmjaya, Kedaleman
dan Desa Jombangwetan diprediksi berkisar dari (7,168 – 9,601) μg/m3, (8,051 – 9,106)
μg/m3 dan (5,485 – 6,424) μg/m3. Hasil pengukuran di Desa Sukmajaya yang berlokasi
di Ramayana konsentrasi SO2 terukur sebesar (9,96 – 19,78) μg/m3. Di Desa Kedaleman
yang berlokasi di Perumahan Cilegon Indah (PCI) konsentrasi SO2 terukur sebesar (6,40
– 14,25) μg/m3. Di Desa Jombangwetan yang berlokasi di Nirmala Optik konsentrasi
SO2 terukur sebesar (14,46 – 23,96) μg/m3. Sebaran SO2 hasil pengukuran dan hasil di
24 titik sampel yang menyebar di Kota Cilegon pada berbagai kecepatan angin,
disajikan pada Gambar 26. Sementara itu persentase hasil model dan hasil pengukuran
pada berbagai kecapatan angin dan berbagai stabilitas atmosfer, disajikan pada Gambar
26. Berdasarkan gambar tersebut, secara umum hasil model berada pada kisaran hasil
pengukuran. Sebaran SO2 pada berbagai stabilitas dan kecepatan angin di Kota Cilegon
selengkapnya disajikan pada Gambar 33 pada Lampiran2.
Sebaran konsentrasi SO2 terjadi perbedaan yang besar di beberapa lokasi.
Perbedaan tersebut terjadi karena faktor lain (misalnya kepadatan lalulintas) dari model
tersebut tidak diperhitungkan. Di lokasi seperti Pasar Merak, depan PENI, Sumur
Wuluh Jalan Tol, Perum KS, Telkom Warnasari, Pelindo, Ramayana dan PCI padat
penduduk dan padat kendaraan, baik karena aktivitas penduduk maupun padat
kendaraan untuk mendistribusikan hasil industri.

2) Hasil model sebaran SO2 berdasarkan skenario tidak ada sumber pencemar
Hasil analisis model berdasarkan skenario tidak ada sumber dan skenario ada sumber,
terjadi perbedaan konsentrasi SO2 yang di beberapa lokasi. Pebedaan hasil analisis
untuk masing-masing skenario ditunjukkan pada Gambar 27.
95

70

Konsentrasi SO2 (ug/m3)


60
50
40 Pengukuran
30 Prediksi

20
10
0
0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5
Kecepatan angin (m/s)

Gambar 26. Sebaran SO2 hasil model dan hasil pengukuran di 24 titik sampel
pada kecepatan angin 1 – 3 m/s

Gambar 27. Sebaran SO2 di Kota Cilegon


(skenario tidak ada sumber)
30
25
Konsentrasi SO2

20
(ug/m3)

15
10
5
0
P-1 P-2 P-3 P-4
Periode tiga bulanan

Berdasarkan Gambar 27 tampak bahwa dalam periode tiga bulanan dari periode
satu (P-1) sampai periode empat (P-4) konsentrasi SO2 pada setiap titik sampel terjadi
penurunan. Dari P-1 sampai P-4 konsentrasi tertinggi di Kecamatan Purwakarta di Desa
Ramanuju yang berlokasi di depan Polres Cilegon. Pada P-1 konsentrasi SO2 sebesar
24,759 μg/m3 kemudian terjadi penurunan, sehingga pada P-4 konsentrasinya menjadi
21,137 μg/m3. Hal ini terjadi karena nilai kondisi awal di lokasi tersebut lebih besar dari
pada titik sampel lainnya.
Di Kecamatan Pulomerak konsentrasi tertinggi terjadi di Desa Tamansari yang
berlokasi di ASDP Merak. Pada periode satu dilokasi tersebut konsentrasi SO2 sebesar
17,645 μg/m3 sedangkan pada periode empat konsentrasinya menurun menjadi 16,823
96

μg/m3. Sementara itu di Kecamatan Grogol konsentrasi tertinggi terjadi di Desa Grogol
yang berlokasi di komplek Arga Baja Pura. Pada periode satu dilokasi tersebut
konsentrasi SO2 sebesar 13,825 μg/m3 sedangkan pada periode empat konsentrasinya
menurun menjadi 11,810 μg/m3. Di Kecamatan Citangkil, Jombang, Ciwandan dan
Cibeber konsentrasi SO2 berkisar dari 4,127 – 9,601 μg/m3. Konsentrasi tertinggi terjadi
di Desa Sukmajaya yang berlokasi di depan Ramayana. Pada periode satu dilokasi
tersebut konsentrasi SO2 sebesar 9,601 μg/m3 sedangkan pada periode empat
konsentrasinya menurun menjadi 8,198 μg/m3.

4.6 Prediksi Sebaran SO2 di Kota Cilegon


Banyak sel berdasarkan ukuruan grid 1 km x 1 km di Kota Cilegon sebanyak
192 sel, sementara nilai kondisi awal di kota tersebut hanya 24 titik sampel. Pebedaan
jumlah titik sampel dengan jumlah sel, akan berdampak pada sebaran polutan di Kota
Cilegon. Sebaran SO2 di seluruh Kota Cilegon seperti ditampilkan pada Gambar 33
pada Lampiran 2.
Pada kecepatan angin 1 m/s konsentrasi SO2 yang diemisikan dari kawasan
industri, terjadi pada stabilitas atmosfer B – E. Di Kecamatan Pulomerak di Desa
Suralaya pada titik sampel yang sama, konsentrasi SO2 tidak mengalami perubahan,
besar konsentrasi di titik sampel tersebut sebesar 6,065 μg/m3. Di Desa Tamansari, dari
tiga lokasi titik sampel, satu lokasi menunjukkan perubahan. Konsentrasi SO2 menurun
dari kisaran 19,586 μg/m3 sampai 7,657 μg/m3. Akan tetapi di Kecamatan Citangkil di
Desa Warnasari dan di Kecamatan Ciwandan di Desa Kubangsari dan Kepuh
konsentrasi SO2 mengalami peningkatan. Di Desa Warnasari Kecamatan Citangkil dari
lima lokasi titik sampel, dua lokasi menunjukkan peningkatan. Konsentrasi SO2
meningkat dari kisaran 7,934 μg/m3 sampai 13,030 μg/m3. Di Desa Kubangsari dan
Kepuh Kecamatan Ciwandan dari 14 titik sampel, tiga lokasi menunjukkan peningkatan
konsentrasi. Konsentrasi SO2 meningkat dari kisaran 8,671 μg/m3 sampai 12,036 μg/m3.
Pada kecepatan angin 1,5 m/s konsentrasi SO2 yang diemisikan dari kawasan
industri, yang menyebar di Kota Cilegon terjadi pada stabilitas atmosfer B – E. Di
Kecamatan Pulomerak di Desa Suralaya pada titik sampel yang sama, konsentrasi SO2
tidak mengalami perubahan. Di Desa Tamansari, dari tiga lokasi titik sampel, satu lokasi
97

menunjukkan perubahan. Konsentrasi SO2 menurun dari kisaran 21,862 μg/m3 sampai
7,818 μg/m3. Akan tetapi di Kecamatan Citangkil di Desa Warnasari dan di Kecamatan
Ciwandan di Desa Kubangsari dan Kepuh konsentrasi SO2 mengalami peningkatan. Di
Desa Warnasari Kecamatan Citangkil dari lima lokasi titik sampel, dua lokasi
menunjukkan peningkatan. Konsentrasi SO2 meningkat dari kisaran 7,934 μg/m3 sampai
12,586 μg/m3. Di Desa Kubangsari dan Kepuh Kecamatan Ciwandan dari 4 titik sampel,
tiga lokasi menunjukkan peningkatan konsentrasi. Konsentrasi SO2 meningkat dari
kisaran 8,671 μg/m3 sampai 11,897 μg/m3.
Pada kecepatan angin 2 m/s konsentrasi SO2 yang diemisikan dari kawasan
industri, yang menyebar di Kota Cilegon terjadi pada stabilitas atmosfer C – E. Di
Kecamatan Pulomerak di Desa Suralaya pada titik sampel yang sama, konsentrasi SO2
tidak mengalami perubahan. Di Desa Tamansari, dari tiga lokasi titik sampel, satu lokasi
menunjukkan perubahan. Konsentrasi SO2 menurun dari kisaran 17,602 μg/m3 sampai
7,947 μg/m3. Akan tetapi di Kecamatan Citangkil di Desa Warnasari dan di Kecamatan
Ciwandan di Desa Kubangsari dan Kepuh konsentrasi SO2 mengalami peningkatan. Di
Desa Warnasari Kecamatan Citangkil dari lima lokasi titik sampel, dua lokasi
menunjukkan peningkatan. Konsentrasi SO2 meningkat dari kisaran 7,934 μg/m3 sampai
13,079 μg/m3. Di Desa Kubangsari dan Kepuh Kecamatan Ciwandan dari 14 titik
sampel, tiga lokasi menunjukkan peningkatan konsentrasi. Konsentrasi SO2 meningkat
dari kisaran 8,671 μg/m3 sampai 12,086 μg/m3.
Pada kecepatan angin 2,5 m/s dan 3 m/s konsentrasi SO2 yang diemisikan dari
kawasan industri, terjadi pada stabilitas atmosfer C – E. Di Kecamatan Pulomerak di
Desa Suralaya pada titik sampel yang sama, konsentrasi SO2 tidak mengalami
perubahan, besar konsentrasi di titik sampel tersebut sebesar 6,065 μg/m3. Di Desa
Tamansari, dari tiga lokasi titik sampel, satu lokasi menunjukkan perubahan. Pada
kecepatan angin 2,5 m/s konsentrasi SO2 menurun dari kisaran 18,033 μg/m3 sampai
7,929 μg/m3, sedangkan pada kecepatan angin 3 m/s konsentrasi SO2 menurun dari
kisaran 18,236 μg/m3 sampai 7,908 μg/m3. Akan tetapi di Desa Warnsari Kecamatan
Citangkil dan di Desa Kubangsari dan Kepuh Kecamatan Ciwandan konsentrasi SO2
mengalami peningkatan. Di Desa Warnasari Kecamatan Citangkil dari lima lokasi titik
sampel, dua lokasi menunjukkan peningkatan. Pada kecepatan angin 2,5 m/s konsentrasi
98

SO2 meningkat dari kisaran 7,934 μg/m3 sampai 13,418 μg/m3, sedangkan pada
kecepatan 3 m/s meningkat sampai 13,696 μg/m3. Di Desa Kubangsari dan Kepuh
Kecamatan Ciwandan dari 4 titik sampel, tiga lokasi menunjukkan peningkatan
konsentrasi. Pada kecepatan angin 2,5 m/s konsentrasi SO2 meningkat dari kisaran
8,671 μg/m3 sampai 12,424 μg/m3, sedangkan pada kecepatan angin 3 m/s meningkat
sampai 12,702 μg/m3.

