Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT
Timber harvesting is an important process in timber utilization because it determines the quality of log. Two
important things in timber harvesting are recovery rate and residual factors. This paper identifies distribution, forms
and condition of harvesting waste as well as determines utilization factors and timber residual factor due to timber
harvesting. Research was conducted in two areas of forest management in Wasior and Nabire Districts, West Papua
Province. Recovery rate of forest concession with Reduced Impact Logging (RIL) techniques tend to be higher than that
of conventional techniques. Recovery rate ranged from 86.2 – 87.8% with an average of 86.9% and residual factor
ranged from 12.3 – 13.8%, with the average of 13.1%. The average utilized wood amounted of 4.578 m3/tree from
the potential clear bole of 5.293 m3/tree. The wasted volumes ranged from 0.548 to 0.664 m3/tree with an average
of 0.564 m3/tree. In general, most of the logging waste was in the form of wood defects (65.1%), broken (23.3%)
and firm timber waste (11.6%) which represented the lowest percentage.
Keywords: Timber harvesting, forest concession, natural forest, recovery rate, residual factor
ABSTRAK
Pemanenan kayu mempunyai peranan penting dalam menentukan kualitas produksi kayu bulat.
Dua hal penting dalam proses pemanenan kayu adalah faktor pemanfaatan dan limbah. Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi sebaran, bentuk, dan kondisi limbah pemanenan serta menghitung
besarnya faktor pemanfatan kayu dan faktor residu akibat pemanenan kayu. Penelitian dilakukan di
dua areal pengusahaan hutan alam di Kabupaten Wasior dan Nabire, Provinsi Papua Barat. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa faktor pemanfaatan kayu pada IUPHHK-HA yang menerapkan
teknik Reduced Impact Logging (RIL) cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan IUPHHK-HA yang
pemanenan kayunya masih dilakukan secara konvensional. Faktor pemanfaatan kayu berkisar antara
86,2 – 87,8% dengan rata-rata 86,9%, dan faktor residu berkisar 12,3 – 13,8% atau rata-rata 13,1%.
Besarnya volume kayu yang dimanfaatkan rata-rata 4,578 m3/pohon dari potensi batang bebas cabang
sebesar 5,293 m3/pohon. Volume limbah berkisar antara 0,548 – 0,664 m3/pohon atau rata-rata 0,564
m3/pohon. Secara umum, sebagian besar limbah penebangan berupa kayu yang cacat (65,1%), pecah
(23,3%), dan paling rendah adalah limbah yang kondisinya masih baik (11,6%).
Kata kunci : Pemanenan kayu, pengusahaan, hutan alam, faktor pemanfaatan, faktor residu
doi : 10.20886/jphh.2018.36.2.67-84 67
Penelitian Hasil Hutan Vol. 36 No. 2, Juli 2018: 67-84
68
Studi Faktor Pemanfaatan dan Limbah Pemanenan Kayu di Hutan Alam Papua Barat
(Soenarno, Wesman Endom & Sona Suhartana)
dimana kegiatan penebangan dilakukan sebelum yang dimaksud terdiri dari kondisi umum
dipersiapkan jalan sarad. Pengumpulan data lokasi penelitian dan sistem pembalakan yang
primer dan sekunder dilakukan pada bulan digunakan.
Februari hingga akhir bulan November 2016.
Penebang memiliki kebebasan untuk menebang D. Batasan
pohon komersial yang ukuran dan kualitasnya
prima serta tidak ada peta pemanenan kayu Yang dimaksud limbah pemanenan adalah
(Klassen, 2011). kayu sisa yang tidak dimanfaatkan oleh pemegang
izin yang sah pada kegiatan penebangan yang
berasal dari pohon yang boleh ditebang. Tidak
B. Bahan dan Alat
termasuk dalam pengertian ini adalah kelompok
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini kayu mewah, kayu indah, dan kayu sonokeling
adalah cat, kuas, dan tali plastik. Peralatan yang (Dalbergia latifolia Roxb.), kayu ramin (Gonystylus
digunakan adalah pita ukur diameter pohon (phi- spp.), kayu kisereh (Cinnamomum parthenoxylon),
band), pengukur kemiringan lereng, meteran pita kayu jati (Tectona grandis L.f.), kayu perupuk
(phi-band), kompas, buku ukur (tally sheet), parang, (Lophopetalum spp.), kayu giam (Cotylelobium
chainsaw, traktor, dan perlengkapan lapangan. spp.), kayu blangeran (Shorea balangeran Burck.).
