You are on page 1of 26

Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 1

ANALISIS HUKUM KELUARGA ISLAM TERHADAP


BESANAN DAN IMPLIKASINYA

Slamet Arofik
STAI Darussalam Nganjuk
saleem.arofik@gmail.com

Abstrack
This field research reveals that the behavior of deviations due to
“besanan” (having relationship between parents whose children are
married to each other) that occurred in Juwet village, Ngronggot
sub-district, Nganjuk district, as well as its analysis of the Islamic
family law perspective. “Besanan” as a pre-marital process is a
hereditary tradition in most Javanese communities, especially East
Java, including Ngronggot District, Nganjuk District. None of the
people do not carry out “Besanan”; even though there is no
argument that legitimizes it from both the Qur'an and the hadith.
Unlike the “Khithbah” which clearly has a variety of Hujjah.
However, in the next stage, Bataan has legality. Initially only a
tradition turned into a good Shari'a to do. But unfortunately,
“Besanan” brings and has no good implications on the pattern of the
couples' promiscuity. Actions that basically prohibited by the
religion are no longer abandoned on the pretext of having obtained
permission from the guardian and have been "future
husband/wife". In the analysis of Islamic law, this phenomenon
cannot be claimed as right. There are various verses of al-Qur'an
and al-Hadith that can be used as a knife for analysis. Even the
science of Ushul Fiqh and the Law of Fiqh has sentenced the law to
illegitimate actions.

Keywords: Besanan, Implikasi.

A. Pendahuluan
Allah telah menciptakan laki-laki dan perempuan agar dapat
berhubungan satu sama lain, saling mencintai, menghasilkan
keturunan dan hidup berdampingan secara damai dan sejahtera sesuai
dengan perintah Allah dan petunjuk Rasulullah. Allah juga tidak
menghendaki makhluk yang dimuliakan oleh-Nya memiliki kesamaan

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26


Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 2

dengan makhluk lain dengan menyalurkan hasrat seksual bebas tanpa


batas dan aturan. Karenanya Allah mensyariatkan atas manusia etika,
norma, nilai-nilai yang baik dan sempurna agar manusia mampu
menjaga kemuliaan serta kehormatannya.1
Melalui perkawinan yang sah, pergaulan antara laki-laki dan
perempuan akan menjadi terhormat sesuai dengan kodrat dan
kedudukan manusia sebagai Khalifah fi al-Ardl. Demi meraih itu semua
hukum Islam (Fikih) mengatur urusan perkawinan dengan amat teliti
dan rinci, mulai dari pendahuluan (proses peminangan), Ijab-Qabul
dan segala hal yang berkaitan dengan perkawinan termasuk di
dalamnya hak dan kewajiban masing-masing antara suami dan istri.2
Menuju kearah perkawinan, seperti ungkapan hadits yang
artinya:
“Perempuan dinikahi karena empat hal, karena hartanya,
keturunannya,kecantikan parasnya dan karena agamanya. Maka
dapatkanlah perempuan yang beragama (Islam), niscaya kedua
tanganmu kaya (dirimu selamat)”.3

maka antara calon suami dan istri sudah semestinya saling


mengenal terlebih dahulu pribadi satu dengan yang lain baik dari segi
karakter, kebiasaan, agama, kehormatan/kemuliaan, silsilah
keturunan/nasab, Kecantikan maupun ketampanannya.
Oleh karenanya dalam syariat pernikahan terdapat tahapan yang
disebut dengan Khithbah atau Tunangan. Tahap ini merupakan proses
dimana masing-masing keluarga calon mempelai bertemu kemudian
membahas secara serius perihal rencana mempersatukan dua keluarga
melalui sebuah pernikahan. Dalam bahasa Jawa proses ini biasa disebut

1 M. Baqir al-Habsyi, Fikih Praktis (Bandung: Mizan, 2002), 2.


2 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: UII Press, 2000), 1.
3 Muslim Al-Hajjaj Al-Qusyairi Al-Naisaburi, Shahih Imam Muslim, (Jakarta: Kampung

Sunnah, 2009), 175.

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26


Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 3

dengan istilah Besanan. Hal ini dilakukan selain bertujuan


menunjukkan keseriusan dari masing-masing fihak juga merupakan
sarana meminta kejelasan masing-masing pihak apakah benar-benar
telah siap dan bersedia menjalin persaudaran atau belum.
Dalam literasi hukum Islam Khithbah (dalam bahasa Indonesia
disebut Peminangan, dalam bahasa jawa disebut Lamaran) bukan
termasuk syarat atau rukun perkawinan. Oleh karenanya tanpa
melakukan Besanan sekalipun tidak akan mempengaruhi nilai
keabsahan suatu pernikahan. Namun dalam tradisi masyarakat
tertentu, tiada pernikahan terlaksana kecuali sebelumnya melakukan
proses Besanan terlebih dahulu. Mereka berkeyakinan, dengan
mengadakan Besanan sama halnya dengan pernikahan pasti akan
terwujud.
Namun “apa hendak dikata” tujuan baik nan mulia syariat
Besanan, pada masyarakat tertentu disalahartikan sehingga
menimbulkan prilaku-prilaku yang kurang baik dan cenderung keluar
dari norma agama. Fenomena generasi muda era globalisasi dengan
pergaulan yang opensif dan bebas membuka peluang situasi semakin
kurang religius. Besanan yang dilakukan dengan niatan ibadah
menimbulkan sesuatu yang paradoks. Prilaku-prilaku yang semestinya
belum halal dilakukan acapkali dilakukan akibat besanan.
Ironinya, realitas semacam itu menurut sebagian masyarakat
merupakan hal yang wajar dan bahkan terkesan tidak ada yang salah.
Kebebasan yang lahir pasca Besanan diyakini sebuah keniscayaan.
Bahkan sebagian masyarakat memahami bahwa Besanan/pertunangan
merupakan media agar kedua calon mempelai dapat bergaul secara
bebas kendati tanpa di dampingi atau menghadirkan muhrimnya.
Bermuara dari fenomena semacam di atas maka tulisan ini hendak
mengkaji, mencermati serta menganalisis secara mendalam perihal

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26


Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 4

fenomena Besanan serta Implikasinya di Desa Juwet Kecamatan


Ngronggot Kabupaten Nganjuk dalam perspektif Hukum Keluarga
Islam.

B. Metode Penelitian
Jenis tulisan ini adalah penelitian kualitatif. Pendekatan yang
digunakan adalah yuridis-sosiologis, pembacaan diarahkan pada latar
belakang individu secara holistik. Dengan metode ini penulis
menganalisis pandangan masyarakat Desa Juwet Kecamatan
Ngronggot perihal Besanan serta implikasinya terhadap pergaulan
antara laki-laki dan perempuan selama masa Besanan berlangsung.
Dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian dengan
mengamati gejala dan prilaku masyarakat yang mengarah terhadap
perubahan hukum, khususnya berkenaan dengan pandangan
masyarakat terhadap status hukum Besanan serta implikasinya
kemudian melakukan analisis terhadap hasil penelitian tersebut
dengan perspektif hukum keluaraga Islam serta metodologi
penetapan hukum Islam (Usul fikih).
Adapun pengumpulan data, penulis bertindak sebagai
pengamat serta partisipan sehingga kehadiran penulis diketahui
statusnya oleh objek atau informan. Sedangkan penggalian data
menggunakan wawancara dengan teknik Purposive Sampling
berdasarkan status, yakni pengambilan responden secara acak dan
(dibatasi) hanya yang sudah pernah menikahkan putra-putrinya.
Untuk mengolah data kualitatif agar dapat diambil kesimpulan
maka analisis data mengunakan reduksi data, penyajian data atau
display data dan mengambil kesimpulan dan verifikasi.

