You are on page 1of 18

Media Iuris Vol… No….

, February 2020 p-ISSN: 2721-8384


DOI: e-ISSN: 2621-5225
Article history: Submitted 8 January 2020; Accepted 21 January 2020; Available online 1 February 2020.
How to cite:

Permasalahan Pencatatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu:


Dari Aspek Kepastian Hukum Hingga Keadilan

Hendro Prabowo 1, Muklis Al'anam2, Ahmad Baihaki3, Riski Dyah Normasari4, R.B.
Muhammad Zainal Abidin5, Mohamad Aldy Firdaus6.
1 Faculty of Law, Universitas Airlangga, Indonesia. E-mail: hendro.prabowo-2023@fh.unair.ac.id
2 Faculty of Law, Universitas Airlangga, Indonesia. E-mail: muklis.alanam-2023@fh.unair.ac.id
3 Faculty of Law, Universitas Airlangga, Indonesia. E-mail: ahmad.baihaki-2023@fh.unair.ac.id
4 Faculty of Law, Universitas Airlangga, Indonesia. E-mail: riski.dyah.normasari-
2023@fh.unair.ac.id
5 Faculty of Law, Universitas Airlangga, Indonesia. E-mail: r.b.muhammad.zainal.abidin-
2022@fh.unair.ac.id
6 Faculty of Law, Universitas Airlangga, Indonesia. E-mail: mohamad.aldy.firdaus-
2022@fh.unair.ac.id

Abstract
Keywords: A working agreement for a specific period (PKWT) is a type of work agreement that is based on
PKWT time. PKWT has been regulated in detail in statutory regulations in the field of employment.
Registration; Including arrangements for registration PKWT by entrepreneurs with the Ministry of Manpower
Legal Certainty; or the office in charge of district/city employment. Article 14 PP no. 35 of 2021 states that
Justice; and employers are obliged to register PKWT made with workers/laborers. This mandatory provision is
Legal not followed by sanctions or possible dispensations from the officials concerned. This void of the
Protection. law has the potential to give rise to law and injustice for workers/laborers. Where the government
in this position must provide legal protection to workers/laborers as parties who are socio-
economically weak in front of employers. This research uses statute approach and conceptual
approach. The results of this research are that the potential for non-implementation of PKWT
registration by entrepreneurs can be minimized by making new provisions regarding the
application of administrative sanctions and/or administrative procedures through the issuance of
dispensations for PKWT registration, of course taking into account aspects of legal protection by
the government for workers/laborers.

Abstrak
Kata Kunci: Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) merupakan salah satu jenis perjanjian kerja yang
Pencatatan didasarkan atas waktu. PKWT telah diatur secara rinci dalam peraturan perundang-
PKWT; undangan di bidang ketenagakerjaan. Termasuk pengaturan pencatatan PKWT oleh
Kepastian pengusaha kepada Kementerian Ketenagakerjaan atau dinas yang membidangi
Hukum; ketenagakerjaan kabupaten/kota. Pasal 14 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun
Keadilan; dan 2021 menyebutkan keharusan pengusaha untuk mencatatkan PKWT yang dibuat dengan
Perlindungan pekerja/buruh. Ketentuan keharusan ini tidak diikuti dengan sanksi atau
Hukum. dimungkinkannya dispensasi dari pejabat yang bersangkutan. Adanya kekosongan
hukum ini berpotensi dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan
bagi pekerja/buruh. Di mana pemerintah pada posisi ini harus memberikan
perlindungan hukum kepada pekerja/buruh sebagai pihak yang secara sosial ekonomi
lemah di hadapan pengusaha. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-
undangan dan konseptual. Hasil penelitian ini adalah bahwa potensi tidak
dilaksanakannya pencatatan PKWT oleh pengusaha dapat diminimalisir dengan
membuat ketentuan baru berkaitan dengan penerapan sanksi administratif dan/atau
prosedur administratif melalui penerbitan dispensasi pencatatan PKWT, tentunya
dengan pertimbangan aspek perlindungan hukum oleh pemerintah terhadap
pekerja/buruh.
Copyright © 2023 Hendra Prabowo, Muklis Al’anam, Ahmad Baihaki, Riski Dyah Normasari,
R.B.Muhammad Zainal Abidin, Mohamad Aldy Firdaus.
Published in Media Iuris. Published by Universitas Airlangga, Magister Ilmu Hukum.

Pendahuluan
Hubungan kerja merupakan salah satu aspek yang penting dalam mewujudkan
hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan sebagaimana tujuan dari
Pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia. Tujuan ini sebagaimana termaktub dalam
penjelasan umum UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi dasar
pembangunan nasional yang salah satunya adalah pembangunan ketenagakerjaan.
Pembangunan ketenagakerjaan tersebut haruslah memberikan hak-hak dan
perlindungan bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta mampu mewujudkan
kondusifitas yang positif bagi pengembangan dunia usaha.
Salah satu bentuk perlindungan bagi pekerja/buruh adalah perlindungan
kepastian hukum tentang status hubungan kerja dengan pengusaha di samping hak
yang dijamin oleh konstitusi. Perlindungan dan hak tersebut sebagaimana telah
diamanatkan dalam UUD NRI 1945 dalam beberapa Pasal. Pasal 27 ayat (2)
menyebutkan hak warga negara atas pekerjaan, kemudian Pasal 28D ayat (1) tentang
hak warga negara terkait perlindungan dan kepastian hukum serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum. Selanjutnya, terkait hak untuk bekerja dan mendapat imbalan
serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja diatur dalam Pasal 28D ayat
(2).Ketentuan-ketentuan di atas menandakan adanya kehadiran negara dalam
memberikan perlindungan dan hak bagi pekerja/buruh dan diposisikan sebagai hal
yang penting sehingga dilindungi oleh UUD NRI 1945.
Kedudukan pekerja/buruh dianggap sebagai pihak yang lebih lemah dibanding
pengusaha terutama dalam aspek ekonomi, di mana pengusaha sebagai pihak yang
lebih kuat karena memiliki berbagai keunggulan baik keuangan, sumber daya, sampai
pada posisi tawar terhadap pekerja/buruh.1 Ketimpangan atau ketidakseimbangan ini
memberikan suatu dampak pada kontrak kerja atau perjanjian kerja yang semu antara
pengusaha dengan pekerja/buruh. Kondisi yang demikian dapat menyebabkan
pengusaha berlaku semena-mena dan menekan pekerja/buruh dengan upah dibayar

