You are on page 1of 237

.

'N '
í? % a j£ la .m .e tm u tj< in à
'a . ff. -. y- t,

SRIWIDJAJA

ft

P E R I T ET VKAN ARNOLDUS ENDE - FI,ORES N .T X


r, &
* V

S R IW ID J A J A
S R I W I D J A J A

Prof. Dr. Slametmuljana

Pertjetakan Arnoldus Endc-Flores Nusa Tenggara Timur

K o le k s i P e r p u s t a k a a n
FAKULTAS
V _____ HUKUM U.I.
,
■r r rpustakaan ..
FAKt'LTAS H U K U M U .l.

T a n g g a l 1 A «

N o m o r S i l : 0 , A t y .

^ A sal D uku ........... . .. .


k ■ -V • ■
■ •
i .' 'l "
I S I N J A

Kata pengantar

I. Ichtisar penulisan sedjarah Sriwidjaja '3

I-ts’ing: Nan-hai-chi-kuei-nai-fa-ch'uan, Ta-t’ang-si-yu-ku-fa-kao-


sêng-ch'uan; Kern: Inscriptie van Kota Kapur (eiland Bangka;
608 çaka); Groeneveldt: Notes 011 the Malay Archipelago and M a ­
lacca, compiled from Chinese sources; Blagden: The empire of the
Maharaja, King of the Mountains and Lord of the Isles; Coedès:
Le royaume de Çrivijaya; Krom: De Sumatraansche periode der
Javaansche Geschiedenis; Stutterheim: A Javanese period in Su­
matran history; Krom: Hindoe-Javaansche Geschiedenis; Coedès:
Les inscriptions malaises de Çrivijaya; Vogel: Het Koninkrijk Çri­
vijaya; Ferrand: L ’empire Sumatranais de Çrivijaya; Ivans: A n in­
scribed seal from Perak; Nilakanta Sastri; A note on an inscribed
seal from Perak; Chhabra: Expansion of Indo-Aryan culture during
Pallava rule, as evidenced by inscriptions; Majumdar: Let rois Çai-
lendra de Suvarnadvipa; Bosch: De inscriptie van Ligor; Moens:
Çrivijaya, Yava en Katâha; Stutterheim: Verslag over de gevonden
inscripties; Roland Braddell: A n introduction to the study of ancient
times in the M alay Peninsula and the Straits of Malacca; Coedès:
Les états Hindouisés d’Indo-Chine et d’Indonésie; Nilakanta Sas-
tri: History of Çrivijaya; van Naerssen: The Çailendra inter­
regnum; Coedès: Le Çailendra ,,tueur des héros ennemis” ; De
Casparis: Prasasti Indonesia I; II; Bosch: Çrivijaya, de Çailendra-
en de Sanjayavamça; Purbatjaraka: Riwajat Indonesia I; Hiranan-
da Sastri: The Nalanda copperplate of Devapaladeva; Bosch: Een
oorkonde van het groote klooster te Nalanda; Sukmono: Lokalisasi
pusat keradjaan Sriwidjaja; Moh. Yamin: Penjelidikan sedjarah
tentang negara Sriwidjaja dan radjakula Sailendra dalam kerangka
ketatanegaraan Indonesia; Tan-yeok-seong: Piagam Kanton; Brian
Harrison: Early Indianized States, Funan and Srivijaya; Hall: A
history of South-East Asia.

5
halaman

II. Pendidikan I'ts'ing 39

Pendidikan 39
Perdjalanan ke India t 43
Pernjataan I-ts’ing 47

lil. Lokalisasi tempat-tempat dalam perdjalanan l-tsing 52

Lo-jeng-kuo 53
Ka-cha 54
Mo-lo-yeu 57
Shih-li-fo-shih 61
M o - h o ' S i n 6 5

Ho-ling 69
P ’o-li 76
Tan-tan 79
P ’en-p'en &1
Fo-shih-pU'lo
A-shan ^4
Lang-ya-hsiu ^4
To-ho-lo-po-ti ^7

IV . Pusat keradjaan Sriwidjaja 91

Lokalisasi ' ' 91


Keradjaan Melaju dan Sriwidjaja lio
Piagam Kedukan Bukit 113
Pusat keradjaan Melaju 120
Piagam Talang Tuwo 123
Gelar Dapunta Hyang 126
Piagam persumpahan 128

V. Sriwidjaja dan Semenandjung v 135

Piagam Ligor A 135


Piagam Ligor B 137

V I. Radjakula Sailendra di D jaw a Tengah 147

Prasasti Kedu 147


Prasasti Tjanggal dan Sandjaja 149
Prasasti Kalasan dan Rakai Panangkaran 152

6
halaman

Prasasti Ratu Baka dan Dharmatungga X57


Prasasti Kelurak dan Dharanindra 158
Prasasti Karang Tengah dengan Samaratungga £59
Prasasti Sri Kahulunan dan Pramodawardhani 163
Prasasti Gandasuli dan Dang Karayan Partapan 172

V II. Sriwidjaja dibawah kekuasaan Sailendra 179

Prasasti Nalanda dan Balaputra 17 9


Prasasti Balaputra - Djatiningrat 185
Persoalan Sri Dharmasetu 193

V III. Keradjaati San~fo~ts’i 197

Berita Tionghwa 19 7
Berita India 200
Lokalisasi San-fo-ts'i 202
Negara-negara bawahan San-fo-ts’i 207
Hubungan antara Sriwidjaja dan India 213
Hubungan antara Sriwidjaja dan Tiongkok 217

IX . Runtuhnja keiadjaan Sriwidjaja 223

Kekuasaan di Semenandjung 223


Kekuasaan di Sumatera 229

X. Karja utama dan singkatan 235

7
KATA PENGANTAR

K e sad aran nasio nal b an g kit kem bali ak ib at tim b u ln ja kem erdekaan
dip e lb ag ai negara A s ia . D e n g a n sendirinja p e ng etah uan sed ja t a h nasio­
n a l m e n d ap at perhatian para p e nd u d u k negara-negara ja n g bersang­
kutan lebih b a n jak d a rip a d a w aktu ja n g sud ah silam .
S e d ja ra h keradjaan S riw id ja ja a d alah sedjarah salah satu negara A s ia
T enggara, ja n g m enguasai S elat M a la k a p ad a za m a n ja n g sud ah lam a
lam pau. S elat M a la k a sebagai satu-satunja d ja la n lalu-hntas pe lajaran
dari In d ia ke T iongkok d $ n kebalikannja, m em egang p e ranan pe nting
dala m sedjarah. A s ia T enggara. O le h karena itu sedjarah k e ra d ja a n
S riw id ja ja p a d a hak ek atn ja a d a la h bagian pe nting d a ri sedjarah lam a
A s ia T enggara. S e d jarah S riw id ja ja m e n jan g k u t h u b u n g a n a n ta ra
bangsa-bangsa A s ia , terutam a ja n g m en g g u nak an S e la t M a la k a sebagai
d ja la n lalu-lintas. P e ran an S riw id ja ja tidak d a p a t d ia b a ik a n d a la m
pengetahuan sedjarah A s ia T e n g g a ia lam a.
K e ra d ja a n S riw id ja ja lam a terpendam dalam abu sedjarah, tan pa
diketahui oleh s e o r a n g p u n . B aru sem endjak tah u n 1918 k e rad jaan S r iw i­
d ja ja tim bul lagi dalam sedjarah berkat penem uan P ro f. G eorge Coedes.
S ed jak itu nam a S riw id ja ja m endjadi sang at m ashur. P e n je lid ik an lebih
la n d ju t m asih terus-menerus d ila k u k a n u ntu k m entjari pe ndjelasan m e­
ngenai hal-hal ja n g masih kabur. P enem uan k eradjaan S riw id ja ja ini
m endapat sam butan ja n g h ang at sekali dari para sard jan a d a la m b id a n g
pengetahuan sedjarah.
S u d ah selajaknja bangsa A sia T e n g g a ia um u m nja, bangsa M a la ja
dan Indonesia chususnja tidak lagi puas de ng an han ja m endeng ar n a m a -
nja sadja. M ereka ing in tahu bag aim ana seluk-beluk ja n g sebenarnja.
Itu la h sebabnja m aka hasil pe njelidikan para sard jana d alam b id a n g
sedjarah S riw id ja ja itu d ju g a d ih im p u n d a n disiarkan d a la m bahasa
M e la ju /In d o n e s ia dalam bentuk seperti berikut.
D is a m p in g m enghim pun d a n m engutip pendapat pai a sard jana ja n g
telah m emberikan sum bangan dalam rekonstruksi sedjarah S riw id ja ja ,
penjusun tidak lupa m engem ukakan pelbagai persoalan, ja n g masih
m enghendaki pem etjahan. D ju s tru persoalan-persoalan itu lah ja n g ter­
utam a m endapat perhatiannja. U su l pe m e tjah annja ada k a la n ja sam a
dengan pe ndapat lam a ja n g sudah pernah dikem ukakan, ada k alan ja
berbeda d an m erupakan buah pik iran baru.
S um ber sedjarah ja n g d ig u n a k a n sam a sadja d e ng an sumber sedjarah
ja n g telah ditelaah sebelum nja d alam penelitian sedjarah S riw id ja ja .
-H a s il ,--------------------------
------------- penelitian jja------ n ag (----------------
penting-pentingpuna ............... -------------- setjara
J— singkat «d- iu
n u fra
c H ik
/ tca
t Tn
T da-
C lc

lain fatsal ichtisar penulisan sedjarah S riw id ja ja , ja n g tnenjebut pelbagai


karja para sardjana dalam bid ang sedjarah S riw id ja ja . T a n p a mengu-

9
tangi djasa para sardjana jang telah menjumbungkan pendapat dalam
penjusunan kembali sedjavah Sriwidjaja, uraian ini tidak diperberat
dengan banjak kutipan dan tjatatan. Dengan djalan demikian uraian
mudah dibatja dan pikiran dapat dipusatkan pada persoalan jang di­
telaah.
Dalam penulisan sedjarah Sriividjaja kita harus berusaha untuk hidup
dan berpikir dalam alam abad ke 7 sampai abad ke 13 dan berusaha me­
mahami makna peristiwa sedjarah dalam rangka zamannja. Suasana
zaman Sriwidjaja jang telah lampau berabad-abad hanja dapat kita
bajangkan sadja dan kadang-kadang pembajangan suasana itu masih
bersifat raba-raba. Peristiwa sedjarah jang ingin kita pahami, sangat
kabur, karena sumber sedjarah memberitakannja tidak djelas. Sebagian
besar dari peristiwa-peristiwa sedjarah Sriwidjaja jang kita djumpai,
diberitakan oleh sumber sedjarah asing, terutama sumber berita Tiong-
hwa dan prasasti-prasasti asli dari zaman Sriwidjaja jang ditulis dalam
bahasa Sriwidjaja, Sansekerta dan Tamil.
Berita Tionghwa tentang Sriwidjaja kadang-kadang terlalu singkat
dan terlalu kabur. Berita-berita itu kadang-kadang disangsikan kebenar-
annja, karena kebanjakan diantara berita-berita itu tidak berasal dari
tangan pertama. Nama-nama tempat dan tokoh sedjarah jang diberita­
kan, ditulis dalam bahasa Tionghwa menurut pendengaran pemdisnja.
Utjapan kata-kata Tionghwa jang digunakan untuk mentjatat nama-
nama itu berbeda-beda, sehingga susah untuk ditafsirkan. Bahasa Ti­
onghwa pada abad ke 7 berbeda dengan bahasa Tionghwa zaman
sekarang. Bahasa Tionghwa Kanton berbeda dengan bahasa Tionghwa
M andarin. Untuk memberikan tafsir terhadap berita-berita Tonghwa
itu diperlukan bantuan ahli bahasa Tionghwa klasik jang mempunjai
perhatian kepada persoalan sedjarah.
Nama-nama tempat jang ditranskripsikan dengan huruf-huruf Tiong­
hwa perlu ditafsirkan. Pentafsiran -nama-nama itu tidaklah mudah, ka­
rena nama-nama itu biasanja ditulis dalam satu rangkaian jang bunjinja
berbeda sekali dengan nama-nama desa atau kota di M alaja dan Su-
matera. Seringkali tempat jang namanja tertjatat dalam kronik Tionghwa
itu sudah berubah namanja, menjesuaikan diri dengan perkembangan
bahasa setempat. Keterangan geografi tentang tempat-tempat jang di­
sebut kadang-kadang bersifat umum sekali, diukur dengan djarak pe­
lajaran dan djarak dari pulau atau tempat jang letaknja sangat djauh.
Pemberitaan tentang batas-batas tempat itu dinjatakan dengan penje-
butan laut dan pulau atau negara jang sangat djauh letaknja. Betapapun
kaburnja berita geografi itu, berita geografi itu harus didjadikan pe­
gangan untuk melokalisasikan tempat-tempat jang dimaksud. Penge­
tahuan geografi dalam penulisan sedjarah kuno seperti sedjarah Sriwi-

10
djaja sangat diperlukan untuk menghindarkan salah tafsir tentang
peristiwa sedjarah. Kadang-kadang untuk melokalisasikan nama-nama
jang disebut, diperlukan pengetahuan tentang keadaan daerah dipel-
bagai pulau dan kemungkinan perkembangannja dalam masa sedjarah.
Bagaimanapun pengetahuan geografi kuno ini merupakan bagian penting
dalam sedjarah Sriividjaja untuk dapat memahami peristiwa sedjarah
dalam suasana zamannja. Pengetahuan geografi itu tidak dapat diabai­
kan begitu sadja. Oleh karena itu karja Ir. f.L. Moens Qrivijaya, Yava
en Kataha dalam T.B.G. L X X V 1 I tahun 1937 afl. 3 dan karangan-
karangan Roland Btaddell jang termuat dalam J.M .B.R.A.S. berdjudul
A n introduction to the study of ancient times in the M alay Peninsula
and the Straits of Malacca, dan Notes on ancient times in M alaya, jang
chusus merintis pengetahuan geografi sedjarah kuno Indonesia bagian
barat dan Semenandjung, harus dipandang sebagai sumbangan jang
sangat berharga bagi perkembangan ilmu sedjarah Sriividjaja. Ini tidak
berarti bahwa semua kesimpulan jang diambilnja, boleh kita terima be­
gitu sadja. Mereka itu membuka djalan baru untuk mendekati kenjataan
sedjarah jang sudah berulang kali disoroti dari segi filologi dan terbukti
tidak mendjadi lebih djelas. Saja jakin bahwa lokalisasi pelbagai nama
tempat jang disebut oleh pendeta I-ts’ing dalam karjanja Memoire dan
Record serta oleh kronik Tionghwa, jang telah dilakukan oleh pelbagai
sardjana, berhubung dengan perkembangan penelitian geografi sesudah
perang dunia kedua, perlu dikoreksi.
Baik geografi maupun filologi serta archeologi dalam hal ini mengabdi
penulisan sedjarah. Fungsinja tidak lain daripada memberikan bantuan
untuk memahami makna peristiwa sedjarah dalam rangka zamannja
dan susunan masjarakatnja. H anja dalam beberapa hal dimana diperlu­
kan bantuannja, filologi, archeologi dan geografi dibeberkan demi pen-
djelasan peristiwa sedjarah. Penulisan sedjarah tetap mendjadi tudjuan
utama.
Tentang Sriwidjaja diketemukan djuga pelbagai prasasti dalam ba­
hasa Sriwidjaja, Sansekerta dan Tamil. Sebagian besar dari prasasti-
prasasti itu telah ditranskripsikan dengan huruf Latin, diterdjemahkan
dan diterbitkan dalam pelbagai madjalah ilmiah oleh pelbagai sardjana.
Namun tafsir sedjarahnja tetap masih gelap. Prasasti-prasasti itu hanja
sebagian ketjil dari kehidupan kenegaraan Sriwidjaja. Namun meskipun
demikian, prasasti-prasasti itu harus didjadikan pegangan untuk me­
ngetahui perkembangan keradjaan Sriwidjaja. Terdjemahan prasasti-
prasasti itu seringkali sangat kusut, karena memang tidak mudah untuk
memahaminja. Untunglah disamping terdjemahan itu disiarkan djuga
transkripsi dan kadang-kadang fotokopi prasasti-prasasti jang ber­
sangkutan, sehingga barangsiapa menaruh perhatian, dapat ikut mem-

11
batjanja sendiri. Pembatjaan fotokopi dan pentafsiran transkripsi
prasasti-prasasti itu ada kalanja memberikan gagasan baru untuk me-
metjahkan persoalan sedjarah Sriwidjaja jang masih gelap.
Meskipun sedjarah Sriwidjaja tidak mempunjai sangkut-paut setjara
langsung dengan zaman Indonesia moderen, namun sedjarah Sriw idjaja
itu masih tetap mempunjai tempat dalam kerangka sedjarah nasional.
M ungkin pengetahuan sedjarah kuno itu dapat memberikan dorongan
kearah pengagungan negara dan bangsa. D jika tidak, paling sedikit
sedjarah Sriwidjaja itu mengingatkan bangsa Indonesia kepada zaman
gemilang jang sudah silam.

12
I.

IC H T IS A R P E N U L IS A N S E D J A R A H S R IW ID J A J A

M a k su d penulisan sedjarah pada umumnja ialah untuk mentafsirkan


peristiwa-peristiwa sedjarah dalam rangka kehidupan kenegaraan suatu
negara. T afsir sedjarah itu bertudjuan untuk memaj^arkan pandangan
ind ivid uil seorang ahli sedjarah sebagai hasil usahanja untuk memahami
sepenuhnja peristiwa sedjarah jang diperolehnja dari sumber sedjarah.
O ra n g lain jang membatjanja boleh menjetudjui atau m enentang pan-
dangannja. T entangan atau perbedaan pandangan ahli sedjarah lain
boleh mem berikan dorongan untuk m engadji suatir pandangan sedjarah
lebih landjut, sekali-kali tidak bertudjuan untuk semata-mata m eng­
gugurkan anggapan sardjana lainnja, tetapi dim aksud sebagai usaha
untuk memperoleh pendjelasan jang lebih memuaskan. D em ikianlah
pertentangan tafsir sedjarah oleh para sardjana itu harus diartikan
sebagai usaha untuk mendekati kenjataan sedjarah. P ikiran bah w a hanja
ang g ap ann ja sadja jang benar dan boleh dipertjajai, akan m enghenti­
kan penjelidikan sedjarah. T iap pandangan baru, apalagi djika p a n ­
dan g an itu didasarkan atas bahan-bahan baru, jang belum diketahui
atau belum dapat dipetjahkan sebelumnja, m erupakan sum bangan jang
berharga dan perlu dipertim bangkan. Lagipula pengetahuan sedjarah
bu kanlah m onopoli seorang ahli semata-mata.
Sedjarah S riw idjaja sudah m engalam i pengolahan pelbagai sardjana
sedjarah baik mengenai keseluruhannja m aupun mengenai bagian-
bagiannja. P a n dang an para sardjana itu tidak semuanja sehaluan, apa
lagi djika mereka m enghadapi suatu soal sedjarah. jang m enghendaki
suatu pemetjahan. T afsiran mereka kadang-kadang bukan sadja tidak
sehaluan, m elainkan seringkali bertentangan, sehingga seolah-olah me­
nim bulkan polemik ilm u sedjarah. M asing-masing pihak berusaha mem­
pertahankan anggapannja dan m engem ukakan bukti-bukti untuk mem-
perkuatnja. Bukti-bukti itu diam bilnja dari pelbagai sumber sedjarah.
U sah a m engum pulkan bukti-bukti ini melalui penapisan sumber sedja­
rah jang tertulis dalam pelbagai bahasa, terdapat dipelbagai tempat,
berserak dalam pelbagai buku dan tertulis dalam pelbagai masa. Pem-
buktian-pem buktian itu m erupakan pengadjian p and ang an terhadap
soal sedjarah.
Pengetahuan sedjarah S riw idjaja baru lahir pada perm ulaan abad 20.
N a m a S riw idjaja baru m ulai dikenal pada tahu n 1918, sedjak George
Coedes menulis k arangannja Le royaume de Qrivijaija (B .E .F .E .O . 18).
P ad a tahun 1913, w aktu Prof. Kern m enerbitkan piagam K ota Kapur,
salah satu piagam S riw idjaja dari tahun 686, ia masih m enganggap

13
bahwa nama Sriwidjaja jang tertjantum pada piagam tersebut, adalah
nama seorang radja, karena çri biasanja digunakan sebagai sebutan
atau gelar radja. diikuti nama radja jang bersangkutan. Sardjana Dje-
pang Takakusu jang menterdjemahkan karja I-ts’ing Nan~hai-chi-kuei-
nai fa~ch’uan kedalam bahasa Inggris (a Record of the Buddhist reli­
gion as practised in India and the M alay Archipelago) pada tahun
1896, belum mengenal nama Sriwidjaja. I-ts'ing baik dalam bukunja
Nan-hai-chi~kuei-nai fa-ch’uan, maupun dalam bukunja Ta-t ang-si-
yu-ku~fa-kao-seng'ch’uan, jang telah diterdjemahkan lebih dahulu oleh
Prof. Chavannes pada tahun 1894 kedalam bahasa Perantjis, (Mémoire
composé à l’époque de la grande dynastie T ang sur les religieux émi­
nents qui allèrent chercher la loi dans les pays d Occident) menjebut
Sriwidjaja jang pernah dikundjunginja Shih-li-fo-shih (atau dengan
edjaan Perantjis Che-li-fo-che). N am a itu dikira transkripsi Tionghwa
dari nama asli Sribhodja. Dalam kedua -buku itu nama Shih-li-fo-shih
jang seringkali disingkat Fo-shih sadja, digunakan untuk menjebut
negara, ibukota pusat keradjaan. dan sungai jang muaranja digunakan
sebagai pelabuhan. Terdjemahan piagam Kota Kapur oleh Kern, di-
mana terdapat nama Sriwidjaja dan terdjemahan karja I-ts ing, dimana
terdapat transkripsi Tionghw a Shih-li-fo-shih memungkinkan Coedès
untuk menetapkan, bahwa Sriwidjaja adalah nama Negara di Sumatera
Selatan jang ditranskripsikan kedalam tulisan Tionghwa Shih-li-fo-shih.
Tetapi Coedès tidak berhenti pada penemuan itu sadja. Ia berusaha
pula menetapkan letak ibukotanja di Palembang berdasarkan ang­
gapan Groeneveldt dalam karangannja, Notes on the M alay Archipe­
lago and Malacca, compiled from chinese sources dari tahun 1876, jang
menjatakan bahwa San-fo-ts i adalah Palembang. Beal pada tahun 1886
telah mengemukakan pendapatnja, bahwa negara Shih-li-fo-shih ter­
letak ditepi sungai M usi dekat kota Palembang. Namun pada perte­
ngahan kedua abad 19 itu nama Sriwidjaja belum dikenal. Keradjaan
itu masih disebut dengan nama Tionghwa jang tidak diketahui nama
aslinja. Meskipun anggapan itu boleh dipandang sebagai penemuan
ilmiah jang asli, namun karena kepintjangan tersebut, masih kabur
sekali. Bagaimanapun haru, diakui, bahwa ilmu sedjarah Sriwidlaia
adalah penemuan Coedès dan lahi, dari ketierdasannja dalam meng­
gunakan has.l penjelidikan sardiana-sardjana lainnja. Penemuan Cce-
des m, mendapat sambutan jang bebal dalam ilmu pengetahuan sedja-
llT T T f t r , “ d)arah Asia T “ Sgara. Karena letakn|a jang
sangat ideal untuk lalu-lintas pelajaran Djaw a, India, Arab dan Tiong-
o , ma a se jara riwidjaja menjangkut hubungan internasional.
Dengan sendirinja sedjarah Sriwidjaja itu berhubungan dengan sedjarah
negara-negara lam ,ang menggunakan Selat M alaka sebagai djalan

14
X

lalu-lintas dan namanja teringat pula dalam sedjarah asing. Apalagi


karena terbukti bahwa Sriwidjaja merupakan salah satu negeri besar
diantara negeri-negeri dilaut Selatan. Penemuan negeri Sriwidjaja oleh
Coedes ini mengalihkan minat para sardjana sedjarah, terutama para
sardjana Belanda, jang pada waktu itu terlalu banjak memusatkan
perhatiannja kepada sedjarah Djawa. Djustru oleh karena keradjaan
Sriwidjaja lebih tua daripada keradjaan Mataram lama, maka sedjarah
Sriwidjaja itu sangat menarik perhatian. Karenanja perkembangan ilmu
sedjarah Sriwidjaja sangat pesat.
Pada tahun 1919 djadi setahun sesudah terbitnja karangan Coedes
,,Le royaume de Qrivijaya” jang sangat mashur itu, Krom mengutjap-
kan pidato pelantikannja sebagai guru besar pada Universitas Leiden
jang berdjudul De Sumatraansche periode de r favaansche Geschiedenis.
Krom menjarankan bahwa didalam sedjarah Djawa menjusup masa
pemerintahan radja-radja Sumatera jakni radja-radja Sriwidjaja. Bukti
jang dikemukakannja ialah pemakaian banjak kata Melaju pada piagam
Gandasuli dari tahun 832 jang diketemukan di Djaw a Tengah. Sepuluh
tahun kemudian saran ini mendapat serangan dari sardjana W .F . Stut-
terheim jang mengemukakan teori kebalikannja. Stutterheim menulis
pada tahun 1929: A favanese period in Sumatcan history. Ketjuali Krom,
Gabriel Ferrand pada tahun 1919 djuga menjambut tulisan Coedes
tersebut diatas dan pada tahun 1922 ia menerbitkan bukunja L ’Empire
Sumatranais de £ r ivljaya. Ferrand mengakui djasa Kern dalam usaha-
nja menterdjemahkan piagam Kota Kapur pada tahun 1913, meskipun
sardjana ini tidak mengenal bahasa Melaju Kuna. J.Ph. Vogel tidak
ketinggalan. Ia membahas karangan Coedes dalam karangannja jang
berdjudul H et koninkrijk Qrivijaya. Karangan itu ditulis dalam B.K.I.
75 tahun 1919. Demikian pula sardjana Inggris, ahli bahasa dan sedja­
rah Melaju C .O . Blagden. Sardjana ini pada tahun 1920 menulis ka­
rangannja The Empire of the Maharadja. King of the Mountains and
Locd of the Isles. Pada tahun 1926 Krom menerbitkan bukunja Hindoe~
favaansche Geschiedenis. Dalam buku itu ia djuga mengemukakan
keradjaan Sriwidjaja. Buku ini ditjetak lagi pada tahun 1931. Dalam
tjetakan jang kedua itu Krom tidak lupa membahas pendapat Dr. Stut­
terheim, jang telah dibitjarakan o k h Dr. F.D.K. Bosch pada tahun
1929. Baik Krom maupun Bosch menolak pendapatnja. Karangan Krom
ini merupakan buku sedjarah Indonesia lama jang paling lengkap dan
mendjadi buku pegangan sedjarah Indonesia bagi para sardjana lain-
lainnja. Segala literatur jang mempunjai sangkut-paut dengan sedjarah
Indonesia sampai waktu itu dibahas dan disebut. Susunan buku Krom
ini dipandang dari segi sedjarah tidak luput dari kritik. Bertalian de­
ngan perkembangan penelitian sedjarah Indonesia kuno banjak bagian

15
jang perlu dikoreksi. Pada hakekatnja tulisan itu lebih banjak menje-
rupai pandangan archeologi daripada pandangan sedjarah dalam arti
chusus. Sifat jang demikian mudah dipahami, djika kita menempatkan
tulisannja pada zaman dan suasana perkembangan ilmu sedjarah di
Indonesia. Kita tidak dapat menulis sedjarah Indonesia lama seperti
jang dilakukan oleh para sardjana Eropa tentang salah satu bagian
benua Eropa, karena terlalu banjak hal-hal jang masih sangat me­
ragukan. Tanpa pengetahuan archeologi. jang pada waktu penulisan
buku itu boleh dikatakan baru mulai berkembang, tidak mungkin orang
menulis tentang sedjarah lama. Dengan sendirinja Krom sebagai ahli
archeologi terlalu banjak mengutamakan soal-soal archeologi dalam
penulisan sedjarah. Ia beranggapan, bahwa dengan menempuh djalan
ini ia berharap dapat memberikan pendjelasan tentang hubungan per­
istiwa jang masih gelap atau paling sedikit masih samar-samar. Oleh
karena itu alih-alih memberikan tafsir peristiwa sedjarah jang mem-
punjai hubungan dengan pandangan hidup dan tjara berpikir, ia dalam
banjak hal memberikan tafsir purbakala, Akibatnja tulisannja mengan­
dung sifat sedjarah jang bertjampur aduk dengan archeologi. Buku
Krom berhenti pada uraian tentang keradjaan M adjapahit sadja. Suatu
hal jang agak aneh djika dipandang dari segi penulisan sedjarah. Pem­
batasan itu membajangkan wataknja sebagai seorang ahli archeologi.
Kedjadian sesudah runtuhnja keradjaan Madjapahit tidak mendapat
perhatian samasekali, karena zaman itu sudah dianggap zaman Islam,
dan termasuk pangsa waktu baru. Penjelidikan archeologi mengenai
zaman ini tidak dilakukan.
Sesudah terbitan Hindoe - Javaansche Geschiedenis karangan Krom
ini, menjusul pada tahun 1930 Les inscciptions Malaises de Qrivijaya,
jang dikumpulkan, diperiksa dan dibitjarakan oleh Coedes. Terbitan
itu memuat piagam-piagam Sriwidjaja jang tertulis dalam bahasa M e­
laju dan dikenal sampai tahun tersebut. Piagam-piagam itu ialah pia­
gam Kedukan Bukit dari tahun 683, piagam Talang Tuwo dari tahun
684, piagam Kota Kapur dan piagam Karang Brahi dari tahun 686
Terbitan Coedes menjebut segala literatur jang bersangkutan dengan
piagam-piagam tersebut dan karangan-karangan jang mempunjai sang­
kut-paut dengan sedjarah Sriwidjaja. Jang sangat penting ialah bahwa
piagam-piagam itu dikumpulkan dalam satu terbitan, sehingga setiap
sardjana jang ingin menjumbangkan pikirannja mengenai sedjarah Sri­
widjaja dapat berkenalan setjara langsung dengan piagam-piagam asli
tersebut. Terdjemahannja pun dilampirkan pula. Orang bebas meneri­
ma atau menolak terdjemahan itu, namun jang pasti ialah bahwa sa-
djian jang demikian dapat didjadikan pegangan untuk bekerdja lebih
landjut, tanpa terpengaruh oleh konsepsi Coedes sendiri. Kumpulan

16
piagam asli Sriwidjaja itu mcndjadi lengkap karena terbitan piagam
Telaga Batu dan beberapa petjahan piagam lainnja oleh Dr. de Cas-
paris dalam bukunja Prasasti Indonesia I I dari tahun 1956.
Pada tahun 1932 Ivor H. N . Ivans menulis tentang sebuah tjintjin
jang ditemunja di Tandjung Rawa, Selinsing, Perak dalam madjalah
Federated M alay States Museums Vol. X V part 3 seperti berikut:
„It is a small seal of red cornelian of good colour and somewhat trans-
luctant,- chamfered at the edges on the face and there engraved with
an inscription running the length of the seal in the middle. The di­
mensions of the piece are 1.45cms X 1cm X 4cm. The back is a flat.”
Huruf tulisan pada tjintjin tersebut ialah huruf Palawa dan tulisannja
terbatja Qri Visnuvarmasya.
Dr. C .O . Blagden dan Dr. L.D. Barnett menduga bahwa tjintjin itu
berasal dari tahun 400, tetapi Dr. V a n Stein Callenfels menduga dari
tahun 600. V a n Stein Callenfels berpendapat bahwa nama (Jri V isnu­
varmasya (Sri W isnuw arm an) itu adalah nama seorang radja atau
seorang pangeran, karena nama itu menggunakan gelar £ri. Dalam
A Note on an inscribed seal from Perak, Prof. Nilakanta Sastri mera­
gukan pendapat itu. Djustru oleh karena pada nama tersebut terdapat
suatu kesalahan jakni Visnuvarmasya alih-alih Visnuvarmanah, maka
ia tjenderung untuk mengatakan bahwa pemilik tjintjin tersebut ialah
orang biasa atau seorang saudagar. Gelar cri itu sadja belum merupakan
djaminan, bahwa pemiliknja adalah seorang radja, karena gelar cri itu
sudah umum dipakai sebagai gelar penghormatan pada nama-nama
orang biasa. Dalam hubungan itu ia mengemukakan nama Qri Vati-
Kuddasya jang berasal dari Udjdjain, dan tertulis dengan huruf-huruf
jang serupa benar dengan huruf-huruf pada tjintjin dari Perak itu. Oleh
karena itu ia menduga, bahwa nama W isnuw arm an pada tjintjin jang
bersangkutan itu adalah nama seorang pedagang dari India Tengah
atau seorang pendatang dari India di Kuala Selinsing. Ternjata bahwa
tjintjin dari Selinsing ini sangat menarik perhatian. Dr. Ch. Chhabra
jang menulis karangannja Expansion of Indo-Aryan Culture during Pal~
lava Rule, as evidenced by inscriptions dalam J.A.S. Bengal Letters I 1935
ketjuali membitjarakan piagam Ligor A dan B djuga menjinggung nama
Sri W isnuw arm an pada tjintjin dari Perak ini. Ia sampai pada kesim­
pulan bahwa berdasarkan bentuk aksaranja jang persegi, tjintjin itu
harus berasal dari abad 8 dan nama W isnuw arm an pada tjintjin tersebut
sama dengan nama W isn u pada piagam Ligor B. Djustru oleh karena
tempat penemuan tjintjin itu letaknja tidak djauh dari Ligor. D r. Ch.
Chhabra beranggapan, bahwa piagam Ligor A dan B itu pada hakekat-
nja hanja suatu piagam jang terputus sesudah baris ketudjuh. Mangga-
lacarananya svasti terdapat pada permulaan piagam B, sedangkan pia­

17
gam Ligor A jang bertarich tahun 775 tidak mulai dengan manggala-
carana.
Pada tahun 1933 dalam tulisannja Les rois £ a ile n d r a d e S u v a r n a d v ip a
(B.E.F.E.O . X X X I II) R .c . M ajumdar telah mengemukakan pendapat
bahwa piagam Ligor A dan B harus dipandang sebagai dua piagam
jang ditulis oleh dua orang radja. Piagam B ditulis kemudian daripada
piagam A.
Persoalan piagam A dan B ini masih tetap hangat. Pada tahun 1941
sebagai karangan jang terachir tentang Sriwidjaja sebelum petjah pe­
rang dunia II terbit tulisan D r. F.D.K. Bosch dalam T.B.G. djilid
L X X X I jang berdjudul D e inscriptie van Ligor. Dalam tulisan itu Bosch
mengulangi pendapat Chhabra dan achirnja mengambil kesimpulan
bahwa pada tahun 775 seorang radja Sailendra jang bernama W isn u
memerintah Sriwidjaja. Radja W isn u jang tertjatat pada piagam Ligor
B itu tidak lain daripada rakai Panunggalan jang tertjatat pada pia­
gam Kedu jang dikeluarkan oleh radja Balitung pada tahun 907. Rakai
Panunggalan ini sama dengan Samarottungga pada piagam Karang
Tengah, dan Samarottungga adalah Samaragrawira pada piagam Na-
landa. Ini adalah putra rakai Pantjapana Panangkaran jang tersebut
pada piagam Kalasan dari tahun 778. Pada piagam Kelurak radja Sai­
lendra Panangkaran itu menjebut dirinja pembunuh musuh perwira
vairivara-viravimardana dan pada piagam N alanda disebut viravai-
rimathana. Artikel Bosch ini akan disambut oleh Coedes pada tahun
1950 dalam karangannja Le Qailendra tueur des heros ennemis dalam
Bingkisan Budi, kumpulan karangan para sardjana untuk menghormat
Prof. Ph. S. van Ronkel.
Sementara itu pada tahun 1937 teori Coedes tentang keradjaan Sri­
widjaja jang ditulis pada tahun 1918 itu dihantam oleh Ir. L. Moens
dalam terbitannja Qrivijaya, Yava en Kataha (T.B.G. L X X V I I) ,
Salinannja kedalam bahasa Inggris disiarkan pada tahun 1940 da­
lam Journal of the M alayan Branch X V II. Ia merombak teori jang
telah disusun oleh Coedes. Moens mengemukakan teori baru jang
berdasarkan pengetahuan geografi dari berita Tionghwa dan Arab.
Menurut pendapatnja Sriwidjaja tidak pernah berpusat di Palembang.
Pada mulanja pusat keradjaan itu terletak dipantai timur M alaja, ke­
mudian berpindah ke Sumatera Tengah dekat M uara Takus. Sangat
menarik perhatian bagaimana Moens menggunakan berita-berita geo­
grafi itu untuk menegakkan teorinja. Dari sedjarah Sung tertjatat
bahwa empat hari perdjalanan dari Cho-p'o orang sampai dilaut; djika
berlajar kearah barat laut sesudah limabelas hari orang sampai di
P ’o-ni dan limabelas hari lagi sampai di San-fo-ts’i. Djuga diberita­
kan bahwa San-fo-ts’i terletak diantara Chen-la dan Cho-p’o. Ber-

18
dasarkan dua berita geografi itu Moens mengambil kesimpulan, bahwa
San-fo-ts’i terletak di Semenandjung Melaju. Berita Arab jang berasal
dari Abu Z aid mengatakan bahwa ibukota Jawaga berhadap-hadapan
dengan Tiongkok. Menurut pendapatnja Zabag (Jawaga) sama dengan
San-fo-ts'i. Oleh karena itu diambilnja kesimpulan bahwa San-fo-ts’i
terletak dipantai timur Semenandjung. Moens menjamakan San-fo-ts’i
dengan Kadaram, oleh karena itu terpaksa melokalisasikan Kadaram
dipantai timur Semenandjung. Ia djuga beranggapan bahwa San-fo-ts’i
bersaingan dengan Palembang. Setelah mengalahkan pusat keradjaan
Palembang dan mengusir keluarga radja, lalu mendirikan pusat ke­
radjaan baru diwilajah Melaju, jakni dekat M uara Takus. Penundjukan
M uara Takus sebagai pusat keradjaan Sriwidjaja didasarkan:

(1) Atas berita I-ts’ing mengenai bajang-bajang diwelatjakra jang


tidak mendjadi pandjang atau pendek pada pertengahan bulan
delapan. Pada tengah hari orang jang berdiri dimatahari, tidak
berbajang-bajang samasekali. Muara Takus terletak pada garis
ekwator O . 20' N, Djadi tjotjok dengan berita I-ts’ing.
(2 ) Atas berita ahli peta Tionghwa Chia Tan, jang menjatakan bahwa
disebelah utara tjih-tjih (Selat M alaka) terletak keradjaan Lo-yue,
dan disebelah selatan terletak keradjaan Shih-li-fo-shih. Berita
itupun tjotjok dengan penempatan pusat keradjaan di M uara T a­
kus.
(3) Atas berita Arab jang berasal dari Ibn Said dan Abui Fida, bah­
wa ibukota Sribusa terletak dimuara sungai. Menurut Moens muara
sungai itu muara Sungai Kampar. 1200 Tahun jang lalu muara
sungai itu lebih djauh kebarat daripada sekarang. M uara Kampar
sebagai pelabuhan hingga sekarang masih ramai hubungannja de­
ngan Singapura. Kemunduran pelabuhan M uara Kampar disebab­
kan timbulnja pelabuhan Teluk Bajur dipantai barat.

Moens menguraikan adanja nama radja Bicau jang dianggapnja se­


bagai ubahan dari nama radja (Sri)widjaja dan dongeng tentang ada­
nja datu Sriwidjaja jang menetap di Kotabaru. Berdasarkan itu semua
ia mengambil kesimpulan bahwa pusat keradjaan Sriwidjaja terletak
di M uara Takus. Peninggalan-peninggalan pusat keradjaan itu masih
nampak di M uara Takus dekat tempuran Kampar Kanan dengan Ba­
tang M ahat di Sumatera Tengah.
Beberapa tahun sebelumnja teori Coedes ini telah diragukan, dianta-
ranja oleh Prof. R. C. Majumdar. Ia mengutarakan bahwa keradjaan
Sriwidjaja di Sumatera sampai abad ke 8 memperluas kekuasaannja
sampai di Ligor. Tetapi kemudian keradjaan itu dihantjurkan oleh
keradjaan Jawaka, jang disebut San-fo-ts’i dalam berita Tionghwa pada

19
masa pemerintahan dinasti Sung. Pusat keradjaan San-fo-ts’i ialah
Ligor. Keradjaan itu dikuasai oleh radjakula Sailendra dari India.
Pendapat M ajumdar ini dibantah oleh Prof. K.A. Nilakanta Sastri
dalam T.B.G. 75 tahun 1935. Kemudian Dr. H .G . Quaritch W ales
menerbitkan karangannja dalam madjalah Indian A rt and Letters vol.
IX no. 1. Iapun pada dasarnja meragukan lokalisasi pusat keradjaan
Sriwidjaja di Palembang seperti jang dikemukakan oleh Coedes. Dr.
Quaritch W ale s melokalisasikan pusat keradjaan itu di C h’aiya. Per­
timbangan jang dikemukakannja untuk memperkuat pendapat itu:
1 . penemuan-penemuan purbakala diderah C h’aiya jang terbukti lebih
banjak daripada diwilajah Palembang. 2. kemiripan bunji antara Sri­
widjaja dan Sivic’ai sebagai nama bukit disebelah selatan kota C h ’aiya.
Mengenai kemiripan bunji itu ia menulis: „A. difference in the native
pronunciation of the word Srivijaya in the region from its pronun­
ciation in Sumatra might well account for the Chinese form San-fo-ts’i
being applied to the empire from the 10th century onwards, while in -
the 7th and 8th centuries the Sumatra State of Srivijaya had been
referred to by the Chinese as Fo-che = Che-li-fo-che". Usul loka­
lisasi Dr. Quaritch W ales mendapat djawaban Coed^s dalam journal
M .B.R.A.S. Vol. X I V part III. Pada dasarnja Coedes menolak pen­
dapat W ales. Untuk membantah lokalisasi San-fo-ts'i di C h ’aiya,
Coedes mengutip berita Tionghwa dari zaman Sung jang dengan d jelas
menguraikan bahwa San-fo-ts’i terletak di Palembang. Chao Ju Kua
mengatakan bahwa negara San-fo-ts’i terletak ditepi laut besar dan
menguasai lalu-lintas pelajaran dari barat ke Tiongkok dan kebalik-
annja. Mengenai penemuan-penemuan barang purbakala ia menge­
mukakan piagam Kedukan Bukit, piagam Talang Tuwo, Karang Brahi
dan Kota Kapur. Isi kedua piagam jang terachir ini memberikan kesan
bahwa Sriwidjaja itu menguasai wilajah tempat piagam persumpahan
itu diketemukan. Lagipula piagam Ligor di V at Sema M uong dari
tahun 775 djelas menjebut nama Sriwidjaja. Nama Marawidjajottung-
gawarman, putera Cudamaniwarman, keturunan radja Sailendra jang
disebut pada piagam Leiden sebagai radja Kataha dan Sriwidjaja
disebut dalam berita Tionghwa radja San-fo-ts'i. D jika Sriwidjaja sama
dengan San-fo-ts'i, maka Sriwidjaja itu tidak mungkin dilokalisasikan
di Ch'aiya.
Pada tahun 1935 itu pula Dr. Stutterheim dalam Verslag over de
gevonden inscripties (Oudheidkundige Vondsten in Palembang door
F. M . Schnitger) melokalisasikan Sriwidjaja dimuara sungai Indragiri,
tidak dimuara sungai Musi di Palembang. Moens beranggapan bahwa
nama Yava, Yavadvipa (Iabadiou) dan Cho-po mula-mula dipakai
untuk menjebut Semenandjung Melaju. Nenek mojang rakai Sandjaja

20
berpindah dari Kunjarakunjadesa di India Selatan ke Kedah. Pada
tahun 724/8 Sandjaja terdesak oleh Sriwidjaja lari ke Djaw a Tengah.
Di Pulau Djawa Sandjaja mendirikan keradjaan baru. Pada tahun 732
mendirikan lingga diatas Gunung W uk ir, jang piagamnja hingga se­
karang terkenal dengan nama piagam Tjanggal. Pada piagam itu ter­
sebut akan adanja tjandi Siwa jang didirikan ditempat jang bernama
Kundjarakundjadesa. Menurut Moens nama Yava (Yavakya) pada
piagam Tjanggal adalah nama pindahan dari Yavadwipa sebagai nama
Semenandjung Melaju, negara nenek mojangnja.
Orang boleh menerima atau menolak pandangannja, namun tidak
dapat disangkal, bahwa pandangannja adalah pandangan baru jang
didasarkan atas berita-berita geografi dan piagam-piagam jang di-
ketemukan hingga pada waktu itu. Prof. Nilakanta Sastri dalam bu-
kunja History of Criwijaya (1949) menolak pandangan itu dan lebih
tjenderung untuk mengikuti pendapat' Coedes.
D ato’ Sir Roland Braddell menerbitkan seri karangan dalam journal
M.B.R.A.S. sedjak tahun 1935 dibawah djudul A n Introduction to the
Study of Ancient Times in the M alay Peninsula and the Straits of
Malacca. Karangannja termuat dalam volume X III part 2 , vol. X IV
part 3, vol. X V part 4, vol. X V II part 5, vol. X I X part 1. Karangan
Roland Braddell ini penting sekali untuk pengetahuan sedjarah kuno
M alaja dalam hubungannja dengan negara-negara tetangganja. Penje-
lidikan itu terutama mengenai Tjampa dan Kambodja atau Funan,
dibagi mendjadi Pre-Funan dan Funan. Dalam karangannja jang ter­
muat dalam vol. X I X part 1, Roland Braddell menguraikan betapa
pentingnja penjelidikan Funan dalam hubungannja dengan persoalan
negara Sriwidjaja dan asal-usul radjakula Sailendra. Katanja: „The
whole question of the last days of Funan and its passing into the
beginning of the Cambodian Empire is worthy of close argument and
a matter of importance as we shall see when we come to discuss Sri-
vijaya and the origin of the Sailendras.”
Karangan-karangannja jang langsung berhubungan dengan sedjarah
Sriwidjaja mulai dengan terbitannja tahun 1941 tersebut diatas pada
hal. 28; dilandjutkan sesudah perang mulai tahun 1947 sampai 1951,
ditutup dengan pembahasan tentang Che-li-fo-che, Mo-lo-yu and H o ­
ling. Ia memusatkan perhatiannja kepada lokalisasi nama-nama tempat
jang disebut oleh berita-berita Tionghwa dan Arab, jang sedikit banjak
mempunjai hubungan dengan Sriwidjaja. Lokalisasi itu terutama di­
dasarkan atas pandangan geografi, jang diambilnja dari sumber-sumber
berita Tionghwa dan Arab, tidak semata-mata didasarkan atas ke­
miripan bunji seperti jang banjak dilakukan oleh para sardjana sedjarah
hingga sekarang. Ini adalah revolusi berpikir dalam lapangan penje-

21
lidikan sedjarah, jang dipelopori oleh Moens. la mengakui djasa-djasa
Moens dan menjetudjui pandangannja. Katanja: „ W e agree with Mr.
Moens that it is wrong to disregard in favour of phonetic reasoning
the evidence wich are given. W e agree with him that having ascer­
tained the evidence we must accept it and reason from it. Indeed, we
would insist most urgently that unless the ancient geography of M a ­
laysia is determined by a scientific application of the fundamental ru­
les of reasoning it will get nowhere.”
Lokalisasi jang berdasarkan pandangan geografi ini dengan sen-
dirinja menghendaki penelitian segala bahan sedjarah jang banjak
sekali djumlahnja. Djustru karena itu maka pandangan itu berharga
sekali. Karangan-karangan Roland Braddell dalam lapangan ini terbit
dibawah djudul Notes on Ancient Times in Malaya. Dalam vol. X I X
part 1 ia menjelidiki Yavadvipa, labadiou, Tou~po, Tchou-po, Ye~po~ti.
Ia sampai kepada kesimpulan, bahwa tempat jang disebut dengan
pelbagai nama itu ialah pantai barat Kalimantan, jakni Sabah. Nam a
Sabah sekarang hanja dipakai untuk menjebut bagian utara K ali­
mantan. Karangannja jang termuat dalam vol. X X part 1 mengurai­
kan prasedjarah zaman kebudajaan batu besar (megalith), batu baru
(neolith), dan zaman kebudajaan perunggu. Part 2 menguraikan za­
man besi jang disebutnja The Ancient Beadtrade, kemudian disusul
dengan Ancient history of South Arabia. V ol. X X II part 1 membitja-
rakan Takola and Kataha dan Ilangasoka and Kadaram. V ol. X X II part
4 tentang P ’o~li dibawah djudul A note on Sambas and Borneo.
P ’o-li ditempatkan dipantai barat Kalimantan, Identifikasi Po-lo de­
ngan Borneo masih memerlukan penjelidikan jang lebih mendalam.
Vol. X X I I I part 1 tentang Langkasuka and Kedah. N am a Langkasuka
dalam berita-berita Tionghwa berbunji: Lang-ya-hsiu (Liang Shu:
Chiu T'ang Shu), Leng-chiau-shu (Hsii Kao Seng Chuan), Lang-ya-
shu (Sui Shu), Lang-Chia-Shu (I-ts’ing), Kia-mo-lang-chia (Hsuan-
C huang), Ling-ya-ssi-kia (Chu Fan C hi), Lang-shi-chia (W upei-shih).
Lokalisasinja dipantai timur M alaja. Pusatnja di Patani. Kedah dise­
but Chieh-ch’a (I-ts’ing), Kia-tcha (Ma-tuan-lin), Ko-lo (Chia-Tan),
Ki-t’o (Chu Fan C hi), Chi-ta (Wu-pei-shih).
Ho-lo-tan dilokalisasikan di Patani. V ol. X X II I part 3 menguraikan
Tan-ma-ling and Fo-lo-an. Tan-ma-ling disamakan dengan Tambraling-
ga (piagam Tjandrabhanu), Madalinggam (piagam Tanjore), Damaling-
gam (piagam Tam il), Tan-mei-lieou atau Tan-mi-liu atau Tan-mei-liu
(Sung-shih), Tan-ma-ling (Chu Fan C hi). Lokalisasinja Tembeling di­
pantai timur M alaja didaerah sungai Kuantan. Fo-lo-an terletak dimuara
sungai Dungun. Pong-fong, Tong-ya-nong, dan Ki-lan-tan tidak banjak
menimbulkan kesulitan, karena nama-nama itu masih digunakan hingga

22
I

sekarang, jakni Pahang, Trengganu dan Kelantan. Tempat-tempat itu


berturut-turut terletak dimuara sungai Pahang, sungai Trengganu dan
sungai Kelantan. Vol. X X IV part 1 membitjarakan Che-li-fo-che, Mo-
lo-yu dan Ho-ling. Lokalisasinja Che-li-fo-che di Palembang, Mo-lo-
yu di Djambi dan Ho-ling dipantai barat Kalimantan.
Meskipun lokalisasi tempat-tempat tidak merupakan pokok per­
soalan peristiwa sedjarah, namun lokalisasi itu memberikan gambaran
tentang wilajah negara jang bersangkutan. Djustru karena nama-nama
tempat itu kebanjakan terdapat dalam sumber sedjarah asing, maka
utjapan nama-nama itu berbeda dengan nama aslinja. Seringkali tem­
pat-tempat itu sudah berubah namanja. Nama jang tidak dihubungkan
dengan tempat, tidak memberikan gambaran jang djelas. Apalagi djika
lokalisasinja salah, hal itu akan mengakibatkan pentafsiran jang ke­
liru. Djustru oleh karena sedjarah kuno tentang Sriwidjaja sebagian
besar disusun berdasarkan berita-berita asing jang terutama hanja me­
rupakan tjatatan pengiriman utusan dan penjebutan nama-nama, maka
lokalisasi nama-nama tempat itu perlu sekali. Tulisan Moens dan R o­
land Braddell ini betul-betul penelitian kembali sedjarah Sriwidjaja
dari sudut geografi. Lain daripada itu tulisan itu banjak sangkut-
pautnja dengan sedjarah kuno Malaja, jang tidak banjak diketahui
sebelumnja. Oleh karena itu tulisan Moens dan Braddell tersebut diatas
penting bagi pengetahuan sedjarah kuno Malaya.
Hampir bersamaan waktu dengan karangan Moens diatas telah
terbit pula dua djilid buku Suvarnadvipa, karangan Prof. R.C. Ma-
jumdar pada tahun 1937 dan 1938. Prof. George Coedès menerbitkan
Histoire ancienne des Etats Hindouisés d ’Extrème Orient pada tahun
1944. Terbitan itu diperbaharui pada tahun 1948 dibawah djudul Les
Etats Hindouisés d ’lndo Chine et d ’Indonésie. Prof. K. A. Nilakanta
Sastri membukukan kuliahnja History of Çrivijaya jang dilengkapi
dengan piagam-piagam jang mempunjai hubungan dengan sedjarah
Sriwidjaja, dari piagam Kedukan Bukit sampai piagam Tjandrabhanu
pada tahun 1949. Dimana mungkin piagam-piagam itu disertai ter-
djemahannja dalam bahasa Inggris jang disalin dari pelbagai terbitan,
sehingga orang jang tidak mengenal bahasa piagam-piagam jang ber­
sangkutan dapat sekadar mengikuti pembitjaraannja. Sebagian dari
piagam-piagam itu kami lampirkan pula pada terbitan ini, terutama
jang tertulis dalam bahasa Tamil, Khmer dan Sansekerta. Meskipun
terbitan-terbitan itu penting sekali artinja, namun tidak ada jang dapat
memetjahkan persoalan pokok sedjarah Sriwidjaja jang banjak diper­
debatkan sebelum petjah perang dunia kedua setjara memuaskan. Per­
soalan jang dimaksud ialah persoalan piagam Kedukan Bukit, hubungan
antara piagam Ligor A dan piagam Ligor B dan hubungan antara

23
radjakula Sailendra dan radja-radja Sriwidjaja. Mengenai persoalan
siddhiyätca jang masih dipegang teguh oleh Prof. Coedes dalam terbit-
annja Les inscviptions Malaises de Qrivijaya, Prof. N ilakanta Sastri
sudah mulai meragukan pendapat Coedes dan lebih tjenderung untuk
mengikuti pendapat Prof. Krom. Bagaimanapun jang terbatja ialah
jayasiddhayätra, bukan siddhiyätra dan ini adalah kemenangan ter­
hadap keradjaan Melaju. N am un ia tidak dapat keluar dari persoalan
M inanga Tamwa dan tidak dapat mendjelaskan dari mana diambilnja
kata M alaju jang didasarkan atas batjaan Krom jang terang salah.
Hubungan antara radjakula Sailendra dan radja-radja Sriwidjaja masih
tetap merupakan persoalan, meskipun berulang kali disebutnja nama
Balaputradewa pada piagam Nalanda, karena persoalan bagaimana
Balaputra dapat mendjadi radja di Sriwidjaja tidak ada pendjelasannja,
ketjuali keterangan jang sudah usang jakni akibat keturunan radja Dhar-
masetu jang dianggap radja Sriwidjaja oleh para sardjana sedjarah.
Anggapan itu hingga sekarang belum dapat dibuktikan kebenarannja.
Apalagi mengenai hubungan antara piagam Ligor A dan piagam Li-
gor B.

Pada tahun 1947 Dr. F.H .N . van Naerssen menerbitkan sebuah


karangan dalam India Antiqua berdjudul „The Qailendra Interregnum” .
Ringkasan pandangannja demikian. Piagam Kalasan memuat dua
wangsa jakni: 1 . wangsa Sailendra, 2. wangsa Sandjaja. Dalam wang-
sa Sandjaja termasuk maharadja dyah Pantjapana Pangkaran. Maha-
radja Panangkaran ada dibawah kekuasaan wangsa Sailendra. Dalam
wangsa Sailendra termasuk Radjasinga dan para guru Sailendra.
Pandangan van Naerssen ini kemudian mendjadi pola pembahasan
piagam Ligor B oleh Coedes. Pada piagam Ligor B, Coedes djuga
melihat dua radja jakni radja W is n u dan seorang radja lagi jang
bergelar maharadja. Menurut anggapannja radja jang terachir ini radja
Sailendra jang pertama. Rakai Panangkaran dianggap sebagai radja
setempat jang hanja menerima perintah dari radja Sailendra, Dem i­
kianlah pandangan kedua sardjana itu boleh dikatakan sedjadjar, mes­
kipun piagam jang dibahasnja berbeda-beda.
Sebelum kita membitjarakan anggapan van Naerssen, kita teliti
dahulu piagam Kadasan jang dibahas. Jang dibahas disini hanja pokok-
pokoknja sadja. Isinja seperti berikut:

Pada 2 — 3. Para guru radja Sailendra mohon kepada maharadja


dyah Pantjapana Panangkaran, agar beliau membangun tjandi
Tara. Permohonan para guru itu ialah agar dibangunlah artja
Dewi Tara, tjandinja dan beberapa rumah untuk para pendeta
jang fasih akan pengetahuan M ahajana W in a ja .

24
Pada 4 — 6. Para pangkur, tawan dan tirip menerima perintah
untuk membuat tjandi Tara dan perumahan para pendeta. Tjandi
Tara didirikan didaerah makmur sang radja jang mendjadi hiasan
radjakula Sailendra untuk kepentingan para guru radja Sailendra.
Pada tahun Saka 700 maharadja Panangkaran selesai membangun
tjandi Tara, tempat para guru melakukan persembahan.
Pada 7 — 10. Desa Kalasan dihadiahkan. Para pangkur, tawan
dan tirip, adyaksa desa dan para pembesar mendjadi saksi. Tanah-
jang dihadiahkan oleh sang radja harus didjaga baik-baik oleh
para radja keturunan wangsa Sailendra, oleh para pangkur, para
tawan, para tirip dan para pembesar jang bidjak turun-temurun.
Selandjutnja sang radja berulang kali minta kepada semua radja
jang akan memerintah kemudian, agar tjandi itu selama-lamanja
didjaga untuk kebahagiaan semua orang.
Pada 11 — 12. Barkat pembangunan wihara itu diharapkan se­
moga semua orang memperoleh pengetahuan tentang kelahiran,
memperoleh tibavopapanna dan mengikuti adjaran Djina. Jang mu­
lia kariyana (rakyan) Panangkaran mengulangi lagi permintaan
beliau kepada semua radja jang akan menjusul untuk membina
wihara itu dalam keadaan jang sesempurna-sempurnanja.
Demikian itulah terdjemahan piagam Kalasan menurut paham saja.
Kata gailendraraja jang kedapatan dua kali pada piagam tersebut
terang sama dengan maharadja Panangkaran, dan £ ailendrarajagtiru
adalah para guru maharadja Panangkaran. Mereka minta kepada sang
prabu, agar beliau mendirikan tjandi Tara untuk keperluan mereka,
karena mereka pemeluk agama Buda. Permintaan jang demikian ter­
makan akal. Apalagi djika kita mengingat bahwa sebelum rakai Pa­
nangkaran memegang kekuasaan, jang berkuasa di Djawa Tengah
ialah rakai Sandjaja. Rakai Sandjaja memeluk agama Siwa. Beliau men­
dirikan lingga diatas gunung W u k ir pada tahun 732. D jika kita mem­
perhatikan piagam jang terdapat di Gata dekat Prambanan dan Tadji
Gunung dekat Prambanan djuga, maka kedua piagam itu menggunakan
perhitungan tahun Sandjaja (Sanjayawarsa) masing-masing bertarich
tahun 693 dan 694 Saka, atau tahun Masehi 771 dan 772. (Oud-
Javaanse Oorkonde X X X V dan X X X V I) . Pada piagam Gata ke­
dapatan nama maharadja Daksottamabahubajra. Oleh karena kedua
piagam tersebut menggunakan sanjayawarsa, boleh dipastikan bahwa
piagam tersebut dikeluarkan oleh keturunan radja Sandjaja. Demikian­
lah keturunan radja Sandjaja memerintah sampai tahun Masehi 772.
Pembangunan tjandi Kalasan selesai pada tahun 778. Pembangunan itu
makan waktu beberapa tahun, dan dilakukan atas perintah radja P a­
nangkaran, keturunan Sailendra dan beragama Buda. D ari perbanding­

25
an piagam-piagam tersebut dapat disimpulkan bahwa Daksottamaba-
hubajra, keturunan radja Sandjaja ditundukkan oleh D yah Pantjapana
Panangkaran, keturunan radja Sailendra antara tahun Masehi 772
dan 778. Pada waktu itu Sandjajawangsa diganti oleh Sailendrawang-
sa; agama Siwa jang dianut oleh Sandjajawangsa diganti oleh agama
Buda M ahajana jang dianut oleh Sailendrawangsa. Djelaslah sekarang
bahwa D yah Pantjapana Panangkaran bukan keturunan Sandjaja.
Beliau adalah radja Sailendra jang pertama di D jaw a Tengah, jang
menggantikan Sandjajawangsa. Andaikata beliau keturunan radja San-
djaja, pasti beliau akan djuga menggunakan perhitungan tahun Sandjaja
seperti njata pada piagam O .J.O . X X X V dan X X X V I tersebut diatas.
Dengan bukti diatas maka teori van Naerssen jang memasukkan maha-
radja Panangkaran dalam Sandjajawangsa tidak dapat dipertahankan.
Keradjaan Siwa jang dikendalikan oleh radja Sanna, kemudian dilan-
djutkan oleh radja Sandjaja berachir pada tahun-tahun antara 772 dan
778 dengan timbulnja keradjaan Buda jang dikendalikan oleh wangsa
Sailendra maharadja Pantjapana Panangkaran. Keradjaan Siwa itu
akan timbul kembali dan dilandjutkan pada masa pemerintahan maha­
radja Pikatan alias Djatiningrat. Tidaklah aneh, bila pembangunan
tjandi Tara dimaksud pula sebagai lambang kemenangan wangsa Sai­
lendra terhadap wangsa Sandjaja.
Pendapat van Naerssen jang mengemukakan adanja dua wangsa
pada piagam Kalasan dan memasukkan rakai Panangkaran dalam
wangsa Sandjaja disambut baik oleh Prof. Vogel sebagai pembuka
pintu kearah penjelesaian persoalan Sriwidjaja — Sailendra. Pendapat
itu kiranja timbul akibat salah tafsir mengenai isi piagam Kalasan.
Piagam Tjanggal Sandjaja menjebut nama tempat Kundjarakundja.
Penjebutan itu menundjukkan adanja hubungan antara wangsa Sandjaja
dan India Selatan dalam soal agama atau mungkin sekali djuga dalam
asal-usul nenek mojangnja. Pada masa pemerintahan radjakula Sai­
lendra, termasuk rakai Panangkaran jang menjebut dirinja hiasan radja­
kula Sailendra, hubungan agama itu tidak dengan India Selatan tetapi
dengan Benggala.
Pada piagam Kelurak dari tahun 782 terbukti bahwa upatjara pem­
bukaan artja Mandjusri dipimpin oleh Sailendraradjaguru Kumaragosha
dari Gaudadwipa. Hubungan agama di D jaw a dan Sumatera pada
masa pemerintahan radjakula Sailendra terutama dengan Benggala
sebagai pusat agama Buda Mahajana. Kumaragosha adalah seorang
pendeta Buda dari Benggala. Radja Dewapala jang mengeluarkan
piagam N alanda atas permintaan Balaputradewa dari Sriwidjaja djuga
radja Benggala, jang pusat keradjaannja terletak di Pataliputra. Beliau
memerintah antara tahun 794 dan 839. Pada perkembangan keradjaan

26
r

Sailendra tingkat mula hubungan agama dilakukan oleh rakai Panang-


karan dengan radja Dharmapala jang memerintah antara tahun 758
dan 794. Kumaragosha hidup pada masa pemerintahan radja Dharm a­
pala ini. Nama Sri Dharmasetu jang tertjatat pada piagam Kelurak
kiranja sama dengan Sri Dharmasetu jang mendjadi nenek Balaputra
pada piagam Nalanda. Telah terbukti pula bahwa Balaputradewa se­
masa ketjil hidup di Djaw a Tengah. Dharmasetu harus djuga berasal
dari Djawa Tengah pada achir abad 8, dan mempunjai sekadar hu­
bungan dengan radja Sailendra jang menjebut dirinja Dharanindra.
Pada tahun 1950 Prof. Coedès menerbitkan karangannja Le Çailen-
dra „tueur des héros ennemis" jakni Sailendra pembunuh pahlawan-
pahlawan lawannja. Karangan itu termuat dalam Bingkisan Budi,
kumpulan karangan-karangan para sardjana bekas murid dan kawan
untuk menghormati Prof, van Ronkel jang mentjapai usia 80 tahun.
Karangan Coedès tersebut adalah usaha baru untuk memetjahkan
persoalan hubungan piagam Ligor A dan B, terdorong oleh karangan
Bosch dari tahun 1941, dalam T.B.G. deel L X X X I hal. 26 dan seterus?
nja. Dalam karangan itu Dr. F.D.K. Bosch menjamakan Samaratungga
pada piagam Karang Tengah dengan rakai Panunggalan pada piagam
Kedu, dan kemudian dengan Samaragrawira pada piagam Nalanda,
jakni ajah Balaputra. Penjamaan itu masih lebih landjut lagi. Ia me-
njamakannja dengan W isn u pada piagam Ligor B. Teori Bosch ini
terang tidak dapat dipertahankan lagi setelah terbitnja karangan De
Casparis tentang piagam Balaputra — Djatiningrat A metvical otd
Javanese inscription dated 856 A .D . Namun penjamaan Samaratungga
dan Samaragrawira ini hingga sekarang masih tetap dipertahankan.
Sudah barang tentu kedua nama itu mirip sekali, karena kedua-duanja
mulai dengan Samara, jang berbeda hanja achirannja. Boleh dipasti­
kan bahwa Balaputradewa mengenal nama Samaratungga pada piagam
Karang Tengah dan Samaragrawira sebagai nama ajah beliau, karena
Balaputra baru pada pertengahan abad 9 meninggalkan Djaw a Te­
ngah. Andaikata Samaratungga itu memang benar sama dengan Sa­
maragrawira, timbul pertanjaan, mengapa piagam Nalanda Balaputra
tidak menjebut Samaratungga sadja? Karena kedua nama itu berbeda,
kiranja memang nama dua orang jang berlain-lainan pula. Samaragra­
wira adalah nama rakai W arak, Samaratungga adalah nama rakai Ga-
rung. Dengan kata lain Samaratungga adalah putera Samaragrawira
dan kakak Balaputra. Samaratungga adalah putera sulung jang mem­
punjai hak mewaris tachta keradjaan. Balaputra adalah putera bungsu
karena namanja memang berarti demikian, {vala: ekor; putera: anak).
Samaratungga terbukti tidak mempunjai putera laki-laki. Beliau hanja
mempunjai seorang puteri jakni Pramodawardani, permaisuri rakai

27
Pikatan. Balaputra sebagai putera laki-laki Samaragrawira mengira
berhak pula menggantikan Samaratungga, jang tidak berputera laki-
laki. Timbullah karenanja sengketa antara Balaputra dan Djatiningrat
jang membela hak permaisurinja. H al ini lebih termakan akal daripada
anggapan bahwa Balaputra adalah adik Pramodawardani. Berdasarkan
anggapan jang terachir ini Balaputra mempunjai hak lebih besar atas
tachta keradjaan daripada Pramodawardani. Pernjataan Balaputra
seperti jang tertera pada piagam Nalanda, merupakan pernjataan per­
sahabatan dengan radja Dewapaladewa untuk sekadar minta bantuan
dalam merebut kembali hak mendjadi radja di Mataram. Tafsiran jang
demikian dapat dipahami sepenuhnja. Sengketa antara Balaputra dan
Djatiningrat kiranja terutama mengenai perebutan kekuasaan antara
Balaputra dan Pramodawardhani, sepeninggal rakai Garung alias
Samaratungga. Dalam hal ini Djatiningrat sesungguhnja sebagai me­
nantu ada diluar sengketa. N am un karena membela kepentingan isteri,
turut terlibat. Tentang hal ini akan kita bahas lebih landjut dalam bab
Piagam Nalanda.
Dalam usaha menjamakan Samaratungga dengan Samaragrawira
dengan sendirinja tidak dilupakan penjamaan epiteton jang terda­
pat pada piagam Kelurak vairivaravîravimardana dan jang terdapat
pada piagam N alanda vuavainmanthana. Prof. Coedès tidak lupa
menjebut karangan F .H .N . van Naerssen dalam India Antiqua jang
telah disinggung diatas. Djuga Coedès melihat adanja dua radja pada
piagam Ligor B seperti van Naerssen melihatnja pada piagam Kalasan.
Coedès sekali lagi meneliti piagam Ligor B. Pembetulan vapusmân
dan dvitîyas oleh Coedès telah dilakukan lebih dahulu oleh Chhabra
dan N ilakallia Sastri; ptabha(va) diganti dengan prabhu sesuai de­
ngan pendapat Paul Mus. Jang penting dalam penelitian kembali ini
ialah perbedaan tafsiran Coedès dengan sardjana-sardjana lainnja.
Coedès berpendapat bahwa pada piagam Ligor B tersebut dua nama
radja. Jang pertama ialah radja W isn u jang disamakannja dengan W is-
nuwarman pada tjintjin Perak. Jang kedua ialah radja jang mempunjai
epiteton sarvvarimadavi(ma)thana, jakni pembunuh musuh perwira.
Aksara tha terdapat antara vi dan nag. Tambahan ma disebabkan
karena untuk keperluan metrik jang kurang satu suku pendek. Para­
lelisme penjebutan dua radja itu menurut Coedès ditundjukkan dengan
pemakaian kata ganti penundjuk 2 X jakni yosau dan asau y ah, dan
lebih-lebih oleh perlawanan ekas dan dvitîyas. Terdjemahan Coedès
itu lalu kita bandingkan dengan terdjemahan Chhabra.
Coedès: Ce premier, roi des rois, qui par son éclat personnel est
comparable au soleil dissipant la nuit constitué par la troupe de tous
ses ennemis, qui ressemble par sa beauté charmante à la lune d ’autom­

28
ne sans tache qui a l'aspect de Kârna incarné, a pour nom Visnu; —
et ce second qui par son énergie personnelle détruit sans exception
tous ses arrogants ennemis, en conséquence de la mention de son ori­
gine, le Çailendravamça, a pour nom Çri Mahârâja.
Chhabra: He, who is the supreme king of kings, who through his
energy alone comparable to the sun for dispelling the darkness in the
shape of the hosts of all his foes, who in charming beauty is the very,
spotless autumnal moon, and is like Cupid in person, who is called
Visnu who entirely (annihilates) the pride of all his opponents, and
who with regard to his prowess is without a second, that self-name
is known by the appellation of Çailendravamçaprabhu and bears the
title of Çri Mahârâja.
Terhadap paralelisme penjebutan dua radja jang dikemukakan oleh
G. Coedès saja menaruh keberatan grammatikaî seperti njata dalam
pembahasan dibelakang. Dengan sendirinja lalu timbul perbedaan taf-
siran. Coedès mempertentangkan kata ekas dan dvitîyas. Menurut ang­
gapan saja hal itu tidak mungkin dipertentangkan, karena jang tertera
disitu adalah ekas bukan prathama. Mengenai pemakaian kata penun-
djuk (ganti diri) yo’asau dan asau yah dalam bahasa Sansekerta ada­
lah soal biasa, tidak mengandung pretensi untuk menjatakan perbedaan
apa-apa.
Coedès sampai kepada kesimpulan bahwa radja W isn u jang dikata­
kan radja jang pertama pada piagam Ligor B sama dengan radja jang
menjebut dirinja Çrivijayendrarâja, Çrivÿayesvarabhupati, dan Çrivija-
yanrêpati pada piagam Ligor A. D jadi beliau memerintah pada tahun
775. Radja jang kedua jang bergelar Sri M aharadja adalah putera
radja W isnu. Setelah kawin dengan puteri dari Funan, dari keluarga
Somawangsa, mendjadi radja Sailendra jang pertama dan menurunkan
radja-radja, Sailendra di Mataram. Tetapi Coedès sendiri mengakui
bahwa anggapan itu tidak berdiri diatas bukti-bukti jang kuat. Katanja:
J’ai formulé plus haut, avec les plus expresses réserves, une hypothèse
sur l'origine de ce Çailendra, le premier que nous fasse connaître l’epi-
graphie. S'il venait à être prouvé qu’il était fils du roi Visnu, et que
ce dernier est identique au roi de Çrivijaya de la fase A de la stèle
de Ligor (deux hypotheses aux quelles manque pour le moment une
base solide), il faudrait admettre, soit que ce Çailendra régnait aussi
à Sumatra, ce qui n’accorde pas avec le témoignage de la chartre de
Nalanda, soit que le trône de Çrivijaya appartenait à son père Visnu
encore vivant, ou un frère. Ce ne serait que son petit fils Balaputra
qui aurait définitivement assis à Sumatra la puissance des Çailendra.
Coedès beranggapan bahwa radja Sailendra jang pertama itu sama
dengan Dharanindra pada piagam Kelurak, memerintah D jaw a Tengah

29
dan menjuruh radja setempat Pantjapana Panangkaran membangun
kembali tjandi Kelurak. Panangkaran pada piagam Kalasan dianggap-
nja sebagai pengganti rakai Sandjaja. Kesimpulan selandjutnja tidak
tjotjok baik dengan teori Krom tentang „pemerintahan Sriwidjaja ter-
selundup dalam sedjarah D jaw a” maupun dengan teori Stutterheim
tentang „pemerintahan D jaw a dalam sedjarah Sumatera” . Jang ada
ialah masa pemerintahan radjakula Sailendra keturunan radja Seme-
nandjung dan puteri Funan pada penghabisan abad 8 dan permulaan
abad 9. Coedes menganggap maharadja Panangkaran sebagai peng­
ganti radja Sandjaja dan sebagai radja setempat jang menerima perin­
tah dari Dharanindra, jakni radja Sailendra jang pertama di Indonesia.
Jang terang ialah bahwa maharadja Panangkaran menurut piagam
Kalasan tela'h memegang pemerintahan pada tahun 778 dan bergelar
maharadja, mendjadi hiasan radjakula Sailendra. Inilah pernjataan
tentang adanja radja Sailendra jang pertama kali dan jang terang mem-
punjai tarich tahun. Djika W isn u menurut Coedes adalah ajah radja
Sailendra jang pertama dan sama dengan Qrivija.yanrepa.ti pada piagam
Ligor A, maka piagam Ligor B harus dikeluarkan sesudah tahun 775.
Bolehlah diduga, bahwa pada tahun 775 seperti telah saja kemukakan
diatas, maharadja Panangkaran telah memegang kekuasaan di Djaw a
Tengah. Penobatannja mendjadi radja berlangsung lebih dahulu dari­
pada peresmian pembangunan tjandi Kalasan pada tahun 778. Dem i­
kianlah anggapan Coedes terbentur kepada chronologi.
Teori Coedes itu pada pokoknja diterima baik oleh Prof. Dr. F.D.K .
Bosch dalam terbitannja tivijaya, de (^ailendra en de Sanjayawamgat
termuat dalam B.K.I. 108 tahun 1952. Ini berarti bahwa Bosch telah
melepaskan anggapannja pada tahun 1941. D jika pandangan Coedes
itu diteliti benar-benar, ternjata bahwa pandangannja sangat gojah
terbentur pada pelbagai kesulitan. Nam un harus diakui bahwa usahanja
sangat berharga untuk perkembangan pengetahuan sedjarah Sriw i­
djaja.
Pada tahun 1952 itu djuga terbit karangan Prof. Dr. Purbatiaraka
Riw ajat Indonesia, djilid I. Jang kedua tidak pernah menjusul. Prof.
Purbatjaraka dalam bukunja tersebut banjak membitjarakan piaqam-
piagam Sriwidjaja. Pendapatnja jang baru ialah 1. lokalisasi K uL r a
kunjadega pada piagam Tjanggal, jang disamakannja dengan desa
Sleman didaerah Jogjakarta; 2. lokalisasi Mo-ho-sin pada I-ts’inq janq
ditempatkannja di Djaw a Barat. Lokalisasi Mo-ho-sin oleh Prof Pur­
batjaraka semata-mata didasarkan atas kesamaan bunji dengan nama
nama jang serupa jang terdapat pada piagam-piagam, tanpa memper
hitungkan faktor geografi pelajaran pendeta I-ts’ing. Pendeta I-ts’in
tidak pernah berlajar sampai pulau Djawa. Uraiannja mengenai Sr^

30
1

widjaja lebih landjut termuat dalam Laporan Konggres Ilmu Penge­


tahuan Nasional I pada tahun 1958. Piagam Sriwidjaja dibagi men-
djadi dua jakni piagam dengan sebutan punta (jakni dapunta hyang)
dan sebutan maharadja. Jang penting dalam rangkaian ini ialah go­
longan piagam jang terachir. Katanja: ,,Batu tulis jang belum memuat
sebutan maharadja itu dari zaman sebelum Sriwidjaja menjerang pulau
Djawa. Kemudian tanah Djawa diserang dan dapat dikalahkan, ke-
radjaan diserahkan kepada Sriwidjaja. Sandjaja lari kedaerah pegu­
nungan. Disitu Sandjaja menjiapkan diri untuk membalas. Sandjaja
berhasil mengalahkan Sriwidjaja dibawah anak Melaju tulen. Setelah
seorang keturunan Sandjaja dinobatkan di Sriwidjaja, batu tulis Sri­
widjaja memuat sebutan maharadja dari keturunan Sailendra. Adapun
maharadja keturunan Sailendra jang tersebut dalam prasasti Kalasan
menurut kejakinan saja, ialah rakai Panangkaran. Kalau dikatakan
bahwa rakai Panangkaran itu tjuma diperintah sadja oleh radja jang
tidak disebut namanja> hal itu tidak tepat ....... Setelah Sriwidjaja ada
dibawah kekuasaan keluarga Sailendra, radjanja tinggal ditanah D ja­
wa. Rakai Panangkaran disuruh pindah ke Sriwidjaja. Oleh karena
rakjatnja beragama Buda, diminta oleh ajahnja, radja Sandjaja, untuk
memeluk agama Buda. Kemudian didesak oleh pendeta-pendeta dari
Kodja untuk menjerang tanah Djawa, dimana bertachta seorang kaum-
nja sendiri. Peperangan ini tertj'antum dalam tjerita Adji Saka. Seterus-
nja rakai Panangkaran mendfadi radja Sriwidjaja, berkedudukan di
Djaw a dan saudaranja melarikan diri ke Dinaja (M alang) jaitu radja
Dewasimha."
Uraian Prof. Purbatjaraka diatas menarik perhatian, namun hu­
bungan peristiwa belum ada pembuktiannja. Misalnja, adakah rakai
Panangkaran itu memeluk agama Buda karena disuruh Sandjaja untuk
memerintah Sriwidjaja, karena rakjat Sriwidjaja beragama Buda? A da­
kah sudah pasti bahwa rakai Panangkaran itu mendjadi radja Sriwi­
djaja? Adakah hubungan antara ratu Sandjaja dan rakai Panangkaran
betul sebagai ajah dan putera? Semuanja masih merupakan tanda tanja,
merupakan persoalan jang pemetjahannja menghendaki bukti-bukti.
Terbitan sesudah perang dunia II jang benar-benar sekadar mem­
berikan pemetjahan salah satu soal sedjarah Sriwidjaja ialah terbitan
Dr. J.G. de Casparis Prasasti Indonesia I, II. Dalam hubungan ini ba­
gian jang terpenting ialah pasal X I tentang piagam Djatiningrat —
Balaputra jang terbit dibawah djudul A metcical old Javanese inscription
dated 856 A .D . Penjelidikannja tentang piagam Djatiningrat — Bala­
putra ini penting sekali artinja untuk pemetjahan soal hubungan antara
radjakula Sailendra dan Sriwidjaja pada pertengahan abad 9. Piagam
tersebut mempunjai tarich tahun Saka wualung gunung sang iviku

31
(tahun Saka 778) atau tahun Masehi 856, tertulis dalam bentuk kawya
(kekawin) dalam bahasa D jaw a kuno. H ingga sekarang kekawin
tersebut adalah kekawin D jaw a kuno jang tertua. Isinja seperti ber­
ikut:
Pada 1^-9- Seorang radja bernama Djatiningrat. memeluk agama
Siwa, berbeda dengan sang permaisuri. Djustru dalam bagian itu tersebut
nama B a la p u t r a dalam pada 7. Balaputra menimbun ratusan batu
untuk didjadikan benteng pertahanan dan tempat bersembunji dalam
peperangan dengan Djatiningrat. Beliau mengambil nama Brahmana
(jakni D jatiningrat) dan mendirikan keraton di M edang didaerah Mam-
rati. Sesudah itu beliau m engundurkan diri sebagai radja dan me­
njerahkan pemerintahan kepada D yah Lokapala. Rakjatnja terbagi atas
empat asrama, masing-masing dikepalai oleh seorang brahmana.
Pada 10 — 13- Sang radja bersiap-siap untuk mengadakan upatjara
kematian. Rakai M am rati menjerahkan tanah W a n til. Beliau merasa
malu bahw a dusun Iw ung pernah mendjadi medan pertempuran. Se­
telah beliau beroleh kekuasaan dan kekajaan, lalu mendirikan tjandi
makam. Beliau menghimpun pengetahuan dharma dan adharma. T idak
ada orang jang berani melawan. Sang radja mendirikan halu, jakni
lingga. Semua orang turut menjumbang untuk pembangunan lingga
jang sangat indah itu.
Pada 14 - 17. Tentang keadaan lingga jang didirikan. D ipintu ada
artja pendjaga jang gagah berani untuk mendjaga keamanan dan
keselamatan bangunan. D ipintu masuk didirikan dua bangunan jang
berbeda-beda bentuknja. Didalam daerah lingga itu ditanam pohon
tandjung dan didirikan rumah-rumah ketjil untuk para pertapa. Po-
koknja bangunan itu indah sekali.

P ad a 1 8 — 23. R u an g bangunan jang terindah dipakai untuk jang


diperdew a. P ara pengundjung dan penjem bah berderet-deret dengan
horm at d an tenang. Sem ua orang dim inta datang bersembah. Pada hari
peresm iannja rakjat datang m enjaksikannja.
Pada 24 — 29. Peresmiannja dilakukan pada tahun Saka 778 hari
11 dari bulan terang, Selasa W ag e . Sesudah bangunan itu selesai se-
luruhnja, kali dipindahkan, tanahnja didjadikan wilajah tjandi. Itulah
tanah merdeka Pameget W a n til. Berikut nama pedjabat dan djabatan-
nja. T anah merdeka itu mendjadi milik tjandi. Semua orang jang diberi
tugas untuk mendjaga dan melakukan persembahan, diharap tekun
lagi tabah, dan djuga tidak akan mengalami lahir-mati jang tidak ada
hentinja.
D engan terbitan itu persoalan asal-usul Balaputra mendjadi djelas.
Balaputra terbukti berasal dari D jaw a Tengah. Penjingkirannja ke

32
Sriw idjaja disebabkan karena kekalahan perang dengan D ja tin in g ra t
pada pertengahan abad 9. N a m a B alaputra m ulai dikenal sedjak tahun
1924 berkat penerbitan piagam N a la n d a oleh sardjana H ira n a n d a Sastri
dibaw ah djudul The N a la n d a Copperplate of D ew apalad ew a dalam
E pigraphia Indica 17 hal. 310 -327). F .D .K . Bosch berdasarkan ter­
bitan itu menulis karangannja Een O orkonde van het Groote Klooster
te N a la n d a dalam T .B .G . 65 tahun 1925 hal. 509 - 527. R .C . M ajum -
dar djuga tertarik kepada terbitan piagam N a la n d a tersebut dan me­
nulis karangannja dalam m onografi V are n d ra Research Society I pada
tahun 1926. D a lam terbitannja tentang piagam K elurak pada tahun
1929 dalam T .B .G . 69 Bosch dengan sendirinja m em banding epiteton
viravairim anthana pada piagam N a la n d a dengan vairivaraviram ardana
pada piagam Kelurak. Perbandingan itu sekarang sudah m endjadi
klasik, karena setiap sardjana jang menulis tentang sedjarah S riw id ja ja
tentu m engulanginja, tetapi siapa diantara radja M e d a n g jang mem-
punjai epiteton tersebut, hingga sekarang belum dapat dipastikan.
Pendapat tentang hal itu masih bersimpang-siur. D alam k aran g an nja
Le Çailendca, tueur des héros ennemis (1950) jang telah disebut
diatas, Coedès dj'uga m enudju kearah pem etjahan persoalan itu dan
merekonstruksikan çesasarvvârim adavithanaç dengan tam bahan ma dan
batjaan tha diantara vi dan naç. M eng enai lem pengan tem baga N a la n ­
da ini Krom menulis, bah w a piagam tersebut m em buktikan 1 . arti N a ­
landa bagi pemeluk agam a B uda di Sum atera; 2. h u bu ng an erat antara
radja-radja Sailendra di D ja w a dan Sum atera. K atanja: H u b u n g a n itu
tidak didasarkan atas kesam aan nam a semata-mata, tetapi karena
kedua radja itu benar-benar berasal dari satu keturunan (Hindoe-
Javaansche Geschiedenis hal. 143). Persoalan B alaputra jang sebelum-
nja selalu menemui djalan buntu, karena terbitan A metrical old Java-
nese inscription dated 856 A .D . ini m endjadi agak djelas. N a m u n
artikel itu djuga belum dapat m em etjahkan persoalan B alaputra, karena
bagaim ana B alaputra dapat naik tachta keradjaan S riw idjaja, m asih
tetap m erupakan teka-teki. D ju g a de C asparis m asih be rang gapan
bah w a D harm asetu, nenek B alaputra, adalah radja Sriwidjaja:. T etapi
tidak ada buktinja. O le h karena itu persoalan tersebut perlu ditindjau
sekali lagi.
K etjuali terbitan piagam D ja tin in g ra t - B alaputra jang disertai pem ­
bahasan pandjang lebar dan m endalam , de C asparis m asih m enge­
m uk ak an piagam baru jang langsung m em punjai h u b u n g an dengan
sedjarah S riw idjaja jakni piagam T elag a Batu. P iag am T elag a B atu
adalah piagam persum pahan, senafas dengan piagam K ota K a p u r dan
K arang Brahi, nam un redaksinja berbeda. M u la i baris 3 sam pai 5 p ia ­
gam itu m enjebut djabatan para pembesar pem erintahan S riw idjaja,

33
m ulai d e n g an rajaputra sam pai h ulun haji. P e njeb utan ja n g d e m ik ian
tidak d ila k u k a n p ad a piagam K ota K a p u r dan K aran g B rahi. P e rb e d a ­
an redaksi ini memberi kesem patan u ntu k pentafsiran b aru m engenai
pusat k e rad jaan S riw id jaja. L a in d arip a d a itu Prasasti In d o n e s ia II
masih m em uat petjahan-petjahan piagam S riw id ja ja jang belum d ik e n a l
sebelumnja. In i sem uanja adalah b ah an baru sebagai pe nam bah b ah an
jang telah ada u ntuk penjusunan sedjarah S riw idjaja.

P ad a ta h u n 1958 D rs. S ukm ono m engem ukakan teori b aru tentang


lokalisasi pusat keradjaan Sriw idjaja berdasarkan pe njelidikan geo-
m orfologi. K aran g a n n ja termuat dalam Laporan K onggres Ilm u P e ­
ngetahuan N a sio nal I hal. 245- 258. H asil penjelidikannja m e n jan g k al
lokalisasi pusat keradjaan Sriw idjaja di Palem bang. Ia m elokalisasikan-
nja di D jam b i, m enjam akan San-fo-ts’i dari berita T io n g h w a dengan
Tembesi dan Sabadeibai dari Ptolomeus dengan pulau S abak . P enje­
lid ik an itu dilakukan atas faham, bahw a pusat keradjaan S riw id ja ja
harus terletak ditem pat strategis jang dapat m enguasai pe lajaran di
Selat M a la k a sebagai djalan lalu-lintas pelajaran In d ia —■T io n g k o k
dan kebalikannja, tanpa memperhitungkan faktor-faktor lainnja. K a ­
rangan ini dikutip dibelakang untuk dibitjarakan. K ita ak an m elihat
sampai dim ana kebenaran teori lokalisasi pusat S riw idjaja berdasarkan
geomorfologi, setelah dikadji dengan bahan-bahan sedjarah lainnja.

P ada w aktu dan tempat jang bersamaan Prof. M r. M o h. Y a m in m ener­


bitkan karangannja Penjelidikan sedjarah tentang negara S riw id jaja dan
R ad jak u la Sjailendra dalam kerangka kesatuan ketatanegaraan Indonesia
(idem hal. 133-223). K arangan itu dibagi m endjadi bagian 1 . Pidato
pembimbing; 2 . Perkembangan penjelidikan sedjarah; 3. Susunan tata-
negara S riw idjaja dibaw ah kekuasaan radjakula Sjailendra; 4 . N e g ara
S riw idjaja dan radjakula Sjailendra dalam kerangka kesatuan ketata­
negaraan Indonesia; 5. Sedjarah djam an Sriw idjaja dalam empat dewasa
(392 — 1406). Kem udian menjusul lampiran beberapa piagam . Dite-
gaskannja bahw a penjelidikan itu dilakukan terdorong oleh semangat
seminar sedjarah di Jogjakarta pada tahun 1957 jang m enghendaki
„tersusunnja sedjarah Indonesia sebagai sedjarah nasional Indonesia.
Penindjauan kembali penulisan sedjarah Asia Tenggara disebabkan
karena penemuan barang baru dan bangkitnja faktor kemerdekaan bagi
penjelidikan dan penulisan sedjarah nasional. Ia m enghendaki agar
faktor kemerdekaan nasional diperhitungkan dengan saksama dalam
penilaian kembali hasil-hasil penjelidikan kebudajaan pada zam an jang
lam pau.” Pada penutup Perkembangan Penjelidikan tertulis ,,dan kong-
gres M .I.P .I. dikota M alang memasukkan sedjarah S riw idjaja kepintu
gerbang pembatjaan dan penjusunan kembali.” D em ikian Y am in .

