You are on page 1of 13

Volume X Nomor X, Bulan Tahun: h.

X – X E-ISSN: XXXX - XXXX

Lisensi Creative Commons Atribusi-NonCommercial 4.0 Internasional

Penerapan Ajaran Turut Serta dalam Pertanggungjawaban Pelaku Tindak


Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Masohi)
Elsa Rina Maya Toule 1, Julianus Edwin Latupeirissa2, Matheos Bastian Wattimena3
1,2,3
Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon, Indonesia.
: tekobastian@gmail.com1
: xxxxxxxxxxxxxxxx
Dikirim: Direvisi: Dipublikasi:
Info Artikel Abstract
Introductioan: Narcotics abuse is the use of narcotics not for medicinal
Keywords: purposes, which causes changes in physical and psychological functions and
Narcotics, application of the causes dependence without a prescription and without the supervision of a
teachings of participation, doctor. Meanwhile, narcotics illicit trafficking is any activity or series of
criminal liability activities carried out without rights or against the law which is determined as a
narcotics crime. One example of a case based on the decision of the Masohi
District Court Number 12/Pid.Sus/2020/PN Msh and Number
12/Pid.Sus/2020/PN Msh carried out by the two defendants named Trikarna
Lewenussa Alias Cetril and Rosihan Anwar Sahulau Alias Andri .
Purposes of the Research: This writing aims to apply the teachings of
participating in decisions in the Masohi District Court Decision
Methods of the Research: The type of legal research carried out is normative
juridical, with sources of legal material in the form of primary and secondary
legal materials. The problem approach is a statutory approach, a conceptual
approach and a case approach. The procedure for collecting legal materials is
done by first collecting primary legal materials and then linking them to
secondary legal materials. The processing and analysis of legal materials is
described qualitatively
Results / Findings / Novelty of the Research:
Narcotics abuse is the use of Narcotics for no purpose, which causes changes in
function and psychological treatment and causes physical dependence without
a prescription and without a doctor's supervision. Meanwhile, illicit drug
trafficking is any activity or desire carried out without rights or against the
law which is determined as a narcotics crime. One example of a case based on
the decision of the Masohi District Court Number 12/Pid.Sus/2020/PN Msh
and Number 12/Pid.Sus/2020/PN Msh carried out by the two defendants
named Trikarna Lewenussa Alias Cetril and Rosihan Anwar Sahulau Alias
Andri
Abstrak
Kata Kunci: Latar Belakang: Penyalahgunaan narkotika adalah penggunaan
Narkotika, Penerapan ajaran narkotika bukan untuk tujuan pengobatan, yang menimbulkan
turut serta, perubahan fungsi fisik dan psikis serta menimbulkan ketergantungan
pertanggungjawzban pidana tanpa resep dan tanpa pengawasan dokter. Sedangkan peredaran gelap
narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara tanpa haka tau melawan hukum yang ditetapkan
sebagai tindak pidana narkotika. Salah satu contoh kasus berdasarkan
putusan Pengadilan Negeri Masohi dengan Nomor
12/Pid.Sus/2020/PN Msh dan Nomor 12/Pid.Sus/2020/PN Msh yang
dilakukan oleh kedua Terdakwa yang bernama Trikarna Lewenussa
Alias Cetril dan Rosihan Anwar Sahulau Alias Andri.
Tujuan Penulisan/Penelitian: Penulisan ini bertujuan untuk penerapan

E-ISSN: XXXX-XXXX TATOHI Jurnal Ilmu H. X(X): X-X

1
ajaran turut serta dalam putusan dalam Putusan Pengadilan Negeri
Masohi
Metode Penulisan/Penelitian: Jenis penelitian hukum yang dilakukan
adalah secara yuridis normatif, dengan sumber bahan hukum berupa
bahan hukum primer dan sekunder. Pendekatan masalah berupa
pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan
pendekatan kasus. Prosedur pengumpulan bahan hukum yang
dilakukan adalah dengan mengumpulkan bahan hukum primer dahulu
lalu dikaitkan dengan bahan hukum sekunder. Pengolaan dan analisa
bahan hukum diuraikan secara kualitatif.
Hasil/Temuan Penulisan/Penelitian:
Penerapan ajaran turut serta dalam putusan dalam Putusan Pengadilan
Negeri Masohi khsusnya dalam putusan Pengadilan Negeri Masohi
dengan Nomor 12/Pid.Sus/2020/PN Msh dan 13/Pid.Sus/2020/PN
Msh belum dapat dilakukan dengan baik dimana majelis tidak
mempertimbangkan fakta persidangan yaitu keterangan para pelaku
(pelaku utama dan pelaku pembantu) sehingga majelis hakim dapat
menjatuhkan putusan yang berbeda antara pelaku utama dan pelaku
pembantu

