You are on page 1of 12

Author’s name, et al.

Title of article
Dinamika Ekonomi: Jurnal Ekonomi dan Pembangunan

Vol. XI, No. V, 2020, pp. 1-10

Journal homepage: https://bit.ly/dinamika_ekonomi

Dampak Covid-19 Terhadap Kemiskinan dan Ketimpangan di Provinsi Jawa Barat

Arina Az Zahra, Dinda Aisya Randita, Kurnia Dewi Setyaningsih.

Universitas Islam Bandung, Indonesia


Universitas Islam Bandung, Indonesia
Universitas Islam Bandung, Indonesia
Corresponding Author Email: Author name1*@gmail.com

https://doi.org/10.18280/ijsdp.xxxxxx ABSTRACT
Received: DD/MM/YYYY Corona virus disease 2019 (Covid-19) has spread to various countries including
Indonesia. Covid-19 has become a disease outbreak in various countries, so many
Accepted: DD/MM/YYYY consequences have emerged from the Covid-19 pandemic, especially related to
poverty in various countries. Efforts to break the transmission of Covid-19 have been
carried out in various ways, ranging from social distancing, studying at home,
working at home, maintaining health, implementing restrictions on community
Keywords: Covid-19, Kemiskinan, Ketimpangan,
activities (PPKM), and so on. Not a few companies that perform Termination of
Jawa Barat Employment (PHK) of workers, and not a few workers who lost their jobs. This
phenomenon affects the poverty level, especially in Indonesia, especially in West
Java Province. The poverty rate in Indonesia rose from 9.15 percent to 9.59 percent.
This study aims to explore and determine the impact of the Covid-19 pandemic on
the level of poverty and inequality in West Java. The data used in this study is
secondary data, namely the source of research data obtained through intermediary
media or indirectly, in the form of books, notes, existing evidence or archives, both
published and unpublished in general. The data in this study are in the form of
GRDP, poverty, and income inequality data for West Java Province which have been
processed by the Central Statistics Agency for West Java Province.

Abstrak
Corona virus disease 2019 (Covid-19) menyebar ke berbagai negara termasuk
Indonesia. Covid-19 ini menjadi wabah penyakit di berbagai negara, sehingga
banyak akibat yang muncul dari pandemi Covid-19 ini terutama terkait kemiskinan
di berbagai negara. Upaya memutus penularan Covid-19 sudah dilakukan dengan
berbagai cara mulai dari social distancing, belajar di rumah, bekerja di rumah,
menjaga kesehatan, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), dan
sebagainya. Tidak sedikit perusahaan yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) terhadap pekerja, dan tidak sedikit juga para pekerja yang kehilangan
pekerjaannya. Fenomena ini mempengaruhi tingkat kemiskinan terutama di negara
Indonesia, khususnya di Provinsi Jawa Barat. Angka kemiskinan di Indonesia naik
dari 9,15 persen menjadi 9,59 persen. Studi ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan
mengetahui dampak pandemi Covid-19 terhadap tingkat kemiskinan dan
ketimpangan di Jawa Barat. Data yang digunakan dalam studi ini adalah data
sekunder yaitu sumber data penelitian diperoleh melalui media perantara atau secara
tidak langsung, berupa buku, catatan, bukti yang telah ada atau arsip baik yang
dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan secara umum. Data dalam studi ini
berupa data PDRB, kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan Provinsi Jawa Barat
yang telah diolah oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat.

1. PENDAHULUAN

Virus Covid-19 pertama kali terdeteksi di China pada akhir 2019 dan pada Juni 2021, telah menyebar ke seluruh
dunia, menyebabkan lebih dari 178 juta kasus yang dikonfirmasi dan 3,9 juta kematian. Beberapa kasus awal terkait
dengan pasar basah di Kota Wuhan, tempat klaster pertama infeksi Covid-19 tercatat. Selama beberapa bulan terakhir,
Author’s name, et al. Title of article
para ilmuwan telah mencapai konsensus luas bahwa virus menyebar sebagai akibat dari "zoonotic spillover" atau "virus
yang melompat" dari hewan yang terinfeksi ke manusia, sebelum menjadi sangat menular dari manusia ke manusia.
Namun, teori lain yakin bahwa virus tersebut mungkin lolos dari fasilitas riset biologi utama, yang terletak relatif dekat
dengan pasar, yakni Institut Virologi Wuhan (WIV). Di tempat itu, para ilmuwan sudah mempelajari virus corona pada
kelelawar selama lebih dari satu dekade. Penelitian sejak saat itu memberikan bukti yang menentang gagasan virus yang
direkayasa. Wabah Covid-19 menyebar hingga sampai ke Indonesia pada akhir bulan Februari, yaitu ketika salah satu
WNI yang berdansa dengan WNA dari Jepang yang tanpa diketahui WNA tersebut membawa virus Covid-19 dan
menularkannya pada seorang wanita warga negara Indonesia dan ibu wanita tersebut. Sehingga pada tanggal 2 Maret
2020 Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa telah masuknya virus Covid-19 ke Indonesia dan mulai
diberlakukannya kebijakan pembatasan sosial di lingkungan masyarakat. Sehingga para pekerja dan para pelajar harus
melakukan kegiatannya dan pekerjaannya di rumah secara online untuk mencegah penyebaran virus, sebagai salah satu
tindakan memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Namun, hal ini menyebabkan naiknya angka pengangguran karena
banyaknya pegawai yang terkena PHK, hal itu juga berpengaruh pada tingkat kemiskinan di Indonesia terkhususnya di
Jawa barat.
Kemiskinan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan secara ekonomi untuk memenuhi standar hidup rata-rata
masyarakat di suatu daerah. Biasanya, fenomena ini terjadi karena rendahnya pendapatan masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan pokok baik papan, sandang, pangan, dan juga rendahnya kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Masalah
kemiskinan ini sering terjadi di negara berkembang yang memiliki tingkat penduduk yang tinggi, sehingga terjadinya
ketidakmerataan kesejahteraan masyarakat yang dapat memicu ketimpangan sosial. Menurut Sen dalam (Todaro, M. P.,
& Smith, 2006), kemiskinan bukan suatu kondisi kekurangan suatu komoditi ataupun masalah kepuasan dari komoditi
tersebut namun, kemiskinan lebih cenderung merupakan kondisi masyarakat yang kurang dapat memaksimalka fungsi
dan mengambil manfaat dari komoditi tersebut.
Seperti yang kita ketahui, terjadinya wabah covid-19 beberapa tahun kebelakang ini mengakibatkan kemiskinan
dan ketimpangan semakin meningkat, terutama di wilayah Jawa Barat, Indonesia. Maka dari itu, tulisan ini bertujuan
untuk menganalisis dampak Covid-19 terhadap tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di Jawa Barat. Jenis
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang berdasarkan pada data hasil survei
Badan Pusat Statistik (BPS) Jabar dalam rentang bulan Oktober 2019 - Maret 2020.