34

{
Jang terbatja pad a p rasaran itu iala h u ra ia n te ntan g hasil penje-
lid ik a n sed jarah S riw id ja ja sam pai ta h u n 1956. T id a k a d a p a n d a n g a n
baru atau usul b aru u n tu k m em etjahk an persoalan-persoalan ja n g h in g g a
p a d a w a k tu itu m asih m e n d ja d i b a h a n pe rd ebatan. P e m b a tja a n k em bali
b a h a n - b a h a n sedjarah S riw id ja ja m au tid ak m au m e n g h a d a p k a n k ita
k e p ad a persoalan-persoalan tersebut. T im b u ln ja persoalan-persoalan itu
dise b a b k a n k are na para s a rd jan a sedjarah jan g b e rsang k u tan, b e rp ik ir
kritis, tid a k d a p a t m enerim a begitu sadja saran-saran jan g d ia n d ju rk a n
sebelum nja. D e m ik ia n la h m enurut paham saja pe rd ebatan ilm iah itu
b e rtu d ju a n u n tu k m entjari pendjelasan m engenai k e d ja d ia n ja n g dinjata-
k a n p a d a atau d alam be ntuk piag am d an u ra ia n lain n ja . P a ra s ard jan a
m entjari h u b u n g a n a n tara peristiw a-peristiw a sedjarah ja n g n a m p a k n ja
m asing-m asing berdiri sendiri. Sebelum h u b u n g a n a n ta ra fakta- fakta
sedjarah itu d a p a t did je lask an, m aka rekonstruksi sedjarah S riw id ja ja
belum d a p a t d ila k u k a n d e n g an sem purna. R ek o nstru k si jang d ip a k s a ­
k a n d a la m suatu k erang k a tan p a p e ng etah uan jan g b e nar m engenai
fakta-fakta ja n g be rsang k u tan, lebih m enjerupai la m u n a n d a rip a d a
rekonstruksi, k are na pendjelasan fakta-fakta sedjarah ja n g k e d a p a ta n
disana-sini m asih m e ru p ak an persoalan. S eb ag ai m isal p e n ju su n an
sedjarah S riw id ja ja m enurut konsep T o y n b e e d ik e m u k a k a n la h irn ja
k e ra d ja a n S riw id ja ja b e rd asark an piag am K e d u k a n B ukit: „ D e w a s a
tim b u l dari ta h u n 392 sam pai 683, jaitu tarich prok lam asi p e m b e n tuk an
k e d a tu a n S riw id ja ja m enurut dua pertulisan jan g sama, jaitu pertulisan
K e d u k a n B u k it bertarich 605 S a k a .”
B a g a im a n a kita d ap at m e n g atak an b a h w a tarich ta h u n p rok lam asi itu
683 atau m enjebut piag am K e d u k an B u k it itu piag am proklam asi, k a la u
h in g g a sekarang persoalan piagam K e d u k a n B u k it belum d ap at dipetjah-
k an. Jang pasti ialah b a h w a piag am K e d u k a n B uk it itu b u k a n p ia g am
p roklam asi seperti d u g a a n Prof. K rom (H .J .G . hal. 121) jan g d iik u ti
oleh M o h . Y a m in , atau piag am sidd hiyatra seperti ja n g d ik e m u k a k a n
oleh Coedes, m e laink an piag am p e rd ja la n a n d ja ja atau p iag am jayasid-
d h a y atra. L a g ip u la pad a ta h u n 671 pendeta I-ts’ing d an W u - h in g
telah m e n g u n d ju n g i k e rad ja an S riw id ja ja d an diterim a oleh sang radja.
Persoalan b a g a im a n a B alap u tra d ap at m en djad i ra d ja di S riw id ja ja
sesudah m en jing k ir dari M a ta ra m , belum m e n d a p a t d ja w a b a n ja n g m e­
m uaskan. K e b a n jak a n para sard jana m en du ga b a h w a nenek B ala p u tra
Sri D h a rm a se tu a d alah rad ja S riw id ja ja , tetapi d u g a a n ini tid a k b e rd asar­
k a n buk ti. U r u ta n radja jang m em erintah k e ra d ja a n S riw id ja ja seperti
ja n g d ip a p a rk a n oleh M o h . Y a m in , m asih harus diik u ti ta n d a ta n ja jan g
besar. In i h a n ja beberapa tjontoh sadja m engenai persoalan sedjarah
S riw id ja ja . S em ang at nasio nal dalam penulisan sedjarah m em ang sangat
d ip e rlu k a n d a n sem angat itu m e n d jiw ai P rof. Y a m in . N a m u n sem angat

35
j

nasional didalam karja ilmiah tidak dapat merobah anggapan mendjadi


fakta sedjarah tanpa didahului oleh pembuktian atau menganggap sepi
persoalan-persoalan jang ada. Oleh karena itu menurut pendapat saja,
salah satu djalan jang harus ditempuh sebelum menjusun kembali sedja-
rah Sriwidjaja dalam rangka nasional, ialah berusaha meneliti lagi
bahan-bahan sedjarah Sriwidjaja dan berusaha memetjahkan persoalan-
persoalan jang masih gelap. Usaha penjusunan kembali sedjarah Sriwi-
djaja seperti jang ditjita-tjitakan oleh Prof. M r. M oh. Yamin, terang
mempunjai segi-segi jang baik. Sedikit demi sedikit kelemahannja akan
dapat diatasi.
Pada tahun 1961 Tan Yeok Seong mengumumkan salinan piagam
Kanton jang diketemukan pada tahun 1959. Piagam itu mengenai pem­
bangunan kembali tjandi Tien Ching jang diselenggarakan oleh Ti-
hua-ka-lo dari San-fo-ts'i pada tahun 1079. Penemuan piagam ini pen­
ting artinja untuk mengetahui keadaan negara Sriwidjaja pada abad 11
sesudah serangan radja Chola seperti dinjatakan pada piagam Tanjore
jang bertarich tahun 1030. Djika transkripsi Ti-hua-ka-lo itu memang
benar dan dapat diidentifikasikan dengan Dewa Kulottungga (Dewa
Chola), maka ada kepastian bahwa Sriwidjaja pada waktu itu ada
dibawah kekuasaan radja-radja Chola.
Prof. Brian Harrison dalam bukunja, South East Asia (1957) mem-
bitjarakan keradjaan Sriwidjaja pada pasal III dibawah djudul
Early Indianized States: Funan and Sdvijaya. Brian Harrison meng­
uraikan pembentukan keradjaan Funan oleh Kaundinja berasal dari
P ’an-pa’an (Prampuri diteluk Siam) disekitar tahun 400 dan runtuhnja
dalam abad 6 oleh bangsa Khmer. Dengan runtuhnja keradjaan Funan
itu Kambodja memasuki zaman pre-Angkor jang berachir nada tahun
802, jakni timbulnja pemerintahan Djajawarman II setol^V, i. l
kan diri dari kekuasaan Djawa. Berdasarkan pendapat CcedeTuTmenT
hubungkan wangsa Sailaradja di Kambodja dengan c T j
di D jaw a Tengah dan Sriwidjaja. Menurut pendana*-«- 3 ^
wangsa Sailendra oleh radja-radja di Djawa Tencrah •<■ ^ pen,e^ utan
bahwa mereka adalah achliwaris dari radja-radja di F 1 U mf ^ unc^ ukkan
dapat Coedes itu hingga sekarang masih tetap mpru” 3!!’ pen'
jang masih memerlukan pembuktian. Se.jara populer IW
rison menguraikan sedjarah Sriwidjaja dengan s e k a d i
pelbagai peristiwa sedjarah jang masih diraouk^n ^ men)ln9gung
pemetjahan. Tetapi oleh karena tulisan itu A • ^ j ” men9kendaki
peristiwa ^ ^ populer J * . ^
setjara angkat pula, dengan sendirinja ia tidak berusaha untuk m em -
tjahkan persoalan-persoalan itu. Mengenai hubun™ «
Sailendra di Djaw a Tengah dan d, L w « !

36
I

kedatangan wangsa Sailendra di Sriwidjaja dalam abad 9 disebabkan


karena perkawinan. Bukti usang jang dikemukakannja ialah pernjataan
Balaputradewa pada piagam Nalanda. Soal perkawinan politik memang
mempunjai peranan penting dalam perluasan wilajah, namun kedatangan
Balaputradewa dari Djawa Tengah ke Sriwidjaja kiranja tidak didasar­
kan atas perkawinan dengan puteri Sriwidjaja. Lagipula Dharmasetu
jang hingga sekarang dianggap radja Sriwidjaja dan mendjadi nenek
Balaputradewa, kiranja radja Djawa Tengah. Jang pasti ialah bahwa
nama Sri Dharmasetu kedapatan pada piagam Kelurak dengan tarich
tahun 782. Balaputra sendiri berasal dari Djawa Tengah pula. Ajahnja
Samaragrawira djuga mendjadi radja di Djawa Tengah. Penjingkiran
Balaputradewa ke Sriwidjaja tidak didasarkan atas perkawinan dengan
puteri Sriwidjaja, tetapi kalah perang dengan rakai Pikatan. Mengenai
hal ini akan didapat uraian jang lebih mendalam dalam pasal jang
bersangkutan.
Pada tahun 1961 terbit tjetak ulang buku Prof. D .G .E . Hall A His-
tory of South East Asia, jang telah terbit pada tahun 1955. Tulisan
Hall tidak semata-mata menguraikan sedjarah kuno seperti jang dilaku­
kan oleh Prof. Dr. N.J. Krom dan Prof. George Coedes, tetapi djuga
membitjarakan sedjarah baru tentang perkembangan negara-negara di
Asia Tenggara. Uraiannja tentang sedjarah lama jang bersangkut paut
dengan Indonesia dikerdjakannja dengan teliti berdasarkan hasil penje-
lidikan dan pandangan para sardjana Perantjis, India dan Belanda baik
jang telah lama lampau maupun jang masih sangat baru. Sedjarah In ­
donesia kuno mendapat tempat jang wadjar. Djuga sedjarah Sriwidjaja
dengan sendirinja mendapat penuh perhatian. Uraiannja mengenai
sedjarah Sriwidjaja didasarkan atas karangan Coedes, Majumdar, Nila-
kanta Sastri, Krom dan terutama de Casparis. Boleh dikatakan, pan­
dangan de Casparis hampir seluruhnja diterima, diringkas. Nama-nama
radja Sriwidjaja jang masih merupakan teka-teki dan jang pernah
dikemukakan oleh de Casparis sebagai anggapan, ikut djuga terkutip.
Disamping itu ia menolak pendapat Coedes tentang asal-usul radjakula
Sailendra dengan mengatakan, bahwa pendapat Coedes masih merupa­
kan teori belaka, jang masih memerlukan bukti-bukti. Ia gembira dengan
penemuan nama narawata jang tertjantum pada baris- penghabisan pia­
gam Kelurak, jang mengingatkannja kepada nama ibukota keradjaan
Funan lama. Kata narawara artinja: orang pilihan atau orang perwira,
tidak ada hubungannja dengan nama kota. Pandangan Hall sebagai
pandangan sedjarah jang didasarkan atas segala hasil penjelidikan
para sardjana jang bersangkutan, merupakan himpunan sari penjeli­
dikan sedjarah Sriwidjaja dan berguna sekali untuk diketahui) namun
tidak memberikan fakta baru.

37
Itulah karangan-karangan jang penting tentang sedjarah Sriw idjaja
hingga tahun 1961. Karangan-karangan lainnja jang chusus mengenai
Sriwidjaja, tetapi tidak langsung mengenai sedjarah perkembangan S ri­
widjaja, akan disinggung dalam pembahasan, djika dianggap perlu. M asih
ada beberapa karangan ahli sedjarah jang djuga menjinggung sedjarah
Sriwidjaja, tetapi pembahasannja hanja dilakukan sambil lalu, sehingga
rasanja tidak perlu ditanggapi setjara chusus. Bernard H .M . Vlekke
menerbitkan Nusantara, A History of Indonesia pada tahun 1959 sebagai
tjetak ulang dari karangannja pada tahun 1943. D ari djudulnja itu orang
mengharapkan pembahasan sedjarah Sriwidjaja setjara mendalam atau
setjara luas, tetapi kenjataannja Vlekke hanja menjinggung sadja soal
Sriwidjaja. Keradjaan Sriwidjaja dibitjarakan pada pasal II The kingdom
of Java and Sumatra. Dalam pasal itu keradjaan Sriwidjaja hanja di­
singgung sadja dengan beberapa kalimat. Jang lebih banjak mendapat
perhatian ialah sedjarah M ataram dan Madjapahit. Uraiannja boleh di­
katakan singkatan pendapat Krom. Djuga H.J. de G raaf dalam bukunja
Geschiedenis van Indonésie (1948) hanja menjinggung setjara sepintas
lalu sedjarah Sriwidjaja.

38 i
II

P E N D ID IK A N P E N D E T A I-TS’I N G

Pendidikan

Fa-chien adalah pendeta T ionghw a jang pertama kali m elakukan


ziarah ketanah sutji India sebagai sumber agama Buda. Lam a ziarah itu
lebih kurang 15 tahun jakni dari tahun 399 sampai 414. Z ia ra h itu d i­
uraikan dalam bukunja Fo-hue-ki. Seratus tahun kem udian jakni pada
tahun 518 Sun-yun dan Hwui-ning berziarah dari T iongkok ke India
djuga, nam un uraiannja terlalu singkat, djika dibandingkan dengan
uraian pendeta-pendeta lainnja. Pendeta H iuen Thsang mengembara
selama 17 tahun ditanah sutji India dari tahun 629 sampai 645. Segala
pengalam annja diuraikannja dengan teliti dalam bukunja Si-yu-ki. D e ­
ngan sendirinja uraian itu berharga sekali untuk pengetahuan sedjarah
dan geografi India pada abad 7. U raian jang bernilai tinggi itu ternjata
menarik perhatian para pemeluk agama Buda dan m endjadi pendorong
untuk djuga m elakukan ziarah ke India. D em ikianlah setelah H iuen
T hsang meninggal, pendeta I-ts’ing berangkat ke N a la n d a pada tahun
671. Setjara teliti ia m enguraikan ziarahnja dalam bukunja jang ber-
djudul Nan-hai-chi-'kuei-nai-fa-ch’uan dan Ta-t’ang-si-yu-ku-fa-kao-
sêng-ch’uan. Buku jang pertama diterdjem ahkan oleh T akakusu pada
tahun 1896 dibaw ah djudul A record of the B uddhist religion as prac-
tised in Ind ia and the M a la y Archipelago. U n tu k gam pangnja buku itu
disebut Record sadja. Buku I-ts’ing jang kedua diterdjem ahkan oleh
Prof. Chavannes pada tahun 1894 dibaw ah djudul M em oire à l’époque
de la grande dynastie T ang sur les religieux éminents qui allèrent cher­
cher la Loi dans les pays d ’Occident. Atas alasan jang sama buku jang
kedua ini disebut M emoire sadja. Kedua karja itu penting sekali untuk
mengetahui sedjarah keradjaan Sriw idjaja chususnja dan negeri-negeri
dilautan T eduh umumnja, jang dilalui I-ts’ing dalam perdjalanannja
dari T iongkok ke Ind ia dan kebalikannja. I-ts’ing m enjaksikan keadaan
negara Sriw idjaja dan negara-negara lainnja dengan m ata kepala sen­
diri. U ra ia n n ja adalah sumber berita dari tangan pertama. O le h karena
itu m endapat perhatian sepenuhnja.
Pendeta I-ts’ing lahir pada tahun 635 di Fan-yang dekat Peking,
dalam masa pemerintahan Fai-tsung. Sedjak berum ur 7 tahun ia bela-
djar sastra T ionghw a umum. Ia merasa berbahagia sekali bertemu
dengan dua orang guru jakni San-yü sebagai u padhy ay a d a n Hui-hsi
sebagai karm acarya. M ereka tinggal diasram a Shi-en-t’ung jang d i­
dirikan oleh ahli renung. Seng-lang sedjak tahun 396, seorang pertapa
dari Chin-yü di T ai Shan. M ereka masing-masing dilahirk an di T eh

39
dan Pei. Mereka berdua sependapat, bahw a kehidupan bertapa banjak
manfaatnja untuk kepentingan dirinja pribadi, nam un sedikit faedahnja
untuk kebahagiaan orang lain. Sekadar untuk memenuhi peraturan
agama jang dipeluknja, San-yii dan Hui-hsi pernah m elakukan tapa
digua (T ’u-k’u) sambil memandang air djernih jang mengalir. H id up
bertapa demikian itu tidak dilandjutkan. M e re k a \lebih suka bekerdja,
mengumpulkan bahan m akanan untuk persediaan bagi para m urid jang
suka mengangsu ilmu pada mereka diasrama, dan untuk persadjian
kepada artja Buda. San-yii dan Hui-hsi mendidik I-ts’ing sedjak ber­
umur 7 tahun sampai berumur 37 tahun, waktu ia berangkat ke India
melalui keradjaan Sriw idjaja di Sumatera.
I-ts’ing hanja mendapat kesempatan 5 tahun lamanja untuk beladjar
pada San-yii, karena pada tahun 646 San-yii meninggal. Tetapi waktu
5 tahun itu sudah tjukup baginja untuk mengenal djiwa San-yii. Gengsi
San-yii sangat berkesan pada I-ts ing. I-ts ing menjebut gurunja dalam
Record, jang ditulisnja lebih kurang 45 tahun kemudian sepeninggal
San-yii dengan kiasan gadjah besar. Pemakaian metafora jang demi­
kian oleh sardjana besar seperti I-ts ing hanja dapat ditafsirkan sebagai
pernjataan kekagum annja terhadap keagungan sifat-sifat sang guru
San-yii, sebagai guru, sebagai pendeta, sebagai sardjana dan sebagai
manusia biasa. D alam bukunja tersebut I-ts'ing m enguraikan enam sifat
jang dimiliki oleh San-yii jakni: keluasan pengetahuan sebagai guru,
keaneka-ragaman pengetahuannja, ketjerdasan berpikir, kedjudjuran,
kemurahan hati dan ketekunan kerdja.
I-ts’ing melandjutkan riwajatnja dan berkata bahw a pada w aktu itu
ia sedang m engindjak usia 12 tahun. Sepeninggal San-yii dalam pela-
djaran ia dipim pin oleh Hui-hsi, jang menurut uraiannja ternjata sar­
djana besar pula. Pada umur 14 tahun ia dilantik dalam pravadya dan
sedjak mengindjak umur 18 tahun, timbullah angan-angan untuk me- 1
lakukan ziarah ketanah sutji, India. Tetapi keinginan itu lama tidak
terkabul, sampai ia berumur 37 tahun. Selama itu ia selalu ada dibaw ah
Pimpinan Hui-hsi dan mempeladjari kanon sutji agama Buda. Ketika
ia berumur 20 tahun, ia dilantik dalam upasampada. M enurut I-ts'ing,
Hui-hsi adalah seorang ahli dalam winaya. Pikirannja terang-tenang,
tidak pernah melalaikan latihan, enam kali selama satu hari satu m a­
lam. T idak pernah merasa lelah m engadjar empat matjam kelas jakni
golongan biksu, biksuni, upasaka\dan upasika. Boleh dikatakan bahw a
Ja tidak pernah gusar dalam menghadapi kesibukan jang bagaim ana­
pun. Sikapnja tetap tenang dan sabar. Hui-hsi terlalu djudjur, tidak
suka memihak. Baik pendeta maupun awam, bila benar, dibenarkan,
bila salah disalahkan. Saddharm apundarika adalah buku kegemarannja.
Selama enampuluh tahun ia membatjanja setiap hari, djadi ia sudah

40
m em batjanja duapuluh ribu kali. M eskipun hidu pn ja dalam zam an jang
serba sulit pada masa pem erintahan dinasti S ui (5 0 9 - 6 1 7 ), d a n ber­
pindah-pindah dari tempat jang satu ketem pat jang lain m enurutkan
nasibnja, ia tidak m elalaikan kesanggupannja u ntuk m em batja Sad-
dh arm apundarika setiap hari. Hui-hsi m em iliki sadindera d an em pat
m atjam zat jang diperlukan untuk kesehatan b ad ann ja. O le h karena
itu selama enam puluh tahun ia tidak pernah djatuh sakit. P a d a w ak tu
sendja senjap biasanja Hui-hsi m entjari I-ts’ing. D e n g a n ram ah mereka
bertj^kap-tjakap. A d a kalanja pertjakapan itu hanja m engenai daun-
d a u n jang sedang m enguning, tetapi karena pertjakapan itu ia dapat
m enghin darkan I-ts’ing dari rasa rindu kepada ibunja. A d a k a la n ja ia
m entjeriterakan adat anak lembu jang disusui dan dibesarkan oleh
induknja. D e n g an tjontoh itu ia m engadjar I-ts’ing setjara tid ak lang- '
sung, agar ia selalu membalas tjinta kasih jang pernah d ilim p ah k an
orang kepadanja.
Hui-hsi adalah pudjangga besar. I-ts’ing m engagum i b a k a t kepu-
djang g aannja. P udji sandjung I-ts’ing kepada Hui-hsi terlalu m uluk.
P ad a hal. 213 I-ts’ing m enjatakan ketakutannja, kalau-kalau sem entara
orang m enjangsikan utjapannja, m enduga b a h w a p u d jiannja kepada
Hui-hsi tidak beralasan. O le h karena itu ia m em berikan bukti tentang
kebesaran Hui-hsi. P ad a tan gg al 12 bulan kedua, jakni pada hari Buda-
nirw an a orang ram ai baik pendeta m aupun aw am berkum pul d ib u k it
selatan tempat Seng-lang dim akam kan. M erek a datang u ntuk m em per­
ingati Seng-lang sebagai pem uka agam a B uda. P a d a w ak tu itu semua
pudjang g a dikeradjaan C h ’i hadir. M asing-m asing adalah p u d ja n g g a
terkenal jang telah m em punjai bukti-kerdja berupa karja sastra. Se­
belum hari jang m ulia itu tiba, radja telah m em buat seruan kepada para
pudjang g a untuk menulis sebuah kekaw in jang akan ditulis p ad a kaki
artja Seng-lang pada hari B uda-nirw ana. Hui-hsi m enjam but seruan
itu tanpa ragu-ragu. Hui-hsi menulis kek aw in nja pada tem bok tanpa
kekeliruan sedikitpun. K ek aw in itu term uat pada hal. 214. W a k t u
had irin m em batja kekaw in tersebut, sem uanja kagum . A d a dian tara
pudjang g a jang segera m eletakkan pensilnja, ada jan g m en usukkannja
pada batang pohon sambil berkata: „Si S hih (nam a seorang w a n ita
jang terpudja ketjantikannja) telah m em perlihatkan diri. B a g aim ana
M u M o (nam a w anita buta) akan m en an din gin ja?" B an jak kaum tjen-
dekiaw an jang hadir pada w aktu itu, nam u n tak ada seorangpun jang
sanggup m enandingi Hui-hsi. K arja Hui-hsi jang bertebaran telah d i­
kum pulkan dalam him punan karangan.
I-ts’ing dibesarkan dalam lin g ku ng an kesardjanaan. O le h karena
iapun m em iliki bakat d an djiw a besar, m aka b a k a t d an d jiw a n ja m en­
dapat pupuk jang akan m enjuburkan tum buhnja. D id a la m uraiann ja

41
• b t tiga orang guru, jang faham akan winaya dan sangat di-
ia menj jakni; San-yii, Hui-hsi dan Ming-teh. Itulah latar belakang
° r^ v l'k a n pendeta I-ts’ing sebelum berangkat ke India. Hui-hsi sering
j^ rk a ta kepadanja, bahw a Buda telah lama meninggal. A djarannja
ei| T io,- bisalah tafsirkan. Mereka jang harus membina aturan-
sudah mulai . . .
aturan keagamaan, malah melanggarnja. A djaran Hui-hsi m ilah jang
m end'adi pendorong dan menimbulkan angan-angan padanja untuk
melakukan ziarah ke India, untuk mempeladjari agama Buda lebih
dalam lagi I-ts’ing m eng anggap San-yu sebagai b a p a k n ja , Hui-hsi
D a la m h u b u n g an mesra antara guru d an m urid seperti
sebagai ib u nja. l ’“ 1“ °
ianq diuraikan dan dialami oleh I-ts ing itu sendiri, maka djiw a jang
memang berbakat akan dapat berkembang. Salah satu pendorong
I-ts’in untuk melakukan ziarah ke India ialah kekagumannja kepada
pendeta Fa-hien dan bhadanta Hiuen Thsang jang telah lebih dahulu
mengundjungi India. Karena kundjungan itu mereka mendapat penge­
tahuan jang lebih luas dan lebih dalam serta semangat jang menjala-
njala untuk menjiarkan agama Buda di Tiongkok. D alam Record hal.
183 - 184 I-ts’ing berkata: „Kasiapa-matanga dan D harm araksha me-
njam paikan berita-berita sutji diibu kota propinsi timur Lo (Honan-
fu); kemashuran P aram artha sampai dilaut Selatan (N a n Y in g ) dan
jang sedang mulai ialah Kumaradjiwa. Ia memberikan kehidupan segar
kepada negeri asing (T iongkok). Kemudian bhadanta H iuen T hsang
memberikan kuliah dinegerinja sendiri. D engan djalan dem ikian baik
pada zam an jang telah silam maupun pada zam an sekarang, para guru
menjebarkan adjaran Buda sangat luas dan djauh.” Pada hal. 207
I-ts’ing m enguraikan djasa-djasa Seng-lang sebagai pendeta terkemuka,
jang m endirikan tjandi dan asrama di T ’ai Shan. M eskipun Seng-lang
telah lama meninggal, namun pengaruhnja masih tetap terlampau besar
dan kem ashurannja masih terus berkumandang. Sepeninggal Seng-lang,
San-yii dan Hui-hsi tampil kemuka sebagai penggantinja, ditam bah
seorang lagi Mirig-teh: ketiga-tiganja ahli dalam winaya dan faham
akan segala sutra. Salah satu adjaran jang mereka pertahankan ialah
larangan membakar djenazah. Sedjak para pendeta dari asrama K uda
Putih di Lo-yang, jakni Kasiapa-matanga dan D harm araksha bergerak,
mem antjarkan sinar kebidjaksanaan, seolah-olah mereka mendj'adi m a­
tahari dan bulan dinegara dewata (T iongkok); gadjah hitam K ’ang-
seng-hui dan Fa-hien siap berpelana, karena tepa teladan jang sangat
utama, mendjadi pertahanan dan djembatan untuk m engantarkan ke-
kajaan spirituil India ke Tiongkok. Tao-an dan Hui-yen bergerak se­
bagai harim au disebelah selatan sungai Yang-tse dan H an. Hui-hsi
dan Fa-li beterbangan sebagai burung hantu disebelah utara sungai
H w an g dan Chi.

42
I-ts’ing berangan-angan m endjadi pendeta jang berguna untuk pe-
njiaran agam anja seperti para pendeta jang dikag um inja itu. Ia ber­
pikir bahw a rantai kedatangan penjiar agam a tidak boleh terputus.
O le h karena itu ia ingin bersiap-siap untuk m endjadi pendeta besar
dinegerinja jang kiranja kem udian sanggup m engganti gurunja, Hui-
hsi. O le h karena itu iapun m entjurahkan segenap tenaga dan perhati-
annja kepada adjaran sang guru dan kepada segala m atjam sutra.
K etika terasa oleh Hui-hsi bahw a ia sudah masak dalam ilmu, m aka
ia m endapat perintah untuk pergi m entjari ilmu jang lebih dalam.
D em ikianlah I-ts’ing minta diri kepada Hui-hsi, berangkat ke W e i
disebelah selatan. D isana ia m empeladjari A bhidarm asangiti dan Sam-
parigrahasastra. K em udian berpindah keibukota propinsi barat Si-an-
fu untuk mempeladjari Koca dan V idy am atrasiddhi. D isini I-ts’ing
menetap sampai tahun 670, beberapa bulan sebelum ia berangkat ke
India. Setelah persiapan untuk m elakukan ziarah ke In d ia dipandang
telah tjukup, ia m eninggalkan ibukota Si-an-fu menudju Fan-yang,
tempat kelahirannja. Sesudah itu barulah ia kembali keasrama T 'ai
Shan untuk minta nasehat kepada Hui-hsi. K atanja: „Sang guru, saja
bermaksud untuk m engadakan perdjalanan djauh. Saja jakin bahw a
disini saja belum sampai pada ilmu jang saja tuntut. D item pat tudjuan
itu saja akan memperoleh kem adjuan jang pesat. E n g k au sudah landjut
dalam usia. O le h karena itu saja tidak akan berbuat sesuatu tanpa
m inta nasehatmu lebih dahulu.” D jaw ab Hui-hsi: „In i adalah kesem­
patan jang sangat baik bagim u. Kesempatan itu tidak akan berulang
lagi. A k u gembira mendengar maksudmu. T a k ada gunanja aku me­
lahirkan perasaan kesedihanku. Bila ada umur pandjang, aku akan
m elihatmu kembali dan akan menjaksikan usahamu memperluas adjaran
Buda. Berangkatlah tanpa ragu-ragu. D jan g an melihat segala apa jang
kau tinggalkan. A ku setudju benar dengan m aksudmu untuk m elakukan
ziarah ketanah sutji. A palagi mengingat bahw a ziarah itu adalah
penunaian tugas sutji untuk kebahagiaan agama. T id ak usah ragu-
ragu.”

Perdjalanan ke Ind ia

Sebelum I-ts’ing berangkat, ia masih sempat m engundjungi kubur


San-yii untuk memberi hormat, minta diri dan restu. P ada w aktu itu
daun-daun pohon disekitarnja terlalu rim bun m elingkupi nisannja, dan
rumput-rumput tumbuh sangat rapat pada kaki nisan. M eskipun San-
yii sudah tidak ada lagi, nam un hormat I-ts’ing besar bukan kepalang,
seolah-olah San-yii masih hidup. I-ts’ing merenungkan segala kebaikan
sang guru, jang pernah dilim pahkan kepadanja. K em udian ia berang­

43
kat m eninggalkan Kwang-chou (K anton) pada bulan 11 tahun kedua
pada masa pemerintahan Hsien Heng atau pada tahun M asehi 671
menudju lautan Selatan dengan hati tenteram, karena m aksudnja di-
setudjui oleh sang guru, bahkan m endapat perintah berangkat, jang
bagaim anapun tidak akan dapat diabaikannja. D em ikianlah ia berlajar
dari negeri jang satu kenegeri jang lain> menudju India untuk berziarah.
Pada hari kedelapan bulan dua tahun keempat masa pemerintahan
Hsien H eng (tahun M asehi 673), I-ts’ing sampai di Tam ralipti, sebuah
pelabuhan dipantai India Tim ur. Pada bulan kelima ia m engadakan
perdjalanan kebarat, bertemu dengan kawan-kawan disana-sini. K e­
m udian keasrama N aland a dan ketachta manikam; achirnja mengun-
djungi semua tempat sutji. Setelah itu kembali ke Shih-li-fo-shih.
U raian perdjalanan I-ts’ing dalam Record terlalu singkat. U ra ian
itu hanja sekadar diselipkan sadja dalam pasal jang istimewa memper-
bintjangkan para gurunja. U raiannja jang lebih pandjang termuat
dalam M em oire jang telah diterdjemahkan oleh Prof. Chavannes. Se­
mula ada beberapa orang teman jang akan turut berangkat. Sam pai
tahun pertama masa pemerintahan Hsien Heng atau tahun M asehi 670.
I-ts’ing tinggal diibukota propinsi barat C h ’ang-an. Pada w aktu C h ’ui,
pengadjar hukum, anak kelahiran Ping-pu, Hui-gi, pengadjar sastra,
berasal dari Lai-chou dan dua tiga bhadanta lainnja, telah setudju
untuk bersama-sama dengan I-ts’ing m engundjungi G ridakuta daxi
melihat B hodidrum a di India. C h ’ui tidak djadi ikut, karena tjintanja
kepada tempat kelahirannja dan ingat kepada ibunja jang sudah tua.
Hui-gi, berubah pikirannja, berbelok ke Sukaw ati waktu bertemu de­
ngan Hiuen-chan di Kianning. Hiuen-kei hanja sampai Kwang-tung.
A chirnja I-ts’ing berangkat dengan seorang teman sadja, seorang pen­
deta muda, m uridnja jang bernama Tsin-chou. Pendeta m uda ini dalam
perdjalanannja berhenti di Sumatera, lalu kembali ke Kwang-tung,
karena djatuh sakit. Dem ikianlah I-ts'ing berziarah ke In d ia hanja
seorang diri. Pada musim rontok tahun 671 ia bertemu dengan Feng-
hsiao-ch’uan dari Kong-chou.
Atas pertolongan Feng-hsiao-ch’uan ia dapat berhubungan dengan
pemilik kapal Persi, jang akan ditumpanginja. I-ts’ing merasa banjak
berutang budi kepadanja, karena Feng-hsiao beserta saudara-saudara-
nja m enjiapkan segala perlengkapan untuk keberangkatannja. M ereka
m endjaga benar-benar agar I-ts’ing djangan sampai m enderita ke­
kurangan, mengalami kesulitan ditengah djalan. M ereka itu tidak ada
ubahnja dengan orang tuanja sendiri. P ada pasal ini njatalah bah w a
ibu-bapak I-ts’ing pada waktu itu telah meninggal, karena ia berkata,
bahw a segala apa jang diminta oleh si jatim-piatu kepada keluarga
Feng, diberinja. D em ikianlah waktu I-ts'ing pada tahun 670 dari ibu-

44
kota propinsi barat berangkat ke Fan-yang, tem pat kelahiran nja, ia
m engund jung i m akam orang tu anja untuk m inta d iri d a n restu dalam
p e rd jalan an ke In d ia. Setjara djudjur ia m engaku, b a h w a ziarahn ja
ke In d ia dapat d ilak uk an terutam a berkat kem urahan hati d an b a n tu a n
keluarga Feng. T id a k enggan-enggan ia m enjebut F eng sebagai tempat
bernaung. P ara pendeta dan aw am jang m enaruh perhatian, turut
m engan tark ann ja sam pai pelabuhan. P ara tjerdik-tjendekia dari pro ­
pinsi utara hadir, terharu pada w aktu berpisah. M erek a m engira tidak
ak a n saling bertemu lagi.
D e m ikian lah pada bulan 11 tahun 671 I-ts’ing berangkat m enurutkan
bin tang Y i dan Chen, m eninggalkan K w ang-tung, m enjusur pantai
kearah selatan. D alam pikirannja telah terbajang tam an M re g a d a w a
di Benares dan gunung K uk kutapadag iri dekat G a y a . K ap al berlajar
m enudju arah selatan jang kemerah-merahan; tali-temali jang pan-
d jang nja seratus kubit, mengelewer dua-dua dari atas. W a k t u berpisah
dengan bintang Y i, dua lajar jang masing-masing p a n d ja n g n ja lim a
helai kain kampas, m elambai, m eninggalkan sisi utara jang kegelap-
, gelapan. K ap al m engarungi lautan, m enerdjang gelom bang besar-besar
setinggi gunung. K apal ladju keselatan m enum pang aliran om bak; ge­
lom bang seperti aw an putih m elem parkan diri keangkasa.
Sesudah ham pir duapuluh hari berlajar, kapal sam pai di Fo-shih
(S r iw id ja ja ). D isini ia m endarat dan menetap selama enam b u lan untuk
beladjar S abdavidya, jakni tatabahasa Sansekerta. A tas b a n tu a n sri
bag in da radja kem udian ia berangkat ketanah M elaju, sekarang men-
djadi bag ian Shih-li-fo-shih (S riw id ja ja ). D isini ia singgah dua bulan
lam anja. K em udian ia meneruskan perdjalanannja ke Ka-cha (K e d a h ).
D a ri sini ia berlajar lagi dengan kapal radja m enudju Ind ia. D ari
Ka-cha terus keutara. Sesudah berlajar sepuluh hari lam anja, sam pailah
pada pulau-pulau Lo-jeng-kuo; penduduknja masih telandjang bulat.
Disebelah tim ur nam pak pantai antara djarak satu dua batu T jina.
Jang nam pak hanjalah pohon njiur dan pohon pinang gembira me­
lambai-lambai. K etika nam pak kapal datang, para penduduk kira-kira
seratus orang banjaknja, segera melompat kedalam sampan-sampan
ketjil, semuanja m embawa buah njiur, pisang, barang-barang dari rotan
dan bam bu, dengan maksud untuk ditukarkan. Jang mereka harapkan
ialah besi; lempengan besi selebar dua djari ditukarnja dengan lima
atau sepuluh buah njiur. Jang laki-laki telandjang bulat, jang perem­
puan sekadar bertutup daun. D jik a ada diantara penum pang jang
setjara senda-gurau m enaw arkan pakaiannja, mereka m elam baikan
tangannja sebagai isjarat menolak. Konon negara ini ada dibaw ah
pengaw asan Shu-ch’uan barat daja. Pulau ini sama sekali tidak m eng­
hasilkan besi; emas dan perak djarang sekali. Penduduknja semata-

45
mata hidup dari buah njiur, tidak banjak padinja. Oleh karena itu jang
mereka anggap paling bermutu dan paling berharga ialah loha. Itulah
nama untuk besi ditempat itu. Kulitnja tidak hitam, tingginja sedang.
Mereka tjakap sekali menganjam bakul-bakul dari rotan; tidak ada
tempat lain jang sanggup menandinginja. Kalau ada jang berani me­
nolak tukar-menukar, mereka segera melepaskan anak panah jang
beripuh. Peluntjuran sekali sadja sudah tjukup untuk membunuh orang.
Kira-kira sebulan berlajar dari situ kearah barat laut sampai Tan-mo-
lo-ti, jang merupakan tapal batas India Timur, terletak lebih kurang
enampuluh jodjana dari Mahabodhi dan Nalanda. M enurut berita Re-
cord, I-ts ing sampai di Tan-mo-lo-ti pada hari kedelapan bulan kedua
tahun keempat pada masa pemerintahan Hsien Heng (tahun Masehi
673). Tan-mo-lo-ti adalah pelabuhan dipantai India Timur. Nama jang
sebenarnja ialah Tamralipti.
D i Tan-mo-li-ti I-ts’ing bertemu dengan pendeta Tan-ch’eng-teng.
Ia lalu tinggal bersama-sama dengan Teng beberapa bulan. Selama itu
ia mempeladjari bahasa Sansekerta dan mempraktekkan pengetahuan-
nja tentang tatabahasa. Kemudian bersama-sama dengan Teng ber­
angkat kepropmsi barat dan menggabungkan diri dengan sekelompok
pedagang jang menudju India Tengah. Kira-kira sedjauh sepuluh
hari perdjalanan dari wihara M ahabodhi djalannja amat sulit laqi
berbahaja. Pada waktu itu ia djatuh sakit dan tertinggal oleh kawan-
kawannja sedjalan. Teng bersama duapuluh pendeta Nalanda 1 '
telah djauh kemuka. Terhujung-hujung dengan djatuh banqun i ^ b ^
usaha menjusulnja, namun tidak berhasil. Ia berdjalan seoran* diri
sampai Nalanda. Dalam hatinja telah tumbuh pikiran bahwa h 111
akan gagal ditengah djalan. Lain daripada itu pada waktu itu* T' ^
pinsi barat sedang berkobar pergolakan. Tiap oranci ■ * \ iPr°."
putih dibunuh. Karena ketakutan I-ts’ing masuk d a la n / T 9 1<:
luruh badannja disaput dengan lumpur hitam. Dialan ut|1Pur- Se­
utara menudju kesebuah desa. Itulah Nalanda jana ,? e“ belok ke"
I-ts ing lalu masuk tjandi Mulagandhakuti, kemudian m
Gridhakuta. Sesudah itu „engundjungi wihara M ahabldh 9UnU” 9
bah kepada artja Buda. U menjampaikan pakaian ja n ‘ f 1“ ' 6“ '
dari Shan-tung, pemberian para pendeta A*n * \ aibawanja
da. Segala titipan aehh win’ ya "T ^
Demikan pula pesan An-tao dari daerah Ts’ dlsamPaikannja.
hormatnja kepada artja Buda telah dilakukan ^ UntUk men)amPaikan
I-ts’ing segera melemparkan dirinja diatas lant ■
bulat memberikan sembah. Ia memohonkan k K u ^ 9an Pikiran
kok, kemurahan Buda kepada radja, ibu-bapak 3013311 untuk Tiong-
berlimpah-limpah diwilajah Dharmadatu- t,arano P3r3 budiman
aPannja ialah bertemu
46
dengan Buda Maitreja dibawah pohon Naga, beroleh adjaran sedjati
dan achirnja memiliki pengetahuan jang tidak tunduk kepada hukum
kelahiran. D i India I-ts’ing berziarah berkeliling ketempat-tempat sutji,
wihara W aigali, Kusinagara, taman Mrigadawa di Benares dan gunung
Kukkutapadagiri dekat Gaya. Ia tinggal diwihara Nalanda sepuluh
tahun lamanja.
Setelah mengumpulkan naskah-naskah sebanjak 500.000 sloka, ia
bersiap-siap akan pulang. Pada tahun pertama masa pemerintahan
Ch’ui-kung (tahun Masehi 685) I-ts’ing minta diri kepada Wu-hing
ditempat sedjauh 60 jodjana dise'belah timur Nalanda. Demikianlah
I-ts’ing menetap di Nalanda antara tahun 675 sampai tahun 685. Dari
situ ia berangkat ke Tan-mo-lo-ti untuk menumpang kapal menudju
Ka-cha. Dari sini kapal berlajar dua bulan kearah tenggara untuk
sampai di Ka-cha. Pada waktu itu kapal dari Fo-shih akan berlabuh
di Ka-cha. Kedatangan kapal dari Fo-shih umumnja pada bulan per­
tama atau bulan kedua. Mereka akan berangkat ke Singala (Srilang-
ka) berlajar kearah barat daja. Kata orang pelajaran itu sedjauh 700
jodjana. I-ts’ing singgah di Ka-cha sampai musim dingin, lalu berlajar
lagi kearah selatan sebulan lamanja menudju tanah Mo-lo-yeu, jang
pada waktu itu sudah mendjadi Fo-?hih. Banjak negeri-negeri jang
mendjadi bawahannja. Pada umumnja kedatangan perahu disana pada
bulan pertama atau bulan kedua. Tinggal disana sampai pertengahan
musim panas, lalu berangkat lagi keutara; kira-kira sebulan berlajar
sampai di Kwang-fu (Kwang-tung).

Pernjataan l-ts’ing

Sekembalinja dari Nalanda I-ts’ing menetap di Fo-shih lebih kurang


4 tahun lamanja. Pada tanggal 20 bulan 7 tahun pertama masa peme­
rintahan Yung-ch’ang (689) ia sampai di Kwang-tung kembali. Pe­
lajaran kembali ini tidak direntjanakan lebih dahulu. Semula ia datang
disungai Fo-shih dengan maksud menitipkan surat rahasia ke Kwang-
tung untuk minta kiriman kue-kue, kertas dan tinta, guna menurun
naskah naskah Sansekerta dan sebagai upah kerdja menurun. Namun
pada waktu itu tiba angin baik. Oleh karena itu lajar-lajar segera di­
pasang. I-ts’ing ikut terbawa. Ia tidak bermaksud akan pulang.

Sekembalinja di Kwang-tung, I-ts’ing bertemu dengan kawan-ka-


wannja seagama baik pendeta maupun awam. Dalam sidang ditjandi
Chih chih I-ts’ing mengemukakan usul pendapatnja. Ia membawa
500 000 *sloka Tripitaka dari India. Sloka-sloka , tersebut masih ke­
tinggalan di Fo-shih. Bagaimanapun ia harus kembali ke Fo-shih.

47
1

Tetapi ia sudah merasa tua, sudah berumur limapuluh tahun lebih.


O leh karena itu ia minta bantuan tenaga, jang kiranja dapat diserahi
pekerdjaannja. Usul itu mendapat sambutan baik dari sidang. Pendeta
bernama Cheng-ku, seorang ahli w inaya, jang tempat tinggalnja tidak
djauh dari Kwang-tung diusulkan oleh sidang sebagai pembantu utama
I-ts'ing. Cheng-ku jang tinggal sebagai pertapa di Shih-men sebelah
barat laut Kwang-tung, setelah membatja surat I-ts’ing, segera sang­
gup untuk menjertainja. D em ikianlah pada hari pertama bulan sebelas
tahun 689 I-ts’ing dengan pembantunja menumpang kapal dagang me­
lalui Lin-i menudju Fo-shih. Ketjuali Cheng-ku ada tiga pembantu lagi
jang menjertainja, jakni pendeta Tao-hung dan dua orang pendeta
jang tidak disebut nam anja.
M enurut Sung-kao-seng-ch’uan pengembaraan I-ts’ing diluar Tiong-
- kok selama duapuluh lima tahun. Ia kembali ke Kwang-tung pada per­
tengahan musim panas tahun pertama masa pemerintahan Cheng-seng
(tahun Masehi 695) dengan membawa lebih kurang 4000 naskah jang
terdiri dari 500.000 sloka. D ari tahun 700 sampai 712 ia menterdjemah-
kan 56 buku dalam 230 djilid.
Pada waktu I-ts’ing mengundjungi Fo-shih, agama Buda di Fo-shih
sedang berkembang. D iibu kota Fo-shih jang dikelilingi benteng, ter­
dapat lebih dari 1000 pendeta Buda; semuanja radjin m entjurahkan
perhatiannja kepada ilmu dan mengamalkan adjaran Buda. M ereka
melakukan penelitian dan mempeladjari ilmu jang ada pada w aktu itu,
tak ada bedanja dengan M adhyadega di India. Aturan-aturan dan
upatjara sama sekali tidak berbeda. O leh karena itu bila ada pendeta
Tionghwa jang ingin pergi ke Ind ia untuk mengikuti adjaran-adjaran
dan membatja teks-teks asli, ada baiknja mereka tinggal di Fo-shih
dua/tiga tahun dahulu untuk berlatih, sebelum berangkat ke India.

D i Shih-li-fo-shih I-ts’ing bertemu dengan seorang pendeta W u -


hing; seperti telah diketahui ia bertemu dengan I-ts’ing lagi ditem pat
jang letaknja sedjauh 60 jodjana disebelah timur N alanda. D alam per-
djalanannja ke N aland a W u- h ing djuga singgah di Sriw idjaja. Kata-
nja: „Setelah berlajar satu bulan W u- hing sampai di Shih-li-fo-shih.
Baginda menerimanja dengan baik dan menghormatinja sebagai tamu
dari negeri putera dewata, T 'ang agung. D engan menum pang kapal
radja ia berlajar kenegeri Mo-lo-yeu; setelah limabelas hari berlajar,
sampai ditempat tudjuan. Kem udian setelah berlajar limabelas hari
lagi, ia sampai di Ka-cha. Pada achir musim dingin ia m enum pang
kapal lain dan berlajar kebarat. T igapuluh hari kem udian ia tiba di.
Nagapatana. D ari sini ia berangkat lagi dengan kapal kepulau Sing-
hala; lamanja berlajar duapuluh hari."

48
M e n g e n a i letak nja S riw id ja ja I-ts'ing berkata: „ D i In ia pe ng u ur
w a k tu te rd apat dim ana-m ana, n a m a n ja t v e l a c a k r a ja k n i ro a w a tu.
T ja ra n ja m en g u k ur bajang- bajang ialah m e m p e rh a tik a n bajang- a jan g
to ng k at. D jik a m en tjapai tin g k at ja n g terpendek, a rtin ja teP a *\
hari. T e ta p i di D ja m b u d w ip a p an d jan g bajan g - b ajan g itu e J
ini b e rg a n tu n g kepada letak tem patnja. D ip r o p in s i L o m isa n ja ti a
a d a bajang - bajang sam asekali. L a g i m isalnja dinegeri i - i- o-s i
kita m elihat bajang- bajang diw elacakra tid a k m e n d ja d i p an
pendek p a d a p e rteng ahan b u la n delapan. P a d a tengah hari ta tam pa
bajang - bajang oran g jan g berdiri d ib a w a h m atahari. L a in a n ja a au
m usim semi. M a ta h a r i tepat diatas kepala dua k ali satu ta un. a au
m a ta h a ri a d a disebelah selatan, bajang- bajang m em bu djur eutara,
p a n d ja n g n ja lebih kurang du a atau tiga kaki. K a la u m a ta h a ri ^a a 1-
sebelah utara, bajang- bajangnja sama, tetapi d ja tu h keselatan.
D id a la m kata pengantar Record, I-ts’ing m e n g u raik an k e h id u p a n
k e ag am aan dinegara-negara jang d ik u n d ju n g in ja. Jang d ik u tip disini
ia la h u ra ia n n ja tentang kehidupan k eag am aan di A sia T eng g ara,
karena h a l ini langsung be rh ub ungan de ng an pokok pe m b itjaraan.
K atanja: „ D iu d ju n g sebelah tim ur ada g un un g besar hitam (T a k a k u s u
m engira M a h a k a la ), jang kiranja terletak diperbatasan T u-fan (T ib e t).
K a ta orang gunung itu ada disebelah b arat daja Shu-ch uan; dari Shu-
ch’uan ha n ja sedjauh perdjalanan sebulan. D isebelah selatan g un un g
itu dekat pantai, terdapat negeri jang disebut Qriksatta (Sriksetra.
P ro m e ); disebelah tenggaranja Lang-ka-su (T akakusu: K am alang k a,
m estinja L a n g k asu k a); sebelah tim ur Lang-ka-su ialah To-ho-lo-po-ti
(D w a r a w a ti); diudjung tim ur Lin-i (T ja m p a ). P e n d u d u k negara-
negara tersebut m enjembah R atnatray a (B uda, dharm a, s a n g h a ). Ba-
njak dian taran ja jang teguh m endjalankan hukum dan m elakukan
dh utang am (mengemis) jang sudah m endjadi kebiasaan dinegeri-negeri
ini. O rang-orang seperti itu jang saja saksikan sendiri, terdapat djuga
dib arat (In d ia ); mereka memang berbeda dengan orang-orang biasa.
D i S ing hala semua penduduknja tergolong dalam A ry asthaw iran ik ay a,
A ryam ahasang-hikanikaya dilarang.
Dinegara-negara laut Selatan ■ —■ terdiri daripada sepuluh negara
lebih .— pada aimumnja penduduknja m enganut M ulasarw astiw adani-
kaya» m eskipun ada kalanja ada jang djuga memeluk S am m itinikaya,
sekarang ada djuga sementara pengikut kedua aliran lainnja (m eskipun
hanja sedikit djum lahnja). D ihitung dari barat, jang pertama ialah ne­
geri P ’o-lu’shi, lalu negeri Mo-lo-yeu, jang sekarang m endjadi negeri
Shih-li-fo-shih, Mo-ho-sin, Ho-ling, Tan-tan, Pem-pen, P ’o-li, K u- Iun,
Fo-shih-pu-lo, O-shan dan Mo-chia-man. IVIasih ada beberapa pulau
ketjil-ketjil lagi; tidak dapat disebut semuanja disini. A g am a jang di-

49
dipeluk dinegeri-negeri ini terutama agama Buda aliran H in ayan a,
ketjuali dinegeri Mo-lo-yeu. Dinegeri ini sedikit sadja aliran Maha-
yana.
D iantara negeri-negeri ini ada jang kelilingnja kira-kira seratus
batu T jina, ada jang kira-kira seratus jodjana. M eskipun sulit untuk
menghitung djarak dilautan besar, nam un mereka jang telah biasa
berlajar dengan kapal dagang, akan pandai mengira-ngira luasnja
pulau. Negeri-negeri itu semuanja dikenal atas satu nama umum jakni
„kepulauan K 'ulun, karena utusan K ’ulun jang pertama kali datang
di Ko-chin dan Kwang-tung.”
D idalam Record, I-ts’ing djuga menjebut nama para pendeta-sar-
djana di India dan dinegeri-negeri laut Selatan. Mereka itu: Jnana-
candra, ahli hukum, tinggal diwihara T iladha; Ratnasinha diw ihara
N alanda; D iw akaram itra di India Timur; Tathagatagarbha didaerah
udjung selatan; di Shih-li-fo-shih jang terletak dilaut Selatan menetap
Sakyakirti. Ia berkeliling dilima negeri di India untuk mentjari ilmu;
sekarang ia ada di S hih— li—£o—
shih. D i India 11 im 11r ada seorang sar—
djana besar (m ahasattw a), namanja Candra, sudah seperti Bodhisat-
twa, dianugerahi bakat besar. O rang ini masih hidup, ketika saja,
I-ts’ing, m engundjungi daerah tersebut. Pada suatu hari ada orang
bertanja kepadanja: „A pakah jang lebih berbahaja, tjobaan ataukah
bisa?” D engan serta merta ia mendjawab: „M em ang diantara barang
dua itu terdapat perbedaan besar; bisa berbahaja, hanja bila ditelan;
sedangkan jang lain merusak pikiran seseorang, meski hanja terpikir
sadja sekalipun." D jik a ada wanita masuk wihara, dilarang keras
m engindjak bilik pendeta. Ia hanja boleh berbitjara dengan mereka
dilorong sebentar sadja, lalu pergi. Pada waktu itu ada seorang biksu
bernama A-ra-hu-la-mi-ta-ra (Rahulam itra) diam diwihara; ia baru
berum ur lebih kurang tigapuluh tahun. Kelakuannja sangat terpudji
dan kem ashurannja amat luas. T iap hari ia membatja Ratnakutasutra
jang m em uat 700 sloka. T idak hanja faham akan tiga kum pulan buku
sadja, tetapi djuga m e n dje ladjah kesusastraan agama dalam empat ilmu
Ia dihorm ati sebagai kepala pendeta didaerah India Tim ur. Sedjak
pelantikannja • sebagai pendeta, tidak pernah bertjakap dengan w anita,
apalagi bertemu muka, ketjuali dengan ibu dan adiknja perempuan,
bila mereka datang berkundjung. Itupun terdjadi diluar biliknja. P ada
suatu ketika saja bertanja kepadanja, apa sebabnja ia berbuat demikian,
pada hal itu buk an larangan. M ak a djaw abnja: „Karena pem baw aan
saja m udah tertarik kepada kata-kata; djika saja tidak berbuat demi­
kian, saja tidak akan dapat menjumbat sumbernja. M eskipun itu bukan
larangan Buda, kiranja memang baik berbuat demikian, djika orang
berm aksud m enghindari keinginan-keinginan djahat.”

50
H u i- n in g n a ik perahu m e nudju H o-ling. S etelah tib a d is a n a ’ ‘a „m e '
n eta p tig a ta h u n la m a n ja u n tu k m e n te rd je m a h k a n n a s k a -nas a an
sekerta d a la m kerd jasam a d e n g a n pendeta b u n n p u te ra Jn a n a a ra.
H a s il k e rd ja itu k e m u d ia n disu ru h b a w a p u la n g Y u n - k i e ia o c i
S ete lah m e n ja m p a ik a n te rdjem ah an itu Y u n 'k i k e m b a li e °- m g ,
tetapi tid a k d a p a t bertem u d en g an H ui-ning, k a re n a ui-nm g te a
b e ra n g k a t. Y u n - k ’i m enetap selam a sepuluh ta h u n d in e g e ri a u t e
la ta n , d a n m e m p elad jari bah asa K ’un-lun d isa m p in g b a asa a n s e _ e^ a '
Ia m e n d ja d i m u rid Jña n a b h a d ra . Ia tin g g a l di Shih-li-fo-s i a u
I-ts’in g a d a disana, ia berum ur tig ap u lu h tah u n.

D u a o ra n g pendeta jan g tid a k disebut n a m a n ja , d e n g a n m e n u m p a n g


k a p a l m e n in g g a lk a n T io n g k o k m enudju P ’o-lu-shih, ja n g eta n ja
sebelah b a ra t Shih-li-fo-shih. S e tib an ja dite m p at ja n g d itu ju, m ere a
d ja tu h sakit, lalu m e n ing g al. Fa-lang b erlajar d ari P an- jo ng e o s i
selam a sebulan. H oai-ye m elalui laut sam pai di Fo-shih. isan a ia
b e la d ja r K ’un-lun d a n bah asa Sansekerta. T ao-hong d a n eng u
m e n em an i I-ts’ing ke Chin-chou sam pai dinegeri Fo-shih.

Itu la h berita-berita jang d ap at d ik u m p u lk a n d ari d u a k a rja I-ts ing


Nan-hai-chi-kuei-nai-fa-ch’uan (R e co rd ) d a n Ta-t ang-si-yu- ao-seng
c h ’u a n (M e m o ir e ). K edua- duanja d ititip k a n oleh I-ts ng k e p a d a a tsin
u n tu k d ib a w a ke K w ang- tung. P eristiw a-peristiw a sedjara terse ut
d is a d jik a n ta n p a tafsir, agar para pem batja d ap at m e n ila i p e ristiw a
pe ristiw a tersebut tan p a terpengaruh oleh tafsir. T em pat-tem pat ja n g
disebut oleh I-ts’in g m em erlukan pendjelasan, k a re n a n a m a n a m a itu
b u n jin ja berbeda d eng an n am an ja jang asli. Lokalisasi tem pat tem pat
tersebut tid a k la h m udah. Lokalisasi tem pat-tempat itu a k a n itjo a
d alam p asal berikut.

l
Ill

L O K A L IS A S I T E M P A T - T E M P A T D A L A M

P E R D JA L A N A N I-TS’IN G

Perdjalanan I-ts’ing dari Kwang-tung ke Tan-mo-lo-ti dan kebalik-


annja melalui pelbagai tempat. Ia menjebut nama-nama tempat itu
dengan utjapan Tionghwa, tetapi tidak menegaskan dimana letaknja.
Demikianlah pelajaran I-ts’ing itu masih perlu ditafsirkan, untuk mem­
peroleh gambaran jang djelas mengenai djalan pelajaran jang ditem-
puhnja. Keberangkatannja pada bulan 11 tahun 671 dari Kwang-tung
ke Tan-mo-lo-ti telah disadjikan dimuka. Dari uraiannja njatalah
bahwa I-ts’ing tidak menjusur pantai, melainkan menjeberangi lautan
besar langsung ke Fo-shih dengan menumpang kapal Possu (Persi)-
Sesudah hampir duapuluh hari berlajar, ia mentjapai Fo-shih, lalu
singgah disitu selama enam bulan. Kemudian atas bantuan radja Fo-
shih ia berangkat ke Mo-lo-yeu dan singgah disitu dua bulan. Sesudah
itu ke Ka-cha. Pada bulan duabelas ia berlajar dengan menumpang
perahu radja meninggalkan Ka-cha kearah utara. Sesudah berlajar
lebih dari sepuluh hari ia sampai di Lo-jeng-kuo. Pelajaran dilandjut-
kan kearah barat laut, satu setengah bulan kemudian ia sampai di
Tan-mo-lo-ti; pada hari kedelapan bulan kedua masa pemerintahan
Hsi-en-heng (tahun 673).

Perdjalanan pulang pada tahun 685 diuraikan setjara singkat demi­


kian. Ia berangkat dari Tan-mo-lo-ti kearah tenggara menudju Ka-cha.
Singgah disini sampai musim dingin. Dengan menumpang perahu radja
berangkat dari Ka-cha keselatan menudju Mo-lo-yeu> jang sekarang
mendjadi Fo-shih. Pelajaran itu makan waktu selama sebulan. Umum-
nja pada bulan pertama atau kedua perahu datang dinegeri Mo-lo-yeu.
Tinggal disini sampai pertengahan musim panas, lalu berangkat ke-
utara menudju Kwang-tung. Lebih kurang sebulan berlajar, kemudian
sampai ditempat jang ditudju.

D ua tempat jang telah djelas letaknja jakni tempat pangkal ber­


angkat Kwang-tung dan tempat tudjuan Tan-mo-lo-ti. Kwang-tung
adalah Kanton, dan Tan-mo-lo-ti adalah Tamralipti, jang sekarang
disebut Tamluk, terletak disebelah barat daja Kalkuta, ditepi sungai
Hooghly, disebelah barat delta Hooghly dipropinsi Benggala. I-ts’ing
mendjelaskan bahwa Tan-mo-lo-ti terletak empatpuluh jodjana dari
tapal batas India sebelah timur. Disana ada lima asrama; penduduknja
kaja. Termasuk India Timur, kira-kira sedjauh enampuluh jodjana dari

52
Mahabodhi dan Nalanda. Itu adalah pelabuhan tempat orang menum­
pang perahu, djika akan kembali ke Tiongkok.

Kita sekarang akan menindjau letaknja beberapa tempat jang disebut


oleh pendeta I-ts’ing dalam Record dan Memoire, terutama jang di­
singgahi selama perdjalanannja dari Fo-shih ke Tan-mo-lo-ti dan ke-
balikahnja, kemudian baru tempat-tempat lainnja. Kita mulai dengan
nama tempat jang boleh dikatakan telah pasti letaknja jakni:

1. 'Lo-jeng-kuo
Lo-jeng-kuo artinja pulau orang telandjang. Dengan pandjang lebar
I-ts’ing menguraikan keadaan penduduknja seperti telah disadjikan
terdjemahannja dimuka. Nama pulau ini telah dikenal dalam piagam
Tanjore jang dikeluarkan oleh Rajendracoladewa pada tahun 1030
dalam bahasa Tamil. Pada piagam Tanjore Rajendracoladewa me-
njebut nama-nama keradjaan jang ditundukkannja, diantaranja ialah
Manakkawatam, artinja pulau besar jang didiami oleh orang-orang
telandjang. Pulau ini djuga dikenal oleh Marco Polo dengan nama
Necuveram. Dari nama ini maka terbetuklah namanja sekarang jakni
kepulauan Nikobav. I-ts'ing menjatakan, bahwa penduduk pulau Lo-
jeng-kuo menggunakan kata loha untuk pengertian besi. Kata tersebut
tidak dikenal dalam bahasa Melaju-Polinesia. Oleh karena pulau ter­
sebut tidak menghasilkan besi, boleh dipastikan bahwa kata loha dalam
bahasa Nikobar adalah kata pindjaman. Mungkin sekali kata itu di-
pindjam dari bahasa jang digunakan oleh para penduduk pantai kon­
tinen Asia. B a h a s a - b a h a s a Ahom, Khamti, Nora di Assam dan dalam
bahasa-bahasa dari rumpun bahasa Shan, jang merupakan tjabang
bahasa jang berasal dari Tiongkok Selatan, »enggunakan kata hk
untuk pengertian besi. Mungkin sekali kata /o/za dalam bahasa N i­
kobar ini bentuk turunan dari kata K* jan 9 kemudian ditranskripsikan
kedalam bahasa Tionghwa mendjadi loha Kita tidak tahu bagaimana
penduduk Nikobar mengutjapkannja. Dalam kata pengantar Record
hal. 12, I-ts’ing menjatakan bahwa penduduk^negara-negara Sriksetra
(Prome), Langkasu ( L a n g k a s u k a ) dan To-ho-lo-po-ti (Dwarawati)
' >’ y , , . Selatan semuanja mirip dengan bangsa
er a negara-negar nu1au K ’un-lun (pulau Kondor). Penduduk
longhwa ketjuali pen J> “ berambut keriting. Tetapi penduduk
pulau Kondor berkulit h tam dan ^ ^
negara-negara la.ni.jaJ . d sampai paha. Dalam
ain kan-man (sarong), e kuQ ini I-ts’ing menambahkan, bahwa
k e t e r a n g a n n j a m e n g e n a L J 9 L o - j e n g - k u o ada dibawah p e n g -
menurut j^ c h ^ n te r le ta k di T i o n g J s l
awasan Shu-ch uan barat daja.
53
latan. P u la u itu sama sekali tidak m en ghasilk an besi; m as d a n perak
djarang sekali. T id a k la h aneh bila kata loha itu p u n berasal d a ri bahasa
Shu-ch’u an jang serum pun dengan bahasa-bahasa M iau-tse di T io n g ­
kok S elatan. Bahasa-bahasa Shan, A ho m , K ham ti, T h a i d a n N o ra
m em ang serum pun dengan bahasa M iau-tse dan m e n g g u n a k a n k a ta lik
untuk pengertian besi.

2. Ka-cha
Sebelum I-ts'ing sampai di Lo-jeng-kuo, ia singgah di Ka-cha dalam
p e rd jalan ann ja ke Tan-mo-lo-ti. D a la m perdjalanan kem bali d a ri Tan-
mo-lo-ti ia berlajar kearah tenggara m enudju Ka-cha, k e m u d ian kearah
selatan m enudju Mo-lo-yeu. T akakusu m enjam akan Ka-cha d e ng an
K o tarad ja jang terletak diudjung Sum atera U ta ra (A tje h ). I-ts’ing
m en gu raik an bah w a pulau Lo-jeng-kuo itu terletak disebelah utara
Ka-cha d a n dapat ditjapai dari Ka-cha sesudah berlajar sepuluh jhari
lebih. D a r i K otaradja pulau N ik o bar terletak disebelah b arat laut, tidak
disebelah utara. D alam perdjalanan kembali dari Tan-mo-lo-ti ia tidak
singgah di Lo-jeng-kuo, tetapi langsung ke Ka-cha. D e n g a n sendirinja
m aka Lo-jeng-kuo tidak m erupakan pelabuhan jang pe nting dalam
p e rdjalanan dari Fo-shih ke Tan-mo-lo-ti atau kebalikannja. Jang m e­
ru p ak an pelabuhan penting ialah Ka-cha. Pelabuhan penting dalam
p e rdjalanan antara Fo-shih dan Tan-mo-lo-ti atau dari T io n g k o k ke
Ind ia, d an jang nam anja hampir sebunji dengan Ka-cha ialah K edah.
P a d a w aktu itu nam anja bukan Kedah, tetapi Kataha. M u n g k in sekali
kata Ka-cha itu transkripsi T ionghw a dari kata Sansekerta K ataha.
t I-ts’ing sebagai sardjana Buda jang mengenal bahasa Sansekerta, akan
berusaha u ntu k membuat transkripsi nama tersebut sedekat d an setepat
, m ungkin. N a m a tersebut djuga dikenal dalam piagam T anjore dalam
. bahasa T am il, dan ditulis K a d a r a (m ). Baik Kadaram m aupun K ataha
terang K edah zam an sekarang. Berita mengenai Kedah sebagai tempat
penting datang dari pelbagai sudut. Ma-tuan-lin memberitakan b ah w a
pada tah u n 638 keradjaan Kia-tcha mengirim utusan ke T io n gk o k .
, M e n u ru t G . Ferrand meskipun tujisannja agak berbeda dengan Chieh-
,■ c^ a (edjaan Pelliot), kedua nama tersebut m enundjukkan tem pat jang
sama ja k n i Kedah di Semenandjung Melaju.

Seorang ahli peta Tionghw a jang mashur dan hidup antara ta h u n 730
dan 805 ialah Chia-tan. Karangannja disusun antara tahun 785 dan
805 atas perintah dinasti T ’ang. M em ang ia diberi tugas u ntuk m e® '
buat perdjalanan dari Tiongkok kenegeri-negeri dilaut Selatan dan ke
In d ia melalui laut dan melalui daratan. Tetapi karja aslinja telah hilang-
Jang masih tinggal hanja kutipan-kutipannja, termuat dalam H sin

54
T a ng S h u d a n T ’ai~ping_huan-yu-chi. P e llio t m e n g a d a k a n penjelidik-
a n m e n g e n a i dua m atjam p e rd ja la n a n ini. P e r d ja la n a n m e lalu i la u t
d iu r a ik a n n ja de m ikian : P e rd ja la n a n itu m e lalu i p u la u H a in a n m e n u d ju
p a n ta i In d o - T jin a, terus m enjusur p a n ta i sa m p a i d ite m p a t ja n g b e r­
n a m a K un-t'u-nung. D a r i situ b e rlajar lim a h a ri la g i, m a k a s a m p a ila h
p a d a selat jan g n a m a n ja C h ih ; lebarnja d a ri u ta ra k e s e lata n 100 li.
D ip a n ta i sebelah utara terd apat k e ra d ja a n Lo-yueh, d ip a n ta i se lata n
k e ra d ja a n Fo-shih. Sebelah tim ur k e ra d ja a n Fo-shih kira- kira sed jau h
p e la ja ra n lim a hari, orang m en tjapai k e ra d ja a n H o - hng ; m i m e lip u ti
p u la u ja n g terbesar diselatan. K e m u d ia n tig a h a ri b e rla ja r d a ri selat
itu o ran g m entjapai k e rad ja an Ko-ko-seng-chin, terletak disebuah
p u la u d is u d u t b a ra t la u t Fo-shih. P e n d u d u k n ja b a n ja k ja n g d ja d i p e ­
ro m p ak ; p e n u m p an g perahu jang m e n d ja d i m a n g s a n ja . D ip a n ta i u ta ra
terletak k e ra d ja a n Ko-lo. Sebelah b a ra t Ko-lo ia la h Ko-ku-lo.
P a d a ta h u n 1904 P elliot m em persoalkan keradjaap. Ko-lo ja n g d i­
b e rita k a n oleh C hia-tan itu. K e sim p u la n n ja ia la h b a h w a Ko-lo sam a
d e n g a n Ka-cha (C hieh-ch’a) jang d ib e rita k a n oleh I-ts in g . Ko-lo ter­
le ta k d ip a n ta i b a ra t S em en and ju ng M e la ju , sam a d e n g a n K e d a h . Ini-
p u n tjo tjo k d e n g a n n a m a Ka-lah ja n g disebut d a la m b e rita A ra b .
B erita-berita A ra b itu d ap at d is in g k a t de m ikian :
S u la y m a n 851. S u la y m a n berkata, b a h w a d a ri M u s c a t p e la ja ra n
m e n u d ju K u la m M a la ja u n tu k m engisi air sebelum p e la ja ra n diland ju t-
k a n k e la u t H a r k a n d , terus ke L a n g a b a lu s d a n d a ri sini k e la u t K alah-
bar. D ite r a n g k a n n ja b a h w a bar berarti b a ik k e ra d ja a n m a u p u n p a n ta i.
K alah - b ar a d a d ib a w a h pem erintahan D ja w a g a . D i K alah - b ar pe rahu
diisi d e n g a n air sumber.
D ja r a k a n ta ra K ulam dan K alah-bar kira-kira sed jauh se b ulan p e ­
la ja ra n . K e m u d ia n perahu be rlajar m e n ud ju T iy u m a , kira- kira selam a
sepuluh h a ri u n tu k m engisi air, djik a d ip a n d a n g perlu. D a r i sini m e­
n u d ju te m p at ja n g bernam a K u n d ra n g . P e la ja ra n itu m a k a n w a k tu
sepuluh hari. K e m u d ia n m enudju T ja m p a , ja n g m e n g h a s ilk a n k am fer.
P e la ja ra n itu m a k a n w a k tu sebulan. S e p u lu h hari lag i be rlajar, sa m p a i
di K u n d u r- fu la t. S epuluh hari k e m u d ian pe rahu m asu k la u t C a n k h a y .
m e lalu i g erban g T jin a , jang be rp agar g u n u n g k anan- kiri. D jik a selam at,
p e ra h u terus b e rlajar ke T io n g k o k . P a d a achir b u la n sam pai disana.
D a r i w a k tu satu b u la n itu tu d ju h hari perahu m enerobos selat ja n g
te rb en tuk d a ri gunung-gunung.
Ja n g d im a k su d d e n g an K ulam M a la ja ia la h Q u illó n ja n g te rletak
d ip a n ta i b a r a t T rav anco re , d ib a w a h p e g u n u n g a n ]S/Ialai ( N la la y a ) .
L a n g a b a lu s ia la h k e p u la u a n N ik o b a r, D ja w a g a ia la h D ja w a (Sum a-
te ra ); K u n d r a n g ialah K u n d u ra n g g a ; K un dur- fulat ia la h p u la u K o n d o r.

55
I

A bu D u laf M isar f 940. Abu D ulaf Misar menguraikan perdjalan-


annja dari Tiongkok ke Kalah. Ia menjebut Kalah sebagai pangkal
bertolak ke India dan udjung perdjalanan dari Tiongkok. Perdjalanan
dari Tiongkok, bila telah sampai di Kalah, tidak dapat dilandjutkan
tanpa mengalami kekandasan. Ini dapat diartikan bahwa perahu jang
berlajar dari Tiongkok, sampai di Kalah pada achir musim angin timur
laut, dan pada awal musim angin barat daja. Perdjalanan menudju
Srilangka dan India terhenti karenanja. Kalah dikelilingi tembok tebal
dan mempunjai banjak taman. Airnja berlimpah-limpah. Ditempat itu
terdapat tambang timah, jang disebut kala’a. Logam ini digunakan
untuk membuat pedang jang disebut kala’i (pedang dari kala’a ). Di-
sekitar Kalah ada banjak kota, dan kelompok rumah-rumah. Radjanja
ada dibawah pengawasan Tiongkok, dan berdoa untuk keselamatan
kaisar Tiongkok. Sanggar pemudjaan radja dimaksud untuk kaisar
dan kiblatnjapun kearah Tiongkok pula. Abu D ulaf Misar menjebutnja
kota India jang terletak ditengah-tengah antara O m an dan Tiongkok.
Berita jang sangat penting mengenai letaknja ialah bahwa pada tengah
hari orang tidak berbajang sama sekali. Ini dapat ditafsirkan bahwa
Kalah terletak dekat garis katulistiwa.

Berita-berita lainnja jang berasal dari para pedagang Arab, me­


njebut tempat itu Kaah atau Kala. Isinja hampir sama sadja. Boleh
dikatakan, bahwa hamp.r semuanja menjalakan Kalah terletak antara
Arab dan Iiongkok, menghasilkan kamfer timnV, j i .
baw ah pemerintahan Djaw a. ' dan bambu' ada d>'

Ibn Khordazbeh 844. Kilah terletak sediauh


dari Langabalus. Negara tersebut ada dibawah Pelajaran
dan memiliki tambang timah kala’i jang sangat terkenal^ 1^ 311311
Ibn Al-Fakih 902. Kala-bar merupakan H
Djaw aga. Hanja seorang radja sadja jang memerintah ' k "
A bu Z a y d ± 916. Salah satu djadiahan n ;„
letak antara negara Tiongkok dan Arab. K K alah’ ter"
datang kesitu dan dari, situ kembali kenegara Arab ^ ° man

M as’udi 943. Disekitar Kalah dan Sribusa terdanai- f u


bang mas dan perak; negara Kalah terletak ditenn Vi a“ ban9 'ta1" '
Tiongkok. Sekarang tempat itu mendjadi temDat n P jalanan ke
perahu dari O m an dan Siraf disatu pihak dan er^ muan perahu-
Tiongkok dipihak lain. Perahu-perahu dari
Kalah masih dikenal oleh para pedaqana Arak „ , ,
sebelas sampai abad keenambelas. Tetapi tidak s e m u a V ’ ^
ting bagi tudjuan kita. Jang penting diantaranja ialah- ***** ^

56'
Dimaski 1325. Laut Kalah disebut demikian menurut nama negara
Kalah jang ibukotanja djuga disebut Kalah. Kalah adalah kota jang
paling besar diantara kota-kota jang terdapat disitu. Negara Kalah
pandjangnja 800 mil, lebarnja 350 mil, dan sangat berbahaja untuk
mendarat disitu. Dinegara tersebut terdapat kota Fansur, Djawa, Ma-
lajur, Lawri dan Kala; disitu ada gadjah jang ditangkap dari tanah
daratan dan sengadja dilatih untuk keperluan radjanja.
Pemberitaan Dimaski sama dengan pemberitaan Nuwayri dari ta­
hun 1332 jang djuga menjatakan dikeradjaan Kalah terdapat kota-kota
Fansur, Malajur, Lawri dan Kalah.

A b u lfid a 1273-1331. Kala adalah pelabuhan umum dari negara-


negara antara Om an dan Tiongkok. Negara tersebut mengekspor
timah; disitu ada kota jang sangat makmur, didiami oleh orang-orang
Muslim, Hindu dan Persi. Dikatakan bahwa ditempat tersebut terdapat
tambang timah, kebun bambu dan pohon kamfer. Negara itu terpisah
sedjauh duapuluh hari pelajaran dari negara Maharadja.
Sedikit banjak berita-berita Arab itu pasti mengandung kebenaran.
Jang njata ialah bahwa Kedah sebelum dan sesudah abad sepuluh me­
rupakan pelabuhan penting ditengah-tengah djalan pelajaran antara
Arab, India, dan Tiongkok. Sudah barang tentu djuga merupakan
tempat penting pada zaman Sriwidjaja, ketika I-ts’ing melakukan ziarah
ke India. Roland Braddell menjebut muara sungai Merbok dikeradjaan
Kedah sekarang sebagai pelabuhan Kedah jang disebut dengan pel­
bagai nama dalam pelbagai berita: I-ts ing. Ka-cha (Chieh-cha); ]Vla-
tuan-lin: Kia-tcha; Chia-tan: Ko-lo; Chu-fan-chi: Ki-t’o; Wu-pei-chih:
Chi-ta; Arab: Kalah, Kala; Sansekerta: Kataha; Tamil: Kadara(m).

3. Mo~lo~yeu
Dalam perdjalanan pulang dari. Tan-mo-lo-ti, I-ts’ing mentjeritakan
bahwa ia naik kapal radja dari Ka-cha kearah selatan selama sebulan,
menudju negara Mo-lo-yeu. Disini biasanja orang singgah sampai
Pertengahan musim panas untuk menunggu tibanja musim angin barat
daja; kemudian baru berlajar keutara menudju Kwang-fu (Kwang-
tung). Jang dimaksud oleh I-ts’ing dengan negara Mo-lo-yeu disini
ialah pelabuhan dinegara Mo-lo-yeu jang pada waktu itu sudah berada
dibawah kekuasaan Shih-li-fo-shih; sama dengan pelabuhan tempatnja
singgah dalam perdjalanannja dari Fo-shih menudju India. I-ts’ing
djuga m e n t j e r i t e r a k a n bahwa pendeta Wu-hing berlajar dengan perahu
radja dari Fo-shih kenegeri Mo-lo-yeu selama limabelas hari. Jang
terang ialah bahw a dari pelabuhan Mo-lo-yeu orang biasanja terus
berlajar keutara menudju Tiongkok tanpa smggah d, Fo-shih.

57
D a la m u ra ia n n ja I-ts’ing djelas sekali m e n u n d ju k k a n a d a n ja p e la­
bu h a n Mo-lo-yeu tem pat m asuk perahu ra d ja Fo-shih u n tu k b e ra n g k a t
ke Tan-mo-lo-ti dan adanja keradjaan Mo-lo-yeu jang te lah m e n d jad i
bag ian k e radjaan Fo-shih, sekembali I-ts’ing dari N a la n d a p a d a tah u n
685. T id a k perlu diragukan b ah w a Mo-lo-yeu a d a la h transkripsi
T io n g h w a dari nam a M a la ju atau M e la ju . Sebelum m e n e tap k an letak
dua tem pat tersebut, ada b aik nja m en gu m pulk an berita-berita m engena,
keradjaan M e la ju lebih dahulu, jang k ira n ja berguna u n tu k m em etjah-
kan persoalannja.
( 1 ) B erita jang tertua m engenai keradjaan M e la ju berasal dari
T ’ang-hui-yao jang disusun oleh W a n g P ’u pada tahun 961 p a d a masa
pem erintahan dinasti T ’ang dan dari H s ’in T ’ang Shu, jan g disusun
pada a w a l abad 7 pada masa pem erintahan dinasti S ung atas dasar
sedjarah lam a jang terdiri dari T ’ang-hui-yao seperti tersebut diatas
dan Tse-fu-yuan-kuei, susunan W a n g - c h ’in-jo dan Y a n g I antara
tahun 1005. d an 1013. M enurut berita itu keradjaan M e la ju m engirim
utusan ke T iongkok pada tahun 644/645. Pengirim an utusan ke T i­
ongkok oleh keradjaan M elaju pada abad 7 hanja tertjatat satu kali
sadja. Selam a itu jang nam pak diistana kaisar utusan dari k e rad jaan
S riw id jaja jang disebut Shih-li-fo-shih atau Fo-shih sadja. Sebab-m u­
sabab k ed jad ian itu baru dapat dipaham i, setelah I-ts’ing m enulis buku-
nja M em oire dan Record jang m enjatakan bahw a keradjaan M e la ju
telah m endjadi bagian keradjaan S riw idjaja. T ia p kali ia m enjebut
nam a M e la ju , selalu dibubuhi keterangan, jan g sekarang telah masuk
(m endjadi bagian) keradjaan Sriw idjaja.
(2) D a la m perdjalanannja ke India, I-ts’ing singgah di F o - s h i h .
Ia m enjebut negeri M elaju demikian: „Sang radja memberi b a n tu a n
kepada saja, dan m e n g i r i m saja kenegeri M elaju, jang sekarang m en­
djadi bag ian keradjaan Sriwidjaja. Saja tinggal disitu dua b u lan , ke­
m udian berangkat dari situ menudju Ka-cha.”
(3) W a k t u I-ts’ing menguraikan negara-negara dilaut S elatan, jang
penduduknja um um nja memeluk agama Buda, terutama aliran H in a ­
yana, ia menjebut djuga keradjaan M elaju, sebagai keketjualian. T er­
hitung dari barat: negeri Pu-lu-shih, lalu negeri Mo-lo-yeu, jang
sekarang termasuk keradjaan Shih-li-fo-shih, negeri Mo-ho-sin, neger*
Ho-ling, negeri Tan-tan, negeri Pem-pen, negeri P ’o-li, negeri K ’u-lu n ’
negeri Fo-shih-pu-lo, negeri O-shan, dan negeri Mo-chia-man. M a s ih
ada lagi beberapa negeri ketjil-ketjil jang tidak disebut disini.
D alam uraiannja mengenai negeri-negeri dilaut Selatan I-ts’in 9
men9gunakan kata chou jang dapat berarti pulau atau negara (tanah
d a ra ta n ). Satu kali ia menggunakan kata Chin-chou untuk m enundjuk-
kan pulau Sumatera jakni waktu ia mentjeriterakan perdjalanannja

58
d e n g a n T ao - h o n g d ari K w a n g - tu n g ke C hin-choti d a n s a m p a i di Fo-shih.
C h in - ch o u a d a la h te rd je m a h a n n a m a S u w a r n a d w ip a : P u la u E m a s .
N ja ta sek ali b a h w a p a d a za m a n I-ts'ing n a m a S u w a r n a d w ip a itu s u d a h
d ik e n a l. Ja n g disebut S u w a r n a d w ip a a d a la h te ru ta m a ne g eri M e la ju
seperti a k a n k ita k e n al n a n ti p a d a p ia g a m A d it y a w a r m a n d a n K erta-
n a g a ra .
(4 ) W a k t u I-ts’ing m e n g u ra ik a n p e nde ta W u - h in g ja n g d a la m
p e r d ja la n a n n ja ke In d ia d ju g a sin g g ah di S r iw id ja ja , ia p u n m e n je b u t
n a m a k e r a d ja a n M e la ju n a m u n ta n p a d ib u b u h i k e te ra n g a n apa-apa:
„ S e s u d a h b e rla ja r satu b u la n la m an ja, W u - h in g sa m p a i d i Shih-li-fo-
shih. S a n g ra d ja m e n e rim an ja d e n g a n b aik d a n m e n g h o r m a tin ja s e b a­
g a i ta m u ja n g d a ta n g dari ne g ara putera d e w a ta , T ’a n g A g u n g . Ia
m e n u m p a n g p e ra h u ra d ja m e n u d ju negeri M o-lo-yeu. S e te la h b e rla ja r
lim a b e la s h a ri la m a n ja , ia sam pai disana. L im ab e las h a ri la g i ia sa m ­
p a i K a-cha. P a d a achir m usim d in g in ia b e rg a n ti k a p a l d a n b e rla ja r
k e a ra h b a ra t. S e su d ah tig a p u lu h hari ia sam pai d i N a g a p a ta n a . D a r i
sini ia b e rla ja r lag i m e n u d ju p u la u S im h a la . Ia sam p ai d is a n a d u a p u lu h
h a ri k e m u d ia n .
(5 ) C h ’ang- m in b e rla ja r d e n g a n k a p a l ja n g p a n d ja n g n ja 200 k a k i
d a n d a p a t m e m b a w a p e n u m p an g a n ta ra 600 sam p ai 700 o ra n g . Ia m e ­
n u d ju negeri H o- ling. D a r i sini ia m e n u m p a n g pe rah u k enegeri M o-
lo-yeu d e n g a n m a k s u d m eneruskan p e rd ja la n a n n ja ke In d ia . T e ta p i
k a p a l itu te rlalu be rat m u a ta n n ja ; k a p a l k aram tid a k d ja u h d a ri p a n g ­
k a la n . C h ’ang- m in tenggelam .
Ja n g p e n tin g u n tu k tu d ju a n kita d alam pasal ini ia la h m e n e ta p k a n
d im a n a k ira n ja letak p e la b u h a n M e la ju , te m p at s in g g a h I-ts’in g , "Wu-
h in g d a n p e n d e ta T io n g h w a la in n ja d a la m p e rd ja la n a n n ja d a ri T io n g ­
k o k m e n u d ju In d ia atau k e b a lik a n n ja . B erita A r a b ja n g be rasa l d a ri
D im a s k i ± ta h u n 1325 terang tid a k benar. D im a s k i b e rk a ta b a h w a
d in e g a ra K a la h ja n g p a n d ja n g n ja 800 m il d a n le b arn ja 350 m il te rd a p a t
k o ta F a n s u r, D ja w a , M a la ju r , L a w ri d a n K a la h . K e d a h terletak di-
p a n ta i seberang utara, da.n M e la ju terletak d ip a n ta i seberang selatan
S e la t M a la k a , ja n g oleh o rang A ra b , d ia n ta ra n ja oleh Y a 'k u b i, disebut
S a la h a t a ta u S a la h it. P a ra ahli sedjarah m e n ja tu k a n p e la b u h a n d a n
p u sat k e ra d ja a n M e la ju disatu tem pat ja k n i di D ja m b i. I-ts’ing d e n g a n
djelas m e n u n d ju k k a n b a h w a arah p e lajaran dari K e d a h kenegeri M e ­
laju ia la h k eselatan dalam w a k tu sebulan. U r a ia n itu d ita m b a h d e n g a n
k e te ra n g a n , b a h w a negeri M e la ju itu sek aran g m e n d ja d i b a g ia n S r i­
w id ja ja . In i tid a k be rarti b a h w a p e la b u h a n M e la ju itu la lu m e n d ja d i
p e la b u h a n S riw id ja ja . B a g a im a n a p u n k ed ua p e la b u h a n itu m asih te r­
pisah, k a re n a b a ik I-ts’ing m a u p u n W u - h in g m e n u m p a n g p e ra h u ra d ja
dari Fo-shih ke M o-lo-yeu. H in g g a sekarang p e n d a p a t D r . R o u ffa e r

59
b a h w a pusat keradjaan M elaju ialah D ja m b i, diterim a s e lu ru h n ja oleh
para ah li sedjarah, nam un tidak ada bu ruk nja m eneliti k e m b a li p e n ­
dapat jan g sudah teradat itu.
P e ne tapan geografi sedjarah kuno m em ang perlu d itin d ja u lagi, ba-
njak hal-hal jang tidak memuaskan. B an jak nam a-nam a te m p at ja n g
disebut oleh I-ts’ing dan berita-berita T io n g h w a lain nja belum terpe-
tjahkan. Beberapa jang sudah ditetapkan geografinja, perlu diteliti
lagi. Jang m em ang sudah benar, karenanja m endjadi lebih teg ak d a n
teguh; jang m asih gojah, memperoleh orientasi baru.
B uk a n la h sjarat m utlak bahw a pusat keradjaan itu terletak ditepi
pantai. T jo n to h pusat keradjaan jang terdapat dipedalam an b a ik z a ­
m an dah ulu m aupun zaman sekarang banjak sekali. P e n ja tu a n pusat
keradjaan dan pelabuhan disatu tem patpun bukan sjarat m utlak . Pusat
keradjaan M ad jap ah it terletak dipedalam an; pelabuhannja T ja n g g u
terletak ditepi sungai. Pelabuhan jang terdapat dipantai ia la h T u b a n
dan D ju n g G aluh. Ini hanja salah satu tjontoh sadja dari sedjarah kuno.
P ad a zam an A dityaw arm an pusat keradjaan M elaju sudah terang ter­
pisah dengan pelabuhannja. Pada zam an Sriw idjaja pusat k e ra d ja a n
M elaju dig antikan oleh pusat keradjaan Sriw idjaja. P e lab uhan nja m asih
tetap digunakan, djustru untuk menguasai lalu-lintas kapal-kapal di
Selat M a la k a . D engan penguasaan atas pelabuhan M e laju itu S riw i­
djaja berhasil mendjadi negara penting di A sia T enggara ja n g m e­
nguasai pula lalu-lintas kapal-kapal di Selat M alaka. P enguasaan selat
M a la k a m endjadi perebutan antara Sriw idjaja dan M elaju. D a r i p ia ­
gam T anjore jang dikeluarkan pada tahun 1030 kita tahu b a h w a
benteng keradjaan M elaju tidak terletak dipantai laut, tetapi diatas
bukit. Pusat keradjaan M elaju karenanja tidak m ungkin terletak di­
pantai lau t atau dikota Djam bi, tidak m ungkin disatukan deng an pe­
labuhan M elaju. '
O ra n g berlajar tentu memilih djalan jang m enguntungkan. D ja la n
jang m enguntungkan biasanja djalan jang pendek. D jik a jang b e r l a j a r
adalah perahu dagang, perahu itu akan mentjari djalan pendek dan
tempat-tempat jang dapat disinggahi untuk keperluan dagang. I-ts’ing
dengan tegas menjatakan, bahwa pelajaran dari Ind ia ke T io n g k o k
kebanjakan dilakukan melalui pelabuhan Kedah dan M elaju. D i M e laju
Para penumpang menunggu sampai pertengahan musim panas, kem u­
dian terus berlajar keutara menudju Kanton. Pelajaran dari In d ia ke
T iongkok tidak melalui Fo-shih. Ini berarti bahw a pelabuhan Fo-shih
dalam pelajaran India ke Tiongkok dan kebalikannja tersisih. D justru
oleh karena itu Sriwidjaja jang sedang berkembang, berusaha menun-
dukkan keradjaan M elaju dan merebut pelabuhan M elaju demi pengua­
saan lalu-lintas kapal-kapal di Selat M alaka. Itulah sebabnja m aka

60
p a d a p e m b e rita a n n ja I-ts'ing selalu m e n a m b a h k a n k e te ra n g a n , b a h w a
ne g eri M e la ju itu se k aran g sud a h m e n d ja d i b a g ia n S r iw id ja ja . P a d a
ta h u n 671 k e tik a I-ts’in g b e rk u n d ju n g u n tu k p e rta m a k a lin ja d i S r iw i­
d ja ja , ia m a s ih m e n ja k s ik a n sendiri, b a h w a k e r a d ja a n M e la ju itu m a s ih
m e rd e k a te rh a d a p S riw id ja ja . N a m u n 15 ta h u n k e m u d ia n , k e tik a ia
p u la n g d a ri N a la n d a m e n u d ju S riw id ja ja , d ilih a tn ja b a h w a s u d a h a d a
p e ru b a h a n k e ta ta n e g a ra a n d a la m k e ra d ja a n S riw id ja ja . N e g e r i M e la ju
te la h m e n d ja d i b a g ia n S riw id ja ja .
U n t u k m e n e ta p k a n d im a n a le tak n ja p e la b u h a n M e la ju , m a s ih d i­
p e rlu k a n k e te ra n g a n le bih la n d ju t. L e ta k n ja p e la b u h a n M e la ju d a n
p e la b u h a n S r iw id ja ja a ta u M o-lo-yeu d a n Shih-li-fo-shih h in g g a se k a­
r a n g m a s ih m e ru p a k a n teka-teki. O le h k a re n a itu p e rs o a la n le ta k n ja
M o-lo-yeu d a n Shih-li-fo-shih d ib a h as bersam a. D e n g a n k a ta la in p e r­
s o a la n g e o g ra fi M o-lo-yeu d ila n d ju tk a n d ala m b a b Shih-li-fo-shih.

4. Shih-li-fo-shih

S u a tu h a l la g i k ira n ja p e n tin g u n tu k p e n e ta p a n le ta k n ja p e la b u h a n
M e la ju ia la h u ra ia n I-ts'ing te n ta n g negeri-negeri d ila u t S e la ta n ja n g
m e m e lu k a g a m a B u d a . D a la m u ru ta n d a ri b a r a t ia m en jeb u t: P ’o-lu-
shih, M o-lo-yeu, ja n g sekarang m e n d ja d i b a g ia n k e r a d ja a n Shih-li-
fo-shih, M o-ho-sin, H o - ling , T an - tan, Pem-pen, Po-li, K ’u-lun, Fo-
shih-pu-lo, A - shan d a n M o-chia-m an. M a s ih a d a b e b e ra p a p u la u ketjil-
k e tjil la g i ja n g tid a k disebut disini.
U r a ia n d a r i b arat p a d a I-ts’in g in i k ira n ja harus d ita fs irk a n m e­
n u r u t p e rd ia la n a n d a ri In d ia ke T io n g k o k m e lalu i laut, tid a k d a ri b a r a t
be rtu ru t- tu ru t k e tim u r m e n u ru t k ib la t sem ata-m ata. K ir a n ja ja n g d i­
m a k s u d d e n g a n negeri-negeri d ila u t S e la ta n ja n g m em eluk a g a m a
B u d a , a d a la h negeri-negeri ja n g te rd a p a t d ip e rd ja la n a n d a ri In d ia ke
T io n g k o k m u la i d e n g a n P ’o-lu-shih. N egeri-negeri la in n ja ja n g le ta k n ja
d ise b e la h tim u r seperti D ja w a , B ali, L o m b o k , S u law e si d a n se b a g a in ja ,
m a sih s a n g a t d is a n g s ik a n , k a re n a I-ts’in g tid a k p e rn a h m e n g u n d ju n g i
tem pat- tem pat tersebut. K ira n ja d ju g a perlu m e n d a p a t p e rh a tia n , b a h w a
p e n je b u ta n itu d id a s a rk a n atas p e la b u h an , ja n g p e rn a h d is in g g a h i a ta u
d ik e ta h u in ja . In i a d a la h h a l ja n g te rm a k a n ak al. N a m a - n a m a ja n g ter­
sebut diatas, k e b a n ja k a n belum m e n d ap at pe m e tjah a n ja n g m e m uask an.
K ita m u la i d e n g a n P'o-lu-shih.

