You are on page 1of 22

Internasional Investment Agreement Reform: Green

Investment Sebagai Inovasi Bilateral Investment Treaty of


Indonesia
Penulis1

Abstrak
Perjanjian investasi internasional antara dua negara dan perusahaan multinasional dikenal
sebagai Bilateral Investment Treaty (BIT). Problematika saat ini BIT di Indonesia
kerapkali dijadikan alasan oleh Multinational Corporation untuk beraktivitas di wilayah
Host-state dengan tidak mengidahkan aturan lokal sehingga terdapat beberapa
pelanggaran yang dilakukan olehnya MnC khususnya permaslahan lingkungan. Green
Investment lahir sebagai gagasan baru untuk menjadi solusi dalam melakukan
pemabahruan terhadap BIT di Indoensia, tujuan penulisan ini dilakukan untuk menjawab
problematika terhadap pembaharuan BIT di Indonesia dengan green investment sebagai
konsep utamanya dalam melakukan pelestarian lingkungan, metode penelitian
menggunakan normatif-empiris dengan mengkaji aturan perundang-undangan dan
sumber hukum internasional dan menelaah kasus sebagai studi perbandingan. Temuan
yang akan dikemukakan dalam penilitian ini adalah pembaharuan klausula BIT dengan
memasukan konsep green investment.
Kata Kunci: Bilateral Investment Treaty; Green Investment; Interanational Investement
Agreement.

Abstract
This research aims to put forward the renewal of the International Investment Agreement
and the conception of Green Investment which is an element of renewal in the Bilateral
Investment Treaty as one type of International Investment Agreement. This article uses
doctrinal legal research with the application of legal rules (law in the books) to the
above problems. The research is based on the results of a search of international legal
sources, namely international agreements in the form of Bilateral Investment Treaty
between Indonesia-Singapore, Indonesia-Russia and Law Number 25 Year 2007 on
Investment. The first discussion of this article is about the reform scheme of the
International Investment Agreement and the second discussion is about the Green
Investment Concept which is an element of reform of Indonesia's Bilateral Investment
Treaty as one type of International Investment Agreement. Based on the two discussions,
it produces suggestions that the reform of the International Investment Agreement,
especially the Bilateral Investment Treaty, is inevitable and must be done as soon as
possible. The element of the scheme change emphasizes the aspect of environmental
protection with the concept of green investment as an innovation of the renewal.
Keywords: Bilateral Investment Treaty; Green Investment; International Investment
Agreement.

Pendahuluan

1
Penulis..
Investasi didefinisikan sebagai ''tindakan atau proses menanamkan modal. Sesuatu
yang layak dibeli karena mungkin menguntungkan di masa depan''. Dalam Oxford
ictionary ''Berinvestasi'' didefinisikan sebagai:
“memasukkan uang ke dalam skema keuangan, saham atau properti dengan
harapan mencapai keuntungan. Mencurahkan (waktu atau energi) untuk suatu
usaha dengan harapan mendapatkan hasil yang berharga (Berinvestasi dalam)
informal: membeli (suatu produk) yang manfaatnya akan mengembalikan biaya.” 2
Sedangkan definisi investasi menurut Pasal 1 ayat (3) UU No. 25 Tahun 2007 tidak
mengenal istilah investasi melainkan penanaman modal asing, yang menyatakan bahwa :
“Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha
di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing,
baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan
dengan penanam modal dalam negeri.” 3
Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, Indonesia memiliki angkatan
kerja yang besar dan sumber daya alam yang berlimpah. Hasilnya, Indonesia termasuk
negara yang paling menarik untuk investasi. 4 Antara investasi dengan Indonesia adalah
hubungan mutualisme yang saling membutuhkan khususnya bagi Indonesia, Investasi
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara, membuka banyak lapangan kerja dan
Knowledge Transfer dalam meningkatkan tekonologi negara.
Menurut Rencana Strategis Penanaman Modal 2015-2019, Pemerintah Indonesia
telah mengidentifikasi sektor-sektor yang menjadi fokus utama investasi. Ini meliputi
bidang infrastruktur, pertanian, industri, kelautan, pariwisata, Kawasan Ekonomi Khusus
(KEK) dan Kawasan Industri, serta sektor ekonomi digital. Dalam konteks investasi di
Indonesia, terdapat dua jenis utama, yaitu Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan
Penanaman Modal Asing (PMA).5 PMA adalah salah satu metode yang digunakan
investor luar untuk membangun, mengakuisisi, atau membeli suatu bisnis. Penanaman
modal yang dilakukan oleh perorangan di tempat asal pemilik modal atau penanaman
modal yang dilakukan atas nama pemerintah negara dimana modal tersebut dimiliki

2
Catherine Soanes and Angus Stevenson, Concise Oxford English Dictionary, ed 11.
(Oxford: Oxford University Press, 2008) hlm. 748.
3
Undang-Undang Tentang Penanaman Modal, UU Nomor 25 Tahun 2007, LN Tahun 27
No. 67 TLN No. 4724, Pasal 1 ayat (1)
4
Badan Koordinasi Penanaman Modal, Penanaman Modal Asing di Indonesia,
investindonesi.go.id, 18 Oktober 2017, tersedia pada https://investindonesia.go.id/id/artikel-
investasi/detail/penanaman-modal-asing-di-indonesia, diakses pada tanggal 12 Oktober 2023.
5
Undang-Undang Tentang Penanaman Modal, UU Nomor 25 Tahun 2007, LN Tahun 27
No. 67 TLN No. 4724, Pasal 1 ayat (2 dan 3).
disebut dengan penanaman modal asing langsung atau PMA. 6 Pelaku investasi asing yang
masuk ke Indonesia adalah Multinational Corporation. Mereka masuk dengan aturan
perundang-undangan di Indonesia dan perjanjian invetasi Internasional atau dengan
istilah lain International Investment Agreement (IIA). International Investment
Agreement dibuat untuk mempromosikan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.
Dengan dibuatnya IIA ini negara berkembang (termasuk Indoensia) dapat mengurangi
hambatan Penanaman Modal Asing masuk dan dapat memberikan perlindungan lebih
terhadap investor asing.7 Hal yang dapat diunggulkan pada IIA ini adalah fleksibilitasnya,
leksibilitas dapat didekati dari empat sudut pandang sudut utama: tujuan lembaga
promosi investasi, keseluruhan struktur dan modus partisipasi serta ketentuan substantif
pada penerpannya.8 Terdapat tiga variasi IIA: yaitu Multilateral Agreement, Regional
Agreement dan Bilateral Agreement.9
Bilateral Investment Treaty merupakan jenis dari International Investment
Agreement. Ide mendasar di balik BIT ini adalah untuk melindungi negara asal sehingga,
ketika melakukan penanaman modal di negara tuan rumah, negara tuan rumah tetap
mempertimbangkan kepentingan investor asing dengan memperlakukan mereka secara
normal. BIT, di sisi lain, dirancang untuk menarik investor internasional agar menaruh
uang mereka di negara tuan rumah. Diperkirakan bahwa semakin banyak investor yang
masuk ke pasar, pertumbuhan ekonomi negara akan meningkat. Oleh karena itu,
kehadiran BIT ini diharapkan akan bermanfaat bagi negara asal dan tuan rumah. Namun
resiko-resiko ini muncul dan pada akhirnya bukan menciptakan kesejahteraan bagi host
state tetapi justru semakin membuat host state bergantung kepada home state. 10
Ketergantungan inilah yang menyebabkan ketimpangan dalam pembuatan BIT
khususnya di Indonesia yaitu dengan cenderung membuat banyak perlindungan
homestate dan tidak mempertimbangkan tanggung jawabnya dalam mengurusi
Multinational Corporation. Dampak dari ketimpangan ini menyebabkan Indonesia
digugat oleh Multinational Corporation (Perusahaan International Homestate) dan kerap
kali BIT dijadika senjata oleh mereka, untuk mengalahkan Indonesia di Arbitarse
Internasional (ISDS dan ICSID). Oleh karena itu dibutuhkannya suatu reformasi

