Professional Documents
Culture Documents
Hendro Prabowo 1, Muklis Al'anam2, Ahmad Baihaki3, Riski Dyah Normasari4, R.B.
Muhammad Zainal Abidin5, Mohamad Aldy Firdaus6.
1 Faculty of Law, Universitas Airlangga, Indonesia. E-mail: hendro.prabowo-2023@fh.unair.ac.id
2 Faculty of Law, Universitas Airlangga, Indonesia. E-mail: muklis.alanam-2023@fh.unair.ac.id
3 Faculty of Law, Universitas Airlangga, Indonesia. E-mail: ahmad.baihaki-2023@fh.unair.ac.id
4 Faculty of Law, Universitas Airlangga, Indonesia. E-mail: riski.dyah.normasari-
2023@fh.unair.ac.id
5 Faculty of Law, Universitas Airlangga, Indonesia. E-mail: r.b.muhammad.zainal.abidin-
2022@fh.unair.ac.id
6 Faculty of Law, Universitas Airlangga, Indonesia. E-mail: mohamad.aldy.firdaus-
2022@fh.unair.ac.id
Abstract
Keywords: A working agreement for a specific period (PKWT) is a type of work agreement that is based on
PKWT time. PKWT has been regulated in detail in statutory regulations in the field of employment.
Registration; Including arrangements for registration PKWT by entrepreneurs with the Ministry of Manpower
Legal Certainty; or the office in charge of district/city employment. Article 14 PP no. 35 of 2021 states that
Justice; and employers are obliged to register PKWT made with workers/laborers. This mandatory provision is
Legal not followed by sanctions or possible dispensations from the officials concerned. This void of the
Protection. law has the potential to give rise to law and injustice for workers/laborers. Where the government
in this position must provide legal protection to workers/laborers as parties who are socio-
economically weak in front of employers. This research uses statute approach and conceptual
approach. The results of this research are that the potential for non-implementation of PKWT
registration by entrepreneurs can be minimized by making new provisions regarding the
application of administrative sanctions and/or administrative procedures through the issuance of
dispensations for PKWT registration, of course taking into account aspects of legal protection by
the government for workers/laborers.
Abstrak
Kata Kunci: Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) merupakan salah satu jenis perjanjian kerja yang
Pencatatan didasarkan atas waktu. PKWT telah diatur secara rinci dalam peraturan perundang-
PKWT; undangan di bidang ketenagakerjaan. Termasuk pengaturan pencatatan PKWT oleh
Kepastian pengusaha kepada Kementerian Ketenagakerjaan atau dinas yang membidangi
Hukum; ketenagakerjaan kabupaten/kota. Pasal 14 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun
Keadilan; dan 2021 menyebutkan keharusan pengusaha untuk mencatatkan PKWT yang dibuat dengan
Perlindungan pekerja/buruh. Ketentuan keharusan ini tidak diikuti dengan sanksi atau
Hukum. dimungkinkannya dispensasi dari pejabat yang bersangkutan. Adanya kekosongan
hukum ini berpotensi dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan
bagi pekerja/buruh. Di mana pemerintah pada posisi ini harus memberikan
perlindungan hukum kepada pekerja/buruh sebagai pihak yang secara sosial ekonomi
lemah di hadapan pengusaha. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-
undangan dan konseptual. Hasil penelitian ini adalah bahwa potensi tidak
dilaksanakannya pencatatan PKWT oleh pengusaha dapat diminimalisir dengan
membuat ketentuan baru berkaitan dengan penerapan sanksi administratif dan/atau
prosedur administratif melalui penerbitan dispensasi pencatatan PKWT, tentunya
dengan pertimbangan aspek perlindungan hukum oleh pemerintah terhadap
pekerja/buruh.
Copyright © 2023 Hendra Prabowo, Muklis Al’anam, Ahmad Baihaki, Riski Dyah Normasari,
R.B.Muhammad Zainal Abidin, Mohamad Aldy Firdaus.
Published in Media Iuris. Published by Universitas Airlangga, Magister Ilmu Hukum.
Pendahuluan
Hubungan kerja merupakan salah satu aspek yang penting dalam mewujudkan
hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan sebagaimana tujuan dari
Pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia. Tujuan ini sebagaimana termaktub dalam
penjelasan umum UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi dasar
pembangunan nasional yang salah satunya adalah pembangunan ketenagakerjaan.