(1) D a la m u ru ta n negeri-negeri d ila u t S e la ta n ja n g m e m e lu k a g a ­


m a B u d a , I-ts’in g m en jeb ut P ’o-lu-shih sebagai negeri ja n g te rle tak
d iu d ju n g b a ra t. S esu d ah P'o-lu-shih b aru m en ju su l M o-lo-yeu. D e n g a n
k a ta la in negeri P ’o-lu-shih terletak disebelah b a r a t negeri M e la ju .
D ite m p a t la in I-ts’ing d ju g a m em be ritak an negeri P'o-lu-shih b e r­

61
kenaan dengan pendeta Korea jang setibanja di P ’o-lu-shih djatuh
sakit. P ’o-lu-shih terletak disebelah barat Shih-li-fo-shih. Prof. Cha-
vannes m enjam akan P ’o-lu-shih ini dengan Lang-po-lou-se dari sedja-
rah T ’ang. Lang-po-lou-se terdapat disebelah barat Shih-li-fo-shih.
Baik Prof. C havannes m aupun T ak ak u su m elokalisasikannja dengan
Perlak. Ptolomeus m enjebut A rg y rie C hora: pulau perak; C hryse Cho-
ra: pulau mas, dan C hryse Chersonesos: djazirah mas. Negeri-negeri
tersebut dilokalisasikannja did aratan A sia T enggara. Sesudah itu ia
m enjebut lim a pulau Barusai dan tiga Sabadeibai, jang didiam i oleh
orang-orang jang m akan daging m anusia. Barusai dari berita Ptolo­
meus itu kiranja sama sadja dengan P ’o-lu-shih dari berita I-ts’ing.
Prof. K ern m enjam akannja dengan Barus atau Baros jang terletak di-
pantai barat Sum atera didaerah T ap anuli pada garis 2° 98’ L .U . D e ­
m ikianlah Barus pada abad 7 menguasai Sumatera U tara sampai
pantai tim urnja. W ila ja h n ja disebut dengan nama ibukotanja. H a l jang
dem ikian biasa dalam sedjarah.
(2 ) D alam perdjalanannja pulang dari N alanda, I-ts’ing m engurai­
kan bah w a ia berangkat dari Tan-mo-lo-ti kearah tim ur m enudju Ka-
cha. S inggah disini sampai musim dingin. D engan m enum pang perahu
radja ia berangkat dari Ka-cha menudju Mo-lo-yeu, jang sekarang
m endjadi bag ian Fo-shih. Pelajaran itu m akan w aktu sebulan. Umum-
nja perahu tiba dipelabuhan Mo-lo-yeu pada bulan pertama atau bulan
kedua. T in g g al disitu sampai pertengahan musim panas. Lalu berangkat
keutara m enudju Kwang-tung. Lebih kurang sebulan kem udian sampai
ditem pat tudjuan,
(3) O leh karena I-ts *n 9 djuga mentjeriterakan bahw a pendeta
W u - h in g berlajar dengan perahu radja dari Fo-shih kenegeri Mo-lo-
yeu selama limabelas hari, maka penjamaan pelabuhan Mo-lo-yeu de­
ngan pelabuhan Fo-shih tidak mungkin.
(4) Satu hal lagi jang harus mendapat perhatian ialah, bah w a dari
pelabuhan M e la ju ini perahu berlajar keutara menudju T iongkok tanpa
singgah di Fo-shih. D engan kata lain pelabuhan M elaju m erupakan
tempat berlabuh perahu-perahu dari Selat M alak a jang akan menudju
T io n gk o k sambil menunggu datangnja angin barat daja. K ebalikannja
perahu-perahu dari laut T jina jang akan berlajar melalui Selat M alak a
m enudju Ind ia dan negeri barat lainnja, singgah dipelabuhan M elaju
sambil m enunggu tibanja musim angin timur laut. D itin d jau dari segi
perdagangan dan kesibukan lalu-lintas letak pelabuhan M elaju lebih
m enguntungkan daripada pelabuhan Fo-shih atau Sriw idjaja.
(5) Pelajaran I-ts’ing pada tahun 671 dari Kwang-tung ke Fo-shih
m engarungi laut T jina, hanja m akan waktu 20 hari. D ja la n jang di-

62
tempuhnja berbeda dengan pelajarannja jang kedua pada tahun 689
dari Kwang-tung kembali ke Fo-shih. Pada pelajarannja jang kedua
ini I-ts'ing menjusur pantai. Dalam perdjalanan jang pertama I-ts’ing
langsung menudju Fo-shih, mengarungi lautan besar, kemudian ber­
angkat ke Mo-lo-yeu terus ke India. Ini berarti bahwa pelabuhan
Mo-lo-yeu terletak disebelah barat Fo-shih, atau paling sedikit dalam
perdjalanan Fo-shih —■India.
(6 ) Berdasarkan tindjauan geomorfologi Drs. Sukmono mengemu­
kakan pendapat, bahwa satu-satunja tempat jang letaknja sangat ideal
untuk menguasai pelajaran di Selat M alaka dan laut Selatan ialah
Djam bi. Ia beranggapan bahwa Djam bi adalah pusat keradjaan S ri­
w idjaja. Djustru karena letak Djambi jang sangat ideal itulah maka
kiranja D jam bi sesuai benar dengan uraian I-ts’ing mengenai kedu­
dukan pelabuhan Melaju. Letak pelabuhan Sriwidjaja tidak sebagus
pelabuhan M elaju. Demikianlah pada hakekatnja hasil penjelidikan
Drs. Sukmono malah memperkuat pendapat bahw a D jam bi adalah pe­
labuhan M elaju, sedangkan ia bermaksud untuk menetapkan D jam bi
sebagai pusat keradjaan Sriwidjaja.
(7) Artja Amoghapa^a, hadiah radja Kertanagara pada tahun 1286,
sebelas tahun sesudah keberangkatan tentara Singasari kenegeri M e ­
laju, ditempatkan di Dharmmagraya. Artja tersebut diangkut dari Dja-
w a ke Suwarnabhumi untuk dihadiahkan kepada grimat Tribuwana-
radja M auliwarmmadewa. Artja itu terdapat di Padang Rotjo dekat
sungai Langsat didistrik Batang Hari. N am a Langsat djuga tersebut
pada piagam Adityawarman, dimana djuga terdapat nama M alayapuca.
Dem ikianlah pusat keradjaan Melaju letaknja harus disebelah selatan
kota Djam bi, terpisah dari pelabuhannja. Pelabuhan M elaju terletak
pada muara sungai Batang Hari, dikota Djam bi sekarang. Mengenai
lokalisasi pusat keradjaan Melaju ini akan diberi pembahasan jang
lebih mendalam.
( 8) O leh karena letak pelabuhan Melaju sudah dapat dipastikan
dimuara sungai Batang Hari, dikota Djam bi sekarang, maka identifi­
kasi Fo-shih dengan muara sungai M usi di Palembang termakan akal,
tidak perlu lagi diragukan. Perdjalanan dari Fo-shih kepelabuhan M elaju
menurut I-ts’ing makan waktu limabelas hari. D jika kita memperhati­
kan perdjalanan D apunta Hyang dari Sriwidjaja ke M inanga T am w a
jakni M uara Tebo, jang letaknja disebelah selatan kota Djam bi, maka
perdjalanan itu makan waktu kurang dari 26 hari. H al ini diberitakan
pada piagam Kedukan Bukit. Berapa hari lamanja D apunta H yang
singgah di M inanga Tamwa, tidak dinjatakan. Dem ikianlah berita
I-ts’ing mengenai djarak antara Fo-shih dan pelabuhan Melaju, sesuai

63
d e n g a n b e rita p a d a p ia g a m K e d u k a n B u k it te n ta n g p e la ja ra n D a p u n ta
H y a n g d a ri S r iw id ja ja ke M in a n g a T a m w a alias M u a r a T e b o .
(9 ) O le h k a re n a p e rd ja la n a n W u - h in g d a n I-ts’ing d ari Fo-shih
ke In d ia m e la lu i p e la b u h a n M e la ju , m a k a letak Fo-shih harus disebelah
te n g g a ra p e la b u h a n M e la ju , tid a k m u n g k in a d a disebelah b a ra tn ja .
S atu- satunja p e la b u h a n disebelah te n g g ara D ja m b i a d a la h m u ara
s u n g a i M u s i. D e m ik ia n la h Fo-shih harus terletak d im u a ra s u n g ai M u s i.
N a m a P a le m b a n g p a d a zam an I-ts’ing belum dikenal.
( 10) S riw id ja ja terletak ditepi sungai. M e n u r u t b e rita R eco rd,
S riw id ja ja terletak ditepi sungai. N a m a sun gain ja sam a d e n g a n n am a
k e ra d ja a n n ja . D a la m b ah asa T io n g h w a b a ik n am a k e ra d ja a n n ja m a u ­
p u n n a m a su n g a in ja ialah Fo-shih s ing katan dari Shih-li-fo-shih. Be-
rita n ja dem ikan: P a d a ta n g g a l 20 b u la n 7 ta h u n pertam a pe m e rintahan
Y u n g - c h ’ang (689) ia sam pai di K w ang-tung kem bali. P e la ja ra n kem ­
b a li itu tid a k d ire n tja n a k a n lebih dahulu. Sem ula ia d a tan g d is u n g a i
Fo-shih titip surat rahasia ke K w ang-tung u ntu k m inta k irim a n kue-
kue, kertas d a n tin ta, guna m enurun naskah-naskah Sansekerta dan
sebagai u p a h kerdja-tulis. N a m u n pad a w aktu itu tiba a n g in baik . O le h
k are na itu lajar-lajar segera dipasang. I-ts’ing ikut terbaw a. Ia tidak
be rm ak sud ak a n pulang.
(11) L e ta k n ja S riw id jaja. Letaknja S riw idjaja dib eritak an oleh
I-ts’ing d e n g a n p a n d ja n g n ja bajang-bajang orang jang berdiri d ib a w a h
m atahari. K a ta n ja : D in e g e ri Shih-li-fo-shih kita lih at bah w a bajang-ba­
jang diw e lacak ra tid ak m endjadi pandjang atau m endjadi pendek pada
p e rte ng ahan b u la n delapan. P ad a tengah hari tak nam pak bajang-
b a ja ng orang jan g berdiri dibaw ah m atahari. L ain halnja kalau musim
Semi. M a ta h a r i tepat diatas kepala dua kali satu tahun. K alau m ata­
h ari disebelah selatan, bajang-bajang m em budjur keutara, pand jan g nja
lebih k urang dua atau tiga kaki. K alau m atahari disebelah utara,
bajang- bajangnja sama, tetapi djatuh keselatan.
D a r i berita itu dapat ditarik kesim pulan bah w a Shih-li-fo-shih ter­
letak disekitar garis K atulistiw a.
D a r i segala berita jang telah dikum pulkan diatas m aka dapat d i­
am bil kesim pulan bah w a S riw idjaja terletak ditepi sungai, disebelah
tenggara (tim ur) pelabuhan M e laju (D ja m b i), disekitar garis K atulis­
tiw a. Satu-satunja tempat jang memenuhi sjarat-sjarat tersebut ialah
m uara sungai M u s i didaerah Palem bang. T em pat itu terletak pada
garis 3° 104’ L.S. P ad a zam an I-ts’ing nam a Palem bang be lu m ’ dikenal
sebagai nam a tempat dim uara sungai M usi. D ju g a nam a M u si belum
dikenal sebagai nam a sungai. Baik, nam a sungainja m aupun nam a kota
dan keradjaannja disebut Fo-shih atau Sriw idjaja.

64
5. M o-hosin

Sesudah negeri Mo-lo-yeu, I-ts’ing menjebut Mo-ho-sin. H ingga


sekarang lokalisasi Mo-ho-sin masih bersimpang siur. Terang sekali
bahwa negeri-negeri jang disebut oleh I-ts’ing sebagai negara Buda
ialah negara-negara jang terletak didjalan pelajaran India — Tiongkok.
Jang agak menjolok ialah bahwa diantara negara-negara dilaut Selatan
itu tidak ada satupun jang menurut tafsiran para sardjana terletak
didaerah Semenandjung Melaju, padahal Semenandjung M elaju djelas
terletak dilaut Selatan, berhadapan dengan negeri Melaju dipantai
timur Sumatera, dan djelas terletak didjalan pelajaran India — T iong­
kok. Suatu kemustahilan, bahwa pengaruh agama Buda tidak terdapat
di Semenandjung. D ari hasil penjelidikan prasedjarah M alaya jang
disusun oleh Tweedie, njata sekali akan adanja agama Buda di Seme­
nandjung Melaju. Bahkan artja Buda dari abad kelima terdapat djuga
di Kedah. I-ts’ing pasti mengetahui tentang adanja agama Buda di-
djazirah Melaju. Lagipula Semenandjung Melaju termasuk daerah jang
besar. I-ts'ing menambahkan pada uraiannja sebuah keterangan, jang
kelihatannja tidak penting, tetapi berguna untuk tudjuan kita, jakni:
masih ada beberapa pulau ketjil-ketjil lagi jang tidak disebut disini.
D iantara pulau-pulau itu pasti Semenandjung tidak termasuk, karena Se­
menandjung adalah negara jang terhitung besar. Oleh karena itu saja
berpendapat, bahwa Semenandjung itu djuga disebut dalam rangkaian
negara Buda oleh I-ts’ing. Hanja sadja namanja tidak Semenandjung.
Tjatatan ini boleh dianggap penting, karena hal ini mengubah tafsiran
para sardjana mengenai nama salah satu negara jang disebut oleh
I-ts’ing. N am a jang saja maksudkan ialah Mo-ho-sin.
Berdasarkan keserupaan bunji Takakusu menduga, bahwa Mo-ho-
sin sama dengan M ahasin atau Masin. Nama itu lalu disamakan de­
ngan Bandjarmasin dimuara sungai Barito di Kalimantan Selatan.
Tetapi didalam lampiran peta ia menjebut dengan sangat hati-hati
pulau Biliton sebagai Mahasin, dan Bandjarmasin diikuti tanda tanja.
Dr. Rouffaer menjamakan Mo-ho-sin dengan Hasin jang terdapat pada
piagam Airlangga dan harus ditjari diluar Djawa, mungkin sekali
Tumasik. Pendapat Rouffaer ini timbulnja karena ia menterdjemahkan
nama-nama jang didjumpainja pada piagam Airlangga seperti W ura-
w ari diterdjemahkan dengan „klaar water’’, air djernih, sama dengan
Ganggaju dalam Sedjarah Melaju. Ganggaju ini terdapat di Seme­
nandjung; Lawaran diterdjemahkan dengan „lief water”, air tjantik,
disamakan dengan Langka atau Langkasuka, jang dikatakannja Djo-
hor Lama; Galuh diterdjemahkannja dengan „manikam” ; manikam
adalah Djohor, karena Djohor berasal dari jauhar: manikam. Dengan

65
sendirinja pendapat R ouffaer ini m endapat sambutan sardjana Inggris,
W in s te d t, dalam bukunja History of Johore. "Winstedt lebih pertjaja
kepada Krom daripada kepada Rouffaer. Krom bersikap sangat hati-
hati terhadap teori R ouffaer jang sangat berani. Ia mentjari H asin
dan G a lu h di D ja w a T im ur. B agaim anapun Mo-ho-sin I-ts’ing ber­
beda dengan H asin pada piagam A irlangga. jang dipersoalkan diatas.
M engenai Mo-ho-sin ini Krom tidak mengeluarkan sesuatu pendapat,
ketjuali m engem ukakan pendapat Rouffaer. Ia membenarkan usaha
untuk m entjari Mo-ho-sin di Sem enandjung M elaju, karena Semenan-
djung tidak disebut oleh I-ts’ing.

Prof. D r. Purbatjaraka m em bitjarakan Mo-ho-sin dalam bukunja


R iw a ja t Indonesia I. P endapatnja setjara lengkap seperti berikut:

1. M e n u ru t pendapat kami sendiri, tentang dugaan, bahw a Mo-


ho-sin terletak di Sem enandjung itu kurang benar. Sebab diatas
sudah dikatakan, bahw a kekuatan Sriw idjaja telah m enduduki
tanah Si M en and ju ng (M a la k a ). D jad i bila di Si M en and ju ng
masih ada keradjaan, bagaim anapun djuga, keradjaan itu sudah
tidak berarti, sebab sudah ada dibaw ah kekuasaan Sriw idjaja.
O le h sebab itu I-ts’ing tidak menjebut salah satu keradjaan di
M alak a.

2 . D engan dugaan jang terbelakang ini m aka letaknja Mo-ho-sin


itu dapat diduga ialah di Pulau D jaw a, karena m enilik tempat jang
disebut oleh I-ts'ing diantara Sriw idjaja dengan Ho-ling (D ja w a ),
djadi disebelah barat Ho-ling, barangkali di Pasundan. A d ap u n
alasan bagi dugaan ini agak pandjang dan kami terangkan seperti
dibaw ah ini.

3. D id alam tulisan jang dim uat di Bijdragen voor de T aal, Land-


en V olkenkunde, tahun 1921, m uka 72 seterusnja, D r. R ouffaer
m enjam akan Mo-ho-sin dengan H asin dan lain-lainnja ialah Si-
ngapura. D isini kam i katakan dengan horm at kepada D r. Rouf-
f faer, bah w a tjeritanja itu sebagian besar hanja petai-hampa sadja.

4. D id alam T .B .G . djilid 19 tahun 1870 m uka 393 D r. V a n der


T u u k menulis seperti berikut: ,.D idalam piagam dari Banten selalu
saja dapati perkataan W o n g entjik buat m enam akan orang M e ­
laju. Perkataan ini sangat menarik perhatian kami, sebab m em ­
buktikan, bahw a perkataan w ong M elaju dimasa itu ialah nama
nistaan, nam a penghinaan. Bangsa lain jang datang berperahu,
didalam piagam itu djuga, dinam akan w ong asin. M ula-m ula k a­
mi kira, bahw a kata M elaju asing; akan tetapi seringkali kam i

66
-Vr

djumpai kata itu selalu ditulis dengan n sadja. O leh karena itu
kami berpendapat, bahwa kata itu asal dari asin. D idalam piagam
jang lebih muda ....... kami berdjumpa dengan perkataan wong
Djaketra, dan didalam piagam-piagam lainnja selalu wong Djaja-
kerta ....... ”

5. Sekian tulisan D r. V a n der T uuk jang kami ambil. Biarpun


tidak dikatakan dengan banjak perkataan, akan tetapi menilik
tulisan V a n der T uuk jang sekonjong-konjong mengganti per­
kataan wong asin didalam piagam jang tua, dengan wong D ja ja -
kerta didalam piagam jang lebih muda, maka boleh diduga bahwa
w ong asin disini maksudnja semata-mata sama dengan wong we­
tan jakni orang timor. Oleh karena itu tanah, daerah atau tempat
jang bernama asin seharusnja ditjari di T anah D jaw a jang letak-
nja ketimur daripada Banten.
D idalam tembaga tulis jang berangka tahun 872 £ a k a terdapat
didaerah Klaten Surakarta, ada tersebut ramani hasin. Kata Hasin
disini terang nama suatu tempat.
\ A da lagi nama Hasin, jakni jang tersebut didalam batu-tulis,
O .J.O . no. I X (muka 128- 129). D jikalau dihilangkan jang tidak
perlu, maka bunji perkataan batu-tulis tersebut ialah seperti ber­
ikut: Angka tahun 956 Caka, bulan, hari dst. (dan seterusnja)
i rika diwaganyajna gri maharaja ....... (Airlangga) ....... tinadah
rakryan mahamantri ....... (nama segenap menteri besar) kumo-
naken ikanang karaman ring baru makabehan padamlakna sang
hyang ajna haji tamra pragasti tinanda garudamuka kmitanaya
sambandha ri panghinep paduka gri maharaja i rikanang thani
ring baru maprayojana i rikang ratri ri sdanganyanjayagatwa gri
maharaja ring samara kumawagakna musuhira ikana i hasin ate-
her tumunggalakna ikanang prtiwlmandala an sTma parnnahani-
kanang thani ring baru dening rama ring baru makabehan.
Artinja: „Angka tahun 956 Q!aka, bulan, hari dan seterusnja itulah
harinja perintah gri maharadja (Airlangga) diterima (oleh) jang
terhormat (para) menteri besar ....... (nama segenap menteri
besar) menjuruh supaja sekalian penduduk didesa Baru dibuatkan
surat kekantjingan diatas logam, jang menurut perintah mulia gri
baginda, ditandai dengan muka garuda, supaja mendjadi pegangan
dan dirawat (oleh sekalian penduduk didesa Baru) lantaran ke­
tika gri baginda menginap didesa Baru, dimasa perangnja dan
dapat menguasai musuhnja dimasa itu di Hasin, selandjutnja me-
njatukan sekitar tanah (D jaw a), maka desa Baru didjadikan desa-
merdeka bagi sekalian penduduk didesa Baru” . ,

67
Inilah pokok isi batu-tulis itu jang penting-penting. Selandjutnja
tertangkaplah radja di Hasin, lalu dibunuhnja. Barangkali sudah
sangat terang, bahw a keradjaan H asin itu letaknja di T anah
D ja w a. D a n oleh karena itu tahu, bahw a keradjaan m aharadja
A irlangga itu ditanah D ja w a Tim or, tentu sadja, keradjaan H asin
itu letaknja di T an ah D jaw a sebelah barat, baik masih didalam
bagian T anah D ja w a Tengah, maupun ditanah Pasundan. Sebab:
djikalau H asin itu dianggap terletak diluar T anah D jaw a, per­
kataan m enjatukan sekitar tanah jang kami tambah dengan ..dja­
w a ” itu agak susah diartikan.
D iatas telah kami katakan, bahw a Rouffaer menjamakan Mo-ho-
sin dengan M asin, lalu disamakan dengan jang sekarang men-
djadi Singapura. Pertanjaan: A pakah m aharadja A irlangga hendak
menjerang musuhnja di Singapura bermalam didesa Baru? A pakah
harapan beliau m endjadikan merdeka desa Baru itu hanja m endoa­
kan dari djauh sadja untuk kemenangannja didalam perang di
Singapura? H a l itu suatu hal jang sangat mustahil. A palagi kalau
kita ingat kata „m enjatukan sekitar tanah (D ja w a ) ” , negeri H asin
itu tidak boleh tidak tentu terletak dipulau D jaw a.
M a sih ada lagi nam a H asin jang terdapat dalam riw ajat D jaw a,
jakni didalam buku Pararaton (tjetakan kedua m uka 20, terdje-
m ahan m uka 63). D ikatakan, bahw a permaisuri radja D an g d a n g
Gendis di Kediri, jang dialahkan oleh Ken A ngrok ialah D ew i
Am isani, D ew i H asin dan D ew i Padja. T entang nam a jang ke­
dua itu D r. Brandes jang m engerdjakan buku Pararaton dengan
teliti sekali, sepatah katapun tidak memberi keterangan. M enurut
perasaan kami isteri sang D ang dang Gendis jang tiga orang itu
ialah isteri lantaran perkaw inan politik. Jang pertama isteri asal
dari negerinja sendiri, jang kedua dari keradjaan Hasin, jang ke­
tiga dari keradjaan Padja jang seharusnja dibatja Padjang. B iarpun
kira-kira dimasa itu keradjaan H asin dan Padjang (dekat Solo)
ketjil sekali, akan tetapi masih dianggap kuat djuga oleh sang
D a n g d an g Gendis buat menambah kekuatannja didalam keradja-
annja sendiri di Kediri. B ahw a sang D e w i H asin itu seorang pu-
teri dari keradjaan H asin, jang dulu telah dialahkan oleh radja
A irlangga, hal ini barangkali tidak perlu lagi diterangkan lebih
pandjang. K am i ulangi lagi, letaknja negeri atau keradjaan H asin
atau Mo-ho-sin ialah di T an ah D ja w a , agaknja kesebelah barat.
(D id ae rah B atang (Pekalongan) ketjam atan W arung-asem seka­
rang masih ada desa M a s in ).
Penjebutan Mo-ho-sin dilakukan I-ts’ing sesudah Mo-lo-yeu, jang
sekarang m endjadi bagian keradjaan Shih-li-fo-shih. Ini dapat ditafsir­

68
kan bahwa wilajah keradjaan Mo-lo-yeu atau pelabuhan Mo-lo-yeu,
jang pernah disinggahi oleh I-ts’ing, terletak agak kebarat dipantai
Sumatera Tim ur dari Mo-ho-sin. Telah kita ketahui bahwa pantai
timur Sumatera termasuk wilajah keradjaan Sriwidjaja. M enurut urai­
an I-ts’ing sendiri perdjalanan dari India ke Tiongkok melalui pela­
buhan M elaju biasanja langsung keutara tanpa melalui pelabuhan
Fo-shih. Perdjalanan jang demikian menerobos Selat M alaka, terus
ke Tumasik, jang dalam transkripsi Tionghwa mendjadi Tan-ma-shi.
menudju laut Tjina. Disebelah kiri memandjang pantai barat M alaka -
Pontian, disebelah kanan pantai timur Sumatera. Ahli peta Chia-tan
menjebut negeri seberang timur itu Lo-yueh dan diseberang barat
Fo-shih. Lo-yueh adalah Lo-cak menurut tjatatan M arco Polo. Lo-cak
ini bentuk ubahan dari Lo-kok jang berarti Negara Lo dan jang di­
maksud dengan Lo adalah Langkasuka. Negara ini oleh I-ts’ing di­
sebut Lang-chia-shu. Chia-tan menganggap keradjaan Langkasuka
jang terletak dipantai timur M alaja. meliputi djuga wilajah M alaja
sebelah barat dan selatan. I-ts’ing jang tinggal bertahun-tahun di
Fo-shih, dan pernah mengadakan perdjalanan dari India ke T iong­
kok, pasti lebih tahu tentang keadaan pantai barat M alaja daripada
Chia-tan. Ia tentu tahu akan adanja beberapa pelabuhan dipantai
barat M alaja seperti M alaka, M uar dan Tumasik. Saja kira Mo-ho-sin
itu djuga nama salah satu pelabuhan dipantai barat M alaja. Satu-
satunja nama jang agak mirip dengan Mo-ho-sin ialah bandar Maha~
rani, jang sekarang mendjadi M uar. Bandar M aharani sudah lama
dikenal sebagai tempat jang ramai dan tempat jang baik. T idak asing
bagi para ahli sedjarah bahwa pembentukan keradjaan Djohor dimulai
dari M uar. Radja Singapura Iskandar Sjah, ketika negaranja diserang
oleh tentara D jaw a, lari ke M uar. Bandar M aharani terletak dimuara
sungai M aharani, hingga sekarang masih digunakan.
T idaklah aneh bahwa bandar M aharani sudah berupa pelabuhan dan
mendjadi pusat keradjaan pada abad 7, ketika I-ts’ing menetap di Shih-
li-fo-shih. Penjelidikan paling achir, jang dilakukan oleh H .D . Collings
di T andjung Bunga dekat M uar, menundjukkan bahwa tempat tersebut
mempunjai kebudajaan batu baru, karena dalam penggalian ia mene­
m ukan alat-alat batu bersegi empat jang mempunjai hubungan dengan
kebudajaan batu baru. Keradjaan jang ada disitu mungkin tidak se­
besar keradjaan Kedah.

6. Ho-ling
Dalam abad ke 7 keradjaan Ho-ling memegang peranan penting
dalam soal kebudajaan. Pendeta Tionghw a Hwui-ning pada tahun
664/5 berangkat dari Tiongkok sengadja menudju Ho-ling. A pa jang

69
d ila k u k a n oleh H w ui- ning selama tin g g a l di H o- ling, d iu r a ik a n oleh
I-ts’ing d e n g a n teliti. H w ui- ning m e n g a d a k a n k e rd jasam a d e n g a n p e n ­
deta H o-ling Joh-na-po-to-lo u ntu k m e n te rd je m ah k an b a g ia n p e n u tu p
N irw a n a su tra , jan g m en gu raik an p e m b a k a ra n d je n azah B u d a d a n pe­
n g u m p u la n pe ning g alan- peningg alannja. T eks in i te rn ja ta b e rb e d a
dengan M a h a p a rin irw a n a s u tra . N a m a pende ta H o-ling, Joh-na-po-to-lo
sesuai benar deng an nam a Sansekerta, Jnan ab h ad ra. K e tik a terdje-
m ahan itu selesai, H w ui-ning memberi p e rintah kepad a p e n d e ta m u d a
Y un- k’i u n tu k m em baw anja pulang ke T io n g k o k . H w u i- n in g tin g g a l
di H o-ling. Setelah Y un- k ’i selesai m e n u n a ik a n tug asnja, ia b e rla ja r
kem bali ke H o lin g untuk m enjam paikan ta n d a terim a k a sih k e p a d a
sang guru jn anab hadra dan untuk m e n g g a b u n g k an d iri la g i d e n g a n
H w ui-ning. T etapi sesampainja di H o-ling, pendeta H w u i- n in g telah
berangkat ke Ind ia.
K etjuali tjatatan sedjarah diatas tentang H w ui- n ing , p e n d e ta I-ts’ing
masih m em beritakan keradjaan Ho-ling dalam b u k u n ja M e m o ire se­
perti berikut:
(1) Y u n- k ’i, pendeta kelahiran C hiao-chih (T o n g k in ) tin g g a l se­
puluh ta h u n dinegeri laut Selatan. Ia m endjadi m urid Jn a n a b h a d ra .
Ia m em peladjari bahasa K ’un-lun d an faham ak an bahasa Sansekerta.
Ketika I-ts’ing menulis bukunja, M em oire, Y u n - k ’i tin g g a l di Shih-li-
fo-shih dan berumur 30 tahun.
(2 ) C h ’ang-min menumpang perahu jang p a n d ja n g n ja 200 k aki
dan dapat mengangkut penumpang sebanjak 600 sam pai 700 o ran g,
menudju negeri Ho-ling. D a ri sana ia berlajar kenegeri M o-lo-yeu
untuk meneruskan perdjalanannja ke In d ia. T etapi p e ra h u n ja k aram
tidak djauh dari pangkalan, karena terlalu berat m u a tan n ja. C h ’ang-
min meninggal.
(3) Ming-yuen berangkat dari Chiao-chih: perahunja te rd a m p a r

gelombang sampai dinegeri Ho-ling.


(4) T an-yuen berangkat melalui daratan ke C hiao-chih. K etika
musim angin baik telah tiba, ia m enum pang perahu m en ud ju selatan
engan harapan akan sampai di In d ia Barat, tetapi w a k tu ia sam pai
inegeri P ’u-p’en disebelah utara Ho-ling, ia m eninggal.
|5) Fa-lang berlajar dari Pan-jong, sampai di Fo-shih p ad a achir
bulan; sesudah beberapa lama tinggal disana, ia berangkat ke Ho-lin9-
dunana ia meninggal.
(6 ) Tao-lin melakukan perdjalanan djauh, berlajar m enudju laut
Selata n . I a s a m p a i dinegeri Lang-chia, melalui negeri H o-ling d a n
o-jeng-kuo JDitiap negeri jang disinggahinja, ia diterim a oleh radja
dengan hormat dan diperlakukan sangat baik. Sesudah beberapa tahu n

70
ia s a m p a i d i In d ia T im u r d ik e r a d ja a n T an-m o-lo-ti. D is a n a ia tin g g a l
tig a ta h u n u n tu k b e la d ja r b a h a s a S an s e k e rta.
Itu la h b e b e ra p a tja ta ta n te n ta n g k e r a d ja a n H o - lin g ja n g te rm u a t
d a la m M e m o ir e k a rja p e n d e ta I-ts’ing . D id a la m R e c o rd m a s ih a d a
b e rita m e n g e n a i k e r a d ja a n H o - ling , ja n g m e s k ip u n sam ar- sam ar, se­
k a d a r m e m b e ri p e tu n d ju k te n ta n g le ta k n ja. I-ts’in g m e n je b u t negeri-
n e g e ri d ila u t S e la ta n , ja n g p e n d u d u k n ja m e m e lu k a g a m a B u d a , b e r ­
tu ru t- tu ru t, d a r i b a ra t. D ia n ta r a n ja tersebut H o - lin g .
P e llio t m e n tja ta t p e n g irim a n u tu san d a ri H o - lin g ke T io n g k o k p a d a
t a h u n 640 s a m p a i 648, 6 6 6 , 767, 768, 813 s a m p a i 815 d a n 818.
B a g a im a n a p u n k e r a d ja a n H o - lin g itu p e rn a h a d a , n a m u n h in g g a
s e k a ra n g b e lu m d a p a t d ip a s tik a n le ta k n ja . D a r i tja ta ta n I-ts’in g m e ­
n g e n a i g e o g ra fi H o - lin g k ita h a n ja d a p a t m e n a n g k a p b a h w a H o - lin g
d is e b u t s e s u d ah k e r a d ja a n M o-lo-yeu d a n M o-ho-sin d a la m u r u ta n
d a r i b a r a t. N a m u n p e n g e rtia n „ d a ri b a r a t” p a d a I-ts’in g itu h a ru s
d ita fs ir k a n m e n u r u t p e rd ja la n a n dari In d ia ke T io n g k o k , tid a k d a ri
b a r a t b e rtu ru t- tu ru t k e tim u r m e n u ru t k ib lat.

H in g g a s e k a ra n g p a ra a h li s e d ja rah m e n ja m a k a n H o - lin g d e n g a n
D ja w a . D ja w a te rletak disebelah tim u r S u m a te ra , s e d a n g k a n S u m a te ra
se b e la h tim u r d a n se latan a d a la h w ila ja h k e r a d ja a n M e la ju (S riw i-
d ja ja ) . M e n u r u t H s in - T ’ang- S hu b u k u 2 2 2 , b a g ia n 11 d e m ik ia n Ta-
k a k u s u , d is e b u t b a h w a ja n g d im a k s u d d e n g a n K a lin g g a a d a la h D ja w a .
B u k u 197 m e n ja ta k a n b a h w a K a lin g g a te rle ta k dise be lah tim u r S u ­
m a te ra . G ro e n e v e ld t m e n ja m a k a n n ja d e n g a n p a n ta i u ta ra p u la u D ja w a
d a n P r o f. C h a v a n n e s m e n ja m a k a n n ja d e n g a n D ja w a B a ra t. D e m ik ia n ­
la h H o - lin g d ik ir a tra nsk rip si T io n g h w a d ari n a m a K a lin g g a . D a n
K a lin g g a a d a la h D ja w a .
B e rd a s a rk a n p a n d ja n g n ja b a jan g - b ajan g d a la m w e la c a k ra , ja n g per-
h itu n g a n n ja d ila k u k a n oleh seorang professor, T a k a k u s u s a m p a i k e p a d a
k e s im p u la n , b a h w a H o - lin g harus terletak di M a la ja p a d a garis 6 ° 8 '
L .U ., k a re n a H s in - T 'a n g - S h u m e m b e rita k a n d e m ik ia n :
„ D i H o - lin g p a d a m usim panas, d jik a to n g k a t w e la c a k ra p a n d ja n g ­
n ja 8 k a k i, b a ja n g - b a ja n g n ja p a d a w a k tu s ian g d ja tu h k e s e lata n d a n
p a n d ja n g n ja 2 k a k i em pat in tji ( 22/ s k a k i) .” T a k a k u s u m e m b u a t tja ­
ta ta n , b a h w a p e m b e rita a n itu a g a k k a tja u , d jik a ja n g d im a k s u d ia la h
s a la h satu te m p a t d i D ja w a (ja n g terletak p a d a g aris 6 ° 8 ' L .S .) . Ia
a k a n b e ru s a h a m e n tja ri b a h a n p e rb a n d in g a n d a la m k itab - k itab T io n g -
h w a le b ih d a h u lu , sebelum m e m b e rik a n p e m e tja h a n n ja . S u d a h te ra n g
b a h w a p a d a z a m a n I-ts’in g n a m a D ja w a itu s u d a h d ik e n a l d ik e r a d ja a n
S r iw id ja ja , k a re n a p a d a p ia g a m K o ta K a p u r ja n g d ik e lu a r k a n p a d a
ta h u n 686 te lah disebut b a h w a „te n tara S riw id ja ja b e ra n g k a t ke bh utn i

71
/au>a". T e n tu n ja 1-ts’ing dju ga m en ge nal p ia g a m tersebut a ta u setidak-
tid akn ja p e rn ah m endengar n am a D ja w a , k a re n a ia la m a m e n e ta p di
S riw id ja ja . L a g ip u la ia a d a la h orang ja n g m e n g a g u m i F a- hie n, p a d a ­
h a l Fa-hien jan g b e ran g k at dari T io n g k o k p a d a ta h u n 414, te la h me-
njebut Ja w a d i d a n pada zam an dinasti S u n g ja n g pe rtam a (4 2 0 - 578)
telah disebut p u la nam a Y aiv ad a, m a k s u d n ja Y a w a d w ip a . S u a tu
kenjataan ia la h b a h w a I-ts’ing m enjebut H o- ling. A n d a ik a ta ja n g d i­
m aksud oleh 1-ts’ing ad alah D ja w a , pasti ia a k a n be rusaha m entrans-
kripsikan n a m a D ja w a itu dengan u tja p a n T io n g h w a ja n g m irip . D e ­
m ikianlah m u n g k in sekali b ah w a jang d im ak su d d e n g a n H o - lin g itu
memang b u k a n pu lau D ja w a .
S edjarah T ’ang lam a jang hanja m engenal n am a H o- ling (m ak sud -
— nja tan p a identifikasi dengan K alin g g a atau D ja w a seperti ja n g d ik e n a l
dalam sedjarah T ’ang susunan baru ) m entjatat, b a h w a k o ta H o - lin g
dikelilingi pagar jang dibuat dari kaju. R a d ja n ja tin g g a l d ir u m a h di-
atas tiang, beratap rumbia; ia du d uk diatas tachta g a d in g . D i H o - lin g
orang sudah m engenal tulisan dan telah m engenal ilm u fa la k . O ra n g -
orangnja m ak an tanpa sendok, m e laink an m a k a n d e n g a n d ja ri. M i-
num annja dib uat dari m ajang pinang.
U ra ia n tentang adat kebiasaan itu penting artin ja u n tu k ilm u s e d ja ­
rah, nam un pemberitaan jang dem ikian sedikit artin ja u n tu k p e n e ta p a n
geografi. K em udian menjusul dongeng jan g sudah sa n g a t po p u le r,
jakni dongeng tentang m aharani Si-mo. P a d a ta h u n 6 4 4 /5 r a k ja t Ho-
ling m em punjai radja perempuan jang sang at keras d a n a d il dalatn
pemer'mtahannja. R ad ja perempuan itu bernam a Si-mo. T a k a d a o ran g
jang berani mengambil barang jang djatu h ditengah d ja la n k e tju a li
pemiliknja. K abar itu terdengar oleh radja Ta-che. R a d ja T a- che lalu
menjuruh meletakkan emas sekampil ditengah d jala n d iw ila ja h Ho-ling-
T iap orang jang lalu disitu, m enjingkir. T id a k ada o ran g ja n g me-
njinggungnja. K am pil itu terletak ditengah d ja la n tiga ta h u n la m a n ja
tanpa berubah. Pada suatu ketika radjaputera lalu, k a k in ja te rs a n d u n g
pa a kam pil tersebut. M aharan i Si-mo m arah sekali m e n d e n g ar lap o ran,
a w a kaki radjaputera menjentuh k am pil tersebut. O le h k a re n a per­
buatan itu bertentangan dengan adat jang berlaku di H o - ling , m a k a
diputuskan oleh maharani Si-mo, bah w a radjaputera a k a n d id ja tu h i
hukum an penggal kepala. Tetapi keputusan itu ditentang oleh p a ra
menteri. A chirnja diputuskan hukum an potong kaki, k are na ja n g ber-
nat salah adalah kakinja. Protes para menteri tidak dihiraukannja-
u uman harus dilaksanakan, supaja umum m engetahui a d a n ja h u k u m
an keadilan dinegeri Ho-ling. Ketika radja Ta-che m en den g ar berita
itu, ia takut dan tidak berani m elakukan serangan terhadap k e rad jaan
Ho-ling.

72
r

J a n g d im a k s u d d e n g a n ra d ja T a- che a d a la h ra d ja A r a b . K ro m m e m ­
b u a t ta fs ir a n , b a h w a m u n g k in sekali ja n g d im a k s u d ia la h o ra n g A r a b
p e r a n ta u ja n g m e n e ta p d ip a n ta i S u m a te ra . A d a k a h d o n g e n g itu p e r­
is tiw a s e d ja r a h ja n g s u n g g u h te rd ja d i, m a sih d is a n g s ik a n . Ja n g te ra n g
ia la h , b a h w a d o n g e n g itu m e n g g a m b a r k a n a d a n ja k e m a k m u ra n , ke­
a d ila n d a n p e m b in a a n h u k u m d in e g e ri H o - lin g , s a la h satu n e g a ra di-
la u t S e la ta n .
D a la m u r u ta n n e g ara- n e g ara d ila u t S e la ta n ja n g m e m e lu k a g a m a
B u d a d a n te rd a p a t d id ja la n p e la ja r a n In d ia — T io n g k o k , H o - lin g d i­
se b u t s e s u d a h n e g e ri M o-lo-yeu d a n M o-ho-sin, sebelum T an - ta n .
D jik a u r u ta n itu d ita fs ir k a n m e n u ru t k ib la t d a ri b a r a t k e tim u r, m a k a
T a n - ta n h a ru s d itja r i dise b e lah tim u r H o - lin g , s e d a n g k a n H o - lin g o le h
p a r a a h li s e d ja ra h d is a m a k a n d e n g a n D ja w a . M e n u r u t p ik ir a n itu
T a n - ta n h a r u s te rle ta k dise b e lah tim u r p u la u D ja w a . H a l ja n g d e m ik ia n
tid a k la h m u n g k in .
K e m u d ia n m e n ju s u l Pem -pen (P e n g - p e n g ), la lu P ’o-li. D e m ik ia n
s e la n d ju tn ja . N a m u n Pem -pen d is in g k ir k a n a ta u d id ia m k a n sa d ja ; m e ­
re k a m e n e m p a tk a n P ’o-li dise b e lah tim u r H o - lin g , k a r e n a , b u n jin ja
s e ru p a d e n g a n B a li, ja n g d a la m b e rita T io n g h w a d ise b u t P a n g li a ta u
S o n - d o r ( Y u le : m u n g k in d a ri k a ta sundaca: t ja n tik ) . Id e n tifik a s i P ’o-li
d e n g a n B a li d id a s a r k a n p u la atas u r a ia n F rie d ric h m e n g e n a i kesu sas­
tr a a n k a w i d ip u la u B a li, ja n g a g a k m irip d e n g a n isi b e rita te n ta n g
k e b u d a ja a n H o - lin g . O le h k a re n a I-ts’ing d a la m u r a ia n n ja te n ta n g
T ’a n - y u e n ja n g m e n u m p a n g p e ra h u d a ri C h ia o - c h ih ( T o n g k in ) m e n u d ju
s e la ta n d a n s e s a m p a in ja di P ’u-pen (P em - pen) m e n in g g a l, m e n g a ta k a n ,
b a h w a P 'u - p e n te rle ta k dise b e lah u ta ra H o - lin g , m a k a segera T ak a-
k u s u m e n ja m a k a n P ’u-p'en itu d e n g a n P a b u a n , ja n g terletak d im u a ra
s u n g a i P a b u a n d ip a n ta i s e la ta n K a lim a n ta n . U r a ia n I-ts’in g m e n g e n a i
P ’u-p’e n ja n g te rle ta k dise b e lah u ta ra H o - lin g , s e s u n g g u h n ja sud ah
m e r u p a k a n p e m b e r ita h u a n , b a h w a u r u ta n p e n je b u ta n negeri-negeri itu
tid a k b o le h d ita fs ir k a n d a ri b a r a t k e tim u r seperti ja n g d ila k u k a n h in g g a
s e k a ra n g . K ro m p a tu h k e p a d a p e n d a p a t b a h w a H o - lin g a d a la h Ka-
lin g g a , m a k a ia m e m b itja ra k a n H o - lin g d a la m r a n g k a D ja w a T e n g a h
d a n m e n je b u t p e n d e ta J n a n a b h a d ra b e ras al d a ri D ja w a . T im b u ln ja
a n 9 g a p a n ja n g d e m ik ia n itu p a d a h a k e k a tn ja , k a re n a m ereka b e rs a n d a r
p a d a a n g g a p a n , b a h w a H o - lin g a d a la h K a lin g g a , d a n K a lin g g a a d a la h
D ja w a , te rle ta k dise be lah tim u r Shih-li-fo-shih. Shih-li-fo-shih a d a la h
P a le m b a n g . U n t u k k e lu a r d a ri d ja r in g a n p e n d a p a t tersebut, s u k a r se­
k a li. T a k a k u s u s e n d iri b e rd a s a rk a n p e rh itu n g a n w e la c a k ra seperti ja n g
d ila k u k a n n ja m e n u r u t b e rita d a ri s e d ja ra h b a ru , s e s u n g g u h n ja s u d a h
ra g u - ra g u u n tu k m e n e rim a p e n ja m a a n H o - lin g d e n g a n D ja w a , k a re n a
p e r h itu n g a n w e la c a k r a djelas m e n u n d ju k k a n (b ila b e rita itu b e n a r ).

73
I

bahw a H o- ling harus terletak disebelah u tara garis k a tu lis tiw a . D jik a
Ho-ling d is am ak an dengan pulau D ja w a , b a g a im a n a m u n g k in I-ts'ing
m entjeriterakan tentang C h ’ang-m in ja n g n a ik pe rah u b e r a n g k a t ke
Ho-ling, terus ke Mo-lo-yeu d e n g a n h a r a p a n ak a n sa m p a i d i In d ia ?
B agaim ana m un gk in M ing- yuen jang b e rla ja r d ari C h iao - ch ih (T o ng -
k in ), karena perahunja terdam par g elom bang, bisa sam pai di H o - lin g ,
djika jang dim aksud dengan H o-ling ia la h pu lau D ja w a ? P u la u D ja w a
dengan pelabuhan-pelabuhannja d ip an tai u tara seperti D ja p a r a , T e g a l,
T jirebon, terletak djauh dari p e rd jalan an T io n g k o k —■ In d ia . S in g g a h
di D ja w a dalam perdjalanan dari T io n g k o k ke In d ia , tid a k la h m u n g ­
kin, karena pelabuhan-pelabuhan d ip a n tai u tara D ja w a tid a k te rd a p a t
didjalai pe lajaran In d ia .— T io n gk o k , atau oran g harus s e n g a d ja d a ­
tang kepulau D ja w a . D em ikia n lah terdapat b a n ja k kesulitan, d jik a kita
berpikir agak praktis, untuk m enjam akan H o-ling d e n g a n D ja w a .
M e n g in g a t b an jak nja pendeta jang k eb anjak an n a ik p e ra h u d a g a n g
dan singgah di Ho-ling dalam pe rd jalan ann ja dari T io n g k o k ke In d ia ,
m aka H o-ling harus m erupakan pelabuhan jang penting. O le h k are na
itu m au tid ak m au letaknja harus baik sebagai pe labuhan. A ta s clasar
berita-berita itu semata-mata kita belum dap at m engira-ngira d im a n a
letaknja Ho-ling ketjuali hanja m endengar b a h w a H o- ling itu harus
terletak did jalan pelajaran T iongkok —■M e la ju .
D jik a k ita mempeladjari uraian Chia-tan, seorang ahli peta T io n g h w a
jang mashur dan hidup antara tahun 730 d an 805, te ntan g p e rd ja la n a n
T iongkok kelaut Selatan, m aka letak keradjaan H o lin g m e n d ja d i
e 1 terang, U raiannja demikian: „P e rd jalan a n itu m elalui p u la u Hai-
nan menudju pantai Indo-Tjina, terus m enjusur pantai sam pai d item pat
,ang bernama Kun-t’u -nung. D a ri situ berlajar lim a hari la g i, m ak a
Pada selat jang nam anja C hih. Lebarnja dari u ta ra keselatan
h. D ip a n ta i sebelah utara terdapat keradjaan Lo-yueh, d ip a n ta i
se atan terdapat keradjaan Fo-shih. Sebelah tim ur k e ra d ja a n Fo-shih
ira-kira sedjauh lima hari pelajaran, orang m entjapai k e ra d ja a n Ho-
*n g. In i merupakan pulau jang terbesar diselatan. K e m u d ia n tig a hari
e r ajar dari selat itu orang m entjapai keradjaan Ko-ko-chih, t e r l e t a k

ise uah pulau disudut barat laut Fo-shih. P e nd ud uk nja b a n ja k ja n g


ja i perompak; penumpang perahu b an jak m e n d j a d i m an g san ja. D i ­
pantai utara terletak keradjaan Ko-lo. Sebelah barat Ko-lo ia la h ke­
radjaan Ko-ku-lo.”
Chia-tan menjatakan bahw a Ho-ling terletak sedjauh e m p a t / l i m a
Pelajaran dari Fo-shih kearah timur. Fo-shih terletak d ip a n ta i
sebelah selatan C hih (jang disebut C h ih sama dengan apa ja n g disebut
ahalat oleh berita A rab jang berasal dari Y a 'k u b i), d a n disebelah
utara ialah keradjaan Lo-yueh. Keradjaan Lo-yueh ini sam a deng an

74
i
k e r a d ja a n L o - cak seperti ja n g te rtja ta t o le h M a r c o P o lo , ja k n i ke-
r a d ja a n L a n g k a s u k a d ip a n ta i tim u r M a la ja . T e p a tn ja P a t a n i s e k a ra n g .
J a n g te rp e n tin g ia la h p e r n ja ta a n C h ia - ta n , b a h w a H o - lin g te rle ta k
d ip u la u ja n g p a lin g be sar d ila u t S e la ta n . B a g a im a n a p u n p u la u ja n g p a ­
lin g b e s a r d ila u t S e la ta n ia la h p u la u B o rn e o a ta u K a lim a n ta n , b u k a n
p u la u D ja w a . D e m ik ia n la h s u d a h te ra n g b a h w a p e la b u h a n H o - lin g
te r d a p a t d ip a n ta i b a r a t K a lim a n ta n , k a re n a H o - lin g te r d a p a t d id ja la n
p e la ja r a n d a r i T io n g k o k ke In d ia .
M e n g e n a i w ila ja h k e r a d ja a n H o - lin g d ib e r ita k a n d a la m s e d ja ra h
T 'a n g ja n g d ju g a te rk u tip d a la m s e d ja ra h b a ru , d e m ik ia n : „ K e r a d ja a n
H o - lin g te rle ta k d ila u t S e la ta n . D is e b e la h tim u r b e r b a ta s a n d e n g a n
P ’o-li, d is e b e la h b a r a t d e n g a n T ’o-po-teng; d is e b e la h s e la ta n d e n g a n
la u t, d is e b e la h u ta r a d e n g a n C h e n - la .” Ja n g d im a k s u d d e n g a n C h e n - la
ia la h K a m b o d ja d a n V ie tn a m s e k a ra n g . D e m ik ia n la h d is e b e la h u ta r a
H o - lin g te rle ta k C h en- la. C hen- la d a n H o lin g te rp is a h o le h la u ta n .
D is e b e la h tim u r H o - lin g te rletak P ’o-li. D is e b e la h s e la ta n H o - lin g a d a ­
la h la u t.
O le h k a r e n a s e k a ra n g s u d a h k ita k e ta h u i b a h w a H o - lin g te rle ta k
d ip a n ta i b a r a t K a lim a n ta n , k ita tjo b a u n tu k m e lo k a lis a s ik a n n ja . D jik a
I-ts’in g m e n je b u t H o - lin g d a la m b e rita - b e ritan ja, ja n g d im a k s u d te r­
u ta m a ia la h p e la b u h a n H o - lin g , b u k a n w ila ja h k e r a d ja a n n ja . B e r h u ­
b u n g d e n g a n u r u ta n p e n je b u ta n negeri-negeri d ila u t S e la ta n , H o - lin g
d is e b u t le b ih d a h u lu d a r ip a d a T a n - ta n , ja n g d is a m a k a n d e n g a n T en-
d o n g d ip a n ta i tim u r M a la ja , m a k a le tak p e la b u h a n H o - lin g d a r i Fo-
s h ih le b ih d e k a t d a r ip a d a T a n - ta n . M e n u r u t p e r h itu n g a n b a ja n g - b a ja n g
d iw e la c a k r a , H o - lin g te rle ta k p a d a g aris 6 ° 108 ' L .U . T e m p a t in i
a d a la h la u t. D ja d i tid a k m u n g k in . S u d a h pasti k ita tid a k b o le h p e rtja ja
100 % k e p a d a b e rita te n ta n g b a ja n g - b a ja n g d iw e la c a k r a itu . B e rita
itu d ia n g g a p s e b a g a i p e g a n g a n . U t ja p a n n a m a H o - lin g d a la m b a h a s a
M a n d a r i n a d a la h K e- ling . B a g a im a n a p u n n a m a k e r a d ja a n d ip a n ta i
b a r a t K a lim a n ta n itu ia la h K a lin g g a . T e n tu n ja z a m a n s e k a ra n g te m p a t
te rs e b u t tid a k te rle ta k d ip a n ta i la u t, te ta p i d id a r a ta n , b e b e ra p a p u lu h
k ilo m e te r d a r i p a n ta i lau t, seperti h a ln ja k o ta D ja m b i z a m a n s e k a ra n g .
P a d a u m u m n ja p e la b u h a n p a d a w a k tu itu te rle ta k d im u a r a s u n g a i
b e s a r, k a r e n a s u n g a i m e m e g a n g p e ra n a n p e n tin g s e b a g a i p e n g h u b u n g
a n ta r a p a n t a i d a n d a e ra h p e d a la m a n . S a la h satu s u n g a i d ip a n ta i b a r a t
K a lim a n t a n ja n g m u a r a n ja k ir a n ja d ip a k a i se b a g a i p e la b u h a n k e r a d ja a n
K a lin g g a ia la h B a ta n g L u p a r . D it e p i B a ta n g L u p a r itu s e k a ra n g m a s ih
a d a k o ta ja n g n a m a n ja L in g g a . M u n g k in la h n a m a in i sisa d a r i n a m a
la m a K a lin g g a , ja n g d is e b u t H o - lin g . T e m p a t tersebut te rle ta k d id a e r a h
S e r a w a k p a d a g aris 2 ° 1 1 1 ' L .U ., d ja d i m e n d e k a ti b e rita w e la c a k r a .
P a n ta i b a r a t S e r a w a k p a d a z a m a n ja n g la m p a u te ra n g m e n d a p a t

75
I

b a n ja k p e n g a r u h k e b u d a ja a n In d ia . D is e k ita r S e r a w a k d ite m u k a n b a ­
ra n g - b a ra n g p u r b a k a la , k ir a n ja m e m p u n ja i h u b u n g a n d e n g a n p e ra n a n
S e r a w a k p a d a z a m a n ja n g s u d a h silam . D i S a n tu b o n g , d im u a r a s u n g ai
S e r a w a k d ik e te m u k a n a rtja b a tu , te m p a ja n , m an ik - m a n ik . M e n u r u t
p e n d a p a t I .H . N . Iv a n s b a ra n g - b a ra n g tersebut serupa d e n g a n p e ne­
m u a n - p e n e m u a n d ik u a la S e lin s in g d ip a n ta i tim u r M a la ja . D a r i b u k it
B e rh a la d ite p i s u n g a i S a m a r a h a n d ik e te m u k a n lin g g a , jo n i d a n artja
G a n e s a , s e d a n g k a n d id e k a t S a m p ’so sebuah a rtja lem bu d a r i b a tu .
P e n e m u a n b a r a n g m as la in n ja ja n g be rasal d a ri L im b a n g , b e ru p a tjin ­
tjin , ra n ta i, k a n tjin g b a d ju d a n subang. D ia n ta r a b a ra n g - b a ra n g mas
in i ja n g te rp e ntin g ia la h tjin tjin ja n g m em uat tu lis a n d a n sebuah lu k isan
s in g a sebesar l 1/^ in tji X l ^ i n t j i . N a m u n tu lis a n p a d a tjin tjin tersebut
tid a k la g i terbatja.

7. P ’o-li
T e n ta n g P ’o-li jang disebut oleh I-ts'ing a d a beberapa p e n d ap at.
P e llio t m e lok alisasik annja di B ali, b e rd as a rk an k eserupaan b u n ji dan
be rita dari H sin - T ’ang-Shu b a h w a P ’o-li d ju g a disebut M a li. Bret-
schneider m elokalisasikannja di K a lim a n ta n . D a la m h a l in i G . Coedes
bersikap sang at hati-hati. Berita m engenai P ’o-li seperti be rik ut:
(1) Liang-Shu jan g disusun oleh Y a o C h ie n (623) m em be ritak an
b a h w a P o-li m engirim u tusan ke T io n g k o k 2 x . jan g pe rtam a k a li p ad a
ta h u n 518, jang kedua k a lin ja p ad a ta h u n 523. R a d ja n ja b e rn am a Kaun-
d in y a . M e n g e n a i letaknja d ib e ritak an b a h w a P ’o-li terletak d i chou
ja k n i pulau. L ebarnja dari tim ur kebarat 50 h a ri p e rd ja la n a n , dari
u tara keselatan rk 20 h a ri perd^alatian. P ’ o-\i m em pu njai 136 desa.
(.2) Sui-Shu m em beritakan pengirim an utusan dari P ’o-li pada
tah u n 616. M e n g e n a i luas daerahnja: dari tim ur k eb arat ± 4 b u la n
perdjalanan, dari utara keselatan 45 h a ri pe rd jalan an. M e n g e n a i letak­
nja dikatakan: dari Chiao-chih orang berlajar keselatan m elalui Chih-
tu dan Tan-tan, kem udian sam pai P ’o-li.
(3) Chiu-T ang-Shu m enguraikan b ah w a k eradjaan P ’o-li terletak
disebelah tenggara Lin-i (T jam pa) dipantai laut, disebuah pulau. Lebar
dan p a n d ja n g n ja beberapa ribu li. U n tu k sam pai disitu kita harus ber­
lajar m engarungi laut dari Chiao-chih (T o n g k in ) m enudju selatan,
m elalui negeri Lin-i, Fu-nan, dan Tan-tan.
B agaim anapu n djelas bah w a P ’o-li adalah tempat sesudah T an-tan
dalam pelajaran dari T io n gk o k ke Selat M a la k a . D a la m penjelidikan-
nja tentang lokalisasi T an-tan dalam journal M .B .R .A .S . vol. X X part 1
ta h u n 1947, Prof. H sii Yiin-ts’iao sampai kepada kesim pulan bah w a
Tan-tan terletak dim uara sungai K elantan dekat K ota Bharu. N am a

76
aslinja ialah Tendong. Roland Braddell sampai kepada kesimpulan jang
hampir serupa. Bagaimanapun menurut pendapatnja Tan-tan adalah
salah satu bagian dari Kelantan. Penjelidikan ini adalah penindjauan
kembali saran Bretschneider, jang menjamakannja dengan pulau Na-
tuna. Keterangan geografi diatas memberikan kesan bahwa penjamaan
P ’o-li dengan Bali tidak mungkin benar. P ’o-li harus terletak dipantai
barat Kalimantan. Negeri jang terletak dipantai barat Kalim antan dan
disebelah utara/tim ur Ho-ling adalah Brunei. Brunei merupakan daerah
pendudukan kaum pendatang dari India Selatan. N am anjapun berasal
dari India Selatan, jakni nama sungai di Travancore. Sungai itu berna­
ma Porunai, namun namanja sekarang ialah Tamiraparani. Pendapat
mengenai nama Brunei ini berbeda dengan pendapat G .T .M .M c. Bryan.
M enurut pendapatnja nama Brunei itu berasal dari kata Sansekerta
burni: activity, kesibukan. Oleh Bryan kata itu diberi arti chusus jakni:
perdagangan. Saja kurang dapat menjetudjui pendapat Bryan itu. Oleh
karena itu berusaha mentjari sumber lain. Nam a Porunai itu kemudian
berubah mendjadi Brunei. Hingga sekarang nama itu masih digunakan
untuk menjebut negeri dipantai barat Kalimantan. Pengambilan nama
dari India seperti itu banjak dilakukan di Indonesia. Lihat sadja pulau
M adura, N am anja berasal dari India M athura. Didalam East India Ga-
zetteer, Ham ilton menguraikan bahwa wilajah Brunei dipantai barat se-
pandjang 700 mil dari Sambas sampai T andjung Datu. Disebelah timur
sampai sungai Sandakan. T. Posewitz dalam Borneo. Its Geotogy and
M ineral Resources (1892) mentjatat bahwa sampai ± limapuluh tahun
sebelumnja wilajah Brunei meliputi daerah antara Tandjung Datu dan
sungai Sibotjo. Sampai pada tahun 1812 dinjatakan dalam laporannja
kepada Raffles bahwa pulau Borneo hanja terbagi atas tiga keradjaan
jakni keradjaan Brunei, Sukadana dan Bandjarmasin.
Berita diatas dimaksud untuk menundjukkan betapa luas wilajah
Brunei pada permulaan abad 19. M enurut Hamilton keradjaan Brunei
diantara keradjaan-keradjaan lainnja di Kalimantan adalah keradjaan
jang pertama kali dikundjiingi oleh bangsa kulit putih dari Eropa.
O leh karena nama Brunei dikenal paling dahulu oleh bangsa kulit putih
diantara nama-nama lainnja, maka nama Brunei itu lalu digunakan
untuk menjebut seluruh pulau, padahal para penduduk aslinja me-
njebutnja Pulo Klemantan. Tetapi nama Brunei itu menurut pende­
ngaran orang Portugis mendjadi Borneo. Oleh karena itu nama Bor­
neo lalu mendjadi nama seluruh pulau jang bersangkutan hingga
sekarang. N am un semendjak proklamasi negara Indonesia dan perasaan
antikolonial meluap-luap, timbullah usaha untuk menggunakan kem­
bali nama-nama asli. Demikianlah nama Kalimantan timbul kembali
sebagai nama pulau jang bersangkutan.

77
Selama toponimi di Nusantara belum mendapat perhatian sepenuhnja
dalam dunia kesardjanaan, pendjelasan tentang asal-usul nam a tem pat
masih tetap merupakan rabaan belaka. D em ikian pula halnja d e ng an
nama Kalim antan, jang diutjapkan oleh para penduduk aslinja Kle-
mantan. Beberapa pendapat mengenai nama Kalim antan:
(1) C row furd didalam Descriptive Dictionary of the In d ia n Islan ds
(1856) menulis bahwa pulau Borneo dinamakan oleh para p e ndu du k
aslinja Kalam antan. Kata itu adalah nama sedjenis m angga. D ja d i
pulau Kalam antan berarti pulau mangga. C row furd m enam bahkan ke­
terangan, bahwa nama itu berbau dongeng dan tidak populer.
(2 ) Dalam karangannja jang termuat dalam journal M .B .R .A .S .
vol. X V part 3 hal 79, Dr. B.Ch. Chhabra m enundjukkan b a h w a su­
dah mendjadi kebiasaan bangsa India kuno untuk mem berikan nam a
sebuah tempat sesuai dengan hasil buminja seperti m isalnja nam a
pulau D jaw a. Karena hasil bumi pulau tersebut terutama d jew aw ut
( ansekerta yawa), maka pulau tersebut diberi nam a pulau Y atva.
er asarkan analogi itu maka mungkin sekali nama Sansekertanja
Amra-dwipa jakni pulau M angga.
d' V ^ Hose dan M ac Dougall menguraikan bahw a suku P ag an
Ih a *ma*1tan terbagi atas enam golongan jakni: 1. D a ja k L a u t atau
an: 2. Orang Kajan; 3. Dajak Kenja; 4 . Klemantan; 5. M u ru t; 6 . P u ­
ri. isini Klemantan adalah nama suku. Dalam karangannja N a tu ra l
Klema3 ^ e€OTi^ f rom Borneo (1926), C. Hose mendjelaskan bah w a
^ man an adalah nama baru. Nam a itu digunakan oleh bangsa Me-
) untuk menjebut seluruh pulau.
dai ^ ^ ne^ nja bahwa menurut W .H . Treacher dalam British Borneo
m a n ta n ^ rn a l M.B.R.A.S. (1889), mangga liar tidak dikenal di Kali-
pulau ' ara ^ a9*Pula pulau Borneo tidak pernah dikenal sebagai
Kal menghasilkan mangga. Ia menambahkan tjatatan, bahw a
rena ^ mun9k'n sekali berarti Sago Island (Pulau S a g u ), k a ­
jang dtd"ania^ ac^a^a^ nama dalam bahasa asli untuk sago mentah,
nama K al'3 kePada Pabrik. Dengan kata lain karangan itu m em bantah
t,,, . 'mantan jang menurut pendapat Crowfurd diambil dari nam a
buah mangga.

kin s ^ ata Kalimantan itu djuga bukan kata M elaju asli. M ung-
dan M ^ ' ^ ata tersebut adalah kata pindjaman seperti kata M a la y a
sebut 6 a^ U Se^ a^a* nama didaerah jang bersangkutan. Kata-kata ter-
demik^eran^ ^ erasa^ dari India. M ungkin sekali kata K alim antan djuga
g *an‘ Saja kira nama Klemantan berasal dari kata Sansekerta
memba]^ ^a^ ni Pu^au )an9 udaranja sangat panas, seakan-akan
a ar; (kal(a): musim, waktu; manthan(a): membakar; producing

78
f i r e ) . O le h k a r e n a v o k a l a p a d a k a l a d a n m a n t h a n a m e n u r u t k e i a s a a n

t i d a k d i u t j a p k a n , m a k a k a t a K a l a m a n t h a n a m e n d j a d i K a l m a n t a n . e

p e n d u d u k a s l i k a t a i t u l a l u d i u t j a p k a n K l c m a n t a n a t a u Q u a l l a m o n t a n .

D a r i b e n t u k i t u d i t u r u n k a n k a t a K a l i m a n t a n .

8. Tan-tan
D id a la m bukunja The knowledge possessed by the A ncient Chinese
o/ the A.rabs , Bretschneider menjamakan Tan-tan dari berita T iong w a
dengan pulau N atuna. D em ikian pula Julien dalam H iuen Thsang.
P endapat itu diterima oleh Takakusu. H irt dan Rockhill dalam Chao
ju-kua djuga melokalisasikannja dipulau N atuna. G erini sangat ragu
ragu untuk melokalisasikannja. Tan-tan disam akannja dengan pu au.
T erketau dalam kum pulan Langkawi, atau dengan T andjung D atu,
atau dengan Panei dipantai timur Sumatera. Prof. Hsii Yii-ts iao me
nindjau sekali lagi persoalan Tan-tan dari pemberitaan I-ts ing da am
karangannja jang berdjudul Notes o n Tan-tan dalam journal M .B .
A .S. vol. X X part 1 hal. 47 sampai 63. Segala berita T ionghw a me­
ngenai Tan-tan dikumpulkannja dan kebanjakan berita itu djuga mem
beritakan P ’o-li. Beritanja seperti berikut:
( 1 ) Berita dari Liang S h u :
P ad a tahun kedua masa pemerintahan Chung T a T ung (tahun
radja Tan-tan mengirimkan utusan jang mempersembahkan utjapan
muluk-muluk kepada kaisar. Kaisar disamakan dengan jang maha m u­
rah, m emerintah rakjatnja dengan ramah, kepertjajaannja kepada at
natraya sangat tabah. A djaran Buda benar-benar meresap da ain
tingkah-lakunja. Itulah sebabnja maka pendeta I.Buda mengerumuni
beliau; pelantikan pendeta Buda makin bertambah, semuanja horma
kepada beliau, jang kasih sajangnja meliputi segala umat, sehingga
m achluk dari delapan djurusan dunia berkumpul. Betapa besar e-
kuasaan beliau untuk menaklukkan semua negeri-negeri tetangga,
hampir-hampir tidak terkatakan. Saja berharap mudah-mudahan be iau
berkenan memandang saja dan memberi kesempatan kepada utusan
saja untuk bertemu muka dengan beliau'. Saja mohon, agar beliau su a
menerima hadiah saja jang serba remeh berupa dua artja gading, ua
pagoda, sedjumlah agnimani, kapas dan m injak wangi.
P ad a tahun pertama masa pemerintahan Ja-tung (tahun 535) ra ja
Tan-tan mengirim utusan lagi dengan membawa mas, perak, katja,
m injak w angi, rempah-rempah dan pelbagai benda lainnja.
(2) Berita dari S ui Shu, susunan W e i Cheng:
N egeri P ’o-li dapat ditjapai dari Chiao-chih melalui C h ih-tu dan
Tan-tan. D a ri timur kebarat djauhnja sepandjang empat bulan perdja-

79
lanan. dari selatan keutara empatpuluh lima hari pe rd jalan an. at-
istiadat negeri P ’o-li sama dengan adat-istiadat negeri K am b o d ja. asil
bum inja sama dengan negeri T jam pa. P ad a tahun keduabelas m asa pe­
merintahan Ta-yih (tahun 616) negeri itu mengirim utusan ke iong o
untuk mempersembahkan upeti, nam un pemberian itu tid ak i an jut
kan. Disebelah selatan P'o-li terletak negeri Tan-tan dan P a n p a n .
D ua negeri ini memberikan hasilnja sebagai upeti. B aik ad at istia at
nja maupun hasil buminja sama.
(3) Berita dari H sin T ’ang Shu:
P ’o-li terletak disebelah tenggara Huan-wang (T ja m p a ), d ap a t di-
tjapai dari Kotjin-Tjina melalui Chih-tu dan Tan-tan. Lebar d an pan-
djangnja beberapa ribu li. Disitu banjak kudanja. N egeri itu djuga
disebut M ali. Disebelah timurnja terletak negeri Lo-tha.
( 4 ) Berita dari N an Shih, susunan L i - y e n - s h u :
Berita mengenai Tan-tan dikutip dari Liang Shu (lihat 1).
(5) Berita dari T’ung Tien, susunan T u Y ou: ‘
Berita tentang negeri Tan-tan kita kenal pada masa pem erintahan
radjakula Sui. Letaknja disebelah barat laut To-lo-mo dan ^ ise e a
tenggara Chen-chow. N am a wangsa radjanja Sha-li, nam anja sendiri
Shih-ling-chia. Ibukotanja didiami oleh lebih-kurang 20.000 keluarga.
Negeri itu dibagi dalam distrik dan propinsi untuk m em udahkan dja-
lannja administrasi dan pimpinan. Setiap hari radjanja pagi jam
dan petang 2 djam diistana. Djum lah menterinja delapan, sem uanja
Pendeta. Beliau bersaput bedalc wangi, mengenakan m ahkota terbuka,
ersabuk pita, pakaiannja berwarna aw an pagi, sanda nja i
kulit; djika keluar tidak djauh, duduk diatas tandu; djika keluar djauh,
na* gadjah. Dalam peperangan terompet dibunjikan, genderang i-
Pukul, bendera dikibarkan. Hukum pidananja tidak pan ang u .
“ arangsiapa mentjuri, dikenakan hukuman mati. Hasilnja: mas pera ,
tjendana, kaju sapan dan pinang. D juga menghasilkan padi. Bi -
^ n g ternaknja-. kambing, babi, ajam, angsa, itik, kidjang dan rusa.
Ulsitu ada burung kotjin dan merak. Buah-buahan dan rum put air.
an9gur, delima, labu, lugenaria vulgaris, ganggang dan teratai. ajur
Tfi\Urn'3: ^ eram^ an9> bawang dan akar.
Berita dari Hsin T*’ang Shu, susunan Au Yang-hsiu.
Tan-tan terletak disebelah tenggara Chen-chow dan disebelah barat
o-lo-mo, terbagi atas distrik dan propinsi. Dinegeri itu terdapat ba­
njak kaju tjendana. Nama wangsa radjanja Sha-li dan nam anja sendiri
hih-ling-chia. Beliau mendjalankan tugasnja setiap hari dan mempu-
njai delapan menteri. Beliau memakai minjak wangi, m engenakan m ah­
kota dengan pelbagai bulu-bulu jang mahal-mahal. D alam perdjalanan
dekat, beliau naik kereta, tetapi dalam perdjalanan djauh, naik gadjah.

80

V
D alam peperangan terompet dibunjikan dan genderang dipukul. Pen-
tjuri besar-ketjil dihukum berat. Pada masa pemerintahan Chien-feng
(tahun 666-667) dan Tsung-cheng (668 - 669) negeri itu memper­
sembahkan upeti hasil setempat. Negeri Lo-yueh letaknja 5000 li dari
laut disebelah utaranja, disebelah barat daja berbatasan dengan Ko-
ku-lo, m endjadi pusat pertemuan para pedagang dan pusat Ialu-lintas.
Ada-istiadatnja sama dengan negara To-ho-lo-po-ti (D w araw ati).
T iap tahun ada perahu dari negeri itu datang di Kanton, nachodanja
memberi laporan keistana.
(7) Berita dari Nan-hai-chi-kuei-nei-fa-chuan, karangan I-ts'ing:
Tan-tan termasuk salah satu negeri laut Selatan jang memeluk aga­
ma Buda, dan disebut sesudah Ho-ling.
( 8 ) Berita dari T'ung Chih, susunan Cheng-ts’iao:
Beritanja dikutip dari T ’ung Tien (lihat 5).
(9) Berita dari masa pemerintahan dinasti C h ’ing:
Tan-tan terletak dipantai laut sedjauh 130 hentian disebelah barat
daja A m oy; adat-istiadat, pakaian dan hasil buminja sama dengan
Djohor. Pelajaran dari Am oy ke Djohor sedjauh 180 hentian, ke Sa-
ngora dan Patani sedjauh 150 hentian. Satu hentian kira-kira 60 li.

(10) Berita dari M in g Shih:


Tan-tan dalam berita M ing Shih menurut Prof. Hsii djelassama
dengan Kelantan. Nam a Kelantan tidak disebut.

Prof. Hsii menduga bahwa Tan-tan dari berita M in g Shih jang djelas
sama dengan Kelantan itu disebabkan karena ketjerobohan menulis.
Kata ,,lan-tan” didjadikan „Tan-tan” ; Ke pada Kelantan karena tidak
mendapat tekanan, diabaikan.
Berdasarkan berita dari Liang Shu, Tan-tan terletak disebelah barat
laut To-lo-mo. To-lo-mo adalah nama sungai di Trengganu, namanja
sekarang ialah Telemong. Disebelah barat laut Trengganu ialah Ke­
lantan. Dem ikianlah mungkin sekali Tan-tan itu nama dusun jang se­
karang terletak sepuluh mil dari muara sungai Kelantan, 3ntara lima
atau enam mil dari Kota Bharu. Nama dusun itu sekarang Tendong.
Itulah kesimpulannja.

9. P'en-p’en atau P'an-p’an

D ja la n pelajaran India — Tiongkok ada dua matjam jakni m enga­


rungi lautan Tjina dan menjusur pantai. Negeri-negeri dilaut Selatan
jang disebut oleh 1-ts’ing tentu banjak jang terletak didjalan pelajaran
menjusur pantai. D jalan pelajaran menjusur pantai melalui teluk Siam

8-1
dan pantai timur M alaja. Kita kumpulkan dahulu berita-berita mengenai
P'en-p’en:
(1) I-ts’ing menjebut P ’en-p’en dalam rangkaian negeri-negeri dilaut
Selatan jang memeluk agama Buda, sesudah Tan-tan.
(2 ) Ditempat lain I-ts’ing menguraikan bahwa Tan-yuen berangkat
dari Chiao-chih (T ongkin), tetapi meninggal di P ’an-p’an. "disebe-
lah utara Ho-ling.
(3) Chiu T ’ang Shu menguraikan bahwa P ’an-p’an terletak disebelah
barat daja Lin-i (T jam pa), disudut laut. Disebelah utara terpisah
oleh laut sempit dengan Lin-i. D ari Chiao-chou letaknja sedjauh
empatpuluh hari pelajaran. Negeri ini berbatasan dengan Lang-
ya-hsiu.
(4) Negeri Tuo-ho-lo (D w araw ati) disebelah selatan berbatasan de­
ngan P'an-p’an, disebelah utara dengan Kia-lo-sheh-fu, disebelah
timur dengan Chen-la, dan disebelah barat dengan laut besar. D ari
Kanton letaknja sedjauh lima bulan perdjalanan.
(5) Hsin T ’ang Shu menjatakan bahwa disebelah selatan P ’an-p’an
terletak Ko-lo, atau Ko-lo-fu-sha-lo.
(6 ) T ung Tien mengatakan bahwa Ko-lo atau Ko-lo-fu-sha-lo me­
nurut uraian dinasti H an terletak ditenggara P ’an-p’an.

Prof. G. Coedes berpendapat bahwa P ’an-p’an terletak di Semenan-


djung, dipantai Teluk Siam. Lokalisasinja tidak dinjatakan dengan
tegas. Dr. Quaritch W ale s mengira bahw a W ie n g Sra adalah pusat
Pertama negeri P ’an-p’an. Prof. Hsii sampai kepada kesimpulan bahw a
an-p an sama dengan Pran-puri (P ranpun). karena m enurut t e t it a
U* Shu, Tu-ho-lo disebelaVv se\atan berbatasan dengan P ’an-p’an. Per-
'bahwa Ko-lo terletak disebelah selatan P ’an-p’an, karenanja
ayus ditafsirkan „ditenggara” . Demikianlah pendapat para sardjana
e jarah tentang P ’an-p’an. Kiranja diantara pendapat-pendapat itu
Pendapat P rof. Hsii jang paling konkrit dan mendekati kebenaran.

10- Fo-shih~pu-lo i

Sesudah K u-lun pendeta I-ts’ing menjebut Fo-shih-pu-lo. K ’u-lun


9 P” ! - Kondor, terletak dilaut Tjina, dimuka V ietnam . Demiki-
3n ^ Fo-shih-pu-lo harus ditjari dipantai timur V ietnam .
i. mentjarinja dipulau D jaw a dan m enjamakannja dengan
o jonegoro disebelah barat kota Surabaja, karena Fo-shih-pu-lo di-
ira transkripsi Tionghwa dari Bhojapura, sedjalan dengan Shih-li-
fo-shih sebagai transkripsi dari Sribhoja menurut van Ronkel. B ahw a
Fo-shih-pu-lo adalah transkripsi Tionghwa dari W idjajapu ra, m udah

82
difahami, karena Shih-li-fo-shih merupakan transkripsi dari Sriwidjaja.
Jang mendjadi persoalan ialah dimana letaknja.
Moens menjamakan W idjajapura dengan Puchavarao dari berita
Portugal dan menempatkannja dimuara sungai Redjang dipantai barat
Kalimantan. Menurut pendapatnja nama Kin-fo dalam keradjaan Ma-
lano adalah singkatan dari Kin-li-fo-che; nama Kin-li-fo-che disama-
kannja dengan Shih-li-fo-shih, jang diberitakan oleh pendeta I-ts’ing.
Menurut dugaannja keradjaan Malano bukan sadja meliputi K ali­
mantan Utara sadja, tetapi djuga Brunei dan Serawak. Oleh karena
Moens menjamakan Fo-shih-pu-lo dengan Puchavarao, dan nama ini
dianggap sebagai nama ibukota dimuara sungai Redjang, sebelum
Brunei tampil kemuka, maka ia mentjari keradjaan Mo-chia-man trans­
kripsi dari keradjaan Mahâkarman, djuga di Kalimantan. N am a itu
disamakan dengan Muara Kaman dipantai timur Kalimantan.
Penjamaan Kin-fo dan Shih-li-fo-shdh ini sangat diragukan, demi­
kian pula Puchavarao dengan W idjajapura, karena bedanja terlalu
djauh, djika Moens mendasarkan identifikasinja itu atas kemiripan bu-
nji. Lagipula Fo-shih-pu-lo, Mo-chia-man disebut oleh I-ts’ing sesudah
K ’u-lun jakni pulau Kondor. Tidak mungkin tempat-tempat itu ditjari
di Kalimantan, jang letaknja disebelah selatan' pulau Kondor. Apalagi
penjamaan Mo-chia-man dengan Muara Kaman, jang letaknja dipantai
timur Kalimantan pada sungai Mahakam. Tempat itu samasekali ter­
sisih dari djalan pelajaran India — Tiongkok. Menurut djalan pela­
jaran India — Tiongkok tempat-tempat itu harus ditjari dipantai timur
kontinen Asia, sebelah utara pulau Kondor.
Kiranja tempat itu harus ditjari dipantai Vietnam. Pada tahun 192
keradjaan Lin-i (Tjampa) sedang dalam pembentukan. Dalam kata
pengantar Record, keradjaan Lin-i sudah disebut oleh I-ts’ing dalam
rangkaian negara-negara jang memeluk Ratnatraya: Sriksetra, Lang-
kasuka, Dwarawati, dan Lin-i (Tjampa) diudjung timur. Dalam per-
kembangannja kemudian keradjaan Lin-i meliputi pantai Indo-Tjina.
Disebelah selatan sampai Panrang zaman sekarang, disebelah utara
sampai Quang-nam. Didalamnja termasuk Khanh-hoa dan Binh-dinh.
Tempat-tempat ini mempunjai nama lama jakni Pandurangga: Pan­
rang; Kanthara: Khanh-hoa, W idjaja: Binh-dinh dan Amarawati: Q u ­
ang-nam. Djelas sekali bahwa nama-nama itu semuanja menundjukkan
adanja pengaruh dari India. Pada zaman I-ts’ing penduduk Lin-i me­
meluk Aryasamitinikaya. Djika nama Shih-li-fo-shih adalah transkripsi
Tionghwa dari nama Sriwidjaja, maka Fo-shih-pu-lo adalah transkripsi
dari W idjajapura. W idjajapura ialah Binh-dinh. Demikianlah Fo-shih-
pu-lo itu terletak di Binh-dinh, dipantai timur Vietnam, pada garis 14°
1 1 0 ' L.U.

83
11. A-shan

N am a negeri A-shan jang dikemukakan oleh I-ts'ing barangkali


sama dengan nama negeri I-shang-na-pu-lo jang diberitakan oleh Hsii-
en-chuang. I-shang-na-pu-lo (Iganapura) terletak disebelah timur To-
lo-po-ti (Dw araw ati) dan, disebelah barat Mo-ho-chan-po (Mahatjam-
pa) atau Lin-i. Negeri itu tidak djauh dari Binh-dinh, pusat keradjaan
W id ja ja p u ra jang disebut djuga oleh I-ts’ing dengan nama Fo-shih-
pu-lo. A-shan atau I-shan adalah transkripsi Tionghwa jang mirip
sekali dengan kata Sansekerta, Igana. Fonem a pada suku terachir na
tidak diutjapkan. Baik menurut utjapan namanja maupun menurut letak-
nja A-shan pada I-ts’ing itu sama dengan I-shang-na-pu-lo pada Hsuen-
chuang, jakni keradjaan Icranapura disebelah barat Tjampa.

12. Lang-ya-hsiu

Pada masa pemerintahan Liang-shu (502- 557) tertjatat adanja


utusan dari keradjaan Lang-ya-hsiu atau Lang-ga-siu (edjaan Groe-
neveldt), jakni pada tahun 515, 523 dan 531; pada masa pemerintahan
Ch en-shu (557 - 589) datang utusan dari Lang-ya-hsiu pada tahun
568. Dalam tjatatan itu dinjatakan bahwa Lang-ya-hsiu terletak dilaut
Selatan, 24000 li dari Kanton. Lebarnja dari timur kebarat 30 hari per-
djalanan dan dari selatan keutara 20 hari perdjalanan. Negeri itu meng­
hasilkan aloe dan kamfer. Dari berita itu sadja belum dapat diketahui
dengan djelas letaknja keradjaan Lang-ya-hsiu. Perdebatan jang per­
nah dilakukan oleh para ahli sedjarah m e n g e n a i persoalan Lang-ya-
hsiu ini sungguh menarik perhatian. Dibaw ah ini beberapa kutipan
mengenai keradjaan Lang-ya-hsiu jang disamakan dengan Langka-
suka.

(1) Dalam Record mengenai Lang-ya-hsiu itu I-ts’ing hanja membe­


ritakan bahwa Lang-ya-hsiu terletak disebelah tenggara Sriksetra.
Katanja: „Disebelah selatan dari gunung tersebut ialah keradjaan
Shih-li-ch’a-ta-lo (Sriksetra). Disebelah tenggara keradjaan ini
ialah keradjaan Lang-ka-su (Lang-chia-shu) jakni Langkasuka.
Terus ketimur adalah keradjaan To-ho-po-ti (D w araw ati). Di-
udjung timur adalah keradjaan Lin-i (Tjam pa).
Uraian 1-ts’ing mengenai Langkasuka itu termasuk dalam rangka
penjebutan negeri-negeri disebelah timur India, tidak dalam rang­
ka negeri-negeri dilaut Selatan. '
(2) Dalam Memoire, I-ts’ing berkata, bahwa I-lang, Chih-ngan dan
I-hsiian berangkat dari Kanton melalui Funan menudju Lang-chia
(Langkasuka). Chih-ngan djatuh sakit dan meninggal disana. I-lang

84
dan 1-hsuan meneruskan perdjalanannja ke Sim-ha-la (Srilangka).
Dari berita I-ts’ing jang kedua ini njata, bahwa Langkasuka ada­
lah pelabuhan, jang terletak didjalan pelajaran dari Tiongkok ke
Srilangka.
(3) Berita Hstien-chuang dari abad ketudjuh mengenai letak Langka­
suka sama dengan berita I-ts'ing dalam Record. Jang agak ber­
beda ialah sebutan namanja. Pada I-ts’ing nama itu djelas Lang-
ka-su (Lang-chia-shu), pada Hsiien-chuang ialah Chia-mo-lang-
chia, jang mirip dengan Kamalangka. Jang dimaksud oleh kedua
nama itu ialah tempat jang sama, jakni keradjaan Langkasuka.
jang letaknja disebelah tenggara Sriksetra. Uraian Hsiien-chuang
jang mengadakan perdjalanan melalui daratan, mengenai letak
Langkasuka, agak lebih djelas daripada uraian I-ts’ing. Katanja:
..Berdekatan dengan laut besar, dilembah pegunungan, terletak
keradjaan Shih-li-ch a-ta-Io (Sriksetra). Selandjutnja disebelah
tenggara disudut laut besar ialah keradjaan Chia-mo-lang-chia.
Terus ketimur ialah keradjaan To-lo-po-ti (Dw araw ati). Terus
ketimur lagi ialah keradjaan I-shang-na-pu-lo (Iganapura). D i­
sebelah timurnja ialah keradjaan Mo-ho-chan-po (M ahatjam pa);
keradjaan ini djuga disebut Lin-i. Terus ketimur adalah keradjaan
Yen-mo-lo (Amarawati?). Untuk mentjapai enam negeri ini dja-
lannja melintasi gunung dan sungai jang sangat tjuram.”
i
Baik Hsiien-chuang (Hiuen Thsang) maupun I-ts’ing djelas sekali
menempatkan Lang-ka-shu disebelah tenggara Sriksetra (Prome) dan
disebelah barat Dwarawati (Siam Selatan). Pernjataan inilah jang
menimbulkan keberatan terhadap kesimpulan Roland Braddell.
Letak keradjaan Dwarawati diuraikan dalam Chiu-T’ang Shu se­
perti berikut: „Negara Tu-ho-lo berbatasan disebelah selatan dengan
P ’an-p’an, disebelah utara dengan Kio-lo-sheh-fu, disebelah timur de­
ngan Chen-la dan disebelah barat dengan laut besar. Dari Kwang-chou
djauhnja lima bulan perdjalanan.” Dari uraian itu djelas sekali bahwa
jang dimaksud dengan Tu-ho-lo (Dwarawati) adalah negara jang
letaknja diwilajah Siam Selatan. Biasanja jang dianggap sebagai ibu-
kotanja ialah N akon Prathom.
Coedes menempatkan Langkasuka di Semenandjung Melaju. Roland
Braddell dipantai timur Malaja, tegasnja dimuara Dungun. Penempatan
ini pada hakekatnja agak berlainan dengan . pemberitaan I-ts’ing dan
Hsiien-chuang. Keradjaan lama jang terletak disebelah tenggara Sri-
ksetra atau Prome dan disebelah barat Dwarawati adalah keradjaan
Mon. D jika berita I-ts’ing dan Hsiien-chuang itu benar, maka Lang-ka-
shu harus meliputi keradjaan Mon.

85
M enurut pemberitaan Hsiien-chuang keradjaan Langkasuka terletak
disudut laut besar, disebelah tenggara Sriksetra. Jang dimaksud dengan
sudut laut besar kiranja teluk Martaban. Lagipula I-ts’ing memberita­
kan bahwa keradjaan Lang-ka-shu itu dalam rangka uraiannja menge­
nai negeri-negeri disebelah timur India dan menjebutnja sesudah Sri­
ksetra, dan sebelum Dwarawati. Sesungguhnja pemberitaan dalam
uraian C h ’ang-chiin jang berangkat dari Kanton ke Ch'ih-tu pada
tahun 607, belum djuga dapat memberi kepastian bahwa Langkasuka
itu terletak dipantai timur Malaja. Berita itu menjatakan bahwa C h ’ang-
chun pada bulan 10 tahun 607 berlajar dari Kanton dengan angin baik;
sesudah lebih daripada 20 hari berlajar, ia sampai dibukit Tsiao-shih,
jang membudjur ketenggara, lalu berlabuh di Ling-chia-po-pa-to, jang
berhadapan dengan Lin-i. Kemudian berlajar lagi menudju selatan,
sampai di Shih-tze-shih. Dari sini setelah berlajar dua/tiga hari me­
lalui banjak pulau, nampak disebelah barat gunung-gunung keradjaan
Lang-ya-shu. Dari sini berlajar lagi keselatan, meninggalkan pulau
Chi-lung lalu sampai dipantai C h ’ih-t’u. Perahu ditambatkan, sesudah
sebulan lebih baru sampai diibukota.
Terdjemahan Dr. Luce diatas dipandang tidak tepat oleh Prof. Hsii.
Katanja: „Sesudah lebih dari sebulan berdjalan, sampai diibukota.”
Itulah jang terdapat di Sui Shu. Tidak ada berita tentang penambatan
perahu. Dalam T ’ung Tien ditulis: „Sesudah sebulan ia sampai diibu­
kota. Menurut Prof. Hsii ibukotanja disebut dalam T ’ung Tien jakni
Shih-tze-cheng dan artinja kota singa, jang dimaksud dengan kota
singa ialah Singora. Singora adalah nama lama dari kota Songkla, jang
terletak dipantai timur M alaja, diwilajah keradjaan Siam pada garis 7°
101 L.U. Oleh karena itu Lang-ya-shu djuga terletak dipantai timur
Malaja, tetapi sebelah utara Ch'ih-t'u. Diterangkan oleh Prof. Hsii ten­
tang Ch ih-t’u itu demikian. C h ’ih-t'u adalah terdjemahan dari nama
Melaju „Tanah M erah”. Berita Sui Shu dan T ’ung Tien memang me­
njatakan, bahwa tempat itu disebut C h ’ih-t’u, oleh karena tanahnja
berwarna merah. Jang paling mentjolok ialah w arna tanah merah di-
hulu sungai Kelantan. D i Singora dan Patani tanahnja memang ber­
warna merah sebagai warna besi berkarat.
Dalam piagam Tanjore pada tahun 1030 dinjatakan djuga bahw a
Rajendracoladewa merampas keradjaan Illanggasogam. Illanggasogam
ini terang transkripsi Tamil dari Langkasuka. Penjebutan itu dilakukan
sesudah keradjaan Melaju (r) dan Mayirudinggam dan sebelum Mappa-
palam dan Mewilimbanggam. Krom mengikuti pendapat Coedes, bahwa
Langkasuka terdapat di Semenandjung Melaju. D ari piagam itu tidak
dapat ditarik kesimpulan apa-apa mengenai lokalisasi Langkasuka.
Demikianlah persoalan Langkasuka jang oleh umum dianggap sudah

86
terpetjahkan, pada hakekatnja masih samar-samar. Djika uraian Ch'ang-
chiin itu dihubungkan dengan uraian I-ts’ing dan Hsiien-chuang, maka
kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa keradjaan Langkasuka di-
sebelah barat berbatasan dengan Teluk Martaban, disebelah timur
berbatasan dengan Teluk Siam.
Prof. Hsii berpendapat bahwa pada masa pemerintahan dinasti Li­
ang, Sui dan T'ang Langkasuka ada didaerah Ligor, jakni di Nakon
Sri Tamarat wilajah Siam. Dalam Wu-pei-chih disebut beberapa nama
sungai dan daerah dipantai timur Semenandjung diantaranja P’eng-
k’eng chiang (sungai Pahang), Ku-lan-tan chiang (sungai Kelantan)
dan Hsi chiang (utjapannja dalam Amoy Hokkien Sai Kang) jakni
sungai Telubin. Daerah jang dibatasi oleh sungai Kelantan dan sungai
Telubin menurut berita itu menghasilkan minjak wangi. Dato Douglas
menjamakan Lang-hsi-chia, jang terdapat pula dalam berita itu, dengan
Patani. Dalam Amoy Hokkien utjapannja Long-sai-ka. Nama itu di­
samakan oleh Roland Braddell dengan Langkasuka. Oleh karena itu
ia sampai kepada kesimpulan, bahwa Langkasuka berpusat di Patani.
Kesimpulan itu didasarkan atas keadaan gelombang laut Tjina. Ge­
lombang dari laut Tjina sampai disekitar pantai Patani, lalu mengalir
keselatan, sedangkan di Singora mengalir keutara. Keadaan gelombang
seperti dipantai Patani itu menggampangkan perahu jang akan ber­
labuh.

13. To~ho~lo-po~ti

Dalam bukunja Record, I-ts’ing menjebut To-ho-lo-po-ti dua kali.