Budiaman dan Rahmat (2009) menyatakan
C. Metode Penelitian limbah penebangan (felling waste) adalah sisa
atau bagian dari pohon yang secara ekonomi
1. Metode penentuan petak contoh penelitian seharusnya masih dapat dimanfaatkan, tetapi
Penentuan petak contoh penelitian (PCP) tidak dapat digunakan karena ada beberapa alasan
dilakukan dengan metode systematic sampling yang menyebabkan bagian dari pohon tersebut
with purposive start dengan mengikuti kegiatan ditinggalkan di hutan. Matangaran dan Anggoro
pemanenan kayu yang sedang berlangsung pada (2012) menyatakan bahwa limbah pemanenan
RKT 2016. Dari lokasi PT. A dipilih sebanyak merupakan limbah mekanis yang terjadi akibat
empat petak tebang sedangkan di PT. B sebanyak kegiatan pemanenan kayu di samping limbah
tiga petak tebang RKT 2016. Pada masing- alami yang tidak memenuhi persyaratan yang
masing petak tebang terpilih dibuat tiga unit diinginkan.
PCP masing-masing berukuran berukuran 2 ha
(200 m x 100 m) dengan jarak antara PCP 100 m E. Analisis Data
atau disesuaikan dengan kondisi lapangan. Lokasi
Volume limbah dan batang yang dimanfaatkan
penempatan PCP dipilih yang dapat mewakili
dihitung menggunakan rumus empiris Brereton
kondisi topografi lapangan yaitu datar (0–8%),
sebagai berikut (Soenarno et al., 2016):
landai (>8–15%), agak curam (>15–25%), dan
curam (>25–40%). VL = ¼ π ½ (Dp + Du) 2
P ......................... (1)
100
2. Data yang dikumpulkan Keterangan (Remarks):
Data yang dikumpulkan meliputi data primer VL = Volume limbah (m3); Dp = Diameter pangkal (cm);
dan data sekunder. Du = Diameter ujung (cm); P = Panjang limbah (m); π =
Data primer adalah data yang diperoleh Konstanta (3,14)
dari pengamatan dan pengukuran langsung di Untuk menghitung volume kayu digunakan
lapangan, antara lain meliputi volume kayu yang rumus sebagai berikut:
dimanfaatkan, volume serta kondisi limbah
pemanenan kayu dan kemiringan lapangan. V = ½ (B + b) x P ..............................................(2)
Data sekunder merupakan data tambahan Keterangan (Remarks):
untuk mendukung penelitian yang diperoleh V = Volume pembalakan (m3); B = Diameter pangkal
melalui wawancara dan/atau pengutipan data batang; b = Diameter ujung batang; dan P = panjang kayu
dari IUPHHK-HA bersangkutan. Data sekunder batang bebas cabang
69
Penelitian Hasil Hutan Vol. 36 No. 2, Juli 2018: 67-84
Faktor pemanfaatan (recovery rate) dan faktor Lampiran 1 sedangkan rekapitulasinya disajikan
limbah dihitung dengan menggunakan persamaan pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa di
berikut (Matangaran & Anggoro, 2012): PT. A rata-rata diameter pohon contoh 61,04
cm dan volume kayu yang dimanfaatkan 4,029
Vm m3/pohon, relatif sama dengan PT. B yaitu rata-
fm = x 100 % .................................................(3)
Vt rata berdiameter 62,82 cm dengan volume kayu
yang dimanfaatkan rata-rata 4,57 m3/pohon.
Keterangan (Remarks):
Banyaknya kayu yang dimanfaatkan berpengaruh
fm = faktor pemanfaatan (%), Vm = volume kayu yang
pada besarnya nilai faktor pemanfaatan kayu.
dimanfaatkan (m3), Vt = volume total pohon (m3). Volume
total pohon diperoleh dengan menjumlahkan volume Makin banyak kayu yang dimanfaatkan makin
kayu yang dimanfaatkan dengan volume limbah dari besar nilai faktor pemanfaatan tetapi makin
masing-masing pohon banyak limbah kayu yang terjadi makin kecil nilai
faktor pemanfaatannya.
Vr Pada Tabel 1 juga dapat diketahui faktor
fr = x 100 % ..................................................(4)
Vt pemanfaatan kayu di PT. A sebesar 87,8% dan di
PT. B 86,2%. Hasil penelitian faktor pemanfaatan
Keterangan (Remarks):
di IUPHHK-HA yang telah memperoleh sertifikat
fr = faktor residu (%), Vr = volume limbah (m3) adalah pengelolaan hutan lestari melalui skema Forest
jumlah volume semua bentuk limbah yang dihasilkan dari
masing-masing pohon, Vt = volume total pohon (m3)
Stewardship Council (FSC) di Kalimantan Timur
mencapai rata-rata 90% (Soenarno, Dulsalam, &
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Endom, 2013). Untuk mengetahui ada tidaknya
perbedaan nilai faktor pemanfaatan kayu di
A. Faktor Pemanfaatan Kayu PT. A dan PT. B dilakukan dengan uji rata-rata
sebagaimana disajikan pada Tabel 2.
