You are on page 1of 14

Published by:

Volume 2 Number 2 2022


Jurusan Tasawuf dan
ISSN: 2775-8362 (Print)
Psikoterapi, Fakultas
2797-779X (Online)
Ushuluddin, Adab dan
Dakwah, UIN K.H.
Journal of Sufism and Psychotherapy Abdurrahman Wahid
Pekalongan

Konsep Tasawuf Menurut Imam Al-Ghazali


Adib ‘Aunillah Fasya
adib.aunillahfasya@uingusdur.ac.id
Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

Article History
Submitted: 28-10-2022; Reviewed: 15-11-2022; Approved: 25-11-2022
URL: http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/jousip/article/view/6723/
DOI: https://doi.org/10.28918/jousip.v2i2.6723

Abstract
This study aims to describe the concept of Sufism which was formulated by Imam al-Ghazali. In the
Islamic world, Imam al-Ghazali is known as one of the most influential figures in the development of the
world of Sufism. The method used in this research is qualitative with the type of library research (library
research). Data sources were taken from books, journals, articles and other related references. The results of
this study are the concept of Sufism from Imam Al-Ghazali which means sincerity to God and good
association with fellow human beings. Sufism contains two elements. First, human relationship with God
and human relationship. Second, the relationship is based on morality. Relationship with God is based on
sincerity (sincerity of intention), which is marked by eliminating self-interest from fulfilling God's
commands. Then, when human relations are based on social ethics, one thing that is done is to place the
interests of others above personal interests as long as these interests do not conflict with Sharia law. Because
according to Imam Al-Ghazali, anyone who deviates from the Shari'a is not a Sufi. If he claims to be a
Sufi, his claim is a lie. Imam al-Ghazali touched on three problems of Sufism, namely reclaiming the
discipline of Sufism from spiritual elements that are far unrelated to Islamic teachings so that Sufism is
ultimately in accordance with Islamic law, synthesizing moderation and balance between the values of fiqh
(shariah) and tasawuf which previously contradictory, and continues the previous contribution of succeeding
in establishing Sufism as a spiritual aspect of Islamic doctrine, where it is widely accepted by the Muslim
community. Al-Ghazal's concept and influence is widespread in Sunni Muslim communities in the Middle
East and in various countries including Indonesia.
Keywords : consept, tawawuf, al-ghazali.

Penelitian ini bertujuan untuk menjabarkan konsep tasawuf yang dirumuskan oleh Imam al-
Ghazali. Dalam dunia Islam, Imam al-Ghazali dikenal sebagai salah satu tokoh yang sangat
berpengaruh dalam perkembangan dunia tasawuf. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kualitatif dengan jenis studi kepustakaan (library research). Sumber data diambil
dari buku, jurnal, artikel, dan referensi lain yang berkaitan. Hasil dari penelitian ini adalah
konsep tasawuf dari Imam Al-Ghazali bermakna keikhlasan kepada Allah dan pergaulan
yang baik dengan sesama manusia. Tasawuf mengandung dua unsur. Pertama, hubungan
manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia. Kedua, hubungan itu didasarkan pada
moralitas. Hubungan dengan Allah didasarkan pada keikhlasan (ketulusan niat), yang
ditandai dengan meniadakan kepentingan diri dari pemenuhan perintah Allah. Kemudian,
ketika hubungan manusia didasarkan pada etika sosial maka salah satu yang dilakukan

Konsep Tasawuf Menurut Imam Ghazali… 153-166 (Adib Aunillah Fasya) |153
ISSN: 2775-8362 (Print) 2797-779X (Online)

Vol. 2 No. 2 November 2022

adalah menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi selama


kepentingan tersebut tidak bertentangan dengan hukum Syariah. Karena menurut Imam
Al-Ghazali, siapapun yang menyimpang dari syariat bukanlah seorang sufi. Jika dia
mengaku sebagai sufi, klaimnya adalah dusta. Imam al-Ghazali menyentuh tiga masalah
tasawuf, yakni merebut kembali disiplin tasawuf dari unsur-unsur spiritual yang jauh tidak
terkait dengan ajaran Islam sehingga tasawuf pada akhirnya sesuai dengan hukum Islam,
mensintesakan moderasi dan keseimbangan antara nilai-nilai fiqih (syariah) dan tasawuf
yang sebelumnya kontradiktif, dan melanjutkan kontribusi sebelumnya yakni berhasil
menetapkan tasawuf sebagai aspek spiritual doktrin Islam, di mana itu diterima secara luas
oleh komunitas Muslim. Konsep dan pengaruh al-Ghazal tersebar luas di komunitas
Muslim Sunni di Timur Tengah dan di berbagai negara termasuk Indonesia.
Kata Kunci : konsep, tasawuf, al-ghazali.

PENDAHULUAN
Baik cendekiawan klasik maupun modern berbeda pendapat tentang asal kata
tasawuf. Ketidaksepakatan ini telah menimbulkan banyak perbedaan, dan perbedaan ini
juga mempengaruhi definisi tasawuf itu sendiri. Ada beberapa pendapat berkaitan dengan
asal muasal tasawuf itu sendiri. Kata sufi diambil dari kata shafa' (jernih, bersih) atau shuf
(bulu domba). Pendapat ini benar, jika dilihat dari sisi makna yang dikandung tasawuf,
tetapi salah jika dilihat dari sisi akar-katanya. Meskipun kata sufi berdekatan secara makna
dengan kata shafa'-yang dikandung dalam diri seorang sufi-tetapi menurut kaidah bahasa
penisbatan kata sufi terhadap kata shafa' tidak tepat. Nisbat kata shafa' adalah shafa'i, bukan
sufi. Sedangkan nisbat kata shuf adalah shafawi, bukan sufi."
Tasawuf dipahami juga sebagai salah satu upaya manusia untuk mendekatkan diri
kepada sang pencipta Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Imam al-Junaidi mengartikan sebagai
upaya manusia untuk meninggalkan akhlak tercela dengan berupaya untuk selalu
mengerjakan akhlak-akhlak yag mulia. Tasawuf diartikan juga oleh Zakari al-Anshari
sebagai upaya untuk pembersihan jiwa, upaya memperbaiki budi pekerti, serta
penmbentukan lahir batin manusia untuk mencapai kebahagiaan abadi yang ia inginkan.
Jika ilmu fikih tujuannya adalah untuk memelihara amal, memelihara hokum syar’I, dan
menampakkan hikmah dari hokum tersebut maka tujuan dari tasawuf adalah untuk
memperbaiki hati dan memfokuskannya kepada Allah subhanahu wa ta’aalaa (Umar, 2014).
Nama tasawuf di Barat sudah dikenal luas, namun realitas di dunia Muslim justru
lebih menurun dari sebelumnya. Realitas tersebut tidak dapat ditemukan dalam berbagai
definisi, deskripsi, dan buku. Jika kita benar-benar ingin menemukan realitas tasawuf, kita
harus menyadari bahwa zaman kita sejak zaman 'Ali bin Ahmad Busyanjî ketika berbagai

