You are on page 1of 18

Analisis Implementasi ASEAN Human Rights Declaration

Terkait Pelanggaran HAM Terhadap Aktivis dan Pembela HAM


di Propinsi Papua dan Papua Barat Tahun 2015

Karina Putri Indrasari1

Abstract

Cases of abuses and violence in Asia, particularly in the member countries of


ASEAN are still happening despite of the fact that the member countries of ASEAN has
approved the ASEAN Human Rights Declaration (AHRD) and adopted it in legislation.
However, in practice, the implementation of the ASEAN Human Rights Declaration is
still slow in progress and receiving less special attention by both national governments
member country concerned, or by the member countries of ASEAN.
Unreasonable arrest and torture cases against human rights activists and
defenders in Papua and West Papua, for example, are double human rights violation
cases. First of all, it violates the right to speak and express the activists’ opinions. It
violates their civil and political rights. Secondly, activists and human rights defenders
were unreasonably arrested, and they were tortured and threatened by officers
Indonesian National Police (INP) and the Indonesian National Armed Forces (INAF)
during the arrest.
This study examines the challenges in implementing AHRD both at national and
sub-national levels by the ASEAN member countries due to ASEAN Way. Also, this
research paper analyzes the challenges to implement the AHRD in Papua and West
Papua Indonesia through the process associated with human rights violations suffered by
human rights defenders and activists in Papua and West Papua Provinces. Then, the study
presents an analysis of the violence that occurs to the human rights activists and
defenders, and the de-securitization processes that hinder the implementation processes
of AHRD in national and sub-national level. Then it focuses on matters what has been
done by the government of Papua and West Papua in implementing this AHRD.

Keywords: Human Rights; Freedom of Speech; Papua Province; West Papua


Province; activists; tortured activists; ASEAN Human Rights Declaration; ASEAN Way.

Pendahuluan

Isu HAM telah menjadi isu yang sangat diperjuangkan oleh negara-negara
Barat, apalagi seusainya Perang Dingin, dimana Amerika Serikat bangkit menjadi
Negara superpower. Amerika Serikat gencar menyebarkan ideologi-ideologi

1
Penulis adalah Staf Pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya

62
Karina Indrasari , Analisis Implementasi ASEAN Human Rights Declaration….|

liberalismenya dan konsep HAM sebagai dasar tercapainya liberalisme. Hal ini
pun mempengaruhi negara-negara Asia, terutama setelah Krisis Financial di Asia
pada tahun 1997-1998. Krisis tersebut membawa banyak perubahan terhadap Asia
terutama setelah Structural Adjustment Programs (SAPs) yang diwajibkan
International Monetary Funds (IMF) untuk meliberalisasi ekonomi dan
pemerintahan. Lalu, negara-negara di Asia Tenggara yang tergabung dalam
ASEAN mulai membuat ASEAN Charter dan membentuk ASEAN
Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) untuk membantu
dalam memantau penegakan HAM di negara-negara anggota ASEAN. Seluruh
anggota negara menandatangani Charter tersebut dan kemudian dilanjutkan oleh
pembentukan Deklarasi HAM ASEAN.

Pendeklarasian HAM di ASEAN (ASEAN Human Rights Declaration)


yang dilakukan oleh pada November 2012 menjadi pondasi awal negara-negara
anggota ASEAN dalam menguatkan kedaulatan negara masing-masing anggota
dalam mengatasi masalah-masalah domestiknya, terutama masalah Hak Asasi
Manusia (HAM) (Narine, 2012, p. 366). Dengan adanya AHRD ini diharapkan
negara mampu membela HAM masyarakatnya dan meredam amarah dari
mayarakat sipil dan LSM yang sangat menentang kekerasan dan pelanggaran
HAM. Meskipun AHRD telah dideklarasikan dan diadopsi di undang-undang
negara-negara ASEAN, kekerasan dan pelangggaran HAM terus terjadi.

Di Indonesia, misalnya, sebagai salah satu negara anggota ASEAN,


mempunyai catatan pelanggaran HAM yang cukup banyak. Beberapa kasus
pelanggaran HAM yang masih belum tuntas hingga hari ini adalah kasus
pembunuhan massal di tahun 1965, kasus Petrus 1982-1985, peristiwa Talangsari
Lampung tahun 1989, penembakan mahasiswa Trisakti tahun 1998, tragedi
Semanggi 1 dan 2, kerusuhan Mei 1998, dan kasus Waisor dan Wamena Papua
(Galih, 2015). Setiap kasus pelanggaran HAM ini memakan banyak korban jiba
hingga ada yang mencapai ribuan orang (Galih, 2015). Secara garis besar,
pelanggaran HAM yang terjadi di kasus-kasus tersebut merupakan kasus
pelanggaran HAM berat yang mencakup tentang pemerkosaan, penganiayaan,
pembunuhan, penyiksaan dan lainnya (Galih, 2015). Menilik kasus-kasus
64 | JURNAL ILMIAH TRANSFORMASI GLOBAL VOL 2 NO 2

tersebut, tampaknya sulit bagi Negara untuk mengimplementasikan deklarasi hak


asasi manusia yang telat dibuat.