6
Jihan Karina Putri, et al., “Peran Penanaman Modal Asing dalam Membangun
Perkonomian di Indonesia,” Journal of Social Research, Vol. 1 No. 3 (2022), hlm. 204.
7
United Nation Conference on Trading and Development, International Investment
Agreeent: Key Issue Volume 1 (New York: United Nation, 2004) hlm.53.
8
Ibid.
9
Ibid., hlm. 55.
10
Citra Mutiara Virjinia, Pelaksanaan Bilateral Investment Treaties (BIT) Dalam
Penanaman Modal Asing di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal (Bandung: Unpad, 2013), hlm.4.
International Investment Agreement untuk membuat New Generation of Bilateral
Investment Treaties for Indonesia.
Di Indonesia isu mengenai pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh
perusahaan international sering terjadi seperti halnya kasus Teluk Buyat oleh PT.
Newmont Minahasa Raya tahun 2004, kasus limbah merkuri di Nangroe Aceh
Darussalam oleh PT. Exxon Mobil Oil Indonesia tahun 2005, dan kasus minyak montara
di Laut Timor oleh PT. TEP Australia (Ashomre Cartier) di tahun 2009. 11 Sehingga
diperlukannya penanganan yang cukup signifikan dalam melakukan pencegahan
pencemaran lingkungan oleh perushaan internasional. Oleh karena itu isu lingkungan
dalam dalam pembaharuan Bilatel Investment Treaty menjadi Salah satu bagian daripada
reformasinya, konsep yang akan digagas adalah bagaimana lingkungan bisa menjadi
unsur dari pada pembaharuan tersebut. Konsep investasi yang memiliki tujuan dalam
menciptakan suatu sirkumtansi pro-lingkungan adalah Green Investment. Jurnal ini akan
membahas bagaimana Green Investment dapat menjadi inovasi sebagai unsur
pembaharuan BIT. Batasannya adalah pada bagaimana muatan unsur yang akan
dimasukan kedalam BIT (sebagai klausul perjanjian) mengenai green investmen dapat
menjadi inovasi dalam pembaharuan tersebut. Inovasi yang dimaksud tidak hanya
bertumpu pada pembahauan BIT namun implementasi pada New BIT Generation dapat
memiliki dampak posiif yang signifikan pada pelestarian lingkungan.
Penulis membuat dua pertanyaan penilitian sebagai dasar pengembangan
penilitian ini. Pertama, bagaimana pembaharuan terhadap International Investment
Agreement? Kedua, Bagaimana Green Investment dapat menjadi invoasi untuk New
Generation of Bilateral Investment Agreements for Indonesia? sehingga dengan dua
pertanyaan penilitian ini dapat dikembangkan megenai struktur penulisan. struktur dari
artikel ini dimulai dengan Bagian I Pendahulan yang menjadi pengantar permasalahan
mengenai urgensi terhadap pembaharuan International Investment Agreement pada
jenisnya yaitu Bilateral Investment Treaties dimana unsur pembaharuan tersebut adalah
green investment dalam rangka pelestarian lingkungan pada bidang investasi. Lalu
Bagian II menjelaskan tentang skema Pembaharuan terhadap International Investment
Agreement, pada bagian ini juga akan dibahas secara mendetail mengenai konsep dasar
IIA, jenis-jenis IIA dan Old generation BIT yang menjadi point permasalahan mengapa
diperlukannya New Generation of BITs. Selanjutnya adalah Bagian III, pada bagian ini
akan menjelaskan tentang Kebijakan Green Investment sebagai misinya dalam melakukan

11
Amelia Dwi Astuti, “Implikasi Kebijakan Indonesia dalam Menangani Kasus
Pencemaran Lingkungan oleh PT. Freeportterhadap Keamanan Manusia di Mimika Papua,”
Journal of International Relations, Vol. 4, No. 3 (2018), hlm. 548.
pelestarian lingkungan di lingkungan investasi termasuk penjabaran mengenai
karakteristik kebijakan tersebut. Lalu pembahasan akan mengkerucut bagaimana
implementasi Pembaharuan BIT ini menggunakan unsur Green Investment. Sehingga
pada bagian ini juga akan menjelaskan klausul seperti apa yang harusnya dimuat kedalam
New Generation of BIT. Yang mana tentunya klausul ini akan memberikan suatu
tanggung jawab kepada Homstate dan Multinational Corporation untuk mendukung
Green Investment di Indonesia. Pada Bagian IV akan menyimpulkan Green Investment
menjadi Inovasi dalam membentuk New generation of BIT sebagai perwujudan reformasi
International Investment Agreement.
II. Reformasi International Investment Agreement: Bilateral Investment Treaty
A. International Investment Agreement
Negara-negara berkembang mencari Foreign Direct Investment (FDI)
untuk mempromosikan pembangunan ekonomi mereka. Ini adalah tujuan utama
mereka. Untuk itu, mereka berusaha untuk - melalui undang-undang nasional dan
instrumen internasional - sebuah kerangka hukum yang bertujuan untuk
mengurangi hambatan terhadap PMA, sementara menyediakan investor asing
dengan standar tinggi yaitu perlakuan dan perlindungan hukum yang tinggi untuk
investasi mereka dan terus menempatkan mekanisme untuk menjamin
berfungsinya pasar dengan baik. Oleh karena itu, Negara-negara berkembang
berpartisipasi dalam melakukan International Investment Agreement (IIA) -baik
di tingkat bilateral, regional, interregional atau multilateral. Hal itu dilakukan,
karena mereka percaya bahwa instrumen-instrumen ini membantu mereka
menarik FDI dan mendapatkan manfaat darinya secara adil. Pada saat yang sama,
IIA (seperti kebanyakan perjanjian internasional) memberikan suatu batasan
tertentu dalam membuat pilihan kebijakan yang tersedia bagi pemerintah untuk
mengejar pembangunan mereka melalui PMA. Oleh karena itu, muncul
pertanyaan, bagaimana caranya lembaga-lembaga promosi investasi dapat
memberikan ruang kebijakan tertentu untuk mempromosikan pembangunan
mereka. Hal ini menjadi semakin penting karena lembaga-lembaga tanggung
jawab utama diberikan tanggung jawab dalam mendesain dan mengimplementasi
suatu tujuan dan kebijakan pembangunan tetap berada di tangan pemerintah
masing-masing negara.12
IIA sering membahas masalah-masalah pembangunan dengan
mencantumkannya dalam teks mereka, biasanya dalam pembukaan, pernyataan