C. Pembahsan

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26


Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 5

1. Profil singkat desa Juwet Kecamatan Ngronggot


Desa Juwet merupakan salah satu desa dari beberapa desa yang
ada di wilayah Kabupaten Nganjuk, tepatnya berada di Kecamatan
Ngronggot yang berdekatan dengan Kecamatanamatan Prambon.
Desa ini terdiri dari lima Dusun yakni Dusun Suruh, Dusun
Grampang, Dusun Beruk, Dusun Sonopinggir dan Dusun
Gendingan.
Asal muasal Desa Juwet, berdasarkan paparan salah satu
sesepuh desa,4 tidak diketahui dengan jelas kapan dan siapa warga
yang memulai bertempat tinggal di desa Juwet. Keterangan yang ada
hanyalah desa Juwet dihuni oleh masyarakat yang tidak mengenal
agama Islam. Mereka memiliki moral Jahiliyah dan memiliki tingkah
laku yang kurang manusiawi. Sekitar tahun 1800an datang seorang
laki-laki tua yang tidak diketahui darimana asalnya, mengajarkan
agama Islam kepada masyarakat.
Ia setelah melalui berbagai rintangan dan tantangan dari
masyarakat Namun akhirnya sejarah membuktikan bahwa pada
akhirnya semua itu dapat ia lalui dengan baik sehingga masyarakat
Juwet menerima dan menjalankan ajaran Islam dengan baik. Bahkan
ia selalu diunggulkan oleh masyarakat kemudian dijuluki “Mbah
Ahmad” yang memiliki kepiawaian memainkan gending dalam
menyebarkan ajaran Islam. Berkat kipiawaiannya melagukan
gending, sepeninggal mbah Ahmad dusun yang ditempatinya
kemudian dinamakan “Dusun Gendingan” untuk mengenang jasa
tersebut.5
Secara geografis letak desa Juwet terletak di ujung selatan timur

4 Seseorang yang dituakan oleh warga desa Juwet, bernama Syamsuri dan biasa
dipanggil Mbah Ri
5 Wawancara dengan Mbah Ri, sesepuh warga Desa Juwet Kecamatan Ngronggot-

Nganjuk, pada 5 Januari 2013 pukul 19.00 WIB.

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26


Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 6

Kabupaten Nganjuk. Lebih rinci letak desa Juwet adalah:


a. Sebelah Selatan berbatasan dengan sungai Brantas
b. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Grompol Kecamatan
Prambon.
c. Sebelah Timur berbataasan dengan sungai Brantas.
d. Sebelah Utara berbatasan dengan desa Tanjungkalang.6
Dan luas keseluruhan wilayah desa ini adalah 219.380 Ha.
Dengan jumlah luas pertanian sawah 154.465 Ha. Sedangkan dari
pusat Kabupaten Nganjuk kurang lebih 30 KM.7
Jumlah penduduk desa di Desa. Juwet Kecamatan. Ngronggot
Kab. Nganjuk berjumlah ٢٩٤٠ penduduk. dengan 750 kepala
keluarga (KK) dan dengan 8 jenis pekerjaan.8

2. Besanan serta implikasinya perspektif warga desa Juwet


Besanan menurut masyarakat Juwet merupakan persiapan
atau pendahuluan pernikahan yang eksistensinya (hampir) pasti
dilakukan oleh kedua keluarga yang hendak menjalin
persaudaraan melalui ikatan pernikahan. Ini dilakukan selain
karena menjadi adat kebiasaan secara turun temurun Besanan
bertujuan mengenalkan kedua calon pengantin secara terbuka. Hal
ini dikatakan oleh salah satu warga Juwet yang bernama Muhsin, ia
mengatakan: “Besanan merupakan masa penjajakan bagi kedua calon
pengantin agar dapat mengenal karakter dan sifat masing-masing sebelum
menikah karena banyak pemuda dan pemudi desa Juwet menikah namun
belum mengenal pribadi masing-masing sebelumnya”.9

6 Dokumen desa Juwet Kecamatan Ngronggot Kabupaten Nganjuk. Diambil pada, 5


Januari 2013.
7 Ibid.
8 Ibid.
9 Wawancara Muhsin, Warga Desa Juwet, Tanggal 23 September 2013

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26


Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 7

Lain halnya dengan pendapat warga yang bernama Subhan,


ia mengatakan bahwa Besanan tak ubahnya dengan membuat
“Iklan” (pemberitahuan dan pengumuman) kepada masyarakat
umum bahwa yang akan dinikahkan sudah tidak sendirian lagi dan
tidak boleh dilamar oleh orang lain.10
Sedikit berbeda dengan dua pendapat di atas. Menurut warga
yang bernama Najib, ia tidak menjelaskan arti Besanan namun
langsung menjelaskan tujuannya dan mengatakan bahwa Besanan
memiliki tujuan agar masing-masing keluarga saling mengenal
lebih dekat dan mendalam diantara satu dengan yang lain. Tidak
hanya itu, tujuan Besanan adalah menghindari kesalahfahaman
diantara kedua keluarga yang “mungkin saja” timbul menakala
Besanan tidak dilakukan. Besanan merupakan tindakan preventif
atas hal-hal yang tidak diinginkan kelak pasca pernikahan. Lebih
jauh lagi ia mengatakan bahwa Besanan bertujuan mengakrabkan
kedua belah fihak baik dari sisi kedua calon pengantin maupun
dari arah keluarganya.11
Dari ungkapan-ungkapan di atas dapat digaris bawahi bahwa
Besanan perspektif warga desa Juwet merupakan sebuah prosesi
yang dijadikan langkah awal mempertemukan kedua calon
pengantin menuju perkawinan. Besanan bertujuan agar kedua
belah fihak lebih mengenal satu dengan yang lain, baik watak,
karakter dan kebiasaan masing-masing calon pengantin. Tidak
hanya itu, Besanan juga bisa diungkapkan sebagai upaya membuat
“iklan” atas kedua calon mempelai bahwa keduanya dalam tempo
tidak lama akan resmi menjadi suami-istri sehingga pasca besanan
nanti sudah tidak boleh lagi dipinang maupun meminang karena