154 | Konsep Tasawuf Menurut Imam Ghazali… 153-166 (Adib Aunillah Fasya)
ISSN: 2775-8362 (Print) 2797-779X (Online)

Vol. 2 No. 2 November 2022

fenomena yang dikenal sebagai "tasawuf" mulai mempengaruhi masyarakat Islam telah
menjadi sesuatu yang mustahil (Chittick, 2000)
Jika berbiacara tentang tasawuf tentu saja tidak bisa terlepas dari salah satu tokoh
yang sangat berpengaruh yaitu Imam al-Ghazali. Al-Ghazali dikenal sebagai orang yang
haus akan segala ilmu. Dia mencoba yang terbaik untuk mencapai keyakinan tertentu dan
mengetahui esensi dari segala sesuatu. Jadi dia kritis dan terkadang tidak percaya pada
keberadaan semua kebenaran (aksioma atau sangat mendasar). Tetapi pada akhirnya dia
bahkan tidak mempercayai kedua informasi ini (skeptis). Tidak puas dengan kalam dan
filsafat, ia meninggalkan kedudukannya yang tinggi di Madrasah Nizamiyah Bagdad pada
tahun 1095 dan pergi ke Damaskus untuk bertapa di salah satu menara Masjid Umawi.
Tasawuf-lah yang dapat menghilangkan keraguan yang telah lama menjangkitinya. Dalam
Sufisme dia menemukan keyakinan yang dia cari. (Hermawan, 2011).
Beberapa penelitian terdahulu yang telah membahas kajian tentang pemikiran tasawuf
Imam al-Ghazali antara lain pertama, penelitian yang mengkaji tentang Corak Tasawuf Al-
Ghazali. Penelitian tersebut menegaskan bahwa tidak ada yang membantah kebesaran al-
Ghazali. Magnum opusnya di bidang tasawuf, Ihya ‘Ulum al-Din, mendapat sambutan
meriah dan antusiasme dari publik Islam, sejak dulu hingga sekarang. Di tengah
kecenderungan menjauhkan tasawuf dari ajaran Islam, Imam al-Ghazali menghidangkan
tasawuf yang bertumpu pada al-Qur’an dan Hadits. Kitab Ihya ‘Ulum al-Din dipenuhi
dengan rujukan dan kutipan dalil-dalil normatif Islam. Etape-etape spiritual seperti zuhud,
ridha, tawakkal, dan lain-lain diberikan pendasaran Qur’anik dan Hadits. Dari sini tidak
keliru sekiranya dikatakan bahwa corak tasawuf al-Ghazali adalah khuluqi-‘amali dan bukan
falsafi. Dengan corak tasawuf ini, al-Ghazali diresepsi umat Islam secara luas hingga datang
Ibn Rusyd yang mengajukan sejumlah keberatan terhadap al-Ghazali. Namun, kritik orang-
orang seperti Ibn Rusyd tidak menggoyahkan kedudukan al-Ghazali di mata umat Islam.
Argumen-argumen yang disuguhkan al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulum al-Din terlalu kuat untuk
dipatahkan. Alih-alih patah, di tengah dunia kontemporer Islam yang disesaki dengan corak
dan ekspresi keberislaman yang keras dan tandus, pikiran-pikiran sufistik al-Ghazali seperti
menemukan relevansi dan signifikansi untuk hadir kembali. Ia menyuguhkan konsep cinta
(mahabbah), tauhid (monoteisme), makhafah (takut), dan ma’rifah (pengetahuan). Menurut al-
Ghazali, cinta kepada Allah harus diwujudkan dalam bentuk cinta kepada seluruh makhluk
Allah. Bahwa siapa yang menyayangi Allah dengan sendirinya menyayangi makhluk-

Konsep Tasawuf Menurut Imam Ghazali… 153-166 (Adib Aunillah Fasya) |155
ISSN: 2775-8362 (Print) 2797-779X (Online)