Dari kedelapan kasus-kasus pelanggaran HAM berat tersebut, wilayah


Papua termasuk wilayah yang rentan terhadap terjadinya pelanggaran HAM. Hal
ini terjadi dikarenakan secara historis, Papua baru bergabung dengan Indonesia
tahun 1969 dengan bantuan dukungan dari PBB (Cultural Survival, 1991). Banyak
dari masyarakat Papua sendiri yang tidak setuju dengan bergabungnya Papua
dengan Indonesia, sehingga banyak terjadinya konflik di daerah ini. Konflik yang
terjadi antara masyarakat asli Papua yang ingin merdeka dari Indonesia dengan
masyarakat Indonesia pendatang menyebabkan banyaknya terjadi pelanggaran
terhadap HAM di wilayah ini. Selain itu, mengingat wilayah Papua memiliki
sumber daya alam yang sangat melimpah, perebutan sumber daya alam antara
orang asli Papua dan para pendatang termasuk korporasi multi nasional
menyebabkan banyak terjadinya pertumpahan darah dan penyiksaan di tanah
Papua.

Dari tahun ke tahun, hingga hari ini, Papua dan Papua Barat tetap menjadi
wilayah yang rentan dengan kasus pelanggaran HAM. Di tahun 2013 misalnya
POLRI telah memenjarakan tujuh orang Papua Barat karena diduga akan
mengibarkan bendera Bintang Kejora (Amnesty International, 2014). Kenam
orang yang diduga sebagai warga Papua yang Pro-Papua Merdeka ditangkap pada
saaat doa bersama pada acara Pesta Mama (Amnesty International, 2014).
Keenam orang tersebut adalah Obaja Kamesrar, Yordan Magablo, Klemens
Kodimko, Antonius Saruf, Obeth Kamesrar, Hengky Mangamis, dan Isak
Kalaibin, yang ditangkap seminggu setelah acara Pesta Mama (Amnesty
Internasional, 2014).

Tidak hanya kasus-kasus tersebut saja pada tahun 2013, baru-baru ini di
pada Januari 2015, sekitar lima orang Papua ditangkap oleh POLRI dan TNI
karena diduga tergabung dalan masyarakat pro-Papua Merdeka (Papuans Behind
Bar, 2015). Selain mereka banyak sekali aktivis-aktivis pembela HAM yang
dipenjara karena mereka membela warga Papua yang tersiksa dan dipenjara
karena menyuarakan suaranya (Amnesty Internasional, 2014). Ada sekitar lebih
Karina Indrasari , Analisis Implementasi ASEAN Human Rights Declaration….|

dari 35 orang aktivis pembela HAM yang dianiaya dan dipenjara di Provinsi
Papua Barat semenjak tahun 1970 (Papuans Behind Bar, 2015).

Pelanggaran-pelanggaran HAM ini menunjukkan betapa masih minimnya


usaha pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam
menerapkan dan mengimlementasikan kerjasama dalam menunjung tinggi HAM
melalui AHRD dan AICHR. ASEAN yang merupakan bentuk kerjasama regional
yang dibentuk pada 1967 oleh negara-negara Asia Tenggara yang merasa
meemiliki kedekatan historis maupun kultural. Kerjasama regional ini dapat juga
disebut sebagai regionalisme. Seperti yang disebutkan oleh Hopkins dan
Mansbach (1973), “Pengelompokan regional diidentifikasikan dari basis
kedekatan geografis, budaya, perdagangan dan saling ketergantungan ekonomi
yang saling menguntungkan, komunikasi serta keikutsertaan dalam organisasi
internasional”. ASEAN yang merupakan forum solidaritas dan kerjasama negara-
negara Asia Tenggara yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masing-
masing anggotanya menjadi terlihat lemah. ASEAN diharapkan dapat menjadi
platform bagi negara-negara ASEAN yang memiiliki sejarah dan kultur yang
sama untuk saling membantu dalam mewujudkan HAM menjadi kehilangan
kekuatan dan signifikansinya di kawasan Asia Tenggara.

Namun demikian, kerjasama regional yang sudah lama dibentuk dan


difokuskan pada perlindungan HAM melalui AHRD dalam
pengimplementasikannya ke domestik negara anggota belum sempura karena
masih banyaknya kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi. AHRD
sendiri sudah terkandung dalam Undang-Undang Negara Indonesia, bahkan
Pancasila Negara Indonesia pada sila kedua, walaupun pada prakteknya
pelanggaran masih marak terjadi. Hal inilah yang menjadi perhatian penting
perwujudan dari AHRD sebagai salah satu produk kerjasama antar negara
ASEAN ini dapat menjadi sarana penegakan HAM secara nyata. Lalu sebenarnya,
Bagaimanakah implementasi ASEAN Human Rights Declaration di Provinsi
Papua dan Papua Barat tahun 2015 terkait pelanggaran HAM terhadap aktivis dan
pembela HAM ?.
66 | JURNAL ILMIAH TRANSFORMASI GLOBAL VOL 2 NO 2

HAM dan ASEAN

Hak Asasi Manusia pada hakekatnya adalah hak dasar yang kita memiliki
sebagai manusia. Hak-hak dasar tersebut merupakan hak yang wajib dilindungi
selama individu masih menjadi manusia. Seperti yang Donnelly (2003) katakan
tentang HAM,

“Human rights are equal rights: one either is or is not a human being, and
therefore has the same human rights as everyone else (or none at all). They are
also inalienable rights: one cannot stop being human, no matter how badly one
behaves nor how barbarously one is treated. And they are universal rights, in the
sense that today we consider all members of the species Homo sapiens “human
beings,” and thus holders of human rights (p.10).”

