You are on page 1of 13

SEJARAH PERKEMBANGAN PENDIDIKAN

MULTIKULTURAL DARI EROPA KE INDONESIA

Dr. Achmad Yusuf, S.PdI, M.Pd.


Universitas Yudharta Pasuruan, East Java, Indonesia
rifahhisbiyah@gmail.com

ABSTRACT This study aims to investigate key issues in the history of multicultural education,
: focusing on policy change, the role of social movements, and their impact on
inclusivity in the curriculum. Research methods involve document analysis, interviews
with education experts, and surveys of educators. A historical approach is used to
understand the context of the development of multicultural education from the
beginning of the 20th century to the present. The results showed the evolution of the
mul concept. The education process is inseparable from the social structure and
development of the community, as well as multiculturalism education. Multicultural
education is a new phenomenon in the world of education, so it becomes an attraction
to be discussed in scientific forums such as seminars, workshops, symposiums and so
on. This article describes the process and long road and development of
multiculturalism education in Indonesia. There are two approaches that the author
uses in analyzingThe process of education is inseparable from the social structure and
development of the community, as well as the education of multiculturalism.
Multicultural education is a new phenomenon in the world of education, so it becomes
an attraction to be discussed in scientific forums such as seminars, workshops,
symposiums and so on. This article describes the process and long road and
development of multiculturalism education in Indonesia. There are two approaches
that the author uses in analyzing
This article seeks to offer a learning design of multicultural on History of Islamic
Culture in Higher Education. These multicultural values include an attitude of self-
respect, an attitude of respect for others, an attitude of respect for the environment and
cultural nature, an attitude of appreciating beauty, an attitude of appreciating beauty,
and an attitude of appreciating wholeness. The six values of multiculturalism are
expected to be internalized in learning by lecturers of Islamic Cultural History courses
in Higher Education in a design of learning models, starting from planning to arrange
curriculum, syllabus and semester course plans (RPS) or lecture event units (SAP), to
arranging lecture material for History of Islamic Culture and its studen book. While
the application of learning design includes strategy, methods and evaluation.
However, this matter, at the level of its application in higher education as mentioned
above will be meaningless, unless the SKI lecturer who is responsible for internalizing
multicultural values as mentioned above has a high awareness of the values of
multiculturalism. Without the SKI lecturers who are aware of multicuralism, the values
of multiculturalism will never be internalized in the attitudes and personalities of
students as well students.This article seeks to offer a learning design of multicultural
on History of Islamic Culture in Higher Education. These multicultural values include
an attitude of self-respect, an attitude of respect for others, an attitude of respect for
the environment and cultural nature, an attitude of appreciating beauty, an attitude of
appreciating beauty, and an attitude of appreciating wholeness. The six values of
multiculturalism are expected to be internalized in learning by lecturers of Islamic
Cultural History courses in Higher Education in a design of learning models, starting
from planning to arrange curriculum, syllabus and semester course plans (RPS) or
lecture event units (SAP), to arranging lecture material for History of Islamic Culture
and its studen book. While the application of learning design includes strategy, methods
and evaluation. However, this matter, at the level of its application in higher education
as mentioned above will be meaningless, unless the SKI lecturer who is responsible for
Keywords: internalizing
3-6 kata (fontmulticultural
Garamond 11 values
spasias1,mentioned
dan cetak above
miring)has a high awareness of the values

PENDAHULUAN/INTRODUCTION
Pendidikan multikultural adalah pendekatan pendidikan yang mengakui dan menghargai
keberagaman budaya dalam lingkungan pendidikan. Sejarahnya melibatkan perkembangan
konsep ini di berbagai belahan dunia sebagai respons terhadap dinamika sosial, politik, dan
budaya yang terus berkembang. Makalah ini akan mengulas jejak sejarah pendidikan
multikultural di dunia
Dalam menghadapi dinamika dunia yang semakin terhubung, keberagaman budaya menjadi ciri
khas masyarakat global. Pendidikan, sebagai fondasi pembentukan karakter dan pengetahuan,
tidak dapat mengabaikan realitas kompleksitas keberagaman ini. Pendekatan pendidikan
multikultural muncul sebagai respons terhadap tuntutan zaman,
di mana keberagaman bukan hanya diterima sebagai kenyataan tetapi dihargai sebagai aset
berharga yang dapat memperkaya pengalaman belajar.
Pendidikan multikultural mengusung prinsip bahwa setiap individu memiliki hak untuk
mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi berdasarkan asal usul etnis, agama, atau budaya.
Seiring perkembangan zaman, pendidikan multikultural bukan hanya sekadar konsep, melainkan
sebuah keharusan untuk membentuk generasi yang mampu beradaptasi, menghargai, dan
berkontribusi dalam masyarakat global. Dalam konteks ini, makalah ini akan menguraikan jejak
sejarah, nilai-nilai filosofis, dan perkembangan terkini dalam pendidikan multikultural. Lebih
dari itu, kita akan mengulas relevansi pendidikan multikultural dalam menghadapi tantangan
kompleks, seperti konflik antarbudaya dan kebutuhan akan pemahaman global.
Melalui pemahaman mendalam terhadap sejarah dan nilai-nilai yang membentuk pendidikan
multikultural, kita dapat merangkai landasan yang kokoh untuk menciptakan sistem pendidikan
yang inklusif, adil, dan relevan di era yang terus berubah ini.

