You are on page 1of 12

Drama Politik dalam Ingatan dan Visualisasi Seorang Pelukis

Kajian Kritis Terhadap Trilogi Lukisan Karya Djokopekik


255

Drama Politik dalam Ingatan dan


Visualisasi Seorang Pelukis
Kajian Kritis Terhadap Trilogi Lukisan Karya Djokopekik
Suwarno Wisetrotomo1, Pradani Ratna Pramastuti2
Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta
1,2

Jalan Suryodiningratan 8, Yogyakarta


Tlp: 0811251037
Email: 1suwarno.wisetrotomo@gmail.com; 2pradaniratna@gmail.com

ABSTRACT

Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia in 1965 was a political tragedy that became a dark part
of Indonesian history, it left trauma for many Indonesian people. Artists are not exceptions, a number
of them were accused communist due to their involvement in artists’ studios, or Lembaga Kebudajaan
Rakjat (LEKRA). Their members were hunted, arrested and put behind bars. One of them was Djokopekik,
who used to be active in Sanggar Bumi Tarung. He left Yogyakarta to Jakarta but was finally arrested and
jailed in Vredeburgh Fortress and Wirogunan Prison. His works were exhibited in Indonesian Cultural
Exhibition in the United States (KIAS 1990/1991). His work covered humanity and justice issues. His
three paintings (Trilogi) have a long naration about himself: Lintang Kemukus (2003), Sirkus September
(2016), and Indonesia Berburu Celeng (2009) which become the focus of this research. The approach
used in this research is cultural and media study, with a descriptive method. Djokopekik works can be
considered a way to heal from the political violence and trauma.

Keywords: political drama, trauma healing, KIAS exhibition, New Ord

ABSTRAK

Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia 1965 merupakan tragedi politik sejarah gelap
bangsa Indonesia, yang masih menyisakan pengalaman traumatis pada sebagian warga bangsa.
Tak terkecuali, kalangan seniman, banyak yang terseret, karena keterlibatannya di sanggar
seni atau Lembaga Kebudajaan Rakjat (LEKRA). Mereka yang terlibat diburu, ditangkap, dan
dipenjara. Salah seorang di antaranya adalah Djokopekik, pernah aktif di Sanggar Bumi Tarung.
Ia berupaya lari dari Yogyakarta ke Jakarta, dan akhirnya tertangkap, kemudian dipenjara di
Benteng Vredeburgh dan Wirogunan. Djokopekik menuai sukses setelah karyanya dipamerkan
pada Pameran Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat (KIAS, 1990/1991). Tema karyanya
sekitar persoalan kemanusiaan dan keadilan. Tiga karya (trilogi) memiliki narasi panjang terkait
dirinya adalah Lintang Kemukus (2003), Sirkus September (2016), dan Indonesia Berburu Celeng
(2009) yang menjadi fokus penelitian ini. Metode menggunakan pendekatan kajian budaya dan
media, utamanya kajian kritis ekonomi politik, serta bersifat deskriptif. Karya-karya Djokopekik
dapat dimaknai sebagai penyembuhan (healing) dari trauma kekerasan politik.

Kata kunci: drama politik, penyembuhan trauma, pameran KIAS, kajian budaya, Orde Baru

Jurnal Panggung V32/N2/06/2022


Suwarno Wisetrotomo, Pradani Ratna Pramastuti
256
PENDAHULUAN 30 September atau G30S/PKI. Sanggar Bumi
Jika karya seni dilahirkan bukan dari Tarung didirikan pada tahun 1961 oleh
ruang hampa, maka hal ini menunjukkan, sejumlah pelukis. Nama Bumi Tarung “adalah
bahwa karya seni selalu bertolak dari sandi bagi komitmen untuk membela kaum
“sesuatu” (ide, pesan, ekspresi jiwa, atau BUruh dan TAni” (Wardaya, 2013, hlm. 24).
apapun namanya), bisa kecil, remeh- Begitu PKI dinyatakan sebagai partai
temeh, atau besar dan penting, yang ingin terlarang maka siapa pun yang terlibat di
dikomunikasikan kepada orang lain. Seperti dalamnya, atau organisasi lainnya dengan
apa pun skala dan kualitas “sesuatu” ideologi yang sama, apa pun perannya, diburu,
yang menjadi pemicu, tetap merupakan ditangkap, dan dipenjara oleh aparatus
penentu kualitas karya seni yang digubah. negara (tentara). Djokopekik ditangkap
“Sesuatu” merupakan sumber ide, spirit, pada 8 November 1965, tidak mengalami
dan pusat orientasi kekaryaannya, sekaligus penjara Pulau Buru, tetapi hanya di wilayah
sumber energi seniman. Hasrat seniman Yogyakarta; di ruang tahahan sementara
untuk mengabadikan, mengekspresikan, Benteng Vredeburgh dan akhirnya di penjara
dan mengomunikasikan “sesuatu” yang Wirogunan. Djokopekik dipenjara selama 7
“disimpan” dalam karyanya itulah maka, ia (tujuh) tahun, kemudian dibebaskan, kembali
terus berkarya untuk menyuarakan pesan berkumpul dengan keluarganya, dan terus
tersembunyi. Ketika karya sudah berada melukis (Wardaya, 2022, hlm. 147 dan 2013,
di ruang publik, berikutnya adalah tugas hlm. 27).
penonton untuk menelusuri, menemukan, Sebagai bekas tahanan politik, tidak
atau memaknai pesan yang tersembunyi itu. mudah bagi Djokopekik untuk leluasa
Salah seorang pelukis yang penuh ide menikmati kebebasan itu, terutama aspek
dan energi untuk melukis adalah Djokopekik kehidupan sosial dan ekonomi. Secara
(lahir 1937). Energinya didapatkan dari sosial, sejak dibebaskan pada tahun 1972 – ia
pengalaman trauma masa lalu, ketika mengalami semacam pengucilan, karena tidak
ia menjadi tahanan politik tanpa proses setiap orang berani secara terbuka bergaul
pengadilan (Wawancara dengan Djokopekik, dengannya. Di alam bebas pun, seperti dicatat
7 September 2021). Penyebabnya adalah ketika oleh sejarawan Baskara T Wardaya (2013,
ia tergabung dalam Sanggar Bumi Tarung, hlm. 27-28) “…ia tetap diperlakukan seperti
yang ditengarai para eksponennya adalah orang tahanan. Hak-hak politiknya dicabut.
para pelukis yang memiliki afiliasi dengan Kartu tanda pengenalnya diberi kode khusus
Lembaga Kebudajaan Rakjat (LEKRA) pada bahwa dia adalah mantan tahanan politik –
1950-1965, organisasi kebudayaan di bawah yang anehnya justru lebih ditakuti masyarakat
naungan (underbow) Partai Komunis Indonesia daripada mantan tahanan kriminal”. Hal itu
(PKI), yang akhirnya menjadi partai terlarang, terjadi akibat dari kebijakan politik era Orde
menyusul peristiwa pembunuhan 6 (enam) Baru yang disebut “bersih lingkungan”, yakni
orang jenderal, yang populer disebut Gerakan melacak genealogi dan jejaring pergaulan