Hasil perhitungan rata-rata volume kayu yang Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai Fhitung =
dimanfaatkan pada setiap PCP dapat dilihat pada 0,199 lebih kecil dari nilai F0,05 (11;8) = 3,32 sehingga
Tabel 1. Rekapitulasi hasil perhitungan rerata faktor pemanfaatan kayu pada IUPHHK-
HA di hutan alam Papua Barat
Table 1. Recapitulation of the calculated average timber recovery rate at forest concession in
West Papua
Volume kayu
IUPHHK- Volume kayu batang
Petak tebang dimanfaatkan Faktor pemanfaatan
HA (Forest bebas cabang (Volume of
(Felling sites) (Volume of the (Recovery rate, %)
concessions) total clear bole, m³)
utilised wood, m³)
1 4,589 5,273 87,0
2 4,329 5,011 86,4
PT. A
3 4,238 4,869 87,0
4 2,958 3,265 90,6
Rata-rata (Average) 4,029 4,605 87,8
1 5,098 5,830 87,4
PT. B 2 4,941 5,575 88,6
3 3,671 4,450 82,5
Rata-rata (Average) 4,570 5,285 86,2
Rata-rata total (Grand average) 4,299 4,945 86,9
70
Tabel 2. Hasil analisis uji rata-rata faktor pemanfaatan kayu
Table 2. Analytical results on the average of timber recovery factor
Studi Faktor Pemanfaatan dan Limbah Pemanenan Kayu di Hutan Alam Papua Barat
(Equal of the assumed
variances)
Varian yang
sama tidak
diasumsikan(Equal 1,152 16,076 0,266 1,65556 1,43724 -1,39010 4,70121
of the unassumed
variances)
faktor pemanfaatan kayu di PT. A tidak berbeda maupun bagian kayu di atas cabang pertama
nyata dengan di PT. B. Faktor pemanfaatan kayu sehingga efisiensi pemanenan kayu menjadi tidak
di kedua perusahaan berkisar antara 86,2 – 87,8% maksimal.
dengan rata-rata 86,9%. Faktor pemanfaatan kayu Hiesl (2013) menyatakan bahwa keterampilan
di PT. A cenderung lebih tinggi dibandingkan di seorang operator membutuhkan minimal tiga
PT. B. Hal ini diakibatkan cara pemanenan kayu tahun pengalaman kerja untuk mencapai 100%
di PT. A telah menerapkan teknik RIL sedangkan potensi produktivitasnya. Bahkan dinyatakan
di PT. B masih dilakukan secara konvensional. bahwa operator yang telah terlatih produktivitas
Dalam kaitannya dengan faktor pemanfaatan kerjanya meningkat 40% lebih tinggi dibanding
kayu, Garland dan Jackson (1997) menyatakan yang belum mendapatkan pelatihan. Kendatipun
bahwa teknik penebangan dan pembagian keterampilan dan pengalaman kerja hanya
batang yang benar akan meningkatkan kualitas merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
dan produksi kayu bulat yang dihasilkan. Cara untuk produktivitas, kerja tetapi kemampuan
pemanenan kayu konvensional di PT. B dilakukan operator untuk menyesuaikan dengan perubahan
oleh para penebang yang belum memperoleh lingkungan kerja dan situasi yang berbeda perlu
pelatihan teknis penebangan berdampak rendah. menjadi perhatian.
Akibatnya, penguasaan teknik pembuatan takik
tebang tidak baik dan orientasi pembagian B. Limbah Pemanenan Kayu
batang hanya untuk mendapatkan kualitas kayu
yang prima. Penelitian Idris dan Soenarno (2015) 1. Faktor residu
menunjukkan bahwa pemanenan kayu secara Secara rinci hasil perhitungan faktor residu
konvensional banyak mengakibatkan limbah (limbah pemanenan kayu) dapat dilihat pada
kayu baik pada bagian batang bebas cabang Lampiran 2 sedangkan rekapitulasinya disajikan
72
Studi Faktor Pemanfaatan dan Limbah Pemanenan Kayu di Hutan Alam Papua Barat
(Soenarno, Wesman Endom & Sona Suhartana)
pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan nilai faktor 0,086 m3/pohon, dan limbah ujung sebanyak
residu rata-rata di PT. A adalah 11,9% lebih 0,181 m3/pohon. Sebaran persentase limbah
rendah dibandingkan di PT. B yaitu sebesar penebangan pada topografi datar sampai curam
12,6%. Ini artinya bahwa limbah pemanenan disajikan pada Gambar 1.
