You are on page 1of 23

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN ABDOMINAL PAIN


DENGAN APENDISITIS

OLEH :
NI PUTU NUR ADIANA DEWI (P07120320020)
PROFESI NERS
KELAS A

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
PROFESI NERS
2020
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN ABDOMINAL PAIN
DENGAN APENDISITIS

A. PENGERTIAN
Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm
(94 inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks berisi
makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena
pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil, appendiks cenderung menjadi
tersumbat dan rentan terhadap infeksi. (Smeltzer, 2002).
Apendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen
oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi
lumen merupakan penyebab utama Apendisitis. Erosi membran mukosa
appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris
trichiura, dan Enterobius vermikularis (Ovedolf, 2006).
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena struktur
yang terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk berkumpul
dan multiplikasi (Chang, 2010)
Apendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam
kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan
laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak
terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh peritonitis dan shock
ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur. (Aru W, Sudoyo, dkk. 2010).
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa apendisitis adalah sudah kondisi
terjadinya obstruksi pada apendiks seseorang sehingga meningkatkan resiko
terjadinya infeksi dan dapat beresiko tinggi apabila tidak segera ditangani dengan
tepat.
B. ETIOLOGI
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor
prediposisi yaitu:
a) Faktor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini
terjadi karena:
1) Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
2) Adanya faekolit dalam lumen appendiks
3) Adanya benda asing seperti biji-bijian
4) Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
b) Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan Streptococcus
c) Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun
(remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid
pada masa tersebut.
d) Tergantung pada bentuk apendiks:
1) Appendik yang terlalu panjang
2) Massa appendiks yang pendek
3) Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
4) Kelainan katup di pangkal appendiks (Nuzulul, 2009)

C. MANIFESTASI KLINIS
a. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam ringan,
mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
b. Nyeri tekan lokal pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
c. Nyeri tekan lepas dijumpai.
d. Terdapat konstipasi atau diare.
e. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
f. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
g. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih atau
ureter.
h. Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung pelvis.
i. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
j. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai abdomen
terjadi akibat ileus paralitik.
k. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi. Pasien
mungkin tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.

Nama pemeriksaan Tanda dan gejala


Rovsing’s sign Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan pada kuadran
kiri bawah dan timbul nyeri pada sisi kanan.
Psoas sign atau Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian dilakukan
Obraztsova’s sign ekstensi dari panggul kanan. Positif jika timbul nyeri pada
kanan bawah.
Obturator sign Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan dilakukan rotasi
internal pada panggul. Positif jika timbul nyeri pada
hipogastrium atau vagina.
Dunphy’s sign Pertambahan nyeri pada tertis kanan bawah dengan batuk
Ten Horn sign Nyeri yang timbul saat dilakukan traksi lembut pada korda
spermatic kanan
Kocher (Kosher)’s sign Nyeri pada awalnya pada daerah epigastrium atau sekitar
pusat, kemudian berpindah ke kuadran kanan bawah.
Sitkovskiy (Rosenstein)’s Nyeri yang semakin bertambah pada perut kuadran kanan
sign bawah saat pasien dibaringkan pada sisi kiri
Aure-Rozanova’s sign Bertambahnya nyeri dengan jari pada petit triangle kanan
(akan positif Shchetkin-Bloomberg’s sign)
Blumberg sign Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kanan
bawah kemudian dilepaskan tiba-tiba

Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat
dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika
meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut.
1) Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum
(terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan
tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau
nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam,
batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor
yang menegang dari dorsal.
2) Bila apendiks terletak di rongga pelvis
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala
dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare). Bila
apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi
peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.

D. KLASIFIKASI
a. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut
pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh
proses infeksi dari apendiks.
Penyebab obstruksi dapat berupa :
1) Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
2) Fekalit
3) Benda asing
4) Tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang diproduksi
tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra
luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.
Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks
sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada
dinding apendiks. Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh
penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara
hematogen ke apendiks.
b. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan
trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks.
Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks
menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi
eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema,
hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai
dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik
Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan
defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda
peritonitis umum.
c. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua
syarat, yaitu riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang
kronik apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan
menghilang satelah apendektomi. Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik
adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total
lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan
infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik antara 1-5 persen.
d. Apendisitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil
patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn
apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak
pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut.
Resiko untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis
rekurens biasanya dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik.
Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering
penderita datang dalam serangan akut.
e) Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin
akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa
jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi.
Walaupun jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang
dicurigai bisa menjadi ganas. Penderita sering datang dengan eluhan ringan
berupa rasa tidak enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa
memanjang di regio iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul
tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah apendiktomi.
f) Tumor Apendiks/Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu
apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke
limfonodi regional, dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan memberi
harapan hidup yang jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi.
g) Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang didiagnosis
prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan patologi atas
spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut. Sindrom
karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak napas
karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6%
kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang
menyebabkan gejala tersebut di atas.