1. Pendahuluan

Keberadaan narkotika tidak dilarang di Indonesia karena dalam praktek kesehatan


narkotika sendiri mempunyai banyak manfaat. Larangan di Indonesia adalah ketika narkotika itu
disalahgunakan oleh seseorang yang seharusnya tidak menggunakannya karena bisa memberikan
dampak negatif. Penyalahgunaan narkotika itu sendiri mempunyai dampak negatif yang sangat
luas baik secara psikis, ekonomi, sosial, budaya, bahkan pertahanan dan keamanan negara. Di era
globalisasi penyalahgunaan narkotika bukan lagi kejahatan tanpa korban, melainkan sudah
merupakan kejahatan yang sudah memakan banyak korban dan bencana berkepanjangan kepada
seluruh umat manusia.1
Narkotika merupakan jenis obat-obatan yang begitu dekat dengan kehidupan manusia.
Pada awalnya narkotika digunakan untuk kepentingan umat manusia khususnya pengobatan dan
pelayanaan kesehatan, namun seiring dengan perkembangan zaman narkotika digunakan untuk hal-
hal yang negatif. Dampak negatif narkotika jika di pergunakan secara sembarangan atau tidak
sesuai dengan aturan penggunaan dapat menghancurkan kehidupan si pemakai atau pengguna
secara perlahan-lahan. Hal ini dikarenakan narkotika memiliki efek ketergantungan yakni berupa
kecanduan yang akan dialami oleh pemakai atau pengguna. Mengingat dari bahayanya efek
penyalahgunaan untuk mengaturnya.2 Diawali dengan upaya Liga Bangsa Bangsa pada tahun
1909 di Shanghai, Cina, telah diselenggarakan konferensi mengenai perdagangan gelap obat bius,
selanjutnya pada persidangan komisi opium (opium commision) telah dihasilkan traktat pertama
mengenai pengawasan pertama obat bius, yaitu Konvensi Internasional tentang opium
(Internasional opium converention) di Den Haag pada tahun 1912. Dibawah naungan
Perserikatan Bangsa Bangsa juga dihasilkan beberapa konvensi seperti Konvensi Tunggal
Narkotika 1961 (Single Convention on Narcotic Drug) di New York, Amerika Serikat tanggal 30
Maret 1961 dan telah diubah dengan perubahan tentang Perubahan Konvensi Tunggal Narkotika
1961 (Protocol Amending the Single Convention on Narcotic Drug, 1961) dan Konvensi
1
Badan Narkotika Nasional,2011, pedoman pencegahan penyalahgunaan narkoba bagi pemuda,Jakarta: Badan
Narkotika Nasional Republik Indonesia, hlm.4.
2
Denny Latumaerissa,“Studi Tentang Pemberian Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana Narkotika Pada LAPAS Klas
IIA Ambon”, Jurnal Sasi Vol.23 No.1 Bulan Januari – Juni 2017,
https://fhukum.unpatti.ac.id/jurnal/sasi/article/view/160/72

E-ISSN: XXXX-XXXX TATOHI Jurnal Ilmu H. X(X): X-X

2
Psikotropika 1971 (Convention on Psychotropic Substances, 1971) di Wina, Asturia pada tanggal
25 Maret 1972 dan terakhir Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan
Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 (United Nation Convention Againts Illicit
Traffic in Narcotic Drug and Psychotropic, 1988) 3
Di Indonesia hukum yang mengatur tentang Narkotika diawali dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1976. Namun, seiring perkembangan zaman Undang-Undang tersebut diganti
dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 yang kemudian diperbaharui lagi menjadi
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.
Menurut pasal 28H (1) Undang Undang Dasar 1945 “setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Rakyat Indonesia tentunya behak untuk
mendapatkan tempat tinggal dan mendapatkan lingkungan yang tidak terdapat narkotika.
Sebagaimana kita ketahui, narkotika dapat membuat kecanduan dan merusak tubuh serta
merusak kehidupan seorang manusia. Kehidupan manusia harus bersih dan bebas dari hal- hal
yang membuat kesehatan terganggu.
Kemudian diterjemahkan ke dalam Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang narkotika
yang mengatur, mengawasi dan menindak peredaran dan penyalahgunaan narkotika. Narkotika
adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun
semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri, serta menimbulkan ketergantungan. Guna
menanggulangi masalah tindak pidana narkotika, pemerintah membentung Undang-Undang No.
35 Tahun 2009 tentang narkotika sebagai pengganti Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang
narkotika. Pengaturan narkotika berdasarkan Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang
narkotika antara lain bertujuan untuk :
1. Mencegah, melindungi dan menyelamatkan Bangsa Indonesia dari penyalahgunaan
narkotika,
2. Memberantas peredaran gelap narkotika.

Berdasarkan tujuan lahirnya Undang-Undang narkotika tersebut, setidaknya ada dua


jenis perbuatan yang menjadi fokus dari pemberantasan tindak pidana narkotika yaitu,
penyalahgunaan narkotika dan peredaran gelap narkotika. Penyalahgunaan narkotika adalah
penggunaan narkotika bukan untuk tujuan pengobatan, yang menimbulkan perubahan fungsi
fisik dan psikis serta menimbulkan ketergantungan tanpa resep dan tanpa pengawasan dokter.
Sedangkan peredaran gelap narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara tanpa haka tau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana
narkotika.
Salah satu contoh kasus berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Masohi dengan Nomor
12/Pid.Sus/2020/PN Msh dan Nomor 12/Pid.Sus/2020/PN Msh yang dilakukan oleh kedua
Terdakwa yang bernama Trikarna Lewenussa Alias Cetril dan Rosihan Anwar Sahulau Alias
Andri. Kedua terdakwa turut serta secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana
“tanpa hak menanam, memelihara, memiliki, menyimpan menguasai atau menyediakan
Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman”.
Kedua Terdakwa terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana “Menanam
Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman” sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan
alternatif pertama Pasal 111 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika Junto Pasal 55
KUHP.

