You are on page 1of 20

TUGAS 5

Filsafat Ilmu
Dosen : Prof. Dr. Robert Sibarani, MS

Oleh:
MANIPPO SIMAMORA
228106002

PROGAM DOKTOR
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
Pertemuan 5:
Ø Landasan folosofis penelitian
Ø Desain Kualitatif dan Kuantitatif
Ø Teori Kebenaran dan Penelitian
Ø Interpretasi filsafat Charles Sanders Pierce
Ø Hieararki Pembahasan Ontologis, Epistemologis, Aksiologis
Ø Cara pandang etnografis
LANDASAN FILOSOFIS PENELITIAN

Fenomena Nomena
A Priori A Posteriori
Form Content

Outsider & Insider &


General Verstehen

Positivistic Naturalistic/Phenomenological
Inquiry Inquiry
Quantitative Design Qualitative Design

Combination of Positivistic and


Phenomenological/naturalistic Inquiry
Combination of
Quantitative and
Qualitative Design
QUALITATIVE

theory
DEDUCTION
(top-down)

patterns hypotesis

INDUCTION
(bottom-up) Data
Observation-
Interview QUANTITATIVE
PHILOSOPHICAL PARADIGM ASSUMPTIONS
ASSUMPTION QUESTION QUANTITATIVE QUALITATIVE

Ontological What is the nature of Reality is objective and sing Reality is subjective and multi
reality? ular, apart from the researc ple as seen by participants in a
her. study.

Epistemological What is the relationsh Researcher is independent fr Researcher interacts with that
ip of the researcher t om that being researched. being researched.
o that researched?

Axiological What is the role of val Value-free and unbiased. Value-laden and biased
ues?

Rhetorical What is the language Ø Formal Ø Informal


of research? Ø Based on set of definitions Ø Evolving decisions
Ø Impersonal voice Ø Personal voice
Ø Use of accepted quantitati Ø Use of accepted qualitative
ve words words
Methodological What is the process o Ø Deductive process Ø Inductive process
f research? Ø Cause and effect Ø Mutual simultaneous shapin
Ø Static design-categories is g of factors
olated before study Ø Emerging design-categories
Ø Context-free identified during research pr
Ø Generalizations leading to ocess
prediction, explanation, an Ø Context-bound
d understanding Ø Patterns, theories developed
Ø Accurate and reliable thro for understanding
ugh validity and reliability Ø Accurate and reliable throug
h verification
Kebiasaan
Tak sadar
(habit)

Keyakinan (belief) Prasadar

Sangsi
Sadar
(doubt)
Hasil abduksi
Interpretant Sadar
(Firstness)
Hasil deduksi
(Secondness)
Hasil induksi
(Thirdness)
KEDALAMAN PEMBAHASAN
FILSAFAT CHOMSKY BLOOM

1. Ontology 1. Observative Adequacy 1. Remembering & Understanding

2. Epistemology 2. Descriptive Adequacy 2. Applying & Analyzing

3. Axiology 3. Explanatory Adequacy 3. Evaluating & Creating


§ ETHNOGRAPHIC STUDIES
1.The ethnographer observes behavior, but goes
beyond it to inquire about the meaning of that b
ehavior
2.The ethnographer sees artifacts and natural obj
ects, but goes beyond them to discover what m
eaning assigned to those objects.
3.The ethnographer observes and records emotio
nal states, but goes beyond them to discover th
e meaning of fear, anxiety, anger, and other fee
lings.
Tugas 5:

