Professional Documents
Culture Documents
ABSTRAK
1. PENDAHULUAN
Sebagai agama yang besar dan berkembang di banyak negara, Islam memiliki pengaruh yang besar pada
masyarakat dan budaya di mana agama ini berkembang. Oleh karena itu, pemahaman tentang Islam dan
pandangan Islam tentang isu-isu sosial dan politik sangat penting untuk memahami dinamika sosial dan politik di
negara-negara Islam. Salah satu isu sosial yang semakin penting dalam konteks global saat ini adalah isu
kesetaraan gender. Kesetaraan gender menjadi isu yang semakin penting dalam beberapa dekade terakhir
karena kesenjangan gender yang masih terjadi di banyak negara, termasuk di negara-negara Islam. Kesetaraan
gender tidak hanya menjadi isu moral, tetapi juga menjadi isu politik dan ekonomi yang sangat penting. Upaya
untuk mempromosikan kesetaraan gender dianggap sebagai bagian dari upaya untuk mencapai pembangunan
yang berkelanjutan dan perdamaian yang berkelanjutan (Ahmad, 2007).
Dalam konteks Islam, kesetaraan gender menjadi isu yang semakin penting karena Islam memiliki pengaruh
yang besar di banyak negara. Namun, pandangan Islam tentang kesetaraan gender sering menjadi kontroversial
dan diperdebatkan oleh banyak pengamat dan aktivis. Beberapa pengamat menyarankan bahwa Islam
mendorong kesetaraan gender, sementara yang lain berpendapat bahwa Islam memperkuat ketidaksetaraan
gender. Oleh karena itu, perdebatan tentang kesetaraan gender dalam konteks Islam menjadi penting untuk
memahami bagaimana Islam dapat berkontribusi dalam upaya mempromosikan kesetaraan gender. Dalam hal
ini, hukum Islam memiliki peran penting dalam memahami kesetaraan gender dalam konteks Islam. Hukum Islam
didasarkan pada sumber-sumber utama, yaitu Al-Quran, hadis, ijma’, dan qiyas. Sumber-sumber utama ini
memberikan dasar hukum untuk memandu perilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam hal ini,
hukum Islam dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang kesetaraan gender dalam Islam
(Musyahid, 2013).
Di Indonesia, Islam adalah agama mayoritas, sehingga pandangan Islam tentang kesetaraan gender sangat
penting dalam memahami dinamika sosial dan politik di negara ini. Meskipun konstitusi Indonesia menjamin
kesetaraan gender, namun masih terdapat ketidaksetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan, seperti
pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi politik. Oleh karena itu, memperluas pemahaman tentang perspektif hukum
Islam tentang kesetaraan gender dapat memberikan kontribusi yang penting dalam upaya untuk mempromosikan
kesetaraan gender di Indonesia.
Gender menjadi objek penelitian yang menarik di kalangan para peneliti misalnya beberapa penelitian telah
dilakukan tentang gender seperti kajian yang dilakukan oleh Desi Asmaret tahun (2018) tentang “Kajian Tentang
Gender Perspektif Islam (Studi Analisis Tentang Posisi Perempuan dan Laki-laki dalam Islam)” hasil penelitian ini
menunjukan perempuan dan laki- laki memang diciptakan Allah swt. berbeda, namun perbedaan ini adalah
sunnatullah dan membuat keduanya serasi dalam mewujudkan kebersamaan hidup di dunia. Perbedaan tersebut
adalah secara fisik (biologis), tabiat, tugas dan tanggungjawab, namun Allah swt juga menciptakan persamaan
status dan penilaian terhadap amal perbuatan (Asmaret, 2018).
Selain peneliti diatas, juga ada peneliti lain yang melakukan penelitian tentang gender yaitu studi H. Juhdi
Amin tahun (2019) tentang “Permasalahan Gender dalam Perspektif Islam” Penelitian ini berfokus untuk
bagaimana permasalahan gender dalam perspektif Islam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kualitatif yang melihat persoalan di sekitar masyarakat sebagai data, lalu dikaji dengan teori-teori sosial yang
mapan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Islam melihat seorang wanita itu dengan penuh kemandirian
dengan beberapa kasus wanita Islam yang hidup di zaman kenabian (Amin, 2019).
Selanjutnya yang ditulis oleh oleh Anugerah Dharul Ahmadi tahun tentang “Kesetaraan Gender Dalam
Perspektif Islam dan Implementasinya Dalam Hukum Islam”.Tujuan penelitian ini adalah membahas tentang
kesetaraan tersebut dalam dalam perspektif islam dan bagaimanakah cara untuk mengimplementasikannya
dalam hukum islam. Dan apakah pandangan Islam dalam hal tentang kesetaraan gender tersebut (Ahmadi,
2013). Kemudian kajian yang dilakukan oleh Tanwir tahun (2017) tentang “Kajian Tentang Eksistensi Gender
Dalam Perspektif Islam” penelitian ini berfokus pada bagaimana eksistensi gender dalam perspektif Islam (Tanwir,
2018). Berdasarkan penelitian tersebut, belum ada penelitian yang mendetail tentang “Kesetaraan Gender
Perspektif Hukum Islam”. Kajiannya terutama terfokus dalam konteks Alquran, hadis, ijma’ dan qiyas serta aspek-
aspek lain yang tidak berkaitan dengan penelitian yang dikaji. suatu keutamaan moral yang sangat penting dalam
kehidupan manusia.