1 Asri Wijayanti, Menggugat Konsep Hubungan Kerja (Lubuk Agung 2011) 5.


murah termasuk dalam hal penawaran tentang draf perjanjian kerja, tentunya hal
demikian tidak bermoral.
Pemerintah dengan kondisi yang demikian harus memberikan perlindungan
hukum bagi pekerja/buruh. Perlindungan hukum ini menurut Philipus, sebagaimana
dikutip Asri Wijayanti, menyebutkan bahwa perlindungan hukum selalu berkaitan
dengan kekuasaan. Menurut dia ada dua kekuasaan yang menjadi pengaruhnya, yaitu
kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi. Kekuasaan pemerintah berkaitan
dengan perlindungan hukum bagi masyarakat yang diperintah terhadap pemerintah
yang memerintah, sedangkan kekuasaan ekonomi berkaitan dengan perlindungan bagi
si lemah (ekonomi) terhadap si kuat (ekonomi), misalnya perlindungan bagi
pekerja/buruh terhadap pengusaha.2 Dengan diberikannya perlindungan tersebut,
rezim hukum ketenagakerjaan termasuk pada bilangan hukum publik, karena yang
mempertahankan atau yang berkapasitas sebagai supervisi hubungan kerja adalah
penguasa dan dipertahankan dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat. 3
Hukum ketenagakerjaan di Indonesia mengatur tentang hubungan kerja antara
pengusaha dengan pekerja/buruh. Pengusaha dan pekerja menjalin hubungan di dalam
menjalankan kegiatan usaha atau produksi, hubungan yang demikian disebut
hubungan kerja.4 Hubungan kerja menurut Pasal 1 angka 15 UU Nomor 13 Tahun 2013
tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2023
tentang Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-
Undang (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan) adalah hubungan antara pengusaha
dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan,
upah, dan perintah.
Hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh tidak terjadi secara
serta merta melainkan harus ada perbuatan hukum yang mendahuluinya. Hubungan
kerja selalu diawali dengan adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan
pekerja/buruh. Perjanjian kerja ini yang mendasari adanya hubungan kerja. Setiap
hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh di Perusahaan harus

2 ibid 5–6.
3 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Kencana 2008) (Selanjutnya disebut Peter
Mahmud Marzuki I) 194-198.
4 Abdul Aziz et al, ‘Perlindungan Hukum Hak Pekerja Pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

Dalam Ketenagakerjaan’ (2019) 10 Jurnal Surya Kencana Satu: Dinamika Masalah Hukum dan
Keadilan 59-60.
berdasarkan suatu perjanjian kerja, baik perjanjian kerja yang dibuat secara lisan
maupun tertulis. Dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia selain bentuk perjanjian
kerja tertulis maupun lisan, terdapat dua jenis perjanjian kerja yaitu perjanjian kerja
waktu tertentu dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja waktu tertentu
(PKWT) atau pekerja/buruhnya biasa disebut karyawan kontrak dan perjanjian kerja
waktu tidak tertentu (PKWTT) atau pekerja/buruhnya disebut karyawan tetap.
PKWT yang dibuat antara pengusaha dan pekerja/buruh harus dicatatkan
kepada kementerian ketenagakerjaan secara daring atau dinas yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota apabila daring belum tersedia. Ketentuan
ini sejalan dengan perlindungan bagi pekerja/buruh yang berstatus PKWT atau
karyawan kontrak. Perlindungan ini memberikan kepastian karena dalam pencatatan
PKWT akan melalui sejumlah proses verifikasi/pengecekan oleh dinas. Pencatatan di
instansi di bidang ketenagakerjaan ini tidak semata-mata hanya menerima pencatatan
untuk kemudian diberikan tanda bukti pencatatan, namun ada mekanisme pemeriksaan
atau verifikasi baik syarat formal maupun material/substansi dalam PKWT atau dengan
kata lain, ketentuan pencatatan PKWT bersifat mandatory provision yang bersifat
memaksa5 dan tidak dapat di simpangi. Meskipun pencatatan PKWT ini diharuskan
pemerintah melalui Pasal 14 ayat (1) PP Nomor 35 Tahun 2021, namun tidak diikuti
dengan sanksi bagi perusahaan yang melanggarnya. Apabila kewajiban pencatatan
PKWT tidak terdapat sanksi maka bisa dipastikan perusahaan yang tidak mencatatkan
PKWT, sehingga apabila perusahaan melanggar isi dari PKWT tersebut, tidak bisa
diketahui oleh instansi yang membidangi ketenagakerjaan.6 Pekerja/buruh dapat saja
tidak mematuhi pengaturan PKWT yang tidak baik dan tentunya dapat diterima apabila
ketidakpatuhan itu terdapat alasan yang sangat luhur bahwa pengaturan itu tidak adil
dan merugikannya.7 Namun sekali lagi, law is law atau hukum positif dapat dipaksakan
keberlakuannya dan harus dipatuhi karena ditetapkan oleh penguasa.
Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu dikaji antara lain permasalahan apa saja
dalam pencatatan perjanjian kerja waktu tertentu, mulai dari pencatatan yang dilakukan
perusahaan tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan maupun