10 Subhan, Warga Desa Juwet, Tanggal 13 September 2013


11 Wawancara dengan Najib, Warga Desa Juwet Tanggal 16 September 2013.

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26


Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 8

keduanya telah dipertunangkan. Besanan juga merupakan ajang


mempererat hubungan baik antar keluarga masing-masing terlebih
antar calon Pasutri. Dengan Besanan diharapkan kedua calon
Pasutri pasca memasuki gerbang rumah tangga tidak mengalami
hal-hal yang tidak diinginkan apalagi salah faham diantara kedua
keluarga maupun kedua calon Pasutri.
Ada perubahan paradigma pada sebagian besar masyarakat
Juwet manakala prosesi Besanan telah dilakukan. Mereka memiliki
anggapan bahwa Besanan merupakan pintu pembuka inklusifisme
kelamin sebagaimana adat ketimuran, penghilang “sekat”,
pemotong jarak antar calon mempelai. Maksudnya adalah
manakala Besanan sudah dilangsungkan maka pintu kebebasan
terbuka bagi kedua calon mempelai. Orang tua tidak berhak lagi
melarang keduanya untuk berduaan dan hendaknya memberi
kelonggaran terhadap keduanya. Orang tua seharusnya memberi
izin kepada mereka untuk pergi berdua, nonton, rekreasi bahkan
menginap di rumah tunangannya. Hal ini sebagaimana diungkap
oleh warga yang bernama Muhsin, ia mengatakan:
Pergaulan calon pengantin setelah Besanan setahu saya cenderung bebas
terutama pada saat hari Raya Idul Fitri. Pada momentum ini longgarnya
aturan pergaulan laki-laki dan perempuan setelah masa Besanan tampak
lebih jelas dan nyata. Selain berkunjung ke rumah masing-masing pihak,
biasanya mereka juga berkunjung ke rumah sanak saudaranya atau ke
tempat-tempat rekreasi bahkan menginap beberapa hari di rumah
tunangannya. Ini berbeda sekali manakala belum ada Besanan, orang tua
cenderung lebih ketat dan memberikan batasan-batasan dalam pergaulan
keduanya.12

Hal senada disampaikan oleh warga yang bernama Hilya


Diana. Ibu-ibu paruh baya ini mengatakan bahwa pergaulan antara
calon pengantin pasca besanan yang ada di desa Juwet wajar-wajar

12Wawancara dengan Muhsin, Warga Desa Juwet tanggal 12 September 2013

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26


Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 9

saja, seperti misalnya pergi berdua, pacaran (di dalamnya mungkin


saja terjadi ciuman), sehingga tidak perlu dipermasalahkan karena
sudah karuan akan menjadi Pasutri serta telah mendapat izin orang
tua. Lain halnya jika yang melakukan itu semua bukan kedua calon
mempelai yakni para muda-mudi yang belum mengadakan ikatan
khitbah maka dipandang tidak wajar dan upnormal. Selengkapnya
ia megatakan:
Saya rasa pergaulan laki-laki dan perempuan atau sebut saja calon
pengantin di desa ini (Juwet) selama masa besanan wajar-wajar saja karena
mereka telah mendapat restu dari orang tua. Yang menjadi masalah adalah
perilaku anak-anak muda yang belum ada ikatan (Besanan) sama sekali”.13

Hal yang sama disampaikan oleh warga desa yang bernama


Najib. Ia mengatakan bahwa pergaulan selama masa besanan sudah
semestinya longgar. Orang tua tugasnya tinggal mengawasi saja.
Wajar jika kedua calon pengantin pergi berdua, berboncengan,
nonton bersama di bioskop, rekreasi berdua dan seterusnya.
Apalagi di Desa Juwet pemandangan semacam ini sudah bukan hal
tabu lagi mengingat keduanya merupakan calon pengantin yang
sah dan sudah mendapat restu orang tua.14
Ada pendapat yang sedikit berbeda, namun subtansinya
tetap sama disampaikan oleh Abdul Jalil, ia mengatakan bahwa:
Sudah menjadi suatu tradisi bagi masyarakat Desa Juwet bahwa suatu
pernikahan harus didahului dengan proses besanan. Alasan utama
masyarakat besanan adalah untuk menghindari fitnah. Jika dalam
pergaulan dengan lawan jenis dapat menimbulkan fitnah maka bagi
mereka yang sudah dalam masa besanan dapat bergaul lebih longgar
dan tidak menimbulkan fitnah, kecuali jika mereka sampai
melakukan hubungan suami istri.15

Pendapat ini dengan jelas menyebut bahwa besanan


merupakan adat/tradisi yang berlaku turun-temurun yang miliki

13Wawancara dengan Hilya Diana, Warga Desa Juwet, Tanggal 21 September 2013
14Wawancara dengan Najib, Warga Desa Juwet, Tanggal 22 September 2013
15Wawancara dengan Abdul Jamil, pada 15 September 2013.

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26


Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 10

tujuan utama menghindari fitnah. Fitnah yang dimaksud oleh


responden ini adalah pergaulan yang di dalamnya melakukan
hubungan suami-istri (seks). Jika selama pasca besanan hal tersebut
tidak dilakukan maka apapun bentuk dan prilaku kedua calon
pengantin (seperti keterangan di atas) bukan dinamakan fitnah.
Fitnah perspektif responden tersebut adalah prilaku seks.
Warga yang bernama Imam Turmudzi juga mengatakan
bahwa di masyarakat juwet, besanan sudah menjadi kewajiban
masing-masing warga masyarakat yang harus dijalankan orang tua
(wali) sebelum menikahkan anakknya. Jika ada warga sampai tidak
mengadakan tradisi besanan maka akan mendapat celaan dari
masyarakat karena tidak mematuhi adat desa.16
Dari wawancara-wawancara di atas dapat disimpulkan
bahwa besanan merupakan tradisi turun temurun dan sudah
mengakar di sehingga menjadi hukum adat masyarakat desa
Juwet. Tidak ada warga yang berani melanggar tradisi ini sehingga
besanan seakan-akan menjadi kewajiban orang tua sebelum
menikahkan anaknya.
Dari pendapat-pendapat tersebut pula terdapat beberapa
pendapat masyarakat desa Juwet tentang pergaulan laki-laki dan
perempuan pasca besanan. Terlihat berbagai pandangan yang tidak
seragam namun memiliki subtansi sama sesuai dengan apa yang
terjadi di sekitar lingkungan mereka masing-masing. Mereka
menganggap wajar dan normal atas pergaulan calon mempelai
pasca besanan, seperti halnya berboncengan, pergi berdua, nonton,
pacaran dan bahkan ciuman. Hal ini tiada lain karena mereka

16 Wawancara dengan Imam Turmudzi, pada 12 September 2013.

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26


Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 11

memiliki keyakinan bahwa keduanya merupakan “calon jadi” dan


telah mendapat restu orang tua.
Ada satu paradigma baru di masyarakat Juwet perihal
Besanan. Perubahan cara pandang ini menurut penulis bisa disebut
dengan istilah “Evolusi masa pasca Besanan”. Maksudnya jika
tempo dulu masa atau jeda waktu tunggu antara Besanan dengan
pelaksanaan pernikahan terbilang cukup lama maka di masa-masa
sekarang jarak antara keduanya terbilang pendek bahkan relatif
sangat singkat. Hal ini seperti diungkap oleh warga yang bernama
Kafabik, ia mengatakan:
Saat ini Besanan yang dilakukan warga desa Juwet sudah berubah.
Besanan dalam waktu yang lama sudah sangat jarang terjadi. Dulu
besanan bisa mencapai puluhan tahun dan sekarang tinggal sedikit
masyarakat desa Juwet yang melakukan Besanan lebih dari tiga tahun.
Besanan lebih banyak dilaksanakan dalam waktu yang tidak lama yaitu
antara satu sampai tiga tahun saja bahkan ada yang beberapa bulan
saja.17

Dari sekian banyak pendapat yang ada, perihal Besanan


dan implikasinya di masyarakat Juwet, yang harus digarisbawahi
adalah responden mengakui bahwa Besanan yang telah dilakukan
tidak pasti berbuah pernikahan. Sejauh apapun prilaku dan
perbuatan calon mempelai, besanan tetap saja sebuah tradisi yang
belum tentu dan belum pasti menghasilkan pernikahan. Besanan
hanyalah upaya kedua keluarga menunjukkan keseriusan
keduanya ingin menikahkan anggota keluarganya. Kalaupun di
kemudian hari pasca besanan terdapat hal-hal yang kurang/tidak
cocok maka pernikahan bisa dibatalkan atau menimal dideadline.

