You are on page 1of 106

pISSN 2085-9481 eISSN 2597-999X Jurnal Biomedik.

2021;13(3):266-273
Terakreditasi Nasional: SK Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan DOI: https://doi.org/10.35790/jbm.13.3.2021.31830
KemenRistekdikti RI no. 28/E/KPT/2019 Available from:https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/index

Pengaruh Kekurangan Nutrisi Terhadap Perkembangan Sistem Saraf


Anak

Gianfranco S. Papotot,1 Ronald Rompies,2 Praevilia M. Salendu2

1
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Manado, Indonesia
2
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado,
Indonesia
Email: papototsheva@gmail.com

Abstract: In developing countries malnutrition contributes to high mortality rates. Children's


age, previous birth spacing, mother's educational status, wealth status, and area are factors that
are independently related to children's nutritional status. The first thousand days of life are a
critical period for children's neurodevelopment. Physical growth, cognitive function of the
brain, physiological function and changes in immune response can be impaired due to lack of
nutrition at an early age. In developing countries children under 5 years have a prevalence of
about 27% of malnutrition. The research objective was to determine the relationship and effect
of nutritional deficiencies on the development of the nervous system in children. This research
is in the form of a literature review. Literature is taken from three databases, namely PubMed,
ClinicalKey and Google Scholar. The keywords used were undernutrition AND neurological
disorders AND children. After being selected with inclusion and exclusion criteria, we
obtained 10 literature consisting of ten cross-sectional studies. The results showed that 10
literature examined the relationship and effect of nutritional deficiencies on the development
of the nervous system in children. In conclusion, nutritional deficiencies and nervous system
disorders in children have an interplay of relationships. Children who suffer from nutritional
deficiencies have an influence on the development of the nervous system and the most on
motor and cognitive disorders.
Keywords: undernutrition, neurological disorders, children

Abstrak: Di negara berkembang kekurangan gizi memberikan kontribusi terhadap tingginya


rata-rata angka kematian. Usia anak-anak, jarak kelahiran sebelumnya, status pendidikan ibu,
status kekayaan, dan wilayah merupakan faktor yang secara independen terkait dengan status
gizi anak-anak. Seribu hari pertama kehidupan merupakan masa kritis bagi perkembangan
saraf anak. Pertumbuhan fisik, fungsi kognitif otak, fungsi fisiologis dan perubahan respon
imun bisa terganggu karena kurangnya gizi di usia dini. Di negara berkembang anak di bawah
5 tahun memiliki prevalensi sekitar 27% kekurangan gizi. Tujuan Penelitian untuk mengetahui
hubungan dan pengaruh kekurangan nutrisi pada perkembangan sistem saraf anak. Penelitian
ini dalam bentuk literature review. Literatur diambil dari tiga database yaitu PubMed,
ClinicalKey dan Google Scholar. Kata kunci yang digunakan yaitu undernutrition AND
neurological disorders AND children. Setelah diseleksi dengan kriteria inklusi dan ekslusi,
didapatkan 10 literatur yag terdiri dari sepuluh penelitian cross-sectional study. Hasil
penelitian menunjukan 10 literatur meneliti hubungan dan pengaruh kekurangan nutrisi
terhadap perkembangan sistem saraf anak. Sebagai simpulan, kekurangan nutrisi dan kelainan
sistem saraf pada anak memiliki hubungan yang saling memengaruhi satu sama lain. Anak
yang mengalami kekurangan nutrisi memiliki pengaruh pada perkembangan sistem saraf dan
terbanyak pada kelainan motorik dan kognitif.
Kata Kunci: undernutrition, neurological disorders, children

266
Papotot, Rompies, Salendu: Pengaruh kekurangan nutrisi... 267

PENDAHULUAN saraf anak, terutama di rangkaian sumber


Anak-anak dengan status gizi kurang daya yang rendah. Anak-anak dengan
masih menjadi salah satu masalah nutrisi yang seimbang memiliki peluang
kesehatan masyarakat yang utama di yang lebih baik untuk berkembang.
Indonesia.1 Di negara berkembang Sebaliknya, anak-anak yang dibesarkan
kekurangan gizi memberikan kontribusi dalam kondisi buruk, kekurangan gizi dan
terhadap tingginya rata-rata angka kelebihan gizi berisiko terhadap kesehatan
kematian. Tidak mempunyai cadangan dan hasil sosial yang negatif sepanjang
lemak dan sangat sedikit otot dialami oleh perjalanan hidup mereka.4
anak-anak dengan kekurangan gizi. Ketika Keterlambatan perkembangan saraf
terjadi kekurangan nutrisi, anak-anak dan malnutrisi saling berinteraksi dan
mengalami insiden penyakit yang tinggi berkontribusi pada beban penyakit yang
karena tubuh tidak mampu melawan infeksi signifikan dalam pengaturan global. Harus
sehingga perkembangan otak menjadi dilakukan penilaian yang terintegrasi
lambat. Data menunjukkan bahwa angka dengan baik dengan rencana manajemen
kematian akibat penyakit infeksi yang atau nasihat sehingga akan meningkatkan
terjadi pada anak dengan kekurangan hasil status gizi ke arah yang lebih baik.5
nutrisi, tiga hingga 27 kali lebih besar Perkiraan global menunjukkan bahwa
daripada anak-anak yang gizinya baik, lebih dari sepertiga anak di bawah usia lima
sehingga malnutrisi merupakan faktor tahun di negara-negara berpenghasilan
risiko yang signifikan terhadap gangguan rendah dan menengah sangat berisiko tidak
sistem saraf anak dan dapat menjadi mencapai potensi perkembangan mereka,
penyebab kematian pada anak.2 berdasarkan kemiskinan dan stunting.
Malnutrisi anak terus menjadi masalah Masalah terkait kesehatan dan gizi anak
kesehatan masyarakat di negara dapat mempengaruhi kemampuan mereka
berkembang. Usia anak-anak, jarak untuk belajar sehingga nutrisi sangat
kelahiran sebelumnya, status pendidikan diperlukan terutama pada proses
ibu, status kekayaan, dan wilayah pertumbuhan dan perkembangan anak.4
merupakan faktor yang secara independen Pertumbuhan fisik, fungsi kognitif
terkait dengan status gizi anak-anak. Secara otak, motorik, fungsi fisiologis dan
global, ada 165 juta anak stunting dan 51 perubahan respon imun bisa terganggu
juta anak wasting pada tahun 2012. Ini karena kurangnya gizi di usia dini. Di
membunuh 31 juta balita setiap tahun. negara berkembang anak di bawah lima
Balita merupakan kelompok umur yang tahun memiliki prevalensi sekitar 27%
paling rentan mengalami malnutrisi. Jika kekurangan gizi.6
terjadi kekurangan nutrisi pada tahap awal
kehidupan dapat meningkatkan risiko METODE PENELITIAN
infeksi, mortalitas, dan morbiditas Penelitian ini dilaksanakan pada
bersamaan dengan penurunan bulan Oktober-Desember 2020 di
perkembangan mental dan kognitif. perpustakaan virtual. Jenis penelitian ini
Kekurangan nutrisi pada anak bisa bertahan ialah studi literatur (literature review).
lama dan melampaui masa kanak-kanak. Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh
Kekurangan nutrisi pada usia dini artikel dan jurnal yang diperoleh dari
menurunkan prestasi pendidikan dan database Google scholar. Pada penelitian
produktivitas tenaga kerja dan ini, jurnal yang telah memenuhi kriteria
meningkatkan risiko penyakit kronis di usia inklusi dan ekslusi serta kelayakan telah
lanjut.3 teruji berjumlah sepuluh jurnal.
Seribu hari pertama kehidupan
merupakan masa kritis bagi perkembangan HASIL PENELITIAN
saraf anak. Kekurangan nutrisi merupakan Sepuluh artikel memenuhi kriteria
kontributor utama gangguan perkembangan inklusi dan eksklusi dalam studi literatur
268 Jurnal Biomedik (JBM), Volume 13, Nomor 3, September - Desember 2021, hlm. 266-273

ini. Kesepuluh artikel tersebut membahas Karakteristik kesepuluh jurnal akan yang
tentang pengaruh kekurangan nutrisi dipakai dalam penelitian ini akan
terhadap perkembangan sistem saraf anak. diperlihatkan pada tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik jurnal berdasarkan peneliti, tahun, judul, metode, dan hasil penelitian
Tempat Jenis
Penulis Jurnal (tahun) dan Judul Hasil Penelitian
Penelitian Penelitian
Suwandi, Ayu Rafiony Wilayah Kerja Cross- Hasil uji statistik menunjukkan ada
(2018),“Hubungan Status Gizi Puskesmas sectional hubungan yang bermakna antara TB/U
(tb/u) Terhadap Perkembangan Korpri dengan perkembangan motorik kasar
Motorik Kasar pada Anak Usia 1-3 Kabupaten (p>0,05).
tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Kubu Raya
Korpri Kabupaten Kubu Raya”.
Indah Muflihatin, Galih Purnasari, TK Bayangkara Cross- Hasil uji statistik Somers'd menunjukkan
Selvia Juwita Swari Polres Jember sectional bahwa nilai p = 0,014 <α (0,05) artinya
(2018),”Analisis Perkembangan status gizi mempunyai hubungan yang
Motorik Kasar Balita Ditinjau dari bermakna dengan perkembangan motorik
Status Gizi Berdasarkan WHO di kasar
TK Bayangkara Polres Jember”.
Chindy Gabriella Wauran, Rina Kelurahan Cross- Terdapat hubungan yang bermakna
Kundre, Wico Silonga (2016), Bitung sectional antara status gizi dengan perkembangan
“Hubungan Status Gizi Dengan Kecamatan motorik kasar pada anak usia 1-3 tahun.
Perkembangan Motorik Kasar Pada Amurang Uji statistik chi-square didapatkan hasil
Anak Usia 1-3 Tahun Di Kelurahan Kabupaten p=0,006
Bitung Kecamatan Amurang Minahasa
Kabupaten Minahasa Selatan”. Selatan
Hesty Dwi Septiawahyuni, Dewi Wilayah Kerja Cross- Hasil penelitian menunjukkan terdapat
Retno Suminar (2019),“Kecukupan Puskesmas sectional hubungan antara tingkat kecukupan zinc
Asupan Zinc Berhubungan dengan Wilangan dengan perkembangan motorik pada
Perkembangan Motorik pada Balita Kabupaten kelompok balita stunting (p=0,04) dan
Stunting dan Non-Stunting”. Nganjuk kelompok balita non-stunting (p=0,031)
Ratna Suhartini, Haniarti, Posyandu Cross- Hasil penelitian diperoleh ada hubungan
Makhrajani Majid (2018), Bunga Cengkeh sectional status gizi dengan perkembangan
”Hubungan Status Gizi dengan Desa Puncak motorik kasar anak umur 1-3 tahun di
Perkembangan Motorik Kasar Harapan posyandu Bunga Cengkeh desa Puncak
Anak Umur 1-3 tahun di Posyandu Kecamatan Harapan (p =0,04)
Bunga Cengkeh Desa Puncak Maiwa
Harapan Kecamatan Maiwa”.
Alestari, Ni Luh Putu Eka, Neni Paud Mawar Cross- Sebagian besar (85,3%) dari responden
Maemunah (2019),“Kaitan Status Kelurahan sectional berstatus gizi normal yakni 29 orang,
Gizi dengan Perkembangan Tlogomas dengan perkembangan kognitif
Kognitif Anak Usia 3-4 tahun di Malang responden baik sebanyak 24 orang,
Paud Mawar Kelurahan Tlogomas sebagian kecil (8,8%) dari responden
Malang”. berstatus gizi gemuk yakni 3 orang dan 3
orang mempunyai perkembangan
kognitif baik; sebanyak 2 orang (5,9%)
berstatus gizi kurus dan mempunyai
perkembangan kognitifcukup. Hasil uji
statistik p-value = 0,01< α (0,05),
Papotot, Rompies, Salendu: Pengaruh kekurangan nutrisi... 269

sehingga disimpulkan bahwa ada


hubungan status gizi dengan
perkembangan kognitif anak usia 3-4
tahun di PAUD Mawar Kelurahan
Tlogomas Malang
Rezky, Ngesti W. Utami, Mia Wilayah Kerja Cross- Hasil penelitian membuktikan bahwa
Andinawati (2017), “Hubungan Posyandu sectional status gizi anak sebagian besar 25
Status Gizi dengan Perkembangan Kalisongo (58,1%) anak usia prasekolah memiliki
Motorik Kasar Anak Usia Kecamatan Dau status gizi baik dan perkembangan
Prasekolah di Wilayah Kerja motorik kasar anaksebagian besar 26
Posyandu Kalisongo Kecamatan (60,5%) anak usia prasekolah memiliki
Dau”. perkembangan motorik kasar sesuai
dengan tahapan perkembangan
Aqmarlia Janita Putri Madrasah Cross- Berdasarkan uji statistik regresi logistik
(2018),”Hubungan Asupan Protein Ibtidaiyah sectional antara asupan protein dengan
dengan Kemampuan Kognitif Anak Muhammadiyah kemampuan kognitif didapatkan nilai p
Usia Sekolah di Madrasah Kartasura signifikan (p < 0,05) yaitu p = 0,002
Ibtidaiyah Muhammadiyah dengan OR=5,544, artinya terdapat
Kartasura”. hubungan yang bermakna antara asupan
protein dengan kemampuan kognitif
anak usia sekolah di MIM Kartasura
Meta van den Heuvel, Wieger Anak yang Cross- 150 anak (55% laki-laki) dengan SAM
Voskuijl, Kate Chidzalo, et.al dirawat di sectional direkrut; usia rata-rata 27,2 bulan
(2017), “Developmental and rumah sakit (standar deviasi 17,9), 27 anak (18%)
behavioural problems in children dengan SAM memiliki neurodisabilities (ND) yang
with severe acute malnutrition in yang rumit di sudah ada dan 34 (23%) memiliki infeksi
Malawi”. Blantyre, virus defisiensi imun (HIV) yang terjadi
Malawi selama bersamaan. Semua anak-anak dengan
periode 8 bulan SAM mengalami keterlambatan besar
dari Februari dalam bidang motorik kasar dan halus,
sampai Oktober bahasa dan sosial. Analisis regresi linier
2015 menunjukkan bahwa anak-anak dengan
kwashiorkor mencetak 0,75 standar
deviasi lebih rendah (interval
kepercayaan 95% -1,43 hingga -0,07)
pada domain MDAT bahasa daripada
anak-anak dengan marasmus ketika
disesuaikan untuk kovariat. Skor
prososial be haviour dari SDQ yang
rendah pada anak dengan SAM,
menunjukkan kurangnya perilaku sensitif
dalam interaksi sosial
Mariani Gabriela Kasenda Sisfiani TK GMIM Cross- Terdapat hubungan yang bermakna
Sarimin Franly Obnibala (2015), Solafide sectional antara status gizi dengan perkembangan
“Hubungan Status Gizi dengan Kelurahan Uner motorik halus anak usia prasekolah. Uji
Perkembangan Motorik Halus pada Kecamatan statistik chi-squre didapatkan hasil
Anak Usia Prasekolah di Tk Gmim Kawangkoan p=0.004.
Solafide Kelurahan Uner Barat
Kecamatan Kawangkoan Induk Kabupaten
Kabupaten Minahasa”. Minahasa
270 Jurnal Biomedik (JBM), Volume 13, Nomor 3, September - Desember 2021, hlm. 266-273

BAHASAN bermakna antara status gizi dengan


Berdasarkan hasil penelitian dari perkembangan motorik halus pada anak
literatur-literatur yang direview, usia prasekolah.10
menunjukan bahwa kekurangan nutrisi Penelitian yang dilakukan oleh Chindy
memiliki pengaruh yang tinggi terhadap Gabriella Wauran, Rina Kundre, Wico
perkembangan sistem saraf anak dibanding Silolonga tahun 2016 mengatakan bahwah
pada anak yang memiliki gizi normal. status gizi mempengaruhi perkembangan
Penelitian yang dilakukan di Kabupaten motorik kasar anak. Sesuai dengan hasil
Kubu Raya tahun 2018 melaporkan bahwa penelitian dari Uji statistik chi-square
anak akan mengalami keterlambatan didapatkan hasil p=0,006 yang berarti
motorik kasar ketika memiliki status gizi terdapat hubungan yang bermakna antara
buruk (87.5%), sedangkan anak dengan status gizi dengan perkembangan motorik
status gizi normal akan mengalami kasar pada anak. Ketika terjadi kekurangan
perkembangan motorik kasar yang tidak nutrisi akan mengakibatkan anak
terlambat (76.5%). Berdasarkan uji statistik mengalami keterlambatan pada
dengan menggunakan chi square test pertumbuhan dan perkembangan, dimana
menunjukkan bahwa ada hubungan yang akan terjadi ketidak seimbangan antara
signifikan antara status gizi (TB/U) dengan jumlah asupan gizi dengan kebutuhan
perkembangan motorik kasar anak usia 1-3 penggunaan zat gizi oleh tubuh khususnya
tahun (p<0.05).7 Demikian juga dengan oleh otak. Hal ini akan mengakibatkan
studi yang dilakukan di Polres Jember gangguan pada pertumbuhan dan
(2018) yang menemukan hasil uji statistik perkembangan anak, karena kemampuan
Somers’d menunjukkan bahwa nilai α = motorik kasar memerlukan kinerja otak dan
0,014 < α (0,05) artinya status gizi otot sehingga tubuh sangat memerlukan
memiliki hubungan yang signifikan dengan asupan nutrisi yang seimbang.11
perkembangan motorik kasar pada anak.8 Kurang gizi akan berdampak pada
Adanya hubungan antara status gizi perkembangan otak dimana hubungan
dengan perkembangan motorik kasar juga tersebut juga berkaitan dengan kemampuan
dilaporkan Suhartini dkk. Perkembangan berpikir. Anak yang mengalami status gizi
motorik yang sesuai terdapat pada anak kurang, secara langsung akan berpengaruh
dengan status gizinya normal (93,9%), pada perkembangan motorik. Hal tersebut
sedangkan anak dengan kekurangan nutrisi didukung dengan penelitian Rezky, Ngesti,
lebih banyak terdapat pada perkembangan Mia tahun 2017 di Kecamatan Dau yang
motorik yang tidak sesuai (6,1%). Hasil menunjukan bahwa adanya hubungan
penelitian status gizi secara signifikan antara status gizi dengan perkembangan
berpengaruh terhadap perkembangan motorik kasar pada anak usia prasekolah
motorik anak dengan nilai p = 0,04 artinya sehingga perlu dilakukan tindakan untuk
terdapat hubungan yang bermakna antara meningkatkan perkembangan motorik kasar
status gizi dengan perkembangan motorik anak yaitu dengan memberikan asupan gizi
kasar anak umur 1-3 tahun.9 yang seimbang kepada anak seperti
Hasil penelitian Mariani, Sisfiani, memberikan kalori, protein dan vitamin,
Franly tahun 2015 mengatakan bahwa ada yodium, zat besi dan mineral lainnya.12
hubungan yang bermakna antara status gizi Seribu hari pertama kehidupan
dengan perkembangan motorik halus anak merupakan masa kritis bagi perkembangan
pra sekolah. Uji yang dipakai adalah uji saraf anak dan malnutrisi merupakan
alternatifnya yaitu uji Ficher’s Exact. Nilai kontributor utama gangguan perkembangan
yang diperoleh yaitu p=0,004. Hal ini saraf anak. Perkembangan motorik adalah
berarti nilai p lebih kecil dari  (0,05). keterampilan gerak secara yang melibatkan
Karena nilai p < 0,05, maka dapat ditarik koordinasi otot, otak dan saraf yang
kesimpulan bahwa Ho ditolak. Sehingga dikontrol pada bagian pusat motorik di
dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan otak. Penelitian yang dilakukan oleh Hesty,
Papotot, Rompies, Salendu: Pengaruh kekurangan nutrisi... 271

Dewi tahun 2019 di Kabupaten Nganjuk ketika terjadi KEP sehingga anak rentan
menemukan perkembangan motorik dengan terhadap suatu penyakit terutama penyakit
kategori tidak sesuai paling banyak terdapat infeksi dan mengakibatkan rendahnya
pada balita stunting dengan persentase tingkat kecerdasan.15
52,9% jika dibandingkan dengan balita Kurang gizi juga berdampak pada
non-stunting 47,1%. Hal ini berkaitan perkembangan anak termasuk
dengan perkembangan motorik yang perkembangan sistem saraf. Anak-anak
mengalami masalah gizi yaitu stunting dengan severe acute malnutrition (SAM)
yang terjadi secara kronis dapat berakibat mengalami keterlambatan perkembangan
pada perubahan dan fungsi dari yang parah. Semua anak-anak dengan SAM
perkembangan otak yaitu menurunkan mengalami keterlambatan dalam bidang
fungsi, jumlah sel saraf, struktur serta peran motorik kasar dan motorik halus, bahasa
neurotransmitter. Jika terjadi masalah gizi dan sosial. Dalam penelitian ini anak-anak
akan berdampak pada pusat gerak motorik dengan kwashiorkor memiliki penundaan
tepatnya cerebellum otak.4,13 bahasa yang lebih buruk dibandingkan
Stunting berpengaruh terhadap dengan anak-anak dengan marasmus. Hal
perkembangan motorik yang dikaitkan ini disebabkan karena adanya perbedaan
dengan kecukupan asupan zinc. Hasil dalam keterlibatan neurologis antara
penelitian pada tahun 2019 menunjukkan kwashiorkor dan marasmus. Pada anak-
terdapat hubungan antara tingkat anak dengan kwashiorkor Iritabilitas
kecukupan zinc dengan perkembangan neurologis lebih mencolok dan telah
motorik pada kelompok balita stunting diidentifikasi sebagai fitur klinis yang
(p=0,040) dan kelompok balita non- penting. Laporan kasus mengungkapkan
stunting (p=0,031). Hal tersebut perbedaan dalam temuan MRI otak antara
menunjukkan terdapat hubungan signifikan anak-anak dengan marasmus dan
asupan zinc dengan fungsi motorik anak. kwashiorkor. Kedua perbedaan
Pada anak yang memiliki asupan zinc keterlambatan dapat dijelaskan dengan
cukup mempunyai skor motorik lebih perbedaan lingkungan sosial antara anak-
tinggi.13 anak dengan kwashiorkor dan marasmus.
Nutrisi juga berpengaruh pada fungsi Hal ini dikarenakan faktor lingkungan
kognitif otak. Studi pada tahun 2019 sosial yang mempengaruhi status gizi
menemukan adanya hubungan antara status sehingga anak mengalami kekurangan
gizi dan perkembangan kognitif anak. Gizi nutrisi dan perpengaruh pada keterlambatan
yang dibutuhkan oleh tubuh seperti neurologis dalam bidang motorik kasar dan
karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan halus, bahasa dan sosial.16,17
mineral. Terpenuhinya kebutuhan gizi akan
mengakibatkan perkembangan kognitif SIMPULAN
menjadi baik. Jika terjadi kekurangan Kekurangan nutrisi dan kelainan
nutrisi pada anak maka akan terjadi sistem saraf pada anak memiliki hubungan
kelemahan otot dan tidak dapat melakukan yang saling memengaruhi satu sama lain.
aktivitas. Misalnya anak yang mengalami Anak yang mengalami kekurangan nutrisi
kurang energi-protein yang dapat memiliki pengaruh pada perkembangan
menghambat pertumbuhan dan rentan sistem saraf dan terbanyak pada kelainan
terhadap penyakit terutama penyakit infeksi motorik dan kognitif.
dan dapat mengakibatkan rendahnya
tingkat kecerdasan anak.14 Penelitian lain
pada tahun 2018 juga mengungkapkan Konflik Kepentingan
bahwa kurang Energi Protein (KEP) Penulis menyatakan tidak terdapat
disebabkkan oleh kekurangan sumber konflik kepentingan dalam studi ini.
energy dan kekurangan sumber protein.
Pertumbuhan anak-anak akan terhambat
272 Jurnal Biomedik (JBM), Volume 13, Nomor 3, September - Desember 2021, hlm. 266-273

DAFTAR PUSTAKA Puncak Harapan Kecamatan


1. Riskesdas. Riset Kesehatan Dasar Tahun Maiwa. Jurnal Ilmiah Manusia dan
2010. Jakarta: Badan Penelitian Kesehatan 2018;1(3):177-88.
dan Pengembangan Kesehatan 10. Kasenda MG, Sarimin S, Onibala F.
Kementrian Kesehatan RI. Hubungan Status Gizi Dengan
2. Zulaekah S, Purwanto S, Hidayati L. Perkembangan Motorik Halus
Anemia Terhadap Pertumbuhan Pada Anak Usia Prasekolah Di Tk
dan Perkembangan Anak Gmim Solafide Kelurahan Uner
Malnutrisi. KEMAS Jurnal Kecamatan Kawangkoan Induk
Kesehatan Masyarakat. 2014;9(2): Kabupaten Minahasa. Jurnal
106–14. Keperawatan 2015; 3(1):1-8.
3. Endris N, Asefa H, Dube L. Prevalence 11. Wauran CG, Kundre R, Silolonga W.
of Malnutrition and Associated Hubungan Status Gizi Dengan
Factors among Children in Rural Perkembangan Motorik Kasar
Ethiopia. 2017;2017:6587853. Pada Anak Usia 1-3 Tahun Di
4. John CC, Black MM, Nelson 3rd CA. Kelurahan Bitung Kecamatan
Neurodevelopment: The Impact of Amurang Kabupaten Minahasa
Nutrition and Inflammation Selatan. Jurnal Keperawatan
During Early to Middle Childhood 2016;4(2):1-7.
in Low Resource Settings. 12. Rezky R, Utami NW, Andinawati M.
Pediatrics 2017;139(suppl1):S59– Hubungan Status Gizi Dengan
S71. Perkembangan Motorik Kasar
5. Gladstone M, Mallewa M, Alusine Anak Usia Prasekolah Di Wilayah
Jalloh A, Voskuijl W, Postels D, Kerja Posyandu Kalisongo
Groce N, et al. Assessment of Kecamatan Dau. Nursing News
neurodisability and malnutrition in Jurnal Ilmiah Keperawatan 2017;
children in Africa. Semin Pediatr 2(3):93-102.
Neurol 2014;21:50–7 13. Septiawahyuni HD, Suminar DR.
6. Diop AG, Millogo A, Thiam I. IN32- Kecukupan Asupan Zinc Ber-
TU-02 Malnutrition and hubungan Dengan Perkembangan
neurological disorders: the Motorik pada Balita Stunting dan
experience in Africa. J Neurol Sci. Non-stunting. Amerta Nutrition
2009;285 (Suppl 1):S25–6. 2019;3(1):1–6.
7. Suwandi S, Rafiony A. Hubungan Status 14. Alestari A, Sudiwati NLPE, Maemunah
Gizi (Tb/U) Terhadap N. Kaitan Status Gizi dengan
Perkembangan Motorik Kasar Perkembangan Kognitif Anak
Pada Anak Usia 1-3 Tahun Di Usia 3-4 tahun di Paud Mawar
Wilayah Kerja Puskesmas Korpri Kelurahan Tlogomas Malang.
Kabupaten Kubu Raya. Pontianak Nursing News: Jurnal Ilmiah
Nutrition Journal 2018;1(1):19-22. Keperawatan 2019;4(1): 393-402.
8. Muflihatin I, Purnasari G, Swari S.. 15. Mardisantosa B, Huri D, Edmaningsih
Analisis perkembangan motorik Y. Faktor Faktor Kejadian kurang
kasar ditinjau dari status gizi Energi Protein(KEP) pada Anak
berdasarkan WHO di TK Balita. Jurnal Kesehatan
Bayangkara Polres Jember Jurnal 2017;6(3):1-11.
Kesehatan 2018;6(1):13–7. 16. Van den Heuvel M, Voskuijl W,
9. Suhartini R, Haniarti2, Majid M. Chidzalo K, Kerac M, Reijneveld
Hubungan Status Gizi Dengan SA, Bandsma R, et al.
Perkembangan Motorik Kasar Developmental and behavioural
Anak Umur 1-3 Tahun Di problems in children with severe
Posyandu Bunga Cengkeh Desa acute malnutrition in Malawi: A
Papotot, Rompies, Salendu: Pengaruh kekurangan nutrisi... 273

cross-sectional study. J Global severely malnourished children:


Health. 2017;7(2):020416. MRI findings. Int J Neurosci.
17. Hazin AN, Alves JG, Rodrigues Falbo 2007; 117(8): 1209-14.
A. The myelination process in
Assistancy in nursing care of medical surgical nursing for KOLABORASI
patients with nervous system disorders (vertigo) in Inspirasi
flamboyan Room, General Hospital of Banjar Masyarakat Madani

Vol. 002, No. 001


Pendampingan asuhan keperawatan medikal bedah pada pasien PP. 105-122
dengan gangguan sistem saraf (Vertigo) di Ruang Flamboyan RSU EISSN: 2809 - 0438
Banjar

Ikna Cahyadi Kurniawan1

1STIKes Muhammadiyah Ciamis, Ciamis, Indonesia

Korespondensi: Ikna Cahyadi Kurniawan


Email: iknakurniawan21@gmail.com
Alamat : Jl. KH. Ahmad Dahlan no 20 Ciamis 46216

ABSTRACT

Introduction: Vertigo merupakan satu bentuk gangguan keseimbangan atau gangguan orientasi
di ruangan atau lingkungan sekitar, seringkali dipicu karena menggerakkan kepala terlalu cepat,
vertigo muncul karena adanya gangguan di indera pendengaran bagian dalam. Hal ini kemudian
memicu masalah mekanisme keseimbangan tubuh
Objective: Asistensi ini bertujuan untuk memberikan asuhan keperawatan kepada pasien Ny. S
Dengan diagnosa medis vertigo di ruang flamboyan RSU kota banjar pada tahun 2022
Method: Kegiatan asistensi dilakukan dengan memberikan asuhan keperawatan melalui 5 proses
antara lain asesmen, diagnosis, intervensi keperawatan, dan evaluasi
Result: hasil yang diperoleh masalah utama yang muncul dengan diagnosa nyeri akut dan
intoleransi aktifitas lalu di berikan intervensi selama 1 hari dengan hasil nyeri berkurang dan
pasien mulai bisa melakukan aktifitas seperti makan, pergi ketoilet meskipun dengan bantuan
keluarga.
Conclusion: pemberian asuhan keperawatan dengan diagnosa medis vertigo dapat teratasi

Keywords: assistancy, nursing care, vertigo

Pendahuluan
1. Definisi
Vertigo adalah pergerakan tubuh atau lingkungan sekitar yang sebenarnya mengikuti
atau tidak mengikuti oleh gejala organ di bawah pengaruh saraf otonom dan mata (Nurhartati,
Musfirah, & Suryanti, 2021). Vertigo adalah suatu bentuk gangguan keseimbangan yang
disertai perasaan seolah olah penderita bergerak atau berputar putar atau seolah olah benda
105
di sekitar penderita bergerak atau berputar, yang biasanya disertai dengan mual (Puspitasari
& Sumarsih, 2011). Vertigo adalah vertigo merupakan satu bentuk gangguan keseimbangan
atau gangguan orientasi di ruangan atau lingkungan sekitar (Sihombing, 2021). Jadi, dapat di
simpulkan Vertigo merupakan kerusakan sistem syaraf yang akan membuat seseorang
mengalami pusing berputar.
2. Etiologi
Menurut (Pulungan, 2018) Faktor predisposisi penyakit vertigo diantaranya Motion
sickness, Perilymphatic fistula, Vestibular migraine, dan Labirinitis. Sedangkan faktor
presipitasinya antara lain Arteriosklerosis, Intoksikasi dan Nyeri kepala.
3. Klasifikasi
Vertigo Periferal
Vertigo adalah apa yang dialami sebagian orang. Vertigo perifer akibat oleh gangguan
di indera pendengaran untuk mengatur keadaan tubuh. Dengan prosedur, ketika pasien
menggerakkan kepalanya, indera pendengaran akan memberikan data posisi kepala ke otak
dengan mengirimkan frekuensi. bertujuan untuk melindungi keseimbangan. Akan tetapi,
ketika telinga bagian dalam bermasalah, seseorang akan langsung merasakan sakit dan
pusing saat menggerakkan kepalanya. Ini dapat disebabkan oleh peradangan atau infeksi
virus di telinga bagian dalam. Penyebab lain dari jenis vertigo ini dapat mencakup obat
eksklusif (antibiotik aminoglikosida, cisplatin, diuretik, atau salisilat), cedera (seperti cedera
kepala), radang saraf vestibular (neuronitis), iritasi dan pembengkakan telinga bagian dalam
(labirinitis), penyakit Meniere, dan penekanan pada saraf (Iskandar & Hanina, 2020).
Vertigo sentral
Suatu keadaan seorang terjadinya sensasi berputar yang mengakibatkan tidak
fungsinya struktur vestibular pada sistem saraf pusat (SSP).Vertigo sentral juga dapat terjadi
karena kondisi migrain, neuroma akustik, serangan iskemik transien atau stroke, tumor otak,
atau pun cedera kepala. Gerakan mata yang tidak dapat dikendalikan, mata yang kurang
fokus, sakit kepala, kelemahan, kesulitan menelan adalah gejala spesifik lain dari vertigo
sentral (Iskandar & Hanina, 2020).

4. Patofisiologi dan pathway

106
Etiologi

Pathway

Vestibuler Non-vestibuler

– Fisiologis:motion – Cerebeller hemorrhage


sickness – Brainstem ischemic
– Vestibular neuronitis attacks
– Meniere's disease – Basilar artery migrane
– Labyrnthitis – Posterior fossa tumors
– Perilymphatic fistula – Arteriosklerosis
– Anemia
– Intoksikasi

Neuroma Sklerosis arteri Meniere Motion sickness


akustik auditoria interna

Mengenai N. VIII Atrofi stria vaskularis Gerakan berulang


Suplai darah ke labirin dirasakan oleh otak
menurun melaui N. Optikus, N.
Vestibularis, N. Spino
Peningkatan Malabsorbsi dalam sakus endolimfatikus vestibuloserebralis
tekanan intra
kranial Iskemik labirin
Keabnormalan
volume cairan
Otak tidak bisa
Nekrosis di area sekitar labirin endolimfe
mengkoordinasikan
107 ke-3 input dengan baik
Hidrops
Penurunan fungsi di (pembengkakan
kanalis semisirkularis endolimfe) Konflik dalam
koordinasi ke-3 input
Sistem keseimbangan tubuh
(vestibular) terganggu

Sensasi seperti
bergerak, berputar

VERTIGO

B1 B2 B4
B3

Dizzines Sirkulasi oksigen di


Ketidak seimbangan Gg. di SSP atau SST
otak menurun
proses peredaran darah

Merangsang saraf parasimpatis


Spasme otot
Kontraksi jantung Kompensasi jantung
meningkat memompa lebih cepat
Bronkokontriksi Nyeri, sakit kepala

Takikardi Redistribusi aliran


Hipoventilasi
darah ke organ2 vital

MK : Gg. Disorientasi
Disritmia
Rasa Perfusi jaringan
nyaman menurun
Kerja napas MK : Kerusakan nyeri Kesadaran menurun
MK : Gg. Perfusi
meningkat pertukaran gas
jaringan
108 Hipoperfusi
MK : Resiko ginjal
Dyspnea Cidera
MK : Pola nafas tidak Penurunan fx ginjal
efektif MK: gangguan
pola tidur MK: nyeri akut Produksi urine menurun
Mk: gangguan rasa MK : Gg. Eliminasi urine
nyaman

B5 B6

MK: ansietas
Pusing, sakit kepala Ketidaksesuaian informasi
yang disampaikan

MK: Resiko distres Gelisah


spiritual
Proses penerimaan
informasi terganggu
Peristaltik meningkat

Transmisi persepsi ke
MK: Nausea mual reseptor proprioception
terganggu

muntah
Kegagalan koordinasi otot

MK: Perubahan nutrisi


kurang dari kebutuhan Tidak mampu kerja
tubuh otot

109
MK : Intoleransi
aktifitas
5. Manifestasi klinik
Menurut Diah Ayu Prameswari (2021) Tanda Vertigo antara lain Mual, Muntah dan
telinga berdengung. Adapun gejala yang muncul adalah Pusing, Sensasi kepala berputar,
Hilang keseimbangan dan Kepala tiba tiba berat.

6. Pemeriksaan Penunjang
a. CT-scan atau MRI kepala dapat menunjukkan kelainan tulang atau tumor yang menekan
saraf. Jika dicurigai adanya infeksi, sampel cairan dari telinga atau sinus dan tulang
belakang dapat diambil.
b. Pemeriksaan angiogram, dilakukan karena adanya penurunan sirkulasi darah ke otak.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat apakah ada penyumbatan pada pembuluh darah
yang menuju ke otak. tiga. pemeriksaan khusus : ENG, Audiometri dan BAEP, psikiatri,
laboratorium
7. Terapi farmakologi dan non-farmakologi
Menurut Hasyim Faturachman (2021) :
a. Terapi Farmakologi antihistamine, antikoligenerik, ondansetron, Prometazine,
Benzodiazepine, diazepam dan Lorazepam
b. Terapi Non Farmakologi Minyak esensial, Perubahan posisi tidur, Terapi vertigo air,
Minum air putih dan latihan Yoga

8. Diagnosa Keperawatan

Nomor
No Diagnosa Halaman
Diagnosa
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan dyspnea D.0005 26
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan hipoventila D.0002 22
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan disritmia D.0009 37
4. Gangguan rasa berhubungan dengan nyeri sakit kepala D.0074 166
5. Nyeri akut berhubungan dengan nyeri sakit kepla D.0077 172
6. Resiko cidera berhubungan dengan kesadaran menurun D.0136 294
7. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri akut D.0055 126
8. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan produksi urine D.0040 96
9. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan nyeri akut D.0074 166
10. Ansietas berhubungan dengan gelisah D.0080 180
11. Resiko distres spiritual berhubungan dengan gelisah D.0100 218
12. Nause berhubungan dengan mual muntah D.0076 170
13. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan D.0019 56
dengan anoreksia
14. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakteraturan D.0056 128
kerja otot

Sumber: Buku Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, PPNI (2006)

110
Tujuan
Asistensi ini untuk memberikan asuhan keperawatan kepada pasien Ny, S dengan
diagnosa medis Vertigo di ruang Flamboyan RSU kota banjar
Metode
Kegiatan Asistensi Asuhan Keperawatan dilaksanakan pada tanggal 07-8 desember 2021
di Ruang flamboyan RSU kota banjar yang mencakup 5 tahapan proses asuhan keperawatan yang
dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini.

Assessment

Evaluation Diagnosis

Implementati
Intervention
on

Gambar 1. Nursing Process

Proses keperawatan adalah metode ilmiah yang digunakan dalam kegiatan keperawatan
untuk membantu pemberi asuhan memberikan asuhan secara profesional (Suhanda, et al., 2021;
Widianti, et al., 2021). Proses keperawatan membantu pemberi perawatan dalam implementasi
praktik keperawatan yang sistematis dan terarah dalam memecahkan masalah keperawatan
pasien. Proses keperawatan dimulai dengan evaluasi, diagnosis, intervensi, implementasi, dan
evaluasi.
Pengkajian merupakan proses pertama dalam fase keperawatan. Asesmen adalah
kegiatan pengumpulan data pasien yang lengkap dan sistematis yang diselidiki dan dianalisis
untuk mengidentifikasi masalah fisik, psikologis, sosial, mental atau kesehatan pasien (Ariyanto,
et al., 2021; Ulina, Eka, & Yoche, 2020).
Diagnosa keperawatan menggambarkan reaksi individu atau kelompok manusia (resiko
status kesehatan atau perubahan pola) dan diturunkan dari proses pengkajian pertama yang
dilakukan melalui proses analitis. Penegakan diagnosis keperawatan harus memenuhi beberapa
persyaratan, antara lain pernyataan yang jelas dan ringkas dari reaksi klien terhadap situasi atau
situasi tertentu, instruksi keperawatan yang spesifik dan akurat, dapat dilakukan oleh staf

111
keperawatan, dan klien. Dapat mencerminkan status kesehatan (Atmanto, Aggorowati, & Rofii,
2020; Firmansyah, et al., 2021; Firmansyah, et al., 2021b).
Rencana perawatan (intervensi) adalah setiap rencana tindakan yang dilakukan pada
pasien untuk mengatasi masalah atau diagnosa yang dibuat pada pasien. Rencana perawatan
yang dikembangkan dengan baik mempromosikan perawatan lanjutan dari satu pengasuh ke
pengasuh lainnya. Ini memberi semua staf perawat kesempatan untuk memastikan perawatan
yang konsisten dan berkualitas. Beberapa langkah dalam mengembangkan rencana asuhan
keperawatan meliputi penetapan prioritas, penetapan kriteria tujuan dan hasil yang diharapkan,
penetapan intervensi keperawatan yang tepat, dan pembuatan rencana asuhan keperawatan.
(Koerniawan, Daeli, & Srimiyati, 2020; Widianti et al., 2021).
Implementasi keperawatan merupakan implementasi dari suatu rencana tindakan untuk
mencapai tujuan tertentu. Pengasuh harus memiliki keterampilan kognitif (intelektual),
interpersonal, dan perilaku agar berhasil dalam memberikan perawatan sesuai dengan rencana
perawatan. Proses implementasi harus didasarkan pada kebutuhan pelanggan, faktor lain yang
mempengaruhi kebutuhan perawatan, strategi implementasi perawatan, dan aktivitas
komunikasi (Koerniawan et al., 2020; Suhanda et al., 2021).
Evaluasi adalah penilaian respon pasien terhadap perilaku keperawatan yang telah
dilakukan oleh pemberi asuhan terhadap pasien dengan mengacu pada kriteria atau kriteria hasil
yang telah ditetapkan sebelumnya dalam pengembangan tujuan. Penilaian biasanya merupakan
hasil atau penilaian total yang dilakukan dengan membandingkan proses atau penilaian formatif
yang dilakukan setelah setiap tindakan diselesaikan dengan respon klien terhadap tujuan
tertentu dan tujuan umum yang telah ditetapkan sebelumnya. Itu dilakukan. (Lismayanti, et al.,
2021; Srinayanti, et al., 2021; Supratti & Ashriady, 2018).

Hasil dan Pembahasan


1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Nama : Ny. S
Umur : 40 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Suku bangsa : Indonesia
Status perkawinan : Kawin
Golongan darah :
No. Cm : 445544
Tanggal masuk : 6 Desember 2021
Tanggal pengkajian : 7 Desember 2021
Diagnosa medis : Vertigo
Alamat : Sindangmulya Rt/Rw 06/01 tanjungsari banjar

112
b. Identitas Penanggung jawab
Nama : Ny. E
Umur : 45 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
Suku bangsa : Indonesia
Hub. Dengan klien : Kakak
Alamat : Sindangmulya Rt/Rw 06/01 tanjungsari banjar
c. Keluhan Utama
Nyeri Kepala hebat serta pusing
d. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien masuk ke IGD pada tanggal 7 Desember 2021 dengan mengeluh nyeri kepala yang
hebat dan pusing berputar, mual muntah
P: Klien mengatakan nyeri di rasakan terus menerus
Q: Klien mengatakan nyeri nyeri terasa di tusuk-tusuk
R: Klien mengatakan Nyeri di bagian kepala
S: Klien mengatakan nyeri diskla 7(0-10)
T: Klien berusaha mengurangi gerakan agar nyeri terasa lebih ringan
e. Riwayat Penyakit Dahulu
Klien mempunyai riwayat penyakit hipertensi
f. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Kesadaran Composmentis, GCS 15 (E4 V5 M6)
T : 150/90 mmHg
P : 88 x/m
R : 20 x/m
S : 36◦C
SPO2 : 93%
2) Siatem Pernafasan
Inspeksi : pengembangan dinding dada simetris, frekuensi napas lambat,
Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan
Perkusi : resonan
Auskultasi : nafas vesikular
3) Sistem Kardiovaskuler
Inspeksi : konjungtiva merah muda, bibir lembab
Palpasi : vena jugularis tidak teraba akral hangat nadi 88x/menit
Aulkultasi : tidak ada suara jantung tambahan, suara jantung lup dup
4) Sintem Pencernaan
Inspeksi : bentuk terlihat simetris tidak ada lesi, perut kembung
Palpasi : terdapat nyeri tekan di bagian perut tengah atas, tidak ada benjolan
Perkusi : terdengar suara timpani
113
Auskultasi :
5) Sistem Syaraf
Inspeksi : kesadaran composmentis GCS 15, fungsi nervus kranial
Nervus I (Olfaktori) : fungsi penciuman baik, bisa membedakan aroma
Nervus II (Optikus) : letak kedua mata simetris, fungsi penglihatan baik
Nervus III (Okulomotor) : bentuk simetris, pergerakan bola mata baik
Nervus IV (Throklearis) : klien bisa mengerakan mata
Nervus V (Trigeminus) : klien dapat menutup mata dan membuka mulut klien dapat
mengunyah dan menelan
Nervus VI (Abdusen) : klien tidak bisa mengerakan bola mata karena pusing
Nervus VII (Fasialis) : bentuk bibir simetris fungsi pengecapan baik dapat
membedakan rasa pait dan manis
Nervus VIII (Vestibulokoklearis) : pendengaran baik, namun ketika mendengarkan
suara keras terasa pusing
Nervus IX (Glosofaringeus) : klien dapat membedakan rasa manis asam,pahit pada
saat makan
Nervus X (Vagus) : gerakan lidh baik, fungsi sensorik baik fungsi motorik ada gangguan
Nervus XI (Accesoris) : gerakan kepala dan bahu normal
Nervus XII (Hipoglosus) : klien dapat menggerakan lidah kekiri dan kekanan kedalam
keluar
6) Sistem penglihatan
Inspeksi : bentuk mata simetris
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
7) Sistem pendengaran
Inspeksi : bentuk telinga simetris
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
8) Sistem perkemihan
Inspeksi : tidak terlihat adanya pembengkakan pada kandung kemih
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, kandung kemih kosong tidak terdapat distensi
9) Sistem muskuloskelental
Inspeksi : bentuk simetris, pergerakan normal
Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan kekuatan otot 4 dapat melakukan gerak rentang
penuh
10) Sistem endokrin
Inspeksi : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
11) Sistem intagumen
Inspeksi : keadaan kulit bersih, warna sawo matang, tekstur kulit lembut tidak ada lesi
Palpasi : turgor kulit kembali cepat

114
g. Pola aktifitas

No Jenis pengkajian Di rumah Dirumah sakit


1 makan
frekuensi 3x1 2x1
Jenis nasi bubur
Porsi 2 1
Cara mandiri Di bantu
keluhan -
2 Minum
frekuensi 5x1 3x1
Jenis Air putih Air putih
Cara mandiri mandiri
keluhan - -
3 Bab
Frekuensi konsistensi padat lembek
Warna coklat kuning
Bau khas khas
Cara mandiri Di bantu
keluhan - -
4 Bak
frekuensi 10x1 7x1
Warna kuning kuning
Bau amoniak amoniak
Cara mandiri Di bantu
keluhan - -
5 Pola istirahat tidur
malam 8 jam 3 jam
Siang 1-2 jam 1-2 jam
6 Personal hygiene mandi
Gosok gigi 2x1 1x1
Ganti pakaian 2x1 1x1
Cara mandiri Di bantu
keluhan - -

115
h. Data Psikologi,sosial dan spiritual
Data psikologi
1) Penampilan atau gambaran diri
Klien mengatakan sering merasa pusing ketika menggerakan kepa;a secara tiba tiba
2) Status emosi
Klien sudah menerima kenyaatan yang di alami nya
3) Harga diri
Klien tidak mengalami turunya harga diri
4) Ideal diri
Klien sangat mengharapkan kesembuhan dan bisa beraktifitas secara normal
5) Peran diri
Klien berperan sebagai ibu rumah tangga
6) Identitas diri
Klien dapat mengenali dirinya dan orang sekitarnya
7) Kecemasan
Klien mulai bisa memanimalisir kecemasan
Data sosial
Klien dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekitar
Data spiritual
Klien senantiasa berdoa ke allah swt untuk kesembuhannya dan yakin bahwa
penyakitnya sekarang adalah cobaan

2. Diagnosa keperawatan

Nomor
Diagnosa
diagnosa Halaman
1. Nyeri akut berhubungan dengan stres dan ketegangan D.0077 172
syaraf vasopressor peningkatan intracranial
2. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum D.0056 128
3. Defisit pengetahuan berhubungan kurangnya terpapar
informasi D.0111 246

116
3. Intervensi, Implementasi, dan Evaluasi Keperawatan

Tabel Intervensi dan Luaran Keperawatan


N Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Implementasi Para
Diagnosa Evaluasi
o f
1 Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan 1. pantau 1. Monitor s : klien
dengan stres dan keperawatan diharapkan tanda tanda tanda tanda mengatakan
ketegangan syaraf perubahan perfusi jaringan vital vital lemas dan
vasopressor peningkatan kembali normal dengan 2. Kaji tingkat 2. Mengkaji pusing
intracranial Kriteria hasil : frekuensi, tingkat berputar
DS : - Mampu mengontrol dan reaksi frekuensi dan putar
- Klien mengatakan nyeri, mampu nyeri yang reaksi nyeri namun
tidak nyaman menggunakan teknik non di alami yang di alami berkurang ,
dengan nyeri yang farmakologi untuk klien klien nyeri
di alaminya mengurangi nyeri 3. Ciptakan 3. Pemberian berkurang
- Klien mengatakan - Mampu mengenal nyeri suasana obat melalui di sekitar
nyeri pada kepala (skala,intensitas,frekuens nyaman IV leher
seperti di tusuk i dan tanda nyeri) dan Ondansentro menjadi 3
tusuk - Tidak ada keringat dingin, lingkungan n o : klien
- Klien mengatakan tanda vital dalam batas yang tenang Ceftriaxon masih
nyeri kepala normal dan aman meringis
dirasakan saat T : 130/80mmHg 4. Delegatif kesakitan
menggerakan P : 60x/menit pemberian saat
badan saat R : 18-20 x/menit obat yang mengeraka
bangun dan S : 36-37,5oC dapat n badannya
duduk mengurai A : nyeri
DS : nyeri sesuai akut
- Tensi : indikasi P:
130/mmHg intervensi di
Puls:88x/m hentikan
Respirasi :20x/m
Suhu: 36 ◦C

117
- Klien tambak
memegang
kepala, klien
tampak
gelisah
- Skala nyeri 7
- Klien tampak
meringis saat
menggeraka
n tubuhnya

2 Intoleransi aktifitas Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor 1. Menyiapkan S : klien


berhubungan dengan keperawatan diharapkan klien tanda tanda lingkungan mengatakan
kelemahan umum mampu melakukan aktivitas vital dan yang aman sudah
DS : secara mandiri dengan keluhan dan nyaman mampu
- Klien Kriteria hasil : utama 2. Observasi duduk
mengatakan - Mengikuti dalam 2. Observasi kembali walau
hanya berbaring aktifitas jangan di sertai kondisi fisik peningkatan masih
di tempat tidur meningkatnya tekanan 3. Ajarkan gerak fisik terasa
karena saat di darah klien ROM 3. Siapkan pusing
gerakan merasa - bisa melakukan kegiatan 4. Observasi lingkungan O : klien
pusing dan aktifitas secara mandiri kembali yang tenang nampak
berputar putar peningkata dengan duduk di
- Klien n gerak fisik pertahankan tempat
mengatakan 5. Anjurkan tirah baring tidur
untuk memenuhi mobilisasi dan batasi A:
kebutuhan secara pengunjung intoleransi
perawatan bertahap aktifitas
seperti mulai P:
makan/minum duduk intervensi di
mandi mobilitas sampai hentikan
berpindah dan berjalan
ambulansi di dengan di

118
bantu oleh orang bantu
lain keluarga
DO :
- Klien hanya
berbaring di
tempat tidur
dengan kondisi
lemah
- Kekuatan otot :
Ekstrimitas atas
kanan 4
Ekstrimitas bawah
4

Setelah 1. Monitor 1. Melakukan S : klien dan


3 Defisit pengetahuan
dilakukan tanda tanda observasi tanda- keluarga
berhubungan
tindakan vital tanda vital mengatakan
dengan kurangnya
keperawatan 2. Kaji Td : masih
terpapar informasi
diharapkan pengetahuan 130/80mmHg mengingat
DS :
nutrisi klien pasien dan P : 60x/m informasi
- Klien
kembali keluarga R : 20x/m tentang
mengatakan
adekuat tentang S : 36 c penyakit
tidak
dengan vertigo 2. Mengobservasi yang di
memahami
Kriteria 3. Berikan tingkat berikan oleh
penyakit
hasil : penjelasan pengetahuan perawat dan
yang ia
- Klien dan pada klien pasien dan dapat
alami
keluarga tentang keluarga tentang mengulangi
sekarang
mengatakan penyakit dan penyakitnya informasi
dulu ia
paham tentang kondisinya 3. Di harapkan tersebut
pernah
vertigo dan 4. Minta pasien pasien paham O : klien dan
mengalami
dan keluarga apa penyakit yang keluarga
keluhan
119
seperti ini progam memaparkan di deritanya dapat
namun pengobatan ulang sekarang mengulangi
tidak terlalu - Klien dan pengarahan informasi
menggangu keluarga mampu penyakit tentang
sehingga melakukan apa vertigo yang penyakit
tidak di yang di jelaskan telah di yang di
bawa ke oleh perawat berikan oleh berikan oleh
rumah sakit - Klien dan perawat perawat
DO : keluarga bisa A : difisit
- Klien memaparkan pengetahuan
terlihat ulang apa yang di P : intervensi
tidak jelaskan dihentikan
mengerti
bila di
tanyakan
tentang
vertigo

120
Kesimpulan
Kegiatan proses keperawatan yang dilakukan terhadap pasien Sdr. S dengan diagnosa
medis Vertigo di ruang Flamboyan RSU kota banjar, saat dilakukan pengkajian ditemukan data-
data yang mendukung untuk menegakan tiga diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan
yang ditegakan antara lain nyeri akut b/d stres dan ketegangan syaraf , intoleransi aktifitas dan
defisit pengetahuan. Untuk mengatasi masalah atau diagnosa yang di temukan Perawat
membuat perencaan dan melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan SOP serta
melakukan evaluasi dari tindakan yang dilakukan. Setelah dilakukan proses pemberian asuhan
keperawatan dari tanggal 07-08 Desember 2021 dapat disimpulkan bahwa masalah-masalah
keperawatan yang ditemukan pada Sdr. S dengan diagnosa medis vertigo dapat teratasi.