5 Peter Mahmud Marzuki I, Op., cit 202.


6 Ziyada Wulan Wulida, ‘Aspek Politik Hukum Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Di
Indonesia’ (2019) 7 Jurnal Wasaka Hukum 133.
7 Ronald Dworkin dalam Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela

Keadilan (Kanisius 2009) 190.


perusahaan tidak melakukan pencatatan PKWT ke instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan, serta aspek kepastian hukum dan keadilan dalam pencatatan
PKWT.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum (legal research), yaitu penelitian
yang mencari dan menemukan kebenaran koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai
dengan norma hukum dan adakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai
dengan prinsip hukum.8 Dalam penelitian ini adakah aturan yang berisi norma berupa
perintah terhadap pengusaha untuk mencatatkan PKWT kepada instansi yang
membidangi ketenagakerjaan koheren dengan prinsip hukum kepastian hukum yang
adil. Penelitian ini menggunakan statute approach dan conceptual approach. Bahan hukum
primer yang digunakan penelitian ini yaitu bahan hukum yang sifatnya otoritas yang
mengatur ketentuan pencatatan PKWT yang kemudian akan dihubungkan dengan
baham-bahan hukum sekunder berupa buku hukum dan artikel jurnal hukum, yang
nantinya hasil dan rekomendasi penelitian menghasilkan sesuatu yang bersifat
preskriptif normatif.

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dalam Pengaturan Ketenagakerjaan


Hubungan kerja terjadi antara pengusaha dan pekerja/buruh lahir karena adanya
perjanjian kerja. Kedudukan yang dianggap kurang setara antara pengusaha dan
pekerja/buruh menimbulkan campur tangan pemerintah yaitu dalam hal perlindungan
hukum. Pemerintah bertanggung jawab berkaitan dengan perlindungan (protection),
pemajuan (furtherance), penegakan hukum (enforcement), dan pemenuhan (fulfilment) hak
asasi manusia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945. 9
Pemberian perlindungan hukum bagi pekerja/buruh oleh pemerintah dalam sektor
ketenagakerjaan meliputi lima bidang, yaitu: 1) Bidang pengerahan/penempatan tenaga
kerja; 2) Bidang hubungan kerja; 3) Bidang kesehatan kerja; 4) Bidang keamanan kerja;
5) Bidang jaminan sosial buruh.10

8Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Kencana 2005) (selanjutnya disebut Peter
Mahmud Marzuki II) 47.
9 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Raja Grafindo Persada 2012) 10.
10 Fithriatus Shalihah, ‘Implementasi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Dalam

Hubungan Kerja Di Indonesia’ (2016) 4 Jurnal Selat 70-72.


Bidang pengerahan/penempatan tenaga kerja, adalah perlindungan hukum yang
dibutuhkan oleh pekerja sebelum ia menjalani hubungan kerja. Masa ini sering disebut
dengan masa pra penempatan atau pengerahan. Masa hubungan kerja, merupakan
masa yang dibutuhkan oleh pekerja sejak ia mengadakan hubungan kerja dengan
pengusaha. Hubungan kerja didahului dengan perjanjian kerja. Perjanjian kerja dapat
dilakukan dalam batas waktu tertentu atau tanpa batas waktu yang disebut dengan
pekerja waktu tidak tertentu (pekerjaan tetap).
Adapun bidang kesehatan kerja, adalah selama menjalani hubungan kerja yang
merupakan hubungan hukum, pekerja harus mendapat jaminan atas kesehatannya.
Apakah lingkungan kerjanya dapat menjamin kesehatan tubuhnya dalam jangka waktu
yang relatif lama. Bidang keamanan kerja, adalah perlindungan hukum bagi pekerja atas
alat-alat kerja yang dipergunakan oleh pekerja. Dalam waktu relatif singkat atau lama
akan aman dan terdapat jaminan keselamatan bagi pekerja. Dalam hal ini Negara
mewajibkan kepada pengusaha untuk menyedia akan alat keamanan kerja bagi pekerja.
Kemudian bidang jaminan sosial pekerja/buruh. Jaminan sosial pekerja/buruh dijamin
oleh pemerintah melalui UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional.
Jaminan sosial bagi pekerja/buruh meliputi: Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),
Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM),
Jaminan Pensiun (JP) dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Keenam jaminan sosial
bagi pekerja/buruh tersebut diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan.
Kedudukan hubungan kerja sangat strategis dalam memastikan hak dan
kewajiban para pihak karena di dalamnya terdapat hak-hal yang diinginkan oleh para
pihak melalui kesepakatan atau melalui perjanjian baku yang ada. Hubungan hukum
yang diharapkan mengarah pada terciptanya hubungan industrial yang harmonis
sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1angka 16 UU Ketenagakerjaan yakni
terciptanya hubungan industrial yang harmonis di antara pelaku proses produksi yakni
pekerja/buruh, pengusaha dan pemerintah yang didasarkan pada Pancasila dan UUD
1945.11 Campur tangan pemerintah sangat penting dalam mengatur keseimbangan atas