METODE/METHOD
Metode penelitian mencakup jenis penelitian, rancangan penelitian, ruang lingkup atau
objek, waktu dan tempat penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis.
HASIL DAN PEMBAHASAN/RESULT AND DISCUSSION
Awal Abad ke-20: Pendidikan Terpisah

Di awal abad ke-20, pendidikan cenderung terpisah berdasarkan ras atau etnis di
beberapa negara. Kebijakan ini mencerminkan segregasi dan ketidaksetaraan dalam sistem
pendidikan.
Gerakan Hak Sipil dan Hak Asasi Manusia

Periode hak sipil di Amerika Serikat pada abad ke-20 menyaksikan perlawanan terhadap
segregasi rasial di sekolah-sekolah. Keberhasilan gerakan ini memunculkan perubahan kebijakan
yang mendukung integrasi dan inklusivitas di sistem pendidikan.
Pertengahan Abad ke-20: Perubahan Kebijakan

Banyak negara mulai mengubah kebijakan pendidikan mereka untuk mencerminkan


nilai-nilai multikultural. Program pendidikan yang menghargai dan merayakan keberagaman
budaya diperkenalkan untuk memerangi ketidaksetaraan.
1970-an: Pendidikan Multikultural sebagai Gerakan

Pada tahun 1970-an, gerakan pendidikan multikultural muncul sebagai tanggapan


terhadap ketidaksetaraan dan kurangnya representasi budaya dalam kurikulum. Fokusnya adalah
memasukkan berbagai perspektif dan mengakui sumbangan berbagai kelompok etnis dalam
pendidikan.
1980-an hingga 1990-an: Pengembangan Kurikulum Multikultural

Banyak negara mengembangkan kurikulum pendidikan multikultural yang menekankan


pengajaran yang lebih inklusif dan mewakili keberagaman sosial dan budaya.
Abad ke-21: Tantangan dan Terus Berkembang

Meskipun telah ada kemajuan, pendidikan multikultural masih menghadapi tantangan,


termasuk resistensi terhadap perubahan dalam beberapa komunitas dan kebijakan yang belum
sepenuhnya mendukung inklusivitas.
(Times New Roman size 12, spasi 1,5)