2. Metode Penelitian
3
H.Siswanto S,2012, politik hukum dalam Undang Undang Narkotika (Undang Undang Nomor 35 tahun 2009), PT
Rineka Cipta, Jakarta, hlm.44.

E-ISSN: XXXX-XXXX TATOHI Jurnal Ilmu H. X(X): X-X

3
Jenis penelitian hukum yang dilakukan adalah secara yuridis normatif, dengan sumber bahan
hukum berupa bahan hukum primer dan sekunder. Pendekatan masalah berupa pendekatan
perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Prosedur pengumpulan
bahan hukum yang dilakukan adalah dengan mengumpulkan bahan hukum primer dahulu lalu
dikaitkan dengan bahan hukum sekunder. Pengolaan dan analisa bahan hukum diuraikan secara
kualitatif.

3. Hasil Dan Pembahasan

3.1.1 Ajaran Turut Serta Dalam Hukum Pidana

Pada umumnya harus diakui bahwa dalam suatu tindak pidana terkadang perbuatan yang
dilakukan tidak hanya oleh seorang tetapi juga tersangkut juga beberapa orang. Karena itu
yang menjadi persoalannya adalah bagaimana hubungan antara para pelaku terhadap tindak
pidana yang terjadi atau yang dilakukan itu. Satochid mengemukakan beberapa bentuk pelaku,
yakni
1. Beberapa orang bersama-sama melakukan suatu tindak pidana;
2. Mungkin hanya seorang saja yang mempunyai “kehendak” dan “merencanakan” tindak
pidana, akan tetapi tindak pidana tersebut tidak dilakukan sendirian, tetapi
mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut;
3. Dapat juga terjadi bahwa seorang saja yang melakukan tindak pidana, sedangkan yang
lainnya hanya “membantu” orang itu untuk melaksanakan tindak pidana.4

Terhadap pandangan yang pertama, terdapat beberapa alasan bahwa penyertaan di pandang
sebagai pesoalan pertanggungjawaban pidana, dan kareannya pernyertaan bukan suatu delik,
sebab bentuknya tidak sempurna. Sebaliknya pandangan kedua memiliki alasan bahwa
penyertaan merupakan dasar untuk memperluas dapat dipidananya perbuatan, mengingat
penyertaan dipandang sebagai bentuk khusus dari tindak pidana, oleh sebab itu penyertaan
juga merupakan tindak pidana karena merupakan bentuk-bentuk istimewa. Untuk memahami
apa yang dimaksudkan terakhir di atas, maka selanjutnya akan dijelaskan arti, makna dan
tujuan dari ajaran turutserta ini, dan bagaimana penerapannya dalam tindak pidana yang di
lakukan oleh beberapa orang. Jika ditelusuri doktrin hukum pidana selama ini, menurut
sifatnya ajaran turutserta atau deelneming atau daderschap memiliki 2 bentuk, yakni :
1. Bentuk deelneming yang berdiri sendiri; dan
2. Bentuk deelneming yang tidak berdiri sendiri.

Pada bentuk yang pertama, pertanggungjawaban dari masing-masing pelaku atau peserta
berdiri sendiri-sendiri, sedangkan pada bentuk yang kedua pertanggungjawaban dari tiap
pelaku atau peserta digantungkan hanya pada perbuatan peserta lainnya. Artinya, jika
perbuatan dilakukan oleh seseorang, dan karena perbuatan itu ia dapat dan atau beralasasn di
pidana, maka pelaku atau peserta lainnya juga dapat di pidana. Persoalan selanjutnya adalah
bagaimana sikap KUHP Indonesia terhadap ajaran turutserta atau deelneming ini ? Jika
dipahami KUHP kita, ternyata tidak dibedakan antara deelneming yang berdiri sendiri dengan
deelneming yang tidak berdiri sendiri, hanya saja dalam KUHP Indonesia dirinci :
1.Pelaku (dader)

Pelaku (dader) yang dimaksudkan di sini adalah pelaku sebagaimana dirumuskan dalam
pasal 55 KUHP, yakni :
4
Satochid, Bahan Kuliah Hukum Pidana Bagian, Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun, hal. 497