E. PATOFISIOLOGI
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut
makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat
tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis
bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi terjadi apendisitis akut fokal
yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan
akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema
bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas
dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan
bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian
aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang
telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses di atas
berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah
apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis.
Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-
anak, karena omentum lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding apendiks
lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih
kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi
mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2007) .
Pathway Factor risiko penyebab obstruksi
- Adanya fecalith (batu feses)
- Adanya benda asing
- Hyperplasia jaringan limfoid
- Kuman dari colon

Obstruksi pada appendiks

Bendungan mucus

Mempengaruhi pusat
Penekanan dinding Infeksi bakteri ulserasi
appendiks pengaturan suhu:
hipotalamus anterior

Berisi pus (nanah)


Aliran limfe
terganggu
Respon demam

Gangguan aliran vena Gangguan aliran arteri


Edema pada
dinding appediks

Peradangan ke peritoneum Suplai O2 ke appendiks


Hipertermi

Merangsang
nervus X
Gangguan perfusi
Impula yang dihantarkan pada apendiks
ke pusat nyeri korteks
otak (di SSP)
Hipersekresi gaster
Nekrosis pada
jaringan appendiks
Diproses di pusat
nyeri di talamus

Nausea
Apendiks perforasi
Impuls dikembalikan ke Ansietas
perifer dalam bentuk
persepsi nyeri
Tindakan bedah /
Mual muntah operasi

Nyeri pada perut


bagian kuadran Kondisi luka basah,
kanan bawah luka insisi meregang Nyeri akut

Nyeri akut Infeksi oleh bakteri


Risiko infeksi
pada luka operasi
F. KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan apendisitis. Faktor
keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita
meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan
diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat
melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka
morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi apendisitis 10-32%, paling sering
pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah
2 tahun dan 40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada
anak-anak dan orang tua.43 Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih
tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempurna memudahkan
terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh darah.
Adapun jenis komplikasi diantaranya:
- Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak
di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa
flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini
terjadi bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum
- Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama
sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat
diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul
lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri
tekan seluruh perut, dan leukositosis terutamapolymorphonuclear (PMN).
Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat
menyebabkan peritonitis.
- Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar
luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum.
Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang,
dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin
hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-
18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP
ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen
protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses
inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka
sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
b) Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography
Scanning(CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang
pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada
pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan
perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran
sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan
spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat
akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-
100% dan 96-97%.
c) Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan
infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
d) Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa
peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
e) Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa
adanya kemungkinan kehamilan.
f) Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan
Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk
kemungkinan karsinoma colon.
g) Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis,
tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan
obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.

H. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi.
a) Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik.
Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita
Apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan
elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik
b) Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan
yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi).
Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan
abses dan perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan
nanah).
c) Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi
yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah
infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi
maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca
appendektomi diperlukan perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan
lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
GAWAT DARURAT PADA PASIEN ABDOMINAL PAIN
DENGAN KASUS APENDIKSITIS