1. Narasikan 7 slide di atas dengan bahasa Anda sendiri


menjadi satu kesatuan dengan topik landasan
filosofis penelitian!
2. Ambil satu contoh kasus yang berhubungan dengan
bidang Anda, kemudian jelskanlah kebiasaan (habit),
keyakinan (belief), kesangsian (doubt), dan
interpretant dalam abduksi, deduksi, dan induksi
yang dapat terjadi pada kasus itu.
3. Jelaskanlah cara pandang etnografis itu pada kasus
di bidang Anda sendiri
Tugas 5
1. Narasikan 7 slide di atas dengan bahasa Anda sendiri menjadi satu kesatuan dengan topik
landasan filosofis penelitian!
Penelitian harus dilakukan berdasarkan prinsip berpikir logis dan dilakukan secara berulang
mengingat penelitian tidak pernah berhenti pada satu titik waktu tertentu. Dalam berpikir logis,
seorang peneliti harus mampu menggabungkan teori/ide yang ada dengan fakta di lapangan dan
dilakukan secara sistematis. Jadi, dapat dikatakan bahwa penelitian merupakan proses yang
dilakukan secara sistematis untuk menghasilkan pengetahuan (knowledge), yang ditandai dengan
dua proses yaitu; (1) proses pencarian yang tidak pernah berhenti, dan (2) proses yang sifatnya
subyektif karena topik penelitian, model penelitian, obyek penelitian dan alat analisnya sangat
tergantung pada faktor subyektifitas si peneliti. Intinya penelitian merupakan kegiatan yang tidak
bebas nilai.
Terdapat dua paradigma utama dalam metodologi penelitian yakni paradigma positivist
(penelitian kuantitatif) dan paradigma naturalistik (penelitian kualitatif), ada ahli yang
memposisikannya secara diametral, namun ada juga yang mencoba menggabungkannya baik dalam
makna integratif maupun bersifat komplementer, namun apapun kontroversi yang terjadi kedua jenis
penelitian tersebut memiliki perbedaan-perbedaan baik dalam tataran filosofis/teoritis maupun
dalam tataran praktis pelaksanaan penelitian, dan justru dengan perbedaan tersebut akan nampak
kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga seorang peneliti akan dapat lebih mudah
memilih metode yang akan diterapkan apakah metode kuantitatif atau metode kualitatif dengan
memperhatikan obyek penelitian/masalah yang akan diteliti serta mengacu pada tujuan penelitian
yang telah ditetapkan.
Memahami landasan filosofis penelitian kualitatif dalam perbandingannya dengan penelitian
kuantitatif merupakan hal yang penting sebagai dasar bagi pemahaman yang tepat terhadap
penelitian kualitatif, namun demikian bagi seorang peneliti penguasaan dalam tingkatan operasional
lebih diperlukan lagi agar dalam pelaksanaan penelitian tidak terjadi kerancuan metodologis, dan
penelitian benar-benar dilaksanakan dalam suatu bingkai pendekatan yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Paradigma positivisme memandang realitas,gejala dapat diklasifikasikan, relatif tetap,
teramati, terukur, dan hubungan gejala bersifat sebab akibat. Penelitian pada umumnya dilakukan
pada populasi atau sampel tertentu yang representatif. Proses penelitian bersifat deduktif, dimana
untuk menjawab rumusan masalah digunakan konsep atau teori sehingga dapat dirumuskan
hipotesa. Hipotesis tersebut selanjutnya diuji melalui pengumpulan data lapangan. Untuk
mengumpulkan data digunakan instrumen penelitian. Data yang telah terkumpul selanjutnya
dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan statistik deskriptif atau inferensial sehingga dapat
disimpulkan hipotesis yang dirumuskan terbukti atau tidak. Dalam hal ini metode kuantitatif dibagi
menjadi dua, yaitu metode eksperimen dan metode survey.
Paradigma naturalistik bermula dari pandangan Max Weber yang diteruskan oleh Irwan
Deuther. Fenomenologis berusaha memahami perilaku manusia dari segi kerangka berfikir maupun
bertindak orang-orang itu yang dibayangkan atau dipikirkan oleh orang-orang itu sendiri. Penelitian
kualitatif paling cocok untuk menjawab pertanyaan yang belum diketahui variabel-variabelnya dan
perlu dieksplorasi. Kepustakaan mungkin mendapat sedikit informasi tentang fenomena yang diteliti.
Alasan untuk ini adalah penelitian kualitatif lebih menyandarkan diri pada pandangan partisipan
dalam penelitian dan kurang menyandarkan diri pada arah yang diidentifikasi dalam kepustakaan