Aristoteles mengatakan bahwa keadilan dapat tercapai melalui prinsip proporsionalitas, yaitu memberikan
kepada seseorang apa yang seharusnya dia dapatkan berdasarkan kebutuhannya, kontribusinya, atau
kedudukannya dalam masyarakat. Dalam konteks kesetaraan gender perspektif hukum Islam, teori keadilan
Aristoteles dapat digunakan untuk mengkritisi interpretasi hukum yang diskriminatif terhadap perempuan. Dalam
hukum Islam, terdapat beberapa ketentuan yang membedakan hak dan kewajiban antara laki-laki dan
perempuan. Namun, jika interpretasi hukum tersebut menghasilkan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap
perempuan, maka prinsip keadilan Aristoteles dapat digunakan sebagai landasan untuk menuntut kesetaraan
gender yang lebih adil. Sebagai contoh, dalam persoalan waris, hukum Islam memang membedakan hak waris
antara laki-laki dan perempuan. Namun, jika interpretasi hukum tersebut menghasilkan ketidakadilan terhadap
perempuan, maka prinsip keadilan Aristoteles dapat digunakan untuk menuntut kesetaraan gender yang lebih
adil. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan warisan yang sesuai dengan kontribusi dan kebutuhan masing-
masing ahli waris, bukan berdasarkan jenis kelamin mereka. Selain itu, teori keadilan Aristoteles juga dapat
digunakan untuk menuntut kesetaraan dalam hal akses dan partisipasi dalam berbagai aspek kehidupan,
termasuk dalam bidang pendidikan dan politik. Prinsip keadilan Aristoteles menekankan bahwa setiap orang
harus diberikan hak yang sama untuk mengembangkan potensi mereka, dan tidak boleh ada diskriminasi
berdasarkan jenis kelamin atau gender.
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Sumber data
primer adalah dokumen-dokumen seperti buku, artikel, piagam atau adat perjanjian dan undang-undang. Dalam
melakukan penelitian kepustakaan tentang kesetaraan gender perspektif hukum Islam, temuan-temuan di atas
dapat ditemukan melalui berbagai sumber literatur, seperti kitab suci Al-Quran, kitab hadis, literatur ijma’, dan
literatur qiyas. Penelitian kepustakaan dapat dilakukan dengan cara mencari literatur terbaru atau literatur klasik
tentang tema tersebut, baik dalam bahasa asing maupun dalam bahasa Indonesia. Sebagai contoh, dalam
mencari literatur tentang kesetaraan gender dalam Al-Quran, peneliti dapat memulai dengan mencari tafsir Al-
Quran dari para ulama terkemuka, seperti al-Tabari, Ibn Kathir, atau al-Qurtubi. Selain itu, literatur tentang hadis
juga dapat ditemukan dalam berbagai kitab hadis, seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim, atau Sunan Abu Dawud.
Sementara itu, untuk mencari literatur tentang ijma’, peneliti dapat mencari literatur klasik dari ulama seperti al-
Syafi’i, Ibn Hanbal, atau Ibn Taymiyyah. Terakhir, untuk mencari literatur tentang qiyas, peneliti dapat mencari
literatur dari tokoh-tokoh ulama, seperti Al-Ghazali, Ibn Rushd, atau al-Juwayni.
Dalam melakukan penelitian kepustakaan, penting untuk memperhatikan kredibilitas sumber yang
digunakan. Sumber-sumber yang digunakan harus berasal dari sumber yang terpercaya dan relevan dengan
tema penelitian. Selain itu, peneliti juga harus memperhatikan aspek kebaruan dan keterkaitan antara sumber-
sumber yang digunakan dengan tema penelitian. Dengan demikian, peneliti dapat menghasilkan temuan-temuan
yang valid dan bermanfaat dalam menjawab pertanyaan penelitian tentang kesetaraan gender perspektif hukum
Islam (Prastowo, 2011).
memberikan hak istimewa pada pria dan mengabaikan peran penting perempuan. Pria dianggap sebagai jenis
kelamin yang lebih superior dan perempuan dianggap sebagai jenis kelamin yang lebih rendah (Azis, 2003).
Beberapa ekspresi yang mungkin menunjukkan inferioritas perempuan untuk laki-laki juga ditemukan dalam
teks-teks agama. Dalam Al -Qur'an, hal ini ditunjukkan dengan beberapa Ayat dalam an-Nisa', yang terutama
berbicara tentang masalah perempuan. Dalam Ayat satu, telah diterima secara umum tanpa ragu gagasan bahwa
Hawa adalah diciptakan dari tulang rusuk Adam. Ini berarti bahwa perempuan adalah yang makhluk sekunder
karena nenek moyang mereka, Hawa, diciptakan dari makhluk yang ada, Adam. Ayat 34 yang artinya “Kaum laki-
laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki)
atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka) wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka
mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha besar”.
