You are on page 1of 5

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Foot and Mouth Disease (FMD) atau lebih dikenal dengan Penyakit Mulut
dan Kuku (PMK) merupakan penyakit hewan menular bersifat akut yang
disebabkan oleh virus tipe A dari famili Picornaviridae genus Aphthovirus. PMK
menyerang hewan berkuku genap seperti sapi, kerbau, kambing, dan domba.
Penyakit ini menyebar dengan cepat mengikuti arus transportasi daging dan
ternak terinfeksi (DinasKPP, 2022). Hewan yang terinfeksi virus ini umumnya
akan menunjukkan gejala-gejala seperti demam dan munculnya lepuh, bisul
serta koreng pada mulut, lidah, hidung, kaki dan puting. Ternak yang terinfeksi
biasanya mengalami depresi, enggan bergerak, cairan hidung dan air liur
berlebihan dan hilang nafsu makan. Akibatnya terjadi penurunan pada produksi
susu, berat badan dan pertumbuhannya (Dishanpangternak, 2022).

Indonesia pernah mengalami beberapa kali wabah PMK sejak penyakit ini
pertama kali masuk pada tahun 1887 melalui impor sapi dari Belanda. Wabah
PMK terakhir terjadi di Pulau Jawa pada tahun 1983 yang kemudian dapat
diberantas melalui program vaksinasi massal. Indonesia dinyatakan sebagai
negara bebas PMK pada tahun 1986 melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian
No. 260/1986 dan kemudian diakui oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia
(OIE) pada tahun 1990 dengan Resolusi No. XI (FoodReview, 2022).

Pada April 2022 penyakit mulut dan kuku merebak lagi di beberapa
wilayah Indonesia, berawal dari laporan Dinas Peternakan Jawa Timur yang
menyatakan ditemukannya kasus penyakit mulut dan kuku di Gresik, Jawa
Timur (Khusniani, 2022). Wabah penyakit ini kini telah menyebar ke 16 provinsi
di Indonesia per 22 Mei 2022, dari sebelumnya 15 provinsi. Kementerian
Pertanian (Kementan) mencatat telah ada 82 kabupaten dengan 5,45 juta ekor
hewan yang terkena PMK atau mencapai 39,4 persen dari total hewan ternak
nasional pada akhir 2021 (Gunawan, 2022).

Penyakit ini tidak menular pada manusia atau tidak bersifat zoonosis.
Namun, virus PMK ini bisa menempel pada pakaian manusia, sehingga manusia
menjadi salah satu jalur penularan virus ini terhadap hewan ternak. Cara
penularan lainnya dapat melalui kontak langsung antara hewan yang tertular
dengan hewan rentan, melalui kendaraan dan benda-benda yang terkontaminasi
virus, serta dapat ditularkan melalui udara. Mengingat banyaknya cara virus
PMK menyebar menuntut kewaspadaan untuk terhindar dari tertularnya virus
PMK ini, maka diperlukan pendeteksian PMK sedini mungkin dalam upaya

1
2

pengendalian dan penanggulangan PMK serta pengaturan lalu lintas ternak dan
pencegahan penyebaran penyakit antar wilayah.

Ada dua strategi yang bisa diterapkan, yang pertama adalah biosecurity.
Biosecurity ini adalah strategi yang paling penting dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Prosesnya yaitu ketika sudah ada deklarasi wabah di suatu
daerah maka wilayah tersebut harus ditutup. Kemudian dilakukan pembersihan
dan desinfeksi seperti penguburan dan pembakaran barang-barang yang kiranya
terkontaminasi dari hewan yang terinfeksi. Binatang yang ditemukan terjangkit
harus segera diisolasi dengan masa inkubasi 14 hari. Strategi kedua adalah
secara medis melalui pengobatan atau vaksinasi (Wansus, 2022).

Untuk mewujudkan tindakan cepat dalam mendeteksi gejala PMK, maka


diperlukan pengembangan sistem untuk membantu para peternak dalam
pendeteksian gejala awal PMK terhadap sapi ternaknya sehingga peternak dapat
langsung melakukan pertolongan pertama pada hewan yang terinfeksi seperti
pemisahan kandang agar dapat menghambat penyebaran virus pada hewan
ternak lainnya sebelum dilakukannya vaksinasi.

Di zaman yang modern seperti saat ini, menyadarkan kita akan


perkembangan dunia teknologi yang semakin berkembang. Hampir setiap bidang
membutuhkan dan terpengaruh terhadap perkembangan dunia teknologi tak
terkecuali bidang kesehatan. Salah satu teknologi yang saat ini masih
dikembangkan adalah Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.
Kecerdasan buatan terdiri dari beberapa ruang lingkup utama, salah satunya
adalah computer vision. Computer vision merupakan ilmu yang memungkinkan
sebuah komputer dapat “melihat” dan mengenali objek layaknya manusia.
Tujuan “melihat” ini nantinya komputer dapat menganalisis sendiri gambar di di
depannya sehingga hasil dari analisis tersebut dapat memberikan sebuah
informasi yang dapat berubah menjadi perintah. Salah satu penerapan dari
computer vision adalah deteksi penyakit.