Vol. 2 No. 2 November 2022

makhluk ciptaan Allah. Dari konsep tauhid ini, lahir misalnya semangat untuk menyatu
dengan Allah dengan cara membersihkan diri dari dosa melalui medium, tidak mengikatkan
diri pada harta dunia (zuhd) karena khawatir terjauh dari Allah, menyerahkan segala urusan
kepada Allah (tawakkal), rela terhadap segala keputusan dan ketentuan Allah (ridha).
Tangga-tangga spiritual ini sekiranya dijalankan secara konsisten akan mengantarkan
seseorang pada derajat mengetahui Allah (ma’rifat Allah). Doktrin-doktrin spiritual seperti
ini akan tetap berguna. Di tengah masyarakat modern yang kerap merasa teralienasi, kitab
Ihya ‘Ulum al-Din seperti oase yang menyejukkan (Ghazali, 2013).
Kedua, penelitian yang mengkaji tentang pemikiran Tasawuf Al-Ghazali sebagai
Landasan Psikologi Pendidikan Islam. Penelitian tersebut menegaskan bahwa dalam
memberikan terapi atas gangguan Psikologi manusia, al-Ghazali menerapkan penanaman
nilai-nilai Ilahi kedalam jiwa manusia dengan cara mengendalikan hati seperti mengikis sifat
sombong, riya, dengki dan lain-lain dengan memenuhi nilai-nilai kebaikan seperti
membersihkan hati, Muraqabah, Muhasabah dan lain-lain. Berkaitan dengan potensi atau
bakat, al-Ghazali berpendapat bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan netral, tidak jahat
dan bahkan manusia membawa potensi kebaikan dalam dirinya. Dan potensi-potensi ini
adalah fitrah atau Latifah Ilahiyyah. Keluarga, lingkungan memiliki peran penting dalam
pembentukan manusia kepada derajat yang tinggi. Ketinggian derajat manusia bukan
ditentukan dari strata sosial nya namun lebih kepada nilai-nilai kejiwaan manusia dan untuk
mendapatkan nya dibutuhkan ilmu yang mampu mendekatkan diri kepada Allah. Untuk
menjaga keseimbangan sebuah tahapan dalam rangka mengaktualisasikan diri, menurut al-
Ghazali manusia membutuhkan sebuah metode terapi sufistik melalui Mujahadah,
Muraqabah dan Murabathah (Ghofur, 2020).
Ketiga, penelitian yang mengkaji tentang Pemikiran Tasawuf Imam Al-Ghazali dalam
Pendidikan Islam. Penelitian tersebut memaparkan bahwa Imam al-Ghazali sangat populer
di lingkungan umat Islam. Umat Islam amat jarang yang tidak mengenal tokoh ini. Sejumlah
kitab karya Imam al-Ghazali menjadi obyek kajian di berbagai lembaga pendidikan Islam,
mulai dari pesantren hingga perguruan tinggi Islam, baik di dalam maupun di luar negeri.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif termasuk penelitian tokoh. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui pemikiran tasawuf Imam al-Ghazali tentang pendidikan Islam.
Temuan penelitian ini adalah Imam al-Ghazali dilahirkan di suatu kampung kecil Ghazalah,
Kota Thus Propinsi Khurasan wilayah Persi (Iran) pada tahun 450 H/1058 M. Corak

156 | Konsep Tasawuf Menurut Imam Ghazali… 153-166 (Adib Aunillah Fasya)
ISSN: 2775-8362 (Print) 2797-779X (Online)

Vol. 2 No. 2 November 2022

pemikirannya adalah termasuk tasawuf sunni yang berdasarkan doktrin ahlu sunnah wal
jama’ah. Menurutnya, taubat adalah hal pertama yang harus dilalui oleh seorang salik,
dengan perkataan lain, tak ada salik yang tak melalui maqam taubat ini. Inilah yang disebut
sebagai fase takhalli.Yaitu mengosongkan diri dari dosa-dosa baik kepada Allah maupun
kepada sesama yang potensial mengotori hati seorang salik. Selesai menjalani fase takhalli,
setelah itu, salik memasuki fase tahalli, yaitu menghiasi diri dengan akhlak yang baik, bukan
hanya berakhlak baik kepada manusia melainkan juga kepada Allah. Salik harus menjalani
maqam-maqam berikutnya seperti maqam zuhud, sabar, syukr, tawakkal, dan ridha untuk
sampai pada fase tajalli. Beberapa doktrin pokok tasawuf Imam al-Ghazali, yaitu tauhid,
makhafah, mahabbah, dan ma’rifat. Dari ajaran-ajaran pokok ini lahir konsep taubah, shabr,
zuhud, tawakkal, dan ridla (Rosia, 2018).
Keempat, penelitian yang mengkaji tentang Corak dan Pengaruh Tasawuf Al-Ghazali
Dalam Islam dan Kristen. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa salah seorang tokoh
cendekiawan muslim yang berhasil mengkompromikan dan mengintegrasikan antara
tasawuf dengan syari’at menjadi konstruksi yang sangat memuaskan kalangan syar’i dan
kalangan sufi adalah Imam al-Ghazali (1058-1111), melalui karya monumentalnya Ihyā’
Ulūm al-Dīn menawarkan sufisme yang dinamis dan kreatif dengan melihat kehidupan
sebagai proses untuk mencapai penyempurnaan diri yang harus dilalui melalui aktivitas yang
kreatif. Kitab Ihyā’ Ulūm al-Dīn mendapat sambutan antusias dari kalangan Islam, karena
alGhazali mengelaborasi tasawuf dalam al-Qur’an dan Sunnah, sehingga Mir Valiuddin
menulis disertasinya, The Qur`anic Sufism (Sufisme dalam al-Qur`an). Ia menyuguhkan
konsep cinta (mahabbah), tauhīd (monoteisme), makhafah (takut) dan ma’rifah
(pengetahuan). Di antara tokoh sufi terbesar yang terpengaruh oleh al-Ghazali ialah
Muhyiddin Ibn Arabi (1165-1240) tentang perwujudan Tuhan secara keseluruhan alam
nyata dan alam ghaib, kemudian alSya’rani (w.973/1585) salah seorang pengikut tarekat
Syadziliyah (didirikan oleh al-Syadzili, w.656/1258) tentang akhlak bahwa hidup yang baik
terletak pada pengabdian terhadap orang 70 lain. Di samping itu, karya-karya al-Ghazali
juga mempengaruhi penulis Kristen terbesar pada abad pertengahan, yaitu St. Thomas
Aquinas (1225-1274) tentang konsep Beatic Vision. Penulis generasi Kristen selanjutnya
yang dapat dijumpai adanya dampak al-Ghazali adalah mistikus Perancis Pascal (1623-1662)
tentang intuisi, yaitu hanya hati yang sadar akan Tuhan dan dapat memperoleh pengalaman
langsung tentang Tuhan, bukan pikiran (Syofrianisda & Abduh, 2017).