Jadi, HAM adalah hak yang sama sebagai manusia, dan HAM adalah hak
yang individu miliki sebagai manusia tanpa kemudian terpengaruh kepada
bagaimana individu tersebut bersikap. Secara alami selama seorang individu
masih menjadi manusia dan menjadi keturunan dari species Homo sapiens, hak
itu akan tetap melekat sampai kapanpun.

Karena universalitas dari HAM ini, dan bagaimana HAM ini dapat
diaplikasikan kepada seluruh warga di dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa pun
telah memberikan wadah agar HAM dapat diterapkan dan diimplementasikan di
seluruh dunia. Pada United Nation Declaration of Human Rights menyatakan
bahwa tiap-tiap hak individu dilindungi dan hak tiap individu sebagai manusia
adalah untuk memperoleh kebebasan sebagai manusia bebas dan sederajat (United
Nations, diakses 08/05/2015).

Oleh karena perkembangan dunia internasional yang dipengaruhi oleh


supremasi Amerika Serikat sebagai superpower setelah Perang Dingin, dunia
internasional memberikan atensi lebih terhadap isu HAM. Konsep HAM yang
universal sendiri mulai dianut oleh actor regional seperti ASEAN. ASEAN sendiri
mengadopsi HAM dengan membentuk Komisi HAM di ASEAN yang disebut
dengan ASEAN Intergovernmental Commissions on Human rights (AICHR)
(Narine, 2012, p. 366). Dengan adanya AICHR, dibentuklah kesepakatan
kerjasama regional untuk menangani isu HAM melalui dideklarasikannya
ASEAN Human Rights Declarations ( Narine, 2012, p. 366).
Karina Indrasari , Analisis Implementasi ASEAN Human Rights Declaration….|

Pendeklarasian AHRD ini menjadi tahapan awal dari negara Asia


Tenggara dalam merespon tekanan terhadap negara- negara Barat dan cara untuk
menguatkan legitimasi dan posisi negara-negara Asia Tenggara di mata dunia
internasional (Narine, 2012, p. 376). Namun demikian, hal inilah yang
menyebabkan penerapan dari AICHR sendiri menjadi sulit bagi negara- negara
anggota ASEAN karena sifatnya yang tidak terlalu mengikat dan bertentangan
dengan ASEAN Way.

ASEAN Way sendiri menjadi penting untuk digunakan sebagai acuan


dalam menganalisis implementasi AHRD, karena ASEAN Way dapat
menghambat pengimplementasian dari AICHR di tingkat nasional maupun sub-
nasional. ASEAN Way adalah dua sisi metode dan norma yang terstruktur yang
memberikan gambaran dan pesan kepada partai ketiga dalam rezim ASEAN
(Jones, 2014, p. 73). ASEAN Way juga bisa diartikan sebagai persetujuan antara
negara-negara ASEAN yang tidak ingin urusan domestiknya dicampuri oleh
negara lain dan menggunakan cara perdamaian dalam menyelesaikan segala
masalah anatar negara-negara anggota ASEAN (Jones, 2014, p. 73). Berdasarkan
definisi, dapat dikatakan bahwa ASEAN Way tidak ingin adanya campur tangan
dari pihak manapun yang mencampuri urusan internal negara.

Hal ini dapat mempengaruhi penerapan dari AICHR di negara-negara


maupun sub-nasional anggota-anggota ASEAN. Karena apabila negara tidak
dapat mencampuri urusan negara lain, perjanjian terakhir dari AICHR yaitu
menjunjung tinggi HAM melalui kerjasama sulit untuk diterapkan.
68 | JURNAL ILMIAH TRANSFORMASI GLOBAL VOL 2 NO 2

ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) dan


ASEAN Human Rights Declaration (AHRD) sebagai Proses Sekuritisasi
HAM

AICHR sebagai badan intergovernmental ASEAN berperan paling penting


dalam mempromosikan dan memastikan terlindunginya HAM masyarakat negara-
negara anggota ASEAN (Clarke, 2012, hal. 44). AICHR adalah pilar penting bagi
ASEAN dalam memajukan sistem HAM (Clarke, 2012, hal. 44). Selain berperan
sebagai promotor dan penegak HAM di ASEAN, AICHR juga bertugas sebagai
“konsultan” antar badan nasional. Regional maupun internasional dalam
penanganan HAM (Clarke, 2012, hal. 46). AICHR juga berperan penting dalam
penyusunan draft Deklarasi HAM di ASEAN atau AHRD.