Jurnal Panggung V32/N2/06/2022


Drama Politik dalam Ingatan dan Visualisasi Seorang Pelukis
Kajian Kritis Terhadap Trilogi Lukisan Karya Djokopekik
257
seseorang, apalagi bagi Pegawai Negeri Sipil seorang istri dan delapan anak dijalani dengan
(PNS) atau pegawai Badan Usaha Milik Negara tidak mudah.
(BUMN). Maksudnya, jika seseorang adalah Seperti sudah disebutkan, semangat
aparatus negara, baik PNS, BUMN, anggota Djokopekik untuk melukis tidak pernah
Tentara Nasional Indonesia (dulu disebut surut, bahkan tidak pernah berhenti. Dengan
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ berbagai cara, misalnya menggunakan sisa-sisa
ABRI), maka harus bersih dari anasir partai cat minyak yang disumbangkan oleh maestro
terlarang PKI. Kebijakan politik semacam dan seniornya, pelukis Affandi, ia dapat
ini menimbulkan diskriminasi sosial-politik- melukis, dengan segenap keteguhan. Ia tetap
ekonomi yang memiliki dampak luar biasa, fokus pada tema-tema manusia, kemanusiaan,
tidak saja bagi yang terkena langsung, tetapi kesenjangan sosial, dan komentar kritis pada
bahkan mengenai keluarganya dan orang- situasi sosial politik (social-politically correct) di
orang dekatnya. Indonesia. Karya-karya Djokopekik pada era
Di tengah kehidupan yang sulit itu, ini (1960-1990-an) berkisar pada pengamatan
Djokopekik terus melukis. Untuk menghidupi dan penghayatan pada kehidupan diri dan
keluarganya, ia membuka jasa sebagai keluarganya, juga realitas di sekitarnya.
penjahit busana, utamanya untuk laki-laki, Titik balik kehidupan Djokopekik
dengan merek usaha LOGRO terletak di adalah ketika peristiwa Pameran Kebudayaan
Jalan Wirobrajan, Yogyakarta, sekaligus Indonesia di Amerika Serikat (KIAS) pada
menjadi studio untuk melukis. Dengan 1990-1991. Salah satu agendanya adalah
menggunakan motor jenis skuter (Vespa), pameran seni rupa, yang dikuratori oleh
Djokopekik membeli bahan lurik produksi Joseph Fisher dan Astri Wright sebagai ko-
para perajin di daerah Cawas, Klaten, Jawa kurator, dan Soedarso Sp, sebagai kurator
Tengah, yang menggunakan ATBM (Alat Indonesia. Dalam proses pemilihan seniman,
Tenun Bukan Mesin). Usaha menjahit itu sempat terjadi ketegangan, karena pada
pun, hanya melayani sedikit orang, terutama suatu waktu diskusi yang diselenggarakan di
kawan-kawan dekatnya yang “berani” tetap Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Yogyakarta,
berkunjung, menemui, dan mengobrol seniman Bagong Kussudiardja menolak
dengannya. Mengapa harus dikatakan seniman-seniman (pelukis) LEKRA dalam
“berani”, karena hingga pada 1990-an, situasi pameran itu. Pendapat itu yang didukung oleh
traumatis dan doktrin “bersih lingkungan” pelukis Nyoman Gunarsa dan Amri Yahya,
masih melekat pada setiap orang. Djokopekik arahnya jelas, menolak nama-nama seperti
sangat menyadari situasi semacam itu, Djokopekik, Lian Sahar (yang belakangan
sekaligus tidak dapat melakukan apa pun memprotes, karena dirinya sudah dinyatakan
untuk, misalnya, melakukan perlawanan terbebas dari LEKRA).
kultural, sosial, apalagi politik, melalui Atas penolakan itu, kemudian terjadi
pergaulan dan komunikasi dengan orang lain polemik pro-kontra yang panas. Kurator
secara leluasa. Kehidupan Djokopekik dengan dan ko-kurator (Joseph Fisher dan Astri