11 Khairani, Kepastian Hukum Hak Pekerja Outsourcing: Ditinjau Dari Konsep Hubungan Kerja
Antara Pekerja Dengan Pemberi Kerja (Rajawali Pers 2010) 4.
kedudukan para pihak yang tidak seimbang melalui pengaturan, kebijakan pelayan dan
penindakan sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 102 UU Ketenagakerjaan. 12
Ketentuan Pasal 59 UU Cipta Kerja diatur lebih lanjut di dalam Bab II Pasal 2 sampai
Pasal 17 PP No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya,
Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja. Menurut Yuliandri,
dilihat dari materi yang diatur di dalam peraturan pemerintah ini sebaiknya namanya
cukup Hubungan Kerja, apalagi dikaitkan dengan konsep ilmu perundang-undangan
bahwa nama suatu peraturan itu harus singkat dan jelas.13 Pada aspek hubungan kerja jika
ditinjau Pasal 1601d BW dan Pasal 339 KUHD, kesepakatan kerja yang harus di tulis
adalah kesepakatan kerja untuk pelaut atau untuk buruh-buruh yang bekerja di
perkebunan. Rasio dari kewajiban tertulis tersebut adalah dalam rangka perlindungan
terhadap buruh karena pekerjaan di laut ataupun di perkebunan memiliki risiko yang
tertinggi terhadap terjadinya kecelakaan kerja bagi buruh-buruh yang bekerja di sana,
hubungan antara seseorang yang bertindak sebagai pekerja atau buruh dengan seseorang
yang bertindak sebagai majikan.14
Ketentuan dalam PP No. 35 Tahun 2021 tersebut mengatur bahwa Hubungan kerja
dapat dilakukan berdasarkan PKWT.15 PKWT terbagi menjadi dua dan didasarkan atas:
PKWT yang didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu,
tidak boleh dilaksanakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
1. PKWT berdasarkan atas jangka waktu. PKWT berdasarkan jangka waktu dibuat
untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu seperti:
a. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama. PKWT ini dapat dilaksanakan pada pekerjaan-pekerjaan yang
penyelesaiannya diperkirakan dalam waktu yang tidak terlalu lama dilaksanakan
untuk paling lama lima tahun.
b. Pekerjaan yang bersifat musiman. PKWT berdasarkan pekerjaan yang bersifat
musiman terbagi menjadi dua yaitu:
1) Pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada musim tertentu atau cuaca
tertentu, atau
2) Pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada kondisi tertentu yaitu
merupakan pekerjaan tambahan yang dilakukan untuk memenuhi pesanan
atau target tertentu; atau

12 ibid.
13 Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik : Gagasan
Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan (Rajawali Pers 2010) 19.
14 Wiwoho Soedjono, Hukum Perjanjian Kerja (Rineka Cipta 1991).
15 Khairani et al, ‘Perlindungan Pekerja Ditinjau Dari Konsep Hubungan Kerja Pasca

Berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja’ (2023) 7 Unes Journal of Swara Justisia 709-712.
c. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Produk baru yang
dimaksud di sini adalah produk yang sebelumnya belum pernah ada atau
pengembangan produk yang sudah ada, sedangkan kegiatan baru adalah usaha
yang baru dilaksanakan oleh perusahaan.

PKWT yang dibuat berdasarkan jangka waktu ini dibuat untuk waktu paling lama
lima tahun. Pasal 8 ayat (2) PP No. 35 Tahun 2021 memberikan kelonggaran untuk
PKWT yang dilakukan kurang dari lima tahun dapat dilakukan perpanjangan PKWT
apabila pekerjaan yang dilaksanakan belum selesai menjelang PKWT berakhir.
Perpanjangan PKWT dapat dilakukan dengan syarat: 1) jangka waktu sesuai
kesepakatan pengusaha dengan pekerja/buruh; dan 2) jangka waktu keseluruhan
PKWT dan perpanjangannya tidak lebih dari lima tahun.

2. PKWT berdasarkan atas selesainya suatu pekerjaan tertentu. PKWT ini dibuat untuk
pekerjaan-pekerjaan tertentu yaitu:
a. Pekerjaan yang sekali selesai; atau
b. Pekerjaan yang sementara sifatnya.
PKWT berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu harus didasarkan pada
kesepakatan pengusaha dan pekerja/buruh. Kesepakatan tersebut harus dimasukkan
dalam perjanjian kerja. Kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh harus
memuat: 1) ruang lingkup dan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai. Ruang
lingkup dan batasan ini adalah jenis pekerjaan dan lokasi pekerjaan dilakukan; 2)
lamanya waktu penyelesaian pekerjaan disesuaikan dengan selesainya suatu pekerjaan.
Ketentuan Pasal 9 ayat (3) PP No. 35 Tahun 2021 juga mengatur apabila pekerjaan
tertentu diselesaikan sebelum habisnya waktu yang disepakati maka PKWT putus demi
hukum pada saat selesainya pekerjaan. Namun dalam Pasal 9 ayat (4) PP No. 35 Tahun
2021 mengatur kondisi yang sebaliknya, yaitu apabila pekerjaan tertentu belum dapat
diselesaikan sedangkan waktu yang disepakati dalam PKWT telah habis, maka jangka
waktu PKWT dilakukan perpanjangan sampai batas tertentu hingga pekerjaannya
selesai. Hal ini memberikan acuan apabila terdapat keterlambatan penyelesaian
pelaksanaan pekerjaan.
3. PKWT juga dapat dilaksanakan untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu lainnya yang
jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap. PKWT ini dapat berupa
pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah. Hal-hal yang berubah-ubah
tersebut meliputi: 1) waktu; 2) volume pekerjaan; serta 3) pembayaran upah
berdasarkan kehadiran. PKWT ini dapat dilaksanakan pada pekerjaan dengan
perjanjian kerja harian. Terdapat ketentuan pelaksanaan perjanjian kerja harian,
yaitu: 1) maksimal dalam satu bulan 20 hari kerja, dan 2) apabila pekerja/buruh
bekerja 21 hari atau lebih selama tiga bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian
kerja harian tidak berlaku dan hubungan kerja berubah menjadi PKWTT. PKWT
dengan perjanjian kerja harian ini kurang memberikan perlindungan bagi
pekerja/buruh karena ketentuan ini tidak membatasi sampai batas waktu berapa
lama perjanjian kerja harian ini berlaku, berbeda dengan PKWT berdasarkan jangka
waktu dan selesainya pekerjaan tertentu. Selain ketentuan di atas, terdapat syarat
dalam pembuatan perjanjian kerja harian, yaitu: 1) perjanjian kerja harian harus
secara tertulis; 2) dapat dibuat secara kolektif; 3) pengusaha wajib memenuhi hak-
hak pekerja/buruh termasuk hak atas program jaminan sosial. Perjanjian kerja harian
yang dibuat minimal memuat: 1) nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja; 2)
nama/alamat pekerja/buruh; 3) jenis pekerjaan yang dilakukan; dan 4) besarnya
upah.
Selain memberikan perlindungan hukum dengan mengatur jenis-jenis PKWT
dalam hubungan kerja, pemerintah juga mengatur hal-hal berkaitan dengan PKWT
melalui beberapa ketentuan yang diatur dalam PP No. 35 Tahun 2021. Ketentuan
tersebut meliputi:
1. PKWT yang dibuat antara pengusaha dengan pekerja/buruh tidak boleh
menyaratkan adanya masa percobaan.16 Apabila pengusaha mensyaratkan masa
percobaan, maka masa percobaan tersebut batal demi hukum dan masa kerja tetap
dihitung. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 12 PP No. 35 Tahun 2021;
2. Syarat minimum yang harus termuat dalam PKWT. Pasal 13 PP No. 35 Tahun 2021
menyebutkan Sembilan syarat minimum yang harus termuat dalam PKWT yang
dibuat pengusaha dan pekerja/buruh. Syarat tersebut merupakan syarat formil
PKWT meliputi:
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besaran dan cara pembayaran upah;