4.7 Validasi Model Sebaran SO2


Untuk menilai kehandalan model penyebaran pencemar udara yang telah
digunakan, maka hasil dari model dibandingkan dengan hasil pengukuran. Hasil analisis
program model dengan pengukuran sebaran SO2 yang dilakukan di Kota Cilegon,
selengkapnya ditampilkan pada Tabel 30. Dari 24 titik sampel dalam periode tiga
bulanan menunjukkan bahwa rata-rata hasil model sebesar 17,83 μg/m3 dengan standar
deviasi sebesar 10,47. Untuk melihat perbedaan hasil pengukuran dan hasil model
selengkapnya ditampilkan pada Gambar 28. Pada gambar tersebut tampak bahwa dari
24 titik sampel dalam periode tiga bulanan menunjukkan bahwa konsentrasi SO2 ada
yang menurun dan ada yang meningkat. Sebagai contoh misalnya hasil model di Kelapa
Tujuh konsentrasi SO2 pada periode satu sebesar 6,065 μg/m3 sementara pada periode
ke empat konsentrasinya menjadi 5,411 μg/m3. Penurunan konsentrasi terjadi karena
arah angin, dalam hal ini angin mengalir dari barat ke timur.
Hasil verifikasi menunjukkan bahwa secara umum konsentrasi SO2 di 24 titik
sampel di Kota Cilegon hasil model selalu lebih kecil dari hasil pengukuran. Sebagai
contoh misalnya konsentrasi SO2 di ASDP Merak, menurut model nilainya sebesar
51,058 μg/m3 sedangkan hasil pengukuran sebesar 55,75 μg/m3. Di kantor Bea Cukai
konsentrasi SO2 menurut model nilainya sebesar 11,648 μg/m3 sementara hasil
pengukuran sebesar 16,56 μg/m3. Perbedaan yang sangat tinggi terjadi di lokasi depan
Peni, Ramayana dan Cilodan. Di depan Peni konsentrasi SO2 menurut model nilainya
sebesar 11,289 μg/m3 sementara hasil pengukuran sebesar 41,42 μg/m3. Di Ramayana
konsentrasi SO2 menurut model nilainya sebesar 7,168 μg/m3 sementara hasil
pengukuran sebesar 19,78 μg/m3. Kemudian di Cilodan konsentrasi SO2 menurut model
nilainya sebesar 6,17 μg/m3 sementara hasil pengukuran sebesar 16,12 μg/m3.
99

Perbedaan hasil model dengan hasil pengukuran, disebabkan model hanya


memperhitungkan polutan yang diemisikan dari kawasan industri yang memiliki
cerobong di atas 40 meter. Polutan yang diemisikan dari kendaraan bermotor pada studi
ini tidak diperhitungkan. Dengan kata lain persamaan model hanya digunakan untuk
menganalisis sebaran SO2 yang diemisikan dari pabrik di kawasan industri.

Lognormal Probability Plot for Hasil Ukur - Hasil Model

99
Hasil Ukur
Hasil Model
95

90

80

70
Percent

60
50
40
30

20

10

2 4 6 8 10 20 40 60

Data

Gambar 28 a. Perbedaan hasil model (ada sumber) dan


hasil pengukuran SO2 di Kota Cilegon

Survival Plot for Hasil Ukur-Hasil Model


Lognormal Distribution

100
Hasil Ukur
Hasil Model
Survival %

50

0 10 20 30 40 50 60
Time to Failure

Gambar 28 b. Persbedaan hasil model (ada sumber) dan


hasil pengukuran SO2 di Kota Cilegon
100

Tabel 30. Hasil pengukuran dan model sebaran SO2 di Kota Cilegon
Hasil Pengukuran Hasil Model
No Lokasi Desa Kecamatan
P-1 P-2 P-3 P-4 P-1 P-2 P-3 P-4
1 Kelapa Tujuh Suralaya Pulomerak 4.31 7.64 6.36 8.30 6.065 5.839 5.621 5.411
2 Kantor Bea Cukai Tamansari Pulomerak 10.35 11.06 14.22 16.56 13.055 12.568 12.099 11.648
3 ASDP Merak Tamansari Pulomerak 13.92 14.20 20.69 55.75 19.586 30.635 41.116 51.058
4 Pasar Merak Tamansari Pulomerak 8.69 9.35 11.19 16.93 6.797 6.543 6.299 6.065
5 Depan PENI Gerem Grogol 15.55 15.38 20.69 41.42 13.216 12.539 11.898 11.289
6 Cikuasa Baru Gerem Grogol 9.57 9.95 13.03 13.39 11.766 11.165 10.594 10.054
7 Cikuasa Lama Gerem Grogol 8.28 8.07 13.98 15.88 9.013 8.551 8.112 7.696
8 Kruwuk Rawaarum Grogol 5.35 6.22 11.11 13.73 10.513 7.896 6.433 7.318
9 Sumur Wuluh (Jalan Tol) Grogol Grogol 11.31 20.58 18.55 18.10 9.925 9.417 8.936 8.478
10 Pabuaran Lor Rawaarum Grogol 15.48 15.37 17.32 14.57 12.702 12.050 11.431 10.844
11 Komp, Arga Baja Pura Kotasari Grogol 5.35 5.14 5.21 11.26 13.825 13.119 12.448 11.812
12 Polres Ramanuju Purwakarta 9.76 13.97 17.75 20.46 24.760 23.489 22.283 21.139
13 Palem Hills Kotabumi Purwakarta 4.51 5.42 4.43 7.65 9.374 8.893 8.437 8.005
14 Perum KS Kotabumi Purwakarta 10.58 11.74 14.41 15.85 9.326 8.847 8.393 7.963
15 Telkom Warnasari Warnasari Citangkil 5.77 8.77 12.72 21.24 7.002 6.643 6.302 5.979
16 Semangraya Citangkil Citangkil 7.97 11.46 13.66 16.12 3.491 3.313 3.143 2.983
17 Nirmala Optik Jombang Wetan Jombang 14.46 17.70 19.80 23.96 6.424 6.094 5.782 5.485
18 Pelindo Tegalratu Ciwandan 8.90 9.67 14.04 13.25 8.261 7.953 7.657 7.373
19 Ramayana Sukmajaya Cibeber 9.96 13.95 16.65 19.78 9.601 8.126 7.709 7.168
20 PCI Kedaleman Cibeber 6.40 9.67 14.25 13.34 8.567 9.106 8.639 8.051
21 Randakari Randakari Ciwandan 5.98 3.45 5.00 10.85 8.395 7.427 3.410 3.907
22 KBS/Sebrang rel Tegalratu Ciwandan 8.49 6.34 7.69 11.47 7.828 3.594 4.117 3.387
23 Pengabuan Kepuh Ciwandan 6.81 8.66 5.98 11.94 3.274 4.366 3.435 4.575
24 Cilodan Gunungsugih Ciwandan 9.57 10.33 10.42 16.12 7.229 6.857 6.505 6.170
101

4.8 Laju Penyebaran SO2 di Kota Cilegon


Berdasarkan skenario ada sumber, dari empat periode dalam waktu tiga bulanan,
di Kecamatan Pulomerak di Desa Suralaya terjadi penurunan konsentrasi. Dari empat
periode analisis konsentrasi SO2 di Desa Suralaya dari kisaran 6,065 μg/m3 menurun
menjadi 5,411 μg/m3. Sementara itu di Desa Tamansari terjadi kenaikkan dari kisaran
19,586 μg/m3 meningkat menjadi 51,058 μg/m3. Di Kecamatan Grogol di Desa Gerem,
Desa Rawaarum, Desa Grogol, dan Kotasari menunjukkan bahwa: konsentrasi SO2 di
Desa Gerem menurun dari kisaran 13,216 μg/m3 sampai 11,289 μg/m3; di Rawaarum
menurun dari kisaran 12,702 μg/m3 sampai 10,844 μg/m3; di Desa Grogol menurun dari
kisaran 9,925 μg/m3 sampai 8,478 μg/m3 dan di Kotasari menurun dari kisaran 13,825
μg/m3 sampai 11,812 μg/m3. Di Kecamatan Purwakarta konsentrasi SO2 di Desa
Ramanuju menurun dari kisaran 24,760 μg/m3 sampai 21,139 μg/m3 dan di Kotabumi
menurun dari kisaran 9,374 μg/m3 sampai 8,005 μg/m3. Konsentrasi SO2 di Kecamatan
Citangkil di Desa Warnasari, Desa Citangkil terjadi penurunan. Di Desa Warnasari
menurun dari kisaran 7,002 μg/m3 sampai 5,979 μg/m3 di Desa Citangkil menurun dari
kisaran 3,491 μg/m3 sampai 2,983 μg/m3. Di Kecamatan Ciwandan di Desa Kepuh,
Desa Randakari, Desa Tegalratu, dan Desa Gunungsugih konsentrasi SO2 terjadi
fluktuatif dari kisaran 8,395 μg/m3 sampai 3,387 μg/m3. Di Desa Kepuh konsentrasi SO2
meningkat dari kisaran 3,274 μg/m3 sampai 4,575 μg/m3. Di Desa Randakari
konsentrasi SO2 menurun dari kisaran 8,395 μg/m3 sampai 3,907 μg/m3. Di Desa
Tegalratu konsentrasi SO2 menurun dari kisaran 7,828 μg/m3 sampai 3,387 μg/m3. Di
Desa Gunungsugih konsentrasi SO2 menurun dari kisaran 7,229 μg/m3 sampai 6,170
μg/m3. Di Kecamatan Cibeber di Desa Sukmajaya dan Desa Kedaleman konsentrasi
SO2 terjadi penurunan konsentrasi. Di Desa Sukmajaya konsentrasi SO2 menurun dari
kisaran 9,601 μg/m3 sampai 7,168 μg/m3. Di Desa Kedaleman konsentrasi SO2 menurun
dari kisaran 8,567 μg/m3 sampai 8,051 μg/m3.
Untuk mengestimasi konsentrasi sebaran SO2 yang menyebar di Kota Cilegon
yang diemisikan dari kawasan industri, dilakukan analisis dengan periode tiga bulanan
dengan kecepatan angin rata-rata 2,5 m/s dengan arah angin dari Barat ke Timur,
selengkapnya ditampilkan pada Gambar 29.
102