Jurnal Panggung V32/N2/06/2022


Suwarno Wisetrotomo, Pradani Ratna Pramastuti
258
Wright) menolak pendapat penentangan itu. Identitasnya sebagai eks tapol (tahanan
Bagi Astri Wright, seniman-seniman yang politik) semakin sering ia ceritakan. Karya-
ditolak oleh beberapa pelukis itu, karya- karya lukisannya semakin tajam mengolah
karyanya justru sangat kuat dan penting tema-tema manusia, kemanusian, termasuk
dalam konteks seni lukis Indonesia modern isu-isu sosial politik (Djokopekik, 2013, hlm.
dan kontemporer. Polemik berakhir setelah 2022).
Mochtar Kusumaatmadja, mantan Menteri Melukis bagi Djokopekik merupakan
Luar Negeri era Orde Baru, yang menjabat upaya melawan lupa terhadap ketidakadilan
sebagai Ketua Pelaksana KIAS mengatakan, kemanusiaan, upaya keluar dari trauma
“yang penting karyanya, bukan pelukisnya”. politik, dan sekaligus cara untuk berdamai
Alhasil, pelukis Djokopekik, Lian Sahar, dengan masa lalu tanpa kehilangan sikap serta
termasuk Affandi, S. Sudjojono, Hendra pandangan kritisnya. Tiga karya berjudul
Gunawan tetap menjadi peserta pameran. Lintang Kemukus, Sirkus September, dan
Dalam buku yang diterbitkan oleh Panitia Indonesia Berburu Celeng, merupakan karya
KIAS, karya Sudjana Kerton dan Djokopekik, yang mengolah “drama politik” dan dapat
dibahas secara mendalam oleh Astri Wright. dikategorikan sebagai catatan kritis terhadap
Pascapameran KIAS, Djokopekik ketidakadilan kemanusiaan.
menjadi pusat perhatian para kritikus, Karya Lintang Kemukus menggambarkan
penyelenggara pameran, dan karyanya situasi dan kondisi Djokopekik pasca PKI
mendapatkan apresiasi pasar. Karya-karya dinyatakan sebagai partai terlarang, dan
Djokopekik diburu oleh kolektor, pedagang ia menghindari penangkapan dari aparat
seni (art dealer), dan dipamerkan di berbagai militer. Ia lari ke Jakarta, tidur dari kolong ke
kota di Indonesia. Sejak 1990an, Djokopekik kolong, dan dari atap terbuka yang satu ke
menjadi seorang bintang cemerlang dalam lainnya. Pada suatu malam ia menyaksikan
jagad seni rupa Indonesia (Fischer [ed], di langit dini hari, lintang kemukus (komet
1990; Edwin’s Gallery, 1990; Taman Budaya berekor asap). Sebagai orang Jawa, ia paham
Surakarta, 1993; Four Seasons Hotel, 1995, dan tentang firasat alam seperti itu, yakni bakal
lain-lain). terjadi bencana besar. Ia juga menyadari
Kekuasaan Presiden Soeharto dipaksa bahwa dirinya tidak mungkin luput dari
berakhir oleh gerakan reformasi pada 1998, penangkapan aparat. Benar, pada 8 November
Orde Baru juga tumbang setelah menguasai 1965 ia ditangkap, dibawa ke Yogyakarta, dan
politik Indonesia selama lebih kurang 32 dijebloskan ke dalam penjara tanpa melalui
tahun. Seiring tumbangnya Orde Baru, proses pengadilan (Wawancara Djokopekik, 7
terjadi kelonggaran situasi politik, salah September 2021).
satunya tercipta kebebasan bersuara dan Lukisan Sirkus September
berekspresi, termasuk ekspresi seni. Situasi menggambarkan panggung sirkus, penuh
semakin terbuka, Djokopekik pun semakin penonton. Pada panggung, dua binatang
berani memunculkan diri di tengah publik. badak – sejenis binatang yang tidak lazim,