E-ISSN: XXXX-XXXX TATOHI Jurnal Ilmu H. X(X): X-X

4
(1) Dihukum sebagai pelaku dari perbuatan yang dapat di hukum :
1. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turutserta melakukan
perbuatan itu;
2. Orang yang dengan pemberian uang, janji-janji, menyalahgunakan kekuasaan,
kedudukan, paksaan, ancaman atau tipuan atau memberikan kesempatan,
ikhtiar atau keterangan, dengan sengaja membujuk supaya perbuatan itu
dilakukan.
3. Adapun tentang orang tersebut dapat sub 2 itu, yang boleh
dipertanggungjawbkan kepadanya hanyalah perbuatan-perbuatan yang sengaja
di bujuk oleh mereka itu serta akibat perbuatan itu.
Jika dipahami isi pasal 55 KUHP di atas, sebenarnya yang disebut sebagai
pelaku (dader) adalah:
a) Orang yang melakukan (pleger)
b) Orang yang menyuruh melakukan (doenpleger)
c) Orang yang membantu melakukan atau turutserta (medepleger); dan
d) Orang memberi upah, janji-janji atau sengaja membujuk (uitloker).
4. Membantu melakukan (medeplechte).
Selanjutnya yang disebut membantu melakukan, pasal 56 antara lain menegaskan :
a) Orang yang dengan sengaja membantu waktu kejahatan itu dilakukan;
b) Orang yang dengan sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk
melakukan kejahatan itu.
Di sini yang termasuk pelaku adalah pembantu atau medeplichtige yang meliputi :
a) Pembantuan pada saat kejahatan di lakukan; dan
b) Pembantuan sebelum kejahatan di lakukan.
Khususnya terhadap pelaku (dader) sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 KUHP,
terdapat dua pandangan yakni :
(a) Pandangan yang melihat pelaku (dader) dalam arti luas (extensif), di mana mereka
yang disebutkan dalam pasal 55 KUHP adalah pembuat;
(b) Pandangan dalam arti sempit (restrictief), di mana pelaku hanya orang yang
melakukan sendiri perbuatan yang sesuai dengan rumusan tindak pidana. Dengan kata
lain, hanya pembuat materiil saja.
Berkaitan dengan pembagian pelaku di atas, ada yang berpendapat bahwa sebaiknya
pelaku dalam ajaran turutserta ini dibagi dalam 3 kelompok, yakni :
a) Pelaku (daders)
b) Pembujuk (uitlokers); dan
c) Yang membantu melakukan (medeplichtigers).
Selanjutnya dapat dikemukakan maksud dari pasal 55 KUHP sebagaimana
dikemukakan oleh beberapa ahli hukum pidana, yakni :
a) Orang yang melakukan (pelaku atau pleger)
Di sini ditegaskan tentang “barangsiapa” yang melakukan sendiri sesuatu perbuatan
yang dilarang oleh undang-undang atau “barangsiapa” yang melakukan suatu
perbuatan yang menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang.

E-ISSN: XXXX-XXXX TATOHI Jurnal Ilmu H. X(X): X-X

5
Oleh sebab itu, yang dimaksud dengan pelaku (pleger) adalah orang yang melakukan
tindak pidana secara sendiri, dan karena itu perbuatan tersebut harus memenuhi
rumusan tindak pidana yang di lakukan.
Dalam praktek tidak mudah untuk menerapkan bentuk ajaran ini, mengingat pembuat
undang-undang tidak menentukan secara pasti siapa yang menjadi pembuat. Untuk
mememahami penentuan pelaku di sini, Barda Nawawi Arief mengemukakan
beberapa pedoman, yakni :
(a) Menurut peradilan di Indonesia, pembuat (dalam arti sempit pelaku) ialah orang
yang menurut maksud pembuat undang-undang harus dipandang bertanggungjawab.
(b) Menurut peradilan di Belanda, dader (dalam arti sempit) ialah orang yang
mempunyai kekuasaan/kemampuan untuk mengakhiri keadaan terlarang, tetapi tidak
memberikan keadaan terlarang itu berlangsung terus.

Terhadap persoalan ini, maka kedudukan “pleger” sering menimbulkan perdebatan.


b. Yang menyuruh melakukan (doenpleger)
Bentuk ini di dalam doktrin hukum pidana lebih dikenal sebagai perbuatan dengan
perantaraan atau “middelijke daderschap”, yakni seseorang yang berkehendak untuk
melakukan suatu tindak pidana tidak melakukannya sendiri, tetapi menyuruh orang
lain untuk melakukannya.
Terhadap bentuk ini, maka terdapat syarat bahwa orang yang disuruh harus orang
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut KUHP.
Berkaitan dengan itu, maka dalam memahami ajaran ini perlu di ingat bahwa ajaran
pembujukan (uitlokking) harus benar-benar di mengerti secara jelas, sebab dalam
uitlokking, yang melakukan tindak pidana dapat berupa orang lain. Sebab itu, dikenal
pelaku yang menyuruh melakukan dan membujuk.
Dalam penerapannya ajaran ini terkadang sulit untuk dibedakan, mana yang
tergolong membujuk dan mana yang tergolong menyuruh melakukan. Menurut
doktrin hukum pidana, yang disebut menyuruh melakukan (doen pleger) adalah
bahwa orang yang disuruh melakukan sesuatu tindak pidana harus seorang yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan, sebaliknya pada membujuk (uitlokking) orang yang
disuruh itu adalah orang yang dapat di pertanggungjawabkan.
Secara konkrit yang dimaksud dengan orang yang menyuruh melakukan atau
doenpleger adalah orang yang melakukan dengan perantara orang lain, sedangkan
perantara di sini diumpamakan alat. Sebab itu, di sini ada pelaku yang melakukan
secara langsung (manus ministra) dan ada pelaku yang melakukan secara tidak
langsung (manus domina).
Menurut ajaran ini, terdapat syarat-syarat dari yang membujuk (uitlokking), yakni :
1. Harus ada orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tidan
pidana.
2. Harus digunakan ikhtiar seperti ditentukan dalam pasal 55.
3. Harus terdapat orang lain yang juga dapat digerakan dengan ikhtiar.
4. Orang itu harus melakukan tindak pidana untuk mana ia digerakkan.
Pasal 55 KUHP menentukan bahwa yang dimaksudkan dengan ikhitar meliputi :
a. Pemberian, baik dalam bentuk uang atau barang;

