You are on page 1of 16

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/311845662

DIMENSI SERAT DAN NILAI TURUNANNYA DARI TUJUH J ENIS KAYU ASAL
PROPINSI JAMBI

Article  in  Jurnal Penelitian Hasil Hutan · March 2009


DOI: 10.20886/jphh.2009.27.1.11-20

CITATIONS READS

3 1,719

2 authors:

Yeni Aprianis Syofia Rahmayanti


Ministry of Forestry, Indonesia Forestry Research and Development Agency
9 PUBLICATIONS   11 CITATIONS    2 PUBLICATIONS   8 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Pulp Wood Properties of Initial Growth Acacia crassicarpa for Optimum Age Determination View project

All content following this page was uploaded by Yeni Aprianis on 13 December 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


DIMENSI SERAT DAN NILAI TURUNANNYA DARI TUJUH JENIS KAYU
ASAL PROVINSI JAMBI
(Fiber Dimensions and Their Derived Values of Seven Wood Species from Jambi
Province)

Oleh/By:
Yeni Aprianis & Syofia Rahmayanti

ABSTRACT

This experiment looked into fiber dimensions and their derived values of seven
particular Indonesian wood species in their possible uses as alternative woods for
pulp and paper industry. Fiber dimensions as observed through maceration on wood
sample of those species covered fiber length, fiber diameter, lumen diameter and
fiber-wall thickness. Meanwhile, their derived values as scrutinized were Runkell
ratio, Muhlsteph ratio, felting power, rigidity coefficient and flexibility ratio. Those
seven wood species were brought in from Pelepat village, Muaro Bungo District,
Jambi Province.
The resulting data of fiber dimensions and their derived values were
compared with the criteria standard. It revealed that fiber dimensions and their
derived values of those seven species could meet the criteria of fiber characteristics
for pulp/paper with fiber quality classes I and II. Class I covered wood species of
Octomeles sumatrana, Macaranga hypoleuca and M. pruinosa. Meanwhile, the species
that belonged to class II were M. gigantea, M. tanarius, M. conifera and
Anthocephalus cadamba.

Key words : Seven Indonesian wood species, Jambi Province, fiber dimensions and
their derived values, fiber quality, pulp and paper

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mencermati dimensi serat dan turunannya dari tujuh
jenis kayu Indonesia dihubungkan dengan kemungkinan penggunaannya sebagai kayu
alternatif untuk industri pulp dan kertas. Dimensi serat diamati melalui maserasi pada
sampel kayu jenis-jenis tersebut yang meliputi panjang serat, diameter serat, diameter
lumen dan tebal dinding sel. Sementara itu, nilai turunannya yang diteliti adalah
bilangan Runkell, perbandingan Muhlsteph, daya tenun, koefisien kekakuan dan
perbandingan fleksibilitas. Ketujuh jenis kayu diambil dari Desa Baru Pelepat,
Kabupaten Muaro Bungo, Propinsi Jambi.
Data hasil pengamatan dimensi serat dan nilai turunannya dibandingkan
dengan standar kriteria. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai dimensi serat dan
nilai turunannya dari ketujuh jenis kayu alternatif tersebut memenuhi kriteria
karakteristik serat untuk pulp/kertas dengan kelas kualitas serat I dan II. Kelas kualitas
serat I diperoleh jenis Octomeles sumatrana, Macaranga hypoleuca dan M. pruinosa.
Sementara itu, jenis yang termasuk kelas II adalah M. gigantea, M. tanarius, M.
conifera dan Anthocephalus cadamba.

Kata kunci : tujuh jenis kayu Indonesia, Propinsi Jambi, dimensi serat dan
turunannya, kualitas serat, pulp dan kertas

1
I. PENDAHULUAN

Meningkatnya kerusakan hutan alam tropik basah dari tahun ke tahun dan

makin berkurangnya pasokan bahan baku kayu dari hutan produksi alam mendorong

pemerintah dan instansi terkait menggalakkan pembangunan Hutan Tanaman Industri

(HTI) dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Sampai dengan tahun 2010 ditargetkan

dapat dibangun sembilan juta hektar hutan tanaman, yaitu 3,6 juta hektar HTI dan 5,4

juta hektar HTR (Anonim, 2006).