kayu per pohon yang terjadi di PT. A lebih Dari Tabel 4 juga dapat dilihat bahwa
sedikit dibandingkan di PT. B. Pada Tabel 3 juga persentase volume limbah pangkal pada
dapat dilihat bahwa sebagian besar limbah kayu topografi datar, landai, agak curam, dan curam
tidak berbeda, tetapi untuk limbah ujung semakin
tersebut masih tertinggal di petak tebang 11,9–
curam topografi cenderung semakin besar volume
12,6% dan sisanya 0,7–1,1% di TPn merupakan
limbahnya (Gambar 2). Hal ini mudah dipahami
potongan dolok akibat proses pengujian dan karena umumnya operator chainsaw menentukan
pengukuran yang dilakukan oleh petugas teknis. arah rebah pohon ke bagian bawah lereng karena
Penelitian Nurrachmania (2009) menyatakan pertimbangan kemudahan cara menebang.
bahwa limbah kayu di TPn mencapai sebesar Padahal, untuk menebang pohon pada areal yang
11,89%. Penyebab terjadinya limbah kayu curam seharusnya arah rebah pohon ke bagian
tersebut karena growong (25,08%), busuk hati atas lereng atau minimal sejajar dengan arah
(47,99%), mata kayu (18,43%), pecah (5,46%), kontur (Soenarno & Idris, 2015).
dan grading scaling (3,04%).
b. Volume limbah berdasarkan kondisi
2. Limbah penebangan Secara lebih rinci, hasil pengukuran kondisi
a. Volume limbah kayu berdasarkan kondisi limbah pemanenan kayu pada masing-masing
topografi PCP dapat dilihat pada tiga lampiran, sedangkan
Hasil pengamatan pengukuran volume limbah rekapitulasi disajikan pada Tabel 5. Tabel 5
pembalakan pada berbagai kondisi topografi menunjukkan bahwa sebagian besar limbah
dapat dilihat pada Lampiran 2, dan rekapitulasinya penebangan kondisinya cacat (mata buaya,
disajikan pada Tabel 4. bengkok, growing, busuk hati) yaitu berkisar
Tabel 4 memperlihatkan bahwa besarnya antara 56,3–76,9% dengan rata-rata 65,1%.
volume limbah penebangan berkisar antara Limbah penebangan yang pecah berkisar antara
0,487–0,621 m3/pohon dengan rata-rata sebanyak 7,3–35,3% dengan rata-rata 23,3% dan limbah
0,564 m3/phon. Limbah penebangan tersebut penebangan yang kondisinya dinilai baik berkisar
terdiri dari limbah tunggak sebanyak 0,009 m3/ antara 8,4–15,8% dengan rata-rata 11,6% atau
pohon, limbah banir 0,211 m3/pohon, pangkal sebesar 0,076 m3/pohon. Mencermati Tabel 5
Tabel 4. Jenis dan volume limbah berdasarkan topografi lapangan pada penebangan di
IUPHHK-HA di Papua Barat
Table 4. Type and volume of logging wastes according to topography in harvesting of forest
concession in West Papua
Volume limbah (Waste volume, m3)
No. Topografi (Topography) Tunggak Banir Pangkal Jumlah
(Stump) (Buttress) (Butt) Ujung (Top) (Total)
1. Datar (Flat) 0,087 0,213 0,044 0,143 0,487
2. Landai (Sloping) 0,078 0,275 0,114 0,154 0,621
3. Agak curam (Rather steep) 0,116 0,151 0,055 0,176 0,498
4. Curam (Steep) 0,115 0,204 0,131 0,251 0,650
Rata-rata (Average) 0,099 0,211 0,086 0,181 0,564
73
Penelitian Hasil Hutan Vol. 36 No. 2, Juli 2018: 67-84
tersebut diperoleh gambaran bahwa kendatipun lebih diakibatkan pengaruh topografi lapangan.