E-ISSN: XXXX-XXXX TATOHI Jurnal Ilmu H. X(X): X-X

6
b. Janji-janji, baik uang maupun barang;
c. Menyalahgunakan kekuasaan;
d. Menyalahgunakan kedudukan yang terhormat;
e. Kekerasan;
f. Ancaman;
g. Tipu muslihat;
h. Memberikan kesempatan, berupa sarana atau penerangan.

c. Yang membantu melakukan (medepleger)


Terhadap pelaku yang membantu melakukan, KUHP tidak memberikan definisi yang
jelas, hanya saja di dalam penjelasan undang-undang (MvT), dikatakan bahwa orang
yang turutserta melakukan (medepleger) adalah orang yang denan sengaja turut
berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu.
Berkaitan dengan itu, maka menurut Pompe dikenal tiga kemungkinan, yakni :
a) Mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana;
b) Salah seorang memenuhi semua unsur tindak pidana, sedang lainnya tidak.
c) Tidak seorangpun memenuhi unsur-unsur tindak pidana seluruhnya, tetapi mereka
bersama - sama mewujudkannya.
Untuk adanya orang yang membantu melakukan (medepleger) diperlukan beberapa
syarat :
1. Adanya kerjasama secara sadar
Ini dimaksudkan bahwa adanya kesadaran bersama tidak berarti ada pemufakatan
lebih dahulu, di sini cukup jika ada pengertian antara pelaku pada saat perbuatan
dilakukan dengan tujuan untuk mencapai hasil yang sama. Yang terpenting adalah
harus ada “kesengajaan” yang meliputi :
a) untuk bekerjasama (yang sempurna) dan
b) ditujukan pada hal yang dilarang oleh undang-undang.
2. Ada pelaksanaan bersama secara fisik.
Persoalan tentang kapan dikatakan ada perbuatan pelaksanaan merupakan hal yang
sulit di buktikan, namun secara singkat dapat di katakan bahwa perbuatan
pelaksanaan berarti perbuatan yang langsung menimbulkan selesainya tindak pidana.
Yang penting di sini bahwa harus ada kerjasama yang erat dan bersifat langsung.

3.1.2 Pertanggungjawab Pelaku Tindak Pidana


KUHP tidak menyebutkan secara eksplisit sistem pertanggungjawaban pidana yang dianut.
Beberapa pasal KUHP sering menyebutkan kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.
Namun saying, kedua istilah tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut oleh undang-undang
tentang maknanya. Jadi baik kesengajaan maupun kealpaan tidak ada keterangan lebih lanjut
dalam KUHP. Kedua kata-kata itu seperti apa yang diungkapkan oleh Roeslan Saleh.
Roeslan Saleh menyatakan “bahwa pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai
diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif
memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatan itu”.
Pertanggungjawaban ialah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang
dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang

E-ISSN: XXXX-XXXX TATOHI Jurnal Ilmu H. X(X): X-X

7
dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu
mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas
‘kesepakatan menolak’ suatu perbuatan tertentu. Pertanggungjawaban pidana diartikan
sebagai suatu kewajiban hukum pidana untuk memberikan pembalasan yang akan diterima
pelaku terkait karena orang lain yang dirugikan.5
3.1.3 Penerapan Ajaran Turut Serta Terhadap Pelaku Tindak Pidana

Putusan hakim merupakan puncak dari pemeriksaan perkara pidana dalam keseluruhan
proses peradilan pidana. Dalam putusan hakim diharapkan akan ditemukan pencerminan nilai-
nilai keadilan dan kebenaran hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum dan fakta secara
mapan, mumpuni dan faktual. Putusan hakim mercerminkan visualisasi etika, mentalitas,
moralitas hati nurani hakim, serta dapat dipertanggungjawabkan kepada ilmu hukum/doktrin
hukum, “Demi Kedailan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.6
Pengambilan putusan oleh majelis hakim dilakukan setelah masing-masing hakim
anggota majelis mengemukakan pendapat atau pertimbangan serta keyakinan atas suatu perkara
lalu dilakukan musyawarah untuk mufakat. Ketua majelis berusaha agar diperoleh pemufakatan
bulat.7 Ada kalanya para hakim berbeda pendapat atau pertimbangan sehingga pemufakatan
tidak dapat dicapai. Jika hal tersebut terjadi maka putusan yang dipilih adalah pendapat hakim
yang paling menguntungkan terdakwa.8
Dalam hal ini ada 2 (dua) sifat putusan dari hakim yaitu:9
a. Pasal 191 KUHAP menentukan:
1. Jika pengadilan berpendapat bahwa hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas
perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka
terdakwa diputus bebas;
2. Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti,
tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, terdakwa diputus lepas dari
segala tuntutan;
3. Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2), terdakwa yang ada dalam status
tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu jika kecuali ada alasan lain yang sah,
terdakwa perlu ditahan.
b. Pasal 193 ayat (1) KUHAP menentukan :
Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.
Dari ketentuan di atas, maka ada 2 (dua) sifat putusan hakim yaitu :
1. Putusan pemidanaan, apabila yang didakwakan oleh penuntut umum dalam surat
dakwaannya telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum;
2. Putusan yang bukan pemidanaan dapat berupa putusan bebas (vrijpraak) dan putusan lepas
dari segala tuntutan.10
5
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa
Kesalahan, Kencana, Cet.Kedua, Jakarta, 2006, hlm.70.
6
Widodo Pajar, Menjadi Hakim Progresif, Indeph Publishing, Bandar Lampung: 2013, hlm.37-38.
7
Pasal 182 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 3209.
8
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta: 2005, hlm.54
9
Pasal 191 ayat (1) dan (2) serta Pasal 193 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 3209
10
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan
Putusan Peradilan), Citra Aditya Bakti, Bandung: 1996, hlm.126.