Upaya pemenuhan bahan baku industri pulp dan kertas, dengan pembangunan

hutan tanaman telah digalakkan sejak lama. Di dalam pembangunan HTI pulp dan

kertas, jenis kayu yang diusahakan biasanya merupakan jenis introduksi/eksotik yang

memiliki karakteristik sifat dasar yang sesuai untuk penghasil pulp dan kertas. Jenis-

jenis tanaman yang sudah dikenal dan telah dikembangkan dalam skala besar sebagai

komoditas utama dalam pengusahaan HTI pulp ini pada umumnya merupakan jenis

cepat tumbuh (fast growing species) seperti Acacia mangium, Eucalyptus sp.,

Gmelina arborea dan Pinus merkusii.

Meskipun pembangunan hutan tanaman telah lama dilakukan, namun masih

perlu dilakukan pengembangan dalam upaya peningkatan produktivitasnya. Hal ini

terutama dengan memanfaatkan potensi hutan Indonesia yang cukup kaya dan

beragam jenisnya. Jenis alternatif yang nantinya akan digunakan dalam pembangunan

hutan tanaman harus terlebih dahulu diketahui sifat-sifat dasar kayunya dan teknik

silvikulturnya. Pengembangan dan pembangunan hutan tanaman dengan

memanfaatkan jenis-jenis kayu alternatif memerlukan pengetahuan sifat dasar dari

kayu tersebut yang berhubungan dengan pulp dan kertas. Terkait dengan segala uraian

di atas, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi sifat-sifat dasar dari

beberapa jenis kayu alternatif yang berhubungan dengan kesesuaiannya sebagai bahan

2
penghasil serat untuk industri pulp dan kertas. Adapun sifat-sifat dasar yang diteliti

adalah dimensi serat dan turunannya dari jenis kayu alternatif penghasil serat. Sasaran

penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi kualitas serat dari tujuh jenis kayu

alternatif penghasil serat.

II. METODOLOGI

A. Bahan dan Peralatan

Bahan baku kayu yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 7 (tujuh)

jenis, dikumpulkan dari Desa Baru Pelepat, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Muaro

Bungo, Provinsi Jambi, seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis kayu sebagai alternatif penghasil serat kayu


Table 1. Wood species as alternative wood fiber provider
No. Nama Lokal Nama Botani Famili
(Local name) (Botanical name) (Family)
1. Jabon Antocephalus cadamba Miq. Rubiaceae
2. Binuang Octomeles sumatrana Miq. Datiscaceae
3. Mahang Macaranga pruinosa (Miq.) Muell.Arq. Euphorbiaceae
kriting
4. Mahang putih Macaranga hypoleuca (Reichb.f.&Zoll) Euphorbiaceae
Muell.Arq.
5. Sekubung Macaranga gigantea Muell.Arq. Euphorbiaceae
6. Setutup Macaranga tanarius (L.) Muell.Arq. Euphorbiaceae
7. Bodi Macaranga conifera (Zoll.) Muell.Arq Euphorbiaceae
Keterangan (Remarks) : Data/informasi diperoleh dari Disiplin Kelti Botani Pusat
Litbang dan Konservasi Alam, Bogor (Data/information obtained from Botani
Research Group, Forest and Nature Conservation Research and Development Center,
Bogor.)

Bahan kimia yang digunakan adalah : akuades, asam asetat glacial, hydrogen

peroxide, alkohol teknis, gliserin, safranin, entelen. Sedangkan peralatan yang

dibutuhkan adalah gergaji, chain saw, golok, meteran, plastik tempat sampel,

mikrotom, mikroskop, loupe, gelas obyek, gelas penutup, botol timbang, watch glass

dan pipet.

3
B. Prosedur Kerja

Pengumpulan sampel kayu jenis alternatif penghasil serat dilakukan dengan

melakukan eksplorasi pencarian pohon jenis-jenis tersebut dan dilakukan penebangan.

Setiap jenis pohon diambil sampelnya dari tiga bagian, yaitu bagian pangkal, tengah

dan ujung. Sampel bagian pangkal diambil pada jarak 5 cm dari bekas pemotongan

bagian bawah/pangkal pohon, bagian ujung diambil pada jarak 5 cm dari bagian

bawah cabang pertama, dan bagian tengah diambil tepat di tengah seksi tengah

tersebut (Rulliati dan Lempang, 2004). Pengamatan dimensi serat dilakukan dengan

cara pembuatan preparat maserasi menurut metode Schultze (Silitonga et al., 1972).