1. Akar Filosofis di Yunani Kuno


Ajaran-ajaran dari filsuf Yunani seperti Protagoras dan Socrates menyumbang pada pemikiran
multikultural. Protagoras dikenal dengan pernyataannya, "Man is the measure of all things," yang
menggarisbawahi relativitas nilai-nilai budaya. Socrates, dengan metodenya yang dialogis,
mendorong refleksi diri dan toleransi terhadap pandangan yang berbeda.
2. Pendidikan Islam di Zaman Kejayaan Kekhalifahan
Selama Zaman Kejayaan Islam, terjadi pencapaian signifikan dalam bidang pendidikan.
Pendidikan Islam mencakup pemahaman terhadap berbagai kebudayaan dan agama. Pusat
pembelajaran seperti House of Wisdom di Baghdad menjadi simbol toleransi dan pertukaran
ilmu antar budaya.
3. Renaisans dan Humanisme di Eropa
Pada masa Renaisans, pemikir-pemikir seperti Erasmus dari Rotterdam memperjuangkan
pendidikan yang mencakup warisan budaya yang luas. Gerakan humanisme memandang
keberagaman budaya sebagai kekayaan dan menekankan pentingnya memahami berbagai aspek
kehidupan.
4. Pendidikan Multikultural di Abad ke-20
Abad ke-20 melihat perkembangan signifikan dalam pendidikan multikultural. Gerakan hak sipil
di Amerika Serikat, misalnya, memperjuangkan penghapusan segregasi rasial di sekolah.
Pendidikan multikultural diwujudkan melalui kurikulum yang mencerminkan keberagaman dan
menghargai kontribusi setiap kelompok etnisasi
5. Globalisasi dan Tantangan Kontemporer
Dalam era globalisasi, pendidikan multikultural menjadi semakin penting. Pendidikan harus
mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi dunia yang terhubung secara global,
memahami perbedaan, dan bekerja sama lintas batas budaya.
6. Pendidikan Multikultural di Asia dan Afrika
Di Asia dan Afrika, perjalanan pendidikan multikultural melibatkan penafsiran kembali sejarah
lokal dan pendekatan inklusif terhadap berbagai kelompok etnis, agama, dan bahasa. Negara-
negara seperti India dan Afrika Selatan menghadapi tantangan besar dalam membangun sistem
pendidikan yang mencerminkan keragaman budaya mereka.
7. Tren Kontemporer dalam Pendidikan Multikultural
Pada abad ke-21, teknologi dan komunikasi global telah mempercepat pertukaran budaya.
Pendidikan multikultural mencakup aspek-aspek seperti literasi digital, pemahaman terhadap isu-
isu global, dan penerapan nilai-nilai universal yang menghubungkan individu dari berbagai latar
belakang.
8. Pendidikan Multikultural dan Hak Asasi Manusia
Pendidikan multikultural juga terkait erat dengan pemahaman dan perlindungan hak asasi
manusia. Menyediakan pendidikan yang menghargai keberagaman adalah langkah penting untuk
menghindari diskriminasi dan membangun masyarakat yang adil.
9. Tantangan dan Peluang di Masa Depan
Meskipun progres telah dicapai, tantangan tetap ada. Globalisasi dapat mengakibatkan dominasi
budaya tertentu, sehingga pendidikan multikultural harus mempertimbangkan cara untuk
mempertahankan identitas lokal sambil tetap terbuka terhadap pengaruh global
10. Relevansi Pendidikan Multikultural di Era Modern
Di era di mana konflik antarbudaya dapat meningkat, pendidikan multikultural menjadi
instrumen penting dalam membangun perdamaian dan pemahaman lintas batas. Melalui
pendidikan ini, generasi mendatang dapat menjadi agen perubahan yang mempromosikan
harmoni dan kerjasama global.V

Perkembangan multikulturalisme dari Eropa ke Indonesia melibatkan sejarah panjang yang


dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti perdagangan, kolonialisme, migrasi, dan interaksi
budaya. Berikut ini adalah gambaran umum dengan beberapa referensi yang dapat dijadikan
sebagai titik awal untuk penelitian lebih lanjut:

Era Kolonial:

Eropa memiliki pengaruh besar di Indonesia melalui perdagangan rempah-rempah, yang


kemudian diikuti oleh era kolonialisme. Referensi: "A History of Modern Indonesia" oleh Adrian
Vickers.
Migrasi dan Perdagangan:

Migrasi manusia dan hubungan perdagangan antara Eropa dan Indonesia membawa pertukaran
budaya yang signifikan. Buku "Southeast Asia: An Introductory History" oleh Milton Osborne
dapat memberikan perspektif yang baik.
Pengaruh Budaya Hindu-Buddha:

Indonesia memiliki warisan budaya Hindu-Buddha dari kerajaan-kerajaan seperti Majapahit.


Referensi: "A Short History of Southeast Asia" oleh Peter Church.
Islam di Indonesia:

Penyebaran Islam di Indonesia membentuk aspek penting dari identitas budaya. "Islam in
Indonesian Foreign Policy" oleh Audrey Kahin adalah referensi yang baik.
Zaman Belanda:

Pengaruh Belanda di Indonesia dapat dipelajari melalui buku "The Dutch East Indies: Empire
and Exile" oleh Charles F. van Fraassen.
Periode Kemerdekaan:

Proses menuju kemerdekaan Indonesia juga mencerminkan perjuangan multikultural. "Indonesia:


A Country Study" yang diterbitkan oleh Federal Research Division, Library of Congress,
menyajikan informasi mendalam.
Masa Kontemporer:

"Indonesia Etc.: Exploring the Improbable Nation" oleh Elizabeth Pisani memberikan pandangan
tentang kehidupan sehari-hari di Indonesia yang mencerminkan keragaman budaya.
Memberikan pelayanan yang sama terhadap seluruh warga kelas tanpa membedakansuku,
agama, ras, golongan, status sosial, dan status ekonomi. Memberikan pelayananterhadap anak
berkebutuhan khusus. Bekerja dalam kelompok yang berbeda.4.