Referensi
1. Atmanto, A. P., Aggorowati, & Rofii, M. (2020). Efektifitas pedoman pendokumentasian
diagnosa dan intervensi keperawatan berbasis android terhadap peningkatan mutu
dokumentasi keperawatan di ruang rawat inap. Jurnal Keperawatan Dan Kesehatan
Masyarakat, 9, 83–92.
2. Diah Ayu Prameswari, D. (2021). Asuhan keperawatan pada pasien vertigo dalam pemenuhan
kebutuhan Aman dan Keselamatan. Universitas Kusuma Husada Surakarta.
3. Firmansyah, A., Setiawan, H., & Ariyanto, H. (2021). Studi Kasus Implementasi Evidence-Based
Nursing: Water Tepid Sponge Bath Untuk Menurunkan Demam Pasien Tifoid. Viva Medika:
Jurnal Kesehatan, Kebidanan Dan Keperawatan, 14(2), 174–181.
4. Firmansyah, A., Setiawan, H., Wibowo, D. A., Rohita, T., & Umami, A. (2021). Virtual Reality
(VR) Media Distraction Relieve Anxiety Level of the Children During Circumcision. In 1st Paris
Van Java International Seminar on Health, Economics, Social Science and Humanities (PVJ-
ISHESSH 2020) (pp. 611–614). Atlantis Press.
5. HASYIM FATURACHMAN, H. (2021). Asuhan Keperawatan Kegawat Daruratan Pada Pasien
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (Bppv) Dalam Pemenuhan Kebutuhan Aman Dan
Keselamatan. Universitas Kusuma Husada Surakarta.
6. Heri Ariyanto, Nurapandi, A., Purwati, A. E., Kusumawaty, J., & Setiawan, H. (2021). Genetic
counseling program for patient with hyperglycemic syndrome. Journal of Holistic Nursing
Science, 8(2), 2–9.
7. Iskandar, M. M., & Hanina, H. (2020). Peningkatan Pengetahuan Orangtua Murid Tentang
Klasifikasi Nyeri Kepala Dan Vertigo Pada Anak Di Tk Annisa Kota Jambi Dengan Metode
Penyuluhan. Jurnal MEDIC (Medical Dedication), 3(1), 27–32.
8. Koerniawan, D., Daeli, N. E., & Srimiyati, S. (2020). Aplikasi Standar Proses Keperawatan:
Diagnosis, Outcome, dan Intervensi pada Asuhan Keperawatan. Jurnal Keperawatan
Silampari, 3(2), 739–751. https://doi.org/10.31539/jks.v3i2.1198
9. Lismayanti, L., Ariyanto, H., Azmi, A., Nigusyanti, A. F., & Andira, R. A. (2021). Murattal Al-
Quran Therapy to Reduce Anxiety among Operating Patients. Genius Journal, 02(1), 9–15.
10. Nurhartati, A., Musfirah, M., & Suryanti, S. (2021). Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap
Kejadian Sindroma Vertigo Pada Karyawan Unit Produksi Pt Maruki International Indonesia
MakassaR. Sulolipu: Media Komunikasi Sivitas Akademika Dan Masyarakat, 21(1), 24–31.
121
11. Pulungan, P. (2018). Hubungan Vertigo Perifer dengan Kualitas Tidur.
12. Puspitasari, H. A., & Sumarsih, T. (2011). Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyembuhan
Luka Post Operasi Sectio Caesarea (SC). Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 7(1).
13. Sihombing, A. S. (2021). Analisis Dan Perancangan Sistem Pakar Untuk Mendiagnosa Penyakit
Vertigo Dengan Metode Dempster Shafer. Jurnal Msi, 6(1), 43–54.
14. Srinayanti, Y., Malik, A. A., & Sandi, Y. D. L. (2021). Cold Compress Therapy Against Muscle
Stiffness in Patients with Hypokalemia. Genius Journal, 2(1), 16–21.
15. Suhanda, Setiawan, H., Ariyanto, H., & Oktavia, W. (2021). A Case Study: Murotal Distraction
to Reduce Pain Level among Post-Mastectomy Patients Suhanda1,. International Journal of
Nursing and Health Services (IJNHS), 4(3), 325–331.
https://doi.org/http://doi.org.10.35654/ijnhs.v4i3.461 Abstract.
16. Supratti, & Ashriady. (2018). Pendokumentasian Standar Asuhan Keperawatan Di Rumah
Sakit Umum Daerah Mamuju. Jurnal Kesehatan Manarang, 2(1), 44.
https://doi.org/10.33490/jkm.v2i1.13
17. Ulina, J. M., Eka, N. G. A., & Yoche, M. M. (2020). Persepsi Perawat Tentang Melengkapi
Pengkajian Awal Di Satu Rumah Sakit Swasta Indonesia. Nursing Current Jurnal Keperawatan,
8(1), 71. https://doi.org/10.19166/nc.v8i1.2724
18. Widianti, W., Andriani, D., Firdaus, F. A., & Setiawan, H. (2021). Range of Motion Exercise to
Improve Muscle Strength among Stroke Patients: A Literature Review. International Journal
of Nursing and Health Services (IJNHS), 4(3), 332–343.

122
TINJAUAN PUSTAKA

Komplikasi Sistem Saraf Pusat pada COVID-19


Tasia Esterita, Budi Riyanto Wreksoatmodjo
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK
Coronavirus disease-19 disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan pandemi sejak Maret 2020. COVID-19 tidak hanya menyebabkan
komplikasi pernapasan dan kardiovaskular, tetapi dapat menyebabkan komplikasi sistem saraf pusat yang juga berkontribusi terhadap mortalitas
dan morbiditas. Beberapa komplikasi sistem saraf pusat pada COVID-19 adalah stroke iskemik, stroke hemoragik, meningoensefalitis, acute
transverse myelitis, dan ensefalopati. Stroke iskemik pada COVID-19 disebabkan oleh beberapa mekanisme, di antaranya koagulopati, disfungsi
endotel, kardioemboli, invasi virus ke sistem saraf pusat, dan terapi imunoglobulin. Stroke hemoragik dapat disebabkan oleh kerusakan endotel
akibat inflamasi menyebabkan disregulasi tekanan darah yang meningkatkan risiko stroke hemoragik. Meningoensefalitis pada COVID-19
disebabkan invasi virus langsung melalui cribriform plate atau karena kerusakan endotel yang menjadi pintu masuk SARS-CoV-2 ke otak. Mielitis
transversa pada COVID-19 disebabkan hiperinflamasi sistemik, molecular mimicry, dan epitope spreading. Kegagalan organ multipel pada pasien
COVID-19 akibat badai sitokin dapat menyebabkan ensefalopati.

Kata kunci: COVID-19, komplikasi, sistem saraf pusat

ABSTRACT
Coronavirus disease-19 is caused by the SARS-CoV-2 virus that has been causing a pandemic since March 2020. Besides respiratory and
cardiovascular complications, COVID-19 can cause complications to central nervous system that also contribute to mortality and morbidity.
Some central nervous system complications in COVID-19 are ischemic stroke, hemorrhagic stroke, meningoencephalitis, acute transverse
myelitis, and encephalopathy. Ischemic stroke in COVID-19 is caused by several mechanisms, including coagulopathy, endothelial dysfunction,
cardioembolism, viral invasion of the central nervous system and immunoglobulin therapy. Hemorrhagic stroke can be associated with blood
pressure dysregulation caused by inflammational endothelial damage. Meningoencephalitis in COVID-19 can be caused by direct viral invasion
through the cribriform plate or due to endothelial damage that facilitate SARS-CoV-2 entrance to the brain. Transverse myelitis in COVID-19 is
caused by systemic hyperinflammation, molecular mimicry and epitope spreading. Multiple organ failure in COVID-19 patients due to a cytokine
storm can lead to encephalopathy. Tasia Esterita, Budi Riyanto Wreksoatmodjo. Central Nervous System Complication in COVID-19

Keywords: Central nervous system, complication, COVID-19

PENDAHULUAN Pada kasus COVID-19 berat dapat terjadi Berbagai temuan abnormal pada studi
Latar Belakang disfungsi dan kegagalan multi organ.5 neurodiagnostik seperti CT scan, MRI, dan
Severe acure respiratory syndrome coronavirus analisis cairan serebrospinal juga telah
2 (SARS-CoV-2) telah ditetapkan sebagai Selain itu, COVID-19 juga diketahui dapat dilaporkan.11,12
penyebab coronavirus disease 19 (COVID-19) menginvasi sistem saraf, sehingga dapat
yang telah dideklarasikan sebagai pandemi menimbulkan berbagai manifestasi neurologis Coronavirus Disease 19 (COVID-19)
oleh World Health Organization (WHO) pada dan komplikasi, baik pada sistem saraf perifer Pada tanggal 11 Maret 2020, WHO
bulan Maret 2020.1 maupun sistem saraf pusat.6,7 mendeklarasikan status pandemi COVID-19.1
Kasus COVID-19 pertama di Indonesia
Pada tanggal 16 Juli 2021, total kasus COVID-19 Adanya komplikasi neurologis terutama diumumkan pada tanggal 2 Maret 2020,
di dunia tercatat sebesar 189 juta jiwa dan pada sistem saraf pusat meningkatkan risiko sekitar empat bulan setelah kasus pertama di
kasus di Indonesia lebih dari 2,7 juta jiwa.2,3 mortalitas pasien COVID-19.8 Cina. Hingga tanggal 16 Juli 2021, terhitung
jumlah kasus terkonfirmasi COVID-19 di
COVID-19 diketahui dapat menyebabkan Komplikasi atau gejala neurologis bervariasi, Indonesia sebanyak 2,7 juta; provinsi dengan
berbagai gejala, mulai dari gejala respirasi mulai dari gejala non-spesifik seperti pusing, kasus terbanyak adalah DKI Jakarta, disusul
seperti batuk pilek, hingga gejala lain seperti nyeri kepala, hingga gejala sistem saraf Jawa Barat dan Jawa Tengah.2
demam, nyeri otot, dan diare.4 pusat yang lebih serius seperti stroke dan
ensefalitis.9,10 COVID-19 merupakan penyakit yang
Alamat Korespondensi email: tasiaest97@gmail.com

CDK-298/ vol. 48 no. 11 th. 2021 334


TINJAUAN PUSTAKA

disebabkan oleh SARS-CoV-2, yaitu virus dari COVID-19 berat.17Beberapa laporan kasus juga mengalami gejala seberovaskular, 28% pasien
famili Coronaviridae dan ordo Nidavirales. melaporkan miokarditis sebagai manifestasi mengalami penyakit neuromuskular, dan 23%
Virus ini tergolong single-stranded, positive- primer.18Studi di Wuhan, Cina, melaporkan mengalami komplikasi terkait dengan infeksi
sense RNA. Pada manusia SARS-CoV-2 dapat aritmia sebagai komplikasi COVID-19.19 atau inflamasi SSP.29
menyebabkan penyakit yang bervariasi mulai Manifestasi ginjal juga dilaporkan, dengan
dari common cold hingga penyakit yang lebih gagal ginjal akut sebagai penyebab kematian Sebuah systematic review oleh Nepal, et
parah seperti SARS dan MERS.13 cukup banyak pada COVID-19.20 Pemeriksaan al, mendapatkan gejala neurologis yang
histopatologi juga mengonfirmasi adanya paling sering dilaporkan, yaitu mialgia, nyeri
SARS-CoV-2 ditransmisikan antar manusia trombosis pada pembuluh darah pulmoner kepala, gangguan sensorium, hiposmia, dan
melalui droplet pernapasan jika orang yang pasien COVID-19 berat.21 Sistem organ hipogeusia. Selain itu, COVID-19 juga dapat
terinfeksi batuk atau bersin. 14 lain juga dapat terlibat, seperti komplikasi menimbulkan komplikasi SSP seperti stroke
obstetrik dan ginekologi, gastrointestinal, iskemik, stroke hemoragik, ensefalomielitis,
Secara umum, spike protein pada SARS- sistem endokrin, sistem indra, serta komplikasi mielitis akut, atau gangguan neurologi perifer
CoV-2 dibagi menjadi 2 domain, S1 dan S2. neuromuskular.22 seperti Guillain-Barre syndrome, Bell’s palsy, dan
S1 berfungsi sebagai receptor binding dan S2 gejala skeletal seperti rhabdomyolisis.10
berfungsi untuk fusi dengan membran sel. Beberapa penelitian melaporkan adanya
SARS-CoV-2 masuk ke dalam sel host dan akan komplikasi neurologis pada pasien COVID-19. STROKE ISKEMIK
memicu aktivasi respons imun innate.15 Komplikasi neurologis yang ditimbulkan Insidens
bervariasi, mulai dari komplikasi non-spesifik Sebuah review World Stroke Organization
Hasil analisis struktural menyatakan bahwa seperti nyeri kepala, kejang, anosmia, dan melaporkan bahwa risiko stroke iskemik pada
SARS-CoV-2 dapat melekat pada reseptor ageusia, hingga komplikasi serius bahkan pasien COVID-19 sekitar 5%. Median waktu
angiotensin-converting enzyme (ACE2) reseptor melibatkan sistem saraf pusat seperti stroke dari konfirmasi COVID-19 hingga mengalami
untuk masuk ke dalam sel.15 iskemik, stroke hemoragik, ensefalitis, mielitis, stroke iskemik adalah 10 hari. Pasien COVID-19
ensefalopati, dan sebagainya.23-25 yang mengalami stroke umumnya lebih
Reseptor ACE2 diekspresikan paling banyak tua, memiliki penyakit komorbid, dan kadar
pada sel epitel paru sisi apikal pada ruang Adanya komplikasi pada pasien COVID-19 D-dimer yang lebih tinggi.30
alveolar, sehingga virus paling banyak masuk dapat meningkatkan mortalitas dan
ke paru dan dapat merusak paru.15Pada CT morbiditas. Oleh karena itu, selain berfokus Pada studi retrospektif pasien COVID-19
scan, karakteristik ground glass opacification pada gangguan sistem pernapasan dan di New York yang mengalami stroke, 0,9%
dapat dilihat bahkan pada pasien kardiovaskular, komplikasi pada sistem organ pasien mengalami stroke iskemik, 65,6% stroke
asimtomatik.15 Manifestasi klinis utama pada lain terutama SSP memerlukan perhatian kriptogenik, dan 34,4% stroke emboli. Jika
COVID-19 adalah demam, batuk kering, sesak khusus karena berkontribusi signifikan dibandingkan dengan pasien stroke tanpa
napas, nyeri dada, lemas, mialgia.16Beberapa terhadap peningkatan mortalitas pasien COVID-19, pasien stroke dengan COVID-19
gejala lain yaitu nyeri kepala, pusing, nyeri COVID-19.26,27 memiliki usia lebih tua (median 70 dan 63
perut, diare, mual, dan muntah.14 Pada hampir tahun), juga memiliki skor NIHSS (the National
75% pasien terdapat pneumonia bilateral.16 Komplikasi SSP pada COVID-19 Institutes of Health Stroke Scale) saat masuk
Berdasarkan systematic review dan meta- rumah sakit lebih buruk dibanding pasien
COVID-19 dapat menimbulkan komplikasi analisis, komplikasi sistem saraf pusat terjadi non-COVID-19. Pasien COVID-19 dengan
berat seperti hipoksia, acute respiratory distress pada sekitar 6,27% pasien.28 stroke memiliki kadar D-dimer lebih tinggi.31
syndrome (ARDS), acute cardiac injury, dan
gagal ginjal akut. Sebuah studi pada 99 pasien Komplikasi SSP yang banyak terjadi Sebuah penelitian di rumah sakit Denmark
menunjukkan bahwa sekitar 17% pasien adalah penyakit serebrovaskular akut dan meneliti 5119 pasien terdiagnosis COVID-19.
mengalami ARDS dan 11% di antaranya ensefalopati. Menurut penelitian Sherry, et al,8 Rata-rata usia adalah 77 tahun dan 52%
meninggal akibat gagal organ multipel.16 populasi laki-laki. Di antara semua sampel,
komplikasi yang paling banyak adalah 44 (0,08%) pasien mengalami stroke saat
Median durasi dari awal gejala hingga ensefalopati akut (49%), diikuti stroke dan observasi dan 18 pasien mengalami stroke 14
mencapai ARDS sekitar 8 hari. Usia lanjut koma (17%). Komplikasi neurologis yang hari setelah terdiagnosis COVID-19. Insidens
atau penyakit komorbid seperti penyakit jarang ditemui adalah meningitis dan atau stroke iskemik 10 kali lebih tinggi pada 14 hari
kardiovaskular, gagal ginjal kronis, dan ensefalitis (0,1%). Gejala neurologis pada setelah terdiagnosis COVID-19 dibandingkan
obesitas, memengaruhi tingkat keparahan pasien COVID-19 diketahui berhubungan kelompok kontrol. Insidens stroke iskemik
COVID-19.14 dengan risiko kematian di rumah sakit.8 juga meningkat hingga 21 dan 31 hari setelah
terdiagnosis COVID-19.32
Selain manifestasi pernapasan, COVID-19 juga Pada systematic review pada 82 kasus
dapat menyebabkan komplikasi pada organ COVID-19 dengan komplikasi neurologis, Patofisiologi Stroke Iskemik pada Pasien
lain. Pada sistem kardiovaskular, kardiomiopati ditemukan rata-rata usia 62,3 tahun; 62,2% COVID-19
dilaporkan sebagai komplikasi kasus pasien laki-laki. Sejumlah 48,8% pasien Beberapa mekanisme yang berperan dalam

CDK-298/ vol. 48 no. 11 th. 2021 335


TINJAUAN PUSTAKA

kejadian stroke iskemik pada pasien COVID-19 pada jantung dan aritmia meningkatkan risiko Berdasarkan Global Burden of Disease (GBD)
antara lain koagulopati, disfungsi endotel, tromboemboli dan stroke.33 pada tahun 2010, terdapat 5,3 juta kasus
kardioemboli, invasi virus ke CNS (central stroke hemoragik, 80% di antaranya di negara
nervous system), terapi imunoglobulin.33 4. Invasi Virus ke SSP dengan tingkat ekonomi menengah ke
Mekanisme invasi virus ke SSP diduga melalui bawah.37
1. Koagulopati 2 mekanisme: (1) penyebaran hematogen
Koagulopati diketahui dapat meningkatkan ke sirkulasi serebral dari diseminasi sistemik, Pada systematic review studi epidemiologi,
risiko komplikasi tromboemboli pasien dan (2) transmisi dari epitel olfaktori melalui didapatkan incidence rate stroke hemoragik
COVID-19. Sepsis-induced coagulopathy (SIC) cribriform plate ke bulbus olfaktori. Sirkulasi per 100.000 juta jiwa per tahun sebesar 51,8
diketahui merupakan fase awal disseminated serebral yang lambat menyebabkan di Asia, 24,2 pada ras kulit putih, 22,9 pada ras
intravascular coagulopathy (DIC), yang ditandai peningkatan interaksi antara virus dan reseptor kulit hitam, dan 19,6 pada ras Hispanik.38
dengan peningkatan D-dimer, pemanjangan ACE2 pada sel endotel serebral. Proliferasi
prothrombin time, trombosit rendah, tetapi virus dapat menyebabkan kerusakan endotel Berdasarkan data American Heart Association
tidak terdapat hipofibrinogenemia. Hal ini dan virus dapat masuk ke otak. ACE2 juga (AHA) /American Stroke Association (ASA),
akibat adanya respons inflamasi sistemik terdeteksi pada sel neuron dan glia yang tahun 2009, angka kematian stroke hemoragik
disebabkan respons imun terhadap virus, dapat menjadi target perlekatan SARS-CoV-2. mencapai 49,2%, hampir dua kali lipat stroke
yang menyebabkan disfungsi endotel dan Akan tetapi, peranan mekanisme ini dalam iskemik (25,9%).39
trombosis mikrosirkulasi. Selain itu, terdapat stroke iskemik masih belum jelas.33
oversupresi fibrinolisis akibat peningkatan Terkait COVID-19, kejadian stroke hemoragik
plasminogen activator inhibitor-1, sehingga 5. Terapi Imunoglobulin lebih sedikit dibandingkan stroke iskemik.
meningkatkan risiko trombosis. Trombosis Terapi Intravenous immunoglobulin (IVIg) telah Hingga saat ini, kaitan stroke hemoragik
arterial dan vena diketahui meningkat pada digunakan untuk profilaksis dan terapi infeksi dengan COVID-19 masih belum jelas.40
pasien COVID-19.33 virus.34
Sharifi, et al, melaporkan kasus pria berusia
2. Disfungsi Endotel Akan tetapi, IVIg memiliki beberapa potensi 79 tahun dengan demam dan batuk yang
Adanya disfungsi endotel dapat menyebabkan komplikasi. Risiko kejadian tromboemboli IVIg mengalami penurunan kesadaran akut 3
pembentukan trombosis arteri dan vena. Pada diperkirakan sekitar 0,6-4,5%.35 hari kemudian. Hasil swab orofaring positif
vaskular normal, endotel memiliki pro- dan COVID-19. Tekanan darah 140/65 mmHg
anti-trombotik dalam jumlah seimbang untuk Kejadian seperti stroke, infark miokard, saat masuk rumah sakit; tidak ada riwayat
menghindari perdarahan atau pembentukan emboli paru, dan deep vein thrombosis (DVT) hipertensi ataupun penggunaan obat
trombus. Salah satu mekanisme disfungsi diketahui disebabkan oleh induksi IVIg yang antikoagulan. Pada CT scan, didapatkan
endotel pada pasien COVID-19 adalah deplesi menyebabkan peningkatan viskositas darah, perdarahan masif intraserebral, disertai
ACE2 reseptor di sel endotel vaskular.32 sehingga menjadi faktor risiko pembentukan perdarahan intraventrikular dan perdarahan
trombus.33 subarakhnoid.41
Renin diproduksi oleh sel juxtaglumerolar
renal, mengubah angiotensinogen menjadi Prognosis Stroke Iskemik pada Pasien Beberapa studi lain juga melaporkan kasus
angiotensin 1. ACE1 mengubah angiotensin 1 COVID-19 stroke hemoragik pada pasien COVID-19.
menjadi angiotensin 2. Angiotensin 2 berperan Keluaran stroke pada pasien COVID-19 Poyiadji, et al, melaporkan seorang wanita
sebagai vasopressor, proinflamasi, dan efek merefleksikan tingkat keparahan penyakit. Jika berusia sekitar 50 tahun yang terdiagnosis
prokoagulan. ACE2 mempunyai efek yang dibandingkan dengan pasien non-COVID-19, COVID-19 associated acute necrotizing
berlawanan dengan ACE1, yaitu mengkonversi pasien stroke dengan COVID-19 memiliki hemorrhagic encephalopathy (ANE). MRI pasien
angiotensin 2 menjadi angiotensin yang skor NIHSS lebih tinggi, sehingga diprediksi tersebut menunjukkan adanya lesi hemoragik
mempunyai efek vasodilator dan anti inflamasi. memiliki prognosis lebih buruk.31 rim enhancing pada thalamus bilateral, lobus
Virus SARS-CoV-2 menempel pada reseptor medial, temporal, dan subinsular.12
ACE2, sehingga terjadi deplesi efek “protektif” Makin tinggi skor NIHSS, akan makin buruk
endotel, mengganggu keseimbangan antara keluaran penyakit. Sebuah studi systematic review dan meta-
angiotensin 1 dan angiotensin 2, sehingga analisis menunjukkan bahwa insidens stroke
terjadi peningkatan efek pro inflamasi dan STROKE HEMORAGIK hemoragik pada pasien COVID-19 sekitar
disfungsi endotel.33 Stroke hemoragik atau dikenal juga sebagai 0,46%. Pada pasien COVID-19 dengan stroke
perdarahan intraserebral spontan merupakan hemoragik, pasien masuk rumah sakit lebih
3. Kardioemboli salah satu jenis stroke akibat pecahnya sering akibat gejala respirasi dibandingkan
Cardiac injury merupakan salah satu penyebab pembuluh darah intraserebral. Kondisi ini akibat gejala neurologis. Mortalitas pasien
kematian tertinggi pasien COVID-19 setelah menimbulkan gejala neurologis secara tiba- COVID-19 dengan stroke hemoragik sebesar
gagal napas. Invasi virus dan efek badai sitokin tiba dan sering diikuti gejala desak ruang atau 44,72%. Oleh karena itu, walaupun insidens
diduga merupakan penyebab cardiac injury peningkatan tekanan intrakranial (TIK).36 stroke pada COVID-19 rendah, tingkat
pada pasien COVID-19. Disfungsi endotel mortalitasnya memerlukan perhatian lebih.42

CDK-298/ vol. 48 no. 11 th. 2021 336


TINJAUAN PUSTAKA

Patofisiologi Stroke Hemoragik pada lebih buruk.45 yang dapat memfasilitasi interaksi protein spike
COVID-19 SARS-CoV-2 dengan ACE2 yang diekspresikan
ACE2 diketahui merupakan enzim pada Insidens Meningoensefalitis pada Pasien pada endotel kapiler. Penempelan virus ke
sistem renin-angiotensin (RAS) yang berfungsi COVID-19 endotel kapiler menyebabkan kerusakan
meregulasi tekanan darah, cairan, dan Berdasarkan systematic review oleh Mondal, et dinding endotel dan membuka akses virus
keseimbangan elektrolit. Penurunan regulasi al, analisis demografik parameter rata-rata usia ke otak. Interaksi virus ACE2 reseptor yang
ACE2 pada COVID-19 menyebabkan kerusakan pasien COVID-19 dengan meningoensefalitis, diekspresikan di neuron dapat menyebabkan
fungsi endotel dan berkontribusi terhadap yaitu 50,8 ± 19,09 tahun. Laki-laki lebih kerusakan saraf.49
disregulasi tekanan darah, meningkatkan banyak daripada perempuan. Sebagian besar
risiko kejadian stroke hemoragik.40 pasien memiliki komorbid diabetes melitus ACUTE TRANSVERSE MYELITIS (ATM)
dan hipertensi. Dari semua gejala, demam Acute transverse myelitis (ATM) merupakan
Pada pasien dengan riwayat hipertensi, merupakan gejala yang paling sering, diikuti kondisi inflamasi akut pada medula spinalis.
ekspresi ACE2 lebih sedikit, dan jika terinfeksi batuk.45 Inflamasi menyebabkan demielinisasi dan
SARS-CoV-2 dan menempel pada reseptor kerusakan neuron. ATM memiliki insidens 1
ACE2, kemampuan ACE2 untuk meregulasi Sebuah studi retrospektif oleh Abildua, et sampai 4 kasus baru per 1.000.000 penduduk
atau menurunkan tekanan darah sangat al, yang melibatkan 232 pasien COVID-19 per tahun, dapat mengenai semua usia
berkurang, sehingga meningkatkan risiko positif, mendapatkan bahwa pada 21,9% dengan puncak pada dekade 2 hingga 4.
stroke hemoragik. Pada pasien COVID-19, pasien terdapat komplikasi ensefalitis. Lebih Tidak terdapat perbedaan antara laki-laki dan
adanya badai sitokin dan peningkatan tekanan dari sepertiga pasien datang dengan keluhan perempuan. 24
darah dapat meningkatkan risiko stroke confusion. Rata-rata onset dari awal infeksi
hemoragik, walaupun hubungan langsung COVID-19 hingga muncul gejala neurologis Insidens Transverse Myelitis pada COVID-19
stroke hemoragik dengan COVID-19 masih sekitar 8 hari.46 Roman, et al, melaporkan 43 kasus transverse
belum diketahui pasti.40 myelitis akut pada pasien COVID-19. Seluruh
Coronavirus telah terdeteksi pada serebrum pasien mengalami gejala paralisis akut,
MENINGOENSEFALITIS dan cairan serebrospinal pasien dengan gangguan sensorik, dan defisit sfingter akibat
Meningitis merupakan inflamasi lapisan kejang, ensefalitis, dan ensefalomielitis.47 lesi medula spinalis. Sebanyak 68% pasien
meninges, umumnya berhubungan dengan mengalami masa laten dari 10 hari hingga 6
hitung jenis sel abnormal pada cairan Beberapa gejala neurologis telah dilaporkan minggu, menandakan komplikasi post infeksi
serebrospinal. Meningitis aseptik didefinisikan pada meningoensefalitis akibat infeksi SARS- akibat respons imun host terhadap virus
sebagai tidak adanya bakteri yang tumbuh CoV-2. Disorientasi atau confusion terhadap COVID-19.50
dan secara umum disebabkan oleh infeksi waktu dan tempat atau gangguan status
virus. Meningitis virus merupakan jenis mental merupakan gejala yang paling Chow, et al, melaporkan kasus transverse
meningitis yang banyak ditemui di berbagai sering dilaporkan. Oleh karena itu, dapat myelitis pada pasien COVID-19 berusia 60
negara.43 diasumsikan pada tempat/lokasi dengan tahun dengan kelemahan kedua tungkai,
insidens COVID-19 tinggi, confusion atau retensi urin, dan konstipasi. Pemeriksaan fisik
Ensefalitis merupakan inflamasi parenkim disorientasi dapat menjadi penanda perlunya menunjukkan kelemahan global, peningkatan
otak dan berhubungan dengan temuan klinis deteksi SARS-CoV-2.45 tonus, hiperefleks, dan parastesia ekstremitas
disfungsi otak. Ensefalitis dapat disebabkan bawah. Virus SARS-CoV-2 RNA tidak terdeteksi
oleh faktor non-infeksi ataupun infeksi. Pada Lu, et al, melaporkan kasus pasien pada cairan serebrospinal, menandakan
umumnya, ensefalitis disebabkan oleh Herpes meningoensefalitis setelah terdiagnosis bahwa gejala neurologis pada kasus ini akibat
simplex virus tipe 1 (HSV-1), Varicella-zoster COVID-19. Pasien tiba-tiba mengalami proses inflamasi, bukan akibat invasi langsung
virus (VZV), Epstein-Barr virus (EBV), mumps, penurunan kesadaran, kaku kuduk, dan virus ke dalam SSP.24
measles, dan enterovirus. Ensefalitis non-viral gangguan motorik ekstremitas bawah.
dapat disebabkan oleh tuberkulosis, rickettsia, Analisis CSF menunjukkan infeksi SSP dengan Sebuah systematic review mendeskripsikan 20
dan trypanosomiasis.44 peningkatan leukosit, tetapi screening patogen pasien COVID-19 yang mengalami komplikasi
pada CSF (bakteri, viral, jamur) termasuk SARS- mielitis akut. Median usia 56 tahun, 60% kasus
Virus dapat menjangkau meninges dengan CoV-2, negatif.48 laki-laki. Dari 18 pasien, didapatkan hipertensi
melalui beberapa cara, seperti penyebaran pada 7 pasien, diabetes pada 4 pasien,
melalui darah, penyebaran retrograd dari Patogenesis Meningoensefalitis pada obesitas pada 2 pasien, hiperlipidemia pada 2
ujung saraf, reaktivasi virus fase dorman pada COVID-19 pasien, dan hipotiroid pada 2 pasien. Sebagian
sistem saraf. Saat virus sampai ke sistem saraf Diseminasi COVID-19 pada sirkulasi sistemik besar pasien datang ke rumah sakit dengan
pusat dan menyebar ke ruang subarakhnoid, atau sekitar cribriform plate dari os. ethmoidalis keluhan klasik, yaitu kelemahan ekstremitas,
menyebabkan respons inflamasi dan pada fase awal atau akhir infeksi dapat defisit sensorik, dan disfungsi kandung kemih
menyebabkan meningitis. Ensefalitis dapat menyebabkan keterlibatan serebral pada atau usus.51
timbul apabila terdapat inflamasi parenkim pasien COVID-19. Aliran darah mikrosirkulasi
dan berhubungan dengan prognosis yang yang lambat dapat menjadi salah satu faktor

CDK-298/ vol. 48 no. 11 th. 2021 337


TINJAUAN PUSTAKA

Patofisiologi Transverse Myelitis pada gangguan kesadaran mulai dari confusion, gagal ginjal kronik, dan penyakit hepar.
COVID-19 delirium, hingga koma dalam. Pasien Pasien ensefalopati akut memiliki kebutuhan
Menurut Paterson, et al, mekanisme COVID-19 ensefalopati dapat pula mengalami perawatan intensif, intubasi, dan mortalitas
yang menyebabkan ATM, yaitu kerusakan manifestasi klinis seperti kejang, nyeri kepala, lebih tinggi.54
virus langung terhadap sistem saraf dan atau atau gejala ekstrapramidal. 36
hiperinflamasi sekunder pada host. SARS- Anand, et al, melakukan studi pada 921
CoV-2 mengaktivasi sintesis IL1, menyebabkan Ensefalopati dapat oleh berbagai penyebab, pasien COVID-19; didapatkan 74 pasien
aktivasi respons inflamasi. Selain itu, IL6 di antaranya sepsis, induksi obat, metabolik, mengalami komplikasi neurologi, yang
sebagai mediator inflamasi juga meningkat atau iskemik. Ensefalopati septik termasuk terbanyak adalah ensefalopati. Sebanyak 26
pada pasien COVID-19 dan dapat menginduksi meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis, pasien (35%) mengalami multifactorial atau
respons imun SSP. Terjadi disregulasi IFN-1 dapat terjadi karena efek endotoksin dan toxic-metabolicencephalopathy, diikuti stroke
pada COVID-19 dan dapat mempengaruhi mediator inflamasi yang menyebabkan iskemik (19%) dan movement disorder (9%).55
sistem imun innate dan didapat. Pada pasien disfungsi sawar darah otak.
COVID-19 juga terjadi peningkatan level IL-2, IL- Patofisiologi Ensefalopati pada COVID-19
8, IL-17, granulocyte colony-stimulating factor, Insidens Ensefalopati pada COVID-19 Penyebab ensefalopati pada pasien COVID-19
granulocyte macrophage colony-stimulating Chen, et al, menyatakan bahwa kejadian multifaktorial, termasuk inflamasi dan penyakit
factor, interferon gamma-induced protein ARDS, sepsis, acute myocardial injury, cardiac sistemik, koagulopati, invasi virus ke SSP,
1-, dan monocyte chemoattractant protein failure, gangguan elektrolit, dan gagal ginjal endotelitis, dan autoimun post infeksi. Pada
1. Pengeluaran IFN dapat menyebabkan akut berkontribusi terhadap ensefalopati pasien COVID-19 dengan gejala berat, fungsi
inflamasi dan supresi sistem imun. Faktor- metabolik pada pasien COVID-19.52 organ menjadi terganggu. Pasien ini biasanya
faktor imun dapat menyebabkan sindrom mengalami kegagalan organ multipel yang
badai sitokin yang menyebabkan koagulopati Yin, et al, menganalisis 106 pasien dengan ditandai dengan gagal sirkulasi, sepsis, syok,
dan trombosis.50 penyakit neurologi dan mendapatkan adanya gagal ginjal, gagal hati, koagulopati, dan gagal
gangguan sensorium pada 16% kasus. napas. Respons inflamasi yang intens dapat
Blackburn dan Wang, mengusulkan Gangguan sensorium lebih banyak ditemukan memicu terjadinya badai sitokin. Adanya
mekanisme kelainan neurologis postinfeksi, pada kasus berat dan kritis dibandingkan pada hipoksia akibat gagal napas, dan gangguan
yaitu molecular mimicry, epitope spreading, kasus ringan sedang.53 metabolik akibat gagal organ menyebabkan
bystander activation, dan aktivasi sel B disfungsi otak difus karena adanya hipoperfusi
poliklonal. Molecular mimicry terjadi karena Sebuah studi retrospektif dari Wuhan, Cina, ke otak atau akumulasi zat neurotoksik pada
adanya mikroorganisme dengan epitom yang menyatakan bahwa pasien dengan gejala otak. Selain itu, SARS-CoV-2 juga memiliki
mirip dengan struktur antigen host, sehingga SSP memiliki limfopenia, trombositopenia, komponen neurotropik yang dapat masuk
limfosit yang teraktivasi oleh infeksi dapat peningkatan blood urea nitrogen (BUN). ke otak dan menempel pada reseptor ACE2
mengalami cross-reaction dengan antigen Kelainan pada foto toraks juga ditemukan sebagai jalur masuk.56
tubuh. Pada epitope spreading, respons inisial pada pasien dengan gejala SSP.9
spesifik terhadap antigen tertentu meluas SIMPULAN
ke epitom lain. Selain itu, saat terjadi aktivasi Pada sebuah studi yang melibatkan 1150 COVID-19 bukan hanya merupakan penyakit
respons imun terhadap patogen dengan pasien COVID-19 di New York, sebagian besar sistem respirasi saja, tetapi juga berhubungan
virulensi tinggi, terjadi autoreaktif pada memiliki penyakit komorbid seperti hipertensi, dengan berbagai komplikasi lain termasuk
limfosit yang menyebabkan autoimunitas diabetes, dan obesitas. Sebagian besar pasien komplikasi sistem saraf pusat, di antaranya
terhadap sel host; disebut bystander activation. memiliki gangguan status mental saat masuk penyakit serebrovaskular akut (stroke iskemik
Aktivasi sel B poliklonal dapat muncul pada rumah sakit, yang menunjukkan adanya dan stroke hemoragik), meningoensefalitis,
pasien infeksi virus kronis seperti virus herpes. ensefalopati. Delirium ditemukan pada 69% myelitis transversa, dan ensefalopati.
Molecular mimicry dan bystander activation pasien.31 Komplikasi sistem saraf pusat pada pasien
menjadi mekanisme yang paling mungkin COVID-19 memerlukan perhatian khusus
untuk menjelaskan ATM pada SARS-CoV-2.50 Arun Shah, et al, melaporkan studi ensefalopati karena memiliki prognosis lebih buruk.
pada pasien COVID-19. Dari 12.601 pasien, 8,7%
ENSEFALOPATI pasien mengalami ensefalopati akut. Pasien
Ensefalopati merupakan suatu terminologi yang mengalami ensefalopati akut memiliki
untuk segala kelainan difus otak yang usia lebih tua dan memiliki penyakit komorbid
mengganggu fungsi atau struktur otak. seperti obesitas, hipertensi, diabetes, penyakit
Karakteristik ensefalopati yaitu adanya jantung, penyakit paru obstruktif kronik,

DAFTAR PUSTAKA
1. Cucinotta D, Vanelli M. WHO declares COVID-19 a pandemic. Acta Bio-Medica Atenei Parm. 2020;91(1):157–60.
2. Indonesia COVID: 2,780,803 Cases and 71,397 Deaths - Worldometer [Internet]. [cited 2021 Jul 16]. Available from: https://www.worldometers.info/coronavirus/
country/indonesia/

CDK-298/ vol. 48 no. 11 th. 2021 338


TINJAUAN PUSTAKA

3. COVID live update: 190,020,508 cases and 4,086,904 deaths from the coronavirus - Worldometer [Internet]. [cited 2021 Jul 16]. Available from: https://www.
worldometers.info/coronavirus/
4. Ozma MA, Maroufi P, Khodadadi E, Köse Ş, Esposito I, Ganbarov K, et al. Clinical manifestation, diagnosis, prevention and control of SARS-CoV-2 (COVID-19) during
the outbreak period. Infez Med. 2020;28(2):153–65.
5. Guan WJ, Ni ZY, Hu Y, Liang WH, Ou CQ, He JX, et al. Clinical characteristics of coronavirus disease 2019 in China. N Engl J Med. 2020;382(18):1708–20.
6. Desforges M, Le Coupanec A, Dubeau P, Bourgouin A, Lajoie L, Dubé M, et al. Human coronaviruses and other respiratory viruses: Underestimated opportunistic
pathogens of the central nervous system? Viruses. 2020;12(1):14.
7. Pleasure SJ, Green AJ, Josephson SA. The spectrum of neurologic disease in the severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 pandemic infection: Neurologists
move to the frontlines. JAMA Neurol. 2020;77(6):679–80.
8. Chou SHY, Beghi E, Helbok R, Moro E, Sampson J, Altamirano V, et al. Global incidence of neurological manifestations among patients hospitalized with COVID-
19—A report for the GCS-NeuroCOVID consortium and the ENERGY consortium. JAMA Netw Open. 2021;4(5):e2112131.
9. Mao L, Jin H, Wang M, Hu Y, Chen S, He Q, et al. Neurologic manifestations of hospitalized patients with coronavirus disease 2019 in Wuhan, China. JAMA Neurol.
2020;77(6):683–90.
10. Filatov A, Sharma P, Hindi F, Espinosa PS. Neurological complications of coronavirus disease (COVID-19): Encephalopathy [Internet]. [cited 2021 Jul 16]. Available
from: https://www.cureus.com/articles/29414-neurological-complications-of-coronavirus-disease-covid-19-encephalopathy
11. Moriguchi T, Harii N, Goto J, Harada D, Sugawara H, Takamino J, et al. A first case of meningitis/encephalitis associated with SARS-Coronavirus-2. Int J Infect Dis IJID
Off Publ Int Soc Infect Dis. 2020;94:55–8.
12. Poyiadji N, Shahin G, Noujaim D, Stone M, Patel S, Griffith B. COVID-19-associated acute hemorrhagic necrotizing encephalopathy: Imaging features. Radiology
2020;296(2):119–20.
13. Dhama K, Khan S, Tiwari R, Sircar S, Bhat S, Malik YS, et al. Coronavirus disease 2019–COVID-19. Clin Microbiol Rev. 33(4):e00028-20.
14. Harapan H, Itoh N, Yufika A, Winardi W, Keam S, Te H, et al. Coronavirus disease 2019 (COVID-19): A literature review. J Infect Public Health. 2020;13(5):667–73.
15. Yuki K, Fujiogi M, Koutsogiannaki S. COVID-19 pathophysiology: A review. Clin Immunol Orlando Fla. 2020;215:108427.
16. Chen N, Zhou M, Dong X, Qu J, Gong F, Han Y, et al. Epidemiological and clinical characteristics of 99 cases of 2019 novel coronavirus pneumonia in Wuhan, China:
A descriptive study - ScienceDirect [Internet]. [cited 2021 Jul 17]. Available from: https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0140673620302117
17. Arentz M, Yim E, Klaff L, Lokhandwala S, Riedo FX, Chong M, et al. Characteristics and outcomes of 21 critically ill patients with COVID-19 in Washington State -
PubMed [Internet]. [cited 2021 Jul 17]. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32191259/
18. Yokoo P, Fonseca E, Neto R, Ishikawa W, Silva M, Yanata E. COVID-19 myocarditis: A case report COVID-19 myocarditis: A case report [Internet]. [cited 2021 Aug 8].
Available from: https://www.scielo.br/j/eins/a/hsVGMRZRxLVjh9dYnbvpLJR/?lang=en
19. Wang D, Hu B, Hu C, Zhu F, Liu X, Zhang J, et al. Clinical characteristics of 138 hospitalized patients with 2019 Novel Coronavirus-Infected pneumonia in Wuhan,
China. JAMA. 2020;323(11):1061–9.
20. Cheng Y, Luo R, Wang K, Zhang M, Wang Z, Dong L, et al. Kidney disease is associated with in-hospital death of patients with COVID-19 - PubMed [Internet]. [cited
2021 Jul 17]. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32247631/
21. Fox S, Akmatbekov A, Harbert J, Guang L, Brown JQ, Heide RS. Pulmonary and cardiac pathology in African American patients with COVID-19: an autopsy series from
New Orleans - PubMed [Internet]. [cited 2021 Jul 17]. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32473124/
22. Kordzadeh-Kermani E, Khalili H, Karimzadeh I. Pathogenesis, clinical manifestations and complications of coronavirus disease 2019 (COVID-19). Future Microbiol.
:10.2217/fmb-2020–0110.
23. Bridwell R, Long B, Gottlieb M. Neurologic complications of COVID-19. Am J Emerg Med. 2020;38(7):1549.e3-1549.e7.
24. Chow CCN, Magnussen J, Ip J, Su Y. Acute transverse myelitis in COVID-19 infection. BMJ Case Rep CP. 2020;13(8):236720.
25. Filatov A, Sharma P, Hindi F, Espinosa PS. Neurological complications of coronavirus disease (COVID-19): Encephalopathy. Cureus 2020;12(3):7352.
26. Eskandar EN, Altschul DJ, Ramos R, Cezayirli P, Unda S, Benton J, et al. Neurologic syndromes predict higher in-hospital mortality in COVID-19 | Neurology [Internet].
[cited 2021 Jul 30]. Available from: https://n.neurology.org/content/96/11/e1527
27. Sellner J, Taba P, Öztürk S, Helbok R. The need for neurologists in the care of COVID-19 patients. Eur J Neurol. 2020;27(9):31–2.
28. Madani Neishaboori A, Moshrefiaraghi D, Mohamed Ali K, Toloui A, Yousefifard M, Hosseini M. Central nervous system complications in COVID-19 patients; A
systematic review and meta-analysis based on current evidence. Arch Acad Emerg Med. 2020;8(1):62.
29. Ghannam M, Alshaer Q, Al-Chalabi M, Zakarna L, Robertson J, Manousakis G. Neurological involvement of coronavirus disease 2019: A systematic review. J Neurol.
2020;1–19.
30. Spence JD, Freitas GR de, Pettigrew LC, Ay H, Liebeskind DS, Kase CS, et al. Mechanisms of stroke in COVID-19. Cerebrovasc Dis. 2020;49(4):451–8.
31. Cummings MJ, Baldwin MR, Abrams D, Jacobson SD, Meyer BJ, Balough EM, et al. Epidemiology, clinical course, and outcomes of critically ill adults with COVID-19
in New York City: A prospective cohort study. Lancet Lond Engl. 2020;395(10239):1763–70.
32. Modin D, Claggett B, Pedersen CS, Lassen MC Skaarup KG, Jensen JU, et al. Acute COVID-19 and the incidence of ischemic stroke and acute myocardial infarction
[Internet]. [cited 2021 Jul 24]. Available from: https://www.ahajournals.org/doi/epub/10.1161/CIRCULATIONAHA.120.050809
33. Ojo AS, Balogun SA, Idowu AO. Acute ischemic stroke in COVID-19: Putative mechanisms, clinical characteristics, and management. Neurol Res Int. 2020;2020:e7397480.
34. Tzilas V, Manali E, Papiris S, Bouros D. Intravenous immunoglobulin for the treatment of COVID-19: A promising tool. Respiration. 2020;99(12):1087–9.
35. Caress JB, Cartwright MS, Donofrio PD, Peacock JE. The clinical features of 16 cases of stroke associated with administration of IVIg. Neurology 2003;60(11):1822–4.
36. Hauser SL, Joseph SA. Harrison’s neurology in clinical medicine. 4th ed. McGraw Hill. 2016.
37. Krishnamurthi RV, Moran AE, Forouzanfar MH, Bennett DA, Mensah GA, Lawes CMM, et al. The global burden of hemorrhagic stroke: A summary of findings from
the GBD 2010 study. Glob Heart. 2014;9(1):101–6.
38. Van Asch CJ, Luitse MJ, Rinkel GJ, van der Tweel I, Algra A, Klijn CJ. Incidence, case fatality, and functional outcome of intracerebral haemorrhage over time, according
to age, sex, and ethnic origin: A systematic review and meta-analysis. Lancet Neurol. 2010;9(2):167–76.