Jurnal Panggung V32/N2/06/2022


Drama Politik dalam Ingatan dan Visualisasi Seorang Pelukis
Kajian Kritis Terhadap Trilogi Lukisan Karya Djokopekik
259
bahkan tidak pernah ada dalam dunia sirkus dengan ingatan kolektif masyarakat terkait
sesungguhnya – tengah diadu, dikelilingi oleh dengan wujud karya dan upaya melawan lupa
para badut sirkus. Para badut ini bermuka serta trauma.
riang, mengenakan sepatu lars, membawa
cemeti. Pilihan binatang badak merupakan Pendekatan
metafora yang tajam, mengingat kata badak Penelitian ini menggunakan pendekatan
juga sering digunakan untuk menstigma kualitatif, dengan analisis deskriptif kritis.
perilaku atau perangai buruk manusia. Penelitian ini berbasis pada tiga lukisan karya
Demikian pun kata “badut” juga dapat Djokopekik. Seturut pendekatan penelitian
bermakna konotatif, sebagai orang-orang Fani Dila Sari dan Beni Andika (2020, hlm.
yang hanya melucu dan dangkal. Pilihan 427) yang bertumpu pada Creswell (2010,
diksi judul Sirkus September dapat dipahami hlm. 26) dan Jaeni (2015, hlm. 15) bahwa
sebagai kode peristiwa dan waktu traumatis dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah
bagi Djokopekik, yang juga menjadi ingatan instrumen kunci yang mengumpulkan
kolektif masyarakat Indonesia, bahkan dunia. sendiri data melalui dokumentasi, observasi,
Karya ini secara kuat mengundang untuk dan wawancara serta karya seni menjadi ibu
diteliti melalui pendekatan kajian kritis dari penemuan. Penelitian ini menggunakan
ekonomi politik. metode wawancara mendalam dengan
Lukisan Indonesia Berburu Celeng, Djokopekik, observasi dan pengamatan
menggambarkan situasi riuh penangkapan langsung pada tiga lukisan di studio Plataran
celeng super besar dan gemuk, yang dapat Djokopekik, Bantul, Yogyakarta.
dibaca sebagai penggambaran kekacauan
politik tumbangnya Orde Baru pada 1998. Objek Penelitian
Celeng besar yang tertangkap, dipikul, dan Tiga karya lukisan Djokopekik, Lintang
dibawa di tengah kerumunan masan yang Kemukus (2003); Sirkus September (2016); dan
riang penuh sukacita perayaan. Indonesia Berburu Celeng (2009), yang saling
bertautan narasinya, terkait pengalaman
traumatis dan upaya penyembuhannya.
METODE Dengan metode ini diharapkan dapat;
Penelitian ini menggunakan metode 1) Efektif untuk menganalisis topik dan
penelitian deskriptif, sebagai upaya masalah penelitian; 2) Memungkinkan
menggambarkan objek atau subjek yang diteliti untuk mengamati secara saksama trilogi
secara mendalam, luas, dan terperinci. Dalam karya lukisan Djokopekik; 3) Mengungkap
hal penelitian ini, melakukan pengamatan, pertautan antara latar belakang sosio-politik
mendeskripsikan struktur tata bentuk dan dengan trilogi karya lukisan dan bagaimana
rupa pada lukisan, wawancara mendalam Djokopekik mengelola trauma sosial-politik
dengan pelukis Djokopekik, untuk melihat yang dialami; 4) Dapat menggunakan waktu
relasi antara ingatan personal Djokopekik secara efektif.

Jurnal Panggung V32/N2/06/2022


Suwarno Wisetrotomo, Pradani Ratna Pramastuti
260
HASIL DAN PEMBAHASAN sebagai rekaman sosio-politik secara visual;
Penelitian ini memasuki ranah dan kedua, upaya menyuarakan komentar
pendekatan kritis, bertolak dari tiga lukisan (kritik) sosial-politik pada praktik kekuasaan.
karya Djokopekik, yaitu Lintang Kemukus Karya Djokopekik, trilogi yang dijadikan fokus
(2003), Sirkus September (2016), dan Indonesia penelitian ini, secara visual dapat ditengarai
Berburu Celeng (2009) yang menjadi fokus merupakan konstruksi presentasional
penelitian ini. Pada dasarnya, praktik seni menjadi simbol-simbol yang dimuati pesan-
hampir selalu berhimpitan dengan situasi pesan kritis. Seperti diurai oleh Yuliansyah
sosial-politik. Akibatnya, bagi seniman yang (2018, hlm. 193), ketika presentasional
kritis, menjadikan karya seninya berwatak dilekatkan dengan simbol menjadi simbol
dan bermuatan politis. Dalam seni lukis, presentasional, maka simbol presentasional
dapat disebut sejumlah contoh karya yang tidak lagi dipahami sebagai bentuk parsial
berwatak politis, antara lain; Penangkapan dan makna yang setengah-setengah atau
Pangeran Diponegoro (1857) oleh Raden Saleh sepotong-sepotong. Dalam kaitan itu maka,
Sjarief Boestaman; Boeng Ajo Boeng (1945) karya trilogi Djokopekik dapat ditelisik lebih
lukisan poster oleh Affandi berkolaborasi jauh dalam konteks semacam itu.
dengan pelukis Dullah sebagai model dan Djokopekik menjadi bagian tak
penyair Chairil Anwar sebagai penulis teks; terpisahkan pada peristiwa penghancuran
Dunia Anjing (1965) oleh Agus Djaja; Ada paham komunisme oleh rezim Orde Baru
Orkes (1970) oleh S. Sudjojono; dan karya berikut kekerasan politik yang dirancang
trilogi Lintang Kemukus, Sirkus September, dan secara sistematis dan masif melalui agen
Indonesia Berburu Celeng oleh Djokopekik. kebudayaan (Herlambang, 2014, hlm. 5). Pasca
Pada ketiga karya Djokopekik itu dapat 1965, terjadi pergeseran estetik dan praktik
disaksikan sepenggal drama sosio-politik seni di Indonesia, dan pelan-pelan komitmen
Indonesia. Cara pandang dan cara baca (kajian) sosial sebagai tema pada karya seni rupa
kritis terhadap karya-karya sejenis itu penting hilang dari praktik seni dan ruang perdebatan
dilakukan, untuk melihat pertautan antara estetika seni di Indonesia (Miklouho-Maklai,
latar belakang sosial, politik, dan trauma- 1991 atau 1998 dalam edisi Bahasa Indonesia).
trauma yang melekat pada diri pelukis. Perkecualian pada Djokopekik, karena ia
Selain itu juga, bagaimana ia menghadirkan tetap konsisten dengan tema kritis sekitar
kembali ingatan itu sebagai bentuk melawan ketidakadilan dan kemanusiaan.
lupa, upaya berdamai dengan masa lalu, atau Namun sesungguhnya praktik seni yang
dihasratkan sebagai komentar/kritik sosial- kritis dalam memberikan respons terhadap
poltik. praktik politik terus dilakukan, misalnya
Karya lukisan yang dimuati pesan kritis ditunjukkan oleh Sibarani melalui karya
semacam itu, pada umumnya memiliki aspek, karikaturnya (Sibarani, 2001). Dalam beberapa
pertama, penyembuhan diri (selft healing) aspek dan unsur, karya lukisan Djokopekik,
terhadap trauma, dan lebih jauh dapat dilihat utamanya dalam trilogi ini menghadirkan