17 Wawancara dengan Kafabik, Tanggal 2 September 2013.

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26


Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 12

3. Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan serta


implikasinya di desa Juwet Kecamatan Ngronggot Kabupaten
Nganjuk.
a. Besanan
Secara devinitif Besanan merupakan kata dalam bahasa
Jawa, berasal dari dua suku kata “Besan” yang bermakna “Orang
tua dari menantu” dan akhiran “an” yang menunjukkan arti
“Alat”. Jadi, Besanan bisa diartiakan sebagai media/alat untuk
menghubungkan antara dua orang tua (wali) disebabkan
perkawinan yang akan dijalin antara putra-putri kedua belah
fihak.18 Dalam bahasa arab Besanan diartikan dengan istilah ‫ﻋﻠﻘﺔ‬

‫“ اﻟﻘﺮاﺑﺔ ﺑﯿﻦ واﻟﺪي زوﺟﺔ وواﻟﺪي زوج‬Pertautan kekeluargaan antara


kedua orang tua istri dan kedua orang tua suami”.19
Dalam Islam, pada dasarnya Besanan tidak memiliki dalil
nash Sharih baik dari al-Qur’an maupun hadits. Sebaliknya yang
memiliki Hujjah adalah Khithbah yakni lamaran atau pinangan.20
Khithbah dalam al-Qur’an disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat
235 yaitu:
‫وﻻ ﺟﻨﺎح ﻋﻠﯿﻜﻢ ﻓﯿﻤﺎ ﻋﺮّﺿﺘﻢ ﺑﮫ ﻣﻦ ﺧﻄﺒﺔ اﻟﻨﺴﺎء أو أﻛﻨﻨﺘﻢ ﻓﻲ أﻧﻔﺴﻜﻢ ﻋﻠﻢ ﷲ أﻧﻜﻢ‬
‫اﻷﯾﺔ‬.... ‫ﺳﺘﺬﻛﺮوﻧﮭﻦ‬
“Dan tidak ada dosa bagi kalian meminang wanita-wanita
itu dengan sindiran atau kalian menyembunyikan
(keinginan mengawinin mereka) dalam hatimu. Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka.....”

18 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat

Bahasa, 2008), 190. Lihat pula, www.dosenbahasa.com


19 A.W Munawir dan Muhammad Fairuz, Kamus al-Munawir (Surabaya: Pustaka

Progresif), 129.
20 Khithbah secara syara’ adalah keinginan seorang laki-laki untuk memiliki perempuan

yang jelas dan terlepas dari berbagai halangan atau keinginan memiliki perempuan yang
halal untuk dinikahi. Lihat. Ali Yusuf as-Subki, Fiqh Keluarga (Jakarta: AMZAH, 2012), 65.
Dalam KBI lamaran semakna dengan kata pinangan bermakna permintaan. Lihat, Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan, 802.

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26


Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 13

Ayat ini menyebut dengan jelas kata Khithbah yang


bermakna meminang/melamar namun sama sekali tidak
menyebut lebih rinci segala hal yang berkenaan dengan
mekanisme maupun tata-cara melakukannya.
Di Indonesia khusunya Jawa, menyatukan antara lamaran
dengan Besanan. Lamaran dengan Besanan merupakan dua hal
yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain karena lamaran
in dan menjadi agenda utama dalam prosesi Besanan sehingga
antara Besanan dan lamaran laksanan api dan asap.
Dalam khazanah fikih Islam, Besanan dan lamaran bukan
pula termasuk salah satu rukun maupun syarat dalam pernikahan
sehingga pernikahan sah menurut Islam dan diakui walaupun
tanpa melakukan Besanan dan lamaran terlebih dulu.21 Namun
demikian Besanan yang di dalamnya terdapat lamaran atau
pinangan memiliki nilai urgensitas tinggi dan bisa disebut sebagai
muqaddimah pernikahan.22 Sukses dan tidaknya pertalian jodoh,
sekian persentasenya diperoleh dari keberhasilan berginning
Besanan.
Di tengah-tengah masyarakat desa Juwet, Tradisi Besanan
sudah berjalan sudah lama dan dilakukan secara turun-temurun.
Hal ini menurut penulis dapat dibenarkan dan tidak bertentangan
dengan syariat Islam karena selain berpijak pada dalil al-Qur’an

21 Menurut Syafi’iyah dan Malikiyah rukun nikah ada lima, yaitu suami, istri, wali, dua

saksi dan akad yakni ijab-qabul sedangkan Hanafiyah dan Hanabilah menyatakan bahwa
kelima rukun tersebut ada yang disebut sebagai syarat nikah. Adapun yang dimaksud
dengan syarat perkawinan ialah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun perkawinan
yakni syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab kabul. Dengan demikian,
Besanan maupun lamaran bukan penentu sah dan tidaknya pernikahan. Lihat, Abd al-
Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Vol. IV (Libanon: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 2011), 16-17.
22 Ali Yusuf as-Subki, Fiqh Keluarga....66.

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26


Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 14

di atas, eksistensi Besanan menurut warga desa Juwet jika


dianalisis satu-persatu perspektif hukum Keluarga Islam maka
dapat diuraikan beberapa poin sebagai berikut:
1. Besanan menurut warga yang beranama Muhsin merupakan
kegiatan yang bertujuan untuk mengenal lebih jauh pribadi
masing-masing fihak, baik dari sisi calon mempelai maupun
calon besan. Bagi calon mempelai momen ini bisa digunakan
sebagai sarana mengenal lebih jauh dan mendalam calon
pasangannya baik secara fisik maupun psikis. Masing-masing
bisa menanyakan kepada yang bersangkutan atau kepada
keluarganya perihal watak, karakter, kebiasaan maupun hal-hal
lain yang dibutuhkan. Begitu pula bagi calon besan, momen
Besanan ini bisa digunakan sebagai ajang silaturrahim
sekaligus memperkenalkan diri, keluarga dan kerabat serta hal-
hal yang menyangkut kebaikan calon mempelai.
Ada dua hal yang bisa digunakan sebagai landasan serta
hujjah dilaksanakannya poin pertama ini. Satu, al-Qur’an surat
al-Hujurat ayat 13 yang artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya
aku menciptakan kamu semua dari laki-laki dan perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling mengenal”. Ayat ini dengan jelas menyebutkan bahwa
bahwa Allah menciptakan manusia agar saling mengenal satu
dengan yang lain karena pada dasarnya “Lain ladang lain pula
belalangnya”. Lain daerah maka lain pula adat dan
kebiasaannya. Dengan momentum Besanan maksud dan tujuan
ayat tersebut akan terwujud. Masing-masing fihak baik dari
keluarga maupun dari sisi calon mempelai, pada saat Besanan
bisa saling mengenal lebih jauh pribadi masing-masing serta
lebih mendalam perihal kualifikasi maupun integritas masing-