Hasil analisis yang ditampilkan oleh gambar tersebut menunjukkan bahwa ada
perbedaan yang signifikan antara sebaran SO2 ada sumber (skenario 1) dan tidak ada
sumber (skenario 2). Pada skenario 1 pada tiga bulan pertama degan kecepatan angin
2,5 m/s SO2 menyebar dari Desa Tamansari ke arah Desa Suralaya Kecamatan
Pulomerak. Kemudian dari Desa Kotasari Kecamatan Grogol SO2 menyebar ke arah
Desa Kotabumi Kecamatan Purwakarta. Konsentrasi SO2 berkisar dari 21,843 μg/m3
sampai 24,573 μg/m3. Pada tiga bulan kedua, ketiga dan ke empat konsentrasi SO2
terjadi di Kecamatan Pulomerak SO2 menyebar dari Desa Tamansari ke arah Desa
Suralaya. Pada tiga bulan keempat konsentrasi SO2 berkisar dari 40,228 μg/m3 sampai
45,256 μg/m3. Pada skenario 2 pada tiga bulan pertama Desa Kotasari Kecamatan
Grogol SO2 menyebar ke arah Desa Kotabumi Kecamatan Purwakarta. Konsentrasi SO2
berkisar dari 21,842 μg/m3 sampai 24,572 μg/m3. Kemudian pada tiga bulan kedua,
ketiga dan keempat SO2 menyebar ke arah timur. konsentrasi SO2 pada setiap periode
(tiga bulanan) terjadi penurunan. Pada tiga bulan keempat konsentrasi SO2 berkisar dari
20,721 μg/m3 sampai 23,311 μg/m3.
Berdasarkan arah sebaran SO2 di Kota Cilegon, lokasi yang menunjukkan
konsentrasi SO2 tinggi terjadi di ASDP Merak sebesar 55,75 μg/m3 sedangkan hasil
model berada pada kisaran 41,116 – 51,058 μg/m3. Lokasi ini berada di Desa Tamansari
Kecamatan Pulomerak, sedangkan jarak dari kawasan industri UBP Suralaya berkisar 3
km. Kemudian di depan PENI Desar Gerem Kecematan Grogol hasil pengukuran di
lokasi tersebut sebesar 41,42 μg/m3 sedangkan hasil model berada pada kisaran 11,289
– 13,216 μg/m3. Lokasi ini berada di sekitar kawasan KS dan UBP Suralaya.
SO2 menyebar dari Barat ke Timur sesuai arah angin, konsentrasi tertinggi
terjadi di Kecamatan Pulomerak di Desa Tamansari. Hasil analisis model dengan
menggunakan software Matlab pola sebaran SO2 di Kota Cilegon ditampilkan pada
Gambar 30. Berdasarkan gambar tersebut, pada tiga bulan pertama tampak bahwa
konsentrasi SO2 sebarannya masih fluktuatif, hal ini diakibatkan dari nilai konsentrasi
pada kondisi awal. Pada tiga bulan kedua konsentrasi SO2 mulai menyebar, secara
grafik pada titik-titik tertentu sudah menurun. Pada tiga bulan ketiga dan keempat pola
sebaran sangat tampak, konsentrasi SO2 menyebar dari barat ke timur.
103

Sebaran SO2 pada tiga bulan kesatu Sebaran SO2 pada tiga bulan kedua

Sebaran SO2 pada tiga bulan ketiga Sebaran SO2 pada tiga bulan keempat

Gambar 29.a. Sebaran SO2 di Kota Cilegon pada tiga bulan pertama sampai keempat dengan kecepatan angin 2,5 m/s pada skenario ada sumber
104

Sebaran SO2 pada tiga bulan pertama Sebaran SO2 pada tiga bulan kedua

Sebaran SO2 pada tiga bulan ketiga Sebaran SO2 pada tiga bulan keempat

Gambar 29.b. Sebaran SO2 di Kota Cilegon pada tiga bulan pertama sampai keempat dengan kecepatan angin 2,5 m/s pada skenario tidak ada sumber
105

Sebaran Konsentrasi SO2 di Kota Cilegon Sebaran Konsentrasi SO2 di Kota Cilegon

25 35

30
20
25
Konsentrasi SO2, ug/m3

Konsentrasi SO2, ug/m3


15
20

15
10

10

5
5

0 0
30 30
25 25
18 18
20 16 20 16
14 14
15 12 15 12
10 10
10 8 10 8
6 6
5 4 5 4
2 2
0 0 0 0
sumbu-y, km sumbu-y, km
sumbu-x, km sumbu-x, km

Tiga bulan pertama Tiga bulan kedua


Sebaran Konsentrasi SO2 di Kota Cilegon Sebaran Konsentrasi SO2 di Kota Cilegon

45 60

40
50
35
Konsentrasi SO2, ug/m3

Konsentrasi SO2, ug/m3


30 40

25
30
20

15 20

10
10
5

0 0
30 30
25 25
18 18
20 16 20 16
14 14
15 12 15 12
10 10
10 8 10 8
6 6
5 4 5 4
2 2
0 0 0 0
sumbu-y, km sumbu-y, km
sumbu-x, km sumbu-x, km

Tiga bulan ketiga Tiga bulan keempat


Gambar 30. Pola sebaran SO2 di Kota Cilegon sesuai arah angin
106

Sesuai dengan arah penyebaran SO2 tersebut, maka penduduk di sekitar lokasi
ASDP Merak dan depan PENI paling berpeluang untuk mengalami gangguan kesehatan
tersebut. Seperti telah diuraikan pada Bab II Tabel 4, SO2 menggangu kesehatan
manusia dapat menimbulkan penyakit saluran pernafasan, melemahkan pernafasan dan
iritasi mata. Hasil pengukuran SO2 untuk pengukuran 24 jam di semua lokasi secara
kualitatif masih jauh berada di bawah baku mutu yang ditetapkan dalam PP 41/1999
sebesar 365 μg/m3. Pola sebaran SO2 dari kawasan industri dengan menggunakan model
prediksi untuk aliran unsteady didukung oleh hasil penelitian Lee et. al. (1998) yang
membangun simulasi komputer untuk memprediksi polutan beracun beracun di sungai
Nakdong Korea. Chenevez, Baklanov dan Sorensen (2004) yang membuat model untuk
memprediksi pergerakan polutan. Kemudian Osrodka, Wojtylak dan Krajny (2001)
yang mengkaji sebaran polusi udara dari industri dengan prakiraan cuaca secara
numerik.
V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan
Dalam mengkaji karakteristik udara lokal Kota Cilegon didapat bahwa:
suhu udara rata-rata bulanan berkisar dari yang terendah 21oC yang terjadi pada
bulan Agustus sampai yang tertinggi 34,4oC pada bulan April. Suhu tertinggi
terjadi pada pukul 13.00 dan yang terendah pada pukul 07.00 waktu setempat.
Arah angin pada bulan Nopember sampai Maret umumnya angin bergerak dari
Barat ke Timur. Pada bulan April sampai Oktober umumnya angin bergerak dari
Utara ke Selatan. Kecepatan angin rata-rata tahunan sebesar 2,3 m/s. Secara
umum musim hujan terjadi dalam bulan Nopember sampai Maret, dan musim
kemarau dari bulan April sampai Oktober. Kemantapan (stabilitas) atmosfer
diperoleh bahwa stabilitas pada pagi, siang, sore dan malam hari mempunyai
variasi antara A (sangat tidak stabil) sampai E (agak stabil), hal ini menunjukkan
bahwa kondisi udara di Kota Cilegon berada antara labil mantap sampai agak
stabil, sesuai dengan kriteria kemantapan udara Pasquill.
Besarnya kapasitas emisi yang dipancarkan dari setiap kegiatan industri
sangat tergantung pada jenis dan jumlah bahan bakar yang digunakan dalam setiap
proses produksi. Umumnya bahan bakar batubara akan memberikan kontribusi
emisi SO2 dan debu yang lebih besar dibandingkan dengan bahan bakar minyak
dan gas bumi. Berdasarkan penerapan model didapat jarak dan besarnya kadar
SO2 dan debu yang jatuh pada permukaan tanah selain dipengaruhi oleh stabilitas
juga akan sangat dipengaruhi oleh besarnya sumber emisi dan ketinggian
cerobong. Tinggi cerobong yang digunakan, berimplikasi pada jarak sebaran
polutan yang diemisikan. Emisi SO2 dan debu di kawasan industri pada berbagai
stabilitas atmosfer dianalisis menggunakan model screen3.
Aplikasi model screen3 untuk kawasan industri memiliki kelemahan dan
kelebihan dalam menganalisis sebaran polutan. Kelebihan model screen3 dalam
menganalisis sebaran, lebih cepat serta membutuhkan input yang sederhana.
Bentuk dan tinggi bangunan, dan posisi cerobong dengan menggunakan model
ini, tidak diperhitungkan. Sementara itu kelemaham aplikasi model screen3 dalam
menganalisis sebaran, harus di running pada setiap tinggi cerobong. Jika dalam