12
United Nation Confrence on Trading and Development, International..., hlm.53.
deklarasi mereka yang mengacu pada promosi pembangunan sebagai tujuan
utama perjanjian, atau secara spesifik mengatur tentang cara-cara yang digunakan
dalam perjanjian untuk berkontribusi pada tujuan-tujuan pembangunan atau
berisikan pengakuan atas kebutuhan negara berkembang, negara kurang
berkembang dan/atau kurang berkembang yang membutuhkan fleksibilitas dalam
pelaksanaan kewajiban-kewajiban di isi perjanjian tersebut. Ada banyak variasi
dalam bahasa tersebut sehingga sulit untuk menggeneralisasi peran dan
kepentingannya. Pembukaan dan sejenisnya berisikan deklarasi yang serupa
biasanya tidak secara langsung menciptakan hak dan kewajiban bagi para pihak,
namun memberikan definisi yang relevan dengan interpretasinya. Bahkan, teks-
teks mukadimah sering kali merupakan hasil tawar-menawar yang cukup
kompleks. Secara dominann, bahasa tersebut mencerminkan kehendak dari
negara-negara yang berpartisipasi, hal itu membantu untuk menegaskan kembali
penerimaan pembangunan sebagai tujuan utama IIA. Bahasa spesifik yang
digunakan dalam setiap kasus terdapat dalam perjanjian tersebut. Oleh karenanya,
IIA sebagai dasar hukum international memiliki hubungan dengan instrumen
hukum lainnya.13
B. Bilateral Investment Treaty of Indonesia
Bilateral Investment Treaty (BIT), atau yang dikenal sebagai perjanjian
investasi bilateral, adalah suatu kesepakatan hukum antara dua negara yang
menegaskan perlindungan dan promosi investasi yang saling menguntungkan di
kedua negara tersebut. Menurut definisi dari United Nations Conference on Trade
and Development (UNCTAD), BIT adalah “suatu perjanjian antara dua negara
yang bertujuan untuk mendorong, mempromosikan, dan melindungi investasi
yang dilakukan oleh perusahaan dari kedua negara di wilayah masing-masing.”
Perjanjian investasi bilateral seperti BIT seringkali menjadi dasar bagi perjanjian
multilateral di masa mendatang. Jika sejumlah negara dengan kepentingan
bersama yang serupa membentuk perjanjian bilateral, itu bisa membuka pintu
bagi terbentuknya perjanjian multilateral di masa yang akan datang. Pada
umunya, perjanjian yang melibatkan negara ini lebih disukai daripada perjanjian
antar dua negara, karena perjanjian tersebut menyederhanakan sistem ekonomi
internasional dan memiliki norma lebih mengikat. Di sisi lain, perjanjian bilateral
juga banyak dipilih sebagai langkah pertama untuk menyelesaian permasalahan
yang sangat rumit (highly contentious issue) misalnya yang berhubungan dengan

13
Ibid.
foreign direct investment (FDI) karena perjanjian bilateral hanya melibakan dua
pihak dengan kepentingan berbeda.14 Oleh karena itu, banyak negara yang
menandatangani BIT berkomitmen untuk mengikuti standar khusus tentang
perlakuan investasi asing dalam yurisdiksi mereka. 15 Lebih dari 150 negara telah
menandatangani satu atau lebih perjanjian investasi. BIT tidak hanya mewajibkan
negara tuan rumah untuk memberikan perlindungan tertentu bagi investasi asing,
namun juga menciptakan hak tindakan swasta yang kuat bagi investor terhadap
pemerintah tuan rumah jika negara tersebut gagal memenuhi kewajiban
tersebut.16 Karena tujuan utama dari adanya perjanjian ini adalah untuk menarik
Investor Asing masuk sehingga klausul yang dimuat dalam BIT cenderung
dominan pemenuhan hak perusahaan internasional dan Homestate nya. 17 Lebih
jauh lagi dalam Klausul BIT tersebut memuat hak perusahaan internasional yang
menggunggat host-state di Investor-State Dispute Settlement (ISDS) dan
International Center for Settlement of Investment Dispute (ICSID), sebaliknya
host-state hanya bisa menggunggat di ICSID. Pada dasarnya hak untuk bisa
menggugat ini merupakan hal yang harus dimuat dalam BIT demi menjaga hak
dan kewajiban para pihak yang termuat dalam BIT tersebut. Namun fakta
lapangannya berkata lain, BIT sering kali menjadi senjata untuk para Investor
asing dalam melakukan kegiatan yang tidak diperbolehkan di wilayah Host-state.
Hal ini terjadi karena mereka menggunakan hak-hak spesialnya yang di muat
dalam BIT. Mereka berlindung dalam bongkahan hak yang sangat besar yang
diberikan oleh host-state. Dengan begitu, Pemberian hak yang begitu banyak dan
dimuat dalam klausul BIT perlu diseimbangkan dengan tanggung jawab yang
harus diberikan oleh Perusahaan International dan pemberian tugas untuk Home-
state dalam mengontrol perusahaan international. Mengutip pendapatnya
Sornarajah dalam bukunya “The International Law of Foreign Investment” Edisi
3:
14
Yacob Rihwanto, “Bilateral Investment Treaties dan Penyelesaian Arbritase
Internasional (Studi Kasus Pencabutan Izin Kuasa Pertambangan Churchill Mining)”,
Renaissance, Vol. 1, No. 1 (2016), hlm. 108.
15
Laura Natalia Sembiring, “Urgensi Perjanjian Investasi Bilateral Antara Indonesia Dan
Negara Lain Dengan Klausula Penyelesaian Sengketa Investor-State Dispute Settlement,”
Dharmasisya, Vol. 1, No. 4 (2021), hlm. 1942.
16
Slidley Austin, Dasar-dasar Perjanjian Investasi Bilateral, slidley.com, 23 September
2021, tersedia pada https://www.sidley.com/en/us/services/global-arbitration-trade-and-advocacy/
investment-treaty-arbitration/sub-pages/the-basics-of-bilateral-investment-treaties/, diakses pada
tanggal 13 Oktober 2023.
17
Feliana Febiola, Kepentingan Negara Dalam Penandatanganan Bilateral Investment
Treaty (Bit) Antara Indonesia Dengan Singapura, Jurnal Hukum, Politik dan Ilmu Soial, Vol. 2,
No. 1 (2023), hlm.3.
“The rationale is that developed states owe a duty of control to the
international community and do in fact have the means of legal control
over the conduct abroad of their multinational corporations. In moral
terms, the activities of multinational corporations eventually benefit the
home state’s economic prosperity. The argument is that it is therefore
incumbent on the home state to ensure that these benefits are not secured
through injury to other states or to the welfare of the international
community as a whole.”18
Statement yang harus digarisbawahi adalah negara asal boleh mengambil
kemanfaatan dan keuntungan dari negara tuan rumah (Host-state) dengan
perusahaan internasionalnya namun jangan sampai kegiatan tersebut menyentuh
hingga menabrak hak daripada Host-state itu sendiri. Gagasan inilah yang
menjadi dasar mengapa diperlukannya tanggung jawab untuk Multinational
Corporation dan kontrol terhadapnya oleh Home-state, konsep ini juga
menegaskan bahwasanya dengan penggambaran BIT yang secara memberikan
dampak buruk bukan berarti harus dibatalkan atau tidak melakukan perjanjian
BIT namun solusi yang tepat adalah memperbaharui klausul BIT dengan
menyeimbangkan hak dan kewajiban para pihak.
Di Indonesia, perjanjian investasi bilateral atau BIT dikenal dengan
“Perjanjian Promosi dan Perlindungan Penanaman Modal (P4M)”. Dari informasi
yang diperoleh dari UNCTAD, sejak tahun 1968 yaitu penandatanganan BIT
antara Indonesia dan Denmark, total BIT yang pernah ditandatangani Indonesia
sebanyak 72 (tujuh puluh dua). Saat ini Pemerintah sedang melakukan
moratorium atas P4M, bahkan tidak memperpanjang/discontinue P4M yang telah
habis masa berlakunya. Berbagai kesepakatan internasional khususnya P4M akan
dievaluasi untuk dilakukan penyesuaian dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan kepentingan Indonesia khususnya hak negara untuk mengatur
perekonomiannya. Perjanjian internasional meskipun ditujukan untuk mendorong
penanaman modal namun tidak boleh mengurangi kedaulatan negara dalam
mengambil keputusan-keputusan ekonomi untuk kepentingan nasional.19
Saat ini Indonesia memiliki 74 BIT bersama beberapa negara. Kategori
BIT tersebut diklasifiksikan menjadi 29 BIT yang dikategorikan In force, 14
Signed (Not in force) yaitu masuk namun belum berjalan dan 31 Terminated atau