Jurnal Panggung V32/N2/06/2022


Drama Politik dalam Ingatan dan Visualisasi Seorang Pelukis
Kajian Kritis Terhadap Trilogi Lukisan Karya Djokopekik
261
citra karikatural secara getir. Bagaimana kritik karena siapa pun yang ditengarai berafiliasi
pada kekuasaan disampaikan, seniman selalu dengan PKI – dalam posisi apa pun – menjadi
memiliki cara ungkap yang tepat, antara target penangkapan.
lain melalui kartun, karikatur, monumen, Tidak terkecuali Djokopekik dan kawan-
dan karya sastra (Anderson; penerjemah: kawannya aktivis Sanggar Bumi Tarung,
Revianto Budi Santoso, 2000). Dalam konteks menjadi sasaran aparat pemerintah untuk
penelitian ini melihat lukisan trilogi tidak ditangkap, atau diburu, dan dijebloskan
dapat dipisahkan dari sosok Djokopekik ke dalam penjara. Djokopekik berupaya
sebagai pelukisnya yang sekaligus berada menghindari penangkapan itu, melarikan diri
dalam kemelut drama politik di sekitar 1965 ke Jakarta. Di Jakarta, ia hidup dari satu tempat
yang mengakibatkan dirinya menjadi tahanan ke tempat yang lain, dari atap bangunan yang
politik, dengan sejumlah trauma kekerasan satu ke atap bangunan yang lain. Meskipun
fisik maupun verbal yang dilakukan oleh dalam hati kecil Djokopekik merasa, bahwa
aparatus negara, terutama aparat keamanan pada saatnya ia akan tertangkap. Hanya saja,
(militer). tidak terbayangkan, bagaimana dan seperti
Djokopekik adalah seorang pelukis apa nasibnya setelah ditangkap; di penjara di
penting karena kekuatan karya-karyanya mana, bahkan hidup atau mati sepenuhnya
yang mengolah tema-tema kemanusiaan, berada di tangan aparatus negara.
komentar kritis terhadap situasi sosial dan Djokopekik tertangkap, dibawa ke
praktik politik, serta kekuasaan. Dilahirkan Yogyakarta, dan mulai 8 November 1965 mulai
di Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah, pada ditahan di sejumlah tempat di Yogyakarta,
2 Januari 1937. Pada 1958 memulai meniti selama 7 (tujuh) tahun. Pada 1972 Djokopekik
karier sebagai pelukis dengan masuk kuliah dibebaskan. Meski kondisi sebenarnya ia tidak
di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) lagi memiliki hak-hak politik, bahkan di kartu
Yogyakarta. tanda penduduk diberi tanda khusus dengan
Pada 1961, Djokopekik dan sejumlah kode ET, maksudnya eks tahanan politik (eks
pelukis muda lainnya, mendirikan Sanggar tapol). Kondisi itulah yang membatasi ruang
Bumi Tarung, sanggar yang mengakomodasi geraknya.
para pelukis, yang diduga berafiliasi pada Djokopekik dengan segala
Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Pada keterbatasannya terus melukis, sambil
30 September 1965 (atau dini hari 1 Oktober membuka jasa menjahit pesanan pakaian
1965) terjadi peristiwa berdarah, pembunuhan pria, terutama dari bahan tenun. Bahan-
keji 7 (tujuh) petinggi militer. Setelah peristiwa bahan tenun diambil dari industri rumahan
itu, pemerintahan Orde Baru menyatakan PKI para perajin tenun ATBM (Alat Tenun Bukan
sebagai partai terlarang. Pasca-pernyataan Mesin) dari daerah Cawas, Klaten, Jawa
itulah, maka babak baru kehidupan sosial- Tengah. Di sela menerima pesanan menjahit
politik di Indonesia dimulai dengan penuh pakaian, Djokopekik terus melukis.
ketegangan, kecemasan, dan kekerasan, Tema-tema lukisannya masih konsisten

Jurnal Panggung V32/N2/06/2022


Suwarno Wisetrotomo, Pradani Ratna Pramastuti
262
di sekitar manusia, kemanusiaan, dan
drama-drama di sekitarnya. Misalnya ia
melukis sosok-sosok ringkih para penebang
kayu (lukisan Penebang Kayu, 1978), melukis
para pencari pasir (Pencari Pasir, 1986),
melukis para perempuan renta buruh yang
melewati perbukitan (Bukit Parangtritis, 1988),
atau lukisan tentang kerumunan rakyat
penumpang kereta yang berjubel (Keretaku Tak
Berhenti Lama, 1989).
Gambar 1. Lintang Kemukus
Pasca-pameran KIAS (1990/91), secara (Sumber: Djokopekik, 2003)

ekonomi dan sosial, Djokopekik mengalami


perubahan yang sangat signifikan karena biru muda terang, mengesankan citra bukit.