Disiplin. Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagaiketentuan dan
peraturan.Indikator Keberhasilan Sekolah: Memiliki catatan kehadiran. Memberikanpenghargaan
kepada warga sekolah yang disiplin. Memiliki tata tertib sekolah.Membiasakan warga sekolah
untuk berdisiplin. Menegakkan aturan denganmemberikan sanksi secara adil bagi pelanggar tata
tertib sekolah. IndikatorKeberhasilan Kelas: Membiasakan hadir tepat waktu. Membiasakan
mematuhi aturan.5.

Kerja Keras. Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagaiketentuan dan
peraturan.Indikator Keberhasilan Sekolah: Menciptakan suasana kompetisi yang
sehat.Menciptakan suasana sekolah yang menantang dan memacu untuk bekerja keras.Memiliki
pajangan tentang slogan atau motto tentang kerja. Indikator KeberhasilanKelas: Menciptakan
suasana kompetisi yang sehat. Menciptakan kondisi etos kerja,pantang menyerah, dan daya tahan
belajar. Mencipatakan suasana belajar yangmemacu daya tahan kerja. Memiliki pajangan tentang
slogan atau motto tentang giatbelajar.6.

Kreatif. Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru darisesuatu
yang telah dimiliki.Indikator Keberhasilan Sekolah: Menciptakan situasi yang menumbuhkan
dayaberpikir dan bertindak kreatif. Indikator Keberhasilan Kelas: Menciptakan situasibelajar
yang bisa menumbuhkan daya pikir dan bertindak kreatif. Pemberian tugasyang menantang
munculnya karya-karya baru baik yang autentik maupun modifikasi.7.

Mandiri. Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalammenyelesaikan
tugas-tugas.Indikator Keberhasilan Sekolah: Menciptakan situasi sekolah yang
membangunkemandirian peserta didik. Indikator Keberhasilan Kelas: Menciptakan suasana
kelasyang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja mandiri.8.

Demokratis. Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dankewajiban dirinya
dan orang lain.Indikator Keberhasilan Sekolah: Melibatkan warga sekolah dalam setiap
pengambilankeputusan. Menciptakan suasana sekolah yang menerima perbedaan.
IndikatorKeberhasilan Kelas: Mengambil keputusan kelas secara bersama melalui
musyawarahdan mufakat. Pemilihan kepengurusan kelas secara terbuka.9.

Rasa Ingin Tahu. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebihmendalam
dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.Indikator Keberhasilan
Sekolah: Menyediakan media komunikasi atau informasi(media cetak atau media elektronik)
untuk berekspresi bagi warga sekolah.Memfasilitasi warga sekolah untuk bereksplorasi dalam
pendidikan, ilmu

pengetahuan, teknologi, dan budaya. Indikator Keberhasilan Kelas: Menciptakansuasana kelas


yang mengundang rasa ingin tahu. Eksplorasi lingkungan secaraterprogram.10.

Semangat Kebangsaan. Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang


menempatkankepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya.Indikator Keberhasilan Sekolah:Melakukan upacara rutin sekolah. Melakukan
upacarahari-hari besar nasional. Menyelenggarakan peringatan hari kepahlawanan
nasional.Memiliki program melakukan kunjungan ke tempat bersejarah. Mengikuti lomba
padahari besar nasional. Indikator Keberhasilan Kelas: Bekerja sama dengan temansekelas yang
berbeda suku, etnis, status sosial-ekonomi. Mendiskusikan hari-haribesar nasional.