107
108

setiap unit operasi terdapat 4 cerobong, maka harus dilakukan running sebanyak
empat kali.
Hasil running model screen3 menunjukaan bahwa: (1) semakin tinggi
cerobong yang digunakan, semakin jauh jarak sebaran dengan konsentrasi SO2
dan debu yang diemisikan semakin kecil; dan (2) konsentrasi tertinggi yang
diemisikan dari cerobong terjadi pada stabilitas A (sangat tidak stabil), dengan
jarak sebaran minimum, sementara pada stabilitas E (agak stabil) konsentrasi yang
diemisikan minimum, tapi jarak sebarannya maksimum. Penyebaran SO2 dan
debu dari kawasan industri ke seluruh Kota Cilegon mulai terjadi pada stabilitas
B, sedangkan pada stabilitas A sebaran polutan masih di kawasan industri.
Untuk menilai kehandalan model emisi yang telah digunakan, maka hasil
dari model dibandingkan dengan hasil pengukuran. Hasil verifikasi pada berbagai
stabilitas atmosfer menunjukkan bahwa emisi SO2 hasil pengukuran pada
umumnya masih memenuhi kisaran angka yang dihasilkan model, sehingga
dinyatakan sebagai ‘hasil dapat diterima’ (acceptable performance). Secara umum
model screen3 dapat digunakan untuk menganalisis sebaran emisi SO2 di kawasan
industri. Akan tetapi untuk emisi debu secara umum menunjukkan ‘hasil yang
diragukan’ (questionable performance). Dalam hal menganalisis emisi debu perlu
diperhatikan kandungan partikel pada bahan bakar yang digunakan karena akan
berimplikasi pada debit emisi pencemar yang diemisikan masing-masing sumber.
Hasil analisis model screen3 dan karakteristik udara dijadikan sebagai input pada
persamaan umum transpor untuk aliran unsteady.
Jenis pencemar yang dianalisis yang menyebar di Kota Cilegon adalah
SO2 dalam hal ini difusivitasnya dihitung terhadap udara. Sebaran SO2 dari
kawasan industri ke seluruh Kota Cilegon terjadi pada stabilitas tidak stabil
menengah sampai agak stabil (B – E). Pada stabilitas B (tidak stabil menengah)
dengan kecepatan angin 1 m/s dan 1,5 m/s, SO2 yang menyebar diemisikan dari
kawasan Pulomerak. Pada stabilitas C (sedikit tidak stabil) dengan kecepatan
angin 1 m/s SO2 yang menyebar diemisikan dari kawasan Pulomerak dan
Ciwandan. Pada stabilitas tersebut dengan kecepatan angin 1,5 m/s ke atas hanya
kawasan Pulomerak yang mengemisikan SO2 ke Kota Cilegon. Pada stabilitas
109

netral sampai agak stabil (D – E) pada berbagai kecepatan angin, SO2 yang
menyebar di Kota Cilegon merupakan emisi dari ketiga kawasan industri.
Hasil analisis model menunjukkan bahwa sebaran konsentrasi SO2 di Kota
Cilegon berada pada kisaran 3,387 μg/m3 sampai 51,058 μg/m3. Lokasi yang
menunjukkan konsentrasi SO2 tinggi terjadi di ASDP Merak hasil model berada
pada kisaran 41,116 – 51,058 μg/m3, sedangkan hasil pengukuran sebesar 55,75
μg/m3. Lokasi ini berada di Desa Tamansari Kecamatan Pulomerak, sedangkan
jarak dari kawasan industri UBP Suralaya berkisar 3 km. Konsentrasi SO2 tinggi
terjadi juga di depan PENI Desar Gerem Kecematan Grogol. Hasil model berada
pada kisaran 11,289 – 13,216 μg/m3, sedangkan hasil pengukuran sebesar 41,42
μg/m3. Lokasi ini berada di sekitar kawasan KS dan UBP Suralaya. Konsentrasi
SO2 terkecil terjadi di Palem Hills, hasil pengukuran sebesar 7,65 μg/m3
sedangkan hasil model berada pada kisaran 8,005 – 9,374 μg/m3.
Konsentrasi SO2 yang menyebar di Kota Cilegon masih berada di bawah
baku mutu udara ambien berdasarkan PP 41/99 sebesar 900 μg/m3 (pengukuran 1
jam) dan 365 μg/m3 (pengukuran 24 jam). Lokasi-lokasi yang mempunyai kadar
SO2 dengan konsentrasi tinggi terjadi di Desa Tamansari Kecamatan Pulomerak,
dan di Desa Gerem Kecamatan Grogol. Sementara itu lokasi yang berpotensi
memiliki konsentrasi SO2 meningkat adalah di depan Polres, di depan Telkom
Warnsari dan di Nirmala Optik. Hasil pengukuran di depan Polres selama empat
periode pengukuran meningkat dari 9,76 – 20,46 μg/m3. Di lokasi Telkom
Warnasari meningkat dari 5,77 – 21,24 μg/m3. Di lokasi Nirmala Optik meningkat
dari 14,46 – 23,96 μg/m3. Peningkatan konsentrasi di beberapa titik sampel
diakibatkan peningkatan kepadatan lalulintas.
SO2 diprediksi menyebar ke arah Desa Tamansari Kecamatan Pulomerak.
Berdasarkan hasil analisis model, di desa tersebut kosentrasi SO2 sebesar 51.058
μg/m3 sedangkan hasil pengukuran sebesar 55,75 μg/m3. Dari 24 titik sampel di
lokasi tersebut menunjukkan konsentrasi SO2 tertinggi. Penyebaran pencemar
udara dapat dimanfaatkan sebagai informasi awal pemantau udara ambien dan
dapat digunakan sebagai dasar pengendalian pencemaran udara. Untuk
menurunkan pencemaran udara di Kota Cilegon, kebijakan yang perlu
diprioritaskan untuk bidang industri dalam mengurangi tingkat pencemaran udara
110

yang ada adalah kebijakan mengenai pemeliharaan alat-alat mesin pembangkit


dan pemakaian bahan bakar yang sesuai dengan spesifikasi yang diperlukan.
Untuk menilai kehandalan model penyebaran pencemar udara yang telah
digunakan, maka hasil dari model dibandingkan dengan hasil pengukuran. Hasil
verifikasi menunjukkan bahwa secara umum konsentrasi SO2 di 24 titik sampel di
Kota Cilegon hasil model selalu lebih kecil dari hasil pengukuran. Perbedaan hasil
model dengan hasil pengukuran, disebabkan model hanya memperhitungkan
polutan yang diemisikan dari kawasan industri yang memiliki cerobong di atas 40
meter. Polutan yang diemisikan dari kendaraan bermotor pada studi ini tidak
diperhitungkan.

5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat diajukan beberapa saran sebagai
berikut:
1. Aplikasi model di kawasan industri, dengan berbagai tinggi cerobong, akan
menunjukkan kompleksitas sebaran emisi, maka sebaiknya digunakan model
dispersi yang dapat menganalisis sebaran emisi secara sekaligus;
2. Dalam menganalisis emisi pencemar udara dari sumber titik khususnya
penerapan dalam suatu kawasan dengan berbagai tinggi cerobong, perlu
diperhatikan kapasitas dan bahan bakar yang diemisikan dari cerobong
tersebut;
3. Aplikasi model dispersi untuk aliran unsteady, sebaiknya digunakan untuk
periode waktu yang sangat pendek dengan grid yang sangat kecil;
4. Input data pada model dispersi untuk aliran unsteady, sebaiknya nilai kondisi
awal sama banyaknya dengan jumlah sel hasil grid peta, agar sebaran polutan
pada wilayah tersebut tidak terjadi fluktuasi yang sangat tinggi;
5. Untuk pemecahan model, perlu dipertimbangkan untuk menggunakan scheme
yang lain (Crank Nicolson atau Eksplisit);
6. Pada masa yang akan datang, hendaknya sebelum pengukuran sampel kualitas
udara ambien dilakukan oleh institusi audit lingkungan, perlu diukur terlebih
dahulu arah angin dominan di kawasan industri tersebut dan sekitarnya. Hal
111

ini perlu dilakukan agar hasil pengukuran udara emisi sesuai dengan arah
sebaran dan jarak polutan yang diemisikan dari industri;
7. Perlunya pemantauan kualitas udara, khususnya parameter pencemar udara
yang bersumber dari kawasan industri di Kota Cilegon secara periodik dan
berkelanjutan untuk mengetahui peningkatan pencemar udara tersebut;
8. Untuk penelitian yang lebih akurat, sebaiknya semua data pemantauan kualitas
udara dapat diukur secara lengkap dan tepat, disertai dengan pengukuran
faktor-faktor yang mempengaruhi dispersi pencemar udara, yakni faktor emisi,
meteorologi, bangunan, dan topografi kawasan industri.
DAFTAR PUSTAKA

Adel UA. 1995. Kebijaksanaan Pengendalian Emisi Gas Buang Kendaraan


Bermotor Di Wilayah DKI Jakarta: Makalah dalam Panel Diskusi Forum
Komunikasi Lingkungan DKI Jakarta. Jakarta 23 Agustus 1995. 19-32pp.

Alimaman R. 2004. Model Matematis Monitoring Kualitas Lingkungan untuk


Kawasan Perkotaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman.
BPLHD Jawa Barat

Anon. 1971. Encyclopedia Americana. New York: Americana Co. 954p.

Arya S.P. 1999. Air Pollution Meteorology and Dispersion. Department of


Marine, Earth, and Atmspheric Sciences New York: North Carolina State
University. Oxford University Press. 217p.

Ashrafi KH., GH.A. Hoshyaripour. 2008. A Model to Determine Atmospheric


Stability and its Correlation with CO Concentration. Proceedings Of
World Academy Of Science, Engineering and Technology Volume 34

[BAPEDAL] Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Indonesia. 2000. Laporan


Kualitas Udara di Indonesia (1994 – 1998). BAPEDAL Indonesia

[BAPEDALDA JAKARTA] Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah


Jakarta. 2002. Pengukuran Kualitas Udara di Jakarta. 24 jam rata-rata

[BAPEDALDA BANTEN] Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah


Banten. 2004. Ringkasan Eksekutif AMDAL Pembangunan PLTGU
Cilegon 740 MW, Laporan akhir April 2004 Banten: BAPEDALDA
Banten

.......... Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Banten. 2002. Analisis


Pola Penyebaran Polusi Udara di Provinsi Banten. Oktober 2002 Banten:
BAPEDALDA Banten

Barry RG., Chorley JR. 1968. Atmosphere, Weather and Climate. London:
Methuen

Bibero RJ., Young, IG. 1974. System Approach to Air Pollution Control. Canada:
Jhon Wiley&Sons, Inc. 283-345pp.

Bird RB. Warren ES., Edwin NL. 1960. Transport Phenomena. Singapore: John
Wiley & Sons. 77-102p.

Bokowa A.H., Hong Liu. 2003. Techniques for Odour Sampling of Area an
Fugitive. ORTECH Environmental. York University

112
113

Bowen HJM. 1979. Environmental Chemistry of the Elements. London:


Academic Press

Burden RL. Douglas JF. 1989. Numerical Analysis. Fourth Edition. Boston:
PWS-KENT Publishing Company.
109 580p.
Cahyana C., H. Umbara, E. Lubis. 1998. Pemodelan Isodosis dari Dispersi
Radionuklida di Atmosfer di Daerah PPTN Serpong. Pusat Pengembangan
Pengelolaan Limbah Radioaktif. Batan

Cahyono W.E. 2005. Penyebaran SO2 dan NO2 dari Industri di Bandung. Pusat
Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (Lapan). Bandung

Carbon B. 2004. Good Practice Guide for Atmospheric Dispersion Modelling.