Mula-mula contoh kayu dari jenis alternatif tersebut dibuat menjadi serpih-serpih

sebesar korek api. Selanjutnya serpih dipanaskan pelan-pelan dalam tabung reaksi

yang berisi campuran larutan hidrogen peroksida dan asam asetat glasial dengan

perbandingan 1 : 1 (v/v). Serat yang sudah terpisah dicuci bersih dengan air mengalir

dari kran lalu diwarnai dengan safranin. Serat yang sudah diwarnai dimuat dalam

gelas obyek yang terlebih dahulu sudah ditetesi gliserin. Seratnya disebarkan merata

lalu ditutup dengan gelas penutup, kemudian preparat siap untuk diamati dibawah

mikroskop. Parameter pengamatan untuk dimensi serat adalah panjang serat, diameter

serat, diameter lumen, dan tebal dinding sel yang akan digunakan untuk mendapatkan

nilai turunan dimensi serat yaitu bilangan Runkell, daya tenun, perbandingan

Muhlsteph, koefisien kekakuan dan perbandingan fleksibilitas. Masing-masing nilai

turunan tersebut dihitung menurut rumus-rumus tertentu (Silitonga et al, 1972).

4
C. Analisis Data

Data dimensi serat dan turunannya yang diperoleh dianalisis secara tabulasi

dan deskripsi dengan merujuk pada kriteria penilaian karakteristik kayu untuk pulp

(Anonim, 1976) seperti Lampiran 2.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Dimensi Serat

Dimensi serat merupakan salah satu sifat penting kayu yang dapat digunakan

sebagai dasar memilih bahan baku kayu untuk produksi pulp dan kertas. Dimensi serat

(panjang serat, diameter serat, tebal dinding sel, lebar lumen) dari 7 jenis kayu yang

diamati dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Dimensi serat dari 7 jenis kayu alternatif penghasil serat


Table 2. Fiber dimension of seven alternative wood species as fiber provider

Tebal
Panjang Diameter Diameter
dinding
Jenis serat serat lumen
No. serat
(Species) (Fiber (Fiber (Lumen
(Fiber wall
length) diameter) diameter)
thickness)
L (µ) D (µ) w(µ) l (µ)
1 Anthocephalus cadamba 1.561 23,956 2,788 18,380
2 Octomeles sumatrana 1.427 27,058 1,976 23,108
3 Macaranga hypoleuca 1.455 36,822 2,277 32,267
4 Macaranga pruinosa 1.607 33,810 3,071 27,667
5 Macaranga tanarius 1.207 20,164 2,627 14,909
6 Macaranga conifera 1.053 21,515 2,591 16,333
7 Macaranga gigantea 1.598 26,344 2,363 18,039
Keterangan (Remarks) : µ = mikron (microns ) = 10-3 mm = 10-6 m

Dari tabel diatas diketahui bahwa panjang serat dari tujuh jenis kayu alternatif

tersebut berkisar 1.053-1.607 mikron. Menurut klasifikasi IAWA (Anonim, 1932)

dalam Nurrahman dan Silitonga (1972), Macaranga pruinosa termasuk kelas serat

5
panjang yaitu 1.607 mikron (Lampiran 1). Sedangkan yang termasuk kelas medium

adalah Macaranga conifera dengan panjang serat 1.053 mikron.

Menurut Tamolang dan Wangaard (1961) dalam Pasaribu dan Tampubolon

(2007), bahwa semakin panjang serat kayu maka pulp yang dihasilkan memiliki

kekuatan yang tinggi. Hal ini disebabkan serat panjang memberikan bidang

persentuhan yang lebih luas dan anyaman lebih baik antara satu serat dengan lainnya,

yang memungkinkan lebih banyak terjadi ikatan hidrogen antar serat-serat tersebut.

Lebih lanjut, pulp serat panjang lebih sulit lolos saringan, sehingga lebih mudah

dicuci. Panjang serat mempengaruhi sifat-sifat tertentu pulp dan kertas, termasuk

ketahanan sobek, kekuatan tarik dan daya lipat.

Diameter serat dari tujuh jenis kayu alternatif tersebut berkisar 20,164-36,822

mikron. Sementara itu diameter lumen berkisar 14,909- 32,207 mikron. Diameter

serat dan diameter lumen terkecil terdapat pada jenis Macaranga tanarius, sedangkan

diameter serat dan diameter lumen terbesar terdapat pada jenis kayu Macaranga

hypoleuca.