16 ibid 715.
f. hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan/atau syarat kerja yang diatur dalam
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya PKWT;
h. tempat dan tanggal PKWT dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam PKWT.

3. Ketentuan PKWT yang telah dibuat harus dicatatkan oleh pengusaha pada
Kementerian Ketenagakerjaan secara daring maksimal tiga hari sejak ditandatangani
atau kepada dinas yang membidangi ketenagakerjaan kabupaten/kota maksimal
tujuh hari sejak PKWT ditandatangani. Meskipun diatur sebagai sebuah keharusan,
namun dalam PP No. 35 Tahun 2021 tidak diikuti dengan konsekuensi apabila
pengusaha tidak melaksanakan ketentuan tersebut.
4. Pengusaha diwajibkan membayar uang kompensasi kepada pekerja/buruh dalam
hubungan kerja berdasarkan PKWT. Pemberian uang kompensasi tidak berlaku pada
tenaga kerja asing yang dipekerjakan oleh pemberi kerja.
5. Selain uang kompensasi, dalam PKWT terdapat ganti rugi sebagaimana diatur dalam
Pasal 62 UU Ketenagakerjaan. Ganti rugi wajib dibayarkan oleh pihak yang
mengakhiri PKWT, baik pengusaha maupun pekerja/buruh, sebelum habis jangka
waktunya. Besarnya ganti rugi adalah sebesar upah pekerja/buruh sampai
berakhirnya PKWT.

Kepastian Hukum dan Keadilan dalam Pencatatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Setiap PKWT yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh harus dicatatkan.
Pihak yang harus mencatatkan adalah pihak pengusaha. Pencatatan ini dilakukan pada
Kementerian Ketenagakerjaan secara daring maksimal dalam waktu tiga hari sejak
PKWT ditandatangani atau apabila belum tersedia pencatatan secara daring maka
pencatatan diajukan kepada dinas yang membidangi ketenagakerjaan kabupaten/kota
maksimal tujuh hari sejak PKWT ditandatangani. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 14
PP No. 35 Tahun 2021. Keharusan pencatatan ini menimbulkan persoalan apabila PKWT
yang telah dibuat oleh pengusaha dengan pekerja/buruh tidak dicatatkan oleh
pengusaha.
Dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 59 ayat (1) mengatur tentang PKWT hanya
dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Dalam penjelasan pasal tersebut
menyebutkan bahwa PKWT dicatatkan ke instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan. Konsekuensi apabila PKWT tidak dicatatkan apabila merujuk pada
Pasal 59 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang menyebutkan PKWT yang dibuat tidak
memenuhi ketentuan jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam
waktu tertentu atau PKWT diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap, sebagaimana
diatur dalam Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU Ketenagakerjaan, maka demi hukum
menjadi PKWTT. Meskipun pencatatan PKWT hanya diatur dalam penjelasan Pasal 59
ayat (1) UU Ketenagakerjaan, oleh karena penjelasan pasal-demi pasal berfungsi sebagai
tafsir resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam
batang tubuh, sehingga kewajiban pencatatan PKWT merupakan tafsir resmi dari
ketentuan PKWT dalam batang tubuh Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Merujuk
pada ketentuan tersebut, maka jika pencatatan PKWT tidak dilakukan oleh pengusaha
berarti PKWT yang dilakukan pengusaha dan pekerja/buruh tidak memenuhi
ketentuan Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dan konsekuensinya PKWT demi
hukum menjadi PKWTT.
Ditinjau dari hukum administrasi, Ridwan HR, sebagaimana dikutip oleh Nehru
Asyikin, menyebutkan dispensasi adalah permohonan masyarakat kepada pemerintah
agar dapat diberikan kebebasan untuk tidak terikat dengan peraturan yang sudah
dibuat oleh pemerintah.17 Di mana proses pencatatan PKWT merupakan bagian dari
aspek hukum administrasi di pemerintahan. Kementerian Ketenagakerjaan dan dinas
yang membidangi ketenagakerjaan kabupaten/kota merupakan subjek yang
melakukan pencatatan atas pengajuan pencatatan PKWT yang dilakukan oleh
pengusaha. Pencatatan ini menurut ketentuan Pasal 14 ayat (1) PP No. 35 Tahun 2021
adalah suatu keharusan atau perintah dari pemerintah kepada pengusaha. Merujuk
pada ketentuan Pasal 1 angka 21 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, yang menyebutkan bahwa dispensasi merupakan pengecualian
terhadap suatu larangan atau perintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Dispensasi diberikan dalam bentuk keputusan pejabat pemerintahan yang
berwenang, dalam hal ini adalah Kementerian Ketenagakerjaan atau dinas yang
membidangi ketenagakerjaan kabupaten/kota. Dispensasi diberikan harus atas