E-ISSN: XXXX-XXXX TATOHI Jurnal Ilmu H. X(X): X-X

8
Setelah proses pemeriksaan di persidangan selesai maka hakim harus mengambil
keputusan yang sesuai. Untuk itu sebelum menjatuhkan sanksi pidana, hakim dituntut untuk
melakukan tindakan yaitu menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan
kepadanya dengan melihat bukti-bukti yang ada dan disertai keyakinannya. Setelah itu
mempertimbangkan dan memberikan penilaian atas peristiwa yang terjadi serta menghubungkan
dengan hukum yang berlaku dan selanjutnya memberikan suatu kesimpulan dengan menetapkan
suatu sanksi pidana terhadap perbuatan yang dilakukan.11
Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya menemukan hukum, yaitu menetapkan
bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam setiap peristiwa yang menyangkut kehidupan
dalam suatu negara hukum. Pengertian lain mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah
yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbuti dalam pemeriksaan di
sidang pengadilan.12
Sudikno mertokusumo berpendapat bahwa penemuan hukum adalah proses
pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas
menerapkan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret.13
Penemuan hukum merupakan proses pembentukan hukum oleh subyek atau pelaku
penemuan hukum dalam upaya menerapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwanya
berdasarkan kaidah-kaidah atau metode-metode tertentu yang dapat dibenarkan dalam ilmu
hukum, seperti interpretasi penalaran (redenering), ekposisi (konstruksi hukum) dan lainlain.
Kaidah-kaidah atau metodemetode tersebut digunakan agar penerapan aturan hukum terhadap
suatu peristiwa dapat dilakukan secara tepat dan relevan menurut hukum, sehingga hasil yang
diperoleh dari proses tersebut juga dapat diterima dan dipertanggungjawabkan dalam ilmu
hukum.14
Hakim pada dasarnya bebas untuk menafsirkan ketentuan undang-undang terhadap
suatu permasalahan hukum yang dihadapkan kepada hakim di depan pengadilan termasuk
didalamnya kewenangan untuk menafsirkan ketentuan pidana minimum khusus dalam undang-
undang tindak pidana narkotika yang kemudian diwujudkan dalam putusan tugas hakim secara
normatif diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Perihal putusan tersebut harus mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan atau
meringankan terdakwa merupakan suatu fakta yang harus jelas diuraikan sesuai dengan apa
yang ditemukan dalam pemeriksaan sidang pengadilan, mesti jelas diungkap dalam uraian
pertimbangan putusan. Karena landasan yang dipergunakan sebagai dasar titik tolak untuk
menentukan berat ringannya hukuman pidana yang akan ditimpakan kepada terdakwa, tidak
lepas dari fakta dan keadaan yang memberatkan dan meringankan.15
Oleh karena pertimbangan hukum yang memberatkan dan meringankan terdakwa
tersebut merupakan bagian dari ketentuan pasal 197 KUHAP, maka jika suatu putusan tidak
disertakan pertimbangan yang memberatkan dan meringankan terdakwa, maka akan dapat
mempengaruhi putusan tersebut.16
Tidak adanya formulasi tentang aturan / pedoman pemidanaan pada kebanyakan undang-
undang khusus di luar KUHP yang mencantumkan pidana minimum khusus dalam rumusan
deliknya, pada gilirannya berpotensi menimbulkan masalah yuridis di tingkat aplikasi.
11
Padmo Wahyono, Bahan-Bahan Pedoman Penghaytan dan Pengamalan Pancasila, Aksara Baru,
Jakarta, hlm. 26-27.
12
Ibid.
13
Sudikno Mertokususmo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta:1998, hlm 26.
14
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta:2006, hlm. 30
15
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta:2002, hlm.361.
16
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika,
Jakarta:2002, hlm.100-102.