18
Sornarajah, The International Law of Foreign Investment, ed 3., (Cambridge:
Cambridge University Press, 2010), hlm. 144.
19
Laura Natalia Sembiring, “Urgensi Perjanjian.., hlm. 1943.
yang sudah tidak berlaku.20 Salah satu BIT yang telah ditandatangani dan telah
diratifikasi oleh Indonesia adalah BIT antara Indonesia dengan Belanda (1994
Agreement Between the Government of the Republic of Indonesia and the
Government of the Kingdom of the Netherlands on Promotion and Protection of
Investment) yang ditandatangani di Jakarta pada 6 April 1994 oleh Pemerintah
Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Belanda ini disahkan dan diratifikasi melalui
Keppres No. 58 Tahun 1994. Namun pada Maret 2014 lalu Indonesia
mengumumkan bahwa Indonesia ingin menghentikan BITnya dengan Belanda
melalui pengiriman Nota Diplomatik No. D/00405/02/2014/60 tanggal 17
Februari 2014 kepada Keduataan Belanda di Jakarta dan Perjanjian tersebut resmi
berakhir pada 1 Juli 2015.21
C. Karakteristik Bilateral Investment Treaties Generasi Lama.
Isi daripada Bilateral Investment Treaty lebih banyak mengatur hak-hak
yang harus diberikan kepada Multinational Corpration. Sebagian besar dari 1.023
klaim berbasis perjanjian yang diketahui oleh publik dan itu merupakan
karakterstik perjanjian “generasi lama”. Pada tahun 2018, misalnya, 60% dari
klaim tersebut diajukan di bawah perjanjian yang awalnya dibuat pada tahun
1990-an atau sebelumnya, dan semua kecuali satu diajukan di bawah perjanjian
sebelum tahun 2011. Perjanjian generasi lama ini mencakup kewajiban yang
tidak jelas dan bahasa yang terlalu umum sebagai dasar kepentingan Host-state,
umumnya tidak menyertakan referensi apa pun tentang tanggung jawab investor
(bahkan dalam istilah yang tidak mengikat) atau kewajiban. Lalu sedikit sekali
mencakup ketentuan yang berusaha untuk menegaskan kembali secara makna dan
melindungi kemampuan negara untuk mengatur tanpa harus membayar
kompensasi dalam pengimplementasiannya atau penegakan yang sah. Ketentuan
lingkungan, hak asasi manusia, gender, kesehatan, tenaga kerja, dan kepentingan
umum lainnya yang efektif umumnya tidak ada dalam perjanjian-perjanjian ini. 22
Karakteristik BIT lama ini juga memiliki masalah dalam pendefinisian, contoh
halnya dalam mendefinisikan “Investasi” Sejak kemunculan dan meledaknya

20
Investment Policy Hub, Bilateral Investment Treaties of Indonesia,
investmentpolicy.unctad.org, 10 Oktober 2023 tersedia pada
https://investmentpolicy.unctad.org/international-investmentagreements/countries/97/indonesia,
diakses pada tanggal 13 Oktober 2023.
21
Eka Husnul Hidayati, et al., Akibat Penghentian Bilateral Investment Treaty (Bit)
Indonesia – Belanda Yang Dilakukan Secara Sepihak Oleh Indonesia , USU Law Journal, Vol.5,
No.2 (2017), hlm. 135.
22
Jesse Coleman, Briefing Note: Modern Provisions in Investment Treaties, (Columbia:
Columbia Center on Sustainable Investment, 2020), hlm. 1.
popularitas BIT pada tahun 1950-an AS (sebagai salah satu aktor utama dalam
ekonomi global) perkembangan model BIT terus berlanjut. Pengembangan itu
membuat suatu model yang berasal dari AS (selanjutnya disebut “US Model
BIT”) yang berfungsi sebagai perlindungan investasi modern dalam hukum
internasional, di mana model BIT pertama kali dikembangkan pada tahun 1982
dan diterbitkan pada tahun 1984. Sejak saat itu BIT telah mengalami evolusi yang
penting, melalui pengembangan US Model BIT 1994, US Model BIT 1998, US
Model BIT 1998, US Model BIT 2004 yang revolusioner, dan model terbaru
adalah US Model BIT 2012.23 Dalam hal mendefinisikan investasi, sama seperti
jenis BIT generasi awal lainnya, US Model BIT sebelumnya memberikan definisi
yang luas dengan menggunakan “setiap jenis investasi” yang diikuti dengan
daftar bentuk investasi yang tidak lengkap. Contoh lain juga dapat dilihat pada
BIT Australia-Chile 1996 yang tertera dibawah ini:
“Any kind of asset admitted by one or the other Contracting Party, in
accordance with its respective laws, regulations and investment policies, and
includes in particular, though not exclusively….”24
Definisi di atas diikuti dengan daftar yang tidak lengkap dari bentuk-bentuk
investasi yang dilindungi olehnya, termasuk saham atau partisipasi lain dalam
perusahaan. Ketentuan yang serupa namun tidak sama juga dapat dilihat dalam
BIT Indonesia-Singapura 2005. BIT Australia-Chile 1999 dan BIT Indonesia
Singapura 2005 telah diakhiri dan digantikan oleh versi yang lebih baru dari
perjanjian investasi yang lebih baru. 25 Definisi yang tidak lengkap dan tidak
spesifik ini membuat hal yang seharusnya diatur namun tidak diatur sehingga
memiliki celah hukum yang bisa digunakan untuk mengakali satu pihak oleh
pihak lainnnya.
Susunann BIT Generasi Lama ini memiliki format yang cukup timpang, contoh
hal nya BIT Indonesia-Singapura yang barru dan sudah inforce sejak 9 Maret
2021 terdapat 44 Article dan terbagi-bagi pada 4 (empat) bagian mengenai BIT
ini:
1. Chapter 1: Definition and Scope;