Tebal dinding serat tujuh jenis kayu alternatif tersebut berkisar antara 1,976-

3,071 mikron. Jenis Octomeles sumatrana mempunyai dinding serat yang paling tipis,

yaitu 1,976 mikron dan Macaranga pruinosa mempunyai dinding serat paling tebal,

yaitu 3,071 mikron. Serat yang berdinding tipis mengakibatkan serat tersebut mudah

menggepeng sehingga menghasilkan lembaran pulp dan kertas yang lebih padat dan

keteguhan letup pecah lebih baik dibandingkan dengan serat berdinding tebal.

Sebaliknya, serat berdinding tebal menghasilkan lembaran yang mempunyai kekuatan

keteguhan sobek yang tinggi, tetapi kekuatan letup rendah. Untuk memperoleh

keteguhan retak dan sobek yang tinggi, serat yang berdinding tebal perlu dicampur

dengan serat yang panjang dan berdinding tipis, misalnya dengan serat kayu daun

6
jarum, atau digiling sesudah diolah menjadi pulp selama beberapa waktu seminggu

terjadi penipisan dinding serat (Nurrahman dan Silitonga, 1972).

B. Turunan Dimensi Serat

Selain panjang serat, persyaratan serat untuk bahan baku pulp dan kertas juga

ditentukan oleh nilai turunan dimensi serat. Nilai turunan dimensi serat (bilangan

Runkel, perbandingan Muhlsteph, perbandingan fleksibilitas, daya tenun, koefisien

kekakuan) dan nilai kelas serat untuk 7 jenis kayu alternatif penghasil pulp dapat

dilihat pada Tabel 3 dan 4.

Tabel 3. Besaran nilai turunan dimensi serat 7 jenis kayu alternatif penghasil serat
Table 3. Fiber derived value of seven alternative wood species as fiber provider
Bilangan Daya Perbandingan Koefisien Perbandingan
Runkel tenun Muhlsteph Kekakuan fleksibilitas
Jenis (Muhlsteph ratio),
No (Runkel (Felting (Rigidity (Flexibility
(Species)
ratio),
2w/l
power),
L/d
[ d – I ] x 100%
2 2 Coeffisien),
w/d
ratio),
l /d
d2
1 A.. cadamba 0,30 65 41 0,12 0,77
2 O. sumatrana 0,10 53 27 0,07 0,85
3 M. hypoleuca 0,14 40 23 0,06 0,88
4 M. pruinosa 0,22 48 33 0,09 0,82
5 M. tanarius 0,35 60 45 0,13 0,74
6 M. conifera 0,32 49 42 0,12 0,76
7 M. gigantea 0,26 61 53 0,09 0,68
Keterangan (Remarks) : w = tebal dinding serat (fiber wall thickness)
l = diameter lumen (lumen diameter)
L = panjang serat (fiber length)
d = diameter serat (fiber diameter)

Dari Tabel 3. terlihat bahwa bilangan Runkel untuk 7 jenis kayu alternatif

penghasil pulp berkisar 0,14 - 0,35. Bilangan Runkell adalah perbandingan 2 kali tebal

dinding sel dengan diameter lumen. Berarti bilangan Runkell berbanding lurus dengan

tebal dinding sel dan berbanding terbalik dengan diameter lumen. Menurut Anonim

(1976) bilangan Runkel yang kecil atau sama 0,25 termasuk kelas I yaitu jenis

Octomeles sumatrana, Macaranga hypoleuca dan Macaranga pruinosa. Kayu untuk

pembuatan pulp serat yang baik yaitu memiliki bilangan Runkel kecil atau sama

7
dengan 0,25 karena memiliki dinding sel yang tipis dan diameter lumen lebar

sehingga serat dalam lembaran pulp menggepeng seluruhnya dan ikatan antar serat

baik (Silitonga et al, 1972).