UPHHK-HA telah memperoleh sertifikat PHPL Hasil pada Tabel 6 menunjukkan bahwa terdapat
tetapi tidak serta merta dapat menjamin tidak perbedaan besarnya volume limbah kayu yang
terjadinya pecah kayu dari pohon yang ditebang. pecah di topografi curam dengan yang di topografi
Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat
datar, landai maupun agak curam. Namun,
pecah kayu akibat penebangan, diantaranya
volume limbah kayu pecah tidak berbeda nyata
kondisi topografi, jenis pohon, bentuk tajuk,
kompetensi penebang, dan kerapatan tegakan. antara yang terjadi di topografi datar, landai, dan
Berdasarkan pengamatan di lapangan, kondisi agak curam. Limbah pecah paling banyak terjadi
limbah penebangan yang pecah tersebut diduga pada kondisi topografi yang curam.
40
35,6
35 31,6
Limbah kayu (Wood waste, %)
30
25
18,9
20
14,7
15
10
0
Tunggak Banir Pangkal Ujung
(Stump) (Buttress) (Butt) (Top)
70
Limbah kayu (Wood waste, %)
60 40,7
50
35,4
26,4
40
24,0 Pangkal (Butt)
30
Ujung (Top)
20 20,0
19,4
10 8,7 10,7
0
Datar Landai Agak curam Curam
(Flat) (Sloping) (Rather steep) (Steep)
Gambar 2. Persentase volume limbah pangkal dan ujung log pada berbagai topografi
Figure 2. Volume percentage of log butt and top wasted on various topographies
74
Studi Faktor Pemanfaatan dan Limbah Pemanenan Kayu di Hutan Alam Papua Barat
(Soenarno, Wesman Endom & Sona Suhartana)
Hasil uji lebih lanjut dengan uji beda nyata yang pecah antara topografi agak curam, landai,
terkecil (least significant different/LSD) pada taraf dan yang datar. Limbah pecah pada topografi
kepercayaan 95% disajikan pada Tabel 7. Tabel curam dapat dikurangi apabila operator chainsaw
10 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata menguasai teknik penebangan yang baik dan
pada limbah yang pecah antara kondisi topografi benar serta menggunakan alat bantu penebangan
curam dengan yang agak curam, landai mapun
berupa baji.
datar. Namun, tidak ada perbedaan limbah
Tabel 5. Sebaran kualitas limbah kayu pada penebangan di IUPHHK-HA di Papua Barat
Table 5. Distribution of wood waste quality in harvesting of forest concession in West Papua
Tabel 6. Hasil uji statistik persentase limbah log pecah menurut topografi
Table 6. Statistical test results on the percentage of the broken log waste based on to topography
= 0,572)
75
Penelitian Hasil Hutan Vol. 36 No. 2, Juli 2018: 67-84
Ruslim, Hinrichs, dan Ulbricht (1999) tinggi takik rebah maksimal 30 cm dari permukaan
menjelaskan bahwa salah satu persyaratan teknis tanah. Prosedur penebangan yang benar disajikan
cara penebangan untuk menjamin arah rebah pada Gambar 3 (Klassen, 2006b).
pohon adalah menggunakan baji. Baji tersebut Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan
mejadi perlengkapan pokok operator chainsaw bahwa pecah kayu tersebut selain akibat kondisi
yang terbuat dari potongan kayu, bahan plastik topografi yang curam juga tidak sempurnanya
yang kuat ataupun besi (Occupational Safety teknik penebangan. Kesalahan yang sering
and Health Service, 2001). Persyaratan lainnya dilakukan oleh penebang adalah membuat mulut
menurut Ruslim et al. (1999) adalah takik rebah takik rebah terlalu sempit, takik rebah dibuat
dibuat dengan ketinggian ± 1/3 diameter pada banir pohon tanpa lebih dahulu dilakukan
pohon yang akan ditebang dengan mulut takik penyesetan banir, dan arah rebah pohon ke bagian
membentuk sudut 45o, takik balas dibuat berkisar bawah lereng (Gambar 4). Selain itu, pembuatan
antara 5–10 cm di atas takik rebah, dan di potong takik tebang yang salah juga menjadi penyebab
pada kedua sisi takik rebah sedalam 5–10 cm agar terjadinya serat tercabut (barber chair) sehingga
kayu tidak pecah. Ruslandi, (2013) menyatakan mengakibatkan bagian pangkal batang menjadi
bahwa untuk mengurangi limbah tunggak maka pecah (Gambar 5).