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26


Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 15

masing.
Landasan kedua adalah hadits Nabi yang diriwayatkan
oleh sahabat Jabir bin ‘Abdillah, dia berkata:
‫ﻗﺎل رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ إذا ﺧﻄﺐ أﺣﺪﻛﻢ اﻟﻤﺮأة ﻓﺈن إﺳﺘﻄﺎع أن‬
‫ﯾﻨﻈﺮ إﻟﻰ ﻣﺎ ﯾﺪﻋﻮه إﻟﻰ ﻧﻜﺎﺣﮭﺎ ﻓﻠﯿﻔﻌﻞ‬
“Apabila salah seorang diantara kalian ingin meminang
seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang dapat
mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah”.23

Hadits ini dengan jelas memberi legitimasi bagi calon


suami untuk dapat mengenal lebih jauh calon istrinya baik dari
sisi fisik maupun psikisnya. Bahkan hadits tersebut dengan
tegas memberi keluasan kepada calon peminang “mericek” hal-
hal yang membuatnya tertarik ingin menikah dengan
perempuan yang hendak dinikahi tersebut.24 Jika apa yang ia
saksikan secara langsung sesuai dengan apa yang ia ketahui
sebelumnya maka silahkan menuju proses lebih serius. Namun
sebaliknya jika tidak sesuai dengan apa yang ia saksikan maka
pasca Besanan pernikahan bisa saja dibatalkan.
2. Besanan menurut warga yang bernama Subhan adalah sarana
untuk membuat “Iklan”. Maksudnya dengan melakukan
besanan, kedua keluarga seakan-akan mengumumkan kepada
masyarakat bahwa salah satu keluarganya sudah tidak boleh
lagi dipinang atau meminang orang lain. Salah satu

23 Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy’ats al-Sijistany, Sunan Abi Dawud, Vol. II (Bairut: Dar

al-Kitab al’Araby, T.Th), 190.


24 Mengenai apa saja yang dapat dilihat oleh pelamar ulama berbeda pendapat. Imam

Malik hanya memperbolehkan wajah dan kedua telapak tangan saja. Imam Abu Hanifah
memperbolehkan melihat wajah, kedua tapak tangan dan kedua tapak kaki sedangkan
ulama lain memperbolehkan melihat secara mutlak kecuali dua kemaluan, sebaliknya
ada yang tidak memperebolehkan melihat sama sekali. Perbedaan mengenai kadar
kebolehan memandang ini karenakemutlakan teks hadits. Lebih jauh mengenai
perbedaan ini, lihat: Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad
bin Rusyd al-Qurthuby, Bidayat al-Mujtahid Vol.III (T.Tp: Darussalam, 1995), 1238.

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26


Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 16

keturunannya sudah dipinang/meminang orang lain sehingga


sudah tidak lagi bebas (single) karena dalam tempo yang tidak
lama ia akan resmi menikah dengan pasangan yang telah
dibesanankan.
Pernyataan warga desa Juwet di atas bisa dibenarkan.
Besanan yang dilakukan bisa dijadikan sarana pengumuman
kepada masyarakat sehingga masyarakat tau dan mengerti
hingga tidak lagi berharap bisa meminang atau dipinang oleh
keluarga yang sedang malakukan Besanan. Membuat
pengumuman ini menjadi sangat penting mengingat meminang
atas pinangan orang lain dilarang dalam agama. Terdapat
hadits yang melegitimasi hal ini, yaitu:
‫ وﻻﯾﺨﻄﺐ‬, ‫ﻧﮭﻰ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ أن ﯾﺒﯿﻊ ﺑﻌﻀﻜﻢ ﻋﻠﻰ ﺑﯿﻊ ﺑﻌﺾ‬
‫اﻟﺮﺟﻞ ﻋﻠﻰ ﺧﻄﺒﺔ أﺧﯿﮫ ﺣﺘﻰ ﯾﺘﺮك اﻟﺨﺎطﺐ ﻗﺒﻠﮫ اوﯾﺄ ذن ﻟﮫ اﻟﺨﺎطﺐ‬
“Nabi SAW melarang diantara kalian menjual atas jualan
saudaranya, dan janganlah seseorang melamar atas lamaran
saudaranya sehingga pelamar (pertama) meninggalkan
lamarannya atau ia memberi izin”.25

Jadi, momentum Besanan merupakan sarana tepat untuk


melakukan tindakan preventif agar tidak terjadi “pinangan di
atas pinangan”. Dengan Besanan keluarga tidak perlu susah
payah membuat semacam pemberitahuan kepada masyarakat
bahwa anaknya sudah memiliki calon suami/istri yang sah
sehingga keluarga sudah tidak bisa menerima pinangan dari
orang lain.
3. Menurut mayoritas masyarakat desa Juwet, Besanan
merupakan adat atau tradisi yang harus dijaga dan
dilestarikan. Hal ini sudah dilakukan turun-temurun, dari

25Muhammad bin Ismail bin Ibarahin bin al-Mughirah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari,
Vol.VII, N0 Indeks 5142 (Kairo: Dar al-Syu’ub, 1987), 24.

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26


Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 17

generasi ke generasi. Siapapun warga, apapun jabatannya,


seberapapun strata sosialnya menakala ingin menikahkan
keturunannya maka “harus” mengadakan Besanan lebih dulu.
Besanan bagi warga desa juwet merupakan “ritual” yang wajib
dilakukan dan tidak boleh ditinggalkan. Jika ditinggalkan maka
yang bersangkutan akan mendapat sanksi sosial dari
masyarakat yakni dicemooh, dicaci dan menjadi buah bibir
dimana-mana.
Poin katiga ini jika dianalisis menggunakan metodologi
penetapan hukum Islam (ushul fiqh), tidak salah. Adat/tradisi
Besanan yang dilakukan oleh warga desa Juwet menilik
pendapat Syekh Abd al-Wahab Khalaf dapat dimasukkan
dalam kategori ‘Urf Sahih yakni adat / kebiasaan manusia yang
tidak bertentangan dengan dalil Syara’, tidak menghalalkan
perkara yang haram dan tidak pula membatalkan perkara yang
wajib.26 Apapun adat kebiasaan atau budaya masyarakat
selama tidak melanggar dan berlawanan dengan syara’ maka
bisa dikategorikan ‘Urf Sahih.
Jika diintrodusir lebih dalam lagi, mengikuti pendapat
syekh al-Khayath tradisi Besanan masuk dalam kategori ‘Urf
Mursal yakni ‘Urf / adat yang tidak disinggung sama sekali
( ‫ ) اﻟﻤﺴﻜﻮت ﻋﻨﮫ‬oleh syara’, tidak dalam hal pembolehan
maupun pembatalan.27 Riilnya,Segala macam hasil daya dan

26 Adat atau tradisi dalam kajian Ushul Fiqh disebut al-‘Urf. Syekh Abd al-Wahab Khalaf

mebagi al-‘Urf menjadi dua yaitu ‘Urf Sahih dan ‘Urf Fasid. ‘Urf Sahih adalah adat
kebiasaan manusia yang tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalkan
perkara haram dan tidak pula membatalkan perkara wajib. Misalnya, memberi sesuatu
kepada calon istri sebelum akad nikah disebut hadiah bukan mahar. Lihat: Abd al-
Wahab al-Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh (Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, T.Th), 89.
27 al-Khayath membagi ‘Urf jika ditinjau dari segi pensyariatan ( ‫ ) اﻟﺸﺎرع ﻟﮫ‬menjadi tiga

yaitu: ‘Urf Sahih, ‘Urf Fasid dan ‘Urf Mursal. Lihat: ‘Abd al-‘Aziz al-Khayath, Nadzariyah
al-‘Urf (Kuwait: al-Mausu’ah al-Kuwaitiyah , T.Th), 36-37.