Nilai daya tenun yang dihasilkan dari 7 jenis kayu tersebut berkisar 40–65

(Tabel 3). Nilai daya tenun merupakan perbandingan panjang serat dengan diameter

serat. Semakin besar perbandingan tersebut maka semakin tinggi kekuatan sobek dan

semakin baik daya tenun seratnya. Dengan kekuatan sobek yang tinggi itu juga berarti

panjang serat juga semakin panjang karena dalam menjalin antara serat semakin

panjang dan gaya sobek akan terbagi dalam luasan yang lebih besar (Syafii dan

Siregar, 2006). Dari ketujuh jenis kayu, nilai daya tenun tertinggi adalah jenis

Anthocephalus cadamba yaitu 65, sedangkan nilai daya tenun terendah adalah jenis

Macaranga hypoleuca yaitu 40 (Tabel 3). Menurut Anonim (1976), nilai daya tenun

ketujuh jenis kayu tersebut termasuk ke dalam kelas III karena berkisar dari 40 sampai

dengan 70.

Perbandingan Muhlsteph serat dari ketujuh jenis kayu tersebut berkisar antara

23–53 (Tabel 3). Perbandingan Muhlsteph tertinggi adalah pada jenis Macaranga

gigantea yaitu 53, sedangkan perbandingan Muhlsteph terendah pada jenis

Macaranga hypoleuca yaitu sebesar 23. Menurut Anonim (1976), maka dari 7 jenis

kayu tersebut dapat dibagi menjadi dua kelas perbandingan Muhlsteph. Kelas I

dengan perbandingan Muhlsteph <30 diperoleh jenis Macaranga hypoleuca dan

Octomeles sumatrana, dengan perbandingan Muhlsteph berturut-turut 23 dan 27.

Sedangkan yang termasuk kelas II perbandingan Muhlsteph berkisar 30 – 60 pada

jenis Macaranga pruinosa, Anthocephalus cadamba, Macaranga conifera,

Macaranga tanarius dan Macaranga gigantea dengan perbandingan Muhlsteph

berturut-turut yaitu 33, 41, 42, 45 dan 53. Besarnya perbandingan Muhlsteph

8
berpengaruh terhadap kerapatan lembaran pulp yang pada akhirnya berpengaruh pula

pada kekuatan pulp yang dihasilkan. Semakin kecil perbandingan Muhlsteph maka

kerapatan lembaran pulp yang dihasilkan akan semakin tinggi dengan sifat kekuatan

tinggi pula. Sebaliknya, perbandingan Muhlsteph yang tinggi menghasilkan lembaran

pulp dengan kerapatan yang rendah dan kekuatan rendah pula.

Koefisien kekakuan yang dihasilkan dari ketujuh jenis kayu alternatif

penghasil pulp berkisar antara 0,06–0,13 (Tabel 3). Nilai koefisien kekakuan adalah

perbandingan tebal dinding sel dengan diameter serat. Perbandingan ini menunjukkan

korelasi negatif terhadap kekuatan panjang putus (kekuatan tarik), artinya semakin

tinggi koefisien kekakuan maka semakin rendah kekuatan tarik dari kertas tersebut.

Sebaliknya semakin rendah koefisien kekakuan maka semakin tinggi kekuatan tarik

kertas bersangakutan. Maka untuk pembuatan pulp sebaiknya mempunyai nilai

koefisien kekakuan yang rendah (Syafii dan Siregar, 2006). Dari ketujuh jenis

tersebut, koefisien kekakuan tertinggi terdapat pada jenis Macaranga tanarius sebesar

0,13, sedangkan nilai koefisien terendah pada jenis Macaranga hypoleuca sebesar

0,06. Menurut Anonim (1976), maka ketujuh jenis kayu tersebut mempunyai dua

kelas koefisien kekakuan (I dan II). Kelas I adalah dengan nilai koefisien kekakuan

<0,10, dan termasuk kelas ini adalah jenis Macaranga hypoleuca, Octomeles

sumatrana, Macaranga pruinosa, dan Macaranga gigantea. Sedangkan kelas II

adalah nilai koefisien kekakuan 0,10–0,15, dan termasuk kelas ini adalah jenis

Anthocephalus cadamba, Macaranga conifera dan Macaranga tanarius.

Perbandingan fleksibilitas dari ketujuh jenis kayu alternatif penghasil pulp

berkisar antara 0,68–0,88 (Tabel 3). Perbandingan fleksibilitas adalah perbandingan

diameter lumen dengan diameter serat, dimana perbandingan tersebut mempunyai

hubungan parabolis dengan kekuatan tarik. Artinya serat dengan perbandingan

9
fleksibilitas tinggi berarti serat tersebut mempunyai tebal dinding yang tipis dan

mudah berubah bentuk. Kemampuan berubah bentuk ini menyebabkan persinggungan

antara permukaan serat lebih leluasa sehingga terjadi ikatan serat yang lebih baik dan

akan menghasilkan lembaran pulp dengan kekuatan baik (Syafii dan Siregar, 2006).