CDK-298/ vol. 48 no. 11 th. 2021 339


TINJAUAN PUSTAKA

39. Mayza A, Safri AY, Rasyid A, Tiksnadi A, Budikayanti A, Imran D, et al. Buku ajar neurologi. Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.
40. Wang Z, Yang Y, Liang X, Gao B, Liu M, Li W, et al. COVID-19 associated ischemic stroke and hemorrhagic stroke: Incidence, potential pathological mechanism, and
management. Front Neurol. 2020;11:571996.
41. Razavi AS, Karimi N, Rouhani N. COVID-19 and intracerebral haemorrhage: Causative or coincidental? - PubMed [Internet]. [cited 2021 Jul 19]. Available from: https://
pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32322398/
42. Frediansyah A, Syahrul S, Maliga HA, Ilmawan M, Fahriani M, Mamada SS, et al. Hemorrhagic and ischemic stroke in patients with coronavirus disease 2019: Incidence,
risk factors, and pathogenesis-a systematic review and meta-analysis [Internet]. [cited 2021 Jul 24]. Available from: http://lipi.go.id/publikasi/Hemorrhagic-and-
ischemic-stroke-in-patients-with-coronavirus-disease-2019-incidence-risk-factors-and-pathogenesis-a-systematic-review-and-meta-analysis/39951
43. Cantu RM, M Das J. Viral Meningitis. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 [cited 2021 Jul 20]. Available from: http://www.ncbi.nlm.
nih.gov/books/NBK545217/
44. Steiner I, Budka H, Chaudhuri A, Koskiniemi M, Sainio K, Salonen O, et al. Viral meningoencephalitis: A review of diagnostic methods and guidelines for management.
Eur J Neurol. 2010;17(8):999-57.
45. Mondal R, Ganguly U, Deb S, Shome G, Pramanik S, Bandyopadhyay D, et al. Meningoencephalitis associated with COVID-19: A systematic review. J Neurovirol.
2020;1–14.
46. Abenza Abildúa MJ, Atienza S, Carvalho Monteiro G, Erro Aguirre ME, Imaz Aguayo L, Freire Álvarez E, et al. Encephalopathy and encephalitis during acute SARS-
CoV-2 infection. Spanish Society of Neurology’s COVID-19 Registry. Neurologia 2021;36(2):127–34.
47. Varatharaj A, Thomas N, Ellul MA, Davies NWS, Pollak TA, Tenorio EL, et al. Neurological and neuropsychiatric complications of COVID-19 in 153 patients: A UK-wide
surveillance study. Lancet Psychiatry. 2020;7(10):875–82.
48. Lu P, Peng F, Zhang Y, Zhang L, Li N, Sun L, et al. COVID‑19‑associated meningoencephalitis: A case report and literature review. Exp Ther Med. 2021;21(4):1–1.
49. Baig AM, Khaleeq A, Ali U, Syeda H. Evidence of the COVID-19 virus targeting the CNS: Tissue distribution, host–virus interaction, and proposed neurotropic
mechanisms. ACS Chem Neurosci. 2020;11(7):995–8.
50. Román GC, Gracia F, Torres A, Palacios A, Gracia K, Harris D. Acute transverse myelitis (ATM): Clinical review of 43 patients with COVID-19-associated ATM and 3 post-
vaccination ATM serious adverse events with the ChAdOx1 nCoV-19 vaccine (AZD1222). Front Immunol [Internet]. 2021 [cited 2021 Jul 20];0. Available from: https://
www.frontiersin.org/articles/10.3389/fimmu.2021.653786/full
51. Schulte. Systematic review of cases of acute myelitis in individuals with COVID‐19. Eur J Neurol - Wiley Online Library [Internet]. [cited 2021 Jul 25]. Available from:
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/ene.14952
52. Chen T, Wu D, Chen H, Yan W, Yang D, Chen G, et al. Clinical characteristics of 113 deceased patients with coronavirus disease 2019: Retrospective study. BMJ.
2020;368:1091.
53. Yin R, Yang Z, Wei Y, Li Y, Chen H, Liu Z, et al. Clinical characteristics of 106 patients with neurological diseases and co-morbid coronavirus disease 2019: A retrospective
study. medRxiv. 2020;2020.04.29.20085415.
54. Shah VA, Nalleballe K, Zaghlouleh ME, Onteddu S. Acute encephalopathy is associated with worse outcomes in COVID-19 patients. Brain Behav Immun - Health.
2020;8:100136.
55. Anand P, Zhou L, Bhadelia N, Hamer DH, Greer DM, Cervantes-Arslanian AM. Neurologic findings among inpatients with COVID-19 at a safety-net US Hospital. Neurol
Clin Pract. 2021;11(2):83–91.
56. Garg RK, Paliwal VK, Gupta A. Encephalopathy in patients with COVID-19: A review. J Med Virol. 2021;93(1):206–22.

CDK-298/ vol. 48 no. 11 th. 2021 340


ARTIKEL TINJAUAN PUSTAKA
Essence of Scientific Medical Journal (2020), Volume 18, Number 1:17-21
P-ISSN.1979-0147, E-ISSN. 2655-6472

TINJAUAN PUSTAKA

NEUROGENIC PULMONARY EDEMA: KOMPLIKASI YANG MENGANCAM JIWA AKIBAT


KERUSAKAN BERAT SISTEM SARAF PUSAT

M. Panji Bintang Gumantara1

ABSTRAK

Neurogenic Pulmonary Edema (NPE) adalah salah satu komplikasi akibat kerusakan berat sistem saraf pusat
(SSP). Angka kejadiannya di dunia sekitar 2-8% dan masih jarang dilaporkan. Neurogenic pulmonary edema (NPE)
biasa ditemukan pada kasus-kasus perdarahan intrakranial seperti SDH, SAH, dan ICH, pada kondisi epilepsi dan
kejang berulang yang tidak terkontrol, serta pada beberapa kasus trauma medula spinalis. Patogenesis terjadinya
Neurogenic Pulmonary Edema (NPE) belum dapat dipahami seutuhnya, tetapi terdapat 2 teori terjadinya
Neurogenic Pulmonary Edema (NPE), yakni teori perubahan hemodinamik dan NPE trigger zone yang melibatkan
pusat pengendalian otonom otak dan sistem kardiovaskular. Neurogenic Pulmonary Edema (NPE) memiliki onset
akut dan kronik yang ditandai dengan gejala menyerupai ARDS seperti dispnea, takipnea, takikardia, sputum
bewarna kemerahan, ronki pada auskultasi, serta gambaran radiologi berupa gambaran diffuse alveolar infiltrat
bilateral. Pengenalan tanda dan gejala Neurogenic Pulmonary Edema (NPE) sejak dini dapat memperbaiki
keluaran pasien tersebut. Penanganan awal pada kondisi ini menggunakan 2 prinsip penatalaksanaan, yakni
mengatasi kondisi underlying disease dan terapi suportif, seperti ventilator mekanik, ECMO. dantranspulmonary
thermodilution, penggunaan diuretik, dan pengontrolan terapi cairan.

Kata kunci: Neurogenic Pulmonary Edema, Pusat kontrol otonom, Gejala ARDS

ABSTRACT

Neurogenic Pulmonary Edema (NPE) is one of the complications due to severe damage of the central nervous
system (CNS). The incidence is about 2-8% in the world and still rarely reported. Neurogenic pulmonary edema
(NPE) commonly found in cases of intracranial hemorrhage such as SDH, SAH, and ICH, in conditions of
uncontrolled epilepsy and recurrent seizures, and in some cases of spinal cord trauma. The pathogenesis of
Neurogenic Pulmonary Edema (NPE) cannot be fully understood, but there are 2 theories of the occurrence of
Neurogenic Pulmonary Edema (NPE), the first namely as theory of hemodynamic changes and the second is NPE
trigger zones involving the central control of the brain's autonomic and cardiovascular system. Neurogenic
Pulmonary Edema (NPE) has an acute and chronic onset which is characterized by ARDS-like symptoms such as
dyspnea, tachypnea, tachycardia, reddish sputum, crackles in auscultation, and radiological features in the form of
diffuse alveolar infiltrat bilateral. Early recognition of signs and symptoms of Neurogenic Pulmonary Edema (NPE)
can improve the patient's outcome. Initial treatment of this condition uses two management principles, first
overcoming the underlying disease condition and second is supportive therapy, such as mechanical ventilator,
ECMO, and transpulmonary thermodilution, the use of diuretics, and controlling fluid therapy.

Keyword: Neurogenic Pulmonary Edema, Central Autonom Control, ARDS like Symtomps

PENDAHULUAN interstitial paru.[2]Acute onset terlihat dalam (< 4 jam


Neurogenic Pulmonary Edema (NPE) adalah suatu biasanya dalam 30-60 menit), sedangkan delayed
kondisi gawat darurat yang mengancam jiwa akibat onset (12-72 jam setelah kejadian sistem saraf
komplikasi dari trauma sistem saraf pusat.[1] pusat).[2] NPE lebih sering terjadi pada wanita
Walaupun NPE sudah dikenal sejak beberapa tahun dibandingkan dengan pria. NPE membaik dalam 72
yang lalu, NPE ini masih sulit terdiagnosis oleh para jam pada >50 % pasien.[2]
dokter.[1] Walaupun secara epidemiologi NPE ini Prevalensi NPE masih menjadi kejadian yang jarang
masih jarang dilaporkan dan dari sedikit pasien terjadi.[3] laporan keseluruhan angka kejadian NPE
terdiagnosis dengan beberapa kriteria yang berbeda, masih rendah sekitar (2-8 %). NPE didiagnosis
tingkat kesakitan yang tinggi NPE ini pada kasus melalui pemeriksaan rontgen thorax dan ekslusi
kerusakan berat sistem saraf pusat (SSP) berbagai penyebab primer pulmoner atau lesi
menyebabkan 7% kematian.[1] NPE dapat dikenali kardiak.[2] Edema pulmonal secara umum yang
dengan kondisi respiratori distres akut dan disebabkan karena penyakit saraf sangat sedikit dan
penurunan berat sistem saraf pusat.[2] NPE terjadi sangat sulit untuk membedakan edema pulmonal
sebagai komplikasi akut dari neurologic injury dan yang murni karena penyakit saraf pusat dan akibat
dapat menyerupai acute lung injury yang disebabkan kardiopulmoner.[3] Angka prevalensi NPE pada
oleh etiologi lain.[3] Kondisi yang termasuk ke dalam pasien yang mengalami subarachnoid haemorrhage
neurologic injury seperti traumatic brain injury, (SAH) sekitar 31% sedangkan pada pemeriksaan
perdarahan (SAH, ICH), stroke, kejang, epilepsi dan dalam pada pasien SAH didapatkan sekitar 78%
1Mahasiswa, status epileptikus, dan hidrosefalus akut yang mengalami NPE. Pada suatu studi retrospektif
Fakultas kesemuanya dapat menimbulkan sebuah disfungsi pasien-pasien dengan SAH didapatkan sekitar 27%
Kedokteran, pulmoner. [3,4] pasien mengalami acute lung injury.[3]
Universitas Neurogenic Pulmonary Edema (NPE) didefinisikan Berdasarkan penelitian-penelitian di atas penulis
Lampung sebagai respiratori distres akut yang ditandai dengan mengajukan gagasan untuk mengenali dan
onset akut, akumulasi ekstravaskular cairan memahami proses terjadinya NPE, kondisi komorbid

https://ojs.unud.ac.id/index.php/essential/index 17
ARTIKEL TINJAUAN PUSTAKA

dan komplikasi dari brain injuries yang dapat komplikasi dari subdural haemorrhage (SDH), SAH
menyebabkan NPE, tanda dan gejala NPE, serta atau Intracerebral haemorrhage (ICH) dan kondisi
penatalaksanaan awal pada kasus ini sehingga lainnya seperti kejang berulang atau epilepsi, trauma
dapat meningkatkan outcome pasien lebih baik. otak dan medula spinalis yang melibatkan kerusakan
saraf berat.[2,3]
Angka kejadian NPE di dunia masih sedikit
PEMBAHASAN dilaporkan dan masih jarang, namun sempat tercatat
angka kejadian NPE sekitar 2-8% dari populasi
Definisi dan Epidemiologi pasien yang mengalami kerusakan sistem saraf
Neurogenic Pulmonary Edema (NPE) suatu kondisi pusat (SSP).[3] Pada suatu studi mengenai
komplikasi berat akibat kerusakaan sistem saraf Pulmonary Edema (PE) pada kasus aneurysmal
pusat yang mengancam nyawa.[2]Neurogenic SAH tercatat sekitar 31 % pasien mengalami NPE
Pulmonary Edema (NPE) merupakan suatu kondisi dan pada pemeriksaan otopsi didapatkan sekitar
pulmonary compromise yang terjadi akibat 78% gambaran pulmonary edema.[3] Studi pada
kerusakan sistem saraf pusat.[3]Pulmonary pasien di Chichago tercatat 20% pasien mengalami
compromise yang terjadi ketika kondisi tersebut dan edema pulmonal, 20% pneumonia, 40% dengan
tidak ditemukan penyebab kardiovaskular dan kesulitan oksigenasi yang bermanifestasi berupa
pulmonal diistilahkan sebagai NPE.[4]Neurogenic berkurangnya rasio PaO2/FiO2.[3]
Pulmonary Edema (NPE) ditemukan sebagai akibat

Tabel 1. Prevalensi penyakit yang menimbulkan Neurogenic Plumonary Edema (NPE)4

18 https://ojs.unud.ac.id/index.php/essential/index
ARTIKEL TINJAUAN PUSTAKA

Tabel 2. Prevalensi penyakit yang menimbulkan Neurogenic Plumonary Edema (NPE)4


.
Neurogenic pulmonary edema (NPE) dikenali VentrolateralMedula oblongata (RVLM).[1] Trigger
dengan tanda berupa peningkatan cairan interstitial zone NPE merupakan daerah otak yang apabila
paru dan cairan alveolar diikuti kerusakan sistem terjadi peningkatan tekanan intrakranial, penurunan
saraf pusat yang diakibatkan beberapa kondisi aliran darah otak, dan terjadi daerah yang iskemik,
seperti traumatic brain injury (TBI), perdarahan otak, daerah tersebut dikenal dengan NPE trigger zone.[3]
epilepsi, kejang tak terkontrol, status epileptikus, dan Area ini terlibat hubungan antara tonus simpatis
lain-lain.[3-5] Patofisiologi dan dan diagnosis dengan medula dan hipotalamus dan merupakan
diferensialnya belum selesai dimengerti dan area penting pusat kontrol SSP dan
beberapa NPE masih misdiagnosis.[1] Permasalahan kardiopulmonar.[3] Pada RVLM terdapat regulator
serius ini menjadi fokus para klinisi karena dua hal, utama fungsi baro refleks.[1] Pusat penting lainnya
pertama, permasalahan yang meliputi cedera sistem yang mengatur vasomotor terdapat yang dicurigai
saraf pusat memiliki efek pada fungsi paru dan kedua berkorelasi terhadap terjadinya NPE berlokasi di
kondisi ini bisa mengakibatkan kondisi yang fatal medula oblongata meliputi kelompok A1 dan A5,
berupa sudden death sebelum intervensi emergensi nucleus tractus soliterius, area postrema, nucleus
diberikan.[1] reticulatus medial, dan nucleus vagus dorsal.[1]
Aktivasi dari trigger zone ini akan menghasilkan
Patogenesis NPE pada Brain Injuries peningkatan tekanan vaskular pulmonal,
Mekanisme terjadinya NPE masih belum dipahami venokonstriksi pulmonal, dan kongesti vaskular dan
secara jelas namun diyakini, NPE terjadi dalam dua kerusakan endotel kapiler yang mengakibatkan
mekanisme utama, pertama terjadi peningkatan ekstravasasi cairan yang kaya protein menuju ruang
tekanan intravaskular dan interstitial paru diikuti alveolar dan perdarahan
dengan peningkatan permeabilitas kapiler paru intraalveolar.[3,6,7]Peningkatan yang terjadi tekanan
sehingga menimbulkan edema paru, sedangkan pulmoner selama penghentian simpatis masif
yang kedua berupa, cedera sistem saraf pusat terutama disebabkan venokontriksi yang
menyebabkan terhentinya sistem simpatis.[1-4] Pada mengakibatkan aliran balik darah sistemik menuju
kerusakan sistem saraf pusat terjadi kerusakan pada kapiler pulmoner.[3] Peningkatan simpatis secara
pusat regulatory central yang mempengaruhi langsung juga dapat merusak miokardium dan
vaskular pulmonal disertai perubahan sistem saraf perubahan hemodinamik kardiopulmoner,
otonom pulmonal.[1] Stimulasi yang berlebihan pada menghasilkan edema pulmonal.[3]
pusat vasomotor SSP mengakibatkan terjadi
vasokontriksi perifer yang menimbulkan peningkatan Patogenesis NPE pada Epilepsi
resistensi sistemik vaskular diikuti kenaikan tekanan Neurogenic Pulmonary Edema (NPE) tidak hanya
darah dan terjadinya augmentasi volume darah terjadi pada kasus Traumatic Brain Injury (TBI) dan
sentral akibat venokontriksi sistemik sehingga akan perdarahan intrakranial, tetapi dapat pula terjadi
terjadi peningkatan hidrostatik kapiler pulmonal yang pada kasus epilepsi dan kejang tak terkontrol. [8-10]
mengakibatkan kerusakan dinding alveolus dam Pada kasus epilepsi, NPE berkaitan dengan episode
kebocoran cairan dan eritrosit ke dalam interstitium kejang berulang dan durasi yang lama.[8] NPE pada
dan ruang intraalveolar sehingga menunjukan kasus epilepsi termasuk salah satu komplikasi dari
gambaran NPE tipikal.[1] Mekanisme terjadinya NPE epilepsi yang dikenal dengan istilah Sudden
yang kedua adalah trigger zone NPE di Rostral Unexpected Death In Epilepsy (SUDEP).[9] Terdapat

https://ojs.unud.ac.id/index.php/essential/index 19
ARTIKEL TINJAUAN PUSTAKA

beberapa patofisiologi yang mengakibatkan Sudden mengatasi underlying neurologic condition dan terapi
Unexpected Death In Epilepsy (SUDEP) seperti suportif.[3,6] Dalam mengatasi underlying neurologic
apneu sentralis, disregulasi otonom aliran darah otak condition adalah mengatasi dan mencegah
dan jantung, berkurangnya heart rate, dan NPE.[9] terjadinya kenaikan tekanan intrakranial yang dapat
Patogenesis terjadinya NPE pada kasus epilepsi dan memperburuk NPE sedangkan terapi suportif berupa
kejang tak terkontrol ini belum dipahami pemberian loop diuretic,osmotic, opioid, steroid,
sepenuhnya, tetapi dari studi yang ada, mekanisme oksigenasi yang cukup, evakuasi hematoma, dan
NPE pada kasus ini hampir sama seperti pada kasus reseksi tumor serta ventilasi mekanik suportif dengan
TBI dan perdarahan intrakranial.[8-10] tekanan positif.[2,9,15,16] Penggunaan ventilasi
tekanan positif bersamaan dengan obat-obatan
Tanda dan Gejala NPE dobutamin dan norepinefrin diperlukan dalam
Neurogenic Pulmonary Edema (NPE) dapat dikenali mengontrol dan menstabilisasi pulmonary
dengan tanda dan gejala Acute Respiratory Distress compromise.[2] Penatalaksanaan pada kasus respon
Syndrome berupa dispnea, nyeri dada, batuk yang kurang baik pada terapi diatas dapat
berdahak bewarna kemerahan, takipnea, takikardia, menggunakan extracorporeal membrane
ronki pada auskultasi dengan tidak disertai oxygenation (ECMO) disertai stabilisasi oksigenasi
peningkatan Jugular Venous Pressure (JVP), hipoxia parameter secara cepat.[2] ECMO sukses digunakan
yang ditandai dengan PaO2 rendah dan rasio pada pasien wanita usia 20 tahun dengan edema
PaO2/FiO2<200, serta gambaran foto thorax berupa serebri karena intoksikasi amfetamin disertai NPE.[2]
gambaran edema pulmonal disertai diffuse alveolar ECMO juga digunakan pada kasus NPE yang
infiltrat bilateral, sudut costophrenicus menumpul, diakibatkan cerebral hypoxia selama resusitasi
perivascular blurring or haziness, dan hilangnya kardiopulmonal. ECMO mungkin bermanfaat pada
gambaran hilus yang terjadi dalam 48 jam setelah kasus NPE yang diakibatkan TBI dan intervensi
awitan.[4,11-13] Penelitian yang dilakukan oleh Chen et pembedahan intrakranial walaupun ECMO
al 2015 di Taiwan menunjukan bradikardia pada dikontraindikasikan pada kasus
pasien SAH akan memberi prognosis buruk NPE.[14] ini.[2]Transpulmonary thermodilution indicator
Dari 20 pasien SAH dan NPE di taiwan hanya 1 technique merupakan terapi alternatif nonresponsif
pasien saja yang bisa melanjutkan kehidupan. [13] NPE lainnya.[16] Cara penggunaannya dengan
Huang et al pada tahun 2016 melakukan penelitian melakukan injeksi bolus cold saline ke sirkulasi vena
yang mencari hubungan gambaran abnormalitas sentral, kemudian melakukan pengukuran terhadap
dalam memprediksi insidensi NPE, dalam penelitian perubahan suhu darah, dan kalkulasi pada kurva
tersebut terdapat hubungan antara abnormalitas termodilusi.[2,16] Beberapa parameter membantu
gambaran EKG pada pasien dengan NPE.[14] dalam mengenali NPE hidrostatis atau NPE akibat
peningkatan permeabilitas kapiler, dan
Tatalaksana NPE mengoptimalkan pengobatan.[2,16] Walaupun
Prinsip penalataksanaan terapi NPE masih belum penggunaan ECMO dapat membantu kedepannya,
ada guideline yang menjadi panutan dalam tetap terdapat resiko fatal yang dapat membuat
pengendalian NPE, namun prinsip penatalaksanaan outcome pasien memburuk.[2]
NPE menggunakan dua prinsip utama, yakni

Gambar 1. Patogenesis Terjadinya Neurogenic Pulmonary Edema (NPE).[1]

SIMPULAN meliputi, TBI, SAH, SDH, ICH, epilepsi, dan cedera


NPE adalah suatu kondisi yang mengancam nyawa medula spinalis. Proses terjadinya NPE masih
akibat komplikasi dari kerusakan berat sistem saraf menjadi perdebatan, namun ada 2 mekanisme
pusat. Beberapa kondisi yang menyebabkan NPE utama yang diyakini menyebabkan NPE yakni,

20 https://ojs.unud.ac.id/index.php/essential/index
ARTIKEL TINJAUAN PUSTAKA

peningkatan tekanan intravaskular sehingga respiratory distress in early phase. Journal of


menimbulkan edema paru dan supresi hingga Stroke and Cerebrovascular Disease. 2019
terhentinya sistem otonom simpatis yang mengatur January 1; 28(1)229-31.
pusat pernapasan di otak. Tanda dan gejala dari 7. Soyalp C, Kocak MN, Ahiskolioglu A, Aksoy M,
NPE meliput gejala menyerupai Acute Respiratory Atalay C, Aydin MD, et al. New determinants for
Distress Syndrome berupa dispnea, nyeri dada, casual periperal mechanism of neurogenic lung
batuk berdahak bewarna kemerahan, takipnea, edema in subarachnoid hemorrhage due to
takikardia, ronki pada auskultasi dengan tidak ischemic degeneration of vagal nerve, kidney,
disertai peningkatan Jugular Venous Pressure (JVP), and lung circuitary. Experimental study. Acta Cir
hipoxia yang ditandai dengan PaO2 rendah dan rasio Bras. 2019; 34(3):1-9.
PaO2/FiO2<200, serta gambaran foto thorax berupa 8. Osorio OMR, Camacho JFA, Briceno DS,
gambaran edema pulmonal. Penangan awal pada Lasalvia P,Gonzales DN. Postictal neurogenic
kasus ini belum memiliki guideline dalam alur pulmonary edema: case report and brief literature
penatalaksanaannya, tetapi prinsip dari penanganan review. Elsevier. 2017 September 28; 9(2018)49-
kasus ini meliputi menangani underlying disease dan 50.
terapi suportif. Terdapat beberapa terapi alternatif 9. Zao H, Lin G, Shi M, Gao J, Wang Y, Wang H, et
lainnya yang menjadi fokus pada beberapa al. The mechanism of neurogenic pulmonary
penelitian guna meningkatkan angka keberhasilan edema in epilepsy. The Physiological Society of
terapi, terapi ini dikenal dengan Transpulmonary Japan and Springer. 2014; 64:65-72.
Thermodilution. 10. Sacher DC, Yoo EJ. Case report recurrent acute
neurogenic pulmonary edema after uncontrolled
SARAN seizures. Case Report in Pulmonology. 2018:1-4
NPE adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa. 11. Saracen A, Kotwica Z,Wozniak-kozek A,
Pengenalan sejak dini tanda dan gejala pada kasus Kasprzak P. Neurologic pulmonary edema in
inii akan membantu prognosis pasien kedepannya. aneurysmal subarachnoid hemorrhage. Springer
Suatu metode terbaru berupa Transpulmonary International Publishing. 2016:1-4
Thermodilution Based Management for NPE saat ini 12. Hedge A, Prasad GL, Kini P. Neurogenic
sedang dikembangkan di beberapa negara yang pulmonary oedema complicating traumatic
kedepannya akan menjadi salah satu metode terapi posterior fossa extradural haematoma: case
untuk menurunkan angka kematian dari NPE. report and review. Taylor and Francis Group.
2016 November 24:1-5.
DAFTAR PUSTAKA 13. Yasui H, Arima H, Hozumi H, Suda T. Neurogenic
1. Sedy J, Kunes J, Zicha J. Pathogenetic pulmonary edema without norephinephrine
mechanism of neurogenic pulmonary edema. elevation. The Japanese Society of Internal
2015 July 3; 1(1):1-45. Medicine. 2018 February 28;57:2097-8.
2. 2. Finsterer J. Neurological perspective of 14. Chen WL, Chang SH, Chen JH, Tai HC, Chan C,
neurogenic pulmonary edema. European Wang Y. Heart rate variability predicts neurogenic
Neurology. 2019 May 22;81:94-101. pulmonary edema in patients with subarachnoid
3. Busl KM, Bleck TP. Neurogenic pulmonary hemorrhage. Neurocritical Care Society. 2015
edema. Critical Care Medicine. 2015 August; December 30:1-8.
43(8):1710-15. 15. Chen W, Huang C, Chen J, Tai HC, Chang S,
4. Balofsky A, Goerge J, Papadakos P. Handbook Wang Y. ECG abnormalities predict neurogenic
of clinical neurology. 3rd series. Wijdicks EFM pulmonary edema in patients with subarachnoid
Kramer AH. USA: Elsevier;2017. 33-48. hemorrhage. American Journal of Emergency
5. Lin X, Xu Z, Wang P, Xu Y, Zhang G. Role of Medicine. 2015;34(2016):79-82.
PICCO monitoring for the integrated 16. Mutoh T, Kazumata K, Ueyama-mutoh T, Taki Y,
management of neurogenic pulmonary edema Ishikawa T. Transpulmonary thermodilution-
following traumatic brain injury: a case report and based management of neurogenic pulmonary
literature review. Experimental and Theraupetic edema after subarachnoid hemorrhage. The
Medicine. 2016 July 22;12:2341-47. American Journal of Medical Science. 2015
6. Yagi R, Nishimoto Y, Yamada S, Nakashima H, November; 350(5)415-9.
Okada K, Konoeda K, and Hoshino H. Two
medullary haemorrhage cases complicated by

https://ojs.unud.ac.id/index.php/essential/index 21
Elisabeth Health Journal : Jurnal Kesehatan, Vol. 6 No. 2 (Desember, 2021) : 157-159 E-ISSN 2541-4992

Sebuah Study Kasus tentang Asuhan Keperawatan


pada Pasien dengan Gangguan Sistem Persyarafan :
Cedera Kepala Ringan

Elisabeth Wahyu Savitri1, Sisilia2, Novela Widia3


1,2
Progrsm Studi Diploma 3 Keperawatan, Akademi Keperawatan Dharma Insan Pontianak.

Info Artikel Abstrak


________________ _________________________________________________________
Sejarah artikel : Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
Diterima, Nov 11, 2021 kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau
Disetujui, Des 18, 2021 benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah
Dipublikasikan, Des 30, 2021 kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
________________ fungsi fisik. Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang
Keywords : secara langsung atau tidak langsung megenai kepala yang
Sistem Persyarafan, mengakibatkan luka dikulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan
Cedera Kepala Ringan, selaput otak, dan kerusakan jaringan otak, serta mengakibatkan
Perfusi Jaringan Cerebral. gangguan neurologis (Putri Rahayu 2016). Pasien yang menggalami
____________________ cedera kepala akan menggalami pembengkakan otak atau terjadi
perdarahan di tengkorak, tekanan intrakardinal akan meningkat dan
tekanan perfusi otak akan menurun. Saat keadaan semakin menurun
atau kritis maka denyut nadi menurun (bradikardia) dan bahkan
frekuensi respirasi berkurang. Tekanan darah dalam otak terus
meningkat hingga titik kritis tertentu dimana cedera kepala memburuk
dan semua tanda vital terganggu dan berakhir pada kematian
(widyawati, 2012). Menurut WHO meperkirakan bahwa pada tahun
2020 kecelakaan lalu lintas akan menjadi penyebab dan trauma ke tiga
terbanyak di dunia. Trauma kepala merupakan penyakit yang sering
terjadi di zaman modern seperti sekarang . jadi seharusnya setiap
individu harus patuh terhadap peraturan dan undang-undang lalu lintas.
Menurut Riskesdas 2018, prevalensi kejadian cedera kepala di
Indonesia berada pada angka 11,9 %. Cedera kepala pada anggota gerak
bawah dan bagian anggota gerak atas dengan prevalensi masing-masing
67,9% dan 32,7%. Kejadian cedera kepala yang terjadi di provinsi bali
memiliki prevalensi sebesar 10,7% , dimana provinsi dengan cedera
kepala tertinggi yaitu provinsi gorontolo dengan prevalensi 17,9
(Kementrian Kesehatan RI, 2019) Insiden cedera kepala di Kalimantan
Barat khususnya di kota Pontianak angka kejadian cedera kepala kepala
11,3% ( RISKESDAS 2018 ). Menurut penelitian yang di lakukan oleh
Sutarjo dan Budijanto (2017) cedera kepala dapat menyebabkan pasien
dan keluarga mengalami perubahan fisik maupun psikologis. Untuk itu
perlu penanganan yang serius dalam memberi Asuhan Keperawatan.
Dalam hal ini perawat memegang peranan yang penting terutama dalam
pencegahan komplikasi.

DOI : https://doi.org/10.52317/ehj.v6i2.343 157


Koresponden Penulis :

Elisabeth Wahyu Savitri


Program Studi Diploma 3 Keperawatan, Akademi Keperawatan Dharma Insan Pontianak,
Jl. Merdeka No 55 Pontianak.
Email : zulkarnainnasution2067@gmail.com

1. PENDAHULUAN
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung
megenai kepala yang mengakibatkan luka dikulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak,
dan kerusakan jaringan otak, serta mengakibatkan gangguan neurologis. (Putri Rahayu 2016).
Pasien yang menggalami cedera kepala akan menggalami pembengkakan otak atau terjadi
perdarahan di tengkorak, tekanan intrakardinal akan meningkat dan tekanan perfusi otak akan menurun.
Saat keadaan semakin menurun atau kritis maka denyut nadi menurun (bradikardia) dan bahkan
frekuensi respirasi berkurang. Tekanan darah dalam otak terus meningkat hingga titik kritis tertentu
dimana cedera kepala memburuk dan semua tanda vital terganggu dan berakhir pada kematian
(widyawati, 2012).
Penanganan cedera kepala harus cepat, tepat dan cermat serta sesuai dengan prosedur yang ada,
selain itu prinsip umum penatalaksanaan cedera kepala juga menjadi acuan penting mencegah kematian
dan kecacatan, misalnya Airway, breathing, circulation, distability dan exposure misalnya (ABCDE),
mengobservasi tanda-tanda vital, mempertahankan oksigenasi yang adekuat, menilai dan memperbaiki
gangguan koagulasi, mempertahankan hemostasis dan gula darah, nutrisi yang adekuat. (Yulius, 2010).
Menurut penelitian yang di lakukan oleh Sutarjo dan Budijanto (2017) cedera kepala dapat
menyebabkan pasien dan keluarga mengalami perubahan fisik maupun psikologis. Untuk itu perlu
penanganan yang serius dalam memberi Asuhan Keperawatan. Dalam hal ini perawat memegang
peranan yang penting terutama dalam pencegahan komplikasi. Asuhan keperawatan terus harus
meliputi tindakan promotif, preventif, perawat memberikan pengetahuan nilai kesehatan tentang
pentingnya perawatan dalam meningkatkan kelangsungan hidup penderita seperti jalan nafas tetap
efektif, kebutuhan cairan dan nutrisi tetap terpenuhi dan mencegah komplikasi. Tindakan kuratif, yaitu
perawat melakukan kolaborasi dengan dokter atau tenaga ang lain dalam pemberian terapi. Tindakan
rehabilitatife, perawat meberikan pengetahuan dan keterampilan dalam usaha untuk mengembalikan
kondisi penderita seperti semula.

2. METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif menggunakan pendekatan studi kasus. Metode
ini di pilih karena membatasi pendekatan dengan merumuskan perhatian pada satu kasus secara intensif
dan rinci yaitu satu pasien Ny.R 23 tahun yang menderita cedara kepala ringan dengan masalah
gangguan rasa nyaman : nyeri akut di ruang fransiskus RSU Santo Antonius Pontianak.

3. HASIL
Dalam melaksanakan pengkajian keperawatan untuk memperoleh data, penulis mengkaji
pasien dengan memandang bahwa pasien sebagai manusia seutuhnya yang di tinjau dari segi bio, psiko,
sosial, spiritual/ adapun data tersebut penulis peroleh dari pasien atau keluarga melalui wawancara,
selain itu juga melalui observasi dan pemeriksaan fisik terhadap pasien tersebut. Jenis cedera kepala
ringan yang paling umum adalah gegar otak yang terjadi akibat adanya benturan di kepala yang
menyebabkan otak bergerak didalam tengkorak, dan bisa menyebabkan pingsan atau mengalami
ketidaksadaran dalam periode yang singkat. Cedera kepala yang di alami Ny. R ialah cedera kepala
ringan, hal ini dibuktikan dengan niai GCS pasien 15: M= 6, V = 6 E= 4, yang di sebabkan oleh jatuh
dari kendaraan bermotor Setelah penulis melakukan pengkajian pada tanggal 4 Maret tanda dan gejala
yang di temukan pada Ny. R yaitu pusing dan muntah serta adanya mual dan bengkak pada mata.
Berdasarkan pengkajian tersebut maka penulis mengangkat diagnosa keperawatan yaitu :
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pecedera fisik : Trauma
b. Risiko perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan cedera kepala

DOI : https://doi.org/10.52317/ehj.v6i2.343 158


c. Gangguan integtitas kulit/jaringan berhubungan dengan faktor mekanis/gesekan
d. Gangguan cirta tubuh berhubungan dengan perubahan stuktur tubuh : trauma.

4. PEMBAHASAN
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa
perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. Perawat sebagai
komponen tim kesehatan berperan penting untuk mengatasi nyeri pasien. Perawat berkolaborasi dengan
dokter ketika melakukan intervensi untuk mengatasi nyeri, mengevaluasi keefektifan obat. Perawat juga
berperan sebagai advocate pasien ketika intervensi untuk mengatasi nyeri menjadi tidak efektif atau
ketika pasien tidak dapat berfungsi secara adekuat.
Berdasarkan teori tentang cedera kepala, masalah keperawatan utama yang dapat muncul
adalah perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan cedera kepala tetapi pada Ny.R
masalah tersebut belum actual atau hanya menjadi resiko dan bukan menjadi diagnose keperawatan
yang utama, hal ini dikarenakan berdasarkan pengkajian kesadaran klien GCS bernilai 15 atau pasien
sadar penuh (composmentis) dan berdasarkan hasil pemeriksaan CT-Scan tanpa kontras pada tanggal 2
Maret 2021 di UGD, tidak tampak perdarhan epidural subdural, subarachnoid maupun intraparkim
cerebri dan cerebelii tidak tampak fraktur pada tulang-tulang kalvaria otitis media dan diastoitis
bilateral, Soft tissue swelling. Regio temporal kiri, zygomaticus kiri hingga mandibula sisi kiri.

5. KESIMPULAN
Cedera kepala adalah gangguan traumatic dari fungsi otak yang di sertai atau tanpa perdarahan
intertisi yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak. Penyebab dari cedera kepala yaitu
terjadinya kecelakaan bermotor, bersepeda, dan mobil terjadi benturan terhadap kepala pada saat
berolahraga dan cedara akibat kekerasan. Tanda dan gejala yang terdapat pada cedera kepala biasanya
terjadi afasia, amnesia, defisit neurologis dan psikologis, kebocoran cairan serebrospinal hingga kejang
pasca trauma yang di karenakan adanya cedera pada otak.

DAFTAR PUSTAKA

Amandus. (2014) cedera kepala. Jurnal ilmu keperawatan, 100-115


Batticaca, F.B. (2012). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan.Jakarta:
Salemba MedikaDePompei R, (2010). Pediatric Traumatic brain injury: Where do we go from
here? The Asha leader, 15:16-20
Dewanto, Suwono, Riyanto & Turana. (2009). Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit
Saraf. Jakarta: EGC
Heri, S. (2016). Asuhan Keperawatan Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Serebral. di RS Soedirman
Kebumen. STIKes Muhammadiyah Gombang, 1-73
Mansjoer.( 2011). Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta: media Aesculapius
Mihic J, Rotim K, Marcikic M, Smiljanic D, (2011). Head Injury in Children. Acta Clin Croat,
50(4):539-548
Muttaqin, Arif. (2011). Asuhan keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan.Jakarta:
Salemba Medika
NANDA Internasional. (2012). Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012
2014. Jakarta : EGC
Padil. (2012). Injury To The Brain Dalam Trauma: Contemporary Prinsiples And Therapy.
Philadelphia: Lippincott
Price Sylvia A, Wilson Lorraine M.(2014) Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC

DOI : https://doi.org/10.52317/ehj.v6i2.343 159


REVIEWS
INFECTIONS OF THE CNS

Tuberculous meningitis
Robert J. Wilkinson1–3, Ursula Rohlwink4, Usha Kant Misra5, Reinout van Crevel6,
Nguyen Thi Hoang Mai7, Kelly E. Dooley8, Maxine Caws9, Anthony Figaji4, Rada Savic10,
Regan Solomons11 and Guy E. Thwaites7,12 on behalf of the Tuberculous Meningitis
International Research Consortium
Abstract | Tuberculosis remains a global health problem, with an estimated 10.4 million cases and
1.8 million deaths resulting from the disease in 2015. The most lethal and disabling form of
tuberculosis is tuberculous meningitis (TBM), for which more than 100,000 new cases are
estimated to occur per year. In patients who are co-infected with HIV‑1, TBM has a mortality
approaching 50%. Study of TBM pathogenesis is hampered by a lack of experimental models that
recapitulate all the features of the human disease. Diagnosis of TBM is often delayed by the
insensitive and lengthy culture technique required for disease confirmation. Antibiotic regimens
for TBM are based on those used to treat pulmonary tuberculosis, which probably results in
suboptimal drug levels in the cerebrospinal fluid, owing to poor blood–brain barrier penetrance.
The role of adjunctive anti-inflammatory, host-directed therapies — including corticosteroids,
aspirin and thalidomide — has not been extensively explored. To address this deficit, two expert
meetings were held in 2009 and 2015 to share findings and define research priorities. This Review
summarizes historical and current research into TBM and identifies important gaps in our
knowledge. We will discuss advances in the understanding of inflammation in TBM and its potential
modulation; vascular and hypoxia-mediated tissue injury; the role of intensified antibiotic
treatment; and the importance of rapid and accurate diagnostics and supportive care in TBM.