A. PENGKAJIAN
1. Identitas
Meliputi data klien yang mencangkup nama, umur, pendidikan, jenis kelamin,
nomor register, diagnosa, pekerjaan, agama dan suku bangsa, tanggal atau
jam masuk rumah sakit,
2. Riwayat penyakit sekarang
Klien dengan pre dan post op apendisitis biasanya memiliki keluhan adanya
nyeri.
3. Riwayat penyakit dahulu
Untuk mengetahui penyakit apa yang pernah diderita oleh klien seperti
memiliki hipertensi, atau memiliki riwayat tindakan operasi abdomen yang
lalu
4. Riwayat penyakit keluarga
Adakah dalam keluarga yang pernah menderita penyakit diabetes mellitus dan
hipertensi, serta penyakit kronis lainnya.
5. Kaji nyeri
Perhatikan sifat, progrsivitas dan lokasi nyeri. Biasanya, nyeri yang berlahan-
lahan karakteristik untuk peradangan. Nyeri pada apendisitis adalah termasuk
nyeri primer atau nyeri viseral dimana nyeri yang berasal dari organ itu
sendiri artinya dapat terlokalisir. Nyerinya seperti kram dan gas, nyeri ini
makin intens kemudian berkurang. Pengakjian nyeri dengan menggunakan
PQRST yaitu :
 P (Provoing incident) :Pengkajian untuk mengidentifikasi factor yang
menjadi predisposisi nyeri.
 Q (Quality of pain) :Pengkajian untuk mengetahui bagaimana rasa
nyeri dirasakan secara subjektif
 R (Region) :Pengkajian untuk mengidentifikasi letak nyeri
secara tepat
 S (Severity/Scale) of pain :Pengkajian untuk mementukan skala dari
rasa nyeri yang dirasakan.
 T (Time) :Pengkajian untuk mendeteksi waktu berapa
lama nyeri berlangsung.
6. Kaji adanya vomitus, anoreksia, nausea.
7. Kaji adanya diare, karena biasanya diare menyertai apendisitis.
8. Kaji adanya demam (pada pasien peradangan intra abdomen).
9. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan
memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut
tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada
penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah
bisa dilihat pada massa atau abses appendiculer
b. Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda
peritonitis lokal yaitu:
 Nyeri tekan di Mc. Burney.
 Nyeri lepas.
 Defans muscular lokal. Defans muscular menunjukkan adanya
rangsangan peritoneum parietal. Pada appendix letak
retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada
nyeri pinggang .
Tanda-tanda khas yang didapatkan pada palpasi appendicitis yaitu:
 Nyeri tekan (+) Mc.Burney
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah
atau titik Mc Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis

 Nyeri lepas (+)


Rebound tenderness (nyeri lepas tekan ) adalah rasa nyeri yang
hebat (dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan
bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya
dilakukan penekanan yang perlahan dan dalam di titik Mc Burney.
 Defens musculer (+)
Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen
yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
 Rovsing sign (+)
Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah,
apabila kita melakukan penekanan pada abdomen bagian kiri
bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya tekanan yang merangsang
peristaltik dan udara usus, sehingga menggerakan peritoneum
sekitar appendix yang meradang sehingga nyeri dijalarkan karena
iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan (somatik pain)
 Psoas sign (+)
Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh
peradangan yang terjadi pada apendiks
Ada 2 cara memeriksa :
- Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan
pemeriksa, pasien memfleksikan articulatio coxae kanan
maka akan terjadi nyeri perut kanan bawah.
- Pasif : Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan
pemeriksa, nyeri perut kanan bawah
 Obturator Sign (+)
Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan
lutut difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar
(endorotasi articulatio coxae) secara pasif, hal tersebut
menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah
hypogastrium
c. Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus
paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendicitis perforata
10. Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis,
untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika
saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan
apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini
merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika.
11. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga dilakukan
untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan
dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau
fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila
appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan
tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan
gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila
apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang
merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan
nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika.
12. AMPLE
Allergy : ada alergi/tidak
Medication : ada medikasi sebelumnya/tidak
Past Medical History : ada riwayat penyakit/tidak
Last Meal : ada makan terakhir/tidak
Event : lingkungan yang berhubungan dengan
kejadian