Konsep Tasawuf Menurut Imam Ghazali… 153-166 (Adib Aunillah Fasya) |157
ISSN: 2775-8362 (Print) 2797-779X (Online)

Vol. 2 No. 2 November 2022

Kelima, penelitian yang membahas tentang Reformasi Tasawuf Al-Ghazali dan


Relevansinya dengan Pendidikan Islam. Penelitian tersebut memaparkan bahwa reformasi
tasawuf al-Ghazali merupakan hasil dari pengembaraan intelektualisme dan perjalanan
rohaninya yang panjang, sehingga ia memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur'an dan
sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu al-Sunnah Wa al-Jama’. Al-Ghazali berhasil
mengintegrasikan tiga keilmuan Islam yang pada awalnya berjalan masing-masing, yakni
ilmu kalam, fiqh dan tasawuf. Al-Ghazali telah berhasil menghubungkan rumusan-rumusan
dogmatic dan formal dari ilmu kalam ortodoks dengan ajaran tasawuf yang dinamis. Ia telah
memberi pelajaran yang sangat berharga kepada golongan skolastik murni serta mampu
melenturkan watak dogmatis ajaran agama yang ekstrim dan memasukkan dimensi yang
vital diantara segi-segi lahiriah (eksoterik) dengan segi batiniah (esoteric). Corak tasawuf al-
Ghazali adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral. Orientasi tasawuf al-
Ghazali lebih mengarah kepada konsep pengembangan kesempurnaan manusia(insan
kamil) atau manusia yang bertaqwa. Reformasi tasawuf al-Ghazali bila dihubungkan denga
tujuan pendidikan Islam nampak sangat revan, karena tujuan pendidikan Islam adalah
terwujudnya kwalitas manusia yang berakhlak mulia, manusia yang baik, yang senantiasa
mengabdi kepada Allah, dinamis dan bergerak terus menuju pencitanya yaitu Allah SWT
(Salimi, 2016).
Dari pemaparan di atas, dibahas lebih lanjut berkaitan dengan konsep tasawuf dari
Imam al-Ghazali dengan metode yang digunakan adalah kualitatif Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui bagaimana konsep tasawuf persepktif Imam al-Ghazali dan
pengaruhnya dalam perkembangan ilmu tasawuf di kalangan umat Islam.

PEMBAHASAN
1. Biografi Imam Al-Ghazali
Imam Ghazzali lahir pada tahun 450 H. (1058 M.) di desa Taberan di distrik Taus di
Persia dan namanya adalah Abu Hamid Muhammad. Gelarnya adalah Hujjatul Islam (bukti
pembenaran agama Islam) dan marganya adalah Ghazzali. Ayahnya bukanlah orang yang
terkenal tetapi kakeknya adalah salah satu orang terkemuka di zaman itu. Ayahnya
meninggal ketika dia masih muda. Sepeninggal ayahnya dia di bawah asuhan ibu dan
kakeknya. Ghazzal dikatakan sebagai nama sebuah desa di distrik Taus di provinsi
Khorasan di Persia. Menurut Maulana Shibli Nomani, nenek moyangnya memiliki usaha

158 | Konsep Tasawuf Menurut Imam Ghazali… 153-166 (Adib Aunillah Fasya)
ISSN: 2775-8362 (Print) 2797-779X (Online)

Vol. 2 No. 2 November 2022

menenun (Ghazzal) dan karena itu dia mempertahankan gelar keluarganya Ghazzali
(penenun) (al-Ghazali, 1993).
Ayahnya merupakan seorang penenun dan memiliki tempat untuk berjualan tenun di
desanya. Karena penghasilannya rendah, dia tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya.
Meskipun ayahnya hidup sangat miskin, dia mencintai ilmu dan memiliki cita-cita yang
tinggi untuk anak-anaknya. Ia selalu berdoa agar anak-anaknya mendapatkan kesempatan
untuk menimba ilmu yang luas dan memiliki ilmu yang banyak kedepannya. Ayahnya juga
seorang muslim yang taat menjalankan agam. Namun, kematiannya tidak memungkinkan
untuk melihat semua tujuan yang dia inginkan dan doanya tersebut terkabul. Dia meninggal
ketika al-Ghazali dan saudaranya Ahmad masih berusia muda. (Asmaran, 2001)
2. Latar Belakang Pendidikan al-Ghazali
Ketika masih muda, al-Ghazali dan saudara laki-lakinya dititipkan kepada teman
ayahnya agar mereka bisa mengenyam pendidikan. Teman ayahnya adalah seorang sufi.
Karena ayahnya tidak kaya dan harta warisan yang ditinggalkan untuk kedua anaknya tidak
besar, tidak lama kemudian diserahkan ke madrasah yang menggratiskan biaya hidup pelajar
yang belajar disana. Guru utama al-Ghazali di madrasah itu adalah Yusuf al-Nassaj, seorang
sufi terkenal. Semasa kecilnya, al-Ghazali juga belajar pada salah satu faqih di kampung
halamannya, Ahmad bin Muhammad al-Razakan. Kemudian dia pergi ke Jurjan dan belajar
dengan Iman Abu Nasr al-Isma'il. Setelah itu ia kembali ke Tusi dan melanjutkan
perjalanan ke Nisapur. Di sini ia belajar dengan salah satu teolog Ash'ariyah terkenal, Abu
al-Ma'ali al-Juwain, yang disebut Imam al-Haramain. Di sini ia belajar tidak hanya agama
tetapi juga filsafat, sehingga mampu mengimbangi kepiawaian gurunya yang disegani. Atas
kemahirannya, Imam al-Haramain mengangkatnya sebagai dosen di berbagai fakultas di
Universitas Nizamiyyah. Bahkan, dia sering mengisi posisi gurunya saat dia tidak ada, baik
untuk mengisi posisi kepemimpinannya maupun untuk mengisi posisinya di kelas sebagai
pengajar. (Asmaran, 2001)
Sumber lain menyebutkan bahwa Ayah Al-Ghazali berwasiat kepada temannya yang
seorang sufi untuk mengasuh dua putranya, Al-Ghazali dan Ahmad. Ia berkata kepada sufi
itu, "Aku tidak mempunyai kesempatan untuk belajar menulis. Aku ingin kedua anakku ini
mewujudkan harapan yang tidak bisa aku capai itu. Engkau bisa menggunakan semua harta
yang kutinggalkan untuk membiayai belajar mereka." Sang sufi melaksanakan wasiat itu.
Tatkala ayah Al-Ghazali meninggal dunia, sang sufi mengajar Al-Ghazali dan Ahmad