Extrapulmonary
The absolute incidence of tuberculous meningitis (TBM) suggesting that several thousand very young children die
Tuberculosis occurring outside and the overall proportion of meningitis cases that are of TBM every year6. The neonatal Bacillus Calmette–
the lungs. attributable to TBM vary greatly by location, and are Guérin (BCG) vaccine is thought to be 73% effective in
influenced by the overall incidence of tuberculosis, age the prevention of TBM, and its use is estimated to avert
structure, and HIV‑1 seroprevalence within a popula‑ 30,000 childhood cases of the disease annually3, consist‑
tion. Population-based estimates of TBM incidence are ent with the occurrence of around 100,000 cases of TBM
infrequently reported, and are challenging to determine per year overall.
because the diagnosis of TBM is often not microbio‑ In adults, the best-documented risk factor for TBM
logically confirmed. In 2013, a 7‑year national study is HIV‑1 co‑infection. Among HIV-infected individuals
conducted in Germany documented that 422 of 46,349 who live in areas where tuberculosis is highly endemic,
(0.9%) patients with tuberculosis had meningitis, with an the proportion of HIV‑1‑associated meningitis cases
increased risk of TBM in children younger than 5 years attributable to Mycobacterium tuberculosis can exceed
of age (OR 4.90)1. This predisposition towards TBM in 50%7. In addition, in an autopsy study conducted in
young children is commonly reported2,3. In 2015, an esti‑ Kenya, occult, undiagnosed TBM was found in 26%
mated 10.4 million cases of tuberculosis occurred glob‑ of individuals with disseminated HIV-tuberculosis8.
ally, and of 6.1 million incident cases reported, 15% were Individuals with TBM and a HIV‑1 co‑infection have
extrapulmonary4. A large Brazilian study of 57,217 cases of a twofold to threefold increase in relative risk of death
extrapulmonary tuberculosis estimated that meningitis from any cause9,10, with overall mortality around 40%,
7
Oxford University Clinical accounted for 6% of extrapulmonary presentations5. A even in those individuals prescribed antiretroviral ther‑
Research Unit,
764 Vo Van Kiet, Quan 5,
diagnosis of TBM is difficult to ascertain, so the disease apy7,10. Drug-resistant TBM in people co‑infected with
Ho Chi Minh City, Vietnam. might be underreported, but extrapolation suggests that HIV‑1 has a particularly poor prognosis, approaching
gthwaites@oucru.org the global burden of TBM could be at least 100,000 cases 100% mortality11.
doi:10.1038/nrneurol.2017.120 per year. A systematic review of treatment outcomes in This Review capitalizes on knowledge shared in spe‑
Published online 8 Sep 2017 1,636 children with TBM estimated a mortality of 19.3%, cialist meetings held in 2009 and 2015 to summarize

NATURE REVIEWS | NEUROLOGY ADVANCE ONLINE PUBLICATION | 1


©
2
0
1
7
M
a
c
m
i
l
l
a
n
P
u
b
l
i
s
h
e
r
s
L
i
m
i
t
e
d
,
p
a
r
t
o
f
S
p
r
i
n
g
e
r
N
a
t
u
r
e
.
A
l
l
r
i
g
h
t
s
r
e
s
e
r
v
e
d
.
REVIEWS

Key points Rich and McCordock produced what are now regarded
as the definitive accounts of the extension of tuberculosis
• Tuberculous meningitis (TBM) causes death and disability, with especially high rates of infection to the meninges12. They showed that although
poor outcomes in children and individuals with an HIV‑1 co‑infection TBM might occur as part of disseminated disease, only
• Important risk factors for poor outcome are delayed diagnosis, delayed treatment, a single meningeal or parameningeal granuloma (now
advanced disease, and antitubercular drug resistance termed the Rich focus) was usually found at autopsy and,
• Intracerebral and spinal pathology in TBM is mediated by a dysregulated thus, the point of entry of bacilli into the cerebrospinal
inflammatory response that contributes to meningitis, tuberculoma formation, fluid (CSF) could be located. Rupture of that focus was
arteritis, obstruction of cerebrospinal fluid (CSF) flow, and vascular complications postulated to lead to further extension of inflammation
including stroke throughout the meninges, leading to parenchymal tuber-
• Diagnosis of TBM is insensitive and laborious; clinical scoring algorithms are culoma formation or to vascular pathology characteristic
imperfect and few rigorous evaluations of diagnostics have been performed of the disease. Ischaemia caused by vascular occlusion
• Multidrug antitubercular antibiotic therapy is the mainstay of treatment; however, owing to inflammation both within and around vessels is
CSF penetration is probably a major limitation of these therapies, and evidence compounded by raised intracranial pressure and hydro‑
supporting dosage and treatment combinations is weak cephalus (especially in children, in whom hydrocephalus
• The supportive management of TBM complications, which include hyponatraemia, is nearly invariable13), which can, in turn, compress or
hydrocephalus, hypoxic brain damage and infarction, is poorly understood and cause traction on already inflamed vessels (FIG. 1).
researched, but is vital to outcome
Historically, the most widely used animal model
of TBM consisted of rabbits infected via intracisternal
inoculation of M. tuberculosis, resulting in histologi‑
historical and current research into TBM, and identifies cal, pathological and neurological features consistent
key gaps in our comprehension of the disease. We will with TBM14. However, haematogenous spread cannot
discuss current progress in our understanding of inflam‑ be investigated in this experimental setting and, thus, a
mation in TBM and its potential modulation; vascular detailed understanding of pathogenesis — which should
Miliary and hypoxia-mediated tissue injury; the role of intensi‑ include CNS invasion — cannot be achieved using this
Disseminated micronodular
tuberculosis of the lungs.
fied antibiotic treatment; and the importance of rapid model. Zebrafish have also been used to model TBM:
and accurate diagnostics and supportive care in TBM. Mycobacterium marinum infection of zebrafish via the
Rich focus bloodstream resulted in infection of the CNS and devel‑
The initial intracranial lesion of Pathogenesis opment of associated granulomas in 70% of the fish, with
tuberculous meningitis, as
Macroscopic pathology. Transmission of M. tuberculosis CNS granulomas typically located in close proximity to
described by Arnold Rich.
is airborne and, consequently, the first focus of infec‑ blood vessels15. Infection with a mutant M. marinum
Tuberculoma tion is the lung. Following initial bacterial replication, lacking the homologue of EsxA, a gene associated with
A clinical manifestation of the infection disseminates to the lymph nodes. For M. tuberculosis virulence, resulted in substantial changes
tuberculosis in which tubercles
miliary and extrapulmonary presentations of the disease, in pathology without affecting the ability of the bacte‑
comglomerate into a firm
lump, and so can mimic cancer
dissemination of tuberculosis bacilli must then occur ria to penetrate the blood–brain barrier. High bacterial
tumours of many types in through the blood, either via direct extension of local loads were observed, but no granulomas developed,
medical imaging studies. infection or via lymph nodes. In the 1930s and 1940s, and only small clusters and scattered isolated phago‑
cytes were detected, indicating that EsxA contributes to
pathogenesis in this system.
In the context of disseminated childhood tuberculo‑
Author addresses
sis, the concept of the Rich focus has been re-evaluated16.
1
Department of Medicine, Imperial College London, Norfolk Place, London W2 1PG, UK. Specifically, although TBM can occur when a long-stand‑
2
The Francis Crick Institute, Midland Road, London NW1 2AT, UK. ing Rich focus bursts and discharges its contents into the
3
Wellcome Centre for Infectious Diseases Research in Africa, Institute of Infectious subarachnoid space, TBM commonly manifests in the
Disease and Molecular Medicine and Department of Medicine, University of setting of concurrent disseminated infection in chil‑
Cape Town, Republic of South Africa.
dren. TBM associated with HIV‑1 co‑infection also has
4
Division of Neurosurgery, University of Cape Town, Anzio Road, Observatory 7925,
Republic of South Africa. distinct pathophysiological features. In 1992, a study
5
Department of Neurology, Sanjay Gandhi Postgraduate Institute of Medical Sciences, observed that extrapulmonary tuberculosis — and, in
Rae Bareli Road, Lucknow, Uttar Pradesh 226014, India. particular, TBM — occurred with greater frequency
6
Radboud University Medical Center, Geert Grooteplein Zuid 10, 6525 GA Nijmegen, in people with tuberculosis who were co‑infected with
The Netherlands. HIV‑1 (REF. 17). HIV‑1 co‑infection is associated with an
7
Oxford University Clinical Research Unit, 764 Vo Van Kiet, Quan 5, Ho Chi Minh City, increased occurrence of occult meningeal disease8 and
Vietnam. additional extrapulmonary tuberculosis9. A positive
8
Johns Hopkins University School of Medicine, The Johns Hopkins Hospital, M. tuberculosis blood culture was found in up to 40%
1800 Orleans Street, Baltimore, Maryland 21287, USA. patients with newly diagnosed tuberculosis who had
9
Liverpool School of Tropical Medicine, Pembroke Place, Liverpool L3 5QA, UK.
an HIV‑1 co‑infection and severe immunosuppression18.
10
UCSF School of Pharmacy, Department, Bioengineering, 1700 4th Street,
San Francisco, California 94158, UA. HIV‑1 infection could, therefore, predispose individuals
11
Faculty of Health Sciences, Stellenbosch University, Tygerberg Hospital, to more frequent or multiple seeding of the meninges by
Francie van Zijl Drive, Tygerberg 7505, Cape Town, Republic of South Africa. bacilli. Outcome is consistently poor in drug-resistant
12
Centre for Tropical Medicine and Global Health, Nuffield Department of Medicine, patients with TBM who have an HIV‑1 co-infection19,20.
University of Oxford, Old Road, Oxford OX3 9FZ, UK. However, the macro­scopic pathology in these individuals

2 | ADVANCE ONLINE PUBLICATION www.nature.com/nrneurol


©
2
0
1
7
M
a
c
m
i
l
l
a
n
P
u
b
l
i
s
h
e
r
s
L
i
m
i
t
e
d
,
p
a
r
t
o
f
S
p
r
i
n
g
e
r
N
a
t
u
r
e
.
A
l
l
r
i
g
h
t
s
r
e
s
e
r
v
e
d
.
REVIEWS

seems similar to that found in people without an HIV‑1 to the anti-inflammatory effects of these therapies. In
infection. HIV‑1 co‑infected patients can also experience tissue culture, treatment with dexamethasone mark‑
TBM-associated immune reconstitution inflammatory edly suppresses production of cytokines by microglia
syndrome (TBM-IRIS), which comprises exaggerated and astrocytes30. However, in a clinical trial, although
inflammation in response to M. tuberculosis. In these dexamethasone significantly reduced total protein con‑
circumstances, the introduction of antiretroviral ther‑ centrations in the CSF and marginally reduced CSF
apy after antituberculous chemotherapy is associated concentrations of IFNγ in patients with TBM, other
with the ‘unmasking’ of occult meningeal disease or with cytokines were unaffected31. In a follow‑up study, CSF
worsening of existing TBM. Inflammatory reactions in concentrations of IL‑6 at presentation of TBM were
this context can be intense, although their distribution independently associated with severe TBM, but elevated
and features again do not markedly differ from those CSF levels of inflammatory cytokines were not associ‑
described in people without an HIV‑1 infection19,21. ated with death or disability in HIV‑1-negative patients
with TBM32. Low CSF concentrations of IFNγ were inde‑
Immune and metabolic factors. Bacterial replication pendently associated with death in HIV‑1 co‑infected
must occur in the CNS for TBM pathogenesis to pro‑ patients with TBM, indicating that IFNγ contributes to
ceed. However, the bacillary load in the CSF rarely immunity and survival.
exceeds 100–1000 bacterial colonies per millilitre, and Levels of tumour necrosis factor (TNF) correlate with
viable bacilli are difficult to detect in the majority of the extent of pathology in the rabbit model of TBM, and
individuals. Early studies in experimental animal mod‑ treatment of this model with antibiotics or thalidomide
els showed that the meningitis syndrome and even death (which decreases TNF levels) protects against death33,34.
of tuberculin-sensitized animals could be induced by In children with TBM, CSF levels of TNF and IL‑1β are
meningeal inoculation with dead bacilli22. Much of the elevated35, but no correlation is observed between CSF
tissue damage, therefore, is attributed to a dysregulated levels of TNF and disease stage or response to corti­
host inflammatory response. costeroid therapy36, and another study reported that
Once bacilli have traversed the blood–brain barrier, thalidomide therapy was not associated with decreased
they are taken up by microglia and can also replicate mortality37. Yadav and colleagues reported a positive
in these cells, leading to the induction of microglial correlation between CSF levels of proinflammatory
cytokine and chemokine production23. Conditioned cytokines — including IL‑1β and TNF — and MRI find‑
media from broth cultures of macrophages infected ings, and fractional anisotropy values and post-contrast
with M. tuberculosis induced activation of the NLRP3 signal intensity collected from cerebral cortical regions
(NACHT, LRR and PYD domains-containing protein 3) in patients with TBM38. In a small study, levels of IL‑6,
inflammasome — composed of NLRP3, apoptosis- IL‑10, IL‑1β and IL‑8 were found to be elevated in the
associated speck-like protein and caspase‑1 — in cultured CSF of patients with TBM and declined after 3 months
mouse microglial cells. Furthermore, dexamethasone, a of treatment39. The cytokine levels did not correlate with
corticosteroid used as an adjunctive therapy to reduce stage of meningitis or clinical or radiological outcome,
inflammation in patients with TBM, decreased inflam‑ suggesting that these cytokines cannot be used to infer
masome activation in this culture model through inhibi‑ severity or predict outcome.
tion of reactive oxygen species of mitochondrial origin24. Studies of TBM-IRIS provide further insight into
Elevated levels of reactive oxygen species and malondial‑ inflammatory pathology in HIV-associated TBM.
dehyde have been suggested to mediate tissue damage in Worsening inflammation in TBM-IRIS is associated
childhood meningitis25, similarly suggesting that reactive with high CSF neutrophil counts and M. tuberculosis cul‑
oxygen could contribute to pathology in TBM. ture positivity at TBM presentation40. Multiple cytokines
An 1H-NMR study found an association between are elevated in the CSF compared with the blood, but
decreased CSF levels of glucose and other energy- CSF levels of the neutrophil mediator S100A8/A9 are
related metabolites and elevated CSF levels of lactate in most closely associated with clinical deterioration41.
TBM26. In addition, low levels of glucose and high levels In an unbiased whole-genome analysis of peripheral
of lactate in the CSF were associated with death in an blood transcriptomic response, patients with TBM-IRIS
independent study of prognosis in adults with TBM in exhibited a substantially increased number of transcripts
Vietnam27. A 2016 study found a relationship between associated with canonical and noncanonical inflammas‑
hyponatraemia and the presence of basal exudates , omes after early antiretroviral treatment, compared with
implicating pituitary involvement in hyponatraemia28. non-IRIS controls. This difference suggests a dominant
Indeed, in a systematic investigation of pituitary dys‑ role for the innate immune system in the pathogenesis
function in TBM that included MRI, 13.3% of 75 cases of TBM-IRIS42. In addition, paradoxical worsening of
Basal exudates
had evidence of pituitary abnormality, 42.7% had rela‑ TBM after treatment occurs in patients without an HIV
An inflammatory reaction to
tuberculosis in the basal tive or absolute cortisol insufficiency, 30.7% had central infection who have drug-sensitive TBM. In a study of
cisterns of the brain. hypothyroidism, and 49.3% had hyperprolactinaemia29. 34 patients with definite TBM at the time of first treat‑
The occurrence of cortisol deficiency in TBM is ment who were followed‑up with cranial MRI at 3 and
Paradoxical worsening noteworthy given that synthetic corticosteroids are the 6 months after treatment initiation, paradoxical worsen‑
The worsening of a tuberculosis
lesion during otherwise
best-established adjunctive therapy for this condition. ing was observed in 22 individuals (64.7%), more than
effective antirtubercular or The beneficial effect of these agents might be partially half of whom remained clinically asymptomatic, which
antiretroviral therapy. metabolic, although most attention has been directed suggests that clinically silent radiographic deterioration

NATURE REVIEWS | NEUROLOGY ADVANCE ONLINE PUBLICATION | 3


©
2
0
1
7
M
a
c
m
i
l
l
a
n
P
u
b
l
i
s
h
e
r
s
L
i
m
i
t
e
d
,
p
a
r
t
o
f
S
p
r
i
n
g
e
r
N
a
t
u
r
e
.
A
l
l
r
i
g
h
t
s
r
e
s
e
r
v
e
d
.
REVIEWS

a Blood
e
Bacteria
Neutrophil
Lymphocyte
Monocyte
Tight
junctions

Basement Endothelial
membrane cells

Astrocyte
Brain Microglial cell

b Uninfected
cells

Diapedesis
of infected
cells
f
Cytokines
Infected
microglial cell

Disrupted
endothelium
and basement
membrane
Diapedesis
of uninfected
cells
Development of
a rich focus with g
a cuff on innate
and specific
B cells and T cells

Cytokines

d Arachnoid mater

White
matter

Grey
matter
CSF
Pia mater
Rupture focus with
spread of infection to
meninges and CSF

Nature Reviews | Neurology


is common43. Furthermore, in a study conducted in pathogenesis of TBM. Nevertheless, an acquired type 1
Vietnam, tuberculomas developed in 74% of patients T-helper cell response to M. tuberculosis antigens, char‑
with TBM during treatment; these tuberculomas were acterized by IFNγ secretion, occurs in the CSF during
associated with long-term fever, but not with relapse or TBM, as documented by studies aimed primarily at
poor clinical outcome44. finding diagnostic markers for TBM32,45. Most such diag‑
These studies suggest that the induction of inflam‑ nostic assays are optimized to detect terminally differ‑
masomes and activation of an innate cytokine response entiated CD4+ T cells, despite the fact that CD8+ T cells
leading to influx of phagocytes are key processes in the with T-effector memory and terminally differentiated

4 | ADVANCE ONLINE PUBLICATION www.nature.com/nrneurol


©
2
0
1
7
M
a
c
m
i
l
l
a
n
P
u
b
l
i
s
h
e
r
s
L
i
m
i
t
e
d
,
p
a
r
t
o
f
S
p
r
i
n
g
e
r
N
a
t
u
r
e
.
A
l
l
r
i
g
h
t
s
r
e
s
e
r
v
e
d
.
REVIEWS

◀ Figure 1 | Pathogenesis of tuberculous meningitis. a | Bacilli could reach brain blood Immunohistochemical staining of brain tissue from
capillaries within cells or as extracellular bacilli; the precise mechanism is unknown. patients who had TBM demonstrated the presence of
b | The endothelium itself can be infected, or infected cells can adhere and undergo VEGF in the inflammatory mononuclear cells of the
diapedesis. Both processes result in breakdown of tight endothelial junctions and the dense fibroconnective tissue in the subarachnoid space
basement membrane. c | Microglial cells can become infected, and these cells, together
and surrounding vasculitic lesions. In addition, CSF
with infiltrating cells, produce inflammatory chemoattractants that result in further
breakdown of the blood–brain barrier and influx of uninfected cells, including innate and
levels of VEGF were found to be associated with the
specific T and B lymphocytes. d | The nascent granuloma might rupture via necrosis, presence of TBM and MRI evidence of infarction, but
leading to meningeal and intracerebral dissemination of infection. e | Confocal not with death54. Furthermore, CSF levels of hepatocyte
microscopy of a lymph node from an individual infected with HIV‑1, showing localization growth factor (HGF) are higher in patients with TBM
of Mycobacterium tuberculosis (green) in or near endothelial cells and in infected cells than in those with bacterial meningitis, suggesting that
(nucleus blue) within a blood vessel (lining red). f | Consequences of meningeal other growth factors contribute to pathogenesis55.
dissemination of infection. Endoscopic third ventriculostomy in a child illustrates the
cistern of the subarachnoid space beneath the third ventricle, showing no visible normal Bacillary and host genetic factors. M. tuberculosis can
anatomy, with the basilar artery, perforators and brainstem covered by tuberculous be divided into seven lineages classified as ‘ancient’ (line‑
exudate. g | T1 contrast MRI, showing multiple parenchymal granulomas in the basal
ages 1, 5, 6 and 7) or ‘modern’ (lineages 2, 3 and 4)56. One
ganglia and cortex — one of the consequences of intracerebral dissemination. CSF,
cerebrospinal fluid. Part e republished with permission of American Society for Clinical
hypothesis is that some lineages might more frequently
Investigation, from Lerner, T. R. et al. Lymphatic endothelial cells are a replicative niche cause or affect the severity of meningeal infection. In
for Mycobacterium tuberculosis J. Clin. Invest. 126, 1093–1108 (2016). Permission children with TBM in China, lineage 2 was twice as
conveyed through Copyright Clearance Center, Inc. common as other prevalent lineages2, and in Vietnam,
the Thr597Cys polymorphism in the Toll-like receptor 2
(TLR2) gene was associated with a slightly elevated risk
phenotypes46, as well as mycobacterial antigen-reactive of tuberculosis caused by lineage 2 strains57. In a sub‑
Vγ9–Vδ2 T cells that secrete interferon and TNF, are group of 122 patients in Vietnam who were co‑infected
also found in the CSF of patients with TBM47. A relation‑ with HIV‑1 and TBM, patients infected with lineage 2
ship between high levels of IFNγ and the formation of strains had lower mortality than those infected with
intracerebral tuberculomas has been suggested48. C‑X‑C lineage 1 strains11. However, in Thailand, no differences
motif chemokine 10 (also known as 10 kDa IFNγ- in mortality were found between lineages 1, 3 and 4
induced protein, or IP‑10) and C‑X‑C motif chemok‑ among 184 patients with CSF isolates of M. tuberculosis58.
ine 9 (also known as monokine induced by IFNγ, or In children living in Cape Town, South Africa, lineages 2
MIG) are compartmentalized at the site of disease and and 4 showed comparable propensity to cause extrapul‑
decrease after treatment49. However, substantial immune monary disease in general, and TBM in particular59. In
activation and blood–brain barrier abnormalities are still children with tuberculosis in China, a single nucleotide
apparent after 60 days of treatment27. polymorphism in the PE_PGRS33 gene of M. tuberculo-
Although cytokines can mediate inflammatory reac‑ sis was associated with an increased risk of developing
tions, these molecules do not directly cause tissue dam‑ TBM, suggesting that even minor bacillary variation can
age. Proteolytic matrix metalloproteinases (MMP) have influence pathogenesis60.
attracted interest as potential mediators of this damage. Many immune response genes are under polymor‑
The kinetics of CSF MMPs and their endogenous tissue phic genetic influence. Several studies conducted over
inhibitors were studied in 37 HIV-uninfected adults with the past 10 years indicate that polymorphisms in host
TBM in Vietnam who were recruited to a randomized response genes (such as TLR9, SIGIRR, SPN, TIRAP,
controlled trial of adjuvant dexamethasone50. This ther‑ TLR2 and MRC1) can influence the immune response
apy resulted in a substantially reduced CSF concentra‑ and, thus, predispose an individual to TBM (TABLE 1).
tion of MMP‑9 after 5 days of follow‑up. The MMP‑9 Consistent with data from cytokine studies, many of the
concentration correlated with the CSF neutrophil count. reports document that polymorphism in innate immune
Paradoxically, suppression of microglial secretion of response receptors or signalling pathways influences the
72 kDa type IV collagenase (also known as MMP‑2) by susceptibility of an individual to TBM itself, or the form
signalling pathways activated by tuberculosis-infected in which it manifests. A striking example is a single
monocytes involves the proinflammatory mediators nucleotide polymorphism in the leukotriene A4 hydro‑
TNF, MAP kinase 14 and nuclear factor‑κB, in addition lase (LTA4H) promoter, which alters the transcriptional
to a novel caspase-8‑dependent pathway51. activity of this gene and, thus, influences the balance
Evidence also indicates a contribution from growth between proinflammatory leukotriene B4 and immuno­
factors — particularly those involved in angiogenesis suppressive lipoxin A4. In TBM, this polymorphism is
— in the vascular pathology observed in TBM. A associated with inflammatory cell recruitment, patient
study of serum and CSF from 56 children with and 55 survival and response to adjunctive anti-inflammatory
children without TBM found that increased levels of therapy61.
vascular endothelial growth factor (VEGF) were char‑ These intriguing findings, which introduce the pos‑
acteristic of TBM52. In a study examining patients with sibility of personalised anti-inflammatory TBM treat‑
meningitis in Japan, serum and CSF levels of VEGF ment, were replicated in a cohort of adults with TBM in
were substantially higher in TBM than in other forms Vietnam62. All participants received corticosteroids in
of meningitis. Decreases in CSF levels of VEGF paral­ accordance with current clinical guidelines. The LTA4H
leled clinical improvement in patients with TBM53. genotype influenced the pretreatment intracerebral

NATURE REVIEWS | NEUROLOGY ADVANCE ONLINE PUBLICATION | 5


©
2
0
1
7
M
a
c
m
i
l
l
a
n
P
u
b
l
i
s
h
e
r
s
L
i
m
i
t
e
d
,
p
a
r
t
o
f
S
p
r
i
n
g
e
r
N
a
t
u
r
e
.
A
l
l
r
i
g
h
t
s
r
e
s
e
r
v
e
d
.
REVIEWS

Table 1 | Genetic polymorphisms associated with TBM


Gene Function Location Polymorphisms Association Refs
SPN Surface glycoprotein (CD43) Vietnam rs17842268 rs17842268 associated with decreased 171
involved in Mycobacterium rs12596308 survival from TBM. Both polymorphisms
tuberculosis adhesion and associated with focal neurological deficit at
proinflammatory cytokine TBM presentation
induction
MBL2 Lectin involved in recognition South Africa Gly54Asp allele Protection from TBM 172
and uptake of M. tuberculosis
TLR2 Innate pattern recognition India Arg753Gln and No association 173
receptor Pro631His
China rs3804099 (597T>C) Associated with pulmonary tuberculosis but 174
not meningitis
Vietnam rs3804099 (597T>C) Associated with TBM caused by lineage 2 57,175
strains
TLR9 Innate pattern recognition Vietnam rs352142 TBM rather than PTB 176
receptor
TIRAP Toll adaptor protein Vietnam and 558C>T allele Associated with TBM 177,178
South Africa
PKP3–SIGIRR–ANO9 Negative regulator of Toll-like Vietnam rs10902158 TBM and PTB 179
gene region receptor/IL‑1R signalling rs7105848
rs7111432
VDR Vitamin D receptor India ApaI and TaqI Heterozygous (TC) and mutant (CC) 173
restriction sites genotypes of Taq1 VDR SNP significantly
associated with TBM
LTA4H Leucotriene A4 hydrolase Vietnam rs17525495 High (TT) and low (CC) inflammatory 61
homozygous forms associated with death
from TBM; dexamethasone protects from
death in TT but not CC genotype
Indonesia rs17525495 No significant association with CSF 63
leukocytes or patient survival
CCL2 Chemokine China rs4586 C/T TT genotype associated with lower CSF 180
mononuclear leukocyte counts in TBM
PTB, pulmonary tuberculosis; SNP, single nucleotide polymorphism; TBM, tuberculous meningitis.

inflammatory phenotype and was independently associ‑ paraplegia) in around 10% of patients. Death is nearly
ated with survival in 446 individuals with TBM who did certain unless antitubercular treatment is provided.
not have an HIV infection. By contrast, LTA4H geno­ The clinical features of TBM are influenced by the
type did not influence the inflammatory phenotype or immune response against M. tuberculosis. Very young
survival in 326 adults with TBM and an HIV co‑infec‑ children (<1 year of age) and those with advanced HIV‑1
tion, with the possible exception of those with peripheral co‑infection are highly susceptible to M. tuberculosis,
blood CD4+ cell counts >150 × 106/μl. which frequently leads to uncontrolled extrapulmonary
In an Indonesian study, LTA4H genotype was not asso‑ dissemination and meningitis. In these groups, the pres‑
ciated with survival in 427 HIV-negative patients with entation of TBM can be abrupt, and can rapidly progress
TBM, all of whom received corticosteroids, and did not to severe coma and prostration with high mortality;
influence patient survival in sensitivity analyses63. Thus, furthermore, these individuals have an increased risk of
uncertainty remains as to whether the LTA4H geno­type active tuberculosis in other organs9,65.
determines TBM inflammatory pathophysiology in all Age and HIV‑1 co‑infection also influence the lab‑
populations. oratory features of TBM66. The CSF of individuals with
TBM typically has 150–1000 leukocytes per μl, with a
Clinical features mixed population of neutrophils and lymphocytes
Effects of age and HIV‑1 co‑infection. TBM has a non‑ (although lymphocytes usually predominate), elevated
specific prodrome that gradually evolves to include protein (0.8–2.0 g/dl), and CSF:plasma glucose ratios of
more-recognizable symptoms and signs of meningitis, <0.5 in 90% of individuals. HIV‑1 co‑infection can alter
such as headache, fever, vomiting and neck stiffness64. the CSF inflammatory profile, with either no leukocytes
Without treatment, meningitic symptoms become pro‑ present, or large numbers (>1000 cells per μl) of neutro‑
gressively more dominant, consciousness falls, and focal phils mimicking acute pyogenic bacterial meningitis67.
neurological deficits occur, with cranial nerve palsies — The outcomes of TBM are better the earlier treat‑
largely in the fifth and third cranial nerves — in around ment is started. The Medical Research Council (MRC)
50% of patients and limb weakness (either hemiplegia or disease severity grade remains the most widely used

6 | ADVANCE ONLINE PUBLICATION www.nature.com/nrneurol


©
2
0
1
7
M
a
c
m
i
l
l
a
n
P
u
b
l
i
s
h
e
r
s
L
i
m
i
t
e
d
,
p
a
r
t
o
f
S
p
r
i
n
g
e
r
N
a
t
u
r
e
.
A
l
l
r
i
g
h
t
s
r
e
s
e
r
v
e
d
.
REVIEWS

Box 1 | The Medical Research Council tuberculous meningitis severity grade resonance angiography result at disease presentation
strongly predicts an infarct-free disease course78.
In 1948, Medical Research Council investigators in the UK graded tuberculous Spinal cord disease is common in people with TBM
meningitis for the first trial of streptomycin as: and often goes undetected: one imaging study of chil‑
• Early — no clinical signs of meningitis or focal neurology and fully conscious dren with TBM and hydrocephalus found that 76% had
• Medium — patient’s condition falls between early and advanced spinal disease79. Definition of the full extent of the CNS
• Advanced — extremely ill, in a deep coma disease is important for treatment and prognosis in peo‑
With the introduction of the Glasgow Coma Scale (GCS) in 1974, this classification was ple with TBM, and the detection of extraneural disease
modified to: — for example, in the lymph nodes — could offer alter‑
• Grade I (GCS score 15; no focal neurological signs) native diagnostic sampling opportunities in those with
• Grade II (GCS score 11–14, or 15 with focal neurological signs) diagnostic uncertainty.
• Grade III (GCS score ≤10)
Diagnosis
Microbiological diagnosis. The use of microscopy and
method to define TBM disease severity68 (BOX 1), and Ziehl–Neelsen staining to detect of acid-fast bacilli in fluids
strongly predicts outcome6,69,70. The rate of death or or tissues from affected organs has long been the main‑
severe neurological disability in MRC grades I, II, and stay for the rapid diagnosis of tuberculosis. However, the
III are approximately 15%, 30% and 50%, respectively, detection of <10,000 bacteria per ml remains consist‑
in HIV-1-negative individuals, rising to 25%, 50%, and ently difficult owing to the low numbers of bacilli pres‑
80%, respectively, in people co‑infected with HIV‑1. The ent and time required to find them by microscopy. This
widespread availability of antiretroviral treatment has impediment renders microscopy around 50% sensitive
improved outcomes in HIV‑1 co‑infected individuals for tuberculosis associated with high bacterial burdens
with TBM; however, outcomes remain poor. (such as cavitory pulmonary tuberculosis in adults)
Disease caused by multidrug-resistant M. tuberculosis and 10–20% sensitive in paucibacillary disease (such as
— that is, resistant to at least rifampicin and isoniazid meningitis).
— confers a major risk of death11,71. Before the introduc‑ The sensitivity of CSF microscopy can be increased
tion of rapid molecular tests that can identify rifampicin from 10–20% to >50% by simple measures80. A large vol‑
resistance at TBM disease presentation, almost all ume of CSF (~10 ml), centrifuged at 3,000 g and exam‑
patients died before the results of a conventional drug ined for 30 min by an experienced microscopist, can lead
susceptibility test were returned and second-line treat‑ to the detection of bacteria in >80% of TBM cases81, and
ment could be initiated. Other important risk factors for also increases the yield of culture. However, these meth‑
death from TBM include extremes of age, and interrup‑ ods are rarely practical where they are most needed in
tions to first-line antitubercular treatment (for example, resource-poor settings, and rapid diagnostic methods for
because of drug-induced adverse events)72. TBM with improved accuracy are required.
Culture of M. tuberculosis from patient specimens is
Radiographic appearance. Basal meningeal exudates, more sensitive than microscopy for diagnosis, but takes
infarcts, tuberculomas and hydrocephalus are all com‑ at least 10 days in liquid media and up to 8 weeks on
mon features of TBM73. These features can occur in solid media, and ideally requires a biosafety level 3 lab‑
isolation or in combination, and might not be detected oratory. Clinical decision-making, especially for TBM,
radiographically until the disease becomes advanced. cannot wait this long, and few centres have the required
CT and MRI are widely used for detection of these facilities. Innovative methods for the early detection
signs, although the latter has superior resolution, espe‑ of M. tuberculosis in liquid culture media have been
cially for the detection and definition of infarcts and developed, but only the microscopic observation drug
tuberculomas. susceptibility (MODS) assay has been investigated for
New imaging modalities can assist in TBM diagnosis the diagnosis of TBM82. This method uses microscopy
and management. Diffusion-weighted MRI can detect to detect the early M. tuberculosis-specific ‘cords’ of
the early changes of cerebral ischaemia and borderzone bacterial growth and was found to provide results in a
necrosis, and is more sensitive than conventional MRI median of 6 days when used on CSF, with a sensitivity
for the detection and localization of ischaemia and of around 65%.
infarcts74,75.
The importance of infarction to long-term outcomes Molecular assays. The insensitivity, slow speed and
has led to much interest in cranial vessel imaging. CT expense of conventional bacteriology have provided the
angiography has been used to define lesions in the ante‑ impetus to develop tests based on nucleic acid ampli‑
Ziehl–Neelsen staining
rior and posterior cerebral circulation, and has demon‑ fication to detect M. tuberculosis-specific molecules. A
A technique to visualize
Mycobacterium tuberculosis strated that the supraclinoid portion of the internal plethora of in‑house nucleic acid amplification tests have
directly by microscopy in carotid artery and proximal portions of the anterior cer‑ been developed and tested, but few have been subject to
pathological samples. ebral and middle cerebral arteries are most commonly repeated or well-designed validation83. GeneXpert MTB/
affected in TBM76. Magnetic resonance angiography RIF (manufactured by Cepheid) is a commercial, real-
Paucibacillary
Disease associated with very
has demonstrated vascular lesions, which are related time PCR-based assay for the detection of M. tuberculosis
low numbers of bacteria in to hydrocephalus, infarction and poor outcome, in in clinical specimens, and also detects mutations associ‑
clinical specimens. around 50% of patients with TBM77. A normal magnetic ated with rifampicin resistance. This assay was endorsed

NATURE REVIEWS | NEUROLOGY ADVANCE ONLINE PUBLICATION | 7


©
2
0
1
7
M
a
c
m
i
l
l
a
n
P
u
b
l
i
s
h
e
r
s
L
i
m
i
t
e
d
,
p
a
r
t
o
f
S
p
r
i
n
g
e
r
N
a
t
u
r
e
.
A
l
l
r
i
g
h
t
s
r
e
s
e
r
v
e
d
.
REVIEWS

by the WHO in 2010, and is being adopted globally as a accuracy. Specificity is enhanced when the assays are
front-line diagnostic test. Three studies have investigated used on CSF, but large volumes are required (>2 ml) and
the role of GeneXpert in the diagnosis of TBM84–86, and indeterminate results are common (up to 15%).
found the assay to be around 60% sensitive and nearly Two systematic reviews and meta-analyses have
100% specific. Testing of centrifuged CSF deposit from examined the diagnostic accuracy of CSF levels of
a large volume of CSF enhances sensitivity. The WHO adeno­s ine deaminase in TBM 94,95. For adenosine
has recommended GeneXpert as an essential diagnostic de­aminase values from 1–4 U/l, the sensitivity and spec‑
test in people with suspected TBM, but the results must ificity were >93% and <80%, respectively, compared
be interpreted with caution87,88, and it should be used as with >96% and <59% for values >8 U/l. None of the
a ‘rule‑in’ rather than a ‘rule-out’ test. Further investiga‑ cut-off values could reliably discriminate between TBM
tions searching for additional evidence of TBM should and bacterial meningitis. The different methods used to
always be sought, and antitubercular treatment should measure adeno­sine deaminase and the heterogeneity of
be started without microbiological proof in individuals data limit standardization of this test in routine practice.
clinically suspected of having TBM. A second generation
GeneXpert test (Ultra) is available that relies on detec‑ Diagnostic imaging. Brain imaging has long been part of
tion and amplification of a multicopy gene target, and a the diagnostic assessment of TBM. Numerous case series
2017 WHO report suggested 95% sensitivity for TBM89. have described the common radiographic appearances
The limitations of nucleic acid amplification have of basal meningeal exudates, hydrocephalus, infarcts and
led to investigation of the M. tuberculosis glycolipid tuberculomas (FIG. 2). However, few studies have defined
lipoarabinomannan as a diagnostic marker in CSF. A the diagnostic performance of these features.
comparison of lipoarabinomannan detection by lateral Early studies suggested that basal meningeal exu‑
flow assay (LFA) or ELISA with GeneXpert in CSF from dates, identified by contrast-enhanced CT imaging,
an autopsy cohort of 91 adults with confirmed TBM and were specific for TBM and predicted poor outcome96.
an HIV co‑infection found the sensitivity of lipoara‑ Subsequent investigators reported that post-contrast
binomannan LFA to be 75%, compared with 43% for basal exudates detected by CT imaging were both
ELISA and 100% for Gene Xpert MTB/RIF, suggesting sensitive (~90%) and specific (~95%) for the diagno‑
that lipoarabinomannan LFA could be a useful test90. sis of TBM in children97. Pre-contrast hyperdensity
However, others have found lipoarabinomannan LFA in the basal cisterns might be an even more accurate
to be substantially less sensitive in practice than was predictor of TBM97, but further research is needed
suggested by this study, especially in those without an to validate this finding. Various objective criteria for
HIV‑1 infection91. In HIV co‑infected individuals, per‑ post-contrast CT basal enhancement have been pro‑
formance could be enhanced by combining the test with posed, most of which are specific but lack sensitivity98.
a clinical diagnostic prediction rule92. A study evaluating these criteria in adults again
found high specificity (90–100%) but low sensitivity
Diagnosis based on the host response. The difficulty (0–30%)99. Furthermore, inter-reader variability was
of detecting M. tuberculosis in the CSF has driven high, limiting clinical utility.
interest in whether specific immune responses can Infarcts and hydrocephalus revealed by CT brain
aid TBM diagnosis. IFNγ release assays depend on the imaging lack diagnostic specificity for TBM, as other
ability of T lymphocytes from M. tuberculosis-infected infectious and noninfectious diseases can cause simi‑
individuals to produce IFNγ when stimulated with lar features. An increased specificity (95–100%) can be
M. tuberculosis-specific antigens. A 2016 systematic achieved via detection of the combination of hydro‑
review and meta-analysis found that the overall sensi‑ cephalus, basal enhancement and infarction; however,
tivities of blood and CSF IFNγ release assays were 78% these features can be absent in early disease, which
and 77% respectively, with 61% and 88% specificity93. reduces diagnostic sensitivity to around 40%. MRI can
These data suggest that these assays have only moderate provide additional diagnostic information100; for exam‑
ple, gadolinium-enhanced MRI is superior to CT for the
visualization of small leptomeningeal tuberculomas101,
a b c and diffusion-weighted MRI improves the detection
of small areas of ischaemia or early infarction74. In one
study102, MRI revealed 55 cases of stroke — 54 ischaemic
and one haemorrhagic — in 122 patients with TBM.
Infarcts were present in the basal ganglia (n = 30), the
thalamus (n = 9), the brainstem (n = 10), the cerebral
cortex (n = 27) and the cerebellum (n = 4). 29 patients
experienced multiple strokes. 38 had infarcts in the
anterior circulation, seven had infarcts in the poste‑
Figure 2 | MRI scans from a patient with stage II tuberculous meningitis. The patient
rior circulation and the remaining ten had infarcts in
Nature Reviews | Neurology both areas102. However, the diagnostic sensitivity and
had presented with fever for 15 days and altered sensorium for 1 day. a | Granuloma in T1
contrast axial section. b | Anterior cerebral artery territory infarction in diffusion-weighted specificity of these features for TBM are undefined.
sequence. c | Narrowing right anterior cerebral artery and occlusion of left anterior The main limitation of both imaging modalities is
communicating artery. that around 30% of individuals at an early stage in the

8 | ADVANCE ONLINE PUBLICATION www.nature.com/nrneurol


©
2
0
1
7
M
a
c
m
i
l
l
a
n
P
u
b
l
i
s
h
e
r
s
L
i
m
i
t
e
d
,
p
a
r
t
o
f
S
p
r
i
n
g
e
r
N
a
t
u
r
e
.
A
l
l
r
i
g
h
t
s
r
e
s
e
r
v
e
d
.
REVIEWS

TBM disease course (MRC grade I) have normal brain case definition was not designed to be used as a clinical
CT scans, and around 15% have normal brain MRI scans. diagnostic tool, and was shown to perform poorly when
Furthermore, age and HIV‑1 co‑infection status influ‑ used in this manner115.
ence the appearance of the brain on imaging. Children
with TBM are more likely to exhibit hydrocephalus Management
than are adults with TBM, and basal enhancement is Antimicrobial therapy. Antitubercular treatment before
often less prominent in people co-infected with HIV‑1, the onset of coma is the strongest predictor of survival
especially those with very low CD4+ cell counts103. from TBM. However, the best combinations, doses, fre‑
Follow‑up imaging during treatment can pro‑ quencies and durations of these drugs have not been
vide additional useful diagnostic information, as well determined, despite their importance to a successful out‑
as important evidence concerning complications104. come. The treatment of drug-susceptible TBM is based
Imaging of organs other than the brain can also yield on the regimens used against pulmonary tuberculosis.
important diagnostic information. Concomitant tuber‑ The WHO recommends the same regimen of 2 months
culosis of the spinal cord can occur in more than half of of rifampicin, isoniazid, pyrazinamide and ethambutol
individuals with TBM, and is commonly overlooked79 followed by 10 months of rifampicin and isoniazid, for
unless MRI or PET–CT scans are performed105. Plain all patients. The recommended doses and frequencies
chest radiography is normal in around 50% of people for TBM treatment are the same as for pulmonary tuber‑
with TBM, and the remaining individuals have a spec‑ culosis, despite concerns that rifampicin — in particu‑
trum of changes suggestive of previous or currently lar — does not penetrate the blood–brain barrier well,
active tuberculosis 106. Only the chest radiographic and concentrations of this agent in the CSF are 10–20%
appearance of miliary tuberculosis indicates dissemi‑ of those achieved in plasma116,117 (TABLE 3). In addition,
nated tuberculosis and the strong likelihood of TBM. ethambutol does not cross the blood–brain barrier, even
Radiographic evidence of tuberculosis at other sites, when it is inflamed. Children generally require higher
acquired by conventional or PET–CT of the chest, doses per kg of body weight than do adults to achieve
abdomen and pelvis, can provide supportive diagnostic similar exposures to antituberculosis drugs, and this dif‑
information and offers low-risk opportunities to biopsy ference is reflected in the current paediatric tuberculo‑
the affected tissues. sis treatment guidelines118,119. Paediatric TBM treatment
guidelines mirror those of adults in terms of regimen
Clinical scoring systems. Several studies have described composition and treatment duration. In practice,
the clinical features that are most predictive of TBM, paediatric treatment regimens vary, as no clinical trials
leading to the development of diagnostic scoring sys‑ data are available to guide drug combination and dose
tems (TABLE 2). The findings vary according to the selection in paediatric TBM.
population in which they were derived, with age and Whether rifampicin — the key sterilizing drug
HIV status accounting for much of this variation. in tuberculosis treatment — should be used at doses
Nevertheless, these scoring systems serve to highlight >10 mg/kg for the treatment of TBM is controversial.
the key distinguishing features of TBM: long-term Paediatricians in Cape Town have long used a hyperin‑
symptoms (>5 days), lower numbers of CSF leukocytes tensive regimen, consisting of 20 mg/kg rifampicin, iso‑
(<1000 cells per mm3) than are typically observed in niazid and ethionamide, with 40 mg/kg pyrazinamide, all
other forms of bacterial mening itis, CSF leukocytes given for 6 months. They report few adverse events and
comprised of <90% neutrophils, elevated CSF protein excellent outcomes120. Pharmacokinetic modelling studies
(>100 mg/dl), and a low CSF:blood glucose ratio (<0.5) have suggested that in childhood TBM, rifampicin doses
compared with uninfected individuals. of at least 30 mg/kg orally, or 15 mg/kg intravenously,
A major limitation of these clinical diagnostic rules could be required to achieve sufficient CSF drug expo‑
is that their performance is variable in different popu‑ sure and bacterial killing to reduce mortality121. Whether
lations and settings, and few of these scoring systems the same applies to adults is currently uncertain. A trial
have been externally validated. A diagnostic rule devel‑ conducted in 60 adults with TBM in Indonesia found
oped in Vietnam is currently the only one to be been that mortality was nearly halved if rifampicin was given
tested in different populations. This rule was originally at a dose of 600 mg intravenously, compared with the
described to be 86% sensitive and 79% specific for standard dose of 450 mg orally, resulting from a three‑
TBM diagnosis in Vietnamese adults107, and subsequent fold increase in systemic rifampicin exposure for the first
studies in Turkey108, Vietnam109, India110, China111 and 2 weeks of combination antituberculosis treatment122.
Colombia112 reported sensitivities >90% and specificities A strong concentration–effect relationship was found,
ranging from 50–90%. However, a serious limitation of with higher rifampicin exposure being associated with
the Vietnam rule was exposed by a study in Malawi of 86 better TBM survival. Minimum rifampicin target values
HIV‑1 co‑infected adults with meningitis113. In this pop‑ were derived from exposure–response curves, and only
ulation, the rule was only 78% sensitive and 43% specific, 38% of patients receiving 600 mg intravenously reached
with cryptococcal meningitis accounting for most of the these target rifampicin exposures, suggesting that even
false-positive results. higher doses are required to optimize rifampicin dosing.
A consensus case definition for TBM has been pub‑ However, a subsequent a trial in 817 adults with TBM
lished to help standardize clinical TBM research and in Vietnam failed to show any survival benefit of using
enable direct comparison of studies114. However, the increased doses of rifampicin (15 mg/kg given orally

NATURE REVIEWS | NEUROLOGY ADVANCE ONLINE PUBLICATION | 9


©
2
0
1
7
M
a
c
m
i
l
l
a
n
P
u
b
l
i
s
h
e
r
s
L
i
m
i
t
e
d
,
p
a
r
t
o
f
S
p
r
i
n
g
e
r
N
a
t
u
r
e
.
A
l
l
r
i
g
h
t
s
r
e
s
e
r
v
e
d
.
REVIEWS

Table 2 | Published clinical diagnostic rules for the diagnosis of TBM


Publication Population from which Case comparison Predictors of TBM
rule derived
Kumar et al.181 Children from India TBM versus other meningitis • Symptoms ≥7 days
• Optic atrophy
• Focal neurological deficit
• Extrapyramidal movements
• CSF leukocytes <50% neutrophils
Thwaites et al.107 Adults from Vietnam TBM versus bacterial meningitis • Age <36 years
• Blood leukocytes <15 × 109/l
• Symptoms ≥6 days
• CSF leukocytes <750/mm3
• CSF neutrophils <90%
Youssef et al.182 Children and adults from TBM versus bacterial meningitis • Symptoms >5 days
Egypt • CSF leukocytes <1000/mm3
• Clear CSF
• CSF lymphocytes >30%
• CSF protein >100 mg/l
Cohen et al.183 Adults from Malawi (77% TBM versus cryptococcal • Low CSF opening pressure
HIV-infected) meningitis • Neck stiffness
• Raised CSF leukocytes
• Low Glasgow Coma Scale score
• High fever
Patel et al.92 Adults from South Africa TBM versus other meningitis • CSF:blood glucose ratio ≤0.2
(84% HIV-infected) • CSF lymphocytes >200/mm3
• CD4+ cell count <200 × 106/l
• Negative cryptococcal antigen test
Hristea et al.184 Adults from Turkey TBM versus viral meningitis • Symptoms ≥5 days
• MRC grade II or III
• CSF:blood glucose ratio <0.5
• CSF protein >100 mg/dl
Vibha et al.110 Adults from India TBM versus bacterial meningitis • Living in a rural area
• Symptoms ≥6 days
• Cranial nerve palsy
• Hemiplegia
• Clear CSF
• CSF neutrophils <75%
Dendane et al.185 Adults from Morocco TBM versus bacterial meningitis • Female sex
• Symptoms ≥10 days
• Focal neurological deficits
• Blood leukocytes <15 × 109/l
• Plasma sodium <130 mmol/l
• CSF leukocytes <400/mm3
Zhang et al.186 Adults from China (all TBM versus cryptococcal • Female sex
HIV-uninfected) meningitis • Reduced consciousness
• No visual or hearing loss
• Evidence of extraneural
tuberculosis
• CSF leukocytes ≥68/mm3
• CSF protein >0.91 mg/dl
Qamar et al.187 Children from Pakistan TBM versus bacterial meningitis • Hydrocephalus on brain CT
• CSF leukocytes <800/mm3
• CSF protein:glucose ratio ≥2
CSF, cerebrospinal fluid; MRC, Medical Research Council; TBM, tuberculous meningitis.

versus 10 mg/kg given orally in the control arm) with the The problem of poor blood–brain barrier penetration
addition of levofloxacin for the first 2 months of treat‑ of antitubercular drugs is particularly pertinent when
ment10. A probable explanation is that the rifampicin dose choosing the fourth drug of a regimen for drug-sensi‑
was too low to substantially improve CSF drug exposure tive TBM or for constructing a multidrug regimen for
and bacterial killing, and higher doses might yet prove drug-resistant TBM (TABLE 3). The addition of a fourth drug
beneficial. Much higher doses of rifampicin (35 mg/kg) (usually ethambutol) to the intensive phase of pulmo‑
have now been tested in clinical trials for the treatment of nary tuberculosis treatment is primarily to overcome
pulmonary tuberculosis, and resulted in increased rates the possibility of isoniazid resistance; if the bacteria are
of sputum culture conversion by 2 months of treatment123. susceptible to isoniazid then the addition of ethambutol

10 | ADVANCE ONLINE PUBLICATION www.nature.com/nrneurol


©
2
0
1
7
M
a
c
m
i
l
l
a
n
P
u
b
l
i
s
h
e
r
s
L
i
m
i
t
e
d
,
p
a
r
t
o
f
S
p
r
i
n
g
e
r
N
a
t
u
r
e
.
A
l
l
r
i
g
h
t
s
r
e
s
e
r
v
e
d
.
REVIEWS

Table 3 | Antituberculosis drugs used in TBM treatment


Drug WHO recommended daily dose WHO CSF penetration Important adverse effects
recommended (CSF/plasma
Children Adults duration concentration)
First-line drugs for the treatment of drug-sensitive TBM
Rifampicin 15 mg/kg (range 10 mg/kg (range 12 months 10–20% Hepatotoxicity, orange urine, many drug
10–20 mg/kg); 8–12 mg/kg); interactions
max. 600 mg max. 600 mg
Isoniazid 10 mg/kg (range 5 mg/kg (range 12 months 80–90% Hepatotoxicity, peripheral neuropathy,
7–15 mg/kg; 4–6 mg/kg); max. lupus-like syndrome, confusion, seizures
max. 300 mg 300 mg
Pyrazinamide 35 mg/kg (range 25 mg/kg (range First 2 months 90–100% Hepatotoxicity, arthralgia, gout
30–40 mg/kg) 20–30 mg/kg)
Ethambutol 20 mg/kg (range 15 mg/kg (range First 2 months 20–30% Dose-related retrobulbar neuritis, more
15–25 mg/kg) 15–20 mg/kg) common in renal impairment
Streptomycin* 15–30 mg/kg; 15 mg/kg (range First 2 months 10–20% Monitor plasma concentrations when possible;
max. 1 g IV or IM 12–18 mg/kg); causes nephrotoxicity and ototoxicity
max. 1 g
Core second-line drugs for the treatment of MDR-TBM‡
Levofloxacin <5 years: 10–15 mg/kg Throughout 70–80% Nausea, headache, tremor, confusion, tendon
15–20 mg/kg treatment rupture (rare)
≥5 years:
10–15 mg/kg
Moxifloxacin 10–20 mg/kg: 400 mg Throughout 70–80% Nausea, headache, tremor, confusion, tendon
max. 400 mg treatment rupture (rare)
Not well
established
Amikacin 15–30 mg/kg; 15 mg/kg; max. Intensive phase 10–20% Monitor plasma concentrations when possible;
max. 1 g IV or IM 1 g IV or IM only causes nephrotoxicity and ototoxicity
Kanamycin 15–30 mg/kg; 15 mg/kg; max. Intensive phase 10–20% Monitor plasma concentrations when possible;
max. 1 g IV or IM 1 g IV or IM only causes nephrotoxicity and ototoxicity
Capreomycin 15–30 mg/kg; 15 mg/kg; max. Intensive phase No data (probably Monitor plasma concentrations when possible;
max. 1 g IV or IM 1 g IV or IM only very low) causes nephrotoxicity and ototoxicity
Ethionamide or 15–20 mg/kg; 15–20 mg/kg; Throughout 80–90% Anorexia, nausea, vomiting, gynaecomastia,
prothionamide max. 1 g max. 1 g treatment hypothyroidism, confusion, seizures
Cycloserine 10–20 mg/kg; 10–15 mg/kg; Throughout 80–90% CNS toxicity: depression, seizures,
max. 1 g max. 1 g treatment neuropathy; co‑administration with pyridoxine
recommended
Linezolid 10 mg/kg; max. 600 mg Throughout 30–70% Myelosuppression, optic neuropathy;
600 mg treatment co‑administration with pyridoxine
recommended
Other drugs used to treat MDR tuberculosis, but of uncertain benefit in TBM
Clofazimine 1 mg/kg 100–200 mg No recommended Limited data Can discolour skin orange/red;
duration (probably low) photosensitivity
Para-aminosalicylic 200–300 mg/kg 8–12 g No recommended No data (probably Vomiting, diarrhoea, reversible hypothyroidism
acid duration very low) (increased risk with ethionamide)
Bedaquiline Not determined 400 mg for New drug; limited Probably very low Nausea, vomiting, arthralgia, QT prolongation;
2 weeks, then availability (but data from metabolized through CYP3A4; rifampicin
200 mg thrice one patient only) halves concentrations
weekly
Delamanid Not determined 200 mg New drug; limited No data Nausea, vomiting, dizziness rarely; QT
availability prolongation
*Streptomycin is no longer recommended in the standard regimen for drug-susceptible tuberculosis. ‡WHO recommend an initial regimen with at least five
effective drugs, including pyrazinamide and four second-line drugs. An injectable agent should be used in the intensive phase, the duration of which is uncertain,
but 2011 WHO guidelines recommend at least 8 months. Total duration of treatment for MDR-TBM is uncertain, but should probably be at least 18 months. CSF,
cerebrospinal fluid; IM, intramuscular; IV, intravenous; MDR, multidrug-resistant; TBM, tuberculous meningitis.

does not enhance bacterial killing or improve outcomes. the poor penetration of rifampicin into the brain and
By contrast, in TBM treatment, the rationale for adding CSF, addition of a fourth drug in TBM might also have
a fourth drug is that it should overcome the potential a larger role in overall bacterial killing and increased
adverse effects of isoniazid resistance. However, given patient survival.