Pembangunan ketenagakerjaan tersebut haruslah memberikan hak-hak dan
perlindungan bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta mampu mewujudkan
kondusifitas yang positif bagi pengembangan dunia usaha.
Salah satu bentuk perlindungan bagi pekerja/buruh adalah perlindungan
kepastian hukum tentang status hubungan kerja dengan pengusaha di samping hak
yang dijamin oleh konstitusi. Perlindungan dan hak tersebut sebagaimana telah
diamanatkan dalam UUD NRI 1945 dalam beberapa Pasal. Pasal 27 ayat (2)
menyebutkan hak warga negara atas pekerjaan, kemudian Pasal 28D ayat (1) tentang
hak warga negara terkait perlindungan dan kepastian hukum serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum. Selanjutnya, terkait hak untuk bekerja dan mendapat imbalan
serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja diatur dalam Pasal 28D ayat
(2).Ketentuan-ketentuan di atas menandakan adanya kehadiran negara dalam
memberikan perlindungan dan hak bagi pekerja/buruh dan diposisikan sebagai hal
yang penting sehingga dilindungi oleh UUD NRI 1945.
Kedudukan pekerja/buruh dianggap sebagai pihak yang lebih lemah dibanding
pengusaha terutama dalam aspek ekonomi, di mana pengusaha sebagai pihak yang
lebih kuat karena memiliki berbagai keunggulan baik keuangan, sumber daya, sampai
pada posisi tawar terhadap pekerja/buruh.1 Ketimpangan atau ketidakseimbangan ini
memberikan suatu dampak pada kontrak kerja atau perjanjian kerja yang semu antara
pengusaha dengan pekerja/buruh. Kondisi yang demikian dapat menyebabkan
pengusaha berlaku semena-mena dan menekan pekerja/buruh dengan upah dibayar
2 ibid 5–6.
3 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Kencana 2008) (Selanjutnya disebut Peter
Mahmud Marzuki I) 194-198.
4 Abdul Aziz et al, ‘Perlindungan Hukum Hak Pekerja Pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Dalam Ketenagakerjaan’ (2019) 10 Jurnal Surya Kencana Satu: Dinamika Masalah Hukum dan
Keadilan 59-60.
berdasarkan suatu perjanjian kerja, baik perjanjian kerja yang dibuat secara lisan
maupun tertulis. Dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia selain bentuk perjanjian
kerja tertulis maupun lisan, terdapat dua jenis perjanjian kerja yaitu perjanjian kerja
waktu tertentu dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja waktu tertentu
(PKWT) atau pekerja/buruhnya biasa disebut karyawan kontrak dan perjanjian kerja
waktu tidak tertentu (PKWTT) atau pekerja/buruhnya disebut karyawan tetap.
PKWT yang dibuat antara pengusaha dan pekerja/buruh harus dicatatkan
kepada kementerian ketenagakerjaan secara daring atau dinas yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota apabila daring belum tersedia. Ketentuan
ini sejalan dengan perlindungan bagi pekerja/buruh yang berstatus PKWT atau
karyawan kontrak. Perlindungan ini memberikan kepastian karena dalam pencatatan
PKWT akan melalui sejumlah proses verifikasi/pengecekan oleh dinas. Pencatatan di
instansi di bidang ketenagakerjaan ini tidak semata-mata hanya menerima pencatatan
untuk kemudian diberikan tanda bukti pencatatan, namun ada mekanisme pemeriksaan
atau verifikasi baik syarat formal maupun material/substansi dalam PKWT atau dengan
kata lain, ketentuan pencatatan PKWT bersifat mandatory provision yang bersifat
memaksa5 dan tidak dapat di simpangi. Meskipun pencatatan PKWT ini diharuskan
pemerintah melalui Pasal 14 ayat (1) PP Nomor 35 Tahun 2021, namun tidak diikuti
dengan sanksi bagi perusahaan yang melanggarnya. Apabila kewajiban pencatatan
PKWT tidak terdapat sanksi maka bisa dipastikan perusahaan yang tidak mencatatkan
PKWT, sehingga apabila perusahaan melanggar isi dari PKWT tersebut, tidak bisa
diketahui oleh instansi yang membidangi ketenagakerjaan.6 Pekerja/buruh dapat saja
tidak mematuhi pengaturan PKWT yang tidak baik dan tentunya dapat diterima apabila
ketidakpatuhan itu terdapat alasan yang sangat luhur bahwa pengaturan itu tidak adil
dan merugikannya.7 Namun sekali lagi, law is law atau hukum positif dapat dipaksakan
keberlakuannya dan harus dipatuhi karena ditetapkan oleh penguasa.
Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu dikaji antara lain permasalahan apa saja
dalam pencatatan perjanjian kerja waktu tertentu, mulai dari pencatatan yang dilakukan
perusahaan tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan maupun
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum (legal research), yaitu penelitian
yang mencari dan menemukan kebenaran koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai
dengan norma hukum dan adakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai
dengan prinsip hukum.8 Dalam penelitian ini adakah aturan yang berisi norma berupa
perintah terhadap pengusaha untuk mencatatkan PKWT kepada instansi yang
membidangi ketenagakerjaan koheren dengan prinsip hukum kepastian hukum yang
adil. Penelitian ini menggunakan statute approach dan conceptual approach. Bahan hukum
primer yang digunakan penelitian ini yaitu bahan hukum yang sifatnya otoritas yang
mengatur ketentuan pencatatan PKWT yang kemudian akan dihubungkan dengan
baham-bahan hukum sekunder berupa buku hukum dan artikel jurnal hukum, yang
nantinya hasil dan rekomendasi penelitian menghasilkan sesuatu yang bersifat
preskriptif normatif.
8Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Kencana 2005) (selanjutnya disebut Peter
Mahmud Marzuki II) 47.
9 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Raja Grafindo Persada 2012) 10.
10 Fithriatus Shalihah, ‘Implementasi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Dalam
11 Khairani, Kepastian Hukum Hak Pekerja Outsourcing: Ditinjau Dari Konsep Hubungan Kerja
Antara Pekerja Dengan Pemberi Kerja (Rajawali Pers 2010) 4.
kedudukan para pihak yang tidak seimbang melalui pengaturan, kebijakan pelayan dan
penindakan sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 102 UU Ketenagakerjaan. 12
Ketentuan Pasal 59 UU Cipta Kerja diatur lebih lanjut di dalam Bab II Pasal 2 sampai
Pasal 17 PP No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya,
Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja. Menurut Yuliandri,
dilihat dari materi yang diatur di dalam peraturan pemerintah ini sebaiknya namanya
cukup Hubungan Kerja, apalagi dikaitkan dengan konsep ilmu perundang-undangan
bahwa nama suatu peraturan itu harus singkat dan jelas.13 Pada aspek hubungan kerja jika
ditinjau Pasal 1601d BW dan Pasal 339 KUHD, kesepakatan kerja yang harus di tulis
adalah kesepakatan kerja untuk pelaut atau untuk buruh-buruh yang bekerja di
perkebunan. Rasio dari kewajiban tertulis tersebut adalah dalam rangka perlindungan
terhadap buruh karena pekerjaan di laut ataupun di perkebunan memiliki risiko yang
tertinggi terhadap terjadinya kecelakaan kerja bagi buruh-buruh yang bekerja di sana,
hubungan antara seseorang yang bertindak sebagai pekerja atau buruh dengan seseorang
yang bertindak sebagai majikan.14
Ketentuan dalam PP No. 35 Tahun 2021 tersebut mengatur bahwa Hubungan kerja
dapat dilakukan berdasarkan PKWT.15 PKWT terbagi menjadi dua dan didasarkan atas:
PKWT yang didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu,
tidak boleh dilaksanakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
1. PKWT berdasarkan atas jangka waktu. PKWT berdasarkan jangka waktu dibuat
untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu seperti:
a. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama. PKWT ini dapat dilaksanakan pada pekerjaan-pekerjaan yang
penyelesaiannya diperkirakan dalam waktu yang tidak terlalu lama dilaksanakan
untuk paling lama lima tahun.
b. Pekerjaan yang bersifat musiman. PKWT berdasarkan pekerjaan yang bersifat
musiman terbagi menjadi dua yaitu:
1) Pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada musim tertentu atau cuaca
tertentu, atau
2) Pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada kondisi tertentu yaitu
merupakan pekerjaan tambahan yang dilakukan untuk memenuhi pesanan
atau target tertentu; atau
12 ibid.