PRAKTEK PENDIDIKAN MULTICULTURAL DI INDONESIA

Sampai saat ini pendidikan multikultur di indonesia masih sebatas wacana dan
dalampenerapannya pun masih sangat terbatas di beberapa sekolah, praktek pendidikan
multikulturdi indonesia sepertinnya belum bisa di terapkan seratus persen ideal seperti di negara
majulainnya karna berbagai macam faktor- faktor yang ada. Walaupun ketika ditinjau
darikeragaman budaya ada beberapa kemiripan. Hal itu desibabkan oleh sejarah
penyelenggarapendidikan yang banyak dilatarbelakangi oleh primordialisme. Misalnya,
pendidikan lembagapendidikan berdasar latar belakang agama, daerah, kelompok atau
perorangan.Prinsip fleksibilitas pendidikan multikultural juga disarankan oleh Gay (2002)
sebagaimanadikutip Zamroni ( 2011 : 150 ), dikatakan bahwa amat keliru kalau melaksanakan
pendidikanmultikultural harus dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah atau monolitik.
Sebaliknya,dia mengusulkan agar pendidikan multikultural diperlakukan sebagai pendekatan
untukmemajukan pendidikan secara utuh dan menyeluruh. Pendidikan multikultural juga
dapatdiberlakukan sebagai alat bantu untuk menjadikan warga masyarakat lebih memiliki
toleran,bersifat inklusif, dan memiliki jiwa kesetaraan dalam hidup bermasyarakat, serta
senantiasaberpendirian suatu masyarakat secara keseluruhan akan lebih baik, manakala siapa saja
wargamasyarakat memberikan kontribusi sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang
dimilikibagi masyarakat sebagai keutuhan.Bahkan Gay merekomendasikan agar pembelajaran
perlu memberi kesempatan bagi siswauntuk mempelajari bagaiman suatu kultur masyarakat bisa
berperan dalam upaya peningkatankemakmuran dan kesejahteraan bagi warganya.Dalam
pandangan Zamroni ( 2011 ), pendidikan multikultural diusulkan untuk dapatdijadikan
instrument rekayasa sosial lewat pendidikan formal, artinya institusi sekolah harusberperan
dalam menanamkan kesadaran hidup dalam masyarakat multikultural danmengembangkan sikap
tenggang rasa dan toleransi untuk mewujudkan kebutuhan sertakemampuan bekerjasama dengan
segala perbedaan yang ada.
Paradigma Pendidikan Multikultural
Dalam menghadapi masalah pluralisme budaya maka diperlukan paradigma baru yang
lebihtoleran dan elegan untuk mencegah dan memecahkan permasalahan budaya yang ada,
yaituparadigma pendidikan multikultural.Adapun bangunan paradigma pendidikan multikultural
yang ditawarkan Zamroni ( 2011 )adalah sebagai berikut :

1.

Pendidikan multikultural adalah jantung untuk menciptakan kesetaraanpendidikan bagi seluruh


warga masyarakat.2.

Pendidikan multikultural bukan sekedar perubahan kurikulum atau perubahan


metodepembelajaran.3.
Pendidikan multikultural mentransformasi kesadaran yang memberikan arah kemanatransformasi
praktik pendidikan harus menuju.4.

Pengalaman menunjukan bahwa upaya mempersempit kesenjangan pendidikan salaharah yang


justru menciptakan ketimpangan semakin membesar.Menurut James A. Banks ( 2002 : 14 ),
pendidikan multikultural adalah cara memandangrealitas dan cara berpikir, dan bukan hanya
konten tentang beragam kelompok etnis, ras, danbudaya. Secara spesifik, Banks menyatakan
bahwa pendidikan multikultural dapatdikonsepsikan atas lima dimensi, yaitu :1.

Integrasi konten ; pemaduan konten menangani sejauh mana guru menggunakancontoh dan
konten dari beragam budaya dan kelompok untuk menggambarkankonsep, prinsip, generalisasi
serta teori utama dalam bidang mata pelajaran ataudisiplin mereka.2.

Proses penyusunan pengetahuan; sesuatu yang berhubungan dengan sejauh mana gurumembantu
siswa paham, menyelidiki, dan untuk menentukan bagaimana asumsibudaya yang tersirat,
kerangka acuan, perspektif dan prasangka di dalam disiplinmempengaruhi cara pengetahuan
disusun di dalamnya.3.

Mengurangi prasangka; dimensi ini fokus pada karakteristik dari sikap rasial siswadan
bagaimana sikap tersebut dapat diubah dengan metode dan mater pengajaran.4.

Pedagogi kesetaraan; pedagogi kesetaraan ada ketika guru mengubah pengajaranmereka ke cara
yang akan memfasilitasi prestasi akademis dari siswa dari berbagaikelompok ras, budaya, dan
kelas sosial. Termasuk dalam pedagogi ini adalahpenggunaan beragam gaya mengajar yang
konsisten dengan banyaknya gaya belajardi dalam berbagai kelompok budaya dan ras.5.