NATURE REVIEWS | NEUROLOGY ADVANCE ONLINE PUBLICATION | 11


©
2
0
1
7
M
a
c
m
i
l
l
a
n
P
u
b
l
i
s
h
e
r
s
L
i
m
i
t
e
d
,
p
a
r
t
o
f
S
p
r
i
n
g
e
r
N
a
t
u
r
e
.
A
l
l
r
i
g
h
t
s
r
e
s
e
r
v
e
d
.
REVIEWS

No comparative controlled trials have been con‑ linezolid; pyrazinamide and high-dose isoniazid, which
ducted that define the optimal fourth drug for TBM. are often added to second-line treatment, also have good
Ethambutol is widely recommended, but concentrations penetration into the CSF.
in the CSF are <20% of those in the plasma owing to
its poor penetration of the blood–brain barrier, and its Adjunctive host-directed therapies. Intracerebral
contribution to outcome is potentially limited, even in inflammation has long been recognized as an impor‑
the presence of isoniazid resistance117. Historically, strep‑ tant determinant of TBM outcome. The hypothesis that
tomycin has been used widely, but it also penetrates the adjunctive corticosteroids reduce inflammation and
blood–brain barrier poorly — especially once inflamma‑ thereby improve outcome from TBM was first postu‑
tion has subsided — and this property, combined with lated in the early 1950s127, but it took nearly 50 years for
frequent vestibular toxicity (30%) and a high prevalence sufficient randomized controlled trial evidence to accu‑
of resistance, limits its use. Ethionamide passes across mulate before this treatment was widely recommended
the blood–brain barrier more effectively than ethambu‑ in guidelines. A 2016 Cochrane systematic review and
tol or streptomycin, enabling high CSF concentrations meta-analysis of all relevant published trials concluded
to be achieved, and has become part of standard TBM that corticosteroids increase survival in HIV-1-negative
therapy at some centres120. The fluoroquinolones moxi‑ children and adults with TBM, but that the benefit of
floxacin and levofloxacin both have good CSF penetra‑ corticosteroids was uncertain in individuals co‑infected
tion, and high activity against drug-susceptible bacteria with HIV‑1, and was not found to reduce long-term
as well as many drug-resistant bacteria124,125. In a 2016 neurological disability in any group128.
trial of intensified antituberculosis therapy in Vietnam10, Inflammatory complications can occur weeks or even
levofloxacin failed to improve survival when used as a months after the start of antituberculosis chemotherapy
fifth drug alongside high-dose rifampicin and ethambu‑ for TBM, when initial corticosteroid treatment has
tol. However, if the disease was caused by bacteria resist‑ been reduced or stopped129,130. These events are termed
ant to isoniazid, intensified treatment was associated with ‘paradoxical reactions’, or IRIS in individuals started
significantly increased survival. on antiretroviral therapy for HIV co‑infection within
Current evidence suggests that the choice of fourth the past month. Symptoms include fever, progressively
drug in antituberculosis treatment has little influence on worsening headache, and sometimes seizures and reduced
outcome if the disease is caused by bacteria susceptible consciousness. Brain imaging is important to deter‑
to all first-line drugs, although the limited available data mine whether the cause is hydrocephalus, infarction or
mandate caution in forming conclusions. However, in dis‑ tuberculoma formation.
ease caused by isoniazid-resistant bacteria, clinical trial Tuberculomas are the best described paradoxical
data indicate that a high dose (minimum 15 mg/kg) of reactions to TBM treatment, and most are treated with
rifampicin and the addition of levofloxacin as a fifth agent high-dose adjunctive corticosteroids, despite the absence
improve survival. Observational data also indicate that of controlled trial evidence supporting this approach.
the negative effect of isoniazid resistance on survival could Anecdotal evidence suggests that corticosteroids reduce
be reduced by prescribing pyrazinamide throughout symptoms and inflammation in around 50% of patients
treatment (9–12 months)20. with TBM. However, in some cases corticosteroids have
The effect of multidrug resistance to rifampicin and no effect, and symptoms of TBM will persist or worsen.
isoniazid on TBM outcome is catastrophic, with mor‑ In these circumstances, alternative anti-inflammatory
tality >80%20,71,126. This finding is a particular concern agents have been tried, particularly when the tubercu‑
given the global rise in multidrug-resistant tuberculosis, loma involves the optic chiasm or when optochiasmatic
which now stands at 480,000 cases annually4. The main arachnoiditis threatens vision. Some case series suggest
reason for mortality is the inability for drug resistance that thalidomide could help to alleviate these problems,
to be detected sufficiently quickly to enable changes especially when corticosteroids are ineffective131,132. Other
to be made to the antitubercular treatment regimen. studies have reported success with anti-TNF biological
GeneXpert MTB/RIF has enabled same-day detection agents (such as infliximab)133 and IFNγ treatment134.
of rifampicin-resistant bacteria, which can facilitate Brain infarction is the most common cause of long-
the timely switch to second-line agents in some cases. term neurological disability owing to TBM, and is not
However, even in settings in which GeneXpert is avail‑ prevented by corticosteroid treatment44. Two small trials
able, outcomes remain poor owing to the limited sensi‑ have suggested that treatment with aspirin is safe when
tivity of this assay in CSF samples (50–60%), the lack of added to dexamethasone, and might improve outcome
timely susceptibility information on companion drugs, from TBM by reducing the incidence of brain infarc‑
and the unknown brain penetration and efficacy of tion135,136. One of these studies, conducted in India,
second-line drugs for TBM. randomly assigned 118 adults with TBM to standard
The best regimen for the treatment of multidrug- antituberculosis chemotherapy, with or without aspi‑
resistant TBM is unknown, but until additional data rin (150 mg daily), and found a trend towards reduced
become available, the regimens advised by the WHO for stroke incidence with aspirin (24%, compared with 43%
the treatment of multidrug-resistant pulmonary tuber‑ in the control group) and a significant reduction in mor‑
culosis should be used (TABLE 3). Notably, the second-line tality (21.7% versus 43.0%, P = 0.02)135. A second study in
drugs known to have good penetration into the CSF South Africa randomly assigned 146 children with TBM
include fluoroquinolones, ethionamide, cycloserine and to standard antituberculosis chemotherapy plus placebo

12 | ADVANCE ONLINE PUBLICATION www.nature.com/nrneurol


©
2
0
1
7
M
a
c
m
i
l
l
a
n
P
u
b
l
i
s
h
e
r
s
L
i
m
i
t
e
d
,
p
a
r
t
o
f
S
p
r
i
n
g
e
r
N
a
t
u
r
e
.
A
l
l
r
i
g
h
t
s
r
e
s
e
r
v
e
d
.
REVIEWS

(n = 50), low-dose aspirin (75 mg per 24 h; n = 47), or Vascular compromise is a common complication
high-dose aspirin (100 mg/kg per 24 h; n = 49). In this of TBM, and leads to ischaemia, infarction and raised
trial, aspirin had no significant effect on patient survival, ICP. The techniques available for real-time monitoring
but on‑treatment new hemiplegia was less common in of vascular abnormalities and their effects on cerebral
the high-dose aspirin group136. haemodynamics, ischaemia and ICP are limited, and
Aside from corticosteroids, antiretroviral drugs are are mostly unavailable outside large, well-resourced cen‑
the only adjunctive agents with proven benefit in the tres. The most studied technique is transcranial Doppler
treatment of TBM. Before the advent of antiretrovi‑ ultrasonography, which can provide accurate nonin­
ral therapy, 9‑month mortality in patients with HIV- vasive information on intracranial blood flow velocities
associated TBM in Vietnam was around 65%72; with and identifies areas of intracranial stenosis in the major
antiretroviral treatment, mortality is now <40%10. The vessels in the circle of Willis. Transcranial Doppler can
one remaining area of uncertainty is whether, in anti­ be performed at the bedside, making it a potentially
retroviral therapy-naive patients, this therapy should valuable tool in critically ill and ventilated patients. To
be started concurrently with antituberculosis drugs or date, studies have suggested that transcranial Doppler
delayed until the tuberculosis has been partially or com‑ can reliably diagnose and track TBM-related intracranial
pletely treated. The balance of risks lies between reduc‑ vasculopathy142,143, but is not a reliable indicator of raised
ing the incidence of other potentially fatal opportunistic ICP in children with tuberculous hydrocephalus144.
infections that can result from early initiation of antiret‑ Published data regarding invasive monitoring of
roviral treatment and reducing the risk of IRIS reactions brain tissue oxygenation and ICP are limited. Some
that could result from delayed antiretroviral therapy and centres advocate immediate external ventricular drains
complicate treatment. Trials in pulmonary tuberculosis with pressure monitoring in children who have severe
have shown that early antiretroviral therapy is associ‑ TBM with hydrocephalus, and parenchymal ICP moni‑
ated with increased survival, especially in patients with toring in those without hydrocephalus140, but the role of
very low CD4+ T‑cell counts137,138; conversely, a single these techniques in treatment decision-making remains
trial in adults with TBM comparing early with 2‑month uncertain. One study used a cerebral oxygenation tissue
delayed antiretroviral therapy showed no difference in probe in two children with severe TBM who demon‑
survival139. Grade 4 adverse events were more frequent strated delayed and worsening cerebral ischaemia
in patients given early antiretroviral therapy, suggest‑ despite full conventional therapy and controlled ICP145.
ing that the deferral of antiretroviral therapy for up to These data confirm that the vascular involvement in
2 months could be advantageous in the management of TBM is potentially progressive. Cerebral oxygenation
TBM with an HIV co‑infection. No data are currently monitoring successfully reversed a precipitous decline
available that can inform decisions about antiretro‑ in oxygen readings in one patient, which might have
viral therapy use in children with HIV and TBM, and prevented infarction, indicating a possible benefit for
the risk:benefit analysis is different from that in adults this intervention in selected patients with severe disease.
owing to the high mortality related to untreated HIV in Mannitol has been the long-standing treatment for
young children. raised ICP in traumatic brain injury, although evidence
from the past decade suggests that hypertonic saline is
Supportive management. Raised intracranial pressure equally effective and safer, especially if ICP monitoring is
(ICP), cerebral ischaemia, hydrocephalus, hyponatrae‑ unavailable146,147. Furthermore, hypertonic saline might
mia and seizures all contribute to poor outcome in be effective in treating TBM-associated hyponatraemia,
patients with TBM, and should be actively tested for a common complication of severe disease.
and treated. However, the evidence defining optimal Hyponatraemia (plasma sodium <135 mmol/l)
management of these complications is scant, and physi‑ occurs in around 40–50% of patients with TBM 28.
cians often overlook this important component of TBM Management difficulties stem from the incompletely
care140. Unfortunately, no standardized protocols exist, characterized pathogenesis of hyponatraemia, com‑
and practice varies substantially between centres. bined with few data detailing its optimal treatment.
Cerebral perfusion and oxygenation can be com‑ SIADH (syndrome of inappropriate antidiuretic hor‑
promised globally by hypovolaemia and hypoxia, or mone secretion) and cerebral salt wasting, which possi‑
locally by raised ICP and infection-related vasculitis and bly occur owing to atrial natriuretic peptide secretion148,
infarction. Hydrocephalus is the most common cause are conventionally thought to be the causes of hypo­
of raised ICP, but ICP can also be elevated by cerebral natraemia in TBM, with results from a 2016 study con‑
vasogenic or cytotoxic oedema, a loss of cerebral pres‑ ducted in India suggesting that cerebral salt wasting
sure autoregulation and vascular reactivity, hypercapnia is the most common cause28. However, distinguishing
or hypocapnia, hyponatraemia, and high temperature. between these two conditions can be difficult. By con‑
Thus, clinical management should be directed at the vention, SIADH is managed by fluid restriction, and
careful and continuous monitoring and correction of cerebral salt wasting by fluid administration. Some
abnormalities in gas exchange and tissue oxygenation, have argued that both conditions can be treated with
through mechanical ventilation (if necessary), metic‑ hypertonic saline149, whereas others have argued that
ulous fluid and electrolyte management, control and fluid restriction, the traditional treatment for SIADH,
monitoring (when possible) of intracranial pressure, has little benefit in meningitis and might result in
and rigorous temperature control140,141. worsening hypovolaemia and harm150.

NATURE REVIEWS | NEUROLOGY ADVANCE ONLINE PUBLICATION | 13


©
2
0
1
7
M
a
c
m
i
l
l
a
n
P
u
b
l
i
s
h
e
r
s
L
i
m
i
t
e
d
,
p
a
r
t
o
f
S
p
r
i
n
g
e
r
N
a
t
u
r
e
.
A
l
l
r
i
g
h
t
s
r
e
s
e
r
v
e
d
.
REVIEWS

Hydrocephalus is the most common cause of raised HIV, substantially reducing the risk of TBM irrespective
ICP. In the majority (80%) of patients with TBM, com‑ of baseline CD4+ T-cell count, tuberculin skin test status,
municating hydrocephalus is observed, caused by and antimycobacterial drug resistance165.
exudates in the basal cisterns and resulting in disrup‑
tion of CSF flow. Reasonable evidence suggests that Conclusions
hydrocephalus in TBM can be treated medically with Progress has been made in understanding the patho‑
diuretics and with repeated lumbar punctures151,152. genesis of TBM, but has not yet translated into outcome
Noncommunicating hydrocephalus, caused by obstruc‑ benefits in patients. Inconsistency between studies has
tion at the level of the cerebral aqueduct and/or the out‑ reduced their generalizability and comparability. A
let foramina of the fourth ventricle, is less common in standardized definition of TBM, which has been pro‑
this population, and should be treated with ventriculo­ posed for use in research studies114, and standardized
peritoneal shunting (VPS) or endoscopic third ventricu‑ methods for enhanced quality and comparability of
lostomy (ETV)153. Conventional CT imaging cannot TBM studies166 will help to increase generalizability and
reliably determine the physical position of the CSF comparability of studies.
block154, and air encephalography has been suggested as High-resolution MRI or CT imaging combined with
a gold standard155. Air encephalography is carried out at imaging techniques to assess TBM disease activity, as
the time of lumbar puncture, with the patient in the sit‑ demonstrated in other forms of tuberculosis167, could
ting position: 10 ml of air are injected into the subarach‑ provide a more detailed clinical phenotype for TBM
noid space, and its journey to the ventricles is shown by than is currently available. This assessment could also
plain skull radiographs 30 min later. Air trapped below be extended to include monitoring of parameters such
the ventricles indicates the presence of noncommuni‑ as brain oxygenation and CSF pressure. Unbiased appli‑
cating hydrocephalus140. However, air encephalography cation of ‘omics’ technologies (particularly transcrip‑
involves a lumbar puncture and carries the risk of cere‑ tomics) has also provided important insight into human
bral herniation; therefore, further exploration of alterna‑ tuberculosis168. Analysis of cells and fluid arising from
tive approaches, such as thin-sliced CT of the posterior the site of disease is likely to be particularly valuable.
fossa or MRI CSF-flow studies, is desirable, although One small autopsy study compared gene transcripts
access to such imaging can be limited in many TBM in brain biopsy samples from patients with TBM and
prevalent settings. patients with traumatic brain injury, and showed that
A 2017 systematic review of VPS in TBM concluded genes encoding proteins involved in metabolism, cell
that the outcome depends on the clinical severity of growth, transport, immune response, cell communica‑
TBM. Patients with an HIV‑1 co‑infection have a worse tion and signal transduction are differentially expressed
prognosis than HIV negative patients156. The main chal‑ in these patient populations169. In addition, previous
lenge for surgeons is the selection of patients for VPS work has shown that longitudinal sampling of blood or
insertion or ETV157,158. One randomized controlled trial CSF during observational studies or randomized con‑
comparing VPS with ETV in 48 children with TBM and trolled trials is highly informative regarding the dynam‑
hydrocephalus suggested that the risk of early recur‑ ics of the disease, such as disease progression and drug
rence of hydrocephalus was higher with ETV, but ETV response31.
had fewer long-term complications than VPS159. Many Delayed diagnosis and treatment is associated with a
studies attest to the high complication rate of VPS160, poor prognosis in TBM. Thus, new tests that can be used
especially in individuals co‑infected with HIV 161. at the point of care are crucially needed, particularly for
However, whether EVT offers a meaningful advantage drug-resistant TBM, which has a dismal outcome. Next-
remains controversial. ETV in TBM hydrocephalus generation nucleic amplification tests might address this
can be technically very difficult, especially in the acute issue. High quality, well-designed head‑to‑head compar‑
stage of disease, owing to the presence of an inflamed, isons that are compliant with Consolidated Standards
thick and opaque third ventricle floor162,163. Others of Reporting Trials (CONSORT) and Standards for
have opined that ETV should be reserved for early-stage Reporting of Diagnostic Accuracy (STARD) are
TBM with aqueductal stenosis, whereas chronic required, as small-scale studies without validation are
burnt-out cases or cases with communicating hydro‑ insufficient to establish a new diagnostic test. The use
cephalus should be managed by ventriculoperitoneal of the absolute gold standard of microbiological confir‑
shunting164. mation is likely to lead to overestimates of diagnostic
sensitivity: further use of composite gold standards and
Prevention latent class analysis, as well as rational decision trees that
The role of BCG in reducing the incidence of dissemi‑ combine diagnostic information with clinical outcome
nated tuberculosis, including TBM, is widely accepted. data, should also form part of the evaluation. In addi‑
Childhood disease can also be prevented by giving tion, improved diagnosis has the potential to improve
isoniazid, or other preventive therapy regimes, to chil‑ national and international surveillance of numbers of
dren exposed to infectious adults. Improvements in cases and trends in incidence.
worldwide tuberculosis control through increased Few studies have rigorously evaluated antibiotic
and more-rapid detection of infection would improve treatment regimens in TBM. Culture positivity was
preven­tion. Antiretroviral therapy is the most effective associated with worse TBM outcome in a large cohort
pre­ventive strategy against tuberculosis in people with of HIV-negative patients and in patients with TBM-IRIS

14 | ADVANCE ONLINE PUBLICATION www.nature.com/nrneurol


©
2
0
1
7
M
a
c
m
i
l
l
a
n
P
u
b
l
i
s
h
e
r
s
L
i
m
i
t
e
d
,
p
a
r
t
o
f
S
p
r
i
n
g
e
r
N
a
t
u
r
e
.
A
l
l
r
i
g
h
t
s
r
e
s
e
r
v
e
d
.
REVIEWS

in South Africa40; consequently, more-rapid reduction Of 17 clinical trials registered on ClinicalTrials.gov


of bacillary load represents an intuitive approach. under the terms ‘tuberculosis’ or ‘tuberculous’ and
Disappointingly, however, the largest trial of an intensi‑ ‘meningitis’, only two (both of aspirin or corticos‑
fied treatment regimen showed no benefit10. This finding teroid adjunctive therapies) have clinical end points.
emphasizes the need for further detailed pharmaco­ This observation emphasizes the need for biomarkers
dynamic and pharmacokinetic studies in TBM trials of clinical response that might facilitate shorter trials.
so that site‑of‑action pharmacokinetics and exposure– TBM would also be a potential target for multi-arm
response relationships can be explored and regimens multistage clinical trial designs, given the frequently
can be built, with ineffective drugs and doses confi‑ poor outcome of the disease170. Multinational collabo‑
dently discarded. No high-quality studies on the treat‑ rating consortia might go some way towards increasing
ment of drug-resistant TBM are currently available, but advocacy for TBM and enabling high-quality studies
the urgent need for these studies can now be addressed to be undertaken. Further high-quality studies into
with the increasing application of molecular diagnostics optimal supportive treatment for TBM would also be
such as Gene Xpert MTB/RIF testing. desirable.

1. Ducomble, T. et al. The burden of extrapulmonary and 21. Pepper, D. J. et al. Neurologic manifestations of 37. Schoeman, J. F. et al. Adjunctive thalidomide therapy
meningitis tuberculosis: an investigation of national paradoxical tuberculosis-associated immune for childhood tuberculous meningitis: results of a
surveillance data, Germany, 2002 to 2009. Euro reconstitution inflammatory syndrome: a case series. randomized study. J. Child Neurol. 19, 250–257
Surveill. 18, 20436 (2013). Clin. Infect. Dis. 48, e96–e107 (2009). (2004).
2. Pan, Y. et al. Host and microbial predictors of 22. Burn, C. G. & Finley, K. H. The role of hypersensitivity 38. Yadav, A. et al. Correlation of CSF proinflammatory
childhood extrathoracic tuberculosis and tuberculosis in the production of experimental meningitis: I. cytokines with MRI in tuberculous meningitis.
meningitis. Pediatr. Infect. Dis. J. 34, 1289–1295 Experimental meningitis in tuberculous animals. Acad. Radiol. 17, 194–200 (2010).
(2015). J. Exp. Med. 56, 203–221 (1932). 39. Misra, U. K. et al. A study of cytokines in tuberculous
3. Trunz, B. B., Fine, P. & Dye, C. Effect of BCG 23. Peterson, P. K. et al. CD14 receptor-mediated uptake meningitis: clinical and MRI correlation. Neurosci.
vaccination on childhood tuberculous meningitis and of nonopsonized Mycobacterium tuberculosis by Lett. 483, 6–10 (2010).
miliary tuberculosis worldwide: a meta-analysis and human microglia. Infect. Immun. 63, 1598–1602 40. Marais, S. et al. Frequency, severity, and prediction of
assessment of cost-effectiveness. Lancet 367, (1995). tuberculous meningitis immune reconstitution
1173–1180 (2006). 24. Lee, H. M., Kang, J., Lee, S. J. & Jo, E. K. Microglial inflammatory syndrome. Clin. Infect. Dis. 56, 450–460
4. World Health Organization. Global Tuberculosis activation of the NLRP3 inflammasome by the priming (2013).
Report 21st edition (WHO, 2016). signals derived from macrophages infected with 41. Marais, S. et al. Neutrophil-associated central nervous
5. Gomes, T. et al. Epidemiology of extrapulmonary mycobacteria. Glia 61, 441–452 (2013). system inflammation in tuberculous meningitis
tuberculosis in Brazil: a hierarchical model. BMC 25. Ray, G., Aneja, S., Jain, M. & Batra, S. Evaluation of immune reconstitution inflammatory syndrome.
Infect. Dis. 14, 9 (2014). free radical status in CSF in childhood meningitis. Clin. Infect. Dis. 59, 1638–1647 (2014).
6. Chiang, S. S. et al. Treatment outcomes of childhood Ann. Trop. Paediatr. 20, 115–120 (2000). 42. Marais, S. et al. Inflammasome activation underlies
tuberculous meningitis: a systematic review and meta- 26. Mason, S. et al. A hypothetical astrocyte–microglia central nervous system deterioration in HIV-associated
analysis. Lancet Infect. Dis. 14, 947–957 (2014). lactate shuttle derived from a 1H NMR metabolomics tuberculosis. J. Infect. Dis. 215, 677–686 (2016).
7. Marais, S., Pepper, D. J., Schutz, C., Wilkinson, R. J. & analysis of cerebrospinal fluid from a cohort of South 43. Kalita, J., Prasad, S. & Misra, U. K. Predictors of
Meintjes, G. Presentation and outcome of tuberculous African children with tuberculous meningitis. paradoxical tuberculoma in tuberculous meningitis.
meningitis in a high HIV prevalence setting. PLoS ONE Metabolomics 11, 822–837 (2015). Int. J. Tuberc. Lung Dis. 18, 486–491 (2014).
6, e20077 (2011). 27. Thwaites, G. E. et al. Pathophysiology and prognosis in 44. Thwaites, G. E. et al. Serial MRI to determine the
8. Rana, F. S. et al. Autopsy study of HIV‑1‑positive and vietnamese adults with tuberculous meningitis. effect of dexamethasone on the cerebral pathology of
HIV‑1‑negative adult medical patients in Nairobi. J. Infect. Dis. 188, 1105–1115 (2003). tuberculous meningitis: an observational study.
Kenya. J. Acquir. Immune Def. Syndr. 24, 23–29 28. Misra, U. K., Kalita, J., Bhoi, S. K. & Singh, R. K. A Lancet Neurol. 6, 230–236 (2007).
(2000). study of hyponatremia in tuberculous meningitis. 45. Thomas, M. M. et al. Rapid diagnosis of
9. Thwaites, G. E. et al. The influence of HIV infection on J. Neurol. Sci. 367, 152–157 (2016). Mycobacterium tuberculosis meningitis by
clinical presentation, response to treatment, and 29. Dhanwal, D. K., Vyas, A., Sharma, A. & Saxena, A. enumeration of cerebrospinal fluid antigen-specific
outcome in adults with Tuberculous meningitis. Hypothalamic pituitary abnormalities in tubercular T‑cells. Int. J. Tuberc. Lung Dis. 12, 651–657 (2008).
J. Infect. Dis. 192, 2134–2141 (2005). meningitis at the time of diagnosis. Pituitary 13, 46. Caccamo, N. et al. Phenotypical and functional
10. Heemskerk, A. D. et al. Intensified antituberculosis 304–310 (2010). analysis of memory and effector human CD8 T cells
therapy in adults with tuberculous meningitis. 30. Rock, R. B. et al. Mycobacterium tuberculosis-induced specific for mycobacterial antigens. J. Immunol. 177,
N. Engl. J. Med. 374, 124–134 (2016). cytokine and chemokine expression by human 1780–1785 (2006).
11. Tho, D. Q. et al. Influence of antituberculosis drug microglia and astrocytes: effects of dexamethasone. 47. Dieli, F. et al. Predominance of Vγ9/Vδ2 T lymphocytes
resistance and Mycobacterium tuberculosis lineage J. Infect. Dis. 192, 2054–2058 (2005). in the cerebrospinal fluid of children with tuberculous
on outcome in HIV-associated tuberculous meningitis. 31. Simmons, C. P. et al. The clinical benefit of adjunctive meningitis: reversal after chemotherapy. Mol. Med. 5,
Antimicrob. Agents Chemother. 56, 3074–3079 (2012). dexamethasone in tuberculous meningitis is not 301–312 (1999).
12. Rich, A. R. The Pathogenesis of Tuberculosis associated with measurable attenuation of peripheral 48. Mansour, A. M. et al. Relationship between
(C. C. Thomas, 1946). or local immune responses. J. Immunol. 175, intracranial granulomas and cerebrospinal fluid levels
13. Donald, P. R. & Schoeman, J. F. Tuberculous 579–590 (2005). of gamma interferon and interleukin‑10 in patients
meningitis. N. Engl. J. Med. 351, 1719–1720 (2004). 32. Simmons, C. P. et al. Pretreatment intracerebral and with tuberculous meningitis. Clin. Diagn. Lab Immunol.
14. Tucker, E. W. et al. Microglia activation in a pediatric peripheral blood immune responses in vietnamese 12, 363–365 (2005).
rabbit model of tuberculous meningitis. Dis. Model. adults with tuberculous meningitis: diagnostic value 49. Yang, Q. et al. IP‑10 and MIG are compartmentalized
Mech. 9, 1497–1506 (2016). and relationship to disease severity and outcome. at the site of disease during pleural and meningeal
15. van Leeuwen, L. M. et al. Modeling tuberculous J. Immunol. 176, 2007–2014 (2006). tuberculosis and are decreased after antituberculosis
meningitis in zebrafish using Mycobacterium 33. Tsenova, L., Sokol, K., Freedman, V. H. & Kaplan, G. A treatment. Clin. Vaccine Immunol. 21, 1635–1644
marinum. Dis. Model. Mech. 7, 1111–1122 (2014). combination of thalidomide plus antibiotics protects (2014).
16. Donald, P. R., Schaaf, H. S. & Schoeman, J. F. rabbits from mycobacterial meningitis-associated 50. Green, J. A. et al. Dexamethasone, cerebrospinal fluid
Tuberculous meningitis and miliary tuberculosis: the death. J. Infect. Dis. 177, 1563–1572 (1998). matrix metalloproteinase concentrations and clinical
Rich focus revisited. J. Infect. 50, 193–195 (2005). 34. Tsenova, L., Bergtold, A., Freedman, V. H., outcomes in tuberculous meningitis. PLoS ONE 4,
17. Berenguer, J. et al. Tuberculous meningitis in patients Young, R. A. & Kaplan, G. Tumor necrosis factor α is a e7277 (2009).
infected with the human immunodeficiency virus. determinant of pathogenesis and disease progression 51. Green, J. A. et al. Mycobacterium tuberculosis-
N. Engl. J. Med. 326, 668–672 (1992). in mycobacterial infection in the central nervous infected human monocytes down-regulate microglial
18. Shafer, R. W., Goldberg, R., Sierra, M. & Glatt, A. E. system. Proc. Natl Acad. Sci. USA 96, 5657–5662 MMP‑2 secretion in CNS tuberculosis via TNFα, NFκB,
Frequency of Mycobacterium tuberculosis bacteremia (1999). p38 and caspase 8 dependent pathways.
in patients with tuberculosis in an area endemic for 35. Akalin, H., Akdis, A. C., Mistik, R., Helvaci, S. & J. Neuroinflamm. 8, 46 (2011).
AIDS. Am. Rev. Respir. Dis. 140, 1611–1613 (1989). Kilicturgay, K. Cerebrospinal fluid interleukin‑1ß/ 52. Visser, D. H. et al. Host immune response to
19. Marais, S., Pepper, D. J., Marais, B. J. & Torok, M. E. interleukin‑1 receptor antagonist balance and tumor tuberculous meningitis. Clin. Infect. Dis. 60, 177–187
HIV-associated tuberculous meningitis — diagnostic necrosis factor-α concentrations in tuberculous, viral (2015).
and therapeutic challenges. Tuberculosis 90, 367–374 and acute bacterial meningitis. Scand. J. Infect. Dis. 53. Matsuyama, W. et al. Expression of vascular
(2010). 26, 667–674 (1994). endothelial growth factor in tuberculous meningitis.
20. Thwaites, G. E. et al. Effect of antituberculosis drug 36. Donald, P. R. et al. Concentrations of interferon γ, J. Neurol. Sci. 186, 75–79 (2001).
resistance on response to treatment and outcome in tumor necrosis factor α, and interleukin‑1ß in the 54. Misra, U. K., Kalita, J., Singh, A. P. & Prasad, S.
adults with tuberculous meningitis. J. Infect. Dis. 192, cerebrospinal fluid of children treated for tuberculous Vascular endothelial growth factor in tuberculous
79–88 (2005). meningitis. Clin. Infect. Dis. 21, 924–929 (1995). meningitis. Int. J. Neurosci. 123, 128–132 (2013).

NATURE REVIEWS | NEUROLOGY ADVANCE ONLINE PUBLICATION | 15


©
2
0
1
7
M
a
c
m
i
l
l
a
n
P
u
b
l
i
s
h
e
r
s
L
i
m
i
t
e
d
,
p
a
r
t
o
f
S
p
r
i
n
g
e
r
N
a
t
u
r
e
.
A
l
l
r
i
g
h
t
s
r
e
s
e
r
v
e
d
.
REVIEWS

55. Ozden, M., Kalkan, A., Demirdag, K., Denk, A. & 79. Rohlwink, U. K. et al. Imaging features of the brain, meningitis. J. Stroke Cerebrovasc Dis. 18, 251–258
Kilic, S. S. Hepatocyte growth factor (HGF) in patients cerebral vessels and spine in pediatric tuberculous (2009).
with hepatitis B and meningitis. J. Infect. 49, 229–235 meningitis with associated hydrocephalus. Pediatr. 103. Dekker, G. et al. MRI findings in children with
(2004). Infect. Dis. J. 35, e301–e310 (2016). tuberculous meningitis: a comparison of HIV-infected
56. Comas, I. et al. Out‑of‑Africa migration and Neolithic 80. Thwaites, G. E., Chau, T. T. & Farrar, J. J. Improving the and non-infected patients. Childs Nerv. Syst. 27,
coexpansion of Mycobacterium tuberculosis with bacteriological diagnosis of tuberculous meningitis. 1943–1949 (2011).
modern humans. Nat. Genet. 45, 1176–1182 (2013). J. Clin. Microbiol. 42, 378–379 (2004). 104. Andronikou, S. et al. Value of early follow‑up CT in
57. Caws, M. et al. The influence of host and bacterial 81. Stewart, S. M. The bacteriological diagnosis of paediatric tuberculous meningitis. Pediatr. Radiol. 35,
genotype on the development of disseminated disease tuberculous meningitis. J. Clin. Pathol. 6, 241–242 1092–1099 (2005).
with Mycobacterium tuberculosis. PLoS Pathog. 4, (1953). 105. Gambhir, S. et al. Role of 18F‑FDG PET in demonstrating
e1000034 (2008). 82. Caws, M. et al. Evaluation of the MODS culture disease burden in patients with tuberculous
58. Faksri, K. et al. Epidemiological trends and clinical technique for the diagnosis of tuberculous meningitis. meningitis. J. Neurol. Sci. 370, 196–200 (2016).
comparisons of Mycobacterium tuberculosis lineages PLoS ONE 2, e1173 (2007). 106. Solomons, R. S. et al. Chest radiograph findings in
in Thai TB meningitis. Tuberculosis (Edinb.) 91, 83. Pai, M. et al. Diagnostic accuracy of nucleic acid children with tuberculous meningitis. Int. J. Tuberc.
594–600 (2011). amplification tests for tuberculous meningitis: a Lung Dis. 19, 200–204 (2015).
59. Nicol, M. P. et al. Distribution of strain families of systematic review and meta-analysis. Lancet Infect. 107. Thwaites, G. E. et al. Diagnosis of adult tuberculous
Mycobacterium tuberculosis causing pulmonary and Dis. 3, 633–643 (2003). meningitis by use of clinical and laboratory features.
extrapulmonary disease in hospitalized children in 84. Patel, V. B. et al. Diagnostic accuracy of quantitative Lancet 360, 1287–1292 (2002).
Cape Town, South Africa. J. Clin. Microbiol. 43, PCR (Xpert MTB/RIF) for tuberculous meningitis in a 108. Sunbul, M., Atilla, A., Esen, S., Eroglu, C. &
5779–5781 (2005). high burden setting: a prospective study. PLoS Med. Leblebicioglu, H. Thwaites’ diagnostic scoring and the
60. Wang, J. et al. DNA polymorphism of Mycobacterium 10, e1001536 (2013). prediction of tuberculous meningitis. Med. Princ.
tuberculosis PE_PGRS33 gene among clinical isolates 85. Bahr, N. C. et al. Improved diagnostic sensitivity for Pract. 14, 151–154 (2005).
of pediatric TB patients and its associations with tuberculous meningitis with Xpert((R)) MTB/RIF of 109. Torok, M. E. et al. Validation of a diagnostic algorithm
clinical presentation. Tuberculosis (Edinb.) 91, centrifuged CSF. Int. J. Tuberc. Lung Dis. 19, for adult tuberculous meningitis. Am. J. Trop. Med.
287–292 (2011). 1209–1215 (2015). Hyg. 77, 555–559 (2007).
61. Tobin, D. M. et al. Host genotype-specific therapies 86. Nhu, N. T. et al. Evaluation of GeneXpert MTB/RIF for 110. Vibha, D. et al. Validation of diagnostic algorithm to
can optimize the inflammatory response to diagnosis of tuberculous meningitis. J. Clin. Microbiol. differentiate between tuberculous meningitis and
mycobacterial infections. Cell 148, 434–446 (2012). 52, 226–233 (2014). acute bacterial meningitis. Clin. Neurol. Neurosurgery
62. Thuong, N. et al. Leukotriene A4 hydrolase genotype 87. Boyles, T. H. & Thwaites, G. E. Appropriate use of the 114, 639–644 (2012).
and HIV infection influence intracerebral inflammation Xpert(R) MTB/RIF assay in suspected tuberculous 111. Zhang, Y. L., Lin, S., Shao, L. Y., Zhang, W. H. &
and survival from tuberculous meningitis J. Infect. Dis. meningitis. Int. J. Tuberc. Lung Dis. 19, 276–277 Weng, X. H. Validation of Thwaites’ diagnostic scoring
215, 1020–1028 (2017). (2015). system for the differential diagnosis of tuberculous
63. van Laarhoven, A. et al. Clinical parameters, routine 88. Bahr, N. C. et al. GeneXpert MTB/Rif to diagnose meningitis and bacterial meningitis. Jpn. J. Infect. Dis.
inflammatory markers, and LTA4H genotype as tuberculous meningitis: perhaps the first test but not 67, 428–431 (2014).
predictors of mortality among 608 patients with the last. Clin. Infect. Dis. 62, 1133–1135 (2016). 112. Saavedra, J. S. et al. Validation of Thwaites Index for
tuberculous meningitis in Indonesia. J. Infect. Dis. 89. World Health Organization. Meeting Report of a diagnosing tuberculous meningitis in a Colombian
215, 1029–1039 (2017). Technical Expert Consultation: Non-inferiority Analysis population. J. Neurol. Sci. 370, 112–118 (2016).
64. Thwaites, G. E., van Toorn, R. & Schoeman, J. of Xpert MTB/RIF Ultra Compared to Xpert MTB/RIF 113. Checkley, A. M., Njalale, Y., Scarborough, M. &
Tuberculous meningitis: more questions, still too few (WHO, 2017). Zjilstra, E. E. Sensitivity and specificity of an index for
answers. Lancet Neurol. 12, 999–1010 (2013). 90. Cox, J. A. et al. Accuracy of lipoarabinomannan and the diagnosis of TB meningitis in patients in an urban
65. van Well, G. T. et al. Twenty years of pediatric Xpert MTB/RIF testing in cerebrospinal fluid to teaching hospital in Malawi. Trop. Med. Int. Health 13,
tuberculous meningitis: a retrospective cohort study in diagnose tuberculous meningitis in an autopsy cohort 1042–1046 (2008).
the western cape of South Africa. Pediatrics 123, of HIV-infected adults. J. Clin. Microbiol. 53, 114. Marais, S. et al. Tuberculous meningitis: a uniform
e1–e8 (2009). 2667–2673 (2015). case definition for use in clinical research. Lancet
66. Miftode, E. G. et al. Tuberculous meningitis in children 91. Patel, V. B. et al. Utility of a novel lipoarabinomannan Infect. Dis. 10, 803–812 (2010).
and adults: a 10‑year retrospective comparative assay for the diagnosis of tuberculous meningitis in a 115. Solomons, R. S., Visser, D. H., Marais, B. J.,
analysis. PLoS ONE 10, e0133477 (2015). resource-poor high-HIV prevalence setting. Schoeman, J. F. & van Furth, A. M. Diagnostic
67. Torok, M. E. et al. Clinical and microbiological features Cerebrospinal Fluid Res. 6, 13 (2009). accuracy of a uniform research case definition for TBM
of HIV-associated tuberculous meningitis in 92. Patel, V. B. et al. Comparison of a clinical prediction in children: a prospective study. Int. J. Tuberc. Lung
Vietnamese adults. PLoS ONE 3, e1772 (2008). rule and a LAM antigen-detection assay for the rapid Dis. 20, 903–908 (2016).
68. Streptomycin in Tuberculosis Trials Commitee, Medical diagnosis of TBM in a high HIV prevalence setting. 116. Donald, P. R. Cerebrospinal fluid concentrations of
Research Council. Streptomycin treatment of PLoS ONE 5, e15664 (2010). antituberculosis agents in adults and children.
tuberculous meningitis. Lancet 1, 582–596 (1948). 93. Yu, J., Wang, Z. J., Chen, L. H. & Li, H. H. Diagnostic Tuberculosis (Edinb.) 90, 279–292 (2010).
69. Dhawan, S. R. et al. Predictors of neurological accuracy of interferon-gamma release assays for 117. Donald, P. R. The chemotherapy of tuberculous
outcome of tuberculous meningitis in childhood: A tuberculous meningitis: a meta-analysis. Int. J. Tuberc. meningitis in children and adults. Tuberculosis (Edinb.)
prospective cohort study from a developing country. Lung Dis. 20, 494–499 (2016). 90, 375–392 (2010).
J. Child Neurol. 31, 1622–1627 (2016). 94. Tuon, F. F. et al. Adenosine deaminase and tuberculous 118. World Health Organization. Guidance for National
70. Brancusi, F., Farrar, J. & Heemskerk, D. Tuberculous meningitis — a systematic review with meta-analysis. Tuberculosis Programmes on the Management of
meningitis in adults: a review of a decade of Scand. J. Infect. Dis. 42, 198–207 (2010). Tuberculosis in Children (WHO, 2014).
developments focusing on prognostic factors for 95. Xu, H. B., Jiang, R. H., Li, L., Sha, W. & Xiao, H. P. 119. Thwaites, G. et al. British Infection Society guidelines
outcome. Future Microbiol. 7, 1101–1116 (2012). Diagnostic value of adenosine deaminase in for the diagnosis and treatment of tuberculosis of the
71. Vinnard, C. et al. The long-term mortality of cerebrospinal fluid for tuberculous meningitis: a meta- central nervous system in adults and children.
tuberculosis meningitis patients in new york city: a analysis. Int. J. Tuberc. Lung Dis. 14, 1382–1387 J. Infect. 59, 167–187 (2009).
cohort study. Clin. Infect. Dis. 64, 401–407 (2016). (2010). 120. van Toorn, R. et al. Short intensified treatment in
72. Thwaites, G. E. et al. Dexamethasone for the 96. Bullock, M. R. & Welchman, J. M. Diagnostic and children with drug-susceptible tuberculous meningitis.
treatment of tuberculous meningitis in adolescents prognostic features of tuberculous meningitis on CT Pediatr. Infect. Dis. J. 33, 248–252 (2014).
and adults. N. Engl. J. Med. 351, 1741–1751 scanning. J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry 45, 121. Savic, R. M. et al. Pediatric tuberculous meningitis:
(2004). 1098–1101 (1982). model-based approach to determining optimal doses
73. Garg, R. K., Malhotra, H. S. & Jain, A. Neuroimaging 97. Andronikou, S., Smith, B., Hatherhill, M., Douis, H. & of the anti-tuberculosis drugs rifampin and
in tuberculous meningitis. Neurol. India 64, 219–227 Wilmshurst, J. Definitive neuroradiological diagnostic levofloxacin for children. Clin. Pharmacol. Ther. 98,
(2016). features of tuberculous meningitis in children. Pediatr. 622–629 (2015).
74. van der Merwe, D. J., Andronikou, S., Van Toorn, R. & Radiol. 34, 876–885 (2004). 122. Ruslami, R. et al. Intensified regimen containing
Pienaar, M. Brainstem ischemic lesions on MRI in 98. Przybojewski, S., Andronikou, S. & Wilmshurst, J. rifampicin and moxifloxacin for tuberculous
children with tuberculous meningitis: with diffusion Objective CT criteria to determine the presence of meningitis: an open-label, randomised controlled
weighted confirmation. Childs Nerv. Syst. 25, abnormal basal enhancement in children with phase 2 trial. Lancet Infect. Dis. 13, 27–35 (2013).
949–954 (2009). suspected tuberculous meningitis. Pediatr. Radiol 36, 123. Boeree, M. J. et al. High-dose rifampicin, moxifloxacin,
75. Omar, N., Andronikou, S., van Toorn, R. & Pienaar, M. 687–696 (2006). and SQ109 for treating tuberculosis: a multi-arm,
Diffusion-weighted magnetic resonance imaging of 99. Botha, H. et al. Reliability and diagnostic performance multi-stage randomised controlled trial. Lancet Infect.
borderzone necrosis in paediatric tuberculous of CT imaging criteria in the diagnosis of tuberculous Dis. 17, 39–49 (2017).
meningitis. J. Med. Imag. Radiat. Oncol. 55, 563–570 meningitis. PLoS ONE 7, e38982 (2012). 124. Alffenaar, J. W. et al. Pharmacokinetics of moxifloxacin
(2011). 100. Pienaar, M., Andronikou, S. & van Toorn, R. MRI to in cerebrospinal fluid and plasma in patients with
76. Singh, B. et al. Computed tomography angiography in demonstrate diagnostic features and complications of tuberculous meningitis. Clin. Infect. Dis. 49,
patients with tuberculous meningitis. J. Infect. 64, TBM not seen with CT. Childs Nerv. Syst. 25, 1080–1082 (2009).
565–572 (2012). 941–947 (2009). 125. Thwaites, G. E. et al. Randomized pharmacokinetic
77. Lu, T. T. et al. Magnetic resonance angiography 101. Janse van Rensburg, P., Andronikou, S., van Toorn, R. and pharmacodynamic comparison of fluoroquinolones
manifestations and prognostic significance in HIV- & Pienaar, M. Magnetic resonance imaging of miliary for tuberculous meningitis. Antimicrob. Agents
negative tuberculosis meningitis. Int. J. Tuberc. Lung tuberculosis of the central nervous system in children Chemother. 55, 3244–3253 (2011).
Dis. 19, 1448–1454 (2015). with tuberculous meningitis. Pediatr. Radiol 38, 126. Seddon, J. A. et al. Impact of drug resistance on
78. Kalita, J., Prasad, S., Maurya, P. K., Kumar, S. & 1306–1313 (2008). clinical outcome in children with tuberculous
Misra, U. K. MR angiography in tuberculous 102. Kalita, J., Misra, U. K. & Nair, P. P. Predictors of stroke meningitis. Pediatr. Infect. Dis. J. 31, 711–716
meningitis. Acta Radiol. 53, 324–329 (2012). and its significance in the outcome of tuberculous (2012).