23
Genevieve Fox, “A Future for International Investment? Modifying BITs to Drive
Economic Development,” Georgetown Journal of International Law Vol.46, No. 1 (2014), hlm.
229.
24
The Reciprocal Promotion and Protection of Investments (Australia-Chile)
(Ditandatangani 9 July 1996), Pasal 1.
25
Prita Amalia, et.al., “Multinational Corporation’s Investments made through its
Subsidiary under The Latest Generation under of Investment Treaties,” Vol. 19, No. 1 (2021), hlm.
118.
2. Chapter 2: Protection;
3. Chapter 3: Dispute Settlement;
a. Section one: Settlemet of Dispute Between a Party and an
Investor of The Other Party
b. Section Two: Settlement of Dispute Between The Parties
4. Chapter 4: Final Profision.26

BIT antara Indonesia-Singapura ini adalah yang terbaru oleh karena itu muatan
dan isi daripada article-nya cukup banyak dan pembaharuan dari pada muatan
klausul BIT ini cukup banyak namun 4 bagian daripada klausul ini masih dengan
pola yang sama yaitu lebih dominan terhadap Protection yang merupakan hak
daripada investor dan Home-state lalu Dispute Settlement.

Lalu BIT lainnya seperti Indoensia-Rusia ditandatangani pada 6


september 200727 dan Indonesia-Arab yang ditandatangani pada 15 September
2003.28 Kedua BIT ini memiliki article dibawah jumlah 14. Ketentuannya pun
sama masih dominan perlindungan dan settlement. Penulis berkesimpulan
semakin lama umur daripada BIT ini semakin umum, semakin banyak
pembahasan yang umum dan tidak spesifik yang dimuat dan diperjanjikan oleh
masing-masing pihak. Ketentuan yag umum ini akan menjadi celah hukum bagi
para pihak. Lalu dominannya hak tidak diseimbangkan dengan tanggung jawab
juga dapat membuat para investor yang ingin diperlakukan secara sewenang-
wenang dan tidak mengidahkan kedaulatan negara host-state.

III. Green Investment dapat menjadi inovasi untuk New Generation of Bilateral
Investment Agreements for Indonesia.

A. Investasi Hijau
Green Investment atau Investasi hijau mengacu pada kegiatan investasi
yang selaras dengan praktik bisnis yang ramah lingkungan dan konservasi sumber
daya alam.29 Investasi hijau muncul atas hasil turunan dari ekonomi hijau yang
man hal tersebut lahir dari kegiatan pasar, suatu kombinasi antara ekonomi dan
26
The Promotion and Protection of Investment (Indonesia-Singapura) (Ditandatangani 11
Oktober 2018). Pasal 1.
27
The Promotion and Protection of Investment (Indonesia-Rusia) (Ditandatangani 6
september 2007) Pasal 1.
28
The Promotion and Reciprocal Protection of Investment (Indonesia-Arab)
(Ditandatangani 15 September 2003) Pasal 2.
29
James Chen, Guide to Green Investing, investopedia.com, 1 November 2022, tersedia
pada https://www.investopedia.com/terms/g/green-investing.asp, diakses pada tanggal 14 Oktober
2023.
sosial sehingga terdapat teori yang mengemukakan “antara ekonomi dan sosial
memberikan dampak terhadap lingkungan” pandangan ini menurut arthur pigou
merupakan kasus klasik yang bersifat eksternal negatif yangana pandangan ini
menyatakan ekonomi dan sosial memiliki skema berbanding terbalik dengan
lingkungan. Namun hal ini terdapat perbedaan pandangan bahwasanya ini bukan
merupakan skema yang berbalik melainkan munculnya lingkungan yang
terdampak membuat arus baru yaitu “arus ketiga” (dalam pandangan Peter Sand.
Sehingga skema yang terjalin adalah antara Lingkungan, Social dan Ekonomi
haruslah berkesinambungan.30
Investasi hijau berupaya mendukung praktik-praktik bisnis yang memiliki
dampak positif terhadap lingkungan alam. Kegiatan penanaman modal ini
berfokus pada perusahaan atau prospek investasi yang memiliki komitmen
terhadap konservasi sumber daya alam, produksi serta penemuan sumber daya
alternatif energi baru terbarukan (EBT), implementasi proyeksi air dan udara
bersih, serta kegiatan investasi yang ramah lingkungan ke lingkunga sekitar. 31
Sehingga Investasi hijau sering kali dikelompokkan dengan kriteria Socially
Responsible Investment (SRI) atau Environtment, Social and Government (ESG).
Oleh akeran itu, ruang lingkup Investasi hijau berada di bawah payung SRI
namun lebih spesifik.
Mengenai definisi investasi hijau terdapat diskusi menarik didalamnya, dalam
sudut pandang investor pada dasarnya terdapat dua tingkat utama dalam
pengambilan keputusan investasi:32
1. keputusan strategis diambil oleh dewan atau pengawas, komite investasi
atau CIO (misalnya jenis ESG, SRI, kebijakan investasi hijau);
2. Implementasi keputusan diambil oleh manajer investasi internal atau
eksternal dan analis “hijau” (pilihan misalnya aset, tolok ukur, dana, dll.).