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26


Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 18

upaya manusia (budaya) selama bukan kategori ‘Urf fasid


maupun ‘Urf Sahih maka budaya tersebut disebut‘Urf
Mursal.Oleh kerenanya, Besanan jika mengikuti teori ini maka
masuk kategori ‘Urf Mursal.
Ulama madzhab Maliki dan madzhab Hanafi menyatakan
bahwa segala hal yang ditetapkan berdasarkan adat / tradisi
yang sahih yakni bukan tradisi Fasid maka bisa ditetapkan
eksistensinya berdasarkan dalil syara’. Mereka berpegang pada
kaidah ‫ﻲ‬
ّ ‫“ اﻟﺜﺎﺑﺖ ﺑﺎﻟﻌﺮف ﺛﺎﺑﺖ ﺑﺪﻟﯿﻞ ﺷﺮﻋ‬Ketetapan berdasarkan ‘Urf
bisa ditetapkan berdasarkan dalil syara’”.28 al-Sarakhshi,29 salah
satu ulama kenamaan madzhab Hanafi, menyebutkan dalam
karyanya al-Mabsuth bahwa ‫اﻟﺜﺎﺑﺖ ﺑﺎﻟﻌﺮف ﻛﺎﻟﺜﺎﺑﺖ ﺑﺎﻟﻨّﺺ‬
“Ketetapan berdasarkan dalil ‘Urf memiliki hukum
sebagaimana ketetapan berdasarkan nash”. Maksudnya
ketetapan yang dihasilkan berdasarkan adat/tradisi
masyarakat bisa ditetapkan eksistensinya laiknya terdapat nash
yang dijadikan dalil.30
Besanan secara De jure memang tidak memiliki dalil nash
Qath’i namun dengan menggunakan kaidah-kaidah tersebut
maka eksistensi Besanan bisa dibenarkan dan tidak
bertentangan dengan syara’. Para fuqaha khususnya dari
kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa jika syara’ memberi
taklif sedangkan di dalamnya tidak terdapat batasan maupun
rincian maka operasionalnya dikembalikan pada ‘Urf. Hal ini

28 Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh (Dar al-Fikr al-‘Araby, T.Th), 273
29 Nama lengkapnya Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl al-Sarakhshi. Ia
adalah salah seorang ulama terbesar ketiga madzhab Hanafi setelah Abu Yusuf dan al-
Syaibany. Kendati ia adalah ulama besar namun tidak ditemukan secara lengkap biodata
serta profil kehidupannya. Baca selengkapnya, Abd Aziz Dahlan, dkk (ed), Ensiklopedi
Hukum Islam, Vol. V (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), 1608.
30 Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh, 273.

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26


Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 19

bertendensi pada kaidah fikih:


‫ﻛ ّﻞ ﻣﺎ ورد ﺑﮫ اﻟﺸﺮع ﻣﻄﻠﻘﺎ وﻻ ﺿﺎﺑﻂ ﻟﮫ ﻓﯿﮫ وﻻ ﻓﻲ اﻟﻠﻐﺔ ﯾﺮﺟﻊ ﻓﯿﮫ إﻟﻰ‬
‫اﻟﻌﺮف‬
“Apapun yang disampaikan syara’ secara mutlak dan tidak
terdapat batasan padanya serta tidak dalam cakupan bahasa
maka dikembalikan pada ‘Urf”.31

Dengan demikian, syariat Khithbah yang bersifat mutlak,


umum dan tidak ada penjelasan apapun mengenai mekanisme
dan tata-tata caranya dengan berlandaskan kaidah di atas maka
khitbah dapat bermetamorfosis menjadi beragam bentuk
kegiatan, salah satunya adalah berupa tradisi Besanan.
b. Implikasi Besanan
Khithbah yang dikemas dalam bentuk Besanan merupakan
pendahuluan pernikahan. Pada tahap ini terjadi perkenalan
(ta’aruf) lebih intens bagi masing-masing fihak, baik dari sisi
kedua calon maupun kedua besan. Oleh karena Besanan hanya
sebuah muqaddimah pernikahan dan bukan subtansi dari
pernikahan itu sendiri, bukan pula merupakan salah satu syarat
maupun rukun pernikahan (sudah dijelaskan di atas) maka
Besanan tidak membawa konsekswensi hukum sama sekali bagi
calon suami atas calon istri.
Bagi keduanya masih tetap berlaku status “orang lain”
(ajnaby-ajnabiyyah) sehingga apapun bentuk larangan agama
terhadap ajnabi (laki-laki lain yakni bukan muhrim perempuan)
kepada ajnabiyah (perempuan non muhrim bagi laki-laki)
walaupun sudah besanan/ tunangan, larangan tersebut tetap
berlaku dan sekali-kali tidak boleh dilanggar. Jika pra Besanan

31 Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, Asybah wa al-Nadzair, Vol. I (T.T: Dar Kutub
al-Ilmiyah, 1983), 96.

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26


Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 20

ajnaby dilarang/diharamkan melakukan perbuatan A pada


ajnabiyah maka perbuatan A tersebut tetap terlarang kendati pasca
Besanan hingga pernikahan berlangsung.
Idealitas semacam ini pada tataran iplementasi kurang
menemukan sinkronisasi, khususnya di desa Juwet kecamatan
Ngronggot kabupaten Nganjuk. Di desa Juwet, Besanan
(metamorfosa dari khitbah) membawa dampak kurang baik pada
pergaulan calon suami dan calon istri. Pergaulan keduanya
cenderung menjauh dari tatanan agama dan sedikit demi sedikit
meninggalkan norma yang ada. Besanan seakan-akan menjadi
“pembuka” kebebasan bagi keduanya. Hal-hal yang terlarang
bukan saatnya lagi harus ditinggalkan pasca Besanan.
Ironisnya, fenomena tersebut sudah mendapat “tempat” di
hati masyrakat. Pemandangan yang seharusnya tabu nan jauh
dari norma agama, misalnya pergi setiap saat berdua (pacaran)
dalam rangka rekreasi, nonton bioskop, bermain ke rumah famili
dan segala aktifitas yang dilakukan berdua tanpa adanya Mahram,
dimana pada aktifitas-aktifitas tersebut memungkinkan
dilakukannya perbuatan terlarang misalnya pelukan, ciuman
bahkan lebih dari itu, menjadi hal yang lumrah dan biasa yang
tidak perlu dipermaslahkan dan diperbincangkan. Orang tua
(wali) yang seharusnya tidak memperbolehkan hal itu terjadi
justru sebaliknya, memberi keluasan dan terkesan mendukung.32
Realitas semacam ini pada dasarnya tidak dapat dibenarkan.
Pergaulan yang dilakukan oleh calon suami-istri yang belum
melakukan akad nikah kendati telah mendapat restu orang tua

32Keterangan lebih lengkap mengenai pandangan masyarakat desa Juwet perihal ini bisa
dilihat ulang pada sub bab “Besanan dan implikasinya perspektif masyarakat desa Juwet” di
atas.