16 | ADVANCE ONLINE PUBLICATION www.nature.com/nrneurol


©
2
0
1
7
M
a
c
m
i
l
l
a
n
P
u
b
l
i
s
h
e
r
s
L
i
m
i
t
e
d
,
p
a
r
t
o
f
S
p
r
i
n
g
e
r
N
a
t
u
r
e
.
A
l
l
r
i
g
h
t
s
r
e
s
e
r
v
e
d
.
REVIEWS

127. Shane, S. J., Clowater, R. A. & Riley, C. The treatment strong is the evidence? Scand. J. Infect. Dis. 33, 175. Thuong, N. T. et al. A polymorphism in human TLR2 is
of tuberculous meningitis with cortisone and 13–26 (2001). associated with increased susceptibility to tuberculous
streptomycin. Can. Med. Assoc. J. 67, 13–15 (1952). 151. Schoeman, J., Donald, P., van Zyl, L., Keet, M. & meningitis. Genes Immun. 8, 422–428 (2007).
128. Prasad, K., Singh, M. B. & Ryan, H. Corticosteroids for Wait, J. Tuberculous hydrocephalus: comparison of 176. Graustein, A. D. et al. TLR9 gene region
managing tuberculous meningitis. Cochrane Database different treatments with regard to ICP, ventricular size polymorphisms and susceptibility to tuberculosis in
Syst. Rev. 4, CD002244 (2016). and clinical outcome. Dev. Med. Child Neurol. 33, Vietnam. Tuberculosis (Edinb.) 95, 190–196 (2015).
129. Singh, A. K. et al. Paradoxical reaction in tuberculous 396–405 (1991). 177. Dissanayeke, S. R. et al. Polymorphic variation in
meningitis: presentation, predictors and impact on 152. Visudhiphan, P. & Chiemchanya, S. Hydrocephalus in TIRAP is not associated with susceptibility to
prognosis. BMC Infect. Dis. 16, 306 (2016). tuberculous meningitis in children: treatment with childhood TB but may determine susceptibility to TBM
130. Garg, R. K., Malhotra, H. S. & Kumar, N. Paradoxical acetazolamide and repeated lumbar puncture. in some ethnic groups. PLoS ONE 4, e6698 (2009).
reaction in HIV negative tuberculous meningitis. J. Pediatr. 95, 657–660 (1979). 178. Hawn, T. R. et al. A polymorphism in toll-interleukin 1
J. Neurol. Sci. 340, 26–36 (2014). 153. Figaji, A. A., Fieggen, A. G. & Peter, J. C. Endoscopic receptor domain containing adaptor protein is
131. Schoeman, J. F., Andronikou, S., Stefan, D. C., third ventriculostomy in tuberculous meningitis. Childs associated with susceptibility to meningeal
Freeman, N. & van Toorn, R. Tuberculous meningitis- Nerv. Syst. 19, 217–225 (2003). tuberculosis. J. Infect. Dis. 194, 1127–1134 (2006).
related optic neuritis: recovery of vision with 154. Bruwer, G. E., Van der Westhuizen, S., Lombard, C. J. 179. Horne, D. J. et al. Common polymorphisms in the
thalidomide in 4 consecutive cases. J. Child Neurol. & Schoeman, J. F. Can CT predict the level of CSF PKP3–SIGIRR–TMEM16J gene region are associated
25, 822–828 (2010). block in tuberculous hydrocephalus? Childs Nerv. Syst. with susceptibility to tuberculosis. J. Infect. Dis. 205,
132. Schoeman, J. F., Fieggen, G., Seller, N., Mendelson, M. 20, 183–187 (2004). 586–594 (2012).
& Hartzenberg, B. Intractable intracranial tuberculous 155. Figaji, A. A., Fieggen, A. G. & Peter, J. C. Re: 180. Feng, W. X. et al. Tag SNP polymorphism of CCL2 and
infection responsive to thalidomide: report of four Endoscopic third ventriculostomy for chronic its role in clinical tuberculosis in Han Chinese pediatric
cases. J. Child Neurol. 21, 301–308 (2006). hydrocephalus after tuberculous meningitis population. PLoS ONE 6, e14652 (2011).
133. Molton, J. S., Huggan, P. J. & Archuleta, S. Infliximab [Jonathan A, Rajshekhar, V Surg Neurol 63 (2005) 181. Kumar, R., Singh, S. N. & Kohli, N. A diagnostic rule
therapy in two cases of severe neurotuberculosis 32–35]. Surg. Neurol. 64, 95 (2005). for tuberculous meningitis. Arch. Dis. Child. 81,
paradoxical reaction. Med. J. Aust. 202, 156–157 156. Rizvi, I. et al. Ventriculo-peritoneal shunt surgery for 221–224 (1999).
(2015). tuberculous meningitis: a systematic review. J. Neurol. 182. Youssef, F. G. et al. Differentiation of tuberculous
134. Lee, J. Y., Yim, J. J. & Yoon, B. W. Adjuvant interferon-γ Sci. 375, 255–263 (2017). meningitis from acute bacterial meningitis using
treatment in two cases of refractory tuberculosis of the 157. Sil, K. & Chatterjee, S. Shunting in tuberculous simple clinical and laboratory parameters. Diagn.
brain. Clin. Neurol. Neurosurgery 114, 732–734 meningitis: a neurosurgeon’s nightmare. Childs Nerv. Microbiol. Infect. Dis. 55, 275–278 (2006).
(2012). Syst. 24, 1029–1032 (2008). 183. Cohen, D. B. et al. Diagnosis of cryptococcal and
135. Misra, U. K., Kalita, J. & Nair, P. P. Role of aspirin in 158. Figaji, A. A. & Fieggen, A. G. Endoscopic challenges tuberculous meningitis in a resource-limited African
tuberculous meningitis: a randomized open label and applications in tuberculous meningitis. World setting. Trop. Med. Int. Health 15, 910–917 (2010).
placebo controlled trial. J. Neurol. Sci. 293, 12–17 Neurosurg. 79, S24e29–S24e14 (2013). 184. Hristea, A. et al. Clinical prediction rule for
(2010). 159. Goyal, P. et al. A randomized study of differentiating tuberculous from viral meningitis.
136. Schoeman, J. F., Janse van Rensburg, A., ventriculoperitoneal shunt versus endoscopic third Int. J. Tuberc. Lung Dis. 16, 793–798 (2012).
Laubscher, J. A. & Springer, P. The role of aspirin in ventriculostomy for the management of tubercular 185. Dendane, T. et al. A simple diagnostic aid for
childhood tuberculous meningitis. J. Child Neurol. 26, meningitis with hydrocephalus. Childs Nerv. Syst. 30, tuberculous meningitis in adults in Morocco by use of
956–962 (2011). 851–857 (2014). clinical and laboratory features. Int. J. Infect. Dis. 17,
137. Havlir, D. V. et al. Timing of antiretroviral therapy for 160. Lamprecht, D., Schoeman, J., Donald, P. & e461–e465 (2013).
HIV‑1 infection and tuberculosis. N. Engl. J. Med. 365, Hartzenberg, H. Ventriculoperitoneal shunting in 186. Zhang, B., Lv, K., Bao, J., Lu, C. & Lu, Z. Clinical and
1482–1491 (2011). childhood tuberculous meningitis. Br. J. Neurosurg. laboratory factors in the differential diagnosis of
138. Blanc, F. X. et al. Earlier versus later start of 15, 119–125 (2001). tuberculous and cryptococcal meningitis in adult HIV-
antiretroviral therapy in HIV-infected adults with 161. Sharma, R. M. et al. Tubercular meningitis with negative patients. Intern. Med. 52, 1573–1578
tuberculosis. N. Engl. J. Med. 365, 1471–1481 hydrocephalus with HIV co‑infection: role of (2013).
(2011). cerebrospinal fluid diversion procedures. J. Neurosurg. 187. Qamar, F. N., Rahman, A. J., Iqbal, S. & Humayun, K.
139. Torok, M. E. et al. Timing of initiation of antiretroviral 122, 1087–1095 (2015). Comparison of clinical and CSF profiles in children
therapy in human immunodeficiency virus (HIV) — 162. Yadav, Y. R. et al. Role of endoscopic third with tuberculous and pyogenic meningitis; role of CSF
associated tuberculous meningitis. Clin. Infect. Dis. ventriculostomy in tuberculous meningitis with protein: glucose ratio as diagnostic marker of
52, 1374–1383 (2011). hydrocephalus. Asian J. Neurosurgery 11, 325–329 tuberculous meningitis. J. Pak. Med. Assoc. 63,
140. Figaji, A. A. & Fieggen, A. G. The neurosurgical and (2016). 206–210 (2013).
acute care management of tuberculous meningitis: 163. Rajshekhar, V. Surgery for brain tuberculosis: a review.
evidence and current practice. Tuberculosis (Edinb.) Acta Neurochir. (Wien) 157, 1665–1678 (2015). Acknowledgements
90, 393–400 (2010). 164. Kumar, A., Singh, K. & Sharma, V. Surgery in Tuberculous Meningitis International Research Consortium
141. Murthy, J. M. Management of intracranial pressure in hydrocephalus of tubercular origin: challenges and members include: Rob Aarnoutse, Reinout Van Crevel,
tuberculous meningitis. Neurocrit. Care 2, 306–312 management. Acta Neurochir. (Wien) 155, 869–873 Aarjan van Laarhoven, Sofiati Dian (Radboud University
(2005). (2013). Nijmegen Medical Center, Nijmegen, The Netherlands);
142. Tai, M. S. & Sharma, V. K. Role of transcranial doppler 165. Lawn, S. D. & Wilkinson, R. J. ART and prevention of Nathan C. Bahr (University of Kansas Medical Center,
in the evaluation of vasculopathy in tuberculous HIV-associated tuberculosis. Lancet HIV 2, e221–e222 Kansas City, USA); David R. Boulware (University of
meningitis. PLoS ONE 11, e0164266 (2016). (2015). Minnesota, Minneapolis, USA); Maxine Caws (Liverpool
143. Kilic, T., Elmaci, I., Ozek, M. M. & Pamir, M. N. Utility 166. Marais, B. J. et al. Standardized methods for School of Tropical Medicine, Liverpool, UK); Mark R. Cronan,
of transcranial Doppler ultrasonography in the enhanced quality and comparability of tuberculous David Tobin (Duke University School of Medicine, Durham,
diagnosis and follow‑up of tuberculous meningitis- meningitis studies. Clin. Infect. Dis. 64, 501–509 USA); Kelly Dooley (Johns Hopkins University School of
related vasculopathy. Childs Nerv. Syst. 18, 142–146 (2017). Medicine, Baltimore, USA); Sarah Dunstan (University of
(2002). 167. Esmail, H. et al. Characterization of progressive HIV- Melbourne, Melbourne, Australia); Guo-dong Feng, Xiaodan
144. van Toorn, R., Schaaf, H. S., Solomons, R., associated tuberculosis using 2‑deoxy‑2-[18F]fluoro- Shi, Ting Wang (Fourth Military Medical University, Xi’an,
Laubscher, J. A. & Schoeman, J. F. The value of D‑glucose positron emission and computed People’s Republic of China); Anthony Figaji, Suzaan Marais,
transcranial Doppler imaging in children with tomography. Nat. Med. 22, 1090–1093 (2016). Helen McIlleron, Graeme Meintjes, Ursula Rohlwink
tuberculous meningitis. Childs Nerv. Syst. 30, 168. Berry, M. P. et al. An interferon-inducible neutrophil- (University of Cape Town, Cape Town, South Africa); Ahmad
1711–1716 (2014). driven blood transcriptional signature in human Rizal, Rovina Ruslami (Padjadjaran University, Bandung,
145. Figaji, A. A. et al. Continuous monitoring and tuberculosis. Nature 466, 973–977 (2010). Indonesia); Ravindra K. Garg (King George Medical
intervention for cerebral ischemia in tuberculous 169. Kumar, G. S. et al. Gene expression profiling of University, Lucknow, India); Mudit Gupta, Rakesh K. Gupta
meningitis. Pediatr. Crit. Care Med. 9, e25–e30 tuberculous meningitis co‑infected with HIV. (Fortis Memorial Research Institute, Gurgaon, India); Sneha
(2008). J. Proteom. Bioinform. 5, 235–244 (2012). Gupta, Rada Savic (University of California, San Francisco,
146. Oddo, M. et al. Effect of mannitol and hypertonic 170. Bratton, D. J., Phillips, P. P. & Parmar, M. K. A USA); Anna D. Heemskerk, Thuong Thuy Thuong Nguyễn,
saline on cerebral oxygenation in patients with severe multi-arm multi-stage clinical trial design for binary Mai Thi Hoàng Nguyễn, Vijay Srinivasan, Guy Thwaites,
traumatic brain injury and refractory intracranial outcomes with application to tuberculosis. BMC Med. Trâm Thi Bích Trân, Thinh Thi Vân Trân, Anh Thi Ngoc Trân,
hypertension. J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry 80, Res. Methodol. 13, 139 (2013). Trang Hồng Yêng Võ, Marcel Wolbers (Oxford University
916–920 (2009). 171. Campo, M. et al. Common polymorphisms in the Clinical Research Unit, Ho Chi Minh City, Vietnam); Jayantee
147. Francony, G. et al. Equimolar doses of mannitol and CD43 gene region are associated with tuberculosis Kalita, Usha K. Misra (Sanjay Gandhi Postgraduate Institute
hypertonic saline in the treatment of increased disease and mortality. Am. J. Respir. Cell. Mol. Biol. of Medical Sciences, Lucknow, India); Rachel Lai (The Francis
intracranial pressure. Crit. Care Med. 36, 795–800 52, 342–348 (2015). Crick Institute, London, UK); Ben J. Marais, Mai Quỳnh Trinh
(2008). 172. Hoal-Van Helden, E. G. et al. Mannose-binding protein (University of Sydney, Sydney, Australia); Bằng Đức Nguyễn,
148. Narotam, P. K. et al. Hyponatremic natriuretic B allele confers protection against tuberculous Yến Bích Nguyễn (Pham Ngoc Thach Hospital for
syndrome in tuberculous meningitis: the probable role meningitis. Pediatr. Res. 45, 459–464 (1999). Tuberculosis & Lung Diseases, Ho Chi Minh City, Vietnam);
of atrial natriuretic peptide. Neurosurgery 34, 173. Rizvi, I. et al. Vitamin D status, vitamin D receptor and Vinod Patel (University of KwaZulu-Natal, Durban, South
982–988 (1994). toll like receptor‑2 polymorphisms in tuberculous Africa); Thomas Pouplin (Mahidol-Oxford Tropical Medicine
149. Sterns, R. H. & Silver, S. M. Cerebral salt wasting meningitis: a case-control study. Infection 44, 633–640 Research Unit, Bangkok, Thailand); Lalita Ramakrishnan
versus SIADH: what difference? J. Am. Soc. Nephrol. (2016). (University of Cambridge, Cambridge, UK); Johan F.
19, 194–196 (2008). 174. Zhao, Y. et al. Genetic polymorphisms of CCL1 Schoeman, Regan Solomons, Ronald Van Toorn (University
150. Moller, K., Larsen, F. S., Bie, P. & Skinhoj, P. The rs2072069 G/A and TLR2 rs3804099 T/C in of Stellenbosch, Cape Town, South Africa); James Seddon
syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic pulmonary or meningeal tuberculosis patients. Int. (Imperial College, London, UK); Javeed Shah (University of
hormone and fluid restriction in meningitis—how J. Clin. Exp. Pathol. 8, 12608–12620 (2015). Washington, Washington, USA); Jaya S. Tyagi (All India

NATURE REVIEWS | NEUROLOGY ADVANCE ONLINE PUBLICATION | 17


©
2
0
1
7
M
a
c
m
i
l
l
a
n
P
u
b
l
i
s
h
e
r
s
L
i
m
i
t
e
d
,
p
a
r
t
o
f
S
p
r
i
n
g
e
r
N
a
t
u
r
e
.
A
l
l
r
i
g
h
t
s
r
e
s
e
r
v
e
d
.
REVIEWS

Institute of Medical Sciences, New Delhi, India); Douwe H. Foundation Of South Africa (96841). G.T. is supported by R.J.W., U.R., U.K.M., R.v.C., wrote the article, and all authors
Visser (VU University Medical Center, Amsterdam, The the Wellcome Trust through a Major Overseas Programme contributed to the review and editing of the manuscript
Netherlands); Robert J. Wilkinson (Imperial College and grant (106680/Z/14/Z) and an Investigator Award before submission.
The Francis Crick Institute, London, UK and University of (110179/Z/15/Z).
Cape Town, South Africa). R.J.W. is supported by the Francis Competing interests statement
Crick Institute, which receives its core funding from Cancer Author contributions The authors declare no competing interests.
Research UK (FC00110218), the UK Medical Research R.J.W, U.R., U.K.M., R.v.C., N.T.H.M., K.E.D., M.C., A.F., and
C o u n c i l ( F C 0 0110 21 8 ) , a n d t h e We l l c o m e Tr u s t G.T. researched data for the article, R.J.W, U.R., U.K.M., Publisher’s note
(FC00110218). He also receives support from the Wellcome R.v.C., K.E.D., M.C., A.F., R. Savic, R. Solomons, and G.T Springer Nature remains neutral with regard to jurisdictional
Trust (104803, 203135) and the National Research made a substantial contribution to discussion of content, claims in published maps and institutional affiliations.

18 | ADVANCE ONLINE PUBLICATION www.nature.com/nrneurol


©
2
0
1
7
M
a
c
m
i
l
l
a
n
P
u
b
l
i
s
h
e
r
s
L
i
m
i
t
e
d
,
p
a
r
t
o
f
S
p
r
i
n
g
e
r
N
a
t
u
r
e
.
A
l
l
r
i
g
h
t
s
r
e
s
e
r
v
e
d
.
DEMENSIA TERKAIT INFEKSI

INFECTION-ASSOCIATED DEMENTIA

Herpan Syafii Harahap*, Sri Budhi Rianawati**

*Peserta PPDS Ilmu Penyakit Saraf FKUB/RSSA, Malang


**Staf Pengajar Ilmu Penyakit Saraf FKUB/RSSA, Malang

ABSTRAK
Infeksi SSP dapat menyebabkan terjadinya penurunan fungsi kognitif dengan spektrum yang luas, mulai dari
gangguan kognitif ringan (mild cognitive impairment) hingga gangguan kognitif yang berat berupa demensia terkait
infeksi (infection-associated dementia). Demensia terkait infeksi adalah demensia yang berkembang bersama-sama
atau setelah terjadinya infeksi SSP, dengan berbagai macam etiologi agen penyebab infeksi. Epidemiologi demensia
terkait infeksi secara umum masih belum terdokumentasikan dengan baik. Literatur yang ada saat ini yang
membahas tentang demensia terkait infeksi juga sangat sedikit, sehingga informasi mengenai epidemiologi, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinik, penegakan diagnosis, terapi, dan prognosis demensia terkait infeksi masih sangat
kurang. Patofisiologi terjadinya demensia terkait infeksi masih jelas. Peran infeksi SSP terhadap proses
neurodegenerasi yang mendasari terjadinya demensia terkait infeksi dari berbagai literatur yang ada bersifat
asosiatif. Salah satu teori menyebutkan bahwa demensia terkait infeksi diduga terjadi akibat serangkaian proses
yang meliputi proses inflamasi, eksitotoksisitas glutamat, dan akumulasi radikal bebas yang selanjutnya
menyebabkan terjadinya proses neurodegenerasi. Berbagai hasil observasi menunjukkan bahwa demensia terkait
infeksi cenderung berkembang sebagai respon neuronal sekunder terhadap aktivasi sel-sel kekebalan di otak yang
diaktivasi oleh agen infeksi. Pemeriksaan dengan tes neuropsikologis skrining dan formal merupakan modalitas yang
paling penting untuk menegakkan diagnosis demensia terkait infeksi. Ketersediaan teknik pemeriksaan radiologi
fungsional juga sangat membantu dalam melihat fungsi jaringan otak dan memvisualisasikan aktivitas otak secara in
vivo. Modalitas terapi untuk demensia terkait infeksi saat ini masih sama dengan demensia oleh penyebab yang lain,
meliputi terapi non-farmakologik dan farmakologik dengan bukti klinis yang bervariasi.
Kata kunci: demensia terkait infeksi, inflamasi, neurodegenerasi, tes neuropsikologis.

ABSTRACT
Central nervous system infection may decrease cognitive function in broad spectrum, ranged from mild cognitive
impairment to infection-associated dementia. Infection-associated is a dementia which is develope concomitantly or
lately after central nervous system infection by any microorganism. The epidemiology of infection-associated
dementia are still not well-documented. There were lack of literatures which reviewed this topic. Therefore, the
informations about epidemiology, etiology, pathophysiology, clinical manifestations, diagnosis, therapy, and
prognosis of infection-associated dementia were still minimal. The pathophysiology of infection-associated dementia
is still unclear. The roles of central nervous system infection in neurodegeneration, the underlying process of
infection-associated dementia, gathered from literatures were still assocoative. One theory suggested that infection-
associated dementia occured after inflammatory process, glutamate excitotoxicity, and high burden of free radicals.
These process then subsequently raised devastating effect called neurodegeneration. Some study showed that
infection-associated dementia were likely developing as the secondary neuronal response to the activation of
immune cell in the brain activated by infectious agent. Screening and formal neuropsyichological testing are the most
important examination modalities for the diagnosis of infection-associated dementia. The availability of functional
radiological examination techniques are usefull for identifying of brain function and visualizing the brain activities in
vivo. The recent modality of treatments for infection-associated dementia are insignificantly different with the
modality treatments for other dementia. These treatment are consists of pharmacological and non-pharmacological
treatments.
Keywords: infection-associated dementia, inflammaatory process, neurodegeneration, neuropsychological tests

Korespondensi : herpanharahap@yahoo.co.id

.
16 | Demensia Terkait Infeksi
PENDAHULUAN infeksi SSP, inflamasi yang berlebihan berlebih akibat
mikroglia yang teraktivasi dapat terus berlanjut
Demensia terkait infeksi (infection-associated dementia) 5
meskipun agen infeksi telah dieradikasi.
adalah demensia yang berkembang bersama-sama atau
setelah terjadinya infeksi SSP, dengan berbagai macam Agen infeksi, baik bakteri, virus, protozoa, spirochaeta,
etiologi agen penyebab infeksi. Epidemiologi demensia maupun fungi, dapat secara tunggal atau bersama-sama
terkait infeksi yang terdokumentasikan dengan baik menyebabkan infeksi otak sebelum berkembangnya
4
saat ini adalah demensia terkait HIV-1 (HIV-1 associated demensia.
dementia/HAD). Prevalensi HAD di Asia Pasifik sebesar
Epidemiologi
12%, di Afrika Selatan dan Uganda masing-masing
sebesar 25,4% dan 31%, dan di negara maju sebesar Prevalensi demensia terkait infeksi saat ini belum
1,2,3
10%. Demensia terkait infeksi dengan agen infeksi terdokumentasikan dengan baik, kecuali untuk HAD,
selain HIV-1 saat ini masih belum didokumentasikan sehingga demensia terkait infeksi umumnya ditemukan
dengan baik, sehingga umumnya ditemukan secara secara sporadis. Secara umum prevalensi demensia
4
sporadis. terkait infeksi berkorelasi dengan prevalensi infeksi SSP.
Pasca ditemukannya antimikroba, secara umum
Patofisiologi terjadinya demensia terkait infeksi masih
kejadian infeksi SSP menurun secara signifikan,
jelas. Peran infeksi SSP terhadap proses
sehingga kejadian demensia terkait infeksi cenderung
neurodegenerasi yang mendasari terjadinya demensia 4
menurun dan ditemukan secara sporadis.
terkait infeksi dari berbagai literatur yang ada bersifat
asosiatif. Berbagai agen infeksi menyebabkan infeksi HIV-1 associated dementia (HAD), seperti disebutkan
pada SSP dengan memanfaatkan faktor virulensi yang sebelumnya telah didokumentasikan dengan cukup
4
dimilikinya. Dengan faktor virulensi tersebut, agen baik. Epidemi infeksi HIV/AIDS saat ini menjadi masalah
infeksi mampu menginduksi respon inflamasi di otak kesehatan dan sosial yang utama. Lebih dari 95% kasus
9
dengan akibat terjadinya proses neurodegenerasi, suatu AIDS ditemukan di negara berkembang. Data WHO
5
proses yang mengakibatkan terjadinya demensia. menunjukkan setiap tahun jumlah individu terinfeksi
HIV-1 terus meningkat. Tahun 2010, jumlah individu
Penegakan diagnosis demensia terkait infeksi cukup 10
terinfeksi HIV-1 sebanyak 34 juta jiwa. Laporan
sulit karena banyak kondisi medis yang menjadi
mengenai prevalensi HAD untuk tiap-tiap wilayah
diagnosis banding demensia terkait infeksi, diantaranya
bervariasi. Studi di Asia Pasifik menunjukkan bahwa
adalah depresi, penyalahgunaan obat, serta bentuk lain
prevalensi HAD sebesar 12%, di Afrika Selatan sebesar
dari demensia seperti penyakit Alzheimer dan demensia
6 25,4%, di Uganda sebesar 31%, dan di negara maju
vaskuler. Penegakan diagnosis demensia terkait infeksi 1,2,3
diperkirakan sebesar 10%. Rendahnya prevalensi
merujuk pada Diagnostic and Statistical Manual of
HAD di negara maju tersebut berkaitan dengan
Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-
meningkatnya penggunaan antiretroviral treatment
IV-TR). Dalam DSM-IV-TR, demensia terkait infeksi
(ART), namun penurunan angka kejadian HAD tersebut
masuk dalam kriteria diagnosis demensia akibat kondisi
7 digantikan oleh meningkatnya angka kejadian gangguan
medis lain. Pemeriksaan penunjang yang bisa 11
kognitif yang lebih ringan terkait dengan infeksi HIV-1.
digunakan yaitu tes neuropsikologis, pemeriksaan
8 Pada penderita infeksi HIV-1 tahap lanjut, gangguan
laboratorium, dan pemeriksaan radiologis. Terapi
kognitif akibat infeksi virus tersebut diperkirakan
untuk demensia terkait infeksi secara umum sama
sebesar 20% kasus. Saat ini masih diperlukan data
dengan terapi untuk terapi demensia pada umumnya,
9 epidemiologik yang lebih baik, terutama untuk negara
meliputi terapi non-farmakologik dan farmakologik. 9
berkembang karena laporan yang ada masih bervariasi.
Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk membahas
Etiologi
aspek klinik demensia terkait infeksi, meliputi definisi,
epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, Etiologi demensia terkait infeksi adalah semua agen
penegakan diagnosis, terapi, dan prognosis demensia penyebab infeksi pada SSP, yaitu dapat berupa bakteri,
terkait infeksi. virus, protozoa, spirochaeta, maupun fungi, yang dapat
secara tunggal atau bersama-sama menyebabkan
PEMBAHASAN terjadinya infeksi otak sebelum berkembangnya
4
demensia. Mycobacterium tuberculosa merupakan
Definisi
penyebab penting meningoensefalitis atau
Infeksi sistem saraf pusat (SSP) dapat menimbulkan tuberkuloma, terutama pada pasien dengan kondisi
9
komplikasi berupa penurunan fungsi kognitif dengan imunosupresi, misalnya pasien dengan infeksi HIV-1.
spektrum yang luas, mulai dari gangguan kognitif ringan Enterovirus, arbovirus, herpes virus, prion protein
Sc
(mild cognitive impairment/MCI) hingga gangguan bentuk patogenik (PrP ) penyebab penyakit sporadic
kognitif yang berat berupa demensia terkait infeksi Cruetzfeldt-Jacob disease (sCJD), dan HIV-1 adalah
(infection-associated dementia). Demensia terkait beberapa kelompok virus yang sering menyebabkan
infeksi dapat berkembang bersama-sama atau setelah ensefalitis. Enterovirus merupakan penyebab utama
terjadinya infeksi SSP oleh berbagai agen infeksi. Pasca meningitis viral. Enterovirus penyebab ensefalitis viral

Jurnal MNJ , Vol.01, No.01,Januari 2015


Demensia Terkait Infeksi | 17
diantaranya adalah coxsackievirus, echovirus, poliovirus, terjadinya migrasi sel-sel keradangan ke jaringan otak,
dan human enterovirus 68 hingga 70. Virus dari dan peningkatan produksi sitokin proinflamasi di otak.
golongan herpes yang sering menyebabkan Kondisi tersebut akan mengaktivasi mikroglia dan
meningoensefalitis viral adalah herpes simplex virus astrosit di jaringan otak sehingga terjadi produksi
type 2 (HSV-2), Epstein-Barr virus, dan varicella-zoster radikal bebas dan semakin meningkatnya produksi
9
virus (VZV). Saat ini mulai banyak diteliti mengenai sitokin proinflamasi. Hasil akhir dari semua proses
keterkaitan infeksi virus herpes simpleks dengan diatas adalah berlangsungnya proses neurodegenerasi,
12 5
kejadian penyakit Alzheimer. Prion protein bentuk suatu proses yang mengarah pada kondisi demensia.
Sc
patogen (PrP ) merupakan penyebab terjadinya 6
Tabel 1. Perbedaan demensia kortikal dan subkortikal
Cruetzfeldt-Jacob disease (CJD) yang ditandai dengan
13 No Demensia
demensia progresif.
. Karakteristik Subkortikal Kortikal
Plasmodium falciparum dan Toxoplasma gondii
1. Bahasa Afasia (-) Afasia (+)
merupakan protozoa penyebab penting kerusakan
2. Memori Gangguan daya ingat Daya ingat
jaringan otak. Plasmodium falciparum dapat (recall/retrieval) > dan
14
menimbulkan komplikasi berupa malaria serebral. pengenalan pengenalan
Toxoplasma gondii merupakan penyebab penting (recognition/encoding) terganggu
infeksi oportunistik di otak, terutama pada pasien 3. Atensi Terganggu Terganggu
15,16,17
terinfeksi HIV-1. Treponema pallidum dan Borrelia 4. Ketrampilan Terganggu Terganggu
burgdoferi merupakan spirochaeta yang bersifat visuospasial
neurotropik dan dapat menyebabkan terjadinya 5. Kalkulasi Normal Terganggu
18
demensia, atrofi korteks, dan deposisi amiloid. 6. Fungsi Derajat gangguan tidak Derajat
Cryptococcus neoformans merupakan fungi penyebab eksekutif konsisten dengan gangguan
meningitis fungal yang paling sering dan penting pada gangguan fungsi yang konsisten
9 lain dengan
populasi pengidap HIV-1.
gangguan
Patofisiologi fungsi yang
lain
Berbagai agen infeksi, baik bakteri, virus, protozoa, 7. Kecepatan Lambat Normal
spirochaeta, maupun fungi pada kondisi tertentu pemrosesan
mampu menginfeksi otak melalui berbagai mekanisme kognitif (speed
spesifik dengan memanfaatkan berbagai faktor of cognitive
virulensi. Agen infeksi dari golongan bakteri processing)
mengandung lipopolysaccharide (LPS), teichoic acid, 8. Bicara (speech) Disartria Normal
peptidoglycan, dan toksin bakteri yang mampu 9. Postur Membungkuk Tegak
menginduksi pelepasan mediator proinflamasi, ekspresi 10. Koordinasi Terganggu Normal
11. Kecepatan dan Lambat Normal
faktor kemotaktik, dan ekspresi molekul adhesi.
kontrol motorik
Mycobacterium tuberkulosa mampu bertahan hidup
12. Gerakan Korea, tremor, tics, Tidak ada
didalam makrofag/monosit, sehingga dapat menyebar abnormal distonia
9
secara hematogen ke ekstrapulmoner, termasuk SSP.
Virus HIV-1 mampu menginfeksi makrofag, mikroglia, 13. Abstraksi Terganggu Terganggu
dan astrosit, dan mampu menghasilkan protein toksik
5
seperti gp120 dan Tat. Prion protein bentuk patogenik Bakteri mampu mencapai otak melalui
Sc
(PrP ) memiliki gugus glycosylphosphatidylinositol (GPI) beberapa cara, antara lain melalui penyebaran langsung
yang memfasilitasi melekatnya prion protein pada dari fokus infeksi di struktur kranial dan penyebaran
membran sel neuron.
13,19
Plasmodium falciparum dalam yang terjadi setelah trauma kepala. HIV-1, Toxoplasma
eritrosit terinfeksi mampu menghasilkan protein gondii, dan Mycobacterium tuberculosa menggunakan
antigenik Plasmodium falciparum erythrocyte limfosit dan/atau monosit/makrofag untuk mencapai
9
membrane protein-1 (PfEMP1) yang memediasi jaringan otak. Plasmodium falciparum menggunakan
14
terjadinya cytoadherence. Toxoplasma gondii mampu mekanisme cytoadherence untuk dapat menyebabkan
14
membentuk kista, menembus dinding sel host dan patologi di otak.
bereplikasi didalam sel host,
16,20
dan memiliki protein Makrofag/monosit dan mikroglia merupakan
permukaan yang memediasi melekatnya parasit faktor penting dalam neuropatogenesis infeksi SSP,
tersebut pada dinding leukosit dan menyebar ke yaitu dengan cara meningkatkan lalu lintas agen infeksi
berbagai organ, termasuk otak.
21,22
Cryptococcus kedalam SSP dan menjadi reservoir bagi agen infeksi
23
neoformans memiliki kapsul polysaccharide sebagai tersebut. Suatu observasi menunjukkan bahwa gejala
faktor virulensinya.
9 klinis demensia terkait infeksi berkorelasi dengan
24
mikroglia yang teraktivasi.
Berbagai karakteristik spesifik yang dimiliki oleh agen
infeksi diatas mampu menginduksi respon inflamasi di
otak, yang ditandai dengan disfungsi sawar darah-otak,

Jurnal MNJ , Vol.01, No.01,Januari 2015


18 | Demensia Terkait Infeksi
6
Tabel 2. Perbedaan demensia dan pseudodemensia misalnya pada infeksi HIV-1, virus herpes simpleks,
Sc
Karakteristik Pseudodemensia Demensia prion protein bentuk patogenik (PrP ), Treponema
1. Perjalanan penyakit: pallidum, dan Borrelia burgdoferi. Suatu penelitian
• Kesadaran Disadari Tidak menunjukkan bahwa pembentukan plak Aβ
keluarga terhadap disadari prevalensinya secara signifikan lebih besar pada
adanya gejala kelompok yang terinfeksi HIV-1 dibandingkan dengan
28
pada pasien kontrol. Observasi terakhir juga menunjukkan bahwa
• Onset Mudah Sulit Treponema pallidum dan Borrelia burgdoferi
ditentukan ditentukan 18
mengandung protein amiloidogenik. Virus herpes
• Durasi gejala Pendek Lama
simpleks juga diketahui mampu meningkatkan deposisi
sebelum diterapi
Cepat Lambat
Aβ dan fosforilasi protein tau, sehingga virus ini
• Progresi gejala
(+) (-) dianggap sebagai faktor resiko untuk terjadinya
• Riwayat psikiatrik 12
penyakit Alzheimer.
2. Keluhan
• Keluhan kognitif Menonjol dan Samar Manifestasi Klinik
detail
• Keluhan rasa tidak Menonjol Menyangkal Individu dengan riwayat infeksi SSP rentan untuk
mampu mengalami perkembangan penyakit menjadi demensia
• Upaya Kecil Besar yang progresif. Manifestasi klinis demensia terkait
menyelesaikan infeksi seringkali bersifat stereotipik, berkembang
tugas sederhana dalam beberapa bulan, dan kadang-kadang mengalami
3. Gejala terkait perjalanan yang lebih fulminan. Domain yang dapat
disfungsi memori, terkena pada demensia terkait infeksi adalah pada
kognitif, dan
domain fungsi eksekutif, kecepatan pemrosesan
intelektual
informasi, atensi/working memory, kecepatan motorik,
• Atensi dan Tetap Menurun
konsentrasi mempelajari informasi baru, dan pemanggilan informasi
11,29
• Penyelesaian Bervariasi Konsisten baru (retrieval). Gejala awal dapat ringan dan
tugas dengan kadang-kadang tidak tampak dan seringkali pasien oleh
9,30
tingkat kesulitan dokter didiagnosis depresi. Demensia terkait infeksi
sama dapat merupakan demensia kortikal maupun
subkortikal. Demensia kortikal memiliki perjalanan
penyakit yang mirip dengan penyakit Alzheimer. Kondisi
Dalam suatu penelitian diketahui bahwa derajat yang dapat menyebabkan terjadinya demensia kortikal
beratnya demensia terkait infeksi juga ditentukan oleh terkait infeksi diantaranya adalah virus herpes simpleks,
25
jumlah astrosit yang teraktivasi. Astrosit mampu Sc
prion protein bentuk patogenik (PrP ), Treponema
menghasilkan mediator inflamasi penyebab terjadinya pallidum, dan Borrelia burgdoferi.
12,13,18
Kondisi yang
disrupsi homeostasis neuronal, sehingga aktivasi dapat menyebabkan terjadinya demensia subkortikal
astrosit ikut berkontribusi terhadap terjadinya terkait infeksi adalah meningitis kriptokokal, infeksi HIV-
9,25
neuropatologi yang terkait dengan infeksi SSP. Sc
1, prion protein bentuk patogenik (PrP ), dan ensefalitis
9,30
Saat ini diketahui terdapat dua mekanisme kerusakan oleh infeksi CMV.
neuron pada infeksi SSP, yaitu neurotoksisitas langsung Karena demensia terus berkembang, maka defisit yang
dan tidak langsung. Neurotoksisitas langsung muncul juga akan semakin berkembang, termasuk
diperantarai oleh protein spesifik agen infeksi, misalnya diantaranya adalah demensia global. Perjalanan
gp120 dan proteinn Tat pada infeksi HIV-1. Sedangkan demensia terkait infeksi sendiri bervariasi dan beberapa
neurotoksisitas tidak langsung diperantarai oleh faktor- pasien masih tetap stabil selama periode waktu yang
faktor terlarut yang dilepaskan oleh makrofag dan 27
lama. Bentuk yang lebih ringan seringkali menjadi
mikroglia yang terinfeksi dan/atau teraktivasi, seperti penanda awal untuk berkembangnya suatu demensia
quinolinic acid, TNF-α, ROS, dan berbagai macam terkait infeksi.
9
26
sitokin. Kerusakan neuron tersebut selanjutnya
mencetuskan terjadinya disfungsi dan kematian sel Pemeriksaan Fisik
24
neuron dan glia. Pemeriksaan fisik umum merupakan komponen rutin
Mediator proinflamasi juga mengganggu ambilan untuk tatalaksana demensia. Pemeriksaan ini diawali
glutamat oleh astrosit, sehingga terjadi aktivasi reseptor dengan penilaian tanda vital (vital signs) yang meliputi
NMDA dan stres oksidatif. Indikator patologis dari kesadaran, tekanan darah, nadi, frekuensi pernapasan,
kerusakan dan kematian neuron berhubungan erat dan suhu tubuh. Pemeriksaan pada sistem organ
dengan terdapatnya makrofag dan mikroglia yang dilakukan dengan teliti untuk menyingkirkan kondisi-
27
teraktivasi. kondisi ekstrakranial yang berpotensi menyebabkan
disfungsi otak. Pemeriksaan fisik umum juga bisa
Peran deposisi Aβ dalam patogenesis demensia terkait menunjukkan penyakit sistemik yang berkaitan dengan
infeksi telah dibuktikan oleh beberapa penelitian,

Jurnal MNJ , Vol.01, No.01,Januari 2015


Demensia Terkait Infeksi | 19
proses spesifik di SSP, misalnya infeksi tuberkulosis di neuroimaging yang memadai tidak tersedia, maka
6
paru dapat berkaitan dengan meningitis tuberkulosis. karakterisasi fungsi kognitif melalui pemeriksaan
Pasien demensia terkait infeksi dapat menunjukkan neurokognitif sangat penting untuk keberhasilan
temuan defisit neurologis fokal berupa defisit motorik, diagnosis dan pengobatan. Kita perlu sadari bahwa
paralisis saraf kranial, gangguan gerak (movement penggunaan tes dan instrumen skrining neuropsikologi
34
disorders), dismetria, gangguan lapangan pandang, dan masih sangat bervariasi pada tiap-tiap hasil penelitian.
afasia.
16,20
Pasien dengan disfungsi kortikal yang difus Tes neupsikologis untuk skrining meliputi mini mental
dapat mengalami gejala neurologis fokal akibat state examination (MMSE), clock drawing test (CDT),
progresivitas penyakit infeksi. Perubahan kondisi dan International HIV dementia scale (IHDS). Tes
tersebut tidak hanya disebabkan oleh necrotizing neuropsikologis formal meliputi forward digit span test
encephalitis akibat invasi agen infeksi secara langsung, dan backward digit span test, constructional praxis,
tetapi juga bisa akibat komplikasi infeksi, seperti verbal fluency test, Boston naming test (BNT), word list
vaskulitis, edema, dan perdarahan intrakranial. Onset memory task, word list memory recall, word list
penyakit juga bisa bervariasi, bisa insidius selama recognition, recall of constructional praxis, dan
beberapa minggu hingga timbul kondisi kebingungan trailmaking test (TMT) A dan B.
35

akut (acute confusional state) dengan defisit fokal yang


fulminan, termasuk hemiparesis/hemiplegia, gangguan Pemeriksaan Laboratorium
lapang pandang, nyeri kepala, dan kejang fokal. Pemeriksaan laboratorium, selain dikerjakan untuk
Keterlibatan batang otak akan menimbulkan berbagai membantu menegakkan diagnosis demensia terkait
16
disfungsi neurologis, termasuk paralisis saraf kranial. infeksi, juga untuk mengevaluasi keberadaan kondisi
medis yang mendasari terjadinya demensia terkait
infeksi dan dapat diterapi. Penelitan terakhir
sebenarnya menunjukkan bahwa “demensia yang dapat
terkoreksi” hanya sekitar 1% dari seluruh kasus
demensia. Namun konsensus terakhir mengenai
penilaian dan pengobatan demensia telah melihat
adanya bukti pentingnya investigasi laboratorium dalam
memperbaiki prognosis demensia. Pemeriksaan
laboratorium dasar yang direkomendasikan untuk
semua pasien demensia antara lain hitung darah
lengkap, TSH, elektrolit serum (termasuk kalsium),
Gambar 1. Patofisiologi infeksi otak oleh agen infeksi
14 pemeriksaan kadar vitamin B12 dan asam folat serum,
dan gula darah puasa. Pemeriksaan laboratorium lain
dikerjakan secara selektif, misalnya tes serologis atau
8
penanda untuk berbagai agen infeksi. Penanda yang
bisa dipertimbangkan untuk digunakan sebagai
penunjang diagnosis demensia adalah kadar Aβ
(terutama kadar Aβ42), total protein tau (t-tau), dan
36
protein tau terfosforilasi (p-tau) dalam CSS. Untuk
penyakit sporadic Cruetzfeldt-Jacob Disease (sCJD),
perlu dilakukan pemeriksaan protein 14-3-3 dalam
13
CSS.
Pemeriksaan Radiologi
Gambar 2. Peran respon inflamasi terhadap terjadinya Ketersediaan pemeriksaan radiologi dengan CT scan
24
gangguan fungsi kognitif
atau MRI memungkinkan penilaian pola struktur atrofi
Tes Neuropsikologis otak yang lebih detail. Saat ini juga terdapat teknik
pemeriksaan radiologi yang digunakan untuk melihat
Penilaian area-area fungsi kognitif umumnya dilakukan
fungsi jaringan otak dan bisa memvisualisasikan
dengan menggunakan berbagai tes neuropsikologis,
aktivitas otak secara in vivo. Modalitas pemeriksaan
baik tes yang hanya digunakan untuk skrining maupun
radiologi fungsional yang bisa digunakan antara lain
tes yang bersifat formal (Campbell, 2013; Lopes et al.,
2,31,32,33 positron emission tomography (PET) yang menggunakan
2009; Valcour et al., 2011; Robbins et al., 2011).
fluoro-D-2-deoxyglucose, single-photon emission
Pemeriksaan neuropsikologi merupakan alat yang
computed tomography (SPECT), functional MRI (fMRI),
paling penting untuk mendiagnosis dan 8
dan MR spectroscopy. Berbagai modalitas pemeriksaan
mengkategorikan efek infeksi terhadap SSP. Pada
radiologi fungsional tersebut diatas ketersediaannya
kondisi dengan sumber daya terbatas, dimana teknologi

Jurnal MNJ , Vol.01, No.01,Januari 2015


20 | Demensia Terkait Infeksi
terbatas dan masih belum direkomendasikan secara Prognosis
rutin untuk evaluasi diagnostik demensia.
Onset usia dan kecepatan deteriorasi bervariasi,
Penegakan Diagnosis tergantung tipe demensia dan kategori diagnostik
individualnya. Sekali pasien didiagnosis demensia, maka
Penegakan diagnosis demensia terkait infeksi
pasien tersebut harus mendapatkan penanganan medis
didasarkan pada data yang diperoleh dari anamnesis
dan neurologis secara lengkap. Hal ini disebabkan
mengenai riwayat medis yang lengkap, pemeriksaan
karena 10-15% pasien demensia memiliki kondisi
fisik umum dan neurologis, dan pemeriksaan
dengan potensi reversibel jika pengobatannya diinisiasi
penunjang. Diagnosis demensia terkait infeksi
sebelum kerusakan otak yang permanen terjadi. Regresi
umumnya dibuat setelah menyingkirkan penyebab lain
gejala masih mungkin terjadi pada demensia yang
yang mungkin, Diagnosis demensia terkait infeksi harus 6
reversibel jika pengobatan diinisiasi lebih dini.
ditentukan dengan cara menilai semua area fungsi
3,37
neurokognitif.
KESIMPULAN
Untuk penegakan diagnosis demensia terkait infeksi,
Infeksi SSP dapat menyebabkan terjadinya penurunan
dokter merujuk pada Diagnostic and Statistical Manual fungsi kognitif dengan spektrum yang luas, mulai dari
of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision gangguan kognitif ringan (mild cognitive impairment)
37
(DSM-IV-TR). Dalam DSM-IV-TR, demensia terkait hingga gangguan kognitif yang berat berupa demensia
infeksi masuk dalam kriteria diagnosis demensia akibat terkait infeksi (infection-associated dementia).
kondisi medis lain. Demensia terkait infeksi diduga terjadi akibat
Diagnosis Banding serangkaian proses yang meliputi proses inflamasi,
eksitotoksisitas glutamat, dan akumulasi radikal bebas,
Diagnosis demensia terkait infeksi harus didiagnosis yang selanjutnya menyebabkan terjadinya proses
oleh dokter spesialis, terutama oleh dokter spesialis neurodegenrasi. Berbagai hasil observasi menunjukkan
saraf. Diagnosis tersebut biasanya dibuat dengan bahwa demensia terkait infeksi cenderung berkembang
menyingkirkan penyebab lain yang mungkin. Kondisi sebagai respon neuronal sekunder terhadap aktivasi sel-
lain yang bisa menyerupai demensia terkait infeksi sel kekebalan di otak yang diaktivasi oleh agen infeksi.
adalah bentuk demensia yang lain, seperti penyakit
Alzheimer dan demensia vaskuler, dan kondisi medis DAFTAR PUSTAKA
9
lain seperti PML, PCNSL, intoksikasi obat, dan depresi. 1. Chan LG, Kandiah N, Chua A. HIV-associated
Terapi neurocognitive disorders (HAND) in a South Asian
population - contextual application of the 2007
Terapi yang bisa diberikan pada pasien dengan criteria. BMJ Open 2012;2:e000662.
demensia terkait infeksi meliputi terapi non- 2. Robbins RN, et al. Screening for HIV-Associated
farmakologik dan terapi farmakologik. Terapi non- Dementia in South Africa: Potentials and Pitfalls of
farmakologik yang direkomendasikan antara lain Task-Shifting. AIDS PATIENT CARE and STDs 2011;
manajemen perilaku (behavioral management) 25(10):587-592.
(Rekomendasi B), stimulasi kognitif (cognitive 3. Ghafouri M, Amini S, Khalili K, Sawaya BE. HIV-1
associated dementia: symptoms and causes.
stimulation) (Rekomendasi B), terapi orientasi realitas
Retrovirology 2006; 3:28-39.
(reality orientation therapy) (Rekomendasi D), aktivitas
4. Almeida OP, Lautenschlager NT. Dementia
rekreasional (recreational activity) (Rekomendasi B), associated with infectious disease. Int
dan program intervensi terhadap pengasuh pasien Psychogeriatr 2005;17(1):65-77.
38
(caregiver intervention programme) (Rekomendasi B). 5. Wang T, Rumbaugh JA, Nath A. Viruses and the
brain: from inflammation to dementia. Clinical
Terapi farmakologik yang direkomendasikan untuk
Science 2006;110: 393–407.
diberikan adalah obat golongan cholinesterase inhibitor,
6. Sadock BJ, Sadock VA. 2007. Kaplan and Sadock’s
yaitu donepezil (Rekomendasi B), galantamine Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical
(Rekomendasi B), dan rivastigmine (Rekomendasi B). Psychiatry. Tenth edition. USA: Lippincott Williams
Memantine (NMDA receptor antagonist) dan ginkgo and Wilkins. p330-338.
bisa dipertimbangkan penggunaannya, namun saat ini 7. Griffin PT, Gerhardstein K. Cognitive testing in
38
masih belum direkomendasikan. Meskipun belum HIV/AIDS: A case for early assessment. Fall
direkomendasikan, penggunaan memantine untuk 2010;22(4):6-9.
pengobatan penurunan fungsi kognitif pada pasien 8. Feldman HH, et al. Diagnosis and treatment of
demensia saat ini telah mendapatkan persetujuan dari dementia: diagnosis. CMAJ 2008;178(7): 825-835.
39 9. Roos KL, et al. 2005. Principles of Neurologic
FDA.
Infectious Disease. USA: The McGraw-Hill
Companies, Inc. p113-130.

