You are on page 1of 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama Islam adalah agama yang sempurna terlebih-lebih dalam bidang hukum, setiap
perbuatan umat Islam selalu dijaga oleh hukum yang mengaturnya. Sehingga umat Islam tidak
sembarangan dalam bertindak apalagi sesuatu itu adalah hal yang baru dan tidak ada
ditemukan dalam al-Quran dan Hadis tentang hukumnya. Namun melihat kondisi kehidupan
sekarang jauh beda dengan kehidupan zaman dahulu yang belum tersentuh oleh tekhnologi,
sehingga banyak sekarang ini masalah-masalah ataupun sesuatu yang baru yang umat sendiri
tidak tau apa hukumnya. Oleh karena itu para ulama sebagai orang yang ahli dalam Islam
membuat metode-metode dalam menetapkan suatu hukum yang tidak ada ketentuannya dalam
al-Quran maupun dalam Hadis nabi saw.
Beberapa metode yang telah para ulama sepakati ada yang dianggap lemah
kehujjahannya namun tidak sedikit pula yang dianggap kuat dan bisa diterapkan dalam
penetapan hukum, seperti maslahah mursalah, qiyas, ijma’ dan lain sebagainyai. Dan khusus
berbicara sad adzzari’ah sebagai metode dalam penetapan hukum para ulama berbeda
pendapat dalam hal ini ada yang mengakuinya dan ada juga yang tidak mengakui
kehujjahannya. Oleh karena itu penting untuk kita bahas bagaimana sad adzzari’ah itu dalam
mentapkan suatu hukum.
B. Rumusan Masalah
Dalam tulisan ini penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa definisi sad adzzari’ah?
2. Apa dasar hukum sad adzzari’ah?
3. Apa macam-macam sad adzzari’ah?
4. Bagaimana kehujjahan sad adzzari’ah?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tulisan ini dibuat bertujuan untuk :
1. Mengetahui apa itu sad adzzari’ah.
2. Mengetahui dasar hukum sad dzari’ah.
3. Mengetahui macam-macam sad adzzari’ah.
4. Mengetahui kehujjahan sad adzzari’ah sebagai dalil syara’.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Sadd Adz-Zari’ah


Kata sadd menurut bahasa berarti “Menutup” dan kata adz-zari’ah berarti “wahsilah”
atau jalan ke suatu tujuan. Dengan demikian sadd az-zari’ah secara bahasa berarti menutup
jalan kepada suatu tujuan. Dan secarah istilah sadd adz-zari’ah adalah memotong jalan
kerusakan sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas
dari unsur kerusakan, namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu
kerusakan, maka kita harus mencegah perbuatan tersebut.
Imam asy-Satibi mendefenisikan sadd adz-zari’ah itu adalah melakukan suatu
pekerjaan yang semula mengandung suatu kemaslahatan untuk menuju kesuatu
kemafsadatan.1 Maksudnya adalah seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya
dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan tetapi suatu pekerjaan yang mengandung
kemaslahatan tadi akan berakhir pada suatau kemafsadatan.
Dan menurut istilah ushul fiqih sadd adz-zari’ah itu “ ‫ا سد‬8‫ةإلى الف‬8‫ل المؤدي‬8‫”انه من باب منع الوسا ئ‬
berarti menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan. 2
Jadi sadd adz-zari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu
yang pada dasarnya diperbolehkan, namun kemudian dilarang karena jika perbuatan itu
dilakukan meskipun diperbolehkan akan menjadi sesuatu yang dilarang karena membawa
kepada mafsadat.
B. Dasar Hukum Sadd Adz-Zari’ah
Adapun dasar hukum sadd adz-zari’ah terdapat dalam al-Quran, Hadis dan kaidah
fikih sebagai berikut :3
1. Al-Quran

Dalil sadd adz-zari’ah di dalam al-Quran diantaranya terdapat dalam surah al-Baqarah
ayat 104, al-An’am ayat 108 dan an-Nur ayat 31.

         


   

Artinya :

1
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 161.
2
Satria Efendi, Ushul Fiqih (Jakarta : Kencana, 2005), hal. 172.
3
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2 (Jakarta : Kencana Prenada Group, 2008), hal. 399.
2
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina",
tetapi Katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". dan bagi orang-orang yang kafir siksaan
yang pedih. (Q.S. Al-Baqarah : 104).4

Pada surah al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk pelarangan
terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif yang akan
terjadi. Kata raa ‘ina (‫ ) َرا ِعنَا‬berarti: “Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para
sahabat menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini
dengan nada mengejek dan menghina Rasulullah SAW. Mereka menggunakannya dengan
maksud kata raa’inan (‫)ر ِعنًا‬
َ sebagai bentuk isim fail dari masdar kata ru’unah (‫ )رُ ُعوْ نَة‬yang
berarti bodoh atau tolol. Karena itulah, Allah menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti
kata raa’ina yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurna yang juga berarti sama dengan
raa’ina. Dari latar belakang dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan
dasar dari sadd adz-dzari’ah.