Konsep Tasawuf Menurut Imam Ghazali… 153-166 (Adib Aunillah Fasya) |159
ISSN: 2775-8362 (Print) 2797-779X (Online)

Vol. 2 No. 2 November 2022

sampai harta peninggalan ayah Al-Ghazali yang sedikit itu habis. Ketika harta peninggalanm
itu habis, ia memasukan Al-Ghazali dan Ahmad ke Madrasah Nizhamiyah. Madrasah ini
membantu mereka dalam belajar, dan mencukupi kebutuhan makan dan pakaian mereka
Al-Ghazali dan Ahmad hidup dalam asuhan sang sufi selama beberapa tahun. Di bawah
bimbingan sufi itu, mereka mampu menghafal Al-Qur'an Al-Karim, mempelajari fiqih, dan
meneladani perilaku sang sufi. Sufi itu mendidik mereka dan memposisikan diri sebagai
ayah yang penyayang.
Sumber lain menyebutkan bahwa ayah Al-Ghazali mewariskan kepada sahabatnya
yang merupakan seorang Sufi untuk membesarkan kedua putranya, al-Ghazali dan Ahmad.
Dia berkata kepada temannya tersebut: "Saya tidak punya kesempatan untuk belajar
menulis. Saya ingin kedua anak saya bisa menggapai cita-cita dan harapan saya yang belum
saya dapatkan. Sufi tersebut memenuhi kehendak dari ayah al-Ghazali. Ketika ayah al-
Ghazali meninggal, sang Sufi mengajar Al-Ghazali dan Ahmad sampai habis harta warisan
yang ditinggalkan oleh ayahnya. Ketika harta warisan habis, ia memboyong Al-Ghazal dan
Ahmad ke Madrasah Nizhamiyah. Madrasah ini membantu mereka belajar dan mengurus
makanan dan pakaian mereka dengan kata lain menggratiskan biaya mereka. Al-Ghazali dan
Ahmad hidup di bawah asuhan para sufi selama beberapa tahun. Di bawah bimbingan para
sufi, mereka bisa menghafal Al-Qur'an Al-Karim, mempelajari Fiqh dan meneladani
perilaku para sufi. Sufi membesarkannya dan memantapkan dirinya sebagai ayah bagi al-
Ghazali dan Ahmad yang penyayang (Ahmad, 2005).
3. Karya-Karya al-Ghazali
Al-Ghazali dijuluki sebagai hujjatul islam. Ia adalah seorang ulama, pendidik, ahli
piker dalam ilmunya, dan pengarang yang sangat produktif. Diantara karya-karyanya adalah
sebagai berikut (Hermawan, 2011) :
a. Maqashid al-Falasifah (tujuan-tujuan para filosof), sebagai karangan pertama dan berisi
masalah-masalah filsafat.
b. Tahafut al-Falasifah (kekacauan pikiran para filosof), buku ini dikarang pada saat jiwanya
dilanda keragu-raguan di Baghdad. Al- Ghazali mengecam filsafat dan para filosof
dengan keras.
c. Mi'yar al-Ilm (kriteria ilmu-ilmu).
d. Ihya Ulum al-Din (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), Suku ini merupakan karya
yang terbesar dalam karyanya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah

160 | Konsep Tasawuf Menurut Imam Ghazali… 153-166 (Adib Aunillah Fasya)
ISSN: 2775-8362 (Print) 2797-779X (Online)

Vol. 2 No. 2 November 2022

antara Damaskus, Yerussalem, Hijaz, dan Thus yang berisi panduan antara Fiqih,
tasawuf, dan filsafat.
e. Al-Mungidz min al-Dhalal (penyelamat dari kesesatan), buku ini merupakan sejarah
perkembangan alam pikiran Al-Ghazali dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa
macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan.
f. Al-Ma'arif al-'Aqliyah (pengetahuan yang rasional).
g. Misykat al-Anwar (lampu yang bersinar banyak), buku ini berisi pembahasan tentang
akhlak tasawuf.
h. Minhaj al-'Abidin (jalan mengabdikan diri kepada Tuhan).
i. Al-Iqtishad fi al-'Itiqad (moderasi dalam akidah).
j. Ayyuha al-Walad (Wahai anak)
k. Al-Mustashfa (Yang terpilih)
l. Iljam al-'Awwam'an "Ilm al-Kalam.
m. Mizan al-'Amal (timbangan amal)
Dari beragam karya Imam al-Ghazali, kitab Ihya Ulum ad-Diin adalah karya yang
paling monumental dibandingkan dengan karya-karya lainnya. Buku ini dianggap sebagai
karya terbesarnya yang terkenal di Timur dan Barat. Banyak ulama memuji kehebatan kitab
ini itu termasuk Imam an-Nawawi yang mengatakan: “Kitab Ihya ini hampir seperti Al-
Quran yang dibaca terus menerus.” Imam as-Subkhi mengomentari Ihya: “Jika dia tidak
ada di sana bahkan buku yang ditulis oleh para ahli untuk rakyat orang lain selain kitab Ihya,
itu lebih dari cukup."
4. Pengaruh Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali
Pengaruh pemikiran Al-Ghazal terhadap perkembangan peradaban Islam sangat
mengesankan karena pemikiran Al-Ghazal sesuai dengan ajaran Islam. Banyak dari kitab-
kitab yang ditulis oleh Al-Ghazali merupakan usahanya untuk membersihkan hati umat
Islam dari ilusi dan mempertahankan diri dari serangan pihak luar, baik Islam maupun
Barat (Orientalis). Ia mendapat gelar hujjatul Islam atas komentar dan pembelaannya
terhadap berbagai serangan. Tentu saja, gelar itu bukan sembarang gelar, dan belum pernah
ada yang dipanggil seperti itu sebelumnya. Judul tersebut didasarkan pada pemikiran Al-
Ghazal yang sangat baik dan mengesankan (Hermawan, 2011).
Duncan B. MacDonald yang dikutip oleh Amin Syukur dan Masyharuddin telah
menganalisis factor penyebab luas dan kuatnya pengaruh Tasawuf al-Ghazali di dunia Islam