Bahkan nampaknya secara terang-terangan menetapkan keunggulan laki-laki atas perempuan dan,
terkadang, Ayat ini disalahgunakan oleh laki-laki untuk membenarkan kekerasan mereka dalam rumah tangga
karena melawan wanita mereka. Mirip dengan preferensi Al-Qur'an di atas untuk laki-laki, beberapa hadis juga
memberikan tema-tema yang menegaskan inferioritas perempuan terhadap laki-laki. Sebagai soal bahkan, salah
satu hadis diriwayatkan oleh Al-Bukhari, At-Tirmizi, an-Nasa'i dan Ahmad Ibnu Hanbal membaca bahwa suatu
komunitas tidak akan pernah mencapai posisi menang selama itu dipimpin oleh wanita. Hadis ini dikatakan oleh
Nabi ketika dia menjawab kabar bahwa rakyat Persia telah memilih putri Kisra sebagai pemimpin mereka.
Berdasarkan hadis tersebut, banyak ulama berpendapat bahwa kepemimpinan perempuan, baik sebagai khalifah
maupun imam, adalah haram. Beberapa hadis yang memberikan doktrin tentang hubungan antara suami dan
istri, tampaknya menundukkan perempuan kepada laki-laki (Ahmadi, 2013).
Pemahaman seperti ini tentang agama telah tertanam dalam alam bawah sadar perempuan selama
bertahun-tahun, sehingga tercipta kesan bahwa perempuan tidak setara dengan pria dan memunculkan etos
kerja yang tidak seimbang antara kedua jenis manusia tersebut. Seminar nasional dengan tema “Bias Gender
dalam Penafsiran Al-Qur’an” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Wanita Universitas Negeri Jakarta di Hotel
Indonesia pada Selasa (28/5) kembali menyoroti pentingnya merekonstruksi tafsir ayat-ayat yang berkaitan
dengan wilayah perempuan. Menurut ahli kajian gender Nasaruddin Umar, masalah ketidakadilan cenderung
mengabaikan asasnya. Selama ini, menurutnya, kita terlalu banyak memperhatikan akibat dari masalah tersebut,
namun fenomena gender ini sebenarnya menunjukkan bahwa pemahaman agama (teologi) adalah penyebab
utama (prima causa) dari berbagai persepsi yang bias gender (Azis, 2003).
Setelah membahas nash-nash di atas, maka dapat dipahami mengapa Islam itu ada dituduh sebagai agama
yang 'menindas' perempuan. Ini karena seseorang dapat dengan mudah menyimpulkan dari beberapa teks
agama Islam tersebut di atas, bahwa Islam melegitimasi ketidaksetaraan gender. Hal ini karena melekat pada
sumber-sumber doktrin Islam (Al -Qur'an dan Hadis). Selain itu, marjinalisasi dan kekerasan yang diderita oleh
beberapa wanita Muslim di negara-negara Muslim lebih lanjut mengkonfirmasi pendapat luas ini. Namun, tidak
adil untuk buru-buru menyalahkan Islam untuk mendiskriminasikan perempuan, berdasarkan beberapa teks yang
tampaknya secara harfiah menyediakan ketidaksetaraan gender. Menurut Asma Barla, seorang Muslim feminis,
memang begitu menyalahkan Islam karena menindas perempuan karena status dan peran perempuan dalam
masyarakat Muslim, serta struktur patriarki dan hubungan gender, merupakan fungsi dari banyak faktor, yang
sebagian besar tidak ada hubungannya dengan agama. Sejarah peradaban Barat seharusnya memberi tahu kita
bahwa tidak ada yang Islami tentang misogini, ketidaksetaraan, atau patriarki. Padahal, ketiganya sering
dibenarkan oleh negara dan ulama Islam atas nama Islam.
Asma Barla bersama dengan para Muslim feminis lainnya berpendapat bahwa masalah tidak terletak pada
Islam itu sendiri, karena nilai fundamental Islam dalam hubungan gender adalah ‘egaliter keras kepala’. Namun,
nilai fundamental ini mungkin terdistorsi tergantung pada siapa yang membaca teks agama dan bagaimana
produk bacaan ini diperlakukan di dalam komunitas Muslim (ummah). Namun, anehnya kalangan agamawan
Muslim masih terpaku pada surah An-Nisa’ ayat 13 yang menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin,
pelindung, penuntun bagi kaum perempuan. Padahal kata “qowwam” ini adalah musytarak atau ambigu,
mempunyai banyak makna, yang secara implisit dapat dimaknai sebagai “berdiri sejajar”, “berperan sama”,
“berprofesi sama”, “mempunyai tanggung jawab sama”, dan “bekerja sama”. Bentuk-bentuk tanggung jawab yang
sama dengan laki-laki diungkapkan oleh Carmody (1979) bahwa “Perempuan seperti pria, diharapkan mengikuti
lima rukun Islam, yang meliputi shalat lima kali sehari dan berpuasa selama bulan suci Ramadan dan mereka
beribadah bersama dengan laki-laki di dalam masjid”. Untuk menghilangkan pengurangan hak-hak perempuan
baik di ranah publik maupun domestik dalam perspektif agama, diperlukan penafsiran baru yang kontekstual demi
kesetaraan dan keadilan antara kedua jenis kelamin (Amin, 2019).