13 Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik : Gagasan
Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan (Rajawali Pers 2010) 19.
14 Wiwoho Soedjono, Hukum Perjanjian Kerja (Rineka Cipta 1991).
15 Khairani et al, ‘Perlindungan Pekerja Ditinjau Dari Konsep Hubungan Kerja Pasca
Berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja’ (2023) 7 Unes Journal of Swara Justisia 709-712.
c. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Produk baru yang
dimaksud di sini adalah produk yang sebelumnya belum pernah ada atau
pengembangan produk yang sudah ada, sedangkan kegiatan baru adalah usaha
yang baru dilaksanakan oleh perusahaan.
PKWT yang dibuat berdasarkan jangka waktu ini dibuat untuk waktu paling lama
lima tahun. Pasal 8 ayat (2) PP No. 35 Tahun 2021 memberikan kelonggaran untuk
PKWT yang dilakukan kurang dari lima tahun dapat dilakukan perpanjangan PKWT
apabila pekerjaan yang dilaksanakan belum selesai menjelang PKWT berakhir.
Perpanjangan PKWT dapat dilakukan dengan syarat: 1) jangka waktu sesuai
kesepakatan pengusaha dengan pekerja/buruh; dan 2) jangka waktu keseluruhan
PKWT dan perpanjangannya tidak lebih dari lima tahun.
2. PKWT berdasarkan atas selesainya suatu pekerjaan tertentu. PKWT ini dibuat untuk
pekerjaan-pekerjaan tertentu yaitu:
a. Pekerjaan yang sekali selesai; atau
b. Pekerjaan yang sementara sifatnya.
PKWT berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu harus didasarkan pada
kesepakatan pengusaha dan pekerja/buruh. Kesepakatan tersebut harus dimasukkan
dalam perjanjian kerja. Kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh harus
memuat: 1) ruang lingkup dan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai. Ruang
lingkup dan batasan ini adalah jenis pekerjaan dan lokasi pekerjaan dilakukan; 2)
lamanya waktu penyelesaian pekerjaan disesuaikan dengan selesainya suatu pekerjaan.
Ketentuan Pasal 9 ayat (3) PP No. 35 Tahun 2021 juga mengatur apabila pekerjaan
tertentu diselesaikan sebelum habisnya waktu yang disepakati maka PKWT putus demi
hukum pada saat selesainya pekerjaan. Namun dalam Pasal 9 ayat (4) PP No. 35 Tahun
2021 mengatur kondisi yang sebaliknya, yaitu apabila pekerjaan tertentu belum dapat
diselesaikan sedangkan waktu yang disepakati dalam PKWT telah habis, maka jangka
waktu PKWT dilakukan perpanjangan sampai batas tertentu hingga pekerjaannya
selesai. Hal ini memberikan acuan apabila terdapat keterlambatan penyelesaian
pelaksanaan pekerjaan.
3. PKWT juga dapat dilaksanakan untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu lainnya yang
jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap. PKWT ini dapat berupa
pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah. Hal-hal yang berubah-ubah
tersebut meliputi: 1) waktu; 2) volume pekerjaan; serta 3) pembayaran upah
berdasarkan kehadiran. PKWT ini dapat dilaksanakan pada pekerjaan dengan
perjanjian kerja harian. Terdapat ketentuan pelaksanaan perjanjian kerja harian,
yaitu: 1) maksimal dalam satu bulan 20 hari kerja, dan 2) apabila pekerja/buruh
bekerja 21 hari atau lebih selama tiga bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian
kerja harian tidak berlaku dan hubungan kerja berubah menjadi PKWTT. PKWT
dengan perjanjian kerja harian ini kurang memberikan perlindungan bagi
pekerja/buruh karena ketentuan ini tidak membatasi sampai batas waktu berapa
lama perjanjian kerja harian ini berlaku, berbeda dengan PKWT berdasarkan jangka
waktu dan selesainya pekerjaan tertentu. Selain ketentuan di atas, terdapat syarat
dalam pembuatan perjanjian kerja harian, yaitu: 1) perjanjian kerja harian harus
secara tertulis; 2) dapat dibuat secara kolektif; 3) pengusaha wajib memenuhi hak-
hak pekerja/buruh termasuk hak atas program jaminan sosial. Perjanjian kerja harian
yang dibuat minimal memuat: 1) nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja; 2)
nama/alamat pekerja/buruh; 3) jenis pekerjaan yang dilakukan; dan 4) besarnya
upah.