2. LANDASAN TEORI

Pandemi Covid-19
COVID-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus severe acute respiratory syndrome coronavirus
2 (SARS-CoV-2). COVID-19 merupakan penyakit menular yang menyebar melalui percikan-percikan dari hidung atau
mulut yang keluar dari orang yang terjangkit COVID-19. Orang yang terkena COVID-19 akan menimbulkan gejala
umum seperti demam, rasa lelah, batuk kering, rasa nyeri dan sakit, hidung tersumbat, sakit kepala, sakit tenggorokan,
kehilangan indera rasa atau penciuman atau ruam pada kulit (WHO, 2020).Penyakit ini masuk ke Jawa Barat pada awal
bulan Maret 2020, sehingga pemerintah membuat kebijakan untuk melakukan segala sesuatu di rumah, seperti bekerja
dari rumah. Hal ini tidak mudah untuk para pencari nafkah yang biasanya bekerja di luar rumah. Kebijakan pemerintah ini
menyebabkan terhambatnya para pekerja untuk mendapat penghasilannya. Banyak kasus pengangguran terjadi di Jawa
Barat, sehingga menimbulkan tingkat kemiskinan bertambah. COVID-19 tidak hanya berakibat kepada kesehatan
manusia tetapi dampak akibat COVID-19 pun dapat berakibat pada kemiskinan.

Kemiskinan
Pada dasarnya konsep kemiskinan dikaitkan dengan perkiraan tingkat income atau pendapatan dan
kebutuhan. Kebutuhan dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang
hidup secara layak. Jika tingkat income tidak dapat mencapai kebutuhan minimum maka orang atau keluarga itu disebut
miskin. Tingkat income minimum itu merupakan pembatas antara keadaan miskin dan tidak miskin, ini sering disebut
garis kemiskinan (poverty line), dan dikenal sebagai garis kemiskinan mutlak (absolute). Ada pula yang disebut
kemiskinan relatif, kemiskinan ini tidak ada garis kemiskinannya. Seseorang yang tinggal di kawasan elit, yang
sebenarnya memiliki income sudah cukup mencapai kebutuhan minimum, tetapi income-nya masih jauh lebih rendah dari
rata-rata income masyarakat sekitarnya. Orang atau keluarga tersebut merasakan dia masih miskin, karena kemiskinan
relatif ini lebih banyak ditentukan oleh kondisi lingkungan.

1. Menurut Kurnianingsih, 2012:47, pengertian kemiskinan dapat dipahami sebagai ketiakmampuan seseorang
dalam memenuhi kebutuhan dirinya secara relative sesuai persepsi yang dimilikinya, yang mencakup
ketidakmampuan ekonomis dan non ekonomis seperti sosial, politik, dan spiritual (Andika Drajat Murdani,
2018).
2. Menurut (Tjahya Supriatna, 1997), kemiskinan adalah situasi serba terbatas yang terjadi bukan atas kehendak
individu yang bersangkutan. Sebab individu termasuk miskin ketika ia memiliki kecukupan yang rendah
dalam aspek tingkat pendapatan, Pendidikan, produktivitas kerja, kesehatan, gizi, serta kesejahteraan hidup
Author’s name, et al. Title of article
yang menunjukkan lingkaran ketidakberdayaan.
3. (Todaro, 2006) dalam Permana (2012) melihat kemiskinan dari dua sisi yaitu: 1) Kemiskinan Absolut,
merupakan kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan yang hanya
dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup
secara layak. Dengan demikian kemiskinan diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang dengan
tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya yakni makanan, pakaian dan
perumahan agar dapat menjamin kelangsungan hidupnya. 2) Kemikinan Relatif, merupakan kemiskinan yang
dilihat dari aspek ketimpangan sosial, kerena ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar
minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya. Semakin besar ketimpangan
antara tingkat penghidupan golongan atas dan golongan bawah maka akan semakin besar pula jumlah
penduduk yang dapat dikatagorikan miskin, sehingga kemiskinan relatif erat hubungannya dengan masalah
distribusi pendapatan (Puti Andiny, 2017).

Pengertian mengenai arti dari kemiskinan sangatlah beragam, keberagaman dalam definisi kemiskinan
dikarenakan masalah tersebut telah merambat pada level multidimensional, artinya kemiskinan berkaitan satu sama lain
dengan berbagai macam dimensi kebutuhan manusia (Todaro, M. P., & Smith, 2006). Pengertian kemiskinan sering
dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Kemiskinan dapat diartikan
juga sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan seperti pangan, perumahan, pakaian, pendidikan,
kesehatan, dan sebagainya. Kemiskinan adalah suatu kondisi yang dialami seseorang atau kelompok orang yang tidak
mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi (Sumedi dan Supardi, 2004).
Kemiskinan dikaitkan dalam aspek yang cukup luas dalam kehidupan, tetapi untuk memudahkan penetapannya sering
diidentikkan pengukurannya dengan indikator ekonomi. Artinya secara garis besar, kemiskinan diartikan sebagai
ketidakmampuan seseorang dalam hal ekonomi.
Kemiskinan dapat diukur dengan membandingkan tingkat konsumsi seseorang dengan garis kemiskinan atau
jumlah rupiah yang dikeluarkan untuk konsumsi orang perbulan. Sedangkan penduduk miskin adalah penduduk yang
memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Garis Kemiskinan merupakan suatu
representasi dari jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum makanan dan
kebutuhan pokok bukan makanan. Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan
(GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum
makanan yang disetarakan dengan 2100 kilo kalori per kapita per hari. Pengukurannya diwakili oleh 52 jenis komoditi
yang meliputi padi-padian, umbi- umbian, ikan, daging, telur, susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak, dan
lain-lain. GKNM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan yang diwakili 51
jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan (BPS, n.d.).
Besar atau kecilnya penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan (GK). Selama kurun waktu
September 2020 – September 2021, GK naik sebesar Rp21.922 dari Rp415.682 per kapita per bulan pada September 2020
menjadi Rp437.604 per kapita per bulan pada September 2021. Perkembangan GK di Provinsi Jawa Barat ditunjukkan
dalam Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan Garis Kemiskinan