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pre Operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (inflamasi)
2. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit
3. Risiko defisit nutrisi dibuktikan dengan ketidakmampuan mencerna makanan
4. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional
Post Operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi)
2. Resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif
C. RENCANA KEPERAWATAN
Pre Operasi
NO DIAGNOSA STANDAR LUARAN (SLKI) STANDAR INTERVENSI
KEPERAWATAN (SIKI)
1 Nyeri akut Setelah dilakukan intervensi 1. Manajemen Nyeri
berhubungan dengan keperawatan selama … x 24 jam maka a. Identifikasi lokasi,
Tingkat Nyeri menurun dan Kontrol
agen pencedera karakteristik, durasi,
Nyeri Meningkat dengan kriteria hasil:
fisiologis (inflamasi) frekuensi, kualitas,
1. Tingkat Nyeri (L.08066)
intensitas nyeri
a. Keluhan nyeri menurun (5)
b. Identifikasi skala nyeri
b. Meringis menurun (5)
c. Identifikasi respons
c. Gelisah menurun (5)
nyeri non verbal
d. Frekuensi nadi membaik (5)
d. Berikan teknik non-
e. Pola napas membaik (5)
farmakologis untuk
f. Tekanan darah membaik (5)
mengurangi nyeri
e. Fasilitasi istirahat dan
2. Kontrol Nyeri (L.08063)
tidur
a. Melaporkan nyeri terkontrol
f. Kolaborasi pemberian
meningkat (5)
analgesic jika perlu
b. Kemampuan mengenali onset
nyeri meningkat (5)
2. Pemberian Analgesik
c. Kemampuan mengenali
a. Identifikasi
penyebab nyeri meningkat (5)
karakteristik nyeri (mis.
d. Kemampuan menggunakan
Pencetus, pereda,
teknik non-farmakologis
kualitas, lokasi,
meningkat (5)
intensitas, frekuensi,
e. Keluhan nyeri menurun (5) durasi)
f. Penggunaan analgesic b. Identifikasi riwayat
menurun (5) alergi obat
c. Monitor tanda-tanda
vital sebelum dan
sesudah pemberian
analgetik
d. Dokumentasikan
respons terhadap efek
analgesic dan efek yang
tidak diinginkan
e. Jelaskan efek terapi dan
efek samping obat
f. Kolaborasi pemberian
dosis dan jenis
analgesic, sesuai
indikasi
2 Hipertermia Setelah dilakukan intervensi Manajemen Hipertermia
berhubungan dengan keperawatan selama … x 24 jam maka
Termoregulasi membaik dengan 1. Identifikasi penyebab
proses penyakit
kriteria hasil: hipertermia
1. Menggigil menurun (1) 2. Monitor suhu tubuh
2. Pucat menurun (1) 3. Longgarkan atau lepaskan
3. Suhu tubuh membaik (5)
pakaian
4. Suhu kulit membaik (5)
4. Berikan cairan oral
5. Lakukan pendinginan
eksternal (mis. Selimut
hipotermia atau kompres
dingin pada dahi, leher,
dada, abdomen, aksila)
6. Anjurkan tirah baring
7. Kolaborasi pemberian
cairan intravena dan
elektrolit

3 Risiko defisit Setelah diberikan intervensi Manajemen Nutrisi


nutrisi dibuktikan keperawatan selama …. x 24 jam 1. Identifikasi status nutrisi
dengan maka Status Nutrisi membaik dengan 2. Identifikasi alergi dan
ketidakmampuan kriteria hasil: intoleransi makanan
mencerna 1. Porsi makanan yang dihabiskan 3. Monitor asupan makanan
makanan meningkat (5) 4. Berikan makanan tinggi
2. Nyeri abdomen menurun (5) serat untuk mencegah
3. Berat badan membaik (5) konstipasi
4. Frekuensi makan membaik (5) 5. Kolaborasi dengan ahli gizi
5. Nafsu makan membaik (5) untuk menentukan jumlah
kalori danjenis nutrien yang
dibutuhkan
4 Ansietas Setelah diberikan intervensi Reduksi Ansietas
berhubungan keperawatan selama …… x 24 jam
1. Monitor tanda-
dengan krisis maka Tingkat Ansietas menurun
tanda ansietas
situasional dengan kriteria hasil:
2. Ciptakan suasana terapeutik
6. Perilaku tegang menurun (5)
untuk menumbuhkan
7. Frekuensi nadi cukup menurun
kepercayaan
(4)
3. Temani pasien untuk
8. Tekanan darah menurun (5)
mengurangi kecemasan,
9. Konsentrasi membaik (5)
jika memungkinkan
4. Pahami situasi yang
membuat ansietas
5. Gunakan pendekatan
yangtenang dan
meyakinkan
6. Anjurkan keluargauntuk
tetap bersama pasien, jika
perlu
7. Latih teknik relaksasi