oleh peneliti. Menurut Creswell (2009) dalam Sugiyono, metode kualitatif dibagi menjadi lima
macam, yaitu penelitian fenomenoligi, grounded theory, etnografi, studi kasus dan penelitian naratif.
Memahami paradigma penelitian membawa pada pemahaman metodologi penelitian.
Beranjak dari pemahaman tersebut maka akan berujung kepada tipe penelitian yang akan dipilih.
Pengetahuan akan tipe penelitian penting bagi para peneliti-peneliti. Tipe penelitian penelitian
merupakan cara yang digunakan untuk menyelidik masalah, mendapatkan data, dan menggunakan
data tersebut untuk membuat solusi atas masalah. Pilihan tipe inilah ditentukan dari pemahaman
akan paradigma penelitian. Paradigma positivistik yang melandasi penelitian kuantitatif, paradigma
naturalistik yang melandasi penelitian kualitatif, dan paradigma pragmatisme yang melandasi
penelitian kombinasi. Peneliti dapat memilih metode penelitian sesuai dengan karakteristik
permasalahannya. Apakah akan memilih kuantitatif, kualitatif atau menggabungankan dua metode
tersebut.
Dalam penelitian, paradigma berfungsi sebagai cara penerapan dan pelaksanaan penelitian
sesuai dengan asumsi-asumsi yang dibangun. Asumsi filosofi yang diterapkan dalam membangun
teori dapat dikembangkan atas dasar ilmu sosial dan masyarakat. Bahkan ada yang menganggap
bahwa perdebatan para ahli dalam menerjemahkan paradigma meliputi perbedaan kontribusi
pengetahuan dan pengetahuan yang muncul dari perbedaan pandangan filosofi dan paradigma
konseptual. Perbedaan pandangan filosofi dan paradigma konseptual mengarah adanya
penggolongan asumsi fundamental akan paradigma. Dalam ilmu sosial, ada 5 kumpulan asumsi yang
membedakan satu paradigma dengan lainnya yaitu ontologi, epistemologi, axiological, Rhetorical,
dan metodologi.
Ontologi. Ontologi adalah asumsi yang penting tentang inti dari fenomena dalam penelitian.
Pertanyaan dasar tentang ontologi menekankan pada apakah “realita” yang diteliti objektif ataukah
“realita” adalah produk kognitif individu. Debat tentang ontologi oleh karena itu dibedakan antara
realisme (yang menganggap bahwa dunia sosial ada secara independen dari apresiasi individu) dan
nominalisme (yang menganggap bahwa dunia sosial yang berada di luar kognitif individu berasal dari
sekedar nama, konsep dan label yang digunakan untuk menyusun realita).
Epistemologi. Epistemologi adalah asumsi tentang landasan ilmu pengetahuan (grounds of
knowledge) – tentang bagaimana seseorang memulai memahami dunia dan mengkomunikasikannya
sebagai pengetahuan kepada orang lain. Bentuk pengetahuan apa yang bisa diperoleh? Bagaimana
seseorang dapat membedakan apa yang disebut “benar” dan apa yang disebut “salah”? Apakah sifat
ilmu pengetahuan? Pertanyaan dasar tentang epistemologi menekankan pada apakah mungkin
untuk mengidentifikasikan dan mengkomunikasikan pengetahuan sebagai sesuatu yang keras, nyata
dan berwujud (sehingga pengetahuan dapat dicapai) atau apakah pengetahuan itu lebih lunak, lebih
subjektif, berdasarkan pengalaman dan wawasan dari sifat seseorang yang unik dan penting
(sehingga pengetahuan adalah sesuatu yang harus dialami secara pribadi). Debat tentang
epistemologi oleh karena itu dibedakan antara positivisme (yang berusaha untuk menjelaskan dan
memprediksi apa yang akan terjadi pada dunia sosial dengan mencari kebiasaan dan hubungan kausal
antara elemen-elemen pokoknya) dan antipositivisme (yang menentang pencarian hukum atau
kebiasaan pokok dalam urusan dunia sosial yang berpendapat bahwa dunia sosial hanya dapat
dipahami dari sudut pandang individu yang secara langsung terlibat dalam aktifitas yang diteliti).
Axiological. aksiologi adalah ilmu tentang nilai. Aksiologis dasarnya berbicara tentang
hubungan ilmu dengan nilai, apakah ilmu bebas nilai dan apakah ilmu terikat nilai. Karena
berhubungan dengan nilai maka aksiologi berhubungan dengan baik dan buruk, berhubungan
dengan layak atau pantas, tidak layak atau tidak pantas. Ketika para ilmuwan dulu ingin membentuk
satu jenis ilmu pengetahuan maka sebenarnya dia harus atau telah melakukan uji aksiologis. Jadi
pada intinya kajian aksiologi itu membahas tentang layak atau tidaknya sebuah ilmu pengetahuan,
pantas atau tidaknya ilmu pengetahuan itu dikembangkan. Kemudian aksiologi ini juga yang