Garis September Maret September
Kemiskinan 2020 2021 2021
Jawa Barat
Perkotaan+Pedesaan 415,699 427,402 437,604

Perkotaan 416,699 428,832 438,642


Pedesaan 411,342 421,757 433,041

Ketimpangan Pendapatan
Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan yang perlu dilihat karena merupakan ukuran
kemiskinan relative. Berikut definisi ketimpangan pendapatan dari beberapa sumber buku pendapat para ahli (Muchlisin
Riadi, 2020) :

1. (Todaro, M. P., & Smith, 2006), ketimpangan pendapatan adalah terdapatnya perbedaan pendapatan yang
diterima atau dihasilkan oleh masyarakat sehingga mengakibatkan tidak meratanya distribusi pendapatan
nasional di antara masyarakat.
2. (Baldwin Robert E, 1986), ketimpangan pendapatan adalah perbedaan kemakmuran ekonomi antara yang
kaya dengan yang miskin, hal ini tercermin dari adanya perbedaan pendapatan.
Author’s name, et al. Title of article
3. Menurut Kuncoro (2006), ketimpangan pendapatan adalah standar hidup yang relatif pada seluruh
masyarakat, karena kesenjangan antar wilayah yaitu adanya perbedaan faktor produksi dan sumber daya yang
tersedia.
4. (Sukirno, 2006), ketimpangan pendapatan merupakan suatu konsep yang membahas tentang penyebaran
pendapatan setiap orang atau rumah tangga dalam masyarakat.

Ukuran yang menggambarkan ketidakmerataan pendapatan antara lain adalah koefisien Gini (Gini Ratio). Gini
Ratio merupakan ukuran tingkat ketimpangan pendapatan penduduk yang banyak digunakan di berbagai negara.
Perubahan Gini Ratio merupakan indikasi dari adanya perubahan distribusi pengeluaran penduduk. Nilai Gini Ratio ini
berkisar antara 01. Semakin tinggi nilai Gini Ratio menunjukkan semakin tinggi pula ketimpangannya. Nilai 0,4 ke
bawah termasuk pada kategori ketimpangan rendah, 0,4 – 0,7 termasuk kategori ketimpangan sedang dan di atas 0,7
dikategorikan ketimpangan tinggi.

Relasi Kemiskinan dan Ketimpangan


Hal paling nyata yang dapat dilihat ketika terjadi kemiskinan adalah adanya pengangguran serta keterbelakangan
masyarakat yang miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha, serta terbatas terhadap akses kegiatan ekonomi.
Hal inilah yang menyebabkan masyarakat tersebut semakin jauh dan masyarakat lain dengan potensi lebih tinggi. Pada
akhirnya, masyarakat yang miskin cenderung lebih mudah terjebak pada kemiskinan, sementara masyarakat dengan
kemampuan yang lebih tinggi akan cenderung berusaha untuk terus memperbaiki hidupnya. Alhasil, jarak antara
masyarakat miskin akan menjadi semakin jauh dengan masyarakat golongan menengah dan kaya. Hal ini berarti, dalam
masyarakat telah terjadi ketimpangan. Kaitan antara kemiskinan dan ketimpangan pendapatan ada beberapa pola yaitu:

1. Semua anggota masyarakat mempunyai income tinggi (tak ada miskin) tetapi ketimpangan pendapatannya
tinggi.
2. Semua anggota masyarakat mempunyai income tinggi (tak ada miskin) tetapi ketimpangan pendapatannya
rendah (ini yang paling baik).
3. Semua anggota mempunyai income rendah (semuanya miskin) tetapi ketimpangan pendapatannya tinggi.
4. Semua anggota masyarakat mempunyai income rendah (semuanya miskin) tetapi ketimpangan
pendapatannya rendah.
5. Tingkat income masyarakat bervariasi (sebagian miskin, sebagian tidak miskin) tetapi ketimpangan
pendapatannya tinggi.
6. Tingkat income masyarakat bervariasi (sebagian miskin, sebagian tidak miskin) tetapi ketimpangan
pendapatannya rendah.
7. Tingkat income masyarakat bervariasi (sebagian miskin, sebagian tidak miskin) tetapi ketimpangan
pendapatannya tinggi.

3. METODOLOGI PENELITIAN

Ruang Lingkup Penelitian


Tulisan ini meneliti tentang kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Barat akibat adanya
pandemi COVID-19. Tulisan ini bertujuan untuk melihat dampak pandemi tersebut terhadap tingkat kemiskinan dan
ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Barat. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder
yaitu berupa data PDRB, kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan data kasus covid-19 di Provinsi Jawa Barat pada
tahun 2020-2021.

Jenis Data dan Sumber Data


Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu sumber data penelitian yang diperoleh
melalui media perantara atau secara tidak langsung berupa buku, catatan, bukti yang telah ada atau arsip baik yang
dipublikasikan maupun yang tidak di publikasikan secara umum. Data penelitian ini berupa data PDRB, kemiskinan dan
ketimpangan pendapatan Provinsi Jawa Barat yang telah diolah oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat dan juga
data mengenai kasus Covid-19 Provinsi Jawa Barat yang telah diolah oleh Pusat Koordinasi dan Informasi Provinsi Jawa
Barat.

Garis Kemiskinan
Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan
Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan
dikategorikan sebagai penduduk miskin. Berikut adalah rumus perhitungannya:
Author’s name, et al. Title of article
GK = GKM + GKNM

GK = Garis Kemiskinan
GKM = Garis Kemiskinan Makanan
GKNM = Garis Kemiskinan Non Makanan

Teknik penghitungan:
Tahap pertama adalah menentukan kelompok referensi (reference populaion) yaitu 20 persen penduduk yang
berada diatas Garis Kemiskinan Sementara (GKS). Kelompok referensi ini didefinisikan sebagai penduduk kelas
marginal. GKS dihitung berdasar GK periode sebelumnya yang di-inflate dengan inflasi umum (IHK). Dari penduduk
referensi ini kemudian dihitung Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM).
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan yang riil
dikonsumsi penduduk referensi yang kemudian disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Patokan ini
mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978.
Penyetaraan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan dilakukan dengan menghitung harga rata-rata kalori
dari ke-52 komoditi tersebut. Formula dasar dalam menghitung Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah:

52 52
GKMj = ∑ Pjk.Q jk =∑ Vjk
k-1 k-1

GKMj = Garis Kemiskinan Makanan daerah j (sebelum disetarakan menjadi 2100 kilokalori).
Pjk = Harga komoditi k di daerah j.
Qjk = Rata-rata kuantitas komoditi k yang dikonsumsi di daerah j.
Vjk = Nilai pengeluaran untuk dikonsumsi komoditi k di daerah j.
j = Daerah (perkotaan atau pedesaan).