Perbandingan fleksibilitas terendah diperoleh jenis Macaranga gigantea yaitu sebesar

0,68 (Tabel 3), sedangkan nilai perbandingan fleksibilitas tertinggi diperoleh jenis

Macaranga hypoleuca. Kayu untuk pulp sebaiknya mempunyai nilai koefisien yang

tinggi seperti jenis Macaranga hypoleuca.

Berikut pada Tabel 4 disajikan hasil penentuan skor dimensi serat dan nilai

turunan dimensi serat pada tujuh jenis kayu alternatif untuk penentuan klasifikasi serat

kayunya.

Tabel 4. Hasil penetapan skor dimensi serat dan nilai turunannya pada tujuh jenis kayu
alternatif untuk penentuan klasifikasi seratnya
Table 4. Scoring results on fiber dimensions and their derived value of seven
alternative wood species for classifying of their fibers
Hasil penetapan skor (Scoring result)*)
Kelas/
Panjang Bilangan Daya Perbandingan Koefisien Perbandingan
Jenis kayu/ Total
serat Runkel tenun Muhlsteph Kekakuan Fleksibilitas
Wood species skor
(Fiber (Runkel (Felting (Muhlsteph (Rigidity (Flexibility
(Class/
length) ratio) power) ratio) coeffisien) ratio)
Total
Score)
II
A.. cadamba 50 75 50 75 75 75 (400)
I
O. sumatrana 50 100 50 100 100 100 (500)
I
M. hypoleuca 50 100 50 100 100 100 (500)
I
M. pruinosa 75 100 50 75 100 100 (500)
II
M. tanarius 50 75 50 75 75 75 (400)
II
M. conifera 50 75 50 75 75 75 (400)
II
M. gigantea 50 75 50 75 100 75 (425)
Keterangan (Remarks) :
*) Semakin tinggi nilai skor, maka semakin baik kualitas serat untuk pulp/kertas (The
higher the scores, then the better the qualities of fibers for pulp/paper)

10
Jumlah nilai panjang serat dengan nilai turunan dimensi serat menghasilkan

nilai kualitas serat untuk ketujuh jenis kayu tersebut berdasarkan Tabel 4 di atas,

menurut klasifikasi dari Anonim (1976) termasuk kedalam kelas I dan II. Nilai untuk

kelas I yaitu 500, diperoleh berturut-turut oleh jenis Octomeles sumatrana,

Macaranga hypoleuca dan Macaranga pruinosa. Sedangkan untuk kelas kualitas

serat kelas II diperoleh jenis Anthocephalus cadamba, Macaranga tanarius,

Macaranga conifera dan Macaranga gigantea dengan nilai kualitas serat berturut-

turut adalah: 400, 400, 400 dan 425. Dari data tersebut maka ketujuh jenis kayu

alternatif dapat diinformasikan mempunyai potensi untuk menghasilkan pulp yang

baik.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Nilai hasil pengukuran panjang serat dari ketujuh jenis kayu alternatif

penghasil serat diperoleh bahwa jenis Macaranga pruinosa termasuk kelas

serat panjang yaitu 1.607 mikron. Sedangkan yang termasuk kelas medium

diperoleh jenis Macaranga conifera dengan panjang serat sebesar 1.053

mikron.

2. Nilai turunan dimensi dan panjang serat ketujuh jenis kayu tersebut

menempatkan jenis Octomeles sumatrana, Macaranga hypoleuca dan

Macaranga pruinosa termasuk kelas kualitas serat I sedangkan jenis

Macaranga gigantea, Macaranga tanarius, Macaranga conifera dan

Anthocephalus cadamba termasuk kelas kualitas serat II.

3. Berdasarkan nilai turunan dimensi dan panjang serat, semua jenis kayu yang

diteliti dapat digunakan sebagai kayu alternatif dalam pembuatan pulp.

11
B. SARAN

Ketujuh jenis kayu ini memiliki kesesuaian untuk digunakan sebagai bahan

baku pulp dan kertas berdasarkan panjang serat dan nilai turunan dimensi serat.