Konsep Tasawuf Menurut Imam Ghazali… 153-166 (Adib Aunillah Fasya) |161
ISSN: 2775-8362 (Print) 2797-779X (Online)

Vol. 2 No. 2 November 2022

memiliki beberapa alasan. Pertama, al-Ghazali dapat membawa kembali umat (Islam) dari
pengejaran skolastik dogma teologis ke studi, interpretasi dan penghayatan terhadap firman
Allah dan hadis Nabi. Kedua, dalam nasehat dan ajaran akhlaknya beliau memperkenalkan
kembali unsur al-khauf (ketakutan), khususnya api neraka. Ketiga, justru karena ketakutan
dan pengaruhnya, tasawuf memperoleh posisi yang kuat, terhormat, dan aman dalam Islam.
Keempat, ia membawa filsafat dan teologi filosofis, yang semula elitis, ke dalam ranah
pemikiran umum rakyat, yang pada mulanya hanya dipahami oleh orang-orang tertentu saja,
mengingat istilah dan bahasa yang digunakan bukanlah bahasa umum sehingga menjadi
misteri bagi mereka. Al-Ghazali mengubah, atau setidaknya mencoba mengubah, istilah-
istilah yang sulit agar orang awam dapat dengan mudah memahaminya. Dengan
menggunakan pendekatan sufi, al-Ghazali berupaya mengembalikan Islam pada sumber
fundamental dan historisnya serta memberi ruang bagi kehidupan keagamaan yang bersifat
emosional (esoteris) dalam sistemnya. Atau lebih khusus lagi, al-Ghazali berusaha
merumuskan ajaran Islam yang kaya akan muatan sufi dalam bahasa yang mudah diterima
oleh masyarakat awam. Hal ini sangat krusial mengapa ajaran Tawasuf yang bertujuan
untuk spiritualisasi Islam tersebar luas di berbagai wilayah dunia Muslim hingga saat ini.
(Zaini, 2016).
5. Konsep al-Ghazali Tentang Tasawuf
Kehadiran al-Gazali dalam perkembangan tasawuf memberikan peran yang cukup
signifikan. Pada awal pembentukan tasawuf adanya upaya untuk menenggelamkan diri pada
Tuhan dengan tokoh-tokohnya seperti Hasan Basriy (khauf), Rabi'ah al-Adawiyyah (hubb
al-ilah), Abu Yazid al-Bustamiy (fana), al-Hallaj (hulul), yang mana menitikberatkan pada
hakikat serta terkesan mengenyampingkan shari'ah, maka al-Ghazali memasuki kehidupan
tasawwuf tanpa melibatkan diri ke dalam aliran tasawwuf hulul (inkarnasi) atau tasawwuf
wihdah al-wujud (pantheisme), beliau melakukan konsolidasi dengan mengembalikan
tasawwuf pada landasannya, al-Qur'an dan hadith (Rohmanan, 2021).
Al-Ghazali juga dianggap sebagai pendukung terpenting tasawuf Sunni dalam agama
Islam. Tasawuf yang ia pahami haruslah berlandaskan agama Ahlus Sunnah Wal Jama'ah,
kesederhanaan, zuhud, pendidikan jiwa dan penyembuhan. Dalam hal ini al-Ghazali
sependapat dengan arus utama tasawuf yang ada pada masa ke-3 dan ke-4 Hijriah dan juga
dengan Qushair, al-Harowi dan lain-lain sebelumnya tentang pemikiran yang sama.
Terlepas dari kenyataan bahwa al-Ghazali memiliki keunggulan umum dibandingkan orang

162 | Konsep Tasawuf Menurut Imam Ghazali… 153-166 (Adib Aunillah Fasya)
ISSN: 2775-8362 (Print) 2797-779X (Online)