Lebih jauh lagi, terdapat karakteristik utama menegnai investasi hijau: 33

1. Sifat yang Bergantung pada aspek ekonomi dan pemerintah.


30
Vincius Vizzotto, “Green investment: concept, design and conflict of interests on the
environmental mutual fund industry – How Triple Helix interactions can minimize conflicts and
boost a sustainable economy,” Economic Green Journal, Vol. 1, No. 1 (2020), hlm. 5.
31
Hanung Harimba Rachman, “Arah Kebiijakan Green Investment,” makalah disajikan
pada Diskusi Interaktif Meujudkan Investasi Perubahan Iklim, Perkembangan, Tantangan dan
peluang pada Festival Iklim, Jakarta, 2018, hlm. 10.
32
Intan Puspitasari, et.el., “Investor Behavior In Green Investment Information,” AL-
ARBAH, Vol. 2, No. 1 (2020), hlm. 53.
33
Marian Catalin Voica, et al., “Green Investments-between necessity, fiscal constraints
and profit,” Procedia Economics and Finance, Vol. 22, No. 1 (2015), hlm. 73.
2. Banyak persinggungan dari berbagai definisi yang ada dengan beberapa
sektor (seperti energi terbarukan). Komoditas (misalnya kredit karbon
atau energi terbarukan), jasa (misalnya pengelolaan limbah) dan
teknologi (misalnya untuk meningkatkan efisiensi energi).
3. Konversi yang krusial (misalnya nuklir dan energi hidro skala besar),
perubahan konsensus (seperti bahan bakar nabati, biomassa, gas serpih),
ambiguitas (pertanian, TI ramah lingkungan, jasa keuangan, limbah) atau
ketidakpastian bagaimana menangani (misalnya keanekaragaman hayati,
konservasi) telah terdeteksi.
4. Untuk beberapa barang atau jasa, lebih mudah untuk mendefinisikan
“hijau” dibandingkan dengan teknologi dan proses.
5. Metrik untuk “kehijauan” sulit ditetapkan untuk barang, teknologi, dan
proses.
Investasi Hijau dalam kristalisasinya diaplikasikan kedalam tiga tipe investasi.
Pertama, green equity yaotu suatu kegiatan penanaman modal kepada perusahaan
yang memiliki komitmen dalam melakukan pelestarian lingkungan. 34 Kegiatan ini
juga guna mempromosikan kelestarian lingkungan secara lebih umum, dan
seperti yang digunakan dalam makalah ini, untuk memastikan kesesuaian proyek
dan program dengan iklim, terutama dengan mandat dalam Perjanjian Paris. 35
Kedua, green bonds atau obligasi hijau adalah kegiatan dalam membantu bank,
perusahaan dan pemerintah untuk pendanaan proyek yang bertujuan salah satunya
dalam melestarikan lingkungan. Obligasi hijau ini merupakan skema jual-beli
surat hutang yang mana keuntungan hasil pejualan ini dapat membantu proyek
pelestarian lingkungan. Pada skema obligasi hijau ini diperlukanya suatu
dukungan dari lembaga keuangan negara agar dapat memberikan pelayanan yang
menarik para investor agar melakukan obligasi hijau sebagai sebagai kepedulian
terhadap iklim dan mengalihkan aliran dana ke proyek yang selaras dengan iklim,
agar dapat masuk ke dalam sistem ekonomi hijau yang baru. 36 Ketiga, green
sukuk yaitu Green sukuk adalah instrumen investasi untuk mendukung proyek
ramah lingkungan. Kegiatan ini hampir sama dengan obligasi hijau namun

34
Aditya Oktaviana, Wajib Tahu! 3 Jenis Investasi Hijau dan Manfaatnya, sfast.id, 13
Februari 2023, tersedia pada https://sfast.id/investasi-hijau/, diakses pada tanggal 14 Oktober
2023.
35
Administrator, Ensuring Green Equity means Equity for People and Planet,
trendasia.org, 14 Oktober 2021, https://trendasia.org/en/ensuring-green-equity-means-equity-for-
people-and-planet/, diakses pada tanggal 14 Oktober 2023.
36
Giuseppe Cortellini, en.al., “Green Bond: A Systematic Literature Review for Future
Research Agendas,” Journal of Risk and Financial Management, Vol. 14, No. 589 (2021), hlm. 4.
terdapat perbedaan pada sistem yang digunakan, dalam sistem ini yang berlaku
adalah prinsip syariah. Umumnya, alokasi dana instrumen aset ini bergerak di
berbagai sektor. Mulai dari proyek pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan,
energi terbarukan, pariwisata hijau, menangani perubahan iklim, pembangunan
hijau pertanian berkelanjutan, hingga pengelolaan limbah ramah lingkungan.
Konsep yang dikembangkan dalam Green Sukuk adalah Maqasidu Shariah yaitu
tidak hanya membicarakan sahnya suatu hubungan namun harus memberikan
mashalahat bagi masyarakat suatu negara.37
B. Program Investasi Hijau di Indonesia
Investasi hijau saat ini di Indonesia sedang maraknya dikembangkan,
Kegiatan yang ini diperlakukan untuk menciptakan ekosistem yang baik dan
dielaborasikan ke dalam program pemerintahan yang bertujuan dalam Net Zero
Emisi (Mitigasi Peubahan Iklim). Investasi Hijau ini diimplementasikan kedalam
beberapa proyeksi ekonomi hijau, yaitu Energi berkelanjutan, lanskap
berkelanjutan, kawasan ekonomi khusus dan program persiapan Green Climate
Fund:38
1. Energi Berkelanjutan
Implementasi Investasi hijau pada proyek energi terbarukan dan
efisiensi energi adalah dengan melakukan pendanaan terhadap roject
tersebut. Layanan program ini adalah mengatur pendanaan dan
mempertemukan para investor dengan pengembang proyek dalam
mengembangkan proyek untuk mengurangi risiko dan membantu proyek
mencapai tahap bankable. Investor potensial dapat dihubungkan dengan
proyek pada tahap awal, baik melalui skema pendanaan oleh pemasok
listrik independen (Independent Power Producer/IPP), Perusahaan
Penyedia Jasa Energi (Energy Service Company/ESCO), atau melalui
perjanjian lainnya.
Saat ini, fokus utama program adalah pemanfaatan sistem energi
surya fotovoltaik, penggunaan limbah kelapa sawit untuk energi, dan
beragam solusi bioenergi lainnya. Namun, aktivitas program dapat
diperluas berdasarkan permintaan dan minat pasar. Program ini juga
mengeksplorasi peluang investasi pada konservasi energi dan

37
Ramdansyah Fitrah, et.al., “Green Sukuk For Sustainable Development Goals in
Indonesia: A Literature Study,” Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, Vol. 8, No. 1 (2022), hlm. 234.
38
Green Growth, Investasi Hijau , greengrowth.bappennas.go.id, 2 Oktober 2021,
http://greengrowth.bappenas.go.id/investasi-hijau/, diakses pada tanggal 14 Oktober 2023.
pengembangan solusi efisiensi energi melalui pelaksanaan audit energi di
sektor industri.
2. Lanskap berkelanjutan
Investasi hijau dalam proyek ini adalah perancangan dalam konsep
lanskap yang berkelanjutan sehingga menjadi model bisnis yang bernilai
komersial, baik di sektor kehutanan atau sektor terkait lainnya, dengan
keterlibatan para pemangku kepentingan, termasuk masyarakat lokal,
petani kecil, dan berbagai perusahaan swasta.
Kterlibatan investor dalam perancangan ini adalah dengan tujuan
pendanaan iklim, sehingga diharapkan dapat memanfaatkan produk dan
layanan ekosistem yang berharga, termasuk hasil hutan kayu dan non-
kayu.