E-ISSN: XXXX-XXXX TATOHI Jurnal Ilmu H. X(X): X-X

9
Setidaknya ketika hakim yang mengadili perkara pidana yang bersangkutan dihadapkan pada
fakta banyaknya faktor-faktor yang meringankan pidana.17
Terkait dengan apa yang di uraikan di atas dan sesuai dengan Putusan Pengadilan Negeri
Nomor 12/Pid.Sus/2020/PN Msh dan Nomor 13/Pid.Sus/2020/PN Msh yang dilakukan oleh
kedua Terdakwa masing masing putusan yang bernama Trikarna Lewenussa Alias Cetril dan
Rosihan Anwar Sahulau Alias Andri, dalam penerapan pasal 55 KUHPidana yang merupaka
ajaran turut serta, hal ini dapat dilihat sebagai berikut :
Menimbang, bahwa Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan
Alternatife yaitu ;
Pertama : Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 111
Ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ; Atau

Kedua : Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 111
Ayat (2) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan disusun secara Alternatif, maka Majelis
Hakim dapat memilih langsung dakwaan mana yang paling tepat dikenakan terhadap Terdakwa;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh di persidangan dimana
fakta-fakta tersebut lebih mengarah pada perbuatan sebagaimana yang didakwakan Penuntut
Umum dalam dakwaan Kesatu, maka Majelis Hakim memilih untuk mempertimbangkan
dakwaan kesatu tersebut yaitu melanggar Pasal 111 Ayat (1) Undang-undang R I Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika yang unsur-unsurnya sebagai berikut ;
1. Setiap Orang;
2. Tanpa Hak atau melawan hukum;
3. Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika
Golongan I dalam bentuk tanaman ;
Menimbang, bahwa terhadap unsur-unsur tersebut diatas Majelis Hakim
mempertimbangkan sebagai berikut :
Ad.1 Unsur Setiap Orang

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan Setiap Orang dalam perkara ini adalah
orang sebagai subyek hukum, yang didakwa telah melakukan tindak pidana, karenanya
penekanan unsur ini terletak pada adanya subyek hukum tersebut, sedangkan mengenai hal
apakah ia Terdakwa telah melakukan atau tidak perbuatan yang didakwakan kepadanya
akan sangat bergantung pada unsur-unsur materiil dari dakwaan tersebut ;-
Menimbang, bahwa dipersidangan Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan seorang
yang bernama Trikarna Lewenussa Alias Cetril sebagai Terdakwa dan dipersidangan
Terdakwa tersebut telah membenarkan identitas yang tercantum dalam surat dakwaan dan
apabila dihubungkan dengan keterangan saksi-saksi dan pengakuan Terdakwa di
persidangan telah diperoleh fakta hukum bahwa Terdakwalah yang dimaksud sebagai
subyek hukum dalam perkara ini, yang telah didakwa melakukan perbuatan pidana
sebaoaimana vane didakwakan Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya dan pada pihak
lain sepanjang pemeriksaan perkara ini, ternyata Terdakwa tersebut mampu berkomunikasi
dengan balk untuk memberikan keterangan-keterangan dan menanggapi keterangan saksi-
saksi dan barang bukti, sehingga dapat disimpulkan bahwa Terdakwa adalah orang yang
sehat jasmani dan rohani serta mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya ;
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka menurut Majelis unsur
"Setiap Orang" dalam hal ini telah terpenuhi;

17
Ibid

E-ISSN: XXXX-XXXX TATOHI Jurnal Ilmu H. X(X): X-X

10
Menimbang, bahwa selanjutnya sebelum Majelis mempertimbangkan unsur Kedua
dalam dakwaan ini, terlebih dahulu Majelis akan mempertimbangkan unsur yang ketiga
yaitu unsur " Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan
Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman" ;-
Ad.3 Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika
Golongan I dalam bentuk tanaman ;

Menimbang, bahwa unsur ini terdiri dari beberapa Sub unsur, dalam artian bilamana
salah satu sub unsur terbukti, maka unsur ini dianggap telah terpenuhi ;
Menimbang, bahwa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud
dengan menanam adalah menaruh (bibit, benih, stek dan sebagainya) dalam tanah supaya
tumbuh;
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan tanaman adalah tumbuhan yang
dipelihara dan dirawat pada suatu media untuk diambil manfaat atau dipanen ketika sudah
sampai waktu tertentu ;
Menimbang, bahwa dipersidangan dperoleh fakta bahwa pada hari Senin, tanggal
04 Nopember 2019 sekitar pukul 18.00 WIT bertempat di Goa Gunung Lehati, Desa
Tamilow, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah Terdakwa telah ditangkap oleh
Satuan Narkoba Kepolisian Resor Maluku Tengah karena diduga memiliki atau menanam
Narkotika Golongan I jenis Ganja ;
Menimbang, bahwa dipersidangan diperoleh fakta pada saat penangkapan
ditemukan 39 (tiga puluh sembilan) tempat anakan pohon ganja didalam Goa Gunung
Lehati ;
Menimbang, bahwa dipersidangan diperoleh fakta bahwa pohon-pohon ganja
tersebut dulunya berupa biji ganja yang diperoleh Terdakwa dari pemberian temannya yang
bernama Hamid Pawae Alias Erol ;
Menimbang, bahwa dari uraian fakta tersebut diatas dimana dengan ditemukannya
39 (tiga puluh sembilan) tempat anakan pohon ganja didalam goa Gunung Lehati yang
diakui sebagai miliknya dimana anakan tanaman ganja tersebut dulunya berupa biji yang
kemudian diletakkan dalam pot yang berisi tanah kemudian dirawat dengan cara disiram
oleh Terdakwa setelah itu beberapa hari kemudian tumbuh menjadi tanaman yang
berdasarkan Hasil Uji Laboratorium tanggal 15 Nopember 2019 tanaman tersebut adalah
tanaman ganja atau sebagai tanaman yang dilarang sebagaimana Lampiran I Undang-
undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Daftar Narkotika Golongan I poin 8,
maka dapat disimpulkan bahwa Terdakwa telah menanam tanaman Golongan I jenis Ganja;
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, maka menurut Majelis
Hakim unsur "menanam Narkotika Golongan I jenis tanaman" dalam hal ini telah terpenuhi
;
Ad. 2 Tanpa Hak Atau Melawan Hukum
Menimbang, bahwa yang dimaksud tanpa hak dan melawan hukum disini adalah
perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa tersebut tanpa disertai adanya ijin dari pihak yang
berwenang dan perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum atau peraturan yang berlaku
sebagai perbuatan yang dilarang ;
• 7 (tujuh) tempat semai bibit pohon ganja ;
• 1 (satu) botol aqua sedang berisi campuran air dan obat pembasmi hama (desis); •
• 1 (satu) buah baskom warna Hitam berisi karung warna kuning dan tanah,;