Selanjutnya, GKMj tersebut disetarakan dengan 2100 kilokalori dengan mengalikan 2100 terhadap harga implisit
rata-rata kalori menurut daerah j dari penduduk referensi, sehingga:

52

∑ Vjk
k−1
HKj = 52

∑ Kjk
k−1

Kjk = Kalori dari komoditi k di daerah j


HKj = Harga rata-rata kalori di daerah j

Fj = HKj x 2100

Fj = Kebutuhan minimum makanan di daerah j, yaitu yang menghasilkan energi setara dengan 2100
kilokalori/kapita/hari.

Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) merupakan penjumlahan nilai kebutuhan minimum dari komoditi-
komoditi non-makanan terpilih yang meliputi perumahan, sandang, pendidikan dsan kesehatan. Pemilihan jenisn barang
dan jasa non makanan mengalami perkembangan dan penyempurnaan dari tahun ke tahun disesuaikan dengan perubahan
pola konsumsi penduduk. Nilai kebutuhan minimum perkomoditi/sub-kelompok non-makanan dihitung dengan
menggunakan suatu rasio pengeluaran komoditi/sub-kelompok tersebut terhadap total pengeluaran komoditi/sub-
kelompok yang tercatat dalam data Susenas modul konsumsi. Rasio tersebut dihitung dari hasil Survei Paket Komoditi
Kebutuhan Dasar 2004, yang dilakukan untuk mengumpulkan data pengeluaran konsumsi rumah tangga per komoditi
non-makanan yang lebih rinci dibanding data Susenas Modul Konsumsi (BPS, n.d.). Nilai kebutuhan minimum non
makanan secara matematis dapat diformulasikan sebagai berikut:
Author’s name, et al. Title of article
NFp = ∑ ri x Vi

NFp = Pengeluaran minimum non-makanan atau garis kemiskinan non makanan daerah p (GKNMp).
Vi = Nilai pengeluaran perkomoditi/sub-kelompok non-makanan daerah p (dari Susenas modul konsumsi).
ri = Rasio pengeluaran komoditi/sub-kelompok non-makanan menurut daerah (hasil SPPKD 2004).
i = Jenis komoditi non-makanan terpilih di daerah p.p = Daerah (perkotaan atau pedesaan).

Indeks Kedalaman Kemiskinan


Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1), merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran
masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata
pengeluaran pesuduk dari garis kemiskinan. Rumus perhitungan Indeks Kedalaman Kemiskinan adalah sebagai berikut:

q α
Pα = 1/n ∑ [z-yi/z]
i=1

α =1
z = Garis kemiskinan
yi = Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (i = 1, 2,
3, ..., q), yi < z
q = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan
n = Jumlah penduduk

Indeks Keparahan Kemiskinan


Indeks Keparahan Kemiskinan (Proverty Severity Index-P2) memberikan gambaran mengenai penyebaran
pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara
penduduk miskin. Rumus perhitungan Indeks Keparahan Kemiskinan adalah sebagai berikut:

q α
Pα = 1/n ∑ [z-yi/z]
i=1

α =2
z = Garis kemiskinan
yi = Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (i = 1, 2,
3, ..., q), yi < z
q = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan
n = Jumlah penduduk

Persentase Penduduk Miskin


Head Count Index (HCI-P0), adalah persentase penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan (GK). Rumus
perhitungan Persentase Penduduk Miskin adalah sebagai berikut.

q α
Pα = 1/n ∑ [z-yi/z]
i=1

α =0
z = Garis kemiskinan
yi = Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (i = 1, 2,
3, ..., q), yi < z
q = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan
n = Jumlah penduduk
Author’s name, et al. Title of article
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Provinsi Jawa Barat


Provinsi Jawa Barat berada di bagian barat Pulau Jawa. Wilayahnya berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan
Laut Jawa di sebelah utara, Laut Jawa dan Provinsi Jawa Tengah di sebelah timur, Samudera Hindia di sebelah selatan,
serta Provinsi Banten dan Provinsi DKI Jakarta di sebelah barat. Letak geografinya diantara 104º8’ - 108º41’Bujur Timur
dan 5º50’- 7º50’Lintang Selatan.
Provinsi Jawa Barat memiliki kondisi alam dengan struktur geologi yang kompleks dengan wilayah pegunungan
berada di bagian tengah dan selatan serta dataran rendah di wilayah utara. Memiliki kawasan hutan dengan fungsi hutan
konservasi, hutan lindung dan hutan produksi yang proporsinya mencapai 22,10% dari luas Jawa Barat; curah hujan
berkisar antara 2000-4000 mm/th dengan tingkat intensitas hujan tinggi; memiliki 40 Daerah Aliran Sungai (DAS)
dengan debit air permukaan 81 milyar m3/tahun dan air tanah 150 juta m3/th. Secara administratif pemerintahan, wilayah
Jawa Barat terbagi kedalam 27 kabupaten/kota, meliputi 18 kabupaten dan 9 kota serta terdiri dari 626 kecamatan, 641
kelurahan, dan 5.321 desa.

Kasus Covid-19 di Jawa Barat


Berikut ditampilkan perkembangan kasus Covid-19 di Jawa Barat:

Tabel 2 Kasus Covid-19 di Jawa Barat


Kasus Covid-19 September Maret September
ProvinsiJawa Barat 2020 2021 2021
(Kumulatif)
Aktif 5,376 24,807 2,929
Sembuh 6,456 221,351 685,219
Meninggal 281 3,149 14,624
Total Terkonfirmasi 12,113 249,307 702,772