Vol. 2 No. 2 November 2022

lain dalam hal kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, dan tasawufnya. Oleh karena itu,
sudah sewajarnya jika al-Ghazal dianggap sebagai sufi terbesar Islam dan kontribusinya
yang besar bagi dunia tasawuf untuk generasi selanjutnya (al-Taftazani, 2008).
Menurut Al-Ghazali tasawuf dimaknai sebagai keikhlasan kepada Allah dan pergaulan
yang baik dengan sesama manusia. Tasawuf mengandung dua unsur. Pertama, hubungan
manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia. Kedua, hubungan itu didasarkan pada
moralitas. Hubungan dengan Allah didasarkan pada keikhlasan (ketulusan niat), yang
ditandai dengan meniadakan kepentingan diri dari pemenuhan perintah Allah. Kemudian,
ketika hubungan manusia didasarkan pada etika sosial maka salah satu yang dilakukan
adalah menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi selama
kepentingan tersebut tidak bertentangan dengan hukum Syariah. Karena menurut Al-
Ghazali, siapapun yang menyimpang dari syariat bukanlah seorang sufi. Jika dia mengaku
sebagai sufi, klaimnya adalah dusta (Deswita, 2014; Ghozali & Dewi, 2021).
Ikhlas dapat diartikan dengan bersih, tidak ada campuran. Ibarat emas murni, yang
tidak tercampur dengan perak berapa persen pun. Pekerjaan yang bersih terhadap sesuatu
bernama ikhlas. Lawan dari ikhlas adalah isyrak yang berarti berserikat atau bercampur
dengan yang lain. Antara ikhlas dengan isyrak tidak dapat dipertemukan, seperti halnya
gerak dengan diam. Apabila ikhlas telah bersarang dalam hati, maka isyrak tidak akan
masuk, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, tempat keduanya adalah di hati dan terpakai
hanya kepada Allah semata (Subhi, 2018).
Ahmad Zaini (2016) mejelaskan jalan tasawuf al-Ghazali yang dapat diikuti oleh
seorang muslim terbagi menjadi lima tingkatan (maqamat) yaitu taubat, sabar, kefakiran,
asketisme (zuhud) dan reliabilitas (tawakkal). Kelima tingkatan ini harus dijalani dengan
hidup menyendiri, atau setidaknya menjelajah diam-diam sejenak, untuk membangun hati
yang tidak terjerat pada kesenangan duniawi. Tasawuf merupakan jalan untuk
membersihkan jiwa dan raga agar bahagia. Melalui ilmu dan amal berupa latihan-latihan jiwa
dengan mempertinggi sifat-sifat mahmudah dan menahan dorongan nafsu dari sifat-sifat
mazmumah sehingga menjadi bersihlah jiwa atau dengan amalan takhalli, tahalli, dan tajalli.
Hati yang bersih itulah yang dapat mendekati Tuhan, apalagi jika senantiasa dihasi dengan
dzikir yaitu menyebut asma Allah SWT (Asmaya, 2018).
Lebih lanjut, al-Ghazali menegaskan bahwa Ma’rifat adalah tidak adanya keraguan
dalam menguasai ilmu pengetahuan. Dalam hal ini ilmu yang dimaksud adalah hakekat

Konsep Tasawuf Menurut Imam Ghazali… 153-166 (Adib Aunillah Fasya) |163
ISSN: 2775-8362 (Print) 2797-779X (Online)

Vol. 2 No. 2 November 2022

Allah SWT dan Sifat-sifat-Nya. Mendapat ma’rifat merupakan inti dari taqarrub atau
pendekatan hamba kepada Allah. Menurut Al-Ghazali, sarana untuk mencapai dan
mendapatkan pencerahan adalah hati yang bersih terbebas dari hal-hal negatif, bukan emosi
atau akal. Dalam tasawuf, hati adalah percikan spiritual ilahi yang merupakan inti dari sifat
manusia. Hati yang suci ini mengarah pada hati nurani yang bersih. Namun, makrifat ini
tidak boleh hanya mengandalkan intuisi saja, tetapi juga harus sesuai dengan Syariah (Al-
Quran dan Hadits) dan bertujuan untuk memperbaiki moral dan etika masyarakat.
Tingkatan Manusia Dalam tasawuf Al-Ghazali ada tiga tingkatan manusia, yaitu
masyarakat biasa yang cara berpikirnya sangat sederhana, selanjutnya kalangan yang berpikir
tajam dan mendalam, atau kelompok khawas, dan ahli debat yang bisa membujuk orang
dan mematahkan argumen (al-mujadalah). Yang paling umum dari ketiga tingkatan tersebut
adalah kelompok pertama dan kedua, yaitu orang awam dan orang biasa. Masyarakat umum
seringkali hanya dapat membaca tanda dan informasi diam. Pada saat yang sama, pada
kalangan khawas dapat membaca isu-isu implisit dan melihat ide di balik suatu kejadian.
Ketika seseorang memahami dan memahami konsep tersebut dan
mempraktikkannya, kebahagiaan akan ditemukan. Misalnya, akan sangat membingunkan
jika seseorang bermain catur sedangkan dia tidak mengetahui aturan bermainnya.
Sedangkan, bagi orang yang mengetahui aturan dan konsep bermain catur maka dia akan
mudah melakukan dan menikmati permainannya. Dan orang akan tenggelam dalam
kenikmatan bermain catur ketika dia sudah mahir dalam bermain. Bagi Al-Ghazali, catur
tersebut sebagai perumpamaan kehidupan manusia. Seseorang akan mendapatkan
kebahagian dunia dan akhirat sejati jika ia menguasai dan mengetahui ilmu pengetahuan
tersebut. Kemudian, sudah dijelaskan juga oleh Allah Swt bahwasanya kehiduapan di dunia
ini hanyalah permainan dan senda gurau semata seperti dalam Surat Muhammad ayat 36:
“Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau. Jika kamu
beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak
akan meminta hartamu” (QS. Muhammad [47]): 36).
Konsep tasawuf menurut Imam al-Ghazali juga dapat diketahui dari dua aspek, yakni
dalam aspek ajarannya yang menengahi antara syari’ah dan tasawuf, dan dalam aspek
ajarannya yang membatasi ekspresi-ekspresi ekstrim. Tasawuf merupakan perilaku dan amal
yang berusaha untuk terus mendekatkan diri pada Allah. Oleh karena itu, tasawuf al-
Ghazali adalah juga tasawuf praktis sebagai panduan perilaku sehingga sangat nampak

164 | Konsep Tasawuf Menurut Imam Ghazali… 153-166 (Adib Aunillah Fasya)
ISSN: 2775-8362 (Print) 2797-779X (Online)