Jurnal MNJ , Vol.01, No.01,Januari 2015


Demensia Terkait Infeksi | 21
10. WHO. 2011. Global HIV/AIDS Response: Epidemic Immunodeficiency Virus Encephalitis-Induced
update and health sector progress toward Neural Dysfunction. J Neurosci 2009;
Universal Access. Progress Report 2011. 29(40):12467–12476.
11. Duarte AG, Cikurel K, Simpson DM. Selected 25. Williams R, et al. Pro-inflammatory cytokines and
Neurologic Complications of HIV and Antiretroviral HIV-1 synergistically enhance CXCL10 expression in
Therapy. The PRN Notebook 2006; 11(2): 24-29. human astrocytes. Glia 2009; 57(7): 734–743.
12. Carter CJ. Alzheimer’s Disease: A Pathogenetic 26. Lindl KA, et al. HIV-associated neurocognitive
Autoimmune Disorder Caused by Herpes Simplex disorder: pathogenesis and therapeutic
in a Gene-Dependent Manner. International opportunities. J Neuroimmune Pharmacol 2010;
Journal of Alzheimer’s Disease 2010;10:1-17. 5(3):294-309.
13. Imran M, Mahmood S. An overview of human 27. Ellis R. HIV and antiretroviral therapy: impact on
prion diseases. Virology Journal 2011;8:559. the central nervous system. Prog Neurobiol 2010;
14. Idro R, Jenkins NE, Newton NE. Pathogenesis, 91(2): 185-187.
clinical features, and neurological outcome of 28. Giunta B, et al. HIV-1 TAT Inhibits Microglial
cerebral malaria. Lancet Neurol 2005;4:827-840. Phagocytosis of Aβ Peptide. Int J Clin Exp Pathol
15. Suzuki Y, Halonen S, Wang X, Wen X. 2007. 2008;1: 260-275.
Cerebral Toxoplasmosis: Pathogenesis and Host 29. Schouten J, et al. HIV-1 infection and cognitive
Resistance. In: Toxoplasma gondii. First edition. impairment in the cART-era: a review. AIDS
London: Elsevier. p 567-582. 2011;25:1-16.
16. Kasper LH. 2008. Toxoplasma Infection. In: 30. Lawler K, et al. Neurocognitive impairment among
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th HIV-positive individuals in Botswana: a pilot study.
edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc. J International AIDS Society 2010; 13:15.
p.1305-1308. 31. Campbell WW. 2013. DeJong's The Neurologic
17. Gigley JP, Bhadra R, Khan IA. CD8 T cells and Examination. 6th Edition. USA: Lippincott Williams
Toxoplasma gondii: a new paradigm. Journal of and Wilkins. p75-84.
Parasitology Research 2011. pp1-9. 32. Lopes M, Brucki SMD, Giampaoli V, Mansur LL.
18. Miklossy J. 2008. Biology and neuropathology of Semantic Verbal Fluency test in dementia:
dementia in syphilis and Lyme disease. In: preliminary retrospective analysis. Dement
Handbook of Neurology. USA: Elsevier B. V. p825- Neuropsychol 2009;3(4):315-320.
840. 33. Valcour V, et al. Screening for Cognitive
19. Kovacs GG, Budka H. Molecular Pathology of Impairment in Human Immunodeficiency Virus.
Human Prion Diseases. Int. J. Mol. Sci. 2009;10: 76- CID 2011;53(8): 836-842.
999. 34. Robertson K, Liner J, Heaton R. Neuropsychological
20. Jayawardena S, Singh S, Burzyantseva O, Clarke H. Assessment of HIV-Infected Populations in
Cerebral toxoplasmosis in adult patients with HIV International Settings. Neuropsychol Rev 2009;
infection. Hospital Physician 2008.pp 17-24. 19:232–249.
21. Kim SK, Karasov A, Boothroyd JC. Bradyzoite- 35. Pokdi Fungsi Luhur. 2010. Panduan Pemeriksaan
specific surface antigen SRS9 plays a role in Neurologi dan Neurobehavior. Jakarta: PERDOSSI.
maintaining Toxoplasma gondii persistence in the 36. Humpel C. Identifying and validating biomarkers
brain and in host control of parasite replication in for Alzheimer’s disease. Trends in Biotechnology
the intestine. Infection and Immunity 2007; 75(4): 2011;29(1):20-31.
1626-1634. 37. Woods SP, Moore DJ, Weber E, Grant I. Cognitive
22. Randall LM, Hunter CA. Parasite dissemination and neuropsychology of HIV-associated neurocognitive
the pathogenesis of toxoplasmosis. European disorders. Neuropsychol Rev 2009;19:152-168.
Journal of Microbiology and Immunology 1 38. SIGN. 2006. Management of patients with
2011;1:3-9. dementia. Edinburgh: Scottish Intercollegiate
23. Hagberg L, et al. Cerebrospinal fluid neopterin: an Guidelines Network. p7-20.
informative biomarker of central nervous system 39. Qaseem A, et al. Guideline from the American
immune activation in HIV-1 infection. AIDS College of Physicians and the American Academy
Research and Therapy 2010; 7(1): 15. of Family Physicians. Ann Intern Med.
24. Garsten M, et al. An Integrated Systems Analysis 2008;148:370-378.
Implicates EGR1 Downregulation in Simian

Jurnal MNJ , Vol.01, No.01,Januari 2015


Jurnal Kedokteran 2016, 5(2): 15-19
ISSN 2527-7154

Profil Penegakan Diagnosis dan Stadium


Penyakit Pasien Meningitis Tuberkulosis yang
Dirawat di Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar Malang
Herpan Syafii Harahap1 , Badrul Munir2

Abstrak
Latar belakang: Tuberkulosis saat ini masih merupakan masalah kesehatan global. Meningitis
tuberkulosis merupakan bentuk tuberkulosis di sistem saraf pusat yang paling sering ditemukan.
Saat ini masih belum ada data mengenai angka kejadian penyakit ini di Kota Malang. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui profil penegakan diagnosis dan stadium penyakit pasien meningitis
tuberkulosis yang dirawat di Rumah Sakit dr. Saiful Anwar (RSSA) Malang.
Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan potong lintang, dikerjakan selama bulan November-
Desember 2014. Data diperoleh dari rekam medis pasien meningitis tuberkulosis yang dirawat
di Rumah Sakit dr. Saiful Anwar (RSSA) Malang selama periode November 2013-Oktober 2014.
Dilakukan penentuan klasifikasi diagnosis meningitis tuberkulosis menurut hasil konsensus The
international tuberculous meningitis workshop dan penentuan klasifikasi stadium penyakit menurut
British Medical Research Council (BMRC).
Hasil: Jumlah subyek dalam penelitian ini 27 orang, dengan rician untuk subyek laki-laki dan perem-
puan masing-masing sebanyak 15 orang (55,56%) dan 12 orang (44,44%). Proporsi subyek dengan
klasifikasi diagnosis possible dan probable masing-masing sebesar 70,37% dan 29,63%, dengan
stadium penyakit I, II, dan III masing-masing sebesar 3,70%, 70,37%, dan 25,93%, dan dengan
koinfeksi HIV sebesar 25,93%. Uji Kolmogorov-Smirnov terhadap menunjukkan tidak ada perbedaan
proporsi stadium penyakit yang bermakna antara subyek laki-laki dan perempuan (p=0,516). Uji
Chi-Square menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam hal klasifikasi penyakit
(p=0,215) dan keberadaan koinfeksi HIV (p=0,298) antara subyek penelitian laki-laki dan perempuan.
Kesimpulan: Subyek penelitian dengan klasifikasi diagnosis probable dan stadium penyakit III memiliki
proporsi yang paling besar. Tidak terdapat perbedaan klasifikasi diagnosis, stadium penyakit, dan
keberadaan koinfeksi HIV berdasarkan jenis kelamin.
Katakunci
meningitis tuberkulosis, klasifikasi diagnosis, stadium penyakit
1 BagianNeurologi Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
2 Laboratorium
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
*e-mail: herpanharahap@yahoo.co.id

prevalensi infeksi tuberkulosis. 2 Tuberkulosis di sistem


1. Pendahuluan saraf pusat ditemukan pada 10% dari seluruh kasus tu-
berkulosis. 3 Meningitis tuberkulosis merupakan bentuk
Tuberkulosis saat ini masih merupakan masalah kesehat- tuberkulosis di sistem saraf pusat yang paling sering
an global yang utama. Pada tahun 2012, diperkirakan ditemukan. Data yang ada mengenai angka kejadian
sebanyak 8,6 juta penduduk di dunia menderita tuberku- meningitis tuberkulosis di Indonesia masih beragam di-
losis dan 1,3 juta diantaranya meninggal akibat penyakit antara berbagai daerah dan saat ini masih belum ada data
tersebut. Mayoritas kasus tuberkulosis ditemukan di mengenai angka kejadian penyakit ini di Kota Malang.
Asia Tenggara (29%) dan Benua Afrika (27%). Diperki-
Diagnosis meningitis tuberkulosis saat ini masih
rakan sebanyak 1,1 juta diantaranya merupakan pasien
menjadi masalah utama. Hal ini disebabkan karena
HIV dan 75% kasus ditemukan di Benua Afrika. In-
perjalanan penyakit dan gejala klinis meningitis tuber-
donesia masih menjadi salah satu dari 5 negara dengan
kulosis yang sangat bervariasi. Pemeriksaan penunjang
insiden tuberkulosis tertinggi, yaitu sebesar 0,4-0,5 juta
untuk membantu penegakan diagnosis tuberkulosis se-
kasus. 1
perti pemeriksaan dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen dan
Diperkirakan sebanyak 2 juta penduduk mengala- kultur bakteri penyebab dari cairan serebrospinal sering-
mi infeksi tuberkulosis yang laten, sehingga berperan kali memberikan hasil yang kurang memuaskan. 4 Tes
sebagai reservoir Mycobacterium tuberculosis. Insiden diagnostik yang cepat, sensitif, dan murah sampai saat
tuberkulosis ekstrapulmoner berhubungan erat dengan ini juga masih belum tersedia. 5
16 Harahap & Munir

Workshop meningitis tuberkulosis internasional yang an selama 2 bulan (November-Desember 2014) di RSSA
diselenggarakan di Cape Town, Afrika Selatan pada Malang.
bulan Mei 2009 berhasil menyusun kriteria diagnosis
meningitis tuberkulosis yang terstandarisasi. Kriteria 2.2 Subyek Penelitian
diagnosis tersebut praktis dan sangat berguna dalam me-
Penentuan subyek penelitian yang digunakan dalam pe-
negakkan diagnosis meningitis tuberkulosis. Diagnosis
nelitian ini adalah total sampling, artinya semua pasien
meningitis tuberkulosa tersebut mencakup bukti klinis
yang menurut data yang ada dirawat di RSSA Malang
yang didukung oleh temuan klinis, hasil pemeriksaan
dengan diagnosis meningitis tuberkulosis selama peri-
laboratorium, dan hasil pemeriksaan radiologik. Skor
ode November 2013 – Oktober 2014 dijadikan subyek
yang didapatkan dapat mengklasifikasikan diagnosis me-
penelitian dan diambil datanya di Bagian Rekam Medik
ningitis tuberkulosis menjadi possible, probable, atau
RSSA Malang untuk keperluan penentuan skor diag-
definitive. 5
nosis meningitis TB. Jumlah subyek dalam penelitian
Stadium meningitis tuberkulosis pada saat awal pa-
ini adalah 27 (n=27). Penelitian ini telah mendapatkan
sien datang ke rumah sakit merupakan faktor penting
persetujuan dari Komisi Etik Rumah Sakit Saiful Anwar
penentu keluaran klinis pasien. The British Medical
Malang.
Research Council (BMRC) telah membagi derajat ber-
atnya meningitis tuberkulosis menjadi 3 stadium, yaitu
stadium I, II, dan III. Pasien masuk dalam stadium I jika 2.3 Penentuan Skor Meningitis Tuberkulosis
saat awal datang dalam keadaan sadar penuh dan menun- Data yang diambil dari rekam medik pasien meliputi
jukkan gejala yang tidak spesifik. Pasien masuk dalam manifestasi klinik, hasil pemeriksaan analisis cairan se-
stadium II jika saat awal datang letargi atau didapatk- rebrospinal, hasil pemeriksaan imaging kepala (CT scan
an defisit saraf kranial. Pasien masuk dalam stadium kepala dengan kontras), dan hasil pemeriksaan yang
III jika saat awal datang stupor-koma dan mengalami menunjang adanya infeksi tuberkulosis di tempat lain.
paresis/paralisis yang jelas. Stadium penyakit tersebut Untuk menentukan skor meningitis tuberkulosis, mini-
menentukan mortalitas pasien. Pada pasien tanpa koin- mal harus ada hasil pemeriksaan cairan serebrospinal
feksi HIV, stadium I memiliki mortalitas 20%, stadium atau hasil pemeriksaan CT scan dengan kontras. Peng-
II memiliki mortalitas 30%, dan stadium III memiliki hitungan skor untuk menegakkan diagnosis meningitis
mortalitas 55%. 6 Pada pasien dengan koinfeksi HIV, tuberkulosis didasarkan pada kriteria diagnosis hasil
stadium I memiliki mortalitas 40%, stadium II memili- workshop meningitis tuberkulosis internasional di Cape
ki mortalitas 52%, dan stadium III memiliki mortalitas Town, Afrika Selatan. 5 Skor total yang diperoleh digu-
75%. 7 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil nakan untuk menentukan apakah pasien masuk dalam
penegakan diagnosis dan stadium penyakit pasien me- klasifikasi diagnosis possible, probable, atau definiti-
ningitis tuberkulosis yang dirawat di Rumah Sakit dr. ve untuk meningitis tuberkulosis. Pasien masuk dalam
Saiful Anwar (RSSA) Malang. diagnosis possible untuk meningitis tuberkulosis jika
memiliki skor total 6-9 (jika tanpa imaging kepala) atau
6-11 (jika dengan imaging kepala). Pasien masuk dalam
2. Metode diagnosis probable untuk meningitis tuberkulosis jika
memiliki skor total 10 atau lebih (jika tanpa imaging
2.1 Desain Penelitian kepala) atau skor total 12 atau lebih (jika dengan ima-
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian des- ging kepala). Pasien masuk dalam diagnosis definitive
kriptif cross sectional. Data diperoleh dari rekam medis untuk meningitis tuberkulosis jika hasil pemeriksaan
pasien meningitis tuberkulosis yang dirawat di Rumah cairan serebrospinal didapatkan basil tahan asam atau
Sakit dr. Saiful Anwar (RSSA) Malang dalam periode kultur Mycobacterium tuberculosis yang positif, atau ha-
1 tahun, yaitu periode November 2013 - Oktober 2014. sil pemeriksaan PCR untuk Mycobacterium tuberculosis
Dilakukan penghitungan skor untuk menegakkan diag- positif. 5
nosis meningitis tuberkulosis berdasarkan kriteria diag-
nosis yang berhasil disusun dalam workshop meningitis
2.4 Penentuan Stadium Penyakit
tuberkulosis internasional yang diselenggarakan di Ca-
Penentuan stadium penyakit dilakukan berdasarkan gam-
pe Town, Afrika Selatan pada bulan Mei 2009. 5 Hasil
baran klinis pasien saat awal datang ke rumah sakit.
penghitungan skor yang diperoleh digunakan untuk me-
Klasifikasi stadium penyakit yang digunakan adalah
nentukan proporsi subyek dengan klasifikasi diagnosis
klasifikasi yang disusun oleh British Medical Research
meningitis tuberkulosis possible, probable, atau defini-
Council (BMRC), yang terdiri dari stadium I, II, dan
tive. Manifestasi klinik yang tercantum dalam sistem
III. Pasien masuk dalam stadium I jika pasien saat awal
skoring tersebut juga digunakan untuk menentukan pro-
datang sadar penuh dan gejala tidak spesifik. Pasien
porsi subyek dengan klasifikasi stadium penyakit, yaitu
masuk dalam stadium II jika saat awal datang letargi
stadium I, II, atau III, menurut British Medical Research
atau didapatkan defisit saraf kranial. Pasien masuk da-
Council (BMRC). 6 Selain itu, data pasien yang diper-
lam stadium III jika saat awal datang stupor-koma dan
oleh juga dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu
mengalami paresis/paralisis yang jelas. 6
kelompok pasien meningitis tuberkulosis dengan koin-
feksi HIV dan tanpa koinfeksi HIV. Penelitian dikerjak-

Jurnal Kedokteran
Profil Pasien Meningitis Tuberkulosis 17

2.5 Analisis Data Selatan pada bulan Mei 2009 diharapkan mampu me-
Data karakteristik subyek akan dipaparkan secara des- mecah kesulitan dalam penegakan diagnosis meningitis
kriptif. Proporsi stadium penyakit berdasarkan jenis ke- tuberkulosis tersebut. Dengan mengaplikasikan kriteria
lamin dianalisis secara statistik dengan uji non-parametrik diagnosis tersebut, klinisi dapat menegakkan diagnosis
Kolmogorov-Smirnov. Proporsi klasifikasi diagnosis meningitis tuberkulosis secara cepat sehingga inisiasi
penyakit dan ada tidaknya koinfeksi HIV berdasarkan pengobatan untuk meningitis tuberkulosis juga bisa di-
jenis kelamin dianalisis secara statistik dengan uji non- berikan sesegera mungkin dan hal tersebut diharapkan
parametrik Chi-Square. Analisis statistik dikerjakan dapat memperbaiki keluaran klinis dari penyakit terse-
dengan menggunakan SPSS 17. Hasil uji bermakna jika but.
nilai p<0,05. Penelitian ini mengaplikasikan kriteria diagnosis un-
tuk meningitis tuberkulosis hasil workshop meningitis
tuberkulosis internasional pada 27 pasien meningitis
3. Hasil Penelitian tuberkulosis yang dirawat di RSSA selama periode No-
vember 2013 – Oktober 2014. Hasil penelitian ini me-
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang di-
nunjukkan sebanyak 70,37% subyek penelitian masuk
tujukan untuk mengetahui profil penegakan diagnosis
dalam klasifikasi diagnosis possible dan 29,63% subyek
dan stadium penyakit pasien meningitis tuberkulosis
penelitian masuk dalam klasifikasi diagnosis probable
yang dirawat di Rumah Sakit dr. Saiful Anwar (RSSA)
untuk meningitis tuberkulosis. Tingginya subyek pe-
Malang. Data diperoleh dari rekam medis pasien me-
nelitian yang masuk dalam kriteria probable kemung-
ningitis tuberkulosis yang dirawat di Rumah Sakit dr.
kinan disebabkan karena 16 dari 19 subyek penelitian
Saiful Anwar (RSSA) Malang dalam periode 1 tahun,
(84,21%) yang masuk dalam klasifikasi diagnosis pos-
yaitu periode November 2013 - Oktober 2014. Jumlah
sible tidak dilakukan pemeriksaam pungsi lumbal dan
subyek dalam penelitian ini adalah 27 pasien (n=27).
analisis cairan serebrospinal, baik karena terdapat kon-
Karakteristik subyek penelitian disajikan dalam tabel 1.
traindikasi untuk dilakukan pungsi lumbal maupun kare-
Dalam penelitian ini dilakukan analisis data dengan pen-
na pasien dan/atau keluarga pasien menolak untuk dila-
dekatan statistik untuk mendeteksi adanya perbedaan
kukan tindakan pungsi lumbal. Jika pemeriksaan pungsi
yang bermakna pada beberapa parameter antara kelom-
lumbal dikerjakan, kemungkinan nilai skor dagnosis
pok subyek penelitian laki-laki dan perempuan. Uji beda
menjadi lebih tinggi dan masuk dalam klasifikasi diag-
non-parametrik Kolmogorov-Smirnov dikerjakan untuk
nosis probable untuk meningitis tuberkulosis. Untuk
menilai adanya perbedaan proporsi yang bermakna pada
membuktikan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian
stadium penyakit antara subyek penelitian laki-laki dan
serupa, namun dengan disertai tindakan pungsi lumbal
perempuan. Hasil uji beda tersebut menunjukkan tidak
pada setiap pasien yang disuspek dengan meningitis tu-
ada perbedaan proporsi stadium penyakit yang bermak-
berkulosis. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya,
na antara subyek laki-laki dan perempuan (p=0,516).
penentuan skor diagnosis meningitis tuberkulosis bisa
Uji beda non-parametrik Chi-Square dikerjakan untuk
dikerjakan jika minimal ada hasil pemeriksaan cairan
menilai adanya perbedaan proporsi klasifikasi penyakit
serebrospinal atau hasil pemeriksaan CT scan dengan
dan keberadaan koinfeksi HIV yang bermakna antara
kontras. 5 Sehingga meskipun subyek dalam penelitian
subyek laki-laki dan perempuan. Hasil uji beda tersebut
ini tidak dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal
menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna
namun dilakukan pemeriksaan CT scan dengan kontras,
dalam hal klasifikasi penyakit (p=0,215) dan keberada-
penentuan skor diagnosis meningitis tuberkulosis tetap
an koinfeksi HIV (p=0,298) antara subyek penelitian
dapat dikerjakan.
laki-laki dan perempuan.
Pada penelitian ini tidak didapatkan subyek peneliti-
an masuk dalam klasifikasi diagnosis definitive. Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, klasifikasi diagnosis
4. Diskusi definitive untuk meningitis tuberkulosis membutuhk-
Perjalanan penyakit dan gejala klinis meningitis tuber- an hasil pemeriksaan cairan serebrospinal didapatkan
kulosis yang sangat bervariasi menyebabkan diagnosis basil tahan asam atau kultur Mycobacterium tubercu-
meningitis tuberkulosis menjadi sulit. 4 Dipihak lain, losis yang positif, atau hasil pemeriksaan PCR untuk
tes diagnostik yang cepat, sensitif, dan murah untuk Mycobacterium tuberculosis positif. 5 Tidak terdapatnya
penyakit tersebut sampai saat ini juga masih belum ter- subyek dengan klasifikasi diagnosis definitive untuk me-
sedia secara luas. 5 dan hasil pemeriksaan penunjang ningitis tuberkulosis kemungkinan disebabkan karena
yang tersedia, seperti pemeriksaan dengan pewarnaan subyek penelitian yang tidak dilakukan pemeriksaan
Ziehl-Nielsen dan kultur bakteri penyebab dari cairan pungsi lumbal dan masuk dalam klasifikasi diagnosis
serebrospinal, seringkali kurang memuaskan. 4 Dampak probable yang sangat banyak dalam penelitian ini, yaitu
dari kedua hal tersebut, pemberian terapi meningitis tu- 16 subyek penelitian (84,21%). Penyebab lain tidak ter-
berkulosis seringkali menjadi terlambat dan keluaran dapatnya subyek dengan klasifikasi diagnosis definitive
klinis penyakit tersebut menjadi jelek. Kriteria diagno- tersebut yaitu pengambilan subyek untuk pemeriksa-
sis untuk meningitis tuberkulosis hasil workshop meni- an dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen dan kultur bakteri
ngitis tuberkulosis internasional di Cape Town, Afrika penyebab dari cairan serebrospinal pada pasien yang

Jurnal Kedokteran
18 Harahap & Munir

Tabel 1. Karakteristik subyek penelitian.


Kategori Laki-laki Perempuan Total (%) p-value
(n=15) (n=12)
Rerata usia (tahun) 34,93 32.25 -
Klasifikasi Penyakit Possible 11 8 19(70,37) p=0,215
Probable 4 4 8(29,63)
Definitive 0 0 0(0)
Stadium Penyakit Stadium I 0 1 1(3,70) p=0,516
Stadium II 11 8 19(70,37)
Stadium III 4 3 7(25,93)
Koinfeksi dengan HIV p=0,298
Ya 5 2 7(25,93)
Tidak 10 10 20(74,07)

dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal hanya dilakukan Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dila-
satu kali. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kennedy kukan oleh Torok et al., dimana makin tinggi stadium
dan Fallon menunjukkan sensitivitas pemeriksaan pe- penyakit dan keberadan koinfeksi HIV meningkatkan
warnaan Ziehl-Nielsen dan kultur cairan serebrospinal mortalitas pasien meningitis tuberkulosis. 7 Dalam pene-
pada pasien meningitis tuberkulosis rendah, masing- litian ini juga tidak terdapat perbedaan proporsi stadium
masing 37% dan 52% 8 Sensitivitas hasil dari kedua penyakit dan keberadaan koinfeksi HIV yang bermakna
pemeriksaan tersebut dapat ditingkatkan menjadi 87% berdasarkan jenis kelamin (p>0,05).
dan 83% jika pengambilan subyek dilakukan sebanyak
empat kali, jumlah subyek cairan serebrospinal yang
diambil lebih banyak, dan subyek harus segera diperiksa 5. Kesimpulan
maksimal 30 menit dari waktu pengambilan. 9 Perlu dila-
kukan penelitian serupa dengan disertai tindakan pungsi Sebagian besar subyek penelitian dengan diagnosis me-
lumbal pada seluruh pasien yang didagnosis meningitis ningitis tuberkulosis yang dirawat di Rumah Sakit dr.
tuberkulosis dan dengan memperhatikan beberapa fak- Saiful Anwar malang masuk dalam klasifikasi diagnosis
tor yang dapat meningkatkan sensitivitas pemeriksaan probable, namun dengan catatan 80% dari jumlah terse-
pewarnaan Ziehl-Nielsen dan kultur cairan serebrospinal but tidak dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal. Tidak
seperti yang telah disebutkan diatas. Fasilitas pemerik- didapatkan subyek penelitian yang memenuhi klasifikasi
saan PCR untuk deteksi Mycobacterium tuberculosis di diagnosis definitive untuk meningitis tuberkulosis. Seba-
Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Malang saat ini masih gian besar subyek penelitian ini masuk dalam stadium II
belum tersedia dan masih belum memungkinkan untuk dan hampir sepertiga subyek masuk dalam stadium III
dikerjakan. Dalam penelitian ini tidak terdapat perbeda- menurut BMRC. Koinfeksi HIV pada subyek penelitian
an proporsi klasifikasi diagnosis meningitis tuberkulosis ini ditemukan sebanyak 7 orang, 3 diantaranya masuk
yang bermakna berdasarkan jenis kelamin (p>0,05). dalam stadium III menurut BMRC dan meninggal se-
lama dirawat di rumah sakit. Tidak terdapat perbedaan
Stadium meningitis tuberkulosis pada saat awal pasi-
proporsi klasifikasi diagnosis, stadium penyakit, dan
en datang ke rumah sakit dan keberadaan koinfeksi HIV
keberadaan koinfeksi HIV berdasarkan jenis kelamin.
menentukan mortalitas pasien. The British Medical Re-
search Council (BMRC) membagi stadium meningitis
tuberkulosis menjadi tiga, yaitu stadium I, II, dan III. Pa-
da pasien tanpa koinfeksi HIV, stadium I memiliki mor- Daftar Pustaka
talitas 20%, stadium II memiliki mortalitas 30%, dan 1. WHO. Global tuberculosis report 2013
stadium III memiliki mortalitas 55%. 6 Pada pasien de- (WHO/HTM/TB/2013.11). Geneva (Switzer-
ngan koinfeksi HIV, stadium I memiliki mortalitas 40%, land): WHO. 2013;p. 6–11.
stadium II memiliki mortalitas 52%, dan stadium III me-
miliki mortalitas 75%. 7 Berdasarkan penentuan stadium 2. Brancusi F, Farrar J, Heemskerk D. Tuberculous
penyakit tersebut, dalam penelitian ini didapatkan ha- meningitis in adults: a review of a decade of develo-
sil sebanyak 1 subyek penelitian (3,70%) masuk dalam pments focusing on prognostic factors for outcome.
stadium I, 19 subyek penelitian (70,37%) masuk dalam Future microbiology. 2012;7(9):1101–1116.
stadium II, dan 7 subyek penelitian (25,93%) masuk 3. Chatterjee S, et al. Brain tuberculomas, tubercu-
dalam stadium III. Dalam penelitian ini juga didapatkan lar meningitis, and post-tubercular hydrocephalus
hasil sebanyak 7 subyek penelitian (25,93%) memili- in children. Journal of pediatric neurosciences.
ki koinfeksi HIV, 4 subyek diantaranya masuk dalam 2011;6(3):96.
stadium II dan 3 subyek lainnya masuk dalam stadium
III. Ketiga subyek penelitian yang memiliki koinfeksi 4. Thwaites G, Chau T, Mai N, Drobniewski F, McA-
HIV tersebut meninggal selama dirawat di rumah sakit. dam K, Farrar J. Tuberculous meningitis. Jo-

Jurnal Kedokteran
Profil Pasien Meningitis Tuberkulosis 19

urnal of Neurology, Neurosurgery & Psychiatry.


2000;68(3):289–299.
5. Marais S, Thwaites G, Schoeman JF, Török ME, Mis-
ra UK, Prasad K, et al. Tuberculous meningitis: a uni-
form case definition for use in clinical research. The
Lancet infectious diseases. 2010;10(11):803–812.

6. Medical Research Council. Streptomycin treatment


of tuberculous meningitis. 1948;p. 582–597.
7. Torok ME, Yen NTB, Chau TTH, Mai NTH, Phu
NH, Mai PP, et al. Timing of initiation of antire-
troviral therapy in human immunodeficiency virus
(HIV)–associated tuberculous meningitis. Clinical
Infectious Diseases. 2011;52(11):1374–1383.
8. Kennedy DH, Fallon RJ. Tuberculous meningitis.
Jama. 1979;241(3):264–268.
9. Thwaites GE, Chau TTH, Farrar JJ. Improving the ba-
cteriological diagnosis of tuberculous meningitis. Jo-
urnal of clinical microbiology. 2004;42(1):378–379.

Jurnal Kedokteran
Assistancy in Medical-surgical Nursing Care for KOLABORASI
Patients with Nervous System Disorders: Lumbar Inspirasi
Fractures Masyarakat Madani

Vol. 002, No. 003


Pendampingan Asuhan Keperawatan Medikal Bedah pada Pasien PP. 226 – 237
dengan Gangguan Sistem Persyarafan: Fraktur Lumbal EISSN: 2809 - 0438

Nur Hidayat1, Noneng Nuraida2

1,2STIKes Muhammadiyah Ciamis, Ciamis, Indonesia

Korespondensi: Noneng Nuraida


Email: nonengnuraida78@gmail.com
Alamat : Jln. Raya Tasik-Garut Langkob, Tanjungsari, Tasikmalaya, 46471, Jawa Barat,
081223839823

ABSTRACT
Introduction: Lumbar fracture is a disease of the nervous system where the continuity of the
lower spine is broken. Lumbar fractures can be caused by predisposing factors such as traffic
accidents or falls, as well as precipitating factors such as obesity and lack of calcium intake that
cause low bone density.
Objective: This assistance is aimed at providing nursing care to Mrs. M with a medical diagnosis
of a lumbar fracture in the Famboyan room of the Banjar City Hospital in 2021.
Method: This assistance activity is carried out by providing nursing care with five stages of the
nursing process, including assessment, diagnosis, nursing planning, nursing implementation and
results.
Result: The results of the assistance showed that the patient's main complaint was low back pain,
the diagnosis that emerged in the patient was acute pain, after being given nursing actions from
6-10 December with the results the patient said the pain scale had decreased slightly, the patient
looked more relaxed.
Conclusion: After giving the nursing care process which was carried out on December 6-10 2021,
the problems found in Mrs. M with a medical diagnosis of a lumbar fracture that has not been
resolved.

Keywords: assistancy, fracture, lumbar, nursing care

Pendahuluan
Fraktur lumbal adalah benturan langsung atau tidak langsung yang terjadi pada area
tulang belakang bagian bawah. (van Den Hauwe, Sundgren, & Flanders, 2020). Fraktur lumbal
terjadi akibat gerakan mendadak atau jenis gerakan yang tidak mungkin terjadi pada regio
tertentu hingga mengakibatkan fraktur dan dislokasi columna vertebralis (Mahadevan, 2018).

226
Fraktur lumbal merupakan terputusnya kontinuitas tulang belakang bagian bawah (Arkusz,
Klekiel, Sławiński, & Będziński, 2019).
Menurut Roozenbeek et al. (2013) etiologi dari fraktur lumbal diantaranya kecelakaan lalu
lintas, Saat berolahraga, Kecelakaan industri dan Terjatuh dari ketinggian. Sözen et al. (2017)
menyebutkan fraktor presipitasi fraktur lumbal diantaranya osteoporosis yang terjadi pada lansia,
gangguan spinal bawaan atau cacat sejak lahir, obesitas atau kegemukan dan kepadatan tulang
rendah karena kurangnya asupan kalsium. Lim et al. (2018) membagi kelompok fraktur
berdasarkan penyebanya menjadi fraktur kompresi, fraktur kominutif, fraktur dislokasi dan
cedera pisau lipat.
Fraktur kompersi adalah jenis fraktur yang paling umum, ketika tulang hancur tetapi tetap
pada tempatnya kondisi ini sering terjadi pada penderita osteoporosis. Fraktur kominutif terjadi
ketika ada tekanan langsung pada corpus vertebralis dan tulang hancur atau patah menjadi
bebrapa bagian. Adapun fraktur dislokasi terjadi pada saat segmen vertebra bergerak ke luar
karena tekanan fraktur ini juga dapat terjadi pada ujung sendi (intra artikuler) sehingga
menyebabkan dislokasi posisi sendi secara bersamaan. Sedangkan cedera pisau lipat biasanya
terjadi pada kecelakaan mobil dengan kecepatan tinggi dan melakukan pengereman secara
mendadak sehingga menyebabkan tulang dalam keadaan terlipat fraktur dislokasi tidak jarang
terjadi pada sendi thoraks.

Tujuan
Asistensi ini bertujuan untuk memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan
gangguan sistem persyarafan (fraktur lumbal) di ruang flamboyan RSUD kota Banjar.

Metode
Kegiatan Asistensi Asuhan Keperawatan dilaksanakan pada tanggal 06-09 desember 2021
di Ruang Flamboyan RSUD Kota Banjar yang mencakup 5 tahapan asuhan keperawatan yang bisa
dilihat pada gambar 1 di bawah ini.

Assessment

Evaluation Diagnosis

Implementati
Intervention
on

227
Gambar 1. Nursing Process

Proses keperawatan merupakan metode ilmiah yang digunakan pada kegiatan


keperawatan untuk membantu dalam pemberian asuhan keperawatan. Proses keperawatan
membantu pemberi perawatan dalam implementasi praktik keperawatan yang sistematis dan
terarah dalam memecahkan masalah keperawatan pasien dengan menggunakan pengkajian,
diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan hasil (Firmansyah et al., 2021)
Pengkajian adalah langkah pertama dalam fase keperawatan. Assesmen adalah kegiatan
pengumpulan data pasien yang lengkap dan sistematis yang diselidiki dan di analisis untuk
mengidentifikasi masalah fisik, psikologis, sosial, mental atau kesehatan pasien (Salari et al., 2020)
Rencana keperawatan (Intervensi) adalah setiap rencana tindakan yang dilakukan pada
pasien untuk mengatasi masalah atau diagnosa yang dibuat pada pasien untuk mengatasi
masalah atau diagnosa yang dibuat pada pasien. Rencana perawatan yang dikembangkan dengan
baik mempromosikan perawatan lanjutan dari satu pengasuh ke pengasuh lainnya (Malik et al.,
2021; Suhanda et al., 2021)
Implementasi adalah suatu pelaksanaan keperawatan yang di susun pada tahap
perencanaan atau intervensi. Implementasi merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan
yang dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan (Widianti et al., 2021)
Evaluasi Tahap penilaian atau evaluasi merupakan nilai perbandingan yang sistematis
antara hasil implementasi dengan kriteria dan standar yang telah ditetapkan untuk melihat suatu
keberhasilan tindakan yang telah dilakukan atau merupakan hasil dari perkembangan klien yang
berpedoman dengan hasil atau tujuan yang akan dicapai (Setiawan et al., 2020)

Hasil dan Pembahasan


1. Pengkajian
a. Identitas
Nama : Ny. M
Umur : 54 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Agama : islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan : IRT
Suku bangsa : sunda
Status perkawinan : kawin
No CM : 44804
Tanggal masuk : 04 desember 2021
Tanggal pengkajian : 06 desember 2021
Alamat : RT/RW 04/11 DS. Bobojong, Kec. Mande Cianjur Jawa Barat
b. Keluhan Utama
Klien masuk ke RS pada tanggal 4 desember 2021 dengan keluhan nyeri pinggang
c. Riwayat Penyakit Sekarang
228
Saat dilakukan pengkajian pada tanggal 06 desember 2021, klien datang ke RS dengan
keluhan nyeri pinggang klien juga mengatakan mempunyai riwayat jatuh sekitar 1 bulan
yang lalu. Namun tidak langsung dibawa ke RS, setelah kondisi pasien semakin memburuk
baru keluarga pasien membawanya ke RS. Klien juga mengatakan sulit tidur karena nyeri
yang dirasakannya, klien mengatakan nyeri dengan karakteristik:
P: Nyeri dirasakan ketika bergerak dan dan berkurang ketika beristirahat namun
terkadang ketika istirahatpun masih terasa nyeri
Q: Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk
R: Nyeri dirasakan menjalar ke kedua kaki
S: Skala nyeri 7 (0-10)
T: Nyeri terkadang hilang timbul dan menjalar ke bagian kaki kiri dan kanan
d. Riwayat penyakit dahulu
Klien mengatakan mempunyai riwayat penyakit hipertensi dan DM
e. Riwayat penyakit keluarga
Klien mengtakan dalam keluarganya tidak ada yang mempunyai riwayat penyakit menular
seperti TBC, hepatitis maupun penyakit turunan seperti diabetes miletus, hipertensi dll.
f. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum : lemah
2) Kesadaran
Kualitatif : composmentis
Kuantitatif : E: 4 V:5 M:6
1) TTV
T : 140/80 mmHg
P : 81x/menit
R : 36.9C
S : 20x/menit
2) Sistem pernafasan
Inspeksi (dada simetris, hidung simetris, tidak ada secret, tidak ada lesi di area hidung,
tidak ada pembengkakan), Palpasi (tidak ada benjolan di area hidung dan dada).
Auskultasi (bunyi nafas vesikuler)
3) Sistem kardiovaskuler
Tekanan darah 140/80 mmHg, denyut nadi 81x/menit, suara jantung normal
terdengar lup dup tidak ada suara tambahan. Inspeksi (tidak terdapat sianosis pada
bibir, membran mukosa kering, tidak ada peninggian vena jugularis). Palpasi (tidak
ada nyeri tekan). Auskultasi (suara jantung normal)
4) Sistem pencernaan
Inspeksi (keadaan mulut bersih, gigi kumplit, perut tidak kembung, tidak ada lesi, tidak
ada benjolan di sekitar abdomen). Palapasi (tidak ada nyeri tekan di area mulut dan
tenggorokan). Auskultasi (bising usus dalam batas normal). Perkusi (terdengar suara
timpani)
5) Sistem perkemihan
Inspeksi (tidak terlihat adanya pembengkakan). Palpasi (tidak ada nyeri tekan)

229
6) Sistem penglihatan
Inspeksi (konjungtiva ananemis, bentuk mata simetris, pupil isokor, sklera berwarna
putih, tidak dapat pembengkakan di area mata, klien tidak menggunakan alat bantu
untuk melihat (kacamata). Palpasi (tidak ada nyeri tekan di area mata)
7) Sistem pendengaran
Inspeksi (kedua bentuk telingan simetris, tidak ada serumen, tidak menggunakan alat
bantu dengar). Palpasi (tidak terdapat nyeri tekan pada telinga)
8) Sistem Endokrin
Inspeksi (bentuk leher simetris, tidak ada kelainan, tidak terdapat pembengkakan
tiroid). Palpasi (tidak terdapat benjolan di area leher)
9) Sistem Muskuloskeletal
Ektremitas atas (kanan dan kiri lengkap, tidak terdapat pembengkakan, pergerakan
ektremitas normal, tidak ada kelainan). Ektremitas bawah (Ektremitas bawah kanan
dan kiri lengkap, kaki sebelah kanan dan kiri tidak bisa di gerakan karena mengalami
karena mengalami nyeri).
Kekkuatan Otot

2 5
2 2
10) Sistem Integumen
Inspeksi (warna kulit sawo matang, , tidak terjadi sianosis, tidak ada lesi, rambut hitam
dan lurus). Palpasi (turgor kulit lambat, tidak ada nyeri tekan)
11) Sistem Reproduksi
Inspeksi (klien berjenis kelamin perempuan, terpasang DC).
12) Sistem Persyarafan
Nervus I (Olvaktorius) (fungsi penciuman baik, klien dapat memmbedakan wangi kayu
putih dan aroma parfum). Nervus II (Optikus) (letak kedua mata simetris, fungsi
penglihatan baik). Nervus III (Okulomotorius) (bentuk kedu mata simetris, pergerakan
bola mata normal). Nervus IV (Thoraklearis) (klien dapat menggerakan bola mata ke
kanan dan ke kiri). Nervus V (Trigeminus) (klien dapat membuka dan menutup mata
dengan baik, klien dapat mengunyah dan menelan tanpa hambatan). Nervus VI
(Abdusen) (klien dapat menggerakan bola mata ke samping dan posisi pandangan
lurus kedepan). Nervus VII (Facialis) (bentuk bibir simetris, fungsi pengecapan baik,
lien dapat membedakan rasa manis dan pahit). Nervus VIII (Vestibulo) (fungsi
pendengaran baik). Nervus IX (Glosofaringeal) (klien bisa membedakan rasa manis,
asin dan asam pada saat makan). Nervus X (Vagus) (gerakan lidah baik, fungsi sensorik
dan motorik baik). Nervus XI (acesori) (gerakan kepala dan bahu normal). Nervus XII
(Hipoglosius) (klien dapat menggerakan lidahnya ke kiri dan kanan).

230
g. Pola Aktivitas
No Jenis Pengkajian Sebelum Sakit Setelah Sakit
1. Pola Nutrisi
a. Makan
Frekuensi 3x/hari 2x/hari
Jenis Nasi dan lauk pauk Bubur
Porsi 1 Porsi 1 Porsi
Cara Oral Oral
Keluhan - -
b. Minum
Frekuensi 7-8 gelas/hari 2-3 gelas/hari
Jenis Air Putih Air Putih
Cara Oral Oral
Keluhan - -
2. Pola Eliminasi
a. BAB
Frekuensi 2-3x/hari 1x/hari (tidak menentu)
Konsistensi Padat semi lembek Lembek semi cair
Warna Kuning Kuning
Bau Khas feses Khas feses
Cara Mandiri Menggunakan diapers
Keluhan -
b. BAK
Frekuensi 5-6x/hari 3-4x/hari
Warna Kuning jernih Kuning
Bau Khas amoniak Khas amoniak
Cara Mandiri Melalui dower cateter
Keluhan - -

3. Pola Istirahat
a. Siang 2 jam/hari 2-3 jam/hari
b. malam 6-8 jam/hari 5-6 jam/hari
4. Personal Hygiene
a. Mandi 2x/hari Tidak menentu
b. Gosok Gigi 2x/hari -
c. Ganti Pakaian 2x/hari 0-1x/hari
d. Cara Mandiri Dibantu total
e. Keluhan - -

h. Data Psikologis, Sosial, Dan Spiritul


1) Data Psikologis
Klien mengatakan nyeri pinggang yang menjalar ke kaki kiri dan kanan, klien mengatakan
kesulitan dalam bergerak klien juga mengalami kesulitan untuk tidur karena nyeri yang
dialaminya. Klien sering kali meringis kesakitan dan mengeluh nyeri terus menerus, klien
berharap bisa sembuh dan segera pulih dari penyakitnya.

231
2) Data Sosial
Klien dapat berkomunikasi dan berinteraksi meskipun tidak terlalu koperatif saat diajak
berbicara.
3) Data Spiritual
Klien berdoa untuk sembuh dari penyakitnya, klien optimis untuk sembuh, klien juga
mengatakan bahwa setiap penyalit pasti ada obatnya, namun klien pasrah dan berserah
diri kepada Alloh SWT, untuk kesembuhan penyakitnya

i. Data penunjang

Nilai Normal & Satuan


Jenis pemeriksaan Hasil Hasil Keterangan
10.0 12-15 gr/dl
HB
15.7 4.4-11.3 ribu\mm3
Leukosit
356 150-450 ribu\mm3
Trombosit
398 70-100 mg/dl
Glukosa darah puasa
28 35-47 %
Hematokrit
3.5 4.1-5.1 juta/Ul
eritrosit
j. Terapi Obat
1. PCT 3x500mg
2. Ceftriaxone 1x2gr
3. eperison 3x1
4. melformin 3x500
5. glimiperid 1x1
6. kalk 2x1
7. laccosib 1x
8. ranitidin 2x1
9. tramadol 2amp
10. mecobalamin 1amp

2. Diagnosa Keperawatan
Tulis diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien. Diagnosa yang muncul pada pasien
tuberkulosis dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2 Diagnosa Keperawatan


Nomor
No Diagnosa Halaman
Diagnosa
1 Nyeri akut b.d agen pencedera fisik D.0077 172
Ditandai dengan :
Ds : klien mengatakan nyeri pinggang, nyeri menjalar ke kaki
Do : Klien tampak meringis dan gelisah, Frekuensi nyeri
meningkat, TD : 150/80, N : 120X/ menit

232
2 Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan integritas struktur D.0054 124
tulang ditandai dengan :
DS : klien mengatakan ekstremitas bawah sulit untuk
digerakan karena terasa sakit
DO : Kekuatan otot menurun, Rentang gerak ROM menurun,
Gerakan terbatas, Fisik lemah, Nilai kekuatan otot
5 5

2 2

Sumber: Buku Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, PPNI (2016)

233
Tabel Intervensi dan Luaran Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Intervensi Implementasi
No Diagnosa Evaluasi Paraf
Hasil
1 Nyeri akut b.d Setelah dilakukan 1. identifikasi 1. mengidentifikasi S: Klien
agen tindakan keperawatan lokasi,karakteristik, lokasi,karakteristik, mengtakan nyeri
pencedera nyeri akut, diharapkan durasi, kualitas durasi, kualitas panggul nyeri
fisik nyeri dapat berkurang dan intensitas dan intensitas menjalar ke kaki
dengan skala 5 (0-10) nyeri nyeri kiri dan kanan
dengan kriteria hasil: 2. identifikasi skala 2. mengidentifikasi O:
1. Skala nyeri dapat nyeri skla nyeri P: Nyeri
berkurang 3. identifikasi faktor 3. mengidentifikasi dirasakan saat
2. Frekuensi nadi yang memperberat faktor yang bergerak dan
dalam batas dan memperingan memperberat dan menurun saat
normal nyeri memperingan beristirahat.
4. observasi TTV nyeri terkadang saat
5. anjurkan tekhnik 4. mengobservasi istirahatpun
relaksasi nafas TTV masih terasa
dalam 5. menganjurka nyeri
6. kolaborasi tekhnik relaksasi Q: Nyeri seperti
pemberian terapi dan distraksi tertikam
6. berkolaborasi R: Nyeri menjalar
dalam pemberian ke kaki
terapi S: Skala nyeri 7
mengganti cairan (0-10)
RL drip tramadol 1 T: Nyeri
ampul dan mecob terkadang hilang
1 ampul timbul dan
menyebar
TD: 140/80
mmHg
P: 96x/ menit
R: 20x/ menit
S: 36,7

234
A: Masalah
belum teratasi
P: Lanjutkan
intervensi
1. Kaji skala
nyeri
2. Kolaborasi
pemberian
infus RL
3. anjurkan
tekhnik
relaksasi dan
distraksi
2 Gangguan Setelah dilakukan 1. kaji kemampuan 1. mengkaji S: klien
mobilitas fisik tindakan keperawatan klien dalam kemampuan klien mengatakan
b.d kerusakan diharapakan mobilitas bergerak dalam bergerak mengalami
integritas fisik dapat teratasi 2. identifikasi 2. mengidentifikasi kesulitan untuk
struktur dengan kriteria hasil: keluhan fisik keluhan fisik bergerak
tulang 1. pergerakan lainnya lainnya O: klien tampak
ekstremitas 3. identifikasi 3. mengidentifikasi meringis, klien
meningkat toleransi fisik toleransi untuk tampak lemah
2. kekuatan otot untuk melakukan melakukan A: masalah
meningkat pergerakan pergerakan belum teratasi
3. rentang gerak 4. monitor kondisi 4. memonitor kondisi P: lanjutkan
ROM umum selama umum selama intervensi
meningkat melakukan mobilisasi 1. monitor
4. kelemahan mobilisasi 5. melibatkan kekuatan
fisik menurun 5. libatkan keluarga keluarga pasien otot
dalam membantu untuk membantu 2. melatih
meningkatkan melakukan ROM
pergerakan klien pergerakan

Sumber: Buku Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, PPNI (2016)

235
Kesimpulan
Kegiatan asuhan keperawatan di ruang Flamboyan RSUD Kota Banjar berjalan dengan lancar.
Pasien dan keluarga mampu memahami tindakan-tindakan yang telah dilakukan dengan baik.
Keluarga pasien dapat mempraktekan apa yang telah dilakukan oleh perawat, karena perawat
selalu melibatkan keluarga dalam tindakan yang sekiranya dapat dilakukan keluarga untuk
memandirikan keluarga dan pasien dalam melakukan perawatan terhadap pasien jika nanti
sudah dibolehkan pulang ke rumah.
Kegiatan asuhan keperawatan sangat memberikan manfaat dalam meningkatkan
pengetahuan tentang bagaimana perawatan post rawat inap dirumah kepada keluarga pasien.
Kegiatan ini perlu dilakukan secara lebih mendalam dan konsisten agar menambah pengetahuan
dan keterampilan kepada keluarga pasien.