Seperti disebutkan di atas, Al -Qur'an dan hadis menggambarkan beberapa hal yang saling bertentangan
pernyataan tentang jenis kelamin. Di satu sisi, beberapa ketentuan menyebutkan sama status perempuan dan
laki-laki; di sisi lain, beberapa pernyataan dalam Al-Qur'an dan ditemukan hadis yang merendahkan status
perempuan menjadi subordinat untuk laki-laki. Dengan demikian, kelompok bekal mana yang harus menjadi
standar Islam doktrin yang berkaitan dengan hubungan gender? Beberapa Muslim kontemporer para pemikir
berpendapat bahwa jawabannya lebih kontekstual daripada tekstual (hanya pendekatan doktrinal normatif).
Diperlukan lebih banyak penyelidikan historis dan sosiologis. Teks Agama, terutama Al -Qur'an sebagai sumber
utama, tidak terungkap dalam ruang hampa. Ada latar belakang dan keadaan yang mendasarinya wahyu dari
teks. Selain itu, orang yang membaca teks juga memainkan peran penting dalam membentuk pendapat tentang
apa yang merupakan kehendak Pengirim atau memerintah. Ini karena mereka hidup dikelilingi oleh sejarah dan
sosiologis keadaan pada zamannya yang dalam perjalanan waktu menetap pada zamannya bawah sadar dan
dibawa secara tidak sadar ke dalam bacaan mereka (Suprapti Muzani Maslamah dan Suprapti Muzani, 2014).
Berdasarkan hal di atas, dapat dipahami mengapa Muslim kontemporer para pemikir mengkritisi metode-
metode yang digunakan para mufassir Al-Qur'an klasik (mufassir) dan menantang produk yang dihasilkan dari
bacaan mereka. Seperti itu sifat masyarakat yang berpusat pada teks, para komentator teks memainkan peran
utama dalam membentuk apa yang merupakan perintah atau kehendak Tuhan. Alasan untuk ini adalah karena
mereka dianggap sebagai agen otoritatif yang mampu menjelaskan substansi teks. Namun, untuk merawat
produk Al-Quran mereka komentar (tafsir) sebagai mutlak benar dan, karenanya, abadi dipertanyakan. Ini karena
tafsir Al-Qur'an, yang dihasilkan dari bacaan bias dan mengabaikan keadaan sosio-historis dari teks, mungkin
memberikan argumentasi untuk melanggengkan ketidaksetaraan gender. Seperti yang diutarakan oleh Asma
Barla, ketimpangan dan diskriminasi itu bukan berasal dari Al-Qur'an tapi dari tafsir atau terjemahannya. Dengan
demikian, penafsiran ulang terhadap teks-teks itu penting, karena pembacaan yang berbeda dapat menghasilkan
Islam yang berbeda secara fundamental (Asmaret, 2018).
Padahal, penggunaan metode tahlili (analisis) dominan dalam sejarah tafsir Al-Qur'an. Metode ini diatur
dengan menafsirkan ayat-ayat Alquran secara kronologis dan utamanya menggunakan pendekatan tekstual
(umum al-lafzh) menuju sebuah ayat. Bertentangan dengan popularitasnya di kalangan terkemuka ahli tafsir Al-
Qur'an di zaman klasik, metode ini baru-baru ini dikritik karena akan menggiring pola pikir penafsir pada setting
tradisional timur tengah mengomentari ayat-ayat yang berhubungan dengan wanita. Tradisi timur tengah bersifat
andosentris (berpusat pada laki-laki dewasa). Akibatnya, tidak mengherankan bahwa metode ini cenderung
menghasilkan bias patriarki ketika mengomentari ayat-ayat tentang gender dalam Islam. Misalnya, At-Tabari
berkomentar bahwa yang dimaksud Al-Qur'an dengan 'nafs wahidah' dalam an-Nisa' (1) adalah Adam, sedangkan
kata 'zaujaha' mengacu pada Hawa; dengan demikian Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam berdasarkan Ayat
ini (Wa khalaqa minha zaujaha).
Sebaliknya, feminis Muslim seperti Riffat Hasan mengkritisi komentar tersebut sebagai bias patriarki dan
cacat. Mereka berargumen bahwa agama berpotensi menjadikan agama sebagai alat untuk menindas
perempuan. Riffat Hassan tidak sependapat jika istilah tersebut nafs wahidah' tentu diartikan sebagai Adam,
karena kedua kata 'nafs' atau zawj' bersifat netral, tidak mengacu pada jenis kelamin tertentu. Meskipun istilah
'Adam' adalah kata benda maskulin dalam bahasa Arab, gender linguistik bukanlah jenis kelamin. Dengan
demikian, jika Adam belum tentu laki-laki, maka zawj Adam belum tentu perempuan. Selanjutnya, istilah 'zawj'
juga merupakan kata benda maskulin dalam bahasa Arab. Namun berbeda dengan 'Adam', 'zawj' memiliki bentuk
feminin yaitu 'zawjatun'. Alasan mengapa istilah 'Adam' dan 'zawj' sengaja dibiarkan tidak jelas dalam Al-Qur'an
adalah 'karena itu tujuannya bukan untuk menceritakan peristiwa tertentu dalam kehidupan seorang pria dan
wanita (yaitu Adam dan Hawa dari imajinasi populer) tetapi merujuk pada beberapa pengalaman hidup semua
manusia, pria dan wanita bersama-sama' (Ahmad, 2007).