Budaya sekolah dan struktur sekolah yang memberdayakan ; praktik pengelompokandan


penamaan partisipasi olah raga, prestasi yang tidak proporsional, dan interaksistaf, dan siswa
antar etnis dan ras adalah beberapa dari komponen budaya sekolahyang harus diteliti untuk
menciptakan budaya sekolah yang memberdayakan siswadari beragam kelompok, ras, etnis dan
budaya

Kasus Lombok Sebagai Komunitas Multikultural Pluralitas masyarakat Indonesia, tercermin dari
berbagai ragam budaya dan agama yang dipeluk termasuk beraneka-ragam suku, seperti
Suku Melayu, Suku Batak, Suku Jawa, Suku Sunda, Suku Madura, Suku Bugis, Suku Dayak,
dan sebagainya. Kondisi demikian ini memungkinkan mudah terjadinya konflik. Munculnya
bermacam-macam kasus kerusuhan, disinyalir karena tidak adanya pemahaman yang cukup
terhadap pluralitas budaya dan agama yang berperspektif multikultural. Sebaliknya, pemahaman
dan penafsiran agama yang bersifat monolitik cenderung memunculkan klaim kebenaran (truth
claim). Pandangan monolitik cenderung memunculkan sikap tidak memberi ruang bagi pemeluk
agama yang berbeda untuk mengakui kebenaran agama dan
budaya lain, termasuk local wisdom (kearifan lokal).9 Di Lombok hidup dan berkembang
beberapa agama, budaya dan keyakinan. Sebagai masyarakat multikultural, orang-orang Lombok
tersegmentasi atas kelompok-kelompok penganut agama yang berbeda yaitu Islam, Hindu,
Kristen, Budha, Katolik dan bahkan keyakinan local seperti Wetu Telu.
Dengan demikian, perbedaan ortodoksi dan ortopraksi dalam praktik8 Erni Budiwanti, Islam
Sasak; Wetu Telu Versus Waktu Lima (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 88.9 Ahmad Sodli,
“Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Masyarakat Multikultural di Kecamatan Lingsar, Lombok
Barat, NTB”, Jurnal Analisa 17, No. 2 (Juli-Desember, 2010), h. 188 268 | AL-‘ADALAH Vol.
14, Nomor 2, 2017 DOI: http://dx.doi.org/10.24042/adalah.v%vi%i.2138 keberagaman Islam
menjadi indikasi bahwa karakteristik Islam di Lombok di samping bersifat plural juga kompleks.
Pluralitas dan kompleksitas keberagamaan Islam semacam itu di Lombok hingga kini masih
sangat menonjol, meskipun misi modernisasi dakwah Islamiyah gencar dilakukan
terhadap masyarakat Sasak sebagaimana dinyatakan oleh Tuan Guru Zainal Arifin Munir sebagai
berikut: Meskipun upaya pembaruan Islam di Lombok sudah cukup lama dan gencar dilakukan
oleh para Tuan Guru selaku senior-senior kami, seperti TGH. M. Soleh Chambali, TGH.
Zainuddin Abdul Madjid dari Lombok Timur, TGH. Makmun dari Praya, Lombok Tengah,
TGH. Japar dan TGH. Abdul Hakim dari Lombok Barat, namun keragaman praktik-praktik
keagamaan orang Sasak di Lombok hingga kini masih cukup menonjol. Bukti-bukti
keragaman dan perbedaan itu, bukan hanya tampak pada praktik Islam Wetu Telu dengan Waktu
Lima, tetapi juga di antara kelompok Waktu Lima sendiri, seperti antara Muhammadiyah dan
Wahabiah dengan NU ataupun NW, dan bahkan di antara kelompok NW sendiri, juga belum
menunjukkan keseragaman; khususnya pada praktik membawa sesaji kekuburan pada hari-hari
raya Islam, dan pemujaan terhadap makhluk gaib atau roh untuk tujuan tertentu, sekalipun
praktik ini sudah lama dilarang dilakukan oleh umat Islam di pulau Lombok.10 Deskripsi
mengenai keragaman realitas umat Islam, baik di Lombok maupun di luar Lombok,
mengidentifikasikan bahwa di seluruh wilayah kepulauan ini pemahaman ajaran-ajaran Islam
sangat bervariasi dan hal tersebut mengakibatkan munculnya berbagai perbedaan dalam
interpretasi dan praktik beragama. Penyebaran agama Islam yang tidak merata dan pelestarian
kepercayaan-kepercayaan lokal dan zaman sebelum masuknya Islam atau pra-Islam yang
tertanam kuat dalam struktur lokal diduga menjadi faktor penting terhadap derajat
penerimaan dan pemahaman Islam yang berbeda-beda tersebut. Dengan demikian, pernyataan
Schwarz bahwa keberadaan kebanyakan komunitas Islam di Indonesia terdiri atas mereka yang
menganggap Islam hanyalah tambahan terakhir dari kantong-kantong tradisi kultural yang
campur aduk dapat dibenarkan.11 10 Wawancara penulis dengan TGH. Zainal Arifin Munir,
2007. 11 Adam Schwarz, A Nation in Waiting Indonesian in the 1990, h. 163. Masnun Tahir:
Menjadi Muslim di Negara Multikultural | 269 DOI: http://dx.doi.org/10.24042/adalah.v%vi
%i.2138Beragamnya praktik keberagaman umat Islam di Lombok, juga jelas terlihat bahkan
dalam lingkup satu komunitas. Dalam satu komuitas kecil
kerap dijumpai orang-orang Islam yang saleh dan taat kepada syari’ah dan rukun Islam, tetapi
ada juga Islam nominal yang tidak terlalu ketat menjalankan ritual-ritual Islam, seperti shalat,
puasa, membayar zakat, dan naik haji. Bagi kelompok yang disebut kedua, “Islam lebih
merupakan persyaratan legal daripada masalah keyakinan religius”. Senada dengan
realitas ini, Schwarz mengilustrasikan: Di sebagian besar tempat, Islam datang di kepulauan
Indonesia dengan damai, bukan dengan menaklukkan. Secara umum bisa dikatakan bahwa
Islam tidak menggantikan atau menghancurkan tradisi budaya yang sudah lama ada, utamanya
Hindu dan Buddha, tetapi disinkretiskan dengan tradisi tadi. Lagi pula para pedagang pembawa
Islam yang hamper semuanya menyebarkan ajaran dari mazhab Sufi Islam (Syafii) yang lebih
akomodatif terhadap tradisi lokal di banding ajaran Islam ortodoks dari Arab.12
Keanekaragaman di antara orang-orang Islam sendiri bukan hanya tampak nyata dalam
perpecahan ideologis, tetapi juga dalam praktikpraktik keberagamaan mereka, seperti terlihat
pada perpecahan antara golongan Islam modernis dan kelompok Islam tradisionalis atau
ortodoks,13 baik terjadi di Lombok sebagaimana tergambar di atas maupun di wilayah
Indonesia lainnya yang telah banyak diungkap oleh para sarjana, baik di luar maupun dalam
negeri. Secara ringkas, variasi sosial keagamaan masyarakat Sasak dapat
digambarkan sebagai berikut: 12 Adam Schwarz, A Nation in Waiting Indonesian in the 1990,
h.165–66.
13 Menurut Ricklefs bahwa muslim ortodoks adalah mereka yang di luar Alquran dan
hadis, mengakui ijma’ ulama’ dan qiyas. Sebaliknya, muslim modernis hanya mengakui Alquran
dan hadis sebagai satu-satunya dasar rujukan, tidak mempergunakan ijma’ ulama’ dan qiyas.
Menurut Ricklefs ijma’ ulama’ adalah konsensus dari para ahli agama Islam mengenai masalah
tertentu yang tidak secara tegas diatur dalam Alquran dan hadis. Qiyas adalah penafsiranAlquran
dan hadis yang dilakukan oleh para ahli agama Islam. Lihat M.C Ricklefs, “Six Centuries of
Islamzation in Java,” t.t. dalam Nehemia Levtzion (ed.), Conversion to Islam (New York:Holmes
and Mejer Publisher Inc, 1971), h. 100–128