Dalam Tabel 2 dapat dilihat bahwa kasus COVID-19 di Jawa Barat berjumlah 702,772 kasus sementara di
Indonesia pada September 2021 total kasus berjumlah 4,215,104. Artinya sekitar 16.7% dari total kasus di Indonesia
berasal dari Jawa Barat, angka ini tentu cukup tinggi mengingat dari 34 provinsi yang ada di Indonesia Jawa Barat
menyumbang angka kasus covid-19 lebih dari 15%. Pada maret 2021 kasus aktif covid-19 berjumlah lebih dari 24 ribu
kasus ini meningkat cukup banyak dari September 2020 yang masih berjumlah ribuan bahkan belum menembus angka
puluhan ribu. Begitu pula dengan total kasus covid-19 pada September 2020 masih berjumlah 12 ribu kasus, namun 6
bulan setelahnya yaitu pada Maret 2021 angka Covid-19 meningkat hingga menyentuh angka hampir 250 ribu kasus.
Kenaikan ini diakibatkan oleh rapid test Covid-19 secara massal oleh pemprov Jawa barat, ini dilakukan agar penderita
Covid-19 dapat melakukan penanganan secara cepat tanpa harus menunggu kondisi yang parah, sehingga dapat
memperbesar tingkat kesembuhan. Kemudian, penderita Covid-19 ini dapat melakukan isolasi secara mandiri dan
mencegah penularan Covid-19 kepada keluarganya.
Angka kesembuhan kasus Covid-19 di Jawa Barat per September 2021 berjumlah 685,219 dari total kasus
702,772 artinya angka kesembuhan kasus Covid-19 di Jawa Barat sekitar 97.5%. Tentu saja angka ini cukup
menggembirakan bagi masyarakat.

Kemiskinan di Jawa Barat


Berikut merupakan jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin di Jawa Barat.
Gambar 1
Perkembangan tingkat kemiskinan Provinsi Jawa Barat
9
8
8,43 8,4
7 7,88 7,97
6
5 3,92 4,19 4,2 4
4
3
2
Author’s name, et al. Title of article
1
0
Maret 2020 September 2020 Maret 2021 September 2021

Jumlah Penduduk Miskin (juta) Persentase orang miskin (%)

Sejak periode Maret 2020 sampai dengan September 2020 terjadi kenaikan kemiskinan di Jawa Barat yang
disebabkan oleh pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia termasuk Jawa Barat. Jumlah penduduk miskin di Jawa
Barat pada September 2021 mencapai 4,00 juta orang. Dibandingkan Maret 2021, jumlah penduduk miskin menurun
190,5 ribu orang. Sementara jika dibandingkan dengan September 2020, jumlah penduduk miskin menurun sebanyak
183,7 ribu orang. Persentase penduduk miskin Jawa Barat pada September 2021 tercatat sebesar 7,97 persen, menurun
0,43 persen poin terhadap Maret 2021 dan menurun 0,46 persen poin terhadap September 2020.
Berdasarkan daerah tempat tinggal, pada periode September 2020 hingga September 2021, jumlah penduduk
miskin perkotaan turun sebesar 53,88 ribu orang, sedangkan di perdesaan turun sebesar 129,78 ribu orang. Persentase
kemiskinan di perkotaan turun dari 7,79 persen menjadi 7,48 persen. Sementara itu, di perdesaan turun dari 10,64 persen
menjadi 9,76 persen. Pada periode Maret 2021-September 2021, jumlah penduduk miskin perkotaan turun sebesar 100
ribu orang, sedangkan di perdesaan turun 90,5 ribu orang. Persentase kemiskinan di perkotaan turun dari 7,82 persen
menjadi 7,48 persen. Sementara itu, di perdesaan turun dari 10,46 persen menjadi 9,76 persen. Berikut merupakan tabel
perkembangan penduduk miskin di perkotaan dan pedesaan di provinsi Jawa Barat:

Tabel 3 Jumlah dan Persentase penduduk miskin di Jawa Barat


September Maret September
Daerah
2020 2021 2021
Jumlah Penduduk Miskin (Juta)
Perkotaan 3 3.05 2.95
Pedesaan 1.18 1.14 1.05
Total 4.18 4.19 4
Persentase Penduduk Miskin (Persen)
Perkotaan 7.79 7.82 7.48
Pedesaan 10.64 10.46 9.76
Total 18.43 18.28 17.24

Dalam proses penghitungan, besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan
(GK). Garis Kemiskinan (GK) Jawa Barat pada September 2021 sebesar Rp437.604 per kapita per bulan. Selama kurun
waktu September 2020 hingga September 2021, GK naik sebesar 5.27% atau sekitar Rp21.922 dari Rp415.682 per kapita
per bulan pada September 2020 menjadi Rp437.604 per kapita per bulan pada September 2021.
Apabila dilihat berdasarkan klasifikasi daerah, GK perkotaan kenaikannya lebih tinggi dibandingkan GK
perdesaan, dari Rp416.669 per kapita per bulan pada September 2020 menjadi Rp438.642 per kapita per bulan pada
September 2021. Adapun garis kemiskinan perdesaan mengalami kenaikan dari Rp411.432 per kapita per bulan di
September 2020 menjadi Rp433.041 per kapita per bulan pada September 2021.
GK terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Pada
September 2021, peran komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan masih mendominasi dibandingkan komoditi non
makanan (perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan). Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat pada
tingkat ekonomi rendah lebih didominasi pengeluaran untuk kebutuhan makanan dibandingkan kebutuhan non makanan.
Sumbangan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) terhadap Garis Kemiskinan pada September 2021 mencapai
73,93 persen. Pada September 2021, secara total GKM sebesar Rp323.525 per kapita per bulan dan GKNM sebesar
Rp114.079 per kapita per bulan. Jika dibedakan antara perkotaan dan perdesaan, GKM di perdesaan lebih tinggi
dibandingkan GKM di perkotaan, yaitu Rp330.150 per kapita per bulan dibanding Rp321.499 per kapita per bulan. Tetapi
sebaliknya, untuk GKNM, angka di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan, yaitu mencapai Rp117.143 per
kapita per bulan di perkotaan sedangkan di perdesaan mencapai Rp102.892 per kapita per bulan. Berikut jumlah garis
kemiskinan makanan maunpun non makanan di perkotaan maupun perdesaan yang terdapat di Jawa Barat:

Tabel 4 Garis Kemiskinan Prov Jawa Barat


Garis Kemiskinan (Rp/kapita/bulan)
Author’s name, et al. Title of article
Daerah Makanan Non Makanan Total
September tahun 2020
Perkotaan 303,465 113,234 416,699
Perdesaan 312,563 98,778 411,342
Perkotaan+Perdesaan 305,687 109,994 415,682
Maret tahun 2021
Perkotaan 313,015 115,817 428,832
Perdesaan 319,590 102,167 421,757
Perkotaan+Perdesaan 314,572 112,830 427,402
September tahun 2021
Perkotaan 321,499 117,143 438,642
Perdesaan 330,150 102,892 433,042
Perkotaan+Perdesaan 323,525 114,079 437,604
Perubahan GK Sep'20-Sep'21 (%)
Perkotaan 5.94 3.45 5.27
Perdesaan 5.63 4.16 5.28
Perkotaan+Perdesaan 5.84 3.71 5.27