melakukan pengereman jika ada ilmu pengetahuan tertentu yang memang tingkat
perkembangannya begitu cepat.
Rhetorical. Retorika memegang peranan penting dalam kegiatan berbicara. Retorika sebagai
“ilmu bicara” sebenarnya diperlukan semua orang. Retorika adalah ilmu yang mengajarkan orang
keterampilan menemukan secara persuasif dan objektif. Retorika adalah suatu bidang ilmu yang
mempelajari atau mempersoalkan tentang bagaimana cara berbicara yang mempunyai daya tarik
yang mempesona, sehingga orang yang mendengarkannya dapat mengerti dan tergugah
perasaannya. Salah satu yang dipelajari dalam Retorika adalah bagaimanana seseorang memahami
persepsi. Persepsi adalah proses yang terintegrasi dalam individu yang terjadi sebagai reaksi atas
stimulus yang diterimanya. Sebuah konsensus (kesamaan persepsi kolektif pada satu isu tertentu)
yang tercapai melalui diskusi sosial akan menimbulkan opini publik, sedangkan pada diri individu
sendiri, opini bisa bersifat laten atau manifes. Opini yang bersifat laten disebut sikap. Sikap adalah
suatu predisposisi terhadap sesuatu objek, yang di dalamnya termasuk sistem kepercayaan,
perasaan, dan kecenderungan perilaku terhadap obyek tersebut. Sikap bisa dipelajari, bersifat stabil,
melibatkan aspek kognisi dan afeksi, dan menunjukkan kecenderungan perilaku.
Metodologi, adalah asumsi-asumsi tentang bagaimana seseorang berusaha untuk
menyelidiki dan mendapat “pengetahuan” tentang dunia sosial. Pertanyaan dasar tentang
metodologi menekankan kepada apakah dunia sosial itu keras, nyata, kenyataan objektif-berada di
luar individu ataukah lebih lunak, kenyataan personal-berada di dalam individu. Selanjutnya ilmuwan
mencoba berkonsentrasi pada pencarian penjelasan dan pemahaman tentang apa yang unik/khusus
dari seseorang dibandingkan dengan yang umum atau universal yaitu cara dimana seseorang
menciptakan, memodifikasi, dan menginterpretasikan dunia dengan cara yang mereka temukan
sendiri.
EMPIRISME
Empirisme adalah aliran yang menjadikan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Aliran
ini beranggapan bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dengan cara
observasi/penginderaan. Pengalaman merupakan faktor fundamental dalam pengetahuan, ia
merupakan sumber dari pengetahuan manusia.
Karena itu, empirisme dinisbatkan kepada faham yang memilih pengalaman sebagai sumber
utama pengenalan, baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah
yang menyangkut pribadi manusia. Pada dasarnya aliran ini sangat bertentangan dengan
rasionalisme.
Penganut empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat suatu objek yang
merangsang alat-alat indrawi, yang kemudian dipahami di dalam otak, dan akibat dari rangsangan
tersebut terbentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek telah merangsang alat-alat indrawi
tersebut. Empirisme memegang peranan yang amat penting bagi pengetahuan. Penganut aliran ini
menganggap pengalaman sebagi satu-satunya sumber dan dasar ilmu pengetahuan. Pengalaman
indrawi sering dianggap sebagai pengadilan yang tertinggi.
Namun demikian, aliran ini banyak memiliki kelemahan karena (1) indra sifatnya terbatas, (2)
indra sering menipu, (3) objek juga menipu, seperti ilusi/fatamorgana, dan (4) indra dan sekaligus
objeknya. Jadi, kelemahan empirisme ini karena keterbatasan indra manusia sehingga muncullah
aliran rasionalisme. Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Francis Bacon (1210-1292 M), Thomas Hobbes
(1588-1679 M), John Locke (1632-1704 M), David Hume (1711-1776 M), George Berkeley (1665-1753
M), Herbert Spencer (1820-1903 M), dan Roger Bacon (1214-1294 M).
RASIONALISME
Rasionalisme adalah faham atau aliran yang berdasar rasio, ide-ide yang masuk akal. Selain
itu, tidak ada sumber kebenaran yang hakiki. Zaman rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad
ke-XVII sampai akhir abad ke-XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah
penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata,
penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar
sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam.
Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikutnya orang-orang yang terpelajar
makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia. Hal ini
jadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke-XVII, dan lebih lagi pada abad ke-XVIII karena
pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643-1727). Menurut sarjana
genial Inggris ini, fisika itu terdiri dari bagian- bagian kecil (atom) yang berhubungan satu sama lain
berdasarkan hukum sebab akibat.
Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton
sendiri memiliki suatu keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran
melalui ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang makin kuat akan kekuasaan akal budi,
lama-kelamaan orang-orang abad itu berpandangan dalam kegelapan. Dan ketika mereka mampu
menaikkan obor terang yang menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan
pada abad XVIII, maka abad itu disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan).
Sebagai aliran dalam filsafat yang mengutamakan rasio untuk memperoleh pengetahuan dan
kebenaran, rasionalisme selalu berpendapat bahwa akal merupakan faktor fundamental dalam suatu
pengetahuan. Dan menurut rasionalisme, pengalaman tidak mungkin dapat mengujL NHEHQDUDQ
KXNXP ¥VHEDE-DNLEDW¥ NDUHQD SHULVWLZD \DQJ tak terhingga dalam kejadian alam ini tidak
mungkin dapat diobservasi. Bagi aliran ini kekeliruan pada aliran empirisme disebabkan kelemahan
alat indra tadi, dan dapat dikoreksi seandainya akal digunakan.
Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indra dalam memperoleh pengetahuan.
Pengalaman indra digunakan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang
menyebabkan akal dapat bekerja. Akan tetapi, akal juga dapat menghasilkan pengetahuan yang tidak
didasarkan bahan indra sama sekali. Jadi, akal dapat juga menghasilkan pengetahuan tentang objek
yang betul-betul abstrak.
Indra dan akal yang bekerja sama belum juga dapat dipercaya mampu mengetahui bagian-
bagian tertentu tentang suatu objek. Manusia mampu menangkap keseluruhan objek beserta
intuisinya. Jika yang bekerja hanya rasio, yang menjadi andalan rasionalisme, maka pengetahuan
yang diperoleh ialah pengetahuan filsafat. Dan pengetahuan filsafat itu sendiri ialah pengetahuan
logis tanpa didukung data empiris. Jadi, pengetahuan filsat ialah pengetahuan yang sifatnya logis saja.
Tokoh-tokoh aliran ini adalah Rene Descartes (1596-1650 M), Nicholas Malerbranche (1638-
1775 M), B. De Spinoza (1632-1677 M), G.W.Leibniz (1646-1716 M), Christian Wolff (1679-1754 M),
dan Blaise Pascal (1623-1662 M).
PRAGMATISME
Istilah pramagtisme berasal dari kata Yunani “pragma” yang artinya perbuatan atau tindakan
. “isme” disini sama artinya dengan isme-isme yang lainnya, yaitu aliran atau ajaran atau paham.
Dengan demikian, pragmatisme berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti
tindakan. Kriteria kebenarannya adalah “faedah” atau “manfaat” . Suatu teori atau hipotesis
dianggap oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil.
Dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it works (apabila teori dapat diaplikasikan). Pada
awal perkembangannya, pragmatisme lebih merupakan suatu usaha- usaha untuk menyatukan ilmu
pengetahuan dan filsafat agar filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi kehidupan praktis
manusia. Sehubungan dengan usaha tersebut, pragmatisme akhrinya berkembang menjadi suatu
metode untuk memecahkan berbagai perdebatan filosofis-metafisik yang tiada henti-hentinya, yang
hampir mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan filsafat sejak zaman Yunani Kuno (Guy W.
Stroh: 1968).
Pragmatisme telah membawa perubahan yang besar terhadap budaya Amerika dari lewat
abad ke-19 hingga kini. Falsafah ini telah dipengaruhi oleh teori Charles Darwin dengan teori
evolusinya dan Albert Einstein dengan teori relativitasnya. Falsafah ini cenderung kepada falsafah
epistemologi dan aksiologi dan sedikit perhatian terhadap metafisik. Falsafah ini merupakan falsafah
di antara idea tradisional mengenai realitas dan model mengenai nihilisme dan irasionalisme. Ide
tradisional telah mengatakan bumi ini tetap dan manusia mengetahui hakiki mengenai bumi dan
perkara-perkara nilai murni, sementara nihilisme dan irasionalisme adalah menolak semua dugaan