17Nehru Asyikin, ‘Pengawasan Publik Terhadap Pejabat Publik Yang Melakukan Tindakan
Korupsi: Perspektif Hukum Administrasi’ (2020) 4 Jurnal Wawasan Yuridika 88.
permohonan dari masyarakat termasuk pengusaha. Yang menjadi pertanyaan adalah
sejauh mana dispensasi pencatatan diberikan kepada pengusaha terkait pencatatan
PKWT? Dan bagaimanakah ukurannya? Hal ini dapat ditinjau dari aspek kepastian
hukum dan keadilan. Berkaitan dengan kepastian hukum dalam penegakan aturan ini,
maka pelaksanaan dalam PKWT termasuk dalam pencatatannya seharusnya sesuai
dengan ketentuan. Kepastian hukum akan diperoleh ketika pelaksanaan pencatatan
PKWT terlaksana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, serta konsekuensi
apabila pencatatan PKWT tidak dilaksanakan.
Indonesia sebagai penganut aliran kesejahteraan sangat memperhatikan hak
hidup warga negaranya, seperti hak atas pekerjaan, hak mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dalam hubungan kerja, hak penghidupan yang layak, maupun hak
perlindungan kepastian hukum dan keadilan dalam jaminan sosial tenaga kerja, dan
bebas perlakuan yang bersifat diskriminatif. Hak hidup ini secara eksplisit diatur dalam
konstitusi. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil
maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Dalam melaksanakan
pembangunan tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan penting sebagai
pelaku dan tujuan pembangunan. Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya
sesuai dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi, asas adil dan
merata. Pembangunan ketenagakerjaan menyangkut multidimensi dan terkait dengan
berbagai pihak, yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh. Pembangunan
ketenagakerjaan dilakukan secara terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling
mendukung.18
Kedudukan antara pengusaha dan pekerja/buruh berbeda dengan penjual dan
pembeli. Antara penjual dengan pembeli sama kedudukannya. Antara keduanya
mempunyai kebebasan yang sama untuk menentukan ada atau tidak adanya perjanjian.
Kedudukan antara pengusaha dengan pekerja/buruh adalah tidak sama. Secara yuridis
kedudukan pekerja/buruh adalah bebas, tetapi secara sosial ekonomis kedudukan
buruh adalah tidak bebas.19 Walaupun secara yuridis kedudukan pekerja dengan

18 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan UU No. 13 Tahun


2003 (Citra Aditya Bakti 2007) 6-7.
19 ibid 6.
pengusaha adalah sederajat, sehingga harus mendapatkan perlakuan yang sama di
depan hukum, namun di dalam kajian sosiologis hal itu sangat tidak mudah, mengingat
selain pengusaha adalah pihak yang memiliki uang namun juga persentase jumlah
kesempatan pekerjaan dan masyarakat atau jumlah tenaga kerja yang memerlukan
pekerjaan tidak pernah seimbang. Hal inilah yang memicu posisi tawar pekerja dalam
praktik hubungan kerja menjadi lemah. Kedudukan yang tidak sederajat ini mengingat
pekerja/buruh hanya mengandalkan tenaga yang melekat pada dirinya untuk
melaksanakan pekerjaan.
Selain itu, pengusaha sering menganggap pekerja/buruh sebagai obyek dalam
hubungan kerja. Pekerja/buruh sebagai faktor ekstern dalam proses produksi dan
bahkan ada yang beranggapan pengusaha sebagai herr in haus (ibaratnya ini adalah
rumahku terserah akan aku gunakan untuk apa). Maksudnya pengusaha adalah pemilik
dari perusahaan itu, sehingga setiap kegiatan apapun tergantung dari kehendak
pengusaha.20 Inilah yang dikatakan oleh Karl Marx, bahwa pengaturan ketenagakerjaan
khususnya berkenaan dengan pengaturan PKWT di Indonesia merupakan alat
legitimasi dari kelas ekonomi tertentu yang telah dikuasai oleh kelas ekonomi pemilik
modal atau pengusaha. Menurut Marx, hukum yang diindentikan dengan keadilan
hanya omong kosong belaka, karena faktanya hukum melayani kepentingan orang
berpunya. Menurutnya hukum merupakan alat penindasan dari kaum borjuis, hanya
saja berkedok demi kemaslahatan.21
Namun hukum yang baik bukan lah hukum yang pincang atau berat sebelah yang
hanya menguntungkan pengusaha yang kuat dan merugikan pekerja/buruh yang
lemah. Oleh karena itu dalam keadilan distributif, keadaan setiap orang atau kelompok
orang perlu dipertimbangkan, khususnya pekerja/buruh yang keadaannya lebih lemah
jika dibandingkan pengusaha. Menurut Gustav Radbruch, untuk mewujudkan keadilan
distributif diperlukan minum tiga pihak yang salah satunya superior terhadap yang
lain. Hubungan pihak-pihak itu bersifat super dan subordinasi. Oleh karena itu pihak
yang superior yang dimaksud ialah pemerintah.22 Dalam kaitannya ini pemerintah yang
membidangi ketenakerjaan secara presktiptif harus menjadi supervisi berkenaan sah

20 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi (Sinar Grafika 2009).