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26


Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 21

sebagaimana diuraikan di atas telah melanggar norma agama.


Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa:
‫وﻻ ﺗﻘﺮﺑﻮا اﻟﺰﻧﺎ إﻧﮫ ﻛﺎن ﻓﺎﺣﺸﺔ وﺳﺎء ﺳﺒﯿﻼ‬
“Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina
adalah perbuatan yang keji dan seburuk-buruknya jalan”.33

Ayat ini sebagaimana penjelasan imam Ibn Kathir dalam


tafsirnya, Allah melarang dua hal sekaligus yaitu zina dan hal-hal
yang mendorong dan menyebabkan terjadinya perbuatan zina.34
Tidak dapat dipungkiri, bahwa berduaan dengan lawan jenis
tanpa disertai mahram merupakan muqaddimah perzinaan dan
sesuatu yang dapat mendekatkan pada perzinaan. Zina dipastikan
tidak akan terjadi manakala berduaan tidak dilakukan
sebelumnya.
al-Syaukani dalam karyanya Fath al-Qadir juga menjelaskan
makna ayat tersebut. Menurutnya, Allah menetapkan larangan
zina dengan cara melarang hal-hal yang menjadi penyebab atau
pendahuluan zina. Jika zina hukumnya haram maka hal-hal yang
mendekatkan dan menyababkan zina hukumnya juga haram. Ia
menyatakan:
ّ ‫ﻓ‬
‫ﺈن اﻟﻮﺳﯿﻠﺔ إﻟﻰ اﻟﺸﺊ إذا ﻛﺎﻧﺖ ﺣﺮاﻣﺎ ﻛﺎن اﻟﻤﺘﻮﺳﻞ إﻟﯿﮫ ﺣﺮاﻣﺎ‬
“Sesungguhnya perantara (al-wasilah) kepada sesuatu
manakala sesuatu tersebut haram maka si perantara
hukumnya haram”.35

33 QS. al-Isra’ [17] : 32.


34 Abi al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasy, Tafsir al-Qur’an al-Adzim (Bairut: Dar
Ibn Hazm, 2000), 1116–1117.
35 Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukani, Fath al-Qadir (Bairut: Dar al-Ma’rifat,

2007) 820.

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26


Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 22

Dua penjelasan ini sudah cukup memberi justifikasi bahwa


berduaan antara laki-laki dan perempuan tanpa didampingi
mahram memiliki hukum haram. Konklusi hukum ini diambil,
kendati bukan dari tekstual ayat namun dengan menggunakan
kaidah yang disampaikan al-Syaukani di atas maka dengan
sendirinya penyebab terjadinya zina (al-Wasilah) memiliki hukum
sebagaimana tujuan (al-Mutawasal Ilaih) yakni zina.
Dalam kajian usul fikih, perantara (al-wasilah) sinonim
dengan kata al-Dzari’ah yang bermakna “jalan”, ia memiliki
hukum sebagaimana tujuan ( ‫) ﻟﻠﻮﺳﺎﺋﻞ ﺣﻜﻢ اﻟﻤﻘﺎﺻﺪ‬36. Jika tujuan
memiliki hukum haram maka “jalan” tersebut memiliki hukum
haram, jika tujuan memiliki hukum wajib maka “jalan” hakumnya
wajib dan jika tujuan hukumnya haram maka “jalan” hukumnya
juga haram.37
Melengkapi keterangan di atas, terdapa beragam hadits yang
dapat dijadikan hujjah atas hukum haram berduaan, diantaranya
adalah:
ّ ‫ﯾﺨﻠﻮن ﺑﺈﻣﺮأة ﻟﯿﺲ ﻣﻌﮭﺎ ذو ﻣﺤﺮم ﻣﻨﮭﺎ‬
‫ﻓﺈن‬ ّ ‫ﻣﻦ ﻛﺎن ﯾﺆﻣﻦ ﺑﺎ واﻟﯿﻮم اﻷﺧﺮ ﻓﻼ‬
‫ﺛﺎﻟﺜﮭﻤﺎ اﻟﺸﯿﻄﺎن‬
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka
jangan sekali-kali bersepian dengan perempuan yang tidak
disertai mahramnya karena yang ketiganya adalah setan”.38

ّ
Teks hadits ini, tepatnya pada kata ‫ﯾﺨﻠﻮن‬ ‫ ﻓﻼ‬nabi dengan
tegas melarang kepada siapapun laki-laki pergi bersama
perempuan tanpa disertai mahramnya. Segala bentuk kegiatan
yang dilakukan laki-laki bersama dengan perempuan dengan cara

36 Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamy, Vol.I (Bairut, Dar al-Fikri, 1989), 230.
37 Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh (T.Tp, Dar al-Fikr al-‘Araby, T.Th), 288.
38 Ahmad bin Hanbal Abu Abdillah al-Syaibany, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal,

Vol.III (Kairo: Muassasah Qurthubah, T.Th), 339.

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26


Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 23

berduaan tanpa didampingi mahram maka terlarang hukumnya.


Dalam hadits lain Nabi juga telah bersabda:
‫واﻟﯿﻮم اﻻﺧﺮ أن ﺗﺴﺎﻓﺮ ﺳﻔﺮا ﯾﻜﻮن ﺛﻼﺛﺔ أﯾﺎم ﻓﺼﺎﻋﺪا‬ ‫ﻻﯾﺤﻞ ﻟﻤﺮأة ﺗﺆﻣﻦ ﺑﺎ‬
‫إﻻوﻣﻌﮭﺎ أﺑﻮھﺎ او أﺑﻨﮭﺎ او زوﺟﮭﺎ او أﺧﻮھﺎ او ذوﻣﺤﺮم ﻣﻨﮭﺎ‬
“Tidak halal bagi perempuan yang beriman kepada Allah
dan hari akhir bepergian selama tiga hari bahkan lebih
kecuali dengan bapaknya, anaknya, suaminya, saudaranya
atau mahramnya”.39

Pada hadits ini, khitab nabi tertuju pada perempuan, nabi


melarang dengan tegas pada perempuan bepergian tanpa disertai
kerabatnya seperti orang tua, suami, anak, saudara atau saudara
yang lain. Sebaliknya pada hadits sebelumnya, nabi lebih
menekankan larangan pada laki-laki (kendati perempuan masih
termasuk dalam objek larangan tersebut).
Keterangan-keterangan di atas baik dari al-Qur’an maupun
hadits tidak ada satupun kata maupun redaksi menyebutkan
hukum haram. Kedua sumber hukum Islam tersebut hanya
melarang mendekati zina, melarang bepergian tanpa didampingi
mahram dan tidak mengatakan hukum haram atas prilaku
berduaan atau khalwat. Hukum haram atas berduaan merupakan
hasil istinbath menggunakan metodologi penetapan hukum Islam
(ushul fiqh). Dengan ilmu ini, larangan tersebut sudah pasti
menunjukkan pada lahirnya hukum haram karena dalam ushul
fiqh terdapat kaidah ‫“ اﻷﺻﻞ ﻓﻲ اﻟﻨﮭﻲ ﻟﻠﺘﺤﺮﯾﻢ‬Hukum asal dalam
larangan menunjukkan haram”40. Dengan kaidah ini, larangan
melakukan zina berimplikasi pada munculnya larangan

39Abi al-Husein Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisabury, Sahih Muslim, Vol.II, N0.
1340 (Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991), 977.
40 al-Ghozali, al-Mankhul min Ta’liqat al-al-Ushul (Mesir: Dar al-Fikr, 1980), 130.