Vol. 2 No. 2 November 2022

sebagai akhlak tertinggi. Salah satu langkah yang digunakan oleh al-Ghazali dalam
menampilkan tasawuf moderat yang menjembatasi syari’ah dan tasawuf adalah dengan
menjadikan tasawuf sebagai ruh syari’ah. Dalam pandangan al-Ghazali, syari’ah dalam
pengertian fiqih adalah perbuatan-perbuatan lahiriah yang tidak akan berarti apa-apa tanpa
ruh berupa ajaran-ajaran tasawuf. Tapi ajaran tasawuf yang berinti pendekatan diri kepada
Allah tidak bisa dilakukan tanpa syari’ah. Karena syari’ah adalah jasadnya, tempat ruh
bersemayam. Syari’ah adalah langkah-langkah dasar untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Allah sendiri yang telah menunjukkan cara mendekatkan diri kepada-Nya. Syari’ah telah
mengatur demikian lengkap prilaku dan ibadah yang semuanya berujung pada pendekatan
diri (taqarrub). Apabila dilakukan secara intens dengan penghayatan maksimal, maka dapat
memberikan pengalaman-pengalaman mistik hingga akhirnya terus mendorong pelakunya
untuk semakin intensif mendekatkan diri. Muaranya adalah tersingkapnya tabir (kasyf) yang
kemudian memperlihatkan kebenaran hakiki (Rahman & Halim, 2019).
Pada saat yang sama, al-Ghazali menyentuh tiga masalah tasawuf. Pertama, al-Ghazali
pada dasarnya merebut kembali disiplin tasawuf dari unsur-unsur spiritual yang jauh yang
tidak terkait dengan ajaran Islam, sehingga tasawuf pada akhirnya sesuai dengan hukum
Islam. Kedua, al-Ghazali mensintesakan moderasi dan keseimbangan antara nilai-nilai
fiqih(syariah) dan tasawuf yang sebelumnya kontradiktif. Ketiga, melanjutkan kontribusi
sebelumnya, al-Ghazali berhasil menetapkan tasawuf sebagai aspek spiritual doktrin Islam,
di mana itu diterima secara luas oleh komunitas Muslim. Konsep dan pengaruh al-Ghazal
tersebar luas di komunitas Muslim Sunni di Timur Tengah dan di berbagai negara termasuk
Indonesia (Ismail, 2019).

PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Imam Al-Ghazali adalah
seorang tokoh Islam yang sangat berpengaruh dan menjadi faktor kunci dalam pemahaman
ilmu tasawuf, ilmu syariah dan ilmu kalam. Karena kedalaman ilmunya, beliau dijuluki
Hujjatul Islam. Pemikiran tasawufnya yang tertuang dalam beberapa karya, khususnya kitab
Ihya 'Ulum ad-Din, sangat berpengaruh di dunia Islam dan karenanya menjadi rujukan para
ulama maupun orang awam. Konsep tasawuf dari Imam Al-Ghazali bermakna keikhlasan
kepada Allah dan pergaulan yang baik dengan sesama manusia.

Konsep Tasawuf Menurut Imam Ghazali… 153-166 (Adib Aunillah Fasya) |165
ISSN: 2775-8362 (Print) 2797-779X (Online)

Vol. 2 No. 2 November 2022

REFERENSI

Ahmad, A. F. (2005). Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Jakarta: Khalifa.
al-Ghazali, I. (1993). Revival of Religious Learnings "Ihya Ulum-Id-Din" translated by Fazl-Ul-
Karim. Karachi: DARUL-ISHAAT.
al-Taftazani, A. W.-G. (2008). Tasawuf Islam : Telaah Historis dan Perkembangannya. Ciputat:
Gaya Media Pratama.
Asmaran. (2001). Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Asmaya, E. (2018). Hakikat manusia dalam tasawuf al-ghazali. KOMUNIKA: Jurnal Dakwah
Dan Komunikasi, 12(1), 123-135.
Badrudin. (2015). Pengantar Ilmu Tasawuf. Serang: A-Empat.
Chittick, W. C. (2000). Tasawuf di Mata Kaum Sufi. Bandung: Mizan Media Utama.
Deswita. (2014). Konsepsi Al-Ghazali Tentang Fiqh dan Tasawuf. Batusangkar: JURIS (Jurnal
Ilmiah Syariah).
Ghazali, A. M. (2013). Corak Tasawuf Al-Ghazali Dan Relevansinya Dalam Konteks
Sekarang. Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam, 13(1), 61-85.
Ghofur, A. (2020). Tasawuf Al-Ghazali: Landasan Psikologi Pendidikan Islam. Jurnal Islam
Nusantara, 2(1), 1-16.
Ghozali, M., & Dewi, C. K. (2021). Konstruksi Kebahagiaan dalam Pandangan al-Ghazālī:
Antara Misykāh, Kīmyā’dan Mi ‘yār. JOUSIP: Journal of Sufism and Psychotherapy, 1(2),
191-206.
Hermawan, H. (2011). Filsafat Islam. Bandung: Insan Mandiri.
Ismail, A. I. (2019). Ghazali's Sufism and Its Influence in Indonesia. DINIKIA, Vol.4, No.1
, 21-43.
Rahman, A., & Halim, A. (2019). Kajian Tasawuf Di Pesantren (Kajian Terhadap
Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali). Jurnal Pemikiran Dan Ilmu Keislaman, 2(1), 43-58.
Rosia, R. (2018). Pemikiran Tasawuf Imam Al-Ghazali Dalam Pendidikan
Islam. INSPIRASI: Jurnal Kajian dan Penelitian Pendidikan Islam, 2(2), 86-104.
Rohmanan, M. (2021). Konsep Tasawuf Al-Ghazali dan Kritiknya Terhadap Para Sufi (Telaah
Diskriptif Analitis). Jepara: JASNA : Jurnal for Aswaja Studies, Vol.1 No.2.
Salimi, M. (2016). Reformasi Tasawuf Al-Ghazali dan Relevansinya dengan Pendidikan
Islam. Adz-Zikr: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 1(1), 1-26.
Subhi, M. R. (2018). Kepribadian dalam perspektif Hamka. Jurnal Fokus Konseling, 4(1), 51-
61.
Syofrianisda, S., & Abduh, M. A. (2017). Corak dan Pengaruh Tasawuf Al-Ghazali Dalam
Islam. Jurnal Ushuluddin, 25(1), 69-82.
Umar, N. (2014). Tasawuf Modern : Jalan Mengenal dan Mendekatkan Diri Kepada Allah Swt.
Jakarta: Republika.
Zaini, A. (2016). Pemikiran Tasawuf Imam Al-Ghazali. Esoterik : Jurnal Akhlak dan Tasawuf,
146-159.

166 | Konsep Tasawuf Menurut Imam Ghazali… 153-166 (Adib Aunillah Fasya)

You might also like