21 Bernard L. Tanya et al, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi
(Genta publishing 2013).
22 Peter Mahmud Marzuki, Teori Hukum (Kencana 2020) (selanjutnya disebut Peter Mahmud

Marzuki III) 101.


tidaknya PKWT yang dibuat oleh pengusaha dengan pekerja/buruh. Karena
pemerintah itu lah yang kedudukannya lebih superior diatas pengusaha dan
pekerja/buruh.
Oleh karena itu pemerintah harus menetapkan sanksi administrasi melalui
reformulasi terhadap Pasal 14 ayat (1) PP Nomor 35 Tahun 2021 apabila ketika PKWT
yang dibuat oleh pengusaha dengan pekerja/buruh tidak sesuai peraturan perundang-
undangan dan/atau oleh pengusaha tidak dicatatkan kepada pemerintah yang
membidangi ketenagakerjaan. Sanksi administrasi yang dimaksud merupakan
perwujudan dari Una Via Principle, yaitu prinsip penyelesaian secara administrasi
dimaksudkan untuk menutup peluang penyelesaian secara pidana23 sebagai ultimum
remedium. Urgensi keberadaan sanksi yang dimaksud bukan tanpa sebab, karena pada
dasarnya sanksi bukan elemen yang esensial dalam hukum, melainkan menurut L.J. van
Apeldoorn hanya sebagai elemen tambahan.24 Namun tidak dapat dipungkiri, apabila
diperlukan paksaan berkenaan dengan keberlakuannya, maka aturan hukum dapat
diikuti dengan suatu sanksi.25 Hal ini guna kepastian hukum yang adil guna dapat
diterapkannya aturan hukum itu terhadap peristiwa konkrit apabila pengusaha tidak
mencatatkan PKWT yang dibuatnya kepada instansi pemerintah yang membidangi
ketenagakerjaan. Hal ini tentu juga dipandang sebagai perlindungan hukum kepada
pekerja/buruh terhadap kewenang-wenangan pengusaha dalam mengadakan
hubungan kerja dalam wujud PKWT.
Pentingnya perjanjian kerja dalam aspek kepastian hukum yang adil bagi pekerja,
untuk itu berdasarkan perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1313 KUH
Perdata menyebutkan: Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Untuk sahnya
perjanjian kerja, maka pembuatannya harus memenuhi syarat materiil (Pasal 52, Pasal
55, Pasal 58, Pasal 59, dan Pasal 60 UU Ketenagakerjaan) dan syarat formal (Pasal 54 dan
57 UU ketenagakerjaan).26 Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan,
secara materiil perjanjian kerja dibuat atas dasar: a. kesepakatan kedua belah pihak; b.

23 Zainal Arifin Mochtar dan Eddy O.S. Hiariej, Dasar-Dasar Ilmu Hukum: Memahami Kaidah,
Teori Asas Dan Filsafat Hukum (Red and White Publishing 2021).
24 Peter Mahmud Marzuki I, Op., cit 71.
25 Ibid 72.
26 Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia (Citra Aditya Bakti 2014)

50.
kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum ; c. adanya pekerjaan yang
diperjanjikan; dan d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dasar huruf a dan b adalah syarat subyektif, sedangkan dasar huruf c dan d adalah
syarat objektif. Dalam hal terjadi di mana perjanjian kerja itu tidak memenuhi syarat
subyektif, maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya, salah satu pihak (yang tidak
cakap) memiliki hak untuk meminta agar perjanjian itu dibatalkan. Kemudian apabila
perjanjian kerja itu tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian itu batal demi
hukum. Artinya perjanjian kerja itu sejak semula dianggap tidak pernah ada.27
Jika ditinjau pada bentuk dan isi perjanjian kerja berarti berbicara tentang syarat
formal suatu perjanjian kerja. Walau tidak ada satu pun peraturan yang mengangkat
tentang bentuk dan isi perjanjian, karena dijamin dengan adanya “asas kebebasan
berkontrak” yakni suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya
boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apa pun asal tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Asas
kebebasan berkontrak tersebut dituangkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata
dengan memperhatikan Pasal 1320, Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUH Perdata di samping
Pasal 52 UU Ketenagakerjaan.28 Pengelompokan berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan bentuk perjanjian kerja dibagi menjadi dua macam, yaitu: 1). Perjanjian
kerja secara tertulis, yaitu perjanjian kerja yang harus dibuat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Contoh: PKWT, Perjanjian Kerja Antar Daerah (AKAD),
Perjanjian Kerja Antar Negara (AKAN) dan perjanjian kerja laut; 2). Perjanjian kerja
secara lisan, yaitu perjanjian kerja yang dibuat sesuai kondisi masyarakat secara tidak
tertulis. Dari aspek yuridis perjanjian kerja secara lisan (tidak tertulis) diakui
eksistensinya, namun kepentingan litigasi memiliki kelemahan untuk pembuktian jika
timbul perselisihan dikemudian hari.
Jika pengelompokan berdasarkan jangka waktunya perjanjian kerja dibagi
menjadi dua macam, yaitu:
1. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)
Yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang hanya dibuat
untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya
akan selesai dalam waktu tertentu.