Ministry for the Environment. www.mfe.govt.nz. Manatû Mö Te Taiao.
New Zealand. 45-47pp.

Cemas D., J. Rakovec. 2003. The Impact Emissions from the Sostanj Thermar
Powerplant on Winter SO2 Pollution in Central Europe. Faculty of
Mathematics and Physics. University of Ljubljana. Slovenia

Cengel YA., Cimbala JM. 2006. Fluid Mechanics: Fundamentals and Aplications.
Singapore: McGraw-Hill International Edition. 122-123, 430pp.

Chenevez J., Baklanov A., Sorensen JH. 2004. Pollutant Transport Scheme
Integrated in a Numerical Weather Prediction Model: Model Description
and Verification Results. Danish Meteorological Institute (DMI),
Meteorological Research Division. Copenhagen. Denmark

Chi-Wen L. 1999. Hazardous Pollutant Source Emissions for a Chemical Fiber


Manufacturing Facility in Taiwan. Dept. of Env. Engineering Da-Yeh
University. Changhua. 321-337pp.

Ching J, Isakov V, Herwehe J., Majed MA. 2005. Incorporating Sub-Grid


Varibality Concentration Distributions with CMAQ. CMAS Workshop
session 5: Urban/Regional Model Aplications and Evaluation, 1p.

Chung-Chen J., S.C. Kot, J.M. Tepper. 1996. Detecting Inversions and Stable
Lapse Rates with RASS. Research Centre. The Hongkong University of
Science and Technology. Clear Water Bay. Kowlon. Hongkong

Cooper CD., Alley FC. 1994. Air Pollution Control a designed approach. 2nd ed.
Waveland press, Inc. Illinois. 565-643pp.
114

Coutinho M., C. Ribeiro, C.Borrego. 2002. Uncertainties of Environmental


Impact Assesment Due to Input Modeling Data Variability. University of
Aveiro. Portugal

[DLHPE] Dinas Lingkungan Hidup Pertambangan dan Energi Kota Cilegon.


2005. Pengukuran Kualitas Udara di Jakarta. 24 jam rata-rata

Drew G.H., A. Tamer, M.P.M. Taha, R. Smith, P.J. Longhurst, R. Kinnersly dan
S.J.T. Pollard. 2006. Dispersion of Bioaeorosols from Composting
Facilities. Integrated Waste Management Centre. Cranfield University

Fadimba K.B. 2005. A linearization of a backward Euler scheme for a Class of


Degenerate Nonlinear Advection–diffusion Equations. Department of
Mathematical Sciences. University of South Carolina Aiken. USA

Fardiaz S. 1992. Polusi Air dan Udara. Jakarta: Kanisius. 89 – 130pp.

Forsdyke. 1970. World Meteorological Organization. Technical note no. 114.


Meteorological Factors in Air Pollution. WMO-No.274.TP.153. Geneva.
1-14pp.

Geiger R. Aron RH., Todhunter P. 1995. The Climate Near the Ground.
Braundschweig/Wiesbaden: Friedr Vieweg and Sohn Verlagsgesellschaff
mbH. 39-50 pp.

Gordon A. et.al. 1998. Dynamic Meteorology, A Basic Course. London: Edward


Arnold

Hartogensis P. 1977. Atmospheric Pollution, Delft: Int. Ins. for Hydrolics and
Civil Engineering. 1-47pp.

Hill JW. 1984. Chemistry for Changing Time 4thed. Minnesota: Burgess
Publishing Company. 558p.

Hoffmann KA., Steve TC. 1993. Computational Fluid Dynamics for Engineers.
Volume II. Wichita-Kansas: A Publication of Engineering Education
SyistemTM. 266p.

Holper P., Noonan JN. 2000. Urban and Regional Air Pollution. Perth: CSIRO
Atmosphere Research

Huang H, R. Ooka, S. Kato, H. Chen. 2005. CFD Analysis on Traffic-Induced Air


Pollutant Dispersion with Non Isothermal Condition in a Complex Urban
Area in Winter. Institute of Industrial Science. University of Tokyo

Huser A., P.J. Nilsen, H. Skatun. 1997. Application of k-ε Model to the Stable
ABL: Pollution in Complex Terrain. Journal of Wind Engineering an
Industrial Aerodynamics. 425 – 436 pp.
115

Jungers BD. Niemeier D. Kear T. Eisinger D. 2006. A Survey Of Air Quality


Dispersion Models For Projectlevel Conformity Analysis. UC Davis-
Caltrans Air Quality Project http:/AQP.engr.ucdavis.edu /Task Order No.
44

Klipp C., Mahrt L. 2003. Condition Analysis of an Internal Boundary Layer:


Boundary Layer Meteorlogy 108. 1-7pp.

[KLH] Kementrian Lingkungan Hidup. 2002. Pengendalian Pencemaran Udara


dalam Himpunan Peraturan Petrundang-undangan di Bidang Pengelolaan
Lengkungan Hidup dan Pengendalian Dampak Lingkungan Era Otonomi
Daerah. Bab VI. KLH. Jakarta. 741p.

Lastdrager B., B. Koren, J. Verwer. 2001. The Sparse-grid Combination


Technique Applied to Time-dependent Advection Problems. Applied
Numerical Mathematics. 377–401 pp.

Lee DH., JW. Geem, JH. Kim, Y. Nam Yon. 1998. Prediction of Toxic Pollutant
Advection and Dispersion in Unsteady Flow. Korea University,
Department of Civil and Environmental Engineering

Leonard LR. 1997. Air Quality Permiting. Lewis Publishers is an imprint of CRC
Press. London. 95-105pp.

Mayhoub A.B, K.S.M Essa dan S. Aly. 2003. Analytical Form of Pollutants
Dispersion for Different Atmospheric Conditions. Mathematics and
Theoretical Physics Department Atomic Energy Authority, Nuclear
Research Center. Cairo-Egypt. Romania Reports in Physics, Volume 55.
94-101 pp.

Mayinger F., G. Pultz, B. Durst. 1989. The Numerical Simulation of the


Spreading of a Pollutant Plume in the Atmosphere Considering Change of
Phase and Topography. University of Munich. FRG

Mcdonald R. 2003. Theory and Objectives of Air Dispersion Modeling: Wind


Engineering. Waterloo: Department of Mechanical Engineering.
University of Waterloo. 1p.

McIntosh DH., Thom AS. 1973. Essentials of Meteorology. London: Wykeham


Publications. 164 – 182pp.

Mikkelsen T. 2003. Modelling of Pollutant Transport in the Atmosphere.


Atmospheric Physics Division Wind Energy Department Risk National
Laboratory Dk-4000 Roskilde. Denmark. 1; 13-16pp.

Miller GT. 1979. Living in the Environmental 2nd ed. California: Wodworth Publ.
Co. Bemount
116

Nakaguchi Y., Y. Matoba, A. Shimizu, H. Yamazaki. 2005. Distribution of Stable


Isotopes of Particulate Lead in the Atmosphere in Osaka, Japan.
Interdisciplinary Graduate School of Science and Engineering, Kinki
University. Kowakae Higashi-osaka. Japan.

Nelwan LO. 2005. Study on Solar-Assited Dryer with Rotating Rock for Cocoa
Beans [dissertation]. Bogor Agricultural University

[NSW-EPA] New South Wales-Environmental Protection Authority. 2001.


Approved Method and Guidance for The Modeling and Assessment of Air
Pollutans in New South wales Sydney NSW. Australia

Noonan JA. 1999. Dispresion Modelling Data Requirements, Risk Assesment and
Air Pollutants. Perth Western Australia: CSIRO Atmospheric Research.
2p.

Novontny V., Chesters G. 1981. Handbook of Nonpoint Pollution. Sources and


Management. McGraw-Hill, Inc. New York. 555p.

Nukman A. 1998. Role of Health Sector to Prevent Adverse Health Impact of


Haze in Indonesia. Paper Presented in International Cross Sectoral Forum
on Forest Management in South East Asia. Jakarta 17-18 December 1998.
475 – 484pp.

Oke TR. 1978. Boundary Layer Climates. Methuen & Co.Ltd. London. 31-60;
135-159; 268-305pp.

Osrodka L., M. Wojtylak, E. Krajny. 2001. Forecasting of High-level Air


Pollution in Urban-Industrial Agglomeration by Means of Numerical
Weather Forecasting. Institute of Meteorology and Water Management,
Katowice, Poland: University of Silesia. Katowice

Papakostas T., A.G. Bratsos, I.Th. Famelis, A.I. Delis, D.G. Natsis. 2005. An
Implicit Numerical Scheme for the Atmospheric Pollution. Department of
Mathematics. Technological Educational Institution (TEI) of Athens.
Athens.

Raducan G.M 2008. Pollutant Dispersion Modeling with OSPM in a Street


Canyon from Bucharest. University of Bucharest. Faculty of Physics.
Department of Atmospheric Physics

Raharjo S. 1999. Analisis Penerapan Program ISCST3 untuk memprediksi


Penyebaran Gas SO2 dari Multiple Sources di Pabrik CRM PT Krakatau
Steel. Laporan Penelitian. Institut Teknologi Bandung

Rahmawati F. 2003. Aplikasi Model Dispersi Gauss untuk Menduga Pencemaran


Udara di Kawasan Industri [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor
117

Reddy G.S. 1998. Aspects of a Computational Model for Predicting the Flow and
Pollutant Transport in Rivers, Estuaries and Seas.

Reza PZ., S. Kingham, J. Pearce. 2005. Evaluation of a year-long dispersion


modeling of PM10 using the Mesoscale model TAPM for Christchurch,
New Zealand. Science of the Total Environment. 249–259pp.

Rice JR. 1983. Numerical Methods, Software, and Analysis. Singapore: McGraw-
Hill Book Co. 311, 321pp.

Ruhiat Y., A. Bey, I. Santoso, LO. Nelwan. 2009. Analisis Karakteristik Udara di
Kota Cilegon. LPPM Untirta. Jurnal Penelitian. Ilmu-ilmu Sosial dan
Eksakta. Edisi2 Volume 11

.......... Prediksi Sebaran Pencemar Udara di Kota Cilegon. FMIPA UI. Jurnal
Sains Indnesia.

Sabin TJ, Bailer-Jones CAL, Withers PJ. 2000. Accelerated Learning Using
Gaussian Process Models to Predict Static Recrystallization in Al-Mg
Alloy. Department of Materials Science and Metallurgy; University of
Cambridge. 692p.