dan ketentuan. Dalam usahanya untuk memecahkan masalah-masalah metafisik yang selalu menjadi
pergunjingan berbagai filosofi itulah pragmatisme menemukan suatu metoda yang spesifik, yaitu
dengan mencari konsekuensi praktis dari setiap konsep atau gagasan dan pendirian yang dianut
masing-masing pihak. Dalam perkembangannya lebih lanjut, metode tersebut diterapkan dalam
setiap bidang kehidupan manusia. Karena pragmatisme adalah suatu filsafat tentang kehidupan
manusia maka setiap bidang kehidupan manusia menjadi bidang penerapan dan filsafat yang satu ini.
Karena metode yang dipakai sangat populer untuk dipakai dalam mengambil keputusan
melakukan tindakan tertentu, dan menjadi populer. Filsafat yang berkembang di Amerika pada abad
ke-19 ini sekaligus menjadi filsafat khas Amerika dengan tokoh- tokohnya seperti Charles Sander
Peirce, William James, dan John Dewey menjadi sebuah aliran pemikiran yang sangat mempengaruhi
segala bidang kehidupan Amerika.
Namun, filsafat ini akhirnya menjadi lebih terkenal sebagai metode dalam mengambil
keputusan melakukan tindakan tertentu atau yang menyangkut kebijaksanaan tertentu. Lebih dari
itu, karena filsafat ini merupakan filsafat yang khas Amerika, ia dikenal sebagaimana suatu model
pengambilan keputusan, model berindak, dan model praktis Amerika. Bagi kaum pragmatis, untuk
mengambil tindakan tertentu, ada dua hal penting. Pertama, ide atau keyakinan yang mendasari
keputusan yang harus diambil untuk melakukan tindakan tertentu. Kedua, tujuan dari tindakan itu
sendiri. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan suatu paket tunggal dan metode
bertindak yang pragmatis. Pertama-tama manusia memiliki ide atau keyakinan itu yang ingin
direalisasikan. Untuk merealisasikan ide atau keyakinan itu, manusia mengambil keputusan yang
berisi: akan dilakukan tindakan tertentu sebagai realisasi ide atau keyakinan tadi.
Dalam hal ini, sebagaimana diketahui oleh Peirce, tindakan tersebut tidak dapat diambil lepas
dari tujuan tertentu. Dan tujuan itu tidak lain adalah hasil yang akan diperoleh dari tindakan itu
sendiri, atau konsekuensi praktis dari adanya tindakan itu. Apa yang dikatakan oleh Peirce tersebut
merupakan prinsip pragmatis dalam arti yang sebenarnya. Dalam hal ini; pragmatisme tidak lain
adalah suatu metode untuk menentukan konsekuensi praktis dari suatu ide atau tindakan. Karena
itulah, pragmatisme diartikan sebagai suatu filsafat tentang tindakan. Itu berarti bahwa pragmatisme
bukan merupakan suatu sistem filosofis yang siap pakai yang sekaligus memberikan jawaban terakhir
atas masalah-masalah filosofis. Pragmatisme hanya berusaha menentukan konsekuensi praktis dari
masalah-masalah itu, bukan memberikan jawaban final atas masalah-masalah itu.
Aliran pragmatis ini beranggapan bahwa segala kebenaran ialah apa yang membuktikan
dirinya sebagai yang benar dengan memperhatikan kegunaannya secara praktis. Tokoh aliran ini
adalah William James. Ia termasuk tokoh sangat berpengaruh dari Amerika Serikat. Tokoh lainnya
adalah John Dewey, Charles Sanders Peirce dan F.C.S. Schiller.
Bagi William James (1842-1910 M), pengertian atau putusan itu benar jika pada praktik dapat
dipergunakan. Putusan yang tidak dapat dipergunakan itu keliru. Kebenaran itu sifat pengertian atau
putusan bukanlah sifat halnya. Pengertian atau putusan itu benar, tidak saja jika terbuktikan artinya
dalam keadaan jasmani ini, akan tetapi jika bertindak dalam lingkungan ilmu, seni dan agama. Tokoh
ini juga berjasa dalam bidang lain, terutama dalam bidang psikologi. Dalam bidang tersebut ia
berhasil membantah pemikiran lama tentang kesadaran. Di dalam filsafat, kata James, akal dengan
segala perbuatannya ditaklukkan perbuatan. Ia tak lebih pemberi informasi bagi praktik hidup dan
sebagai pembuka jalan baru bagi perbuatan-perbuatan kita.
Dalam bukunya The Meaning of Truth, James mengemukakan bahwa tiada kebenaran mutlak,
yang berlaku umum, bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab,
pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman
itu senantiasa berubah. Hal itu disebabkan karena dalam perkembangannya ia dapat dikoreksi oleh
pengalaman berikutnya.