Pada September 2021, lima komoditi makanan penyumbang terbesar GK di daerah perkotaan adalah Beras
sebesar 23,49 persen, diikuti rokok kretek filter sebesar 10,63 persen, daging ayam ras sebesar 5,31 persen, telur ayam ras
sebesar 5,23 persen, serta kopi bubuk dan kopi instan (sachet) sebesar 3,35 persen. Sedangkan lima komoditi makanan
penyumbang terbesar GK di daerah perdesaan adalah beras sebesar 26,76 persen, rokok kretek filter sebesar 8,35 persen,
telur ayam ras sebesar 4,64 persen, daging ayam ras sebesar 4,13 persen, serta kopi bubuk dan kopi instan (sachet)
sebesar 3,72 persen.
Sedangkan lima komoditi bukan makanan yang memberi sumbangan terbesar terhadap GK di daerah perkotaan
adalah perumahan yaitu sebesar 9,41 persen, bensin sebesar 4,03 persen, listrik sebesar 2,81 persen, pendidikan sebesar
1,86 persen dan perlengkapan mandi sebesar 1,21 persen. Sedangkan lima komoditi bukan makanan penyumbang terbesar
GK di daerah perdesaan secara berturut-turut adalah perumahan sebesar 9,35 persen, bensin sebesar 3,09 persen, listrik
sebesar 1,45 persen, pendidikan sebesar 1,15 persen dan perlengkapan mandi sebesar 1,07 persen.
Selain jumlah dan persentase penduduk miskin, terdapat dimensi lain yang perlu diperhatikan terkait angka
kemiskinan, yaitu tingkat kedalaman dan tingkat keparahan kemiskinan. Indeks kedalaman kemiskinan (P1) menunjukkan
biaya mengentaskan kemiskinan dengan membuat target transfer yang sempurna terhadap penduduk miskin dalam hal
tidak adanya biaya transaksi dan faktor penghambat. Semakin kecil nilainya maka semakin besar potensi ekonomi untuk
dana pengentasan kemiskinan berdasarkan identifikasi karakteristik penduduk miskin dan juga untuk target sasaran
bantuan dan program. Jika indeks kedalaman kemiskinan mengalami penurunan mengindikasikan bahwa rata-rata
pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan, penduduk miskin. Berikut adalah Indeks
kedalaman kemiskinan di Jawa Barat:

Tabel 5 Indeks Kedalaman Kemiskinan Prov Jawa Barat


Indeks Kedalaman September'20 Maret'21 September'21 Perubahan
Kemiskinan Sep'20-Sep'21
Perkotaan 1.18 1.36 1.23 0.04
Perdesaan 1.63 1.88 1.52 -0.11
Perkotaan+Perdesaan 1.28 1.47 1.29 0.01

Pada periode September 2020 - Maret 2021, P1 di Jawa Barat menunjukkan kenaikan. P1 naik dari 1,28 pada
keadaaan September 2020 menjadi 1,47 pada keadaan Maret 2021. Kenaikan nilai indeks ini mengindikasikan bahwa
rata-rata pengeluaran penduduk miskin semakin menjauhi garis kemiskinan. Wilayah yang mengalami kenaikan yang
lebih besar yaitu perdesaan. Namun demikian, pada periode September 2021 indeks P1 kembali mengalami penurunan
menjadi 1,29 dimana P1 di perdesaan 1,52 dan di perkotaan sebesar 1,23. Indeks kedalaman kemiskinan di perkotaan
selalu lebih rendah dibandingkan dengan di perdesaan. Hal ini menggambarkan bahwa rata-rata jarak pengeluaran
penduduk miskin di perkotaan lebih mendekati garis kemiskinannya dibandingkan rata-rata jarak pengeluaran penduduk
Author’s name, et al. Title of article
miskin di perdesaan terhadap garis kemiskinannya. Artinya, pengentasan penduduk miskin di perdesaan memiliki
tantangan yang lebih besar dibandingkan di perkotaan.
Jika dibandingkan P1 pada periode September 2020 dengan September 2021 maka dapat kita lihat bahwa P1
September 2021 mengalami sedikit peningkatan dari 1,28 menjadi 1,29. Peningkatan tersebut lebih dipengaruhi oleh
peningkatan di wilayah perkotaan karena P1 perkotaan meningkat dari 1,18 menjadi 1,23. Sementara P1 di perdesaan
justru mengalami penurunan dari 1,63 menjadi 1,52 pada September 2021.
Selain indeks kedalaman kemiskinan, terdapat juga indeks keparahan kemiskinan (P2). Indeks Keparahan
Kemiskinan (P2) merupakan indeks yang memberikan informasi mengenai gambaran penyebaran pengeluaran di antara
penduduk miskin. Semakin tinggi nilainya maka semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.
Berikut merupakan indeks keparahan kemiskinan di provinsi Jawa Barat:

Tabel 6 Indeks Keparahan Kemiskinan di Prov Jawa Barat


Indeks Keparahan September'20 Maret'21 September'21 Perubahan
Kemiskinan Sep'20-Sep'21
Perkotaan 0.26 0.35 0.29 0.03
Perdesaan 0.4 0.48 0.36 -0.04
Perkotaan+Perdesaan 0.29 0.36 0.31 0.02

Nilai indeks keparahan kemiskinan mengalami penurunan sebesar 0,07 persen poin dibandingkan P2 pada Maret
2021 yang mencapai 0,36. Hal ini mengindikasikan bahwa kesenjangan pengeluaran antarpenduduk miskin cenderung
semakin menyempit.
Pada kurun waktu yang sama, P2 di wilayah perkotaan turun dari 0,35 pada Maret 2021 menjadi 0,29 pada
September 2021.Demikian halnya di perdesaan, P2 mengalami penurunan dari 0,48 pada Maret 2021 menjadi 0,36 pada
September 2021. Senada dengan P1, nilai P2 di perkotaan juga selalu lebih kecil dibandingkan perdesaan. Hal ini
menunjukkan kesenjangan antar penduduk miskin perdesaan lebih parah dibandingkan dengan kesenjangan
antarpenduduk miskin di perkotaan.
Namun demikian, jika dibandingkan periode antara September 2020 dan September 2021, maka dapat kita lihat
bahwa capaian P2 menggambarkan pola yang sama pada P1. Dimana nilai P2 pada September 2021 lebih tinggi
dibandingkan kondisi September 2020 dan hal tersebut lebih dipengaruhi oleh P2 di perkotaan yang naik dari 0,26 pada
September 2020 menjadi 0,29 pada September 2021. Sementara di perdesaan P2 mengalami penurunan dari 0,40 pada
September 2020 menjadi 0,37 pada September 2021.