Santosa I. 2005. Model Penyebaran Pencemar Udara dari Kendaraan Bermotor


Menggunakan Metode Volume Terhingga: Studi Kasus di Kota Bogor
[disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

Schnitzhofer R., J. Dunkl, M. Norman, A. Wisthaler, A. Ghom, F. Obleitner.


2006. Vertical Distribution of Air Pollutants in the Inn Valley Atmosphere
in Winter. Institut für Ionenphysik und Angewandte Physik, University of
Innsbruck. Innsbruck. Austria

Schulze T., A. Wytzisk, I. Simonis. 2002. Distributed Spatio-Temporal Modeling


and Simulation. University of Magdeburg. Germany

Seinfeld JH. 1986. Atmospheric Chemistry and Physics of Air Pollution. John
Wiley & Sons. Canada. 3-71pp.

Schenelle KB., Dey PR. 2000. Atmospheric Dispersion Modelling Compliance


Guide. Mc Graw-Hill

Soriano C., R. Soler, B. Physick, A. Luhar, P. Hurley. 2003. Environmental


Impact Assessment of Emissions from an Industrial Stack: Gaussian and
Mesoscale Modeling. Geophysical Research

Stafilov T., R. Bojkovska, M.Hirao. 2003. Air Pollution Monitoring System in the
Republic of Macedonia. Journal of Environmental Protection and Ecology
4 No.3. 518 – 524pp.
118

Strauss W., SJ. Mainwaring. 1984. Air Pollution. London: Edward Arnold. 152p.

Stull RB. 2000. Meteorology for Scientist and Engineers. 2nd Edition.
Brooks/Cole. California. 502p.

Tan M., K. Vergel, M. Camagay. 2006. Development and Calibration of Pollutant


Dispersion Models for Roadside Air Quality Modeling. Department of
Civil Engineering, University of the Philippines Diliman

Tang W., A. Huber, Brian B., W. Schwarz. 2006. Application of CFD Simulations
for Short-Range Atmospheric Dispersion Over Open Fields and within
Arrays of Building. AMS 14th Joint Conference on the Applications of Air
Pollution Meteorology with the A&WMA. Atlanta.

Tartakovsky D.M., V.D. Federico. 1997. An Analytical Solution for Contaminant


Transport in Nonuniform Flow. Kluwer Academic Publishers. Printed in
the Netherlands. Transport in Porous Media 27. 85–97pp.

Tasic V., D. Milivojevic, N. Zivkovic, A. Dordevic. 2007. Implementation of Air


Quality Monitoring System. Facta Universitatis. Working and Living
Environmental Protection Vol. 4. 55 – 64pp.

Vallis GK. 2005. Atmospheric and Oceanic Fluid Dynamics: Fundamentals and
Large-Scale Circulation

Vawda Y., J.S. Moorcroft, P. Khandelwal, C. Whall. 2005. Sulphur Dioxide


Emissions from Small Boilers - Supplementary Assistance on Stack
Height Determination. Stanger Science and Environment, Great Guildford
House. London

Vinitnantharat S., Khummongkol P. 2003. Sulfur and Nitrogen Deposition in Six


Regions of Thailand. Asian Society for Environmental Protection. Vol. 19.
11 – 13pp.

Venegas LE., Mazeo NA. 2002. Application of Atmospheric Dispersión Models


to Evaluate Population Exposure to NO2 Concentration in Buenos Aires.
Department of Atmospheric and Oceanic Sciences. Faculty of Sciences.
University of Buenos Aires

Versteeg HK., Malalasekera W. 1995. An Introduction to Computational Fluid


Dynamics. New York: John Wiley & Sons. 168 – 173pp.

Wang G, FHM. van den Bosch, M. Kuffer. 2008. Modeling Urban Traffic Air
Pollution Dispersion. Dept. of Urban and Regional Planning and Geo-
information Management, International Institute for Geo-Information
Science and Earth Observation. Netherlands
119

Wark K., Warner CF. 1981. Air Pollution: Its Origin and Control. New York:
Haper and Row Publishers

Winarso PA. 1991. Sumber dan Pengelolaan Pencemar Udara. Himpunan


Karangan Ilmiah di Bidang Perkotaan dan Lingkungan PKPL DKI Vol.2:
42 – 48pp.
World Bank. 1997. Airshed Models. Pollution Prevention and Abatement
Handbook. World Bank. http://www.environmental-expert.com/air
pollution

Zhang X., Ghoniem, AF. 1993. A Computational Model for the Rise and
Dispersion of Wind-Blown, Buoyancy-Driven Plumes I. Neutrally
Stratified Atmosphere. Atmospheric Environment. 2295 – 2311pp.
Lampiran 1
Analisis Distribusi Laju Penyebaran
Sulfur dioksida (SO2) di Kota Cilegon
Lampiran 2
Sebaran Sulfur dioksida (SO2) dan Debu
dari Kawasan Industri
Lampiran 3
Sebaran SO2 dan di Kota Cilegon
Lampiran 1. Wilayah dan Kawasan Industri Kota Cilegon

Wilayah Kota Cilegon


Kota Cilegon terletak antara 105o54’05” – 106o05’11” BT dan 5o52’24’’ –
6o04’07’’LS, dengan luas 175,50 Km2. Kota Cilegon berbatasan dengan: sebelah
Utara Kabupaten Serang; sebelah Timur Kabupaten Serang; sebelah Selatan
Kabupaten Serang; dan sebelah Barat Selat Sunda.
Secara umum Penggunaan Lahan Kota Cilegon dimanfaatkan untuk
pertanian, perumahan dan pemukiman, perkantoran atau jasa, industri dan
pariwisata. Kota Cilegon memiliki delapan kecamatan dan empat puluh tiga
kelurahan/desa, jumlah penduduk selama periode 2003-2004 sebanyak 334.185
jiwa dengan laju pertumbuhan sebesar 0,5 % dan tingkat kepadatan penduduk
mencapai 1.904 jiwa per kilometer persegi (BPS Kota Cilegon, 2004).

Tabel 31. Penggunaan lahan di Kota Cilegon


No Penggunaan Lahan Luas (Ha)
1 Pertanian 6.913,55
2 Perumahan dan Pemukiman 5.474,25
3 Perkantoran / Jasa 313,12
4 Industri 2.846,89
5 Pariwisata 6,10
6 Kegiatan lainnya 777,84
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Cilegon, tahun 2004

Tabel 32. Luas daeah dan pembagian wilayah

Kecamatan Ibukota Luas area Banyaknya


Km2 % Desa
1. Ciwandan Tegal Ratu 51,85 29,54 6
2. Citangkil Kebon Sari 22,98 13,09 7
3. Pulomerak Taman Sari 19,86 11,32 4
4. Grogol Grogol 15,24 8,68 4
5. Purwakarta Purwakarta 23,38 13,32 6
6. Cilegon Ciwaduk 9,15 5,21 5
7. Jombang Jombang Wetan 11,55 6,58 5
8. Cibeber Kali Timbang 21,49 12,25 6
Jumlah 175,50 100,00 43
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Cilegon, tahun 2004

120
121

Tabel 33. Pabrik di kawasan industri Cilegon

No Nama Industri Alamat Jenis Produk

A ZONA KAWASAN KS
1 PT AIRLIQUIDE INDONESIA Jl. Australia II Kav. M1 Liquide Nitrogen, Oksigen,
Telp. 393358, 371433 Fax 393359 Argon dan Gas Hidrogen

2 PT ANEKA GAS INDUSTRI Jl. Eropa I Kav. 12/1 Pembotolan Gas Oksigen
Telp. 394318

3 PT MITRAGUNA PANCATAMA/ Jl. Australia II Kav. L1 Paku, Bendrad


PT ARGAMAS BAJATAMA Telp. 310230, 371139 Fax 310231

4 PT BLOUSCOPE STEEL INDNESIA Jl. Asia Raya Kav. 02 Zincalum Coated Coil, Paint
Telp. 393680 Fax 393682 Coated Coil

5 PT BRIKETAMA ANUGRAH (TUTUP) Jl. Australia II Kav. Q1 Cold Briket Iron


Telp. 310688, 371550 Fax 310686

6 PT CABOT INDONESIA Jl. Amerika I Kav. A5 Carbon Black


Telp. 311606 Fax 311525

7 PT CAHAYA ANUGRAHTAMA Jl. Eropa I Kav. 12/4 Design, Engeering


Telp. 393315, 380861, 371401 Fabrication and Contruction
Fax 385708
8 PT CHEETAM GARAM INDONESIA Jl. Australia II Kav. D1/1 Garam
Telp. 310887 Fax 387023

9 PT CHICAGO BRIDGE AND INRON Jl. Australia I Kav. H2/1 Vessel Fabrication,
Telp. 392515, 392900 Fax 392900 Construction

10 PT CIGADING HABEAM CENTRE Jl. Eropa I Kav. J2 & L2 Welde H-Bean, Steel
Telp. 392765 Fax 392436 Fabricator Coil Centre,
Electric Pole
11 PT COMMONWEALTH STEEL Jl. Australia II Kav. I1/1 Grinding Media Roll
INDONESIA Telp. 393363

12 PT COMMUNICATION CABLE Jl. Eropa II Kav. E3/1 Industri Kabel


SYSTEM INDONESIA Telp. 382479, 382480 Fax 382481

13 PT DAEKYUNG INDAH HAEVY IND Jl. Australia II Telp. 310307 Steel Fabrication
Fax 393360, 393361

14 PT DRESSER-RAND SERVICE Jl. Eropa II SFB No. B1 Jasa Perbaikan dan Peme-
INDONESIA Telp. 310903, 310908 Fax 231042 liharaan alat-alat Berat
untuk Pertambangan dan Gas