semakin banyak agenda pameran dan Ruang ketiga: tampak barisan tiga truk

semakin sering berada di ruang publik. yang mengangkut sosok-sosok orang secara

Tidak ada perubahan terkait tema-tema yang berjejal, di depannya satu mobil jip, kemudian

menarik perhatian untuk dilukis, yakni tetap paling depan dua kendaraan tank lengkap

di sekitar persoalan manusia lapis bawah yang dengan moncong peluru meriamnya. Semua

terpinggirkan secara sosial, ekonomi, dan kendaraan itu mengarah ke kanan bidang

kultural, serta komentar kritis pada kehidupan gambar, dalam warna cokelat gelap. Ruang

sosial, ekonomi, dan politik, khususnya keempat: hampir sama luasnya dengan luas

praktik kekuasaan. Secara terperinci narasi langit, dilukiskan kerumunan orang-orang,

ketiga karya seperti berikut ini. berjejal, semua dengan mata ditutup, sebagian
dengan kain hitam, sebagian lainnya dengan

Lukisan Lintang Kemukus (2003) kain merah. Pada bagian depan, terdapat

Lukisan Lintang Kemukus berukuran 115 x tiga sosok, di bagian tengah satu orang yang

140 cm menggunakan cat minyak pada kanvas. penutup kepalanya terbuka; pada kiri bidang

Bidang gambar terbagi dalam 4 (empat) ruang. gambar, dengan ikat kepala merah putih,

Ruang pertama: separuh bidang bagian atas, mata nanar melihat ke depan, mulut terbuka

melukiskan langit biru, penuh taburan bintang hingga tampak gigi putihnya, berkumis tebal.

dalam warna putih. Kemudian terdapat Warna ikat kepala ini sama dengan sosok yang

warna terang putih kebiruan, melengkung berada di tengah kerumunan berjejal itu. Lalu,

dari tengah ke kanan bidang gambar. Pada tepat di tengah, sosok dengan baju warna

bagian ujung tengah cahaya itu, Djokopekik merah, ikat kepala merah, mata mengarah ke

menorehkan tulisan tipis, “awal bencana bawah. Kemudian sosok keempat, perempuan

lintang kemukus 1965”. Ruang kedua: pada dengan baju warna merah, cantik, menatap

bidang tipis tengah dilukiskan cakrawala sendu, dengan anting dan bunga terselip di

berhimpitan antara warna biru gelap, dengan telinga kirinya.

Jurnal Panggung V32/N2/06/2022


Drama Politik dalam Ingatan dan Visualisasi Seorang Pelukis
Kajian Kritis Terhadap Trilogi Lukisan Karya Djokopekik
263
Adegan yang pekat dengan trauma. pelarian di Jakarta dalam upaya menghindari
Munculnya lintang kemukus (bintang atau penangkapan. Djokopekik mengenang
komet berekor) di langit, bagi sebagian situasi pelarian, dengan segenap kenangan
masyarakat, utamanya di Jawa, dipercaya traumatisnya, bayangan-bayangannya
sebagai pertanda akan terjadinya bencana tentang situasi yang gemuruh, kacau, penuh
besar, semacam pagebluk, situasi kalut penderitaan lahir batin, yang kelak menjadi
dalam skala besar. Djokopekik menyaksikan kenyataan, melalui lukisan yang sangat kuat.
fenomena lintang kemukus itu dari sebuah
atap bangunan bertingkat, di sebuah tempat Lukisan Sirkus September (2016)
di Jakarta, semasa pelarian. Sebagai orang Karya ini meskipun dilukis berjarak
Jawa, ia juga menangkap isyarat alam dengan 13 tahun kemudian dengan lukisan Lintang
pemahaman semacam itu. Sekaligus merasa, Kemukus (2003), secara tematik dapat dikatakan
tidak mungkin selamanya akan hidup dalam merupakan sambungan (sequel). Lukisan ini
pelarian. Cepat atau lambat ia pasti akan menyajikan situasi kacau yang diisyaratkan
tertangkap. oleh fenomena lintang kemukus dan sekaligus
Setelah pelarangan PKI, Sanggar Bumi yang dibayangkan oleh Djokopekik ketika
Tarung yang terletak di daerah Gampingan, berada dalam pelarian. Tentu saja rentang
Yogyakarta, terkena dampaknya, bubar, dan waktu 13 tahun itu sudah melahirkan karya-
para anggotanya ditangkap, dan sebagian karya lain dengan tema berbeda, meskipun
lainnya berupaya melarikan diri (maksudnya tetap mengolah tema sekitar manusia dan
sekadar lari dari kota Yogyakarta). Mereka kemanusiaan.
yang aktif di sanggar itu antara lain; Amrus Berbeda dengan lukisan Lintang
Natalsya, Misbach Tamrin, Ng. Sembiring, Isa Kemukus yang digubah pada 2016, berukuran
Hasanda, Kuslan Budiman, Sutopo, Adrianus 500 x 200 cm dengan cat minyak pada kanvas,
Gumelar, Sabri Djamal, Suharjiyo Pujanadi, menyajikan suasana pekat dan tegang,
Harmani, Haryatno, dan Djokopekik. Para lukisan Sirkus September, seperti tersurat pada
eksponen menyelenggarakan pameran judulnya dengan menggunakan kata “sirkus”,
lukisan yang pertama pada 1962 di Balai maka suasana yang dramatik dihadirkan
Budaya Jakarta, dengan mengusung tema secara metaforis. Kata “sirkus” diwujudkan
Nasionalisme versus Imperialisme (“50 Tahun menjadi pertunjukan sirkus pada sebuah
Sanggar Bumi Tarung: Revolusi Belum panggung besar – semacam stadion – yang
Selesai”, berdikarionline.com diunduh pada dipenuhi penonton. Di panggung besar itu
Selasa, 28 September 2021, pukul 15.56 WIB). tengah berlangsung pertunjukan sirkus;
Nama-nama aktivis Sanggar Bumi terdapat badut-badut pelatih binatang dan
Tarung, tak terkecuali Djokopekik, ditahan binatang yang berakrobat mempertunjukkan
oleh aparatus negara di berbagai tempat. kepintarannya.
Karya Lintang Kemukus merupakan “rekaman Namun pertunjukan badut dalam
ingatan” pengalaman Djokopekik dalam lukisan itu sungguh berbeda. Badut-badut