Jang pertama kali dalam rangkaian negeri-negeri disebelah timur India.
Jang kedua kalinja dalam rangkaian tumbuh-tumbuhan jang digunakan
sebagai obat. Dalam hal jang terachir ini diuraikan bahwa di Dwara-
wati terdapat tiga matjam rumput kardamom. Dalam tjatatannja Taka-
kusu menjebut tiga matjam kardamom itu seperti berikut: 1 . rumput
kardamom jang banjak tumbuh di Ling-nam jakni disebelah selatan
pegunungan Plum (Kwang-t.ung dan Kwang-hsi); 2. kardamom putih
atau kardamom tulang jang ditemukan dinegeri Ka-ho-ra(?); 3. karda­
mom daging jang tumbuh dinegeri Su-li (sebelah barat Kashgar), djuga
disebut ka-ku-lok. Ka-ku-lok ini tidak ada di Tiongkok.
Bahwa To-ho-lo-po-ti adalah transkripsi Tionghwa dari Dwarawati,
tidak ada keberatan. Hanja lokalisasinja jang menimbulkan perbedaan
pendapat. Kapten St. John menjamak&nnja dengan Tangu lama dan
Sandoway di Birma. Prof. Chavannes menduga bahwa Dwarawati ada­
lah nama Sansekerta dari Ayuthya atau Ayudhya disebelah utara Bang­
kok, ibukota lama keradjaan Siam. Prof. Hsii melokalisasikan ibukota

87
D w araw ati di N ak o n Prathom, disebelah barat Bangkok. Lokalisasi
itu didasarkan atas lokalisasi P ’an-p'an di Prampuri, jang terletak di
T eluk Siam pada garis 12.20° 98.85' L.U . Berita dari C hiu T ’ang
Shu seperti jang telah diterdjemahkan oleh Prof. Hsii m engatakan:
„Negeri Tu-ho-lo disebelah selatan berbatasan dengan P'an-p an, d i­
sebelah utara dengan Kia-lo-sheh-fu, disebelah timur dengan Chen-la,
dan disebelah barat dengan laut besar. Letaknja dari K anton sepan-
djang perdjalanan lima bulan.”
Berita dari Sui Shu menjatakan: „Tu-ho-lo disebelah selatan berba­
tasan dengan P ’an-p’an.” Berita dari I-ts’ing: „Disebelah timur Lang-
ka-shu terletak Dw araw ati, dan diudjung timur ialah Lin-i. Ketiga
berita tersebut dengan djelas menjatakan bahwa D w araw ati terletak
disebelah barat Kambodja/Tjampa. D ua berita menjatakan, bahw a
P ’an-p’an terletak disebelah selatan D w araw ati. H anja berita dari
C hiu T ’ang Shu jang menjatakan bahwa disebelah barat D w araw a ti
berbatasan dengan laut besar. D jika benar P ’an-p’an itu P ran Buri.
maka menurut Chiu T ’ang Shu, Langkasuka jang berbatasan dengan
P an-p’an. dan dikatakan oleh I-ts’ing terletak disebelah tenggara P ro ­
me, Langkasuka meliputi daerah Tenaserim. Dengan sendirinja jang
berbatasan dengan laut besar jakni laut Andaman, bukan D w araw ati,
tetapi Langkasuka. I-ts’ing jang berlajar dari India, dengan djelas me-
njebut, bahwa disebelah timur Langkasuka ialah D w araw ati. D em i­
kianlah Dwarawati itu terletak antara Langkasuka dan K am b o dja/
Tjampa. Disebelah selatan berbatasan dengan Pran Buri. Itulah Siam
pada abad ke 7 Masehi, sebelum kedatangan bangsa T hai dari T io n g ­
kok Selatan.
Dalam bukunja Memoire, I-ts’ing menjebut nama Langkasuka dalam
uraiannja mengenai perdjalanan I-lang, Chih-ngan dan I-hsiian, jang
berangkat dari Kanton melalui Funan sampai Langkasuka. R adja L an g ­
kasuka menerima mereka dengan upatjara. Chih-ngan djatuh sakit, lalu
meninggal disana. I-lang dan I-hsiian melandjutkan perdjalanannja ke
rilangka. Pemberitaan I-ts’ing ini penting sekali untuk mengetahui
3 Wa Pelajaran dari Tiongkok ke India dengan djalan menjusur pantai,
me a ui. pantai timur M alaja. Pelajaran itu tidak langsung dari F unan
e an-ma-shi (Tumasik) terus ke Melaju. Rupanja memang djalan
itulah jang biasa ditempuh. Dalam hubungan ini maka dapat diberita-
an disini bahwa I-ts’ing, dalam perdjalanannja dari Kwang-chou ke
^o-shih pada bulan 11 tahun 671 dengan menumpang perahu dagang
ersi tidak menjusur pantai kontinen Asia, tetapi mengarungi laut Tji-
na’ lan9sung menudju Fo-shih. Oleh karena itu pelajarannja hanja
makan waktu hampir duapuluh hari sadja. Dalam pelajaran jang kedua
kahnja pada tanggal satu bulan sebelas tahun 689, djadi 18 tahun ke-
mudian, ia berangkat dengan kapaJ dagang dari P ’an-yu menudju Fo-
shih melalui Lin-i. Ini berarti bahwa perdjalanan itu menjusur pantai.
Biasanja m akan waktu sebulan. Perbedaan waktu sepuluh hari itu lalu
mudah dipahami. i
Pada abad ketiga sampai kelima pelajaran menjusur pantai ini dapat
langsung dari Funan ke Langkasuka. Pada waktu itu jang berkuasa
sepandjang pantai laut Tjina ialah Funan. Funan menguasai tanah
datar sepandjang sungai Mekong, pantai Vietnam dan Kambodja, me­
luas sampai Siam dan pantai timur M alaja. Tetapi pada abad ketudjuh
kekuasaan Funan itu dipatahkan oleh Kambodja jang disebut Chen-la
oleh para ahli sedjarah T ionghw a.' Sedjak itu perahu-perahu jang
menjusur pantai diharuskan singgah dipelabuhan Kambodja. Dengan
sendirinja pelajaran itu makan waktu ’ lebih lama. Pelajaran menjusur
pantai dari Tiongkok kenegeri-negeri Selatan dan kebarat bertambah
intensif sedjak pemerintahan dinasti Sung-shu, Liang-shu dan T ’ang.
Pada pemerintahan Sung dan Liang politik mulai diarahkan untuk
menguasai negeri-negeri dilaut Selatan. Persahabatan dan perdagangan
dengan negeri-negeri dilaut Selatan diperluas. K undjungan dari dan
kenegeri Selatan lebih banjak dilakukan daripada waktu jang sudah-
sudah. Sedjak pemerintahan Liang (502-557) tiap tahun kaisar me­
ngirim utusan keliling untuk menarik padjak dan upeti dinegeri-negeri
Selatan, jang bersahabat baik dengan Tiongkok. Akibat persahabatan
itu negeri-negeri jang bersangkutan mendapat perlindungan. A palagi
pada zaman pemerintahan dinasti T ’ang (618-907), ketika Tiongkok
sudah bersatu kembali. Persahabatan dengan Tiongkok betul-betul di­
rasakan sebagai usaha mentjari perlindungan terhadap serangan negeri
tetangganja. Baik mengenai perdagangan maupun mengenai persaha­
batan Tiongkok sesungguhnja bersikap pasif. Perahu-perahu dagang
jang pulang-pergi melalui djalan pelajaran tepi pantai dan tengah samu-
dera adalah perahu dagang asing jang datang dari Arab. India. Persi
dan negara-negara dilaut Selatan. Para pendeta jang berangkat ke In ­
dia, kebanjakan menumpang perahu asing. Dalam soal persahabatan
lebih banjak kundjungan tetamu dari negeri sahabat daripada pengi­
riman utusan dari Tiongkok kenegeri lain. M ungkin sekali kundjungan-
/ kundjungan utusan Tiongkok- tidak biasa tertjatat dalam sedjarah
negeri-negeri dilaut Selatan atau dinegeri lainnja. Hanja satu-dua sadja
jang diberitakan, terutama djika utusan itu menjangkut hal-hal jang
agak istimewa. Kebalikannja kundjungan dari luar banjak sekali. Bah­
kan kundjungan-kundjungan utusan dari luar itu perlu diatur waktu-
nja.
D ari T ’ang H ui Y ao kita tahu bahwa tanggal 5 bulan 9 tahun 695
dikeluarkan perintah untuk mengadakan persiapan menerima utusan
\

89

i
dari luar: enam bulan untuk utusan dari negeri-negeri India Selatan
dan India Utara, Persi dan Arab; lima bulan untuk utusan dari Fo-shih,
Chen-la, Ho-ling dan sebagainja; tiga bulan untuk utusan dari negeri
Lin-i. Utusan dari negeri luar tidak dapat datang sewaktu-waktu me­
nurut kehendak radja jang mengutusnja. Kedatangan para utusan untuk
mempersembahkan upeti semuanja ditjatat. D an dari para utusan itu­
lah sesungguhnja mereka memperoleh pengetahuan jang agak luas
tentang geografi dan situasi negeri-negeri asing, terutama negeri-negeri
dilaut Selatan. Bagaimanapun pengetahuan jang diperoleh dari sumber
jang demikan, kurang dapat dipertjajai. Oleh karena itu kadang-kadang
sulit untuk mentafsirkannja. Tetapi disamping itu ada djuga sumber
pengetahuan geografi dam situasi negeri-negeri dilaut Selatan jang asli,
berasal dari pengundjung negeri-negeri itu sendiri seperti Fa-hien,
I-ts'ing, Chia-tan, Hsuen-chuang, dan sebagainja. Perdjalanan melalui
laut dan daratan dari Tiongkok ke India atau kenegeri Selatan lalu
mendjadi djelas. Pada zaman pemerintahan dinasti T ’ang kesadaran
sebagai warganegara Tiongkok bernjala pada para perantau dinegeri-
negeri dilaut Selatan. Masing-masing sadar dan bangga mendjadi
,,orangnja T ’ang”. I-ts’ing dalam uraiannja tentang pendeta W u-hing
jang singgah di Sriwidjaja, dengan bangga mengatakan: „Sang radja
menerimanja sangat baik dan menghormatinja sebagai tamu dari negeri
putera dewata, T ’ang Agung.”

90
IV

PUSAT K E R A D JA A N S R IW ID JA JA

Dalam sedjarah Ming dikatakan bahwa Kan-to-li adalah nama lama


keradjaan San-fo-ts’i. Gerini melokalisasikan Kan-to-li dipantai timur
Semenandjung. Berdasarkan pendapat Gerini itu R.C. Majumdar
mengambil kesimpulan bahwa keradjaan San-fo-ts'i terdapat dipantai
timur Semenandjung. Oleh karena Kan-to-li menurut pendapatnja me­
liputi Kadara atau Kidara (menurut piagam Tamil), maka San-fo-ts’i
sama dengan Kadara. Nama Kan-to-li sesuai dengan nama Kadara,
nama San-fo-ts’i sesuai pula dengan Zabag dari berita Arab. Perbeda-
annja semata-mata terletak pada n jang terdapat pada nama Kan-to-li
dan San-fo-ts’i jang berasal dari berita Tionghwa. Tentang hal ini akan
banjak kita bitjarakan pada pasal K E R A D JA A N SAN-FO-TS’I.
Ir. Moens beranggapan bahwa keradjaan Sriwidjaja lama terdapat
dipantai timur Semenandjung. Alasan jang dikemukakannja berdasar­
kan berita geografi dari sumber Tionghwa. Dari sedjarah Sung tertjatat
bahwa empat hari perdjalanan dari C h’o-p’o orang sampai dilaut;
djika berlajar kearah barat laut sesudah limabelas hari orang sampai
di P ’u-ni, dan limabelas hari lagi sampai di San-fo-ts’i. Djuga diberita­
kan bahwa San-fo-ts’i terletak diantara Chen-la dan C h’o-p’o. Ber­
dasarkan dua berita geografi itu Moens mengambil kesimpulan, bahwa
San-fo-ts'i terletak di Semenandjung. Dan berdasarlcan berita Arab
dari Abu Z ayd jang mengatakan bahwa ibukota Zawaga berhadap-
hadapan dengan Tiongkok, maka diambil kesimpulan, bahwa San-fo-ts’i
terletak dipantai timur Semenandjung. Menurut pendapatnja Zabag
sama dengan San-fo-ts'i. Achirnja ia menjamakan San-fo-ts’i dengan
Kadaram dan melokalisasikan Kadaram dipantai timur Semenandjung.
Moens beranggapan bahwa San-fo-ts’i bersaingan dengan Palembang.
Setelah mengalahkan pusat keradjaan Palembang dan mengusir ke­
luarga radja, San-fo-ts’i mendirikan pusat keradjaan baru didaerah
Melaju, jakni dimuara Takus. Lokalisasi pusat keradjaan San-fo-ts’i
dimuara Takus itu didasarkan atas:
( 1 ) Berita I-ts’ing mengenai bajang-bajang diwelacakra jang tidak
mendjadi pandjang atau pendek pada pertengahan bulan delapan.
Pada tengah hari orang jang berdiri dimatahari, tidak mempunjai
bajang-bajang samasekali. Muara Takus terletak pada garis katu-
listiwa.
(2 ) Atas berita achli peta Chia-tan, jang menjatakan bahwa disebelah
utara Chih-chih terletak keradjaan Lo-yue dan disebelah selatan
terletak Shih-li-fo-shih. Berita itupun tjotjok.

91
(3) Atas berita A rab jang berasal dari Ibn Said dan A bui Fida, jang
mengatakan, bahwa ibukota Sribusa terletak dimuara sungai.
M enurut Moens sungai Kampar 1200 tahun jang lalu djauh lebih
kebarat daripada sekarang.
M uara Kampar sebagai pelabuhan hingga sekarang masih ramai
hubungannja dengan Singapura. Kemunduran pelabuhan M u ara K a m ­
par disebabkan timbulnja pelabuhan Teluk Bajur (Em m a) dipantai
barat. M enurut dongeng benteng ibukotanja memandjang sebulan per-
djalanan tikus. Moens mentjeriterakan adanja nama radja B itjau jang
dianggapnja sebagai ubahan dari nama radja (Sri)w idjaja, dan do ­
ngeng tentang adanja datu Sriwidjaja jang menetap di Kota Baru.
Berdasarkan alasan-alasan itu semuanja Moens mengambil kesimpulan,
bahwa pusat keradjaan Sriwidjaja terletak di M uara Takus dekat tem­
puran Kampar Kanan dengan Batang M ahat di Sumatera T engah.
Quaritch V/ales mentjari pusat keradjaan Sriwidjaja di C haiya atau
Ligor di Teluk Bandon. Pendapatnja ini kemudian berobah. Ibukota
Sriwidjaja dilokalisasikan di Kadaram, dan Kadaram menurut penda­
patnja terletak di Perak dilembah Kinta. Tetapi tidak ada peninggalan-
peninggalan sedjarah jang berupa barang-barang purbakala jang ke­
dapatan ditempat tersebut.
Semata-mata berdasarkan pertimbangan atas keuntungan letaknja
kota Djambi dari sudut perdagangan dan pelajaran dalam hubungannja
dengan Selat M alaka jang merupakan tempat lalu-lintas dari T iongkok
kebarat dan kebalikannja, Drs. Sukmono menolak Palembang sebagai
pusat keradjaan Sriwidjaja dan melokalisasikan pusat keradjaan itu
dikota Djambi. Letaknja kota Djambi zaman dahulu berbeda dengan
zaman sekarang. H al itu dengan sendirinja tidak luput dari pertim ­
bangan. Karena tindjauan dari sudut geomorfologi ini penting, m aka
karangan itu dikutip seperti dibawah ini:
. . K e b e r a t a n tentang lokalisasi (Jriwijaya di Palembang itu terutama

sekali didasarkan atas sangat sedikitnja peninggalan-peninggalan pur­


bakala disana. Dalam tahun 1930 Bosch sudah mengemukakan ke-
sangsiannja, ketika ia menjatakan bahwa „de persoonlijk opgedane
ervaring, dat de hoofdplaats (Palembang) nagenoeg gene overblijfselen
bevat, die aan het glorierijk bestaan van het oude Qriwijaya kunnen
herinneren, heeft met klem de vraag naar voren gebracht, of w el ooit
de hoofdstad van dat rijk op de plaats van het huidige Palem bang
gevestigd is geweest” , dan kemudian berkesimpulan ......... de oudheid-
kundige overblijfselen (geven) geen steun aan de gangbare onderstel'
hng. dat de hoofdstad Qriwijaya op de plaats van de tegenwoordige
kota Palembang gelegen was. Pun Nilakanta Sastri, jang bagaim ana"
pun djuga tetap mempertahankan Palembang untuk lokalisasi C riw ijaya

92
new site V « ? 3-1’-bahWa ”n° CaSC haS been made ° Ut ^ loCatÜ19 the
menentera° t nV1J'3ya eIsewhere in Sumatra than at Palem bang” harus
archeolo 301 an dln den9«n perkataan „the most total absence of
a myste^ 1Ca f VeStl9ES ° f SriviJ'aya at Palembang (Srivijaya) remains
S um b e^ ° W1C^ no s° lution is forthcoming as yet.”
berita Tio UL3ma untu^ l°kalisasi Çriwijaya sebenarnja adalah berita-
Fo-che C h* Wa’ J^ ra^ ’ ^ unani dan India. Disitu didapatkan nama-nama
dan seba ! ^°”Cke' San-fo-ts'i, Sribuza, Zabag, Sabadibai, Çriwisaya
atau u f 39amia’ ^ 3n semuania sudah dapat diterima sebagai edjaan
berita it3^ 1^ aSingr. untuk Çriwijaya. Didapatikan pula dalam berbagai
sasi itu 3 'SaSi temPat_tempat tersebut. Sajang sekali bawa lokali-
struksi n 't 3 a ™emberi sesuatu kepastian, sehingga didalam merekon-
D ia n t £ 3 Sia r^ en" ,ara terdapat banjak perbedaan pendapat,
dar iana h P3ra Penentan9 Coedès mula-mula tampil kemuka Majum-
nantinja ,.e^ . en^ Ir*an bahwa Çriwijaya itu harus ditjari di D jaw a dan
atas pe ■i -j -if dan kemudian Quaritch "Wales jang berdasarkan
kan C ri ' ann^a dldaerah Chaiya berkesimpulan untuk menempat-
sendiri d *tU d* Chaiya. Kedua pendapat ini dibantah oleh Coedès
Palemha n ^ an sangat tegas, sehingga identifikasi Çriwijaya dengan
ianq d e n ^ men ^a^ 1 ' kokoh. Penentang jang kuat adalah Moens,
berita Ti^ n ™erek ° nstruksikan peta Asia Tenggara berdasarkan berita-
ya itu mi 1 ^ ^ 3n ^ rab sampai kepada kesimpulan, bahwa Çriwija-
sunqai K mU 0r^ usat ^ Kedah dan kemudian didaerah pertemuan
belum da an3n dan ®atang Mahat. Meskipun teori Moens
trarlici” t. * ar*tah sepenuhnja, namun tidak dapat pula merobah
Beta ’ Çriwijaya itu di Palembang,
asinq itu ^ • SU!*tn^a menggunakan bahan-bahan dari berita-berita
ham pir d lia n V u dan kesimpulan Roland Braddell, jang selama
nia untuk PU uh tahun telah berturut-turut mengumumkan hasil studi-
terdapat d a T ^ 9^ entlflkasikan dan melokalisasikan tempat-tempat jang
niaX “ ? r ber,,a^,Si" 9 tadl' dan ^ ~
p u r p o s e h a « K a a m s e n e i t u m e n g a t a k a n , b a h w a ........................... O u r m a i n

vestioated iri t0 protest a9ainst the repetition of insufficiently in-


than thev , ntlflCations’ and to from sinologists far more help
geography ^ COnstruction of the ancient historical

kala, achli b a h L ^ a c h r 311^ ' ^ ^ 3 ^ ^ kebeSaran Para achli Purba~


memberikan s.imk ' * ^ achli-achli lainnja, jang telah
ya, pada kesemn ?n9a.nn,’a jang tak ternilai terhadap sedjarah Çriwija-
hal jang pada h ^ “ “ ^ m9‘n meminta Perhatian terhadap suatu
T e n ig a r a z a l Î ? PatUt dipe' hatU- » ' i» « - « • , pe.a Asia
n,a” Ç r 'W,' a^ sangat berlainan daripada apa d ap a,

93
kita lihat sekarang. H al ini oleh para achli tersebut tadi tentu dimak­
lumi, akan tetapi selandjutnja tidak diperhitungkan. M aka dari itu dalam
usaha melokalisasikan Sriwijaya, terlebih dahulu kita harus mentjari
pegangan pokok dengan djalan merekonstruksi peta Asia Tenggara,
chusus garis-garis pantainja, lebih chusus lagi pantai jang berbatasan
dengan bagian barat Sunda-plat. Usaha kearah ini dilakukan pula
oleh Moens dan Roland Braddell, akan tetapi satu tjabang ilmu pe­
ngetahuan jang dapat memberi bantuan untuk mendapatkan sesuatu
kepastian tidak mereka gunakan. Jang saja maksudkan ialah geomor-
fologi.
Usaha untuk mempetakan pantai-pantai disebelah barat Sunda-plat
pertama kali dilakukan oleh Obdeyn jang berdasarkan geomorfologi
melokalisasi tempat-tempat jang tersebut dalam berita-berita Tiong-
hwa dan sebagainja. Antara lain ia sampai kepada kesimpulan, bahwa
didalam zaman £ riwijaya> Bangka-Belitung bersambung mehdjadi satu
dengan djazirah M alaka melalui kepulauan Lingga dan Riau. Karena
Selat Sunda belum ada (Sumatera bersambung dengan D jaw a), maka
pelajaran internasional India^-Indonesia.—Tiongkok harus mengitari
Bangka-Belitung sehingga pantai timur Sumatera dan pantai utara
D jaw a mendjadi sangat penting.
Meskipun hasil-hasil usaha Obdeyn itu untuk sebagian besar tidak
dapat diterima oleh para achli jang berkepentingan, namun djelaslah
kiranja bahwa geomorfologi adalah ilmu jang dapat memberi bahan-
bahan baru lagi untuk lokalisasi Sriwijaya. M aka sajanglah, bahwa
kegagalan Obdeyn itu menjebabkan hasil telaahannja tidak mendapat
sambutan dan tenggelam begitu sadja dalam timbunan teori-teori jang
ada.
Nam un usaha Obdeyn itu djugalah jang didjadikan pangkal, ketika
Dinas Purbakala dalam tahun 1954 atas perintah Menteri P.P. & K.
(M r. Moh. Yam in) melakukan penjelidikan terhadap £riw ijaya, ter­
utama untuk meneliti garis pantainja dan lokalisasi peninggalan-
peninggalan purbakala. Penjelidikan ini dilakukan baik dari udara
maupun didarat, dan oleh karena geomorfologi akan didjadikan bahan
utama, maka chusus untuk keperluan ini telah dipindjam seorang achli
geomorfologi dari djawatan Topografi Angkatan Darat, ialah D r.
H.Th. Verstappen.
Hasil penjelidikan dari udara ialah, bahwa garis jang memisahkan
tanah tertiair dari tanah quartair (terutama alluvium) — sebagaimana
dinjatakan dalam peta-peta geologi — dapat dianggap sebagai garis
pantai dahulukala. M aka dengan garis pantai ini sebagai pegangan,
ternjata bahwa Palembang dan Djambi terletak dipantai laut, Palem ­
bang pada udjung djazirah jang berpangkal di Sekaju, dan D jam bi

94
pada sebuah teluk jang mendjorok kedalam sampai di Muara Tem-
besi.
Penjelidikan didarat ternjata memperkuat hypothese ini. Semua pe­
ninggalan purbakala, baik didaerah Palembang maupun di Djambi dan
Muara Djambi, tidak ada jang terletak diatas tanah alluvium. Djuga
tempat-tempat ditemukannja batu-batu bersurat, seperti Kedukan Bu­
kit, Talang Tuwo dan Telaga Batu letaknja diatas tanah tua.
Menurut keadaannja sekarang, kota-kota Palembang dan Djambi itu
masing-masing letaknja kira-kira 70 km dari laut, dan tanah alluvium
jang penuh rawa-rawa dan mendjadi ladjur dataran rendah dipantai
timur Sumatera itu adalah hasil pengendapan sungai-sungai jang mem­
bawa lumpur dari daerah pedalaman kelaut. Timbullah pertanjaan,
apakah mungkin sedjak zaman Çriwijaya itu pengendapan-pengendapan
tadi telah dapat merobah garis pantai itu begitu rupa, sehingga kedua
kota tadi mendjadi terpisah demikian djauhnja dari laut?
Menurut van Bemmelen garis pantai pada muara Batang Hari ber­
tambah lebar IV i km dalam tempo 100 tahun, jang berarti rata-rata
75 m tiap tahun. Lebar seluruhnja dari ladjur alluvium disini kira-kira
ada 140 km, ,,so that it may have come into existence since the begin-
ning of the Christian era.” Tentang air Musi dikatakan, bahwa peng­
endapan jang setjepat ini ialah karena di Palembang sungai Musi men­
dapat tambahan air sungai-sungai Ogan dan Komering, maka dapat
pula diambil kesimpulan, pantai baru dimulai pada awal tarich M a ­
sehi.
Mengenai pengendapan ini tidak boleh djuga dilupakan, bahwa de­
ngan mengambil garis pemisah tanah tertiair dan quartair sebagai
pangkalnja, permulaan pengendapan air Musi itu berlangsungnja di
Sekaju (djarak terbang 100 km disebelah barat Palembang) dan bagi
Batang Hari permulaannja di Muara Tembesi (60 km djarak terbang
disebelah barat Djam bi). Ditambah lagi dengan kenjataan, bahwa
proses pengendapan di Sekaju dan Muara Tembesi lebih lambat
berlangsung daripada pengendapan sesudah melewati Palembang dan
Djambi, maka dengan mendekati kepastian dapatlah kini kita katakan,
bahwa dalam zaman Çriwijaya kota-kota Palembang dan Djambi
terletak ditepi laut; Palembang pada udjung djazirah dan Djambi pada
suatu teluk. Seperti kita ketahui keradjaan Çriwijaya — dengan ups
and downsnja .— berlangsung dari pertengahan achir abad ke 7 sampai
achir abad ke 14. Selama tudjuh abad itu tentu sadja garis pantai jang
telah saja gambarkan tadi mengalami perubahan-perubahan jang tidak
sedikit. H al ini njata misalnja dari berita-berita Arab dan Tionghwa
dari abad ke 13 jang menjatakan bahwa Çriwijaya terletak ditepi sungai
besar. H anja gandjilnja ialah bahwa pada peta-peta V .O .C . diantara-

95
nja ada jang bahkan berasal dari tahun 1660, Palembang dan Djambi
itu masih digambarkan ditepi pantai. Mungkin hal itu disebabkan
karena petanja terlalu ketjil, sehingga djarak-djarak ketjil tidak ditam­
pakkan, dan lagi oleh karena kedua kota itu memang merupakan
pelabuhan samudera didalam zaman itu.
Mengingat akan hal jang terachir ini, jaitu bahwa dalam abad ke 13
(^riwijaya terletak ditepi sungai, pula dengan menghitung ketjepatan
pengendapan sungai-sungai Musi dan Batang Hari mulai dari Sekaju
dan M uara Tembesi, maka dapatlah kini kita tentukan bahwa lokali­
sasi Qriwijaya ditepi laut hanja berlaku dari permulaan sedjarahnja
sampai sekitar tahun 1000 Masehi. Kesimpulan ini kiranja mendapat
sokongan dari peninggalan-peninggalan purbakalanja didaerah Djambi.
Kalau sebuah bangunan (tjandi) di Solok Sipin ditepi barat kota
Djambi berangka tahun 1064, maka dimuara Djambi terdapat bangunan
jang berasal dari zaman Singasari. Hal ini dihubungkan dengan apa
jang dikenal sebagai ,,Pamalaju” memberi kesan, bahwa tentara Singa­
sari sampainja di Malaju, bukan Djambi melainkan djauh ketimur lagi,
jaitu di M uara Djambi, untuk kemudian menudju kedaerah sungai
Dareh. Pun peninggalan-peninggalan zaman V .O .C . (benteng dari
tahun 1724) didaerah ini terdapat di Muara Kompeh. antara D jam bi
dan M uara Djambi.
Setelah kita merekonstruksi garis pantai timur Sumatera itu untuk
melokalisasi Qriwijaya, kita masih djuga perlu meneliti garis-garis pantai
jang berhadapan dengan pantai tadi guna merekonstruksi djalan-djalan
pelajaran zaman Criwijaya. Seperti sudah dikatakan dimuka, O bdeyn
berpendapat bahwa djazirah M alaka bersambung mendjadi satu dengan
kepulauan Riau-Lingga dan Bangk'a-Belitung. Terhadap pendapat ini
Verstappen menjatakan dengan tegas bantahannja, dan berpendapat
bahwa didalam zaman £riw ijaya kepulauan Riau dan Lingga memang
merupakan tanah landjutan dari djazirah Malaka, tetapi Bangka dan
Belitung terpisah oleh laut. Pandangan ini sesuai dengan apa jang
njata dari peta-peta hydrografi. Pun dari sudut geologi pendapat ini
dapat dipertanggung djawabkan. Menurut van Bemmelen kepulauan
Lingga, Bangka dan Belitung itu, „belong to a mountain range wich
had largely been baselevelled and which was partly abraded. It has
of the sea in late quarternary time. They represent a drowned topo­
graphy” , dan selandjutnja ia katakan bahwa „Singkip, Bangka and
Billiton are surrounded by an aureole of submerged river valleys, con­
taining alluvial tin-ores”.
Kesimpulan jang kini dapat kita tarik mengenai rekonstruksi peta
daerah Riau dan kepulauan Lingga ialah, bahwa didalam zam an Qri-
wijaya daerah-daerah ini bukannja terdiri atas pulau-pulau m elainkan

96
merupakan udjung selatan djazirah M alaka. Dengan menjesuaikan ke­
adaan garis pantai Sumatera sendiri, gambaran tanah Riau ini dapat
djuga kiranja dipertahankan sampai sekitar tahun 1000 Masehi. N a ­
mun, kalau sedjak masa ini daerah itu sudah mulai berpetjah-petjah
mendjadi kepulauan, selat-selat sempit dan dangkal diantara pulau-
pulaunja belum djuga dapat dipakai untuk pelajaran. Daerah ini bah­
kan terkenal sebagai sarang badjak-badjak laut jang selalu mengganggu
djalan pelajaran di Selat Malaka.
Rekonstruksi peta daerah Riau ini dapat pula kiranja memberi pen-
djelasan, mengapa di Pasir Pandjang (udjung utara pulau Karimun)
terdapat tulisan dari abad ke 9 jang' menggunakan huruf-huruf Dewa-
nagari dan bersifat agama Buda Mahayana. Tempat ini sebagai udjung
jang mendjorok kelaut dan jang tentu dihadapi orang dalam pelajaran
dari utara keselatan melalui Selat M alaka adalah tempat jang penting,
mungkin sebagai tempat singgah dan mungkin pula hanja sebagai
tanda peringatan atau petundjuk pelajaran.
Setelah kita merekonstruksi djalannja pantai-pantai dahulu disekitar
Palembang — Djambi dan kepulauan Riau, dapatlah kita kini berusaha
menetapkan djalan-djalan laut jang menghubungkan India dengan In ­
donesia dan dengan Hindia Belakang serta Tiongkok. Oleh Quaritch
W a le s telah dapat dibuktikan, bahwa bagian tersempit djazirah M a ­
laka (disekitar teluk Bandon) memegang peranan penting sebagai
kuntji djalan perdagangan antara India dan Tiongkok. D jalan ini ada­
lah djalan darat, sehingga disini muatan kapal harus dibongkar untuk
dipindahkan kekapal-kapal lain, suatu hal jang bagi niaga laut tidak
sedikit menimbulkan kesulitan dan kerugian. M aka djalan ini terang
tidak banjak mempengaruhi djalannja pelajaran mengitari djazirah
M alaka. A da djuga pendapat, jang baru-baru ini dikemukakan oleh
Chand, bahwa „at one time there was a sea route through the pe­
ninsula that made present day M alaya as island” , akan tetapi utjapan
ini hanja berupa kalimat demikian sadja, tanpa disertai sesuatu bukti
atau pun pendjelasan. Dengan demikian pendapat ini tidak dapat kita
perhitungkan dalam uraian sekarang ini.
D jalan lain jang mungkin menghubungkan lautan Hindia dan laut
Tiongkok Selatan adalah Selat Sunda, akan tetapi menurut Obdeyn
Selat Sunda ini baru dikenal oleh orang-orang Tiongkok dan Arab
Sedjak tahun 1175. Pendapat ini disokong pula oleh van Bemmelen,
jang menjatakan „It is possible that indeed, Strait Sunda, did not yet
exist in older historical times in its present configuration. The link bet­
ween South Sumatra and Java has probably been engulfed in the early
quartenary, accompanied by paroxysmal volcanic outbursts” dan ke­
mudian dalam subchapter „Speculation on the Origin of the origin

97
of Strait S u n d a ” sampai kepada kesimpulan bahwa „It is possible that
(Selat Sunda) became navigable scarcely one thousand years ago.
Especially the narrow passage across the northmost branch of the
Great Lam pong fault, with the island of Dwars-in-de-weg (Sangiang)
in the middle, could be navigated only since the middle ages”.
D engan tertutupnja kemungkinan hubungan pelajaran dilakukan
melalui Teluk Bandon dan Selat Sunda, maka djelaslah betapa pen-
tingnja Selat M alaka dan Selat Berhala didalam zaman Sriw ijaya
sebelum tahun 1000 Masehi. Tiap kapal dari dan ke India, D jaw a dan
H in dia Belakang, Tiongkok harus melalui teluk Djambi.

D ari kenjataan ini nampaklah dengan djelas, bahwa Djam bi mem-


punjai kedudukan jang lebih penting daripada Palembang, jang hanja
disinggahi oleh kapal-kapal jang melewatinja dalam pelajarannja antara
Selat M alaka dan pulau Djaw a sadja. Lagipula Djambi itu letaknja
menghadap kelaut bebas, sedangkan Palembang pada suatu selat sadja.
jaitu selat Bangka. M aka diantara Palembang dan Djam bi untuk S ri­
wijaya, pilihan akan lebih tepat kalau djatuh pada Djambi.
Teluk D jam bi memang sangat ideal untuk suatu pelabuhan samu-
dera, pula untuk pertahanan terhadap serangan-serangan dari laut,
sebab dimulut teluk itu terdapat tiga buah pulau. Pada salah satu pulau
jang paling luar terdapat sebuah dusun sekarang jang bernama M uara
Sabak, dan menurut keterangan beberapa orang di Djam bi didusun
itu ada pula ditemukan peninggalan-peninggalan purbakala. A danja
tiga pulau dan dusun Sabak itu sungguh menarik perhatian, karena
dari Ptolomeus diketahui adanja 3 pulau Sabadeibai, jang oleh Krom
dilokalisasikan disekitar Palembang, sedangkan „wanneer wij in deibai
weder het gewone dwipa in zijn Prakrit-vorm vertegenwoordigd mo-
gen denken, houden wij Saba als eigenlijke plaatsnaam over” . Terlalu
djauhkah kalau kita menarik ikesimpulan, bahwa ketiga pulau di Teluk
Djambi itulah jang dimaksudkan oleh Ptolomeus?
Pun pada peta kuno (abad ke 16 — 17), jang dipakai sebagai bahan
oleh Obdeyn, kita djumpai nama-nama „Saban” dan „Sabi” , jang
letaknja disebelah utara „Palimbao” (Palembang), tepat dimana kita
mengharapkan letaknja Djambi.
T idakkah lebih masuk akal, kalau perkataan-perkataan Z ab aj, Za-
bag, dari berita-berita Arab kita identifikasikan dengan (M u ara) S a­
bak? M u ng kin pula bahkan Sabak ini adalah pelabuhan bagi (Jriw ijaya
jang beribukota Djam bi di Djambi. Inilah kiranja jang menjebabkan
berita-berita A rab itu mengatakan adanja maharadja dari Z abag .
T idak masuk akal pulakah, kalau San-fo-tsi dari berita-berita Tiong-
hw a itu kita identifikasikan dengan (M uara) Tembesi, sebuah kota

98
di Qriwijaya djuga, tetapi mempunjai kedudukan penting karena letak-
nja diudjung teluk Djambi dan dimuara Batang Hari, dan dengan
demikian mendjadi penghubung penting antara pantai dan daerah pe­
dalaman?
Dapatkah kesimpulan untuk melokalisasikan Sriwijaya di Djam bi
itu memperoleh dukungan dari bahan-bahan ilmu purbakala? Djawab-
nja menguntungkan, bahkan memperkuat kesimpulan ini. Prasasti-
prasasti jang didapatkan disekitar Palembang, jang sampai kini dipakai
untuk memperkuat pendapat bahwa di Palembanglah letaknja Sriw ija­
ya, kalau kita teliti kembali bahkan akan memperkuat kebalikannja.
Penelitian kembali ini dimungkinkan oleh diterbitkannja prasasti Te­
laga Batu oleh De Casparis, jang ternjata „Consists of a long impre-
cation directed against the perpetrators of all possible crime against
the king and the state Sriwijaya" dan asalnja dari masa jang seperti
prasasti-prasasti lainnja. Kalau Palembang memanglah ibukota £ri-
wijaya, dapatkah masuk akal, bahwa kutukan-kutukan jang berupa
antjaman sangat mengerikan itu djustru diabadikan diibukota? M ung­
kin warga ibukota sendiri diantjam setjara demikian oleh radjanja?
Prasasti Telaga Batu bukanlah piagam radja dan negara Sriwijaya
jang berpusat atau beribukota di Palembang. Peringatan itu adalah
usaha mendjamin ketertiban (dengan istilah sekarang: follow up dari
suatu operasi militer) dari seorang radja Sriwijaya jang telah berhasil
menduduki Palembang. Inilah kiranja interpretasi jang dapat memberi
pendjelasan kepada prasasti Kedukan Bukit, lebih-lebih setelah ada lagi
petjahan prasasti lainnja jang memuat keterangan tambahan terhadap
prasasti tersebut. Follow up jang positif ialah pemberian suatu hadiah
kepada masjarakat jang telah tunduk itu, agar mereka mengetjap ke­
bahagiaan atas kemurahan radja, dan inilah jang dimaksudkan dengan
„pranidhana” jang dikekalkan pada batu Talang Tuwo (tahun 684,
djadi tahun berikutnja dari prasasti Kedukan Bukit).
Dalam rangka ini maka prasasti Kota Kapur dan Karang Brahi jang
sama isinja, adalah peringatan-peringatan jang dimaksudkan untuk
memperkuat kedudukan £riwijaya. Kota Kapur di Bangka adalah tem­
pat jang strategis untuk menguasai djalan laut dimuka pelabuhan P a­
lembang, dan Karang Brahi terletak didjalan raja (sungai dan darat)
antara pantai timur dan daerah pedalaman, jang banjak mengandung
emas. D a n tempat-tempat jang chusus diperkuat itu adalah tempat-
tempat jang sesuai dengan siasat untuk mendjamin pertahanan S r i­
wijaya, dan jang memperkuat pula pilihan kita untuk melokalisasi Qri-
wijaya dan Djambi.
Pun peringatan-peringatan purbakalanja jang berupa artja tidak ber­
tentangan dengan kesimpulan kita. Artja Buda jang besar sekali dari

99
Bukit Siguntang, jang tjoraknja dapat dikembalikan kepada langgam
Am araw ati, dan artja-artja perunggu jang didapatkan dari dalam
sungai dan bertjorak langgam Gupta, merupakan petundjuk kearah
Buda M ahayana di Palembang disekitar abad ke 6 — 7. Kenjataan ini
dihubungkan dengan berita I-ts’ing — seorang musafir Tionghwa jang
mendjelang achir abad ke 7 lama sekali tinggal di Sriwijaya — bah ­
wa didaerah lautan Selatan agama Buda jang ia djumpai dimana-
mana adalah Hinayana (dari aliran Mulasarwastiwadanikaya) ketjuali
di M elaju dimana ia djumpai penganut-penganut agama Buda M a h a ­
yana, menutup segala kemungkinan untuk melokalisasi Qriwijaya
di Palembang. M aka menarik perhatianlah, bahwa Moens djustru
mengidentifikasikan M elaju itu dengan Palembang, meskipun Sumatera
Tengah (Djam bi dan M uara Takus) ia masukkan pula.
Djelaslah kini, bahwa rekonstruksi berdasarkan geomorfologi jang
memberi kesimpulan untuk melokalisasikan Qriwijaya di D jam bi se­
suai djuga dengan bukti-bukti peninggalan purbakala.
Sesuaikah pula kesimpulan ini dengan berita-berita Tionghwa, A rab
dan lain-lain sebagainja? Seperti' sudah dikatakan dimuka, mengenai
berita-berita Tionghwa itu Roland Braddell sampai kepada kesimpulan
untuk memprotes „the repetition of insufficiently investigated identi­
fications” dan „to ask from sinologists for more help” . Lebih sem­
purna lagi kiranja, kalau protes ini ditambah dengan penjesalan jang
sangat terhadap tradisi, jang — berdasarkan atas „insufficiently ¡in­
vestigated identifications” — itu mendjadi penghalang untuk me-
nindjau kembali teori-teori jang sudah usang. Dalam hal ini sangatlah
menarik perhatian, bahwa salah satu sumber terpenting jang dipakai
oleh Moens untuk kartografinja, baru-baru ini oleh W illia m T. Kao
dapat dibuktikan sebagai sumber jang tidak seharusnja dipertjajai se-
tjara mutlak. Sumber ini adalah berita dari Kia-tan, „one of C h in a ’s
most celebrated cartographers”, jang ternjata „never travelled beyond
the borders of his native country” , akan tetapi dari bukunja jang -40
djilid tebalnja mengenai topografi Tiongkok dan negara-negara di-
lautan Selatan menimbulkan „a widespread belief that Kia-tan’s
writing were based on first hand observations made during his jour­
neys” . Pun nama-nama tempat seringkali ditulis berbeda-beda, ter­
gantung dari pendengaran orang Tionghwa sendiri. Ho-lo-tan misalnja
„has been transcribed in different ways and its location is also uncer­
tain. O ne translator says that it is situated on the island of Cho-po
or Tou-po; another maintains that it ruled over the island of Cho-po;
while a third thinks that it has its capital in She-po” . Pem batjaan
kembali tulisan-tulisan Tionghwa kuno itupun menimbulkan berbagai
kesulitan. Kao mengatakan bahwa „it is difficult to trace the influence

100
of the Amoy-Swatow-Canton dialects in the toponyms”; dan selandjut-
nja: ,.Notwithstanding what we have just said as to the insignificant
part played by South China seamen before the eleventh century, how­
ever, we think the Amoy dialect is a very useful guide to the correct
pronunciation of many Chinese characters in early writings. For, among
all dialects, it retains the largest elements of ancient Chinese into­
nations and rhymes.” Apa jang dikemukakan oleh W .T . Kao tadi,
jang sesuai dengan protes Roland Braddell, memberikan dorongan
pada kita untuk lebih berhati-hati lagi dalam mengidentifikasi serta
melokalisasi nama-nama dan tempat-tempat sebagaimana didapatkan
dalam berita-berita Tionghwa, Demikian pula kiranja dalam kita meng­
hadapi berita-berita Arab atau lainnja. Hal ini njata sudah, kalau kita
mengingat, bahwa apa jang kini dibatja Sribuza dari berita Arab da-
hulunja dibatja Sarbaza dan Zabej dibunjikan sekarang Zabag.
Nam un didalam kita berhati-hati itu, kalau sesuatu identifikasi dan
lokalisasi (atau satu diantara dua) tidak' meragukan dan memang sesuai
dengan kenjataan, apa salahnjakah kalau kita sampai kepada suatu
ketetapan. Sebagaimana sudah dikemukakan, Sabadeibai dari Ptolomeus
dan Zabag dari berita-berita Arab adalah (Muara) Sabak dimuka teluk
Djambi. San-fo-ts’i untuk (Muara) Tembesi dapat pula kita anggap
pasti, kalau kita menilik berita-berita Tionghwa dari zaman Sung (960 -
1279), dimana kita djumpai radja „Chan-pi” dikeradjaan San-fo-ts’i.
Chan-pi dan San-fo-ts’i bersama-sama tidak memberi kesangsian lagi
untuk mengidentifikasikannja dengan Djambi dan (M uara) Tembesi.

Demikianlah, maka — ditindjau dari berbagai sudut — tidak ada


suatu bahan, jang memberi petundjuk untuk melokalisasi Çriwijaya
di Palembang. Semua petundjuk mengarahkan pandangan kita ke
Djambi, dengan meninggalkan tradisi jang telah bertahan 40 tahun
lamanja.”
Penjelidikan geomorfologi jang dilakukan oleh Drs. Sukmono dengan
tudjuan untuk menetapkan lokalisasi pusat keradjaan Sriwidjaja, me­
rupakan salah satu usaha untuk memetjahkan persoalan sedjarah Sri-
widjaja. Andaikata lokalisasi pusat keradjaan Sriwidjaja itu semata-
mata bergantung kepada pandangan dari sudut geomorfologi, maka
pendapatnja akan dapat diterima tanpa keragu-raguan. Hasil penjeli­
dikan geomorfologi memberikan saran jang kuat untuk menempatkan
Djam bi sebagai pelabuhan jang sangat ideal dan sanggup menguasai
lalu-lintas kapal di Selat M alaka jang berlajar keutara menudju Tiong­
kok, ketimur menudju Djawa. Kebalikannja perahu-perahu jang ber­
lajar dari lautan Selatan dan laut Djaw a menudju India dan negara-
negara lainnja disebelah barat, berlajar melalui Djambi. Demikianlah

101
menurut pendapatnja pusat keradjaan Sriwidjaja harus terletak di
Djambi, bukan di Palembang.
N am un pandangan geomorfologi bukan satu-satunja sumber sedjarah
jang dapat digunakan untuk melokalisasikan pusat keradjaan Sriwidja­
ja. Oleh karena itu hasil penjelidikan geomorfologi masih perlu dikadji
dengan sumber sedjarah lainnja, jang kiranja dapat dipertjaja. Sumber
sedjarah jang saja maksud ialah pernj'ataan I-ts’ing tentang letaknja
pelabuhan Melaju, jang bertahun-tahun menetap di Sriwidjaja dan
beberapa kali mengundjungi pelabuhan Melaju. Jang akan dibitjarakan ,
disini bukanlah pernjataan I-ts’ing mengenai bajang-bajang diwelaca-
kra, jang bertalian dengan letaknja ibukota Sriwidjaja, melainkan per-
njataannja tentang pelabuhan tempatnja singgah dalam perdjalanan
dari India ke Tiongkok. Perdjalanan pulang dari Nalanda pada tahun
685 diuraikan oleh I-ts’ing setjara singkat. Uraiannja demikian:
,,I-ts’ing berangkat dari Tan-mo-lo-ti (Tamralipti atau Tamluk)
menudju Ka-cha (Kataha atau Kedah). Singgah disini sampai musim
dingin. Dengan menumpang perahu radja ia berangkat dari sini (Ke­
dah) keselatan menudju tanah Melaju, jang sekarang mendjadi bagian
Fo-shih (Sriwidjaja). Pelajaran itu makan waktu selama sebulan.
Umumnja perahu itu datang dinegeri Melaju pada bulan kedua. T ing­
gal disini (dinegeri Melaju) sampai pertengahan musim panas. Lalu
berangkat keutara menudju Kwang-tung (Kanton). Lebih kurang se­
bulan kemudian sampai ditempat tudjuan.”
D ari pernjataan I-ts’ing itu njata sekali bahwa perdjalanan dari
India ke Tiongkok melalui pelabuhan Melaju. D ari pelabuhan Melaju
perahu terus menudju keutara kearah Kwang-tung. Dengan kata lain
pelabuhan Melaju adalah tempat berlabuh perahu jang berlajar dari
Kedah melalui Selat M alaka dan jang berlajar dari Tiongkok melalui
laut Tiongkok Selatan menudju India. I-ts’ing tidak mengatakan bahwa
perdjalanan dari Selat M alaka ke Tiongkok melalui Sriwidjaja atau
Fo-shih. Demikianlah pelabuhan Melaju menguasai lalu-lintas pelajaran
dari laut Tiongkok Selatan ke Selat M alaka dan kebalikannja. Berda­
sarkan pernjataan I-ts’ing tersebut diatas maka letak pelabuhan Melaju
dalam soal menguasai pelajaran di Selat M alaka dan dilaut Tiongkok
Selatan lebih baik daripada pelabuhan Fo-shih. Saudara Sukmono
djustru mendasarkan penjelidikannja dari sudut geomorfologi pada
penguasaan pelajaran di Selat M alaka dan dilaut Tiongkok Selatan.
O leh karena itu ia djustru memperkuat pendapat bahwa jang terletak
di Djam bi ialah pelabuhan Melaju, bukan pelabuhan Sriwidjaja. Letak
pelabuhan Melaju jang sangat ideal itu memperkuat pernjataan I-ts’ing
tentang pelabuhan Melaju jang menguasai lalu-lintas pelajaran di Selat
M alaka.

102
Pelabuhan Sriwidjaja tersisih dari lalu-lintas perahu dari Tiongkok
ke Selat Malaka dan kebalikannja. Djambi mempunjai kedudukan jang
djauh lebih penting daripada Palembang, jang hanja disinggahi oleh
kapal-kapal jang melewatinja dalam pelajarannja antara Selat Malaka
dan Pulau Djawa sadja. Lagipula Djambi itu letaknja menghadap kelaut
bebas, sedangkan Palembang pada suatu selat sadja, jaitu selat Bangka.
Demikianlah kedudukan pelabuhan Djambi djauh lebih penting dari­
pada pelabuhan Palembang.
Djika saudara Sukmono mengidentifikasikan Djambi itu dengan pusat
Sriwidjaja, dimanakah lokalisasi pelabuhan Melaju? Pertanjaan itu
setjara tidak langsung didjawab dengan mengemukakan lokalisasi pe­
labuhan Melaju oleh Moens: Maka menarik perhatianlah, bahwa Moens
djustru mengidentifikasikan Melaju itu dengan Palembang .......
Dengan djelas dinjatakan oleh I-ts’ing bahwa dalam perdjalanannja
ke Nalanda di India, baik I-ts’ing maupun Wu-hing berangkat dari
Fo-shih menudju Melaju, kemudian terus ke Ka-cha (Kedah). Djika
pelabuhan Melaju itu adalah pelabuhan Palembang seperti jang di­
sarankan oleh Moens, maka I-ts’ing dan Wu-hing untuk berangkat
ke India jang letaknja disebelah barat, harus pergi ketimur dahulu,
karena Palembang letaknja disebelah timur atau tenggara Djambi. Hal
jang demikian agak aneh, tidak termakan akal. Ketjuali kalau mereka
itu mempunjai kepentingan istimewa di Palembang!
Soal jang perlu mendapat perhatian ialah penjamaan San-fo-ts’i de­
ngan (M uara) Tembesi. Logis sekali bahwa saudara Sukmono ber­
dasarkan lokalisasi pusat keradjaan Sriwidjaja di Djambi, lalu meng­
identifikasikan San-fo-ts’i dengan Tembesi, jang terletak ditempuran
sungai Tembesi dengan sungai Batang Hari. Tembesi adalah satu-
satunja tempat didaerah Djambi jang bunjinja hampir serupa dengan
San-fo-ts’i, namun keserupaan bunji itu tidak dapat didjadikan alasan
untuk penjamaan tanpa memperhatikan keterangan-keterangan lain.
Penjamaan itu samasekali tidak tjotjok dengan pemberitaan dari sum­
ber Tionghwa jang menjatakan letaknja San-fo-ts’i. Sudah pasti bahwa
ada diantara berita-berita Tionghwa itu jang boleh dipertjaja. Dalam
hal ini saja kutip pernjataan Ying-yai-sheng-lan (1416), jang isinja,
bahwa Chiu-chiang sama sadja dengan negara jang sebelumnja disebut
San-fo-ts’i, djuga disebut Po-lin-pang, ada dibawah kekuasaan Djawa.
Kapal-kapal jang datang dari manapun, masuk selat Peng-chia (Bang­
ka) jang berair tawar. Didekatnja adalah tempat bertegak banjak
pagoda jang dibuat dari bata. Kemudian para pedagang mudik kehulu,
djalannja makin lama makin sempit, menudju ibukota.
Berdasarkan (berita Tionghwa diatas jang serba djelas uraiannja
njatalah bahwa San-fo-ts’i terletak di Palembang. Drs. Sukmono meng­

103
anggap pasti penjamaan antara San-fo-ts’i dan (Muara) Tembesi.
P e n j a m a a nitu ketjuali berdasarkan keserupaan bunji, lokalisasi Sri-
widjaja dikota Djambi, djuga berdasarkan berita Tionghwa pada za­
man pemerintahan radjakula Sung (960- 1279) dimana didjumpai
radja Chan-pi” dikeradjaan San-fo-ts’i. Chan-pi dan San-fo-ts’i ber­
s a m a - s a m a tidak memberi kesangsian lagi untuk mengidentifikasikannja
dengan Djam bi dan (M uara) Tembesi, menurut pendapatnja.
Mengenai radja „Chan-pi” kiranja tidak mutlak demikian tafsiran-
nja. Sumber berita itu ialah Sung Hui Yao. Demikian beritanja: „Pada
tahun kelima pemerintahan Y uan Fong (jakni pada tahun 1082) bulan
10 tanggal 17, Sun Chiang, wakil kepala urusan pengangkutan dan
wakil kepala urusan dagang menjatakan bahwa wakil umum para pe­
dagang asing dinegeri laut Selatan menjampaikan surat kepadanja jang
ditulis dengan bahasa Tionghwa. Surat tersebut berasal dari radja
Chan-pei (Djambi) bagian dari San-fo-ts’i dan dari puteri radja, jang
diserahi kekuasaan mengawasi urusan negara San-fo-ts’i. Mereka me­
ngirimkan .kepadanja 227 tahil su-Iung (perhiasan), rumbia, kamfer
dan 13 potong pakaian.

Peristiwa ini terdjadi sesudah penundukan Sriwidjaja, M elaju dan


negara-negara lainnja oleh radja Coja seperti tertjatat pada piagam
Tanjore (tahun 1030). Oleh karena itu jang dimaksud dengan puteri
radja disini ialah puteri keturunan radja asing jang memerintah San-
fo-ts'i. Beliau dibantu oleh radja Djambi, jang telah ditaklukkan oleh
radja Cola, dan karenanja djuga mendjadi radja bawahan San-fo-ts’i.
T an Yeok Seong memberi tafsiran, bahwa pada tahun 1082 ada dua
pemerintahan, jang politiknja sedjalan. Jang satu pendjadjah, jang lain
asli. Jang pendjadjah berpangkal di Palembang, jang asli di Djambi.
Dengan kata lain radja pendjadjah itu bertachta di Sriwidjaja, jang
lain didaerah Melaju. Djelaslah bahwa radja Chan-pei itu tidak me­
nguasai San-fo-ts’i, tetapi malah kebalikannja. Bahwa radja San-fo-ts’i
pada waktu itu bukan lagi orang asli, terbukti dari piagam Kanton
jang diketemukan pada tahun 1959 tentang „Chung Siu Tien Ching
Kuan C hi” jakni Laporan pembangunan kembali tjandi Ten Ching.
Tjandi Kanton jang telah rusak itu diperbaiki atas biaja radja San-
fo-ts i pada tahun 1079. Dengan djelas dinjatakan pada piagam itu
bahwa radja San-fo-ts’i jang bersangkutan ialah Ti-hua-ka-lo (Dew a
Kulottungga). Piagam Kanton ini akan kita bahas dibelakang.
Dim ana letaknja San-fo-ts’i, dari uraian Ying Y a i Sheng Lan
telah djelas, jakni di Palembang. San-fo-ts’i tidak mungkin diidentifi­
kasikan dengan Tembesi jang terletak didaerah Djambi. H ingga
sekarang ahli sedjarah menerima penjamaan antara San-fo-ts’i dan

104
Shih-li-fo-shih, jang pada hakekatnja masih merupakan persoalan.
Penjamaan itu menurut pendapat saja tidak dapat diterima (lihat pasal
K E R A D JA A N SAN-FO-TS’I). Oleh karena San-fo-ts’i bagaim ana­
pun adalah transkripsi Tionghwa dari nama asli atau Sansekerta,
jang menurut berita Tionghwa terdapat di Palembang, maka kita harus
mentjari tempat didaerah tersebut jang mungkin dapat disamakan,
tidak mentjarinja didaerah Djambi. Djustru oleh karena D jam bi jang
disangka saudara Sukmono pusat keradjaan Sriwidjaja, terbukti pela­
buhan M elaju, maka andjuran untuk mentjari San-fo-ts’i di Palembang
beralasan lebih kuat lagi.
Drs. Sukmono mengemukakan peninggalan-peninggalan purbakala *
di Palembang, jang djelas menundjukkan adanja agama Buda Maha-
yana di Palembang. Peninggalan itu terutama berupa artja Buda, ber­
asal dari Bukit Siguntang. Tjoraknja dapat dikembalikan kepada lang­
gam Am arawati. Peninggalan purbakala ini lalu dihubungkan dengan
pernjataan I-ts’ing, bahwa didaerah laut Selatan dimana-mana agama
Buda jang didjumpainja adalah agama Buda Hinayana, ketjuali dinegeri
Melaju. Disini terdapat beberapa penganut agama Buda M ahayana.
Peristiwa tersebut menurut pendapatnja menutup segala kemungkinan
untuk melokalisasi Sriwidjaja di Palembang. Ditambahkannja pendapat
Moens, bahwa keradjaan Melaju berpusat di Palembang. Penundjukan
Moens mengenai lokalisasi pelabuhan Melaju di Djambi (?) tidak ber­
sifat mutlak.
O leh karena di Palembang diketemukan artja Buda Mahayana, Drs.
Sukmono mengambil kesimpulan bahwa kemungkinan Palembang se­
bagai pusat keradjaan Sriwidjaja tertutup samasekali. Ia membatasi
diri sampai kepada pernjataan I-ts’ing jang didasarkan atas keadaan
pada achir abad ke 7.
Pernjataan I-ts’ing mengenai agama Buda Mahayana dan Hinayana
didaerah laut Selatan tidak bersifat mutlak. Sebagai bukti dapat di-
kemukakan pernjataan piagam Talang Tuwo, jang diketemukan di­
daerah sekitar Palembang dan bertarich tahun 684, setahun sesudah
piagam Kedukan Bukit. T idak ada orang jang menjangkal bahwa
piagam T alang Tuwo adalah piagam Sriwidjaja. Piagam itu adalah
piagam „pranidhana” jakni pemberian suatu hadiah oleh radja Sriw i­
djaja kepada masjarakat. Piagam Talang Tuwo dikeluarkan atas pe­
rintah D apunta H yang Sri Djajanaga. D jadi merupakan pernjataan
resmi dari putjuk pimpinan pemerintahan Sriwidjaja. Piagam tersebut
djelas sekali menguraikan adjaran agama Buda Mahayana, istimewa
aliran , tantrisme, karena disitu tertjatat wajragarira. Tidak dapat di­
katakan bahw a pernjátaan piagam itu semata-mata dimaksud untuk
mengelus-elus perasaan rakjat jang memeluk agama Buda M ahayana

105
Oleh karena pernjataan tersebut adalah per-
diwilajah Sriwi jaja diambil kesimpulan, bahwa adjaran agama
njataan resmi, ma a ntrisme itu dipeluk di Sriwidjaja, setidak-tidak-
B»da M ahayana al.ta»|ta»m memerintah pada’ tall„„ 68„. Rupa.
nja tidak dilarang jkap toleransi antara agama Buda Mahayana
rupanja memang a Hinayana aliran Mulasarwastiwadanikaya
a l i r a n t a n t r i s m e dan d d^ n .a diperlakukan sama oleh radja Sri-
iwilajah Sriwi jaja , ecjakan Perlakuan jang demikian itu terbukti
wi jaja, tanpa mem ¿eta Tionghwa jang beraliran agama Buda
ari penerimaan pa pendeta dari Srilangka W adjrabodhi, jang
Hinayana dan penerimaan p« a j j a
/ M ahayana. Pada tahun 717 pendeta W adjra-
h W - 13!? ^ k a t dari Srilangka dengan 35 perahu Persi menudju
o i erang d _ s riwidjaja, diterima oleh radja Sriwidjaja
long o . a si ¿ ¡ p e r la k u k a n dengan baik. Bahkan pendeta ini
dengan hormat dan a*P . .
malah tinggal selama lima bulan di Sriwidjaja, menunggu tibanja
musim angin baik. Lagipula I-ts ing djuga setjara mutlak mengatakan
bahwa dikeradjaan Sriwidjaja hanja ada agama Buda Hinayana aliran
Mulasarwastiwadanikaya. Pernjataan I-ts ing mengenai agama Buda
dinegeri-negeri dilaut Selatan itu ditutup dengan kalimat: „Agama jang
dipeluk dinegeri ini terutama aliran Hinayana, ketjuali dinegeri Melaju.
Dinegeri-negeri ini sedikit sadja pengikut aliran M ahayana." D jadi
adanja agama Buda aliran Mahayana dikeradjaan Sriwidjaja tidak ter­
tutup samasekali. Terbukti bahwa piagam Talang Tuwo jang terang
adalah piagam Sriwidjaja, menguraikan adjaran agama Buda M a h a ­
yana.
Kesimpulan jang diambil oleh saudara Sukmono ialah bahwa pusat
keradjaan Sriwidjaja terletak di Djambi dan pusat keradjaan M elaju
di Palembang, meskipun pendapat jang terachir ini tidak dinjatakan
setjara tegas, hanja dengan mengingatkan, bahwa Moens djustru meng­
identifikasikan Melaju dengan Palembang. Andaikata pelabuhan M e ­
laju itu di Palembang, maka ada kesulitan mengenai pentafsiran pe­
lajaran I-ts’ing dari Fo-shih ke Nalanda. Baik I-ts’ing maupun W u-hing
pernah mengadakan pelajaran dari Fo-shih ke Mo-lo-yeu terus ke Ka~
cha (Kedah). Pelajaran I-ts’ing dari Fo-shih ke N alanda menurut pen­
dapat saja harus ditafsirkan, bahwa I-ts’ing melalui pelabuhan M elaju
terus ke Kedah. Ini berarti bahwa pelabuhan M elaju terletak diantara
Sriwidjaja dan Kedah. Djika pelabuhan Melaju itu dilokalisikan di P a­
lembang, maka pelajaran itu menudju timur dahulu, lalu kembali lagi
ke Sriwidjaja terus ke Kedah. Perdjalanan jang demikian terang tidak
normal, tidak biasa. Pelajaran dari Kedah ke Tiongkok menurut taf-
siran saudara Sukmono lalu harus melalui Sriwidjaja jang disebut Fo-
shih. I-ts’ing tidak mengatakan demikan. Dalam perdjalanannja dari

106
India ke Sriwidjaja I-ts’ing berkata: .,Dari sini (Tan-mo-lo-ti) kapal
berlajar dua bulan kearah tenggara untuk sampai di Ka-cha. Pada wak-
-tu itu kapal dari Fo-shih akan berlabuh di Ka-cha. Kedatangan pe­
rahu dari Fo-shih umumnja pada bulan pertama atau bulan kedua.
Mereka jang akan berangkat ke Sinhala (Srilangka) berlajar kearah
barat daja. Kata orang pelajaran itu sedjauh 700 jodjana. I-ts ing sing­
gah di Ka-cha sampai musim dingin, lalu 'berlajar lagi kearah selatan
sebulan lamanja menudju tanah Mo-lo-yeu, jang pada waktu itu sudah
mendjadi bagian Fo-shih; banjak negeri-negeri jang mendjadi bawah-
annja. Pada umumnja kedatangan perahu disana pada bulan pertama
atau bulan kedua. Tinggal disana sampai pertengahan musim panas,
lalu berangkat lagi keutara; kira-kira sesudah sebulan berlajar, sampai
di Kwang-fu.”
D jadi pelajaran dari Selat Malaka menudju Tiongkok melalui pela­
buhan Melaju, tidak melalui pelabuhan Sriwidjaja. Djadi pelabuhan
M elaju menguasai lalu-lintas kapal dari Selat Malaka ke Tiongkok.
Pelabuhan jang menguasai lalu-lintas kapal di Selat M alaka adalah
pelabuhan Djambi. Djadi pelabuhan Melaju adalah pelabuhan Djambi.
Berdasarkan pernjataan I-ts’ing jang melakukan pelajaran itu sendiri,
maka identifikasi pelabuhan Melaju dengan pelabuhan Palembang
tidak mungkin.
Saja sependapat sepenuhnja dengan Drs. Sukmono, bahwa piagam
persumpahan Telaga Batu itu sangat mengerikan. Namun sifat jang
mengerikan itu belum menutup kemungkinan lokalisasi pusat keradjaan
Sriwidjaja disekitar Telaga Batu didaerah Palembang. Djustru karena
pada piagam Telaga Batu itu terdapat nama-nama djabatan jang
mempunjai hubungaan erat dengan putjuk pemerintahan (pemerintahan
pusat), berbeda dengan jang terdapat pada piagam persumpahan K a­
rang Brahi dan Kota Kapur, maka saja lebih tjenderung untuk melokali­
sasikan pusat keradjaan Sriwidjaja disekitar Telaga Batu. Keterangan
itu diuraikan dibawah.
M eskipun piagam persumpahan Telaga Batu itu senafas dengan
piagam persumpahan Karang Brahi dan Kota Kapur, namun redaksinja
berbeda. Redaksi piagam Kota Kapur dan Karang Brahi boleh dikata­
kan sama. Jang saja maksud ialah orang-orang jang disebut dalam
persumpahan sesudah bagian awal jang menguraikan Tandrun Luah
dan Kandra Kayet. Apa jang disebut pada piagam Telaga Batu ber­
beda dengan apa jang disebut pada piagam Karang Brahi dan Kota
Kapur. Perbedaan redaksi ini menimbulkan pertanjaan, apa sebabnja
berbeda? M enurut paham saja tiap pengeluaran piagam harus meng­
ingat untuk siapa piagam itu dikeluarkan. Betul bahwa ketiga piagam
persumpahan itu menjangkut seluruh lapisan masjarakat diwilajah Sri-

107
widjaja, nam un susunan lapisan masjarakat dipusat keradjaan berbeda
dengan susunan masjarakat dikota ketjil atau didusun.
Didesa terang tidak ada radjaputra atau bupati. O leh karena itu
nama djabatan radjaputra dan bupati tidak akan disebut pada piagam
jang diperuntukkan bagi masjarakat desa. Penjebutan pelbagai djabatan
pada piagam Telaga Batu menundjukkan bahwa piagam tersebut d i­
alamatkan kepada masjarakat dimana terdapat pemegang djabatan-
djabatan jang bersangkutan. Batu piagam itu dengan sendirinja dipa­
sang ditempat jang didiami oleh pelbagai pedjabat tersebut. Piagam
persumpahan jang memuat nama djabatan tinggi itu diketemukan di
Telaga Batu. M ungkin sekali memang sedjak semula piagam itu di-
tempa'tkan disitu. Tidak ada orang jang dapat mengatakan, dari m ana
asal batu piagam tersebut. Kesimpulannja ialah bahwa tempat disekitar
Telaga Batu pada achir abad 7 didiami oleh radjaputra, bupati, sena­
pati, dandanajaka dan sebagainja. Djabatan-djabatan ini adalah d ja­
batan tinggi dalam pemerintahan. Pedjabat-pedjabat tinggi seperti itu
tinggal disekeliling radja; dengan kata lain tinggal diibukota.
Lebih djelas lagi, djika kita membatja baris 9 sampai 1 1 . D isitu d i­
uraikan, barangsiapa memberi tahu kepada bini hadji tentang keadaan
didalam rumah, dan membudjuknja untuk mengambil barang mas-
masan atau bersekutu dengan para pekerdja didalam rumah, akan
termakan sumpah. Jang dimaksud dengan bini hadji ialah isteri radja
jang bukan permaisuri. Jang dimaksud dengan rumah ialah istana
radja. M ungkin sekali tidak semua bini hadji tinggal didalam keraton,
sehingga ada kemungkinan bahwa bini hadji tidak tahu 'keadaan di­
dalam. Terutama bini hadji jang tinggal diluar. Para pekerdja didalam
istana tentu mengetahui seluk-beluk keraton. Barangsiapa berm aksud
djahat terhadap radja, ia akan bersekutu dengan mereka. B ag ai­
manapun bini hadji tinggal disekitar istana, setidak-tidaknja didalam
atau sekitar ibukota jang didiami oleh radja.
ada baris 11 terdapat kata kadatuan. De Casparis memberi tafsir-
an’ kaW a kata kadatuan ini sama dengan kata D jaw a kadaton, ke­
raton jakni: istana radja. Jang berarti wilajah datu ialah pardatuan
atau pardatvan.
Utjapan-utjapan diatas memberikan kesan, bahwa istana radja ter­
apat disekitar tempat bertegak batu persumpahan Telaga Batu. Dji-
a analisa diatas itu benar, maka kesimpulannja ialah, bahw a ibukota
era jaan Sriwidjaja pada abad 7 adalah kota Palembang sekarang,
egasnja terletak disekitar Telaga Batu.
•M . Schnitger antara tahun 1935 dan 1936 dalam penggalian di
e a9a Batu memperoleh timbunan-timbunan bata. Batu-batu s'tddha-
yatra banjak kedapatan disitu. Mungkin timbunan bata itu bukan

108
bekas keraton, melainkan bekas wihara jang didirikan disitu. O leh
karena itu kita masih harus berusaha mentjari dim ana kiranja letak
keraton Sriwidjaja.
O le h karena telah diambil kesimpulan bahwa pusat keradjaan Sri­
w idjaja ada disekitar Telaga Batu dikota Palembang, dengan sendirinja
kita beranggapan bahwa jang disebut sungai Fo-shih oleh I-ts’ing
ialah sungai Musi. Penjebutan jang demikian biasa sekali. Bagian
sungai jang mengalir melalui suatu kota, disebut oleh penduduk dengan
nam a kota jang bersangkutan. Sungai Batang H ari disebut oleh pen­
duduk D jam bi, sungai Djambi. Sungai Brantas, djika telah masuk kota
Surabaja, disebut kali Surabaja. Ibukota Sriwidjaja dilalui oleh sungai
S riw idjaja jang disebut oleh I-ts’ing sungai Fo-shih. Sungai itu ialah
sungai M u si zaman sekarang. Menurut penjelidikan geomorfologi jang
dilakukan oleh saudara Drs. Sukmono pada abad ke 7 kota Palembang
terletak dipantai laut pada udjung djazirah. N am a Palembang pada
w aktu itu belum dikenal. Nama itu baru dikenal pada abad 13 dalam
Chu-fan-chi dan sedjarah M ing. Seperti telah disinggung dimuka da­
lam Ying-yai-sheng-lan (tahun 1416) kota itu disebut Po-lin-pang.
M u n g k in nama itu telah ada pada abad ke 7, tetapi nama itu tidak
digunakan untuk menjebut kota jang bersangkutan. Kota jang bersang­
kutan disebut oleh berita-berita Tionghwa dan oleh I-ts’ing, Shih-li-
fo-shih, dan pada piagam Sriwidjaja jang paling tua jakni piagam
K edukan Bukit tahun 683, Sriwidjaja. N am a kota Palembang djelas
berasal dari kata Sansekerta palim bang(a): breaking of the margin,
breaking of the edge. Sudah terang bahwa muara sungai M usi ter­
masuk w ilajah Sriw idjaja dan digunakan sebagai pelabuhan Sriwidjaja.
P ad a m uaranja terdapat tempat jang disebut Shih-li-fo-shih, jakni
S riw idjaja alias Palembang zaman sekarang.
P ada w aktu pendeta I-ts’ing mengundjungi Sriwidjaja, agama Buda
dikeradjaan Sriw idjaja sedang berkembang. D ikatakannja bahwa di-
ibukota, jang dikelilingi oleh benteng, terdapat lebih daripada 1000
pendeta Buda, semuanja radjin mentjurahkan perhatiannja kepada ilmu
dan m engam alkan adjaran Buda. Mereka melakukan penjelidikan dan
m em peladjari ilmu jang ada pada waktu itu, tidak ada bedanja dengan
Madhya~deqa di India. Aturan-aturan dan upatjara keagamaan sama-
sekali tidak berbeda. O leh karena itu diandjurkannja, bila ada pendeta
T io n gh w a jang ingin pergi ke India untuk mengikuti adjaran-adjaran
dan memfeatja teks-teks asli, ada baiknja mereka itu tinggal di Sriw i­
djaja d u a /tig a tahun dahulu untuk berlatih, sebelum berangkat ke India
T engah. D em ikianlah keadaan pusat keradjaan Sriwidjaja pada achir
abad ke 7 menurut uraian I-ts’ing. Dengan djelas dinjatakan bahwa
ibukota S riw idjaja dikelilingi' benteng.

109
Keradjaan M elaju dan Sriwidjaja

Berita jang tertua mengenai keradjaan Melaju berasal dari T ’ang-


hui-yao jang disusun oleh W ang-p’u pada tahun 961 pada masa peme­
rintahan dinasti T ’ang dan dari Hsin T ’ang Shu, jang disusun pada
awal abad ke 7 pada masa pemerintahan dinasti Sung atas dasar se-
djarah lama, jang teridiri dari T ’ang-hui-yao seperti tersebut diatas
dan Tse-fu-yuan-kuei', susunan W ang-ch’in-jo dan Yang I antara
tahun 1005 dan 1013. M enurut berita itu keradjaan Melaju mengirim­
kan utusan ke Tiongkok pada tahun 644/5. Pengiriman utusan ke T i­
ongkok oleh keradjaan Melaju pada abad ke 7 hanja tertjatat satu kali
itu sadja. Selama itu jang nampak diistana kaisar utusan dari keradjaan
Sriwidjaja jang disebut Shih-li-fo-shih.
Dalam Hsin T'ang Shu tertjatat bahwa keradjaan Shih-li-fo-shih
mengirim utusan ke Tiongkok pada mangsa waktu 670 — 673 dan
7 1 3 — 741. Sedjak itu utusan Shih-li-fo-shih tidak lagi kedengaran.
Pada masa pemerintahan radjakula Sung negeri dilaut Selatan jang
namanja San-fo-ts'i mengirim utusan ke Tiongkok ¡berkali-kali. Sung
Shih mentjatat kedatangan utusan itu pada tahun 960, 962, 971, 972,
974, 975, 980, 983, 985 dan 988. Utusan jang terachir ini tinggal di
Kanton sampai tahun 990, karena mendengar bahwa negerinja, San-
fo-ts’i sedang diserang oleh tentara dari Cho-p’o.
D jika kita memperhatikan berita tentang utusan keradjaan M elaju
jang tertjatat dalam T ’ang-hui-yao dan membandingkannja dengan
berita tentang utusan keradjaan Sriwidjaja jang terdapat dalam Hsin
T ’ang Shu, maka terdapat kepastian bahwa keradjaan M elaju telah
berdiri pada tahun 644/5. Pada waktu itu keradjaan Sriwidjaja belum
mengirimkan utusan ke Tiongkok. Kepastian berdirinja negara S riw i­
djaja baru pada tahun 670, ketika negara itu mengirimkan utusan jang
pertama kali ke Tiongkok. Sedjak timbulnja keradjaan Sriwidjaja ne­
geri Melaju tidak lagi mengirim utusan ke Tiongkok. Demikianlah
dapat dipastikan bahwa negeri Melaju lebih dahulu berdiri daripada
Sriwidjaja. Berdasarkan berita tersebut pengiriman utusan ke T iong­
kok oleh kedua keradjaan tersebut berselisih 25 tahun.
Pertanjaan jang timbul ialah mengapa keradjaan Melaju tidak lagi
mengirim utusan, sedjak timbulnja keradjaan Sriwidjaja? D jaw aban
atas pertanjaan itu diberikan oleh pendeta I-ts’ing dalam bukunja
Memoire dan Record jang menjatakan bahwa keradjaan M elaju telah
mendjadi bagian Sriwidjaja. Tiap kali ia menjebut nama keradjaan
Melaju, selalu dibubuhi, keterangan: jang sekarang telah mendjadi ba­
gian Sriwidjaja.

110
Pada bulan 11 tahun 671, I-ts’ing berangkat menurutkan bintang Y i
dan Chen meninggalkan Kanton menjusur pantai kearah selatan. W a k ­
tu berpisah dengan bintang Chi, dua lajar jang masing-masing pan-
djangnja lima helai kain kampas, melambai-lambai, kapal meninggalkan
sisi utara jang kegelap-gelapan, mengarungi lautan, menerdjang ge­
lombang besar-besar setinggi gunung. Sesudah hampir duapuluh hari
berlajar, kapal sampai dipelabuhan Sriwidjaja. Di Sriwidjaja ia men­
darat dan menetap selama enam bulan untuk beladjar Sabdavidya
jakni tatabahasa Sansekerta. Atas bantuan radja Sriwidjaja kemudian
ia berangkat kepelabuhan Melaju, jang sekarang mendjadi bagian Sri-
widjaja.

Keterangan tambahan itu harus ditafsirkan, bahwa pendeta I-ts’ing


pernah menjaksikan negeri Melaju sebagai keradjaan merdeka. Ke­
datangan I-ts’ing jang pertama kali di Sriwidjaja ialah pada achir
tahun 671. Setelah enam bulan menetap di Sriwidjaja untuk beladjar
tatabahasa Sansekerta, dengan bantuan radja Sriwidjaja ia berlajar
kepelabuhan Melaju untuk melandjutkan perdjalanannja ke Nalanda.
Djadi pada tahun 671 keradjaan Melaju masih merdeka. Tetapi dalam
Record dan Memoire setiap kali ia menjebut nama keradjaan Melaju
selalu dibubuhi keterangan bahwa keradjaan itu „sekarang mendjadi
bagian Sriwidjaja”. Record dan Memoire ditulis oleh I-ts’ing dikera-
djaan Sriwidjaja, sesudah ia pulang dari Nalanda tahun 685. Demi­
kianlah penundukan keradjaan Melaju itu harus terdjadi sebelum
I-ts’ing menjelesaikan bukunja Record dan Memoire. Kita tetapkan
dahulu bila kedua karja itu ditulis oleh I-ts’ing.

Berdasarkan salah batja mengenai nama jang terdapat pada piagam


Kedu'kan Bukit achir baris 7, Krom menganggap bahwa piagam Ke­
dukan Bukit mempunjai hubungan dengan penundukan keradjaan
Melaju. Dugaan itu didasarkan terutama pada berita I-ts’ing tentang
negeri Melaju dalam Record dan Memoire. De Casparis menaruh
banjak keberatan terhadap pendapat Krom itu. Bahwa penundukan
negeri M elaju itu terdjadi sebelum tahun 692 seperti dikemukakan oleh
Krom, tidaklah disangkal, karena berita itu memang termuat dalam
Record dan Memoire, jang dikirim ke Kanton pada tahun 692. Dalam
bulkunja Hindoe-Javaansche Geschiedenis hal. 116, Krom berpendapat
bahwa I-ts’ing menulis Record dan Memoire antara tahun 689 dan
692. Andaikata buku itu telah selesai sebelumnja, maka I-ts’ing akan
membawanja sendiri ke Kanton pada tahun 689. Uraian mengenai
keadaan keradjaan Sriwidjaja harus tertjatat antara tahun 689 dan
692. O leh karena itu peristiwa penundukan keradjaan Melaju harus
terdjadi sebelum tahun 692. Demikian Krom.

111
M enurut pendapat saja alasan Krom tentang selesainja penulisan
Record dan Memoire diatas sesungguhnja kurang tepat, karena ke-
berangkatan I-ts’ing ke Kanton pada tahun 689 tidak disengadja. Ia
bermaksud menitipkan surat jang berisi permintaan, supaja dikirimi
kertas, tinta dan kue-kue dari Kanton. Tetapi karena pada waktu itu
tiba angin baik, perahunja berangkat. I-ts’ing ikut terbawa (Memoire
hal. 176). Andaikata Record dan Memoire itu telah selesai ditulis,
tidak akan terbawa djuga, karena I-ts’ing tidak ada maksud untuk
pulang ke Kanton. Pelajarannja ke Kanton pada tahun 689 tanpa per­
siapan.
Memoire ditulis kemudian daripada Record, karena Memoire me-
njebut Record dua kali. Tetapi baik kata pengantar Record maupun
kata pengantar Memoire ditulis kira-kira pada waktu jang sama, ka­
rena kata pengantar itu saling sebut-menjebut. Kedua-duanja menjata-
kan bahwa isi Memoire 2 volume, dan Record 4 volume (40 pasal).
Suplemen Memoire sudah barang tentu ditulis sesudah teks Memoire
selesai. Ketika I-ts'ing menulisnja, Tao-hung berumur 23 tahun; pada
tahun 689 ketika ia menggabungkan diri pada I-ts’ing, ia berumur
20 tahun. Demikianlah Suplemen Memoire itu selesai pada tahun 692.
Kata pengantar Record, Memoire dan Suplemen Memoire selesai di­
tulis kira-kira pada waktu jang sama. W a k tu I-ts’ing menjelesaikan
bab (pasal) X X X I V dari Record, ia berkata, bahwa ia tinggal di Sri-
widjaja sudah lebih daripada empat tahun, sedjak kedatangannja dari
India. Pada pasal X X II I ia berkata bahwa ia sudah duapuluh tahun
lebih mengembara. Ini berarti bahwa pada waktu itu tahun 691 atau
tahun 692, karena ia meninggalkan Kanton pada achir tahun 671.
Demikianlah dapat diambil kesimpulan, bahwa Record itu ditulis antara
tahun 691 dan bulan kelima tahun 692, karena pada bulan kelima
tahun 692 buku itu dititipkan kepada pendeta Ta-chin jang berangkat
ke Kanton. Empat tahun sebelum tahun 691/692 ialah tahun 688/689.
Kita lihat bahwa I-ts’ing pada tahun 689 sudah ada di Sriwidjaja.
Djadi pulangnja kembali dari India kira-kira tahun 688. D idalam kata
pengantar Record I-ts’ing menjebut negeri Melaju dalam rangkaian
negara-negara dilaut Selatan, jang memeluk agama Buda. Pada pe-
njebutan itu ditambahkan keterangan „jang sekarang mendjadi bagian
keradjaan Sriwidjaja” . Djuga dalam Memoire ia menjebut negeri M e ­
laju dengan tambahan jang sama. Demikianlah ketika I-ts’ing menulis
Record dan Memoire, negeri Melaju itu telah mendjadi bagian ke­
radjaan Sriwidjaja. Pada tahun 686 Sriwidjaja mengeluarkan piagam
persumpahan Kota Kapur di Bangka, jang memuat antjaman kepada
siapapun jang tidak mau tunduk kepada Sriwidjaja. Pada piagam itu
dinjatakan bahwa pada waktu itu tentara Sriwidjaja berangkat ke

112
i

Djawa. Normal penundukan keradjaan Melaju harus dilakukan lebih


dahulu, sebelum tentara Sriwidjaja berangkat ke Djawa, agar djangan
terpukul oleh negara tetangganja. Lagipula piagam Karang Brahi jang
senafas dengan piagam Kota Kapur, tetapi tanpa tarich tahun, keda­
patan diwilajah keradjaan Melaju, jakni dihulu Batang Hari. Ini ber­
arti bahwa pada waktu itu keradjaan Melaju sudah dikuasai oleh Sri­
widjaja.
Demikianlah penundukan keradjaan Melaju oleh Sriwidjaja terdjadi
sebelum tahun 686. Pendapat itu'kita hubungkan dengan hasil pene­
litian piagam Kedukan Bukit. Tidak lagi dapat dibantah bahwa piagam
Kedukan Bukit adalah piagam jayasiddhayatra jakni piagam perdja-
lanan djaja atau piagam tentang arak-arakan kemenangan. Piagam
itu bertarich tahun Saka 605 atau tahun Masehi 683. Perdjalanan djaja
mempunjai hubungan dengan kemenangan. Kemenangan jahg diperoleh
Sriwidjaja sebelum tahun 686 adalah kemenangan terhadap keradjaan
Melaju. Demikianlah keradjaan Melaju itu ditundukkan oleh keradjaan
Sriwidjaja pada tahun 683. Bahwa piagam Kedukan Bukit adalah pia­
gam perdjalanan djaja, terbukti dari hasil penelitian jang berikut.

Piagam Kedukan Bukit

Piagam Kedukan Bukit hingga sekarang masih merupakan persoalan


jang sulit. Jang mendjadi persoalan ialah pertama-tama apa maksud
piagam Kedukan Bukit itu? Apa jang dimaksud dengan siddhayatra
pada piagam Kedukan Bukit? Dimana letaknja Minanga Tam w a(r)?
Itulah persoalan pokok jang harus dipetjahkan, untuk sekadar menge­
tahui sedjarah Sriwidjaja. Persoalan tersebut bukan persoalan jang
gampang pemetjahannja. Hal ini terbukti dari bersimpang-siurnja pen­
dapat para sardjana baik dalam bidang bahasa, maupun purbakala
serta sedjarah. Bertahun-tahun, mereka mentjurahkan perhatiannja ke­
pada persoalan tersebut, namun hingga sekarang persoalan itu belum
dapat dipetjahkan. Kita tjoba ikut serta memperhatikan persoalan
tersebut. Untuk mendapatkan gambaran tentang udjud piagam tersebut,
pada achir pasal ini kita tjantumkan transkripsi dan terdjemahan pia­
gam tersebut. Dengan djalan demikian dapat mengikuti djalan pikiran
mentjari pemetjahan persoalan.

Tentang piagam Kedukan Bukit ini Krom dalam bukunja Hindoe-


Javaanshe Geschiedenis menulis demikian: „Tidak semuanja terang,
tetapi ziarah untuk mentjari kekuatan gaib itu mentjolok sekali. Peris­
tiwa itu tjotjok dengan pendapat umum ditempat-tempat lain. M u ng ­
kinlah hal itu berhubungan dengan peristiwa mendirikan keradjaan
Sriwidjaja. Suatu kenjataan ialah, bahwa peristiwa ini memperingati

113
suatu kedjadian jang penting sekali untuk negara." Krom menambah­
kan tjatatan: „Djelasnja, beberapa kata tidak terang; mungkin itu nama
orang, misalnja sambau (jang telah diterdjemahkan oleh Prof. Purba-
tjaraka: perahu), dan kata jang merupakan teka-teki minanga Tam-
w a(r) tempat radja membebaskan diri.”
A pa jang dikatakan oleh Krom masih sebagai kemungkinan, oleh
Prof. M r. M oh. Yam in sudah dianggap kepastian. Dalam Laporan
Konggres M I P I hal. 193 ia menulis: „Baru pada tahun 683 dipahat
permakluman proklamasi pembentukan kedatuan Sriwidjaja dengan
resmi diatas batu bertulis Kedukan Bukit di Palembang.”
Demikianlah baik Krom maupun Yamin mengira bahwa piagam Ke­
dukan Bukit adalah piagam proklamasi keradjaan Sriwidjaja. Saja kira
tidak ada hubungannja dengan soal mendirikan negara Sriwidjaja. Ber­
dasarkan berita Tionghwa Hsin T a n g Shu keradjaan Sriwidjaja telah
mengirim utusan ke Tiongkok pada tahun 670, djadi 13 tahun sebelum
piagam Kedukan Bukit. Pada tahun 683 keradjaan Sriwidjaja telah
berdiri tegak. Dapunta Hyang sudah mempunjai tentara paling sedikit
dua laksa. Demikianlah anggapan bahwa piagam Kedukan Bukit ada­
lah piagam proklamasi dengan sendirinja tidak dapat dipertahankan.
Pada piagam Kedukan Bukit diuraikan bahwa Dapunta Hyang
mangalap siddhayatra pada tanggal 11 bulan terang waigakha tahun
683. Prof. G. Coedes menganggap bahwa kata siddhayatra jang ke­
dapatan pada piagam Kedukan Bukit itu sinonim dari kata siddhiyatra
pada piagam Nhan-bieu, dan berarti: ziarah untuk mentjari kekuatan
gaib. Demikianlah Coedes beranggapan bahwa piagam Kedukan Bukit
adalah piagam ziarah demi kekuatan gaib. Katanja: „Siddhayatra.
lebih tepat siddhiyatra, berarti: perdjalanan atau ziarah untuk mem­
peroleh kekuatan gaib; itulah arti katanja pada piagam Nhan-bieu.
demikian pula pada piagam Kedukan Bukit. Baginda naik perahu untuk
memperoleh kekuatan gaib di M inanga T am w a(r).” Pendapat Coedes
itu disetudjui oleh Krom seperti terbukti dari kutipan diatas. Demikian
pula oleh Prof. Nilakanta Sastri. R.A. Kern dalam karangannja jang
termuat dalam B.K.I. 88 tahun 1931 menjamakannja dengan kebiasaan
di Sunda ngalap berkah: mentjari (memperoleh) restu. D r. B.Ch.
Chhabra membahas kata siddhayatra ini dalam hubungan dengan pe­
dagang mahanavika Buddhagupta, dan dongeng-dongeng jang terdapat
dalam Kathasaritsagara. De Casparis menundjukkan bahwa kata sid­
dhayatra terdapat djuga pada piagam Djaw a kuno dari tahun 856
A metrical old Javanese inscription dated 856. Pada strophe 22 terbatja,
bahwa ¡burung bangau, gagak dan angsa serta pedagang disuruh mandi
untuk memperoleh perlindungan. Kalimat itu diikuti kata siddha ta yatra
siha. Meskipun strophe itu masih gelap artinja, namun sudah dapat

114
diraba, bahwa kata siddhayatra itu digunakan dalam hubungan dengan
burung dan pedagang, jang berpindah-pindah tempat dan berhubungan
dengan air, karena burung-burung dan pedagang itu diandjurkan su-
paja mandi. De Casparis menundjukkan bahwa burung-burung itu
dalam bahasa Sansekerta disebut tirthakaka. Jang mendapat tekanan
dalam soal siddhayatra ini adalah „perpindahan tempat” , dari tempat
jang satu ketempat jang lain.
Setelah memperhatikan pembahasan para sardjana mengenai kata
siddhayatra , timbul pertanjaan jang prinsipiil: Apakah kata siddhayatra
perlu diubah mendjadi siddhiyatra seperti jang dilakukan oleh Coedes?
Saja berpendapat bahwa perubahan itu tidak perlu. Alasannja ialah:
1. kata siddhayatra itu sadja sudah mempunjai arti jakni: perdjalanan.
2. Kata siddhayatra pada baris 3 itu mempunjai hubungan dengan kata
siddhayatra pada baris 10 dalam bentuk kata madjemuk jayasiddha­
yatra artinja: perdjalanan djaja. 3. Kata siddhayatra dan jayasiddha-
yatra memang terdapat pada batu piagam Kedukan Bukit; bentuk kata
itu memang betul.
Berdasarkan pendapat itu maka batu piagam Kedukan Bukit adalah
piagam siddhayatra, bahkan piagam jayasiddhayatra jakni piagam jang
mentjatat perdjalanan djaja. Sudah djelas bahwa perdjalanan djaja
adalah kedjadian besar dalam kehidupan kenegaraan, karena perdja­
lanan djaja itu mempunjai hubungan dengan kemenangan jang diperoleh
dalam peperangan. Kata jayasiddhayatra digunakan sebagai penutup
tjatatan perdjalanan, termuat pada baris 10. Dalam istilah Djawa
dikatakan: didjadikan gong maksudnja: perkara jang paling penting.
Bahwa piagam Kedukan Bukit itu piagam perdjalanan, terbukti, karena
pada piagam jang terlalu pendek itu tertjatat beberapa perdjalanan,
jakni:
(a) Tanggal 11 bulan terang W aisaka Dapunta Hyang naik perahu.
(b) Tanggal 7 bulan terang Jyestha Dapunta Hyang berangkat dari
M inanga Tam w a(r) dengan tentara.
(c) Tanggal 5 bulan terang bulan Asada Dapunta Hyang datang mem­
buat wanua.
(d) ........... wihara ini diwanua ini. (Tambahan pada petjahan pia­
gam).
Mengenai berita pada (a) tidak dinjatakan bahwa Dapunta Hyang
naik perahu diikuti oleh tentaranja. Berita itu hanja menjatakan, bah­
wa Dapunta Hyang mengadakan perdjalanan dengan naik perahu.
D jarak waktu antara (a) dan (b) ialah 26 hari. Sekonjong-konjong
pada (b) dinjatakan, bahwa Dapunta Hyang berangkat dari Minanga
T am w a(r) dengan membawa duapuluh ribu tentara. Mengingat sing-
katnja djarak waktu antara berita (a) dan (b) jakni 26 hari sadja.

115
rupanja perdjalanan Dapunta Hyang tanggal 11 bulan terang bulan
W a isa k a itu langsung menudju M inanga T am w a(r). Dengan kata lain
D apunta Hyang datang di M inanga T am w a(r) untuk menggabungkan
diri pada tentara Sriwidjaja jang berdjumlah duapuluh ribu. D ari M i­
nanga T am w a(r) Dapunta Hyang menudju4suatu tempat, jang tidak
terbatja seluruhnja. Jang terbatja hanja huruf-huruf ma, ia (k a ), d ja (?).
Coedes mengira M atadjap; Krom menduga M alayu. Batjaan Krom ini
dibantah oleh de Casparis, karena pada nama itu tidak nampak aksara
la. Aksara jang masih agak terang terbatja pada baris 7 itu menurut
penglihatan saja da; udjudnja sama dengan aksara keenam baris 9
pada kata datang (datam). Coedes djuga mengira kalau bukan da
ialah dja ( j) , tetapi ia memilih dja (ja). Aksara tersebut masih disusul
aksara lain jang samar. Jang nampak hanja garis vertikal. Coedes
mengira bahwa garis itu permulaan aksara pa. Menurut penglihatan
saja itu adalah aksara na, serupa dengan na pada kata wanua baris 9.
D jika tidak salah lihat atau salah duga, nama itu kiranja matadanau.
Artinja sama sadja dengan telaga atau danau atau mata air. N am a itu
tjotjok dengan Telaga pada nama Telaga Batu, tempat diketemukannja
beberapa piagam Sriwidjaja, diantaranja jang terpenting dalam hu-
bungannja dengan persoalan kita ialah petjahan piagam siddhayatra
jang memuat kalimat penutup: ....... wihara ini diwanua ini. (D e Cas­
paris: Prasasti Indonesia II hal. 14-15).
Piagam tentang mendirikan bangunan biasanja tersimpan dalam
bangunan jang bersangkutan itu sendiri. Tidaklah aneh, djika biara
itu didirikan di Matadanau, jang sekarang disebut Telaga Batu. D a ­
punta Hyang beserta tentaranja datang ditempat tersebut dengan
sukatjita. Pada tanggal 5 bulan terang bulan Asada beliau datang
dengan lega gembira membuat wanua. Meskipun tidak dinjatakan
/ datang ditempat mana, namun kiranja sudah djelas, bahwa tempat itu
adalah tempat jang baru sadja disebut. Piagam itu lalu ditutup dengan
kalimat: C^riwijaya jayasiddhayatra subhiksa ....... Perdjalanan D apunta
Hyang diiringkan oleh duapuluh ribu tentara bukanlah perdjalanan
biasa. Perdjalanan jang demikian adalah perdjalanan djaja. Perdja­
lanan djaja itu mulai dari M inanga T am w a(r). Perdjalanan djaja me-
njusul suatu kemenangan. D jadi sebelum Dapunta Hyang melakukan
perdjalanan djaja, tentara jang mengiringkannja, memperoleh keme­
nangan dahulu dalam peperangan. Arak-arakan tentara jang dikepalai
oleh D apunta Hyang menudju tempat dimana beliau akan mendirikan
wanua. Pembuatan wanua itu dimulai pada bulan Asada. N jata sekali
bahwa tentara dua laksa itu berkumpul di M inanga T am w a(r), dan
dari situ mereka mulai bergerak ke Matadanau, mengadakan arak-
arakan djaja.