Tabel 7. Uji beda nyata terkecil limbah yang pecah dengan topografi pada penebangan
di IUPHHK-HA di Papua Barat
Table 7. Least significant difference (LSD) test between the broken wood waste and topography
in harvesting of forest concession in West Papua
95% Selang
kepercayaan
Beda (Confidence interval
Kesalahan Probabilitas
(I) rata-rata for difference)a
baku perbedaan
Topografi (J) Topografi (Topography) (Mean
(Std. (Significance Batas Batas
(Topography) difference)
Error) probability)a bawah atas
(I-J)
(Lower (Upper
bound) bound)
Agak curam Curam (Steep) -0,253* 0,087 0,019 -0,452 -0,053
(Rather steep)
Datar (Flat) 0,120 0,109 0,306 -0,133 0,372
Landai (Sloping) 0,054 0,067 0,446 -0,101 0,208
Curam Agak curam (Rather steep) 0,253* 0,087 0,019 0,053 0,452
(Steep)
Datar (Flat) 0,373* 0,116 0,012 0,105 0,640
Landai (Sloping) ,0307* 0,077 0,004 0,128 0,485
Datar (Flat) Agak curam (Rather steep) -0,120 0,109 0,306 -0,372 0,133
Curam (Steep) -,0373* 0,116 0,012 -0,640 -0,105
Landai (Sloping) -0,066 0,102 0,537 -0,302 0,170
Landai Agak curam (Rather steep) -0,054 0,067 0,446 -0,208 0,101
(Sloping)
Curam (Steep) -0,307* 0,077 0,004 -0,485 -0,128
Datar (Flat) 0,066 0,102 0,537 -0,170 0,302
Keterangan (Remarks): Berdasarkan nilai rata-rata (Based on estimated marginal means); *). Beda rata-rata pada
taraf nyata 0,05 (Mean difference is significant at a 0,05); a) Penyesuaian perbandingan (Adjustment
for multiple comparisons): Beda nyata terkecil, tanpa penyesuaian (Least Significant Difference, equivalent
to no adjustments)
76
Studi Faktor Pemanfaatan dan Limbah Pemanenan Kayu di Hutan Alam Papua Barat
(Soenarno, Wesman Endom & Sona Suhartana)
a. Takik rebah terlalu kecil b. Membuat takik rebah pada banir c. Arah rebah pohon ke bagian bawah
(Falling notch too narrow) (Making falling notch on buttress) lereng (Falling tree direction downhill
Gambar 5. Takik tebang yang salah (a) menyebabkan serat tercabut (b)
Figure 5. Unappropriate falling notch (a) causes barber chair (b)
77
Penelitian Hasil Hutan Vol. 36 No. 2, Juli 2018: 67-84
Pengamatan di lapangan menunjukkan pendapatan dari hasil penjualan kayu. Ward (2011)
terjadinya limbah pecah juga disebabkan oleh menjelaskan bahwa keberhasilan penebangan
penentuan arah rebah pohon ke bagian bawah sangat ditentukan oleh arah rebah pohon dan
lereng. Permasalahan yang sering dilakukan, keterampilan penebang.
operator chainsaw melakukan kesalahan dalam Untuk meminimalisir terjadinya limbah
menaksir panjang lereng. Apabila panjang lereng penebangan maka selain meningkatkan
ternyata lebih pendek dari tinggi pohon maka kompetensi penguasaan teknik tebang juga dapat
mengakibatkan pohon menjadi patah dan/atau
diterapkan metode tree length logging. Untuk itu,
pecah (Gambar 6). Secara teknis, arah rebah
penebang (chainsaw operator) perlu mendapatkan
pohon ke bagian bawah lereng tidak dibenarkan.
pelatihan teknik penebangan agar mereka mampu
Arah rebah pohon yang benar adalah ke bagian
dan terampil. Penebang yang terampil mampu
atas lereng atau sejajar mengikuti kontur lapangan
(Soenarno & Idris, 2015). mengurangi pecah kayu sehingga produktivitas
Selain dilarang untuk merebahkan pohon ke kerja meningkat. Uusitalo, Kokko, dan Kivinen
arah bagian bawah lereng maka arah rebah pohon (2004) menyatakan bahwa teknik penebangan
sebaiknya juga menghindari kondisi lapangan yang diikuti dengan pembagian batang yang tepat
yang tidak rata atau bergelombang (Klassen, akan mempengaruhi efisiensi pemanfaatan dan
2006a), sedangkan Garland dan Jackson (1997) kualitas kayu yang dihasilkan. Idris dan Soenarno
menyatakan bahwa arah rebah dan pembagian (2015a) menyatakan bahwa dengan penerapan
batang yang benar akan menghasilkan kualitas metode tree length logging maka limbah kayu dapat
dan kuantitas kayu sehingga meningkatkan dikurangi menjadi ± 8%.