Jurnal Panggung V32/N2/06/2022


Suwarno Wisetrotomo, Pradani Ratna Pramastuti
264

Gambar 3. Lukisan Indonesia Berburu Celeng


Gambar 2. Sirkus September (Sumber: Djokopekik, 2009)
(Sumber: Dokumentasi Suwarno, 7 September 2021,
pukul: 10.00 - 11.30 WIB)
setelah selama 32 tahun berkuasa. Lukisan
itu menggunakan seragam mirip tentara. Indonesia Berburu Celeng, berukuran 500 x 200
Binatang yang di panggung juga bukan cm menggunakan cat minyak pada kanvas,
seperti biasanya dalam sirkus, tetapi badak, juga menghadirkan suasana riuh, seperti
yang sedang beradu kuat atau tepatnya parayaan dan dramatis.
diadu. Djokopekik menghadirkan ingatan Bidang gambar dibagi dalam tiga
traumatisnya dengan lebih mengendap, ruang. Ruang pertama, bagian atas, sangat
lebih berjarak, lebih menerima kenyataan sempit, suasana langit, putih dengan mega
secara kritis, kemudian digubah dengan keabu-abuan. Ruang kedua, dilukiskan jalan
pendekatan karikatural. Dalam lukisan ini, layang membentang dengan tiang-tiangnya
Djokopekik menempatkan dirinya sebagai berwarna hitam kokoh; dan dari kolong-
yang mengalami peristiwa dramatis tersebut, kolong jalan layang itu tampak bangunan
sekaligus memandang peristiwa tersebut, dan gedung-gedung tinggi menjulang. Rupanya
menilainya sebagai “sirkus”. bagian ini merupakan peneguhan tentang
bukti pembangunan fisik. Ruang ketiga,
Lukisan Indonesia Berburu Celeng (2009) lebih luas, sekitar 70% dari luas bidang
Seperti tertera dalam keterangan tahun gambar, dilukiskan keriuhan itu. Pada
pembuatan, lukisan ini diciptakan lebih dekat bagian bidang kiri, yang menjadi fokus
jaraknya dengan karya Lintang Kemukus (2003) lukisan ini, digambarkan dua orang yang
– jadi berjarak 6 (enam) tahun – tetapi dalam terbungkuk, memikul celeng berwarna hitam,
penelitian ini, saya posisikan pada sambungan sangat gemuk, diikat keempat kakinya dan
narasi (sequel) yang ketiga. Lukisan Indonesia tubuhnya pada sebatang bambu, dalam posisi
Berburu Celeng mengisyaratkan sebuah drama menggantung terbalik.
pasca-1965, dengan segenap kemelut sosial- Kerumunan yang sangat padat di
politiknya, yang jaraknya cukup jauh, yakni sekitarnya, tampak seperti menyambut
berakhirnya kekuasaan Orde Baru pada 1998 kedatangan celeng buruan ini dengan
yang ditandai dengan pernyataan mundurnya sukacita; para penari ledhek dengan busana
Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia, menor menari-nari, kerumunan orang di
Jurnal Panggung V32/N2/06/2022
Drama Politik dalam Ingatan dan Visualisasi Seorang Pelukis
Kajian Kritis Terhadap Trilogi Lukisan Karya Djokopekik
265
belakangnya juga larut dalam sukacita itu. Berburu Celeng, Djokopekik mewujudkan
Lukisan ini dengan sangat metaforis kisah dirinya, sekaligus pandangan sosial-
merupakan penggambaran situasi kacau pada politiknya, terhadap peristiwa yang menimpa
sepotong waktu tahun 1997/1998 dengan dirinya, dan bagaimana ia mengelolanya,
mundurnya Soeharto sebagai Presiden, hingga merasa terbebas dari masalah yang
sekaligus tumbangnya rezim Orde Baru. menjeratnya. Proses kreatif kepelukisannya
Celeng gemuk yang berhasil dijerat itu menjadi bukan berarti diri Djokopekik dapat melupakan
metafora yang kuat untuk menggambarkan luka-luka dan traumanya. Akan tetapi
ambruk dan berakhirnya kekuasaan. kehidupan dirinya mampu membebaskan
diri dari jeratan trauma yang menyakitkan,
dan mampu merasa lebih ringan batinnya,
SIMPULAN serta merasa berdamai dengan masa lalu.
Poses kreatif seorang pelukis sedemikian Kreativitas sebagai pelukis, sungguh mampu
erat dengan masa lalu kehidupan dirinya, mengembalikan dirinya memiliki kemampuan
baik yang terkait dengan kehidupan pribadi, merebut harkat kemanusiaannya yang sempat
yang bertautan dengan perkara sosial, politik, berada di titik terbawah kehidupannya.
beserta drama-dramanya. Sebagian peristiwa Djokopekik seorang pelukis yang
yang dramatis itu, pada umumnya mengendap mengalami perlakuan politik dengan segala
menjadi luka-luka batin yang traumatis akibatnya yang sangat pahit mampu melewati
sifatnya. Djokopekik memiliki pengalaman masa-masa sulit dengan perjuangan yang
mendapatkan perlakuan kekerasan secara tidak mudah. Meski berada dalam kondisi
fisik maupun batin, dan mampu mengelola tertekan secara sosial dan politik, namun ide-
trauma-traumanya itu menjadi energi yang ide yang mendasari penciptaan karya seninya
memunculkan kreativitas. tidak bergeser sedikit pun. Ketika mengalami
Penelitian ini mengungkap kehidupan titik balik situasi sosial-politik yang berakibat
seorang pelukis yang mampu mengelola pada kehidupan sosial dan hak-hak politiknya,
trauma-traumanya menjadi energi kreatif, Djokopekik tetap memelihara sikap kritisnya
salah satunya dengan sikap berdamai yang dituangkan dalam karya-karyanya.
dengan masa lalu, meyakini bahwa sing Penelitian ini juga menguak bagaimana rezim
uwis ya wis (yang sudah berlalu ya sudah), politik berkelindan dalam ide-ide kesenian
sambil mengenang kembali sebongkah seorang pelukis.
demi sebongkah penderitaan – fisik, verbal,
dan batin – yang dialaminya, kemudian
diungkapkan menjadi karya-karya lukisan ***
yang memiliki kekuatan visual dan pesan.
Pelukis yang dimaksud adalah Djokopekik.
Melalui trilogi lukisannya; Lintang
Kemukus, Sirkus September, dan Indonesia