E-ISSN: XXXX-XXXX TATOHI Jurnal Ilmu H. X(X): X-X

11
Oleh karena barang-barang bukti tersebut merupakan barang yang dilarang dan
sebagai alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan, maka barang bukti tersebut
dimusnahkan.
Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa, maka perlu
dipertimbangkan terlebih dahulu keadaan yang memberatkan dan yang meringankan
Terdakwa yaitu sebegai berikut;
Keadaan yang memberatkan :
- Perbuatan Terdakwa bertentangan program pemerintah dalam pemberantasan peredaran
gelap dan penyalahgunaan narkotika khususnya di Kabupaten Maluku Tengah.
- Perbuatan Terdakwa dapat mengakibatkan efek yang membahayakan bagi kejiwaan
seperti ketergantungan pisik dan mental sehingga nantinya dapat membuat seseorang
cendrung untuk melakukan tindak pidana ;
Keadaan yang meringankan :
- Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya, menyesali dan berjanji tidak akan
mengulanginya lagi. –
- Terdakwa belum pernah dihukum.

Memperhatikan, Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
narkotika, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP serta Peraturan Perundang-
Undangn lainnya yang bersangkutan dengan perkara ini ;

Berdasarkan pertimbangan di atas Hakim Pengadilan Negeri Masohi menjatuhkan

Putusan sebagai berikut :

1. Menyatakan Terdakwa Trikarna Lewenussa Alias Cetril tersebut diatas, terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "Menanam Narkotika Golongan I dalam
bentuk Tanaman" sebagaimana dalam dakwaan Pertama Penuntut Umum;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 5 (lima) Tahun dan denda sebesar Rp800.000.000,-
(delapan ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka
diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan ;
3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan.
5. Menetapkan barang bukti berupa:
• 39 (tiga puluh sembilan) tempat anakan pohon ganja;
• 7 (tujuh) tempat semai bibit pohon ganja ;
• 1 (satu) botol aqua sedang berisi campuran air dan obat pembasmi hama (desis) ;
• 1 (satu) buah baskom warna Hitam berisi karung warna kuning dan tanah;
Dimusnahkan.
6. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp.5000,00 (lima
ribu rupiah)

E-ISSN: XXXX-XXXX TATOHI Jurnal Ilmu H. X(X): X-X

12
4. Kesimpulan

Penerapan ajaran turut serta dalam putusan dalam Putusan Pengadilan Negeri Masohi khsusnya
dalam putusan Pengadilan Negeri Masohi dengan Nomor 12/Pid.Sus/2020/PN Msh dan
13/Pid.Sus/2020/PN Msh belum dapat dilakukan dengan baik dimana majelis tidak
mempertimbangkan fakta persidangan yaitu keterangan para pelaku (pelaku utama dan pelaku
pembantu) sehingga majelis hakim dapat menjatuhkan putusan yang berbeda antara pelaku
utama dan pelaku pembantu

Daftar Referensi

Jurnal
Denny Latumaerissa,“Studi Tentang Pemberian Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana Narkotika Pada LAPAS Klas
IIA Ambon”, Jurnal Sasi Vol.23 No.1 Bulan Januari – Juni 2017,
https://fhukum.unpatti.ac.id/jurnal/sasi/article/view/160/72

Buku

Badan Narkotika Nasional,2011, pedoman pencegahan penyalahgunaan narkoba bagi pemuda,Jakarta:


Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia.
H.Siswanto S,2012, politik hukum dalam Undang Undang Narkotika (Undang Undang Nomor 35 tahun
2009), PT Rineka Cipta, Jakarta.
Herman Mannheim, Comparative Criminologi, yang dapat dibaca dari, Mulyanah Kusumah,
Kriminologi Dan Masalah Kejahatan, Armico Bandung.
Satochid, Bahan Kuliah Hukum Pidana Bagian, Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun, hal. 497
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana
Tanpa Kesalahan, Kencana, Cet.Kedua, Jakarta.

E-ISSN: XXXX-XXXX TATOHI Jurnal Ilmu H. X(X): X-X

13

You might also like