116
Minanga Tamwa(r) masih merupakan teka-teki jang belum dapat
ditebak. R.A. Kern dalam terbitannja B.K.I. 88 tahun 1931 menjama-
kan Minanga Tamwa(r) dengan muara Sungai Musi, kata minanga
ditafsirkan: muara. Djika minanga Tamwa(r) ditafsirkan muara su­
ngai Musi, timbul pertanjaan, adakah pernah sungai Musi itu disebut
Tamwa(r)? Dalam Record> I-ts’ing selalu menjebut sungai Fo-shih
atau sungai Sriwidjaja. Namanja sekarang djuga bukan Tam w a(r)
tetapi Musi. Lagipula perdjalanan dari ibukota Sriwidjaja kemuara
sungai Musi tidak akan makan waktu lama seperti dinjatakan di-
muka.
Dalam Riwajat Indonesia Prof. Purbatjaraka menerangkan bahwa
Minanga Tamwa sebagai tempat pertemuan dua sungai. Ia mendasar­
kan keterangannja pada kata tamwa(r) jang menurut pendapatnja
bentuk lama dari kata temu. Pendapat ini sudah terang tidak dapat
dipertahankan. De Casparis segera mengetahui kesalahan itu, karena
pada piagam Talang Tuwo sudah ada kata tmu (temu). Jang di­
maksud oleh Prof. Purbatjaraka dengan pertemuan dua sungai itu
ialah pertemuan sungai Kampar Kanan dan 'Kampar Kiri didaerah
Minangkabau. Dari nama itu Purbatjaraka menerangkan terdjadinja na­
ma Minangkabau. Tidak aneh bahwa nama Minangkabau berasal dari
M inanga Kampar, tetapi suatu pertanjaan ialah, apakah Minanga
Tamwa (r) itu sama dengan Minanga Kampar? De Casparis tidak me-
njatakan pendapatnja setjara positif tentang persoalan Minanga Tam­
wa (r). Ia lebih tjenderung kepada tafsiran muara sebagai pertemuan
antara sungai dan laut. Prof. Moh. Yamin djuga tidak menjetudjui
pendapat Prof. Purbatjaraka. Ia membatjanja Minanga Hambar. Kata
minanga diartikan sungai seperti masih dikenal dalam bahasa Batak,
sedangkan hambar sama dengan tawar. Menurut pendapatnja jang di­
maksud dengan sungai tawar ialah sungai Sengkawak dikaki Bukit
Siguntang. Aksara ta dan aksara ha djauh sekali bedanja. Jang ter-
batja sudah pasti aksara ta bukan ha. Moh. Yam in dikuasai oleh ga­
gasan akan menjamakan kata hambar, tawar. D jika aksara ma{ m)
pada hambar itu dimasukkan pada kata tawar, maka kita mendapat­
kan kata tamwar. Tjaranja berpikir unik, tetapi tidak dapat memetjah-
kan persoalan. Kata tam w a(i) tidak perlu diperkosa.
Tidak ada keberatan untuk mengartikan kata minanga itu sungai
atau muara atau pertemuan antara dua sungai. Seperti dikemukakan
oleh M r. M oh. Yam in kata minanga dalam bahasa Batak masih berarti
sungai. D i Jogjakarta masih dikenal kata winanga sebagai nama su­
ngai dibagian barat kota' Jogja. D i Sumatera dikenal kata binanga
sebagai nama kota ditepi sungai Barumun. Pokoknja minanga mem-
punjai hubungan dengan sungai. Tinggallah sekarang memetjahkan

117
. . . rp „/_\7 Dalam bahasa Indonesia/Me-
persoalan dimana letaknja T am w a(r)! u a id
U i» kata M n an g a dengan arti sungai tidak lagi d,kenal. Kata sudah

Kata-kata zaman sekarang jang mempunjai fonem b. djika kedapatan


. i. . biasanja
pada piagam Sriwidjaja, i • • „»m nurnai fonem w misalnia:
mempunjai j wulan:
bulan; wanak: banjak; s e r iu s seribu dsb. Bun„ a pada suku terach.r
berubah mendjadi o dalam bahasa M inangkabau m.salnja s,apa, sapo;
apa: apo; lama: lamo; bersua: bersuo dsb. Z am an sekarang d,seluruh
Sumatera tidak ada sungai jang bernama T am w a(r). Sudah past. bah­
w a sungai Tam m a(r) itu sekarang masih ada, namun naman,a ber­
ubah utjapannja atau ganti baru s a m a s e k a l i . Biasan,a nama ,t„ han,a
berubah bentuknja atau utjapannja, menjesuaikan d m dengan bahasa
masjarakatnja. D jika kita berpegang pada kebiasaan ,ang denukmn ,tu.
mungkin sungai Tamwa itu masih djuga kita kenal d.daerah D jam b.
Hulu. Nam anja sekarang ialah Batang Tebo. Kota ,ang terletak pada
pertemuan Batang Tebo dan Batang Hari bernama M u ara Teto. B.asa-
nja nama tempat jang terdapat pada pertemuan dua sungai namanja
sama dengan nama sungai tjabang jang masuk a am sungai ian9
lebih besar, didahului dengan kata muara. Misalnja; M uara Tembesi.
Tempat ini terdapat ditempat pertemuan antara sungai Tembesi dan
Batang Hari. Demikianlah kita kenal nama M uara Rupit, M u ara
Enim, M uara Tebo, M uara D ua dsb.
M asih ada satu persoalan lagi jang minta perhatian jakni kata
marlepas pada baris 4 dalam kalimat: D apunta H y ang marlepas dari
M inanga Tamwa ....... Coedes m e n t e r d j e m a h k a n n j a : / e ro i se libera
de artinja: baginda membebaskan diri d a r i....... Coedes tidak menje-
lesaikan terdjemahannja, karena ia menghubungkannja dengan per­
istiwa siddhiyatra jang dilakukan oleh radja Kambodja, Djajawar-
man II untuk melepaskan diri dari kekuasaan D jaw a. D jajaw arm an
menghentikan pemberian upeti kepada radja D jaw a. D jiw a ter-
djemahan jang demikian tidak tjotjok dengan isi piagam Kedukan B u­
kit, jang merupakan kronik perdjalanan. Krom djuga tidak dapat
keluar dari kesulitan tersebut. Sesungguhnja kesulitan jang terbesar
ialah memetjahkan persoalan M inanga T am w a(r). D jika kata ter­
sebut telah diketahui apa maksudnja, pemetjahan kata marlepas tidak
lagi menimbulkan kesulitan. M inanga T am w a(r) saja identifikasikan
dengan Batang (M uara) Tebo, didaerah Djambi H ulu. Kata dari ber­
hubungan dengan tempat, tidak dengan djandji atau kekuasaan orang
lain. Sesuai dengan djiwa kronik perdjalanan ungkapan marlepas dari
M inanga Tamwa berarti: berangkat dari M inanga Tam w a, (M u ara
atau Batang Tebo). Dalam bahasa M elaju di M alaja dan Singapura
hingga sekarang masih digunakan kata berlepas untuk pengertian

118
berangkat M '
Berita f-Ja • n^3' Meieka akan berlepas esok hari (dikutip dari
dukan Bukit *P ^ 1961). Dalam membahas piagam Ke~
bieu, sehin ' *'"’° ec^ s sangat dipengaruhi oleh isi piagam Nhan-
yatra. (Dielak ^ men9U^a^ bentuk kata siddhayatra mendjadi siddhi-
kekuatan cr ’h 3rei*a kata siddhiyatra mempunjai hubungan dengan
....... Kata ‘ ‘ ma 3 ^ 3ta mar^epas ditafsirkan: membebaskan diri dari
kelebihan P3da 1ayasiddflayatra dihilangkan, mungkin dianggap
Djika „ t " be?.‘Uk ia"9
dari M uar 'ataS *tU ^ enar’ maka perdjalanan djaja itu dimulai
Palembano 'T2!50 menudju Matadanau (Telaga Batu) dikota
menundukk ^ kernenan9an jang diperoleh tentara Sriwidjaja dalam
an MeTa; ^ ^33n Melaju pada tahun 683. Penundukan keradia-
an Melaju oleh Sriwidjaja didasarkan atas:
( 1 ) P e m b e r i t a a n I- t s 'in a - • / o • •
djaja .......... l an9 sekarang mendjadi bagian ortwi-
|2 J y^
i a^an9 (Muara) Tebo di Djambi Hulu, jang termasuk wi~
(3) Pen adjaan Melaiu‘
oleh ^ a^3m PersumPahan Karang Brahi jang dikeluarkan
rad' 3 riWidjaja- barang Brahi djelas terletak diwilajah ke-
(su^ n A e^3^U disebelah tenggara Muara Tebo, didjalan raja
1 an daratj antara pantai timur dan daerah pedalaman,
jang banjak mengandung mas.

U djud piagam Kedukan Bukit itu seperti berikut:


? kT \ ?n ?akawarsatita 605 ekadagi gu-
3 Ssnf WUlan Wai?akha dapunta hyang najik di
( 4 ) W i 1 aU- man9a^aP siddhayatra di saptami guklapaksa
/ n -y n /y estha dapunta hyang marlepas dari minanga
5 T am w a(r) mamawa yang wala dua laksa ko
( 7 ) r i T rf US Cara disamwau dangan jalan sariwu
X u S S?PUlU dua wanyaknVa datang di matada(nau)
8 S u k h a a t , , di pancarai iukIapaksa wu,a (n) (asada)
tVn\n mudlta datang marwuat wanua
(10) Sriwijaya jaya siddhayatra subhiksa .........
Terdjemahannja:
(1) Bahagia! Pada tahun saka 605 hari kesebelas
p ar\ , teran9 bulan waisaka dapunta hyang naik di
era u melakukan siddhayatra. Pada hari ketudjuh dari
bulan terang
(4) Bulan jyestha dapunta hyang berangkat dari Minanga
5 T am w a(r) membawa tentara dua laksa orang
( ) D ua ratus orang diperahu; jang berdjalan seribu

119
(7) Tiga ratus dua belas banyaknya; datang di matada(nau)
(8) Dengan senang hati; pada hari kelima dari bulan terang
bulan (Asada)
(9) Dengan lega gembira datang membuat wanua ...........
(10) Sriwidjaja melakukan perdjalanan djaja dengan lengkap ...........

Pasat keradjaan M elaju

Sebelum menetapkan pusat keradjaan Melaju, lebih dahulu kita mem-


bitjarakan adat-istiadat kaum pendatang jang mendirikan keradjaan
M elaju. Diseberang utara Selat Malaka terhampar daerah Semenan-
djung Melaju, jang disebut Malaja, didiami oleh penduduk asli bangsa
Melaju. Diseberang selatan memandjang pantai timur Sumatera, di-
mana terletak pelabuhan Melaju, jang sudah dikenal pada zaman Sri­
widjaja. N am a M alaja dan Melaju berasal dari kata jang sama, jakni
kata Sansekerta malaya artinja: bukit. Kata tersebut berkembang didua
tempat jang berbeda. Diseberang utara Selat Malaka kata tersebut
mempertahankan bentuk aslinja malaya; diseberang selatan kata ter­
sebut mengalami perubahan bunji, mendjadi Melaju. Didaerah Orissa
masih ada gunung jang bernama Malayagiri, didekat udjung Comorin
ada lagi gunung jang bernama Malayam. Bentuk tersebut terang tu­
runan dari bentuk kata Sansekerta malaya. Dalam bahasa Tamil kata
malaya itu mendjadi malai artinja: bukit.

Sudah mendjadi kebiasaan kaum pendatang untuk menjebut tempat


tinggalnja jang baru dengan nama tempat kediaman jang ditinggalkan-
nja. Apalagi djika antara tempat tinggal jang baru dan jang lama
terdapat kemiripan. Demikianlah Semenandjung Melaju disebut M a ­
laja oleh kaum pendatang dari India, sesuai dengan keadaan alamnja.
Daerah Semenandjung Melaju penuh dengan bukit-bukit. Penduduk
aslinja menjebut dirinja bangsa Melaju, karena mereka kebanjakan
keturunan orang pendatang dari seberang selatan Selat M alaka. Dalam
kesusastraan Djaw a kuno nama Malaja belum dikenal. Jang tersebut
dalam Nagarakretagama, jang ditulis pada tahun 1365 ialah nama
Tumasik, Pahang, dan Terengganu. M ungkin sekali nama M alaja ini
timibulnja dalam pemakaian sesudah abad 14. Djuga djika kita menje-
lidiki asal nama keradjaan Tjampa, kita mendjumpai peristiwa pemin­
dahan nama dari India ketempat lain. D i India malah ada dua tempat
jang bernama Tjampa, satu di Bhutan dan lainnja di M adhya Pradesh.
N am a pulau M adura djuga berasal dari nama propinsi di India Se­
latan. Demikian pula nama Brunei, jang kemudian mendjadi nama
seluruh pulau (jakni Borneo), berasal dari nama sungai Porunai di­
daerah Tranvancore. Zam an sekarang adat jang demikian itu masih

120
berdjalan. Didaerah transmigrasi Sumatera Selatan banjak amat nama
desa jang sama dengan nama kota di Djawa seperti Purwokerto, Pur-
bolinggo, Kutahardjo dsb. Didaerah Selangor masih ada kampung
Djawa dan kampung Asam Djawa. Adat-kebiasaan Djaw a terbawa
pula ketempat tersebut. Nama tjamatnja ialah Radin Sunarno, meski­
pun sudah keturunan disitu.
Melaju sebagai nama keradjaan di Sumatera lebih tua daripada
Malaja sebagai nama Semenandjung Melaju. Nama Melaju sebagai
nama keradjaan sudah dikenal dalam berita Tionghwa pada tahun
644/5. Kata Melaju memang mirip sekali dengan kata Malaja. Jang
berbeda hanja vokalnja terachir, jakni a dan u. Seperti telah disinggung
kata malaja sebagai nama Semenandjung Melaju mempertahankan ben­
tuk aslinja Sansekerta, sedangkan kata Melaju sebagai nama keradjaan
di Sumatera mengalami perubahan bunji; datangnja di Indonesia me­
lalui bahasa Tamil: malai. Karena sesudah mengutjapkan bunji i, mulut
tertutup, maka terdengar bunji u jang pada hakekatnja bukan fonem
dalam bahasa Tamil. Oleh karena itu kata malai lalu mendjadi malai-u
— M alaju.
Pengaruh India Selatan nampak pula pada gelar beberapa radja M e­
laju jang termuat pada piagam Khmer dan pada piagam Kertanagara
ditepi sungai Langsat. Nama radja Melaju pada piagam Khmer ialah
grimat trailokyaraja Maulibhusana Warmmadewa, dan pada piagam
Kertanagara ialah grimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa. Gelar
grimat dipakai di India Selatan dengan arti „tuan” , istimewa dalam
kehidupan keagamaan dibiara-biara. Berdasarkan gelar tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa radja-radja Melaju itu ketjuali mengepalai
keradjaan djuga setjara resmi mengepalai kehidupan keagamaan. De­
mikianlah baik gelar radjanja maupun nama keradjaannja berasal dari
India Selatan. Peristiwa jang agak mentjolok ialah bahwa piagam-
piagam jang dikeluarkan oleh radja-radja Melaju, jang diketemukan
hingga sekarang, kebanjakan tertulis dalam bahasa Sansekerta, berbeda
dengan piagam-piagam Sriwidjaja. Tidak ada piagam Melaju jang di­
ketemukan disekitar kota Djambi. Pada tahun 1286 radja Kertanagara
memberikan hadiah artja kepada radja Melaju, grimat Tribuwanaradja
Mauliwarmmadewa. Dinjatakan dengan tegas bahwa artja Amoghapaga
dengan tigabelas pengikutnja diangkut dari bhumi Jawa ke Sumatra -
bhumi, ditempatkan di Dharmmafraya atas perintah radja Sri Kertana­
gara W ik ra m a Dharmottunggadewa. Atas hadiah itu semua penduduk
M elaju gembira: para pendeta, ksatria, waisja dan sudra, terutama radja
grimat Tribuwanaradja Mauliwarmmadewa.
Dharmmagraya terletak didaerah hulu sungai' Batang Hari. Selama
pemerintahan Adityawarman segala piagam tentang keradjaan Melaju

121
diketemukan disekitar hulu sungai Batang Hari. Piagam Pagar Rujung
dari tahun 1356 diketemukan dibukit Gombak, kemudian diangkut ke
Pagar Rujung. Pada piagam ini Adityawarman menjebut dirinja: Adi-
tyawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimaniwarmmadewa maha-
rajadhiraja. Pada piagam Suroaso dari tahun 1375 Adityawarman me­
njebut dirinja Surawagawan, artinja: jang dipertuan di Surawaga. Suroaso
hingga sekarang masih ada sebagai nama tempat dihulu sungai Batang
Hari. Pada tugu nisan Adityawarman menjebut dirinja Kanakamedi-
nindra artinja: jang dipertuan dipulau emas, jakni Sumatera. Nam a
Suwarnadwipa djuga digunakan pada piagam Pagar Rujung. Nama
itu sinonim dari nama Suwarnabhumi pada piagam Kertanagara. Pen­
deta I-ts’ing menjebutnja Chin-chou: pulau emas. Djustru Karang Brahi
jang terkenal karena emas bubuknja. Karang Brahi adalah daerah
penghasil emas. Karang Brahi terletak dihulu sungai Merangin, amat
djauh dari kota Djambi.
Pada piagam sungai Langsat dari tahun 1347 dibalik piagam Kerta­
nagara untuk pertama kalinja kita mengenal nama Malayapura sebagai
nama keradjaan Melaju dibawah pemerintahan Adityawarman. Rouf-
faer mengemukakan pendapat bahwa pusat keradjaan Melaju terletak
di Djambi lama. Pendapat itu termuat dalam B.K.I. 77 hal. 11-19
tahun 1921. Pendapat Rouffaer itu mendapat sambutan baik dari pihak
Prof. Krom dan telah mendjadi pendapat umum. Krom menduga bahwa
pusat keradjaan Melaju telah dipindahkan ke Pagar Rujung dekat
Fort van de Kapellen (H.J.G. hal. 413). Djika pendapat Rouffaer itu
ditjotjokkan dengan piagam Tanjore, jang dikeluarkan pada tahun 1030
oleh Rajendracoladewa, maka pendapat itu agak gojah. Pada piagam
tersebut dinjatakan, bahwa ibukota keradjaan Melaju dengan benteng
pertahanannja terletak diatas bukit. Daerah pantai timur Sumatera
merupakan tanah datar, tidak berbukit, apalagi daerah sekitar Djambi.
Hampir seluruhnja merupakan tanah rendah jang masih muda. D jika
udjud daerah Djambi ditjotjokkan dengan arti nama Melaju, tidak
sesuai, karena Melaju berasal dari malai atau malaya jang berarti:
bukit. Demikianlah baik dilihat dari pernjataan piagam Tanjore mau­
pun dari arti nama M elaju , pusat keradjaan Melaju tidak mungkin
terletak di Djambi. Lagipula piagam-piagam penting jang diketemukan
hingga sekarang, tidak diketemukan disekitar kota Djambi, tetapi di-
pedalaman, seperti telah disinggung diatas. Piagam persumpahan K a­
rang Brahi, jang dimaksud sebagai peringatan keras radja Sriwidjaja
kepada rakjat Melaju, tidak terdapat dikota atau disekitar kota Djambi,
melainkan dihulu sungai Merangin. Piagam serupa itu hanja lajak di­
tempatkan didaerah djadjahan, jang masih membahajakan; diletakkan
ditempat janq ramai dikundjungi orang, supaja diketahui orang banjak.

122
Apa agi djika kita memperhatikan perdjalanan djaja jang dilakukan
oleh Dapunta Hyang mulai j ari Batang (Muara) Tebo, maka kiranja
tidak aneh bila pusat keradjaan Melaju itu terletak dipedalaman di­
sekitar Muara Tebo. Djika demikian maka pusat keradjaan itu terpisah
dan pelabuhan. Pantai laut tidak merupakan sjarat mutlak bagi pusat
keradjaan. Pusat keradjaan Singasari dan Madjapahit tidak terletak
ditepi pantai. Pusat keradjaan itu terpisah dari pelabuhan. Biasanja
pusat keradjaan itu terletak ditempat jang menguntungkan: ditanah
subur jang merupakan daerah pertanian atau dipantai laut jang me­
rupakan pelabuhan. Daerah disekitar Muara Tebo, adalah daerah mak­
mur, daerah pertanian. Lagipula Muara Tebo mudah ditjapai dari
pelabuhan Djambi melalui sungai Batang Hari. Demikianlah baik di-
tindjau dari peninggalan-peninggalan kuno jang berupa piagam, mau­
pun dari pemberitaan piagam Tanjore dan piagam Kedukan Bukit,
maka letak pusat keradjaan Melaju disekitar Muara Tebo lebih meng­
untungkan daripada dikota Djambi. Pusat keradjaan jang letaknja
demikian tidak mudah diserang oleh musuh baik dari laut maupun
dari darat. Untuk dapat mentjapai Muara Tebo, musuh harus berhasil
merebut pelabuhan Djambi lebih dahulu.

Djustru oleh karena Sriwidjaja bernafsu untuk menguasai lalu-lintas


ka,pal di Selat Malaka, Sriwidjaja harus merebut pelabuhan Melaju
dahulu. Tetapi oleh karena pelabuhan hanja sebagian dari milik ke­
radjaan, maka pusat keradjaan itu perlu diserbu. Hanja dengan demi­
kian maka kekuasaan keradjaan Melaju itu patah. Ditindjau dari sudut
ini maka kita dapat memahami, mengapa perdjalanan djaja itu mulai dari
Muara Tebo, tidak dari kota Djambi.

Piagam Talang Tuwo

Setahun setelah penundukan keradjaan Melaju radja Sriwidjaja mem­


berikan hadiah kepada rakjat berupa taman. Pemberian hadiah itu
disertai piagam jang bertarich tahun 684 dan berisi pesan Dapunta
Hyang kepada rakjat untuk menikmati hadiah taman jang bersang­
kutan. Piagam tersebut diketemukan di Talang Tuwo jang terletak
5 km sebelah barat daja Bukit Siguntang pada tanggal 17 November
1920 oleh residen Westenenk, Penemuan piagam diumumkan pada
tahun 1921 dimadjalah berkala Djawa I. Penetapan tarich tahun ber­
asal dari Dr. F.D.K. Bosch. Dari piagam tersebut ternjata bahwa
Dapunta Hyang menghadiahkan beberapa taman dipelbagai tempat
jang tidak disebut namanja. Selain memuat pesan Dapunta Hyang Sri
Djajanaga, piagam tersebut memuat doa untuk kebahagiaan radja Sri­
widjaja atas kemurahan hatinja. Didoakan agar beliau memperoleh

123
segala hal jang baik sesuai dengan adjaran agama Buda. Segala hal
jang baik itu disebut dengan istilah-istilah dalam agama Buda. Pesan
Dapunta Hyang termuat pada baris dua, mulai dengan kata sawanyak-
nya dan berachir pada baris dengan kata sacaracara. Selandjutnja
adalah utjapan pemahat atau pembesar jang menjuruh pahat piagam
tersebut, berupa doa kepada Dapunta Hyang.
Dalam bukunj'a Hindoe-Javaansche Geschiedenis hal. 121 Krom me­
nulis tentang piagam Talang Tuwo itu seperti berikut: „Na de daar-
door te breiken gelukkige toestanden volgen de in het uitzicht gestelde
goederen van geestelijke aard, het ontwaken van de gedachte aan de
Bodhi, het niet gescheiden zijn van Drie Juweelen etc.......... (artinja:
Setelah mentjapai keadaan jang berbahagia, kemudian menjusul hal-
hal rochaniah seperti: membangkitkan bodhicitta, tidak bertjerai
dengan Dang Hyang Ratnatraya dsb.......... ). Djasa Coedes dalam
penerbitan piagam Talang Tuwo berupa usaha membetulkan batjaan
teks dan mentjari arti kata-katanja. Namun karena kurang tepat meng­
hubungkan kata-kata jang bersangkutan, terdjemahannja sangat kusut.
De Casparis mengemukakan beberapa keberatan terhadap terdjemahan
Coedes dalam Prasasti Indonesia II. Istilah-istilah agama Buda itu
tidak saja terdjemahkan, karena hal itu lebih banjak berhubungan
dengan agama daripada usaha untuk memahami maksud piagam.
Teks dan terdjemahan piagam Talang Tuwo itu seperti berikut:
1. Swasti gri gakawarsatita 606 dim dwitiya guklapaksa wulan caitra
sana tatkalanya parlak griksetra ini niparwuat.
2. parwa n dapunta hyang gri jayanaga(ga) ini pranidhanam dapunta
hyang sawanyaknya m mitanam di sini nyiur pinang hanau, ru-
3. mwiya dngan samigranya yang kayu nimakan wuahnya tathapi
haur wuluh pattung ityewamadi punarapi yang parlak wukan
4. dngan tawad talaga sawanyaknya yaijg wuatku sucarita parawis
prayojanakan punyanya sarwwasatwa sacaracara ware payanya
tmu
5. sukha di asanakala di antara margga lai tmu muah ya ahara
dngan air niminumnya sawanyaknya wuatnya huma parlak man-
cak mu-
6. ah ya manghidupi pagu prakara marhulun tuwi wreddhi muah ya
jangan ya niknai sawanyaknya yang upasargga pidana swapna-
wighna . warang wua-
7. tnya kathamapi anukula yang graha naksatra parawis diya nir-
wyadhi ajara kaw.uatananya tathapi sawanyaknya yang bhretyanya
8. styarjjawa dredhabhakti muah ya diya yang mitranya tuwi jangan
ya kapata yang wininya mulang anukula bharayya muah ya w a­
rang stha-

124 »
nSnya lagi curi ucca wadhanya paradSra di sana punarapi tmu ya
kalyanam.t.a m arw „anguil wodhic|lta maitri.
10. -dhan di dang hyang ratnatraya jangan marsarak dngan hyang
ratnattaya tathapi nityakala ,yaga m a „ i | a ksanti marwwangun
wiryva rajin
11. tahu di samigranya gilpakala parawis s a m a d h i t a c i n t a tmu ya prajnya
smreti medhawi punarapi dhairyyamani mahasattwa
12. wajragarira anupamagakti jaya tathapi jatismara awikalendriya
mancak rupa subhaga hasin halap ade-
13.
13. y awak ya wrahmaswara jadi laki swayambhu puna(ra)pi tmu ya
cintamammdhana tmu janmawagita karmmawagita klegawagita
14
awagana tmu ya anuttarabhisamyaksamvodhi ||

Artin/a:
Bahagia! Tahun Saka 606 pada hari kedua bulan terang bulan Tjai-
tra, itulah waktunja taman Sriksetra ini dibuat, milik Dapunta Hyang
S n Djajanaga. Inilah pesan Dapunta Hyang: „Semuanja jang ditanam
dis.ni: njiur, pinang, enau, rumbia dan lain-lainnja, pohon-pohon itu
dimakan buahnja; tetapi aur, buluh, betung dan jang sematjam itu,
emikian pula taman-taman lainnja dengan tebat dan telaganja, jang
kubuat, semua itu dimaksudkan demi kebahagiaan segenap machluk.
baik jang bergerak maupun jang tidak bergerak.” Hendaklah daja-
upaja jang mulia itu mendapat kesukaan dikemudian hari dengan
djalan lain. Semoga beliau mendapat makanan dan air untuk minumnja.
Segala sesuatu jang dibuatnja, ladang, kebun luas, supaja menghidupi
segala machluk; semoga semua hamba beliau hidup sedjahtera! Djauh-
a n a beliau dari segala bentjana, dari pidana dan penjakit tidak
apat tidur. Semoga segala usahanja berhasil baik, bintang-bintangnja
lengkap, terhindar dari penjakit dan dianugerahi awet muda! Semoga
semua abdi setia bakti kepada beliau. Djangan hendaknja para sahabat
^ erc^ ianat terhadap beliau; para bini hendaknja tetap setia sebagai
isteri kepada beliau. Dimanapun beliau berada, djanganlah dilakukan
tjuri, tjurang, bunuh, dan zina disitu. Mudah-mudahan beliau bertemu
dengan kalyanamitra, membangun bodhicitta dengan maitri, menjembah
kepada Ratnatraya, djangan sampai berpisah dengan Dang Hyang
Ratnatraya, bahkan senantiasa tenang bersila membangun keteguhan
hati, keuletan dan pengetahuan tentang perbedaan segala silpakala dan
pemusatan pikiran. Semoga beliau memperoleh pengetahuan, ingatan
dan ketjerdasan, dan lagi ketetapan mahasatwa, badan manikam waj-
ragarira jang sakti tanpa upama, mendapat kemenangan dan ingatan
kepada kelahiran jang lampau, indera lengkap, rupa penuh, kebaha­
giaan, kegembiraan, ketenangan, kata manis, suara Brhma, djadi lelaki

125
karena kekuatannja sendiri; mudah-mudahan beliau memperoleh cinta-
manidhara, janmawagita, karmmawagita, klegawagita, achirnja men­
dapat anuttarabhisamyaksambodhi.

Gelar Dapunta Hyang


Baik pada piagam Talang Tuwo maupun pada piagam Kedukan
Bukit telah kita djumpai gelar dapunta hyang, tanpa mengetahui tepat
bagi siapa gelar itu diperuntukkan. Mengingat bahwa menurut berita
Tionghwa dari sedjarah Sung banjak keluarga dikeradjaan San-fo-ts’i
jang bergelar pu, maka gelar dapunta hyang harus diperuntukkan bagi
orang jang amat tinggi kedudukannja. Kehormatan jang amat tinggi
itu ditundjukkan dengan bubuhan da- , -ia dan sebutan hyang. Pema­
kaian gelar terikat pada waktu dan tempat. Oleh karena itu mungkin
sebutan atau gelar jang sama, berbeda maknanja di Djaw a dan di Su-
matera. Zam an sekarang kata teuku atau tengku di Atjeh dan Per­
sekutuan Tanah Melaju menundjukkan keturunan radja jang masih
akrab. Demikian pula gelar atau sebutan tengku dan ungku di Djohor.
Tetapi sebutan tengku atau engku di Minangkabau biasa digunakan
untuk menjebut seorang guru. Deradjatnja sama dengan pak zaman
sekarang di Indonesia dan chikgu di Singapura. Misalnja engku Sulai­
man (M inangkabau) = chikgu Sulaiman (Singapura) = pak Sulaiman
(Indonesa sekarang). Ringkasnja gelar atau sebutan itu dalam pema-
kaiannja dapat mengalami perubahan semantik.
Pada piagam dari tahun 860 di Djawa terdapat gelar dapunta jakni
dapunta Anggada. Tjontoh lain dapunta i Panunggalan: jang diper­
tuan di Panunggalan (K.O . IX ); dapunta Marhyang (O .J.O . II) . D a ­
punta Anggada adalah pembesar biara. Bagaimanapun dapunta adalah
gelar jang berhubungan dengan kehidupan dibiara. H ingga sekarang
menurut de Casparis belum ada bukti jang menundjukkan bahw a da­
punta itu digunakan sebagai gelar radja. Djika kita memperhatikan
piagam lain sebagai analogi, maka berdasarkan analogi itu mungkin
dapat diambil kesimpulan. Jang saja maksud ialah gelar jang kedapatan
pada piagam Khmer jang telah diterbitkan oleh Coedés dalam B.E.-
F.E.O . 18, 6 (1918) dan pada piagam Kertanagara jang diketemukan
ditepi sungai Langsat. Nama radja Melaju (Sriwidjaja) pada piagam
Khmer ialah grimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmmadewa, dan
pada piagam Kertanagara grimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa.
Kedua-duanja menggunakan gelar grimat. Gelar grimat di India Sela­
tan berarti ,,tuan”, dan dipakai chusus dalam kehidupan keagamaan.
Tetapi gelar grimat itu diwilajah keradjaan Melaju pada tahun 1286
terang digunakan sebagai gelar radja. Kata grimat sebagai gelar di

126 \
India Selatan
860. Ked rl an13 tepat dengan kata dapunta di Djaw a pada tahun
mengenal uania digunakan sebagai gelar pembesar biara. Djika kita
piagam ^rimat Trailokyaraja Maulibhusana W arm m adew a pada
piaaam K 0161 ^ 3n ?r'mat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa pada
dapunta ^ertana9ara' maka pada piagam Talang Tuwo kita mengenal
pada se ^ a°® ^ n" Djajanaga. Dapunta hyang memberikan pesan ke-
oranq i ®ena^ ra^"at untuk menikmati hadiah taman. Hingga sekarang
diaia d ^ a^wa P*a9am Talang Tuwo adalah piagam Sriwi-
. , a la^ taman itu diberikan oleh radja Sriwidjaja. Kiranja
iana b 1^ * ^ eSan ia^ah radja Sriwidjaja. Jang berpesan adalah orang
diperu t^kl-31^ ^ aPunta fyarig- Segala pudji-pudjian jang muluk dan doa
1nrr'<!n * ^ dapunta hyang, jang memberi hadiah taman. Djadi
Talan^ T a^ Unfa hyang adalah gelar radja Sriwidjaja. Pada piagam
i-j. j . .U^ ? jtU ^'an9 bergelar dapunta hyang ialah Sri Djajanaga(ga).
' iajanaga adalah radja Sriwidjaja pada tahun 684. Pada
P 9 e ukan Bukit djuga disebut dapunta hyang tanpa diikuti na-
, ma engan dapunta hyang pada piagam Talang Tuwo baris 2.
g n 9fat ahwa selisih waktu antara piagam Kedukan Bukit dan
P 9 a ang Tuwo hanja satu tahun sadja, maka kiranja dapunta
yan9 Pa a Kedukan Bukit itu adalah dapunta hyang Sri D jajanaga
djuga.

Andaikata dapunta hyang pada piagam Kedukan Bukit itu hanja


ge ar epa a biara seperti dapunta Anggada, maka agak aneh bahwa
e^ a a *ara ^ u t tjampur dengan urusan ketentaraan. Djuga (pada pia­
gam a Tuwo) agak aneh bahwa kepala biara memberikan hadiah
taman (ti ak hanja satu) kepada masjarakat. Biasanja kepala biara
m.a a men aPat hadiah dari radja atau pembesar lainnja. Jang me­
nimbulkan dugaan bahwa dapunta hyang adalah kepala biara, ketjuali
perbandingan dengan dapunta pada piagam Djawa Kuno djuga pene­
muan petjahan piagam, dimana terdapat petjahan kalimat jang ber-
unji: wihara ini diwanua ini. Sudah djelas bahwa Dapunta Hyang
datang di Matadanau untuk membuat wanua. Dari petjahan piagam
tersebut diatas njata, bahwa diwanua itu terdapat bihara. Berdasarkan
djalan pikiran diatas maka biara itu adalah hadiah radja Sriwidjaja,
jang bergelar dapunta hyang.
Dari pelbagai piagam njata sekali, bahwa radja-radja Sriwidjaja
sikapnja sangat baik terhadap agama Buda, bahkan mendjadi promotor
untuk kesuburan agama tersebut. Setidak-tidaknja radja Sriwidjaja
mendjadi pelindungnja, djika tidak langsung turut tjampur dalam urusan
agama setjara aktif. P un piagam Nalanda dinjatakan bahwa Balaputra-
dewa jang menjebut dirinja Suwarnadwipadhipamaharaja, keturunan
Yawabhumipalah mendirikan sebuah wihara di Nalanda. Meskipun

127
menurut tafsiran soal mendirikan biara itu mempunjai maksud politik
jakni untuk mengeratkan persahabatan dan kemudian untuk memper­
oleh bantuan dari India, namun ditindjau dari sudut keagamaan hadiah
biara itu menundjukkan ketjenderungan radja Sriwidjaja kepada agama
Buda. Tentang Balaputradewa ini akan diuraikan dengan lebih pan-
djang dibelakang. Pada charter Leiden, jang tertulis dalam bahasa
Tam il dinjatakan djuga, bahwa qri Marawijayottunggawarman, putera
radja Cudamaniwarman keturunan Sailendra, radja Kataha dan Sri­
widjaja, menghadiahkan sebuah desa di Nagippattana. Ajahnja meng­
hadiahkan sebuah biara jang diberi nama Cudamaniwarmanwihara.
H adiah itu diberikan pada tahun pertama pemerintahan radja Cola
Rajaraja I (1005/6). Dalam persahabatannja dengan Tiongkok radja
San-fo-ts’i Ti-hua-ka-lo (Dewa Kalottungga) memperbaiki tjandi Tien
Ching di Kanton dan menghadiahkan 400.000 uang mas jang kemudian
digunakan untuk membeli ladang padi guna membina tjandi dan para
pendeta dibiara. Radja San-fo-ts’i Ti-hua-ka-lo mendapat djulukan
djenderal besar jang menjokong pembaharuan ibadah dan keutamaan.
Perbaikan tjandi Tien Ching dilakukan pada tahun 1079.

D ari tjontoh-tjontoh diatas terbukti bahwa radja-radja Sriwidjaja


sering menghadiahkan biara untuk kepentingan kehidupan keagamaan
diluar negeri. Tidaklah aneh djika radja Sriwidjaja djuga m enghadiah­
kan sebuah biara dinegerinja sendiri jang diperingati pada petjahan
piagam jang terdapat di Telaga Batu, tempat dapunta hyang mendiri­
kan wanua. Pemberian hadiah biara bertalian dengan perdjalanan
djaja jang dilakukan oleh D apunta Hyang dari M uara Tebo atas ke­
menangan terhadap keradjaan Melaju, dengan diikuti oleh duapuluh
ribu tentara. Pembangunan biara jang demikian adalah gedjala biasa,
sebuah manifestasi rasa terima kasih. Pembangunan tjandi T ara di
Kalasan pada tahun 778 djuga bertepatan dengan muntjulnja radjakula
Sailendra Pantjapana Panangkaran dan berhentinja radjakula Sandjaja
jang menggunakan perhitungan tarich Sandjaja. Piagam jang meng­
gunakan tarich Sandjaja jang terachir ialah piagam T adji G unung
(O .J.O . X X X V I ) . Pembangunan bangunan sutji sebagai manifestasi
rasa terima kasih seorang radja jang demikian banjak dilakukan diluar
negeri.

Piagam persumpahan

Piagam persumpahan Karang Brahi diketemukan pada tahun 1904


oleh kontrolir L.M . Berkhout dihulu sungai M erangin, tjabang sungai
Batang Hari, atau lebih tepat tjabang sungai Tembesi. Krom telah
mengemukakan pendapatnja tentang piagam persumpahan Karang

128
Brahi itu pada tahun 1921 dalam T.B.G. L IX hal. 426-431, dan dalam
bukunja Hindoe-Javaansche Geschiedenis hal. 117. Ia berpendapat
bahwa pengeluaran piagam itu boleh dipandang sebagai pernjataan
kekuasaan Sriwidjaja, jang katanja, sama dengan peristiwa menaikkan
bendera Sriwidjaja. Pendapat itu masih ditambah dengan utjapan, jang
berdasarkan pemberitaan I-ts’ing: keradjaan Melaju sebagai saingan
berat Sriwidjaja djuga sudah ditundukkan. Menurut de Casparis an-
tjaman jang termuat dalam piagam Karang Brahi dan Kota Kapur
ditudjukan kepada musuh-musuh dalam negeri. Fragmen a dan b jang
diketemukan di Bukit Siguntang dan Telaga Batu sangat menarik per­
hatian, karena kedua petjahan piagam itu menguraikan perdjuangan
dalam negeri, setidak-tidaknja pada awal pertumbuhan keradjaan Sri­
widjaja. Musuh-musuh dalam negeri ini sesungguhnja sulit ditegaskan,
karena kita tidak mengetahui dengan pasti, sampai dimana batas ke­
radjaan Sriwidjaja pada tahun 686, dan berapa luas wilajah Sriwidjaja
asli, dan dimana letaknja. Dalam uraian mengenai perdjalanan pulang
dari India, I-ts'ing mentjatat, bahwa banjak negeri-negeri bawahan
Sriwidjaja. Sajang sekali I-ts'ing tidak menjebutkannja satu demi satu.
N am un kita dapat menangkap maksudnja jakni bahwa negeri-negeri
bawahan itu semula berdiri sendiri sebagai keradjaan merdeka, se­
belum masuk wilajah Sriwidjaja. I-ts’ing hanja menjebut satu sadja
diantara negeri-negeri bawahan jang banjak itu, jakni keradjaan M e­
laju. Kiranja keradjaan Melaju adalah salah satu negeri bawahan
Sriwidjaja jang sangat penting. Jang terang ialah bahwa I-ts’ing mem-
punjai kepentingan dalam penjebutan itu, karena pelabuhan Melaju
adalah tempat I-ts’ing singgah dalam perdjalanannja ke Nalanda. De­
ngan negeri-negeri bawahan lainnja I-ts’ing tidak mempunjai sangkut
paut. Antjaman itu djelas dimaksud untuk mengelakkan pemberontakan
dinegeri-negeri bawahan, jang disebut oleh I-ts’ing. Oleh karena itu
piagam persumpahan itu harus ditempatkan dinegeri-negeri jang di­
anggap membahajakan. Hingga sekarang piagam persumpahan itu baru
tiga buah jang diketemukan jakni piagam Karang Brahi, piagam Kota
Kapur dan piagam Telaga Batu. Mungkin masih ada lagi jang akan
menjusul. Menilik isinja piagam-piagam persumpahan itu harus dike­
luarkan pada waktu jang bersamaan dan atas motif jang sama pula.
Hanja satu sadja diantara piagam-piagam persumpahan itu jang me­
muat tarich tahun jakni piagam Kota Kapur dengan tarich tahun 686.
D jadi piagam-piagam persumpahan itu dikeluarkan 3 tahun sesudah
penundukan keradjaan Melaju.
Piagam persumpahan Kota Kapur ditutup dengan kalimat jang ber-
bunii, bahwa pada waktu piagam itu dikeluarkan, tentara Sriwidjaja
berangkat kepulau Djawa, karena pulau Djawa tidak berbakti kepada

129
Sriwidjaja. Itulah motif pengeluaran piagam-piagam persumpahan ter­
sebut. Keberangkatan tentara Sriwidjaja ke Djawa membawa akibat
pengurangan kekuatan pertahanan dalam negerir Dengan sendirinja
Dapunta Hyang takut, kalau-kalau timbul pemberontakan diwilajah
Sriwidjaja sebagai usaha untuk memperoleh kemerdekaan kembali atau
sebagai balas dendam terhadap Sriwidjaja. Pemberontakan jang mung­
kin timbul, adalah pemberontakan dinegeri-negeri bawahan. Tidak
mustahil pula, bahwa pemberontakan akan timbul dipusat keradjaan
akibat hasutan para pembesar, jang tidak menjetudjui politik Dapunta
Hyang. Oleh karena itu tekanan terletak pada drohaka: pengchianat.
Barangsiapa melawan kekuasaan Dapunta Hyang atau barangsiapa
melakukan pemberontakan atau bersekutu dengan pemberontak ter­
hadap kekuasaan Sriwidjaja, ditjap sebagai drohaka atau pengchianat.
Dalam bentuk apapun pemberontakan terhadap kekuasaan Dapunta
Hyang, akan ditumpas. Penumpasan itu pasti akan berhasil seperti
telah terbukti dengan penumpasan Kandra Kayet, pemberontak jang
kuat sekali. Peristiwa penundukan Kandra Kayet rupa-rupanja masih
hangat sekali dan masih teringat oleh setiap orang diwilajah Sriwidjaja,
karena ketiga-tiganja piagam persumpahan itu mulai dengan peristiwa
penumpasan Kandra Kayet. Djangankan orang lain jang lebih lemah,
sedangkan Kandra Kayet jang sangat kuat sekalipun, berhasil ditumpas
oleh Dapunta Hyang. Dalam perang melawan Kandra Kayet Sriwi­
djaja kehilangan seorang senapati jang bernama Tandrun Luah. Dalam
perkelahian Tandrun Luah terbunuh oleh Kandra Kayet. Nam un
achirnja Kandra Kayet berhasil djuga diringkus oleh Dapunta Hyang.
Penumpasan Kandra Kayet oleh Dapunta Hyang itulah jang harus
mendjadi peringatan pada setiap ojrang diwilajah Sriwidjaja, jang ber-
angan-angan untuk memberontak terhadap kekuasaan Dapunta Hyang.
Itulah makna manggala ketiga piagam persumpahan tersebut, jang hing­
ga sekarang belum berhasil diterdjemahkan.
Setjara lengkap George Coedes menguraikan penemuan piagam Kota
Kapur dalam terbitannja Les inscriptions malaises de Qrivijaya. Setjara
singkat uraiannja demikian. Kota Kapur terletak dipulau Bangka, di-
sebelah utara sungai Menduk. Uraian tentang tempat penemuan pia­
gam Kota Kapur disampaikan oleh van der Meulen kepada Roufaer
(B.K.I. 74, 1918 hal. 142). V an der Meulen, administrator di Sungai
Selan, menemukan piagam persumpahan Kota Kapur dalam bulan D e­
sember 1892. Pada tanggal 5 Agustus 1893 batu piagam tersebut di­
angkut ke Djakarta. Brandes selaku konservator membuat pengumuman
tentang penerimaan batu piagam tersebut dalam notulen tahun 1893.
Pada waktu itu boleh dikatakan bahwa Brandes adalah satu-satunja
sardjana jang menaruh perhatian kepada piagam tersebut. Iapun mem-

130
buat turunan piagam jang diterimanja (O.J.O. C X X I). Pada tahun 1909
sepeninggal Dr. Brandes, turunan itu dikirimkan kepa a ro . e
Tiga tahun kemudian Kern menerbitkan teks dan terdjemahannja dalam
B.K.I. 67 tahun 1913 hal. 393-400. Teks dan terdjemahan itu ditjetak
lagi dalam V .G . V II hal. 205. „Suatu karya jang genial. ata oe es
tentang terbitan Kern tersebut. C.O. Blagden mentjoba membenkan
tjatatan linguistik tentang piagam Kota Kapur dalam J®“ ” 1*1 j™' ' '
A.S. 64 tahun 1913 dibawah djudul The Kota Kapur (W est Bangka)
inscription. Seterusnja piagam tersebut mendapat perhatian . oe
dalam terbitannja Le Royaume de f r i vijaya pada tahun 1918, an a am
Les inscriptions malaises de Qrivijaya tahun 1930. Perhatian . erran
termuat dalam L'empire Sumatranais de (¿rivijaya tahun 19 an per
hatian Krom dalam Hindoe~)avaansche Geschiedenis tahun
Suatu kenjataan ialah bahwa piagam Karang Brahi tepat benar de­
ngan piagam Kota Kapur. Jang berbeda hanja barisnja. Ke ua piagam
tersebut mulai dengan peristiwa Kandra Kayet dan Tandrun uah.
Kata hamwan pada piagam Karang Brahi terdapat pada baris 1; pada
piagam Kota Kapur pada baris 1? kata Tandrun Luah pada piagam
Karang Brahi terdapat pada baris 2, 2-3, 5-6; pada piagam Kota Kapur
pada baris 1, 2, 2, sama-sama tiga kali. Piagam Telaga Batu senafas
dengan piagam Kota Kapur dan Karang Brahi, namun re a sinja aga
berbeda. Djuga piagam Telaga Batu mulai dengan mangga a jang
sama.
Telah disinggung dimuka bahwa manggala itu hingga se arang e
lum berhasil diterdjemahkan. De Casparis mengemukakan pen apat,
bahwa manggala piagam persumpahan itu mungkin tetap ge aP un u
selama-lamanja. Menurut pendapat saja manggala itu u an m anra
persumpahan seperti jang dikemukakan oleh Coedes an para a i
sedjarah lainnja, tetapi peristiwa pada abad 7 dikeradjaan riwi jaja^
tidak dapat dikatakan, pembesar daerah mana Kandra aye i u, a
rena ketiga piagam persumpahan jang bersangkutan ti a mem en a
kan asalnja. Jang djelas ialah asal Tandrun Luah. Ia a a a senapa i
atau pahlawan Sriwidjaja, karena pada piagam Kota Kapur an arang
Brahi dinjatakan, bahwa ia mendjaga kedatuan Sriwi jaja, a p
gam Telaga Batu pernjataan itu tidak ada. Tidak dapat disa«9 a
bahwa Tandrun Luah. adalah nama orang, karena disitu dmjatakan
bahwa Tandrun Luah dibunuh: Tandrun Luah winunu Pemtvunuhnja
ialah Kandra Kayet: Kandra Kayet makamatai. Pendjadjaran Tandrun
Luah dengan para dewata jang mendjaga kedatuan Sriwidjaja harus
ditafsirkan bahwa jang dimaksudkan adalah arwah Tandrun Luah.
Setelah ia dibunuh oleh Kandra Kayet, arwahnja masih tetap men­
djaga kedatuan Sriwidjaja. Zaman sekarang orang akan menjama-

131
kannja dengan arwah para pahlawan (kemerdekaan) jang telah gu­
gur. Selama hidupnja, mereka mempertahankan negaranja terhadap
serangan musuh; oleh karena mereka sekarang sudah gugur, arwah-
nja mendjaga atau melindungi negara. Demikianlah kalimat: kita tuwi
Tandcun Luah wanyaknya dewata mulanya yang parsumpahan para-
wis saja tafsirkan: D an kau Tandrun Luah dan semua para dewata,
jang didjadikan permulaan (pembukaan) seluruh persumpahan. Piagam
persumpahan memang mulai dengan peristiwa Tandrun Luah dan
Kandra Kayet.
Pada manggala itu didjelaskan siapa musuh Tandrun Luah. Disitu
kedapatan nama Kandra Kayet, kemudian disingkat Kayet sadja.
Kayet berhasil membunuh Tandrun Luah, tetapi achirnja pemberontak
Kayet berhasil dikalahkan djuga oleh radja Sriwidjaja. D iakui oleh
D apunta Hyang; bahwa Kandra Kayet adalah orang pilihan. Buktinja
ia berhasil mengalahkan Tandrun Luah. Nam un meskipun demikian,
ia berhasil ditumpas djuga. Ditegaskan pada baris 2 bahwa sebab-
sebabnja timbul peperangan itu ialah, karena Kandra Kayet mem­
berontak kekuasaan Sriwidjaja; tidak mau tunduk kepada radja Sri­
widjaja, berchianat terhadap radja Sriwidjaja. Pengchianatan K andra
Kayet didjadikan tjermin bagi semua pembesar dipusat keradjaan dan
bagi semua penduduk diwilajah Sriwidjaja. Barangsiapa berbuat seperti
Kandra Kayet, akan mengalami nasib jang sama dengan Kandra Kayet.
Peristiwa itu harus ditjamkan benar-benar dalam ingatan. D u a hal
jang harus mendapat perhatian sepenuhnja dari semua orang diwilajah
Sriwidjaja, terutama dari mereka jang berangan-angan akan mem­
berontak, selama tentara Sriwidjaja bertugas diluar untuk m enunduk­
kan pulau Djawa. Pertama bahwa orang kuat seperti Kandra Kayet,
jang berhasil membunuh Tandrun Luah, achirnja dapat dikalahkan
oleh Dapunta Hyang. Kedua, barangsiapa memberontak terhadap ke­
kuasaan Sriwidjaja, akan mengalami nasib jang sama seperti K andra
Kayet. Kemenangan Dapunta Hyang terhadap Kandra Kayet itu harus
mendapat perhatian sepenuhnja.

Harus diakui bahwa pada manggala tersebut terdapat kata-kata jang


sulit, kata-kata jang tidak lagi digunakan dalam bahasa Indonesia/
Melaju, dalam bahasa daerah di Sumatera. N am un kiranja djiwa mang­
gala itu dapat ditangkap. Mengenai keterangan kata-kata jang sulit
ditafsirkan, telah saja berikan dalam karangan saja jang berdjudul
Perkembangan Penelitian Bahasa Nasional hal. 134- 135 dalam R e­
search di Indonesia 1945 - 1965 IV . Keterangan itu tidak perlu diulang
lagi disini. Lagipula pendjelasan kata-kata itu agak mengganggu dalam
penulisan sedjarah. Literatur mengenai bahasa Sriwidjaja hampir leng­

132
kap, termuat dalam artikel tersebut diatas, sehingga barangsiapa ingin
ikut memperhatikan bahasa Sriwidjaja, memperoleh petundjuk seperlu-
nja.
Piagam persumpahan Kota Kapur djelas menundjukJcan hubungan
antara Sriwidjaja dan pulau Djawa. Pada tahun 686 Sriwidjaja ber­
usaha menundukkan pulau Djawa. Keradjaan mana jang akan ditun­
dukkan, tidak diketahui, karena keradjaan itu tidak disebut. Jang di-
njatakan pada piagam Kota Kapur hanjalah bhumi Jawa. Tentara
Sriwidjaja berangkat ke Djawa pada hari pertama bulan terang bulan
W aisak a tahun Saka 608. Piagam persumpahan Sriwidjaja adalah
follo\\ up operasi’ militer Sriwidjaja. Berdasarkan djalan pikiran diatas
maka terdjemahan piagam Kota Kapur itu lalu seperti berikut:
„Seorang pembesar jang gagah berani, Kandra Kayet dimedan per­
tempuran ia bergumul dengan Tandrun Luah dan berhasil membunuh
Tandrun Luah. Tandrun Luah mati terbunuh dimedan pertempuran.
Tetapi bagaimana nasib Kayet jang berhasil membunuh itu? Djuga
Kayet berhasil ditumpas. Ingatlah akan kemenang an itu! Ia enggan
tunduk kepadaku. Ingatlah akan kemenangan itu!
Kamu sekalian dewata jang berkuasa dan sedang berkumpul men-
djaga keradjaan Sriwidjaja! Dan kau, Tandrun Luah dan para dewata
jang disebut pada pembukaan seluruh persumpahan ini! Djika pada
saat manapun diseluruh wilajah keradjaan ini ada orang jang ber-
chianat, bersekutu dengan pengchianat, menegur pengchianat atau
ditegur oleh penchianat, sepaham dengan pengchianat, tidak mau tun­
duk dan tidak mau berbakti, tidak setia kepadaku dan kepada mereka
jang kuserahi kekuasaan datu, orang jang berbuat demikian itu akan
termakan sumpah, Kepada mereka akan segera dikirim tentara atas
perintah datu Sriwidjaja. Mereka SCSimak kcluarganja akan ditumpasf
an semuanja jang berbuat djahat, menipu orang, membuat sakit,
membuat gila, melakukan tenung, menggunakan bisa, ratjun, tuba, se-
rambat, pekasih, pelet dan jang serupa itu, mudah-mudahan tidak
erhasil; dosa perbuatan jang djahat itu berbalik kepada mereka itu
sendiri! D an dibunuh oleh sumpah! Dan mereka jang menjuruh ber­
buat djahat, berbuat djahat untuk merusak batu ini, hendaklah segera
terbunuh oleh sumpah, segera dipukul. Mereka jang membahajakan,
jang mendurhaka, jang tidak setia kepadaku dan kepada jang kuserahi
kekuasaan datu, mereka jang berbuat demikian itu, mudah-mudahan
dibunuh oleh sumpah ini. Tetapi kebalikannja mereka jang berbakti
kepadaku dan kepada mereka jang kuserahi kekuasaan datu, hendak-
nja diberkati segala perbuatannja dan sanak keluarganja,, berbahagia,
sehat, sepi bentjana dan berlimpah-limpah rezeki segenap penduduk
dusunnja!

133
T ahun Saka 608 hari pertama bulan terang bulan W aisaka, itulah
waktunja sumpah ini dipahat. Pada waktu itu tentara Sriwidjaja ber­
angkat memerangi tanah Djawa, karena tidak mau tunduk kepada
Sriwidjaja.

134
\

S R IW ID JA JA D AN S E M E N A N D JU N G
c~ % :~ ti'

Piagam Ligor { \' 'i


Didaerah Ligor di Semenandjung diketemukan sebuah batu piagam
jang bertulis pada dua belah sisi. Tulisan pada sisi A disebut piagam
Ligor A. Tulisan pada sisi B disebut piagam Ligor B. Baik piagam i-
gor A maupun piagam Ligor B ditulis dalam bahasa Sansekerta,
berbeda dengan piagam-piagam persumpahan Karang Bra i.
Kapur, Telaga Batu, piagam siddhayatra Kedukan Bukit dan p ’ g
pranidhana Talang Tuwo. Piagam-piagam jang diketemukan p
Sumatera dan Bangka ini ditulis dalam bahasa Sriwidjaja.

Piagam Ligor A
Piagam Ligor A adalah piagam Sriwidjaja jang paling achir jang
tidak menjebut wangsa Sailendra. Piagam ini memuat sepu u pa a
tanpa manggalacarana. Jang dimaksud dengan manggalacarana ia a
uluk-uluk atau salam pembukaan seperti swasti, siddha dan se againja.
Telah disinggung dimuka bahwa radja Sriwidjaja pada piagam-piagam
jang ditulis dalam bahasa Sriwidjaja menggunakan gelar daptinta yang
Pada piagam Ligor A ini gelar daptinta hyang tidak digunakan, ar
gelar tersebut tidak kedapatan dalam bahasa Sansekerta. a ja n
widjaja menjebut dirinja:
1. griwijayendraraja
2. griwijayegwarabhupati
3. griwijayanrepati
4. nrepa . ,
Pada jang pertama berisi pudjian tClhadap sifat-sifat vai
seperti ketjerdasan, keramahan dan kesaktian. Beliau disama an
ngan bulan pada musim rontok, jang tjahaja sinarnja menjuram
segala sinar bintang-bintang. Demikian pula kewibawaan agin
hadap semua radja bawahannja. „
Pada jang kedua adalah landjutan sifat-sifat baik bagin a. e
menghimpun segala kebaikan. Sinar beliau menerangi puntja pu
gunung Himalaya, mengalahkan semua orang bidjak an tjen
didunia. Beliau dikiaskan dengan laut luas dan melebur sega a
djahatan.
Pada jang ketiga menguraikan bahwa baginda adalah pelindung si
miskin. Orang-orang miskin memperoleh perlindungan pada e iau se
perti gadjah-gadjah jang bernaung dibawah pohon rindang pa a wa tu
terik matahari membakar telaga.

135
Pada jang keempat menjamakan baginda dengan Manu, menjebar
segala kebahagiaan seperti musim semi jang memberi ketjantikan ke­
pada pelbagai tumbuh-tumbuhan.
Pada jang kelima menjebut radja Sriwidjaja jang berkuasa gilang-
gemilang. Kekuasaan beliau ditaati oleh semua radja tetangga; beliau
ditjiptakan oleh Brahma dengan tudjuan untuk mendjundjung tinggi
dharma.
Pada jang keenam berbunji: Itulah radja Sriwidjaja, penghimpun
segala kebaikan dan jang paling baik diantara semua radja dipermu-
kaan bumi. Beliau mendirikan bangunan batu, trisamaya-caitya untuk
Padmapani, Sakyamuni dan Vajrapani.
Pada jang ketudjuh: bangunan trisamaya-caitya dipersembahkan ke­
pada semua D jina budiman jang menduduki sepuluh tempat diangkasa,
djuga merupakan tempat bersemajam Amreta jang memberi kebahagia­
an ditiga djagat.
Pada jang kedelapan: pendeta Jayanta menerima perintah baginda
untuk membangun stupatrayamasi. Bangunan itu dilaksanakan sesuai
dengan perintah baginda.
Pada jang kesembilan: Setelah pendeta keradjaan itu meninggal,
muridnja Adhimukti diangkat mendjadi pendeta keradjaan sebagai
penggantinja. Ia mendirikan caitya didekat bangunan trisamaya-caitya.
Pada jang kesepuluh: Tanggal selesainja bangunan trisamaya-caitya
ialah tahun Saka 697 hari 11 bulan terang W aisaka; waktu matahari
terbit menjertai W enu, radja Sriwidjaja jang menjerupai Indra, men­
dirikan bangunan caitya dan stupa demikian indahnja seakan-akan
dibuat dari tjintamani jang terpilih ditriloka.
Piagam A ini menguraikan serba djelas, bahwa radja Sriw idjaja
benar-benar berkuasa didaerah Ligor di Semenandjung. Beliau ber­
ulang kali disamakan dengan dewa Indera dan diakui sebagai radja
daripada radja-radja tetangga. Beliau mendirikan bangunan trisamaya-
caitya di Ligor pada tahun Masehi 775. Piagam A adalah piagam pem­
bangunan trisamaya-caitya.
Mengenai piagam A agaknja perlu kita sekadar memperhatikan
berita Tionghwa. Menurut Hsin-t’ang-hsu jakni sedjarah baru jang
disusun dalam abad 11 pada masa pemerintahan radjakula Sung atas
dasar berita-berita Ch'iu T ’ang Shu atau sedjarah lama, keradjaan
Shih-li-fo-shih mengirim utusan ke Tiongkok dalam pangsa waktu
670 - 673 dan 713-741. T'ang-hui-yao, susunan W ang- p’u pada ta­
hun 961 mentjatat, bahwa pada hari kelima bulan 9 tahun 695, kaisar
memberikan maklumat untuk menjelenggarakan persediaan bagi utusan
luar negeri 6 bulan untuk utusan dari India Selatan dan U tara, Persia
dan Arab; 5 bulan untuk utusan dari Shih-li-fo-shih, Chen-la, Ho-ling

136
dan negeri-negeri Jainnja; 3 bulan untuk utusan dari Lin-i. Tse-fu-yuan-
kuei, susunan W ang-ch’in-jo dan Yang I pada tahun 1005- 1013 meng­
uraikan bahwa utusan dari Fo-shih datang pada tahun 701 - 702
dan 716. Baik Tse-fu-yuan-kuei maupun Hsin-t’ang-shu memberitakan,
bahwa radja Shih-li-fo-shih mengirim tjalon penggantinja sebagai utus­
an ke Tiongkok. Pada tahun 724 datanglah seorang utusan dari Sri-
widjaja di Tiongkok bernama Kiu-mo-lo (Kumara), membawa dua
orang tjebol, seorang gadis djanggi, biduan dan lima burung bajan
untuk dipersembahkan kepada kaisar. Kaisar kemudian memberikan
gelar tcho-teh’ong (djenderal) kepadanja beserta seratus potong kain
sutera. Lain daripada itu kaisar djuga menghadiahkan gelar kepada
radja Sriwidjaja jang bernama Che-li-to-le-pa-mo (Sri Indraw arm an).
Pada tahun 728 datang lagi utusan dari Sriwidjaja jang djuga membawa
hadiah burung bajan berwarna. Utusan jang terachir datang pada
tahun 742.

D ari berita Tionghwa itu jang menarik perhatian ialah nama Sri
Indrawarman, jang pada tahun 724 memerintah keradjaan Sriwidjaja.
Djika masa pemerintahannja itu kita hubungkan dengan tarich piagam
Ligor A, jakni tahun 775, maka selisihnja 51 tahun. M ungkin pada tahun
775 Sri Indrawarman masih memerintah, mungkin djuga sudah diganti
oleh puteranja. Pada penutup piagam tersebut radja Sriwidjaja, jang
mengeluarkan piagam itu, dikiaskan dengan dewa Indra. Kiasan itu
terdapat pada baris 2 dari bawah, dinjatakan dengan kata dewendra-
bhena. M ungkin sekali kiasan dengan dewa Indra itu sengadja dimak­
sud untuk menjebut nama radja jang mengeluarkan piagam itu. Djika
anggapan itu benar, maka nama jang mengeluarkan piagam itu Sri
Indrawarman atau puteranja, jang djuga bernama Indra.......

Piagam Ligor B

Piagam Ligor B hanja memuat empat baris lebih sedikit. Berlainan


dengan piagam Ligor A, piagam ini menggunakan manggalacarana
swasti; tidak menjebut tarich tahun. Lain daripada itu piagam ini pia­
gam Sriwidjaja jang pertama jang menjebut wangsa Sailendra dan gelar
gri maharaja. D jadi berbeda dengan piagam Ligor A.

Terdjemahannja tidak menimbulkan banjak kesulitan. Namun sedjak


tahun 1950 muntjul terdjemahan baru jang diusahakan oleh Coedes.
Terdjemahan baru itu berbeda dengan terdjemahan jang sudah-sudah,
diantaranja jang dibuat oleh Dr. Chhabra. Terdjemahan Coedes meng­
akibatkan perbedaan tafsiran. Dibawah ini dilsadjikan terdjemahan
Dr. Chhabra:

137
„Hail! He who is the supreme king of kings, (who) through his
energy (is) alone comparable to the sun for dispelling the dark­
ness (in the shape) of the hosts of all his foes, (who) in charming
beauty (is) the very spotless, autumnal moon (and is) like Cupid
in person, (who is) called W isnu (who) entirely (annihilates)
the pride of all (his opponents) and (who) with (regard to) his
prowess is without a second - that self - name is known by the
appellation of Srimaharaja (i.e. the illustrious Great King) be­
cause of the mention of his origin in the £ailendrawamga. And of
him ....... of all kings (?) .......

Perbedaan pokok antara terdjemahan Chhabra dan Coedés ini de­


mikian. Chhabra beranggapan, bahwa pada piagam Ligor B hanja
terdapat satu radja Sriwidjaja. Radja Sriwidjaja itu bernama W isn u
dan bergelar gri maharaja, karena beliau keturunan wangsa Sailendra.
Sebaliknja Coedés bukan sadja melihat satu radja pada piagam ter­
sebut, melainkan dua. Jang pertama ialah radja W isnu, jang kedua
ialah puteranja jang bergelar maharadja. Menurut pendapat Coedés
radja W isn u itu sama dengan radja jang menjebut dirinja griwijayen-
drarája, griwijayeegwarabhüpati, dan griwijayanrépati pada piagam Li­
gor A. Djadi beliau memerintah pada tahun 775. Radja jang kedua
jang bergelar sri maharadja adalah puteranja. Setelah kawin dengan
puteri dari Fu-nan dari keluarga Somawangsa, beliau mendjadi radja
Sailendra jang pertama, dan menurunkan radja-radja Sailendra di
Mataram. Tetapi Coedés sendiri mengakui bahwa anggapannja itu
tidak berdiri diatas bukti-bukti jang kuat. Selandjutnja ia menjamakan
radja-radja Sailendra jang pertama itu dengan Dharanindra pada
piagam Kelurak, jang memerintah Djaw a Tengah dan menjuruh radja
setempat Pantjapana Panangkaran membangun kembali tjandi Kelurak.
Panangkaran pada piagam Kalasan dianggapnja sebagai pengganti
rakai Sandjaja. Kesimpulan selandjutnja tidak tjotjok baik dengan
teori Krom tentang adanja „pemerintahan Sriwidjaja dalam sedjarah
D jaw a” maupun dengan teori Stutterheim „pemerintahan D jaw a da­
lam sedjarah Sumatera ”. Jang ada ialah masa pemerintahan radjakula
Sailendra keturunan radja Semenandjung dan puteri Fu-nan pada
penghabisan abad 8 dan pertengahan pertama abad 9. Karangan Coe-
dés ini termuat dalam Bingkisan Budi 1950 dibawah djudul Le Qai-
lendra, tueur des héros ennemis hal. 58 - 70.

Kelemahan-kelemahan teori Coedés:

Teori Coedés mengandung beberapa kelemahan. Salah satu dianta-


ranja ialah kelemahan tatabahasa, jang didjadikan dasar terdjemahan

138
»
dan kemudian pentafsiran. Anggapan tentang adanja dua radja pada
piagam Ligor B didasarkan atas perlawanan kata ekas dan dwitiyas
artinja: satu dan kedua. Coedes menterdjemahkannja jang kesatu dan
jang kedua. Andaikata kedua kata itu benar-benar dimaksud sebagai
perlawanan, tentunja akan digunakan kata ptathamas dan dwitiyas atau
kesatu dan kedua, bukan satu dan kedua. Meskipun soal tatabahasa
ini soal ketjil, namun kiranja perlu dipertimbangkan djuga, djustru oleh
karena teori Coedes terutama berdasarkan peristiwa tatabahasa. D e­
mikian pula fungsi pemakaian ye’asau dan asau yah: beliau, ia. Ke ua
kata tersebut, karena susunannja berbeda dianggap sebagai berlawan­
an. Menurut pendapat saja tidak ada maksud untuk memperlawan an,
melainkan sebagai ulangan jang mempunjai daja mempertegas. angan
jang demikian tidak asing dalam bahasa Sansekerta. Dengan kata ain
piagam jang terdiri dari empat baris lebih itu djelas menun ju an
bahwa radja jang 'bersangkutan jakni radja W isnu menegaskan a wa
beliau adalah keturunan radjakula Sailendra, dan oleh karena itu ^e iau
bergelar maharadja. Kebiasaan itu berbeda dengan radja-ra ja riwi
djaja sebelumnja. Beliau-beliau itu bukan keturunan radjaku a ai en
dra, oleh karena itu tidak bergelar maharadja.
Kelemahan jang kedua tentang tarich pemerintahan. Coe es er
anggapan bahwa radja Sailendra jang pertama adalah putera *®nu’
jang mengeluarkan piagam Ligor A pada tahun 775. Dengan sen irmja
beliau akan memerintah sesudah tahun 775. Pada piagam igor
samasekali tidak ada pernjataan bahwa piagam itu dikeluar an o e
radja W isn u. Pada tahun 778 pada piagam Kalasan telah tertjatat
adanja keturunan radjakula Sailendra jakni dyah Pantjapana ra
Panangkaran. Boleh dipastikan bahwa rakai Panangkaran mu ai me
merintah beberapa tahun sebelum pembangunan tjandi Tara i aa
san itu selesai. Djadi sebelum tahun 778. Selisih waktu tiga ta
antara pengeluaran piagam Ligor B dan piagam Kalasan unfu Pe
sebaran keturunan Sailendra dari Semenandjung ke jawa
boleh dianggap terlalu singkat. Lagipula tidak dapat dipasti an a wa
radja Sriwidjaja jang menjebut dirinja g riw ija y a ra ja itu sete a me
ngeluarkan piagam, segera turun tachta dan digantikan ole puteranja
jakni radja Sailendra jang pertama. Lagipula masih merupa an tan a
tanja, apakah piagam Ligor A pasti lebih dahulu dipahat daripa a pia­
gam Ligor B. Apakah piagam Ligor B itu pasti dipahat lebi a uu
daripada piagam Kalasan?
Kelemahan jang ketiga tentang keturunan Sandjaja. Coedes berang­
gapan bahwa Idyah Pantjapana Panangkaran adalah keturunan rakai
Sandjaja, jang menerima perintah dari radja Sailendra Dharanindra
untuk membangun kembali tjandi Kelurak. Djika rakai Panangkaran

139
keturunan radja Sandjaja, mengapa piagam Kalasan jang dikeluarkan
oleh rakai Panangkaran tidak menggunakan tahun perhitungan San­
djaja seperti piagam Gata dan Tadji Gunung? Kedua piagam ini djelas
menggunakan Sandjajawarsa dan bertarich tahun Saka 693 dan 694.
Enam tahun sebelum rakai Panangkaran mengeluarkan piagam Kala­
san, D jaw a Tengah diperintah oleh keturunan Sandjaja. Sekonjong-
konjong dengan timbulnja rakai Panangkaran pemakaian Sandjaja­
warsa itu hilang dan jang nampak ialah pernjataan bahwa rakai
Panangkaran adalah keturunan Sailendra. Djustru pernjataan itu me­
nurut anggapan saja djelas menundjukkan, bahwa rakai Panangkaran
bukan keturunan radja Sandjaja, berbeda dengan radja-radja sebelum-
nja. Coedes beranggapan bahwa rakai Panangkaran adalah radja
bawahan jang menerima perintah dari Dharanindra untuk membangun
tjandi Kelurak. Pada baris 6 piagam Kalasan djelas tertjatat: maha-
rajam dyah Pancapanam Panangkavanam. Gelar maharadja tidak
mungkin digunakan oleh radja bawahan.
Kelemahan jang keempat.
Telah disinggung dimuka keberatan saja tentang anggapan Coedes
bahwa rakai Panangkaran adalah keturunan radja Sandjaja. Lain dari­
pada kenjataan bahwa rakai Panangkaran tidak menggunakan tarich
tahun Sandjaja, perbedaan agama jang dianut oleh radjakula Sailen­
dra dan radjakula Sandjaja djuga merupakan keberatan. Radjakula
Sandjaja beragama Siwa, berkiblat ke India Selatan seperti ternjata
pada pembangunan tjandi Siwa ditempat jang disebut Kundjarakundja-
desa, tertjatat pada piagam Tjanggal. Rakai Panangkaran menganut
agama Buda Mahayana, berkiblat ke Benggala sebagai pusat agama
Buda Mahayana.
Kelemahan jang kelima tentang perbedaan dewa persembahan. D i
Fu-nan radja jang memerintah pada tahun 620 ialah keturunan radja­
kula gailaraja. Radjakula jang memerintah di Djaw a Tengah dan Sri-
widjaja adalah gailendra. Meskipun kata raja dan indra boleh dikata­
kan sinonim, namun sebagai nama berbeda. Pada piagam-piagam
Sailendra baik jang dikeluarkan oleh radja-radja Sriwidjaja maupun
oleh radja-radja Djaw a Tengah tidak pernah terdapat kata gailaraja,
tetapi selalu gailendrawamga. Perbedaan itu akan lebih njata lagi, djika
kita memperhatikan dewa persembahan atau agamanja. Radja-radja
Fu-nan jang menjebut dirinja keturunan radjakula gailaraja menjembah
dewa Siwa, sedangkan radja-radja Sailendra di D jaw a Tengah dan
Sriwidjaja memeluk agama Buda Mahayana. Menurut Coedes dalam
kronik sedjarah Tionghwa tertjatat bahwa pada abad kelima seorang
pendeta Nagasena berangkat ke Tiongkok sebagai utusan radja Fu-nan.
Pendeta itu mentjeriterakan, bahwa di Fu-nan ada gunung sutji ber­

140
nama Mo-tan. Gunung itu tempat bersemajam dewa Siwa. Semua radja
Fu-nan menjebut dirinja parwatabhûpâla artinja: radja gunung; sama
dengan girinata. Kemudian Coedès mengutip piagam Sri Isanawar-
man, radja Kambodja dari tahun 620 jang bunjinja: Radja Isanawarman,
jang memperoleh kesukaan dalam menemani para pendeta, setelah
mendjeladjah tempat-tempat, memperoleh ' kedudukan sebagai radja
gunung (çailarâja).
Kalimat itu ditafsirkan oleh Coedès, bahwa radja Isanawarman
setelah merebut seluruh keradjaan Fu-nan, kemudian mendjadi radja
dan menggunakan sebutan çailarâja. Coedès selandjutnja mengutip
piagam Djajawarman II di Sdok Kak Thom dari tahun 802 jang me-
njatakan, bahwa sekembalinja radja Djajawarman dari Djawa, dan
mendirikan ibukota diatas bukit Mahendra, Kamboja-deça tidak lagi
mendjadi negeri bawahan Djawa. Dalam keradjaan itu hanja ada satu
radja jang memerintah. Djajawarman mendjelaskan, bahwa negara
Kambodja memeluk agama dewarâja (agama Siwa). Berdasarkan
peristiwa tersebut diambil kesimpulan, bahwa setelah penundukan
radja Fu-nan, timbullah hubungan kekeluargaan antara Djawa dan
Kambodja. Radja Djawa kemudian mengambil alih sebutan çailarâja
sebagai sebutan radjakula.
Teori Coedès diatas telah ditinggalkan sedjak tahun 1950, ketika
ia menerbitkan karangannja Le Çailendra, tueur des héros ennemis da­
lam Bingkisan Budi. Seperti telah diuraikan diatas, Coedes beranggap­
an, bahwa radja Sailendra jang pertama memerintah di Semenandjung
seperti tertjantum pada piagam Ligor B. Sebutan çailendra diperoleh
sesudah perkawinan putera radja W^isnu dengan puteri Fu-nan. ^Visnu
adalah radja Sriwidjaja.
Teori Coedès terbentur pada pelbagai kesulitan. Namun harus di­
akui fcahwa j3ngg.apann}a adalah salah satu hasil penjelidikan sedjarah
Sriwidjaja sesudah perang dunia kec(ua, Usaha ■ /.tu haras disambut
dengan baik, meskipun hasilnja belum memuaskan. Djustru hal itu
membuktikan, betapa sulitnja persoalan sedjarah Sriwidjaja. Anggapan
Coedès itu diterima baik oleh Prof. Dr. F.D.K. Bosch dalam karang­
annja Çriwijaya, de Çailendra- en de Sanjayawamça, jang termuat dalam
B.K.I. 108 tahun 1952 hal. 113-123. Karangan itu dilengkapi dengan
lampiran silsilah radja-radja Sailendra dalam hubungannja dengan
radja Fu-nan dan radjakula Sandjaja. Dalam silsilah itu njata sekali
bahwa Bosch beranggapan bahwa rakai Panangkaran adalah ketu­
runan radja Sandjaja. Radja W isnu (piagam Ligor) mempunjai hu­
bungan dengan radja Sandjaja; Dharmasètu adalah radja Sriwidjaja,
mempunjai puteri jang bernama dewi Tara, jang kawin dengan Sama-
ragrawira (piagam Nalanda). Samaragrawira disamakan dengan Sa-

141
maratungga. Seperti kita ketahui Samaragrawira adalah ajah Balapu-
tradewa. M enurut silsilah Bosch, puteri radja Fu-nan dari Somawangsa
kawin dengan rakai Panangkaran, keturunan Sandjaja. D ari perkawinan
itu lahir sri maharadja (piagam Ligor) dan rakai Panunggalan (piagam
Kedu). Teori baru Bosch jang didasarkan atas teori Coedes ini perlu
mendapat sorotan dalam bab S R IW ID JA JA D IB A W A H K E K U A S A A N
S A IL E N D R A .
Ini berarti bahwa Bosch telah melepaskan teorinja pada tahun 1941,
ketika ia menulis D e lnscdptie van Ligor dalam madjalan T .B.G .
L X X X I hal. 26 dst. Dalam tulisan itu ia mengulangi pendapat Dr.
Chhabra mengenai radja W isn u jang disamakan dengan W isnuw ar-
masya pada tjintjin perak dan achirnja mengambil kesimpulan, bahw a
pada tahun 775 seorang radja Sailendra jang bernama W is n u me­
merintah Sriwidjaja. Radja W isn u jang tertjatat pada piagam Ligor B
tidak lain daripada rakai Panunggalan, jang tertjatat pada piagam
Kedu jang dikeluarkan oleh radja Balitung pada tahun 907. R akai
Panunggalan itu sama dengan Samarottungga pada piagam Karang
Tengah, dan Samarottungga adalah Samaragrawira pada piagam Na-
landa. Beliau adalah putera rakai Pantjapana Panangkaran, jang ter­
sebut pada piagam Kalasan dari tahun 778. Pada piagam Kelurak
radja Pantjapana Panangkaran menjebtft dirinja pembunuh musuh per­
wira jakni wairiwarawirawimardana dan pada piagam N alanda disebut
wirawairimanthana, dengan arti jang sama.
D jalan pikiran Coedes dalam pembahasan piagam Ligor B sedjadjar
dengan djalan pikiran van Naerssen dalam pembahasan piagam K a­
lasan. Dalam karangannja The Qailendra Interregnum jang termuat da­
lam India Antiqua tahun 1947 hal. 249 — 253. V a n Naerssen meng­
utarakan, bahwa pada piagam Kalasan ia melihat adanja dua radja.
Jang satu ialah rajasingha, termasuk dalam wangsa Sailendra; jang
lainnja ialah dyah Pantjapana Panangkaran, termasuk wangsa Sandjaja,
Radja Panangkaran ada dibawah kekuasaan radja Sailendra jang tidak
disebut namanja. V a n Naerssen beranggapan bahwa ketika rakai P a­
nangkaran menggantikan ajahnja jakni radja Sandjaja, keradjaan M a ­
taram diserbu dari luar oleh wangsa Sailendra, jang memeluk agama
Buda. Serbuan itu berhasil baik. Oleh karena itu rakai Panangkaran
mendjadi radja bawahan Sailendra; agama Siwa jang selama pe­
merintahan Sandjaja mendjadi agama resmi dalam keradjaan M ataram ,
diganti dengan agama Buda M ahayana. Sedjak itu maka keradjaan
Mataram dikuasai oleh radja-radja dari wangsa Sailendra, sedangkan
radja-radja keturunan Sandjaja terdesak. Keadaan jang demikian itu
berlangsung sampai pertengahan abad 9, ketika rakai Panangkaran
timbul dan berhasil memegang tampuk pimpinan pemerintahan. Rakai

142
Pikatan adalah keturunan tingkat lima dari radja Sandjaja. Beliau ti­
dak bergelar maharadja, tetapi ratu sadja. Baru setelah rakai Kaju-
wangi berkuasa, gelar maharadja itu digunakan. Rakai Kajuwangi
adalah putera rakai Pikatan. Dengan timbulnja rakai Kajuwangi dengan
gelar maharadja itu maka kekuasaan radjakula Sailendra berachir sama-
sekali.

Anggapan bahwa rakai Panangkaran adalah putera radja Sandjaja


telah tjukup banjak dikemukakan oleh para sardjana. Terhadap ang­
gapan itu telah saja kemukakan keberatan saja dalam Ichtisar Pe­
nulisan Sedjarah Sriwidjaja. Dengan djelas piagam Kalasan menjebut
bahwa Dyah Pantjapana Panangkaran adalah hiasan radjakula Sai­
lendra. Piagam Kalasan pada 5. Ungkapan itu berarti bahwa rakai
Panangkaran djustru salah seorang radja dari radjakula' Saileindra.
Bahkan pada hakekatnja ia adalah radja Sailendra jang pertama di
Djaw a Tengah sepandjang pengetahuan kita dari piagam-piagam.
Bahwa rakai Panangkaran tidak menggunakan Sandjajawarsa seperti
radja-radja lainnja pada piagam Gata dan Tadji Gunung, tetapi de­
ngan tegas menjatakan bahwa beliau adalah hiasan radjakula Sailen­
dra, adalah pernjataan jang tjukup tegas, bahwa rakai Panangkaran
bukan keturunan radja Sandjaja. Oleh karena itu tidak mungkin bahwa
rakai Panangkaran adalah radja bawahan radjakula Sailendra jang
berasal dari luar. Menurut anggapan saja djustru rakai Panangkaran
itulah jang merobohkan atau mengachiri kekuasaan radjakula Sandjaja.
Dengan timbulnja radjakula Sailendra di Mataram jang dimulai oleh
rakai Panangkaran, dengan sendirinja radjakula Sandjaja terdesak.
Radjakula Sandjaja timbul kembali dengan muntjulnja rakai Pikatan
jang berhasil kawin dengan Pramodawardhani, puteri keturunan wang-
sa Sailendra, dan kemudian menghalau Balaputeradewa dari bumi M a ­
taram.

Oleh karena baik teori van Naerssen maupun teori Coedes terbentur
pada pelbagai kesulitan seperti diuraikan diatas, maka kiranja lebih
beralasan untuk mengemukakan bahwa adanja radjakula Sailendra
di Djaw a Tengah lebih dahulu daripada di Semenandjung seperti jang
tertjatat pada batu Ligor menurut tafsiran Coedes. Rakai Panangkaran
jang bergelar maharadja dan menjebut dirinja hiasan radjakula Sai­
lendra, sebelum mendirikan tjandi Tara pada tahun 778, pasti sudah
mendjadi radja. Ini berarti bahwa ketika griwijayaraja mengeluarkan
piagam Ligor A pada tahun 775, rakai Panangkaran telah bertachta
dan bergelar maharadja, karena piagam Tadji Gunung sebagai piagam
jang terachir dari radjakula Sandjaja bertarich tahun 772. Antara tahun
772 dan 778 itulah berachirnja kekuasaan radjakula Sandjaja dan tim-

143
bulnja kekuasaan radjakula Sailendra, jang dimulai oleh dyah Pantja-
pana rakai Panangkaran.
Suatu kenjataan ialah bahwa di Semenandjung diketemukan batu
piagam dengan pemberitaan tentang adanja radjakula Sailendra, di
D jaw a Tengah kedapatan pula piagam Sailendra dengan tarich tahun
778. Adakah hubungan antara dua radjakula Sailendra itu? D jika ada,
mana buktinja? Itulah persoalannja. Tidak dapat disangkal bahwa
piagam radjakula Sailendra di Semenandjung itu ditulis pada batu jang
sama dengan piagam Sriwidjaja dari tahun 775. Bagaimana hubungan
antara piagam A dan piagam B itu?
Mengenai hubungan Sriwidjaja dan radjakula Sailendra, Prof. Nila-
kanta Sastri dalam bukunja History of Qriwijaya menuliskan kesim­
pulan penjelidikannja demikian: „The relations between Sriwijaya and
the Sailendras would appear to have been on the whole friendly, and
together they spread their power for a time as far as Campa and Kam­
boja. This outer empire was short-lived, and at the beginning of the
ninth century Kamboja became independent of the southern power.
About the middle of that century a Sailendra prince comes to occupy
the throne of C^riwijaya which then becomes the seat of the maharaja.
Possibly Qailendera rule continued in Java for some time longer, and
if that be so, there were two branches of this celebrated line ruling
in Sumatra and Java for a while.”
Jang menimbulkan persoalan ialah siapa „Sailendra prince" jang
dikatakan oleh prof. Nilakanta Sastri merebut tachta Sriwidjaja itu?
Diantara piagam Sailendra dari Djaw a Tengah jang paling menarik
perhatian mengenai hubungan Sriwidjaja — Sailendra dalam abad 8
ialah piagam Kelurak. Piagam ini dikeluarkan oleh seorang radja dari
wangsa Sailendra jang menjebut dirinja Dharanindra pada tahun Saka
704 atau tahun Masehi 782. Beliau membangun artja Manjugri. Penje-
lenggaraannja diserahkan kepada seorang pendeta dari Gaudadwipa
bernama Kumaragosha. Artja Manjugri merupakan kesatuan Brahma,
W isn u dan Maheswara atau Siwa. Nam un piagam tersebut sudah
sangat rusak. Banjak kata-katanja jang tidak dapat lagi dibatja.
Djika kita meneliti piagam Kedu, jang menjebut radja-radja M edang
di Poh Pitu, nama Dharanindra tidak tersebut disitu. Piagam Kedu
memang tidak menjebut nama pribadi radja-radja Mataram, ketjuali
ratu Sandjaja. Jang disebut disitu hanjalah gelar rakai, diikuti nama
tempat seperti W arak, Garung, Pikatan, Panangkaran dsb. Djelas
sekali bahwa nama pribadi rakai Panangkaran ialah Pantjapana, namun
nama Pancapana tidak disebut pada piagam Kedu. Saja kira nama
Dharanindra djuga nama pribadi salah satu diantara 8 radja jang di­
sebut pada piagam Kedu. Meskipun waktu pengeluaran piagam itu

144
t '

hanja berselisih 4 tahun dengan pengeluaran piagam Kalasan, namun


karena sang radja menjebut dirinja Dharanindra, sedangkan pada pia­
gam Kalasan dyah Pantjapana, maka kiranja Dharanindra ini berbeda
dengan Pantjapana alias rakai Panangkaran. Selisih waktu jang terlalu
pendek itu menimbulkan dugaan bahwa Dharanindra adalah putera
dan pengganti Pantjapana. Djika anggapan itu benar, maka Dhara­
nindra harus maharadja rakai Panunggalan, karena dalam urutan nama
radja-radja Medang rakai Panunggalan disebut sesudah rakai Panang­
karan. Nama Dharanindra artinja radja djagat, adalah nama tambahan
W isnu, karena W isnu mempunjai tugas untuk membina dunia. Ke­
samaan antara radja dan dewa W isnu dalam membina keradjaan sudah
meresap dalam kesusateraan dan kehidupan. Demikianlah !Dharanin~
dra atau Dharanidhara: pendjaga, pendukung dunia, tidak aneh di­
gunakan sebagai nama radja. Nama Dharanidhara atau Dharanindra
. adalah Dewa W isnu. Jang agak mentjolok ialah adanja kesamaan nama
dan radjakula antara radja jang tersebut pada piagam Ligor B dan
piagam Kelurak. Kedua-duanja adalah keturunan radjakula Sailendra.
Jang satu bernama W isnu, lainnja bernama Dharanindra. Nama D ha­
ranindra adalah sinonim dari nama W isnu. Piagam Kelurak boleh
dikatakan sezaman dengan piagam Ligor. Berdasarkan pandangan
diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa kedua piagam itu di­
keluarkan oleh satu radja, jakni oleh rakai Panunggalan. Demikianlah
rakai Panunggalan mempunjai nama pribadi Dharanindra. Kelandjutan
dari kesimpulan ialah, bahwa daerah Ligor pada achir abad 8 diperin­
tah oleh radja dari radjakula Sailendra jang berasal dari Djawa Te­
ngah, tegasnja oleh rakai Panunggalan.
Ini berarti bahwa radja Sriwidjaja jang mengeluarkan piagam Li­
gor A merupakan radja jang terachir dari keluarga radja jang dalam
bahasa Sriwidjaja bergelar dapunta hyang. Kekuasaan Sriwidjaja di-
daerah Ligor diambil alih oleh radja dari radjakula Sailendra dari
Djawa Tengah, jakni oleh rakai Panunggalan.
Nama desa Panunggalan disebut beberapa kali dalam prasasti di-
antaranja dalam prasasti K.O. IX . Desa Panunggalan terletak didaerah
Purwadadi, Djaw a Tengah. Politik perluasan daerah diluar Djawa
memang dilakukan oleh tentara Djawa pada pertengahan abad 8. M e­
nurut tjatatan sedjarah Annam pada tahun 677 Tongkin mengalami
serangan musuh dari Ch o-po dan K’un-lun. Namun serangan itu tidak
berhasil. Tentara musuh dapat dipukul mundur oleh gubernur Ch ang-
po-yin didekat Son-tay dan diusir kembali kelaut. Piagam Sansekerta
dari Po Ngar menguraikan bahwa pada tahun 774 Tjampa diserang
oleh tentara asing jang warna kulitnja hitam, tindakannja sangat ke-
djam dan datang dengan perahu. Mereka merebut lingga dan mem-

145
bakar tjandi. Namun mereka dapat dikalahkan oleh radja Satyawarman.
Pada tahun 787 tentara Djawa datang lagi dengan perahu dan mem­
bakar tjandi lain. Pada tahun 802 radja Kambodja Djajawarman me­
ngatakan, bahwa pada tahun itu Kambodjadesa berhenti djadi djadjahan
Djawa. Peristiwa-peristiwa tersebut membuktikan adanja politik per­
luasan daerah atau perluasan kekuasaan oleh radjakula Sailendra di
Djawa. Kita berhenti pada pernjataan bahwa pada tahun 787 tentara
Djaw a datang menjerang Tjampa dan pada tahun 802 Kambodjadesa
berhenti djadi djadjahan Djawa. Ini berarti bahwa sebelum tahun 802
Kambodja djadi djadjahan Djawa.
Tahun 787 adalah masa pemerintahan rakai Panunggalan atau Dha-
ranindra. Tentara Djawa pada waktu itu menjerang Tjampa. Kiranja
tidak mustahil bahwa Ligor, daerah Sriwidjaja jang terletak dipantai
timur Malaja, mendapat serangan lebih dahulu daripada Tjampa. Pada
tahun 775 radja Sriwidjaja masih berkuasa didaerah Ligor. Demikian­
lah pengambil alihan kekuasaan daerah Ligor oleh rakai Panunggalan
harus terdjadi antara tahun 775 dan 787. Djika demikian maka pe­
mahatan piagam Ligor B harus terdjadi pada waktu-waktu itu jakni
antara tahun 775 dan 787. Piagam Ligor B lalu merupakan proklamasi
kekuasaan radjakula Sailendra dari Djawa Tengah didaerah Ligor.
Ligor didjadikan pangkalan untuk menjerang Kambodja dan Tjampa.
Kekuasaan Sriwidjaja di Semenandjung dipatahkan oleh tentara Djaw a
dari Djawa Tengah dibawah pemerintahan dyah Dharanindra rakai
Panunggalan.

146
VI

R A D JA K U LA S A IL E N D R A D I D J A W A T E N G A H

Prasasti Kedu

Untuk mengetahui bagaimana hubungan radjakula Sailendra di


Sriwidjaja dengan radjakula Sailendra di Djawa, perlu kita mengada­
kan sekadar tindjauan tentang perkembangan keradjaan Sailendra
di Djawa Tengah. Untuk tudjuan tersebut perlu kita memperhatikan
prasasti-prasasti jang pernah dikeluarkan oleh radjakula Sailendra di
Djawa dan prasasti-prasasti lainnja, jang dapat memberikan keterangan
tentang keradjaan Sailendra di Djawa Tengah.
Salah satu piagam jang didjadikan pegangan ialah piagam Kedu,
jang dikeluarkan oleh radja Balitung pada tahun 907. Piagam Kedu
telah diterbitkan oleh Dr. W .F . Stutterheim dalam T.B.G. L V II hal.
172 dan seterusnja, pada tahun 1927. Piagam Kedu menjebut nama
delapan radja jang pernah memerintah Medang diwilajah Poh Pitu,
dan jang mendahului radja Balitung. Kedelapan radja itu semuanja
bergelar sri maharadja ketjuali Sandjaja. Sandjaja bergelar sang ratu.
Kedelapan radja itu semuanja tanpa ketjuali menggunakan sebutan
rakai. Penjebutan radja-radja itu didahului dengan utjapan Rahyang
ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu: pembesar-pembesar dahulukala jang
memerintah di Medang di Poh Pitu. Kedelapan radja itu lalu disebut
berturut-turut seperti berikut:
1. Sang Ratu Sandjaja, rakai Mataram.
2. Sri Maharadja rakai Panangkaran.
3. Sri Maharadja rakai Panunggalan.
4. Sri Maharadja rakai W arak.
5. Sri Maharadja rakai Garung.
6. Sri Maharadja rakai Pikatan.
7. Sri Maharadja rakai Kajuwangi.
8. Sri Maharadja rakai W atuhumalang.
Dari delapan radja itu jang disebut namanja pribadi hanja radja
Sandjaja. Lainnja hanja disebut dengan gelar rakai jang diikuti nama
tempat. Dengan sendirinja lalu timbul pertanjaan, siapa nama pribadi
atau nama abhiseka radja-radja jang tudjuh itu. Hingga sekarang kita
belum berhasil sepenuhnja untuk mentjari nama-nama pribadi atau
nama-nama abhiseka ketudjuh radja tersebut. Nama pribadi rakai P a­
nunggalan dan rakai W a ra k hingga saat ini belum lagi diketemukan.
Lima radja lainnja berkat penelitian pelbagai piagam sudah dapat
diketahui.