Oleh karena itu, para pemikir muslim kontemporer mengajukan konsep maudu`i (tematik). sebagai alternatif
dari metode tahlili . Ini karena yang pertama lebih jauh cenderung menempatkan perempuan dan laki-laki secara
setara dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Metode ini menggunakan pendekatan semantik dan
hermeneutik terhadap Al-Qur'an. Sementara itu, ayat-ayat yang berkaitan dengan perempuan dalam Al-Qur'an
berada dalam kerangka yang mudah diakses melalui pendekatan-pendekatan tersebut. Untuk Misalnya dalam
ayat-ayat yang berhubungan dengan poligami, jika yang dimaksud dengan poligami dalam Islam adalah hanya
dilakukan terhadap an-Nisa' (3), poligami mudah dilakukan. Namun, jika dihubungkan ke an-Nisa' (129), ternyata
tidak mudah melakukan poligami dalam Islam, karena ada syarat khusus yang harus dipenuhi yaitu keadilan,
yang mungkin mengimplikasikan hal itu. Dalam dunia hukum dan praktek, perempuan muslim masih diperlakukan
secara diskriminatif, terutama yang berkaitan dengan masalah status pribadi seperti pernikahan, perceraian dan
warisan. Semua ini lebih lanjut mengkonfirmasi temuan dari banyak penelitian yang telah dilakukan di negara
Muslim status perempuan di dunia Muslim masih dominan di bawah dari pria. Situasi ini memungkinkan kita
mempertanyakan apakah Islam melegitimasi gender (Musyahid, 2013).
mengambil pendekatan yang hati-hati dan responsif terhadap kondisi masyarakat saat ini (Ahmad, 2007). Secara
keseluruhan, perspektif hukum Islam tentang kesetaraan gender dalam konteks hadis cukup kompleks dan
memerlukan pemahaman yang hati-hati dan terinformasi. Sebagai sumber hukum Islam yang penting, hadis
dapat memberikan pandangan yang bermanfaat tentang prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam Islam, tetapi
juga memerlukan interpretasi yang tepat dan hati-hati agar tidak menimbulkan ketidakadilan terhadap perempuan.
Selain itu, hadis juga menekankan pentingnya kesetaraan dalam hal pendidikan dan pengetahuan antara
perempuan dan laki-laki. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nabi Muhammad SAW
bersabda, “Mencari ilmu adalah wajib bagi setiap muslim dan muslimah” (Basri, 2019).
Dalam konteks ini, hadis menegaskan bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam
hal mendapatkan pendidikan dan pengetahuan. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam
Islam yang menekankan pentingnya memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk
mengembangkan potensi dan kemampuan mereka.Namun, seperti halnya dengan Al-Quran, terdapat pula hadis
yang menimbulkan kontroversi dan perbedaan interpretasi dalam konteks kesetaraan gender. Sebagai contoh,
terdapat hadis yang menyatakan bahwa “Seorang perempuan tidak boleh melakukan perjalanan jauh tanpa
ditemani oleh seorang mahram.” (HR Bukhari dan Muslim). Dalam hal ini, terdapat perdebatan di antara para
ulama tentang bagaimana harus memahami hadis tersebut. Beberapa ulama menganggap hadis tersebut harus
diinterpretasikan secara kontekstual, mengingat kondisi masyarakat pada masa itu yang masih dipengaruhi oleh
tradisi dan budaya yang tidak selalu adil terhadap perempuan (Pristiwiyanto, 2011). Sementara itu, ulama lainnya
menganggap bahwa hadis-hadis tersebut harus diinterpretasikan secara harfiah, karena dianggap sebagai
petunjuk dari Nabi Muhammad SAW tentang bagaimana menerapkan hukum Islam dengan benar. Dalam hal ini,
penting untuk memahami bahwa hadis-hadis yang berkaitan dengan kesetaraan gender dalam hukum Islam
sering kali kontekstual dan dapat memiliki banyak interpretasi yang berbeda. Oleh karena itu, dalam memahami
hukum Islam tentang kesetaraan gender dari perspektif hadis, penting untuk mempertimbangkan konteks sejarah
dan sosial pada saat hadis tersebut diucapkan, serta mengambil pendekatan yang hati-hati dan responsif
terhadap kondisi masyarakat saat ini (Mitamimah, 2021).