Ketimpangan Pendapatan di Jawa Barat


Salah satu aspek kemiskinan yang perlu dilihat adalah distribusi pendapatan penduduk. Banyak ukuran yang bisa
digunakan untuk menggambarkan ketimpangan pendapatan, salah satunya dengan Gini Ratio. Nilai Gini Ratio ini
berkisar antara 0 hingga 1. Semakin tinggi nilai Gini Ratio maka menunjukkan semakin tinggi pula ketimpangannya.
Tingkat Kemiskinan Jawa Barat Maret 2021 Sebesar 8,40 persen dan Ketimpangan Pendapatan Sebesar 0,412.
Pada Maret 2021, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis
kemiskinan) di Jawa Barat mengalami kenaikan yaitu sekitar 6,82 ribu jiwa, dari 4,19 juta jiwa (8,43 persen) pada
September 2020 menjadi 4,20 juta jiwa (8,40 persen) pada Maret 2021. Nilai Gini Ratio mengalami peningkatan yakni
dari 0,398 menjadi 0,412. Peningkatan nilai Gini Ratio ini disumbang oleh peningkatan Gini Rasio di wilayah perkotaan.
Gini Ratio di perkotaan naik menjadi 0,423 dari 0,409 pada periode sebelumnya, sedangkan di perdesaan mengalami
penurunan dari 0,326 menjadi 0,321.
Dalam kurun waktu September 2020 – September 2021, angka Gini Ratio daerah perkotaan memiliki pola yang
sama dengan Gini Ratio total yaitu mengalami peningkatan pada Maret 2021 kemudian turun kembali pada September
2021, namun di perdesaan justru memiliki pola yang berbeda dimana Gini Ratio menurun pada Maret 2021 namun naik
pada September 2021. Pada September 2020 Gini Ratio di perkotaan sebesar 0,409, kemudian naik menjadi 0,423 pada
Maret 2021 dan turun kembali menjadi 0,407 pada September 2021. Sedangkan Gini Ratio di perdesaan pada September
2020 adalah sebesar 0,326, kemudian mengalami penurunan pada Maret 2021 menjadi 0,321 namun naik kembalipada
September 2021 menjadi 0,324.
Ketimpangan pendapatan di Jawa Barat termasuk pada kategori ketimpangan sedang. Namun apabila dipilah
berdasarkan klasifikasi daerah, ketimpangan di perdesaan masuk pada kategori ketimpangan rendah sedangkan yang di
perkotaan masuk pada kategori ketimpangan sedang. Berikut merupakan angka gini ratio di provinsi Jawa Barat:

Tabel 7 Gini Ratio di Provinsi Jawa Barat


Gini Ratio September'20 Maret'21 September'21
Perkotaan 0.409 0.423 0.417
Author’s name, et al. Title of article

Perdesaan 0.326 0.321 0.324


Perkotaan+Perdesaan 0.398 0.412 0.406

Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan di Jawa Barat
COVID-19 merupakan penyakit menular yang menyebar melalui percikan-percikan dari hidung atau mulut yang
keluar dari orang yang terjangkit COVID-19. Orang yang terkena COVID- 19 akan menimbulkan gejala umum seperti
demam, rasa lelah, batuk kering, rasa nyeri dan sakit, hidung tersumbat, sakit kepala, sakit tenggorokan, kehilangan
indera rasa atau penciuman atau ruam pada kulit (WHO, 2020). Penyakit ini masuk ke Jawa Barat pada awal bulan Maret
2020, sehingga pemerintah membuat kebijakan untuk melakukan segala sesuatu di rumah, seperti bekerja dari rumah. Hal
ini tidak mudah untuk para pencari nafkah yang biasanya bekerja di luar rumah. Kebijakan pemerintah ini menyebabkan
terhambatnya para pekerja untuk mendapat penghasilannya. Banyak kasus pengangguran terjadi di Jawa Barat, sehingga
menimbulkan tingkat kemiskinan bertambah. COVID-19 tidak hanya menular kepada manusia tetapi juga berdampak
pada kemiskinan. Hal paling nyata yang dapat dilihat ketika terjadi kemiskinan adalah adanya pengangguran serta
keterbelakangan masyarakat yang miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha, serta terbatas terhadap akses
kegiatan ekonomi. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat tersebut semakin jauh dan masyarakat lain dengan potensi
lebih tinggi. Pada akhirnya, masyarakat yang miskin cenderung lebih mudah terjebak pada kemiskinan, sementara
masyarakat dengan kemampuan ekonomi yang lebih tinggi akan cenderung berusaha untuk terus memperbaiki hidupnya.
Dampaknya jarak antara masyarakat miskin akan menjadi semakin jauh dengan masyarakat golongan menengah dan
kaya.

5. KESIMPULAN

Melihat kemiskinan dari kemiskinan Absolut, yang merupakan kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan
tingkat pendapatan dan kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang
memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Dengan demikian kemiskinan diukur dengan membandingkan
tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya yakni
makanan, pakaian dan perumahan agar dapat menjamin kelangsungan hidupnya.
Pada akhirnya, masyarakat yang miskin cenderung lebih mudah terjebak pada kemiskinan, sementara masyarakat
dengan kemampuan yang lebih tinggi akan cenderung berusaha untuk terus memperbaiki hidupnya. Dampaknya jarak
antara masyarakat miskin akan menjadi semakin jauh dengan masyarakat golongan menengah dan kaya. Hal ini berarti,
dalam masyarakat telah terjadi ketimpangan.
Pandemi Covid-19 yang berdampak pada perubahan perilaku dan aktivitas ekonomi telah mendorong peningkatan
jumlah dan angka kemiskinan, baik secara nasional, wilayah desa-kota, maupun secara pulau-provinsi. Penurunan
pendapatan terjadi akibat peningkatan pengangguran dan menurunnya kesempatan bekerja dan berusaha.
Dampak Covid-19 terbesar terjadi di Pulau Jawa, Provinsi Jawa Barat dan wilayah perkotaan, namun secara
keseluruhan tidak mengubah sebaran kemiskinan menurut pulau, tetapi mengubah peta sebaran kemiskinan menurut
sektor ekonomi yang secara berturut-turut berpengaruh kuat pada sektor informal, perdagangan besar dan kecil, jasa
(termasuk pariwisata dan transportasi), dan pertanian.Pandemi Covid-19 berdampak pada kedalaman dan keparahan
kemiskinan di mana ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap GK semakin
tinggi yang berarti semakin jauh dari GK. Penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin semakin timpang. Dampak
pandemi bersifat global, tetapi d ampak lebih besar terjadi pada masyarakat miskin, dan ini telah memperlebar terjadinya
kesenjangan.