147
Sudah djelas bahwa di Djaw a Tengah hanja ada 8 radja, jang me­
merintah sebelum radja Balitung, sebelum tahun 907. Pada tahun 907
radja Balitung sudah memerintah. Dari piagam Tjanggal kita ketahui
dengan pasti bahwa radja Sandjaja telah memerintah pada tahun 732.
Berapa tahun lamanja beliau sudah memerintah ketika mendirikan
lingga diatas gunung W u k ir, tidak dapat diketahui. Demikianlah dela­
pan radja itu memerintah di Djawa Tengah dalam pangsa waktu ta­
hun 732 — 907, lebih kurang 175 tahun. Masa pemerintahan Sandjaja
sebelum tahun 732 dan Balitung sebelum tahun 907 tidak ikut diper­
hitungkan.
Piagam Kedu adalah piagam persumpahan, jang menjebut nama-nama
radja jang telah dimakamkan. Pangsa waktu 175 tahun pada hakekat-
nja bukan pangsa waktu jang pandjang. Radja jang memerintah ada­
lah tokoh-tokoh jang dikenal oleh masjarakat. Oleh karena itu penje-
butan 8 nama radja itu kiranja dapat dipertjaja. Kiranja tidak ada
maksud untuk menjelundupkan nama radja lain atau dengan sengadja
tidak memberitakan radja jang tidak disukainja, mengingat bahwa pada
masa itu kultus persembahan atau pendewaan nenek-mojang se­
dang berkembang. Balitung atau pemahat piagam pasti mempeladjari
nama radja-radja jang bersangkutan lebih dahulu. Tidak ada alasan
untuk meragukan kebenaran pemberitaan piagam tersebut. Bahwa
kemudian diketemukan nama-nama radja jang tidak termasuk dalam
daftar piagam Balitung, dapat ditafsirkan bahwa radja-radja jang
bersangkutan tidak termasuk radja-radja jang memerintah di Poh Pitu.
Selain keradjaan Mataram, di Djaw a Tengah pada waktu itu pasti
masih ada keradjaan-keradjaan lain. W ilajah keradjaan pada waktu
itu tidak bisa digambarkan dengan djelas, namun dapat dipastikan,
bahwa kebanjakan keradjaan pada waktu itu merupakan keradjaan
ketjil-ketjil.
Djuga tidak dapat dibuktikan, apakah urutan radja-radja jang
djumlahnja 9 dengan Balitung itu termasuk satu dinasti, jang bisa
disebut dinasti atau wangsa Sandjaja; berhubung Sandjaja adalah
radja jang pertama. Djuga masih diragukan apakah radja-radja jang
disebut itu memerintah berturut-turut dari bapak keanak, atau di-
antaranja terselip pula radja dari wangsa lain. Bagaimana hubungan
antara radja jang satu dengan radja jang lain, tidak diketahui dengan
pasti. Ketjuali piagam Kedu di Djaw a Tengah masih banjak lagi di­
ketemukan prasasti-prasasti jang menjebut nama radja jang tidak
tertjantum pada daftar nama radja prasasti Kedu. Bagaimana hubungan
antara radja-radja tersebut dengan radja pada, prasasti Kedu, masih
perlu diselidiki. Demikianlah pada hakekatnja persoalan wangsa Sai-
lendra di Djaw a Tengah itu masih sangat rumit.

148
Pada prasasti Kedu djelas dinjatakan bahwa radja-radja jang ter­
sebut pada prasasti itu pernah memerintah di Medang * °
Hingga sekarang kita tidak mengetahui dimana letaknja o itu.
Pada piagam lain akan kita djumpai pula nama Medang, jang tida
dihubungkan dengan Poh Pitu, tetapi dengan Mataram dan amrati.
Dimana letaknja tempat-tempat tersebut dan apa sebab-seba nja tim
bui tiga nama tersebut, masih memerlukan penelitian lebi an jut.
Lokalisasi tempat-tempat itu tidaklah mudah. Sandjaja memelu
Siwa, tetapi rakai Panangkaran djelas memeluk agama Buda Maha-
yana. Apakah sebabnja maka timbul perubahan agama dalam e-
hidupan wangsa Sandjaja, djika Panangkaran adalah benar putera
rakai Mataram, sang ratu Sandjaja? Djelas bahwa Sandjaja bergelar
sang ratu. Mengapa sekonjong-konjong rakai Panangkaran bergelar
sri maharadja? Hal-hal tersebut merupakan persoalan jang perlu di­
perhatikan, djika kita ingin mengetahui perkembangan wangsa Sai-
lendra di Djawa Tengah. Tidak semua soal itu dapat dipetjahkan
setjara memuaskan karena bahan sedjarah jang diperlukan tidak
mentjukupi. Bahwa kita menjadari adanja persoalan-persoalan itu,
adalah suatu tanda bahwa kesadaran sedjarah itu telah timbul,, telah
mulai tumbuh dikalangan masjarakat Indonesia. Kesadaran sedjarah
itu dengan sendirinja akan mendorong kita untuk mentjari pendje-
lasan tentang soal-soal jang belum kita ketahui.
Untuk memperoleh sekadar gambaran tentang perkembangan ke-
radjaan Sailendra di Djawa Tengah, perlu kita menindjau prasasti-
prasasti jang dikeluarkan oleh radja-radja Sailendra sendiri dan
prasasti-prasasti jang dikeluarkan oleh radja-radja jang disebut pada
prasasti Kedu, meskipun tindjauan tentang prasasti-prasasti itu tidak
akan sangat mendalam. Kita mulai dengan penindjauan prasasti
Tjanggal, jang dikeluarkan oleh sang ratu Sandjaja.

Prasasti Tjanggal dan Sandjaja


Prasasti Tjanggal ditulis dalam bahasa Sansekerta, bertarich tahun
Saka 654 atau tahun Masehi 732. Prasasti tersebut diketemukan di-
atas gunung W u k ir di Tjanggal, desa Kadiluwih, distrik Salam di
Kedu Selatan, diterbitkan oleh Kern pada tahun 1885 dalam B.K.I.
djilid X, dimuat kembali dalam V .G . V II hal. 115 dan seterusnja.
Prasasti Tjanggal dikeluarkan oleh radja Sandjaja pada waktu men­
dirikan lingga diatas gunung W ukir, diketemukan didekat puing-pu­
ing tjandi. ,
Isinja. Prasasti Tjanggal terdiri dari 12 pada. Pada 1 mengurai­
kan pembangunan lingga oleh radja Sandjaja diatas gunung. Pada

149
4 memuat pudjaan kepada dewa Siwa. Pada 5 memuat pudjaan
i j Brahma. Pada 6 adalah pudjaan kepada dewa W isnu,
terhadap dewa d « “ “ . . u i • 1
Pada 7 menguraikan pulau Djawa, jang sangat subur, kaja akan
t ban mas dan banjak menghasilkan padi. Dipulau itu didirikan
ml' Siwa demi kebahagiaan penduduk, berasal dari Kundjarakun-
d' desa (di India Selatan). Pada 8-9 menguraikan bahwa pulau Djawa
rl intah oleh radja Sanna, jang sangat bidjaksana, adil dalam tin-
d kannja perwira dalam peperangan, bermurah hati kepada bawah-
n'a (rakjat). Ketika radja Sanna wafat, negara berkabung, sedih
karena kehilangan pelindung. Pada 10-11 menguraikan pengganti
rad'a Sanna jakni puteranja, radja Sandjaja. Sandjaja dikiaskan de-
taliari Beliau menerima kekuasaan tidak langsung dari radja
ngan matanai*-
Sanna tetapi dari kakaknja perempuan. Pada 12 menguraikan kese­
jahteraan, keamanan dan ketenteraman negara. Rakjat dapat tidur
ditengah djalan, tidak usah takut akan pentjuri dan penjamun atau
kedjahatan lainnja. Rakjat hidup serba senang.
Dari piagam Tjanggal njatalah bahwa radja Sandjaja memeluk
agama Siwa dan berkiblat ke India Selatan. Nama Kundjara atau Kun-
djaradari terdapat di India Selatan, terkenal sebagai tempat pertapaan
Agastya. Kundjaradari adalah pusat agama Siwa. Boleh dipastikan
bahwa nenek-mojang radja Sandjaja berasal dari India Selatan, tegas-
nja dari tempat jang namanja Kundjaradari. Penjebutan nama San­
djaja pada prasasti Balitung terbukti tjotjok dengan kenjataan. Nama
Sandjaja memang kedapatan pada prasasti Tjanggal. Sandjaja diang­
gap sebagai radja pertama di Mataram dan disebut rakai Mataram,
sedangkan prasasti Tjanggal jang dikeluarkan oleh radja Sandjaja
sendiri menjatakan, bahwa sebelum radja Sandjaja, Djawa telah di­
perintah oleh ajah beliau jang bernama radja Sanna. Satu hal lagi jang
perlu diperhatikan ialah pernjataan bahwa pulau Djawa kaja akan
tambang mas. Moens dalam karangannja £ nvijaya, Yava en Kataha
(T.B.G. L X X V II hal. 386-387) segera menghubungkan Yaw a pada
prasasti Tjanggal itu dengan Ye-po-ti, sebagai transkripsi Tionghwa
dari Yawadwipa, jang diidentifikasikan dengan Semenandjung M e­
laju, karena pulau Djawa tidak pernah dikenal sebagai pulau mas atau
pulau jang menghasilkan mas. Baik Yawadwipa dalam kekawin Sanse-
kerta Ramayana maupun pemberitaan Ptolomeus tentang Chryso Cher-
sonesos bertalian dengan Semenandjung, tidak dengan pulau Djaw a.
Menurut pendapatnja radja Sandjaja diusir dari Kataha dan lari ke
Djawa. D i Djaw a beliau mendirikan keradjaan di Djaw a Tengah.
Apa jang ditjeriterakan pada prasasti Tjanggal tentang D jaw a adalah
ingatan kepada tempat tinggalnja jang lama jakni Semenandjung.
Tjandi Siwa jang diuraikan pada pada 7 tidak pernah terdapat di Dja-

150
wa. tetapi di Semenandjung. Djuga radja Sannaha tidak memerintah
Djawa. Radja Sanna hidup dan wafat di Semenandjung. Kesedjah-
teraan rakjat jang diuraikan dalam prasasti Tjanggal adalah kesedjah-
teraan rakjat di Semenandjung. Pusat keradjaan Yaw adw ipa adalah
Kedah. Moens berusaha untuk mengidentifikasikan Cho-po dengan
Djawa (Yawadwipa) jang dilokalisasikan di Semenandjung. karena
timbulnja keradjaan Sriwidjaja jang segera menguasai Selat M alaka
dan menjerang Semenandjung, maka radja Sandjaja berhasil diusir
dari Kedah dan melarikan diri ke Djawa. Demikianlah pendapat
Moens.

Piagam-piagam jang menggunakan perhitungan tarich tahun San­


djaja ada dua, jakni piagam Gata dekat Prambanan dengan tarich
Sandjajawarsa 693 (O.J.O. X X X V ) dan piagam Tadji Gunung djuga
dekat Prambanan dengan tarich Sandjajawarsa 694 atau tahun M a ­
sehi 772 (O.J.O. X X X V I) , djadi 40 tahun sesudah prasasti Tjanggal.
Nama radjanja tidak djelas, tetapi radjanja terang bergelar sri maha-
radja, dan nama abhisekanja berachir dengan tunggawidjaja. Nama
itu terdapat pada baris 4 dan 5:
gri maharaja daksottamabahubajrapratipaksaksaya gri .......
nggawijaya, tumurun i rakryan mapatih halu, sirikan, muang.
Oleh karena kedua piagam tersebut menggunakan tarich Sandjaja-
warsa, boleh dipastikan bahwa radja jang namanja tersebut pada pia­
gam Gata adalah keturunan radja Sandjaja.
Prasasti Tadji Gunung tidak menjebut nama radja, hanja menjebut
mahamantri rakryan Gurunwangi. Benar pada prasasti itu disebut
Sri Sandjaja naranata, tetapi didahului dengan kata nguni: dahulu.
Pada waktu itu radja Sandjaja sudah wafat. Oleh karena selisih waktu
hanja satu tahun sadja dengan prasasti Gata, maka boleh dipastikan
radja jang memerintah sama dengan radja jang mengeluarkan prasasti
Gata. Lagipula baik prasasti Gata maupun prasasti Tadji Gunung
menggunakan Sandjajawarsa.
Peristiwa tersebut saja anggap penting, karena pada prasasti itu
djelas bahwa keturunan Sandjaja djuga bergelar sri maharadja dan
mengambil nama abhiseka dengan tangga. Lagipula masa pemerin-
tahannja djelas dinjatakan dengan tarich tahun jakni tahun 771 dan
772. De Casparis dalam perhitungan bahwa setiap radja memerintah
20 tahun untuk mengisi pangsa waktu 175 tahun, sampai kepada per­
hitungan, bahwa rakai Panangkaran memerintah mulai 760 780 dan
seterusnja. Prasasti Gata dan Tadji Gunung tidak ditulis dalam bahasa
Sansekerta seperti prasasti Tjanggal, Kalasan, Karang Tengah dll.,

151
tetapi dalam bahasa Djawa kuno. Prasasti ini segera kita hubungkan
dengan prasasti Kalasan jang bertarich tahun 778 dan ditulis dalam
bahasa Sansekerta.

Prasasti Kalasan dan rakai Panangkaran

Prasasti Kalasan ditulis dalam bahasa Sansekerta dengan huruf


Pra-Nagari, bertarich tahun Saka 700 atau tahun Masehi 778. Untuk
pertama kalinja prasasti tersebut diterbitkan oleh Dr. Brandes pada
tahun 1886 dalam T.B.G. 31 hal. 240-260. Pada tahun 1928 diterbit­
kan lagi oleh Bosch dalam T.B.G. 68 hal. 57-62.
Kalasan letaknja berdekatan sekali dengan Prambanan, boleh dikata­
kan hanja terpisah oleh sungai. Pada tahun 771 dan 772 Prambanan
masih ada dibawah kekuasaan sri maharadja Daksottamabahubadjra
Tunggadewa, keturunan radja Sandjaja. Pada tahun 778 Kalasan
mendjadi wilajah maharadja Pantjapana Panangkaran. Sudah pasti
bahwa Prambanan djuga termasuk wilajah radja Pantjapana Panang­
karan.
Isi prasasti: Pada 1; doa dan salam kepada Arya Tara, mudah-
mudahan para pemudjanja dapat mentjapai tudjuannja.
Pada 2-3. Para guru radja Sailendra mohon kepada maharadja
dyah Pantjapana Panangkaran, agar beliau membangun tjandi Tara.
Permohonan para guru itu ialah, agar dibangunlah artja dewi Tara
tjandinja dan beberapa rumah untuk para pendeta jang fasih akan
pengetahuan M ahayana W in a y a .'
Pada 4-6. Para pangkur, tawan dan tirip menerima perintah untuk
membuat tjandi Tara dan perumahan para pendeta. Tjandi Tara di­
dirikan didaerah makmur sang radja jang mendjadi hiasan radjakula
Sailendra untuk kepentingan para guru radja Sailendra. Pada tahun
Saka 700 maharadja Panangkaran selesai membangun tjandi Tara
tempat para guru melakukan persembahan.
Pada 7-9. Desa Kalasan dihadiahkan. Para pangkur, tawan dan
tirip, adyaksa desa dan para pembesar mendjadi saksi. Tanah jang
dihadiahkan oleh sang radja supaja didjaga baik-baik oleh para radja
keturunan wangsa Sailendra, oleh para pangkur, para tawan dan tirip
serta para pembesar jang bidjak turun-temurun. Selandjutnja sang
radja berulang kali minta kepada semua radja jang akan memerintah
kemudian, agar tjandi itu selama-lamanja didjaga untuk kebahagiaan
semua orang.
Pada 11-12. Berkat pembangunan wihara itu diharapkan semoga
semua orang memperoleh pengetahuan tentang kelahiran, memperoleh
tibavopapanna dan mengikuti adjaran Djina. Jang mulia kariyana

152
(rakyan) Panangkaran mengulangi lagi permintaan beliau kepada
semua radja jang akan menjusul untuk membina wihara itu a a
adaan jang sesempurna-sempurnanja.
Prasasti Kalasan tidak menggunakan perhitungan tarich tahun San-
dja ja seperti Gata dan Tadji Gunung. Nama radja jang disebut ialah
rakai Panangkaran dengan nama pribadinja dyah Pantjapana. ^ e ar
jang digunakan ialah maharadja. Untuk pertama kalmja diberita an
adanja radjakula Sailendra. Pada 2 menguraikan bahwa para guru
radja Sailendra mohon kepada maharadja dyah Pantjapana, rakai
Panangkaran untuk membangun tjandi Tara dan perumahan untuk
para pendeta.
Sudah sedjak tahun 1919 Prof. Ph. Vogel dalam artikelnja Het
Koninktijk Qnwijaya (B.K.I. 75 hal. 614) telah menjarankan untuk
memisahkan radja Sailendra (gailendraraja) dengan rakai Panangka­
ran. Pada tahun 1928 dalam terbitannja prasasti Kalasan Prof. Bosch
mengira bahwa gailendraräja dan rakai Panangkaran adalah radja Sri-
widjaja dan termasuk radjakula Sailendra. Pada tahun 1947 Dr. van
Naerssen mentjurahkan perhatiannja lagi kepada prasasti Kalasan
dan melihat adanja dua radja pada prasasti tersebut. Jang satu adalah
radja Sailendra jang tidak disebut namanja (dalam kata madjemuk
gailendrarajaguru); jang satu lagi ialah maharadja Dyah Pantjapana
Panangkaran. Artikel van Naerssen termuat dalam India Antiqua
hal. 249 - 253. V an Naerssen beranggapan bahwa maharadja Pantja­
pana Panangkaran adalah radja bawahan radja Sailendra jang tidak
disebut namanja itu. Radja Sailendra jang tidak disebut namanja itu
datang dari seberang lautan dan menguasai keradjaan rakai Panang­
karan. Beliau adalah pemeluk agama Buda.
Pandangan F.H .N . van Naerssen ini kemudian diambil alih oleh
de Casparis dalam Prasasti Indonesia I dan Bosch dalam karangannja
jang berdjudul (¿riwijaya, de Qailendra- en de Sanjayawamga jang akan
dibitjarakan segera. Mereka semuanja berpendapat bahwa radja ya
Pantjapana Panangkaran adalah radja bawahan radja Sailendra. e
gera timbul pertanjaan: Djika rakai Panangkaran adalah radja a
wahan radja Sailendra, mengapa para guru Sailendra minta kepa a
rakai Panangkaran untuk membangun tjandi Tara beserta wi aranja,
tidak langsung minta kepada radja Sailendra jang lebih berkuasa.
Permintaan guru-guru radja Sailendra itu membuktikan, bahwa ra ai
Panangkaran berkuasa atas daerahnja. Beliau berkuasa membebaskan
tanah dan desa demi kepentingan pembangunan tjandi dan wihara.
Permintaan itu adalah manifestasi pengakuan guru-guru radja Sailen­
dra terhadap kekuasaan rakai Panangkaran.

153
Pembebasan tanah demi kepentingan pembangunan tjandi dan w i­
hara dilakukan oleh radja jang berkuasa didaerahnja. Pada prasasti
Kalasan pemberian desa Kalasan sebagai hadiah demi pembangunan
tjandi Tara dan wiharanja dilakukan oleh rakai Panangkaran atas per­
mintaan para guru. Peristiwa itu sama dengan peristiwa pembebasan
tanah didesa Timbangan W un g k al demi pembangunan dharmma kawi-
kuati: tanah itu didjadikan tanah perdikan atau swatantra, bebas dari
padjak. Pembebasan desa Timbangan W ungkal dilakukan oleh sri ma-
haradja Daksottama Bahubadjra Tunggawidjaja pada tahun Saka 693
atau tahun Masehi 771, karena sri maharadja jang berkuasa. Perintah
pembebasan itu diberikan oleh sang prabu kepada rakryan mahamantri
dan rakryan Gurun W ang i. Dari peristiwa pembangunan tjandi Tara
beserta wiharanja dan penghadiahan desa Kalasan njatalah bahwa
rakai Panangkaran berkuasa penuh didaerahnja. Tidak ada radja lain
jang ada diatasnja.
Andaikata ada radja jang lebih berkuasa daripada rakai Panangkaran,
sudah pasti para guru itu akan minta kepada radja tersebut. Perintah
radja jang lebih berkuasa itu akan disampaikan kepada rakai Panang­
karan, seperti halnja dengan peristiwa pembangunan dharmma kawi-
kuan di Timbangan W ungkal. Gelar maharadja jang terdapat pada
prasasti Kalasan jang diperuntukkan bagi rakai Panangkaran pada
hakekatnja merupakan keberatan terhadap teori (pendapat) van
Naerssen, de Casparis dan Bosch. Dengan djelas pada awal pada 2
tertulis: maharajam dyah Pancapanam Panangkacanam: maharadja
Pantjapana Panangkarana. Gelar radja Sailendra pada piagam Ligor B
djuga sri maharadja. Timbul pertanjaan apakah ada perbedaan antara
gelar Pantjapana Panangkaran dan gelar radja Sailendra pada piagam
Ligor B itu? Saja kira tidak ada. Keterangan „hiasan radjakula Sai
lendra” atau „gailendrawamgatilaka” jang terdapat pada pada 5 ber­
talian dengan rakai Panangkaran. Dengan kata lain rakai Panangkaran
adalah radja Sailendra di Djawa Tengah. Beliau adalah radja Sailendra
Djawa Tengah jang pertama.
Mengapa para guru Sailendra mohon, agar sang prabu suka mem­
bangun tjandi Tara dan wihara untuk para pendeta? Pantjapana P a ­
nangkaran adalah radja daripada para guru tersebut, Pantjapana
sebagai radja Sailendra jang beragama Buda mempunjai kewadjiban
untuk mengembangkan agama Buda, djustru setelah berhasil mendiri­
kan keradjaan. Kita ketahui bahwa menurut piagam Tadji G ununa
dan piagam Gata jang djelas menggunakan tarich Sandjajawarsa, sri
maharadja Daksottama Bahubadjra Tunggawidjaja jang berkuasa
Sebagai keturunan Sandjaja beliau adalah pemeluk agama Siwa. Oleh
karena sekarang jang berkuasa adalah radja jang beragama Buda,

154
sudah selajaknja bahwa agama Buda mendapat perhatian. M ungkin
djuga pembangunan tjandi Tara dan wihara itu bertalian dengan
penebusan djandji sang radja kepada para guru, disamping persem­
bahan kepada nenek mojang seperti dikenal dalam agama Buda IVla-
hayana dimasjarakat Djawa Tengah. Pembangunan tjandi dan wihara
di Kalasan adalah manifestasi rasa terima kasih bahwa Pantjapana
berhasil menduduki tachta keradjaan.
Diantara radja-radja jang namanja tertjantum pada daftar silsilah
prasasti Kedu pada hakekatnja hanja rakai Panangkaran jang kita ke­
tahui namanja pribadi dengan djelas, karena nama pribadi itu ditjan-
tumkan pada piagam Kalasan djuga, berdampingan dengan gelar rakai.
Lain-lainnja tidak diketahui, atau djika diketahui, maka diketahui se-
tjara tidak langsung. Artinja pengetahuan itu diperoleh karena per­
bandingan dengan piagam-piagam lain. Ketjuali gelar rakai jang di­
ikuti nama tempat seperti dkenal pada prasasti Balitung (Kedu), radja
biasanja mempunjai nama pribadi dan nama abhiseka. Baik nama
pribadi maupun nama abhiseka ini perlu mendapat perhatian. M ungkin
sekali nama-nama dengan tungga jang terdapat pada beberapa piagam,
dan disangka chusus sebagai nama radja Sailendra oleh de Casparis,
adalah nama abhiseka rakai jang disebut pada prasasti Kedu. Satu-
satunja rakai pada prasasti Kedu jang disertai nama pribadi hanja
rakai Mataram, jakni sang ratu Sandjaja, jang djuga dikenal pada
piagam Tjanggal. Berkat prasasti Balitung (Kedu) kita mengetahui
bahwa radja Sandjaja disebut rakai Mataram. Dari piagam Tjanggal
sadja kita hanja mengetahui bahwa ada radja jang bernama Sandjaja.
Nama Mataram samasekali tidak disebut pada prasasti Tjanggal. D e­
mikian pula dengan nama-nama lainnja. Dari prasasti Balaputra -
Djatiningfat kita hanja mengetahui nama Djatiningrat. Nama rakai
Pikatan tidak disebut pada prasasti itu. Pengetahuan bahwa D jati­
ningrat adalah rakai Pikatan diperoleh akibat pembandingan pra­
sasti Kedu dengan prasasti Balaputra •— Djatiningrat. Demikianlah
kiranja dengan perbandingan itu kita mungkin berhasil mengiden­
tifikasikan beberapa nama dengan nama-nama radja pada prasasti
Kedu. Lagipula prasasti Kedu samasekali tidak menjatakan setjara
mutlak, bahwa nama-nama jang tertjantum pada prasasti itu semata-
mata keturunan radja Sandjaja. Bahkan nama sri maharadja Daksot-
tama Tunggawidjaja pada prasasti Gata jang djelas menggunakan
tarich Sandjajawarsa malah tidak disebut disitu. Apa jang dinjatakan
pada prasasti Kedu tidak lain daripada menjebut nama radja-radja
jang pernah memerintah di Poh Pitu dengan ungkapan rahyang ta vu-
muhun ri M edang ri Poh Pitu. M ungkin ada djuga radja Sailendra
jang pernah memerintah di Poh Pitu. Kiranja Medang ri Poh Pitu

155
bukan monopoli radja-radja keturunan radja Sandjaja sadja. Siapa
jang kuat dan berhasil merebut kekuasaan, dialah akan menduduki
tachta keradjaan.
Pada tahun 1950 seperti telah disinggung dimuka Coedes mengana­
lisa piagam Ligor B. Djalan pikiran Coedes sedjadjar dengan djalan
pikiran van Naerssen. Djuga Coedes melihat adanja dua radja pada
piagam Ligor B. Jang pertama adalah radja W isnu jang dianggapnja
sama dengan radja Sriwidjaja jang disebut pada piagam Ligor A dan
tidak masuk wangsa Sailendra; jang kedua ialah radja jang bergelar
sri maharadja dan termasuk radjakula Sailendra, tetapi namanja tidak
disebut. Hubungan antara radja W isnu dan radja Sailendra itu ialah
hubungan bapak dan putera. Akibat perkawinannja dengan puteri
Fu-nan radja W isnu dari Sriwidjaja memperoleh putera, jang bergelar
maharadja, dan termasuk radjakula Sailendra. Menurut anggapan Coe­
des itulah radja Sailendra jang pertama. Namanja tertjantum pada
piagam Kelurak, jakni Dharanindra. Epiteton radja Sailendra jang
pertama jakni „pembunuh musuh-musuh perwira” wairiwarawiramar-
dana pada piagam Kelurak, kedapatan kembali pada piagam *Ligor
dalam bentuk sarwwarimadawi(ma)thana dan pada piagam Nalanda
wirawairimathana. Epiteton itu adalah epiteton radja Sailendra D ha­
ranindra. Seperti telah diberitahukan dimuka karangan Coedes tersebut
dimuat dalam Bingkisan Budi tahun 1950.
Pada tahun 1952 Bosch menerbitkan karangannja jang berdjudul
Criwijaya, de (¡Sailendra- en de Sanjayawamsa dalam B.K.I. 108 hal.
113-123 dengan lampiran silsilah radja-radja Sailendra, radja ke­
turunan Sandjaja dan radja-radja Sailendra di Sriwidjaja, Baik ka­
rangan van Naerssen, maupun Coedes serta disertasi de Casparis
Prasasti Indonesia dibahas seperlunja dalam artikel Bosch tersebut.
Ia mengakui kegagalannja dalam usaha membahas persoalan piagam
Ligor pada tahun 1941 jang berdjudul De inscriptie van Ligor dalam
T.B.G. L X X X I hal. 26-38. Dalam terbitannja jang baru itu Bosch
mentjoba memberikan ichtisar tentang perkembangan dan hubungan
radjakula Sailendra di Sriwidjaja dan radjakula Sailendra di Djawa.
Bosch masih tetap beranggapan bahwa radja Dharmasetu jang tertjatat
pada piagam Nalanda sebagai ajah Tara dan mertua Samaragrawira
adalah radja Sriwidjaja. Nama Samaragrawira pada piagam Nalanda
tetap masih disamakan dengan nama Samaratungga pada piagam K a­
rang Tengah. Radja W isnu pada piagam Ligor disamakan dengan
rakai Panangkaran dan dianggap putera Sandjaja. Menurut anggapan
Bosch rakai Panangkaran jang diidentifikasikan dengan radja W isn u
kawin dengan puteri dari Fu-nan dan dari perkawinan itu lahir rakai
Panunggalan dan Dharanindra.

156
Pada umumnja Bosch menerima teori Coedes. Oleh karena itu timbul
ichtisar jang demikian. Menurut pendapat Bosch ketidak-puasan hasil
penelitian mengenai piagam Ligor B ditimbulkan akibat pandangan
jang diarahkan kepada politik perluasan wilajah dan politik mengedjar
kekuasaan jang dilakukan oleh radja-radja Djawa dan Sriwidjaja
sebagai saingan dalam abad 8. Pandangan itu ditinggalkan dan ber­
alih kepada pandangan perdamaian jang dimanifestasikan dalam per­
kawinan antara wangsa jang memerintah Sriwidjaja dan wangsa jang
memerintah Djawa. Katanja: „Sebaliknja kami berpandangan bahwa
dalam abad 8 dan 9 sudah pasti perkawinan itu di Djaw a meme­
gang peranan jang sangat penting. Hubungan antara wangsa Sai-
lendra di Djawa dan wangsa di Sriwidjaja berlangsung dalam suasana
aman dan damai. Penerimaan pandangan itu membawa konsekwensi
penerimaan teori Coedes tentang perkawinan W isnu / Panangkaran
dengan puteri Sailendra. Dari perkawinan itu lahir dua putera. Jang
sulung melandjutkan kekuasaan Sandjaja dan bergelar maharadja.
Putera sulung itu ialah rakai Panunggalan. Keturunan rakai Panung-
galan tertjatat pada daftar silsilah radja Balitung. Putera jang bungsu
djuga menerima gelar maharadja, tetapi tidak digunakan, seperti ter-
njata pada piagam Kelurak, Kalasan dan Nalanda. Putera bungsu
itu ialah Dharanindra.”

Oleh karena Bosch menerima pendapat bahwa radja Dharmasetu


adalah radja Sriwidjaja, maka ia mengambil perkawinan antara Sama-
ragrawira dan dewi Tara sebagai tjontoh, betapa baik hubungan antara
radja Sriwidjaja dan radja Djawa. Tidak ada soal permusuhan. Teori
Bosch ini bertentangan dengan makna epiteton radja Dharanindra
,.pembunuh musuh-musuh perwira” .

Prasasti Ratu Baka dan Dharmatungga

Prasasti Ratu Baka ditulis dalam bahasa Sansekerta. Oleh karena


banjak bagian jang telah rusak, tidak mungkin diterdjemahkan. Tarich
tahun pemahatannja telah hilang. Berdasarkan kesamaan bentuk huruf
jang digunakan, dengan bentuk huruf prasasti Kalasan, de Casparis.
jang menerbitkan prasasti tersebut dalam Prasasti Indonesia I (1950),
menduga bahwa prasasti Ratu Baka dipahat pada waktu jang sama
dengan prasasti Kalasan. Djuga pada prasasti Ratu Baka terdapat kata
gailendra ....... dibelakang nama Dharmmatunggadewasya. Nama itulah
jang penting untuk diketahui. Dengan sendirinja ia mengambil kesim­
pulan bahwa prasasti Kalasan dikeluarkan oleh radja Sailendra Dharm-
matungga tersebut. Rakai Panangkaran dianggap sebagai radja ke­
turunan Sandjaja, jang ada dibawah .kekuasaan radja Sailendra.

157
Prasasti Kelurak dan Dharanindra
Prasasli K ditulis dalam bahasa Sansekerta. bertarich tahun
e l u r a k

t, Masehi 782, diterbitkan oleh Bosch dalam T.B.G.


**£” S ÎT .9 2 S . Piagam Kelurak terdiri dari duapuluh
pada. Isinja adalah peresmian artja M a S ^ r i. pf da achir pada 5 ter-
, d h r ê tâ a n r e tim a ta d h a ra m n d ra n a tn n a : keradjaan
_aPat ung apan . tegUh hatinja. Bosch semula mengira bahwa
Dharanindra jang sang 9
, •<. t Oleh karena itu terlalu pendek, Jalu dirangkap
nama radja itu Indra, r ,
..
dengan dharam • dan ditambah
diramu* denqan » warmart. ierbentuklah nama
Namun radia bailendra jang berachir warman
Dharanindrawarman. iNamuu J T n -i j
tidak ada. Pada tahun 1950 dalam karangannja Le Çailendra, tueur
,
des , .
héros w d è s membatjanja
’rennemis Coeaeb Dharanindra
j j
sadja. Pada• ta-
hun 1950 dalam bukunja Prasasti Indonesia I, de Casparis tetap meng­
gunakan nama Indra. Saja beranggapan bahwa nama itu ialah D hara­
nindra sebagai sinonim, nama Dharanidhara. Dharanindra berarti
radja bumi; Dharanidhara berarti pendukung atau pelindung dunia.
Nam a itu adalah nama W isnu. Nama itu saja identifikasikan dengan
nama radja W isn u di Ligor B, dan menurut pendapat saja adalah nama
pribadi rakai Panunggalan. Demikianlah radja W isnu pada piagam
Ligor B itu saja identifikasikan dengan rakai Panunggalan pada pra­
sasti Balitung (Kedu). Dengan sendirinja saja tidak melihat adanja dua
radja pada piagam Ligor B. Radja Sailendra jang bergelar maharadja
adalah radja W isnu. Pendapat itu terdapat dalam terbitan saja. Ke­
radjaan Sriwidjaja (Kerajaan Sriwijaya) pada tahun 1963 di Singa­
pura. Baik epiteton „pembunuh musuh perwira” jang terdapat pada
piagam Kelurak, piagam Ligor B maupun pada piagam Nalanda adalah
epiteton rakai P a n u n g g a l a n . Pada jang terachir jakni pada 20 memuat
nama Sri Sanggrama Dhanandjaja. Baris jang memuat nama tersebut
diterdjemahkan oleh de Casparis: D it bouwwerk van hem, die bij de
wijding tôt de v o o r t r e f f e l i j k s t e der mannen de koningsnaam gri Sang-
gramadhananjaya aanneemt. Artinja: Bangunan itu adalah bangunan
sang radja jang mendjadi pahlawan diantara para perwira dan meng­
ambil nama abhiseka Sri Sanggrama Dhanandjaja. Demikianlah saja
berpendapat bahwa Dharanindra adalah nama pribadi, Sanggrama
Dhanandjaja adalah nama abhiseka, rakai Panunggalan adalah gelar
sebutannja.
Djuga pada prasasti Kelurak ini saja djumpai nama Sri Dhàrmasetu
pada pertengahan pada 19 didahului dengan kata pratipâlaniyah: pen-
djaga. Djadf ungkapan pratipâlaniyah çri .Dharmmasetur ayam .......
....... artinja: Sri Dharmasetu diserahi untuk mendjaga (bangunan).
Terdjemahan jang demikian tjotjok dengan kalimat berikutnja jang

158
/
menjatakan bahwa bangunan itu dibuat oleh radja Sri Sanggrama
Dhanandjaja. Oleh karena nama Sri Dharmasetu itu kedapatan pada
prasasti Kelurak dan bersama-sama dengan nama Dharanindra, maka
saja menolak anggapan, bahwa radja Dharmasetu adalah radja Sriwi-
djaja, seperti jang dikemukakan oleh Krom, Bos.ch dan de Casparis.
Menurut prasasti Nalanda Dharmasetu- adalah ajah dewi Tara dan
mertua Samaragrawira, sedangkan Samaragrawira adalah ajah Bala-
putra. Demikianlah Dharmasetu itu berbesan dengan Dharanindra alias
rakai Panunggalan. Karena hal-hal tersebut maka saja anggap prasasti
Kelurak adalah prasasti penting, jang dapat memberikan petundjuk
untuk penjelesaian persoalan hubungan antara piagam Nalanda dan
piagam Ligor B, atau persoalan hubungan Sriwidjaja dan Djawa. Saja
menduga bahwa djustru pada prasasti Kelurak itu kita mendapatkan
keterangan tentang rakai Panunggalan jang hingga sekarang tidak
pernah diketemukan. Hal itu agak aneh. Djustru oleh karena Balitung
pada prasasti Kedu hanja menjebut gelar rakai jang diikuti dengan
nama tempat, tidak menjebut nama pribadi atau nama abhisekanja,
maka agak sulit untuk memperoleh keterangan. Prasasti dapat dike­
luarkan atas nama pribadi atau atas nama abhiseka radja jang ber­
sangkutan.

Prasasti Karang Tengah dengan Samaratungga


Prasasti Karang Tengah dekat Temanggung di Djaw a Tengah ter­
diri dari dua bagian ditulis dalam bahasa Sansekerta dan bahasa Djaw a
kuno. Bagian jang ditulis dalam bahasa Sansekerta isinja berbeda
dengan jang ditulis dalam bahasa Djawa kuno. Bagian jang ditulis
dalam bahasa Djawa kuno telah dimuat dalam O .J.O . no. IV . Tarich
tahunnja adalah tahun Saka 769, namun ternjata batjaan Brandes
kurang tepat. De Casparis dalam Prasasti Indonesia I hal. 31/40
membatjanja tahun 746 atau tahun Masehi 824. Tarich tahun 746
itu tjotjok dengan tarich tahun jang terdapat pada bagian jang
ditulis dalam bahasa Sansekerta. Bagian Sansekerta menggunakan
tjandrasangkala rasa:, sagara, ksitidhara, jang masing-masing menun-
djukkan angka 6, 4 dan 7. Djadi tarich tahunnja ialah 746 Saka. D e­
mikianlah kedua prasasti itu ditulis pada waktu jang sama.
Bagian Sansekerta menderita banjak kerusakan, karena batunja pe-
tjah. Bagian atas kiri dan tengah hilang. Bagian jang masih ada telah
ditranskripsikan dengan huruf Latin dan diterdjemahkan oleh de Cas­
paris. Isinja seperti berikut:
Radja Samaratungga mempunjai seorang puteri bernama Pramoda-
wardhani. Puteri Pramodawardhani membangun finalaya jang sangat
indah. Pada tahun Saka 746 atau tahun Masehi 824 artja jang dimu­

159
lia k a n d ite m p atk an dalam tja n d i jang telah dibangun. A rtja itu bersinar
seperti b u la n , jang karena k etakutan kepada R ahu djatuh kembali
kebum i. K e m u d ia n d in a ik k a n diatas kaki tjandi, jang telah dibangun
sangat in d a h oleh orang-orang tua dengan bantuan orang-orang m uda.
M u d ah- m ud ah an beliau bark at pem bangunan tjandi D jin a itu dapat
m entjapai sepuluh tin g k at ke-Buda-an. Saja berharap agar sajapun
djik a sam pai g iliran saja, dapat m entjapai tingkat jang sangat sulit
ditjapai itu? tin gk at jang tertinggi, jang .......... Selama gunung M e ru
m asih djadi tempat kediam an para dewa, dan selama m atahari diang-
kasa m asih bersinar demi kehidupan ribuan manusia, m udah-mudahan
selama itu pula umur b an g un an ini, penuh dengan keutamaan Buda.
B agian D ja w a kuno sedikitpun tidak m enjinggung soal pem bangunan
tjand i D jin a la ja . B agian itu m enguraikan .pembebasan tanah. Paida ta ­
hu n 746 atau tahun M asehi 824 rakarayan Patapan mpu Palar m eng­
h adiahkan ladang padi sebagai tanah perdikan jang terletak di Baba-
dan, Lo P andak, Kisir, Santo i Karung, Petir, Kuling dan T rihadji.
U k u ra n tanah itu disebutkan dengan teliti. U n tuk keperluan tersebut
diundang saksi dari pelbagai desa; lengkap dengan nama dan tempat
tinggalnja, anak dan djabatannja para saksi ditjatat pada piagam itu.
P ara saksi jang bersangkutan memperoleh hadiah masing-masing.
Boleh dipastikan bahw a hadiah tanah perdikan itu bertalian dengan
pem bangunan tjandi D jinalaja jang disebut pada bagian Sansekerta.
H a d ia h tanah itu diberikan oleh rakarayan Partapan mpu Palar. D e
Casparis berpendapat bahw a tidak ada alasan samasekali untuk m eng­
identifikasikan rakarayan Patapan mpu Palar itu dengan Samaratung-
ga. Ia beranggapan bahw a rakarayan Patapan adalah radja dengan
gelar D ja w a : rakai, rakarayan atau kariyana. Radja-radja D jaw a itu
adalah radja baw ahan radja Sailendra. D e Casparis membanding pra­
sasti K arang T engah dengan prasasti Kalasan, jang memuat nam a
rakai Panangkaran. Ia sependapat dengan van Naerssen bahw a radja
P anangkaran adalah radja baw ahan Sailendra. D em ikian pula halnja
dengan rakai Patapan dalam hubungannja dengan Samaratungga.
Bagaim anapun rakarayan Patapan tidaklah sama dengan Sam ara­
tungga. Titel rakarayan bukanlah gelar radja semata-mata. H a l itu tidak
hanja terbukti pada zaman M adjapahit sadja, tetapi djuga pada zaman
pemerintahan radja Sandjaja. Tjontoh jang baik kiranja dapat diambil
dari piagam Gata dan T adji G unung dari tahun 771 dan 772. Pada
piagam G ata terdapat nama rakryan G urun W a n g i. Pada piagam
T adji G unung i djelas disebut rakryan G urun W a n g i. M aham antri
djuga disebut rakryan. Dem ikianlah rakarayan Patapan tidak perlu
m endjabat radja. Jang pasti ialah bahwa rakarayan Patapan adalah
baw ahan Samaratungga.

160
Hampir semua prasasti tentang hadiah tanah jang langsung berhu­
bungan dengan rakjat dan mengundang rakjat desa sebagai saksi di­
tulis dalam bahasa Djawa kuno, tetapi prasasti-prasasti resmi tentang
peresmian tjandi hampir semuanja ditulis dalam bahasa Sansekerta.
Peresmian tjandi Kalasan, peresmian artja Manjugri di Kelurak, pem­
bangunan Djinalaja di Karang Tengah, peresmian lingga diatas gu­
nung W u k ir ditulis dalam bahasa Sansekerta. Salah satu keketjualian
ialah peresmian pembangunan tjandi makam didesa W a n til seperti
diuraikan pada prasasti Balaputra - Djatiningrat atau A metrical old
Javanese inscription dated 856 termuat dalam Prasasti Indonesia II hal.
280 - 330. Prasasti ini ditulis dalam bahasa Djawa kuno, boleh dikata­
kan pada achir zaman pemerintahan radjakula Sailendra. Kesan jang
diperoleh ialah, bahwa prasasti jang langsung berhubungan dengan
rakjat dan harus diketahui oleh rakjat, ditulis dalam bahasa rakjat
jakni bahasa Djawa kuno. Tetapi prasasti jang sifatnja resmi tentang
kepentingan radja-radja baik kepentingan radjakula Sandjaja maupun
kepentingan radjakula Sailendra ditulis dalam bahasa Sansekerta.
Kiranja prasasti Karang Tengah itu harus ditafsirkan demikian djuga.
Bagian Djawa kunonja langsung mengenai tanah perdikan tjandi, jang
memerlukan kesaksian rakjat, sedangkan bagian Sansekertanja lang­
sung mengenai peresmian bangunan tjandi makam, kepentingan chas
keluarga radja. Peresmian pembangunan lingga diatas gunung W u k ir
oleh radja Sandjaja ditulis dalam bahasa Sansekerta, tetapi prasasti
Gata dan Tadji Gunung tentang soal tanah untuk pembangunan tjandi
Timbangan W ungkal ditulis dalam bahasa Djawa kuno. Kedua pra-'
sasti itu djelas menggunakan tarich Sandjajawarsa, ditulis oleh ke­
turunan Sandjaja.
Pembebasan tanah demi pembangunan tjandi tidak mutlak dilaku­
kan oleh radja, apalagi djika pembangunan tjandi itu demi kepentingan
keluarga radja. Dalam hal jang demikian maka rakjat sebenarnja jang
memberikan hadiah tanah kepada radja. Oleh karena itu rakjat harus
diberitahu dan untuk kerelaannja rakjat sekadar mendapat pepulih
berupa hadiah uang/barang atau ganti tanah. Djika pembebasan tanah
demi kepentingan bangunan umum sebagai hadiah radja, biasanja radja
jang melakukan pembebasan dengan kesaksian rakjat. Dalam soal
tanah perdikan pada prasasti Karang Tengah keluarga radja jang
mendapat keuntungan, karena rakjat menjerahkan tanahnja demi pem­
bangunan tjandi Djinalaja. Oleh karena itu rakjat diikut-sertakan pada
prasasti jang bersangkutan, dikepalai oleh rakarayan Patapan. Pada
prasasti Tadji Gunung penjerahan tanah rakjat demi kepentingan
pembangunan tjandi Timbangan W ungkal dilakukan sri maharadja
Tunggawidjaja. Perintah pembebasan tanah diberikan oleh radja ke­

161
pada rakryan mahamantri dan rakryan Gurun W ang i. Peresmian
pawikuan Timbangan W u n g k a l dilakukan oleh rakryan mahamantri
dan rakryan G urun W a n g i. Djelas sekali disini bahwa gelar rakryan
atau rakarayan tidak semata-mata digunakan oleh radja bawahan.
Pada prasasti Kalasan gelar itu digunakan oleh Pantjapana Panang-
karan jang djuga bergelar sri maharadja. Demikianlah kiranja rakara­
yan Patapan mpu Palar bukan radja. bawahan radja Sailendra Samara-
tungga, tetapi pembesar bawahan Samaratungga. Dialah jang diserahi
mengatur urusan penjerahan tanah rakjat demi kepentingan pemba­
ngunan tjandi makam Djinalaja. Rakai Patapan tidak bisa diidentifi­
kasikan dengan Samaratungga atau salahsatu radja dalam daftar pra­
sasti Kedu, tidak bisa diidentifikasikan dengan rakai Garung. Seperti
kita ketahui nama jang mengikuti rakai adalah nama tempat atau
djabatan. Garung dan Patapan adalah dua tempat jang berlain-lainan.
Itulah sebabnja maka identifikasi rakai Garung dengan rakai Patapan
seperti jang dilakukan oleh Bosch dalam silsilah Qriwijaya, de Qai~
lendra - en de Sanjayawamga tidak dapat diterima.
Prasasti Karang Tengah bagian Sansekerta memberikan bahan se-
djarah jang berharga bagi pengetahuan tentang perkembangan radja-
kula Sailendra chususnja dan perkembangan sedjarah keradjaan Djaw a
Tengah umumnja. Pertama-tama prasasti tersebut menjebut radja Sa­
maratungga. Nama Samaratungga tidak kedapatan pada daftar silsilah
radja-radja Poh Pitu pada prasasti Kedu. Namun pada piagam Nalanda
jang dikeluarkan oleh radja Dewapala di Pataliputra atas permintaan
radja Suwarnadwipa Balaputradewa terdapat nama jang hampir serupa
jakni Samaragrawira. Kedua-duanja mulai dengan Samara. Hanja
bagian belakangnja jang berbeda. Jang satu berbunji: grawira, jang
satu lagi tungga. Oleh karena pada prasasti Nalanda itu dinjatakan
bahwa Samaragrawira adalah putera radja Djaw a dari radjakula Sai­
lendra, pembunuh musuh-musuh perwira, maka timbul dugaan bahwa
Samaragrawira pada prasasti Nalanda sama dengan Samaratungga
pada prasasti Karang Tengah. Aktivitas radja Samaratungga diarah-'
kan kepada pengembangan agama Buda. Radjakula Sailendra adalah
pemeluk agama Buda Mahayana, Demikianlah penjamaan antara Sa­
maragrawira dan Samaratungga itu berdasarkan alasan jang kuat
sekali. Tentang penjamaan antara Samaratungga dan Samaragrawira
ini kita tangguhkan sampai kepada pembahasan prasasti Nalanda.
Tokoh kedua ialah Pramodawardhani jang dinjatakan sebagai puteri
Samaratungga. Aktivitasnja diarahkan kepada pembangunan Djinalaja.
De Casparis menduga bahwa peresmian tjandi makam Djinalaja itu
mempunjai hubungan dengan pentjandian radja Sailendra Dharanindra
jang disebut pada prasasti Kelurak dan dianggap sebagai nenek Pra-

162
modawardhani. De Casparis dalam Prasasti Indonesia I masih me-
njebut radja Sailendra pada prasasti Kelurak itu Indra sadja, tidak
Dharanindra. Oleh karena ada identifikasi antara S a m a r a g r a w ir a dan
Samaratungga, sedangkan pada piagam N alanda Samaragrawira di-
njatakan kawin dengan puteri Tara dari Somawangsa, maka dengan
sendirinja Pramodawardhani dianggap sebagai puteri Samaragrawira
jang lahir dari perkawinannja dengan Dewi Tara. Pramodawardhani
lalu mendjadi saudara perempuan Balaputradewa. Pembitjaraan tokoh
Pramodawardhani akan kita djumpai dalam pembahasan prasasti Na-
landa dan prasasti Balaputra - Djatiningrat serta pada prasasti gn
Kahulunan. Nama Pramodawardhani tersangkut dalam pembahasan
prasasti Djatiningrat, karena Pramodawardhani kawin dengan D jati­
ningrat alias rakai Pikatan. Tersangkut dalam prasasti gri Kahulunan,
karena beliau adalah puteri jang mengeluarkan prasasti tersebut. Jang
agak menarik perhatian ialah bahwa pada piagam Karang Tengah itu
djuga disebut sepuluh tingkat ke-Buda-an jang kiranja djuga mem-
punjai hubungan dengan pembangunan tjandi Buda Barabudur. U n g ­
kapan-ungkapan jang tertjantum pada prasasti Karang Tengah sangat
menarik perhatian untuk mengetahui perkembangan adjaran agama
Buda Mahayana di Djawa Tengah.

Prasasti Sri Kahulunan dan Pramodawardhani

Prasasti Sri Kahulunan ((¡¡ri Kahulunan) berasal dari Magelang. T i­


dak diketahui asal mulanja diketemukan prasasti tersebut. Prasasti Sri
Kahulunan telah termuat dalam O .J.O. no. X V II dan ditranskripsikan
oleh Brandes. Ternjata bahwa baik pembatjaan tarich tahunnja ma­
upun transkripsi teks kurang sempurna. Tarich tahunnja dibatja oleh
Brandes tahun Saka 884. Menurut batjaan de Casparis tarich tahunnja
jang benar ialah 764 atau tahun Masehi 842. Prasasti Sri Kahulunan
adalah prasasti persumpahan bertalian dengan pembebasan tanah
mendjadi sima atau tanah perdikan tjandi. Tanah itu disebut Sri
Kahulunan, oleh karena tanah tersebut mendjadi milik Sri Kahulunan.
Sri Kahulunan adalah gelar permaisuri radja. Keterangan ini didapat
oleh de Casparis dari analogi dengan gelar dalam Udyogaparwa se­
bagai gelar Dewi Kunti. Judistira menjebut ibunja: Sri Kahulunan.
Demikianlah kata Kahulunan itu tidak berasal dari kata hulun jang
berarti: abdi. Dalam bahasa Djawa kuno sang hulun (B.Y. X X X V I I I )
berarti: tuan puteri; sinasanghulun: diakui sebagai tuan puteri.
Siapa sebenarnja puteri jang menjebut dirinja Sri Kahulunan itu,
de Casparis memberikan keterangan jang sangat menarik perhatian.
Analisa jang dibuatnja untuk mengidentifikasikan Sri Kahulunan itu

163
sangat mentakdjubkan. De Casparis berhasil membanding prasasti Sri
K ahulunan' itu dengan prasasti-prasasti pendek jang diketemukan di
tjandi Plaosan Lor. Pada prasasti-prasasti pendek dari Plaosan itu
kedapatan beberapa kali gelar Sri Kahulunan. Gelar Sri Kahulunan
terpahat pada tjandi ketjil deretan tengah no. 21 dan deretan dalam
no. 22. Dibelakang tjandi no. 21 terdapat rumah ketjil dalam deretan
luar no. 24 terdapat gelar terpahat jang berbunji dharm m a ....... raja.
Sudah pasti bahwa gelar jang lengkap ialah dharmma gri maharaja.
Pada tjandi-tjandi ketjil di Plaosan itu kedapatan 15 kali. Deretan
dalam berisi 50 tjandi, deretan tengah berisi 58 tjandi, dan deretan
luar berisi 66 tjandi.
Oleh karena dari literatur telah diketahui bahwa gelar Sri Kahulu­
nan adalah gelar permaisuri, maka kesimpulannja ialah bahwa Sri K a­
hulunan jang terpahat pada tjandi no. 21 deretan tengah dan no. 22
deretan dalam adalah permaisuri sri maharadja jang terpahat 15 kali
itu. N am a jang terpahat pada tjandi no. 14 dan 15 deretan luar lebih
pandjang dari pada jang lain-lainnja. Nama itu bunjinja: gri maharaja
rakai Pikatan. Nam a itu terang terdapat pada daftar silsilah radja-ra-
dja di Poh Pitu pada prasasti Kedu dan pada prasasti tjandi Perot
pada tahun 850. Demikianlah Sri Kahulunan adalah permaisuri sri
maharadja rakai Pikatan.
Dalam terbitannja Prasasti II hal. 280 — 330 de Casparis membahas
kakawin Djaw a kuno dari tahun 856 dibawah djudul A metrical O ld
Javanese inscription dated 856. Pada 7 menguraikan bahwa sang radja
memeluk agama Siwa berbeda dengan sang permaisuri. D ari analisa
itu ternjata bahwa jang dimaksud dengan sang radja adalah rakai
Pikatan, jang dalam kakawin itu menjebut dirinja Djatiningrat.
Demikianlah dapat dipastikan bahwa rakai Pikatan kawin dengan
permaisuri dari wangsa Sailendra jang beragama Buda M ahayana.
Permasuri itu adalah Pramodawardhani, puteri radja Samaratungga,
jang namanja tertjatat pada piagam Karang Tengah. Sri Kahulunan
jang tertjatat pada piagam Sri Kahulunan dan terdapat di Magelang,
adalah puteri Pramodawardhani, jang pada prasasti Karang Tengah
membangun tjandi Djinalaja.
Prasasti Sri Kahulunan seperti telah disinggung diatas adalah pra­
sasti persumpahan bertalian dengan pembebasan desa-desa di Kedu
Selatan untuk pembangunan tjandi dan didjadikan tanah milik sang
permaisuri alias Sri Kahulunan. Isi persumpahan itu termuat pada
achir prasasti dari baris 26 — 33, bunjinja seperti berikut: „Seperti
halnja dengan telur, djika telah dirusak tidak lagi dapat menetas, de­
mikian pula barangsiapa merusak batu ini. Ia akan musnah. D jika ia
masuk hutan, semoga ditelan harimau: djika berdjalan diladang, se-

164
moga digigit ular; ....... djika kesungai, semoga dimakan buaja; .......
Demikianlah semoga musnah, barangsiapa jang berani merusak tanah
Sri Kahulunan.”
Jang sangat penting dari prasasti persumpahan itu ialah permulaan-
nja, karena permulaan prasasti itu menjebut batas tanah Sri Kahulu-
nan jang didjadikan tanah perdikan Kamulan Bhumisambhara. Jang
dibebaskan ialah desa Teru di Tepusan, sawah kanayakan, sawah
para petugas (winekas), ladang para kawula (penduduk). Jang di­
serahi tugas melaksanakan ialah pembesar desa Rukap, bernama W i-
dya dan isterinja Mutra. Selandjutnja disebut pelbagai nama orang
lainnja jang ikut serta melaksanakan perintah Sri Kahulunan, beserta
desa tempat tinggalnja. Kemudian menjusul para saksi lengkap dengan
nama dan tempat tinggalnja. Mereka itu masing-masing menerima ha­
diah jang berbeda-beda.
Penjebutan desa-desa itu penting untuk mengetahui dimana letaknja
tanah perdikan Sri Kahulunan jang didjadikan sima Kamulan Bhumi­
sambhara. Bagaimanapun djuga desa-desa itu adalah desa tetangga
kedelapan kiblat dari tempat jang didjadikan pusat bangunan jang
didirikan di Kamulan Bhumisambhara. Kombinasi antara nama-nama
desa jang disebut pada prasasti Sri Kahulunan dan nama-nama de­
sa jang disebut pada prasasti Kedu dapat menghasilkan keterangan
jang mendekati kenjataan mengenai letak desa-desa tersebut terhadap
desa jang didjadikan pusat. Prasasti Kedu menjebut 24 desa. D jika
24 desa itu terdapat dalam lingkungan jang berkiblat delapan, maka
setiap kiblat memuat 3 desa. Demikianlah terdapat tiga lapis desa dari
pusat. Jang mendjadi pusat adalah desa Mantyasih; setjara berturut-
turut kearah selatan menudju Kedu, Pamandajan lalu Tepusan. N am a
desa Tepusan terdapat pada prasasti Sri Kahulunan.
Prasasti Sri Kahulunan menjebut sima Kamulan Bhumisambhara.
Identifikasi dan lokalisasi Kamulan Bhumisambhara itu penting sekali
bertalian dengan adanja tjandi Barabudur didaerah Kedu Selatan.
Untuk dapat melokalisasikan Kamulan Bhumisambhara di Barabudur,
diperlukan banjak keterangan. Dalam hal ini de Casparis memberikan
keterangan tentang nama Barabudur dalam bukunja Prasasti Indone­
sia I hal. 164- 170 dan keterangan tentang nama Kamulan dari hal.
170- 175. Setjara ringkas keterangannja seperti berikut:

a) Kamulan

Sudah djelas bahwa bangunan jang didirikan ditanah perdikan Sri


Kahulunan disebut Kamulan (Kamidan). Pokok katanja ialah mula
artinja: akar atau asal, permulaan. Bubuhannja ka~ dan ~an. D jadi
kata kamulan artinja: permulaan.

165
Kata kamulan digunakan pada: 1) Prasasti Siman dari Kediri (O .J.O .
X L V III) dalam hubungan: sang hyang dhatmma kamulan. Kata dharm-
ma disini berarti: tjandi makam. 2) Prasasti dari Singasari (O .J.O .
X X X V III) dalam hubungan mula kahyangan: permulaan kahyangan.
Gunung W angkedi (Bromo) dianggap sebagai permulaan kahyangan.
3) Prasasti dari M alang (O .J.O . LI) dalam hubungan sawates lawan
kamulan Walandit-. berbatas dengan kamulan W alandit. Dewa Brah­
ma dianggap sebagai dewa jang menguasai segala hasil perdikan di
W a la n d it. Batara Brahma biasa disebut swayambhu: lahir dari kekuat-
annja sendiri; mendjadi mula dari segala jang ada.
Tjandi makam di W a la n d it disebut sang hyang dharmma kabuyutan:
tjandi makam nenek-mojang. Disini kata buyut: mojang mempunjai
arti jang sama dengan mula. Kata kabuyutan — kamulan: kenenek-
mojangan.
Dem ikianlah pada bangunan sutji jang disebut kamulan: tersembunji
pengertian kenenek-mojangan. Artinja bahwa bangunan jang bersang­
kutan digunakan sebagai tempat persembahan kepada nenek-mojang.
Nenek-mojang adalah asal manusia jang memberikan persembahan.
Berdasarkan pendapat itu maka Kamulan Bhumisambhara ditanah per­
dikan Sri Kahulunan adalah tempat pemudjaan atau persembahan
nenek-mojang. Oleh karena Pramodawardhani adalah seorang puteri
pemeluk agama Buda dari wangsa Sailendra, maka boleh dipastikan
bahwa Kamulan Bhumisambhara adalah tempat pemudjaan nenek-
mojang radjakula Sailendra.
T ingkat untuk mentjapai kesempurnaan (ke-Buda-an) dalam sistem
agama Buda disebut bhumi. Tingkat jang tertinggi adalah tingkat ke­
sepuluh. D jika orang sudah mentjapai tingkat itu, ia sudah mendjadi
Buda. Pada piagam Karang Tengah bagian Sansekerta tentang pem­
bangunan D jinalaja Pramodawardhani berdoa, agar jang dimuliakan
mentjapai tingkat kesepuluh ke-Buda-an. Demikianlah Kamulan Bhumi­
sambhara merupakan tempat pemudjaan nenek-mojang radjakula Sai­
lendra, agar nenek-mojang jang dipudja ditempat itu berhasil mentjapai
ke-Buda-an.

b) Bhumisambhara

Telah disinggung dimuka, bahwa bhumi disini berarti tingkat atau


taraf untuk mentjapai ke-Buda-an. Dalam agama Buda tingkat itu ada
sepuluh. Tingkat kesepuluh adalah tingkat jang sempurna. Kata sam-
bhara berarti: timbunan. Demikianlah bhumisambhara berarti: timbunan
tingkat. Bangunan jang didirikan ditanah perdikan Sri Kahulunan jang
disebut Kamulan Bhumisambhara harus terdiri dari 10 tingkat.

166
Didaerah Kedu Selatan memang ada bangunan tjandi Buda jang
bertingkat-tingkat. Bangunan tjandi Buda itu disebut tjandi Barabudur.
Djumlah tingkatnja memang sepuluh. Demikianlah jang dimaksud de­
ngan Kamulan Bhumisambhara pada prasasti Sri Kahulunan itu adalah
tjandi Buda jang hingga sekarang disebut tjandi Barabudur. Tjandi
Barabudur adalah tjandi pemudjaan nenek-mojang radjakula Sailendra.
Timbullah persoalan, mengapa tjandi Kamulan Bhumisambhara itu
disebut Barabudur. Nama Barabudur tidak dikenal pada prasasti Sri
Kahulunan. Baik prasasti Sri Kahulunan maupun prasasti Kedu me-
njebut nama-nama desa disekitar tanah perdikan Sri Kahulunan dan
Kedu Selatan. Namun diantara nama-nama desa itu tidak terdapat
desa jang bernama Budur. Bahwa kata baca pada nama Barabudur
berasal dari kata sambhara pada Bhumisambhara, tidak menimbulkan
kesulitan. De Casparis bertanja dari mana asal nama budur itu?
Persoalan nama Barabudur sudah lama mendapat perhatian para
sardjana baik dilingkungan sardjana Belanda maupun dilingkungan
sardjana Indonesia, djustru oleh karena didesa Barabudur itu terdapat
bangunan tjandi megah jang disebut tjandi Barabudur. Literatur ten­
tang persoalan Barabudur telah disusun oleh Dr. W .F . Stutterheim
dalam bukunja: Tjandi Baraboedoer, naam, vocm en beteekenis pada
tahun 1929. Dalam buku itu dibahas persoalan nama, bentuk dan arti
tjandi Barabudur, dilengkapi dengan gambar. Persoalan nama terdapat
pada hal. 13-17.
Dalam pembahasan nama Barabudur terbitan Stutterheim ini dengan
sendirinja telah mendapat perhatian de Casparis. Tidak ada djeleknja
pendapat-pendapat itu sekali lagi dikemukakan disini. Pendapat jang
pertama dilontarkan oleh Prof. Purbatjaraka dalam konggres Taal-,
Land- en Volkenkunde van Java tahun 1919 di Surakarta. Ia menja-
makan kata bara pada nama Barabudur dengan kata wihara. Djadi
Barabudur ditafsirkan sebagai tempat bertegak wihara Budur. Ia ber­
anggapan bahwa disekitar bangunan Barabudur dahulu terdapat ke­
lompok wihara. Nama bara banjak terdapat disekitar gunung Menoreh.
A da nama Bara Kidul. Dilihat dari djurusan perkembangan kata pen­
dapat Prof. Purbatjaraka itu tidak dapat dipertahankan, karena kata
Sansekerta wihara dalam bahasa Djawa djuga terdapat dan dalam
bahasa Indonesa mendjadi biara. Bunji i pada wihara tetap dipertahan­
kan. Satu-satunja kata Sansekerta jang dapat digunakan untuk mem­
perkuat pendapatnja ialah kata wyoma: awan, dalam bahasa D jaw a
kuno mendjadi boma. Dilihat dari segi bangunan pendapat itu lemah
sekali. Disekitar tjandi Barabudur tidak ada wihara dan tidak mungkin
pernah ada wihara. Pendapat jang kedua diberikan oleh murid Stutter­
heim. Kata budur disamakan dengan kata Minangkabau budur berarti:

167
uitpuilen, opbollen; menondjol. Dalam bahasa Minangkabau bunjinja
bud.ua. Barabudur lalu diartikan wihara jang mendjulang atau wihara
diatas bukit. Tafsiran itu terang tidak kena. Stutterheim menguraikan
hubungan antara Sriwidjaja-dan Djaw a untuk memperkuat pendapat
bahwa kata budur dari Minangkabau terbawa ke Djawa. Dalam bahasa
D jaw a masih ada djuga kata bidur: perentul jang gatal; dalam sakit
biduren. Krom menundjukkan bahwa di Djaw a Timur djuga ada desa
jang bernama Budur. Pokoknja keterangan jang diberikan tidak me­
muaskan. D juga Stutterheim menganggap bahwa kata bara berasal
dari kata wihara. W ih a ra itu dibuat dari kaju, lambat-laun rusak, lalu
lenjap.

Pendapat Stutterheim itu dikemukakan berhubung dengan keberatan-


keberatan Krom terhadap pendapat Purbatjaraka jang menjamakan kata
wihara dan bara pada kata Barabudur. Dari penelitian prasasti Sri
Kahulunan terbukti bahwa kata bara pada nama Barabudur tidak ber­
hubungan dengan wihara tetapi dengan sambhara: timbunan. Dalam
rangka ini de Casparis mentjari makna kata Budur. Telah disinggung
pula dimuka bahwa kata bhumi adalah tingkat untuk mentjapai ke-Buda-
an. Tingkat jang djumlahnja 10 itu merupakan bukit. Dalam bahasa
Sansekerta ada kata bhudhara artinja: bukit. Demikianlah de Casparis
menganggap bahwa nama aslinja ialah Bhumisambharabhudhara:
artinja: gunung timbunan tingkatan (untuk mentjapai ke-Buda-an).
Untuk memperkuat pendapatnja dikemukakan bahwa kata bhudhara
itu dapat berubah mendjadi budur. Sebagai analogi diutarakan kata
swara jang dapat mendjadi suwur melalui tingkat suwara.

Kata Bhumisambharabhudhara dapat mempunjai paling sedikit tiga


arti:
a) sebagai istilah didalam agama Buda Mahayana berarti: gunung
untuk mentjapai kesempurnaan melalui Bodhisattwa jang terdiri
dari 10 tingkat.
b) ditindjau dari segi arsitektur berarti: gunung jang bertipgkat-
tingkat.
c) arti umum: radja (bhudhara) daripada timbunan (sambhara) tanah
(bhum i). Dalam arti jang terachir ini bhumisambhara menerangkan
kata bhudhara, djadi pada hakekatnja pleonasme; sinonim dari kata
gaila dan bhudhara.
D jadi mempunjai hubungan dengan gailzndra.

Dalam resensinja tentang Prasasti Indonesia I, termuat dalam B.K.I..


108 tahun 1952 F.D .K . Bosch menjinggung hipotese de Casparis ten­
tang nama Bhumisambharabhudhara. Pokoknja ia meragukan hipotese

168
tersebut dan menjerahkan soal perubahan bunji kata bhudhara men-
djadi budur kepada orang jang lebih tahu.
Dalam madjalah Bahasa dan Budaja no. 1 tahun 1952 saja djuga
meragukan hipotese de Casparis itu. Keberatan saja terutama mengenai
perubahan bunji kata bhudhara mendjadi budur, dengan mengambil
analogi perubahan kata swara mendjadi suwur melalui suwara. Kata
D jaw a suwur tidak mempunjai hubungan asal dengan kata swara; kata
suwur mempunjai hubungan asal dengan kata A rab/M elaju mashur.
Keberatan jang kedua ialah tambahan kata bhudhara. Nam a jang ter-
batja pada prasasti Sri Kahulunan ialah Kamulan Bhumisambhara.
Itulah kiranja nama lengkapnja sedjak semula. Nama jang terlalu pan-
djang itu dalam pemakaian bahasa biasa disingkat. Jang dihidupkan
ialah kata bara, singkatan dari sambhara. Sudah pasti bahwa penduduk
desa disekitar Kamulan Bhumisambhara tahu, bahwa tempat itu adalah
tempat pemudjaan nenek-mojang. Tetapi oleh karena kamulan dan
bhumi sudah lama hilang dari pemakaian bahasa, tidak diingat lagi
oleh penduduk desa disekitarnja kemudian hari. Desa jang bernama
bara disekitar gunung Menoreh ada beberapa, misalnja Bara Kulon,
Bara Kidul, Bara Kali Bawang. Untuk membedakan desa bara tempat
tjandi itu dari desa-desa bara lainnja, perlu didjelaskan. Pendjelasan
itu sesuai dengan sifat atau watak tjandi jang terdapat disitu. Nama-
nja jang asli ialah Kamulan: pemudjaan terhadap nenek-mojang. Di-
dalam bahasa Djaw a Tengahan dan Djawa Baru kata Kamulan dengan
arti: tempat pemudjaan arwah nenek-mojang tidak lagi dikenal oleh
rakjat umum. Arwah nenek-mojang dalam bahasa Djaw a adalah leluhur
atau leluwur. Djelas bahwa kata leluhur berasal dari kata ruhur atau
duhur (duwur). Djadi leluhur adalah orang jang sudah dimuliakan.
Tempatnja ruhur atau duwur. Pada prasasti Kedu Balitung menjebut
para radja di Poh Pitu: rahyang rumuhun: para orang terhormat jang
telah mendahului, jang telah marhum. Arwah leluhur itu mempunjai
tempat jang tinggi alias duwur, duhur. Kiranja nama Barabudur itu
terdjadi dari kombinasi antara dua unsur itu jakni unsur sambhara dan
unsur leluhur. Kata duhur mendapat awalan ba(be) mendjadi baduhur,
baduwur — budur, karena bunji a atau e terdesak oleh bunji u. Kata
Sunda heula artinja: muka; ti heula atau ti pajun: dimuka, dahulu,
baheula: zaman jang sudah mendahului, dahulu, zaman dahulu. D i
Bali ada nama Badahulu, sekarang mendjadi Bedulu. A w alan ba (be,
bu) dengan pengertian memiliki sifat, terdapat pada beberapa kata.
M isalnja kata buntut: ekor; memiliki sifat tut. Dalam bahasa Djaw a
kuno artinja: barisan belakang. Banding dengan kata menuntut; ider:
edar; mider: berkeliling; bunder: bulat; bundar; mingkem: menutup;
bungkem: tertutup, bungkam; tugel: putus, terpotong; nugel: memotong;

169
bugel: sepotong kaju jang sebagian telah dimakan api, puntung kaju,
Demikianlah nama Barabudur artinja sama sadja dengan Kamulan
Bhumisambhara.
Bertalian dengan kenjataan bahwa Tjandi Barabudur pada hake-
katnja adalah tjandi kamulan atau tempat pemudjaan arwah nenek-
mojang radja-radja Sailendra, jang dibangun oleh Pramodawardhani,
maka de Casparis mengambil kesimpulan bahwa arwah nenek-mojang
radja-radja Sailendra jang mendjadi pendiri radjakula Sailendra ha­
rus ditempatkan ditempat jang paling tinggi. Pendiri radjakula Sai­
lendra adalah Indra jang tersebut pada prasasti Kelurak (menurut
batjaan Coedes adalah D haranindra). Dharanindra sebagai pendiri
radjakula Sailendra jang berarti „Dewa gunung” diwudjudkan de­
ngan artja pada puntjak tjandi Barabudur. Demikianlah artja Buda
dipuntjak Barabudur, jang sangat kasar dan sangat djelek pahatannja,
adalah artja Dharanindra pada saat ia mentjapai ke-Buda-an jakni
pada saat ia melepaskan klega atau kotoran jang penghabisan. Pada
saat itu ia mentjapai tingkat jang tertinggi. Hanja dengan wajva
klega jang terachir itu dapat berhasil dibersihkan. Jang mempunjai
wajra ialah Aksobhya. Demikianlah artja Buda dipuntjak tjandi Bara­
budur adalah artja Aksobhaya dalam samadi jang disebut wajropama-
samadhi jakni samadi untuk menghilangkan klega jang terachir. Dalam
wajropamasamadhi itu orang sedang dalam mentjapai tingkat ke-Buda-
an jang tertinggi, namun belum merupakan Buda jang sempurna. T ing­
katan itu baru tertjapai, setelah klega jang terachir berhasil disingkirkan
dengan wajra. Itulah sebabnja maka bentuk artja Buda pada tingkat
jang paling tinggi ditjandi Barabudur tidak sempurna.
Pada prasasti Karang Tengah tahun 824 Pramodawardhani me­
resmikan bangunan Djinalaja dan berdoa agar jang dimuliakan men­
tjapai tingkat ke-Buda-an jang kesepuluh. Kiranja pada waktu itu dju-
ga tjandi Barabudur diresmikan Prasasti Sri Kahulunan dari tahun
842 menjatakan, bahwa Kamulan Bhumisambhara pada waktu itu
telah berdiri. Demikianlah tarich pembangunan tjandi Barabudur itu
kira-kira tahun 824. Dengan sendirinja timbul pertanjaan dimana dje-
nazah D haranindra atau pendiri 'Sailendrawangsa itu dimakamkan.
Dalam hal ini de Casparis menghubungkan tjandi Barabudur dengan
tjandi Pawon, jang terletak IV2 km disebelah timur tjandi Barabudur.
Sudah sedjak lama tjandi Pawon dianggap sebagai tjandi pendahuluan
Barabudur; dimaksud supaja para peziarah ketjandi Barabudur mem­
persiapkan diri ditjandi Pawon, sebelum mengindjak Kamulan Bhumi­
sambhara. A nggapan itu timbulnja, karena orang memandang tjandi
Barabudur jang berupa stupa sebagai „Leuchtturm des Bhuddhismus” .
Pandangan itu harus dikoreksi. Tjandi Pawon memang merupakan

170
tjandi pendahuluan tetapi tidak diperuntukkan bagi para peziarah,
melainkan untuk radja pendiri radjakula Sailendra Dharanindra, jang
dimakamkan disitu, supaja kemudian hari dapat mendaki tingkat ke-
Bodhisattwa-an. Tjandi Pawon adalah tjandi makam atau dharmma
Kamulan. Namanja itu sendiri sebenarnja sudah menundjukkan bahwa
tjandi Pawon adalah dharmma kamulan atau dharmma kabuyutan:
pawon berarti: perabuan; dari pa-awu-an. Dalam bahasa D jaw a Baru
pawon berarti: dapur. Arti itu masih tjotjok dengan artinja jang asli.
Dalam kerangka pemudjaan terhadap arwah nenek-mojang adanja
dharmma kamulan memang tjotjok sekali. Tetapi tidak dalam rangka
sepuluh Bodhisattwabhumi. Untuk mengetahui kedudukan tjandi Pa-
won dalam sistem Bodhisattwabhumi harus diingatkan adanja taraf
persiapan dalam sistem Bodhisattwabhumi. Dalam sistem Abhisamaya-
lamkara ada dua taraf persiapan jakni sambharamarga dan prayoga -
marga, sebelum orang mulai mengindjak bodhisattwabhumi jang paling
rendah.
Kedua taraf persiapan itu berwatak keduniaan, disebut laukika, se­
dangkan taraf bodhisattwa disebut lokottara. Oleh karena tjandi Pawon
terletak tepat dibawah bodhisattwabhumi atau taraf ke-bodhisattwa-an,
maka tjandi Pawon mempunjai fungsi prayogamarga jakni persiapan
jang terachir (jang kedua). Dengan sendirinja timbul pertanjaan, ma­
nakah jang merupakan persiapan pertama atau sambharamarga? Dja-
w abnja ialah: tjandi Mendut jang terletak disebelah barat dan meng­
hadap kearah barat daja, berbalikan dengan arah tjandi Barabudur.
Pada piagam Karang Tengah djelas dinjatakan bahwa tjandi Djina-
laja itu disebut Wenuwana artinja: hutan bambu. N am a wenuwana
adalah tempat Buda Sakyamuni mengadjar untuk pertama kalinja.
Bagaimanapun artja utama tjandi Djinalaja W enuw ana harus artja
Buda dalam dharmacakratnudra. Tjandi W enuw ana melukiskan do­
ngeng binatang. Lukisan dongeng binatang itu memang terdapat pada
tjandi Mendut. Relief balustrade kaki tjandi menggambarkan cakra
diantara dua rusa. Demikianlah tjandi Djinalaja W enuw ana jang di­
sebut pada prasasti Karang Tengah adalah tjandi Mendut. T jandi
M endut terletak disebelah barat tjandi Pawon dan merupakan taraf
persiapan jang disebut sambharamarga.
Inti adjaran Buda Sakyamuni jang disebut dharmacakrapawartana
ialah bodhicittapada. Adapun jang dimaksud dengan bodhicittapada
ialah keinginan untuk mentjapai ke-Buda-an tidak demi kepentingan
diri sendiri dahulu, tetapi demi pembebasan orang-orang lain dari sam-
sara. Itulah pokok adjaran agama Buda Mahayana. Bodhicittapada
termasuk kerangka sambharamarga. Demikianlah baik nama W e n u ­
wana maupun adjarannja jang disebut dharmacakrapawartana sesuai

171
dengan keadaan Tjandi Mendut. Satu hal lagi jang penting untuk
disebut ialah pengertian gotra sebagai unsur sambharamarga. Dalam
agama Buda Mahayana gotra merupakan unsur jang sangat penting.
Gotra berarti kekeluargaan dalam keagamaan demi kesutjian. Djuga
pengertian gotra itu ditjamkan dalam pemudjaan nenek-mojang, tetapi
tidak chusus dalam arti keagamaan melainkan dalam arti kekeluargaan,
keturunan. Demikianlah pada radjakula gailendra pengertian pemu­
djaan nenek-mojang itu dipersatukan dengan pengertian keagamaan
Buda Mahayana. Tiap radja masuk sebagai anggota aryasantati. Hal
ini merupakan hipotese baru jang bertalian dengan panil Bodhisattwa
pada dinding luar tjandi Mendut, jang berdjumlah 11.

Delapan panil memuat lukisan bodhisattawa, dua panil besar me­


muat lukisan dewi Tara dan satu memuat Awalokitegwara. Djika Awa-
lokitegwara diikut-sertakan dalam kerangka Buda Mahayana gailendra,
maka djumlahnja ada 9. Djumlah Bodhisattwa 9 adalah djanggal da­
lam agama Buda Mahayana. Tambahan 2 lukisan dewi Tara djuga
djanggal. Djumlah 9 itu harus ditafsirkan dalam kerangka: pemudjaan
nenek-mojang radjakula Sailendra. Teras tertinggi tjandi Barabudur
diperuntukkan bagi pendiri radjakula Sailendra, teras kaki diperun­
tukkan bagi Dharanindra setelah selesai mendjalani prayomarga, meng-
indjak bhumi jang terendah. Sepuluh teras tjandi Barabudur diperuntuk­
kan bagi 10 mojang pendiri tjandi Barabudur jakni Samaratungga. Dja-
di sebelum Samaratungga telah ada 10 mojang jang mendjadi radja.
Sebelum Dharanindra (ajah Samaratungga), jang mendirikan tjandi
Mendut, hanja ada 9 mojang. Sembilan mojang itulah jang diwudjud-
kan 9 bodhisattwa. D ua Tara itu kiranja dua orang permaisuri radja
Sailendra jang berasal dari seberang lautan. Untuk pembuktiannja
tidak ada tjukup bahan. Demikian de Casparis.

Prasasti Gandasuli dan D ang Karayan Partapan

Prasasti Gandasuli diketemukan di Gandasuli dekat Temanggung,


dimuat dalam O .J.O . C V dan telah dibahas oleh de Casparis dalam
Prasasti Indonesia I. Prasasti Gandasuli seperti prasasti-prasasti lain-
nja mulai dengan manggalacarana namaggiwaya. Ini berarti bahwa
prasasti Gandasuli bukan dikeluarkan oleh radja dari radjakula Sai­
lendra jang memeluk agama Buda Mahayana, tetapi oleh pemeluk
agama Siwa. Setelah manggalacarana Prasasti segera mulai dengan
pudjaan kepada Dang Karayan Partapan Ratnamahegwara Sida Busu
Pelar. Isinja:
Semua orang dari empat pendjuru telah mendengar bahwa Dang
Karayan Ratnamahegwara Sida Busu Pelar adalah orang utama jang

172
telah banjak berdjasa. Isterinja bernama Busu .djuga. Ibu JDang Kara-
yan Partapan bernama Djantakabbi, ibu isterinja bernama Panuahan.
Kedua orang tua itu masing-masing mendjaga puteranja. A dik mpu
Palar bernama Busu Tarba; dua iparnja bernama Busu Badjra dan
Busu Uttara. Saudara sepupunja bernama Busu Tarai dan Busu Dan-
dai. Ipar isterinja bernama Busu Huwuriyan. Pamannja jang bernama
W isnuw rata diserahi djabatan nayaka untuk mengurus daerah Bunut;
iparnja jang bernama Busu Pandarangan didjadikan nayaka untuk
mengurus daerah Kahuluan. Anak-anaknja bernama: Sida Busu Putih,
Tedjah Pahit, Swasta, Pagar W esi dan Awak Indu. Mereka itu semua-
nja perempuan.
Semua anak perempuan itu merupakan kekajaan dan kekuasaan
D ang Karayan Partapan. Ia sangat gembira, rezekinja berlimpah-
limpah. W ilajah nja terdjaga. Semua penduduk desa dari timur, selatan, -
barat dan utara memudji kebidjaksanaan Dang Karayan Partapan.
Disitu ada Dang Artjarya Dhalawa, seorang sthapaka jang sangat
mahir (pembuat bangunan); bapuh munda Dang Karayan Siwardjita,
nayaka di Prang Kapulang. Semua orang bawahannja mahir memba­
ngun tjandi makam jang sangat bagus lagi berguna. Mereka membuat
artja sang hadji (radja) disebelah utara prasada Sang hyang W in-
tang; tjandi makam itu dibuat bagus dan disertai tanah: Tanah Bunga
tiga barih; Pragaluh tiga lattir; Tina Ayun empat lattir; W u n u t tiga
lattir; Pawidjahan dua lattir; Kaywara Mandir dua lattir; W an g u r
Baharu satu lattir; M undu dua lattir; Kakalyan satu lattir; Tarukan
satu lattir. Ukuran tanah jang dapat ditanami di Tanah Bunga selu-
ruhnja ada empatpuluh satu lattir.
Partakkan (saksi?): di W alunuh mpu Posuh; di Pragaluh isteri W ar-
patih, bernama Manulu; djuga nayaka Kyubungan pembantu W arpatih,
bernama pu Lihasin; nayaka di Mantyasih bernama Dapunta Marhy-
ang Jnanatatwa.
Dem ikianlah isi prasasti Gandasuli. Tidak mudah untuk menterdje-
m ahkan prasasti tersebut. Banjak hal-hal jang masih agak gelap. N a ­
mun maksudnja kiranja dapat ditangkap. Prasasti Gandasuli ditulis
dalam bahasa D jaw a kuno bertjampur aduk dengan bahasa Melaju
Sriwidjaja. H al itu mengingatkan bahwa pemahat prasasti tersebut
mungkin berasal dari seberang lautan, mungkin dari wilajah Sriwidjaja.
T idak perlu disini kita membitjarakan soal bahasa jang bertjampur
aduk itu setjara terperintji. Jang pokok ialah mengetahui sekadar isinja.
agar djangan sampai salah tafsir. Bahasanja memang penuh dengan
kata-kata Sriwidjaja, hampir serupa dengan prasasti Talang Tuwo.
N am a mpu Pelar telah dikenal pada prasasti Karang Tengah. Dialah
jang mengeluarkan prasasti Karang Tengah bagian Djawa kuno dengan

173
sebutan K arayan Partapan. D jik a bahasa prasasti G andasuli dan pra­
sasti K arang T engah bagian D ja w a kuno dibanding-bandingkan, beda-
nja sangat besar. Prasasti Karang T engah jang bersangkutan bahasa
D ja w a kunonja lebih rapi. Prasasti itu terang dikeluarkan oleh K arayan
P artapan mpu Pelar. K iranja prasasti G andasuli dikeluarkan oleh orang
lain, jang berasal dari seberang lautan. Pendapat ini berlainan dengan
apa jang dikemukakan oleh de Casparis.

D ibelakang m anggalacarana terdapat tjandrasangkala jang terdjalin


dalam kalimat; tidak segera dapat diketahui. T jandrasangkala itu ber­
hasil diketahui oleh de Casparis. Bunjinja sahinga alas partapan: sege­
nap arah (batas) hutan pertapaan. Kata-kata itu masing-masing me­
w akili angka: 4, 5 dan 7; djadi mewakili tahun 754 atau tahun Masehi
732. D eng an kata lain prasasti Gandasuli dikeluarkan 8 tahun sesudah
prasasti K arang Tengah.

Tokoh D a n g Karayan Partapan

T okoh D a n g K arayan Partapan sangat menarik perhatian de Cas­


paris. Pada Prasasti Karang T engah hanja disebut Karayan Partapan
mpu Palar. P ada prasasti Gandasuli nama lengkapnja disebut jakni D ang
K arayan Partapan Ratnam aheçw ara Sida Busu Pelar. N am a Palar
dan Pelar hanja berbeda ortografinja, namun tokohnja sama tepat.
Gelar dang ditam bahkan pada gelar karayaw, sama dengan gelar raka-
rayan pada prasasti Karang Tengah. Gelar itu disamakan dengan
gelar karyâna pada prasasti Kalasan, jang diperuntukkan bagi Pantja-
pana Panangkaran. Pada prasasti Kalasan Pantjapana sekali bergelar
maharadja, satu kali bergelar karyâna. Oleh karena itu gelar maha-
radja disamakan dengan gelar karyâna, sama dengan gelar rakarayan,
sama dengan gelar dang karayan. Pada baris 8 terdapat kata râjya:
keradjaan. B aik isterinja maupun anggota keluarganja bergelar busu
dan banjak jang mempunjai kedudukan jang tinggi-tinggi seperti na-
yaka. Kesimpulan jang diambil oleh de Casparis ialah bahw a D ang
Karayan Partapan mpu Palar adalah radja. D jika 8 tahun sebelumnja
ia masih ada dibawah kekuasaan radja Sailendra Samaratungga, maka
pada tahun 832 ia telah membebaskan diri dari kekuasaan Sailendra.
Terhadap kesimpulan de Casparis itu ada djuga keberatan-keberat-
annja. Pertama mengenai sebutan dang karayan atau rakarayan. Pada
prasasti Gandasuli itu djuga kedapatan orang lain jang bergelar dang
karayan jakni Siwardjita, nayaka di Prang Kapulang. Pada prasasti
G ata dan T adji G unung dari tahun 771 dan 772 gelar karayan atau
rakryan djuga digunakan oleh para mahamantri dan rakryan G urun
W a n g i. Sesudah tahun 850 banjak lagi pembesar jang bergelar rakryan

174
atau karayan atau rakarayan, namun pembesar itu bukan radja, bukan
maharadja. Demikianlah ada keberatan untuk menjamakan gelar dang
karayan dan rakarayan dengan maharadja.
Kata cajya jang terdapat pada baris 8 memang berarti: keradjaan.
Adanja keradjaan pada prasasti Gandasuli tidak dapat didjadikan
alasan untuk menetapkan, bahwa mpu Palar telah melepaskan diri
dari kekuasaan Sailendra dan mendirikan keradjaan sendiri. H al ini
bertalian dengan sifat prasasti. Prasasti Gandasuli dianggap seolah-
olah proklamasi kemerdekaan dari pendjadjahan radjakula Sailendra.
Menurut pendapat saja tidak demikian. Prasasti Gandasuli adalah pra­
sasti pertjandian. Jang ditjandikan ialah Dang Karayan Partapan. Oleh
karena itu segala sifat dan djasa Dang Karayan Partapan disebut
paling muka. Prasasti Gandasuli adalah prasasti pertjandian jang me-
mudja kebesaran jang ditjandikan. W a ta k pertjandian itu djelas di-
njatakan pada baris sepuluh dan seterusnja. Pada tjandi makam itu
disertakan perdikan desa atau tanah (sawah) seperti dinjatakan pada
baris-baris berikutnja. Ternjata bahwa Dang Karayan Partapan tidak
mendjadi radja jang berdiri sendiri, tetapi pembesar bawahan bergelar
haji (baris 11). Disitu disebutkan hyang haji. Dengan sendirinja ia
mempunjai wilajah dan kekuasaan jang besar. W ilajahnja lalu disebut
rajya: keradjaan: lebih tepat dikatakan ke-hadji-ati, namun bentuk
kata itu tidak ada dalam bahasa Djawa kuno. Gelar haji terang lebih
rendah daripada gelar pri maharaja. H aji mempunjai kekuasaan dan
wilajah jan^f sangat luas.
Bertalian dengan watak prasasti itu maka djelas bahwa prasasti
Gandasuli tidak dikeluarkan oleh Dang Karayan itu sendiri, tetapi oleh
orang lain jang berasal dari seberang lautan. Terbukti bahwa sanak-
saudara Dang Karayan Partapan kebanjakan mempunjai gelar busu.
Gelar busu tidak dikenal di Djawa, tidak dikenal pada prasasti-prasasti
D jaw a kuno lainnja. Kiranja pembuat prasasti itu djuga salah seorang
anggota keluarganja. Dang Karayan Partapan meninggal dalam ke­
dudukan sebagai haji antara tahun 824 (pengeluaran prasasti Karang
Tengah) dan tahun 832 (pentjandian Dang Karayan pada prasasti
G andasuli).
Kiranja prasasti Gandasuli ini menjingkapkan hubungan antara Sri-
w idjaja dan D jaw a Tengah dalam abad 8 sebelum penjingkiran Bala-
putra ke Sriwidjaja. Terbukti bahwa radja Sailendra Samaratungga
mengangkat orang dari seberang lautan mendjadi haji, suatu kedudukan
jang sangat tinggi. Peristiwa itu hanja mungkin, kalau Sriwidjaja dan
D jaw a Tengah berada dalam hubungan jang baik. Kiranja Sriwidjaja
dan D jaw a Tengah pada waktu itu sudah ada dibawah kekuasaan
jang sama, jakni dibawah kekuasaan radjakula Sailendra. Prasasti

175
I

Ligor B telah djelas menjatakan bahwa Ligor ada dibawah kekuasaan


radja Sailendra. Djika identifikasi antara radja W isn u dan Dhara-
nindra itu benar, maka Sriwidjaja sudah ada dibawah kekuasaan radja
Sailendra antara tahun 775 (pengeluaran prasasti Ligor A oleh radja
Sriwidjaja) dan 787 (serangan tentara Djawa terhadap Tjam pa). Hi-
potese ini memberikan pemetjahan persoalan, mengapa Balaputra sete­
lah menjingkir dari Djaw a segera dapat mendjadi radja di Sriwidjaja.
Perlu ditambahkan disini bahwa Dang Karayan Sida Busu Palar
tidak terdapat pada silsilah radja-radja di Poh Pitu seperti tertjatat
pada prasasti Kedu. Apa jang kita ketahui dari prasasti Karang Te­
ngah ialah bahwa rakarayan mpu Palar adalah pembesar bawahan
radja Samaratungga. Dari prasasti Gandasuli kita ketahui bahwa Dang
Karayan Partapan mpu Palar adalah seorang pembesar jang bergelar
haji, bukan seorang radja jang bergelar maharadja. Itulah sebabnja
maka namanja tidak disebut pada silsilah radja-radja di Poh Pitu. Jang
tersebut pada silsilah radja-radja di Poh Pitu diantaranja ialah sri
maharadja rakai Garung. Tentang rakai Garung tidak banjak diketahui
dari prasasti. Salah satu prasasti jang menjebut rakai Garung ialah
prasasti Pengging. Disitu disebut rakarayan i Garung. Penting untuk
diketahui bahwa prasasti Pengging dikeluarkan oleh rakarayan i Ga-
rung pada tahun 819, lima tahun lebih tua daripada prasasti Karang
Tengah. Pada prasasti Kedu jang disebut ,Jayapattra-Dieduksman”
(T.B.G. X X X I I tahun 1899 hal. 98 dan seterusnja) disebut bahwa desa
Guntur termasuk wilajah wihara Garung. Pada prasasti Kedu disebut
pula bahwa desa Kagunturan termasuk bawahan Patapan. Atas dasar
itu maka de Casparis mentjoba untuk mengidentifikan rakarayan Pata­
pan dengan rakai Garung.
Oleh karena D ang Karayan Partapan wafat sebagai haji tidaklah
mungkin untuk mengidentifikasikannja dengan rakai Garung jang ber­
gelar sri maharadja. Dengan siapa sri maharadja rakai Garung itu lalu
akan diidentifikasikan? D jika kita ingin mengidentifikasikannja, sudah
pasti bahwa sri maharadja rakai Garung harus diidentifikasikan de­
ngan radja jang pasti bergelar maharadja. Jang pasti bergelar sri ma­
haradja pada zaman permulaan abad 9 ialah Samaratungga dari radja-
kula Sailendra seperti dikenal pada prasasti Karang Tengah bagian
Sansekerta. Djelas bahwa rakai Garung hidup pada zaman itu, karena
beliau mengeluarkan prasasti Pengging pada tahun 819. Lima tahun
kemudian Samaratungga mengeluarkan prasasti Karang Tengah ten­
tang peresmian tjandi makam Djinalaja. Djadi rakai Garung hidup
sezaman dengan Samaratungga. Nama Samaratungga tidak dikenal
pada piagam Kedu, karena piagam Kedu hanja menjebut gelar sri ma­
haradja dan gelar rakai jang diikuti oleh nama tempat. Hingga sekarang

176
desa Garung itu masih ada, terletak didaerah W anasaba, keresidenan
Kedu (O .J.O . V II) . Menurut anggapan saja nama Samaratungga ada­
lah nama pribadi (mungkin djuga nama abhiseka) rakai Garung. Ber­
dasarkan djalan pikiran ini rakai Garung adalah radja Poh Pitu dari
radjakula Sailendra.
D jalan pikiran diatas bertentangan dengan djalan pikiran de Cas-
paris. De Casparis ingin melihat garis batas jang tegas antara radja­
kula Sandjaja dan radjakula Sailendra. Semua radja jang disebut pada
silsilah Balitung pada prasasti Kedu dianggap sebagai keturunan ratu
Sandjaja, rakai Mataram. Silsilah itu mulai dengan rakai Mataram,
sang ratu Sandjaja. Semua radja jang disebut disitu menggunakan
sebutan rakai jang diikuti oleh nama tempat. Sebutan rakai dengan
segala bentuk perubahannja seperti karayan, rakarayan, dang karayan,
rakryan, karyana adalah monopoli keturunan Sandjaja. Keturunan
radjakula Sailendra tidak menggunakan gelar rakai. Mereka itu meng­
gunakan unsur nama tungga atau uttungga jang berarti: puntjak atau
gunung. N am a itu tjotjok dengan arti gailendra alias „radja gunung” .
Samaratungga menggunakan unsur nama tangga, djadi menurut de
Casparis tidak mungkin bergelar rakai; keturunan Sailendra. Panang-
karan dan Garung bergelar rakai, djadi mereka adalah keturunan
Sandjaja, tidak mungkin termasuk dalam radjakula Sailendra.'.
Tim bulnja pendapat jang demikian disebabkan karena adanja nama
Dharm atungga pada prasasti Ratu Baka jang seumur dengan prasasti
Kalasan/Kelurak. Prasasti Karang Tengah dikeluarkan oleh radja jang
m enggunakan unsur nama tungga jakni Samaratungga. Apa jang di-
kemukakan oleh de Casparis sebenarnja logis, namun alasan-alasan
jang dipakai sebagai dasar hipotese itu menghendaki penelitian lebih
tjermat lagi. D ari nama-nama radja Sailendra hanja terdapat beberapa
sadja jang memuat unsur tungga jakni Dharmatungga (dari prasasti
Ratu B aka), Samaratungga (dari prasasti Karang Tengah) dan Mara-
widjatunggaw arm an (dari Larger Leyden Plates). Lainnja tidak meng­
gunakan unsur nama tungga seperti Dharanindra Sanggramadhanan-
djaja (dari prasasti Kelurak), Balaputradewa (dari prasasti N alanda),
Cudam aniw arm an (dari prasasti Larger Leyden Plates). Kita tidak
menjebut nama Pantjapana Panangkaran, karena tokoh ini masih di­
ragukan. Sebaliknja banjak lagi nama abhiseka radja-radja jang meng­
gunakan unsur tungga tanpa ada hubungannja dengan radjakula Sai­
lendra. Mereka itu bahkan keturunan rakai Pikatan, jang djelas
menganut agama Siwa dan rupanja djuga keturunan Sandjaja. Misalnja
Sri Sadjanotsawatungga (rakai Kajuwangi), Sri Iswarakeswarasama-
rottungga (Balitung), Sri Sajanasnamatanuragatungga (Tulodong),
Sriw idjajaloka Namottungga (dyah W a w a ) dsb. Radja-radja ini

177
hidupnja kemudian daripada S a m a r a t u n g g a . Sekarang kita ment,ari
« T t o h lain jang lebih tua daripada prasasti Karang Tengah dan pra­
sasti Kelurak. Prasasti Gata terang lebih tua daripada prasast. Ke­
lurak dan Karang Tengah, dan d)elas
bertarich tahun 771. Radja jang mengeluarkan prasasti Gata djelas
7 karena prasasti tersebut menggunakan
keturunan radjakula Sandjaja, Ka v . Dak-
tarich Sandjaja. R adja itu bergelar sri maharadja dan bernama Dak-
tancn o j j (tunq)gawidjaja. Namanja meng-
sottamaba u a jra ....... tiitinan itu djelas sekali bahwa unsur
ounakan unsur tungga. D a n kutipan itu ajei
nama tangga pada achir abad kedelapan bukan monopoh radjakula
Sailendra Djuga keturunan Sandjaja menggunakan unsur nama tunggz.
Seperti telah saja singgung dimuka k i r a n j a ungkapan r.hyzng runrn-
hun ri Poh P ita pada piagam Kedu jang dhkut, oleh delapan radja
nun ro n v berqelar sri maharadja ketjuali Sandjaja
dengan sebutan ra keturunan radja Sandjaja sadja, tetapi
tidak mutlak harus d,t,»fsirkan k « “ ™ “ ' pUa ba|k telunraaPn
tiap radja jang perna Kekuasaan bertalian erat de-
S an d jaja maupun keturunan ^Sailend^ ^ ^ ^ ^ ^

ngan kekuatan. K n iik a unqkapan prasasti Kedu itu di-


berusaha merebut ^ ^ k o t a k radjakula Sandjaja dan kotak radja-
tafsirkan demikian h _ A dakalanja radjakula Sandjaja jang
kula Sailendra tida ^ P Sailendra jang memegang pimpinan,
berkuasa, adakalanja ra j
Jang kalah mendjadi ^ av^a , ag prasasti Nalanda dan prasasti
Prasasti j a n g segera 1 radjakula Sailendra Dja-
k e k u a s a a n

Balaputra - D j a t i n i n g r a t , a
wa Tengah di S r i w i d j a j a .