78
Studi Faktor Pemanfaatan dan Limbah Pemanenan Kayu di Hutan Alam Papua Barat
(Soenarno, Wesman Endom & Sona Suhartana)
79
Penelitian Hasil Hutan Vol. 36 No. 2, Juli 2018: 67-84
Franceschi, J. P. D. (1991). Economics of utilizing Matangaran, J. R., & Anggoro, R. (2012). Limbah
waste wood for energy. Sweden: Swedish pemanenan jati di Banyuwangi Jawa Timur.
University of Agricultural Sciences. Jurnal Perennial, 8(2), 88–92.
Garland, J., & Jackson, D. (1997). Felling and Nurrachmania, M. (2009). Potensi limbah pemanenan
bucking techniques for woodland owners. Oregon: kayu di tempat pengumpulan kayu (TPn)
Oregon State University. IUPHHK-HA PT. Andalas Merapi Timber.
Hiesl, P. (2013). Productivity standards for whole-tree Universitas Sumatera Utara, Medan.
and cut- to-length harvesting systems in Maine. Nurrochmat, R. R. (2016). Prediksi keseimbangan
(Disertation). The University of Maine, supply-demand hasil hutan kayu Indonesia.
Maine. Diakses dari https://www.google.
Idris, M. M., & Soenarno. (2015a). Penerapan co.id/?gws_rd=cr&ei=svOkWO1QoJKg
metode tree length logging skala operasional BLCat4AM#9=PREDIKSI+KESEIMB
di areal teknik silvikultur intensif: Studi ANGAN+SUPPLY_DEMAND+HASIL
kasus di PT. Parakanca Timber, Provinsi +HUTAN+KAYU+INDONESIA&start
Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hasil =O, pada 4 Desember 2016.
Hutan, 33(1), 19–34. Occupational Safety and Health Service. (2001).
Idris, M. M., & Soenarno. (2015b). Unjuk kerja A guide to safety in tree felling and cross cutting.
teknik penyaradan kayu dengan metode Wire. Department of Labour. New
tree length logging pada hutan alam lahan Zealand.
kering. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 33(2), Ruslandi. (2013). Penerapan pembalakan berdampak
153–166. rendah-carbon (RIL-C). Jakarta: The Nature
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Concervancy.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Ruslim, Y., Hinrichs, A., & Ulbricht, R. (1999).
Kehutanan Nomor: P.13/Menlhk-II/2015 Panduan teknis pelaksanaan pembalakan
tentang izin usaha industri primer hasil ramah lingkungan. Laporan kerja sama teknik
hutan (2015). Kementerian Lingkungan Indonesia-Jerman. Departemen Kehutanan
Hidup dan Kehutanan, Jakarta. dan Perkebunan, Jakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Soenarno, Dulsalam, & Endom, W. (2013). Faktor
(2016). Statistik Kementerian Lingkungan eksploitasi pada hutan produksi terbatas di
Hidup dan Kehutanan Tahun 2015. Jakarta: IUPHHK-HA PT. Kemakmuran Berkah
Pusat Data dan Informasi, KLHK. Timber. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 31(2),
Klassen, A. (2006a). Operational considerations for 151-160.
Reduced Impact Logging. Bogor: International Soenarno, Endom, W., Basari, Z., Suhartana,
Tropical Timber Organization (ITTO). S., Dulsalam, & Yuniawati. (2016). Faktor
Klassen, A. (2006b). Pertimbangan dalam eksploitasi hutan di Sub Region Kalimantan
merencanakan pembalakan berdampak rendah. Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 34(4),
Jakarta: Tropical Forest Foundation. 335–348.
Mansyur, A., Tirkaamiana, M. , & Sutejo, H. Soenarno & Idris, M. M. (2015). Pedoman
(2013). Limbah pemanenan dan faktor teknis tree length logging di hutan alam
eksploitasi IUPHHK-HA PT. Rizki produksi lahan kering. Pusat Penelitian dan
Kacida Reana, Kabupaten Paser Provinsi Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.
Kalimantan Timur. AGRIFOR, XII, 116– Uusitalo, J., Kokko, S., & Kivinen, V. P. (2004).
131. The effect of two bucking methods on
Matangaran, J., Partiani, T., & Purnamasari, D. Scots pine lumber quality. Silva Fennica,
(2013). Faktor eksploitasi dan kuantifikasi 38(3), 291–303. doi: 10.14214/sf.417.
limbah kayu dalam rangka peningkatan
efisiensi pemanenan hutan alam. Bumi Ward, E. (2011). Chainsaws — safety , operation , tree
Lestari, 13(2), 384–393. felling techniques. Manhattan.