Dari beberapa penelitian di bidang Informatika terdapat cara untuk


mendeteksi penyakit, yaitu melalui deteksi citra digital atau foto dan hasil
pengolahan wawancara. Salah satu teknologi yang digunakan untuk deteksi
secara citra digital dapat menggunakan Convolutional Neural Network (CNN).
Convolutional Neural Network adalah jenis metode deep learning yang digunakan
untuk citra visual. Implementasi algoritma CNN dapat dilakukan dengan
menggunakan framework Tensorflow.
3

Tensorflow adalah framework machine learning yang bekerja dalam skala


besar dan dalam environment yang heterogeneous. Framework ini juga digunakan
untuk melakukan eksperimen deep learning, melatih model pada dataset yang
berukuran besar, dan membuatnya layak diproduksi. Pembuatan model diawali
dengan akuisisi citra, dan menyimpan model dalam format tensorflow lite (.tflite).
Tensorflow lite digunakan karena dapat mengurangi ukuran file dan
meningkatkan kecepatan eksekusi tanpa mempengaruhi keakuratan sehingga
dapat diterapkan pada android (Hikmatia A.E & Ihsan Zul, 2021).

Untuk memudahkan proses deteksi gejala awal penyakit PMK pada sapi
dapat dilakukan dengan penanaman model deteksi dengan format tflite ke dalam
aplikasi android sehingga aplikasi yang dibuat tidak memerlukan koneksi
internet sama sekali, namun jika data pada aplikasi tersebut harus di update ke
data yang lebih baru karena aplikasi tidak dapat mengunduh data dari server
online. Untuk mendapatkan data pendeteksian selalu yang terbaru, maka aplikasi
juga akan dikembangkan menggunakan REST API. Sehingga aplikasi
pendeteksian gejala awal PMK pada sapi ini dapat dijalankan secara offline
maupun online.

Dalam proses pengembangan perangkat lunak, untuk menghasilkan


produk yang berkualitas, terdapat siklus hidup yang disebut dengan Software
Development Life Cycle (SDLC). SDLC adalah bentuk penggambaran tahapan
proses pengembangan sistem. Terdapat beberapa model pengembangan SDLC
yang biasanya digunakan dalam mengembangkan perangkat lunak diantaranya
Model Sequential Model atau Waterfall, Parallel Model, Iterative Model, Prototyping
Model, RAD (Rapid Application Development) Model, Spiral Model, V Shaped Model
dan Agile Development.

Penelitian mengenai pengembangan aplikasi mobile berbasis android juga


telah dilakukan oleh Kirmani, 2017 dengan judul “Agile Development Method for
Mobile applications: A Study”. Pada penelitian ini metode agile memiliki tingkat
kesesuaian yang baik untuk pengembangan aplikasi mobile. Metode agile
dianggap sangat sesuai untuk lingkungan seluler yang sering berubah – ubah
sehingga metode agile ini cocok dan diusulkan untuk membantu meningkatkan
kecepatan dan kualitas pengembangan aplikasi mobile.

Penelitian mengenai pengembangan aplikasi mobile berbasis android


menggunakan model Mobile-D telah dilakukan oleh Ependi, 2017 dengan judul
“Mobile Application Monitoring Pengisian Uang Anjungan Tunai Mandiri PT Bank
Mandiri Cabang Palembang”. Pada penelitian ini hasil dari pengembangan yang
dilakukan secara sistematis dan terstruktur menggunakan Mobile-D menyatakan
4

proses pengujian yang menyatakan semua komponen aplikasi dapat berjalan


dengan baik (diterima).

Beberapa penelitian tersebut pengembangan aplikasi menggunakan


metode Mobile-D dapat berjalan dengan baik. Meski pengembangan aplikasi
mobile android menggunakan model Mobile-D sudah pernah diteliti dalam
penelitian lain, namun pengembangan aplikasi deteksi penyakit menggunakan
model Mobile-D belum dilakukan dalam penelitian lain. Menurut (Abrahamsson
et al., 2004) Mobile-D Methodology merupakan pendekatan pengembangan Agile
(tangkas/cepat). Disamping itu Mobile-d bersifat iteratif dapat memenuhi
kebutuhan yang berubah – ubah yang mana cocok untuk menggali kebutuhan
langsung dari pengguna aplikasi (end-user) (Mahendra et al., 2018).

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka diangkatlah


sebuah topik penelitian pengembangan perangkat lunak menggunakan model
Mobile-D dengan judul “Rancang Bangun Aplikasi Mobile Pendeteksi Gejala
Awal Penyakit Mulut Dan Kuku (PMK) pada Sapi Berbasis Android Dengan
Tensorflow lite Menggunakan Model Mobile-D” Dengan adanya penelitian ini
diharapkan dapat menghasilkan suatu perangkat lunak yang berguna dan dapat
menyelesaikan masalah khususnya untuk peternak dalam hal pendeteksian PMK
secara mandiri agar dapat dilakukan penanganan lebih awal sehingga
penyebaran wabah PMK dapat dikendalikan.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah yaitu bagaimana


merancang dan membangun aplikasi pendeteksi gejala awal PMK pada sapi
menggunakan metode mobile-d?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merancang dan membangun


aplikasi berbasis android yang dapat mendeteksi gejala awal PMK pada sapi.

1.4 Batasan Masalah

Batasan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Aplikasi ini hanya untuk pendeteksian awal dan bukan untuk


menggantikan posisi dokter.

2. Aplikasi ini bersifat edukatif, bukan solutif.

3. Model menggunakan hasil penelitian lainnya atau menggunakan tools.

4. Model bisa satu atau lebih dengan metode berbeda.


5

5. UI didesain untuk melengkapi kebutuhan rancangan aplikasi namun


desain UI aplikasi belum mempertimbangkan aspek pengalaman
pengguna karena di luar lingkup penelitian ini.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk


menghasilkan suatu aplikasi yang dapat mempermudah peternak dalam
mendeteksi gejala awal PMK pada sapi ternaknya, dan dapat memberikan
informasi mengenai bagaimana proses pembangunan aplikasi menggunakan
metode Mobile-D.

You might also like