             
          
 

Artinya :

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah
Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan
merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan. (Q.S. al-An’am : 108).5

Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah adz-dzari’ah
yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan.
Sesuai dengan teori psikologi, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas
mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum
balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan
tindakan preventif (sadd adz-dzari’ah).

4
Kementrian Agama RI, Al-Quran Tajwid dan Terjemahnya Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan
Hadist Shahih (Bandung : Syamil Quran, 2010), hal. 16.
5
Ibid, 141.
3
            
    
Artinya :
Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung. (Q.S. an-Nur : 31).
2. Sunah

َّ ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ِإ َّن ِم ْن َأ ْكبَ ِر الْ َكبَاِئ ِر َأ ْن َيل َْع َن‬
‫الر ُج ُل‬ ِ ُ ‫ال رس‬
َ ‫ول اهلل‬ ُ َ َ َ‫ال ق‬
ِ ‫َعن َع ْب ِد اللَّ ِه بْ ِن َعم ٍرو ر‬
َ َ‫ض َي اهللُ َع ْن ُه َما ق‬ َ ْ ْ

ُ‫ب َُّأمه‬
ُّ ‫س‬
ُ َ‫ب َأبَاهُ َوي‬ ُ َ‫الر ُج ِل َفي‬
ُّ ‫س‬ َّ ‫الر ُج ُل َأبَا‬
َّ ‫ب‬ُّ ‫س‬ َ َ‫الر ُج ُل َوالِ َديْ ِه ق‬
ُ َ‫ال ي‬ َّ ‫ف َيل َْع ُن‬ ِ ‫ول‬
َ ‫اهلل َو َك ْي‬ َ ‫يل يَا َر ُس‬ ِِ ِ
َ ‫َوال َديْه ق‬
Dari Abdullah bin Amr r.a, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk di antara dosa
besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana
caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki
mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki
ayah dan ibu tua lelaki tersebut”.
Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi konsep
sadd adz-dzari’ah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih dari Spanyol itu,
dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk penetapan hukum dalam konteks sadd
adz-dzari’ah.6
3. Kaidah Fikih

Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd adz-dzari’ah
adalah:

.‫صالِ ِح‬ ِ ‫اس ِد َْأولَى ِم ْن َجل‬


َ ‫ْب ال َْم‬
ِ ‫َدرء الْم َف‬
َ ُْ

“Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (maslahah)”.

Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan di
bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena itulah, sadd adz-
dzari’ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd adz-
dzari’ah terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari.

6
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2, hal. 400.
4
C. Macam-Macam Sadd Az-Zari’ah

Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan adz-
dzari’ah menjadi empat macam, yaitu:7

1. Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan


(mafsadah). Hal ini misalnya mengonsumsi minuman keras yang bisa
mengakibatkan mabuk dan perbuatan zina yang menimbulkan ketidakjelasan asal
usul keturunan.
2. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan (mustahab),
namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu keburukan
(mafsadah). Misalnya menikahi perempuan yang sudah ditalak tiga agar sang
perempuan boleh dikawini. Contoh lain adalah melakukan jual beli dengan cara
tertentu yang mengakibatkan muncul unsur riba.
3. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja untuk
menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu
tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang kemungkinan
terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan (maslahah) yang diraih.
Contohnya adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-orang
musyrik.
4. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa
menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar
akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, mengkritik pemimpin yang lalim.

Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi membagi
adz-dzari’ah menjadi tiga macam, yaitu:8

1. Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan
atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam
anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar, atau hidup
bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan tetangga.
2. Sesuatu yang disepakati untuk dilarang. Seperti mencaci maki berhala bagi orang
yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan

7
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muqi’in (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), hal. 104.

8
Totok Jumantoro, Kamus Ushul Fiqih (Jakarta : Amzah, 2000), hal. 295.
5
membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan
menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut
biasa dilewati dan akan mencelakakan orang.
3. Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti
memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina, dan jual beli
berjangka karena khawatir ada unsur riba.
D. Kehujjahan Sadd Adz-Zariah

Tidak semua ulama sepakat dengan sadd al-dzarỉ‘ah sebagai metode dalam
menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan
dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2) yang tidak menerima
sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.

Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan


hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di kalangan Mazhab Maliki
bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka
sehingga bisa diterapkan lebih luas.

Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam


menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain, kelompok
ini menolak sadd al-dzarỉ‘ah sebagai metode istinbath pada kasus tertentu, namun
menggunakannya pada kasus-kasus yang lain. Contoh kasus penggunaan sadd adz-dzari’ah
oleh mazhab Hanafi adalah tentang wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati
suami. Si wanita dilarang untuk berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan
pakaian yang mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan menarik lelaki. Padahal ia dalam
keadaan tidak boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd adz-dzari’ah agar
tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu pernikahan perempuan dalam keadaan iddah.
Contoh kasus Imam Syafii menggunakan sadd adz-dzariah, adalah ketika beliau melarang
seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut beliau akan
menjadi sarana (dzari’ah) kepada tindakan mencegah memperoleh sesuatu yang dihalalkan
oleh Allah dan juga dzariah kepada tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh
Allah. Padahal air adalah rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.9

9
Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubab fi Syarh al-Kitab (Beirut: Dar al-Ma’rifah,
1997), hal. 465.
6
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan
hukum, adalah mazhab Zhahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan
hukum berdasarkan makna tekstual. Sementara sadd al-dzarỉ‘ah adalah hasil penalaran
terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai
tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd al-dzarỉ‘ah adalah
semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nashs ecara langsung. Contoh kasus
penolakan kalangan az-Zhahiri dalam penggunaan sadd adz-dzariah adalah ketika Ibnu Hazm
begitu keras menentang ulama Hanafi dan Maliki yang mengharamkan perkawinan bagi lelaki
yang sedang dalam keadaan sakit keras hingga dikhawatirkan meninggal. Bagi kalangan
Hanafi dan Maliki, perkawinan itu akan bisa menjadi jalan (dzari’ah) bagi wanita untuk
sekedar mendapatkan warisan dan menghalangi ahli waris lain yang lebih berhak. Namun
bagi Ibnu Hazm, pelarangan menikah itu jelas-jelas mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas
halal. Betapapun menikah dan mendapatkan warisan karena hubungan perkawinan adalah
sesuatu yang halal.10

10
Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm azh-Zhahiri, al-Mahalli bi al-Atsar (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
2003, juz 12), hal. 378.
7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah membahas sadd adz-zari’ah diatas maka dapat penulis membuat kesimpulan
sebagai berikut :
1. Jadi sadd adz-zari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan
tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan, namun kemudian dilarang karena jika
perbuatan itu dilakukan meskipun diperbolehkan akan menjadi sesuatu yang
dilarang karena membawa kepada mafsadat.
2. Dasar hukum sadd adz-zari’ah terdapat dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 104,
al-An’am ayat 108 dan an-Nur ayat 31, hadis nabi dan juga dalam kaidah fikih
3. Macam-macam sadd adz-zari’ah diantaranya yaitu : pertama, sesuatu yang telah
disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau sarana terjadinya
suatu perbuatan yang diharamkan. Kedua, sesuatu yang disepakati untuk dilarang.
Ketiga, sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan.
4. Secara umum berbagai pandangan ulama mengenai kehujjahan sadd adz-zari’ah
diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya
(mazhab Maliki dan Hambali). 2) yang tidak menerima sepenuhnya (mazhab
Hanafi dan Syafi’i) dan ke- 3) yang menolak sepenuhnya (mazhab Zhahiri).

8
DAFTAR PUSTAKA

Agama RI, Kementrian, Al-Quran Tajwid dan Terjemahnya Dilengkapi dengan Asbabun
Nuzul dan Hadist Shahih, Bandung : Syamil Quran, 2010.
Efendi , Satria, Ushul Fiqih, Jakarta : Kencana, 2005
ad-Dimasyqi al-Hanafi, Abd al-Ghani al-Ghanimi, al-Lubab fi Syarh al-Kitab, Beirut: Dar al-
Ma’rifah, 1997
Haroen , Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997
Jumantoro, Totok, Kamus Ushul Fiqih, Jakarta : Amzah, 2000

al-Jauziyyah, Ibn al-Qayyim, A’lam al-Muqi’in, Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996

Syarifudin , Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta : Kencana Prenada Group, 2008
azh-Zhahiri, Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, al-Mahalli bi al-Atsar, Beirut : Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 2003

You might also like