178
\

V II

S R IW ID J A J A D IB A W A H K E K U A S A A N
R A D JA K U L A -SAILEN DRA

Prasasti N alanda dan Balaputra

Prasasti N alanda dikeluarkan oleh radja Benggala Dewapaladewa


di N alanda, ditulis dalam bahasa Sansekerta tanpa tarich tahun. Kita
hanja mengetahui bahwa rada Dewapala adalah pengganti radja Dhar-
m apala dan wafat pada tahun ± 878. Djadi prasasti Nalanda harus
dikeluarkan sebelum tahun 878. Prasasti tersebut telah diterbitkan oleh
sardjana India Hirananda Sastri dalam Epigraphia Indica no. 17 hal.
310-327. Hirananda Sastri menduga bahwa prasasti itu dikeluarkan
=t tahun 949. Isinja tentang permintaan maharadja Balaputra dari Su-
w arnadw ipa kepada radja Dewapala untuk mendirikan wihara di
N aland a. Balaputra mengaku tutju radja Sailendra dari Djaw a dan
putera Samaragrawira, lahir dari Tara, puteri radja Dharmasetu.
D alam terdjemahannja Hirananda Sastri lupa menjebut nama Sama­
ragrawira, jang tertjatat pada prasasti- Nalanda. Oleh karena itu nama
Sam aragraw ira saja tambahkan pada terdjemahan jang bersangkutan
diantara kurung. Oleh karena kebanjakan diantara pembatja tidak
akan sempat memeriksa teks Sansekerta atau terdjemahannja dalam
E pigraphia Indica itu, maka terdjemahan dalam bahasa Inggris jang
dibuat oleh H irananda Sastri dikutip seluruhnja seperti dibawah:
,,W e being requested by the illustrious Maharaja Balaputradewa,
the king of Suwarnadwipa through a messenger I have caused to be
built a monastery at Nalanda granted by this edict toward the income
for the blessed Lord Buddha, the abode of all the leading virtues like
the prajnaparamita, for the offerings, oblations, shelter, garments, alms,
beds, the requisites of the sick like mendicines, etc., of the assembly
of the venerable bhiksus of the four quarters (comprising) the Bodhi-
sattwas well versed in the tantras, and the eight great holy personages
(i.e. the aryapuggalas), for writing the dharma-ratnas or Buddhist texts
and for the up-keep and repair of the monastery (when) damaged.
There was a king of Yawabhumi (or Y aw a), who was the ornament
o f the gailendra dynasty, whose lotus feet bloomed by lustre of the
jewels in the row of trembling diadems on the heads of all the princes,
a n d whose name was conformable to the illustrious tormentor of brave
foes (wira-wairi-mathana). His fame, incarnate as it were, by setting
its foot on the regions of (white) palaces, in white water lilies, in lotus
plants, conches, moon, jasmine and snow and being incessantly sung

179
in all the quarters, pervaded the whole universe. At the time when
that king frowned in anger, the fortunes of the enemies also broke
down simultaneously with their hearts. Indeed the crooked ones in the
world have got ways of moving which are very ingenious in striking
others. He had a son (named Samaragrawira), who possesses prudence,
prowess, and good conduct, whose two feet fordled too much with
hundreds of diadems of mighty kings (bowing down). He was the
foremost warrior in the battle - fields and his fame was equal to that
earned by Yudhistira, Paragara, Bhimasena, Karna and Arjuna. The
multitude of the dust of the earth, raised by the feet of his army, mo­
ving in the field of battle, was first blown up to the sky by the wind,
produced by the moving ears of the elephants, and then, slowly set­
tled down on the earth (again) by the inchor, poured forth from the
cheeks of the elephants. By the continuous existence of whose fame the
world was altogether without the dark fortnight, just like the family
of the lord of the daityas (demons) was without the partisanship of
Krishna. As Paulomi was known to be (the wife of) the lord of the
Suras (i.e. Indra), Rati the wife of the mind-born (Cupid), the daugh­
ter of the mountain (Parwati) of the enemy of Cupid (i.e. Qiwa) and
Laksmi of the enemy of Mura (i.e. W isnu), so Tara was the queen
consort of that king, and was the daughter of the great ruler Dharma-
setu of the lunar race and resembled Tara (the Buddhist goddess of
this name) herself. As the son of CJuddhodana (i.e. the Buddha) the
conqueror of Kamadewa, was born of Maya, and Skanda, who deligh­
ted the heart of the host of gods, was born of Uma by £iw a, so was
born of her by that king the illustrious Balaputra, who was expert in
crushing the pride of all the rulers of the world, and before whose
footstool (the seat where his lotus feet rested) the group of princes
bowed. W ith the mind attracted by the manifold excellences of Na-
Ianda and through devotion to the sun of Cuddhodana (the Buddaha)
and having realized thdt riches was fickle like the waves of a moun­
tain stream, he whose fame was like that of Sangharthamitra. This
might possibly mean that his wealth befriended the cause of the Sang-
ha. Built there (at Nalanda) a monastery wich was the abode of the
assembly of monks of various good qualities and was white with the
series of stuccoed and lofty, dwellings. Having requested, King Dewa-
paladewa who was the preceptor for initiating into widowhood the
wives of all the enemies, through envoys, very respectfully and out of
devotion and issuing a charter, (he) granted these five villages whose
purpose had been motived above for the welfare of himself, his pa­
rents and the world. As long as there is the continuance of the ocean
or the Ganges has her limbs (the currents of water) agitated by the

180
extensive plaited hair of Hara (£iw a ), as long as the immovable king
of snakes (Qesa) lightly bears the heavy and extensive earth every
day, and as long as the (Udaya) Eastern and (Asta) W estern m oun­
tains have their crest jewels scratched by the hoofs of the horses of
the Sun, so long may this meritorious act, setting up virtues over the
world, endure.
Prasasti N alanda menimbulkan pelbagai persoalan. Persoalan jang
pertama ialah pengakuan Balaputra sebagai keturunan Sailendra di
D jaw a jang mendjadi radja Suwarnadwipa. Dalam hal ini Suwarna-
dw ipa adalah Sriwidjaja. Bagaimana Balaputra dari keturunan Sailen­
dra m ungkin mendjadi radja Suwarnadwipa? Persoalan jang kedua
ialah siapa jang dimaksud dengan radja Sailendra D jaw a jang men­
djadi nenek Balaputra dan mempunjai epiteton wirawairimathana itu?
A pakah beliau termasuk salah satu diantara radja-radja di Poh Pitu
jang disebut pada prasasti Kedu? Djika termasuk, siapa beliau itu?
Bagaimana hubungan antara radjakula Sailendra di Sriwidjaja pada
prasasti N alanda itu dengan radjakula Sailendra di Semenandjung
seperti terpahat pada batu Ligor B? Radja Sailendra D jaw a jang
mendjadi nenek Balaputra dikatakan mempunjai putera jang bernama
Samaragrawira, jakni ajah Balaputra. Adakah nama Samaragrawira
pada piagam N alanda ini sama dengan Samaratungga pada piagam
Karang Tengah? Perkawinan antara Samaragrawira dan Tara djuga
menimbulkan persoalan, karena prasasti Nalanda memberitakan bahwa
T ara adalah puteri radja Dharmasetu, dari Somawangsa. Siapa se-
betulnja radja Dharmasetu itu? Adakah betul beliau itu radja Sriw i­
djaja, sehingga akibat perkawinan itu Balaputra memperoleh hak untuk
mendjadi radja Sriwidjaja? Mengapa Balaputra jang mengaku tjutju
radja Sailendra D jaw a melarikan diri ke Sriwidjaja? Itulah beberapa
persoalan jang perlu mendapat perhatian akibat perkenalan dengan
prasasti Nalanda.
Terbitan The N alanda Copperplate of Dewapaladewa segera me­
narik perhatian sardjana purbakala F.D.K. Bosch. Pada tahun 1925
Bosch menjambut terbitan tersebut dan menulis karangannja jang ber-
djudul Een oorkonde van het groote klooster te Nalanda dalam T.B.G.
L X V hal. 509 - 527. Genealogi Balaputra berdasarkan prasasti N alan­
da pada hakekatnja sangat sederhana: Radja D jaw a jang mempunjai
epiteton wirawairimathana berasal dari radjakula Sailendra, mempunjai
seorang putera Samaragrawira. Samaragrawira kawin dengan puteri
T ara dari Somawangsa. Dari perkawinan itu lahir Balaputra, radja
Suw arnadw ipa. Genealogi jang sangat sederhana itu menghendaki
pendjelasan. Oleh karena epiteton'radja Sailendra Djaw a jang tertjatat
pada prasasti N alanda itu hampir sama dengan epiteton radja jang

181
mengeluarkan piagam Kelurak, Bosch menjamakannja dengan Dhara-
nindra. R .C , M ajum dar djuga tertarik kepada terbitan tersebut dan
menulis karangan dalam monografi Varendraresearch Society I pada
tahun 1926. Krom dalam Hindoe-Javaansche Geschiedenis hal. 156
menjamakan Samaragrawira dengan Samaratungga pada piagam K a­
rang Tengah.
Identifikasi Yaw abhum ipalah dengan Dharanindra dan Samaratung-
ga dengan Samaragrawira diterima sepenuhnja oleh de Casparis dalam
prasasti Indonesia I. Ia menganggap hubungan antara Dharanindra
dan Samaratungga sebagai hubungan antara bapak dan putera. Dari
gaja bahasa jang digunakan oleh prasasti Nalanda terasa bahwa pada
waktu prasasti itu dikeluarkan, Samaragrawira telah wafat. O leh ka­
rena Samaragawira disamakan dengan Samaratungga, maka dapat
diraba berkat analisa prasasti Karang Tengah dan Gandasuli, bahwa
w afat Samaragrawira itu antara tahun 824 dan 832. Pada waktu itu
menurut de Casparis agaknja puteranja Balaputra telah beberapa lama
menetap di Sumatera, dan memerintah sebagai radja. Oleh karena pada
prasasti N alanda disebutkan bahwa Samaragrawira kawin dengan
Tara, puteri Sri Dharmasetu, dengan sendirinja Tara dianggap per­
maisuri Samaratungga. Oleh karena pada prasasti Karang Tengah
Pram odaw ardhani adalah puteri Samaratungga, maka dengan sendiri­
nja Pram odawardhani adalah puteri Samaragrawira djuga. Akibat
analisa prasasti N alanda itu maka timbul nama Balaputra, putera Sa­
m aragraw ira. O leh karena Samaragrawira adalah Samaratungga, maka
Balaputra adalah putera Samaratungga. Pendapat ini dipertahankan
djuga dalam Prasasti Indonesia II dibawah djudul A metrical O ld Java -
nese inscription dated 856 A .D .
Dengan sendirinja de Casparis terbentur pada prasasti Karang Te­
ngah jang menjatakan bahwa Samaratungga hanja mempunjai seorang
puteri jang bernama Pramodawardhani. Seperti telah kita ketahui pada
tahun 824 Pram odawardhani meresmikan bangunan tjandi makam
D jinalaja. A ndaikata Samaratungga mempunjai putera, sudah pasti
bahwa peresmian tjandi itu dilakukan oleh puteranja. Untuk menghin­
darkan kontradiksi itu de Casparis memberikan keterangan: „Akibat
perkawinan dengan salah seorang puteri dari Sriwidjaja, maka Bala­
putra mendjadi radja di Sriwidjaja. Setelah Balaputra meninggalkan
D jaw a, di D jaw a tidak ada lagi radjaputera jang mewarisi tachta ke~
radjaan. Puteri Samaratungga telah dikawinkan dengan rakai Pikatan.
Dengan djalan demikian, maka rakai Pikatan memperoleh sekadar
kekuasaan untuk memerintah sebagian dari Djaw a Tengah. Kemung­
kinan lain ialah, bahw a Balaputra belum dewasa, ketika ajahnja me­
ninggal, sehinga ia belum diizinkan memerintah. Berhubung dengan

182
timbulnja perubahan suasana, jang sebab-sebabnja tidak dapat dike­
tahui dengan pasti, Balaputra kemudian mendjadi radja di Sriw idjaja.”
Kita merasa bahwa keterangan diatas agak ditjari-tjari, untuk meng­
hindari kontradiksi. Pada prasasti Karang Tengah djelas, bahwa Sa-
maratungga hanja mempunjai seorang puteri, jakni Pramodawardhani.
Tetapi akibat penjamaan antara Samaratungga pada prasasti Karang
Tengah dan Samaragrawira pada prasasti Nalanda, terpaksa Samara­
tungga mempunjai dua orang anak, jang satu laki-laki jakni Balaputra,
jang lain seorang puteri jakni Pramodawardhani. Untuk menghindar­
kan kesulitan tentang kedudukan Balaputra, ditjarikan djalan perka­
winan dengan puteri dari Sriwidjaja. Hubungan antara Balaputra dan
Pramodawardhani lalu seperti hubungan kakak dan adik atau dua
saudara sekandung. Seorang radjaputera tidak mudah meninggalkan
haknja atas tachta dan pergi ketempat lain untuk mendjadi radja akibat
perkawinan. Pokoknja keterangan jang diberikan tidak memberikan
kejakinan. Kontradiksi jang timbul kiranja akibat salah-identifikasi.
Terbukti bahwa identifikasi Samaragrawira dengan Samaratungga
menimbulkan kontradiksi. Suatu tanda bahwa ada sesuatu jang tidak
tjotjok. Identifikasi antara Samaragrawira dan Samaratungga jang
menimbulkan kontradiksi itu djuga diterima oleh Bosch dalam karang-
annja jang berdjudul Qriwijaya, de Qailendra~ en de Sanjayawamga
dalam B.K.I. 108 hal. 113-123. Kita dapat melihatnja setjara djelas
pada silsilah jang disusunnja pada hal. 123.
Meskipun nama Samaragrawira pada piagam Nalanda itu mirip
sekali dengan nama Samaratungga pada piagam Karang Tengah, na­
mun saja berpendapat, bahwa Samaragrawira dan Samaratungga itu
nama dua tokoh sedjarah jang berbeda-beda. Kedua-duanja memang
termasuk radjakula Sailendra dan berasal dari Djaw a Tengah. Dalam
pembahasan prasasti Gandasuli telah saja kemukakan bahwa identifi­
kasi antara D ang Karayan Partapan mpu Palar pada prasasti G anda­
suli dan sri maharadja rakai Garung pada prasasti Kedi’ tidak tjotjok,
karena sampai adjalnja Dang Karayan Partapan mpu Palar hanja
menduduki djabatan haji. Kedudukan itu lebih rendah daripada kedu­
dukan radja. Pada waktu itu jang mendjadi radja ialah Samaratungga.
N am a Samaratungga, rakai Garung dan Dang Karayan Partapan
terdapat pada prasasti jang dikeluarkan sezaman. Nama Samaratungga
pada prasasti Karang Tengah (tahun 824), nama rakai Garung pada
prasasti Pengging (tahun 819) dan nama Dang Karayan Partapan mpu
Palar pada prasasti Karang Tengah dan Gandasuli (tahun 824 dan 832).
D ari prasasti Karang Tengah dapat kita ketahui bahwa Dang Karayan
Partapan adalah pembesar bawahan Samaratungga, dan dari prasasti
Gandasuli kita ketahui, bahwa Dang Karayan mempunjai kedudukan

183
haji, bukan radja. Djadi tidak mungkin disebut sri maharadja. Demiki­
anlah identifikasi antara rakai Garung dan Dang Karayan Partapan
tidak mungkin. Pada awal abad 9 jang bergelar maharadja hanja Sama-
ratungga. Pada prasasti Kedu rakai Garung bergelar sri maharadja.
Demikianlah maka Samaratungga adalah sama dengan rakai Garung.
Samaratungga pada piagam Karang Tengah sama dengan rakai Ga­
rung pada piagam Kedu.
Oleh karena nama Samaragrawira terbukti tidak dapat disamakan
dengan Samaratungga, maka harus ditjari pemetjahannja; harus di­
identifikasikan dengan tokoh lain. Menurut prasasti Kedu radja jang
memerintah sebelum dan sesudah sri maharadja rakai Garung ialah sri
maharadja rakai W a rak dan rakai Pikatan. Identifikasi antara rakai
Pikatan dan Samaragrawira tidak dimungkinkan, karena dari penelitian
prasasti Sri Kahulunan dan nama-nama jang terpahat pada tjandi-
tjandi Plaosan rakai Pikatan adalah suami Sri Kahulunan alias Pra-
modawardhani, sedangkan Pramodawardhani adalah puteri Samara­
tungga. D jadi penjamaan antara rakai Pikatan dan Samaragrawira
tidak mungkin. Satu-satunja djalan ialah penjamaan dengan sri maha­
radja jang memerintah sebelum Samaratungga alias rakai Garung.
dengan sri maharadja rakai W arak atau sri maharadja rakai Panung-
galan. Identifikasi dengan rakai Panunggalan tidak dimungkinkan,
karena seperti kita ketahui rakai Panunggalan telah kita identifikasi­
kan dengan Dharanindra, ajah Samaragrawira jang menurut piagam
Nalanda disebut Yawabhumipalah.
Baik Dharanindra maupun Yawabhumipalah mempunjai epiteton „pem­
bunuh musuh-musuh perwira”. Dharanindra memerintah sesudah rakai
Panangkaran. Sri maharadja rakai Panunggalan djuga memerintah
sesudah rakai Panangkaran. Tinggallah satu-satunja kemungkinan ialah
identifikasi antara rakai W arak dan Samaragrawira. Oleh karena
Samaragrawira menurut piagam Nalanda kawin dengan puteri Tara,
dengan sendirinja puteri Tara adalah permaisuri (isteri) sri maharadja
rakai W arak. Dari perkawinan itu lahir Balaputra. Demikianlah Bala-
putra adalah putera rakai W arak. Menurut artinja nama Balaputra
adalah putera bungsu, karena bala artinja: ekor. Demikianlah rakai
W arak harus mempunjai putera-putera lainnja jang lebih tua daripada
Balaputra. Dengan sendirinja Balaputra sebagai putera bungsu tidak
langsung mempunjai hak untuk menggantikan ajahnja sebagai radja.
Putera sulung atau putera jang lebih tua mempunjai lebih banjak hak
atas tachta keradjaan daripada putera bungsu. Salah seorang diantara
saudara-saudara tua Balaputra ialah sri maharadja rakai Garung me­
nurut prasasti Kedu atau Samaratungga menurut prasasti Karang Te­
ngah. Demikianlah hubungan antara Samaratungga dan Balaputra

184
adalah hubungan saudara, atau kakak beradik. Balaputra berkakak
terhadap Samaratungga. Dengan sendirinja Pramodawardhani adalah
puteri kemanakan Balaputradewa. Mengapa Balaputra melarikan diri
ke Suwarnadwipa dan kemudian minta kepada radja Dewapaladewa
untuk membangun wihara Nalanda dengan pengakuan bahwa beliau
adalah keturunan radja Sailendra di Djawa, pertanjaan itu segera di-
djawab dalam pembahasan prasasti Balaputra - Djatiningrat atau A
metrical O ld Javanese inscription dated 856 A .D .

Prasasti Balaputra - Djatiningrat


Nam a Balaputra disebut pada prasasti Nalanda sebagai nama radja
Suwarnadwipa. Pengakuannja sebagai keturunan radja Sailendra dari
D jaw a telah tjukup dibahas diatas. Nama Balaputra djuga disebut satu
kali pada prasasti Balaputra - Djatiningrat jang bertarich tahun 856.
Prasasti itu telah diterbitkan oleh Dr. J.G. de Casparis dalam Prasasti
Indonesia II pada tahun 1957 dibawah djudul A metrical O ld Javanese
inscription dated 856 A .D . dari hal. 280 - 330. Prasasti ini memberikan
sekadar pendjelasan mengapa Balaputra melarikan diri ke Suwarna-
dwipa dan mendjadi radja di Sriwidjaja. Ringkasan isinja seperti ber­
ikut:
Pada 1 — 9. Seorang radja jang bernama Djatiningrat, pemeluk aga­
ma Siwa, kawin dengan seorang permaisuri jang memeluk agama lain.
(Dalam bagian ini terdapat nama W alaputra pada pada 7). Balaputra
menimbun ratusan batu untuk didjadikan benteng pertahanan dan
tempat bersembunji, dalam perang melawan Djatiningrat. Radja itu
mengambil nama Brahmana ,,Djatiningrat” dan mendirikan keraton di
M edang didaerah Mamrati. Sesudah itu beliau mengundurkan diri
sebagai radja dan menjerahkan kekuasaannja kepada dyah Lokapala.
Rakjatnja terbagi atas empat asrama, masing-masing dikepalai oleh
seorang Brahmana.
Pada 10 — 13. Sang radja bersiap-siap untuk mengadakan upatjara
kematian. Rakai Mamrati menjerahkan tanah W antil. Beliau merasa
malu, bahwa dusun Iwung pernah didjadikan gelanggang pertempur­
an. Setelah beliau mentjapai kekuasaan dan kekajaan, beliau mendiri­
kan tjandi makam, menghimpun pengetahuan dharma dan adharma.
T idak ada orang jang berani melawan beliau. Sang radja mendirikan
halu jakni lingga. Semua orang turut menjumbang untuk pembangun­
an lingga jang sangat indah itu.
Pada 14 — 17. Bagian ini menguraikan lingga jang didirikan. Di-
gapura ada artja pendjaga jang gagah berani untuk mendjaga ke­
amanan dan keselamatan bangunan. Dipintu masuk didirikan dua
bangunan jang berbeda bentuknja. Halaman lingga ditanami pohon

185
tandjung dan disitu didirikan rumah-rumah ketjil untuk para pertapa.
Pokoknja bangunan itu indah sekali.
Pada 18-23. Ruang bangunan jang terindah diperuntukkan bagi
jang diperdewa. Para pengundjung dan penjembah berdiri dalam de­
retan dengan hormat dan tenang. Semua orang diminta datang ber-
sembah.
Pada 24 ■— 29. Peresmiannja dilangsungkan pada tahun Saka 778
hari kesebelas bulan terang, Selasa Wage. Sesudah bangunan itu se­
lesai seluruhnja, kali dipindahkan, tanahnja didjadikan wilajah tjandi.
Itulah tanah merdeka pameget W antil. Lalu menjusul nama para pe-
djabat dan djabatannja. Tanah merdeka itu mendjadi milik tjandi.
Semua orang jang diberi tugas untuk mendjaga dan melakukan persem­
bahan, diharap tekun lagi tabah, dan djuga tidak mengalami lahir-mati
jang tidak ada hentinja.
Pada 7 dalam prasasti diatas menjebut nama Walaputca. Kata itu
didahului dengan kata-kata: timbunan batu untuk pengungsian. Kata-
kata tersebut dapat ditafsirkan bahwa Balaputra sedang berperang
dengan sang radja jang mengambil nama Brahmana ,,Djatiningrat”
dan menimbun batu untuk digunakan sebagai tempat pengungsiannja.
Pada 9 menguraikan bahwa rakai Mamrati menjerahkan tanah W antil
untuk bangunan lingga dan merasa malu, bahwa desa Iwung pernah
mendjadi gelanggang pertempuran. Kiranja didesa Iwung itulah ter-
djadi pertempuran antara Balaputra dan sang radja alias rakai Mam-
rati atau Djatiningrat. Balaputra menderita kekalahan.
Prasasti Balaputra - Djatiningrat dipahat pada tahun Saka 778 atau
tahun Masehi 856. Tarich tahun itu dinjatakan pada permulaan pada
23 atau baris 39 dengan tjandrasangkala wualung gunung sang wiku
jang mewakili angka 8, 7, 7 atau tahun Saka 778. Namun tarich ta
hun itu bukan tarih tahun kemenangan Djatiningrat terhadap Balaputra
melainkan tarich tahun pembangunan lingga ditanah Pameget W an til
didaerah Mamrati. Pembangunan lingga itu dilakukan setelah Djati­
ningrat mengundurkan diri dari pemerintahan dan menjerahkan ke
kuasaannja kepada dyah Lokapala. Demikianlah penerangan antara
Djatiningrat dengan Balaputra berlangsung sebelum tahun 856. Djadi
pengungsian Balaputra ke Suwarnadwipa djuga terdjadi sebelum-tahun
856. Tarich tahun kemenangan itu akan kita selidiki lebih landjut
Identifikasi Djatiningrat. Nama Djatiningrat adalah nama Brahmana
jang sengadja diambil oleh sang radja jang mengeluarkan prasasti
diatas. Sebagai radja sudah pasti beliau mempunjai nama abhiseka
dan nama pribadi. Pada prasasti itu beliau menjebut dirinja ketjuali
Djatiningrat djuga rakai Mamrati. Pada 8 baris terachir menguraikan

186
bahw a D jatiningrat mendirikan keraton didaerah M am rati. Setelah itu
lalu m engundurkan diri sebagai radja. Itulah sebabnja D jatiningrat
menjebut dirinja rakai Mamrati.
D e Casparis menjamakan Djatiningrat dengan rakai Pikatan pada
prasasti Kedu. A lasan jang dikemukakannja ialah, karena prasasti ini
menjebutkan, bahwa Djatiningrat menjerahkan kekuasaannja kepada
dyah Lokapala. Prof. L.C. Damais dalam Epigrafische aanteekeningen.
Lokapala - K ayuw angi (T.B.G. L X X X III afl. 1 hal. 1 - 6 tahun 1949),
telah membuktikan kesamaan antara dyah Lokapala dan Kayuw angi.
R akai K ayuw angi mengeluarkan piagam Argapura pada tahun 863,
djadi tudjuh tahun kemudian daripada prasasti Balaputra - D jatiningrat.
Prasasti A rgapura termuat dalam O .J.O . no. V III, nam un transkripsi-
nja berhenti ditengah djalan. Tarich tahunnja Saka 786; setelah di­
koreksi oleh Prof. L.C. Damais ternjata tarich tahunnja Saka 785 atau
tahun M asehi 863. D uplikat prasasti tersebut tersimpan djuga. Pada
prasasti A rgapura (oleh Damais disebut prasasti W a n u a Tengah)
terbatja nama rakai Pikatan pu Manuku. dan rakarayan Kayuw angi pu
Lokapala. N jata disini adanja kesamaan antara rakai Kayuw angi dan
pu Lokapala.
D alam silsilah radja-radja di Poh Pitu pada prasasti Kedu sri maha-
radja rakai Pikatan disebut lebih dahulu daripada sri maharadja Kayu­
w angi. P ada prasasti Balaputra - Djatiningrat dinjatakan bahwa D jati­
ningrat menjerahkan kekuasaannja kepada dyah Lokapala. D em ikian­
lah D jatiningrat itu sama dengan rakai Pikatan. Pada prasasti A rga­
pura itu njata pula bahwa nama rakai Pikatan ialah pu M anuku,
sedangkan pada prasasti Balaputra — Djatiningrat beliau mengaku
m engam bil nama Brahmana „Djatiningrat” . Djuga pada prasasti jang
terachir ini beliau menjebut dirinja rakai Mamrati. Dikatakan bahwa
rakai M am rati menjerahkan tanah W a n til, sedangkan rakai M am rati
tidak dikenal pada prasasti Kedu. Oleh karena Djatiningrat / M anuku
adalah rakai Pikatan, maka mungkin sekali tempat M am rati itu ter­
letak didaerah Pikatan. Kita hanja mengetahui bahwa Djatiningrat
m em bangun istana di Mamrati, setelah beroleh kekuasaan dan keka-
jaan. Letaknja desa Pikatan telah dapat kita ketahui jakni dekat T e­
m anggung dikeresidenan Kedu. M am rati harus djuga terletak disekitar
daerah Tem anggung.
K etjuali pada prasasti Balaputra - Djatiningrat nama desa M am rati
djuga dikenal pada prasasti Alas Lintakan (K .O . no. I) . Rakai Lajang
dyah T ulodong sri maharadja Sadjana Sannatanuraga Tunggadewa
m em buat tanah perdikan di Alas Lintakan. Desa Kasugihan dibeli oleh
sri m aharadja, ikut didjadikan tanah perdikan Tjaitya N iyaya. Di-
sebelah selatan berbatasan dengan desa Mamrati.

187
A da dua nama desa jang perlu diperhatikan jakni desa Pikatan dan
desa Kasugihan. Kedua desa itu tersebut djuga pada prasasti diatas.
Desa Pikatan dekat Temanggung, desa Kasugihan disebelah timur laut
Mantyasih. Oleh karena desa Mamrati tidak disebut pada prasasti
Kedu, maka letaknja harus diluar lingkaran bangunan di Mantyasih,
disebelah selatan desa Kasugihan. Nama desa Kasugihan disebut pada
prasasti Kedu dan merupakan desa lapis ketiga disebelah timur laut
Mantyasih. Bagaimanapun keraton Mamrati jang didirikan oleh rakai
Pikatan harus terletak disekitar Temanggung. Sedjak pemerintahan
rakai Pikatan Mamrati mendjadi pusat keradjaan atau ibukota ke-
radjaan. Pada tahun 842 kiranja rakai Pikatan sudah berkuasa, karena
pada tahun itu Pramodawardhani telah bergelar Sri Kahulunan: per­
maisuri. Seperti kita ketahui pada tahun 842 dikeluarkan prasasti Sri
Kahulunan bertalian dengan tanah perdikan Sri Kahulunan jang men­
djadi milik bangunan sutji Kamulan Bhumisambhara alias Barabudur.
Prasasti Sri Kahulunan jang berupa batu besar diduga oleh Krom ber­
asal dari daerah Temanggung (Krom, HJG. hal. 182). Prasasti Ganda-
suli jang bertarich tahun 832 telah menjebut adanja tanah Sri Kahu-
luan (Sri Kahulunan) jang diurus oleh Busu Pandarangan. Djika
demikian, maka rakai Pikatan pada tahun 832 telah memggang kekua­
saan. Penetapan letaknja desa Mamrati itu bertalian dengan pembe­
ritaan tentang adanja tiga keraton jakni:
1. medang i Bhumi Mataram (pada Minto-steen tahun Saka 846
O.J.O. X X X I).
2. medang i Mamrati (pada prasasti Balaputra - Djatiningrat
tahun Saka 778).
3. medang ri Poh Pitu (pada prasasti Kedu, tahun Saka 829).'
Demikianlah sebelum rakai Pikatan berkuasa, pusat keradjaan itu
terletak di Mataram. Hingga sekarang kita tidak mengetahui dengan
pasti, dimana letaknja desa Mataram itu setjara tepat. Jang kita ke­
tahui ialah bahwa menurut prasasti Kedu Sandjaja disebut rakai
Mataram. Hingga sekarang daerah istimewa Jogjakarta masih disebut
daerah Mataram. Orang masih membedakan Mataram dan Kedu. Dje-
las bahwa pada pemerintahan rakai Pikatan ibukota itu dipindahkan
dari Mataram ke Kedu, tepatnja disekitar Temanggung. Djika kita
memperhatikan aktivitas radjakula Sandjaja, maka njata bahwa akti-
vitasnja terbatas disekitar daerah istimewa Jogjakarta sekarang. Lingga
jang didirikan oleh radja Sandjaja diatas gunung W uk ir, letaknja tidak
djauh dari Jogjakarta. Prasasti Gata dan Tadji Gunung tentang pem­
bangunan dharmma kawikuan di Timbangan W un g k al terdapat di-
dekat Prambanan. Tjandi Kalasan jang dibangun oleh rakai Panang-
karan pada tahun 778 terdapat didaerah Jogjakarta. Masih banjak lagi

188
prasasti-prasasti jang dikeluarkan sebelum pemerintahan rakai Pikatan
jang diketemukan ditempat-tempat jang tidak terlalu djauh dari daerah
Jogja misalnja prasasti Ratu Baka jang memuat nama Dharmatungga.
N am un dari prasasti-prasasti itu kita tidak dapat menetapkan letaknja
pusat keradjaan. Didaerah makmur sebelah utara kota Jogja memang
ada sekelompok desa jang memakai nama Sansekerta. Nama-nama itu
kiranja bukan nama baru. Dan disitu djuga ada tjandinja, jang sudah
sangat rusak. Desa tempat tjandi itu sekarang disebut desa Tjandi. Di-
sebelah tenggara Tjandi terletak desa Redjadani (R ajadhan i): tempat
radja; disebelah barat Redjadani adalah Poton '(Pattana)i 'kota; dise-
belah barat desa Poton adalah desa Saragan (Saragana): tentara; di­
sebelah selatan Redjadani adalah desa Kamdanen (Kamadhani): tem­
pat kesenangan; disebelah selatan desa Kamdanen adalah desa N andan
(N a n d a n a ): taman kesenangan; disebelah timur Redjadani adalah desa
D ajakan (D ay ak a): sanak-saudara (radja); disebelah timurnja adalah
desa Gentari (G ata): tentara; sebelah utara Redjadani adalah desa
Bantardja (Batararaja): arwah para leluhur alias makam; disebelah
utaranja adalah desa Danalajan (Danalaya): tempat berkorban. Su­
ngai jang melalui desa Redjadani djuga disebut dengan nama Sanse­
kerta jakni kali Trasi (traci): menakutkan, berbahaja. Itulah sekelom­
pok desa didaerah sebelah utara Jogjakarta, jang nama-namanja
mempunjai hubungan dengan kemungkinan adanja pusat keradjaan
dan hingga sekarang masih ada serta mengandung unsur-unsur India.
Karena tidak ada bahan 'lain jang dapat digunakan, maka toponimi
itu hanja memberikan petundjuk sadja, tidak memberikan kemungkinan
untuk menarik kesimpulan.
Terbukti pada tahun 907 pusat keradjaan itu telah berpindah ke
Poh Pitu. Dim ana letaknja djuga tidak kita ketahui. Jang pasti ialah
didaerah Kedu. N am a Poh Pitu sendiri tidak kita kenal baik zaman
sekarang maupun pada prasasti ketjuali pada prasasti Kedu. Desa
Poh Pitu tidak disebut diantara 24 desa pada prasasti. Desa Kedu
hingga sekarang masih ada. Mungkin karena Poh Pitu itu mendjadi
pusat keradjaan, maka nama itu tidak disebut. Desa Poh atau wanua
Poh kita kenal beberapa kali pada prasasti diantaranja pada prasasti
Bara Tengah dari tahun 907 tentang pembuatan tanah perdikan Kaju
A ra H iw ang didaerah W a ru Tihang oleh rake wanua Poh dyah Mala.
Disitu disebutkan djuga pelbagai nama desa diantaranja desa Man-
tyasih. Desa M antyasih terletak disebelah utara desa Kedu dan me­
rupakan pusat. Desanja disebut Mantyasih tetapi sebagai pusat ke­
radjaan disebut Poh Pitu. Ichtisar mengenai kelompok desa disekitar
M antyasih telah diberikan setjara djelas oleh de Casparis dalam Pra­
sasti Indonesia I hal. 159.

189
Oleh karena pada piagam Balaputra - Djatiningrat dengan djelas
dinjatakan, bahwa Djatiningrat memeluk agama Siwa, berbeda dengan
sang permaisuri, maka dapat diambil kesimpulan bahwa beliau kawin
dengan puteri dari radjakula Sailendra, jang memeluk agama Buda.
Puteri itu ialah rani jang mengeluarkan prasasti Sri Kahulunan pada
tahun 842. Nama Sri Kahulunan ternjata terpahat bersama dengan sri
maharadja rakai Pikatan pada kelompok tjandi Plaosan Lor. Sri Ka­
hulunan adalah puteri Samaratungga, jang pada piagam Karang Te­
ngah bernama Pramodawardhani.

Bahwa rakai Pikatan mempunjai banjak nama terbukti dari pelbagai


prasasti. Bagi kita jang penting ialah mengetahui bahwa penjingkiran
Balaputradewa dari Djawa akibat kekalahan perang dengan rakai
Pikatan, menantu Samaratungga. Nama Samaratungga ini sangat me­
narik perhatian, karena nama itu oleh de Casparis dan Bosch disama­
kan dengan nama Samaragrawira pada piagam Nalanda. Piagam
Nalanda jang dikeluarkan oleh radja Dewapaladewa menguraikan
pembangunan wihara Nalanda atas permintaan Balaputra dari Suwar-
nadwipa. Balaputra mengaku keturunan radja Sailendra dari Djawa.
Maharadja jang disebut Yawabhumipalah gri wtrawairimanthananuga-
tabhidanah mempunjai seorang putera jang kemashurannja dalam pe­
perangan sama dengan Yudistira, Parasara, Bimasena, Karna dan
Ardjuna, bernama Samaragrawira. Radjaputera Samaragrawira kawin
dengan Tara, puteri Sri Dharmasetu; dari perkawinan itu lahir se­
orang putera, bernama Balaputradewa.

Seperti telah didjelaskan kemiripan nama antara Samaratungga dan


Samaragrawira itu, maka pelbagai sardjana mengira bahwa Samara­
tungga adalah sama dengan Samaragrawira. Bosch dalam karangannja
De Inscriptie van Ligor dalam madjalah T.B.G. L X X X I tahun 194i
menjamakan Samaratungga pada piagam Karang Tengah dengan rakai
Panunggalan pada piagam Kedu, dan kemudian dengan Samaragrawira
pada piagam Nalanda, jakni ajah Balaputra. Penjamaan itu masih
lebih landjut lagi. Ia menjamakannja dengan W isnu pada piagam Li­
gor B. Dalam karangannja £ riwijaya, de Sailendra- en de Sanjayawamga
(B.K.I. 108 hal. 113-123) masih tetap ia menjamakan Samaratungga
dengan Samaragrawira. Rakai Garung sama dengan rakai Patapan
pada piagam Karang Tengah dan piagam Gandasuli. Untuk menda­
patkan gambaran jang djelas tentang teori Bosch mengenai hubungan
antara radjakula Sailendra, Sriwidjaja, Sandjaja dan Sailaradja di
Fu-nan, jang pada hakekatnja himpunan daripada hasil penelitian
Coedes, van Naerssen, de Casparis dan penelitiannja sendiri, maka
silsilah jang telah disusunnja itu disalin seperti dibawah.

190
Çailendra-wangsa menurut teori F.D.K. Bosch :
[Dinasti Fu-nan Sandjaja (Tj)

JSomawangsa
( Sailendrawangsa (?)
W isnu (L)

Puteri rakai Panangkaran (Kd)


rakai Panangkaran (K)

Uharmasetu (N) Sri Maharadja rakai Panunggalan (Kd)


= radja Sriwidjaja (L') Sailendrawangsa
Sarwwarimadawi (ma) thana (L)
= Sailendraradja (K)
= Dharanindra
wairiwarawiramardana (Kl) rakai Warak (Kd)
= Y awabhumipalah
Çailendrawamçatilaka
wîrawairimathana (N)
rakai Garung (Kd)
{
Tara (N) Samaratungga (Kt)
= Samaragrawira (N) rakai Patapan (Kt)
I (Gs)
Balaputradewa / Pramodawardhani (Kt) rakai Pikatan (Kd)
Suwamadwipadhipa (N) (Pl)
' = Sri Kahulunan (Mg')
Çudamamwarman Rakai Kajuwangi (Kd)
radja Kataha dan Sriwidjaja (Gr. Ch)
I
I rakai Humalang (Kd)
Marawidjajotunngawarman
radja Kataha dan Sriwidjaja rakai Watukura (Kd)
Sailendrawangsa (Gr. Ch)

Piagam-piagam:
Keterangan singkatan; K = Kalasan; Kd = Kedu; K1 = Kelurak; Kt = Ka­
rang Tengah; L = Ligor; Mg = Magelang; N = Nalanda; Pl = Plaosan Lor;
= Tjanggal; Gr. Ch; = Great Charter of Leyden.
Dari ichtisar hubungan antara radja-radja Sriwidjaja, radjakula Sai-
lendra di Djaw a dan radjakula Sandjaja diatas njata bahwa Bosch
masih tetap menjamakan Samaratungga dengan Samaragrawira. Sudah
pasti bahwa kedua nama itu mirip sekali, karena kedua-duanja mulai
dengan Samara; jang berbeda hanja bagian belakangnja. Boleh dipasti­
kan bahwa Balaputra mengenal nama Samaratungga pada piagam
Karang Tengah dan Samaragrawira sebagai ajah Balaputra, karena
Balaputra baru pada pertengahan abad 9 meninggalkan Djawa Te-

191
ngah. Andaikata Samaratungga itu benar sama sadja dengan Samara-
grawira, timbul pertanjaan, mengapa pada piagam Nalanda Balaputra
tidak menjebut ajahnja Samaratungga sadja? Penjebutan itu lebih meng­
untungkan, karena dengan djalan demikian maka ia sebagai putera
laki-laki mempunjai hak atas tachta jang lebih besar daripada Pramo-
dawardhani?
Karena kedua nama itu berbeda, kiranja memang nama dua tokoh
jang berlain-lainan. Samaragrawira adalah nama rakai W arak, Sama­
ratungga adalah nama rakai Garung. Dengan kata lain Samaratungga
adalah putera Samaragrawira dan kakak Balaputra. Samaratungga
adalah putera sulung jang mempunjai hak untuk mewaris tachta; Bala­
putra adalah putera bungsu, karena namanja memang berarti demi­
kian; (wala = ekor; putra = anak).
Terbukti bahwa Samaratungga tidak mempunjai putera. Beliau hanja
mempunjai seorang puteri jakni Pramodawardhani, permaisuri rakai
Pikatan. Balaputra sebagai putera laki-laki Samaragrawira mengira
berhak pula menggantikan Samaratungga, jang tidak berputera laki-
laki. Timbullah karenanja sengketa antara Balaputradewa dan Djati-
ningrat jang membela hak permaisurinja. Ini lebih logis daripada
anggapan, bahwa Balaputradewa adalah adik Pramodawardhani. Ber­
dasarkan anggapan jang terachir ini maka Balaputra mempunjai hak
atas tachta jang lebih besar daripada Pramodawardhani. Pernjataan
Balaputra di Nalanda harus ditafsirkan sebagai pernjataan persaha­
batan antara Balaputra dan Dewapaladewa untuk sekadar minta ban­
tuan dalam merebut kembali hak mendjadi radja di Mataram. Tafsiran
j^ng demikian dapat dipahami. Sengketa antara Balaputradewa dan
Djatiningrat kiranja terutama mengenai perebutan kekuasaan antara
Balaputra dan Pramodawardhani, sepeninggal rakai Garung. Dalam
hal ini sebenarnja Djatiningrat sebagai menantu ada diluar sengketa
Namun karena membela kepentingan isteri, turut terlibat. Pada piagam
Balaputra - Djatiningrat dengan djelas dinjatakan bahwa setelah D jati­
ningrat beroleh kekuasaan dan kekajaan, beliau lalu mendirikan tjandi
makam, menghimpun ilmu dharma dan adharma. Tidak ada orang jang
berani melawan. Sesudah berkuasa sebagai radja,' lalu mendirikan
keraton di Medang didaerah Mamrati. Sesudah itu lalu mengundurkan
diri dan menjerahkan kekuasaannja kepada puteranja Lokapala. Loka-
pala memang berhak sepenuhnja atas tachta keradjaan sebagai putera
Pramodawardhani. Djatiningrat lalu hidu p. sebagai pertapa. Dengan
djelas pula dinjatakan bahwa beliau menjesal, bahwa desa Iwung per­
nah djadi medan pertempuran. Kiranja kalimat jang terachir ini djuga
sekadar membajangkan penjesalannja atas peperangan jang dilakukan-
nja melawan Balaputradewa.

192
Pada tahun 842 dikeluarkan sebuah piagam oleh seorang rani jang
bergelar Sri Kahulunan. Menurut dugaan Sri Kahulunan adalah Pra-
modawardhani. De Casparis berpendapat bahwa gelar sri kahulunan
adalah gelar permaisuri, bukan gelar radjaputeri. Pendapat itu didasar­
kan atas piagam tjandi Plaosan. Samaratungga masih mempunjai se­
orang putera, bernama Balaputra jang berarti: anak bungsu. Prof. M r.
M oh. Yamin, sependapat dengan de Casparis. Katanja: „Pramodawar-
dhani tak ikut bersama Balaputra berpindah ke Sumatera, melainkan
menetap di Djawa Tengah dan berkawin dengan rakai Pikatan. Per-
tulisan Ratu Baka berisi pertentangan antara rakai Pikatan dengan
Balaputra jang agaknja karena menderita kekalahan lalu berpindah
ke Sumatera. Sementara itu puteri Pramodawardhani dikawini rakai
Pikatan dan keraton Ratu Baka mendjadi keraton Siwa, padahal se­
belum tahun 856 ialah keraton Sailendra untuk kepentingan agama
Buda M ahayana.”

Persoalan Sri Dharmasetu


Pada piagam Nalanda tertjantum bahwa Tara, ibu Balaputra, ada­
lah puteri Sri Dharmasetu dan permaisuri Samaragrawira. Nam un pada
piagam itu tidak dinjatakan dimana keradjaan Sri Dharmasetu. Timbul­
lah karenanja anggapan bahwa Sri Dharmasetu adalah radja Sriwi-
djaja. Anggapan itu telah dikemukakan oleh Krom pada tahun 1938
dalam Stapel’s Geschiedenis I hal. 162. Dalam bukunja Prasasti Indo~
nesia I hal. 110-111 de Casparis menulis: „Setelah Balaputra mening­
galkan Djawa, di Djaw a tidak ada lagi radjaputera jang mewaris tachta
keradjaan. Puteri Samaratungga telah dikawinkan dengan rakai
Pikatan. Dengan djalan demikian maka rakai Pikatan memperoleh
kekuasaan untuk memerintah sebagian dari Djawa Tengah. Kemung­
kinan lain ialah, bahwa Balaputra belum dewasa, ketika ajahnja me
ninggal, sehingga ia belum diizinkan memerintah. Berhubung dengan
timbulnja perubahan suasana, jang sebab-sebabnja tidak dapat diketahui
dengan pasti, Balaputra kemudian mendjadi radja di Sriwidjaja.

Dalam terbitannja Prasasti Indonesia II hal. 296 note 66 de Casparis


menjarankan bahwa Balaputra kawin dengan puteri sulung radja ri
widjaja, setelah menjingkir dari Djawa. Berdasarkan perkawinan itu
beliau berhak mendjadi radja Sriwidjaja. Pengangkatan mendjadi ra ja
tidak semata-mata didasarkan atas keunggulannja sebagai tjalon, tetapi
karena Balaputra mempunjai hak atas tachta keradjaan Djaw a Tenga
D jik a tuntutannja berhasil, berarti perluasan wilajah Sriwidjaja sampai
di D jaw a. Itulah sebabnja maka Balaputra menjerukan asal-usulnja
sebagai keturunan radja Sailendra di Djaw a dan tjutju Sri Dharma

193
13*
setu, radja Sriwidjaja, di Nalanda. Dengan kata lain ia mengadukan
kepada radja Dewapaladewa, bahwa haknja mendjadi radja di Djaw a
dirampas oleh orang lain jakni oleh rakai Pikatan.
Tentang anggapan bahwa perkawinan Pramodawardhani dengan
rakai Pikatan berlangsung sesudah Balaputra meninggalkan Djaw a,
ada keberatannja. Pada tahun 856 Dyah Lokapala, jang lahir dari
perkawinan antara Djatiningrat dan Pramodawardhani, sudah diserahi
pemerintahan. Pada waktu itu beliau sudah dewasa, padahal pengusiran
Balaputra dari Mataram terdjadi baru beberapa tahun sebelumnja jakni
antara tahun 842 sebagai batas pemerintahan Samaratungga dan tahun
856 masa penjerahan kekuasaan kepada Dyah Lokapala dan pemba­
ngunan halu dan tiga lingga didataran tinggi Ratu Baka. Oleh karena
itu menurut pendapat saja perkawinan antara Djatiningrat dan Pramo­
dawardhani berlangsung pada masa pemerintahan Samaratungga alias
rakai Garung. Selama Samaratungga masih berkuasa, tidak ada per­
selisihan antara Balaputra dan Djatiningrat. Tetapi sepeninggal beliau,
timbul perselisihan mengenai hak atas tachta keradjaan. Sebagai suami
Djatiningrat membela permaisuri Pramodawardhani. Setelah berhasil
mengalahkan Balaputradewa, sang suami Djatiningrat memegang tam­
puk pemerintahan, bukan Pramodawardhani.
Oleh karena de Casparis menerima anggapan bahwa Sri Dharmasetu
adalah radja Sriwidjaja, maka perkawinan Balaputra dengan puteri
radja Sriwidjaja, jang pada hakekatnja masih berupa teori jang sangat
kabur, adalah perkawinan antara dua saudara sepupu. Penjingkirannja
ke Sumatera didasarkan pertimbangan akan adanja hubungan kekelu­
argaan dengan radja Sriwidjaja, seperti dinjatakan pada piagam Li-
gor B. Saran ini logis sekali dan mudah dipahami. Seperti telah di
singgung dimuka, Coedes telah mengemukakan pendapat bahwa pia
gam Ligor B, dikeluarkan oleh putera Criwijayegwarabhupati dari pia­
gam Ligor A, jang mendjadi radja Sailendra I, setelah kawin dengan
puteri Fu-nan. Teori Coedes telah diambil alih oleh Prof. F,.D.K. Bosch
dalam karangannja Qriwijaya, de Qailendra- en de Sanjayawamga se­
perti kelihatan djelas pada silsilah jang disusunnja. M r. M oh. Y am in
dalam Laporan Konggres M J .P .I. dan Nilakanta Sastri dalam History
of Sriwijaya djuga menerima saran, bahwa Sri Dharmasetu adalah
radja Sriwidjaja. Tetapi hingga sekarang tidak ada pem buktiannja.
Keberatan terhadap pendapat Coedes telah saja kemukakan. M e sk ip u n
saran de Casparis sangat termakan akal, namun ada banjak keberatan­
nja. Pertama perkawinan antara puteri radja Sriwidjaja dan Balaputra­
dewa. H a l tersebut merupakan anggapan sadja, karena tidak ada pem­
beritaan tentang perkawinan itu. Kedua tentang anggapan bahw a Sri
Dharmasetu adalah radja Sriwidjaja. H al tetsebut djuga masih merupa­

194
kan anggapan, karena pemberitaannja tidak tertjantum pada piagam
manapun. Ketiga perkawinan antara puteri Fu-nan dengan radja W'is-
nu, jang mengakibatkan timbulnja dua tjabang radjakula Sailendra.
Djuga mengenai hal ini tidak diperoleh bukti-buktinja.
N am a Sri Dharmasetu djelas kedapatan pada dua piagam, pada
piagam Kelurak dan pada piagam Nalanda. Kiranja Sri Dharmasetu
jang kedapatan pada piagam Kelurak itu sama sadja dengan Sri
Dharmasetu jang kedapatan pada piagam Nalanda. Pada piagam
N alanda tertjantum bahwa Sri Dharmasetu termasuk Somakula. D jadi
beliau bukan keturunan Sailendra. Demikianlah Samaragrawira itu
mengambil puteri dari Somakula. Pada upatjara peresmian artja Ma-
njugri di Kelurak dinjatakan: mah pratipalaniyah gri dhavmmasetuc ayam
artinja: Sri Dharmasetu jang diserahi untuk mendjaga .......
Oleh karena bangunan itu terdapat di Djaw a Tengah, kiranja Sri
Dharmasetu jang diserahi untuk mendjaganja, djuga berkedudukan di
D jaw a Tengah. Samaragrawira adalah rakai W a ra k dan putera
Dharanindra (rakai Panunggalan). Demikianlah Dharanindra itu ber-
besan dengan Sri Dharmasetu. Balaputradewa adalah tjutju Sri D har­
masetu menurut keturunan ibunja, dan tjutju Dharanindra menurut
keturunan ajahnja. Kedua-duanja berkedudukan di Djawa Tengah.
N am un menurut analisa diatas rakai Panunggalan berhasil menguasai
keradjaan Sriwidjaja. Oleh karena Balaputra menderita kekalahan
dalam peperangan melawan Djatiningrat dan kemudian terpaksa me-
njingkir ke Sumatera, maka negeri jang harus diwarisnja dari nenek
Dharmasetu dan dari ajahnja Samaragrawira terampas semuanja oleh
rakai Pikatan, jang menurut adat tidak berhak untuk menguasainja.
Demikianlah penjebutan Dharmasetu sebagai neneknja melalui urutan
ibunja dan penjebutan Jawabhumipalah melalui urutan ajahnja, ^ i
hubungkan dengan negara jang harus diwarisnja melalui urutan aja
nja sebagai keturunan radjakula Sailendra. Seruan hak itu ditudjukan
kepada radja Dewapaladewa terhadap rakai Pikatan dan keturunan
nja. D jika sekarang tidak berhasil merebut kembali hak itu, harap
perdjuangan merebut kembali hak atas tachta itu dilandjutkan ke
mudian.
Penobatan Balaputra sebagai radja Sriwidjaja tidak didasarkan
atas keturunan Sri Dharmasetu. Satu-satunja djalan ialah menerima
anggapan, bahwa maharadja W isn u jang tertjantum pada piagam
Ligor sama dengan Dharanindra pada piagam Kelurak, sama dengan
rakai Panunggalan pada piagam Kedu.
Demikianlah jang dimaksud dengan Yawabhumipalah pada piagam
N alanda ialah Dharanindra pada piagam Kelurak atau rakai Panungga'
lan pada piagam Kedu. Dengan djalan demikian maka epiteton griwita-

195
wairimathana pada piagam Nalanda itu memang sama dengan epiteton
wairiwarawtramardana pada piagam Kelurak. Epiteton itu kedua-dua-
nja epiteton Dharanindra atau rakai Panunggalan. Epiteton radja
W isnu pada piagam Ligor hampir serupa jakni sarwwarimadawi(ma)~
thana. Semua mengandung arti: pembunuh musuh perwira. Oleh karena
nama Dharanindra (Dharanidhara) sama dengan nama W isnu, maka
epiteton sarwwarimadavi(ma) thana pada piagam Ligor itu djuga epi­
teton Dharanindra alias rakai Panunggalan.

Daftar nama radja-radja Djawa Tengah itu lalu seperti berikut:

Nama pribadi rakai abhiseka tarich prasasti

Sandjaja Mataram 732 Tjanggal


Daksottamabahubadjra 771 Gata
pratipaksaksaja sri 772 Tadji Gunung
Tunggadewa
Pantjapana Panangkaran Dharmatungga?778 Kalasan
Dharanindra Panunggalan Sanggramadhanandjaja 782 Kelurak
_+ 787 Ligor B
_+ 860 Nalanda
Samaragrawira Warak +. 860 Nalanda
Samaratungga Garung 819 Pengging
824 Karang Tengali
Djatiningrat Pikatan 856 Balaputra-Djatiningrat
850 Tulang Air
863 Argapura
Lokapala Kajuwangi Sadjanotsawatungga 856 Balaputra-Djatiningrat
880?Wuatan Tidja
863 Wanua Tengah
(Gurun Wangi) 887 Munggu Antan
DyahDewendra Limus 890 (Poh Dulur)
Watuhumalang 896 >Kawikuan Panunggalan
886 ?
Balitung Watukura Sri Iswarakesawo-
tsawatungga 907 Matyasih (ICedu).
Tulodong Lajang Sadj anasanatanuraga-
tunggadewa 919 (Lintakan)

196
V III

K E R A D JA A N SAN-FO-TS’I

Berita Tionghwa

Pada masa pemerintahan radjakula T ’ang (618-907) keradjaan


Sriwidjaja disebut Shih-li-fo-shih (Che-li-fo-che). Nam a Shih-li-fo-shih
baik jang tertjatat dalam sedjarah T ’ang maupun jang tertjatat dalam
karya-karya I-ts’ing adalah transkripsi Tionghwa dari nama Sriw i­
djaja. Transkripsi jang demikian mudah dipahami. Hsin-t ang-shu
mentjatat bahwa keradjaan Shih-li-fo-shih mengirim utusan ke T iong­
kok dalam pangsa waktu 670-673 dan 713-741. Sedjak itu utusan
Shih-li-fo-shih tidak lagi kedengaran.
Pada masa pemerintahan radjakula Sung (960- 1279) negeri dilaut
Selatan jang namanja San-fo-ts’i mengirim utusan ke Tiongkok ber­
kali-kali. Sung Shih mentjatat kedatangan utusan itu ke Tiongkok pada
tahun 960, 962, 971, 972, 974, 975, 980, 983, 985 dan 988. Utusan jang
terachir ini tinggal di Kanton sampai tahun 990, karena mendengar
bahwa negerinja San-fo-ts'i sedang diserang oleh tentara dari Cho-p o.
Pada musim semi tahun 992 utusan itu berangkat lagi menudju San-
fo-ts’i, namun pelajarannja hanja sampai di Tjampa, karena belum ada
kepastian tentang negerinja. Oleh karena itu ia berlajar kembali. Ia
mendesak kaisar untuk mengeluarkan pengumuman, bahwa San-fo-ts i
ada dibawah perlindungan Tiongkok. Pada tahun 992 itu djuga datang
utusan dari Cho-p’o di Tiongkok menjatakan bahwa negerinja sering
berperang dengan San-fo-ts’i. Utusan dari Cho-p o ini adalah utusan
dari radja Dharmawangsa, jang naik tachta pada tahun 991. Baru pada
tahun 1003 datang lagi utusan dari San-fo-ts’i. Kemudian pada tahun
1008. Sepuluh tahun lamanja tidak ada utusan dari San-fo-ts i jang
datang. Sung Shih mentjatat bahwa utusan dari San-fo-ts i datang lagi
pada tahun 1017, 1028, 1067, 1080, 1082, 1083, pangsa waktu 1094-
1097, 1156, dan jang penghabisan kali pada tahun 1178. Pada tahun
1178 kaisar mengeluarkan pengumuman, agar San-fo-ts i tidak lagi
mengirim utusan keistana, tetapi mendirikan suatu perusahaan dagang
di C h ’uan-chow di Fu-kien.
D idalam sedjarah Sung (bab 489) keradjaan San-fo-ts’i itu diuraikan
seperti berikut:
„K eradjaan San-fo-ts’i adalah keradjaan bangsa liar dilaut Selatan.
Letaknja antara Chen-Ia dan She-po, memerintahkan limabelas matjam
negeri. Negeri itu menghasilkan rotan, kino(?) merah, kaju tjendana,
pinang dan njiur. Penduduknja tidak menggunakan uang tembaga,

197
kebiasaan mereka ialah berdagang mas dan perak. Hawanja panas.
Dimusim dingin tidak ada es atau saldju. Rakjatnja mengusap badan-
nja dengan minjak semegrak. Negeri ini tidak menghasilkan gandum,
tetapi menghasilkan banjak padi, kapri kuning dan hidjau. Mereka
membuat anggur dari bunga, dari njiur, pinang dan madu. Mereka
menggunakan huruf Sansekerta (Dewanagari); radjanja menggunakan
tjintjin sebagai tjap. Mereka djuga mengenal huruf Tionghwa. Djika
mengirim utusan ke Tiongkok, mereka menulis dengan huruf jang ter-
achir ini. Bila angin baik, djarak antara Kwang-tung dan negara
tersebut, dapat ditempuh dalam waktu duapuluh hari. Nama-nama kelu­
arga banjak jang mulai dengan P ’u. Pada tahun 960 radja Shih-li-hu-
ta-hia-li-tan mengirim utusan ke Tiongkok. Pada tahun 992 negeri itu
ditundukkan oleh Djawa. Pada tahun 1003 dua utusan dari San-fo-ts’i
memberitahukan bahwa dinegeri itu telah didirikan tjandi Buda dengan
tudjuan sebagai tempat berdoa untuk memohonkan pandjang usia
bagi kaisar Tiongkok. Kaisar kemudian memberi nama untuk tjandi itu
dan menghadiahkan lontjeng chusus tertjetak untuk tjandi tersebut.
Pada tahun 1017 utusan dari San-fo-ts’i membawa bingkisan-bingkisan
buku Sansekerta, jang dilipat dalam sampul papan. Pada tahun 1082
tiga utusan datang menghadap kaisar; mereka mempersembahkan bunga
teratai mas jang berisi mutiara, kapur barus dan satin.”
Chu-fan-chi jang disusun oleh Chao-ju-kua pada masa pemerintahan
radjakula Sung (960- 1279) menguraikan bahwa San-fo-ts’i terletak
tepat disebelah selatan C h’uan-hou (berhadapan dengan Formosa uta­
ra); rakjatnja bersarong kain kapas dan berpajung sutera. Mereka
pandai berperang baik dilaut maupun didarat. Organisasi ketentaraan-
nja sangat rapi. Bila radjanja wafat, rakjatnja bertjukur gundul sebagai
tanda belasungkawa. Mereka jang berbela, mentjeburkan diri dalam
minjak mendidih. Adat itu disebut „T ’ung-sheng-ssu” artinja „sehidup
semati”. A da artja Buda jang disebut gunung mas dan perak. Radjanja
biasa disebut „hakekat ular". Mahkotanja mas, berat sekali. Hanja
baginda sadja jang kuat mengangkatnja. Barangsiapa kuat mengang-
katnja, djadi panggantinja. Negeri itu terletak ditepi laut dan merupa­
kan bandar penting, mengawasi masuk-keluar kapal negferi-negeri lain-
nja. Dahulu menggunakan rantai besi sebagai batas bandar.
Dalam sedjarah M ing (1368- 1643) buku 324 tertjatat demikian:
„Pada tahun 1397 San-fo-ts i untuk penghabisan kalinja dikalahkan
oleh Djawa; kemudian namanja diganti Chiu-chiang artinja: pelabuhan
lama, sungai lama”.
Dalam Ying-yai-sheng-lan (1416) tertjatat, bahwa Chiu-chiang
sama sadja dengan negara jang sebelumnja disebut San-fo-ts’i, djuga
disebut Po-lin-pang, ada dibawah kekuasaan Djawa. Kapal-kapal jang

198
datang dari manapun, masuk selat Peng-chia (Bangka) jang berair
tawan. Didekatnja banjak pagoda jang dibuat dari bata. Kem udian
para pedagang mudik kehulu, djalannja makin lama makin sempit,
menudju ibukota.

Berdasarkan berita-berita geografi diatas dapat ditarik kesimpulan


bahw a keradjaan San-fo-ts’i terletak di Palembang. Kesimpulan itu
sudah merupakan pendapat umum. Dan memang tidak ada keberatan
untuk menerima pendapat itu. Seperti telah disinggung diatas, jang
menimbulkan persoalan ialah: adakah Shih-li-fo-shih itu sama dengan
San-fo-ts’i? H ingga sekarang para ahli sedjarah menganggapnja sama.
Takakusu jang belum mengenal nama Sriwidjaja, menjamakan Shih-li-
fo-shih dengan Sribhoja, Fo-shih dengan Bhoja. Ia djuga beranggapan
bahw a Shih-li-fo-shih dalam pemberitaan I-ts’ing sama dengan San-
fo-ts i dalam berita-berita Chu-fan-chi. Penjamaan Shih-li-fo-shih de­
ngan Sriw idjaja adalah djasa Coedes. Penjamaan itu memang tjotjok.
Tarich piagam Kedukan Bukit ialah 683, tarich piagam Talang Tuwo
ialah 684 dan tarich piagam Kota Kapur ialah 686. Pada tahun 672
I-ts ing ada di Sriwidjaja. Bukunja Memoire dan Record semuanja
ditulis dikeradjaan Sriwidjaja sesudah ia kembali dari Nalanda. Te-
tapi penjamaan Shih-li-fo-shih dan San-fo-ts’i masih harus dibuktikan.
Kesulitannja segera nampak,- djika kita memperhatikan perbedaan
w aktu antara timbulnja dua nama tersebut. Nama Shih-li-fo-shih di­
kenal pada masa pemerintahan radjakula T'ang (61& ~9Q7) dan nama
San-fo-ts i dikenal pada masa pemerintahan radjakula Sung (960-1279)
dan seterusnja. Perbedaan bunji antara dua nama itu terutama berupa
perbedaan antara bunji Shih-li dan San. Bahwa Shih-li atau Che~li
adalah transkripsi Tionghwa dari Sri mudah dipahami. Mengapa maka
pada pemerintahan radjakula Sung sekonjong-konjong timbul bunji
San? A dakah nama Sriwidjaja berubah mendjadi Sang W idjaja?
M eskipun soal linguistik ini soal ketjil, namun kiranja perlu djuga
diperhatikan. Saja jakin bahwa jang dimaksud dengan San-fo-ts i dalam
sumber berita Tionghwa itu keradjaan Sriwidjaja, namun kiranja
San-fo-ts i bukanlah transkripsi nama Sriwidjaja. Untuk menundjukkan
identifikasi keradjaan San-fo-ts’i dengan keradjaan Sriwidjaja, kita
perlu m embandingkan berita Tionghwa pada masa pemerintahan radja-
kula Sung dengan piagam Leiden jang berbahasa Sansekerta. Disitu
kita melihat radja jang sama, diberitakan oleh kedua belah pihak, baik
oleh berita Tionghw a maupun oleh berita India.
Berita Tionghw a menguraikan bahwa pada tahun 1003 seorang
radja dari San-fo-ts'i jang bernama Cudamaniwarmadewa mengirim
dua orang utusan ke Tiongkok. Dua orang utusan itu menjatakan ke-

199
i

pada kaisar, bahwa dinegerinja sedang dibangun sebuah tjandi Buda.


Mereka mohon kepada kaisar, agar beliau suka memberi nama untuk
bangunan tersebut. Tjandi itu lalu diberi nama Ch eng-tien-wan-show.
Pada tahun 1008 datang lagi utusan dari San-fo-ts’i. Terbukti bahwa
radja jang mengirim utusan itu bukan lagi Cudamaniwarman, tetapi
puteranja jakni Marawidjajatunggawarman. D ua nama itu memang
tertjatat pada piagam Leiden jang berbahasa Sansekerta. M enurut
berita Tionghwa itu radja Cudamaniwarmadewa disebut Se’-li-chu-
la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa, sedangkan M arawidjajatunggawarman di­
sebut Se’-li-ma-la-pi (Sri Marawi, jakni Sri M araw idjaja).

Berita India

Hubungan antara Sriwidjaja dan India pada permulaan abad 1 j


tertjatat pada piagam jang sekarang disebut Larger Leyden Plates, di­
tulis dalam bahasa Sansekerta dan bahasa Tamil. Isinja peringatan
pembangunan wihara Cudamaniwarman oleh radja M araw idjajatung­
gawarman dan persembahan dusun Anaimanggalam sebagai djaminan
kepada para pendeta jang hidup dalam wihara tersebut. Bagian jang
tertulis dalam bahasa Sansekerta itu telah diterdjemahkan oleh Prof
N ilakanta Sastri seperti berikut:

,,He, this Rajakesawariwarman Rajaraja, who had seen the other


shore of the ocean of the collection of all sciences, who foot-stool \
Vas
made yellow by the cluster of rays (eminating) from many a gem set
on the borders of the beautiful gold diadems worn by the entire circle
of kings, gave in the twenty-first year of his universal sovereignty
to the Buddha residing in the surpassing by beautiful Culamaniwa r '
mawihara, of (such) high loftiness (as had) belittled the Kanakagjri
(i.e. M eru), which had been built - in the name of his father, by the
glorious Marawijayatunggawarman, who, by the greatness of his wis
dom, had conquered the teacher of the gods, who was the sun to the
lotusforest (viz.) the learned man, who was the Kalpa-tree to suppjj
cants, who was born in the Çailendra family, who was the lord of
the Çriwisaya (country), who was conducting the rule of Kataha
who had the Makara-crest (and) who was the son of Culamaniwar-
man that had matered all state-craft, at Nagapittana, delightful (on
account of) many a temple, rest-house, watershed, and pleasure gar­
den and brilliant with arrays of various kinds mansions (situated)
in the division called Pattanakura (included) in the big group of dis­
tricts named Ksatriyaçikkamani-walanadu, which was the forehead-
mark of the whole earth, the village named Anaimangalam (wich had
its) four bounderies defined by circumambulation of the female elephant

200
and (which was situated) in the division called Pattanakura (included)
in the same group of districts (as has been named above).
W h e n that powerful (Rajaraja) had obtained divinity, his wise son,
king Madhurantaka, who ascended on his throne, caused an enduring
edict (to be made) for this village, which had thus been granted by
his father, the king-emperor, and ordered thus: —
As long as £esa, the lord of all serpents, holds the entire earth, so
long may this wihara last in (this) world with its endowment.
This lord of Kataha of great valour, the abode of virtues, thus prays
to all future kings: —
Protect (ye) for ever this my charity.

Selandjutnja Nilakanta Sastri memberikan keterangan bahwa dalam


piagam Tamil disebut, bahwa pembangunan wihara dan tjandi itu di­
lakukan oleh radja Kidara Cudamaniwarman pada tahun ke 21 masa
pemerintahan Rajakesariwarman jakni pada tahun 1006. Piagam pe-
nguatnja dikeluarkan oleh radja Madhurantaka jakni Rajendra, putera
radja Kesariwarman. Namun pada piagam Sansekerta disebut bahwa
pembangunan wihara dan tjandi itu dilakukan oleh Marawidjajatung-
gawarman. Ini dapat ditafsirkan bahwa pembangunan wihara dan tjan­
di itu dimulai oleh Cudamaniwarman pada tahun 1006. Namun sebelum
bangunan itu selesai, beliau mangkat. Kemudian pembangunan disele­
saikan oleh Marawidjajatunggawarman. Piagam Tamil ditulis pada
masa pemerintahan Rajakesariwarman Rajaraja, sedangkan piagam
Sansekerta ditulis pada masa pemerintahan Rajendra. Beliau mengeta
hui, bahwa pembangunan itu dilakukan atas nama radja Marawidjaja­
tunggawarman. Nama Cudamaniwarman dan Marawidjajatunggawar
m an dikenal dalam berita Tionghwa.
Tarich berita Tionghwa itu tjotjok dengan tarich piagam Larger
Leyden Plates, tentang masa pemerintahan Cudamaniwarman dan a
rawidjajatunggawarman. Menurut J.C. Powell-Price dalam bukunja
A History of India hal. 87 masa pemerintahan Rajaraja mulai tahun
985 sampai tahun 1012. Djadi tahun ke 21 masa pemerintahan Rajaraja
ialah tahun 1006. Menurut berita Tionghwa jang mengirim utusan ke
Tiongkok pada tahun 1008 ialah Marawidjajatunggawarman. Pada
piagam jang ditulis dalam bahasa Tamil dinjatakan, bahwa pada tahun
ke 22 masa pemerintahan beliau, jakni pada tahun 1007 wihara di
N agapattana itu sedang dibangun oleh radja Kidara Cudamaniwar­
man. Demikianlah dapat dipastikan bahwa Cudamaniwarman wafat
antara tahun 1006 dan 1008. Baik piagam Larger Leyden Plates mau­
pun berita Tionghwa itu membuktikan bahwa radja Sriwidjaja Cuda­
m aniw arm an dan Marawidjajatunggawarman mengadakan hubungan

201
dengan India dan Tiongkok untuk memperkuat kedudukan Sriwidjaja.
Berita Tionghwa menjebut negaranja San-fo-ts’i, sedangkan Larger
Leyden Plates menjebut Qriwisaya. Demikianlah San-fo-ts’i itu sama
dengan Sriwidjaja.
Menurut berita Tionghwa Yin-yai-sheng-lan jang telah dikutip di-
atas Chiu-chiang sama sadja dengan negara jang sebelumnja disebut
San-fo-ts'i, djuga disebut Po-lin-pang. Oleh karena San-fo-ts’i seperti
dibuktikan diatas sama sadja dengan Sriwidjaja, maka Sriwidjaja
terletak di Palembang. San-fo-ts’i tidak mungkin diidentifikasikan de­
ngan Muara Tembesi didaerah Djambi seperti disarankan oleh Drs.
Sukmono.

Lokalisasi San-fo-ts'i
Tidak dapat lagi disangkal bahwa San-fo-ts’i terletak di Palembang.
Kita ingin mengetahui mengapa kiranja maka keradjaan Sriwidjaja
jang ditranskripsikan dalam tulisan Tionghwa pada masa pemerintah­
an radjakula T ’ang Shih-li-fo-shih, sekonjong-konjong dalam masa
pemerintahan radjakula Sung ditranskripsikan San-fo-ts’i.
Takakusu dalam menterdjemahkan 'karya pendeta I-ts’ing Nan-hai-
chi-kuei-nai-fa-ch’uan jang diberi djudul A record of the Bhuddhist reli-
gion as practised in India and the M alay Archipelago. disingkat Record,
djuga menjinggung nama San-fo-ts’i. Nama itu ditranskripsikan kem­
bali Sam-bo-tzai. Nama Sam-bo-tzai terang tidak ada di Sumatera.
V a n Ronkel menjamakannja dengan Sam-bho-ja. Coedes beranggapan
bahwa sati pada San-fo-ts i adalah akibat salah tulis. Pendapat jang
demikian tidak dapat dipertahankan, karena nama San-fo-ts’i diguna_
kan dalam sedjarah Sung dan M ing berkali-kali. Ferrand tjenderung
untuk menjamakan San-fo-ts’i dengan Sambhoja dan beranggapan
bahwa nama Sriwidjaja kemudian berubah mendjadi Sambhoja (Sam-
bodja). G. Ferrand mengikuti pendapat van Ronkel. Tetapi segera
tertumbuk kepada kesulitan, bahwa baik dalam kesusasteraan maupun
epigrafi pada permulaan abad 10 dan selandjutnja nama Sambhoja tidak
pernah didjumpai. Bahkan pada tahun 1006 radja Cudamaniwarman
dan Marawidjajatunggawarman masih disebut radja £ riwisaya dan
Kadaram (menurut Larger Leyden Plates},. Majumdar membantah pe-
njamaan San-fo-ts’i dengan Palembang. Ia berpendapat bahwa San-
fo-ts’i dan Palembang adalah dua tempat jang berbeda. M enurut pen-
dapatnja satu-satunja kemungkinan untuk menetapkan dimana letaknja
San-fo-ts’i ialah menerima pendapat, bahwa San-fo-ts’i itu sama de­
ngan Z abaj atau Zabag, seperti jang diberitakan oleh penulis-penulis
A r a b . San-fo-ts'i harus terletak di Semenandjung Melaju. D alam
s e d j a r a h M ing dinjatakan bahwa San-fo-ts'i semula disebut Kan-to-li.

202
Negeri ini mengirim utusan jang pertama kali pada masa pemerintahan
kaisar W u (454-464). Selama pemerintahan kaisar W u (502-549)
dari radjakula Liang negeri San-fo-ts’i berulang kali mengirim utusan
ke Tiongkok. Selama masa pemerintahan radjakula Sung jang kedua
(960- 1279) tidak ada putusnja mengirim utusan. Tentang geografi
Kan-to-li dikatakan, bahwa negeri tersebut terletak dilaut Selatan.
A dat istiadat penduduknja sama dengan penduduk Fu-nan dan Lin-i.
Gerini menempatkan Kan-to-li ini dipantai timur Semenandjung. Ber­
dasarkan penjelidikan Gerini ini M ajum dar menetapkan San-fo-ts i
djuga dipantai timur Semenandjung. Ditegaskannja* bahwa Kan-to-li
meliputi wilajah Kadara atau Kidara. Kadara atau Kidara adalah nama
Kedah dalam bahasa Tamil. Menurut pendapatnja San-fo-ts’i adalah
nama Tionghwanja. Nam a Kan-to-li sesuai dengan nama Kidara, se­
dangkan San-fo-ts’i sesuai dengan Z abaj atau Zabag.
Perbedaannja hanja tambahan fonem selundup n pada Kan-to-li dan
San-fo-ts’i. Dalam bahasa Tamil bentuk lain dari Kadara ialah Kidara.
Dalam bahasa Tionghwa pun ada dua bentuknja, jakni Kan-to-li dan
Kin-to-li. Groeneveldt menjamakannja dengan Palembang berdasarkan
berita Tionghw a pada masa pemerintahan radjakula M ing. Mengenai
nama Kan-to-li Prof. Kern mengira bahwa nama tersebut adalah trans­
kripsi Tionghw a dari nama Kandari; Kandari disamakannja dengan
Kondor. D ari berita Arab, tulisan Ibn M adjid dari abad 15 G. Ferrand
memperoleh keterangan bahwa pelabuhan Singkel di Sumatera disebut
oleh berita A rab „Sinkil Kandari”. Kesimpulan jang diambilnja ialah
bahwa nama Kandari kemudian mendjadi nama seluruh Sumatera. Krom
sependapat dengan Ferrand, bahwa Kandari harus ditjari di Suma
tera.
Moens lebih banjak meletakkan tekanannja pada soal geografi dari
pada soal linguistik. O leh karena itu ia mendasarkan pendapatnja ter
utama pada berita-berita Tionghwa, jang mempunjai sangkut-paut
dengan geografi keradjaan San-fo-ts’i. Dari sedjarah Sung dipero e
berita bahw a dari Cho-po dalam empat hari perdjalanan orang men
tjapai laut. Sesudah limabelas hari berlajar kearah barat laut,
sampai di Po-ni; limabelas hari lagi orang sampai di San-fo-ts i.
berita T ionghw a didapat lagi keterangan bahwa San-fo-ts i1
antara Chen-la dan Cho-po atau antara Kambodja dan Djawa. % ^
dasarkan berita itu Moens mengambil kesimpulan, bahwa San- o- s
terletak dibagian selatan Semenandjung. Moens lalu mengutip
A rab A bu Z a y d jang mengatakan bahwa ibukota Jawaka berha aPa”
dengan Tiongkok dan dapat ditjapai dari Tiongkok selama tigapu u
hari pelajaran dengan angin baik. M enurut Moens berita itu menun
djukkan bahw a ibukota Jawaka terletak dipantai timur Semenandjung.

203
I

karena bagian ini berhadapan dengan Tiongkok. Ia menjamakan Zabaj


dan San-fo-ts’i dengan Kadaram. Oleh karena San-fo-ts'i terletak
dipantai timur Semenandjung, dan Sriwidjaja terletak di Palembang
dan menurut berita Tionghwa San-fo-ts'i kemudian menggantikan
Sriwidjaja, maka Moens berpendapat, bahwa San-fo-ts’i pernah me­
nundukkan Sriwidjaja. Pendapat Moens ini diperkuat oleh berita Arab
berasal dari Sulaiman (851) jang mengatakan bahwa Kalah-bar dan
Zabaj ada dibawah kekuasaan satu radja. Berita Zayd Hassan djuga
mengatakan, bahwa Sribuza adalah salah satu negara jang termasuk
wilajah kekuasaan radja Zabaj. Djadi menurut Moens Kadaram me­
ngalahkan Sriwidjaja, bukan kebalikannja.
Pendapat Moens ini bertentangan dengan pendapat para sardjana
jang berlaku hingga pada waktu itu. Penempatan San-fo-ts’i dipantai
timur Semenandjung, oleh Moens dan Majumdar bertentangan dengan
berita Yin-yai-sheng-lan jang menjatakan, bahwa Chiu-chiang sama
sadja dengan negara jang sebelumnja disebut San-fo-ts’i, djuga disebut
Po-lin-pang. Uraian tentang letaknja ibukota keradjaan San-fo-ts'-
oleh Yin-yai-sheng-lan djelas sekali. Bagaimanapun jang dimaksud
dengan San-fo-ts'i oleh Yin-yai-sheng-lan ialah keradjaan di Suma
tera jang ibukotanja terletak di Palembang. Hingga sekarang or
berpendapat, bahwa ibukota keradjaan Sriwidjaja ialah Palemba ^
meskipun bukti-bukti jang dikemukakan belum memberi kejakin*19
Andaikata benar bahwa ibukota keradjaan Sriwidjaja itu terletak ^
Palembang, timbul pertanjaan, apa sebabnja nama Shih-li-fo-shih ' '
berubah mendjadi San-fo-ts’i? Kedua-duanja adalah transkripsi T'
hwa dari nama keradjaan di Palembang. Jang satu terang translT^9*
dari Sriwidjaja, jang lain belum diketahui, karena usaha para s a r d ^ ^
hinga sekarang belum memberikan hasil jang memuaskan. ,ana
Nilakanta Sastri mengemukakan pendapat bahwa timbulnia
San-fo-ts’i diberita-berita Tionghwa terang sesudah Sriwidia'
perintah oleh radjakula Sailendra dari Djawa, jang bernama Bala!,3 ,
dewa seperti tertjantum pada piagam Nalanda. Timbullah pertan“
apakah perubahan radjakula itu menjebabkan perubahan nama k ’
djaan? Apa jang mendjadi dasar perubahan nama keradjaan itu?
hal mi Nila anta Sastri tidak mengemukakan pendapatnja. D e n g a n
kata lain hasil usahanja untuk memetjahkan persoalan San-fo-ts’i m u
negatif. Suatu kenjataan ialah bahwa perubahan dinasti jang * *
rintah itu menimbulkan perubahan gelar atau sebutan radia p T
piagam-piagam jang ditulis dalam bahasa Sriwidjaja radia
merintah bergelar dapunta hm ng Pa(Ja piagara. piagam ’ 9
dalam bahasa Sansekeria dan dikeluarkan oleh radja dari r a d i a l c l
Sailendra, gelar rad,a ,alah matmraija. p ada piagam N a la n d a B ala

204
putra bergelar maharadja dan menjebut dirinja Suwarnadwipadhipa
maharaja: maharadja Suwarnadwipa. Pada piagam Ligor B radjanja
bergelar gri maharaja: Sri maharadja. Gelar maharadja tidak dikenal
pada piagam-piagam Sriwidjaja jang ditulis dalam bahasa Sriwidjaja.
Pada piagam N alanda negara Sriwidjaja disebut Suwarnadwipa. N am a
Suw arnadw ipa pada piagam Nalanda terang sama dengan nama Sri­
w idjaja pada piagam-piagam jang ditulis dalam bahasa Sriwidjaja.
N am a Suw arnadw ipa tidak mungkin ditranskripsikan San-fo-ts’i dalam
tulisan Tionghwa.

Sung-shih mentjatat bahwa pada tahun 980 dan 983 radja San-fo-ts i
m enggunakan sebutan hia-tch’e. Sebutan hia-tch’e adalah transkripsi
dari kata M elaju hadji atau Djaw a kuno haji: radja. Diantara piagam-
piagam Sriw idjaja hanja piagam Telaga Batu jang menjebut radja
Sriw idjaja haji dalam hubungan marsi haji: dubi radja, bini haji: isteri
radja; dan hulun haji: abdi radja. Pada tahun 1017 tertjatat sebutan hia-
tch’e Sou-wou-tch’a: haji Sumatra (haji Suwarnadwipa). Nam a Suw ar­
nadw ipa telah banjak dikenal dalam berita Tionghwa. Dalam karya-
karyanja I-ts’ing menjebutnja Chin-chou: pulau emas. Ia tidak men-
transkripsikan dengan huruf Tionghwa, tetapi menterdjemahkannja.
Pada tahun 1156 digunakan lagi maharadja dalam bentuk si-li-ma-chia-
lo-cho. G elar maharadja itu djelas gelar radja Sriwidjaja dari radja-
kula Sailendra.

T idak ada nama atau sebutan jang kiranja mirip dengan nama San-
fo-ts’i. Jang agak menarik perhatian ialah usaha untuk menjamakan
nam a San-fo-ts’i dari berita Tionghwa dengan Zabaj atau Zabag dari
berita A rab. Baik Coedes maupun Nilakanta Sastri menjetudjui bahwa
Z a b a g dari berita A rab dan Jawaka dari berita Tamil adalah bentu
ubahan nama asli jang digunakan untuk Malaysia. Jang mendja i
persoalan ialah bentuk nama asli jang mana? Jang mungkin ditrans­
kripsikan Z a b a j dalam bahasa Arab ialah nama Yawadwipa. Yawa-
dw ipa telah dikenal oleh Ptolomeus dan ditranskripsikan mendja i
Iabadiou. T am bahan diou sesuai dengan kata Prakrit diwu jang ber­
asal dari kata Sansekerta dwipa. Bentuk Zabag dan Zabaj dalam
berita A rab berbeda asalnja. Zabag mengikuti transkripsi Tamil Jawa­
ka; Z a b a j mengikuti Iabadiou atau memang langsung dari Yawadwipa.
Pada abad 14 fonem y pada Y aw a sudah berubah mendjadi j seperti
dikenal dalam Nagarakretagama. Nam a Yaw adw ipa tidak semata-
mata digunakan untuk m enjebut pulau Djawa. Sumatera disebut djuga
Y a w a d w ip a . N am a Y aw adw ipa ditranskripsikan dengan huruf Tiong-
hw a m endjadi Ye-po-ti. Ye-po-ti tidak mungkin sama dengan San
fo-ts'i.

205
Saja beranggapan bahwa San-fo-ts'i adalah transkripsi dari nama
tempat, jang sudah ada pada zaman Sriwidjaja. Tempat itu harus ter­
letak didaerah Palembang, karena menurut Yin-yai-sheng-lan keradjaan
San-fo-ts’i djuga disebut keradjaan Po-lin-pang. Nama tempat itu harus
sudah ada pada zaman Sriwidjaja, karena pada tahun 960 ketika ke­
radjaan Sriwidjaja masih berdiri seperti terbukti dari piagam Tanjore
(tahun 1030), nama San-fo-ts’i telah muntjul dalam sedjarah Tionghwa.
Menurut Chu-fan-chi Palembang termasuk salah satu negeri bawahan
San-fo-ts'i. Nama jang ditranskripsikan San-fo-ts’i, bunjinja paling
sedikit menjerupainja. Djadi harus memuat bunji San; b (w ), g (j), dan
fonem jang terachir ini harus disertai bunji i. Mungkin bunji i ini per­
ubahan dari suku ya dari kata Sansekerta jaya, jang mendjadi jay,
mungkin memang i pada dasarnja.
Nama tempat jang kiranja memenuhi sjarat-sjarat tersebut ialah
Sabukingking dibagian timur kota Palembang zaman sekarang, ter­
letak ditepi sungai Musi. Tempat ini terbukti tempat penting dalam
sedjarah, karena disitu diketemukan petjahan piagam jang tertulis da­
lam bahasa Sansekerta. Berdasarkan bentuk tulisannja, piagam itu
berasal dari abad ke 7, sama dengan petjahan piagam Bukit Siguntang.
Zaman sekarang tempat itu didjadikan tempat keramat, tempat orang
mentjari restu; dianggap sebagai tempat dimakamkan orang penting
zaman dahulu kala. Sesuai dengan kepertjajaan masjarakat zaman se­
karang, jang kebanjakan anggotanja beragama Islam, sudah semestinja
timbul anggapan bahwa tempat itu mendjadi tempat dimakamkan radja
Palembang jang beragama Islam. Demikianlah Sabukingking mengalam,-
proses peng-Islam-an. Kiranja nama itu bentuk ubahan dari nama lama
jang disesuaikan dengan sifat dan utjapan bahasa Palembang seka
rang. Nama itu kiranja semula kata Sansekerta seperti halnja dengan
nama Palembang jang berasal dari palimbang(a ) : tepi. Kalau tidak
salah duga, namanja dahulu ialah Sambhogin artinja: tempat jang pe­
nuh dengan kesenangan. Nama Sambhogin memang tidak djauh dari
transkripsi Tionghwa San-fo-ts'i. Sebagai pertjobaan dua orang T i­
onghwa saja suruh menulis Sambogin dengan huruf Tionghwa. Kedua-
duanja mendjawab: sulit sekali. Namun mereka itu berusaha djuga
untuk menulisnja. Hasilnja mereka menulis huruf-huruf jang sama.
Mereka lalu membatjanja menurut utjapan M andarin dan Kanton;
San-fo-ts’i. Tulisan itu saja bandingkan dengan tulisan Tionghwa jang
biasa diutjapkan San-fo-ts’i, terdapat pada Record, terbitan Takakusu.
Berdasarkan pertjobaan itu saja jakin bahwa San-fo-ts'i dalam sedjarah
Sung itu adalah transkripsi Tionghwa dari nama tempat Sambhogin,
jang sekarang mendjadi Sabukingking, terletak dibagian timur Palem­
bang. ditepi sungai Musi. Perubahan nama jang demikian adalah per­

206
istiwa biasa dalam sedjarah toponimi. Perubahan bunji nama jang
bersangkutan disesuaikan dengan kebiasaan masjarakat jang menje-
butnja. Nama Carpentie r dikota Solo didjadikan Seka r patje: kampung
Sekar Patje. Bouwploeg didjadikan Boplo: pasar Boplo di Djakarta.
Nama Marlborough didjadikan Malioboro: djalan raja dikota Jogja­
karta.