Selain memberikan perlindungan hukum dengan mengatur jenis-jenis PKWT
dalam hubungan kerja, pemerintah juga mengatur hal-hal berkaitan dengan PKWT
melalui beberapa ketentuan yang diatur dalam PP No. 35 Tahun 2021. Ketentuan
tersebut meliputi:
1. PKWT yang dibuat antara pengusaha dengan pekerja/buruh tidak boleh
menyaratkan adanya masa percobaan.16 Apabila pengusaha mensyaratkan masa
percobaan, maka masa percobaan tersebut batal demi hukum dan masa kerja tetap
dihitung. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 12 PP No. 35 Tahun 2021;
2. Syarat minimum yang harus termuat dalam PKWT. Pasal 13 PP No. 35 Tahun 2021
menyebutkan Sembilan syarat minimum yang harus termuat dalam PKWT yang
dibuat pengusaha dan pekerja/buruh. Syarat tersebut merupakan syarat formil
PKWT meliputi:
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besaran dan cara pembayaran upah;
16 ibid 715.
f. hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan/atau syarat kerja yang diatur dalam
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya PKWT;
h. tempat dan tanggal PKWT dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam PKWT.
3. Ketentuan PKWT yang telah dibuat harus dicatatkan oleh pengusaha pada
Kementerian Ketenagakerjaan secara daring maksimal tiga hari sejak ditandatangani
atau kepada dinas yang membidangi ketenagakerjaan kabupaten/kota maksimal
tujuh hari sejak PKWT ditandatangani. Meskipun diatur sebagai sebuah keharusan,
namun dalam PP No. 35 Tahun 2021 tidak diikuti dengan konsekuensi apabila
pengusaha tidak melaksanakan ketentuan tersebut.
4. Pengusaha diwajibkan membayar uang kompensasi kepada pekerja/buruh dalam
hubungan kerja berdasarkan PKWT. Pemberian uang kompensasi tidak berlaku pada
tenaga kerja asing yang dipekerjakan oleh pemberi kerja.
5. Selain uang kompensasi, dalam PKWT terdapat ganti rugi sebagaimana diatur dalam
Pasal 62 UU Ketenagakerjaan. Ganti rugi wajib dibayarkan oleh pihak yang
mengakhiri PKWT, baik pengusaha maupun pekerja/buruh, sebelum habis jangka
waktunya. Besarnya ganti rugi adalah sebesar upah pekerja/buruh sampai
berakhirnya PKWT.
Kepastian Hukum dan Keadilan dalam Pencatatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Setiap PKWT yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja/buruh harus dicatatkan.
Pihak yang harus mencatatkan adalah pihak pengusaha. Pencatatan ini dilakukan pada
Kementerian Ketenagakerjaan secara daring maksimal dalam waktu tiga hari sejak
PKWT ditandatangani atau apabila belum tersedia pencatatan secara daring maka
pencatatan diajukan kepada dinas yang membidangi ketenagakerjaan kabupaten/kota
maksimal tujuh hari sejak PKWT ditandatangani. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 14
PP No. 35 Tahun 2021. Keharusan pencatatan ini menimbulkan persoalan apabila PKWT
yang telah dibuat oleh pengusaha dengan pekerja/buruh tidak dicatatkan oleh
pengusaha.
Dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 59 ayat (1) mengatur tentang PKWT hanya
dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Dalam penjelasan pasal tersebut
menyebutkan bahwa PKWT dicatatkan ke instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan. Konsekuensi apabila PKWT tidak dicatatkan apabila merujuk pada
Pasal 59 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang menyebutkan PKWT yang dibuat tidak
memenuhi ketentuan jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam
waktu tertentu atau PKWT diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap, sebagaimana
diatur dalam Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU Ketenagakerjaan, maka demi hukum
menjadi PKWTT. Meskipun pencatatan PKWT hanya diatur dalam penjelasan Pasal 59
ayat (1) UU Ketenagakerjaan, oleh karena penjelasan pasal-demi pasal berfungsi sebagai
tafsir resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam
batang tubuh, sehingga kewajiban pencatatan PKWT merupakan tafsir resmi dari
ketentuan PKWT dalam batang tubuh Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Merujuk
pada ketentuan tersebut, maka jika pencatatan PKWT tidak dilakukan oleh pengusaha
berarti PKWT yang dilakukan pengusaha dan pekerja/buruh tidak memenuhi
ketentuan Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dan konsekuensinya PKWT demi
hukum menjadi PKWTT.