2. Ambil satu contoh kasus yang berhubungan dengan bidang Anda, kemudian jelskanlah
kebiasaan (habit), keyakinan (belief), kesangsian (doubt), dan interpretant dalam abduksi,
deduksi, dan induksi yang dapat terjadi pada kasus itu.
kebiasaan (habit), Petani Kakao terus menerus menanam tanpa melakukan perawatan terhadap
tanah yang berada di sekitar pertanaman kakao.
keyakinan (belief), Tanaman kakao merupakan tanaman tahunan yang tidak memerlukan perawatan
yang begitu rumit dalam budidayanya.
kesangsian (doubt), Tanaman kakao memerlukan perawatan dalam mengendalikan hama pengerek
batang kakao (PBK) seperti pemangkasan batang kakao secara rutin, pemupukan untuk
meningkatkan kesuburan tanah, Panen sering dan sanitasi yang baik.
Terdapat banyak cara penarikan kesimpulan, namun untuk sesuai dengan maksud tulisan ini
yang memusatkan kepada berpikir ilmiah maka terdapat tiga jenis penarikan kesimpulan yakni
berdasarkan Hasil abduksi (Firstness), Hasil deduksi (Secondness), Hasil induksi (Thirdness).
a. Hasil abduksi (Firstness)
Abduktif (abduksi) melakukan penalaran dari sebuah fakta ke aksi atau kondisi yang
mengakibatkan fakta tersebut terjadi. Metode ini digunakan untuk menjelaskan kejadian yang kita
amati. Sebagai contoh banyaknya penjual bibit yang mengclaime bahwa produk yang dijualnya
resisten terhadap serangan PBK, akan tetapi pada saat di lapangan hal tersebut tidak terbukti.
b. Hasil deduksi (Secondness)
Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan bersifat umum ditarik kesimpulan
bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola berpikir
silogismus. Silogismus, disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang
mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan
premis minor. Pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif adalah hasil kesimpulan
berdasarkan kedua premis tersebut. Contoh: Tanamana Kakao memiliki produktivitas yang tinggi
[premis mayor] ---- Landasan 1, Penggerek Batang Kakao (PBK) adalah hama utaman Tanaman
Kakao[premis minor] ---- Landasan 2, Jadi Penggerek Batang Kakao (PBK) harus di kendalikan dalam
budidaya kakao [Kesimpulan] ----Pengetahuan.
c. Hasil induksi (Thirdness)
Merupakan cara berpikir menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus
yang bersifat individual (seperti kesimpulan peneliti humoris). Misalnya, kita punya fakta bahwa
Penggerek Batang Kakao (PBK) merupakan hama utama kakao sehingga perlu dilakukannya
pengendalian dalam budidayanya.