Letak Sambhogin ditepi sungai Musi sesuai dengan pemberitaan


Yin-yai-sheng-lan seperti telah dikutip diatas. Menurut berita Yin-yai-
sheng-lan San-fo-st’i adalah nama ibukota keradjaan San-fo-st’i. D e­
mikianlah Sambhogin (Sabukingking) adalah ibukota Sriwidjaja dalam
abad 10 keatas. Orang-orang Tionghwa menjebut nama keradjaan
jang pada waktu itu masih djelas bernama Sriwidjaja, dengan nama
pusat keradjaannja. Peristiwa jang demikian djuga merupakan gedjala
biasa dalam sedjarah. Sebagai analogi kita mengambil tjontoh kata
Djakarta zaman sekarang. Biasa orang berkata: „Apa kata Djakarta?”
maksudnja: Apa jang dikatakan oleh pemimpin-pemimpin Republik
Indonesia jang ada di Djakarta? Nama ibukota Djakarta mewakili Re­
publik Indonesia. Zam an tigaratus tahun jang lalu daerah istimewa
Jogjakarta bernama keradjaan Mataram. Setelah ibukota Ajodhyakarta
didirikan, orang menjebutnja Jogjakarta. Nama Mataram terdesak oleh
nama Jogjakarta. Masih banjak tjontoh-tjontoh lainnja. Perpindahan
ibukota sebagai pusat keradjaan banjak terdjadi. Tidaklah aneh bah­
wa ibukota keradjaan Sriwidjaja dalam abad 10 keatas mengalami per­
pindahan djuga, meskipun perpindahan itu hanja terdjadi dilingkungan
kota Palembang sadja. Pusat aktivitas pembesar-pembesar Sriwidjaja
berpindah ke Sabuking'king. Tempat itulah jang dikenal baik oleh para
pedagang dan pembesar Tionghwa. Dalam berita-berita Tionghwa
nama itu lebih dikenal daripada nama resmi keradjaannja.

Negara-negara bawahan San-fo-ts’i

Chu-fan-chi jang disusun pada tahun 1225 memberitakan limabelas


negeri baw ahan keradjaan San-fo-ts’i, termasuk diantaranja Palem­
bang, jakni: 1 . Pong-fong, 2. Tong-ya-nong, 3. Ling-ya-si-kia, 4. Ki-
lantan, 5. Fo-lo-an, 6. Ji-lo-ting, 7. Ts'ien-mai, 8. Pa-t'a, 9. Tan-ma-
ling, 10. Kia-lo-hi, 11. Pa-lin-fong, 12. Sin-to, 13. Kien-pi, 14. Lan-
mu-li, 15. Si-lan.
Pong-fong disamakan dengan Pahang; Tong-ya-nong dengan Treng-
ganu; Ling-ya-si-kia dengan Langkasuka; Ki-lan-tan dengan Kelan­
tan; Ji-lo-ting dengan Jelotong; diudjung tenggara Semenandjung; Tan-
ma-ling dengan Tamralingga; Kia-lo-hi dengan Grahi; Pa-lin-fong
dengan Palembang; Sin-to dengan Sunda; Ken-pi dengan Kampe di-

207
teluk Aru; Lan-wu-li dengan Lamuri (Atjeh), Si-lan dengan Ceylon
atau Sailan atau Srilangka.
Rouffaer menjamakan Kien-pi dengan Kampe diteluk Aru. Dalam
Sung-hui-yao dinjatakan, bahwa pada tahun 1082 keradjaan Djambi
masih berdiri sendiri sebagai bagian keradjaan San-fo-ts i. Keradjaan
Djambi itu disebut Chan-pei. Djika nama Kien-pi pada Chu-fan-chi ini ■
sama dengan Chan-pei pada Sung-hu-yao, maka jang dimaksud ialah
Djambi, jang sudah terang ada dibawah kekuasaan San-fo-ts'i atau
muara Kompeh.
Rouffaer mentjari Fo-lo-an di Selangor Selatan, Pa-t’a disamakan
dengan Batak, Ts’ien-mai disamakan dengan Semang atau Semawe.
Roland Braddell jang meneliti toponimi tentang nama-nama itu sekali
lagi, tidak mendasarkan pendapatnja pada kemiripan bunji semata-mata,
tanpa mengingat geografi, menjatakan bahwa Fo-lo-an adalah daerah
sungai Dungun, dan Pa-t’a adalah daerah sungai Paka. Kedua-duanja
terdapat dipantai timur Semenandjung. Ji-lo-ting adalah sungai Tjera^
ting, jang mengalir didaerah perbatasan Trengganu dan Pahang,. Ten­
tang nama Ts’ien-mai Braddell tidak dapat menemukan tempat jang
mirip namanja dan menurut geografi dapat dipertanggung djawabkan.
Penjelidikannja memberi sumbangan jang berharga bagi pengetahuan
geografi dalam sedjarah lama.
Tan-ma-ling oleh Takakusu dikira Tana-Melaju; oleh Coedes di­
samakan dengan Tamralingga didaerah Ligor. Pendapat Coedes inj
diterima oleh umum hingga sekarang. Nama Tamralingga kedapatan
pada piagam jang diketemukan di Ch’ai-ya, jakni didaerah Ligor, ber-
tarich tahun 1230. Pada piagam itu tersebut nama Tjandrabhanu (Can-
drabhanu), jang bergelar Sri Dharmaradja, pembesar Tamralingga.
Oleh karena piagam tersebut diketemukan di C h’ai-ya, dikira bahwa
C h’ai-ya termasuk wilajah Tamralingga. Tetapi tidak diketahui dimana
letaknja. Coedes menempatkannja antara teluk Bandon dan Ligor
seperti djuga Nilakanta Sastri, karena menurut anggapannja Sri D har­
maradja adalah chusus sebutan radja-radja Ligor. Sedjak daerah itu
termasuk wilajah Siam, maka nama ibukotanja disebut Negara Sridhar-
maradja, jakni Nakon Sri Tammarat zaman sekarang. Pada piagam
Nidessa jang tertulis dalam bahasa Tamil terdapat nama Tambrali-
ngam. Baik oleh Coedes maupun oleh Nilakanta Sastri nama itu di­
samakan dengan nama Tamralingga pada piagam C h’ai-ya. Menurut
pendapatnja Tan-ma-ling adalah transkripsi Tionghwa dari Tam ra­
lingga. Ma-Damalingam pada prasasti Nidessa adalah Damalingam
atau Tamalingam agung. Demikianlah Tan-ma-ling (Tionghwa) = Ta-
malingam (Tami) = Tamralingga (Ch’ai-ya). Ia menambahkan bah­
wa tambra adalah bentuk Prakrit dari tamra dan berarti: tembaga. Te-

208
tapi oleh karena C h’ai-ya tidak menghasilkan tembaga, maka nama
itu harus diartikan: lingga tembaga. Demikian ringkasan pendapat
Coedes.
Oleh Jkarena Tan-ma-ling adalah transkripsi Tionghwa dari suatu
tempat, jang disebut diantara negara-negara dipantai timur M alaja
dalam rangkaian negara-negara bawahan San-fo-ts'i, maka nama itu
harus ditjari dipantai timur Semenandjung Melaju. M ungkin diantara
nama-nama tempat jang sekarang masih ada, ada jang menjerupainja.
Ketjuali daripada itu kita harus mentjari pendjelasan mengenai berita-
berita lain atau dalam Chu-fan-chi, jang sekadar memberikan uraian
tentang Tan-ma-ling sebelum mengambil kesimpulan. Demikian Roland
Braddell.
Didalam bahasa Amoy Hokkien Tan-ma-ling itu diutjapkan Tan-be-
ling, menurut Schlegel. Nama tempat jang mirip sekali dengan Tan-
be-ling ialah Tembeling di Pahang. Chao-ju-kua dalam Chu-fan-chi
mentjatat bahwa Tan-ma-ling adalah suatu keradjaan dibawah peme­
rintahan Siang-kung. Oleh ikarena Tan-ma-ling daerah djadjahan San-
fo-ts i, maka pembesar jang disebut Siang-kung itu bukan radja. D a ­
lam susunan keradjaan Sriwidjaja seorang pembesar jang diserahi
pemerintahan didaerah tertentu oleh radja Sriwidjaja disebut datu.
M ungkin Siang-kung ini sama dengan datu. Oleh San-tsai-t’u-hui (1607)
diberitakan dengan djelas, bahwa Tan-ma-ling diperintah oleh seorang
pembesar jang bukan radja. Mengenai hasil bumi baik Chu-fan-chi
maupun Tao-i-chih-lio (1249) beritanja hampir sama. Tao-i-chih-lio
mentjatat: terutama timah, kamper, mutiara, tulang, penju, tjendana
dari gaharu. Chu-fan-chi menambah gading dan tanduk. Suatu hal
jang penting dan tertjatat dalam Chu-fan-chi ialah, bahwa keradjaan
Tan-ma-ling mengumpulkan perak dan mas sebagai upeti kepada radja
San-fo-ts’i. Pada tahun 1196 Tan-ma-ling masih mengirim utusan jang
penghabisah kali ke Tiongkok. Tao-i-chih-lio menjatakan bahwa Tan-
ma-ling adalah negeri tetangga dari Sha-li dan Fo-lai-an. San-tsai-t tt-
hui memberitakan, bahwa Tan-ma-ling terletak sedjauh sepuluh hari
pelajaran dari Kambodja. Tan-ma-ling dapat djuga ditjapai dari Ling-
ya-si-kia (Langkasuka) baik melalui daratan maupun melalui laut.
D jik a melalui laut, berlajar enam hari enam malam.
M engenai pemberitaan Chu-fan-chi, bahwa Tan-ma-ling diperintah
oleh Siang-kung jang diterdjemahkan oleh Hirt dan Rockhill: minister
(menteri), m ungkin sekali kata tersebut adalah transkripsi Tionghwa
dari kata M elaju tumenggung atau tiang agungi orang besar, pembesar.
K ata tiang adalah kata Melaju-Polinesia dan berarti: jang berdiri. D a ­
lam bahasa D jaw a diberi arti: orang; dalam bahasa M elaju tiang diberi
arti lain misalnja: tiang litrik, tiang rumah dan sebagainja; agung ber­

14 * 209
arti: besar. Kata tersebut terbukti dipakai djuga zaman sekarang di
Malaja dalam sebutan jang dipertuan agong. Tiang agung atau wong
agung biasa digunakan untuk menjebut seorang pembesar dalam pe­
merintahan. Persoalan jang timbul ialah dari siapa Chao-ju-kua mem­
peroleh berita tersebut.
Tentang pengumpulan mas dan perak sebagai upeti kepada radja
San-fo-ts’i, dapat didjelaskan, bahwa Pahang memang menghasilkan
mas. Dato F .W . Douglas mentjatat bahwa mas Pahang berwarna
merah. Mas Pahang sering disebut mas tulen. Perdagangan mas di
Pahang masih berlangsung hingga sekarang. Dari hasil penjelidikan
purbakala terbukti bahwa di Kelantan terdapat porselen seladon dari
zaman Sung dan tempajan-tempajan dari zaman Ming. Penemuan ini
menundjukkan adanja hubungan antara Pahang, Kelantan dengan
Tiongkok pada zaman jang lampau. Mengenai hasil timah, memang
daerah Pahang terkenal karena timahnja. Nama Pahang itu sendiri
adalah kata Khmer jang berarti: timah. Adanja mas dan timah
didaerah Pahang dan Kelantan jang boleh dikatakan banjak, dibukti­
kan oleh tulisan Anker Retse, seorang ahli tambang. Mas jang ter­
dapat ditepi-tepi sungai menjebabkan adanja perdagangan mas di-
tempat tersebut. Rupanja pada zaman jang lampau mas ditepi sungai-
sungai ini lebih banjak lagi daripada sekarang.. Demikianlah tidak
aneh, bahwa chusus Tan-ma-ling jang menjediakan mas dan perak
sebagai upeti kepada radja San-fo-ts’i.
Dr. Linehan dalam bukunja History of Pahang menguraikan bah
wa sungai-sungai dipantai timur merupakan djalan daratan ;
menghubungkan tempat jang satu dengan jang lain. Sungai T anum
tjabang sungai Djelai (Jelai), sungai Sat dan Sepia, tjabang Sun .
Tembeling, mengalir menudju Kelantan. Sungai Sepia m erupak^'
djalan jang menudju Trengganu. Tanah datar Tembeling dilalui d "a*
Ian raja disebelah utara. Ditanah datar ini diketemukan bara ^
barang kuno dari emas. Djalan kereta api jang ada sekarang
nurutkan djalan jang sudah ada sebelumnja. Disamping melalui d ’à"
lan daratan ini tempat-tempat dipantai timur dapat ditjapai dari tem"
pat jang satu ketempat jang lain melalui djalan pelajaran m enjusui
pantai. Oleh karena itu berita-berita Tionghwa diatas dapat dipahami
Tan-ma-ling terbukti bukan Tamralingga seperti disangka oleh Coedès
dan Nilakanta Sastri, melainkan Tembeling didaerah Pahang.
Dalam sedjarah Sung tertjatat utusan dari negeri Tan-m ei-liu
(edjaan Perantjis Tan-mei-lieou) pada tahun 1001. Oleh karena ke­
datangan utusan itu lebih dahulu dari pada utusan negeri Tan-ma-
ling dan namanja mirip sekali, Coedès beranggapan, bahwa Tan-mei-
liu adalah nama lama Tan-ma-ling. Dengan kata lain Tan-ma-ling

210

»
dan Tan-mei-liu adalah nama satu keradjaan jang sama dan keradja-
an itu ialah Tamralingga di Ligor. Diuraikan dalam sedjarah Sung
bahwa utusan itu dikirim oleh radja Tou-sii-chi, dan dipimpin oleh
Ta-chih-ma. W akilnja ialah Ta-lueh, dan jang mendjadi hakim ialah
P'i-ni. Utusan itu terdiri dari sembilan orang. Mereka membawa kaju
tjendana, 100 kati, seng, tembaga, timah masing-masing seratus kati,
lithospermum 100 kati, diatas dulang merah, empat potong pakaian
bersongket, serat 10.000 kati dan gading 61 batang. Keadaan negara-
nja digambarkan seperti berikut. Rumah-rumahnja dibuat dari kaju;
mas dan perak diperdagangkan. Luas tempat tinggal pembesarnja
sampai lima li, tetapi tidak dikelilingi tembok. Djika keluar, radjanja
naik kereta jang ditarik gadjah atau naik kuda. Negeri Tan-mei-liu
menghasilkan badak, gadjah, seng, tembaga, lithospermum officinale,
serat dll. Mengenai letaknja dari Tan-mei-liu ketimur sampai Chen-
la 50 pos (hentian); keselatan sampai Lo-yue 15 pos, menjeberangi
laut; kebarat sampai Si-t'en 35 pos; keutara sampai Teh eng-leang
60 pos, ketenggara sampai Cho-po 45 pos; ketimur laut sampai Kan­
ton 135 pos. Demikianlah berita jang mengenai Tan-mei-liu.
Oleh karena nama Tan-ma-ling timbulnja lebih-kurang satu abad
sesudah Tan-mei-liu dan menurut hasil penjelidikan Tan-ma-ling
dapat diidentifikasikan dengan Tembeling, maka Roland Braddell
berpendapat, bahwa Tan-mei-liu adalahTamralingga. Pada tahunl030
ada dibawah kekuasaan Kedah, jang mendjadi pusat kekuatan Sri-
widjaja di Semenandjung. Dengan sendirinja Tamralingga masuk di­
bawah pemerintahan Sriwidjaja. Ketika Sriwidjaja ditundukkan oleh
Djawa, maka Tamralingga memperoleh kemerdekaannja kembali dan
berhubungan dengan Tiongkok.. Tetapi pada tahun 1030 keradjaan
itu diserang oleh radja Cola seperti diberitakan pada piagam Tanjore.
Dari Tao-i-chih-lio kita memperoleh berita, bahwa negeri Tan-ma-
ling adalah negeri tetangga Sha-li-fo-lai-an. Prof. Hsu melihat Sha-
li-fo-lai-an sebagai dua nama jakni Sha-li dan Fo-lai-an, tetapi Roland
Braddell menganggap Sha-li adalah transkripsi dari gri. Dengan sen­
dirinja nama itu menurut pendapatnja hanja menundjuk satu negeri.
Dr. Linchan dalam uraiannja mengenai lembah sungai Tembeling me-
njebut nama sungai Jelai dan Selinsing, sungai Tanum sebagai tjabang
sungai Jelai. Sungai Jelai bertemu di Tembeling dengan sungai Tem­
beling; kedua-duanja mendjadi sungai Pahang. Tidak aneh djika Sha-li
itu transkripsi dari nama sungai Jelai, mengingat bahwa sungai itu
mengalir dekat Tembeling jang disebut Tan-ma-ling. Oleh karena
Fo-lo-an disebut dalam rangkaian negeri-negeri dipantai timur Seme­
nandjung, maka Fo-lo-an harus djuga terletak dipantai timur, tidak
mungkin dipantai barat Selangor seperti jang disarankan oleh Rouf-

21,1
faer, dan disamakan dengan Beranang. Bahwa Beranang itu disebut
Fo-long-an dalam bahasa Tionghwa sekarang, bukan soal. Namun Be­
ranang sebagai desa dimuara sungai Langat, tidak menundjukkan
bahwa tempat itu pernah memegang peranan sedjarah pada zaman
jang lampau. Coedes menjamakan Fo-lo-an dengan Pa-tha-lung se­
perti jang pernah dikemukakan oleh C.O. Blagden.

Berita mengenai Fo-lo-an mengatakan bahwa pembesar Fo-lo-an


diangkat dari San-fo-ts'i. Di Fo-lo-an terdapat artja Buda, jang tiap
tahun dikundjungi oleh para bangsawan dari San-fo-ts'i. D i Fo-lo-an
ada dua artja Buda. Jang satu bertangan empat, jang satu lagi ber­
tangan enam. Djika ada kapal jang akan mengangkutnja, kapal itu
akan ditiup kembali kelaut oleh angin ribut akibat kekuatan gaib Buda.
Tjandi Buda di Fo-lo-an atapnja dibrons dan dihiasi dengan mas. Tang­
gal 15 bulan 6 dirajakan sebagai hari kelahiran Buda. Pada hari itu
diadakan pawai jang diikuti oleh musik dan bunji-bunjian. Pedagang
asing ikut serta mengadakan pawai. Negeri Fo-lo-an menghasilkan
gaharu, tjendana dan gading. Tiap tahun mengirim upeti kenegeri San-
fo-ts’i. Fo-lo-an dapat ditjapai dar Ling-ya-si-kia dalam waktu empat
hari pelajaran. Perdjalanan dari Lang-ya-si-kia (Langkasuka, Patani)
ke Tembeling makan waktu enam hari. Pelajaran menjisir pantai ber­
henti dimuara Kuantan, kemudian perahu mudik kehulu sungai. Demi­
kianlah kira-kira Fo-lo-an itu letaknja sedjauh dua pertiga djarak
Patani — Muara Kuantan. Roland Braddell menegaskannja, bahwa
Fo-lo-an terletak di Tandjung Dungun, pelabuhannja dilindungi
pulau Tenggol.
Pa-t’a seperti telah disinggung dimuka, disamakan dengan Tand'
Paka, dimuara sungai Paka, dipantai timur Malaja. Hingga seka^
daerah tersebut masih bernama Paka, letaknja disebelah selatan s ^
Dungun didaerah Trengganu. " 1

Diantara negeri-negeri dipantai timur Semenandjung jang menurut


Chu-fan-chi termasuk negeri bawahan San-fo-ts’i ialah negeri Kia-lo
hi. Berdasarkan kemiripan bunji dan geografi, jang diperoleh dari pel­
bagai berita Tionghwa, Kia-lo-hi disamakan dengan Grahi. Dalam
sedjarah Sung diuraikan, bahwa keradjaan Chen-la menjentuh bagian
selatan Chan-ch eng (Annam), disebelah timur menghadap kelaut di­
sebelah barat berbatasan dengan keradjaan Kia-lo-hi jang ada dibawah
kekuasaan San-fo-ts’i. Dari berita itu njata, bahwa pada masa peme­
rintahan radjakula Sung keradjaan Chen-la beradu batas dengan San-
fo-ts’i. Berita ini penting, karena di Grahi kedapatan prasasti dalam
bahasa Khmer, padahal menurut Chu-fan-chi Kia-lo-hi adalah wilajah
keradjaan San-fo-ts’i.

212
1
I
H ubungan antara Sriwidjaja dan India

Telah diuraikan sekadarnja antara radja Sriwidjaja Balaputra dan


radja Dewapaladewa dari Benggala. Balaputradewa mengambil alih
kekuasaan radja Sailendra diluar Djaw a dan mendjadi maharadja di
Sriw idjaja, setelah menjingkir dari Djaw a Tengah. Dengan timbulnja
Balaputra sebagai radja Suwarnadwipa, kekuasaan Sailendra dibagi
mendjadi dua. Kekuasaan Sailendra di Sumatera dan Semenandjung
diam bil alih oleh Balaputra, kekuasaan di Djaw a djatuh ditangan ke­
turunan radjakula Sandjaja rakai Pikatan alias Djatiningrat. Setelah
Balaputra dinobatkan mendjadi radja di Suwarnadwipa, segera meng­
adakan hubungan dengan radja Benggala Dewapaladewa dan mem­
bangun w ihara di Nalanda. Piagam Nalanda djelas menundjukkan
adanja hubungan agama dan politik antara radja Balaputra dari Sri­
w idjaja dan radja Dewapaladewa dari Pataliputra. Menurut ketera­
ngan R .C , M ajum dar dalam karangannja jang berdjudul Colonial and
cultural expansion dalam A n advanced History of India hal. 219 pada
w aktu itu Benggala adalah pusat agama Buda M ahayana di India.
Kehidupan keagamaan radja-radja Sailendra baik pada masa pemerin­
tahan rakai Panangkaran di Djaw a Tengah dan keturunannja mau-
pun pada masa pemerintahan Balaputra di Suwarnadwipa berhubungan
erat dengan kehidupan keagamaan di Benggala. Upatjara peresmian
artja M anjusri di Kelurak pada tahun 782 dipimpin oleh pendeta Ku-
maraghosa, berasal dari Benggala. Pada waktu itu jang memerintah
keradjaan Benggala ialah radja Dharmapala. Pusatnja di Pataliputra.
D harm apala naik tachta keradjaan antara tahun 752 dan 794 dan
w afat antara tahun 794 dan 839. Tarich tahun jang pasti tidak dapat
dipastikan. Beliau adalah radja jang terbesar diantara radja-radja jang
permah memerintah Benggala. Pengganti beliau adalah radja Dewa-
pala, jang mempunjai hubungan erat dengan Balaputradewa berkenaan
dengan pengeluaran piagam Nalanda atas permintaan Balaputra. Beliau
w afat pada tahun ± 878. Demikianlah hubungan antara radja Sailen­
dra D haranindra di Djaw a Tengah, nenek Balaputra, dan radja Dhar-
mapala di Pataliputra, dilandjutkan oleh Balaputra dan Dewapala.
H u b un g an keagamaan diperluas mendjadi hubungan politik, karena
dasar pengeluaran piagam ialah tuntutan politik Balaputra mengenai
hak atas tachta keradjaan di Djaw a Tengah kepada rakai Pikatan jang
dianggap merampas hak tersebut.
H u b un g an dengan India tetap dipelihara. Radja Cudamaniwarman
dan M a ra w id ja ja dari radjakula Sailendra melandjutkan hubungan
jang telah dimulai oleh Balaputra, untuk menghadapi keturunan rakai
P ikatan di D jaw a. Sudah barang tentu disamping tudjuan politik, per­

213
sahabatan dengan India itu djuga menjebabkan kelantjaran perda­
gangan dan kesuburan kehidupan agama Buda Mahayana. Ditindjau
dari sudut kehidupan politik, ekonomi dan keagamaan hubungan antara
India dan Sriwidjaja itu memang menguntungkan kedua belah pihak.
Radja Kidara Cudamaniwarman membangun wihara dan tjandi pada
tahun 1006 pada masa pemerintahan Rajakesariwarman. Pembangunan
tjandi dan wihara dilandjutkan oleh puteranja jakni Marawidjajatung-
gawarman. Ketjuali melandjutkan pembangunan tjandi dan wihara
tersebut, radja Marawidjaja mempersembahkan desa Anaimangalam
sebagai djaminan kepada para pendeta jang hidup dalam wihara ter­
sebut. Hal ini telah diuraikan diatas.
Persahabatan antara India Selatan dan Sriwidjaja tidak berlangsung
baik terus-menerus. Setelah Rajaraja wafat dan diganti oleh Rajendra-
cola I pada tahun 1012, sikap Rajendracola terhadap radja Sriwidjaja
berubah. W atak imperialis Rajendracola mulai meluap. Rajendracola
memperluas wilajahnja sampai kira-kira seluas propinsi Madras seka­
rang. Djendral-djendral Rajendra. bergerak sampai sungai Gangga-
para laksamananja menguasai selat Srilangka dan pulau-pulau Nikobar
Mereka masih terus bergerak kearah timur. Maharadja Mahapala I
dari Benggala ditundukkan. Demikian pula radja Chalukya di Dekkan
Untuk sementara waktu kewibawaan radja Chalukya runtuh beran-
takan. Dengan timbulnja Somegwara Ahawamalla, kewibawaan itu
dapat dipulihkan. Namun tidak lama kemudian digugurkan lagi oleh
putera Rajendracola I. Demikianlah pengiriman angkatan laut oleh
Rajendracola I ke Semenandjung dan Sriwidjaja disekitar tahun 1025
boleh dikatakan dalam rangka politik perluasan wilajah radjakula Cola
Tetapi apa jang mendjadi dorongan langsung untuk pengiriman ang
katan laut ke Sriwidjaja, tidak dinjatakan pada piagam Tanjore jang
dikeluarkan pada tahun 1030. Sebab jang pokok ialah politik perluasan
wilajah Rajendracola. Dua kali Rajendracola menjebut kemenangannja
terhadap radja Kadara jang djuga memerintah Sriwidjaja. Prasasti jang
pertama dikeluarkan pada tahun ke 12 masa pemerintahannja jakni
pada tahun 1024. Prasasti jang kedua jang terkenal dengan nama pra­
sasti Tanjore, dikeluarkan pada tahun 1030 dan memuat daftar negeri-
negeri jang ditundukkannja. Ketjuali menjebut Srilangka, Orissa dan
Benggala, jang terletak disekitar negerinja, prasasti itu djuga menjebut
negeri-negeri di Semenandjung dan Sumatera. Bagian prasasti Tanjore
jang mepunjai sangkut-paut dengan keradjaan Sriwidjaja seperti ber­
ikut:
„(Rajendra) having despatched many ships in the midst of the rol-
ling sea and having caught Sanggramawijayotunggawarman, the king
of Kadaram, together with the elephants in his glorious army (took)

214
the large heap of treasures, which (that king) had rightfully accumu­
lated; captured with noise the (arch called) W idyadharatorana at the
war-gate of his extensive capital (nagar), Qriwijaya, with the jewelled
wicket-gate adorned with great splendour and the gate of large jewels;
Panai with water in its bathing ghats; the ancient M alayur with the
strong mountain for its rampart; Mayirudingam, surrounded by the
deep sea (as) by a moat; Illanggagoka undaunted (in) fierce battles;
M appapalam having abundant (deep) water as defence; Mewilimbang-
gam guarded by beautiful walls; W alaippanduru possessed of Wilaip-
panduru(?); Talaittakolam praised by great men (versed in) the scien­
ces; the great Tamralingga (capable of) strong action in dangerous
battles; Ilamuri-degam, whose fierce strength rose in war; the great
Nakkaw aram , in whose extensive gardens, honey was collecting; and
Kadaram of fierce strength, which was protected by the deep sea.”
Dem ikianlah terdjemahan Prof. Nilakanta Sastri.
D iantara nama-nama tempat jang tertjatat pada piagam Tanjore
diatas ada jang tidak diketahui letaknja. Jang terang ialah Kadaram
jakni Kedah; Sriwidjaja = Sriwidjaja di Palembang; Panai = Panai
dimuara sungai Barumun; Malayur = Melaju; Mayirudingam = Che-
rating? dipantai timur Malaja; Ilanggagogam = Langkasuka dipantai
timur M alaja; Mappapalam = ? ; Mewilimbanggam = ? ; W alaippan­
duru == ? : Talaittakolam = Takola?; Ilamuri-degam = Lamuri, Atjeh;
N akkaw aram = Nikobar.
Radja-radja Cola mempunjai kebiasaan memberikan kekuasaan kem­
bali kepada radja-radja jang ditaklukkan. Radja Cola sudah puas de­
ngan pengakuan atas kekuasaannja dan dengan persembahan upeti
sekadarnja sebagai tanda takluk. Dalam rangka itu kiranja, maka radja
Sriw idjaja masih dapat langsung berhubungan dengan kaisar Tiong­
kok. Pada tahun 1028 radja Sriwidjaja mengirim utusan ke Tiongkok.
N am a radjanja tertjatat Se-li-houa (Sri Tunggawarman). Jang meme­
rintah pada waktu itu putera Marawidja/atunggawarman, jang bernama
Sanggramawidjajatunggawarman. Peristiwa pengiriman utusan itu ber­
langsung antara tahun ke 12 masa pemerintahan Rajendracola dan
tahun 1030 masa pengeluaran prasasti Tanjore. Oleh karena itu sifatnja
masih meragukan. Tidak aneh bila radja Rajendracola I djuga meng-
anggap dirinja sebagai radja negeri-negeri jang ditalukkan, meskipun
tidak setjara langsung mendjalankan pemerintahan dinegeri taklukkan
jang bersangkutan. Inipun kebiasaan jang didjumpai dalam sedjarah.
Sebagai bukti untuk kebenaran peristiwa tersebut, dapat dikemukakan
piagam Kanton jang bertarich tahun 1079 tentang perbaikan tjandi
T ien C hing didekat Kanton. Perbaikan tjandi Tien Ching dilakukan
atas biaja radja San-fo-ts'i jang bernama Ti-hua-ka-lo (Dewa Kulot-

215
i

tungga). Pada daftar silsilah radja-radja Chalukya Timur, Dewa Ku-,


lottungga Cola I ialah tjutju Rajendradewa II dan dikenal dengan'
nama Rajendra III. Beliau memerintah dari tahun 1070 — 1122. Djika
penjamaan Ti-hua-ka-lo pada piagam Kanton, dengan Dewa Kulot-
tungga itu benar, maka Rajendra III inilah jang mengaku radja San-
fo-ts’i, atau radja Sriwidjaja. Ti-hua-ka-lo dari Chu-lien merebut ke­
kuasaan San-fo-ts’i dan menetap disitu sampai tahun 1070, karena
pada tahun 1070 beliau naik tachta keradjaan di Cola dan memerintah
sampai tahun 1119. Sesudah Rajendradewa Kulottungga naik tachta
pada tahun 1070, pemerintahan atas San-fo-ts'i diserahkan kepada
puterinja, jang dalam pemerintahan dibantu oleh radja Djambi. Berita
jang ditangkap dari Sung-hui-yao seperti berikut: „Pada tahun ke 5
masa pemerintahan Yuan-?ong (tahun 1082) bulan 10 tanggal 17, Sun
Chiang, wakil kepala urusan pengangkutan dan wakil kepala urusan
dagang menjatakan, bahwa wakil umum pedagang asing dinegeri laut
Selatan menjampaikan surat kepadanja, jang ditulis dalam bahasa Ti-
onghwa. Surat tersebut berasal dari radja Chan-pei (Djambi) bagian
dari San-fo-ts’i dan dari puteri radja, jang diserahi kekuasaan meng­
awasi urusan negara San-fo-ts’i. Mereka mengirimkan kepadanja 227
tahil perhiasan, rumbia dan 13 potong pakaian.” Demikian Tan Yeok
Seong.
Untuk mengaku radja San-fo-ts’i bukanlah sjarat mutlak menetap
di San-fo-ts’i. Ini sesuai dengan kebiasaan radja-radja Cola di India
Oleh karena itu jang dimaksud dengan puteri radja dalam Sung-hui-
yao mungkin sekali keturunan radja Sanggramawidjaja jang ditunduk­
kan oleh Rajendracoladewa I. Radja-radja asli berbuat atas nama radja
Cola di India. Demikianlah dapat dipahami, apa sebabnja nama Dewa
Kulottungga jang pada tahun 1079 telah memegang pemerintahan di
India selama 9 tahun, namanja tertjatat sebagai radja San-fo-ts’i pada
piagam Tien Ching di Kanton.
Jang perlu mendapat perhatian ialah bahwa pada tahun 1006 radja
Cudamaniwarman dan kemudian Marawidjajatunggawarman pada
piagam Larger Leyden Plates menjebut dirinja radja Kataha dan Sri­
widjaja. Kalimat itu dapat ditafsirkan bahwa pada waktu itu Kedah
sudah didjadikan ibukota jang kedua dalam wilajah Sriwidjaja. Sriwi­
djaja menguasai sepenuhnja lalu-lintas kapal diselat Malaka. Peng-'
awasan diudjung utara dilakukan di Kedah, diudjung selatan dilakukan
di Djambi; kapal-kapal jang berlajar dari laut Djawa keselat Malaka
dan kebalikannja diawasi di Palembang. Kedah didjadikan pusat pe­
nguasaan negeri-negeri bawahan Sriwidjaja di Semenandjung; Palem­
bang mendjadi ibukota resmi keradjaan Sriwidjaja dan pusat penguasa­
an negeri-negeri bawahan Sriwidjaja di Sumatera.

216
Hubungan antara Sriwidjaja dan Tiongkok

Pangsa waktu penghabisan pengiriman utusan ke Tiongkok oleh


keradjaan Shih-li-fo-shih (Sriwidjaja) pada masa pemerintahan ra-
djakula T ang ialah dari tahun 713 sampai 741. Sedjak itu utusan
Shih-li-fo-shih tidak lagi kedengaran. Berhentinja pengiriman utusan
ke Tiongkok oleh Sriwidjaja bertepatan dengan perubahan pe­
merintahan dalam negeri, karena djustru pada masa itu mulailah pe­
merintahan radjakula Sailendra, seperti dinjatakan pada piagam Li-
gor B. Radja W isnu dari wangsa Sailendra mulai berkuasa di Sri­
widjaja.
Pengiriman utusan ke Tiongkok dimulai lagi pada permulaan masa
pemerintahan radjakula Sung (960 — 1279). Tepat pada tahun 960
seorang radja dari San-fo-ts’i jang bernama Se-li-hou-ta-hia-li-tan
(Sri Udayadityawarman) mengirim utusan ke Tiongkok. Boleh di­
pastikan bahwa Sri Udayadityawarman adalah keturunan Sailendra-
wangsa, keturunan Balaputra, karena radja-radja Sriwidjaja jang me-
njusul jakni radja Cudamaniwarman dan Marawidjajatunggawarman
djuga keturunan radjakula Sailendra. Pada tahun 962 datang lagi
utusan ke Tiongkok. Namun nama radjanja agak berbeda jakni Se-
li-wou-a (mungkin singkatan dari Sri Udayadityawarman). Ketika
kembali, utusan itu membawa kendi, porselin putih, benang sutera, dua
pasang pelana dan kendali. Dalam perutusan pada tahun 980 dan 983
jang tertjatat hanja gelar radja Sriwidjaja jakni hia-tche (haji).
Perutusan itu tinggal agak lama di Tiongkok. Pada tahun 992 datang
kabar dari Kanton, bahwa negeri Sriwidjaja sedang diserang oleh
tentara D jaw a. Kemudian pada musim semi tahun 992 utusan itu ber-
berangkat dari Kanton menudju (Tjampa, tetapi perdjalanan pulang
itu dibatalkan, karena datang kabar, bahwa peperangan dinegeri San-
fo-ts’i masih terus berkobar. Kemudian ia berlajar kembali dan mo­
hon kepada kaisar, agar kaisar mengeluarkan pengumuman, bahwa
San-fo-ts'i ada dibawah perlindungan Tiongkok. Berita perang itu
tjotjok dengan uraian utusan dari Djawa jang pada waktu itu datang
ke Tiongkok untuk pertama kali. Utusan Djawa itu memberitahukan
bahw a negerinja dalam permusuhan dengan San-fo-ts i. Pada waktu
itu jang memerintah di Djawa ialah radja Dharmawangsa, di Sriwi­
djaja ialah radja Cudamaniwarman. Itulah permusuhan antara Sriwi­
djaja dan D jaw a jang tidak tertjatat pada piagam, tetapi tertjatat dalam
kronik Tionghwa.
Pada tahun 1003 radja Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa (Sri Cu-
dam aniw armadew a) mengirim dua orang utusan untuk mempersem­
bahkan upeti. Kedua utusan itu mentjeriterakan bahwa dinegerinja

217
telah selesai dibangun sebuah tjandi Buda tempat berdoa agar kaisar
dikaruniai pandjang usia. Kemudian dikeluarkan pengumuman oleh
kaisar, bahwa tjandi itu diberi nama Cheng-'tien-wan-sliow. Disamping
itu kaisar menghadiahkan lontjeng untuk tjandi tersebut. Pada tahun
1008 radja Se-li-ma-la-pi (Sri Marawi jakni Marawidjaja) mengirim
tiga orang utusan untuk mempersembahkan upeti. Mereka diizinkan
pergi ke T ’ai-shan dan menghadap kaisar.
Dari uraian diatas djelas sekali bahwa pada permulaan abad 11
radja Sriwidjaja mengadakan hubungan erat dengan Radja Kesari-
warman Rajaraja di India dan dengan kaisar Tiongkok. Tokoh Cu-
damaniwarman dan Marawidjaja mempererat hubungan segitiga In ­
dia — Sriwidjaja — Tiongkok untuk menghadapi Djawa. Hubungan
dengan Tiongkok masih tetap dilandjutkan setelah Sriwidjaja diserang
oleh Rajendracola I dari India Selatan. Pada tahun 1079 Rajendra
Dewa Kulottungga sebagai radja San-fo-ts’i memperbaiki tjandi Tien
Ching dikota Kuang Cho dekat Kanton. Laporan pembangunan kem­
bali tjandi Tien Ching itu dinjatakan dalam bentuk piagam jang di-
ketemukan pada tahun 1959 di Kanton. Batu piagam itu terdapat di-
tjandi, jang terletak dikota Kuang Cho, disebelah utara Kanton. Ku­
ang Cho adalah tempat sutji di Kanton. Pada zaman pemerintahan
radjakula Sung tjandi itu disebut Tien Ching Kuan dan pada zaman
Yuan disebut Yuan Miau Kwan. Dibagian atas batu piagam itu ter­
tulis eham huruf Tonghwa jang bunjinja: Chung Siu Tien Ching Kuan
Chi artinja: Laporan pembangunan kembali tjandi Tien Ching. Batu
tersebut bertarich tahun 1079. Terdjemahan batu piagam itu seperti
berikut:
,,Agama Tao berasal dari daerah Luo-tan. Timbulnja pada masa
pemerintahan radjakula T ’ang dan berkembang pada masa pemerin­
tahan kaisar C h’ang dari radjakula T'ung. Lao-tgu menulis tentan
Tao-te-ching. Kata-katanja tinggi lagi mulia. Bukan itu asal mulanja?
Kaisar Ming mengandjurkan kepada rakjat untuk memudja Tao dan
membangun tjandi Kai-yuen. Bukankah ini suatu kemadjuan? Kaisar
Tsin-tsung sendiri memeluk agama Tao dan selama pemerintahannja
di Siang-fu pembangunan tjandi Tien Ching diumumkan diseluruh wi-
lajah kaisar. Tidakkah ini berarti, bahwa agama itu mengalami per­
kembangan sepenuhnja?
Disudut selatan kota Kanton, disebuah kota dikaki gunung, disitu
bertegak salah satu tjandinja. Itu menundjukkan, bahwa ditempat itu
Tao dipudja dengan giat.
Pada tahun keempat masa pemerintahan Huan-yiu, pendjahat Lang
dari Kwang-yuen sekonjong-konjong berlajar kehilir sungai dan diam-
diam datang ditepi tembok pusat kota Fan-yu. Ia menimbulkan mala-

218
bentjajla
kah jan ^ 3 3 t-iar’di tersebut dan membakarnja mendjadi abu. Siapa-
dim uka 9 memban9un kembali runtuhan-runtuhan jang berserak
mampu Pa” dan9an setiaP oran9 itu? Tidak adakah salah seorang jang
9uh. ia Sa seoran9 Pemudja Tao dan pentjari bahagia jang sung-
K am bi ^ san99uP menumpahkan perhatian kepada hal itu? Kota Lima
d e n g a n ^ ^ anton) terletak didekat laut besar. Kota itu berhubungan
ganq p ^ elba9ai negara asing. Disitulah tempat bertemu para peda-
fo-ts’i R3 masa Pen,erintahan Chih-ping ada seorang radja dari San-
seora an9 Prabu Ti-hua-ka-lo. Beliau memberi perintah kepada salah
kekot” 9, i13™*531^'3 Chih-lo-Io untuk mengirimkan perahu-perahunja
runqk ^ ^ih- lo - lo melihat tjandi rusak, kakinja terpendam dalam
harad'Utan ^ emudian ia kembali, lalu memberikan laporan kepada ma-
P ada ^ h saat itu beliau mulai tjenderung kepada agama Tao.
ke K ant Un keemPat beliau mengirim orang jang bernama Si-li-sha-wen
°n, untuk menemui pembesar mandala, kemudian mulai menje-
99 rakan pembangunan kembali gapura besar tjandi.
a tahun pertama masa pemerintahan Hsi-ming, Sha-wen pulang
um pembangunan ruang dilaksanakan seluruhnja. Ia datang lagi
^ ^abun kedua untuk melandjutkan pekerdjaannja. Ia mendirikan
au orium sabda kaisar disebelah barat Mandala.
Sha
wen pulang lagi kenegerinja dan pada tahun ketiga maharadja
mengirim utusannja lagi membawa pelbagai barang kepertapaan Lo-
yin . 1 ’ seorang pendeta dari Lu-san, minta agar Lo-yin-chih suka
men jadi pengurus setempat dan Ho-teck-sun suka mendjadi pengawas
tjan i tersebut. Pada tahun itu djuga ia membentuk suatu panitya
pem eli ladang padi seharga 100.000 uang mas untuk membelandjai
pengawasan tjandi tersebut. Lo-yin-chih mengundurkan diri dan kem­
bali egunung tempatnja lama. W a k il maharadja lalu mendesak guper-
nur untuk mengangkat Ho-teck-sun sebagai penggantinja. Selandjutnja
w aki ma aradja membangun ruang Pao-tsin, ruang utara dan ruanq
vegetans. a

A k id a h me? eT Urnakan Pemban9unan tjandi, maka terpahat dan


terlukislah art,a ditempat persadjian Tian-ti bersama-sama dengan para
pengawalnja. Ketika Sha-wen kenegerinja dengan maksud untuk me~
njempurna an agama Tao, Ho-teck-sun berpesan kepadanja agar ia
suka membudjuk sang radja (terputus karena rusak) ....... Sekarang
seorang a im jang bernama Ma-tu-hau-lo, seorang budajawan, da­
tang membawa upeti keistana. Izin telah diberikan untuk menerima
upetinja jang imaksud untuk membangun ruang San-ching dan per­
pustakaan kaisar . .. ( tidak terbatja). Setiap tahun harus ada satu
orang jang ditebus (dari dosanjaj. Telah ditjetak sebuah lontjeng besar

219
dan telah didirikan pula menara lontjeng. Hadiah sedjumlah 400.000
uang mas telah disampaikan untuk membeli ladang padi guna pem­
binaan tjandi.
M aksud ini terpudji oleh istana. Kehormatan jang gemilang diberi­
kan kepada mereka jang bersangkutan. Gelar djendral besar, jang
membantu pembaharuan ibadah dan keutamaan diberikan kepada ma-
haradja; Ho-teck-sun didjadikan tokoh besar jang menjembah Tao.
Sampai tahun kedua masa pemerintahan Yuan-fong dalam pangsa
waktu 7 atau 8 bulan, rentjana terlaksana. Kebagusan wihara mem­
berikan pemandangan tjemerlang. Angin bertiup, lontjeng-lontjeng ber-
bunji; dibawah matahari terik mentjurahkan sinar keemasan, pertama
gemerlapan. Hadiah sedjumlah 400.000 uang mas digunakan untuk
membeli ladang padi ditepi sungai seluas 190 oddmu, terletak diteluk
Naga disebelah pulau dekat desa San-kui didistrik Nan-hai. Hasil
tanamannja tiap tahun 758 hu. Ladang lain lagi jang menghasilkan
90 hu padi, dan jang terletak didesa Lian-tang didistrik Ching-yuen,
djuga dibeli; milik ini memberi hasil padi sebanjak 700 hu setiap tahun.
Ini digunakan untuk pembiajaan para pendeta Tao. 100.000 uang mas
sisanja didermakan kepada tjandi Ching-hui-si untuk membeli ladang
padi guna merijokong para biksu dan biksuni.
Sesudah mendirikan tjandi tersebut, sang radja lalu melepaskan
perahunja berlajar kearah negeri jang ditudju, tanpa takut akan bahaja,
padahal sebelumnja dalam ketakutan. Ini tjukup membuktikan bahwa
Jang M aha Sutji memberikan restu dan anugerah.
Sebagai saksi, jang melihat mukdjizat ini dengan mata sendiri, saja
tjenderung untuk memandjatkan doa kepada jang dimuliakan Tsong
Tao, dan membuat laporan ini pada tahun kedua masa pemerintahan
Yuan-fong pada hari dua lipat sembilan.
Hakim Ma-tu-hua-lo, djendral Pao Sun Lang
Ku Lian Chuan Tu
Ka N a Cha
Penderma jang berdjasa: Ti-hua-ka-lo, djendral besar j;
jang me-
njokong pembaharuan ibadah'dan keutamaan.”
Pada waktu itu kota Kanton dirusak oleh pendiah.f T.a„„

pin-shu, jang bunjinja seperti berikut:

220
T LHk^ ”- kedebu. Chih-lo-lo datang melihatnja
erbukti itulah gambar oran tua jang dilihatnja beberapa hari sebelum-
nja. Ketika ia pulang, ia mentjeriterakan pengalamannja itu kepada
l-hua-ka-lo. Pada saat itu djuga ia mengirim Si-li-sha-wen ke Kanton
untuk membeli bahan-bahan bangunan dan mentjari pekerdja untuk
memperbaiki tjandi. W aktu pekerdjaan itu selesai, seorang pendeta
Tao, Lo-yin-chih diminta untuk mendjadi pengurus setempat dan Ho-
tek-sun mendjadi pengawas. Ia menghadiahkan sebanjak 100.000 uang
mas untuk membeli ladang pertanian, jang terletak didesa Min-tang,
distrik Fan-yu. Tahun berikutnja Ti-hua-ka-lo mangkat. Kuku dan
rambutnja dipotong dan dikirimkan kepada pendeta (Ho-tek-sun), ke­
mudian ditanam di Min-tang. Hingga sekarang masih dilakukan upa-
tjara peringatan peristiwa tersebut. Keuangan tjandi Tien-ching luas
sekali. D i Yang-chen-kuo-chao tjandi ini memiliki ladang padi seluas
1478 — 32 mu beserta kolam-kolam ikan. Radja besar Ti-hua-ka-lo
adalah penderma utama jang sangat berdjasa."
Tentang piagam Kanton ini Tan-yeok-seong memberikan keterangan
jang mendjelaskan hubungan antara radja-radja Cola di India Selatan
dan radja-radja Sriwidjaja. Djustru karena nama radja San-fo-ts’i
jang tersebut pada piagam Kanton sama dengan nama radja Chu-lien
jakni Ti-hua-ka-lo (Rajendra Dewa Kulottungga). Pada masa peme­
rintahan Chih-ping 1064 — 1067 Ti-hua-ka-lo dari Chu-lien mengirim
utusan Chi-lo-lo keistana Tiongkok. Pada piagam Kanton Ti-hua-ka-
lo mendjadi radja San-fo-ts’i. Nama utusannjapun hampir sama jakni
Ch'i-lo-lo dan Chih-Io-Io.
Hubungan dengan luar negeri, terutama dengan Tiongkok, dilaku­
kan oleh radja Sriwidjaja atas nama radja Kulottungga Coladewa.
Pemerintahan didalam negeri tetap ada ditangan radja Sriwidjaja, jang
pada waktu itu pusat pemerintahannja ada di Kedah. Piagam Smaller
Leyden Plates djelas menjebut adanja radja Kadaram. Piagam itu
menjatakan, bahwa pada tahun ke 20 masa pemerintahan Rajakesari-
warman alias Sri Kulottungga Coladewa, jakni pada tahun 1090, radja
Kadaram mengirim dua utusan Rajawidyadhara Sri Samanta dan
Abhinottungga Sri Samanta. Kedua utusan itu mohon agar dikeluarkan
pengumuman pembebasan tjukai mengenai desa-desa Antarayam, Wi-
rasesai, Panmai-pandai-wetti, Kundali dan Sungamera, ringkasnja semua
desa jang termasuk wilajah tjandi Rajendracolapperumpalli dan Raja-
rajapperumpalli, jang dibangun oleh radja Kadaram di Pattanakura.
Lain daripada itu mereka menghendaki perubahan pengawasan desa-
desa wilajah tjandi tersebut jang dipegang oleh ka^ilayar (pengawas).
Desa-desa wilajah tjandi itu supaja diserahkan kepada sangattar,
jakni sekelompok orang. Kemudian Sri Kulottungga Coladewa mern-

221
berikan perintah kepada Rajendrasingha Muwendawelar untuk menulis
piagam tersebut.
Pada piagam Larger Leyden Plates dinjatakan, bahwa desa Anai-
mangalam di Pattanakura sebagai dusun jang termasuk wilajah tjandi
{w ihara Cudam aniw arm an) telah !jdibebaskan dari tjukai. Terbukti
bahw a djumlah desa-desa jang disebut dalam Smaller Leyden Plates
lebih banjak lagi. Desa-desa itu termasuk wilajah Rajendracolapperum-
palli dan Rajarajapperumpalli. Demikianlah dapat ditafsirkan bahwa
pada masa pemerintahan Rajendra III jakni Sri Kulottungga Coladewa I
radja Kadaram memperluas bangunan wihara Cudamaniwarman dan
menambah djumlah desa-dfesa jang dimasukkan kedalam wilajah tjandi.
Peninggalan w ihara Cudam aniw arm an diketemukan pada tahun 1867,
berupa beberapa artja Buda jang dibuat dari perunggu. Peninggalan-
peninggalan itu hasil penggalian paderi Jesuit dan sekarang tersimpan
di Madrast.

222
IX

r u n t u h n ja K E R A D JA A N S R IW ID J A J A

K e k u asaa n di Semenandjung
Kia-lo-hi adalah s a l a h satu negara bawahan San-fo-ts i d i p a n t a i
tim u r Sem enandjung. Kia-lo-hi adalah transkripsi Tionghw a dari nama
asli suatu tempat dipantai timur Semenandjung. Berita tentang letaknja
C h en- la dalam S u n g - s h i h menjinggung nama K i a - l o - h i . B entanja se­
p e rti berikut: Chen-la (Kambodja) bertemu dengan bagian selatan
C han- cheng (A nnam )i disebelah timur Chen-la adalah laut. Disebelah
b a r a t Chen-la berbatasan dengan P ’u-kan (Pagan) dan disebelah
se la ta n beradu batas dengan Kia-lo-hi.
D a r i berita itu njata sekali bahw a Kia-lo-hi terletak disebelah selatan
K a m b o d ja . O le h karena Chu-fan-chi memberitakan bahwa Kia-lo-hi
a d a la h negeri baw ahan San-fo-ts'i, maka Kia-lo-hi merupakan batas
a n ta ra K am bodja dan w ilajah San-fo-ts i. T idak ada o r a n g jang ragu,
b a h w a Kia-lo-hi adalah transkripsi dari nama tempat Grahi, jang ter-
tja ta t p a d a piagam Sriw idjaja jang diketemukan di C h ’ai-ya. N am a
G r a h i sebag ai nama tempat tidak lagi dikenal zaman sekarang. D engan
se n d irin ja lokalisasi G rahi ialah ditempat penemuan artja Buda jang
m e m u a t piagam tersebut, jakni di C h ’ai-ya. Boleh dipastikan bahw a
n a m a C h ’ai-ya itu nama baru. N am anja jang lama ialah Grahi. kj»rena
sum ber berita T ionghw a dari tahun 1225 tidak mengenal nama ai-
y a . J a n g dikenal ialah nama Kia-lo-hi. N am a C h ’ai-ya baru digunakan,
se te la h daerah itu mendj&di djadjahan Siam . Menurut kebiasaan bang­
sa S ia m suka m enggunakan kata-kata Sansekerta sebagai nama tempat.
Sebagai tjontoh ialah nam a N ak o n Sri Tammarat. N am a ini di­
g u n a k a n untuk menjebut daerah Ligor, sesudah mendjadi djadjahan
S iam . N a m a Sri T am m arat itu sendiri diambil dari nam a tokoh sedjarah
jakni C a n d ra b h a n u Q ri Dharmmaraja. tertjatat pada piagam Candra-
bhanu jang djuga diketemukan di C h ai-ya.
Piagam Grahi m e n je b u t, bahwa pada tahun Saka 1105 (tahun Ma­
sehi 1183) atas perintah Kamraten An Maharadja Srimat Trailokya-
radja Maulibhusanawarmadewa, hari ketiga bulan naik bulan Jyestba.
hari Rabu, mahasenapati Galanai, jang memerintah Grahi, menjuruh
mraten Sri Nano membuat artja Buda. Beratnja 1 bhara 2 tula dan
nilai masnja 10 tamlin. P e m b u a ta n artja itu dimaksud untuk melegakan
semua pemeluk agama, jang menjembahnja ditempat jang bersangkutan.
Piagam Grahi ditulis dalam bahasa Khmer. H al itu dapat dipahami,
djika mengingat bahwa letaknja berbatasan dengan Kambodja dan

223
timbulnja keradjaan Khmer semcndjak lepas dari kekuasaan D jaw a
pada tahun 802. Penduduknja menggunakan bahasa Khmer, tetapi
dalam kehidupan kenegaraan mereka mendjadi warga negara keradjaan
Sriw idjaja.
D jik a pada tahun 1183 kita mengenal nama mahasenapati G alanai
sebagai radja baw ahan Sriw idjaja, maka limapuluh tahun kemudian
jakni pada tahun K aliyuga 4332 (tahun Masehi 1230), ditempat jang
sama kita mengenal nama Candrabhanu Qri Dharmmaraja (Tjandra-
banu Sri D h a rm a ra d ja ). N am a itu tertjatat pada piagam C h ’ai-ya jang
ditulis dalam bahasa Sansekerta. Sudah pasti bahwa pada tahun 1230
nama G rahi masih dikenal, karena Chu-fan-chi jang disusun pada ta­
hun 1225 masih menjebut Kia-lo-hi. D jika kita ingin membedakan ke­
dua piagam tersebut, jang kedua-duanja diketemukan di C h ’ai-ya,
maka kita akan menjebutnja piagam Trailokya dan piagam C andra­
bhanu. T etapi hingga sekarang piagam itu dikenal dengan sebutan pia­
gam G rahi Buda dan piagam C h ’ai-ya.
Jang mendjadi persoalan ialah dimana letaknja Tambralingga, karena
Candrabhanu mengaku Tambralinggegwara. Setelah membanding nama
Tam bralingga pada piagam Candrabhanu, Tambralinggam pada pia­
gam Nidessa dari abad kedua, M adam alingam pada piagam Tanjore
dari tahun 1030, Coedes sampai kepada kesimpulan bahw a T am bra­
lingga harus terletak antara teluk Bandon dan Ligor. Itulah sebabnja
maka ia melokalisasikan Tan-ma-ling ditempat-tempat tersebut. P en­
dapat Coedes ini disetudjui oleh N ilakanta Sastri. T idak ada keberat­
an untuk mengidentifikasikan Tam bralingga dengan Tan-ma-ling dari
Chu-fan-chi, karena nama Kalingga dalam berita Tionghw a baik dalam
karya I-ts'ing maupun dalam sedjarah T ’ang djelas ditranskripsikan
Ho-ling. D alam bahasa M andarin tulisan T ionghw a itu diutjapkan Ke­
ling. D alam bahasa M elaju dan bahasa D jaw a orang dari K alingga
biasa disebut orang Keling. Lokalisasi Tam bralingga antara T eluk
Bandon dan Ligor oleh Coedes mendapat tentangan R oland Braddell.
R oland Braddel menjamakannja dengan Tembeling dan melokalisasi-
kannja didaerah Pahang. H ingga sekarang masih ada sungai jang ber­
nama Tembeling. O leh karena lokalisasi Tan-ma-ling telah diuraikan
dalam bab N E G A R A - N E G A R A B A W A H A N SA N - FO - T S ’I, tidak
perlu diuraikan lagi disini. Berdasarkan analogi kesamaan antara K a ­
lingga (Sansekerta, In d ia ), Ho-ling (Tionghw a) dan Keling (M e la ju ),
dan berdasarkan berita geografi Tan-ma-ling, saja lebih tjenderung
untuk mengidentifikasikan Tam bralingga pada piagam C andrabhanu
serta Tan-ma-ling pada Chu-fan-chi dengan Tembeling dan melokali-
sasikannja dipantai timur M alaja, didaerah Pahang, tempat sungai
Tem beling mengalir, sesuai dengan pendapat Roland Braddel. D eng an

224

k
i

sen d irin ja tim bul anggapan bahwa Tambralingga adalah nama lama
a ta u nam a Sansekerta dari Tembeling jang masih ada hingga sekarang.
O le h karena itu C andrabhanu Sri Dharmaradja adalah radja Tembe-
lijig. Jang m enarik perhatian ialah berita Tionghwa mengenai pembesar
Tan-m a-ling sebelum tahun 1230, djadi sebelum Candrabhanu ber­
kuasa.
1. Chu-fan-chi memberitakan bahwa Tan-ma-ling diperintah oleh
seorang pembesar jang disebut Siang-kung. Djabatan itu menurut ter-
d je m a h a n H irt dan Rockhill ialah ..minister of state" jakni menteri.
N a m u n menurut bunjinja kiranja kata itu transkripsi dari temenggung
a ta u tiang agung. Selandjutnja Chu-fan-chi memberitakan bahwa Tan-
m a-ling m engum pulkan mas untuk didjadikan upeti kepada radja San-
fo-ts'i.
2. Tao-i-chih-lio dari tahun 1349 mentjatat bahwa Tan-ma-ling di­
perintah oleh seorang pembesar setempat.
3. San-tsai-t’u-hui dari tahun 1607 menguraikan bahwa Tan-ma-ling
dip e rin tah oleh seorang pembesar jang bukan radja. Pada tahun 1196
u ntu k jang terachir mengirim utusan ke Tiongkok.
D a r i berita-berita tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Tan-ma-
lin g selama djadi negara bawahan San-fo-ts’i diperintah oleh seorang
pembesar setempat, jang bertanggung djawab kepada radja Sriwidjaja.
P a d a tahun 1001 menurut Sung-shih radja jang bernama Su-chi me­
ngirim utusan ke Tiongkok, terdiri dari 9 orang dan dikepalai oleh T ’a-
chih-ma. N am a itu berbeda-beda transkripsinja dalam huruf Latin.
Prof. Hsu menulisnja T uo Sze-chi, Schlegel Ta-Suki dan Saint Denys
T o -siu-ki. Kiranja kedudukan Candrabhanu semula djuga tumenggung
s e te m p a t, jang bertanggung djawab kepada radja Sriwidjaja. Oleh
karena pada tahun 1183 G rahi djelas masih mendjadi negeri bawahan
S r i w id j a j a , dan pada tahun 1230 Candrabhanu mengeluarkan piagam
di G ra h i dan menjebut dirinja Tambralinggegwara, maka boleh dipasti­
kan bahw a Candrabhanu memberontak kekuasaan Sriwidjaja. Setelah
membebaskan Tambralingga dari kekuasaan Sriwidjaja, Candrabhanu
m engangkat dirinja sebagai radja Tambralingga dan bergelar Candra­
b h a n u Sri Dharmaradja. Kemudian memperluas daerahnja sampai di
G rahi. C andrabhanu mengumumkan bahwa ia mendjalankan politik
Dbarmagoka, jakni politik radja Agoka di India. Ia akan berusaha
mengembangkan agama Buda. Dengan tegas dinjatakan, bahwa nama-
n ja ad alah lambang djasanja kepada segenap manusia (candra = bu­
lan; b h anu = matahari, s in ar). Pengum um an jang demikian didaerah
lain h a n ja dapat ditafsirkan b a h w a Candrabhanu baru sadja menduduki
da e ra h Grahi dan ingin menentramkan hati para p e n d u d u k n ja , jang

15 * 225
djelas memeluk agama Buda. Piagam itu boleh ditafsirkan sebagai pro­
klamasi kemerdekaan negara-negara dipantai timur Malaja dari ke­
kuasaan Sriwidjaja jang berpusat di Kedah/Palembang. Demikianlah
timbulnja Candrabhanu berarti patahnja kekuasaan Sriwidjaja di M a ­
laja dan djuga berachirnja pemerintahan radjakula Sailendra didaerah
tersebut. Politik jang didjalankannja megandung maksud untuk mem­
peroleh sokongan para penduduk Grahi sepenuhnja, karena Candra­
bhanu masih bermaksud memperluas wilajahnja diluar Malaja.
Oleh karena pengiriman utusan Tan-ma-ling ke Tiongkok hanja ter-
tjatat satu kali sadja jakni pada tahun 1196, maka dapat diduga, bahwa
Tan-ma-ling pada tahun 1196 telah berusaha membebaskan diri dari
kekuasaan Sriwidjaja. Pengiriman utusan itu boleh dianggap sebagai
permohonan pengakuan kepada kaisar Tiongkok. Chu-fan-chi jang di­
susun pada tahun 1225, masih memasukkan Tan-ma-ling sebagai negeri
bawahan San-fo-ts’i, dibawah pemerintahan seorang pembesar setem­
pat. Andaikata Tan-ma-ling pada tahun 1196 mengirim utusan sebagai
negara merdeka, tentunja tidak akan dimasukkan dalam golongan ne­
gara bawahan San-fo-ts’i. Demikianlah kiranja pemberontakan C an­
drabhanu terhadap kekuasaan Sriwidjaja terdjadi antara tahun 1225
dan 1230. Untuk menghindari balas dendam Sriwidjaja, maka pembe­
rontakan harus segera diperluas diseluruh Semenandjung, dan menikam
pusat kekuasaan Sriwidjaja di Semenandjung, jang terletak di Kedah.
D ari pandangan itu kita dapat memahami, apa sebabnja Candrabhanu
memasuki daerah Grahi dan mengeluarkan piagam di Grahi, suatu
tempat diudjung barat Semenandjung, jang paling dekat dengan Ke­
dah. Ekspedisi ke Sri Langka tidak akan dilakukan sebelum kekuasaan
Sriwidjaja di Semenandjung patah samasekali.
Pandangan lokalisasi Tambralingga di Tembeling mendapat dukungan
dari sudut ekonomi jang lebih banjak menguntungkan daripada loka­
lisasi di Grahi antara teluk Bandon dan Ligor. Daerah Tembeling kaja
akan logam dan hasil bum i seperti tertjatat dalam sumber-sumber berita
Tionghwa. Chu-fan-chi mentjatat, bahwa Tan-ma-ling menghasilkan
lilin lebah, tjendana, gaharu, kamfer, setanggi, kaju arang, gading dan
tjula badak. Tao-i-chih-lio menambah, bahwa Tan-ma-ling menghasil­
kan padi lebih banjak daripada konsumsi penduduknja. Sumber berita
itu djuga menjebut hasil kamfer, tjendana dan gaharu disamping penju.
Jang sangat menarik perhatian ialah bahwa Tan-ma-ling menurut Chu-
fan-chi mengumpulkan .mas sebagai upeti kepada San-fo-ts’i, dan me­
nurut Tao-i-chih-lio Tan-ma-ling menghasilkan timah jang bermutu
tinggi. Berita ekonomi negeri Tan-ma-ling ini dengan singkat meng­
uraikan kemakmuran daerah dan kesedjahteraan rakjatnja. Soal ini
penting sekali berhubung dengan berita peperangan Candrabhanu

226
dengan Sri Langka, jang terdjadi sampai dua kali. Mengingat letak
Sri Lagka jang sangat djauh dari Malaja, maka biaja perang itu banjak
sekali. Ekspedisi Candrabhanu ke Sri Langka dipersiapkan dan di­
lakukan, sesudah negeri-negeri disekitarnja dibebaskan dari kekuasaan
Sriwidjaja dan wilajah negerinja terasa aman dan tenteram. Ketente­
raman dalam negeri harus terdjamin lebih dahulu. Candrabhanu me-
njerang Sri Langka sampai dua kali. Ekspedisi jang pertama dilakukan
pada tahun 1247; jang kedua pada tahun 1270/1271. Ekspedisi Can­
drabhanu ke Sri Langka tertjatat dalam sedjarah Culawangsa. Dalam
sedjarah itu Candrabhanu disebut radja Djawaka, bukan radja Tam-
bralingga seperti pada piagam Candrabhanu di Grahi.
Tjatatan sedjarah dalam Culawangsa itu tidak mungkin salah, ka­
rena baik nama Candrabhanu maupun Djawaka (Jawaka) dikenal pada
piagam asli. Lagipula penempatan masa termakan akal, jakni 17 tahun
sesudah proklamasi kemerdekaan Grahi. Djadi tidak ada soal anachro­
nisme. Mungkin sebutan Jawaka itu jang meragukan, karena pada
piagam Candrabhanu tahun 1230 Candrabhanu memperkenalkan diri
sebagai Tambralinggeçwara. Tambralingga terletak di Malaja, tidak
di Djawa. Dalam bahasa Tamil jang dimaksud dengan Jawakam ada­
lah Djawa. Namun kiranja nama Djawa sudah mendjadi sebutan umum
bagi Semenandjung, Sumatera dan Djawa, djika penjebutnja orang dari
Barat, terutama para saudagar Arab. Nama Zabag atau Zabaj terang
berhubungan dengan Jawakam, tetapi Iokalisasinja tidak selalu di D ja­
wa. Kepopuleran nama Jawa(ka) disebabkan karena kekuasaan radja-
kula Sailendra semendjak abad ke 8 di Sumatera dan Semenandjung.
Radjakula Sailendra berasal dari Djawa Tengah. Sudah pasti bahwa
radja Sailendra di Sriwidjaja seperti Balaputra disebut maharadja jang
berasal dari Djawa. Djuga tidak mustahil bahwa perkembangan ke­
kuasaan Sailendra membawa akibat penempatan orang-orang Djawa di-
seberang laut. Sri Langka jang terpisah djauh dari Sriwidjaja, dengan
mudah akan menjebut Semenandjung dan Sumatera negara Jawaka,
jakni negara jang dikuasai oleh maharadja Djawa. Djuga setelah ke­
kuasaan Srwidjaja di Semenandjung dipatahkan oleh Candrabhanu,
sebutan itu masih tetap sebagai momok. Tentara Candrabhanu jang
pada hakekatnja memang bekas rakjat djadjahan Sriwidjaja terlandjur
disebut tentara Jawaka oleh orang-orang Sri Langka. Berita-berita
Arab jang menjebut Zabag atau Zabaj memang harus ditafsirkan de­
mikian.
Didalam sedjarah kuno dan moderen tjukup banjak tjontoh atau to­
koh jang dihinggapi nafsu perang dan nafsu kebesaran. Apabila tiba
kesempatan, kesempatan itu tidak akan dibiarkan lalu begitu sadja oleh
orang jang mempunjai watak demikian. Tiap kemenangan jang diper-

227
olehnja, mendjadi umpan pembakar jang mengobarkan nafsunja. Ke-
radjaan Sriw idjaja jang sudah mulai runtuh semendjak serangan Ra-
jendracoladewa pada tahun 1030, memberi kesempatan baik kepada
Candrabhanu untuk tampil kemuka. W ila ja h Sriwidjaja terlalu luas.
Pengawasannja tidak mudah. Kekuatan Sriwidjaja terbagi mendjadi
dua. Sebagian ditempatkan di Kedah sebagai pusat Sriwidjaja di Seme-
nandjung; sebagian lagi di Palembang sebagai pusat Sriwidjaja di Su­
ni ater a. Semangat nasional setelah berkuasa selama beberapa ratus
tahun, mulai lapuk, mulai kendor. tidak mampu menghadapi semangat
C andrabhanu jang sedang berkobar. Lagipula wilajah Tembeling ter­
masuk daerah makmur, tjukup kaja untuk membiajai nafsunja mengedjar
kebebasan dan kebesaran. Kemenangan dalam pemberontakan terhadap
kekuasaan Sriw idjaja menjebabkan penobatannja sebagai radja Tem­
beling. Kemenangan itu mendorongnja lebih djauh lagi. Pada tahun
1230 Candrabhanu merebut GrahL
D ari piagam jang dikeluarkannja kita dapat menangkap sekadarnja
watak Candrabhanu jang sedang mabuk kebesaran. Ia menjamakan
dirinja dengan radja Agoka jang sangat mashur di India. Sudah pasti
bahw a penjamaan dengan radja Agoka itu mengandung politik pengem­
bangan agama Buda didaerah jang didudukinja djuga. Ia menjamakan
djasa-djasanja kepada umat manusia dengan bulan dan matahari jang
siang-malam menjinari djagat. O leh karena itu ia mengambil nama
Cadcabhanu jang berarti: sinar bulan atau bulan dan matahari. Pia­
gam Candrabhanu bernafaskan kebanggaan jang berbatas kepada
kesombongan. C andrabhanu mempunjai nafsu 'kuat untuk mengedjar
kebesaran. W a ta k jang demikian suka akan petualangan, tidak enggan-
enggan mendjalankan segala apa jang dapat menambah kebesarannja.
Terbukti bahw a tudjuhbelas tahun sesudah berhasil menguasai Grahi,
pada tahun 1247 ia melakukan ekspedisi ke Sri Langka, suatu tempat
jang amat djauh letaknja. Serangan itu berhasil baik. Candrabhanu
berhasil menguasai sebagian dari keradjaan Sri Langka, meskipun
penguasaan itu tidak bersifat mutlak. Setelah berhasil menguasai seba­
gian dari Sri Langka, Candrabhanu kembali ke M alaja, meninggalkan
puteranja di Sri Langka. Dalam tahun 1258 dan 1263 terdjadi serbuan
oleh pihak bangsa Pandya. D alam serbuan jang terachir itu tentara
C andrabhanu menderita kekalahan dan terpaksa mengakui kekuasaan
radja Pandya. M engenai serbuan tentara Pandya itu ada piagamnja
jang bertarich tahun 1264. Piagam Pandya tentang Candrabhanu mulai
dengan rajuan menteri kepada radja Pandya untuk menundukkan
putera Candrabhanu. Isi piagam itu seperti berikut:
„Dengarkanlah tjara mendirikan pemerintahan, barkat kemenangan
jang sesuai dengan adat-istiadat. Pangeran, berbuatlah seperti jang

228
berikut: usahakan musuh tunduk kepada kekuatanmu, perangi dia dan
k irim lah dia keachirat! Lalu masukilah keradjaannja bersama dengan
Sanak~saudara dan tentaramu. D jika engkau berhasil masuk, engkau
a k a n memperoleh pradjurit berkuda, kereta kentjana, /ang ditarik oleh
enam ekor kuda, banjak permata dari kesembilan matjam, mendapat
b a n ja k mas, tachta, machkota, gelang tangan, gelang kaki, kalung,
bendera dan pajung, kipas jang dibuat dari bulu kidjang, nobat dan
sebagainja.
Kemenanganm u pasti mengedjutkan dan menakutkan radja-radja
lainnja. Kem udian engkau akan menanamkan tongkat kebesaran radja
jang mempunjai lambang ikan diatas gunung Konai dan Tiru Kuda
d a n akan menerima banjak persembahan.
Putera Sri Langka, alih-alih mengabdi kepadamu, merendahkan ke­
besaranmu. Sesudah engkau berhasil menundukkannja, engkau harus
m endjalani m andi adat dalam kolam radja, kemudian si kalah akan
m em bungkuk dihadapanmu. Sesudah itu engkau gilang-tjemerlang, me­
ngendarai gadjah dan berkirap mengelilingi wilajah jang kaukalahkan,
langsung menudju Annurapuri dan memerintah keradjaan, jang pernah
diperintah datuk mojangmu pada masa jang lampau!
P ad a tahun 1270/1271 Candrabhanu sekali lagi melantjarkan se­
rangan terhadap Sri Langka, tetapi serangan itu menemui kegagalan.
B ahkan keadaan dalam negeri karenanja kotjar-katjir. Achirnja pada
tah u n 1294 keradjaannja diserang dan diduduki oleh tentara Siam.
N a m a Sri Dharm aradja diabadikan sebagai nama kota diteluk Siam
jang sekarang disebut Sri Tammarat.

Kekuasaan di Sumatera
G elar radja Sriwidjaja jang tertjantum pada piagam Grahi (tahun
1183) ialah grimat; nama lengkapnja ialah grimat Trailokyaraja Mau-
libhusanawarmadewa. Nama resminja menggunakan kata mauli. Baik
grimat maupun mauli adalah kata Tamil; grimat berarti ,,tuan dan
mauli berarti „mahkota” . Gelar grimat dan nama mauli tidak dikenal
pada gelar dan nama radja dari radjakula Sailendra baik jang meme­
rintah di Djaw a maupun di Sriwidjaja. Gelar grimat dan nama mauli
hanja dikenal pada radja-radja Melaju.
P ada piagam A m o g h a p a g a , hadiah radja Kertanagara kepada ra d ja
M elaju pada tahun 1286, te rd a p a t gelar dan nama jang sama bagi ra-
dja M elaju. Diberitakan, bahwa pada tahun Saka 1208 atau tahun
M asehi 1286 artja A m o g h a p a g a dengan H pengikutnja, hadiah Sri
W igw arupakum ara, diangkut dari Djawa ke Suwarnabhumi dan di­
tempatkan di D h a r m m a g r a y a atas p e rin ta h M a h a r a ja d h ir a ja C n
Kertanagara W ikram a Dharmottunggadewa. Jang ikut

229
I

artja tersebut ialah rakryan m ahâmantri d} ah Adwayabhrahma, ra-


kryan sirikan dyah Sugatabhrahma, samget payanan hang Dipangkara-
daça dan rakryan demung Pu W ir a . Karena hadiah itu segenap rakjat
M elayu gembira, para bhrahmana, para ksatria, para waisya, para
sudra, para arya, dan terutama çri mahârâja çrimat Tribhuwanarâja
M auliw arm adew a.
Piagam Am oghapaça diketemukan ditepi sungai Langsat dihulu Ba­
tang H ari. Itulah sebabnja maka timbul anggapan bahwa Dharmmaç-
raya terletak dihulu Batang H ari. Piagam Amoghapaça dikeluarkan
100 tahun sesudah piagam Grahi, namun gelar dan nama radjanja tetap
sama. O leh karena itu timbul anggapan bahwa radja Trailokya Mauli-
bhusanawarmadewa adalah radja M elaju. Dengan kata lain pada tahun
1183 keradjaan Sriwidjaja, jang biasa disebut San-fo-ts’i dalam berita-
berita Tionghw a zaman radjakula Sung dan M ing, telah runtuh dan
digantikan oleh keradjaan Melaju. Semenandjung tidak lagi diperintah
Sriwidjaja, tetapi diperintah oleh keradjaan Melaju.
D jika hal tersebut dihubungkan dengan pengiriman utusan Sriwidjaja
ke Tiongkok, m aka njatalah bahwa pengiriman utusan Sriwidjaja ke
Tiongkok jang terachir berlangsung pada tahun 1178. Demikianlah
antara tahun 1178 dan 1183 dalam keradjaan Sriwidjaja terdjadi per­
ubahan pemerintahan. Kekuasaan Sriwidjaja di Sumatera diambil alih
oleh Melaju. D engan sendirinja negeri-negeri baw ahan Sriwidjaja
baik jang ada di Sumatra maupun jang ada di Semenandjung, ikut di­
ambil alih oleh keradjaan M elaju. R adja M elaju jang mengambil alih
kekuasaan ialah çrimat Trailokyarâja Maulibhusanawarmadewa. Oleh
karena kekuasaan radja Trailokya tidak hanja terbatas pada wilajah
keradjaan M elaju lama, maka gelar mahârâja jang biasa dipakai oleh
radja-radja Sriw idjaja dari radjakula Sailendra diambil alih pula.
Dem ikianlah terdjadi perangkapan gelar mahârâja çrimat Trailokya­
râja.
Chu-fan-chi jang disusun oleh Chao-ju-kua pada tahun 1225, djadi
42 tahun sesudah pengeluaran piagam Grahi, masih menjebut adanja
negara San-fo-ts’i. N am a San-fo-ts’i pada orang-orang Tionghw a su­
dah sangat populer, sehingga perubahan pemerintahan, jang pada
hakekatnja adalah perubahan dipusat keradjaan Sriwidjaja, tidak mem­
pengaruhi masjarakat luar. N am a San-fo-ts'i masih tetap digunakan.
Bahkan Chao-ju-kua malah masih menjebut negara-negara baw ahan
San-fo-ts’i jang djumlahnja 15. D jika nama-nama negara bawahan
San-fo-ts’i itu diperhatikan, maka diantara 15 negara bawahan
itu tidak disebut negara Melaju, tetapi malah menjebut Pa-lin-fong
(Palem bang), sedangkan Palembang adalah pusat keradjaan San-fo-
ts’i, pusat keradjaan Sriwidjaja. Demikianlah sebenarnja Chao-ju-kua

230
tahu bahw a ada perubahan dalam pem erintahan dipusat k e radjaan
Sriw idjaja. Peranan politik jang dulu dipegang oleh Palem bang p a d a
tahun 1225, ketika ia menjusun Chu-fan-chi, dipegang oleh k eradjaan
M elaju. Keradjaan M elaju jang sedjak tahun 683 m endjadi negara
baw ahan Sriw idjaja, pada tahun 1225 sudah merdeka lagi, b a h k a n
m enggantikan kedudukan Sriw idjaja di Palem bang. Palem bang berganti
peranan mendjadi negara bawahan. N am u n nam a San-fo-ts’i m asih
tetap digunakan, seolah-olah tidak terdjadi perubahan dalam ketata­
negaraan.
D em ikianlah nama San-fo-ts’i dalam Chu-fan-chi d an dalam kronik
radjakula M ing harus ditafsirkan bahw a jang dim aksud adalah kera­
djaan M elaju jang berpusat di Dharmmagraya. P ad a tahun 1371 ke­
radjaan M elaju mengirimkan utusan ke T iongkok. U tusan itu m em baw a
beruang, merak, burung bajan, dan seputjuk surat jang ditulis diatas
lembaran mas. Pada tahun 1373 datang lagi utusan dari keradjaan
jang disebut San-fo-ts’i (batja keradjaan M e laju ). R adjanja jang m eng­
utus bergelar m aharadja prabu, dan bernama Ta-ma-cha-na-a-cho.
K iranja beliau adalah putera maharadja grimat T ribuw anaradja. T id a k
m ungkin T ribuw anaradja sendiri, megingat bahw a selisih w aktu antara
penerimaan hadiah artja dan pemberitaan itu ada 87 tahun. D ib e rita h u ­
kan oleh utusan itu bahw a dinegerinja ada tiga radja. Ini berarti b a h ­
w a keradjaan San-fo-ts'i telah petjah mendjadi tiga keradjaan. D a ri
pengiriman utusan-utusan jang berikut, ternjata bahw a 'keradjaan
telah petjah m endjadi: Dharmmagraya (M e la ju ), Palem bang dan M i ­
nangkabau. Pada tahun 1374 datang utusan Ma-na-ha Po-lin-pang
(M ah arad ja Palem bang); tahun berikutnja jakni pada tahun 1375
datang utusan Seng-k’ia-lie-yu-lan (Sang A dityaw arm an, radja M i­
nangkabau). Pada tahun 1376 radja M elaju D harm m agraya jang ter­
sebut diatas w afat dan diganti oleh puteranja Ma-na-cho W u - li ( M a ­
haradja M a u li). N am a lengkapnja tidak diketahui, tetapi djelas termasuk
radjakula M a u li jakni radja-radja Dharm m agraya. T ah un berikutnja
M aharadja M au li mengirim utusan ke T iongkok, m em bawa pelbagai
upeti diantaranja: burung kaswari, burung bajan, kera putih dan penju.
U tusan mohon kepada kaisar supaja suka memberikan surat pengakuan
kepada M aharadja M au li. T etapi dalam perdjalanan pulang utusan itu
tertangkap oleh tentara D jaw a. Pada w aktu itu San-fo-ts’i telah d i­
kuasai oleh D ja w a .
Perlu ditjatat bahw a pada tahun 1325 dan 1332 menurut kronik
radjakula Y u a n Seng-k'ia-lie-yu-lan telah datang sebagai utusan ke
T iongkok dengan pangkat menteri, dari D jaw a. Boleh dipastikan b a h w a
Seng-k’ia-lie-yu-lan adalah Sang A dityaw arm an jang semasa ketjilnja
diasuh dipura M adjapahit pada masa pemerintahan D jajanegara dan

231
Tribuwanatunggadewi. Baru pada tahun 1339 ia kembali ke Sumatera
dan mendirikan keradjaan M inangkabau. Tentang tokoh Adityawar-
man ini timbul pelbagai pendapat. Stutterheim dalam T.B.G. 76 me­
ngemukakan pendapat pengangkutan artja Amoghapaga pada tahun
1286 dari D jaw a ke Sumatera atas perintah radja Kertanagara dilaku­
kan demi hadiah perkawinan W igw arüpakum ára dengan puteri Melaju.
W igw arüpakum ara adalah saudara radja Kertanagara. D ari perka­
w inan itu lahir Adityawarman. Demikianlah hubungan antara Gajatri
dan Adityawarman dalam kekeluargaan adalah saudara sepupu.
Dalam karangannja „De Sadeng-oorlog en de mythe van groot-Maja-
pahit” setjara pandjang lebar C.C. Berg membahas asal-usul Aditya­
warman dengan mengemukakan pelbagai pendapat jang pernah di­
utarakan. Ringkasnja Berg beranggapan bahwa Dara Djingga adalah
puteri Kertanagara. Puteri ini kawin dengan Sanggramawidjaja alias
Kertaradjasa Djajawardana, dan dengan radja Melaju Mauliwarma-
dewa. Dari perkawinan itu lahir Arya Damar / Adityawarman. Aditya­
warman adalah putera bungsu radja Madjapahit Kertaradjasa D jaja­
wardana. Oleh karena itu kedudukannja djauh lebih rendah daripada
Djajanagara. Berg menganggap bahwa radja Melaju jang kawin de­
ngan Dara Djingga adalah WiQwarüpakumara. D jadi berbalikan de­
ngan pendapat Stutterheim.
Pendapat Berg ini bertentangan dengan pemberitaan Kidung Pandji
W idjajakram a dan Pararaton, bahwa Dara Petak dan D ara Djingga
adalah dua orang puteri Melaju jang dibawa oleh tentara Singasari
dibawah pimpinan Kebo Anabrang ke Madjapahit untuk dipersembah­
kan kepada sang prabu. Dara Petak diambil sebagai isteri. Tentang
Dara Djingga dikatakan „sira alaki dewa”, suatu ungkapan jang hingga
sekarang masih gelap artinja. Oleh karena itu timbul pelbagai tafsir.
Berg tetap beranggapan bahwa Adityawarman adalah putera radja
Kertaradjasa jang lahir dari Dara Djingga. Baik karangan Berg mau­
pun karangan Stutterheim mengenai asal-usul Adityawarman itu sangat
berbelit-belit dan sangat muluk, dihubungkan dengan pelbagai teori.
Tidak perlu dipaparkan sekali lagi disini.
Kita perhatikan sekarang pengakuan Adityawarman sendiri. Peng­
akuan itu terdapat pada prasasti jang dipahat pada kubur radja A d i­
tyawarman, ditulis dalam bahasa Sansekerta jang sangat ruwet. N am un
njata pada prasasti itu bahwa Adityawarman adalah putera Adwaya-
warman radja Kanakamedini, radja Suwarnadwipa, keturunan wangsa
Kuligadhara (Indra). M aka persoalannja ialah siapa Adwayawarman
itu? Bagaimana hubungan Adwayawarman dengan pura Madjapahit,
karena waktu masih muda, Adityawarman tinggal dipura Madjapahit.
Teori Stutterheim dan Berg telah dikemukakan setjara singkat sekali.

232
Barangsiapa ingin mengetahuinja selengkapnja, dapat membatjanja sen­
diri dalam Icarangan jang telah disebut diatas.
Dlantara para pembesar Singasari jang mengantarlcan artja Amo-
ghapaga dari Singasari ke Suwarnabhumi ialah mahamantri Adwaya-
brahma. Djelas nama itu terdapat pada piagam Amoghapaga. Pada
waktu itu jang mendjadi radja dikeradjaan Melaju jang ditundukkan
oleh tentara Singasari ialah grimat Tribuwanaraja Mauliwarmadewa.
Peristiwa pengangkutan artja Amoghapaga terdjadi pada tahun 1286.
Tentara Singasari pulang ke Madjapahit pada tahun 1293, djadi enam
tahun kemudian. Sudah pasti bahwa kedua puteri Dara Petak dan Dara
Djingga adalah puteri Tribuwanaradja Mauliwarmadewa. Kedua pu­
teri itu dipersembahkan kepada radja Madjapahit sebagai hadiah ba­
lasan. Hadiah balasan itu tidak diterima oleh radja Kertanagara, 'karena
pada waktu tentara Singasari kembali, prabu Kertanagara telah wafat.
Hadiah balasan diterima oleh Raden Widjaja, jang telah kawin dengan
puteri Kertanagara. Dara Petak, adik Dara Djingga dikawini oleh
radja Kertaradjasa. Dari perkawinan itu lahir Djajanagara. Pada pia­
gam Gunung Butak tahun 1294 nama Djajanagara telah disebut. Pada
waktu itu Djajanagara pasti masih baji. Tentang Dara Djingga dikata­
kan „sira alaki dewa”. Oleh karena Adityawarman mengaku putera
Adwayawarman, maka boleh dipastikan bahwa Dara Djingga kawin
dengan mahamantri Adwaya. Dari perkawinan itu lahir Aditya­
warman Mantrolot. Oleh karena ia tidak menjebut bahwa ajahnja
adalah radja Kanakamedini (Suwarnadwipa), maka Adwayawarman
sebagai menantu grimat Tribuwanaradja tidak berkesempatan untuk
mendjadi radja di Dharmmagraya. Diharapkan sypaja mahamantri
Adwaya sebagai menantu radja Dharmmagraya pada suatu saat, djika
grimat Tribuwanaradja Mauliwarmadewa mangkat, dapat mendjadi
penggantinja. Itulah kiranja keterangan ungkapan „sira alaki dewa”.
Dari pihak ibunja maka Djajanagara dan Adityawarman adalah sau­
dara sepupu. Dari pihak ajah mungkin sekali djuga masih dalam hu­
bungan kekeluargaan jang sangat akrab, mengingat bahwa mahamantri
biasanja adalah orang jang masih mempunjai hubungan kekeluargaan
jang akrab dengan radja. Pada zaman pemerintahan radja Kertanagara
Adwaya mendjadi mahamantri dan raden Widjaja mendjadi senapati.
Raden Widjaja keturunan Narasinga, Kertanagara keturunan Djaja-
wisnuwardana. Mengingat masa perkawinan Dara Petak dengan Ra­
den Widjaja (1293), maka kiranja Djajanagara dan Adityawarman
adalah sebaja. Mengingat hubungan kekeluargaan antara Djajanagara
dan Adityawarman seperti diuraikan diatas, maka mudah dipahami,
mengapa Adityawarman diasuh bersama dengan Djajanagara diistana
Madjapahit. Puteri Dara Petak jang kemudian bernama Indreswari.

233
pandai merebut hati radja Kertaradjasa. Sudah pasti bahwa Aditya-
warman sebagai kemanakan puteri Indreswari mendapat perhatian
radja Kertaradjasa.
Nama lengkap Adityawarman seperti jang tertjantum pada piagam
Amoghapaga ialah Udayadityawarman Pratapaparakramarajendra Mau-
liwarmadewa. Ia mengambil nama Mauliwarmadewa, karena ia ke­
turunan radja Dharmmagraya Tribuwanaradja Mauliwarmadewa. A di­
tyawarman adalah tjutjunja. Pada tahun 1339, kira-kira pada waktu itu
Adityawarman berumur ± 50 tahun ketika kembali ke Sumatera dan
mendirikan keradjaan Minangkabau. Demikianlah lalu timbul tiga ke-
radjaan dibekas keradjaan San-fo-ts’i jakni: Dharmmagraya, Palembang
dan Minangkabau. Sebelum kedatangan Adityawarman hanja ada dua
keradjaan jakni Dharmmagraya dan Palembang sebagai bekas keradja­
an lama: Melaju dan Sriwidjaja. Itulah kiranja tiga keradjaan jang
diuraikan oleh kronik radjakula Ming. Dengan timbulnja keradjaan-
keradjaan tersebut maka keradjaan Sriwidjaja di Sumatera berachir,
meskipun dalam kronik radjakula M ing masih disebut nama keradjaan
San-fo-ts’i. Pada tahun 1377 radja Dharmmagraya jang namanja ter-
tjatat Ma-na-cho W u-li (M aharadja M auli) masih berusaha memper­
oleh pengakuan kaisar Tiongkok sebagai maharadja San-fo-ts’i. Namun
utusan radja Dharmmagraya itu dalam perdjalanannja pulang ditang­
kap oleh tentara Djawa. Kronik radjakula M ing selandjutnja memberita­
kan' bahwa sedjak itu keradjaan San-fo-ts’i dikuasai oleh tentara
Djawa. Beritanja jang termuat dalam buku 324 ialah: Pada tahun 1397
San-fo-ts’i untuk penghabisan kalinja dikalahkan oleh Djawa; kemu­
dian namanja diganti Chiu-chiang artinja: pelabuhan lama, sungai lama.
Dalam Yin-yai-sheng-lan dinjatakan, bahwa Chiu-chiang sama sadja
dengan negara jang sebelumnja disebut San-fo-ts’i, djuga disebut Po-
lin-pang (Palembang).

234
,!<ARJA U T A M A D A N SINGKAT AN

Chavannes : I-ts'ing, Memoire à l’époque de la grande dy­


nastie T ang sur les religieux éminents qui allè­
rent chercher la loi dans les pays d'Occident.
&
C oedès : Le royaume de Çrivijaya, B.E.F.E.O. X V III.
Les états hindouisés d ’Indo-Chine et d’Indoné­
sie.
De^Casparis Prasasti Indonesia I, II.
Ferrand : L ’empire ^sumatranais de Çrivijaya.
i
Relations de Voyages et Textes géographiques.
Gerini : Researches on Ptolomy’s geography.
Groeneveldt : Notes on the Malay Archipelago and Malacca,
compiled from Chinese sources.
Hirth and Rockhill : Chao-ju-kua.
Krom : Hindoe-Javaansche Geschiedenis (HJG).
Majumdar : Les rois çailendra de Suvarnadvipa, B.E.F.E.O.
X X X III.
Moens Çrivijaya, Yâva en Katâha, T.B.G. LX X V II
afl. 3.
Nilakanta Sastri : History of Çrivijaya.
Pelliot Deux itinéraires de Chine en Inde, B.E.F.E.O.
1904.
Roland Braddell : A n introduction to the study of ancient times in
the Malay Peninsula and the Straits of Malac­
ca; notes on ancient time in Malaya, J.M.B.R.-
A.S. X III, X IV , X V , X V II, X IX , X X , X X II,
X X III, X X IV .
Takakusu I-ts'ing, A Record of the Buddhist religion as
practised in India and the Malay Archipelago.

Winstedt History of Johore.

B.E.F.E.O. Bulletin de l’Ecole Française d’Extrème Orient.

Bijdragen tôt de Taal-, Land- en Volkenkunde


B.K.I.
van Nederlandsch Indië, uitgegeven door het
Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Vol­
kenkunde.

235
M .B.R.A.S. M alayan Branch of the Royal'A siatic S
(Journal).

K.O. Kawi-Oorkonden in facsimile met inleidir


transcriptie van Dr. A.B. Cohen Stuart.

O .J.O . Oud-Javaansche Oorkonden, nagelaten tran-‘fl


scripties van wijlen Dr. J.L.A. Brandes, ifltge?
geven door Dr. N.J. Krom. :- m

236
Perpustakaan U'

You might also like