Post Operasi
NO DIAGNOSA STANDAR LUARAN (SLKI) STANDAR INTERVENSI
KEPERAWATAN (SIKI)
1 Nyeri akut Setelah dilakukan intervensi 1. Manajemen Nyeri
berhubungan dengan keperawatan selama … x 24 jam maka g. Identifikasi lokasi,
Tingkat Nyeri menurun dan Kontrol
agen pencedera fisik karakteristik, durasi,
Nyeri Meningkat dengan kriteria hasil:
(prosedur operasi) frekuensi, kualitas,
1. Tingkat Nyeri
intensitas nyeri
g. Keluhan nyeri menurun (5)
h. Identifikasi skala nyeri
h. Meringis menurun (5)
i. Identifikasi respons
i. Gelisah menurun (5)
nyeri non verbal
j. Frekuensi nadi membaik (5)
j. Berikan teknik non-
k. Pola napas membaik (5)
farmakologis untuk
l. Tekanan darah membaik (5)
mengurangi nyeri
k. Fasilitasi istirahat dan
2. Kontrol Nyeri
tidur
g. Melaporkan nyeri terkontrol
l. Kolaborasi pemberian
meningkat (5)
analgesic jika perlu
h. Kemampuan mengenali onset
2. Pemberian Analgesik
nyeri meningkat (5)
g. Identifikasi
i. Kemampuan mengenali
karakteristik nyeri (mis.
penyebab nyeri meningkat (5)
Pencetus, pereda,
j. Kemampuan menggunakan
kualitas, lokasi,
teknik non-farmakologis
intensitas, frekuensi,
meningkat (5)
durasi)
k. Keluhan nyeri menurun (5)
h. Identifikasi riwayat
l. Penggunaan analgesic
menurun (5) alergi obat
i. Monitor tanda-tanda
vital sebelum dan
sesudah pemberian
analgetik
j. Dokumentasikan
respons terhadap efek
analgesic dan efek yang
tidak diinginkan
k. Jelaskan efek terapi dan
efek samping obat
l. Kolaborasi pemberian
dosis dan jenis
analgesic, sesuai
indikasi
2 Resiko infeksi Setelah dilakukan intervensi Pencegahan Infeksi
dibuktikan dengan keperawatan selama … x 24 jam maka 1. Monitor tanda dan gejala
efek prosedur invasif Tingkat Infeksi menurun dengan infeksi local dan sistemik
kriteria hasil: 2. Batasi jumlah pengunjung
1. Kebersihan tangan meningkat (5) 3. Cuci tangan sebelum dan
2. Demam menurun (5) sesudah kontak dengan
3. Kemerahan menurun (5) pasien dan lingkungan
4. Nyeri menurun (5) pasien
5. Bengkak menurun (5) 4. Pertahankan teknik aseptic
6. Kadar sel darah putih membaik (5) pada pasien berisiko tinggi
5. Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
6. Ajarkan cara mencuci
tangan dengan benar
7. Ajarkan cara memeriksa
kondisi luka atau luka
operasi
8. Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
9. Anjurkan meningkatkan
asupan cairan

D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan
yang telah disusun pada tahap perencanaan.

E. EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau
tidak.
DAFTAR PUSTAKA

Dermawan D, Rahayuningsih. (2010). Keperawatan Medical Bedah: Sistem Pencernaan.


Gosyen Publishing: Yogyakarta
Djuantoro D. (2014). Mudah Mempelajari Patofisiologi, Edisi Keempat. Binarupa Aksara:
Pamulang – Tangerang Selatan
Doenges M, Moorhouse M, Geissler A, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, EGC: Jakarta
Kowalak, Welsh, Mayer. (2012). Buku Ajar: Patofisiologi. EGC: Jakarta
Nanda (2013) Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014, EGC Jakarta
Nugroho T. (2011). Asuhan Keperawatan. Nuha Medika: Yogyakarta
Williams L & Wilkins. (2014). Kapita Selekta Penyakit degan Implikasi Keperawatan, Edisi 2.
EGC: Jakarta
Williams L & Wilkins. (2011). Nursing: Memahami Berbagai Macam Penyakit. Indeks: Jakarta
Nasution (2013). Hubungan antara Jumlah Leukosit dengan Apendisitis Akut dan Apendisitis
Perforasi Di RSU dr.Soedarso Pontianak Tahun 2011. PS Pendidikan Dokter FK
Universitas Tanjungpura: Pontianak
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Kota Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Kota Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Kota Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat PPNI

You might also like