15 PT DYSTAR COLOUR INDONESIA Jl. Australia I Kav. F1 Zat warna tekstil


Telp. 360001, 371412 Fax 360002
122

16 PT HARBISON WALKER Jl. Australia II Kav. N1 Refractories


REFRACTORIES Telp. 383374 Fax 398749

17 PT BETON CILEGON AGUNG Concrete Ready Mix

18 PT INDOCEMENT TUNGGAL Jl. Raya Anyer Kav. KS Coal Storage Terminal


PERKASA Tbk Telp. 601573 Fax 602160

19 PT INDONESIA ASRI Jl. Australia I Kav. B1 Refractories


REFRACTORIES Telp. 392439, 371436 Fax 391220

20 PT KAPURINDO SENTANA BAJA Jl. Australia II Kav. H1 Kapur Bakar


Telp. 310747, 371168

21 PT KARUNIA BERCA INDONESIA Jl. Eropa I Kav G2 Telp. 394133 Fabrikasi Konstruksi Baja dan
Fax 394134 Galvanis

22 PT KHI PIPE INDUSTRI Jl. Amerika I Telp. 391020/392438 Steel Pipe & Corrosion Pipe
Fax 392083 Protection

23 PT KOKUSAI KEISO INDONESIA Jl. Australia II Kav. O1/1 Enggencering, Construction


Telp. 311687 Fax 311689 and Maintenance

24 PT KRAKATAU ENGEERING Jl. A 0/1 Telp. 386464, 371127 Service Engineering


Fax 393030

25 PT KRAKATAU PRIMA DHARMA Jl. Eropa I Kav. 12/3 Telp. 391191, Alumunium Pellet
SENTANA 371371 Fax 391191

26 PT LATINUSA Jl. Australia I Kav. E1 Telp. 392353 Tin Plate


Fax 393569

27 PT MULTI FABRINDO GEMILANG Jl. Australia II Kav. G 1/2 Engineering, Fabrication and
Telp. 391755, 371138 Fax 392429 Construction

28 PT NUSARAYA PUTRA MANDIRI Jl. Eropa II Kav. D 3/1 Pengemasan Olie


Telp. 310715 Fax 310714

29 PT PETROJAYA BORAL PLASTER Jl. Asia I Kav. G 3/1 Telp. 387024 Gypsum Board
BOARD Fax 393865

30 PT CLARIANT INDONESIA Jl. Australia I Kav. F1 Telp. 396954 Bahan Baku Cat dan Tekstil
Fax 393865

31 PT ROHM AND HAAS INDNESIA Jl. Eropa III Kav. M2 Telp. 380631 Acrylic Emulsion Resin
Fax 380632

32 PT SAMUDRA FERRO ENGEERING Jl. Australia II Kav. D 1/2 Engineering, Fabrication &
Industrial Erection,
Telp. 310245 Fax 391230, 310246
Maintenance

33 PT SAVANA MULIA INDAH Jl. Australia I Kav. B 1/2 Briiket Besi


Telp. 310780 Fax 310779
123

Industri Pipa Baja tanpa


34 PT SEAMLES PIPA INDUSTRI JAYA Jl. Asia Raya Kav. F4 Telp. 392941
Kampuh
392918 Fax 391969, 391123

35 PT SIEMENS INDONESIA Jl. Eropa I Kav. B2 Telp. 392443 Turbine Component & Part
371434 Fax 393242

Ferrite Magnat, Ferrite


36 PT SUMIMAGNE UTAMA Jl. Eropa III Kav. N2 Telp. 393100,
Material
dan Peralatan Pengerjaan
371488 Fax 391807
Logam

37 PT KRAKATAU WAJATAMA Kawasan KIEC Cilegon

38 PT TJOKRO PUTRA PERSADA Jl. Eropa I Kav. E 2/2 Telp. 393006 Komponen Mesin, Steel
393005, 392430 Fax 392442 Fabricasi

39 PT KRAKATAU STEEL Kawasan KIEC Telp. 371092 Pabrik Spons (DRP)


Fax 371494 Pabrik Besi Slab (SSP)
Pabrik Billet Baja (BSP)
Pabrik Batang Kater (WRM)
Pabrik Canai Panas (HSM)
Pabrik Canai Dingin (CRM)

40 PT KRAKATAU DAYA LISTRIK Jl. Amerika I Telp. 371326 PLTU KS


Fax 395826

Industri Slag handling dan


41 PT PURNA BAJA HACKET Jl. N2 KIEC, Desa Cigading
Metal
Kec. Ciwandan Telp. 392385, Recovery
371132 Fax 385560
Jasa Konstruksi &
42 PT BARATA INDONESIA
Permesinan
(Vessel)

43 PT CITRA INDUSTRI LOGAM PIG Iron


MESIN PERSADA

44 PT PRAJAMITA INTERNUSA Kawasan KIEC I Pembuatan Drum


124

Lampiran 2. Analisis Distribusi Laju Penyebaran Pencemar Udara

Sistem persamaan bentuk tri-diagonal


Φ1 = C1 (1.a)

− β 2 Φ1 + D2 Φ 2 − α 2 Φ 3 = C2 (1.b)

− β 3Φ 2 + D3Φ 3 − α 3Φ 4 = C3 (1.c)

− β 4 Φ 3 + D4 Φ 4 − α 4 Φ 5 = C4 (1.d)

− β n Φ n −1 + Dn Φ n − α n Φ n +1 = Cn (1.e)

Φ n +1 = Cn +1 (1.f)

Bentuk umum persamaan tersebut adalah:


− β j Φ j −1 + D j Φ j − α j Φ j +1 = C j (2)

Persamaan (1.b-f) di atas dapat ditulis sebagai:


α2 β2 C2
Φ2 = Φ3 + Φ1 + (3.1)
D2 D2 D2
α3 β3 C3
Φ3 = Φ4 + Φ2 + (3.2)
D3 D3 D3
α4 β4 C4
Φ4 = Φ5 + Φ3 + (3.3)
D4 D4 D4

αn βn Cn
Φn = Φ n −1 + Φ n −1 + (3.4)
Dn Dn Dn
Substitusi persamaan (3.2) dengan (3.1)
α3 β3 ⎡ α 2 β2 C ⎤ C
Φ3 = Φ4 + ⎢ Φ3 + Φ1 + 2 ⎥ + 3
D3 D3 ⎣ D2 D2 D2 ⎦ D3

α3 β3 α 2 β3 β 2 β 3 C2 C3
Φ3 = Φ4 + Φ3 + Φ1 + +
D3 D3 D2 D3 D2 D3 D2 D3

β3 β 2 β 3C2
Φ1
⎛ β α ⎞ α D D2 C
Φ3 ⎜1 − 3 2 ⎟ = 3 Φ 4 + 2 + + 3
⎝ D3 D2 ⎠ D3 D3 D3 D3
125

⎛ ⎞ ⎛ ⎛ β2 C ⎞ ⎞
⎜ ⎟ ⎜ β3 ⎜ Φ1 + 2 ⎟ + C3 ⎟
α3
⎟ Φ4 + ⎜ ⎝ 2
D D2 ⎠ ⎟
Φ3 = ⎜ (4)
⎜ D − β α2 ⎟ ⎜
D3 − β 3
α2 ⎟
⎜ 3 3 ⎟ ⎜⎜ ⎟⎟
⎝ D2 ⎠ ⎝
D2

⎛ α3 ⎞ ⎛ β 3C2' + C3 ⎞
Φ3 = ⎜ ⎟ Φ4 + ⎜ ⎟
⎝ D3 − β 3 A2 ⎠ ⎝ D3 − β 3 A2 ⎠
dengan:
α2 β2 C2
A2 = dan C2' = Φ1 +
D2 D2 D2
Persamaan (4) dapat ditulis:
Φ 3 = A3Φ 4 + C3'
dengan:
α3 β3C2' + C3
A3 = dan C3' =
D3 − β 2 A2 D3 − β 3 A2
Bentuk umum dari persamaan tersebut adalah:
Φ j = Aj Φ j +1 + C 'j

αj β j C 'j −1 + C j
dengan: Aj = , dan C = '

D j − β j Aj −1 D j − β j Aj −1
j
126

LISTING PROGRAM

% Penyelesaian Persamaan Linear


clc
clear
disp(' Matrix A dimasukkan melalui program satu demi satu elemen ')
disp('jika setelah dilakukan penukaran baris, ternyata pada elemen ')
disp(' diagonalnya terdapat nilai 0 maka program akan menampilkan ')
disp(' bahwa matrix yang dimasukkan tidak dapat difaktorkan ')
disp('=============================================================')
disp(' Menghitung Sebaran Konsentrasi ')
disp(' Pencemar Udara di Kota Cilegon ')
disp('======================================================')
disp(' Oleh : YAYAT RUHIAT ')
disp(' G261040011 ')
disp('======================================================')
disp('Masukkan ukuran matrix jumlah baris=jumlah kolom:')
n=input('Ukuran matrix b : ')
p=1;
for i = 1:n
for j = 1:n
x = sprintf('b(%g,%g) : ',i,j);
b(i,j)=input(x);
a(i,j)=b(i,j);
end;
end;

for i=1:(n-1),
if a(n,n)==0;
for k = 1:n
c=a(i,k);
a(i,k)=a(n,k);
a(n,k)=c;
end;
end;
end

for i=1:(n-1),
if a(i,i)==0;
for k=1:n
c=a(i+1,k);
a(i+1,k)=a(i,k);
a(i,k)=c;
end;
end;
end;

for i=1:n
if a(i,i)==0;
p=0;
end;
end;
disp(' Tekan sembarang tombol');
pause;
%clc
disp('Matrix asli :'); b
disp('Matrix hasil perubahan baris '); a
if p==0;
disp(' ');
127

disp('Matrix tak dapat difakorkan ! ');


end;

if p~=0;
for j=2:n;
a(j,1)=a(j,1)/a(1,1);
end;

for k=2:(n-1),
for j=k:n,
c=0;
for m=1:(k-1),
c=c+a(k,m)*a(m,j);
end;
a(k,j)=a(k,j)-c;
end;

for j=(k+1):n,
c=0;
for m=1:(k-1),
c=c+a(j,m)*a(m,k);
end;
a(j,k)=(a(j,k)-c)/a(k,k);
end;
end;

c=0;
for m=1:(n-1),
c=c+a(n,m)*a(m,n);
end;
a(n,n)=a(n,n)-c;
l = tril (a,-1)+ eye(n,n);
u=triu(a);
disp(' Tekan sembarang tombol');
pause; clc;
disp('Hasil L dari matrix a ') l
disp('Hasil U dari matrix a ') u
disp('Hasil LU dari matrix a ') a
end;
disp(' Tekan sembarang tombol');
disp(' ');
disp('Masukkan nilai vektor kolom :')
disp(' ');
m=n;
for i = 1:m
x = sprintf('c(%g) : ',i);
c(i)=input(x);
d(i)=c(i);
end;
c=c';
%hitung nilai y
y=1\c;
%hitung nilai x1,....xn
x=u\y
disp(' ');
disp('nilai x :')x
128

Lampiran 3. Hasil Running Screen3

Stabilitas A

Stabilitas B

Stabilitas C

Stabilitas D

Stabilitas E
PLTU: Unit 1-4 PLTU: Unit 5-7

Gambar 31.a. Sebaran SO2 dari PT Indonesia Power (zona Pulomerak)