Ditinjau dari hukum administrasi, Ridwan HR, sebagaimana dikutip oleh Nehru
Asyikin, menyebutkan dispensasi adalah permohonan masyarakat kepada pemerintah
agar dapat diberikan kebebasan untuk tidak terikat dengan peraturan yang sudah
dibuat oleh pemerintah.17 Di mana proses pencatatan PKWT merupakan bagian dari
aspek hukum administrasi di pemerintahan. Kementerian Ketenagakerjaan dan dinas
yang membidangi ketenagakerjaan kabupaten/kota merupakan subjek yang
melakukan pencatatan atas pengajuan pencatatan PKWT yang dilakukan oleh
pengusaha. Pencatatan ini menurut ketentuan Pasal 14 ayat (1) PP No. 35 Tahun 2021
adalah suatu keharusan atau perintah dari pemerintah kepada pengusaha. Merujuk
pada ketentuan Pasal 1 angka 21 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, yang menyebutkan bahwa dispensasi merupakan pengecualian
terhadap suatu larangan atau perintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Dispensasi diberikan dalam bentuk keputusan pejabat pemerintahan yang
berwenang, dalam hal ini adalah Kementerian Ketenagakerjaan atau dinas yang
membidangi ketenagakerjaan kabupaten/kota. Dispensasi diberikan harus atas
17Nehru Asyikin, ‘Pengawasan Publik Terhadap Pejabat Publik Yang Melakukan Tindakan
Korupsi: Perspektif Hukum Administrasi’ (2020) 4 Jurnal Wawasan Yuridika 88.
permohonan dari masyarakat termasuk pengusaha. Yang menjadi pertanyaan adalah
sejauh mana dispensasi pencatatan diberikan kepada pengusaha terkait pencatatan
PKWT? Dan bagaimanakah ukurannya? Hal ini dapat ditinjau dari aspek kepastian
hukum dan keadilan. Berkaitan dengan kepastian hukum dalam penegakan aturan ini,
maka pelaksanaan dalam PKWT termasuk dalam pencatatannya seharusnya sesuai
dengan ketentuan. Kepastian hukum akan diperoleh ketika pelaksanaan pencatatan
PKWT terlaksana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, serta konsekuensi
apabila pencatatan PKWT tidak dilaksanakan.
Indonesia sebagai penganut aliran kesejahteraan sangat memperhatikan hak
hidup warga negaranya, seperti hak atas pekerjaan, hak mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dalam hubungan kerja, hak penghidupan yang layak, maupun hak
perlindungan kepastian hukum dan keadilan dalam jaminan sosial tenaga kerja, dan
bebas perlakuan yang bersifat diskriminatif. Hak hidup ini secara eksplisit diatur dalam
konstitusi. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil
maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Dalam melaksanakan
pembangunan tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan penting sebagai
pelaku dan tujuan pembangunan. Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya
sesuai dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi, asas adil dan
merata. Pembangunan ketenagakerjaan menyangkut multidimensi dan terkait dengan
berbagai pihak, yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh. Pembangunan
ketenagakerjaan dilakukan secara terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling
mendukung.18
Kedudukan antara pengusaha dan pekerja/buruh berbeda dengan penjual dan
pembeli. Antara penjual dengan pembeli sama kedudukannya. Antara keduanya
mempunyai kebebasan yang sama untuk menentukan ada atau tidak adanya perjanjian.
Kedudukan antara pengusaha dengan pekerja/buruh adalah tidak sama. Secara yuridis
kedudukan pekerja/buruh adalah bebas, tetapi secara sosial ekonomis kedudukan
buruh adalah tidak bebas.19 Walaupun secara yuridis kedudukan pekerja dengan
23 Zainal Arifin Mochtar dan Eddy O.S. Hiariej, Dasar-Dasar Ilmu Hukum: Memahami Kaidah,
Teori Asas Dan Filsafat Hukum (Red and White Publishing 2021).