AHRD dibentuk oleh negara anggota ASEAN dengan dasar pemikiran


bahwa dengan adanya standarisasi sistem stabilitas HAM tertulis atau norma,
yang mana diharapkan mampu untuk mempromosikan serta memastikan
komitmen negara-negara anggota ASEAN dalam penegakan HAM di negaranya.
Pembuatan AHRD ini tetap mengindahkan aspek saling menghormati dalam hal
latar belakang politik, sejarah, budaya dan agama masing-masing negara anggota
(Clarke, 2012, hal. 51). Dengan adanya AHRD ini juga diharapkan akan
membantu proses pembentukan masyarakat ASEAN baik ekonomi, politik,
maupun keamanan.

Dengan adanya pendeklarasian HAM secara regional di Asia Tenggara,


hal ini menunjukkan bahwa negara-negara anggota ASEAN sedang men-
sekuritisasi perihal HAM. Sekuritisasi sendiri dapat diartikan sebagai proses yang
dilakukan oleh aktor untuk membuat isu yang bukan termasuk isu keamanan
menjadi isu keamanan yang penting untuk dicari solusinya. Proses sekuritisasi
menurut Barry Buzan (1998) dalam William (2008) dikonstruksikan secara sosial
dan politikal melalui speech act (hal. 125). Bourdieu dan Thompson (1991) dalam
William (2008) menyebutkan,

A successful speech act is then a combination of language (the grammar of


security) and society (the social and symbolic capital of the enunciator, the magic
of ministry he belongs to), an intrinsic features of the speech, and the
Karina Indrasari , Analisis Implementasi ASEAN Human Rights Declaration….|

representativity of the spokeperson regarding the group that authorizes and


recognize it (p. 125).

Kesuksesan speech act bergantung pada bahasa yang digunakan dalam


menggambarkan keamanan yang diperlukan, aktor yang melakukan pidato atau
speech act, serta audience atau target sasaran dalam menerima proses sekuritisasi
ini.

AHRD sendiri dapat dikatakan sebagai bentuk speech act yang digunakan
negara-negara anggota. Pasal-pasal dari AHRD sendiri menggunakan bahasa yang
sangat mendukung untuk sekuritisasi ini dijalankan. Terbukti dengan isu HAM
yang tadinya tidak dianggap sebagai isu keamanan yang perlu diberikan perhatian
lebih, menjadi isu keamanan yang harus diperhatikan. Terlebih ketika kepala
negara meratifikasi AHRD ini. Hal ini menjadi karakteristik speech act yang khas
yang diciptakan oleh aktor-aktor negara anggota ASEAN. Target sasarannya pun
adalah masyarakat-masyarakat negara ASEAN yang rentan terhadap kasus
pelanggaran HAM. Hal ini menjadikan perlunya HAM menjadi isu keamanan
yang penting. Adanya AICHR juga menjadi alat utama proses sekuritisasi ini
berjalan.

Walaupun AHRD menjadi bentuk sekuritisasi yang dilakukan oleh negaa


anggota ASEAN, beberapa poin yang ada dalam AHRD yang masih menjunjung
prinsip non-intervensi menjadikan kendala proses sekuritisasi tersebut. Prinsip-
prinsip non intervensi negara anggota ASEAN atau yang biasa disebut dengan
ASEAN Way ini dapat menjadi akar sulitnya implementasi AHRD di tingkat
nasional dan sub nasional.

Singkatnya, AHRD pun menjadi lambang komitmen negara-negara


anggota ASEAN kepada nilai-nilai demokrasi. Namun, karena beberapa poin
AHRD yang menjunjung Prinsip non-intervensi ASEAN atau ‘ASEAN Way’,
menimbulkan kritik dari berbagai pihak (Pembukaan atau Preamble dari AHRD).
AHRD justru malah menjadi sarana untuk merasionalisasikan tindakan-tindakan
pelanggaran HAM yang terjadi di negara-negara anggota (Weatherbee, 2013, hal.
35). Sehingga, proses sekuritisasi terhadap HAM yang sudah dirancang melalui
AHRD ini sendiri mengalami proses de-sekuritisasi karena adanya ASEAN Way.
70 | JURNAL ILMIAH TRANSFORMASI GLOBAL VOL 2 NO 2