129

Stabilitas A

Stabilitas B

Stabilitas C

Stabilitas D

Stabilitas E
Chandra Asri Pembangkit Listrik Cigading

Gambar 31.b. Sebaran SO2 dari PT Chandra Asri dan Pembangkit Litrik Cigading
(zona Ciwandan)
130

Stabilitas A

Stabilitas B

Stabilitas C

Stabilitas D

Stabilitas E
Krakatau Daya Listrik Krakatau Steel (HYL)

Gambar 31.c. Sebaran SO2 dari PT KS dan Krakatau Daya Listrik (zona KS)
131

Stabilitas A

Stabilitas B

Stabilitas C

Stabilitas D

Stabilitas E
PLTU: Unit 1-4 PLTU: Unit 5-7

Gambar 32.a. Sebaran Debu dari PT Indonesia Power (zona Pulomerak)


132

Stabilitas A

Stabilitas B

Stabilitas C

Stabilitas D

Stabilitas E
Chandra Asri Pembangkit Listrik Cigading

Gambar 32.b. Sebaran Debu dari PT Chandra Asri dan Pembangkit Litrik
Cigading (zona Ciwandan)
133

Stabilitas A

Stabilitas B

Stabilitas C

Stabilitas D

Stabilitas E
Krakatau Daya Listrik Krakatau Steel (HYL)

Gambar 32.c. Sebaran Debu dari PT KS dan Krakatau Daya Listrik (zona KS)
Lampiran 4. Sebaran Konsentrasi SO2 di Kota Cilegon 134

Stabilitas Atmosfer B dengan kecepatan angin 1 m/s Stabilitas Atmosfer C dengan kecepatan angin 1 m/s

Stabilitas Atmosfer D dengan kecepatan angin 1 m/s Stabilitas Atmosfer E dengan kecepatan angin 1 m/s

Gambar 33.a. Sebaran SO2 di Kota Cilegon pada berbagai stabilitas udara dengan kecepatan angin 1 m/s pada scenario ada sumber
135

Stabilitas Atmosfer B dengan kecepatan angin 1,5 m/s Stabilitas Atmosfer C dengan kecepatan angin 1,5 m/s

Stabilitas Atmosfer D dengan kecepatan angin 1,5 m/s Stabilitas Atmosfer E dengan kecepatan angin 1,5 m/s

Gambar 33.b. Sebaran SO2 di Kota Cilegon pada berbagai stabilitas udara dengan kecepatan angin 1,5 m/s pada scenario ada sumber
136

Stabilitas Atmosfer C dengan kecepatan angin 2 m/s Stabilitas Atmosfer D dengan kecepatan angin 2 m/s

Stabilitas Atmosfer E dengan kecepatan angin 2 m/s

Gambar 33.c. Sebaran SO2 di Kota Cilegon pada berbagai stabilitas udara dengan kecepatan angin 2 m/s pada scenario ada sumber
137

Stabilitas Atmosfer C dengan kecepatan angin 2,5 m/s Stabilitas Atmosfer D dengan kecepatan angin 2,5 m/s

Stabilitas Atmosfer E dengan kecepatan angin 2,5 m/s

Gambar 33.d Sebaran SO2 di Kota Cilegon pada berbagai stabilitas udara dengan kecepatan angin 2,5 m/s pada scenario ada sumber
138

Stabilitas Atmosfer C dengan kecepatan angin 3 m/s Stabilitas Atmosfer D dengan kecepatan angin 3 m/s

Stabilitas Atmosfer E dengan kecepatan angin 3 m/s

Gambar 33.e. Sebaran SO2 di Kota Cilegon pada berbagai stabilitas udara dengan kecepatan angin 3 m/s pada scenario ada sumber
139

Lampiran 5. Form Isian untuk Industri

STUDI KUALITAS UDARA UNTUK KOTA CILEGON


1. Lokasi Industri : PT. Chandra Asri
Jl. Raya Anyer Km. 123
Desa Gunung Sugih, Ciwandan
Cilegon, Telp. 0254-601501
Fax. 0254 – 601505

2. Jenis Industri : Industri Kimia Dasar


3. Jenis Unit yang Operasi : 3 Unit

4. Kapasitas : 1. Ethylene 522.000 ton/tahun


2. Propylene 243.000 ton/tahun
3. Pyrolysis Gasoline 160.000 ton/tahun
4. Polyethylene 300.000 ton/tahun

5. Waktu Operasi : 8.760 jam/tahun


6. Effisiensi Produksi :-
7. Jenis Bahan Bakar yang digunakan : 1. Minyak solar
2. PFO (Pyrolisis Fuel Oil)
3. MFO (Marine Fuel Oil)
4. CH4 (Methan)
5. C3 (LPG)
6. Pyrolisis Gasoline + C9 (2 : 1)

8. Kebutuhan / Konsumsi : 1. Minyak solar 8.756,82 ton/tahun


2. PFO 32.619,49 ton/tahun
3. MFO 32.920,41 ton/tahun
4. CH4 41,915,00 ton/tahun
5. C3 (LPG) -
6. Pyrolisis Gasoline + C9 (2 : 1)

9. Kandungan Sulfur dalam Bahan Bakar : 1. Minyak solar 0,4 – 0,50 %


2. PFO 0,1 – 0,15 %
3. MFO 0,1 %
4. CH4 -
5. C3 (LPG) -
6. Pyrolisis Gasoline + C9 (2 : 1) -

10. Kandungan Carbon dalam Bahan Bakar : 1. Minyak solar -


2. PFO -
3. MFO 86,02 %
4. CH4 -
5. C3 (LPG) -
6. Pyrolisis Gasoline + C9 (2 : 1) -
140

11. Kandungan Abu dalam Bahan Bakar : 1. Minyak solar -


2. PFO -
3. MFO 0,01 %
4. CH4 -
5. C3 (LPG) -
6. Pyrolisis Gasoline + C9 (2 : 1) -

Data Pengendalian Pencemaran Udara

12. Jenis Teknologi / Alat Pengendali Sulfur : -


13. Effisiensi desulfurisasi :-
14. Jenis Teknologi Pengendali Debu :-
15. Effisiensi Pengurangan Debu :-

Data Cerobong (Stack)

16. Jenis Cerobong yang digunakan : 1. Boiler 2 cerobong


2. Furnace 7 cerobong
3. Incinerator 1 cerobong

17. Tinggi masing-masing Cerobong : 1. Boiler 30 meter


2. Furnace 41 meter
3. Incinerator 11 meter

18. Diameter bagian dalam Cerobong : 1. Boiler 2,6 meter


2. Furnace 1,2 x 2,7 meter
3. Incinerator 0,2 meter

19. Temperatur gas dalam Cerobong : 1. Boiler 220 oC


2. Furnace 170 oC
3. Incinerator 80 oC

20. Kecepatan gas keluar Cerobong : 1. Boiler 20 m3/detik


2. Furnace 28,33 m3/detik
3. Incinerator -

Keterangan :
% : persen (persentase)
m : meter
o
C : derajat Celcius
141

STUDI KUALITAS UDARA UNTUK KOTA CILEGON


1. Lokasi Industri : Ciwandan / Cigading

2. Jenis Industri : Pembangkit Listrik


3. Jenis Unit yang Operasi : 4 Unit

4. Daya/Kapasitas Produksi/Unit : 80 MW/Unit

5. Waktu Operasi : 8.760 jam/tahun


6. Effisiensi Produksi : Eff. Plant 30 %
7. Jenis Bahan Bakar yang digunakan : Residu dan BBG

8. Kebutuhan / Konsumsi Bahan Bakar : 20 ton/jam per unit

9. Kandungan Sulfur dalam Bahan Bakar : 2,5 – 3,0 %

10. Kandungan Carbon dalam Bahan Bakar : 84,9 %

11. Kandungan Abu dalam Bahan Bakar : 0,02 %

Data Pengendalian Pencemaran Udara

12. Jenis Teknologi / Alat Pengendali Sulfur : Tidak ada


13. Effisiensi desulfurisasi :-
14. Jenis Teknologi Pengendali Debu :-
15. Effisiensi Pengurangan Debu :-

Data Cerobong (Stack)

16. Jenis Cerobong yang digunakan : 5 buah

17. Tinggi masing-masing Cerobong : 60 meter

18. Diameter bagian dalam Cerobong : 2,0 meter

19. Temperatur gas dalam Cerobong : 200 oC

20. Kecepatan gas keluar Cerobong :-

Keterangan :
% : persen (persentase)
m : meter
o
C : derajat Celcius
142

STUDI KUALITAS UDARA UNTUK KOTA CILEGON


1. Lokasi Industri : PT. Indonesia Power
2. Jenis Industri : Pembangkit Tenaga Listrik
3. Jenis Unit yang Operasi : 7 Unit

4. Kapasitas : Unit 1 - 4 @ 400 MW, unit 5 – 7 @ 600 MW

5. Waktu Operasi : 7446 jam/tahun


6. Effisiensi Produksi : 34,8
7. Jenis Bahan Bakar yang digunakan : Batubara

8. Kebutuhan / Konsumsi bahan bakar : Unit 1 – 4 @ 170 ton/jam/unit


Unit 5 – 7 @ 255 ton/jam/tahun

9. Kandungan Sulfur dalam Bahan Bakar : 0,30 %

10. Kandungan Carbon dalam Bahan Bakar : 49 %

11. Kandungan Abu dalam Bahan Bakar : 6,0 %

Data Pengendalian Pencemaran Udara

12. Jenis Teknologi / Alat Pengendali Sulfur : -


13. Effisiensi desulfurisasi :-
14. Jenis Teknologi Pengendali Debu : Elektrostatik, Precipitator (ESP)
15. Effisiensi Pengurangan Debu : 99,5 %

Data Cerobong (Stack)

16. Jumlah Cerobong yang digunakan : 7 (tujuh) cerobong

17. Tinggi masing-masing Cerobong : Unit 1 – 4 @ 200 meter


Unit 5 – 7 @ 275 meter

18. Diameter bagian dalam Cerobong : Unit 1 – 4 @ 5,5 meter


Unit 5 – 7 @ 6,5 meter

19. Temperatur gas dalam Cerobong : 125 - 130 oC

20. Kecepatan gas keluar Cerobong : 20 m/detik

Keterangan :
% : persen (persentase)
m : meter
o
C : derajat Celcius

You might also like