Secara keseluruhan, perspektif hukum Islam tentang kesetaraan gender dalam konteks hadis cukup
kompleks dan memerlukan pemahaman yang hati-hati dan terinformasi. Sebagai sumber hukum Islam yang
penting, hadis dapat memberikan pandangan yang bermanfaat tentang prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam
Islam, tetapi juga memerlukan interpretasi yang tepat dan hati-hati agar tidak menimbulkan ketidakadilan terhadap
perempuan.
perempuan dan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan, pandangan yang berbeda terkait dengan bagaimana
prinsip kesetaraan gender harus diterapkan dalam praktik kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penting untuk
memahami keragaman pandangan di antara para ulama dan mempertimbangkan konteks sejarah dan sosial
yang berlaku ketika menerapkan prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam praktik kehidupan sehari-hari (Umar,
2001). Selain itu, penting juga untuk memperhatikan bahwa ijma’ tidak selalu mutlak dan tetap dapat dikaji dan
dipertimbangkan kembali dalam konteks perubahan sosial dan budaya yang terjadi di masyarakat. Hal ini
terutama berlaku dalam konteks kesetaraan gender, di mana perubahan sosial dan budaya dapat mempengaruhi
pandangan dan praktik masyarakat terhadap isu-isu yang berkaitan dengan hak-hak perempuan dan laki-laki
(Basri, 2019). Oleh karena itu, para ulama dan pakar hukum Islam perlu terus mengkaji dan memperbarui
pandangan mereka tentang kesetaraan gender dalam konteks ijma’, dengan mempertimbangkan konteks
perubahan sosial dan budaya yang terjadi di masyarakat. Hal ini dapat dilakukan melalui dialog dan diskusi yang
terbuka dan konstruktif, serta dengan mengacu pada prinsip-prinsip dasar Islam yang menghargai martabat
manusia dan keadilan sosial (Tanwir, 2018).
Islam menegaskan pentingnya memberikan hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki dalam berbagai
aspek kehidupan, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengetahuan, hak untuk bekerja dan
berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik, dan hak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Namun,
pemahaman dan praktik masyarakat dalam menerapkan prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam praktik
kehidupan sehari-hari dapat bervariasi tergantung pada faktor-faktor seperti nilai-nilai dan norma-norma budaya
yang berlaku di masyarakat (Suhra, 2018). Oleh karena itu, penting untuk memperkuat pendidikan dan
pemahaman tentang prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam masyarakat Muslim, sehingga dapat meningkatkan
kesadaran dan pemahaman tentang hak-hak perempuan dan laki-laki, serta meningkatkan kesetaraan dan
keadilan gender dalam masyarakat. Selain itu, diperlukan pula upaya-upaya untuk memperkuat perlindungan
hukum bagi perempuan dan laki-laki, serta memperkuat partisipasi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan,
termasuk dalam bidang politik dan ekonomi (Musyahid, 2013). Dalam konteks perubahan sosial dan budaya yang
terjadi di masyarakat Muslim, diperlukan pula upaya-upaya untuk terus mengkaji dan memperbarui pandangan
dan praktik yang berkaitan dengan kesetaraan gender dalam Islam. Hal ini dapat dilakukan melalui dialog dan
diskusi yang terbuka dan konstruktif, serta dengan mengacu pada prinsip-prinsip dasar Islam yang menghargai
martabat manusia dan keadilan sosial. Dalam menjaga kesetaraan gender dalam masyarakat Muslim, diperlukan
pula upaya-upaya untuk mengatasi berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan yang terjadi terhadap
perempuan. Diskriminasi gender dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti diskriminasi dalam akses
pendidikan dan pekerjaan, diskriminasi dalam hukum keluarga, dan diskriminasi dalam pengambilan keputusan
politik dan ekonomi (Siri, 2014).
Pemerintah dan masyarakat Muslim perlu melakukan upaya-upaya untuk mengatasi diskriminasi
gender dalam masyarakat, termasuk melalui reformasi hukum keluarga yang memperkuat hak-hak
perempuan dalam bidang pernikahan, perceraian, dan waris. Selain itu, diperlukan pula upaya-upaya untuk
memperkuat perlindungan hukum bagi perempuan dari berbagai bentuk kekerasan, seperti kekerasan dalam
rumah tangga, pelecehan seksual, dan perdagangan manusia. Dalam mengatasi berbagai bentuk
diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, penting juga untuk memperkuat partisipasi perempuan
dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam bidang politik dan ekonomi. Partisipasi perempuan dalam
kehidupan politik dapat memperkuat representasi dan pengambilan keputusan yang inklusif, serta
memperkuat pengawasan terhadap tindakan-tindakan diskriminatif dan kekerasan terhadap perempuan.
Selain itu, partisipasi perempuan dalam kehidupan ekonomi dapat memperkuat akses perempuan terhadap
sumber daya dan kesempatan ekonomi, serta memperkuat pengambilan keputusan yang berpihak pada
kesetaraan dan keadilan gender (Muhtadin, 2019).
Penting juga untuk memperkuat kajian dan penelitian terhadap ajaran Islam dan praktik kehidupan
masyarakat Muslim, dengan mempertimbangkan konteks sosial dan budaya yang berbeda-beda di berbagai
negara dan daerah. Hal ini dapat dilakukan melalui pendekatan yang inklusif dan berbasis pada dialog dan
diskusi yang terbuka dan konstruktif, serta dengan memperkuat partisipasi perempuan dalam penelitian dan
pengembangan praktik kehidupan Islam yang inklusif dan berpihak pada kesetaraan dan keadilan gender.