80
Lampiran 1. Faktor pemanfaatan dan faktor residu pada penebangan di IUPHHK-HA di Papua Barat
Appendix 1. Calculation of recovery rate and residual factor in harvesting of forest concession in West Papua
Studi Faktor Pemanfaatan dan Limbah Pemanenan Kayu di Hutan Alam Papua Barat
1 4,109 0,729 0,031 4,869 84,4 15,6
3 2 4,004 0,570 0,000 4,574 87,5 12,5
3 4,600 0,560 0,003 5,163 89,1 10,9
1 2,806 0,219 0,000 3,025 92,8 7,2
4 2 3,223 0,232 0,000 3,455 93,3 6,7
3 2,844 0,471 0,000 3,315 85,8 14,2
PT. B
1 4,185 0,914 0,080 5,178 80,8 19,2
PT. A
1 0,130 0,180 0,072 0,279 0,661 Landai (Sloping)
1 2 0,080 0,305 0,142 0,131 0,659 Landai (Sloping)
3 0,078 0,271 0,203 0,141 0,694 Landai (Sloping)
1 0,130 0,151 0,011 0,177 0,469 Agak curam (Rather steep)
2 2 0,115 0,120 0,103 0,193 0,531 Agak curam (Rather steep)
3 0,102 0,183 0,051 0,159 0,495 Agak curam (Rather steep)
1 0,085 0,290 0,186 0,329 0,729 Curam (Steep)
3 2 0,088 0,210 0,163 0,109 0,570 Landai (Sloping)
3 0,118 0,180 0,102 0,160 0,560 Curam (Steep)
1 0,039 0,092 0,025 0,063 0,219 Datar (Flat)
4 2 0,031 0,011 0,081 0,109 0,232 Landai (Sloping)
3 0,068 0,257 0,068 0,077 0,471 Landai (Sloping)
PT. B
1 0,058 0,616 0,051 0,188 0,914 Landai (Sloping)
1 2 0,045 0,185 0,055 0,076 0,361 Datar (Flat)
3 0,025 0,364 0,210 0,182 0,783 Landai (Sloping)
1 0,071 0,345 0,083 0,096 0,594 Datar (Flat)
2 2 0,134 0,429 0,000 0,113 0,676 Datar (Flat)
3 0,141 0,141 0,000 0,263 0,545 Curam (Steep)
1 0,088 0,124 0,060 0,208 0,480 Datar (Flat)
3 2 0,147 0,102 0,040 0,301 0,590 Datar (Flat)
3 0,145 0,258 0,040 0,171 0,607 Landai (Sloping)
Total rata-rata (Grand average) 0,112 0,223 0,077 0,181 0,564
Lampiran 3. Sebaran limbah penebangan
Appendix 3. Distribution of felling waste
Limbah penebangan (Felling waste)
Petak contoh
IUPHHK-HA (Forest concession)/ Jumlah Topografi (Topography)
pengamatan (Observation Baik (Good) Cacat (Decay) Pecah (Broken)
Petak tebang (Felling site) (Total)
sample plots)
(m³) (%) (m³) (%) (m³) (%) (m³)
PT. A
1 0,200 30,3 0,368 55,7 0,093 14,0 0,661 Landai (Sloping)
1 2 0,166 25,2 0,474 71,9 0,019 2,8 0,659 Landai (Sloping)
3 0,157 22,6 0,409 58,9 0,129 18,5 0,694 Landai (Sloping)
1 0,039 8,2 0,221 47,0 0,210 44,8 0,469 Agak curam (Rather steep)
2 2 0,031 6,0 0,306 58,5 0,186 35,5 0,523 Agak curam (Rather steep)
3 0,033 6,7 0,310 62,6 0,152 30,7 0,495 Agak curam (Rather steep)
Studi Faktor Pemanfaatan dan Limbah Pemanenan Kayu di Hutan Alam Papua Barat
1 0,000 0,0 0,238 32,6 0,491 67,4 0,729 Curam (Steep)
3 2 0,013 2,3 0,210 36,8 0,347 60,9 0,570 Landai (Sloping)
3 0,000 0,0 0,180 32,1 0,380 67,9 0,560 Curam (Steep)
1 0,000 0,0 0,156 71,2 0,063 28,8 0,219 Datar (Flat)
4 2 0,000 0,0 0,123 53,0 0,109 47,0 0,232 Landai (Sloping)
3 0,000 0,0 0,393 83,6 0,077 16,4 0,471 Landai (Sloping)
PT. B
1 0,226 24,0 0,677 74,6 0,01 1,1 0,914 Landai (Sloping)