24 Peter Mahmud Marzuki I, Op., cit 71.
25 Ibid 72.
26 Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia (Citra Aditya Bakti 2014)
50.
kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum ; c. adanya pekerjaan yang
diperjanjikan; dan d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dasar huruf a dan b adalah syarat subyektif, sedangkan dasar huruf c dan d adalah
syarat objektif. Dalam hal terjadi di mana perjanjian kerja itu tidak memenuhi syarat
subyektif, maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya, salah satu pihak (yang tidak
cakap) memiliki hak untuk meminta agar perjanjian itu dibatalkan. Kemudian apabila
perjanjian kerja itu tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian itu batal demi
hukum. Artinya perjanjian kerja itu sejak semula dianggap tidak pernah ada.27
Jika ditinjau pada bentuk dan isi perjanjian kerja berarti berbicara tentang syarat
formal suatu perjanjian kerja. Walau tidak ada satu pun peraturan yang mengangkat
tentang bentuk dan isi perjanjian, karena dijamin dengan adanya “asas kebebasan
berkontrak” yakni suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya
boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apa pun asal tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Asas
kebebasan berkontrak tersebut dituangkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata
dengan memperhatikan Pasal 1320, Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUH Perdata di samping
Pasal 52 UU Ketenagakerjaan.28 Pengelompokan berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan bentuk perjanjian kerja dibagi menjadi dua macam, yaitu: 1). Perjanjian
kerja secara tertulis, yaitu perjanjian kerja yang harus dibuat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Contoh: PKWT, Perjanjian Kerja Antar Daerah (AKAD),
Perjanjian Kerja Antar Negara (AKAN) dan perjanjian kerja laut; 2). Perjanjian kerja
secara lisan, yaitu perjanjian kerja yang dibuat sesuai kondisi masyarakat secara tidak
tertulis. Dari aspek yuridis perjanjian kerja secara lisan (tidak tertulis) diakui
eksistensinya, namun kepentingan litigasi memiliki kelemahan untuk pembuktian jika
timbul perselisihan dikemudian hari.
Jika pengelompokan berdasarkan jangka waktunya perjanjian kerja dibagi
menjadi dua macam, yaitu:
1. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)
Yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang hanya dibuat
untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya
akan selesai dalam waktu tertentu.
27 ibid.
28 ibid.
2. Perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT)
Yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha, dimana jangka
waktu yang ditentunya tidak ditentukan, baik dalam perjanjian, undang-undang,
kebiasaan, atau terjadi secara hukum karena pelanggaran pengusaha terhadap
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Kesimpulan
Pentingnya perjanjian kerja dalam aspek kepastian hukum bagi pekerja,
berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan satu orang atau lebih yang mengikatkan dirinya terhadap satu orang
atau lebih. Mengenai PKWT tersebut, PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja atau
buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu.
PKWT adalah perjanjian bersyarat, dipersyaratkan bahwa harus dibuat tertulis dan
dibuat dalam bahasa Indonesia. Apabila persyaratan itu tidak dipenuhi maka PKWT
Acknowledgments
-
Disclosure Statement
Tidak ada potensi konflik kepentingan yang dilaporkan oleh penulis.
Funding
Tidak ada dana yang diterima untuk penelitian ini.
Daftar Bacaan
Abdul Aziz et al, ‘Perlindungan Hukum Hak Pekerja Pada Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu Dalam Ketenagakerjaan’ (2019) 10 Jurnal Surya Kencana Satu:
Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan
Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan (Kanisius 2009)
Bernard L. Tanya et al, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi
(Genta publishing 2013)
Khairani, Kepastian Hukum Hak Pekerja Outsourcing: Ditinjau Dari Konsep Hubungan Kerja
Antara Pekerja Dengan Pemberi Kerja (Rajawali Pers 2010)
Khairani et al, ‘Perlindungan Pekerja Ditinjau Dari Konsep Hubungan Kerja Pasca
Berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja’ (2023) 7 Unes Journal of Swara Justisia
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Raja Grafindo Persada 2012)
Zainal Arifin Mochtar dan Eddy O.S. Hiariej, Dasar-Dasar Ilmu Hukum: Memahami Kaidah,
Teori Asas Dan Filsafat Hukum (Red and White Publishing 2021)
Ziyada Wulan Wulida, ‘Aspek Politik Hukum Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Di Indonesia’ (2019) 7 Jurnal Wasaka Hukum