ASEAN Way sebagai Proses De-Sekuritisasi

Nilai-nilai yang digunakan oleh negara-negara di ASEAN dalam


menjalankan kerjasama regionalnya berdasarkan pada ASEAN Way. ASEAN
Way pun tertuang di ASEAN Treaty of Amity and Cooperation (TAC). Di dalam
TAC Artikel 2 menekankan bahwa negara-negara anggota ASEAN harus
menjunjung tinggi kedaulatan, kemerdekaan, dan batas wilayah seluruh negara
anggota, tidak mencampuri urusan atau masalah internal satu negara dengan
lainnya (non-intervention), serta menyelesaikan sengketa melalui jalur
musyawarah dan dengan jalur damai (tanpa kekerasan atau perang), dan
menjunjung tinggi kerjasama diantara anggota (Goh, 2003, hal. 114; ASEAN
website, 2014). Dari Artikel 2 TAC ini nilai dan norma pembuatan ASEAN
berdasarkan kepada 2 (dua) norma besar yaitu regulatif dan prosedural (Jones,
2014, hal. 73). Norma-norma regulatif adalah pada poin kedaulatan, kemerdekaan
serta batas wilayah negara yang harus dihormati, prinsip non-intervensi antara
negara anggota dan jalur damai dalam penyelesaian sengketa (Jones, 2014, hal.
73). Sedangkan norma-norma prosedural terletak pada poin musyawarah (Jones,
2014, hal. 73). ASEAN Way ini sebagai prinsip-prinsip penuntun langkah anggota
ASEAN dalam mencapai suatu kesepakatan. Hal ini menekankan pada
informalitas dari proses pengambilan keputusan di dalam tubuh ASEAN sendiri
(Masilamani and Peterson, 2014, hal. 11)

Nilai dan norma yang regulatif dan prosedural yang sangat dijunjung
tinggi oleh negara anggota ASEAN ini menjadi penghalang proses implementasi
AHRD sebagai bentuk speech act dari sekuritisasi masalah HAM di regional. Poin
non-intervensi yang ditekankan dalam TAC ini menjadi ujung tombak proses de-
sekuritisasi yang telah dijalankan. Proses de-sekuritisasi terjadi karena secara
regional, ASEAN telah menyepakati masalah HAM menjadi masalah keamanan,
sedangkan di tingkat nasional dan sub-nasional, negara dapat mendefinisikan
maalah HAM sebagai masalah non keamanan. Apabila negara tidak
mengindahkan masalah HAM sebagai masalah keamanan yang penting untuk
segera ditangani, negara lain pun tidak boleh mengintervensi masalah ini.
Sehingga, kerjasama secara regional dalam hal penegakan HAM masih jauh dari
Karina Indrasari , Analisis Implementasi ASEAN Human Rights Declaration….|

harapan. ASEAN Way secara tidak langsung tidak memperhitungkan kepentingan


negara (Weatherbee, 2013, hal. 65). Kepentingan negara anggota ASEAN dalam
hal HAM bisa berbeda-beda tergantung kepada bentuk pemerintahannya juga. Di
Indonesia, meskipun sudah demokrasi dalam kepemimpinannya, tidak menjamin
bahwa pelanggaran HAM tidak akan terjadi. Pada kasus Papua dan Papua Barat,
beberapa aktivis dari Organisasi Papua Merdeka tidak dapat menyuarakan
pendapatnya ke publik karena hal ini tidak sejalan dengan kepentingan negara.
Banyak dari para aktivis dari OPM yang ditangkap dan dipenjarakan bahkan
dianiaya karena dianggap tidak memiliki kepentingan yang selaras dengan
kepentingan negara Indonesia. Walaupun tindak pelanggaran HAM terjadi di
Indnesia, negara anggota ASEAN lain tidak dapat memaksakan atau bahkan
mencampuri keputusan pemerintah Indonesia dalam menghadapi hal ini. Oleh
karena itu, ASEAN Way ini menjadi sarana de-sekuritisasi bagi negara-negara
anggota untuk mencapai kepentingan nasionalnya.

Hal ini terbukti dari temuan peneliti tentang kasus penganiayaan terhadap
aktivis HAM yang ada di provinsi Papua dan Papua Barat. Masih banyak
terjadinya kasus-kasus pelnggaran HAM baik pelanggaran HAM berat maupun
ringan yang terjadi di Provinsi Papua dan Papua Barat dapat memperliatkan peran
regional speech act atau AHRD tidak menjadikannya momok bagi negara-negara
anggota yang telah menandatanganinya.

Implementasi AHRD di Provinsi Papua dan Papua Barat, Indonesia

Provinsi Papua dan Papua Barat sangat rentan terhadap kasus-kasus


penganiayaan dan pelanggaran berat HAM. Hal ini terjadi karena secara historis,
Papua dan Papua Barat merupakan provinsi yang awalnya adalah wilayah jajahan
Belanda yang dipersiapkan untuk merdeka secara utuh. Namun, setelah Indonesia
merdeka pada tahun 1945, Indonesia mengklaim bahwa wilayah jajahan Hindi-
Belanda adalah termasuk dalam wilayah Indonesia (M., Danni, 2015). Namun
setelah diadakannya Komando Mandala dan Tri Komando Rakyat untuk melawan
Belanda dan mengusir Belanda dari wilayah Papua Barat yang dipimpin Presiden
Soekarno, wilayah pulau Papua bagian Barat menjadi bagian dari wilayah
Indonesia (M., Danni, 2015). Hal ini ditandai dengan penyerahan wilayah Papua
72 | JURNAL ILMIAH TRANSFORMASI GLOBAL VOL 2 NO 2

Barat oleh United Nations Temporaray Executive Authority (UNTEA) kepada


Indonesia pada tahun 1962 (M., Danni, 2015).