Daftar Pustaka
1. Arkusz, K., Klekiel, T., Sławiński, G., & Będziński, R. (2019). Influence of energy absorbers on
Malgaigne fracture mechanism in lumbar-pelvic system under vertical impact load. Computer
Methods in Biomechanics and Biomedical Engineering, 22(3), 313–323.
2. Firmansyah, A., Setiawan, H., & Ariyanto, H. (2021). Studi Kasus Implementasi Evidence-Based
Nursing: Water Tepid Sponge Bath Untuk Menurunkan Demam Pasien Tifoid. Viva Medika:
Jurnal Kesehatan, Kebidanan Dan Keperawatan, 14(02), 174–181.
3. Lim, J., Choi, S.-W., Youm, J.-Y., Kwon, H.-J., Kim, S.-H., & Koh, H.-S. (2018). Posttraumatic
delayed vertebral collapse: Kummell’s disease. Journal of Korean Neurosurgical Society, 61(1),
1.
4. Mahadevan, V. (2018). Anatomy of the vertebral column. Surgery (Oxford), 36(7), 327–332.
5. Malik, A. A. A., Malik, A. A., Padilah, N. S., Firdaus, F. A., & Setiawan, H. (2021). Warm
Compress on Lowering Body Temperature Among Hyperthermia Patients: A Literature
Review. International Journal of Nursing and Health Services (IJNHS), 4(3), 344–355.
6. Roozenbeek, B., Maas, A. I. R., & Menon, D. K. (2013). Changing patterns in the epidemiology
of traumatic brain injury. Nature Reviews Neurology, 9(4), 231–236.
7. Salari, N., Hosseinian-Far, A., Jalali, R., Vaisi-Raygani, A., Rasoulpoor, S., Mohammadi, M., …
Khaledi-Paveh, B. (2020). Prevalence of stress, anxiety, depression among the general
population during the COVID-19 pandemic: a systematic review and meta-analysis.
Globalization and Health, 16(1), 1–11.
8. Setiawan, H., Roslianti, E., & Firmansyah, A. (2020). Theory Development of Genetic
Counseling among Patient with Genetic Diseases. International Journal of Nursing Science and
Health Services, 3(6), 709–715. https://doi.org/http://doi.org.10.35654/ijnhs.v3i6.350
Abstract.
9. Sözen, T., Özışık, L., & Başaran, N. Ç. (2017). An overview and management of osteoporosis.
European Journal of Rheumatology, 4(1), 46.
10. Suhanda, Setiawan, H., Ariyanto, H., & Oktavia, W. (2021). A Case Study: Murotal Distraction
to Reduce Pain Level among Post-Mastectomy Patients Suhanda1,. International Journal of
Nursing and Health Services (IJNHS), 4(3), 325–331.
https://doi.org/http://doi.org.10.35654/ijnhs.v4i3.461 Abstract.
11. van Den Hauwe, L., Sundgren, P. C., & Flanders, A. E. (2020). Spinal trauma and spinal cord
injury (SCI). Diseases of the Brain, Head and Neck, Spine 2020–2023, 231–240.

236
12. Widianti, W., Andriani, D., Firdaus, F. A., & Setiawan, H. (2021). Range of Motion Exercise to
Improve Muscle Strength among Stroke Patients: A Literature Review. International Journal
of Nursing and Health Services (IJNHS), 4(3), 332–343.

237
Assistancy of Medical Surgical Nursing for Patients KOLABORASI
with Nervous System Disorders (Hemorrhagic Stroke) Inspirasi
in Flamboyant Room, General Hospital of Banjar Masyarakat Madani

Vol. 002, No. 002


Pendampingan Asuhan Keperawatan Medikal Bedah pada Pasien PP. 175 – 197
dengan Gangguan Sistem Persyarafan (Stroke Hemoragik) di Ruang EISSN: 2809 - 0438
Flamboyan RSUD Banjar

Nea Sherina1, Dadan Ramdan2, Nur Hidayat3

1,3STIKes Muhammadiyah Ciamis, Ciamis, Indonesia


2RSUD Kota Banjar, Banjar, Indonesia

Korespondensi:
Nur Hidayat
Email:
Nurhidayatskm2018@gmail.com
Alamat :
Jl. KH. Ahmad Dahlan no 20 Ciamis 46216

ABSTRACT
Introduction: Stroke is a rapid and sudden loss of brain function caused by impaired blood flow
to the brain (ischemic) or rupture of a blood vessel in the brain (hemorrhagic). clear (pelo),
changes in consciousness, visual disturbances, and others. Clinically, the symptoms that often
appear in stroke patients are the presence of himiparesis or hemiplagia. Where the occurrence
of damage to one side of the brain
Objective: This assistance aims to provide nursing care to patients Mr. S with a medical diagnosis
of Hemorrhagic Stroke in the Flamboyan Room at the Banjar City General Hospital.
Method: Assistance activities are carried out by providing nursing care through 5 processes
including assessment, nursing diagnosis, nursing intervention, nursing implementation, and
nursing evaluation.
Result: The results explain the main problems that arise with the diagnosis of ineffective cerebral
tissue risk, physical mobility barriers have not been overcome because the patient died before
the intervention was completed. However, the diagnosis of an ineffective breathing pattern is
partially resolved because it helps in maintaining O2 in the body.
Conclusion: The provision of nursing care with a medical diagnosis of Hemorrhagic Stroke was
partially resolved.

Keyword: assistancy, haemorhagic, stroke

175
Pendahuluan
1. Definisi
Urutan penyakit paling banyak ditemui di masyarakat merupakan penyakit
kardiovaskuler dan stroke (Faiza Yuniati & Sari, 2021). Umumnya stroke bisa terjadi pada
semua usia, paling banyak terjadi pada rentang usia 65 tahun keatas (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, 2019) (“Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,” 2019)
dan penyebab utama kematian besar nomor dua di dunia. WHO menyatakan bahwa sejak
tahun 2000 terjadi peningkatan besar pada kematian akibat stroke dari 2 juta menjadi 8,9
juta (11%) pada tahun 2019 (World Health Organization, 2020). Stroke merupkan kehilangan
fungsi otak secara cepat dan mendadak, yang disebabkan oleh gangguan aliran darah ke otak
(iskemik) atau pecahnya pembuluh darah di otak (hemoragik) (Nurtanti & Ningrum, 2018).
Gangguan tersebut menimbulkan gejala-gejala seperti kelumpuhan wajah atau anggota
badan, bicara tidak lancar, bicara tidak jelas (pelo), perubahan kesadaran, gangguan
penglihatan, dan lain-lain (Bakara & Warsito, 2016).
Jika dalam waktu 3 jam tanda-tanda yang ditimbulkan tidak segera ditangani maka
akibat yang ditimbulkan sangat fatal, karena secara klinis gejala yang sering muncul pada
penderita stroke adalah adanya himipararese atau hemiplagi. Dimana terjadinya kerusakan
pada salah satu sisi bagian otak (Nurartianti & Wahyuni, 2020)

2. Etiologi
Faktor penyebab stroke ada dua yaitu faktor presdisposisi dan faktor presipitasi.
Adapun penyebab stroke menurut (Anwairi, 2020) yaitu:
a. Faktor Predisposisi
1) Trombosis (bekuan darah didalam pembuluh darah otak atau otak)
2) Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari bagian
tubuh yang lain)
3) Iskemia (penurunan aliran darah ke area otak)
4) Hemoragi serebral (pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke dalam
jaringan otak atau ruang sekitar otak) (Anwairi, 2020).
b. Faktor Presipitasi :
1) Hipertensi
2) Penyakit jantung
3) Kolestrol tinggi
4) Obesitas
5) Diabetes mellitus
6) Polistermia (kelebihan produksi eritrosit)
7) Gaya hidup yag buruk, seperti : merokok, mengkonsumsi alkohol, mengkonsumsi
obat-obatan terlarang,aktivitas yang kurang, kurangnya berolahraga, faktor makanan
yang mengandung kolesterol tinggi (Jannah & Djannah, 2021).
c. Faktor Resiko
1) Usia
2) Jenis Kelamin
3) Keturunan (Jannah & Djannah, 2021)

176
3. Klasifikasi
Stroke dibagi menjadi 2, yaitu stroke hemoragik dan stroke non hemoragik.
Diperkirakan stroke non hemoragik (iskemik) mencapai 85% dari jumlah stroke yang terjadi
(Handayani & Dominica, 2018)
a. Stroke Iskemik
Stroke iskemik (non hemoragik) terjadi bila pembuluh darah yang memasok darah
ke otak tersumbat. Jenis stroke ini yang paling umum (hampir 90% stroke adalah iskemik).
Kondisi yang mendasari stroke iskemik adalah penumpukan lemak yang melapisi dinding
pembuluh darah (disebut aterosklerosis). Kolesterol, homocysteine dan zat lainnya dapat
melekat pada dinding arteri, membentuk zat lengket yang disebut plak. Seiring waktu,
plak menumpuk. Hal ini sering membuat darah sulit mengalir dengan baik dan
menyebabkan bekuan darah (trombus) Gejala stroke iskemik ini dapat bervariasi pada
seseorang yang mengalaminya, tergantung pada lokasi arteri di bagian otak yang
terpengaruh.
b. Stroke hemoragik
Stroke hemoragik disebabkan oleh kebocoran atau pecahnya pembuluh darah di
dalam atau di sekitar otak, menghalangi suplai darah ke jaringan otak yang dituju. Selain
itu, darah mengalir masuk dan menekan jaringan otak di sekitarnya, mengganggu atau
mematikan fungsinya.
1) Perdarahan intra serebral (PIS)
Pendarahan otak disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah Otak membuat
darah mengalir keluar dari pembuluh darah, dan kemudianmenjadi jaringan otak
(Junaidi, 2011). Penyebab ICH biasanya Dinding yang rusak akibat tekanan darah tinggi
yang berkepanjangan pembuluh darah, salah satunya adalah terjadinya
mikroaneurisma. Pemicu lainnya adalah stres fisik, emosi, tekanan darah tinggi
Pembuluh darah pecah tiba-tiba. sekitar 60-70% ICH disebabkan oleh tekanan darah
tinggi. Alasan lain adalah deformitas Pembuluh darah kongenital, koagulopati.
Faktanya, 70% kasus mengakibatkan fatal, terutama jika perdarahannya banyak
(besar) (Rahmadhani, Diana, Lestari, & Riesmiyatiningdyah, 2020)
2) Perdarahan ekstra serebral / perdarahan sub arachnoid (PSA)
Perdarahan subarachnoid adalah keluarnya darah ke dalam ruang
subarachnoid Dari situs lain (perdarahan subarachnoid sekunder) dan sumber lain
perdarahan subarachnoid ruang subarachnoid primer) (Rahmadhani et al., 2020)
Penyebab paling umum PSA primer adalah ruptur aneurisma (51-75%) dan sekitar 90%
Aneurisma yang menyebabkan PSA berupa aneurisma sakular kongenital,
hemangioma (6-20%), koagulopati (iatronik/antikoagulan), abnormal Hematologi
(misalnya, trombositopenia, leukemia, anemia aplastik), Tumor, infeksi (misalnya,
vaskulitis, sifilis, ensefalitis, herpes simpleks, mikosis, tuberkulosis), idiopatik atau
tidak diketahui (25%), dan trauma kepala (Junaidi, 2011). Sebagian besar kasus PSA
terjadi tanpa penyebab eksternal, tetapi Sepertiga kasus terkait dengan stres mental
dan fisik. aktivitas fisik Menonjol, misalnya: angkat beban, membungkuk, batuk atau
bersin Terlalu keras, tegang, dan melakukan hubungan seksual (intercourse).

177
4. Patofisiologi dan pathway
Ada dua jenis stroke hemoragik, yaitu stroke hemoragik intraserebral, yang
menyumbang 75%, dan stroke subarachnoid hemoragik, yang menyumbang 25%. Stroke
subarachnoid hemoragik terjadi karena malformasi vaskular, melemahnya pembuluh darah
karena aneurisma yang melebar, dan efek obat-obatan seperti kokain, dekongestan, dan
antikoagulan. Terjadinya stroke hemoragik serebral dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu
angiopati amiloid. Angiopati amiloid terjadi ketika deposit amiloid di pembuluh darah
menyebabkan dinding pembuluh melemah.
Faktor kedua dipengaruhi oleh tekanan darah tinggi, yang juga dapat menyebabkan
pembuluh darah melemah. Stroke hemoragik biasanya disebabkan oleh peningkatan tekanan
darah atau tekanan darah tinggi. Selain itu, stroke hemoragik dipengaruhi oleh beberapa
faktor lain. Peningkatan tekanan darah atau aliran darah yang cepat ke otak menyebabkan
pembuluh darah pecah.
Pecahnya pembuluh darah pada stroke hemoragik terjadi ketika pembuluh darah di
parenkim otak pecah, menyebabkan hematoma oleh efek massa neurotoksisitas komponen
darah dan inisiasi degradasi, menyebabkan kerusakan jaringan. Derajat hematoma dapat
meningkatkan tekanan intrakranial di otak. Menyebabkan lisis sel darah merah,
menyebabkan Hb sitotoksik, menyebabkan pelepasan komponen Hb (heme dan besi), dan
menyebabkan pembentukan radikal bebas melalui oksidasi. Oksidasi ini dapat merusak
protein, asam nukleat, karbohidrat dan lemak serta dapat menyebabkan nekrosis (Soewarno
& Annisa, 2017)

178
Faktor yang dapat diubah

b. Faktor Resiko Pelaku 1. Hipertensi


a. Faktor Resiko Medis 2. penyakit jantung
1. Arteroskleosis(pengeras 1. Kebiasaan merokok 3. Diabetes
an pembuluh darah) 2. Mengkonsumsi soda dan alkohol 4. Hiperkolestrolemia
2. Riwayat keluarga stroke 3. makan makanan cepat saji (fast 5. Obesitas dan
(faktor genetik) food/junkfood) 6. merokok
3. Migraine (sakit kepala) 4. Kurangnya olahraga
Faktor yang tidak dapat diubah
5. Perasaan yang tidak
menyenangkan, seperti marah 1. Usia
tanpa alasan 2. Jenis kelamin
3. Riwayat keluarga
4. perbedaan ras

Infiltrasi limposit (trombus )

Pembuluh darah menjadi kaku

Pembuluh darah menjadi pecah

Kompresi Jaringan Otak

Stroke Hemoraagic

179
Ketidakamanan Tranfortasi

Gejala Penyakit Kurang terpapar Informasi


Proses metabolisme Resiko Cedera
odalm otak terganggu

Kurang Defisit Pengetahuan


pengendlian
situasional Agen Iskemia
Penurunan suplai darah & O2 ke otak pracedera
Peningkatan TIK

Gangguan Nyeri akut


Rasa Nyaman
Hipoksia Penurunan
Kesadaran Hipertensi Penekanan Arteri
Arteri verterba basialis Saluran cerebral
Pernapasan media
Resiko Syok Resiko Aspirasi
Risisko Perfusi
Serebral ttidak
efektif
Hambatan
upaya
Difungsi
Kerusakan napas
Disfungsi N.XI Penurunan N XI
(Assesoris) neorocerebrospinal
fungsi N.X
N VII, N IX, N.XII
( Vagus)
Pola napas
tidak efektif
Kelemahan Kegagalan
anggota fisik Kehilangan fungsi Proses menelan tidak menggera
tonus otot fasial efektif kan tubuh

180
Penurunan Kelemahan
qqq5 Penurunan Gangguan Refluks
Kekuatan Kelemahan
otot sirkulasi serebrovas
Sekebral kular

j Intoleransi Program Dedisit


Gangguan Ketidakma
mobilitas aktivitas Gangguan Gangguan perawatan Perawatan
mpuan
Fisisk Komunikasi Verbal Menelan Diri
menelan
makanan
Interaksi
interpersonal
tidak
Defisit memuaskan
Nutrisi

Ketidakberdayaaan

181
5. Manifestasi klinik menurut (Setiyawan, Nurlely, & Harti, 2019)
a. Tanda Stroke Hemoragik
1) Sakit kepala hebat tiba – tiba
2) Kelemahan di lengan atau di kaki
3) Penurunan kesadaran.
4) Kehilangan keterempilan motorik (gerak) halus.
5) Kehilangan keseimbangan tubuh.
b. Gejala stroke hemoragik meliputi:
1) Kejang tanpa riwayat kejang sebelumnya
2) Mual atau muntah.
3) Gangguan penglihatan
4) Kesemutan atau mati rasa.
5) Kesulitan bicara atau memahami pembicaraan.
6) Kesulitan menelan.
7) Kesulitan menulis atau membaca.
8) Kelainan pada rasa pengecapan.
9) Kehilangan kesadaran.

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan stroke hemoragik (Bakhtiar & Rochana, 2020) yaitu:
a. Angiografi Serebral: identifikasi penyebab spesifik stroke, seperti perdarahan atau
penyumbatan arteri
b. Single-photon emission computed tomography (SPECT): untuk mendeteksi daerah
abnormal dan daerah otak yang mendeteksi, menemukan, dan mengukur stroke
(sebelum muncul pada pemindaian CTScan)
c. Computed tomography: Pemindaian ini menunjukkan, antara lain, lokasi edema, lokasi
hematoma, keberadaan dan lokasi pasti infark atau iskemia di jaringan otak.Pemeriksaa
ini harus segera (kurang dari 12 jam) dilakukan pada kasus dugaan perdarahan
subaraknoid. Bila hasil CT Scan tidak menunjukan adanya perdarahan subaraknoid, maka
langsung dilanjutkan dengan tindakan fungsi lumbal untuk menganalisa hasil cairan
serebrospinal dalam kurun waktu 12 jam. Kemudian dilanjutkan pemeriksaan
spektrofotometri cairan serebrospinal untuk mendeteksi
adanya xanthochro xanthochromia.
d. MRI: Hasil yang diperoleh dengan menilai lokasi dan derajat perdarahan otak
menggunakan gelombang magnet adalah lesi dan infark karena perdarahan.MRI tidak
dianjurkan untuk mendeteksi perdarahan dan tidak disarankan untuk mendeteksi
perdarahan subarachnoid.
e. EEG: Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh jaringan otak
f. Pemeriksaan laboratorium: darah rutin, gula darah, urin rutin, cairan serebrospinal, AGD,
biokimia darah, elektrolit, fungsi koagulasi, hitung darah lengkap.

182
7. Terapi farmakologi dan non-farmakologi
Adapun penatalaksanaan terapi farmakologis menurut (Saidi & Andrianti, 2021) yaitu :
a. Penatalaksanaan Medis (terapi farmakologi)
1) Mitigasi cedera iskemik serebral
Intervensi pertama berfokus pada mempertahankan sebanyak mungkin area iskemik
dengan menyediakan oksigen, glukosa, dan aliran darah yang cukup dengan
mengontrol atau memodifikasi aritmia dan tekanan darah.
2) Pemberian Deksametason
3) Dengan menaikkan kepala, yang mengontrol hipertensi dan menurunkan tekanan
intrakranial, sebesar 1530 derajat untuk mencegah kepala menekuk atau berputar
berlebihan.
4) Perawatan
a) Antikoagulan: Heparin untuk mengurangi kecenderungan perdarahan pada fase
akut
b) Antitrombotik: Pemberian ini dimaksudkan untuk mencegah kejadian trombolitik
atau emboli
c) Diuretik: Untuk mengurangi edema serebral
5) Pembedahan
Endarterektomi arteri karotis dilakukan untuk meningkatkan aliran darah di otak.
b. Penatalaksanaan Keperawatan terapi non-farmakologi (Saidi & Andrianti, 2021)
1) Posisi tubuh dan kepala pada 15-30 derajat. Gerakan bertahap dapat dimulai setelah
pasien berada di sisinya dengan muntah dan hemodinamik stabil.
2) Jaga agar jalan napas tetap bersih dan ventilasi memadai.
3) Mempertahankan tanda vital stabil
4) Istirahat di tempat tidur
5) Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
6) Hindari demam, batuk, sembelit, dan minum berlebihan.

8. Komplikasi
Komplikasi Stroke Hemoragik menurut (Mutiarasari, 2019) yaitu :
a. Hipoksi Serebral
Pemberikan oksigenasi darah adekuat di otak diminimalkan.
b. Penurunan aliran darah serebral
Tergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas vaskular.
c. Emboli Serebral
Dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium, atau dapat terjadi akibat katup
jantung buatan
d. Disritmia
Dapat menyebabkan fluktuasi curah jantung dan henti trombotik lokal.

Sedangkan komplikasi pada masa pemulihan atau lanjut yaitu :


a. Komplikasi yang sering terjadi pada masa lanjut atau pemulihan biasanya terjadi akibat
immobilisasi seperti pneumonia, dekubitus, kontraktur, thrombosis vena dalam, atropi,
inkontinensia urine dan bowl.

183
b. Kejang, terjadi akibat kerusakan atau gangguan pada aktifitas listrik otak
c. Nyeri kepala kronis seperti migraine, nyeri kepala tension, nyeri kepala clauster
d. Malnutrisi, karena intake yang tidak adekuat.

9. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul pada pasien dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1 Diagnosa Keperawatan


Nomor
No Diagnosa Halaman
Diagnosa
1 Gangguan perfusi serebral tidak efektif 0017 49
2 Gangguan Mobilitas Fisik 0054 124
3 Pola napas tidak efektif 0005 26
4 Resiko Syok 0039 92
5 Resiko Cedera 0136 294
6 Gangguan Komuikasi Verbal 0119 264
7 Gangguan Menelan 0063 142
8 Defisit Nutrisi 0019 56
9 Gangguan Rasa Nyaman 0074 166
10 Nyeri Akut 0077 172
11 Defisit Pengetahuan 0111 246
12 Risiko Aspirasi 0006 28
13 Intoleransi Aktivitas 0056 126
14 Ketidakberdayaan 0092 202
15 Defisist Perawatan Diri 0109 240
Sumber: Buku Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, PPNI (2006)

Tujuan
Asistensi ini bertujuan untuk memberikan asuhan keperawatan kepada pasien Sdr. S
dengan menggunakan diagnosa medis Stroke Hemoragik pada ruang Flamboyan RSUD Kota
Banjar.

Metode
Kegiatan Asistensi Asuhan Keperawatan dilaksanakan pada tanggal 06-07 Desember 2022
di Ruang Flamboyan RSUD Kota Banjar yang mencakup 5 tahapan asuhan keperawatan yang
dapat dilihat pada gambar 1.
Proses keperawatan adalah metode ilmiah yang digunakan dalam kegiatan keperawatan
untuk membantu pemberi asuhan memberikan asuhan secara profesional (Firmansyah, etal.,
2021). Proses keperawatan membantu pemberi perawatan dalam implementasi praktik
keperawatan yang sistematis dan terarah dalam memecahkan masalah keperawatan pasien.
Proses keperawatan dimulai dengan evaluasi, diagnosis, intervensi, implementasi, dan evaluasi.

184
Assessment

Evaluation Diagnosis

Implementati
Intervention
on

Gambar 1. Nursing Process

Pengkajian merupakan proses pertama dalam fase keperawatan. Asesmen adalah


kegiatan pengumpulan data pasien yang lengkap dan sistematis yang diselidiki dan dianalisis
untuk mengidentifikasi masalah fisik, psikologis, sosial, mental atau kesehatan pasien (Ulina, Eka,
& Yoche, 2020).
Diagnosa keperawatan menggambarkan reaksi individu atau kelompok manusia (resiko
status kesehatan atau perubahan pola) dan diturunkan dari proses pengkajian pertama yang
dilakukan melalui proses analitis (Ariyanto, et al., 2021). Penegakan diagnosis keperawatan harus
memenuhi beberapa persyaratan, antara lain pernyataan yang jelas dan ringkas dari reaksi klien
terhadap situasi atau situasi tertentu, instruksi keperawatan yang spesifik dan akurat, dapat
dilakukan oleh staf keperawatan, dan klien. Dapat mencerminkan status kesehatan (Atmanto,
Aggorowati, & Rofii, 2020).
Rencana perawatan (intervensi) adalah setiap rencana tindakan yang dilakukan pada
pasien untuk mengatasi masalah atau diagnosa yang dibuat pada pasien. Rencana perawatan
yang dikembangkan dengan baik mempromosikan perawatan lanjutan dari satu pengasuh ke
pengasuh lainnya (Suhanda, et al., 2021). Ini memberi semua staf perawat kesempatan untuk
memastikan perawatan yang konsisten dan berkualitas. Beberapa langkah dalam
mengembangkan rencana asuhan keperawatan meliputi penetapan prioritas, penetapan kriteria
tujuan dan hasil yang diharapkan, penetapan intervensi keperawatan yang tepat, dan pembuatan
rencana asuhan keperawatan (Koerniawan, Daeli, & Srimiyati, 2020).
Implementasi keperawatan merupakan implementasi dari suatu rencana tindakan untuk
mencapai tujuan tertentu. Pengasuh harus memiliki keterampilan kognitif (intelektual),
interpersonal, dan perilaku agar berhasil dalam memberikan perawatan sesuai dengan rencana
perawatan. Proses implementasi harus didasarkan pada kebutuhan pelanggan, faktor lain yang
mempengaruhi kebutuhan perawatan, strategi implementasi perawatan, dan aktivitas
komunikasi (Setiawan, et al., 2021)

185
Evaluasi adalah penilaian respon pasien terhadap perilaku keperawatan yang telah
dilakukan oleh pemberi asuhan terhadap pasien dengan mengacu pada kriteria atau kriteria hasil
yang telah ditetapkan sebelumnya dalam pengembangan tujuan. Penilaian biasanya merupakan
hasil atau penilaian total yang dilakukan dengan membandingkan proses atau penilaian formatif
yang dilakukan setelah setiap tindakan diselesaikan dengan respon klien terhadap tujuan
tertentu dan tujuan umum yang telah ditetapkan sebelumnya. Itu dilakukan. (Supratti & Ashriady,
2018).

Hasil dan Pembahasan


1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Nama : Tn. S
Nomor CM : 448447
Umur : 68 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Kertajaya rt 10 rw 07
Tanggal masuk : 03-12-2021
Tanggal pengkajian : 06-12-2021
Diagnosa medis : Stroke PIS
b. Keluhan Utama
Kelemahan pada anggota gerak bagian kanan
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien masuk ke Rumah Sakit tanggal 03-12-2021 pada pukul 23:26 WIB dengan keadaan
penurunan kesadaran. Pada saat pengkajian tanggal 06-12-2021 Keluarga pasien
mengatakan bahwa Tn. S ditemukan pingsan pada puku 12.00 WIB di dapur ketika hendak
makan lalu dibawa ke rumah sakit dengan data TD: 191/100 P: 64x/menit, R: 19x/menit,
S: 37C, dan nilai GCS E: 2 V: 3 M: 4
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluarga mengatakan bahwa pasien mempunyai riwayat penyakit hipertensi dan DM
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga mengatakn bahwa dalam anggota keluarga pasien tidak ada yang mengalami
riwayat penyakit yang sama dengan pasien.
f. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum : Lemah
2) Kesadaran
Kualitatif : Somnolen
Kuantitatif : E:2 V:3 S:4
3) TTV
T : 191/100 mmHg
P : 64x/menit
R : 19x/menit

186
S : 37C
4) Sistem pernafasan
a) Hidung
Inspeksi: Bentuk simetris, tidak ada sekret, tidak ada lesi, tidak ada pembengkakan
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan di area hidung
b) Dada
Inspeksi: Dada simetris, tidak ada benjolan di area dada
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Auskultasi : Terdengar bunyi nafas yang tidak teratur
5) Sistem Kardiovaskuler
Inspeksi : tidak terdapat sianosis pada bibir, membrak mukosa kering, tidak ada
peninggian vena jugularis
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
Perkusi : Tidak ada pembengkakan jantung
Auskultasi : Suara jantung
6) Sistem Pencernaan
a) Mulut dan tenggorokan
Inspeksi : Keadaan mulut bersih, jumlah gigi tidak komplit, kemampuan bicara
terganggu karena adanya penurunan kesadaran
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan di area mulut dan tenggorokan dan tidak ada
pembengkakan kelenjar tyroid
b) Abdomen
Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ada lesi, perut tidak kembung
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan di area abdomen
Perkusi : Terdengar suara timpani
Auskultasi : Terdengar suara timpani
7) Sistem Perkemihan
Inspeksi : Tidak terlihat adanya pebengkakan, terpasang dower catteter
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak ada pe,bengkakan pada abdomen bagain bawah.
8) Sistem Penglihatan
Inspeksi : Konjungtiva an anemis, bentuk simetris, pupil isokor, sklera berwarna
putih, tidak terdapat pembengkakan, tidak menggunakan alat bantu penglihatan
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
9) Sistem Pendengaran
Inspeksi : Kedua bentuk telinga simetris, tidak ada serumen, tidak menggunakan
alat bantu dengar
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan di are telinga
10) Sistem Muskuloskeletal
a) Ekstremitas Atas
Ekstremitas atas kiri dan kanan utuh, tidak terjadi pembengkakan, ekstremkitas
atas kiri tidak terganggu dan tidak ada kelainan, sedangkan ekstremitas atas kanan
mengalami kelemahan.
b) Ekstremitas Bawah

187
Ekstremitas bawah kiri an kanan utuh, tidak terjadi pembengkakan, esktremitas
bawah kiri tidak terganggu dan tidak ada kelainan, sedangkan ekstremitas atas
kanan mengalami kelemahan.
1 5
1 5
11) Sistem Integumen
Inspeksi : Kulit berwarna sawo matang, turgor kulit lambat, tidak terdapat sianosis,
menggunakan infus ditangan kanan
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak ada penyakit kulit
12) Sistem Persyarafan
a) Nervus I (Olfaktorius) : Fungsi penciuman baik, klien dapat memnedakan wangi
minyak kayu putih dan aroma parfum
b) Nervus II (Optikus) : Letak kedua mata simetris, fungsi penglihatan baik
c) Nervus III (Okulomotorius) : Bentuk kedua mata simetris, pergerakan bola mata
kurang normal
d) Nervus IV (Throklearis) : Pasien dapat menggerakan bola mata ke kaan dan ke kiri
e) Nervus V (Trigeminus) : Klien tidak dapat membuka dan menutup mata dengan
baik, klien tidak dapat menelan dan mengunyah dengan baik (terpasang NGT)
f) Nervus VI (Abdusen) : Klien tidak dapat menggerakan bola mata kesamping dan
kedepan (tidak ada respon membuka mata)
g) Nervus VII (Facialis) : Tidak terjad gangguan pada otot wajah
h) Nervus VIII (Vestibulo) : Fungsi pendengaran baik, namun tidak aad respon
i) Nervus IX (Glososfaringeus) : Klien tidak dapat membedakan rasa manis dan asin
pada saat makan karena melaui NGT
j) Nervus X (Vagus) : Gerakan lidah baik, fungsi sensorik dan motorik baik
k) Nervus XI (Accesoris) : Tidak bisa menggerakan bahu dan kepala
l) Nervus XII (Hipoglosus) : Pasien tidak bisa menjulurkan lidah

g. Pola Aktivitas
No Jenis Pengkajian Sebelum Sakit Setelah Sakit
1. Pola Nutrisi
a. Makan
Frekuensi 3x/hari 2x/hari
Jenis Nasi dan lauk pauk Makanan cair RG
Porsi 1 Porsi 1 Porsi
Cara Oral Melalui selang NGT
Keluhan - -
b. Minum
Frekuensi 7-8 gelas/hari 2-3 gelas/hari
Jenis Air Putih Air Putih
Cara Oral Melalui selang NGT
Keluhan - -
2. Pola Eliminasi
a. BAB

188
Frekuensi 2-3x/hari 1x/hari (tidak menentu)
Konsistensi Padat semi lembek Lembek semi cair
Warna Kuning Kuning
Bau Khas feses Khas feses
Cara Mandiri Menggunakan diapers
Keluhan -
b. BAK
Frekuensi 5-6x/hari 3-4x/hari
Warna Kuning jernih Kuning
Bau Khas amoniak Khas amoniak
Cara Mandiri Melalui dower cateter
Keluhan - -

3. Pola Istirahat
a. Siang 2 jam/hari 12 jam/hari
b. Malam 6-8 jam/hari 12 jam/hari
4. Personal Hygiene
a. Mandi 2x/hari Tidak menentu
b. Gosok Gigi 2x/hari -
c. Ganti Pakaian 2x/hari 0-1x/hari
d. Cara Mandiri Dibantu total
e. Keluhan - -

h. Data Psikososial, Soaial, dan Spiritual


1. Data Psikososial
Pasien mengalami penuruna kesadaran
2. Data Sosial
Hubungan pasien dengan keluarga terlihat harmonis, pasien dan keluarga dapat
berinteraksi dengan baik
3. Data Spiritual
Pasien beragama Islam dan keluarga selalu berdo’a agar pasien diberi kesembuhan.
i. Data Penunjang
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai Normal & Satuan
Hasil Keterangan
Elektrolit
Natrium 138 135~145 MEq/L
Kalium 4.0 3.6~5.5 MEq/L
Kalsium 1.20 1.17~1.29 mmol/l

j. Terapi Obat
1) Kalnex 3ddl
2) Vit K 3ddl
3) Manitol 150-200

189
4) OMZ 2x1
5) Sucralfat 4x
6) Citicoline 2x200
7) Isbesartan 1x300
8) Bisoprolol 1x2,5

k. Analisa Data
No Symptom Etiologi Problem
1. DS : Hipertensi Gangguan perfusi jaringan
- Keluarga serebral berhubungan
mengatakan dengan hipertesi
pasien masih Ruptur pembuluh darah
mengalami serebral
penurunan
kesadaran.
DO :
- Kesadaran Penambahan massa
delirium
- GCS : 9 dengan
E2V3M4
- Pasien terlihat Edema
gelisah
- Keadaan umum :
lemah
Gangguan perfusi
jaringan serebral
2. DS : Ruptur pembuluh darah Ketidakefektifan pola nafas
- Keluarga serebral
mengatakan nafas
pasien tidak
teratur Obstruksi jalan nafas
DO :
- Nafas pasien
terlihat tidak O2 tertahan
teratur
- Terpasang O2
rebreathing mask Ketidakefektifan pola
- Terlihat agak sesak nafas
- Respirasi :
19x/menit

3. DS : Stroke PIS (hemoragik) Hambatan mobilitas fisik


- Keluarga
mengatakan

190
pasien masih
lemah, mobilitas Penurunan fungsi
kurang karena motorik
pasien masih
dalam keadaan
tidak sadar
DO : Kelemahan otot
- Pasien terlihat
lemah dan
kesulitan dalam
menggerakan Mobilitas terganggu
badan/ekstremitas
sebelah kanan
- Kekuatan otot :
1 5 Hambatan mobilitas fisik

1 5

2. Diagnosa Keperawatan
Tabel 2 Diagnosa Keperawatan
Nomor
No Diagnosa Halaman
Diagnosa
1 Risiko perfusi serebral tidak efektif b/d hipertensi 0016 49
2 Pola napas tidak efektif b/d hambatan upaya nafas 0005 26
3 Gangguan Mobilitas Fisik b/d kelemahan anggota gerak 0054 124
Sumber: Buku Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, PPNI (2006)

3. Intervensi, Implementasi, dan Evaluasi Keperawatan

191
Tabel Intervensi dan Luaran Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Implementasi Evaluasi Paraf
1 Resiko Perfusi Setelah dilakukan asuhan - Monitor tanda- 07 Des 2022 S:
Serebral Tidak keperawatan selama 2x24 tanda vital seperti - Memonitor tanda- - Klien masih
Efektif b/d jam diharapkan perfusi tekanan darah, tanda vital, hasil: tidak sadarkan
Hipertensi jaringan serebral efektif, nadi, suhu, dan T: 180/100 mmHg diri
dengan kriteria hasil : frekuensi P: 70x/m O:
- Kedasaran pasien pernapasan R: 30x/m T: 175/101 mmHg
meningkat - Monitor tanda- S: 36,4 C P: 70x/m
- Menurunnya tekanan tanda status - Memonitor tanda- R: 30x/m
intrakranial neurologis dengan tanda status S: 36 C
- Tekanan arah dalam GCS. neurologis dengan
batas normal - Ciptakan lingkungan GCS. A:
- Refleks saraf yang Hasil: Masalah belum
membaik tenang dan batasi E: 2 V: 3 M: 4 teratasi sebagian
pengunjung. Somnolen
- Baringkan klien - Menciptakan P:
(tirah lingkungan yang Intervensi
baring) total dengan tenang dan batasi Dilanjutkan
posisi pengunjung.
tidur terlentang Hasil:
tanpa Pasien
bantal. ditempatkan di
- Berikan terapi ruangan isolasi
sesuai karena
instruksi dokter membutuhkan
(kolaborasi pemantauan
pemberian terapi) secara khusus.
- Memposisikan
pasien tidur
terlentang dan
tirah baring secara
total.

192
- Memberikan terapi
obat kalnex 3ddl.
08 Des 2022
- Memonitor tanda-
tanda vital, hasil:
T: 175/101 mmHg
P: 70x/m
R: 30x/m
S: 36 C
- Memonitor tanda-
tanda status
neurologis dengan
GCS.
Hasil:
E: 2 V: 3 M: 4
Somnolen
- Memberikan terapi
obat kalnex 3ddl.
-
2 Pola napas Kriteria Hasil : - Monitor pola napas 07 Des 2022 S:
tidak efektif - Dispnea menurun (frekuensi, - Memonitor pola O:
b/d hambatan - Membaiknya kedalaman,usaha nafas - ada
upaya napas frekuensi nafas napas) Hasil: penggunaan
- Membaiknya - Identifikasi efek F: 30x/m otot bantu
kedalaman nafas perubahan posisi Terdapat bunyi pernafasan
terhadap status nafas tambahan - Tidak ada
pernapasan yaitu weezing tanda-tanda
- Fasilitasi mengubah - mengidentifikasi hipoventilasi
posisi senyaman efek perubahan - T: 175/101
mungkin posisi terhadap mmHg
- Stabilkan jalan nafas status pernapasan P: 70x/m
dengan headtilt dan hasil: R: 28x/m
chin-lift dengan posisi S: 36 C
pasien 30 derajat

193
- kolaborasi dapat membantu A:
pemberian oksigen mempermudah Masalah teratasi
sesuai kebutuhan pernafasan sebagian
- mempertahankan
kepatenan jalan P:
nafas dengan Intervensi
headtilt dan chin- dilanjutakn
lift
- Memasang alat
bantu nafas (NMR)

08 Des 2022
- Memonitor pola
nafas
Hasil:
F: 28x/m
Terdapat bunyi
nafas tambahan
yaitu weezing
- mempertahankan
kepatenan jalan
nafas dengan
headtilt dan chin-
lift

3 Gangguan Kriteria Hasil: - Monitor neurologis 07 Des 2022 S:


Mobilitas Fisik - Meningkatnya dan GCS - Memonitor
b/d kekuatan otot - Monitor kondisi neurologis dan O:
penurunan - Menurunnya kaku umum selama GCS Nilai GCS: 9
anggota gerak sendi melakukan Somnolen
Hasil:
- Kelemahan fisik mobilisasi GCS: 9
membaik - Libatkan keluarga A:
- Gerakan kembali somnolen Masalah belum
untuk membantu
normal pasien dalam teratasi

194
meningkatkan - Memonitor kondisi
kebutuhan sehari- umum selama P:
hari melakukan Intervensi
- Dokumentasikan mobilisasi ringan dilanjutkan
hasil pemantauan Hasil:
Miring kanan
miring kiri untuk
mencegah
dekubitus
- Melibatkan
keluarga untuk
membantu pasien
dalam
meningkatkan
kebutuhan sehari-
hari
Hasil:
Keluarga
membantu dalam
kebutuhan
sehari-hari pasien

Sumber: Buku Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, PPNI (2006)

195
Kesimpulan
Kegiatan asuhan keperawatan di ruang Flamboyan RSUD Kota Banjar berjalan dengan lancar.
Pasien dan keluarga mampu memahami tindakan-tindakan yang telah dilakukan dengan baik.
Keluarga pasien dapat mempraktekan apa yang telah dilakukan oleh perawat, karena perawat
selalu melibatkan keluarga dalam tindakan yang sekiranya dapat dilakukan keluarga untuk
memandirikan keluarga dan pasien dalam melakukan perawatan terhadap pasien jika nanti
sudah dibolehkan pulang ke rumah.
Kegiatan asuhan keperawatan sangat memberikan manfaat dalam meningkatkan
pengetahuan tentang bagaimana perawatan post rawat inap dirumah kepada keluarga pasien.
Kegiatan ini perlu dilakukan secara lebih mendalam dan konsisten agar menambah pengetahuan
dan keterampilan kepada keluarga pasien.

Ucapan Terima Kasih

Referensi
1) Anwairi, U. (2020). Manajemen Asuhan Keperawatan Psikososial Dengan Masalah
Kecemasan Pada Penderita Stroke.
2) Ariyanto, H., Setiawan, H., & Oktavia, W. (2021). A Case Study: Murotal Distraction to Reduce
Pain Level among Post-Mastectomy Patients. International Journal of Nursing and Health
Services (IJNHS), 4(3), 325–331.
3) Atmanto, A. P., Aggorowati, & Rofii, M. (2020). Efektifitas pedoman pendokumentasian
diagnosa dan intervensi keperawatan berbasis android terhadap peningkatan mutu
dokumentasi keperawatan di ruang rawat inap. Jurnal Keperawatan Dan Kesehatan
Masyarakat, 9, 83–92.
4) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2019), 7(5), 803–809.
https://doi.org/10.1517/13543784.7.5.803
5) Bakara, D. M., & Warsito, S. (2016). Latihan Range of Motion (Rom) Pasif Terhadap Rentang
Sendi Pasien Pasca Stroke. Idea Nursing Journal, 7(2), 12–18.
6) Bakhtiar, Y., & Rochana, N. (2020). Sensitivitas dan Spesifitas Skor Stroke Literature Review,
18(2).
7) Faiza Yuniati, I. P., & Sari, S. R. I. P. (2021). Implementasi Asuhan Keperawatan Keluarga
Penderita Stroke Dengan Masalah Kekuatan Otot Melalui Latihan Range Of Motion, 1(2), 33–
35.
8) Firmansyah, A., Setiawan, H., & Ariyanto, H. (2021). Studi Kasus Implementasi Evidence-Based
Nursing: Water Tepid Sponge Bath Untuk Menurunkan Demam Pasien Tifoid. Viva Medika:
Jurnal Kesehatan, Kebidanan Dan Keperawatan, 14(02), 174–181.
9) Handayani, D., & Dominica, D. (2018). Gambaran drug related problems (DRP’s) pada
penatalaksanaan pasien stroke hemoragik dan stroke non hemoragik di RSUD Dr M Yunus
Bengkulu. Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia, 5(1), 36–44.
10) Jannah, P. I., & Djannah, R. S. N. (2021). Pengembangan Permainan Ular Tangga Sebagai
Media Promosi Kesehatan Tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Medika Respati: Jurnal
Ilmiah Kesehatan, 15(4), 245–252.
11) Koerniawan, D., Daeli, N. E., & Srimiyati, S. (2020). Aplikasi Standar Proses Keperawatan:
Diagnosis, Outcome, dan Intervensi pada Asuhan Keperawatan. Jurnal Keperawatan

196
Silampari, 3(2), 739–751. https://doi.org/10.31539/jks.v3i2.1198
12) Mutiarasari, D. (2019). Ischemic Stroke: Symptoms, Risk Factors, and Prevention. Jurnal
Ilmiah Kedokteran Medika Tandulako, 1(1), 60–73.
13) Nurartianti, N., & Wahyuni, N. T. (2020). Pengaruh Terapi Genggam Bola Terhadap
Peningkatan Motorik Halus Pada Pasien Stroke. Jurnal Kesehatan, 8(1), 922–926.
https://doi.org/10.38165/jk.v8i1.98
14) Nurtanti, S., & Ningrum, W. (2018). Efektiffitas Range Of Motion (ROM) Aktif Terhadap
Peningkatan Kekuatan Otot Pada Penderita Stroke. Jurnal Keperawatan GSH, 7(1), 14–18.
15) Rahmadhani, S. M. D., Diana, M., Lestari, M. D., & Riesmiyatiningdyah, R. (2020). Asuhan
Keperawatan pada Ny. D dengan diagnosa medis cerebro vaskular accident bleeding di ruang
krissan RSUD Bangil Pusuruhan. Akademi Keperawatan Kerta Cendekia Sidoarjo.
16) Saidi, S., & Andrianti, S. (2021). Perbedaan Teknik Relaksasi Nafas Dalam Dan Teknik Slow
Stroke Back Massage Terhadap Skala Nyeri Pada Penderita Low Back Pain Di Puskesmas Jaya
Loka. Injection: Nursing Journal, 1(1), 32–43.
17) Setiawan, H., Suhanda, S., & Setiawan, D. (2021). Coaching Clinic as a Strategy to Improve
Knowledge and Competence of Nurses in Providing Genetic Counseling Interventions among
Thalassemia Patients. International Journal of Community Based Nursing & Midwifery, 10(1),
84–85. https://doi.org/10.30476/ijcbnm.2021.92764.1883
18) Setiyawan, S., Nurlely, P. S., & Harti, A. S. (2019). Pengaruh Mirror Therapy Terhadap
Kekuatan Otot Ekstremitas Pada Pasien Stroke Di RSUD Dr. Moewardi. JKM (Jurnal Kesehatan
Masyarakat) Cendekia Utama, 6(2), 49. https://doi.org/10.31596/jkm.v6i2.296
19) Soewarno, S. A., & Annisa, Y. (2017). Pengaruh hipertensi terhadap terjadinya stroke
hemoragik berdasarkan hasil ct-scan kepala di instalasi radiologi RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo. MEDISAINS, 15(1), 39–46.
20) Suhanda, Setiawan, H., Ariyanto, H., & Oktavia, W. (2021). A Case Study: Murotal Distraction
to Reduce Pain Level among Post-Mastectomy Patients Suhanda1,. International Journal of
Nursing and Health Services (IJNHS), 4(3), 325–331.
https://doi.org/http://doi.org.10.35654/ijnhs.v4i3.461 Abstract.
21) Supratti, & Ashriady. (2018). Pendokumentasian Standar Asuhan Keperawatan Di Rumah
Sakit Umum Daerah Mamuju. Jurnal Kesehatan Manarang, 2(1), 44.
https://doi.org/10.33490/jkm.v2i1.13
22) Ulina, J. M., Eka, N. G. A., & Yoche, M. M. (2020). Persepsi Perawat Tentang Melengkapi
Pengkajian Awal Di Satu Rumah Sakit Swasta Indonesia. Nursing Current Jurnal Keperawatan,
8(1), 71. https://doi.org/10.19166/nc.v8i1.2724

197

You might also like