3. Kawasan Ekonomi Khusus


Konsep Investasi Hijau dalam pengembangan proyek kawasan
ekonomi khusus adalah pemfokusan pendanaan dalam pengembangan
kawasan ekonomi khusus termasuk menerapkan alat eCBA sebagai
bagian dari studi kelayakan proyek. Penggunaan eCBA akan membantu
memastikan bahwa proyek yang diidentifikasi tersebut dapat menarik
dana dari kancah investasi iklim yang terus bertambah, sehingga kinerja
lingkungan menjadi kriteria evaluasi utama.
4. Persiapan Program Green Climate Fund
Green Climate Fund (GCF) adalah mekanisme pembiayaan dari
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)
yang secara khusus dibentuk untuk membantu negara-negara
berkembang seperti Indonesia untuk mencapai target pengurangan
emisinya. GCF telah berhasil memperoleh dana sebesar USD 10.3 milyar
yang tercatat pada bulan Januari 2018, dan berencana untuk memobilisasi
dana sebesar USD 100 milyar per tahun.
GCF mendukung Indonesia dengan menyalurkan dana untuk
proyek/program hijau. Proyek/program tersebut dapat mengajukan
pendanaan kepada GCF melalui entitas nasional maupun internasional
yang terakreditasi oleh GCF-dan jika proyek-proyek tersebut sesuai
dengan strategi nasional dan perundang-undangan. Saluran komunikasi
utama antara GCF dan negara adalah melalui National Designated
Authority (NDA). Badan Kebijakan Fiskal (BKF) di bawah Kementerian
Keuangan adalah NDA untuk Indonesia.
BKF telah menunjuk GGGI sebagai Delivery Partner untuk
mengimplementasikan program Persiapan dan Penguatan (“Program
Persiapan”) di Indonesia yang didanai oleh Green Climate Fund.
Program Persiapan ini untuk mewujudkan prinsip inti dari model bisnis
GCF yaitu kepemilikan negara dan pendekatan berbasis negara.
Terdapat lima hasil yang ingin dicapai dari program Persiapan dan
Penguatan tersebut:
a. Kapasitas Indonesia diperkuat
b. Berbagai pemangku kepentingan terlibat
c. Entitas Akses Langsung direalisasikan
d. Akses kepada pembiayaan (GCF) ditingkatkan
e. Sektor swasta dilibatkan
C. Green Investment sebagai inovasi dalam membentuk Bilateral Investment Treaty
of Indonesia
Pembaharuan terhadap BIT Indonesia sangat diperlukan namun yang
menjadi pertanyaan ilmiah terhadap pembaharuan ini adalah bagaimana
langkahnya?. Bilateral Investment Treaty yang lama memiliki kecenderungan
terhadap pemberian hak kepada Multinational Corporatin dan home-state, insentif
dan kebijakan lokal hoststate yang dapat menguntungkan investor asing agar
tertarik berinvestasi di Indonesia. Pemberian perlakuan khusus ini tidak
sepenuhnya salah namun tidak membebankannya dengan tangung jawab adalah
langkah yang sangat fatal.
Pemberian tanggung jawab terhadap Multinational Corporation ini juga
tidak terlepas perdebatan antara “termasuk sebagai subjek hukum internasional
atau bukan”39 namun sudah selayaknya pandagan ini harus memiliki sikap yang
dapat menjelaskan posisi Multinational Corporation sebagai aktor pada BIT.
Terlepas daripada perdebatan yang cukup alot, pada dasarnya melihat
kedudukannya sebagai aktor pada perjanjian tersebut maka sudah selayaknya
Multinational Corporation diberikan tanggung jawab ketika melakukan
aktivitasnya di wilayah Host-state.

39
Sornarajah, The International Law..., hlm. 61.
Reformasi terhadap BIT adalah dengan menyantumkannya tanggung jawab
terhadap Multinational Corporation dan ketentuan atas pengontrolannya oleh
Home-state. Jenis-jenis tanggung jawab tersebut yaitu, Pertama, Tidak
diperbolehkannya ikut campur dalam urusan politik dalam negeri Host-state.
Kedua, tidak berhubungan dengan urusan pelanggaran Hak Asasi Manusia baik
itu pelanggaran biasa maupun Kategori Pelanggaran HAM berat. Ketiga, Tidak
melakukan pencemaran lingkungan bahkan diharuskan untuk mendukung segala
kegiatan yang berhubungan dengan pelestarian lingkungan. Keempat, mendukung
pembangunan ekonomi negara host-state khususnya untuk negara berkembang.40
Pengembangan konsep pelestarian lingkungan pada BIT adalah dengan
membuat pengecualian pada muatan materi BIT. Hal ini dilakukan oleh BIT
Kanada-AS, Pada pasal 10 Canada Model Treaty terdapat suatu pengecualian
umum (General Exeption) yang mengatakan:
“1. Subject to the requirement that such measures are not applied in a
manner that would constitute arbitrary or unjustifiable discrimination
between investments or between investors, or a disguised restriction on
international trade or investment, nothing in this Agreement shall be
construed to prevent a Party from adopting or enforcing measures
necessary:
(a) to protect human, animal or plant life or health;
(b) to ensure compliance with laws and regulations that are not inconsistent
with the provisions of this Agreement; or
(c) for the conservation of living or non-living exhaustible natural
resources.”41