Oleh karena kondisi historis ini, munculah pergerakan-pergerakan aktivis


pembela Papua Merdeka yang meresa bahwa Papua Barat seharusnya tidak
bergabung dengan Indonesia tetapi berdiri sendiri sebagai negara merdeka.
Aktivis ini sering menyuarakan tentang kemerdekaan Papua sebagai tujuan
organisasi mereka. Oleh sebab itu, pemerintah Indoseia dalam mempertahankan
kedaulatan Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI) berusaha untuk meredam
gerakan yang dianggap sebagai gerakan separatis ini. Peredaman gerakan
separatis ini biasanya dilakukan oleh TNI dengan tujuan mempertahankan
kedaulatan. Aktivis ini ditangkap bahkan disiksa ataupun dianiaya dengan harapan
bahwa mereka tidak lagi akan menyuarakan keinginan mereka untuk Papua
menjadi negara yang merdeka dan berpisah dari Indonesia. Penangkapan dan
penganiayaan ini dapat juga dikatakan sebagai bentuk pelanggaran HAM terhadap
kebebasan berpendapat dan berbicara serta hak untuk hidup tanpa siksaan atau
penganiayaan.

Beberapa penyiksaan, penangkapan, dan kriminalisasi terhadap aktivis-


aktivis HAM di Papua dan papua Barat, bahkan kepada warga Papua yang sedang
tidak berada di Papua mengalami tindak kekerasan dan penangkapan secara
sewenang-wenang (Lihat Tabel 1.1).

Tabel 1.1

Event Local
Initial
Record Event Title Geograph Local Index
Date
Number ical Area

yfAeNO/e Kriminalisasi 5 Papua 4/14/15 PENANGKAPAN


vent/2220 aktivis Barat SEWENANG
kemerdekaan WENANG,
Papua oleh oleh PENAHANAN
SEWENANG
Karina Indrasari , Analisis Implementasi ASEAN Human Rights Declaration….|

Polisi di bandara WENANG,


Sentani KRIMINALISASI

yfAeNO/e Penangkapan Jawa Barat 4/23/15 PENANGKAPAN


vent/2229 sewenang- SEWENANG
wenang oleh WENANG
Polisi terhadap 3
aktivis Papua di
Bandung

yfAeNO/e Penangkapan Papua 4/28/15 PENANGKAPAN


vent/2239 sewenang- SEWENANG
wenang terhadap WENANG
3 Pemuda di
Nabire oleh Polisi

yfAeNO/e Penangkapan Papua 4/30/15 PENANGKAPAN


vent/2242 Puluhan Aktifis Barat SEWENANG
dan Tahanan WENANG,
Politik Papua LAINNYA
Merdeka Pada
perayaan 1 Mei di
Manokwari

yfAeNO/e Penangkapan 16 Papua 4/1/15 PENAHANAN


vent/2243 Aktivis SEWENANG
Kemerdekaan WENANG
Papua

yfAeNO/e Penahanan dua Papua 5/1/15 PENAHANAN


vent/2244 orang Aktivis Barat SEWENANG
Papua Merdeka WENANG
pada saat
perayaan hari
74 | JURNAL ILMIAH TRANSFORMASI GLOBAL VOL 2 NO 2

Integrasi papua
oleh Polres
Manokwari

yfAeNO/e Penangkapan 14 Papua 6/22/15 PENANGKAPAN


vent/2267 Mahasiswa di SEWENANG
Jayapura oleh WENANG,
Polisi saat aksi KEBEBASAN
Penggalangan BEREKSPRESI
dana bagi tim
adhoc kasus
Paniai

yfAeNO/e Penembakan di Papua 6/25/15 PENEMBAKAN,


vent/2268 Ugapuga, PENYIKSAAN
Kabupaten
Dogiyai, Papua
terhadap dua
siswa SMP oleh
Polisi Brimob

yfAeNO/e Kekerasan Papua 3/1/15 KEKERASAN


vent/2276 seksual pada anak SEKSUAL
SMP oleh Polisi
di Timika, Papua

yfAeNO/e Penganiayaan Papua 6/29/15 PENGANIAYAAN


vent/2291 karyawan Barat
perusahaan
tambang oleh TNI
di Papua

yfAeNO/e Penganiayaan Papua 7/5/15 PENGANIAYAAN


vent/2294 terhadap warga
Karina Indrasari , Analisis Implementasi ASEAN Human Rights Declaration….|

oleh TNI di
lokalisasi Tanjung
Elmo, Papua

Sumber: Data diperoleh dari hasil Interview dengan anggota LSM KontraS Arif Fikri
(18/08/2015)

Dari data tabel di atas, dapat dikatakan bahwa hampir tiap bulannya dari
bulan Maret hingga Juli 2015 masih adanya kekerasan terhadap aktivis HAM baik
yang berada di Papua dan Papua Barat maupun yang berasal dari kedua Provinsi
tersebut. Data yang diperoleh peneliti yang palin komprehensif menyebutkan
tindak kekerasan terhadap aktivis pembela HAM adalah hanya dari Komisi untuk
Orang Hilang dan Korban tindak kekerasan (KontraS). Kontras pun menyatakan
kesulitan untuk mendapatkan data rinci mengenai tindak kekerasan ini karena
jarang adanya pelaporan dari pihak korban, kerena biasanya korban diancam oleh
pihak berwenang apabila melaporkan tindakan kekerasan yang dialaminya
(Interview dengan Bapak Arif, KontraS, 18/08/2015). Bentuk tindakan kekerasan
yang diterima oleh para aktivis HAM di Papua dan Papua Barat meliputi
penyiksaan, diskriminasi rasial dan intimidasi (Interview dengan Bapak Arif,
KontraS, 18/08/2015).