KESIMPULAN/CONCLUSION
Pendidikan multikultural bukanlah sekadar konsep teoretis, melainkan suatu perjalanan
sepanjang sejarah manusia. Dari akar filosofis Yunani hingga tantangan dan peluang di era
global kontemporer, pendidikan multikultural terus berkembang sebagai respons terhadap
keberagaman dunia. Melalui pemahaman, dialog, dan pendekatan inklusif, kita dapat membentuk
masa depan pendidikan yang memelihara keberagaman sebagai kekuatan positif dalam
masyarakat global.

Pendidikan multikultural bukan juga hanya sekadar suatu konsep modern, tetapi merupakan hasil
dari evolusi pemikiran manusia sepanjang sejarah. Jejak sejarah ini mengilhami kita untuk terus
memperjuangkan pendidikan yang inklusif, menghormati keberagaman, dan menciptakan
lingkungan belajar yang mendorong dialog antarbudaya.
Dalam era globalisasi ini, pendidikan multikultural menjadi semakin penting untuk
mempersiapkan generasi muda menghadapi kompleksitas masyarakat yang beragam. Artikel ini
menyoroti bahwa pendekatan multikultural dalam pendidikan bukan hanya tentang pengenalan
terhadap berbagai budaya, tetapi juga tentang membangun pemahaman, penghargaan, dan
keterampilan yang mendorong kerjasama lintas budaya.