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26


Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 24

mendekati zina. Mendekati zina dalam pembahasan kali ini


adalah berduaan (khalwat) antara calon pengantin pasca Besanan.
Jika dalam kajian usul fikih sudah dapat diambil konklusi
bahwa berduaan hukumnya haram maka berduan dalam
perspektif fikih hampir pasti adalah haram. Terbukti, semua
ulama ahli fikih menyatakan bahwa laki-laki berduaan dengan
perempuan (ajnabiyah) tanpa didampingi suami atau kerabatnya
maka hukumnya haram mutlak. Kemutlakan hukum haram ini
berlaku pada kondisi berduaan tersebut aman dari fitnah atau
tidak aman. Berikut penjelasan berduaan (khalwat) secara lebih
rinci versi empat madzhab:
1. Hanafiyah. Ibn ‘Abidin dalam Hasyiyahnya yang diberi nama
Radd al-Muhtar menyatakan bahwa khalwat dengan ajnabiyat
Haram kecuali dengan perempuan nenek-nenek (‫)اﻟﻌﺠﻮز‬
dengan catatan jika aman dari fitnah namun jika tidak aman
maka hukumnya haram.41
2. Malikiyah. Laki-laki haram khalwat dengan perempuan yang
tidak disertai dengan mahramnya, atau hak milik sang laki-laki
atas perempuan tersebut. Keduanya wajib disanksi (‫)اﻟﻌﻘﻮﺑﺔ‬
walaupun mengaku sebagi suami istri kecuali mampu
memberikan bukti atas pengakuannya.42
3. Syafiiyah. Ulama madzhab ini tidak memberi rincian, antara
berduaan dengan perempuan muda atau tua. Syafiiyah
memberi hukum haram mutlak atas khalwat antara laki-laki dan
perempuan tanpa mahram. Hal ini dimaksudkan untuk

41Muhammad Amin Ibn ‘Abidin, Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘ala al-Dur al-Mukhtar Syarh
Tanwir al-Abshar, Vol. VI, Mesir: Maktabah Musthafa al-Baby al-Halaby, T.Th), 368.
42‘Ali al-Sha’idy al-‘Adwy, Hasyiyah al-‘Adwy ‘ala Syarh Aby al-Hasan, Vol.II (Bairut: Dar

al-Ma’rifat, T.Th), 422. Lihat pula, Ahmad bin Ghanim bin Salim bin Mahma al-Nafrawy
al-Maliky, al-Fawakih al-Dawany, Vol.II (Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby, 1374 H), 410.

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26


Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 25

menutup jalan kemaksiatan ( ‫) ﺳ ّﺪ اﻟﺬرﯾﻌﺔ‬.43


4. Hanabilah. Ulama Hanabilah memberi hukum haram mutlak
terhadap khalwat dalam segala keadaan tanpa membedakan
apakah khalwat tersebut mengakibatkan syahwat atau tidak.
Hal ini mengecualikan khalwat dengan anak dibawah usia 7
tahun maka tidak haram.44
Melihat dan mencermati semua paparan-paparan tersebut
maka dapat ditarik benang merah bahwa apa yang telah
dilakukan oleh para calon pengantin warga desa Juwet
sebagaimana gambaran di atas tidak dapat dibenarkan dan
hukumnya haram. Kendati telah ada ikatan Besanan namun
ikatan ini tidak membawa dampak hukum apapun.

BIBLIOGRAFI

‘Abd al-‘Aziz al-Khayath, Nadzariyah al-‘Urf, Kuwait: al-Mausu’ah al-


Kuwaitiyah , T.Th.
‘Ali al-Sha’idy al-‘Adwy, Hasyiyah al-‘Adwy ‘ala Syarh Aby al-Hasan, Bairut:
Dar al-Ma’rifat.
‘Ali bin Sulaiman al-Mardawy, al-Inshaf, Bairut: Dar Ihya’ al-Turats, T.Th.
A.W Munawir dan Muhammad Fairuz, Kamus al-Munawir, Surabaya:
Pustaka Progresif, T.Th.
Abd al-Rahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah,Libanon:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2011.
Abd al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, Asybah wa al-Nadzair, Dar Kutub
al-Ilmiyah, 1983.
Abd al-Wahab al-Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-
Islamiyah, T.Th.
Abd Aziz Dahlan, dkk (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ikhtiar
Baru Van Hoeve, 1997.
Abi al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasy, Tafsir al-Qur’an al-

43Syams al-Din Muhammad bin Muhammad al-Khatib al-Syirbiny, Mughni al-Muhtaj ‘ala
Ma’rifati Ma’ani al-Fadz al-Minhaj,Vol.III, (Bairut: TP, T.Th), 668.
44 ‘Ali bin Sulaiman al-Mardawy, al-Inshaf, Vol.IX (Bairut: Dar Ihya’ al-Turats, T.Th), 315.

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26


Slamet Arofik, Analisis Hukum Keluarga Islam terhadap Besanan… 26

Adzim, Bairut: Dar Ibn Hazm, 2000.


Abi al-Husein Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisabury, Sohih
Muslim, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991.
Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin
Rusyd al-Qurthuby, Bidayat al-Mujtahid,T.Tp: Darussalam, 1995.
Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy’ats al-Sijistany, Sunan Abi Dawud, Vol. II
(Bairut: Dar al-Kitab al’Araby, T.Th.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam ,Yogyakarta: UII Press,
2000.
Ahmad bin Ghanim bin Salim bin Mahma al-Nafrawy al-Maliky, al-
Fawakih al-Dawany,Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby 1374 H.
Ahmad bin Hanbal Abu Abdillah al-Syaibany, Musnad al-Imam Ahmad bin
Hanbal, Kairo: Muassasah Qurthubah.
al-Ghozali, al-Mankhul min Ta’liqat al-al-Ushul, Mesir: Dar al-Fikr, 1980.
Ali Yusuf as-Subki, Fiqh Keluarga, Jakarta: AMZAH, 2012.
M. Baqir al-Habsyi, Fikih Praktis, Bandung: Mizan, 2002.
Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-‘Araby, T.Th.
Muhammad Amin Ibn ‘Abidin, Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘ala al-Dur al-
Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, Mesir: Maktabah Musthafa al-Baby
al-Halaby.
Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukani, Fath al-Qadir, Bairut:
Dar al-Ma’rifat, 2007.
Muhammad bin Ismail bin Ibarahin bin al-Mughirah al-Bukhari, Shahih al-
Bukhari, Kairo: Dar al-Syu’ub, 1987.
Muslim Al-Hajjaj Al-Qusyairi Al-Naisaburi, Shahih Imam Muslim, Jakarta:
Kampung Sunnah, 2009.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia,
Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Syams al-Din Muhammad bin Muhammad al-Khatib al-Syirbiny, Mughni
al-Muhtaj ‘ala Ma’rifati Ma’ani al-Fadzi al-Minhaj, Bairut.
Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamy, Bairut, Dar al-Fikri, 1989.
www.dosenbahasa.com

USRATUNÂ Vol. 1, No. 1, Desember 2017 | 1-26

You might also like