Selain itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) sendiri
tidak merasa banyak tindakan kekerasan terhadap aktivis-aktivis HAM di Papua
yang terjadi kecuali pada kasus Paniai (Interview dengan Ketua Komnas HAM,
Bapak Nur Kholis, 03/09/2015). Komnas HAM sebagai lembaga pemerintah yang
mengurusi soal HAM memperoleh data dari laporan masyarakat dan bekerja sama
dengan LSM untuk mendapatkan data tentang tindak penyiksaan dan pelanggaran
HAM di Indonesia (Interview dengan Ketua Komnas HAM, Bapak Nur Kholis,
03/09/2015). Laporan dari Bapak Fritz Komnas HAM Papua (Phone interview
(09/09/2015) juga hanya ada pelaporan dari Theo Hesegem Aktivis HAM di
Wamena dan Yan Warinusi dari Manokwari.

Tindakan yang dilaporkan maupun yang dikumpulkan melalui berita


adalah sumber utama bagi LSM dan bagi Komnas HAM sebagai lembaga negara.
Keduanya juga menggerakakan pemerintah daerah untuk memberikan
76 | JURNAL ILMIAH TRANSFORMASI GLOBAL VOL 2 NO 2

rekomendasi kebijakan serta mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan


permasalahan terkait. Namun demikian, pemerintah masih belum dapat
menjauhkan kepentingan nasionalnya dalam penegakan HAM. Terlihat pada
kasus penangkapan mahasiswa di Jayapura ketika sedang menggalang dana untuk
Tim Adhoc kasus Paniai oleh Polisi setempat. Pemerintah setempat belum
mengindahkan adanya perjanjian regional dan hukum nasional yang melindungi
HAM. Undang Undang No. 39 Tahun 1999 merupakan Undang-Undang yang
melindungi Hak Asasi Manusia secara utuh bahkan jauh sebelum AHRD dibuat
(Komnas HAM Website, 2013). Namun demikian, meskipun undang-undang ini
sudah ada sejak lama, kasus pelanggaran HAM masih terus terjadi, dan tidak ada
satupun negara di ASEAN yang berhak ikut campur dalam hal ini.

Baru-baru ini, di Provinsi Papua dan Papua Barat, terjadi kasus


pembunuhan sadis dan pemerintah setempat masih belum dapat menyelesaikan
kasus tersebut. Contohnya adalah ketika terjadi pembunuhan sadis terhadap ibu
hamil dan dua anaknya di Teluk Bintuni (Berita Satu, 2015). Pemerintah provinsi
setempat masih sangat lambat dalam menanggapi hal ini. Evaluasi khusus,
terutama evaluasi keamanan, perlu dilakukan terhadap pemerintah setempat agar
kasus-kasus pelanggaran HAM dapat diselesaikan, baik pelanggaran HAM masa
lalu maupun yang terjadi saat ini.

Hal tersebut menunjukkan belum adanya penanganan pemerintah secara


lebih mendalam mengenai permasalahan HAM. Dibuatnya AHRD di tingkat
regional tidak membuat pemerintah nasional maupun sub nasional negara anggota
merasa harus mematuhi deklarasi HAM yang telah dibuat karena prinsip ASEAN
Way yang dimuat di dalam deklarasi tersebut tidak terlalu mengikat dan tidak
membuat negara anggota menyamakan kepentingannya dalam penegakan HAM.
Sehingga, implemetasi AHRD di tingkat nasional pun belum tercapai atau belum
berhasil. Hal ini juga menjadi gambaran singkat proses de-sekuritisasi yang terjadi
baik di tingkat nasional dan sub-nasional.

Penutup
Karina Indrasari , Analisis Implementasi ASEAN Human Rights Declaration….|

Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan, peneliti menyimpulkan bahwa


proses sekuritisasi yang dilakukan oleh ASEAN untuk menjadikan isu HAM
menjadi isu yang penting untuk ditangani melalui pembuatan AHRD sebagai
sarana speech act tidak mampu membuat negara-negara anggota ASEAN yang
sudah meratifikasi AHRD benar-benar menjadikannya masalah kemananan yang
serius. Implementasi AHRD di Indonesia terutama di Provinsi Papua dan Papua
Barat masih belum dapat terimplementasikan dengan baik dikarenakan
berbenturan dengan ASEAN Way. Hal tersebut membuat Negara anggota
ASEAN, seperti Indonesia , mengabaikan proses sekuritisasi dan speech act yang
sudah dibuat melalui AHRD.