3. Jelaskanlah cara pandang etnografis itu pada kasus di bidang Anda sendiri
Petani kakao banyak yang beralih ke kelapa sawit. Mereka mengganggap kakao sudah tidak
lagi menguntungkan bahkan sering kali petani dibuat merugi karena rendahnya harga kakao di
akibatkan serangan Pengerek Batang Kakao dan tingginya biaya produksi yang dikeluarkan. Petani
kakao masih menjunjung tinggi nilai ketuhanan. Mereka cukup menghargai alamnya dengan selalu
bersyukur dan menganggap bahwa rejeki yang didapatnya merupakan pemberian dari Yang Maha
Kuasa. Tanah bagi petani adalah aset yang berharga. Tanah adalah kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan dengan kakao. Tanah bukan hanya sebagai tempat berpijak tanaman, melain- kan tanah
sebagai media tanam yang sangat berpengaruh bagi pertumbuhan tanaman.
Ekologi tanaman sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan juga harus
diperhitungkan di dalam akuntansi. Akuntansi (terutama aset biologis) yang selama ini hanya
memperhatikan aspek ekonomi semata harus sudah memperhatikan aspek lainnya juga (dalam hal
ini ekologis). Aset biologis menurut petani adalah pemberian dari Yang Maha Kuasa. Pemberian ini
harus dijaga dan petani akan bertanggung-jawab tidak hanya kepada Tuhan, melainkan juga
bertanggungjawab kepada aspek sosial dan alamnya. Berdasarkan hal tersebut (aspek ketuhanan,
sosial dan alam) maka aset biologis tidak hanya berupa tanaman dan hewan melainkan tanaman dan
tanah; hewan; beserta ekologi yang mempengaruhinya. Menurut petani kakao tanaman dan tanah;
hewan; beserta ekologi yang mempengaruhinya yang merupakan pemberian dari Yang Maha Kuasa
untuk dijaga dan dirawat sebagai bentuk tanggung jawab baik secara spiritual, sosial dan alam
(tanggung jawab kepada Tuhan, masyarakat dan pelestarian alam).

You might also like