Namun masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai sifat fisik dan kimia

ketujuh jenis kayu alternatif tersebut sebelum dilakukan pengembangan lebih lanjut,

karena penentuan kualitas serat kayu untuk bahan baku pulp juga ditentukan oleh

karakteristik lain sifat dasar kayu (sifat fisik dan sifat kimia) dan kondisi pengolahan

pulp/kertas.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1976. Vademecum Kehutanan Indonesia. Departemen Pertanian. Direktorat


Jenderal Kehutanan. Jakarta.

Anonim. 2006. Teknik Silvikultur Hutan Tanaman Industri, Desember 2006. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan, Bogor

Nurrahman, A dan T. Silitonga.1972. Dimensi Serat Beberapa Jenis Kayu Sumatera


Selatan. Laporan No.2, LPHH, Bogor.

Pasaribu, R.A dan A.P.Tampubolon. 2007. Status Teknologi Pemanfaatan Serat Kayu
Untuk Bahan Baku Pulp. Workshop Sosialisasi Program dan Kegiatan
BPHPS Guna Mendukung Kebutuhan Riset Hutan Tanaman Kayu Pulp
dan Jejaring Kerja. (Tidak dipublikasikan).

Rulliati, S. dan M. Lempang. 2004. Sifat anatomi dan fisis kayu jati dari Muna dan
Kendari Selatan. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Vol. 22 No. 4 : 231 – 237.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Bogor.

Silitonga, T., R. Siagian dan A. Nurrachman. 1972. Cara pengukuran serat kayu di
Lembaga Penelitian Hasil Hutan (LPHH). Publikasi Khusus No.12.
Agustus, 1972. LPHH. Bogor.

12
Syafii, W dan I.Z. Siregar. 2006. Sifat kimia dan dimensi serat kayu mangium (Acacia
mangium Willd.) dari tiga provenans. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu
Tropis. Vol. 4. No.1 : 29-32. Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia
Lampiran1. Klasifikasi panjang serat Menurut IAWA 1)2)
Appendix 1. Classification of fiber length according to IAWA 1)2)

Kelas Sub kelas Selang panjang serat


(Class) (Sub class) (Interval of fiber length, µ)
Pendek (Short) Teramat pendek 0 – 500
(Extremely very short)
Sangat pendek 500 – 700
(Very short)
Cukup pendek 700 - 900
(Fairly short)
Sedang (Medium) 900 - 1600
Panjang (Long) Cukup panjang 1.600 – 2.200
(Fairly long)
Sangat panjang 2.200 – 3.000
(Very long)
Teramat panjang > 3.000
(Extremely very long)
Keterangan (Remarks) :
1)
IAWA : International Association of Wood Anatomy 1932 dalam (in) Anonim,
1976
2)
Anonim (1932) dalam (in) Nurrachman dan Silitonga (1972)
µ = mikron (microns ) = 10-3 mm = 10-6 m

13
14
Lampiran 2. Persyaratan dan nilai serat kayu sebagai bahan baku pulp
Appendix 2. Requirement and wood fiber score as raw material for pulp

Persyaratan Kelas (Class) I Kelas (Class) II Kelas (Class) III Kelas (Class) IV
(Requirement) Syarat Nilai Syarat Nilai Syarat Nilai Syarat Nilai
(Requirement) (Score) (Requirement) (Score) (Requirement) (Score) (Requirement) (Score)
Panjang serat (Fiber length) 2.200µ 100 1.600 - 2.200µ 75 900 – 1.600µ 50 900µ 25
Bilangan Runkel (Runkel
ratio) 0,25 100 0,25 - 0,50 75 0,50 - 1,00 50 1,0 25
Daya tenun (Felting power) 90 100 70 - 90 75 40 - 70 50 40 25
Perbandingan Muhlsteph 30% 100 30 - 60% 75 60 - 80% 50 80% 25
(Muhlsteph ratio), %
Perbandingan fleksibilitas 0,80 100 0,60 - 0,80 75 0,40 - 0,60 50 0,40 25
(Flexibility ratio)
Koefisien kekakuan (Rigidity 0,10 100 0,10 – 0,15 75 0,15 - 0,20 50 0,20 25
coeffisien)
Jumlah Nilai 600 450 300 150
(Total score) (451 – 600) (301 – 450) (151 – 300) ( 150 )
Sumber (Source) : Anonim (1976)

15

View publication stats

You might also like