Jurnal Panggung V32/N2/06/2022


Suwarno Wisetrotomo, Pradani Ratna Pramastuti
266
DAFTAR PUSTAKA Udasmoro, Wening. (2020). Gerak Kuasa –
Anderson, Benedict R. O’G. (2000). Kuasa- Politik Wacana, Identitas, dan Ruang/
Kata – Jelajah Budaya-Budaya Politik di Waktu dalam Bingkai Kajian Budaya dan
Indonesia. Diterjemahkan oleh Santoso, Media. Jakarta: Kepustakaan Populer
Revianto B. (1990). Language and Power – Gramedia (KPG).
Exploring Political Cultures in Indonesia. Wardaya, Baskara T. (2022). Sang Seniman dan
Yogyakarta: Mata Bangsa. Revolusi yang Belum Berakhir. Dalam
Creswell, J.W. (2010). Research Design Djokopekik, Berburu Celeng. Jakarta:
Qualitative, Quantitative and Mixed Gramedia Pustaka Utama.
Methods Approach (Third Edition), Wardaya, Baskara T. (2013). Mimpi Nan Tak
Penerjemah: Achmad Farwaid. Kunjung Mati. Dalam Djokopekik, Zaman
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Edan Kesurupan, Katalog Pameran
Djokopekik. (2013). Zaman Edan Kesurupan, Tunggal Lukisan Karya Djokopekik.
Jakarta: Galeri Nasional Indonesia Jakarta: Galeri Nasional Indonesia (10-
(diterbitkan dalam rangka Pameran 17 Oktober 2013).
Tunggal Lukisan karya Djokopekik, 10 Yuliansyah, Hendy (2018). Simbol Diskursif
– 17 Oktober 2013 di Galeri Nasional dan Presentasional dalam Iklan
Indonesia Jakarta). “Indonesia Milik Siapa?” Panggung: 28
Foulcher, Keith. (2020). Komitmen Sosial dalam (2), 19.
Sastra dan Seni – Sejarah Lekra 1950-1965.
Bandung: Pustaka Pias.
Fischer, Joseph (Editor). (1990). Modern
Indonesian Art – Three Generations of
Traditional and Change 1945 – 1990.
Jakarta and New York: Panitia
Pameran KIAS (1990-91) and Festival
of Indonesia.
Herlambang, Wijaya. (2014). Kekerasan Budaya
Pasca 1965 – Bagaimana Orde Baru
Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui
Sastra dan Film. Tangerang Selatan:
Marjin Kiri.
Jaeni. (2015). Metode Penelitian Seni. Bandung:
Sunan Ambu Press.
Miklauho-Maklai, Brita L. (1998). Menguak
Luka Masyarakat – Beberapa Aspek Seni
Rupa Kontemporer Indonesia Sejak 1966.
Diterjemahkan oleh Ajoeb, Joebaar.
(1991). Exposing Society’s Wounds – Some
Aspects of Contemporary Indonesian Art
Since 1966. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Sari, Feni Dila; Beni Andika. (2020). Pewarisan
Seni Rapa’I dabo’ih sebagai Reproduksi
Budaya di Perkampungan Bekas Evakuasi
Pascatsunami Aceh. Panggung: 30 (3),
427.
Sibarani, Augustin. (2001). Karikatur dan Politik,
Jakarta: kerjasama antara Institut Studi
Arus Informasi, Garba Budaya, dan
Media Lintas Inti Nusantara.

Jurnal Panggung V32/N2/06/2022

You might also like