SARAN

Pemerintah perlu memperbanyak program-program pemberdayaan masyarakat pesisir semacam PEMP secara
lebih luas, karena berpengaruh nyata pada peningkatan perekonomian secara makro sekaligus memberi dampak terhadap
penurunan kemiskinan.
Perlu adanya koordinasi kebijakan pengentasan kemiskinan antara pusat dan daerah serta lebih dititikberatkan
pada kawasan barat, mengingat masih tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan di wilayah Jawa barat. Guna
mengatasi guncangan kesehatan, ekonomi, dan sosial yang terjadi sebagai dampak dari pandemi Covid-19, pemerintah
juga dapat melaksanakan program kendali cepat jangka pendek berupa bantuan jaringan pengaman sosial pangan yang
berfungsi membantu peningkatan konsumsi (sembako, listrik) dan pendapatan (uang). Program jangka menengah juga
diberikan berupa kartu prakerja yang dilengkapi dengan pendapatan jangka pendek berupa stimulus insentif pada UMKM
dalam bentuk keringanan pajak, penurunan suku bunga pinjaman, penundaan tempo bayar, dan insentif permodalan.
Hasil penelitian dapat dijadikan acuan pemerintah khususnya pemerintah daerah dalam membuat perencanaan
pembangunan berkaitan dengan program pemberdayaan, walaupun saat ini program-program pemberdayaan telah
Author’s name, et al. Title of article
dilakukan dengan cukup baik. Agar program mencapai sasaran yang tepat berdasarkan kelompoknya dan dilakukan secara
efektif dan efisien, maka diperlukan pemutakhiran (update) data kependudukan untuk mendapatkan orang, jumlah, dan
wilayah sasaran yang sesuai. Pemilahan penerima bantuan akibat dampak pandemi atau akibat lain membutuhkan
pemilihan bentuk program yang sesuai. Di samping terus memperbarui data penduduk miskin dan rentan miskin,
pemerintah perlu meningkatkan anggaran dan jumlah penerima bansos dan prakerja. Antisipasi ketahanan akibat pandemi
berkepanjangan disarankan dilakukan dengan kebijakan kemudahan berusaha bagi masyarakat kecil dan kemudahan
investasi bagi sektor swasta yang potensial menggerakkan ekonomi dengan kebiasaan baru yang disiplin.
DAFTAR PUSTAKA

Andiny, P. (2017). Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Terhadap Ketimpangan Di Provinsi Aceh. JURNAL PENELITIAN
AKUNTANSI (JENSI), 196-200.
BPS Provinsi Jawa Barat. (2022, February 25). Perkembangan Tingkat Kemiskinan Provinsi Jawa Barat September 2021. From BADAN PUSAT
STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT: jabar.bps.go.id
BPS Provinsi Jawa Barat. (2022, Januari 17). Profil Kemiskinan di Jawa Barat September 2021.
From BADAN PUSAT STATISTIK JAWA BARAT: jabar.bps.go.id
P. Todaro, M., & C. Smith, S. (2011). Pembangunan Ekonomi Edisi ke-11 Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Pusat Informasi & Koordinasi Provinsi Jawa Barat. (2022, Mei Selasa). Dashboard Statistik Kasus Covid-19 Provinsi Jawa Barat. From
PIKOBAR: pikobar.jabarprov.go.id
Setyadi, S., & Indriyani, L. (2021). DAMPAK PANDEMI COVID-19 TERHADAP PENINGKATAN RESIKO KEMISKINAN DI
INDONESIA. PARETO : Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, 53-57.
Andika Drajat Murdani. (2018). Definisi Kemiskinan. Www.Portal-Ilmu.Com, 47. https://www.portal-ilmu.com/2018/05/konsep-kemiskinan-dan-
ketimpangan-sosial_15.html
Baldwin Robert E. (1986). Pembangunan Dan Pertumbuhan Ekonomi Di Negera Negara Berkembang. Bina Aksara.
https://onesearch.id/Record/IOS13873.slims-1512
BPS. (n.d.). Kemiskinan dan Ketimpangan. Www.Bps.Go.Id. https://www.bps.go.id/subject/23/kemiskinan-dan-ketimpangan.html
Muchlisin Riadi. (2020). Ketimpangan Pendapatan (Pengertian, Penyebab, dan Pengukuran).
https://www.kajianpustaka.com/2020/04/ketimpangan-pendapatan-pengertian-penyebab-dan-pengukuran.html#:~:text=Menurut Baldwin
(1986)%2C ketimpangan,tercermin dari adanya perbedaan pendapatan.
Puti Andiny. (2017). Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Terhadap Ketimpangan Di Provinsi Aceh.
file:///C:/Users/Asus/Downloads/412-Research Results-1636-1-10-20171206.pdf
Sukirno, S. (2006). Ekonomi Pembangunan, Proses, Masalah dan Dasar Kebijaksanaan. In Jakarta Lembaga Penerbitan FE. Jakarta Lembaga
Penerbitan FE. https://onesearch.id/Record/IOS2865.YOGYA000000000009584
Sumedi dan Supardi. (2004). “Kemiskinan di Indonesia : Suatu Fenomena Ekonomi.” Icaserd Working Paper No.21, PUsat Penelitian
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian, Agustus 2011, Bogor.
Tjahya Supriatna. (1997). Birokrasi, Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan (Cet. 1). Bandung : Humaniora Utama Press, 1997 Humaniora
Utama Press, 1997. http://digilibfeb.ub.ac.id/opac/detail-opac?id=44672
Todaro, M. P., & Smith, S. C. (2006). Pembangunan Ekonomi, Edisi Kesembilan, Jilid 1. Erlangga. https://onesearch.id/Author/Home?
author=Michael+P+Todaro%2C+Stephen+C+Smith%3B+penerjemah+%3A+Haris+Munandar
Todaro, M. P. (2006). Pembangunan Ekonomi. Erlangga. https://onesearch.id/Record/IOS2720.slims-6168
WHO. (2020). QA for public. https://www.who.int/indonesia/news/novel-coronavirus/qa/qa-for-public

You might also like