Kesetaraan gender merupakan prinsip dasar dalam Islam yang menghargai martabat manusia dan keadilan
sosial. Dalam mengaktualisasikan prinsip ini, diperlukan upaya-upaya yang terus-menerus dalam
meningkatkan pemahaman dan praktik masyarakat Muslim dalam menghargai hak-hak perempuan dan laki-
laki, serta mengatasi berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan yang terjadi terhadap perempuan. Hal ini
dapat dilakukan melalui pendekatan yang inklusif dan berbasis pada dialog dan diskusi yang terbuka dan
konstruktif, serta dengan memperkuat partisipasi perempuan dalam berbagai aspek kehidup An masyarakat
Muslim. Kesetaraan gender dalam Islam bukanlah sebuah tuntutan yang baru, melainkan merupakan ajaran
dasar Islam yang telah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Dalam konteks al-Quran, kesetaraan
gender tercermin dalam berbagai ayat yang menekankan pentingnya perlakuan yang adil terhadap
perempuan dan laki-laki, serta penghargaan terhadap keberagaman gender dalam menciptakan kesatuan
dan keharmonisan dalam masyarakat (Pristiwiyanto, 2011).
Dalam konteks ijma’, kesetaraan gender tercermin dalam kesepakatan masyarakat Muslim yang telah
diperoleh melalui proses konsultasi dan diskusi yang terbuka. Kesepakatan ini tercermin dalam berbagai
fatwa dan keputusan-keputusan ulama yang menekankan pentingnya menghormati hak-hak perempuan
dalam berbagai aspek kehidupan, serta mengatasi berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap
perempuan (Martínez-Ariño, 2019).
Namun demikian, upaya-upaya untuk menjaga dan meningkatkan kesetaraan gender dalam
masyarakat Muslim masih menghadapi berbagai tantangan dan kendala, baik dalam konteks pemahaman
dan praktik masyarakat, maupun dalam konteks hukum dan kebijakan negara. Berbagai bentuk diskriminasi
dan kekerasan masih terjadi terhadap perempuan, seperti diskriminasi dalam akses pendidikan dan
pekerjaan, diskriminasi dalam hukum keluarga, dan kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, masih
terdapat pandangan-pandangan yang keliru terhadap ajaran Islam yang menyebabkan munculnya praktik-
praktik yang mendiskriminasi perempuan. Untuk mengatasi tantangan dan kendala tersebut, diperlukan
upaya-upaya yang komprehensif dan terpadu, meliputi upaya-upaya untuk memperkuat pemahaman dan
praktik masyarakat yang inklusif dan berpihak pada kesetaraan dan keadilan gender, serta upaya-upaya
untuk memperkuat hukum dan kebijakan yang berpihak pada hak-hak perempuan dan mendorong partisipasi
perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Selain itu, diperlukan pula upaya-upaya untuk meningkatkan
penelitian dan pengembangan praktik kehidupan Islam yang inklusif dan berpihak pada kesetaraan dan
keadilan gender (Luthfia & Chodijah, 2021).
3. KESIMPULAN
Dalam konteks al-Quran, hukum Islam menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak dan
kewajiban yang sama di hadapan Allah SWT. Namun, penafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran yang berkaitan
dengan kesetaraan gender masih menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Dalam konteks hadis,
terdapat banyak hadis yang menegaskan pentingnya menghargai hak-hak perempuan dan menghindari
diskriminasi gender. Namun, masih terdapat hadis-hadis yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda
terkait dengan kesetaraan gender. Dalam konteks ijma’, ulama sepakat bahwa perempuan memiliki hak yang
sama dengan laki-laki, termasuk dalam hal mendapatkan pendidikan dan berkarier. Namun, terdapat perbedaan
pendapat di kalangan ulama terkait dengan pengambilan keputusan dalam masalah-masalah yang berkaitan
dengan kesetaraan gender. Dalam konteks qiyas, penggunaannya dapat memperkuat argumen kesetaraan
gender dalam hukum Islam, tetapi juga dapat menimbulkan kontroversi di kalangan ulama. Oleh karena itu,
penting untuk memahami prinsip-prinsip hukum Islam secara mendalam untuk menghindari perbedaan pendapat
yang berlebihan. Secara keseluruhan, kesetaraan gender merupakan nilai fundamental dalam hukum Islam. Oleh
karena itu, penting bagi para ulama dan masyarakat Muslim untuk terus memperjuangkan hak-hak perempuan
dan mendorong terciptanya masyarakat yang adil dan merata bagi semua.
Daftar Pustaka
Ahmad, T. (2007). Islam Dan Gerakan Kesetaraan Gender Di Indonesia. Universum.
Ahmadi, A. D. (2013). Kesetaraan Gender Dalam Perspektif ISLAM DAN IMPLEMENKASINYA DALAM HUKUM
ISLAM. Jurnal Universitas Darussalam Gontor, 13(2), 373–394.