27 ibid.
28 ibid.
2. Perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT)
Yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha, dimana jangka
waktu yang ditentunya tidak ditentukan, baik dalam perjanjian, undang-undang,
kebiasaan, atau terjadi secara hukum karena pelanggaran pengusaha terhadap
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

UU Ketenagakerjaan mengkualifikasikan perjanjian kerja menjadi dua macam,


masing-masing adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja
Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh
dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau
untuk pekerjaan tertentu sedangkan PKWTT adalah perjanjian kerja antara
pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat
tetap. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) diatur untuk memberikan
perlindungan bagi tenaga kerja, dengan dasar pertimbangan agar tidak terjadi di mana
pengangkatan tenaga kerja dilakukan melalui perjanjian dalam bentuk perjanjian kerja
waktu tertentu (PKWT) untuk pekerjaan yang sifatnya terus-menerus atau merupakan
pekerjaan tetap/permanen suatu badan usaha.29
Dengan kata lain perlindungan hukum merupakan fungsi dari suatu gambaran
hukum yang di mana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian,
kemanfaatan dan kedamaian. Sehingga dengan demikian, perlu adanya upaya
perlindungan terhadap tenaga kerja agar diharapkan dapat memberikan ketenangan kerja
dan dampak positif terhadap usaha peningkatan produktivitas tenaga kerja.30

Kesimpulan
Pentingnya perjanjian kerja dalam aspek kepastian hukum bagi pekerja,
berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan satu orang atau lebih yang mengikatkan dirinya terhadap satu orang
atau lebih. Mengenai PKWT tersebut, PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja atau
buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu.
PKWT adalah perjanjian bersyarat, dipersyaratkan bahwa harus dibuat tertulis dan
dibuat dalam bahasa Indonesia. Apabila persyaratan itu tidak dipenuhi maka PKWT

29 Falentino Tamponganngoy, ‘Penerapan Sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Di


Indonesia’ (2013) 1 Lex Privatum 146.
30 B Siswanto Sastrohadiwiryo, ‘Manajemen Tenaga Kerja Indonesia: Pendekatan

Administratif Dan Operasional’ (2003) 114.


dianggap sebagai PKWTT. Sehingga diperlukan perlindungan hukum untuk
memberikan keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. Dengan
diberikan perlindungan hukum kepada tenaga kerja dapat memberikan dampak positif
terhadap usaha peningkatan produktivitas tenaga kerja. Pengaturan tentang perjanjian
kerja waktu tertentu sudah cukup lengkap, namun untuk pencatatan yang diatur dalam
Pasal 14 PP No. 35 Tahun 2021 masih perlu adanya tindak lanjut petunjuk teknis atau
petunjuk pelaksanaannya. Aspek-aspek kepastian hukum dan keadilan perlu dipertegas
mengingat kedudukan yang tidak seimbang antara pengusaha dengan pekerja/buruh
membuat apa yang disepakati dalam perjanjian kerja, terutama PKWT akan sangat tidak
memberikan rasa keadilan bagi pekerja/buruh. Bila dikaitkan dengan pencatatan PKWT
yang menjadi keharusan pengusaha untuk melakukannya dengan mencatatkan kepada
pemerintah, perlu adanya pembuatan ketentuan salah satunya dari perspektif hukum
administrasi. Ketentuan tersebut dapat merujuk pada penerapan sanksi administratif
dan/atau prosedur administratif melalui penerbitan dispensasi pencatatan PKWT,
tentunya dengan pertimbangan aspek perlindungan hukum oleh pemerintah terhadap
pekerja/buruh.

Acknowledgments
-
Disclosure Statement
Tidak ada potensi konflik kepentingan yang dilaporkan oleh penulis.
Funding
Tidak ada dana yang diterima untuk penelitian ini.

Daftar Bacaan
Abdul Aziz et al, ‘Perlindungan Hukum Hak Pekerja Pada Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu Dalam Ketenagakerjaan’ (2019) 10 Jurnal Surya Kencana Satu:
Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan

Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan UU No. 13 Tahun


2003 (Citra Aditya Bakti 2007)

——, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia (Citra Aditya Bakti 2014)

Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan (Kanisius 2009)

Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi (Sinar Grafika 2009)

——, Menggugat Konsep Hubungan Kerja (Lubuk Agung 2011)

B Siswanto Sastrohadiwiryo, ‘Manajemen Tenaga Kerja Indonesia: Pendekatan


Administratif Dan Operasional’ (2003)

Bernard L. Tanya et al, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi
(Genta publishing 2013)

Falentino Tamponganngoy, ‘Penerapan Sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Di


Indonesia’ (2013) 1 Lex Privatum

Fithriatus Shalihah, ‘Implementasi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Dalam


Hubungan Kerja Di Indonesia’ (2016) 4 Jurnal Selat

Khairani, Kepastian Hukum Hak Pekerja Outsourcing: Ditinjau Dari Konsep Hubungan Kerja
Antara Pekerja Dengan Pemberi Kerja (Rajawali Pers 2010)

Khairani et al, ‘Perlindungan Pekerja Ditinjau Dari Konsep Hubungan Kerja Pasca
Berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja’ (2023) 7 Unes Journal of Swara Justisia

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Raja Grafindo Persada 2012)

Nehru Asyikin, ‘Pengawasan Publik Terhadap Pejabat Publik Yang Melakukan


Tindakan Korupsi: Perspektif Hukum Administrasi’ (2020) 4 Jurnal Wawasan
Yuridika

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Kencana 2005)

——, Pengantar Ilmu Hukum (Kencana 2008)

——, Teori Hukum (Kencana 2020)

Wiwoho Soedjono, Hukum Perjanjian Kerja (Rineka Cipta 1991)

Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik : Gagasan


Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan (Rajawali Pers 2010)

Zainal Arifin Mochtar dan Eddy O.S. Hiariej, Dasar-Dasar Ilmu Hukum: Memahami Kaidah,
Teori Asas Dan Filsafat Hukum (Red and White Publishing 2021)

Ziyada Wulan Wulida, ‘Aspek Politik Hukum Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Di Indonesia’ (2019) 7 Jurnal Wasaka Hukum

You might also like