Pentingnya memasukkan elemen multikultural dalam kurikulum dan metode pengajaran tidak
hanya menciptakan lingkungan belajar yang inklusif tetapi juga membantu siswa
mengembangkan pemikiran kritis dan toleransi. Pendidikan multikultural berperan dalam
membentuk sikap positif terhadap keberagaman, mengurangi prasangka, dan mendorong
keterlibatan aktif dalam masyarakat global.
Namun, tantangan masih ada dalam implementasi pendidikan multikultural, seperti kurangnya
sumber daya, resistensi budaya, dan ketidaksetaraan akses pendidikan. Artikel ini menegaskan
perlunya dukungan penuh dari pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat untuk
menciptakan lingkungan belajar yang benar-benar multikultural.

Dengan mengakhiri artikel ini, dapat disimpulkan bahwa pendidikan multikultural bukan hanya
konsep ideal, tetapi suatu kebutuhan mendesak dalam membentuk individu yang siap
menghadapi dunia yang semakin terhubung dan beragam

DAFTAR PUSTAKA/REFERENCES
Banks, J. A. (2009). An introduction to multicultural education. Allyn & Bacon.

Nieto, S. (2000). Affirming diversity: The sociopolitical context of multicultural education.


Longman.

Sleeter, C. E., & Grant, C. A. (1999). Making choices for multicultural education: Five
approaches to race, class, and gender. John Wiley & Sons.
Azizi, Qodri. 2002. Pendidikan (Agama)untuk Membangun Etika Sosial: Mendidik Anak Sukses
Masa Depan Pandai dan Bermanfaat. Semarang. Aneka Ilmu.

Azra, Azyumardi. 2005. “Pendidikan Agama: Membangun Multikulturalisme Indonesia”


Pengantar dalam Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta:
Erlangga.

Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1996. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.

Hans Wehr. 1980. Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah. Beirut: Maktabat Lubnan.

Huwaidi, Fahmi. 1996. Al-Muftarun: Khitab al-Tatharruf al-‘Ilmani fi al-Mizan. Beirut: Dar al-
Syuruq.

Kymlica, Will. 2000. Multicultural Citizenship. NY.: Clarendon Press.

Madjid, Nurcholis. 1992. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.

Mahfud, Choirul. 2009.Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mahmud, ‘Ali Abd al-Halim. 1994. Al-Taraju’ al-Hadlari fi al-‘Alam al-Islami Mesir: Dar al-
Wafa`.

Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah Mesir. 1990. Al-Mu’jam al-Washith. Istanbul: Dar al-Da’wah.

Moeleong, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya.


Matsumoto, David. 2000. Culture and Psychology People Around The World. USA: Wadsworth.

Mubaarakfuri-al, Shafiyy al-Rahman. 2004. Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad:
Dari Kelahiran Hingga Detik-detik Terakhir, terjemahan Hanif Yahya, Tt: Darussalam.

Muhaimin. 2001. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: PT. Remaja

Nata, Abudin. 2001. Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.

Rossidy ,Imron. 2009. Pendidikan Berparadigma Inklusif, Malang, UIN Malang Press.

Ross, Marc Howard. 1993. The Culture of Conflict: Interpretations and Interest in Comparative
Perspective.US.: Yale University Pres.

Setyosari , Punaji. 2013. Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan, Jakarta:Kencana,

Sugiyono, 2012, Metode Penelitian kuantitatif, Kualitatif dan RD, Bandung: Alfabeta.

Al-Syarif, A.R. Shadiq. 1995. Jughrafiya al-Mamlakah al-'Arabiyyah al-Su'udiyyah. Riyadl: Dar
al-Marikh.

Tuckman, Bruce W. 1999. Conducting Educational Research, New York: Harcourt Brace
Collage.

Triandis, Harry C. 1994. Culture and Social Behavior. New York: McGraw-Hill Inc.

Usa, Muslih dan Aden Wijdan (Penyunting). 1997. Pendidikan Islam dalam Peradaban
Industrial. Yogyakarta: Aditya Media.

Watson, Brenda. 1993. The Efective Teaching of Religious Education. London New York:
Longman.

Hernandez, Hilda. 1989. Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process,
and Contents. New Jersey & Ohio: Prentise Hall.

Semoga referensi ini bermanfaat untuk penelitian atau pemahaman lebih lanjut tentang
perkembangan pendidikan multikultural. Jangan ragu untuk bertanya jika Anda memiliki
pertanyaan lebih lanjut! (Times New Roman size 12, spasi 1,5)

KELOMPOK 2
- IRSYA DIANA (202369080005)
- RIF’AH HISBIYAH (202369080014)
- NUR LAILI FITRIYAH ( 202369080013)
- ANDRA SHAUMA (202369080029)

You might also like