Alomair, N., Alageel, S., Davies, N., & Bailey, J. V. (2022). Sexual and reproductive health knowledge, perceptions
and experiences of women in Saudi Arabia: a qualitative study. Ethnicity & Health, 27(6), 1310–1328.
Amin, J. (2019). Permasalahan Gender dalam Perspektif Islam. BUANA GENDER : Jurnal Studi Gender Dan
Anak, 4(1), 1–15. https://doi.org/10.22515/bg.v4i1.1857
Asmaret, D. (2018). KAJIAN TENTANG GENDER PERSPEKTIF ISLAM (Studi Analisis Tentang Posisi
Perempuan dan Laki-laki dalam Islam). JURIS (Jurnal Ilmiah Syariah), 17(2), 259.
https://doi.org/10.31958/juris.v17i2.1164
Azis, A. (2003). Gender, Islam dan Hak Asasi Manusia. Millah, 2(2), 282–291.
https://doi.org/10.20885/millah.vol2.iss2.art10
Basri, R. (2019). Gender dalam Perspektif Hadis Maudhu’i. Al-Maiyyah : Media Transformasi Gender Dalam
Paradigma Sosial Keagamaan, 12(1), 91–112. https://doi.org/10.35905/almaiyyah.v12i1.685
Dwi Ratnasari. (2018). Gender Dalam Perspektif Alqur’an. Humanika, 1(1), 1–15.
Hakak, S., Kamsin, A., Zada Khan, W., Zakari, A., Imran, M., bin Ahmad, K., & Amin Gilkar, G. (2022). Digital
Hadith authentication: Recent advances, open challenges, and future directions. Transactions on Emerging
Telecommunications Technologies, 33(6), e3977.
Luthfia, A. D., & Chodijah, S. (2021). Keswtaraan Gender dalam Rumah Tangga Perspektif Al-Qur’an. Jurnal of
Society and Development, 1(1), 23–32.
Martínez-Ariño, J. (2019). Governing Islam in French cities: defining ‘acceptable’public religiosity through
municipal consultative bodies. Religion, State & Society, 47(4–5), 423–439.
Mitamimah, A. (2021). Kesetaraan Kedudukan Perempuan dan Laki-laki dalam Perspektif Hadis. Jurnal Riset
Agama, 1(1), 29–44. https://doi.org/10.15575/jra.v1i1.14254
Muhammad, H. (2001). Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. LKiS.
Muhtadin, A. M. (2019). Hadits Misoginis Perspektif Gender Dan Feminisme. At-Tibyan, 2(2), 16–34.
https://doi.org/10.30631/atb.v2i2.1
Musyahid, A. (2013). Kesetaraan Gender Perspektif Filsafat Hukum Islam Achmad Musyahid 6LSDNDOHEEL· |
Volume 1 Nomor 1 Mei. 1, 173.
Prastowo, A. (2011). Metode Penelitian Kualitatif. Ar-Ruzz Media.
Pristiwiyanto. (2011). KESETARAAN GENDER DALAM PERSPEKTIF ISLAM (Meretas Ketidakadilan Politik
Terhadap Kemanusiaan Manusia) Pristiwiyanto . 138–153.
Rabaan, H., Young, A. L., & Dombrowski, L. (2021). Daughters of men: Saudi women’s sociotechnical agency
practices in addressing domestic abuse. Proceedings of the ACM on Human-Computer Interaction,
4(CSCW3), 1–31.
Ratnasari, D. (2019). Gender Dalam Perspektif Alqur’an. Humanika, 18(1), 1–15.
https://doi.org/10.21831/hum.v18i1.23125
Siri, H. (2014). GENDER DALAM PERSPEKTIF ISLAM Hasnani Siri Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Parepare. Jurnal Al-Maiyyah, 7(2), 232–251.
Suhra, S. (2018). Kesetaraan Gender Dalam Prespektif Al-Quran Dan Implilasi Terhadap Hukum Islam. Jurnal
Al-Ulum, 13(2), 373–394.
Supardin, S. (2017). Kajian Gender Perspektif Hadis Nabi. Jurnal Ushuluddin: Media Dialog Pemikiran Islam,
17(1), 48–63.
Suprapti Muzani Maslamah dan Suprapti Muzani. (2014). Konsep-konsep Gender menurut Perspektif Islam.
9(April), 275–286.
Tanwir, T. (2018). Kajian Tentang Eksistensi Gender Dalam Perspektif Islam. Al-MAIYYAH : Media Transformasi
Gender Dalam Paradigma Sosial Keagamaan, 10(2), 234–262.
https://doi.org/10.35905/almaiyyah.v10i2.505
Umar, N. (2001). Argumen Kesetaraan Gender Perpekstif Al-Qur’an Karya Prof. DR. Nasaruddin Umar, MA.
Paramadina, 1–14.
Wahyudani, Z., Tarantang, J., Nurrohman, N., & Astarudin, T. (2023). Family Law Reform in Morocco. Al-Qadha:
Jurnal Hukum Islam Dan Perundang-Undangan, 10(1), 51–64.