Pengecualian ini digunakan untuk mengembalikan esensi daripada yurisdiksi


host-state (kanada) dalam memberikan tanggung jawab pada perlindungan
lingkungan di wilayahnya. Konsep pengecualian dalam porsinya memberikan
tanggung jawab ini memiliki tanda tanya, apakah konsep ini dapat diterapkan di
negara berkembang seperti Indonesia karena permaslahannya adalah kekuatan
Indonesia di lingkungan Internasional belum cukup kuat terlebih lagi kedudukan
investor atau perusahaan internasional cukup tinggi karena posisinya Indonesia
membutuhkan mereka masuk dan beraktifitas layaknya pengusaha yang
membangun perekonomian negara. Sehingga pelaksanaan yang paling tepat
40
Ibid., hlm. 152
41
Ibid., hlm. 226
adalah dengan mengadopsi konsep Green Investment kedalam klausula BIT yang
dalam jenisnya pada bagian proteksi. Konsep pengimplementasiannya adalah
Klausul Green Investment sebagai bentuk proteksi dan mengajak untuk para
investor asing untuk berkontribusi dengan Green Investment tersebut. Hal-hal
pendukung lainnya agar investor asing mau melakukan green investment adalah
dengan memberikan insentif. oleh karena itu masuknya konsep green investment
dalam klausula BIT adalah bentuk proteksi kepada investor sehingga yang
diharapkan adalah keterlibatan langsung dalam melakukan pelestarian
lingkungan.
IV. Penutup
Bilateral Investment Treaty (BIT) merupakan jenis daripada International
Investment Agreement yaitu perjanjian internasional tentang investasi antara dua
negara dengan Multinational Corporation. Terjalinnya hubungan antara dua negara
yang diikat dengan BIT dapat memberikan kepastian terhadap keberlangsungan
investasi internasional antara kedua negara. Namun lamanya umur BIT ini menjadi
problematika karena muatan klausula yang diperjanjikan kedalam BIT ini tidak
memberikan dampak baik untuk host-state khususnya dalam pencemaran lingkungan.
Oleh karena itu diperlukannya suatu perubahan di dalam skema yaitu dengan
menggunakan konsep Green Investment sebagai upaya untuk mengajak investor asing
dalam berkontribusi melakukan pelestarian lingkungan. Konsep ini diimplementasikan
kedalam BIT dengan menjadikannya masuk kedalam klausula proteksi dengan
memberikan insentif terhadap investor asing agar mau menanamkam modalnya
dengan konsep green investment.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang Tentang Penanaman Modal, UU Nomor 25 Tahun
2007, LN Tahun 27 No. 67 TLN No. 4724.
Sumber Hukum Internasional
The Promotion and Protection of Investment (Indonesia-Rusia) (Ditandatangani 6
september 2007)
The Promotion and Protection of Investment (Indonesia-Singapura)
(Ditandatangani 11 Oktober 2018)
The Promotion and Reciprocal Protection of Investment (Indonesia-Arab)
(Ditandatangani 15 September 2003)
The Reciprocal Promotion and Protection of Investments (Australia-Chile)
(Ditandatangani 9 July 1996)
Buku
Jesse Coleman, Briefing Note: Modern Provisions in Investment Treaties,
Columbia: Columbia Center on Sustainable Investment. 2020.
Soanes. Catherine, et. al., Concise Oxford English Dictionary, ed 11. Oxford:
Oxford University Press. 2008.
Sornarajah, The International Law of Foreign Investment, ed 3., Cambridge:
Cambridge University Press. 2010.
United Nation Conference on Trading and Development, International Investment
Agreeent: Key Issue Volume 1. New York: United Nation. 2004.
Virjinia. Citra Mutiara, Pelaksanaan Bilateral Investment Treaties (BIT) Dalam
Penanaman Modal Asing di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No.
25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Bandung: Unpad. 2013.

Artikel Jurnal
Amalia. Prita, et.al., “Multinational Corporation’s Investments made through its
Subsidiary under The Latest Generation under of Investment Treaties,”
Indoensian Journal of International Law, Vol. 19, No. 1, Oktober 2021.
Astuti. Amelia Dwi, “Implikasi Kebijakan Indonesia dalam Menangani Kasus
Pencemaran Lingkungan oleh PT. Freeport terhadap Keamanan Manusia di
Mimika Papua,” Journal of International Relations, Vol. 4, No. 3, Agustus
2018.
Cortellini. Giuseppe, en.al., “Green Bond: A Systematic Literature Review for
Future Research Agendas,” Journal of Risk and Financial Management,
Vol. 14, No. 589, Desember 2021.
Febiola. Feliana, “Kepentingan Negara Dalam Penandatanganan Bilateral
Investment Treaty (Bit) Antara Indonesia Dengan Singapura,” Jurnal
Hukum, Politik dan Ilmu Sosial, Vol. 2, No. 1, Maret 2023.
Fitrah. Ramdansyah, et.al., “Green Sukuk For Sustainable Development Goals in
Indonesia: A Literature Study,” Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, Vol. 8, No. 1,
Januari 2022.
Fox. Genevieve, “A Future for International Investment? Modifying BITs to
Drive Economic Development,” Georgetown Journal of International Law
Vol.46, No. 1, Maret 2014.
Hidayati. Eka Husnul, et al., “Akibat Penghentian Bilateral Investment Treaty
(Bit) Indonesia – Belanda Yang Dilakukan Secara Sepihak Oleh Indonesia,”
USU Law Journal, Vol. 5, No. 2, April 2017.
Puspitasari. Intan, et.el., “Investor Behavior In Green Investment Information,”
AL-ARBAH, Vol. 2, No. 1, Maret 2020.
Putri. Jihan Karina, et al., “Peran Penanaman Modal Asing dalam Membangun
Perkonomian di Indonesia,” Journal of Social Research, Vol. 1 No. 3,
Februari 2022.
Rihwanto. Yacob, “Bilateral Investment Treaties dan Penyelesaian Arbritase
Internasional (Studi Kasus Pencabutan Izin Kuasa Pertambangan Churchill
Mining)”, Renaissance, Vol. 1, No. 1. Januari 2016.
Sembiring. Laura Natalia, “Urgensi Perjanjian Investasi Bilateral Antara
Indonesia Dan Negara Lain Dengan Klausula Penyelesaian Sengketa
Investor-State Dispute Settlement,” Dharmasisya, Vol. 1, No. 4, Juli 2021.
Vizzotto. Vincius, “Green investment: concept, design and conflict of interests on
the environmental mutual fund industry – How Triple Helix interactions can
minimize conflicts and boost a sustainable economy,” Economic Green
Journal, Vol. 1, No. 1, Januari 2020.
Voica, Marian Catalin, et al., “Green Investments-between necessity, fiscal
constraints and profit,” Procedia Economics and Finance, Vol. 22, No. 1,
November 2015.
Lain-lain

Administrator, Ensuring Green Equity means Equity for People and Planet,
https://trendasia.org/en/ensuring-green-equity-means-equity-for-people-and-
planet/, diakses pada tanggal 14 Oktober 2023.

Austin. Slidley, Dasar-dasar Perjanjian Investasi Bilateral,


https://www.sidley.com/en/us/services/global-arbitration-trade-and
advocacy/investment-treaty-arbitration/sub-pages/the-basics-of-bilateral
investment-treaties/, diakses pada tanggal 13 Oktober 2023.

Badan Koordinasi Penanaman Modal, Penanaman Modal Asing di Indonesia,


investindonesia.go.id,
https://investindonesia.go.id/id/artikel-investasi/detail/penanaman-modal-asing-di-
indonesia, diakses pada tanggal 12 Oktober 2023.

Chen. James, Guide to Green Investing, https://www.investopedia.com/terms/g/green-


investing.asp, diakses pada tanggal 14 Oktober 2023.

Green Growth, Investasi Hijau, http://greengrowth.bappenas.go.id/investasi-hijau/,


diakses pada tanggal 14 Oktober 2023.

Investment Policy Hub, Bilateral Investment Treaties of Indonesia,


https://investmentpolicy.unctad.org/international
investmentagreements/countries/97/indonesia, diakses pada tanggal 13 Oktober
2023.
Oktaviana. Aditya, Wajib Tahu! 3 Jenis Investasi Hijau dan Manfaatnya,
https://sfast.id/investasi-hijau/, diakses pada tanggal 14 Oktober 2023.

Rachman. Hanung Harimba, Arah Kebiijakan Green Investment, makalah disajikan pada
Diskusi Interaktif Meujudkan Investasi Perubahan Iklim, Perkembangan,
Tantangan dan peluang pada Festival Iklim, Jakarta, 2018.

You might also like