Kepentingan nasional negara Indonesia untuk mempertahankan


kedaulatan NKRI mengakibatkan tidak terimplementasinya komitmen kerjasama
regional yang tela dicapai Indoneisa melalui AHRD. Komitmen kerjasama yang
dibuat oleh Negara-negara anggota ASEAN dalam AHRD sebagai bentuk
sekuritisasi tidak berjalan sempurna. Adanya ASEAN Way terutama prinsip non
intervensi membuat proses de-sekuriti terjadi di tingkat nasional dan sub nasional.
Negara akan tetap mementingkan kepentingannya yang mungkin bertabrakan
dengan HAM demi tercapainya kepentingan tersebut. Negara lain tidak berhak
ikut campur atas pilihan kebijakan domestik negara tersebut walaupun negara
tersebut melanggar HAM.

Kasus penganiayaan aktivis di Papua dan Papua Barat menunjukkan


bahwa Indonesia masih mementingkan kepentingannya tanpa mengindahkan
proses sekuritisasi HAM tersebut di ranah regional. Pemerintah setempat pun
belum mampu mengatasi pelanggaran HAM di provinsi Papua dan Papua Barat,
karena pemerintah setempat masih sangat berpegang pada kepentingan nasional
NKRI untuk terciptanya kedaulatan NKRI. Hal ini sangat disayangkan sebab hal
ini menyebabkan kegagalan implementasi AHRD sendiri di tingkat nasional
maupun sub-nasional, khususnya di Provinsi Papua dan Papua Barat, Indonesia.
78 | JURNAL ILMIAH TRANSFORMASI GLOBAL VOL 2 NO 2

REFERENSI

Amnesty International.2014. Indonesia: Papuan Activist Imprisoned in Sorong District.

Berita Satu.2015. Polres Bintuni dan Polda Papua Barat Tidak Serius Ungkap
Pembunuhan Sadis. [online] Available at:
http://www.beritasatu.com/nasional/307451-polres-bintuni-dan-polda-papua-
barat-tidak-serius-ungkap-pembunuhan-sadis.html

Clarke, Gerard.2012. The Evolving ASEAN Human Rights System: The ASEAN
Human Rights declaration of 2012. Journal of International Human Rights
Law. Vol 11(1). Pp. 1-83.

Cultural Survival.1991. West Papua: Forgotten War, Unwanted People. [online]


Available at: http://www.culturalsurvival.org/ourpublications/csq/article/west-
papua-forgotten-war-unwanted-people

Donelly, J.2003. Universal Human Rights in Theory and Practice. USA: Cornell
University Press.

Fikri, Arif.2015. Interviewed by Karina Indrasari [in person]. KontraS Office. 18


Agustus 2015

Galih, B.2015. Ini 8 Kasus Pelanggaran HAM yang Masih Macet Hingga Sekarang.

Kompas Online. [online] Available at:


http://nasional.kompas.com/read/2015/09/29/05220051/Ini.8.Kasus.Pelanggara
n.HAM.yang.Masih.Macet.hingga.Sekarang

Goh, Gillian.2003. The ASEAN Way: Non Intervention and ASEAN’s Role in

Conflict Management. Standford Journal of East Asian Affairs. Vol. 3 (1). Pp.
113-118.

Jones, W. J.2014. Universalizing Human Rights The ASEAN Way. International Journal
of Social Sciences.Vol. III(3). Pp. 72-89.

Kholis, Nur.2015. Interviewed by Karina Indrasari [in person]. Komnas HAM Indonesia
Jakarta. 3 September 2015. KOMNAS HAM Website. (2013). Accessed:
21/10/2015. <Available at: http://www.komnasham.go.id/instrumen-ham-
nasional/uu-no-39-tahun-1999-tentang-ham>

M. Danni.2015 dalam Website TEMPO. Sejarah Dunia HAri Ini: Irian MAsuk
Indonesia. Accessed: 21/10/2015.<Available at:
http://dunia.tempo.co/read/news/2015/05/01/121662546/sejarah-dunia-hari-
ini-irian-masuk-indonesia>

Masilamani, Logan and Peterson, Jimmy.2014. The “ASEAN Way”: The Structural
Underpinnings of Constructivie Engagement. Foreign Policy Journal. Pp. 1-21.
Karina Indrasari , Analisis Implementasi ASEAN Human Rights Declaration….|

Narine, Shaun.2012. Human Rights Norms and the Evolution of ASEAN : Moving
without Moving in a Changing Regional Environment. Contemporary Southeast
Asia. Vol 34(3). Pp. 365-388).

Papuan Behind Bars.2015. Current Prisoners. Accessed: 8/5/2015. <Available at:


http://www.papuansbehindbars.org/?page_id=17>

United Nations.2015. The Universal Declaration of Human Rights. Available:


http://www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml. Last accessed 08 May 2015.

Weatherbee, Donald.2013. Indonesia in ASEAN: Vision and Reality. Singapore: ISEAS


Publishing.

You might also like